daisyellow

Content warning : nipple play, breastfeeding.

Be wise. Konsumsi konten sesuai umur kamu ya 🙇🏻‍♀️


Di umur satu tahun pernikahan Donghyuck bersama Mark, pemandangan bibir yang lebih tua berada di atas puting miliknya menjadi rutinitas yang tidak pandang waktu.

Seperti malam ini. Mark sudah berkata bahwa ia akan pulang tidak terlalu larut, namun nyatanya setumpuk file kembali diberikan oleh Pak Jo, berkata bahwa file ini tidak bisa ditunda pengerjaannya, dan berakhir Mark yang musti pulang larut malam.

Mata Donghyuck mengerjap pelan, kantuk masih dirasakan saat ia merasa tubuh Mark ikut berbaring di sampingnya. Harum sabun menyeruak, pertanda bahwa suaminya sudah terlebih dulu membersihkan diri sebelum bergabung bersamanya di tempat tidur.

“Yang, mau mimik ...” Mark berbisik dengan mata yang masih memejam.

“Kok malem banget pulangnya?” Donghyuck bertanya di tengah kantuknya. Tubuh masih miring membelakangi Mark, mata miliknya juga masih terpejam.

“Sorry, Pak Jo tiba-tiba ngasih kerjaan lebih. Where's my hug? Tanya Mark menagih janji.

Terlalu mengantuk, ucapan sang suami tidak langsung Donghyuck gubris. Tubuhnya masih memunggungi yang lebih tua, dan Donghyuck dapat merasakan helaan napas teratur mulai menerpa tengkuk miliknya.

Donghyuck pikir Mark memilih untuk langsung saja tidur karena tidak lagi meminta, namun nyatanya pelukan yang mengerat menjadi pertanda bahwa Mark masih ingin.

“Sayang ...” Mark kembali bergumam, disertai jemari nakal yang mulai menarik kaos tidur Donghyuck agar ia dapat merasakan kulit halus perut yang lebih muda. Diusapnya perut Donghyuck sampai membuat napasnya tercekat karena sensasi geli yang ditimbulkan.

“Mas, emang gak capek? Besok aja mau? Mending sekarang bobo.” Donghyuck berucap dengan mata yang masih tertutup. Namun kini tubuhnya ia posisikan untuk menghadap ke atas, tidak lagi memunggungi Mark.

Saat dilihatnya Donghyuck sudah merubah posisi, Mark langsung bangun dari posisi tidurnya. Menatap ke bawah ke arah sang suami dengan senyum kecil.

“Capek, tapi tidurnya mau sambil mimik dan dipeluk. Boleh?”

Apapun kondisinya, Mark selalu menanyakan ketersediaan Donghyuck terlebih dahulu. Karena jika suaminya itu menolak, Mark akan menghargai dengan tidak melakukannya.

Dan hal tersebut yang selalu membuat hati Donghyuck menghangat. Mark and his consent.

Maka Donghyuck mengangguk untuk menjawab tanya yang lebih tua.

Persetujuan dari Donghyuck menghasilkan senyum yang lebih lebar di bibir Mark, tangannya kemudian mulai menyikap kaos tidur yang Donghyuck kenakan sampai sebatas ketiak. Menampilan dua puting berwarna cokelat yang tidak sabar ia jamah.

Direndahkan tubuh miliknya, lalu Mark cium ujung bibir si kekasih hati, ciumannya turun ke dagu, lalu ke leher dan berakhir di salah satu puting cokelat Donghyuck.

Tubuh Donghyuck bergetar merasakan geli juga hangat dari bibir milik Mark. Suaminya kini sudah menempatkan dirinya berbaring di samping Donghyuck tanpa melepas bibir dari putingnya. Posisi kepala Mark sejajarkan dengan dada yang lebih muda dan lengan kanan Donghyuck dijadikannya sebagai sandaran.

“Miring dikit yang badannya.” Mark melepas kulumannya sejenak, meminta Donghyuck untuk membenarkan posisinya.

Kemudian Donghyuck melakukan tanpa banyak kata. Badannya miring ke arah Mark, membuat dadanya dengan mudah dapat diakses oleh mulut sang suami. Satu tangan Donghyuck yang tidak menjadi bantalan mengusap-usap rambut pendek Mark.

“Comfy?” Tanya Donghyuck dengan suara serak khas mengantuk.

“Hm.” Mark menjawab singkat.

Tanpa menunggu lama setelah mendapat posisi yang nyaman, mulutnya mulai menete lagi pada puting Donghyuck. Dihisapnya puting itu pelan, menikmati sensasi lembut juga empuk dada yang lebih muda pada mulutnya.

Puting Donghyuck yang mengeras Mark tekan-tekan menggunakan ujung lidah, dan hal tersebut sukses mendatangkan desah nikmat dari mulut Donghyuck.

“Hnnhh ....”

Dirematnya rambut milik Mark sebagai penyalur nikmat yang Donghyuck dapat. Mulutnya terbuka tanpa suara di tiap jilatan yang Mark lakukan pada sekeliling dadanya.

Kaki mereka sudah saling mengapit, yang artinya badan mereka mempunyai jarak sempit.

Debar jantung Donghyuck yang dapat Mark rasa seakan menjadi lullaby tidurnya. Dan begitu saja, kesadaran Mark perlahan kembali lenyap dengan keadaan mulut masih menempel pada dada Donghyuck.

Menyadari napas Mark yang sudah kembali teratur, mata Donghyuck terbuka sebelah untuk memastikan bahwa suaminya sudah kembali tertidur.

Dengan cepat Donghyuck cium kening Mark saat dilihatnya yang lebih tua sudah benar-benar kembali ke alam mimpi.

“Bayi gede. Jangan sedih lagi.” Gumam Donghyuck setelah mengecup kening Mark. Dan Donghyuck menyusul untuk menjemput kantuknya. Donghyuck naikkan selimut sampai sebatas perut untuk menutupi tubuh Mark tubuh miliknya karena kaos yang ia gunakan masih tersingkap sampai ketiak.

