CHAPTER 2
A KISS
“Ma, perih banget.” Donghyuck yang masih berusia 7 tahun menangis di pangkuan Mama, dan Mama masih setia mengusapi punggung Donghyuck untuk menenangkan. Bahu Donghyuck menampilkan lecet, tidak mengeluarkan banyak darah, namun cukup menimbulkan perih bagi tubuhnya yang masih kecil dan belum bisa menahan luka.
“Maafin Mama ya sayang ... Maafin Mama.” Chungha terus menerus meniup bahu Donghyuck, berharap bisa meredakan perihnya sesaat setelah ia mengoleskan salep di kulit Donghyuck.
Rengekan Donghyuck semakin kencang, rasanya bahu miliknya semakin terbakar setelah diolesi salep. Chungha yang mendengar anaknya menangis ngilu tentu tidak tega. Maka ia memberikan sugesti untuk Donghyuck, sebuah aturan baru yang semoga dapat mengalihkan pikirannya dari rasa sakit.
“Donghyuck sayang, hey ... hey dengerin Mama.”
“Ap ... Apa Ma?” Jawab Donghyuck dengan terbata karena dirinya masih menangis.
“Kamu tahu enggak, Mama punya kekuatan yang bisa sembuhin sakitnya kamu. Donghyuck mau coba?”
Donghyuck mengangguk cepat, ia hanya ingin segera tidak merasa sakit.
Lalu Mama mencium area dekat luka Donghyuck. Menciumnya sekali, dua kali, tiga kali sampai Donghyuck tertawa geli.
“Mama! Mama kok dicium?”
Mama tersenyum, merasa lega caranya berhasil. “Itu kekuatannya. Kalau kamu ada yang luka, nanti Mama cium luka kamu supaya enggak sakit lagi, ya?”
Kembali, Donghyuck mengangguk mengerti. Meskipun rasa perih di bahunya tidak benar-benar hilang, namun nyatanya ciuman Mama terbukti memberikan rasa nyaman.
[]
Dan untuk pertama kalinya, kekuatan itu diberikan oleh Mark- bukan oleh Mama.
Seperti hari-hari biasanya, Donghyuck akan mengikuti Mark kemanapun ia pergi. Ke kantin, taman sekolah, perpustakaan, bahkan saat Mark sedang berkumpul bersama teman-temannya.
Jam istirahat 15 menit lagi akan habis, dan Donghyuck sedang menghabiskan bekal dari Mama saat duduk di bangku taman, melihat Mark yang sedang bermain bola dengan teman satu kelasnya.
Naas- bola yang ditendang oleh Hendery mengenai kepala Donghyuck. Kejadiannya begitu cepat, dua detik lalu Donghyuck sedang fokus mengunyah apel miliknya, lalu sedetik kemudian apel itu jatuh, diiringi kepala Donghyuck yang terasa nyeri juga pusing karena terkena tendangan bola.
Teriakan panik langsung terdengar diiringi langkah seribu anak-anak kelas empat. Tanpa banyak kata, Mark langsung menggendong Donghyuck yang terlihat linglung dan tidak menjawab saat ditanya. Menghiraukan Hendery yang sibuk mengucap kata maaf untuk Donghyuck.
Meskipun tubuh Donghyuck terasa cukup berat, namun Mark tidak memperdulikan hal tersebut. Yang penting Donghyuck harus dibawa ke UKS sekolah, Donghyuck tidak boleh terluka- karena itu akan melanggar perjanjiannya dengan Bunda.
Mark harus menjaga Donghyuck.
Tiba di UKS, Donghyuck terus menerus memegangi kepalanya saat ia diperiksa oleh penjaga kesehatan di sana.
“Sakit?”
Donghyuck hanya mengangguk. Mark terlihat gugup di pojok ruangan, memperhatikan tiap tindakan yang Bu Retno lakukan untuk Donghyuck.
“Syukurlah enggak ada yang berdarah, kita kompres kepala kamu pakai air es ya? Biar meringankan sakitnya. Kamu istirahat dulu di sini sampai jam pulang. Kalau masih di rasa pusing, kita ke rumah sakit.”
Setelah membawakan ice bag, Bu Retno meminta Mark untuk membantu mengompreskannya di kepala Donghyuck karena beliau ada rapat dengan Kepala Sekolah. Mark mematuhi, rela membolos satu pelajaran terakhir demi menemani Donghyuck.
