daisyellow


Di antara kelimanya, Rayan adalah pengamat. Dalam diamnya ia selalu awas juga peka pada keadaan sekitar. Jadi jika ada sesuatu yang mencurigakan, biasanya Rayan adalah orang yang pertama sadar.

Malam ini warung kopi dekat kos khusus putra yang Rayan tempati jadi lapak kelimanya berkumpul. Ada beberapa pelanggan lain yang tentunya juga sedang asik dengan obrolan masing-masing. Asap kopi mengepul, bara rokok di tangan Joseph dan Naufal sudah menyala, Rayan sendiri sedang asik mengunyah bakwan sambil memperhatikan— matanya tidak lepas dari dua orang yang terlihat saling menghindar.

Dwi berusaha sibuk dengan ponsel miliknya, sedang Mawan— yang lebih tua umurnya dari mereka bergerak kikuk agar matanya tidak lagi berlabuh pada Dwi.

Dan semua itu, tertangkap jelas oleh Rayan. Ia tahu ada yang tidak beres semenjak Dwi agak susah untuk diajak ikut berkumpul jika ada Mawan di sana. Juga Bang Mawan yang terus terlihat murung seperti baru saja melakukan suatu kesalahan besar.

“Bang,” Rayan memanggil Mawan yang tangannya sibuk mengaduk kopi hitam, membuat bukurnya kembali berantakan dan tidak diam di dasar; pertanda bahwa Mawan tidak akan meminumnya cepat, hanya terus mengaduk agar matanya punya tujuan.

Mawan tidak menjawab panggilan Rayan, hanya kini wajahnya terangkat dan menghadap pada Rayan yang ada di samping Dwi. Itu cukup untuk jelaskan bahwa Mawan mendengar panggilan darinya.

“Diem aja daritadi. Lo lagi sakit, Bang?”

Dari ujung matanya Rayan dapat melihat Dwi berhenti menggulir layar ponsel sesaat setelah pertanyaan untuk Mawan ia lontarkan.

Mawan mendengus sambil bibirnya tersenyum kecil. Kepalanya kembali menunduk dan tangannya lagi-lagi pilih sibuk mengaduk kopi. “Nggak. Gue baik-baik aja.”

Joseph yang mulai tertarik pada obrolan berkata, “tapi iya sih, lo bener gak lagi sakit? Akhir-akhir ini keliatan lemes banget.”

“Agak capek aja kayaknya sama kerjaan.” Mawan menjawab setelah beberapa saat terdiam untuk memikirkan jawaban yang tepat.

“Istirahat aja Bang harusnya. Ga perlu maksain kalau kita ngajak ngumpul nggak jelas.” Naufal ikut nimbrung, asap rokok mengepul di antara wajahnya ketika ia bersuara.

Yang lebih tua tertawa, berusaha menghapus khawatir dan yakinkan bahwa dirinya memang dalam keadaan baik-baik saja. “Santai. Ngumpul bareng lo semua tuh itung-itung pelarian stress gue dari kerjaan.”

Rayan sesekali melirik ke arah Dwi yang sekarang terlihat sibuk kembali dengan ponselnya. Ia lihat kawannya itu sedang bermain game online. Dwi tidak menunjukkan— atau mungkin sedang menyembunyikan khawatirnya yang tidak ia suarakan untuk Mawan.

Kalau begini, Rayan semakin yakin jika ada yang tidak beres di antara Dwi dengan Mawan. Pikirannya sekarang penuh dengan berbagai asumsi perihal mengapa keduanya bisa jadi secanggung ini.


Pepatah yang mengatakan jika waktu akan menyembuhkan bagi Dwi terbukti kebenarannya. Meski untuk sebagian orang pepatah ini dirasa begitu kuno, begitu norak atau dirasa begitu menggelikan, tapi mau bagaimanapun, nyatanya waktu memang bisa menyembuhkan.

Karena sembuh bukan berarti perasaanmu akan hilang, sembuh juga bukan berarti kamu akan lupa. Karena sembuh Dwi artikan sebagai sikapnya yang sudah bisa menerima kehadiran Naufal tanpa ada rasa yang berlebihan.

Sembuh baginya adalah tidak lagi merasa sakit, sembuh baginya adalah terbiasa. Waktu membuat Dwi terbiasa.

Jadi kini saat dirinya duduk dalam satu mobil yang sama bersama Naufal, hal itu bukanlah masalah besar.

Tujuh bulan bukan waktu yang sebentar dan mudah untuk mereka lewati. Tapi waktu tujuh bulan juga buat mereka berproses dan mencoba untuk terbiasa sampai akhirnya bisa. Ada tangis dan pelukan sebagai ungkapan permintaan maaf untuk satu sama lain. Dan itu cukup untuk Dwi juga Naufal kembali bertingkah layaknya teman seperti semasa SMA dulu.

Meskipun harus diakui ada hal berbeda di sana. Namun beruntung keduanya bisa kuasai diri dan bersikap biasa saja.

“Lo mending minum antimo aja dah, Ray.” Joseph menengok ke arah Rayan yang duduknya diapit oleh Dwi dan Naufal di kursi belakang.

“Bang, lo beli kresek kan tadi? Lo taro mana?” Dwi sudah panik. Ia sibuk mencari-cari keberadaan kantong kresek yang sudah Mawan beli.

“Di tas abang,” Mawan menjawab, matanya sesekali memperhatikan dari kaca spion depan. “Ada nggak Wi? Itu abang taro di ritsleting paling depan.” Lanjutnya lagi saat Dwi sudah berhasil bawa tas ransel miliknya dalam pangkuan.

Sedangkan Naufal, cowok itu sedang sibuk memijat kening Rayan yang sudah diolesi dengan minyak kayu putih. Berusaha agar pusing yang dirasa oleh Rayan berkurang dan dirinya tidak jadi untuk muntah.

“Dwi… buruan mana?” Rayan berkata saat dirasa mualnya semakin menjadi. Mabuk perjalanan yang lupa untuk ia antisipasi menghebohkan perjalanan mereka setelah satu jam terlewati.

“Bentar-bentar, ini ada.” Ucap Dwi kemudian, tangannya mencabut satu pak kresek hitam dari ransel Mawan. Buru-buru ia membuka dan mengambil satu untuk disodorkan pada Rayan.

Suara muntahan Rayan tidak lagi Dwi pedulikan, karena saat ia akan kembali menutup ritsleting bagian depan tas yang lebih tua, matanya menangkap sesuatu ada di dalam tas itu.

Satu pak permen white rabbit.

Harusnya Dwi menganggap hal itu biasa saja. Toh Mawan bisa saja sekalian membelinya sekalian dengan kantong kresek. Tapi kelimanya tahu jelas, permen itu adalah permen kesukaan Dwi.

Ditambah fakta bahwa pada kurun waktu tujuh bulan ini, Dwi merasa perhatian yang diberikan Mawan padanya sudah tidak lagi sama seperti perhatian yang Mawan beri untuk Rayan, Joseph, juga Naufal. Ada takut yang merayap di bawah kulitnya hingga membuat Dwi merinding hanya dengan memikirkan kemungkinan jika Mawan benar-benar sedang mendekatinya.

Karena sejujurnya, Dwi tidak tahu harus seperti apa ia bertindak.

[]

Perjalanan yang ditempuh selama tiga jam dari sejak pagi tadi mengantarkan mereka ke tempat berkemah di daerah Sukabumi. Jam menunjukkan pukul 11 siang saat dua tenda sudah selesai Joseph dan Naufal bangun.

Mawan juga sudah selesai merakit meja dan kursi lipat, sedang Dwi dan Rayan terlihat masih menyiapkan makan siang.

“Ada yang perlu dibantuin?” Tanya Mawan yang secara tiba-tiba sudah berdiri di samping Dwi.

Dwi menggeleng cepat, “nggak ada. Lo bantu masak yang ada semua kacau.” Dirinya beralasan. Meski yang ditakutkan bukanlah hal yang baru saja ia utarakan.

Rayan yang sedang mengocok telur tertawa terbahak. Lalu mengangguk antusias membenarkan ucapan Dwi. “Bener bang kata Dwi. Mending lo angkutin kayu bakar di mobil dah buat ntar malem api unggun sambil bakar ubi.”

Mawan tersenyum kecil lalu melangkah pergi. Membawa udara segar bagi Dwi karena entah mengapa, kini berada di dekat Mawan membuat dirinya serasa dihimpit.

[]

“Gue aja yang pegangin.” Ucap Mawan sembari menyodorkan ubi yang sudah matang dari bakaran.

“Gue juga bisa sendiri.”

“Panas, Dwi. Kotor juga. Udah, sini buka mulutnya.”

[]

“Gue mau beli rokok. Nitip gak Jo?”

“Asik, boleh dah. Lo talangin dulu ya, Dwi.”

“Gue aja yang beliin. Kaki lo masih lecet kan gara-gara salah pake sepatu. Lumayan perih tuh kalau dipake jalan.”

Mawan tidak mendengarkan protes dari Dwi yang menyuruhnya untuk diam.

“Juara kan? Kalau nggak ada Sampoerna juga gapapa ya?”

[]

“Hansaplast.”

“Buat?”

“Kaki lo yang lecet.”

[]

I have loved you since we were 18 Long before we both thought the same thing To be loved and to be in love All I can do is say that these arms Are made for holding you, I wanna love like you made me feel When we were 18

Tidak ada yang tahu mata Mawan yang mendamba di tiap bait lagu yang kini sedang kelimanya nyanyikan. Hanya pada Dwi, hanya untuk Dwi.

[]

Malam ini bukan hanya kembang api yang meletup-letup di atas langit sana.

Di antara banyaknya pekemah lain yang berkumpul di tengah lapangan luas dan menghitung mundur dari sepuluh, ada Mawan yang menarik Dwi dan merangkul tubuh yang lebih muda agar tidak terpisah jauh.

10

9

Ada Mawan yang membuat mata keduanya bertatapan sampai lupa pada sekitar.

8

7

Ada Dwi yang nafasnya sudah makin tidak beraturan, karena kini rasanya berdekatan dengan Mawan begitu berbeda.

6

5

Ada jantung keduanya yang juga siap untuk meledak bersama-sama.

4

3

2

Dan Dwi pilih melarikan diri. Mencari keberadaan Rayan, atau Joseph, atau Naufal juga tidak mengapa. Asal tidak bersama Mawan.

1

“HAPPY NEW YEAR!!!!!!”

Sorak sorai dan ledakan kembang api bersahut-sahutan. Pun dengan letup jantung keduanya yang sama-sama berdetak cepat hingga rasanya akan meledak. Tapi tidak di tempat yang sama, karena Dwi lebih memilih untuk menyembunyikannya sendirian.


