Tags and content warning : tulisan di bawah ini mengandung tema dewasa. Kissing, nipple play, grinding, penyebutan kata berbau seksual seperti; penis, ejakulasi, sperma. But there's no sexual intercourse.
“Kamu akhir-akhir ini kenapa?”
Tanya dari Malik merupakan buntut panjang tingkah Hilman saat malam pertama Malik pulang, dan Hilman … kebingungan untuk beri jawaban. Karena apa yang akan ia katakan untuk menjelaskan perihal perasaan miliknya yang ingin terus berdekatan, kontak secara fisik, merasakan eksistensi Malik secara begitu nyata, padahal hampir setiap hari mereka sudah bertemu. Bagaimana cara menjelaskan kepada Malik bahwa fantasi-fantasi miliknya, kini seperti tengah berencana untuk diwujudkan dan melompati batas yang Hilman sudah buat.
“Emang aa kenapa?” Dengan tangan yang masih memainkan jemari Malik, dan pandangan yang ia buat polos sedemikian rupa, Hilman pilih untuk balik bertanya, Hilman pilih untuk pura-pura tidak tahu apa-apa.
Malik tertawa sampai kepalanya mendongak ke belakang menyentuh sandaran sofa, “ih aneh. Masa kamu enggak ngerasa semingguan ini tingkahnya aneh sama aku?”
“Aneh gimana sih?” Nada bicaranya sedikit terdengar offensive, Hilman tidak terima curahan sayangnya dilabeli dengan kata aneh.
Tawa Malik belum berhenti, namun satu tangannya menarik Hilman agar tubuh mereka jadi saling mendekap. Malik peluk dengan gemas pacarnya itu, ia mendusalkan wajahnya di rambut Hilman yang sudah memanjang. “Jadi kerasa lebih manja sama aku, not to mention you are more touchier than usual.”
Wajah Hilman serasa dibakar saat Malik menjelaskan. Membeberkan satu-satu tingkahnya seminggu ke belakang buat Hilman sadar bahwa ya memang, makin hari, pembatas yang ia bangun terasa sudah kecolongan.
“Kamu … gak suka?” Hilman bertanya dengan suranya yang kecil.
Dengan telaten, Malik terus mengusap rambut Hilman penuh sayang. Sesekali ia cium pelipis yang lebih tua. “Siapa bilang? Aku malahan seneng. Tapi kan aa sendiri yang bilang, jangan sampe kelewat batas. Cuma mau mastiin kalau aa nyaman ngelakuin ini sama aku, manja-manjaan sama aku.”
“Maaf, ya.”
Lagi-lagi Hilman hanya bisa ucapkan maaf. Karena ia tahu, tidak sekali dua kali milik yang lebih muda mengeras hanya karena tindakan yang ia lakukan dengan spontan. Tapi kemudian, Hilman terlalu takut untuk melanjutkan. Membiarkan keduanya berujung pada perasaan yang menggantung; nikmat, tapi tidak terlampiaskan.
“Ngapain minta maaf?”
“Kamu tau jelas maafnya aa buat apa.”
Malik hirup napas panjang untuk curi wangi rambut Hilman. Matanya terpejam, menikmati detak jantung keduanya yang sudah tidak beraturan. Entah karena apa, entah mereka menantikan kejadian apa. “Iya, enggak apa-apa sayang.” Malik bisa rasakan tubuh Hilman merapat, makin memeluk dirinya erat. “Tapi aa tau kan, aa bisa minta apapun sama aku. Apapun, a. Apapun yang ada di pikiran aa.”
Hilman tahu, Hilman sangatlah tahu.
[]
Batas yang Hilman bangun ini, sebetulnya adalah wujud dari rasa bersalahnya dulu. Pada seseorang yang mengatakan bahwa hubungan antar dua orang yang menyangkut kegiatan berbau seksualitas, baiknya dan menurut norma yang berlaku di masyarakat, hanya boleh dilakukan oleh pasangan yang sudah menikah.
“Janji ya sama Mas, kita berdua perjaka sampai waktunya nanti. Mas janji ke kamu enggak akan nakal, kamu juga harus lakuin yang sama untuk Mas.”