“Mangkanya, jangan ngikutin aku terus.” Mark berucap sebal. Jika bukan karena janji yang sudah ia ucap dengan Bunda- Mark tidak mungkin akan sebegininya.
“Aku cuma mau liat Kak Mark main bola kok.” Donghyuck berucap lemas. Kepalanya masih terasa berdenyut meskipun sedang dikompres dengan es batu.
Saat Mark tidak sengaja menekan terlalu keras, Donghyuck meringis.
“Maaf, sakit?” Mark bertanya, karena bagaimanapun ia tidak akan tega melihat seseorang terluka, meskipun orang itu sering membuatnya kesal.
“Sakit.”
“Yaudah sabar aja, inikan lagi diobatin.”
Donghyuck mengangguk, lalu ia teringat akan kekuatan Mama untuk menyembuhkan sakitnya. “Kak Mark.”
“Iya?”
“Cium.” Donghyuck berucap tanpa masalah. Sedangkan Mark- ia cukup kaget atas perkataan Donghyuck.
“Apaansih?!”
“Cium kepala aku.”
“Enggak.” Mark menolak dengan cepat.
“Tapi itu kekuatan yang bisa bikin sembuh. Mama suka cium luka aku biar aku gak sakit lagi.”
Mark tahu itu tidak mungkin. Mana mungkin luka bisa disembuhkan hanya dengan ciuman?
Tapi Donghyuck terus merengek, dan Mark tahu pasti jika inginnya tidak dituruti- Donghyuck akan mengadu pada Bundanya. Dan itu artinya, tidak ada Lego Dinosaurs untuk Mark.
“Kak, cium kepala aku biar sembuh...”
Mark bangkit dari duduknya, lalu tanpa banyak kata ia menunduk, mendekatkan bibirnya dengan kepala Donghyuck yang tercium seperti matahari. Dan dengan cepat ciuman itu terjadi. Tidak sampai dua detik, Mark mencium kepala milik Donghyuck.
“Udah, awas kalau masih bawel.”
Donghyuck memamerkan senyum lebarnya, “makasih, Kak. Aku udah enggak ngerasa sakit.”
[]
Dan ciuman penyembuh lainnya Mark selalu berikan saat Donghyuck terluka.
Entah saat keduanya menginjak masa SMP atau SMA- karena pada akhirnya mereka bersekolah di tempat yang sama. Kapanpun saat Donghyuck terluka, ia akan meminta Mark mencium lukanya agar ia merasa baikan.
Seperti yang terjadi saat mereka melaksanakan kemah SMP. Mark memapah Donghyuck yang berjalan dengan langkah terpincang ke belakang tenda paling pojok. Suasana sepi, mengingat yang lain sedang melaksanakan kegiatan Jelajah Alam. Tapi Donghyuck dipulangkan cepat ke perkemahan oleh Pak Tejo. Ia terluka saat jatuh menghindari serangga.
Mark sebagai Kakak Pembina yang bertugas menjaga tenda anak-anak bersama dengan Lucas dan beberapa rekan lainnya- tentu dikagetkan dengan hadirnya Donghyuck disertai langkahnya yang pincang.
Donghyuck diobati oleh Kak Yeri, lukanya sudah diperban dan diberi antiseptik juga betadine. Namun pandangannya tidak berpaling dari Mark. Ditatapnya Mark dengan kode yang hanya mereka tahu.
“Kak ...” Ucap Donghyuck memulai selepas Kak Yeri pergi untuk menyimpan kotak P3K.
Mark langsung mengerti kode dari ucapan dan tatapan Donghyuck. “Emang masih sakit?”
Donghyuck mengangguk.
Lalu Mark memapah Donghyuck, dan di sinilah mereka sekarang. Di belakang tenda tanpa penghuni, dengan Mark yang sudah berlutut di hadapan Donghyuck.
“Abis ini jangan rewel.” Mark berkata tepat sebelum membubuhkan kecupan di lutut milik Donghyuck.
Yang lebih muda hanya bisa mengiyakan, disertai pipi yang mulai merona akibat ciuman yang Mark beri di lukanya. Donghyuck merasa lebih baik.
[]
“Lo tuh pacaran kan sama Donghyuck?” Xiaojun langsung menuduh Mark yang baru saja mendudukkan pantatnya di kursi kantin.