Ucapan Mawan mengenai kondisi dirinya yang tidak begitu parah benar adanya. Tapi tetap saja, Dwi merasa tidak enak karena sudah membuat Mawan sakit dan izin kerja. Karena harus diakui, salah satu faktor yang membuat Mawan sakit pasti akibat angin malam.

“Lo makan dulu ya. Udah minum obat apa tadi pagi?”

Mawan menggeleng, tubuhnya bersandar pada kursi dapur umum kos-kosan yang siang ini begitu sepi. “Gue bawa tidur aja, belum minum obat.”

Dwi berdecak. “Bener dugaan gue. Dari dulu lo emang paling males buat minum obat. Untung gue mampir apotek tadi.” Lalu Dwi mengeluarkan kantung kresek putih berisi vitamin dan obat yang direkomendasikan oleh apoteker dari dalam tasnya.

“Nih, makan dulu. Abis itu minum obat.” Ucap Dwi dengan tangan yang sibuk mempersiapkan makan siang yang tadi ia bawa di hadapan Mawan.

“Iya, bawel deh lo.” Mawan tertawa kecil. Ada perasaan senang diperhatikan sebegininya oleh yang lebih muda.

“Biarin, biar lo cepet sembuh.”

Sebelum Dwi mengambil duduk di samping Mawan, punggung tangannya ia tempelkan pada dahi yang sedang sakit. Merasakan panas yang menjalar dari sana meskipun tidak seberapa. “Masih anget, abang. Nanti dikompres ya.”

Dwi tidak sadar jika Mawan sampai batal menyuap atas tindakannya barusan.


Setelah selesai makan dan minum obat, keduanya memilih langsung kembali ke kamar yang lebih tua. Mawan tahu jelas bahwa setelah makan, tubuh dianjurkan untuk tidak langsung berbaring. Tapi kepalanya yang pening membuat Mawan mengabaikan aturan tersebut.

Dwi duduk di sampingnya di atas ranjang, begitu telaten memeras handuk kecil yang sudah dibasahi air bersuhu normal.

“Kayak anak kecil deh gue, pake dikompres segala.”

“Dilarang protes! Kalau gue sakit, di rumah pasti selalu dikompresin sama Ayah. Terus nanti panasnya beneran sirep. Percaya atau nggak.”

Dwi taruh handuk itu di atas dahi Mawan, membuat yang lebih tua terpejam merasakan sensasi dingin air menyerap pada kulitnya. Lalu entah tidak sadar atau dalam keadaan sadar — yang jelas Mawan hanya ikuti apa kata hati — ia tahan lengan Dwi yang masih membetulkan posisi handuk agar tidak terjatuh.

Dwi terdiam, memperhatikan Mawan yang matanya perlahan terbuka, menatap pada dirinya dan tidak lagi memperhatikan sekitar.

“Dwi ...”

“Hmm?”

“Makasih banyak, ya.”

“Iya.” Dwi menjawab singkat. Terlalu bingung pada keadaan.

“Dwi ....” Mawan kembali memanggil pelan.

“Kenapa?”

“Jangan pulang dulu.”

Dwi mengangguk perlahan. Matanya sesekali mencuri pandang pada pergelangan tangannya yang masih Mawan pegang.

“Dwi ....” Suara Mawan making mengawang. Matanya mulai mengerjap-ngerjap pelan.

“Abang ngantuk.”

Lalu tawa kecilnya pecah. “Iya, yaudah tidur.”

Dan Mawan mulai pejamkan mata. Dengan satu kalimat berhasil lolos dari bibirnya. “Jangan tinggalin abang.”

Dwi menepati janji. Ia ikut tertidur di samping Mawan dengan tangan yang masih belum terlepas dari pegangan. Meskipun posisinya tidak nyaman, tapi entah kenapa Dwi mempertahankan.

Hari ini ... entah kenapa ada rasa asing yang muncul saat Dwi sadar bagaimana cara Mawan menatap dirinya.

Padahal, Dwi. Mawan sudah sedari dulu menatap kamu dengan cara seperti itu.


Di antara kelimanya, Mawan selalu merasa jadi yang tertinggal, padahal masa hidupnya dua tahun lebih lama. Tapi justru langkahnya yang terlalu awal buat ia merasa banyak tidak tahunya.

Boleh jadi Mawan yang mereka tuakan hingga apa-apa selalu ia yang diandalkan. Tapi Mawan inginnya sejajar, melewati segala momen penting bersama yang ia anggap sudah seperti keluarga sendiri.

Mawan jadi yang paling terakhir tau saat Joseph menerima penghargaan dari sekolah di bidang olahraga. Mawan juga bukan yang pertama tau saat Rayan menang juara satu lomba melukis satu provinsi. Dan Mawan tidak pernah tahu sejak kapan Naufal dan Dwi mulai memupuk rasa. Yang ia tahu, pada suatu sore keduanya sudah berpegangan tangan dan bermesraan, lalu memberikan pengumuman bahwa keduanya sudah berpacaran.

Ia tidak tahu prosesnya seperti apa dan sudah berapa lama pendekatan keduanya berjalan. Hingga ia cukup naif untuk berpikir bahwa cintanya untuk Dwi pada masanya akan terbalaskan.

Mawan selalu jadi yang paling terakhir tau, tapi Mawan selalu jadi yang paling awal untuk membantu.

Seperti saat ini.

Cukup dengan satu kalimat dari Dwi bisa membuat Mawan kembali mengeluarkan motornya yang sudah ia simpan rapi di parkiran kos-kosan. Jarak yang harusnya ditempuh selama 20 menit jika dengan kecepatan 40 km/jam, dipangkas jadi 15 menit oleh Mawan dengan motornya yang melaju kencang.

Jika ini berkaitan dengan Dwi, Mawan akan selalu berpikiran naif. Menerima apapun takdir yang sudah digariskan dengan diselipi harapan bahwa pada akhirnya mereka akan bersama.

Kamar kos milik Dwi ada di lantai dua. Kaki miliknya sudah sering menapaki tangga yang bentuknya spiral untuk menuju kamar berukuran 3x4.

Mawan mengatur nafas miliknya yang sedikit berantakan karena kali ini tangga itu ia naiki dengan terburu. “Dwi …” lalu pintu bercat hitam bertuliskan angka 21 itu ia ketuk. “Dwi ini abang.”

Yang selanjutnya Mawan lihat saat pintu kamar dibuka adalah Dwi yang wajah dan hidung dan matanya merah. Jejak air mata yang kering tertinggal di pipinya.

“Abang…” sambut Dwi dengan bibir yang kembali menekuk, air mata sudah kembali siap tumpah karena ia tahu kali ini akan ada yang menampung.

Mawan bawa Dwi untuk masuk untuk menghindari udara malam yang makin menusuk. Lalu setelah pintu kamar tertutup, ia peluk tubuh yang lebih muda. Mengusap-usap rambutnya menenangkan dan membiarkan baju bagian depannya basah terkena air mata.

Mawan tidak berkata apa-apa sampai keduanya duduk di atas karpet, sampai Dwi yang memulai duluan.

“Gue jahat banget sama Nana.”

“Kok ngomong gitu?”

“Dia cerita kalau orang tuanya mau cerai, bang. Dan yang pertama kali masuk di kepala gue malah tentang hubungan gue sama dia yang kelar. Gue malah mikir kenapa Nana egois sampe akhirnya bisa bikin kita putus. Kalau aja dia jujur, kalau aja dia mau berbagi, kalau kalau dan kalau yang lainnya …” Dwi berbicara dalam satu tarikan nafas, membuat dirinya sedikit tersengal karena masih ada tangisnya yang tersisa, “gue benci banget sama diri gue yang gak mikirin kondisi dia. Berapa berat beban yang dia pikul. Dan gue malah mempermasalahkan alesan kita bisa putus.”

“Nana akhirnya cerita sama lo kalau orang tuanya mau cerai?”

Dahi Dwi mengkerut. “Lo udah tau?”

Mawan mengangguk ragu-ragu.

“Joseph? Rayan? Mereka juga udah tau?” Nada bicara Dwi sudah mulai tidak santai.

Mawan sadar dirinya salah dalam bertanya. Maka ia putuskan tidak menjawab apa-apa.

Tapi diamnya Mawan sudah pasti artinya iya. Dan itu membuat Dwi membuang nafasnya yang gemetar.

“Oh … jadi gue yang paling akhir tahu masalah Naufal.”

Yang lebih tua memejamkan mata dan mengatur nafas, “Dwi …” Mawan memulai, “itu karena Naufal nggak mau abang atau yang lain cerita masalah dia sama lo.”

“Kenapa?” Dwi tidak suka ini, saat suaranya kembali hilang karena tertahan pada tenggorokannya yang serasa dicekik.

“Because he loves you that much, Dwi. Because we loves you that much.”

Because I love you so much.

“Bukan begini caranya, bang. Gue nggak mau disayang dengan cara yang begini.”

Tangisnya kembali keluar, membuat Mawan dengan sigap bawa kembali tubuh Dwi yang bergetar.

“Iya, maaf. Maafin abang, maafin Naufal, maafin Rayan sama Jo. Maaf kita nggak ngasih tau lo. Maaf cara kita yang salah buat ngelindungin lo, ya?”

“Nggak kayak gini bang….” Dwi membalas pelukan Mawan. Untuk pertama kalinya dalam dua bulan terakhir dia merasa aman. “Nggak kayak gini…. Sekarang gue ngerasa jahat karena nggak ada pas dia butuh.”

“Naufal emang gitu, Dwi. Sama kita juga dia nggak minta apa-apa kalau kita nggak maksa. Bukan salah lo, oke? Dia sendiri yang maunya supaya lo nggak tau. Nanti diobrolin lagi ya sama Naufal. Diobrolin sampai tuntas.”

Mawan kembali jadi yang diandalkan. Sampai kadang ia lupa bahwa dirinya juga butuh sandaran.


Tags and content warning : tulisan di bawah ini mengandung tema dewasa. Kissing, nipple play, grinding, penyebutan kata berbau seksual seperti; penis, ejakulasi, sperma. But there's no sexual intercourse.


“Kamu akhir-akhir ini kenapa?”

Tanya dari Malik merupakan buntut panjang tingkah Hilman saat malam pertama Malik pulang, dan Hilman … kebingungan untuk beri jawaban. Karena apa yang akan ia katakan untuk menjelaskan perihal perasaan miliknya yang ingin terus berdekatan, kontak secara fisik, merasakan eksistensi Malik secara begitu nyata, padahal hampir setiap hari mereka sudah bertemu. Bagaimana cara menjelaskan kepada Malik bahwa fantasi-fantasi miliknya, kini seperti tengah berencana untuk diwujudkan dan melompati batas yang Hilman sudah buat.