[]

Atau disaat Mark butuh menghilangkan suntuk ketika pekerjaan begitu menumpuk. Tidak jarang Donghyuck musti menemani Mark beberapa saat di ruang kerjanya karena ia meminta.

“Mending minum susu anget enggak sih, Mas?” Ucap Donghyuck yang sudah memposisikan diri di pangkuan Mark.

Donghyuck yang baru datang ke ruang kerja sang suami sudah ditodong untuk duduk di pangkuannya. Di atas kursi putar yang belum Mark tinggalkan selama tiga jam terakhir.

Mark menggeleng. Diusapnya wajah Donghyuck penuh sayang ketika ia menjawab, “Mas cuma mau kamu aja. You are my stress reliever.”

“Tapi abis ini janji mau turun buat makan malem? Perut kamu dari pulang kantor belum diisi. Kamu tuh kalau gak pulang malem, ya kerjaan sampe dibawa ke rumah. Sama aja boong.”

“Mas masih kenyang sayang,” Mark tertawa pelan, “mau gimana, kalau gak diturutin ya paling kena semprot.”

Alis Donghyuck mengerut mendapati tingkah Mark yang keras kepala. Mark dan kebiasaan lupa makan saat bekerja menjadi musuh utama Donghyuck selama ia kenal dengannya.

Maka Donghyuck menyikap kedua tangan miliknya di depan dada. “Yaudah, enggak ada nyusu ke aku.”

Raut wajah sedih Mark tampilkan, “yang, please ....” kini bahkan ia merajuk.

“Abis ini makan, atau enggak mimik sama sekali.” Ucap Donghyuck final.

Mark menghela napas panjang sebelum mengiyakan, “yaudah iyaaa. But you can't decide when I can stop ya?”

“Okay.” Donghyuck menyetujui.

Mark dan senyum bahagianya sesaat sebelum menyusu adalah pemandangan menggemaskan bagi Donghyuck.

“Aku seneng kamu pake piyama kancing gini daripada kaos.” Mark berkata seiring jemarinya dengan lihai membuka satu persatu kancing piyama tidur Donghyuck.

“Kenapa emang?”

“Lebih gampang aja kalau mau nyusu.”

Ucapan Mark tidak sempat Donghyuck jawab karena napas miliknya tercekat begitu bagian atas tubuhnya merasakan dingin ac. Dua lengannya Donghyuck taruh di pundah kokoh sang suami. Berusaha menyeimbangkan diri agar tidak terjatuh di tengah sentuhan Mark yang mulai menjelajahi kulit tubuhnya yang terbuka.

Piyama Donghyuck tertahan di siku miliknya yang tertekuk, membuat sepotong kain tersebut tidak jatuh ke lantai meskipun semua kaitnya sudah dilepas. Kepalanya menengadah ke atas saat dirasanya bibir Mark mulai menciumi bahu mulusnya.

Pegangan Donghyuck mengerat begitu lidah Mark mulai beraksi, menjilat sepanjang tulang selangka, meninggalkan jejak basah di tubuh bagian atasnya.

“Mas ...” Donghyuck terengah.

Bagaimana tidak, penjelajahan lidah milik Mark bermuara di lipatan ketiak Donghyuck. Diciumnya lipatan ketiak itu rakut, hidungnya menempel erat seolah ingin menghirup wangi sang kekasih hati yang begitu memabukkan. Donghyuck dan ketiak halusnya yang tidak pernah ditumbuhi bulu, akan menjadi salah satu spot favorit Mark untuk melabuhkan ciuman miliknya.

“Mas, geli— ah...ahn...” Bahkan kini napas Donghyuck terdengar bergetar. Menahan panas yang mulai bermuara di bagian perutnya.

Tangan Mark kini mulai mengusap payudara sebelah kanan Donghyuck. Perlahan mulai merasakan bagian tengahnya yang cepat menegang.

“Mas mulai mimik, ya?” Mark kembali meminta izin.

Donghyuck yang masih menengadah mengangguk perlahan. Tidak sanggup dirinya jika harus bersirobok tatap dengan Mark.

Dan bibir Mark mulai memagut dada mungil sang kekasih hati. Langsung Mark hisap dengan kencang puting coklat yang sudah sedari tadi ia bayangkan. Membuat tubuh Donghyuck gemetar di atas pangkuannya.

“Ahh... Hnnnhhh...”

Mark terus menyedot hingga pipinya mengempot. Merasakan sensasi nikmat pentil tegang Donghyuck di ujung lidah miliknya. Geraman Mark keluarkan.

“Enak banget. Mimik kamu paling enak, Hyuck.”

Satu tangan Donghyuck pindah ke belakang kepala Mark. Sedikit menjambak rambut hitam pendek yang lebih tua untuk menyalurkan nikmat, dan kemudian Donghyuck dorong agar wajah Mark terus menempel pada dadanya.

“Hngghhh, terusin nete nya.”

Mendapat dukungan dari yang lebih muda, Mark melanjutkan aksinya sedikit lebih berani. Kini mulutnya berpindah ke dada sebelah kanan Donghyuck, meninggalkan dada kiri yang lebih muda dengan keadaab membengkak dan penuh air liur, begitu basah.

Digeseknya pentil kanan Donghyuck menggunakan gigi atas dan bawah miliknya, yang tentu saja menghasilkan ringisan dari sang suami.

“A..awh, jangan gigit. Sakit.”

Mark mengangguk, lidahnya kemudian menjilat memutari puting tersebut dengan harapan menghilangkan sakit akibat gigitannya tadi.

Mark kembali menyedot pentil Donghyuck kuat. Menghasilkan suara basah layaknya ia tengah mencumbu bibir milik Donghyuck.