Ucapan Mas Rian enam tahun ke belakang masih membekas erat di ingatan Hilman. Menciptakan stigma bahwa apa yang diucapkan Mas Rian itu benar adanya. Hubungan antar dua orang yang berpacaran, tidak melulu harus menyinggung garis kenikmatan. Mas Rian buktikan hal itu, dengan memberi Hilman segalanya termasuk validasi akan kehadirannya, memberi rasa aman juga kasih sayang.
Sejujurnya, itu juga yang buat Hilman merasa hubungan mereka terasa stagnan. Kontak fisik yang Mas Rian beri selama mereka berpacaran, hanya sampai sebatas berpegangan tangan. Meskipun dihadiahi ucapan cinta di tiap harinya, lama kelamaan rasanya hambar. Berjalan begitu saja di tempat tanpa Hilman merasakan euforia apa-apa lagi saat bersama Mas Rian. Tidak ada jantung yang detaknya kencang, atau perasaan senang yang membuncah, atau rasa penasaran yang tinggi karena sekali lagi, Mas Rian sudah beri batasan yang jelas, dan itu menular pada dirinya.
Padahal, kebutuhan seksualitas juga manusiawi adanya.
Hilman butuh itu. Dan ketika dunia mahasiswa mempertemukannya dengan Prabu, teman satu angkatan yang banyak beri Hilman letupan-letupan di hatinya, rasa untuk Mas Rian dengan mudah terganti bergitu saja.
Mas Rian yang kini tersisa hanya sebatas dari ingatan, buat Hilman merasa bersalah atas apa-apa yang ia perbuat dulu. Jadi Hilman berusaha untuk tetap menjaga janjinya, meskipun sekarang janjinya itu bukan lagi untuk Mas Rian.
Tapi cerita yang kali ini bukan untuk Mas Rian, bukan juga untuk Prabu— yang meskipun hanya singgah sebentar, mampu beri kesan untuk Hilman; yang baik ataupun buruk. Jadi kisah mereka baiknya disimpan untuk lain kali.
Karena yang kali ini, ceritanya mengenai Malik. Ini Malik yang pada usianya belum pandai betul menahan hormon sampai tidak jarang meminta waktu lama untuk berciuman. Ini Malik, yang mampu bangunkan sisi lain Hilman setelah lama menolak berpacaran. Ini Malik, yang bisa buat Hilman ejakulasi hanya karena membayangkan otot paha Malik juga kejantanannya yang kadang tercetak jelas ulah dari celana basket pendek yang sering ia kenakan.
Hilman is fucked up.
Utamanya pada saat sekarang. Saat Malik beri ide keduanya untuk singgah sebentar di kosan miliknya akibat hujan yang begitu deras.
“Mending nunggu agak reda di kosan dibanding maksa jalan, sayang. Hujan deras gini meskipun di mobil tetep bahaya, jarak pandang gak lebih dari dua meter.” Malik berucap sambil membuka kaos futsal yang ia kenakan, memamerkan otot perut yang terbentuk buah dari seringnya berolah raga.
“Tapi kalau kemaleman gimana? Besok aa kan masih kerja.” Alasan ini sebagian benar, bagian yang lain mengenai ketakutannya melewati batas tidak Hilman utarakan.
“Yaudah, nginep aja di sini. Kemeja aku yang kemarin buat uas aku simpen di kosan, enggak aku bawa pulang. Kamu bisa pake itu buat kerja.”
Melihat Hilman yang hanya bergeming di tepi kasur membuat Malik menghampiri kekasihnya itu. Hilman menahan napas. Bukan karena takut bau badan Malik yang penuh keringat sehabis bermain futsal bersama teman-temannya dekat daerah kampus, tapi karena bau keringat Malik yang bercampur parfume miliknya buat Hilman sedikit pusing.
Malik mengusap kepala Hilman, lalu ia bubuhkan ciuman di sana, “aku enggak akan ngelakuin hal-hal yang bikin kamu enggak nyaman kalau itu yang kamu takutin. Janji. Hujan petir kayak gini mendingan kita cari aman, ya? Aku mandi dulu.”