“Emang aa kenapa?” Dengan tangan yang masih memainkan jemari Malik, dan pandangan yang ia buat polos sedemikian rupa, Hilman pilih untuk balik bertanya, Hilman pilih untuk pura-pura tidak tahu apa-apa.

Malik tertawa sampai kepalanya mendongak ke belakang menyentuh sandaran sofa, “ih aneh. Masa kamu enggak ngerasa semingguan ini tingkahnya aneh sama aku?”

“Aneh gimana sih?” Nada bicaranya sedikit terdengar offensive, Hilman tidak terima curahan sayangnya dilabeli dengan kata aneh.

Tawa Malik belum berhenti, namun satu tangannya menarik Hilman agar tubuh mereka jadi saling mendekap. Malik peluk dengan gemas pacarnya itu, ia mendusalkan wajahnya di rambut Hilman yang sudah memanjang. “Jadi kerasa lebih manja sama aku, not to mention you are more touchier than usual.”

Wajah Hilman serasa dibakar saat Malik menjelaskan. Membeberkan satu-satu tingkahnya seminggu ke belakang buat Hilman sadar bahwa ya memang, makin hari, pembatas yang ia bangun terasa sudah kecolongan.

“Kamu … gak suka?” Hilman bertanya dengan suranya yang kecil.

Dengan telaten, Malik terus mengusap rambut Hilman penuh sayang. Sesekali ia cium pelipis yang lebih tua. “Siapa bilang? Aku malahan seneng. Tapi kan aa sendiri yang bilang, jangan sampe kelewat batas. Cuma mau mastiin kalau aa nyaman ngelakuin ini sama aku, manja-manjaan sama aku.”

“Maaf, ya.”

Lagi-lagi Hilman hanya bisa ucapkan maaf. Karena ia tahu, tidak sekali dua kali milik yang lebih muda mengeras hanya karena tindakan yang ia lakukan dengan spontan. Tapi kemudian, Hilman terlalu takut untuk melanjutkan. Membiarkan keduanya berujung pada perasaan yang menggantung; nikmat, tapi tidak terlampiaskan.

“Ngapain minta maaf?”

“Kamu tau jelas maafnya aa buat apa.”

Malik hirup napas panjang untuk curi wangi rambut Hilman. Matanya terpejam, menikmati detak jantung keduanya yang sudah tidak beraturan. Entah karena apa, entah mereka menantikan kejadian apa. “Iya, enggak apa-apa sayang.” Malik bisa rasakan tubuh Hilman merapat, makin memeluk dirinya erat. “Tapi aa tau kan, aa bisa minta apapun sama aku. Apapun, a. Apapun yang ada di pikiran aa.”

Hilman tahu, Hilman sangatlah tahu.

[]

Batas yang Hilman bangun ini, sebetulnya adalah wujud dari rasa bersalahnya dulu. Pada seseorang yang mengatakan bahwa hubungan antar dua orang yang menyangkut kegiatan berbau seksualitas, baiknya dan menurut norma yang berlaku di masyarakat, hanya boleh dilakukan oleh pasangan yang sudah menikah.

“Janji ya sama Mas, kita berdua perjaka sampai waktunya nanti. Mas janji ke kamu enggak akan nakal, kamu juga harus lakuin yang sama untuk Mas.”

Ucapan Mas Rian enam tahun ke belakang masih membekas erat di ingatan Hilman. Menciptakan stigma bahwa apa yang diucapkan Mas Rian itu benar adanya. Hubungan antar dua orang yang berpacaran, tidak melulu harus menyinggung garis kenikmatan. Mas Rian buktikan hal itu, dengan memberi Hilman segalanya termasuk validasi akan kehadirannya, memberi rasa aman juga kasih sayang.

Sejujurnya, itu juga yang buat Hilman merasa hubungan mereka terasa stagnan. Kontak fisik yang Mas Rian beri selama mereka berpacaran, hanya sampai sebatas berpegangan tangan. Meskipun dihadiahi ucapan cinta di tiap harinya, lama kelamaan rasanya hambar. Berjalan begitu saja di tempat tanpa Hilman merasakan euforia apa-apa lagi saat bersama Mas Rian. Tidak ada jantung yang detaknya kencang, atau perasaan senang yang membuncah, atau rasa penasaran yang tinggi karena sekali lagi, Mas Rian sudah beri batasan yang jelas, dan itu menular pada dirinya.

Padahal, kebutuhan seksualitas juga manusiawi adanya.

Hilman butuh itu. Dan ketika dunia mahasiswa mempertemukannya dengan Prabu, teman satu angkatan yang banyak beri Hilman letupan-letupan di hatinya, rasa untuk Mas Rian dengan mudah terganti bergitu saja.

Mas Rian yang kini tersisa hanya sebatas dari ingatan, buat Hilman merasa bersalah atas apa-apa yang ia perbuat dulu. Jadi Hilman berusaha untuk tetap menjaga janjinya, meskipun sekarang janjinya itu bukan lagi untuk Mas Rian.

Tapi cerita yang kali ini bukan untuk Mas Rian, bukan juga untuk Prabu— yang meskipun hanya singgah sebentar, mampu beri kesan untuk Hilman; yang baik ataupun buruk. Jadi kisah mereka baiknya disimpan untuk lain kali.

Karena yang kali ini, ceritanya mengenai Malik. Ini Malik yang pada usianya belum pandai betul menahan hormon sampai tidak jarang meminta waktu lama untuk berciuman. Ini Malik, yang mampu bangunkan sisi lain Hilman setelah lama menolak berpacaran. Ini Malik, yang bisa buat Hilman ejakulasi hanya karena membayangkan otot paha Malik juga kejantanannya yang kadang tercetak jelas ulah dari celana basket pendek yang sering ia kenakan.

Hilman is fucked up.

Utamanya pada saat sekarang. Saat Malik beri ide keduanya untuk singgah sebentar di kosan miliknya akibat hujan yang begitu deras.

“Mending nunggu agak reda di kosan dibanding maksa jalan, sayang. Hujan deras gini meskipun di mobil tetep bahaya, jarak pandang gak lebih dari dua meter.” Malik berucap sambil membuka kaos futsal yang ia kenakan, memamerkan otot perut yang terbentuk buah dari seringnya berolah raga.

“Tapi kalau kemaleman gimana? Besok aa kan masih kerja.” Alasan ini sebagian benar, bagian yang lain mengenai ketakutannya melewati batas tidak Hilman utarakan.

“Yaudah, nginep aja di sini. Kemeja aku yang kemarin buat uas aku simpen di kosan, enggak aku bawa pulang. Kamu bisa pake itu buat kerja.”

Melihat Hilman yang hanya bergeming di tepi kasur membuat Malik menghampiri kekasihnya itu. Hilman menahan napas. Bukan karena takut bau badan Malik yang penuh keringat sehabis bermain futsal bersama teman-temannya dekat daerah kampus, tapi karena bau keringat Malik yang bercampur parfume miliknya buat Hilman sedikit pusing.

Malik mengusap kepala Hilman, lalu ia bubuhkan ciuman di sana, “aku enggak akan ngelakuin hal-hal yang bikin kamu enggak nyaman kalau itu yang kamu takutin. Janji. Hujan petir kayak gini mendingan kita cari aman, ya? Aku mandi dulu.”

Lantas Malik berbalik pergi ke kamar mandi sehabis beri satu usapan terakhir di kepala yang lebih tua. Meninggalkan kekasihnya itu dengan perasaannya yang makin acak-acakan.

Dan Hilman, jantung miliknya serasa merosot langsung ke perut saat melihat Malik dengan rambutnya yang basah keluar dari kamar mandi. Karena Malik menggunakan itu, celana basket terkutuk yang buat miliknya tercetak jelas, terlihat besar.

“Kamu kenapa sih bengong aja?” Malik menyadari sedari tadi Hilman belum merubah posisi. Karena sesungguhnya, dalam pikiran yang lebih tua sedang sibuk bergulat dan memikirkan berbagai macam skenario yang mungkin terjadi.

Hilman dan pikirannya yang mulai melayang kemana-mana agak kesusahan menjawab Malik. “Hah … siapa juga yang bengong.”

“Ya aa.” Lalu tawa terdengar dari mulut yang lebih muda. “Mandi gih, ganti pake baju aku ya? Biar enak tidurnya.” Malik sebegitu yakinnya untuk ajak Hilman menginap.

Hilman hanya mengangguk. Kemudian ia berdiri tanpa bersuara, menunggu Malik yang sedang mengambil pakaian miliknya yang dirasa pas untuk Hilman. Meskipun ukuran badan mereka tidak memiliki perbedaan yang berarti, tetap saja baju milik Malik sedikit kebesaran untuk dirinya.

“Nih,” ujar Malik sembari menyerahkan kaos kebesaran berwarna putih dan celana training panjang. “Kamu mau kopi nggak? Nanti aku bikinin.”

“Gausah.” Jawab Hilman singkat. Karena ia benar-benar tidak nafsu untuk makan. Nafsunya untuk hal lain kepalang lebih besar. “Aku mandi dulu.”

Ucapan Hilman dijawab anggukan oleh Malik.

[]

Udara kamar kos Malik malam ini terasa lebih dingin dibanding malam yang lain. Mungkin akibat hujan yang sampai pukul sembilan malam masih belum ingin berhenti. Menyebabkan sepasang kekasih itu berlindung dan mencari hangat dari satu kain selimut yang dipaksa cukup untuk berdua.

Malik memeluk Hilman dari belakang, menyelipkan satu kakinya di antara dua kaki Hilman hingga buat kakinya seperti terjepit.

“Kenapa pake celana pendek sih … udah tau dingin begini.” Hilman bertanya sambil berusaha pejamkan mata. Berharap dengan tertidur ia dapat memutus keinginan-keinginan dirinya yang terasa semakin memberontak akibat tubuh keduanya yang berdekatan.

“Hmm … meluk kamu juga udah anget.” Jawab Malik sambil terus merapatkan diri. Tangannya melingkar di perut Hilman, sedang wajahnya dengan sempurna bersembunyi di punggung sang kekasih.

Padahal posisi ini terlihat biasa saja dan memang biasa saja. Malik sama sekali tidak bermaksud apa-apa selain dari mencari hangat dan nyaman agar tidur miliknya bisa pulas.

Tapi sepertinya … bagi Hilman tidak seperti itu. Merasakan sebagian besar kaki Malik yang tidak tertutup celana berada di antara dua kakinya, buat darah miliknya berdesir.

Haruskah … Haruskah …

Jangan, Hilman, jangan.

Namun ternyata, inginnya lebih besar.

Dan begitu saja, tanpa sadar juga dengan jantung yang berdetak kencang, Hilman mulai merapatkan kedua kakinya. Membuat kaki Malik makin terjepit di antara selangkangannya.