Entah berapa lama Mark menete pada Donghyuck, namun yang jelas tubuh Donghyuck sudah mulai kelelahan. Donghyuck peluk leher milik Mark. Membiarkan suaminya itu membenamkan wajahnya sambil masih menyusu dengan tempo yang sudah memelan. Namun bibir Mark masih setia menempel pada dadanya, masih enggan beranjak dari sana.

“Kapan selesainya? Aku pegel duduk kayak gini.” Donghyuck berkata lirih, sedikit mengantuk.

Plop

Sampai akhirnya terdengar suara mulut Mark yang melepaskan kuluman di dadanya.

Mark menengadah, jemarinya menarik dagu milik Donghyuck, membawa Donghyuck untuk menatap kedua mata yang lebih tua.

“Iya, ini udah.”

Donghyuck mengerjap-ngerjap pelan karena kantuk mulai menyerang.

“Oke. Yuk, kamu makan.”

Dikancingkan kembali piyama yang Donghyuck kenakan, kemudian Mark kecup ujung hidung dan bibir Donghyuck penuh sayang.

“Kamu bobo aja, Mas abis ini beneran makan.”

“Bohong gak?”

Mark tertawa, diciumnya kembali bibir Donghyuck. Karena ia mau, karena ia bisa.

“Enggak sayaaang. Beneran, makan. Kamu bobo, ya? Abis makan, Mas mau kelarin kerjaan dulu. Nanti nyusul kamu bobo.”

Kemudian Donghyuck mengangguk.

“Makasih ya, udah mau nurutin mau Mas.”

Donghyuck kembali mengangguk, namun kali ini disertai ucapan, “bayar, gak gratis tau.”

“Bayar pake apa?”

“Gendong sampe kamar.”

Dengan mudah Mark membawa tubuh Donghyuck dalam gendongan seperti koala.

“Baik, yang mulia.”

Akibat ucapannya ini, Mark mendapat hadiah berupa cubitan di pinggangnya.

[]


“Hyuck enggak bisa, Ma.”

Ponsel yang terjepit menggunakan bahunya tidak menghalangi Donghyuck untuk terus mengetikkan rekap penjualan hari ini.

Bahunya mungkin terasa pegal, namun memutus sambungan telpon sang Mama sama dengan cari perkara. Maka sebisa mungkin Donghyuck menahannya. Apalagi isi percakapan ia dengan sang Mama bisa dibilang tidak menyenangkan.

“Ya harus bisa dong. Kamu pulang ke rumah aja udah dua bulan lalu lho. Masa hari Natal kamu masih aja sibuk?“

Menyerah, akhirnya Donghyuck putuskan untuk berhenti sejenak dalam bekerja. Ponselnya tidak lagi tertahan oleh bahu, namun kini Donghyuck pegang menggunakan tangan kirinya. Sedangkan tangan kanan Donghyuck kini sibuk memijit-mijit area atas batang hidungnya.

“Ma ... Kantor aku beneran enggak libur.”

“Yaudah, besoknya juga enggak apa-apa. Ini Johan bawa banyak kiriman buat kamu. Numpuk ini di rumah paket punya mu. Kamu kenapa enggak kasih tau dia alamat unit kamu yang baru sih ke Johan? Mama sama Papa juga gak dikasih tahu.”

Donghyuck menghela napas panjang saat nama lelaki itu disebut oleh Mama nya. “Aku enggak suka nerima barang dari dia.” Donghyuck menjawab singkat.

“Dasar. Udah lah, pokoknya Mama enggak mau tau. Kamu pulang ke rumah buat rayain Natal, telat sehari juga enggak apa-apa. Papa sama Mama mau bahas hubungan kamu kedepannya gimana sama Johan.”

“Hah? Apa yang mau dibahas sih Ma?”

Karena memang, tidak ada lagi yang perlu dibahas dari hubungan mereka. Donghyuck sudah putuskan untuk menjauh dari Johan sejak satu setengah tahun lalu semenjak Johan memilih mengkhianati dirinya.

“Ya kamu pokoknya pulang aja dulu.”

Tidak ... Tidak bisa seperti ini.

Maka Donghyuck putuskan untuk memberitahukan sang Mama mengenai orang yang dapat membuatnya lebih bahagia ketimbang Johan.

“Oke, aku nanti pulang. Tapi bukan buat bahas hubungan aku sama Johan. Aku pulang buat kenalin seseorang sama Mama dan Papa.”

“Hyuck? Kamu punya pacar? Siapa?  Sejak kapan?” Nada kaget sang Mama sangat jelas dari ujung telpon.

“Aku kenalin nanti. Ma ... Maaf aku harus tutup telpon nya. Pak Johnny manggil aku.”

Dan begitu saja, Donghyuck mengakhiri obrolan dengan orang tuanya.


“Serius, Yang?” Mark bertanya dengan begitu semangat di tengah makan malamnya, saat Donghyuck memberitahu dirinya untuk ikut ke acara keluarga sang kekasih.

Mark dapat berkata bahwa ini adalah salah satu momen yang sangat ia tunggu-tunggu. Hampir satu tahun menjalin hubungan dengan Donghyuck, baru kali ini Donghyuck mengenalkan keluarganya kepada Mark.

Biasanya Donghyuck akan menolak ketika Mark ingin ikut saat dirinya pulang ke rumah. Mengatakan bahwa ia hanya akan sebentar, atau dirinya belum siap, dan berbagai alasan lainnya yang Mark iyakan dengan sabar.

“Iya, tanggal 26 kamu senggang kan?”

Mark mengangguk. “God ... I can't believe this time has finally come!” Mengulurkan tangannya, Mark genggam tangan yang lebih muda. “Thank you, sweetheart. Akhirnya kamu izinin aku ketemu sama keluarga kamu.”

Dalam hati, Donghyuck merasa bersedih melihat senyum Mark yang begitu lebar. Karena ia tahu jelas apa yang akan terjadi saat membawa orang lain yang bukan Johan ke rumah miliknya yang bagaikan neraka.