“Atas dasar apa lo ngomong gitu?” Mark bertanya balik, agak kesal karena waktu istirahat miliknya terbuang 10 menit sebab Donghyuck memaksanya untuk menyicipi kue yang ia buat dengan sang Mama. Meskipun harus Mark akui, rasanya selalu enak. “Aheng mana? Gue dipesenin makan gak?”
Pada akhirnya, ia bertemu kembali dengan Hendery di SMA dan berteman akrab dengan Xiaojun. Lucas sendiri memilih SMA Negeri dibanding masuk Swasta bersamanya. Dan Donghyuck menyusul Mark memasuki sekolah yang sama satu tahun kemudian.
“Ya lo keliatan nempel banget sama dia. Kemana-mana pasti ada Donghyuck. Terus lo tuh nurut banget tiap dia minta ini itu.” Jawab Xiaojun, kemudian pandangannya mengedar ke sekeliling kantin untuk mencari keberadaan Aheng. “Lagi ngantri bakso sih tadi. Gue bilang sekalian punya lo beliin.”
Dalam hati Mark mendumal, Ojun tidak tahu saja bahwa itu semua Mark lakukan karena merasa tidak enak kepada Bunda. Tiap mereka berkumpul bersama orang tua Donghyuck, pasti Bunda dan Tante Chungha selalu bersyukur atas kedekatan mereka berdua. Sampai sekarang, Mark masih memegang janjinya untuk Bunda agar ia menjaga Donghyuck.
Meski terkadang Mark merasa sangat sesak.
Donghyuck selalu dan selalu mengikutinya kemanapun ia pergi. Mark tidak tahu sampai kapan ia harus terjebak bersama Donghyuck.
“Gue enggak ada hubungan apa-apa sama Donghyuck.” Mark berucap final.
Namun Ojun terus memandangnya dengan tatapan skeptis, seolah segala hal yang Mark ucapkan adalah dusta.
Aheng datang tidak lama kemudian, dengan dua mangkuk bakso berada di ke dua tangan miliknya. “Heh bantuin ini cepet, panas banget panas.” Ucap Aheng heboh begitu berada di depan Mark dan Xiaojun.
Mark membantu Aheng menurunkan mangkuk, ya bagaimanapun kan itu juga bakso miliknya. “thanks Heng.”
“Iyaaak.” Aheng menjawab sambil mendudukkan diri di kursi samping Mark.
Belum sempat Aheng menyuap, Xiaojun sudah menyela duluan. “Lo satu SD kan ya sama mereka?”
“Mereka siapa?” Aheng bertanya bingung.
“Mark, sama Donghyuck. Lo tahu Donghyuck kan?”
Aheng mengangguk heboh, bakso di mulutnya membuat pipi Aheng terlihat penuh. “Tahu! Tahu banget malah.”
“Pacaran kan nih bocah sama si Donghyuck?”
Mark berdecak, kenapa sih dia tidak bisa dibiarkan makan dengan tenang? Apa harus membahas Donghyuck saat ia makan? “Lo kenapa sih penasaran banget? Suka lo sama dia?”
Xiaojun tertawa gugup. “Ya kalau misal dia pacaran sama lo, gue akan mundur. Mangkanya gue tanya, lo pacaran gak sama Donghyuck?”
Aheng yang mendengar hal tersebut kini tertawa terbahak-bahak. “Mending lo nyerah aja Jun. Donghyuck tuh udah kepelet gua rasa sama si Mark. Dari zaman SD, ampe sekarang masih aja ngejar-ngejar.”
“Dih parah anjing, anak orang lo biarin berjuang sendiri.” Xiaojun berkata tidak terima.
“Gak gitu, Jun. Agak rumit aja hubungan gue sama dia.”
“Eh, Mark ... Tapi iya dah gua juga penasaran. Lu dikejar-kejar begitu, apa enggak muncul rasa balik suka sama doi?”
Mark menggeleng, kemudian ia kembali menyuap kuah bakso nya tanpa berminat menambahkan penjelasan.
Setelahnya hening beberapa saat, sampai akhirnya Xiaojun terdengar mengambil napas panjang dan berkata, “harusnya lo kasih kepastian sih. Bilang aja menurut gue kalau lo gak suka sama Donghyuck. Kasian, kalau dia terus ngejar lo begitu. Gue yang ngeliat juga jadi ikut bingung. Lo enggak nolak tiap dia minta ini itu sama lo, tapi lo juga bilang gak ada rasa sama dia. Tiati karma, bro.”
Mark hanya bisa bergeming mendengar ucapan temannya.