Perlahan … dengan begitu perlahan … Hilman mulai menikmati. Matanya terpejam, ia menggesek dan menekan paha berotot Malik di antara kejantanan miliknya yang sudah mulai mengeras.

Dan Malik langsung tersadar akan apa yang sedang kekasihnya lakukan. Yang lebih tua, sedang mencari kenikmatan.

“Hnghh …” lenguhan keluar begitu saja dari mulut Hilman. Ia tidak sadar bahwa di belakangnya, Malik sedang memperhatikan dalam diam. Malik ingin melihat sejauh mana Hilman bertindak.

Malik bisa rasakan kejantanan Hilman mengeras, Malik bisa rasakan yang lebih tua makin menggesek bagian bawahnya di antara satu kaki Malik dengan tempo cepat. Tubuh Hilman sedikit bergetar, dan Malik benar-benar ingin beri bantuan.

“Ahnn …”

Maka Malik mulai bawa bibirnya untuk menciumi tengkuk sang kekasih. Tangannya ikut mengusap-usap perut yang lebih tua.

“Sayang … aku bantu ya? Mau?” Malik berbisik.

Tapi bisikan Malik ini, malah buat Hilman tersadar dengan apa yang sudah ia lakukan. Matanya terbuka, napasnya memburu, tubuhnya langsung ia jauhkan dari Malik. Hilman meringkuk dan bergerak maju dengan pipi yang memerah malu.

“Maaf.”

Malik putuskan untuk tidak menggubris permintaan maaf Hilman yang kali ini. Karena bukan yang pertama kalii, beberapa kali kejadian seperti ini sudah terjadi.

“Kenapa…” Malik bertanya lirih. Tubuhnya terduduk di atas tempat tidur. Ia memperhatikan Hilman yang masih meringkuk di ujung dan enggan melihatnya.

“Kenapa sih, a? Malik cuma mau bantu.”

Hilman masih terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab bagaimana.

“Kamu loh yang dua minggu ini selalu mulai. Kamu tahu jelas ini bakalan ngarah ke mama, kamu tahu jelas dampaknya ke aku kayak gimana. Sadar enggak sih?” Malik putuskan untuk sekalian beberkan kecewanya. Ia acak rambutnya frustasi, bingung juga akan bagaimana inginnya Hilman.

“Apa karena Malik belum pantes buat aa? Buat kita sampe di tahap sana? Malik belum pantes ya?”

Tidak … jangan sampai rasa kurang percaya diri Malik muncul lagi. Hilman sudah merasa bersalah akan peristiwa lalu dimana Malik bicara mengenai insecuritas miliknya. Kini ia ditambah merasa bersalah tindakannya bawa persepsi lain dari Malik.

Maka Hilman memutar tubuhnya, ikut duduk berhadapan dengan Malik untuk menjelaskan, bahwa ini bukan mengenai kepantasan, bahwa ini lebih kepada dirinya yang melanggar janji pada orang yang sudah mati.

“Bukan gitu …” Hilman berusaha membujuk dengan coba raih tangan Malik. Beruntung tidak ada penolakan, Malik biarkan tangannya digenggam.

Matanya tatap Hilman penuh tanya, “terus kenapa?”

“Aa enggak bisa buat lebih jauh.”

Helaan napas panjang terdengar dari mulut yang lebih muda, berusaha dengan sabar menghadapi kekasihnya. “Iya, enggak bisanya kenapa?”

“Aa punya janji.”

“Janji apa?”

“Aa enggak akan ngelakuin hal itu sebelum nikah.”

“Janji sama siapa?”

“Mantan aa, Mas Rian.”

Oh … jadi ini penyebabnya. Tidak bisa dibohongi, tubuh Malik langsung seperti habis diguyur air es, dingin.

“Tapi kan aa udah enggak sama dia. Aa sekarang sama Malik.”

Iya, Malik. Hilman paham bahwa hati juga raganya sekarang hanya untuk Malik. Tapi apa yang bisa Hilman perbuat jika rasa bersalah masih menggerogoti hati miliknya, hingga satu-satunya yang bisa Hilman lakukan adalah memegang janji.

Namun Hilman bungkam.

Tidak ada pembelaan berarti yang keluar dari mulutnya.

Malik lepas satu tangannya dari genggaman Hilman, ia gunakan tangan itu untuk belai pipi Hilman perlahan. “You have to know that with me, you can do anything, sweetheart. Anything. We don't have to do sexual intercourse, tapi aku bisa bantu kamu buat pelepasan. We can take a baby steps.”

Mendengar ucapan Malik yang meyakinkan dirinya untuk bebas dalam bertindak buat Hilman kembali memikirkan fantasi-fantasinya selama ini. Hilman menggeleng kuat, “Aa takut kamu anggep gila.” Karena iya, bisa dibilang, Hilman gila dalam pikirannya jika sudah berkaitan dengan fantasinya dalam melakukan hubungan seksual.

“Hey, I don't mind. Just, tell me …. Kamu mau apa? Kalau misal aku enggak nyaman, aku pasti bilang sama kamu.”

Hilman beranikan diri untuk menatap Malik. Lalu ia gelengkan kepalanya, “bobo aja, yuk?”

Mendengar permintaan Hilman, buat Malik tertawa hambar. “Kamu tuh … terserah lah.” Lalu Malik membalikan tubuh, punggungi Hilman dalam aksi kecewanya.

Melihat Malik yang langsung tertidur begitu saja membuat Hilman lagi-lagi, merasa begitu bersalah. Dapat ia lihat jelas tadi raut wajah kecewa Malik. Ia dekati tubuh Malik, kemudian ia usap dan cium bahu yang lebih muda, berharap bisa salurkan permintaan maafnya.

“Maaf …”

“Kamu masih sayang sama mantan kamu itu?” Malik bertanya tanpa membalikkan badan.

“Hah?”

“Kurang jelas emang pertanyaan aku?”

Hilman tarik pundak Malik agar lelaki itu menatap wajahnya langsung. Agar Malik bisa lihat kejujuran pada sorot matanya, bahwa tidak, rasa sayang Hilman untuk Mas Rian sama sekali sudah tidak bersisa.

“Aa nepatin janji cuma ngerasa ada hutang, Lik. Bukan karena masih sayang.”

Malik menggeleng, senyum sedih muncul di wajahnya. “A … tapi Malik bukan dia. Janjinya aa sama Mas Rian, enggak ada hubungannya sama Malik.”

Oh, momen di mana Hilman sadar bahwa yang ia lakukan hanyalah bentuk dari kesia-siaan juga sebuah kesalahan. Karena bukan hanya dirinya yang tersiksa akibat menahan diri, Hilman juga secara tidak sengaja sudah melukai Malik selama ini.

Malik melihat Hilman yang dahinya masih mengkerut, juga bibir Hilman yang bergetar akibat dari kata yang ingin ia keluarkan namun berakhir tidak ada apa-apa. Malik tarik Hilman agar berakhir dalam dekapnya. Ia usap punggung yang lebih tua, usahanya untuk menenangkan.

“Maaf …” Hilman berkata sarat akan keputusasaan.

“Dibanding minta maaf, Malik maunya aa bilang apa yang aa mau.” Karena bagi Malik, tindakan Hilman dua minggu ke belakang lebih baik diperjelas dibanding keduanya sama-sama saling menerka.

“Aa takut kamu anggap aneh, Lik.” Ucap Hilman takut. Karena dalam fantasinya, Hilman tidak bisa mengontrol apa yang ia mau, berpikiran liar bagai manusia yang kurang bermoral.

“Try me.” Malik menantang.

Mungkin iya, mungkin ini saatnya fantasimu ada yang direalisasikan, Hilman. Jangan terlalu takut. Manusia lain memang tugasnya menghakimi. Tapi ini Malik, yang tidak perlu kamu takutkan penghakimannya. Karena sejujurnya, Malik sama gilanya seperti kamu.

Hilman lepaskan dekapan Malik, ia tatap mata Malik dalam untuk mencari celah ketakutan. Tapi tidak ada, di sana … yang ada hanyalah sorot mata penuh keyakinan.

“Aa mau dicium sama kamu.” Akhirnya Hilman keluarkan fantasinya yang paling dasar.

Dan Malik, langsung sambut pinta Hilman dengan bawa tubuhnya agar berada di atas yang lebih tua. Ia cium Hilman seperti waktu-waktu yang lalu. Awalnya penuh kelembutan, saling sesap merasakan kenyal pada bibir masing-masing, nikmati sensasi lidah yang sesekali menjilat bibir bagian luar dan dalam.

Harus Hilman akui, ciuman Malik begitu memabukkan. Hilman mengalungkan dua tangannya di leher Malik, ia usap tengkuk Malik dan memainkan rambut belakang yang lebih muda.

Ciuman yang lembut itu berakhir dengan ciuman yang menuntut. Dapat Hilman rasa Malik menciumnya dalam. Wajahnya dimiringkan agar posisi bibirnya dan Hilman saling rapat sempurna. Malik hisap bibir bawah Hilman yang penuh, hasilkan erangan dari kekasihnya itu. Lalu Hilman rasakan bibirnya digigit dan ditarik, buat kewarasannya pun serasa ikut tertarik.

Udara kamar kos Malik malam ini terasa lebih dingin dibanding malam yang lain. Tadinya Hilman sependapat, tapi kini tubuhnya terasa panas dibakar gairah untuk menjalin cinta. Kedua tangannya yang mengalung di leher Malik ia lepaskan, ia dorong pelan tubuh Malik dalam pintanya agar memberi kesempatan untuknya menarik napas panjang setelah ciuman panjang.

Malik dengan napasnya yang memburu menatap Hilman yang dua matanya sudah sayu. Ia usap bibir Hilman yang basah mengkilat dihiasi liur keduanya yang bercampur. Lalu Malik berkata dengan suara rendahnya, “cantik, kesayangan aku cantik banget,” untuk Hilman, dalam keadaan bibir yang terbuka dan membengkak.

Bibir yang lebih muda tidak sabar untuk menjamah kembali tubuh kekasihnya. Kini bibir itu mendarat pada leher Hilman yang sudah agak lembab karena keringat. Buat wangi tubuhnya makin menguar bersamaan wangi sabun mandi yang tadi ia kenakan. Malik berikan kecupan-kecupan ringan di sana dengan bibir yang terbuka, buat Hilman merasakan sensasi geli hingga tubuhnya sedikit bergetar.

“Bayi …”

Malik tidak memperdulikan panggilan Hilman. Kecupan ringannya kini berganti dengan jilatan dari selangka menuju telinga. Malik gigit-gigit kecil telinga Hilman yang sudah memerah sewarna tomat. Tindakannya ini makin buat nafsu Hilman makin di ujung tanduk.

Maka mungkin ini saatnya fantasi Hilman di tahap dua ia utarakan.