Senyum kecil Donghyuck tampilkan. Kemudian ia balik genggam tangan Mark lebih erat. “Just ... Please, don't expect too much from my family.“

Aku takut kamu sakit hati. Aku takut mereka nyakitin kamu. Aku takut ... Aku takut ... Aku takut ...

Namun seiring jemarinya yang dikecup oleh Mark, Donghyuck berusaha meyakinkan diri saat Mark berkata, “don't say that. Aku percaya keluarga kamu bakalan baik sama aku.”

Semoga kepercayaan Mark tidak dihancurkan oleh Donghyuck dan keluarganya.


Mungkin benar adanya. Mungkin perkataan Donghyuck lima hari lalu harus Mark turuti. Bahwa seharusnya ia tidak berharap begitu banyak.

Bahkan ini lebih menyakitkan dari yang Mark perkirakan.

Di meja makan, suasana canggung berlangsung sejak awal kedatangan dirinya bersama Donghyuck.

Tidak ada sapaan hangat, tidak ada pelukan, tidak ada senyum tulus yang Mark dapatkan. Hadiah berupa champagne dari dirinya ditaruh begitu saja di atas meja. Mark merasa kurang dihargai sedari awal kedatangannya.

Lebih buruk, selama menyantap hidangan makan malam, Tante Gia terus menerus menyebutkan satu nama lelaki yang asing di telinga Mark. Tapi nama lelaki ini selalu disandangkan dengan segala hal baik oleh Mama kekasih hatinya.

“Kamu sudah berapa lama pacaran sama anak Tante? Enggak nyangka ternyata kalian tinggal bareng. Donghyuck enggak bilang apa-apa sama Tante lagi. Cuma bilang mau pindah ke unit baru. Ternyata sama kamu?”

“Hampir satu tahun, Tante. Iya, saya yang ajak Donghyuck untuk tinggal bareng. Maaf kalau Tante baru tahu.” Mark menjawab dengan senyum tulus.

Alis Gia terangkat, “wow sudah lama juga ya? Tapi kok anak Tante enggak ada bilang apa-apa sih ke Tante tentang kamu?”

Kemudian Gia memandang sang anak, “jangan-jangan kamu masih belum move on bener-bener ya dari Johan? Sampe enggak mau kenalin Mama sama pacar baru kamu ini.”

Donghyuck menatap sengit sang Mama. “Ma! Aku udah enggak sayang ya sama Johan. Tolong ... Bisa berhenti bahas dia?”

Gia tersenyum meremehkan. “Okay, sorry. Mark lulusan mana? Sekarang kerja di mana?”

“Saya lulusan Ilmu Komunikasi UI, Tante. Sekarang saya jadi editor di salah satu TV Swasta.”

“Oh gitu. Mark, kamu tahu enggak kalau mantannya Donghyuck itu lulusan luar negeri. Sekarang dia lagi business trip ke Dubai. Ya meskipun jarang pulang, tapi salary dia per bulan lebih gede lho dari salary kamu selama setahun.”

Donghyuck menunduk, memejamkan matanya mendengar sang Mama terus menerus meng-agungkan Johan. Kemudian mata Donghyuck menangkap jemari Mark yang mengepal di atas pahanya. Terlihat kekasihnya ini berusaha menahan diri.

Tanpa kata, Donghyuck raih kepalan tangan yang lebih tua. Ia urai tiap jemarinya dan kemudian ia tautkan dengan jemarinya sendiri.

Mark menoleh ke arah Donghyuck. Namun tautan tangan yang lebih muda tidak Mark balas lebih erat.

Atensi Mark kembali pada Gia. Lalu Mark tersenyum simpul. “Good for him.”

“Of course, good for him.” Gia tersenyum licik. “Karena salary dia yang besar mangkanya dia kirimi Tante tas mahal untuk hadiah Natal. Johan juga sering sekali kirimi Donghyuck hadiah. Tuh udah numpuk aja di kamarnya.”

Sang Mama kemudian kembali melabuhkan pandangannya pada Donghyuck. “Malam ini kamu nginep, ya? Kita buka kado-kado dari Johan.”

Mark rasanya ingin segera pulang. Berada di kediaman sang kekasih sama sekali jauh dari harapannya. Mama Donghyuck yang sedari tadi terus menerus membicarakan Johan, Papa Donghyuck yang hanya diam saja sambil menikmati hidangan, dan Donghyuck ... Bahkan pacarnya ini tidak melakukan pembelaan berarti untuk Mark.

Maka ketika jamuan makan malam itu telah berakhir. Mark berpamitan dan masuk ke dalam mobilnya. Tanpa Donghyuck berada di kursi kemudi, karena kekasihnya itu diminta untuk menginap malam ini di rumah orang tuanya.

Di sepanjang perjalanan menuju unit apartemennya, air mata Mark sesekali menetes. Malam ini harga dirinya begitu direndahkan. Entah apa yang akan terjadi dengan hubungannya dengan Donghyuck kedepan. Mengingat masa lalu sang kekasih ternyata belum selesai dengan sang mantan.

Mark tidak tahu. Mark sama sekali tidak tahu.


Namun saat dirinya menerima balasan pesan dari Donghyuck, Mark tidak ragu-ragu untuk kembali mengambil kunci mobilnya. Mengabaikan perasaan lelah juga hati yang masih terasa berat untuk kembali ke rumah Donghyuck.

Donghyuck ingin memeluknya. Itu yang menjadi pendorong terkuat bagi Mark untuk melewati jalanan lengang karena hampir tengah malam.

Butuh waktu kurang lebih 45 menit sampai pagar putih rumah Donghyuck tersorot lampu mobil milik Mark.

Mark memicingkan matanya, menjumpai sosok yang tidak asing sedang berdiri memeluk diri sendiri di tengah lampu remang yang menyoroti.

Dengan segera Mark keluar dari mobilnya begitu mesin sudah dimatikan. Menghampiri Donghyuck yang semakin dekat, semakin terlihat bahwa matanya sudah memerah karena tangis.