Lantas Malik berbalik pergi ke kamar mandi sehabis beri satu usapan terakhir di kepala yang lebih tua. Meninggalkan kekasihnya itu dengan perasaannya yang makin acak-acakan.
Dan Hilman, jantung miliknya serasa merosot langsung ke perut saat melihat Malik dengan rambutnya yang basah keluar dari kamar mandi. Karena Malik menggunakan itu, celana basket terkutuk yang buat miliknya tercetak jelas, terlihat besar.
“Kamu kenapa sih bengong aja?” Malik menyadari sedari tadi Hilman belum merubah posisi. Karena sesungguhnya, dalam pikiran yang lebih tua sedang sibuk bergulat dan memikirkan berbagai macam skenario yang mungkin terjadi.
Hilman dan pikirannya yang mulai melayang kemana-mana agak kesusahan menjawab Malik. “Hah … siapa juga yang bengong.”
“Ya aa.” Lalu tawa terdengar dari mulut yang lebih muda. “Mandi gih, ganti pake baju aku ya? Biar enak tidurnya.” Malik sebegitu yakinnya untuk ajak Hilman menginap.
Hilman hanya mengangguk. Kemudian ia berdiri tanpa bersuara, menunggu Malik yang sedang mengambil pakaian miliknya yang dirasa pas untuk Hilman. Meskipun ukuran badan mereka tidak memiliki perbedaan yang berarti, tetap saja baju milik Malik sedikit kebesaran untuk dirinya.
“Nih,” ujar Malik sembari menyerahkan kaos kebesaran berwarna putih dan celana training panjang. “Kamu mau kopi nggak? Nanti aku bikinin.”
“Gausah.” Jawab Hilman singkat. Karena ia benar-benar tidak nafsu untuk makan. Nafsunya untuk hal lain kepalang lebih besar. “Aku mandi dulu.”
Ucapan Hilman dijawab anggukan oleh Malik.
[]
Udara kamar kos Malik malam ini terasa lebih dingin dibanding malam yang lain. Mungkin akibat hujan yang sampai pukul sembilan malam masih belum ingin berhenti. Menyebabkan sepasang kekasih itu berlindung dan mencari hangat dari satu kain selimut yang dipaksa cukup untuk berdua.
Malik memeluk Hilman dari belakang, menyelipkan satu kakinya di antara dua kaki Hilman hingga buat kakinya seperti terjepit.
“Kenapa pake celana pendek sih … udah tau dingin begini.” Hilman bertanya sambil berusaha pejamkan mata. Berharap dengan tertidur ia dapat memutus keinginan-keinginan dirinya yang terasa semakin memberontak akibat tubuh keduanya yang berdekatan.
“Hmm … meluk kamu juga udah anget.” Jawab Malik sambil terus merapatkan diri. Tangannya melingkar di perut Hilman, sedang wajahnya dengan sempurna bersembunyi di punggung sang kekasih.
Padahal posisi ini terlihat biasa saja dan memang biasa saja. Malik sama sekali tidak bermaksud apa-apa selain dari mencari hangat dan nyaman agar tidur miliknya bisa pulas.
Tapi sepertinya … bagi Hilman tidak seperti itu. Merasakan sebagian besar kaki Malik yang tidak tertutup celana berada di antara dua kakinya, buat darah miliknya berdesir.
Haruskah …
Haruskah …
Jangan, Hilman, jangan.
Namun ternyata, inginnya lebih besar.
Dan begitu saja, tanpa sadar juga dengan jantung yang berdetak kencang, Hilman mulai merapatkan kedua kakinya. Membuat kaki Malik makin terjepit di antara selangkangannya.
Perlahan … dengan begitu perlahan … Hilman mulai menikmati. Matanya terpejam, ia menggesek dan menekan paha berotot Malik di antara kejantanan miliknya yang sudah mulai mengeras.
Dan Malik langsung tersadar akan apa yang sedang kekasihnya lakukan. Yang lebih tua, sedang mencari kenikmatan.
“Hnghh …” lenguhan keluar begitu saja dari mulut Hilman. Ia tidak sadar bahwa di belakangnya, Malik sedang memperhatikan dalam diam. Malik ingin melihat sejauh mana Hilman bertindak.