“Bayi …” Hilman mengawali dengan berkata tepat di telinga Malik. “Kamu … mau minum susu?”

Ucapan dari Hilman buat Malik seketika menyudahi kegiatan menggigit telinga Hilman. Karena kini, ia sudah membayangkan giginya akan menggigit yang lain. Malik tahu jelas arti ucapan dari yang lebih tua. Maka ia mengangguk cepat, takut-takut Hilman akan membatalkan keinginannya karena lama mendapat respon dari Malik.

“Yes … daddy, yes …”

Kedua tangan Hilman yang sedari tadi meremat ujung kaos yang ia kenakan, kini perlahan bergerak menarik kaos kebesaran itu ke atas. Mengeskpose perutnya yang halus dan rata. Malik dengan tangannya yang sedikit gemetar karena merasa terpana, menjelajah kulit halus itu dengan dua jarinya. Naik turun dari batas dada ke arah perut bawah.

“Ahn!” Napas Hilman tercekat merasakan telapak tangan Malik yang dengan perlahan masih bermain-main di atas pusar. Hilman lanjutkan menarik kaosnya makin ke atas, kini menampilkan puting coklat miliknya yang sudah terlihat menegang.

Jemari Malik langsung naik ke atas, menggoda puting Hilman dengan cara dielus cepat ke atas dan ke bawah. “Baru kayak gini aja udah tegang banget punya kamu.”

“Hnggh…” Hilman melenguh dengan tubuhnya yang bergerak gelisah. “Bayi, ayo… ayo minum susunya.” Rengek yang lebih tua terdengar menyusul.

Malik menunduk, mendekatkan wajahnya ke arah puting Hilman. Mulutnya kemudian menggantikan jemarinya, memainkan puting coklat itu dengan cara dijilat memutar.

Hilman sendiri matanya sudah memutar keenakan. Mulutnya tidak berhenti mengeluarkan suara “hmmhh … ahh …” yang menandakan bahwa dirinya sedang merasa bagai di atas awan. Tangannya kini berada di kepala Malik, menekannya agar tidak beranjak jauh.

Malik kini hisap puting Hilman dengan begitu kuat, seperti bayi yang sedang berusaha agar susu ibunya keluar. Matanya memejam menikmati sensasi keras dari puting Hilman berada di antara dua bibirnya.

Tubuhnya bergetar di bawah Malik yang masih asyik menyedot bergantian puting kiri dan kanan, sesekali digigitnya puting itu sampai Hilman merintih kesakitan.

“Hiks … jangan digigit, sakit.” Hilman menangis, tapi banyaknya bukan karena putingnya terasa perih, lebih banyak tangisnya datang karena merasa enak.

Malik tidak peduli. Entah berapa lama Malik memainkan kedua puting Hilman, yang jelas … pelepasan Hilman datang untuk pertama kalinya.

Tanpa miliknya disentuh.

Tubuh Hilman melengkung seraya penisnya mengeluarkan sperma. Membuat ada spot basah pada celana dalam hingga celana training yang ia kenakan.

Plop

Malik lepas puting Hilman. Ia mengelap bibirnya yang basah akibat dari liur yang menumpuk setelah menyusu tadi sembari memperhatikan kekasihnya di bawah sana, berantakan. Kaosnya sudah naik ke atas, wajahnya basah karena air mata, celana yang juga basah hasil dari pelepasan, serta dadanya yang membengkak.

Manis. Bahkan dalam kondisi seperti ini, Hilman terlihat mempesona. Dan Malik kembali jatuh cinta.

Malik cium bibir Hilman, seraya jemarinya menyapu rambut miliknya yang basah. “Malem ini udah cukup?” Tanya Malik pada Hilman yang masih memejamkan mata.

Hilman menggeleng. Matanya perlahan terbuka dan mengarah pada penis Malik yang masih tegang di balik celana kolornya. “Kamu belum keluar.”

“Aku bisa sendiri. Biasanya juga kan gitu.” Ucap Malik sambil tertawa.

Tanpa Malik duga, Hilman bergerak membuka celana miliknya yang sudah basah. Menampilkan setengah tubuh Hilman yang begitu indah. Pahanya terlihat begitu ramping juga halus, dan di antara dua paha itu, penis miliknya berwarna merah dan basah, ada sisa putih di sana.

“Sayang ….” Malik menahan napas melihat pemandangan di hadapannya.

Tanpa menghiraukan perkataan Malik, Hilman bangkit dari tidurnya, lalu ia memanuver tubuhnya agar berada di atas Malik. Pantatnya yang tidak tertutupi apapun kini menempati pangkuan Malik.

Malik sendiri kini memposisikan diri bersandar pada ranjang. Ia biarkan Hilman bertindak sesukanya, termasuk saat Hilman lepas juga celana basket yang ia kenakan. Kejantanan miliknya langsung terbebas, menjulang keras karena belum menjemput ujungnya.

“Kali ini biarin aa bantuin kamu.” Ujar Hilman, sebelum ia pegang kejantanan Malik dan ia satukan dengan miliknya.

Ini, adalah fantasinya di tahap tiga. Di mana ia bisa keluar hanya dengan memejamkan mata dan membayangkan paha dan penis milik kekasihnya. Kali ini, fantasinya menjadi nyata.

Hilman kocok dua batang yang mengeras itu menggunakan satu tangannya, sedang tangan yang lain ia gunakan sebagai tumpuan di bahu Malik. Dalam hati Hilman sedikit bersyukur, sisa dari pelepasannya tadi membuat kocokannya tidak begitu kering hingga ia bisa dengan mudah menggerakkan tangannya ke atas dan ke bawah. “Punya kamu … gede bangethh.”

Malik tertawa, kepalanya sudah bersandar di kepala ranjang dengan pasrah. Matanya memejam menikmati miliknya yang diurut berbarengan dengan milik Hilman. Dua tangan Malik ia tempatkan pada pinggang Hilman yang begitu ramping.

“Suka?” Tanyanya menggoda.

“Hmhh, suka … pas banget di tangan aa.”

Kocokan Hilman semakin cepat, buat Malik menggeram dalam nikmatnya. Namun sebelum dirinya ejakulasi, Hilman menghentikan pergerakan tangannya. Ia lepas penis Malik, lalu dua tangannya kini berada di pundak Malik yang masih tertutup kaos.

Sebelum Malik sempat melayangkan protes karena Hilman berhenti, ia dapat merasakan pinggul yang lebih tua bergerak naik turun di atas pangkuannya, buat Malik semakin menggeram dan mencengkram pinggang Hilman kuat.

“Argh… sayang …”

“Ah … ah … hah … ah …” Hilman meracau sambil terus menaik turunkan pinggangnya. Membuat penisnya beradu dengan milik yang lebih muda di bawah sana.

“Hngh— en..nak …” kini Hilman menggerakkan pinggulnya memutar, kemudian ia memaju mundurkan pantatnya dengan tekanan, agar penisnya yang sudah kembali tegang bisa merasakan gesekan dengan milik sang kekasih.

Mundur, maju, mundur, maju.

Wajah Hilman bersembunyi di antara ceruk leher Malik. Ia kembali menangis akibat nikmat yang ia rasa. Tangannya kini sudah mengalung di leher Malik dan buat tubuh mereka semakin tidak berjarak.

“Kamu mau aku masukin?”

Hilman menggeleng ribut. Karena ia merasa belum saatnya. Sekarang, begini saja sudah cukup.

“Enggakh … nanti ya, bayi … ahh … nanti.”

Malik mengangguk, kini ia peluk pinggul Hilman sembari bantu menekan-nekan agar penis keduanya bersinggungan.

“Hiks, aa mau keluar lagi.”

“Iya … hhh … keluar aja sayang, jangan di tahan.”

Karena Malik, juga sebentar lagi akan jemput nikmatnya.

Malik tidak ikut diam saat ia merasa bahwa cairannya sudah berada di ujung. Ia ikut menaik turunkan pinggulnya, merasakan kulit pantat Hilman yang bergoyang juga penis mereka yang sama-sama tegang.

“Ahh … bayi …” ucap Hilman dengan tubuhnya yang bergetar. Hilman peluk erat yang lebih muda saat pelepasannya datang.

“Aaarghhh,” pun begitu Malik, pundak Hilman ia gigit untuk mengubur erangan saat putihnya keluar.

Tubuh Hilman ambruk dalam pelukan Malik. Merasa lemas sekujur tubuh dengan keringat yang membanjiri. Bagian bawah keduanya lengket, pada paha juga perut dihiasi sperma yang bercampur.

Malik usap punggung telanjang Hilman karena kaosnya masih naik sebatas dada, merasakan sang kekasih masih mengatur napasnya yang tersengal. Ia kemudian beri ciuman di leher Hilman.

“Love you.”

Hilman malah merangsek makin peluk yang lebih muda. “Malu…”

Tawa Malik terdengar, ia goyang-goyangkan tubuh keduanya ke kanan dan ke kiri. “Kok malu sih?”

Dapat Malik rasakan gelengan di ceruk lehernya. “Hngh … malu aja.”

Tawanya mereda, Malik kembali beri ciuman di belakang telinga Hilman. “Makasih ya, sayang. Makasih karena akhirnya kamu bilang maunya apa.”

Kini Hilman mau beri jarak untuk tatap Malik dalam. Sebelum ia mengutarakan apa yang ingin ia ucap, Hilman terlebih dahulu beri bibir Malik satu ciuman panjang.

“Sama-sama. Maaf karena bikin kamu mikir bahwa kamu belum pantes buat sampai di tahap ini. Bukan, Lik. Sama sekali bukan gitu maksud aa.”

Malik mengangguk, tangannya sedari tadi tidak berhenti mengusap kulit punggung Hilman menenangkan.

“Love you, bayi. You deserve all of me.”

“God, I love you so much.”

“Aa juga sayang sekali sama kamu.”

Mereka bertukar ucapan cinta tanpa peduli hujan yang hanya menyisakan gerimis, tanpa peduli dingin kamar yang masih ada, tanpa peduli bagian tubuh bawah keduanya masih belum dibalut apa-apa. Karena kini, yang dirasa keduanya hanya ada hangat, dari cinta yang terbakar.

FIN


Cw// finger sucking


Dengan tangannya yang terampil, Hilman memutar stir di bundaran dengan kedua matanya yang sesekali mencuri pandang pada Malik. “Udah dong, jangan bete.” Bujuknya kembali, saat Ia lihat Malik masih setia membuang muka ke luar kaca jendela.

“Sayang …” saat Hilman rasa jalanan sudah mulai bisa ia kuasai dan kendaraan di depan tidak begitu ramai, satu tangannya lepas dari stir dan mengambil lengan yang lebih muda. “Bayi …, kan dibilang tadi beneran gak sengaja ketemu. Aku minta tolong sama dia buat beli sesuatu, ya sebagai tanda terimakasih aku teraktir temen kamu itu makan.”