Tubuh Donghyuck langsung Mark bawa ke dalam pelukannya.

“Kok nunggu di luar? Kamu kedinginan lho ini.” Mark usap-usap bahu Donghyuck, berharap bisa memberikan efek hangat untuk yang lebih muda.

“Enggak apa-apa,” Ujar Donghyuck lirih, “aku enggak tahan di dalem rumah.” Kemudian kedua lengan Donghyuck melingkar di tubuh Mark. Ia tenggelamkan wajahnya di dada bidang sang kekasih.

Mark balik memeluk Donghyuck. “Aku belum minta izin sama Mama Papa kamu, Hyuck.”

“Enggak usah.” Mark dapat merasakan Donghyuck menggeleng dalam dekapannya. “Aku mau pulang sama kamu.”

“Hyuck ... Don't be like this.” Mark usap rambut Donghyuck perlahan. “Aku izin dulu, ya?”

Mark tidak menyangka Donghyuck akan mengeluarkan tawa. Tapi tawa Donghyuck yang ini terdengar begitu sedih.

“Kamu tuh ... Udah dibikin sakit hati sama Mama. Didiemin sama Papa, bahkan aku juga udah bikin kamu kecewa. Tapi bisa-bisanya kamu tetep mau izin sama Mama?”

Mark menarik wajah Donghyuck, ia ingin melihat wajah Donghyuck. Namun Mark dibuat terkejut saat ia menyadari, sebuah cetakan tangan berwarna merah berada di pipi mulus Donghyuck.

“Siapa yang nampar kamu?”

“Mama.” Donghyuck menjawab cepat. Satu tetes air matanya kembali turun.

“Oh God ... Oh my God, Sayang ...” Tangan Mark mengusap pipi Donghyuck. Suaranya sudah bergetar, ada amarah juga sedih bercampur di sana.

Ibu macam apa yang dengan tega bermain tangan dengan anak semata wayang yang ia punya?

“Mas, aku mau pulang. Aku mau pulang.”

Mark kembali memeluk Donghyuck. Ia kecup pelipis yang lebih muda menenangkan karena terdengar jelas dari suara Donghyuck bahwa ia mulai panik.

“Iya, iya kita pulang ya? Nanti Mas kompres pipi kamu. I'm so sorry you have to go through this.“

Langsung Mark bawa tubuh Donghyuck yang masih dingin ke dalam mobil. Mark menyelimuti tubuh Donghyuck menggunakan selimut yang selalu tersimpan di kursi belakang.

Sebelum menjalankan mobilnya, Mark kembali mencium puncak kepala Donghyuck yang kini sedang bersandar di sandaran kursi mobil dan memejamkan matanya.

“Makasih karena mas enggak pergi. Aku minta maaf kalau—”

Ucapan Donghyuck terhenti begitu Mark mengecup bibirnya cepat. “Mas enggak akan pergi. Udah ... Enggak apa-apa. Kamu enggak salah. Kita pulang, ya?”

“Iya, pulang.”

Karena di akhir hari, Donghyuck hanya ingin bersama Mark. Tidak mempedulikan omongan pedas sang Mama, tidak mempedulikan kotak-kotak hadiah dari Johan, tidak mempedulikan sang Papa yang juga tidak peduli terhadap dirinya.

Yang Donghyuck inginkan di akhir hari adalah Mark terus berada di sisinya. Menguatkan dirinya atas hidup yang kadang terasa begitu menyakitkan.

-Fin

JEALOUSY

Bukan ini yang Mark harapkan saat membawa Donghyuck menonton festival musik. Menyanyikan lagu bersama dengan tubuh saling merangkul adalah apa yang sudah Mark bayangkan sepanjang jalan.

Tapi yang Mark dapat malah Donghyuck yang sedari awal tidak henti memuji seorang drummer dari penyanyi terkenal.

“Wah asli, keren banget gak sih Mas!” Donghyuck agak berteriak di kuping milik Mark. Memastikan kekasihnya itu mendengar tiap katanya di antara bising musik yang menggema.

Mark tidak memberikan reaksi berarti. Mukanya masam, ia kepalang sebal.

“Look at that arm ... Oh my god ...” Ah, padahal menurut Mark tangannya biasa saja. Punya dirinya juga bagus, bahkan Mark sudah rutin nge-gym satu bulan kebelakang. Tapi kenapa Donghyuck belum notice bahwa ada perubahan dari dirinya?

“Mukanya kayak gak asing deh ...”

Satu perkataan Donghyuck yang ini berhasil membuat Mark memusatkan pandangannya pada yang lebih muda. “Kenal kamu sama dia?”

Donghyuck tampak berpikir. Lalu wajahnya berubah cerah saat ia dapat mengingat mengapa wajah si drummer tidak begitu asing.

“Oh! Pernah dm aku deh dia.”

Salah satu resiko berpacaran dengan orang yang memiliki jutaan subscriber di channel YouTube miliknya ya begini, banyak yang menghampiri Donghyuck. Padahal suara Mark pernah beberapa kali terdengar di video yang Donghyuck upload. Seharusnya itu sudah jadi red flag mereka untuk tidak mendekati Donghyuck, bukan? Karena Donghyuck sudah ada yang memiliki.

Wajah Mark bertambah masam. Kedua alisnya kini bertaut dan keningnya berkerut. “Dm gimana? Kamu bales?”

“Ya gitu, say hi aja. And he said he's admiring my make up skills.” Donghyuck menjawab sumringah, namun kalimat berikutnya ia jawab dengan nada penuh sesal. “Aku bales seadanya sih terus bilang makasih, dan waktu dia bales lagi, aku enggak tanggepin. Aaaa padahal aslinya orangnya keren ya, Mas. We can be friends!”

“Don't.” Mark menjawab singkat.

“Kenapa emang? Mas gak mau punya temen orang musik juga?”

“Just. Don't.” Nada ucapan Mark mengeras. “Temenan sama kamu bukan berarti bisa juga temenan sama aku.”