Malik bisa rasakan kejantanan Hilman mengeras, Malik bisa rasakan yang lebih tua makin menggesek bagian bawahnya di antara satu kaki Malik dengan tempo cepat. Tubuh Hilman sedikit bergetar, dan Malik benar-benar ingin beri bantuan.
“Ahnn …”
Maka Malik mulai bawa bibirnya untuk menciumi tengkuk sang kekasih. Tangannya ikut mengusap-usap perut yang lebih tua.
“Sayang … aku bantu ya? Mau?” Malik berbisik.
Tapi bisikan Malik ini, malah buat Hilman tersadar dengan apa yang sudah ia lakukan. Matanya terbuka, napasnya memburu, tubuhnya langsung ia jauhkan dari Malik. Hilman meringkuk dan bergerak maju dengan pipi yang memerah malu.
“Maaf.”
Malik putuskan untuk tidak menggubris permintaan maaf Hilman yang kali ini. Karena bukan yang pertama kalii, beberapa kali kejadian seperti ini sudah terjadi.
“Kenapa…” Malik bertanya lirih. Tubuhnya terduduk di atas tempat tidur. Ia memperhatikan Hilman yang masih meringkuk di ujung dan enggan melihatnya.
“Kenapa sih, a? Malik cuma mau bantu.”
Hilman masih terdiam. Ia tidak tahu harus menjawab bagaimana.
“Kamu loh yang dua minggu ini selalu mulai. Kamu tahu jelas ini bakalan ngarah ke mama, kamu tahu jelas dampaknya ke aku kayak gimana. Sadar enggak sih?” Malik putuskan untuk sekalian beberkan kecewanya. Ia acak rambutnya frustasi, bingung juga akan bagaimana inginnya Hilman.
“Apa karena Malik belum pantes buat aa? Buat kita sampe di tahap sana? Malik belum pantes ya?”
Tidak … jangan sampai rasa kurang percaya diri Malik muncul lagi. Hilman sudah merasa bersalah akan peristiwa lalu dimana Malik bicara mengenai insecuritas miliknya. Kini ia ditambah merasa bersalah tindakannya bawa persepsi lain dari Malik.
Maka Hilman memutar tubuhnya, ikut duduk berhadapan dengan Malik untuk menjelaskan, bahwa ini bukan mengenai kepantasan, bahwa ini lebih kepada dirinya yang melanggar janji pada orang yang sudah mati.
“Bukan gitu …” Hilman berusaha membujuk dengan coba raih tangan Malik. Beruntung tidak ada penolakan, Malik biarkan tangannya digenggam.
Matanya tatap Hilman penuh tanya, “terus kenapa?”
“Aa enggak bisa buat lebih jauh.”
Helaan napas panjang terdengar dari mulut yang lebih muda, berusaha dengan sabar menghadapi kekasihnya. “Iya, enggak bisanya kenapa?”
“Aa punya janji.”
“Janji apa?”
“Aa enggak akan ngelakuin hal itu sebelum nikah.”
“Janji sama siapa?”
“Mantan aa, Mas Rian.”
Oh … jadi ini penyebabnya. Tidak bisa dibohongi, tubuh Malik langsung seperti habis diguyur air es, dingin.
“Tapi kan aa udah enggak sama dia. Aa sekarang sama Malik.”
Iya, Malik. Hilman paham bahwa hati juga raganya sekarang hanya untuk Malik. Tapi apa yang bisa Hilman perbuat jika rasa bersalah masih menggerogoti hati miliknya, hingga satu-satunya yang bisa Hilman lakukan adalah memegang janji.
Namun Hilman bungkam.
Tidak ada pembelaan berarti yang keluar dari mulutnya.
Malik lepas satu tangannya dari genggaman Hilman, ia gunakan tangan itu untuk belai pipi Hilman perlahan. “You have to know that with me, you can do anything, sweetheart. Anything. We don't have to do sexual intercourse, tapi aku bisa bantu kamu buat pelepasan. We can take a baby steps.”