Malik, meskipun dengan air mukanya yang keras kini sudah menoleh ke arah Hilman. Kemudian ia balas genggam jemari Hilman. “Bisa minta tolong sama aku padahal kalau mau beli sesuatu. Sampe whatsapp dari aku enggak dibales, sampe hp kamu enggak aktif. Khawatir tau enggak?”

Hilman kecup lama punggung tangan kekasihnya itu, “iya, maafin aa ya. Gabisa bareng kamu lah. Orang beli sesuatunya juga buat kamu.”

Malik menaikkan satu alisnya, “beli apa?”

“Tuh, di kursi belakang. Kamu enggak perhatiin emang aa bawa apa tadi?”

Pertanyaan Hilman, Malik jawab dengan gelengan kepala.

“Ambil gih.”

Dengan sangat terpaksa Malik lepas genggaman tangan mereka, badannya berputar setengah ke arah kanan untuk ambil paper bag yang tadi Hilman bawa.

Saat melihat apa isinya, ekspresi geli menggantikan amarah yang sempat ada. Ya Tuhan … jadi ini yang katanya di usia kepala dua sudah tidak lagi merayakan hari kasih sayang? Hilman malah memberikan dirinya dua kotak coklat royce.

“Aa ngasih coklat buat Malik?”

Wajah Hilman sedikit memerah. Sejujurnya … ia tidak berniat merayakan hari kasih sayang. Tapi saat melihat teman-teman kantornya sibuk memesan dan membungkus dengan cantik berbagai macam coklat untuk diberi pada pasangannya masing-masing, Hilman jadi berpikir bahwa tidak ada salahnya ikut memberi satu untuk Malik. Hitung-hitung balas jasa untuk yang lebih muda sudah mau mengantar-jemput dirinya. Coklat ini pula rekomendasi dari Gemintang. Hilman tidak sengaja bertemu dengannya di super market yang hanya tinggal menyebrang dari kantor, dirinya kebingungan memilih coklat batangan apa yang akan ia beli untuk Malik. Gemintang menghampirinya, menawarkan bantuan untuk membeli hadiah yang lebih baik dibanding coklat batangan.

“Iya, bayaran udah jemput aa.”

“Jadi tadi dibantuin Gemintang buat beli ini?”

Hilman mengangguk.

“Makasih sayang.”

Akhirnya Hilman bisa lihat senyum Malik. Seiring laju mobil yang melambat di lampu merah karena rem yang ia pijak, Hilman cium dagu Malik dengan penuh kelembutan. Dan ia tahu bahwa yang lebih muda belum bercukur, karena bibirnya bisa rasakan sensasi sedikit kasar dari bulu wajah yang mulai tumbuh. “Happy valentine's day, bayi.”

[]

Malik, jika keadaannya kini bisa dijabarkan dalam sebuah kata, maka kata yang paling cocok adalah “bertahan.”

Track record dirinya sejak berpacaran dengan Hilman dalam hal menahan nafsu bisa dibilang setipis kertas. Dengan Hilman yang selalu terlihat begitu menawan, mana mungkin Malik bisa tahan. Yang lebih muda usahakan agar selalu mendapat persetujuan yang lebih tua sebelum menyentuh. Malik selalu memastikan mereka sama-sama ingin. Meskipun api dimulai dari dirinya, ia ingin keduanya yang akan merasa terbakar.

Tapi semenjak Hilman beri batasan dalam hubungan menjamah tubuh agar keduanya tidak kebablasan, Malik mulai bantengi diri. Berusaha agar pikirannya jauh dari sana, jauh dari kegiatan yang memang seharusnya belum dilakukan oleh pasangan belum menikah; menurut norma yang berlaku di masyarakat.

Jadi kali ini Malik sedang bertahan, dari tangan Hilman yang sedari tadi tidak berhenti mengelus bulu yang terdapat di betis hingga pahanya. Kalau begini … agaknya Malik menyesal sedikit sudah meminta untuk menginap demi membayar rasa kesalnya tadi, Malik juga sedikit menyesal meminta menghabiskan waktu sebelum tidur dengan menonton bersama. Karena rasa kesal yang ia rasa, kini berganti dengan rasa yang malah makin menyiksa; Malik harus bertahan agar tidak kebablasan.

Laptop disimpan di depan mereka di atas meja belajar kecil, kaki keduanya berselonjor lurus dengan tubuh menyender pada sandaran kasur, dan posisi ini bertahan hanya sekitar lima belas menit pertama film ditayangkan.

Hilman semakin bergeser, kepalanya tidak lagi bersandar di headboard, melainkan ia tumpukan di bahu sang kekasih. Satu tangannya asik mengusap-usap pelan bulu kaki milik yang lebih muda, mulanya hanya di sekitaran betis, tapi makin lama makin naik Hilman usap di bagian paha.

Tanpa tahu tindakannya ini buat Malik merinding dan perutnya terasa mulas.

Maka Malik mengalihkan perhatiannya dengan memakan coklat pemberian Hilman tadi.

“Mau.” Ucap Hilman tiba-tiba, mengarah pada coklat yang sedang Malik makan.

“Ini?”

Anggukan Malik rasa pelan di bahunya.

Lalu Malik suapkan sepotong coklat ke mulut Hilman. Hilman memakannya setengah-setengah, dengan bantuan suapan Malik tentunya. Dan begitu coklat sudah habis, saat Malik akan menarik tangannya kembali, tanpa diduga satu tangan Hilman menahannya. Membuat Malik merasa hangat pada ujung jari telunjuk.

Karena kini, Hilman sedang asik menjilati jari telunjuk Malik yang masih berlumur sisa coklat.

Andai Hilman tahu bahwa dalam hati Malik sedang mati-matian mengumpat.

Malik perhatikan Hilman masih asik memainkan jemarinya di sana, buat Malik merasakan lidahnya menari di antara satu jari Malik. Ditambah matanya yang semakin sayu, Malik sepertinya akan gagal dalam bertahan.

“Sayang, ngapain?”

“Hmmh.” Hilman hanya bergumam dengan tidak jelas, masih asik buat jari Malik mengeksplore dalam mulutnya. Karena kini, Malik mulai berani menekan-nekan lidah Hilman.

“Sayang … please … have mercy on me.” Malik memohon. Sebab jika ini diteruskan, kepunyaannya akan semakin menegang. Padahal yang Hilman lakukan sebatas mengulum satu jarinya.

Plop

Dan begitu saja, Hilman lepas kulumannya. Wajah serta leher yang lebih tua memerah seketika. Mungkin kesadaran baru menghampiri bahwa yang tadi ia lakukan sudah agak keterlaluan.

“Maaf.”

“Kamu kenapa?”

Hilman beri gelengan.

“Beneran?”

“Iyaa gapapa bayi. Maaf ya, tadi kebawa suasana aja kayaknya.”

Malik cium bibir Hilman lembut, kemudian usapan ia beri di pipinya. “That's okay. Kaget aja aku tadi kamu begitu hahaha.”

“Beneran, maaf banget kamu sampe … udah keras.” Hilman meringis, melihat ke arah boxer yang Malik gunakan.

Dengan cepat Malik berdiri, ia tutupi miliknya menggunakan kedua tangan. “Aku ke wc dulu.”

Hilman menahan tawa melihat betapa panik pacarnya itu.

Aduh, Hilman … untung Malik masih bisa tahan. Kalau tidak, salah satu fantasimu mengenai Malik akan terwujud malam ini.

“Belum waktunya …” Hilman tarik napas panjang “… huhh … huhh … belum waktunya, Hilman.”


Cw // kissing


Hilman masih dalam posisi yang sama seperti tiga puluh menit lalu. Tubuhnya terterlungkup di atas setengah tubuh Malik dengan wajah yang kini bersembunyi di antara leher yang lebih muda. Di tengah kantuk yang mulai datang akibat dari obat yang Hilman minum, ciuman malas di leher Malik ia berikan. Ciuman dengan bibir terbuka yang mampu buat Malik memejamkan mata. Hawa panas dapat Malik rasa di sana akibat hembus napas Hilman yang langsung menerpa lehernya.

Malik sendiri sesekali balas beri ciuman di pelipis Hilman, merembet sedikit Malik kulum telinga yang lebih tua.

Hilman menghentikan ciumannya sementara. Wajahnya menoleh sedikit agar bertatap mata dengan Malik, “kamu nginep ya?” pintanya dengan mata yang sudah sayu.

Malik beri anggukan dengan bibir melengkung senyum. Ia usap tengkuk Hilman penuh sayang.

“Idung kamu masih kerasa mampet?” Tanya Malik begitu Hilman menyandarkan kepalanya di dada. Padahal tubuh Malik sudah mulai terasa kebas akibat lamanya bertahan pada posisi yang sama, namun selama Hilman merasa nyaman, Malik akan selalu dengan senang hati menyambut Hilman dalam dekapan.

Hilman beri gelengan pelan, “udah enggak begitu. Obatnya udah mulai kerja kayaknya.”

“Syukur kalau gitu.” Satu tangan Malik tempatkan pada pinggang Hilman, menjaga yang lebih tua agar posisinya aman. “Tidur ya?”

Sebelum sepenuhnya pergi ke alam mimpi, Hilman angkat tubuhnya sedikit, menatap Malik di bawahnya yang sedang menatapnya penuh tanya.

“Kenapa?” Tanya Malik saat Hilman tidak berkata sepatah katapun. Tapi malah balik menatap Malik dengan pandangan yang meneriakkan sayang.

Tanpa menjawab tanya Malik, tubuh Hilman kembali merunduk, mempersempit jarak wajah mereka berdua.

Hilman cium pelan dahi Malik, setelahnya dengan suara parau juga beratnya Hilman berkata, “pacarnya aa.”

Ciumannya beralih ke hidung Malik, “sayangnya aa.”

Lalu ciuman Hilman turun menuju bibir Malik. Hilman mencium Malik dengan matanya yang terpejam, melumat bibir tipis yang lebih muda dengan penuh penghayatan. Tanpa terburu-buru, tanpa merasa dikejar waktu. Malik tempatkan dua lengannya di pinggang yang lebih tua, ia remas pelan pinggang ramping tersebut. Mulutnya kini mulai imbangi ciuman Hilman, membuka dan menutup seirama dengan kepala yang kini saling miring.

Saat dirasa udara mulai menghilang, Hilman lepas ciuman mereka. Basah di bibir Malik kembali ia kecup sekali lagi sebelum berkata, “Maliknya aa.”

Malik tarik tengkuk Hilman untuk kembali satukan bibir mereka. “Hilmannya Malik.” Balas Malik pada akhirnya.