Mark kini membuang muka, menatap manusia-manusia lain yang sedang menikmati tiap bait lagu yang dilantunkan sang penyanyi. Mark berharap menjadi salah satu dari mereka. Namun dengan kejadian ini, bagaimana mungkin Mark dapat menikmati. Hatinya sudah dipenuhi rasa cemburu.

Terdengar kekanakan, tapi memang begitu keadaannya. Semenjak channel Donghyuck terkenal, ada rasa insecure dalam diri Mark. Ada perasaan bahwa banyak orang yang lebih baik dari dirinya yang mendekati Donghyuck. Pun juga mungkin Donghyuck berhak mendapatkan yang lebih baik dibanding Mark yang hanya seorang budak korporat.

“Pulang yuk?” Mark sudah tidak tahan saat dilihatnya Donghyuck masih memperhatikan lelaki yang sedang memegang stick drum di atas panggung.

“Hah? Kenapa? Kan belum kelar ...”

Ditatapnya Donghyuck dengan pandangan dingin. “Pulang, Mas udah gak mood.”

Melihat Mark yang terlihat marah, Donghyuck menelan ludah.

Mati deh gue. Beneran cemburu kayaknya.

[]

“Mas, marah ya kamu?” Donghyuck berjalan cepat, berusaha mengejar Mark dengan langkah lebar juga terburu nya untuk menuju parkiran.

“Enggak.”

“Mas Mark, jalannya pelan dikit. Betis aku pegel.”

Mark menghentikan jalannya, lalu menunggu Donghyuck dengan tampang datar hingga yang lebih muda sampai di sisinya.

“Mas ...” Donghyuck kembali membuka suara karena mereka kini berjalan berdampingan, namun Mark sama sekali tidak menggandeng dirinya.

“Iya, apa?” Mark menjawab ketus. Hal ini tentu membuat Donghyuck sedikit kaget.

Mendapati respon Mark yang seperti itu, Donghyuck memilih mengurungkan niatnya. “Gapapa, gajadi.”

Dari venue menuju parkiran, kini keduanya sama-sama enggan berbicara.

Namun begitu sampai di depan pintu mobil miliknya, Mark mengusap wajahnya kasar. Agak menyesal sudah membentak Donghyuck.

“Masuk.” Ucap Mark setelah membukakan pintu penumpang.

Donghyuck menurut, dengan wajah masih menunduk ia masuk ke dalam mobil. Mark menyusul tidak lama kemudian.

Mesin mobil Mark nyalakan, pendingin di dalamnya juga mulai menyala. Namun Mark tidak langsung tancap gas. Biarkan mobilnya panas terlebih dahulu.

“Yang.” Mark memanggil Donghyuck.

“Hm?”

“Sini.” Mark menepuk paha miliknya, meminta Donghyuck untuk duduk di sana, untuk dipangku olehnya.

Donghyuck menghentikan gerakannya untuk memasang safety belt. Ia lalu berpindah duduk untuk dipangku oleh Mark setelah yang lebih tua sedikit memundurkan kursinya.

Donghyuck dapat merasakan punggungnya mengenai stir mobil, jadi ia bergerak maju, semakin menempel pada tubuh kekasihnya.

“Sorry ...” Ucap Mark perlahan, jemarinya dengan telaten merapikan rambut Donghyuck yang sudah mulai memanjang. “Mas cuma enggak suka kamu ngomongin cowok lain.”

Donghyuck mengangguk paham. Kini ia merasa bersalah pada Mark. Padahal Donghyuck tahu bahwa Mark seringkali kurang percaya diri. Niat awalnya yang hanya ingin iseng dan mendapatkan reaksi lucu sang kekasih, malah berujung seperti ini.

“Maafin aku juga ya, Mas. Aku iseng doang mau godain kamu. Taunya beneran marah ...”

Donghyuck langsung memeluk yang lebih tua. Kedua lengannya ia kalungkan di leher milik Mark, wajah kecilnya ia istirahatkan di perpotongan leher sang kekasih. Donghyuck dapat mencium wangi parfume beecampur keringat milik Mark. Terasa nyaman. Terasa seperti pulang.

Mark balas memeluk Donghyuck. Satu lengan besarnya bergerak mengusap punggung kecil Donghyuck, naik turun menenangkan. Satunya lagi Mark gunakan untuk memainkan rambut Donghyuck.

Udara dingin dalam mobil membuat mereka semakin mengeratkan pelukan. Mumpung suasana parkiran masih sepi, karena festival musik jauh dari kata selesai.

Lalu Mark berbisik tepat di telinga yang lebih muda, “Mas mau cium, boleh?”

“Cium pipi?” Tanya Donghyuck dengan seringai jahil.”

Mark tertawa, lalu ia mengangguk cepat, “iya, pipi.”

“Nih, cium.” Ujar Donghyuck menantang sambil menyodorkan pipi kirinya yang sudah bersemu merah.

Dan Mark kecup pipi itu sekali, dua kali. Mark terus kecup pipi Donghyuck dengan lembut dengan perlahan. Kemudian ciuman Mark merambat, dari pipi, menuju hidung, menuju ujung bibir, dan ciuman Mark berakhir di telinga Donghyuck.

Mark kulum daun telinga yang lebih muda. Dapat Mark rasakan napas Donghyuck memberat, juga rematan kuat jemari di bahunya.

“Udah, pipi aja?” Kini giliran Mark yang tersenyum miring. Ditatapnya mata Donghyuck yang mulai sayu, diusapnya pipi yang kini makin bersemu.

Lalu Mark langsung bawa wajah itu mendekat saat Donghyuck menggeleng dan meminta, “cium bibir aku juga.”

Siapa Mark yang bisa menolak perintah orang yang sangat ia puja.

Kedua bibir itu bertemu, sangat pas bagai sudah diukur untuk saling menempati. Mark memiringkan wajahnya sedikit diikuti Donghyuck dengan arah yang berlawanan.