Mendengar ucapan Malik yang meyakinkan dirinya untuk bebas dalam bertindak buat Hilman kembali memikirkan fantasi-fantasinya selama ini. Hilman menggeleng kuat, “Aa takut kamu anggep gila.” Karena iya, bisa dibilang, Hilman gila dalam pikirannya jika sudah berkaitan dengan fantasinya dalam melakukan hubungan seksual.
“Hey, I don't mind. Just, tell me …. Kamu mau apa? Kalau misal aku enggak nyaman, aku pasti bilang sama kamu.”
Hilman beranikan diri untuk menatap Malik. Lalu ia gelengkan kepalanya, “bobo aja, yuk?”
Mendengar permintaan Hilman, buat Malik tertawa hambar. “Kamu tuh … terserah lah.” Lalu Malik membalikan tubuh, punggungi Hilman dalam aksi kecewanya.
Melihat Malik yang langsung tertidur begitu saja membuat Hilman lagi-lagi, merasa begitu bersalah. Dapat ia lihat jelas tadi raut wajah kecewa Malik. Ia dekati tubuh Malik, kemudian ia usap dan cium bahu yang lebih muda, berharap bisa salurkan permintaan maafnya.
“Maaf …”
“Kamu masih sayang sama mantan kamu itu?” Malik bertanya tanpa membalikkan badan.
“Hah?”
“Kurang jelas emang pertanyaan aku?”
Hilman tarik pundak Malik agar lelaki itu menatap wajahnya langsung. Agar Malik bisa lihat kejujuran pada sorot matanya, bahwa tidak, rasa sayang Hilman untuk Mas Rian sama sekali sudah tidak bersisa.
“Aa nepatin janji cuma ngerasa ada hutang, Lik. Bukan karena masih sayang.”
Malik menggeleng, senyum sedih muncul di wajahnya. “A … tapi Malik bukan dia. Janjinya aa sama Mas Rian, enggak ada hubungannya sama Malik.”
Oh, momen di mana Hilman sadar bahwa yang ia lakukan hanyalah bentuk dari kesia-siaan juga sebuah kesalahan. Karena bukan hanya dirinya yang tersiksa akibat menahan diri, Hilman juga secara tidak sengaja sudah melukai Malik selama ini.
Malik melihat Hilman yang dahinya masih mengkerut, juga bibir Hilman yang bergetar akibat dari kata yang ingin ia keluarkan namun berakhir tidak ada apa-apa. Malik tarik Hilman agar berakhir dalam dekapnya. Ia usap punggung yang lebih tua, usahanya untuk menenangkan.
“Maaf …” Hilman berkata sarat akan keputusasaan.
“Dibanding minta maaf, Malik maunya aa bilang apa yang aa mau.” Karena bagi Malik, tindakan Hilman dua minggu ke belakang lebih baik diperjelas dibanding keduanya sama-sama saling menerka.
“Aa takut kamu anggap aneh, Lik.” Ucap Hilman takut. Karena dalam fantasinya, Hilman tidak bisa mengontrol apa yang ia mau, berpikiran liar bagai manusia yang kurang bermoral.
“Try me.” Malik menantang.
Mungkin iya, mungkin ini saatnya fantasimu ada yang direalisasikan, Hilman. Jangan terlalu takut. Manusia lain memang tugasnya menghakimi. Tapi ini Malik, yang tidak perlu kamu takutkan penghakimannya. Karena sejujurnya, Malik sama gilanya seperti kamu.
Hilman lepaskan dekapan Malik, ia tatap mata Malik dalam untuk mencari celah ketakutan. Tapi tidak ada, di sana … yang ada hanyalah sorot mata penuh keyakinan.
“Aa mau dicium sama kamu.” Akhirnya Hilman keluarkan fantasinya yang paling dasar.
Dan Malik, langsung sambut pinta Hilman dengan bawa tubuhnya agar berada di atas yang lebih tua. Ia cium Hilman seperti waktu-waktu yang lalu. Awalnya penuh kelembutan, saling sesap merasakan kenyal pada bibir masing-masing, nikmati sensasi lidah yang sesekali menjilat bibir bagian luar dan dalam.
Harus Hilman akui, ciuman Malik begitu memabukkan. Hilman mengalungkan dua tangannya di leher Malik, ia usap tengkuk Malik dan memainkan rambut belakang yang lebih muda.