“Ngantuk.” Hilman berucap kemudian, yang dibalas tawa oleh Malik.

“Ya tidur, kan kata Malik juga tidur. Aa malah ciumin Malik.”

“Tapi kamu suka kan?”

“Malik selalu suka ciuman aa. Udah ayo tidur.”

Kini Hilman merubah posisinya, ia rebahkan diri di samping Malik dengan punggung yang menghadap ke arahnya. “Dulu … kalau aa lagi sakit dan enggak bisa tidur, sama si mamah suka diisik-isik. Aa mau diisik-isik sama Malik.”

Malik dekatkan tubuhnya dengan Hilman, hingga punggung yang lebih tua menempel di dadanya. “Diisik-isik itu gimana, a?” Tanya Malik tidak mengerti.

“Diusapin punggung aa.” Jawab Hilman dengan suranya yang sudah hampir hilang karena kantuk.

“Oh hahaha. Iya iya, sini Malik usap-usap.”

Hilman merubah kembali posisinya, kini ia tertelungkup sempurna dengan dua tangan berada di bawah bantal. Dan Malik dengan segera mengusap-usap punggung yang lebih tua. Berharap tidur miliknya bisa lebih nyenyak dan terasa nyaman.

Malik cium pundak Hilman, “tidur yang nyenyak, a.” ucapnya terakhir kali sebelum dirinya ikut pejamkan mata, dan tangannya tidak berhenti mengusap punggung sang kekasih hati. Sampai Hilman terlelap, sampai Hilman dijemput mimpi.

Mengenai permintaan maaf


Perasaan Malik tambah tidak karuan begitu dilihatnya tubuh Hilman dibalut selimut tebal. Saat Malik mendekat, bisa Malik lihat hidung yang lebih tua juga lebih merah dibanding biasanya.

“Sini,” suara Hilman yang terdengar parau meminta Malik untuk duduk di tepi ranjang. Tangannya menepuk-nepuk tempat kosong tepat di sisi tubuh miliknya.

Tanpa banyak kata Malik menurut, mendudukkan diri di samping Hilman dengan salah satu kakinya menjuntai di lantai.

Setelah Malik duduk, Hilman dengan ujung matanya yang sayu menunjuk ke arah nakas tepat di samping ranjang. Mengisyaratkan pada Malik agar mengambil kotak styrofoam berisikan bubur yang tadi ia beli. Malik ambil kotak styrofoam yang masih terasa hangat. Isinya utuh, belum diaduk, pertanda benar bahwasanya Hilman belum menyentuhnya untuk dimakan.

Malik aduk dengan hati-hati seperti tindakannya kini. Ingin rasanya Malik langsung memeluk Hilman, mengungkapkan permintaan maaf juga rasa kalut dan rendah diri yang ia rasa. Tapi Malik menahan tubuhnya agar tidak sembarang mengambil tindakan. Hilman sedang marah, dan dirinya harus berhati-hati.

“Doa dulu.” Ucap Malik.

Hilman menurut, ia lalu berdoa dalam hati. Setelahnya Hilman buka mulut, isyarat agar Malik mulai menyuapi.

“Lik …,” Hilman bersuara setelah satu suapan ia telan sempurna. “Aa mau minta maaf.”

Ucapan Hilman berhasil mengehentikan gerakan Malik yang akan kembali menyuapkan sesendok bubur ke arah mulutnya. Karena Malik cukup kaget dengan permintaan maaf Hilman. Tidak … yang lebih tua tidak bersalah atas rasa rendah diri yang ia rasa. Yang lebih tua tidak lebih bersalah dari dirinya yang begitu saja meninggalkan sang kekasih dalam keadaan sakit. Jadi harusnya Malik yang lebih dulu ucapkan permintaan maaf, bukan Hilman.

“Diomongin nanti ya, a. Abisin dulu buburnya.”

Hilman mengangguk, kemudian mulutnya kembali terbuka tapi bukan untuk bicara, melainkan menerima suapan demi suapan bubur yang Malik berikan.


“Tadi udah ke dokter?” Malik bertanya seraya membereskan bekas makan dan minum Hilman.

Hilman menjawab hanya dengan anggukan.

“Sakit apa?”

“Mau flu, sama kecapean aja katanya.” Demam juga pusing yang melanda hanyalah gejala yang Hilman rasa sebelum sakit flu datang. Bahkan kini nafasnya mulai tersumbat hingga Hilman sering menggosok-gosok hidungnya— yang tentu saja hal ini disadari oleh Malik.

“Idungnya mampet?”

Kembali, Hilman jawab hanya dengan mengangguk.

“Inhaler ada?”

“Enggak.”

“Pakein kayu putih mau, a?”

Gelengan Hilman berikan, “aa alergi kayu putih.”

Tanpa ragu, kemudian Malik berkata, “Malik beliin inhaler dulu.”

“Udah malem, enggak usah.”

“Selama apotik 24 jam ada, Malik usahain dapet inhaler buat aa.” Lalu Malik kecup singkat pucuk kepala Hilman. “Malik pergi sebentar.”

Hilman menatap pintu kamarnya yang sudah ditutup oleh Malik. Pikirannya berkelana dalam renung, bahwa hal kecil namun bermakna yang Malik berikan adalah alasan hatinya mampu menerima yang lebih muda dengan begitu mudahnya. Malik dan sikapnya yang tanpa pikir panjang selalu ingin memberi hal-hal terbaik untuk Hilman, selalu bisa buat hatinya hangat karena merasa begitu diperhatikan.


Pemandangan Hilman dengan satu lubang hidungnya disumpal inhaler dapat Malik lihat hanya dengan jarak sejengkal mata. Karena Hilman kini sedang berada pada posisi telungkup di atas tubuh miliknya, dengan kepala Hilman yang disandarkan pada dadanya.

“Harusnya aku yang minta maaf, bukan aa. Aa enggak salah apa-apa.” Ujar Malik memulai percakapan.

Hilman lepas inhaler dari hidungnya, lalu ia hirup napas panjang sebelum menjawab, “Aa udah nganggep enteng perasaan kamu, Lik. Aa juga salah.”

“Aku udah ninggalin kamu … dalam keadaan sakit. Enggak ada pembelaan dari aku, a. Aku bener-bener minta maaf.” Malik berucap perlahan. Suaranya sedikit bergetar buah dari penyesalan yang mendalam.

“Kamu lagi kecewa, aa ngerti. Tapi aa harap dibanding kamu pergi, kita bisa langsung kelarin masalah yang lagi kita hadapin, Lik.”

Malik mengangguk. “Sorry for leaving you.” Kecupan Malik berikan di pucuk kepala Hilman.

“Iya, enggak apa-apa.” Kemudian hening sejenak. Karena Hilman yang agak kesusahan bicara akibat napasnya yang kurang teratur. “Sekarang aa boleh nanya? Kamu minder kenapa? Apa dari dulu ngerasa kayak gini?”

Jemari Malik mulai menyisir helai demi helai rambut milik Hilman. Malik kembali memberi kecupan, kali ini di dahi yang lebih tua. “Enggak.”

“Terus?”

“Aa tau … ada yang bilang baiknya mimpi kalau mau terus keliatan indah, enggak perlu diwujudin. Aa itu mimpinya Malik, yang dari dulu selalu keliatan indah sampe-sampe Malik usaha mati-matian buat dapetin aa.” Malik beri jeda di sana, ia rasakan degup jantung Hilman yang menempel pada dadanya sendiri. Begitu terasa, seolah mengatakan pada Malik bahwa mimpinya adalah nyata.

“Mimpi Malik jadi nyata, a.” Ada bahagia dalam pernyataannya, “Malik dapetin aa yang biasanya cuma bisa Malik damba.”

Detik berikutnya, nada ucapan Malik terdengar menerawang, “tapi omongan kalau mimpi sebaiknya jadi mimpi aja kalau mau selamanya kerasa indah kayaknya bener adanya.”

Hilman dengan cepat mengangkat tubuhnya saat mendengar ucapan Malik yang ini. Tubuhnya ditopang oleh dua tangannya di atas dada Malik. Matanya menatap sengit pada yang lebih muda seolah tidak terima pada ucapannya. “Maksud kamu? Bareng-bareng sama aa enggak indah?”

Malik menggeleng, bibirnya bentuk senyuman tipis. Malik rapikan rambut Hilman yang mulai memanjang dan tutupi mata cantiknya, ia selipkan rambut itu di belakang telinga. “God, you're the most beautiful thing that I've ever had, a. Kamu indah, kamu sempurna, dan saat akhirnya aku bisa bareng sama kamu, baru kerasa kalau aku banyak kurangnya.”

Dahi Hilman mengkerut, “Lik …”

“Aku jadi ngerasa kecil banget tiap sama kamu. Ngerasa kalau aku belum setara sama aa yang hidupnya udah terarah sedangkan aku masih nyari arah. Dan saat aa enggak mau ngakuin Malik pacar aa, Malik makin ngerasa kalau oh, iya kali ya, gue enggak pantes buat diakuin.”

Hati Hilman ikut nyeri mendengar pengakuan Malik. Wajahnya tampilkan raut sedih saat Malik meneteskan air mata. Hilman langsung hapus air mata itu dengan ibu jari miliknya, satu tangannya yang lain Hilman gunakan untuk mengusap perlahan wajah yang lebih muda. “Maaf…”

Malik menggeleng, ia daratkan satu ciuman di dagu Hilman untuk ucapkan bahwa ia sudah tidak apa-apa.

“I'm sorry for invalidate your feeling.”

“That's okay, a. Maaf juga udah ninggalin aa gitu aja. I should stay with you.”

Anggukan Hilman berikan, disusul ciuman singkat di hidung Malik. “Malik, diinget baik-baik, ya. Kamu itu cukup. Kamu itu cukup dan kamu pantes buat aa. I'm yours and yours only.”

Senyum mengembang di bibir keduanya seiring hati mereka yang terasa lebih ringan. Beban di hati sudah terangkat berkat dari permintaan maaf.

“Lekas sembuh, sayang.” Malik berucap, tubuh Hilman makin ia peluk erat.

Kostan


Mobil miliknya Hilman parkirkan di halaman kostan berlantai dua. Setelah mengunjungi dua kost-kost an sebelumnya, Malik masih ingin bandingkan kostan lainnya untuk ia pilih nanti.

“Ini kostan terakhir yang aa tau tempatnya oke sih, Lik. Soalnya temen-temen aa banyaknya ya kalau enggak yang di jalan Pandawa, ya yang di sini.” Hilman jelaskan sembari ia buka seatbelt miliknya.

Malik mendengarkan perkataan yang lebih tua dalam diam. Matanya terus memperhatikan bangunan yang didominasi warna biru langit. Dalam hati Malik berpikir bahwa dibanding dua kostan yang sudah mereka datangi, kostan yang ini terlihat lebih bagus.