Saling kecup dan merasakan hangat mulut juga lembut bibir masing-masing. Mark kulum bibir bawah Donghyuck. Selalu terasa penuh, selalu bisa membuat Mark mempunyai keinginan untuk menggigitnya karena gemas.

Lengan Mark kini menyingkap kaos yang lebih muda. Diusapnya kulit pinggang yang terasa hangat di telapak tangan miliknya.

Donghyuck melenguh, mengeluarkan suara kenikmatan atas perbuatan sang kekasih.

Lidah mereka yang sekarang saling menjemput dan meliuk dalam rongga mulut.

Entah berapa menit waktu sudah berjalan, sampai akhirnya Mark putuskan untuk memberi jarak.

Pemandangan di hadapannya adalah hal yang tidak akan pernah ingin Mark tukar dengan apapun. Donghyuck dalam pangkuannya, disertai rambut berantakan dan napas memburu, bibir yang terlihat merekah, segala tentang dirinya begitu indah bagi Mark.

Mark merapikan rambut Donghyuck yang kini sedikit lepek karena keringat meskipun ac mobil terus menyala. Jemarinya menelusuri tiap helai rambut yang lebih muda.

“You are mine. Pacar Mas cantik sekali.”

Malu akibat pujian yang lebih tua, Donghyuck hanya bisa balas dengan tawa kecil dan langsung ia sembunyikan wajahnya pada dada milik Mark.

“Love you, Mas.” Bisiknya malu-malu.

“Love you more, sayangnya Mas.”

CHAPTER 7

“Loh, Bunda sama Ayah mau ke mana?”

Mark bertanya heran melihat kedua orang tuanya mengenakan pakaian rapi di hari minggu.

“Ke rumah baru Tante Chungha.” Bunda masih bersikap cuek pada Mark. Ia bahkan tidak melirik Mark saat menjawab. Bunda masih kesal atas sikap Mark terhadap Donghyuck.

Mark mengernyitkan dahi. “Bunda sama Ayah juga diundang? Kok enggak bilang aku?”

Bunda telah selesai merapikan isi tasnya, kemudian ia tatap mata anak sulungnya dengan heran. “Ngapain? Kamu kan gak perduli sama Donghyuck.”

Entah mengapa perdebatan antara anak dan ibu ini begitu lucu di mata Johnny. Sedari tadi ia ingin tertawa, namun masih ia tahan jika ingin selamat dari amukan istrinya.

“Hush, udah ah. Yuk berangkat?” Johnny dan usahanya untuk melerai.

“Hah? Berangkat sekarang? Eh tunggu dong Buuun, aku juga mau ikut!”

Mendapati anggukan sang Ayah, Mark berlari secepat kilat untuk mengambil hp dan dompetnya yang masih berada di dalam kamar. Lantas mereka semua pergi tanpa Jisung yang harus mengikuti kerja kelompok untuk tugas sekolah nya.

[]

Tante Chungha menyambut mereka dengan senyum secerah matahari— senyum yang persis sama seperti milik Donghyuck.

Namun begitu Bunda juga tante Chungha berpelukan, seketika tangis mereka berdua pecah. Padahal keduanya tidak saling mengucapkan apa-apa. Hanya pelukan hangat, juga usapan di punggung, namun keduanya sudah saling mengerti apa arti dari pelukan yang di berikan oleh Bunda kepada Tante Chungha; kamu hebat, kamu dan anak mu hebat.

Setelah nya Mark serta keluarga dipersilahkan masuk ke dalam rumah. Rumah baru Donghyuck dan Mama tidak terlalu besar, di sana sudah ada beberapa kerabat dekat juga teman dari orang tua Donghyuck.

Mark mengedarkan pandang, berusaha mencari sosok pria yang sudah hampir satu bulan menjauhi dirinya. Tidak ia dapati Donghyuck di ruang tamu. Jadi Mark putuskan untuk bertanya langsung kepada Tante Chungha.

“Tante, maaf, Mark boleh tau Donghyuck lagi di mana?”

“Kayaknya lagi di dapur, Mark. Tadi Tante suruh buat potongin buah.”

Mark mengangguk paham, lalu ia meminta izin kepada Tante Chungha untuk menuju dapur rumah miliknya.

Dan Mark melihatnya. Kepala bulat juga punggung Donghyuck. Mark rindu, padahal tiga hari lalu ia baru saja mengantar yang lebih muda. Namun Mark memang rindu.

“Hei.”

Siapa sangka, tepukan Mark di pundak Donghyuck untuk memberitahukan yang lebih muda mengenai keberadaannya malah membuat Donghyuck berjengit kaget. Hal tersebut membuat jari telunjuk Donghyuck terkena sayatan pisau.

“Shh aw..” Donghyuck meringis, beberapa tetes darah mulai keluar dari telunjuknya. “Kak! Ngagetin aja sih!”

Mark yang juga ikut kaget karena Donghyuck terluka mulai panik. “Aduh, Hyuck ... Sorry ...”

“Udah ... Enggak apa-apa kok.”

Lantas Donghyuck berjalan menuju wastafel untuk membasuh lukanya. Mark sendiri terus mengekori dari belakang.

Setelah selesai dibasuh, Donghyuck mengeringkan jari telunjuknya menggunakan tissue.

“Sakit enggak?” Mark bertanya penuh khawatir.

“Enggak, untung gak terlalu dalem sih.”

“Coba siniin.” Mark berujar sembari meraih jemari Donghyuck. Dan seperti kebiasaan mereka dulu, Mark mencium luka Donghyuck. Mark mencium jari telunjuk Donghyuck yang terluka.

Satu yang Donghyuck sadari. Kali ini bukan ia yang meminta.

Telunjuk Donghyuck masih ada di antara dua bibir Mark. Bahkan kini Mark memandang kedua mata Donghyuck. Menciptakan semburat merah di kedua pipi yang lebih muda.