Ciuman yang lembut itu berakhir dengan ciuman yang menuntut. Dapat Hilman rasa Malik menciumnya dalam. Wajahnya dimiringkan agar posisi bibirnya dan Hilman saling rapat sempurna. Malik hisap bibir bawah Hilman yang penuh, hasilkan erangan dari kekasihnya itu. Lalu Hilman rasakan bibirnya digigit dan ditarik, buat kewarasannya pun serasa ikut tertarik.
Udara kamar kos Malik malam ini terasa lebih dingin dibanding malam yang lain. Tadinya Hilman sependapat, tapi kini tubuhnya terasa panas dibakar gairah untuk menjalin cinta. Kedua tangannya yang mengalung di leher Malik ia lepaskan, ia dorong pelan tubuh Malik dalam pintanya agar memberi kesempatan untuknya menarik napas panjang setelah ciuman panjang.
Malik dengan napasnya yang memburu menatap Hilman yang dua matanya sudah sayu. Ia usap bibir Hilman yang basah mengkilat dihiasi liur keduanya yang bercampur. Lalu Malik berkata dengan suara rendahnya, “cantik, kesayangan aku cantik banget,” untuk Hilman, dalam keadaan bibir yang terbuka dan membengkak.
Bibir yang lebih muda tidak sabar untuk menjamah kembali tubuh kekasihnya. Kini bibir itu mendarat pada leher Hilman yang sudah agak lembab karena keringat. Buat wangi tubuhnya makin menguar bersamaan wangi sabun mandi yang tadi ia kenakan. Malik berikan kecupan-kecupan ringan di sana dengan bibir yang terbuka, buat Hilman merasakan sensasi geli hingga tubuhnya sedikit bergetar.
“Bayi …”
Malik tidak memperdulikan panggilan Hilman. Kecupan ringannya kini berganti dengan jilatan dari selangka menuju telinga. Malik gigit-gigit kecil telinga Hilman yang sudah memerah sewarna tomat. Tindakannya ini makin buat nafsu Hilman makin di ujung tanduk.
Maka mungkin ini saatnya fantasi Hilman di tahap dua ia utarakan.
“Bayi …” Hilman mengawali dengan berkata tepat di telinga Malik. “Kamu … mau minum susu?”
Ucapan dari Hilman buat Malik seketika menyudahi kegiatan menggigit telinga Hilman. Karena kini, ia sudah membayangkan giginya akan menggigit yang lain. Malik tahu jelas arti ucapan dari yang lebih tua. Maka ia mengangguk cepat, takut-takut Hilman akan membatalkan keinginannya karena lama mendapat respon dari Malik.
“Yes … daddy, yes …”
Kedua tangan Hilman yang sedari tadi meremat ujung kaos yang ia kenakan, kini perlahan bergerak menarik kaos kebesaran itu ke atas. Mengeskpose perutnya yang halus dan rata. Malik dengan tangannya yang sedikit gemetar karena merasa terpana, menjelajah kulit halus itu dengan dua jarinya. Naik turun dari batas dada ke arah perut bawah.
“Ahn!” Napas Hilman tercekat merasakan telapak tangan Malik yang dengan perlahan masih bermain-main di atas pusar. Hilman lanjutkan menarik kaosnya makin ke atas, kini menampilkan puting coklat miliknya yang sudah terlihat menegang.
Jemari Malik langsung naik ke atas, menggoda puting Hilman dengan cara dielus cepat ke atas dan ke bawah. “Baru kayak gini aja udah tegang banget punya kamu.”
“Hnggh…” Hilman melenguh dengan tubuhnya yang bergerak gelisah. “Bayi, ayo… ayo minum susunya.” Rengek yang lebih tua terdengar menyusul.
Malik menunduk, mendekatkan wajahnya ke arah puting Hilman. Mulutnya kemudian menggantikan jemarinya, memainkan puting coklat itu dengan cara dijilat memutar.
Hilman sendiri matanya sudah memutar keenakan. Mulutnya tidak berhenti mengeluarkan suara “hmmhh … ahh …” yang menandakan bahwa dirinya sedang merasa bagai di atas awan. Tangannya kini berada di kepala Malik, menekannya agar tidak beranjak jauh.