“Lik, diem aja.” Hilman menegur saat yang lebih muda sama sekali tidak bersuara.

“Kenapasih?” Hilman kembali bertanya karena Malik masih enggan menjawab.

Sebulan terakhir, hari-hari Hilman terasa amat panjang karena perusahaannya akan mengeluarkan produk baru. Survey pasar sana-sini, juga memikirkan konsep untuk promosi buat Hilman merasa lelahnya bertambah. Jam pulangnya yang makin larut tidak menambah hal jadi lebih baik. Maka saat dilihatnya wajah Malik tertekuk hanya karena yang Hilman rasa merupakan “hal kecil”, sedikitnya buat Hilman merasa bangun paginya untuk temani Malik mencari kost kostan terasa percuma.

Hilman sandarkan kepalanya yang lumayan terasa berat pada sandaran jok. Matanya terpejam sekejap sambil Hilman tarik napas panjang untuk tenangkan diri. Saat dirinya merasa sudah bisa kontrol emosi, Hilman tatap Malik yang masih asik berdiam diri di kursi kemudi.

“Gara-gara yang tadi? Udah atuh, Lik. Maklumin aja, emang si Bapaknya kan enggak tahu.”

Malik dengan mukanya yang tertekuk, sebetulnya bukan merasa kesal pada Hilman ataupun ucapan orang asing yang dilontarkan tadi padanya. Malik hanya sedang merasa minder.

“Iya,” jawab Malik singkat pada akhirnya.

Hilman usap pipi Malik pelan sebelum daratkan satu kecupan di sana. “Yuk, turun.”

Malik sempatkan tersenyum kecil untuk hargai usaha Hilman agar dirinya merasa lebih baik.

Jangan sampe hari ini rusak cuma karena perasaan minder gue yang mulai muncul setitik ke permukaan.

Malik terus ulang mantra itu dalam hati.

Setelah bertemu dengan Bang Boris— pemilik kost-kostan, keduanya diajak berkeliling di dalam bangunan dua lantai ini. Fasilitas yang didapatkan sudah Bang Boris jelaskan dengan cukup jelas, aturan-aturan mengenai jam malam dan lain-lain juga masih dapat Malik terima.

Satu pintu di lantai dua Bang Boris buka, menampilkan ruangan berukuran 3x4 yang sudah berisi tempat tidur dan sebuah lemari kecil.

“Pokoknya udah enak dah di sini enggak perlu bawa lagi kasur. Udah saya sediain lemari juga jadi ya gak perlu bawa repot-repot dari rumah.” Jelas Bang Boris pada Hilman yang sedang menjelajah ruangan, sedang Malik hanya diam mengekor di belakang.

“Kamar mandi luar ya Bang?” Hilman bertanya kembali memastikan.

“Iyak. Tapi enggak perlu khawatir, ada sepuluh kamar mandi. Lima di lantai 1, lima di lantai dua.”

Hilman mengangguk-angguk mengerti. Kemudian pandangannya tertuju pada Malik. “Ada yang mau ditangain enggak? Mumpung yang punya di sini.”

Malik hanya menggeleng, kemudian kakinya melangkah mendekati Hilman.

“Adeknya pemalu banget ya Mas. Baru mau masuk kuliah?”

Pertanyaan Bang Boris ini, buat Hilman langsung menatap Malik yang raut wajahnya sudah tidak enak dilihat.

Karena ini kedua kalinya Malik dengar kalimat serupa. Dan pada hari yang sama.

Mindernya Malik, disebabkan ucap orang asing yang menganggap bahwa dirinya adalah “adik” dari Hilman alih-alih kekasihnya.

“Beda berapa tahun ini sama adeknya?”

“Adeknya pemalu banget ya Mas. Baru mau masuk kuliah?”

Jika sudah dua kali begini, maka mungkin pantas-pantas saja Malik mulai memikirkan yang tidak-tidak.

“Iya, baru mau masuk kuliah.” Akhirnya Hilman menjawab, tanpa berniat membenarkan apa status mereka sebenarnya pada pemilik kost-kostan.

Dan itu buat Malik langsung meleos keluar kamar. Meninggalkan Hilman yang buru-buru pamit dan menjelaskan bahwa jika Malik tertarik, ia akan hubungi kembali Bang Boris nanti.

Hilman menuruni anak tangga dengan cepat agar Malik terkejar. Tapi sayang, begitu sampai parkiran, mobil miliknya tidak lagi berpenumpang.

Good Night Kiss

Cw // kissing, neck kissing


“Loh, kok bawa mobil Ayah?” Tanya Hilman begitu pantatnya menduduki kursi penumpang di sebelah Malik. Sedikit kebingungan karena tadi pagi Malik mengantar dirinya menggunakan sepeda motor.

“Biar kamu enggak kena angin malem.” Jawab Malik. Kemudian yang lebih muda bantu Hilman pasangkan sabuk pengaman, yang tentu saja membuat dua bola mata Hilman terputar.

“Aa bisa sendiri, Lik. Emang aa anak kecil?”

Malik ambil kesempatan mencuri cium di pipi Hilman. Mumpung jarak wajah mereka berdekatan. “Biarin sih, a. Malik mau romantis dikit.” Cengiran lebar menyertai kalimatnya barusan.

“Dasar.” Hilman balas seadanya. Masih sedikit kaget atas afeksi yang ia terima. “Enggak dimarahin Ayah bawa mobil gini?”

Malik menggeleng sambil menjauhkan tubuhnya dari Hilman setelah memastikan sabuk pengaman terpasang dengan benar di tubuh yang lebih tua. “Enggak. Udah izin juga kok.”

“Bilang apa ke Ayah?”

“Jemput calon mantu.”

Jawaban Malik dihadiahi pukulan main-main di pundaknya dari Hilman. “Geli!” Meskipun begitu, tawa keluar dari mulutnya.

Malik ikut tertawa, kemudian ia mengambil kantung kresek yang sedari tadi berada di dashboard mobil. Malik serahkan kantung kresek itu pada Hilman.

“Apa?” Hilman bertanya bingung saat menerima kantung berwarna hitam tersebut. Beratnya ringan, ia tidak terbayang benda apa yang berada di dalamnya.

“Buka aja.” Jawab Malik sembari mulai menghidupkan mobil.

Dan saat Hilman buka kantung kresek hitam tersebut, tawanya meledak seketika saat ia lihat isinya apa.

Dua pak salonpas koyo.

Malik ini … benar-benar ya.

“Maksudnya apa ini ngasih aa beginian?” Tanya Hilman masih dengan tawanya yang belum berhenti.

Sebelum menjalankan mobilnya, Malik ambil satu pak salonpas yang Hilman genggam sambil tertawakan. Kemudian Malik buka dan ambil selembar koyo dari sana. Dengan pelan, Malik tarik tubuh Hilman agar lebih mendekat. Ia istirahatkan kepala Hilman di bahunya. Malik singkap cardigan dan rambut Hilman yang mulai memanjang agar tengkuk miliknya terlihat, dan Malik pasangkan koyo itu di sana.

“Aku liat kamu pegang dan pijetin leher terus dari pagi.” Ucap Malik sambil menepuk-nepuk pelan leher sang kekasih. Malik pijat pelan juga bahu miliknya. Bibirnya ia daratkan di telinga Hilman. “Semoga bisa bikin leher kamu ngerasa lebih nyaman.”

Tawa Hilman lenyap seketika. Wajahnya merah bagai kepiting rebus. Jangan bilang Malik, ya. Ini rahasia. Meskipun berlagak tidak suka, Hilman merasa senang diperhatikan sebegininya. Tindakan kecil dari Malik buat hati Hilman menghangat.

“Makasih, yang.”

“Sama-sama, aa.”

[]

“Mmhh … udah, ya? Udah malem sayang.”

Jarak yang dibuat Hilman kembali Malik dekatkan. Dirinya masih enggan berhenti mencumbu Hilman. Bibirnya kembali ia tempelkan pada bibir tebal yang lebih tua. Malik kecanduan, ia susah untuk berhenti.

Padahal keduanya sudah berada di depan pagar rumah Hilman sejak lima belas menit lalu. Yang paling Hilman takuti adalah adanya orang yang bisa saja memergoki mereka bermesraan seperti ini. Meskipun jalan komplek mereka sudah terasa seperti desa mati jika jam sudah menunjuk angka tujuh malam.

“Still want my good night kiss.” Malik bicara dengan napasnya yang memburu. Bibirnya masih mengecup ngecup cepat bibir milik Hilman.

Sedangkan Hilman, dirinya setengah menikmati dan setengah merasa ketakutan. Takut akan dipergoki orang.

Hilman dorong pelan tubuh Malik, ia ingin beri penjelasan untuk kekasihnya yang masih belia.

“Lik, ini di jalan. Enggak boleh kelamaan gini. Takut ada yang liat.” Hilman menjelaskan sambil ia usap lembut kedua pipik Malik, Hilman usap juga ujung bibir Malik yang basah karena ludah mereka yang bercampur.

Tapi Malik tetaplah Malik. Matanya kembali menjadi sayu saat ia memperhatikan Hilman yang sedang bicara dengan bibirnya yang merah membengkak karena ciuman mereka. Malik hilangkan kembali jarak di antara keduanya.

“Just … one more time, a.” Malik berbisik, “one more time …”

Kalau sudah begini, Hilman cuma bisa mengangguk pasrah. Dalam hati berharap tidak ada yang lewat dan memergoki mereka.

Ciuman Malik yang kali ini terasa diburu waktu, mungkin karena sedari tadi Hilman bicara soal waktu mereka yang singkat. Malik hisap kuat bibir bawah Hilman. Sedangkan Hilman, tubuhnya sudah meluruh pada jok, dua tangannya sibuk remas rambut pendek Malik.

Dan suarah lenguhannya terdengar begitu halus. “Hhhh … hhhhh …”

Malik turunkan ciuman miliknya pada leher Hilman. Hidungnya menangkap wangi perfume tercampur koyo yang Hilman pakai. Meskipun begitu, Malik tetap nikmati kulit halus yang lebih tua di ujung lidah miliknya.

“Hhh …. Jangan ninggalin bekas … aa besok … masihhh hhh … kerja.”

Tapi Malik tidak hiraukan. Mungkin kepalang tersulut nafsu, mungkin juga karena bayangannya selama ini akhirnya jadi nyata hingga Malik sulit kendalian diri. Malik hisap bagian leher Hilman hingga tinggalkan tanda.

Padahal tubuh Hilman masih di dalam mobil, tapi kepalanya sudah memikirkan bagaimana cara tutupi kiss mark yang Malik beri. Karena yang lebih muda, hingga kini masih belum mau berhenti.