Malik kini hisap puting Hilman dengan begitu kuat, seperti bayi yang sedang berusaha agar susu ibunya keluar. Matanya memejam menikmati sensasi keras dari puting Hilman berada di antara dua bibirnya.
Tubuhnya bergetar di bawah Malik yang masih asyik menyedot bergantian puting kiri dan kanan, sesekali digigitnya puting itu sampai Hilman merintih kesakitan.
“Hiks … jangan digigit, sakit.” Hilman menangis, tapi banyaknya bukan karena putingnya terasa perih, lebih banyak tangisnya datang karena merasa enak.
Malik tidak peduli. Entah berapa lama Malik memainkan kedua puting Hilman, yang jelas … pelepasan Hilman datang untuk pertama kalinya.
Tanpa miliknya disentuh.
Tubuh Hilman melengkung seraya penisnya mengeluarkan sperma. Membuat ada spot basah pada celana dalam hingga celana training yang ia kenakan.
Plop
Malik lepas puting Hilman. Ia mengelap bibirnya yang basah akibat dari liur yang menumpuk setelah menyusu tadi sembari memperhatikan kekasihnya di bawah sana, berantakan. Kaosnya sudah naik ke atas, wajahnya basah karena air mata, celana yang juga basah hasil dari pelepasan, serta dadanya yang membengkak.
Manis. Bahkan dalam kondisi seperti ini, Hilman terlihat mempesona. Dan Malik kembali jatuh cinta.
Malik cium bibir Hilman, seraya jemarinya menyapu rambut miliknya yang basah. “Malem ini udah cukup?” Tanya Malik pada Hilman yang masih memejamkan mata.
Hilman menggeleng. Matanya perlahan terbuka dan mengarah pada penis Malik yang masih tegang di balik celana kolornya. “Kamu belum keluar.”
“Aku bisa sendiri. Biasanya juga kan gitu.” Ucap Malik sambil tertawa.
Tanpa Malik duga, Hilman bergerak membuka celana miliknya yang sudah basah. Menampilkan setengah tubuh Hilman yang begitu indah. Pahanya terlihat begitu ramping juga halus, dan di antara dua paha itu, penis miliknya berwarna merah dan basah, ada sisa putih di sana.
“Sayang ….” Malik menahan napas melihat pemandangan di hadapannya.
Tanpa menghiraukan perkataan Malik, Hilman bangkit dari tidurnya, lalu ia memanuver tubuhnya agar berada di atas Malik. Pantatnya yang tidak tertutupi apapun kini menempati pangkuan Malik.
Malik sendiri kini memposisikan diri bersandar pada ranjang. Ia biarkan Hilman bertindak sesukanya, termasuk saat Hilman lepas juga celana basket yang ia kenakan. Kejantanan miliknya langsung terbebas, menjulang keras karena belum menjemput ujungnya.
“Kali ini biarin aa bantuin kamu.” Ujar Hilman, sebelum ia pegang kejantanan Malik dan ia satukan dengan miliknya.
Ini, adalah fantasinya di tahap tiga. Di mana ia bisa keluar hanya dengan memejamkan mata dan membayangkan paha dan penis milik kekasihnya. Kali ini, fantasinya menjadi nyata.
Hilman kocok dua batang yang mengeras itu menggunakan satu tangannya, sedang tangan yang lain ia gunakan sebagai tumpuan di bahu Malik. Dalam hati Hilman sedikit bersyukur, sisa dari pelepasannya tadi membuat kocokannya tidak begitu kering hingga ia bisa dengan mudah menggerakkan tangannya ke atas dan ke bawah. “Punya kamu … gede bangethh.”
Malik tertawa, kepalanya sudah bersandar di kepala ranjang dengan pasrah. Matanya memejam menikmati miliknya yang diurut berbarengan dengan milik Hilman. Dua tangan Malik ia tempatkan pada pinggang Hilman yang begitu ramping.
“Suka?” Tanyanya menggoda.
“Hmhh, suka … pas banget di tangan aa.”
Kocokan Hilman semakin cepat, buat Malik menggeram dalam nikmatnya. Namun sebelum dirinya ejakulasi, Hilman menghentikan pergerakan tangannya. Ia lepas penis Malik, lalu dua tangannya kini berada di pundak Malik yang masih tertutup kaos.
Sebelum Malik sempat melayangkan protes karena Hilman berhenti, ia dapat merasakan pinggul yang lebih tua bergerak naik turun di atas pangkuannya, buat Malik semakin menggeram dan mencengkram pinggang Hilman kuat.
“Argh… sayang …”
“Ah … ah … hah … ah …” Hilman meracau sambil terus menaik turunkan pinggangnya. Membuat penisnya beradu dengan milik yang lebih muda di bawah sana.
“Hngh— en..nak …” kini Hilman menggerakkan pinggulnya memutar, kemudian ia memaju mundurkan pantatnya dengan tekanan, agar penisnya yang sudah kembali tegang bisa merasakan gesekan dengan milik sang kekasih.
Mundur, maju, mundur, maju.
Wajah Hilman bersembunyi di antara ceruk leher Malik. Ia kembali menangis akibat nikmat yang ia rasa. Tangannya kini sudah mengalung di leher Malik dan buat tubuh mereka semakin tidak berjarak.
“Kamu mau aku masukin?”
Hilman menggeleng ribut. Karena ia merasa belum saatnya. Sekarang, begini saja sudah cukup.
“Enggakh … nanti ya, bayi … ahh … nanti.”
Malik mengangguk, kini ia peluk pinggul Hilman sembari bantu menekan-nekan agar penis keduanya bersinggungan.
“Hiks, aa mau keluar lagi.”
“Iya … hhh … keluar aja sayang, jangan di tahan.”
Karena Malik, juga sebentar lagi akan jemput nikmatnya.
Malik tidak ikut diam saat ia merasa bahwa cairannya sudah berada di ujung. Ia ikut menaik turunkan pinggulnya, merasakan kulit pantat Hilman yang bergoyang juga penis mereka yang sama-sama tegang.
“Ahh … bayi …” ucap Hilman dengan tubuhnya yang bergetar. Hilman peluk erat yang lebih muda saat pelepasannya datang.
“Aaarghhh,” pun begitu Malik, pundak Hilman ia gigit untuk mengubur erangan saat putihnya keluar.
Tubuh Hilman ambruk dalam pelukan Malik. Merasa lemas sekujur tubuh dengan keringat yang membanjiri. Bagian bawah keduanya lengket, pada paha juga perut dihiasi sperma yang bercampur.
Malik usap punggung telanjang Hilman karena kaosnya masih naik sebatas dada, merasakan sang kekasih masih mengatur napasnya yang tersengal. Ia kemudian beri ciuman di leher Hilman.
“Love you.”
Hilman malah merangsek makin peluk yang lebih muda. “Malu…”
Tawa Malik terdengar, ia goyang-goyangkan tubuh keduanya ke kanan dan ke kiri. “Kok malu sih?”
Dapat Malik rasakan gelengan di ceruk lehernya. “Hngh … malu aja.”
Tawanya mereda, Malik kembali beri ciuman di belakang telinga Hilman. “Makasih ya, sayang. Makasih karena akhirnya kamu bilang maunya apa.”
Kini Hilman mau beri jarak untuk tatap Malik dalam. Sebelum ia mengutarakan apa yang ingin ia ucap, Hilman terlebih dahulu beri bibir Malik satu ciuman panjang.
“Sama-sama. Maaf karena bikin kamu mikir bahwa kamu belum pantes buat sampai di tahap ini. Bukan, Lik. Sama sekali bukan gitu maksud aa.”
Malik mengangguk, tangannya sedari tadi tidak berhenti mengusap kulit punggung Hilman menenangkan.
“Love you, bayi. You deserve all of me.”
“God, I love you so much.”
“Aa juga sayang sekali sama kamu.”
Mereka bertukar ucapan cinta tanpa peduli hujan yang hanya menyisakan gerimis, tanpa peduli dingin kamar yang masih ada, tanpa peduli bagian tubuh bawah keduanya masih belum dibalut apa-apa. Karena kini, yang dirasa keduanya hanya ada hangat, dari cinta yang terbakar.
FIN