Tidak tahan dengan suasana yang membuat hatinya berdetak cepat, Donghyuck yang pertama kali menarik lengannya dari pegangan Mark.

“Semoga sakitnya hilang.” Ucap Mark berbisik.

Donghyuck makin tersipu, “Makasih.”

Mark mengangguk sambil tersenyum. “Ada yang bisa aku bantu?”

Donghyuck menggeleng, lalu berjalan menjauhi Mark menuju semangka yang belum sepenuhnya terpotong. “Enggak perlu, Kak. Ini buah terakhir kok.”

Meskipun sudah mendapat penolakan, namun Mark masih setia berada di sisi Donghyuck. Memperhatikan pria itu memotong semangka dengan lihai meskipun tadi jemari nya sempat terluka.

Hanya ada hening di sana. Dan Mark tidak suka. Ia ingin Donghyuck yang dulu, yang selalu semangat berbicara tentang apapun yang ada di pikirannya. Sedikit banyak Mark menyalahkan diri sendiri karena ia telah berkontribusi atas berubahnya sikap Donghyuck.

“Ngapain?” Donghyuck bertanya kepada Mark yang sedari tadi hanya diam memandanginya. Ya mau bagaimanapun ia merasa kikuk juga terus dipandang seperti itu.

“Nemenin kamu.”

“Gaperlu, Kak. Sana ke ruang tamu, bentar lagi acaranya mau mulai.”

“Aku mau sama kamu dulu.”

Donghyuck tidak akan pernah terbiasa akan sikap Mark yang seperti ini. Ia terlalu terbiasa dengan Mark yang secara halus selalu berusaha mendorongnya pergi. Ia terlalu terbiasa mengejar, ia tidak terbiasa dengan Mark yang balik mengejar.

“Stop being weird!” Ucap Donghyuck, lengannya dengan cekatan memasukan potongan akhir semangka ke keranjang buah.

“Aneh gimana?”

“Ya ... Gini. Perhatian gini ke aku. Aneh banget. It's not you.”

Mendengar ucapan Donghyuck, Mark tertawa kencang. “Hahaha apasih! Ya ini aku, Hyuck. Tapi versi yang udah lebih baik. Versi yang udah sadar kalau aku salah. Versi yang udah sadar perasaan aku sebenernya buat kamu gimana.”

Donghyuck hanya bisa terdiam. Jujur ... Ia bingung harus bereaksi seperti apa.

Lalu Mark mengelurkan sesuatu dari saku celananya.

Sebuah gantungan kecil dengan bandul berbentuk matahari. Ia perlihatkan benda kecil itu kepada Donghyuck.

“Buat kamu.”

Donghyuck terima gantungan itu dari lengan Mark masih dengan mulut terkatup.

“Kamu inget, enggak ... Waktu pertama kita ketemu, kamu bilang sama aku kalau power rangers pink itu karakter favorit kamu. Kamu bilang meskipun dia perempuan, tapi dia jago berantem dan lawan monster. And I realized, you talk about your mom and your dad, right?”

Donghyuck menduduk, menatap matahari yang kini berada di tangannya sembari terus mendengarkan Mark.

“Maafin aku, Hyuck. Karena aku enggak pernah tahu masalah keluarga kamu. Kamu yang selalu keliatan ceria dan baik-baik aja bikin aku mikir kalau kamu manusia tanpa masalah. But actually you hurt. You fucking hurt.”

Tanpa sadar tangis mulai turun dari mata Donghyuck saat mengingat masa kelam yang ia dan Mama lalui bersama Ayah.

Donghyuck mendongak, menatap Mark dengan senyum sedih. “That's not your fault.”

“Stop saying it's not my fault! Aku sadar kok dulu aku brengsek banget. Aku udah nambah luka buat kamu, Hyuck. Kamu sayang sama aku sendirian, dan aku nyesel.”

Donghyuck menggeleng lemah, ia usap air mata yang terlanjur keluar.

“Aku nyesel enggak balikin sayangnya kamu buatku dari dulu. Aku nyesel baru sadar sekarang setelah kamu jauhin aku, Hyuck. My life feels like in hell without you.” Mark tertawa hambar. “Jadi please, stop bilang kalau aku enggak salah. Biarin aku sadar dan nerima kalau aku memang salah, Hyuck. So I can forgive and make myself be the better person. Aku juga harap kamu bisa maafin aku.”

Mark meraih tangan Donghyuck, ia genggam tangan itu lembut. “Please, maafin aku. Please ...”

Merasa bahwa Mark benar-benar tulus, Hyuck putuskan untuk memaafkan Mark. Karena bagaimanapun, sedari dulu Mark adalah orang yang selalu ada untuknya, meskipun sedikit disertai gerutuan, namun Mark selalu ada.

“Aku udah maafin kamu, Kak.”

Mendengar jawabab Donghyuck, senyum milik Mark mengembang. Ia tarik Donghyuck kedalam pelukannya. “Thank you, thank you, Donghyuck. Aku janji akan jadi manusia yang lebih baik untuk diri aku sendiri dan kamu.”

Donghyuck ikut tersenyum dalam pelukan Mark. Mungkin ini saatnya ia bangun kembali menara perasaan yang sempat runtuh. Dan ia rasa kali ini akan lebih mudah, karena menaranya kini akan dibangun bersama dengan Mark.

[]

Ekstra :

“Kenapa matahari?”

“Cocok sama kamu. Cerah, ceria. Yang paling penting, pelukannya hangat.”

[]

OMG IT'S A WARP!!!!! AAAAA maaf untuk penantiannya yang lama dan ending yang mungkin kurang dari harapan :“)))

Terimakasih untuk yang sudah nunggu dan sayang sama works aku yang ini, i love you toooo đź’ťđź’ť

Tunggu aku di works selanjutnya yaaaaa :)))))

CHENLE'S DAY

CW // Kissing

[]

“Happy birthday, Le!”

Chenle merasa kaget saat memasuki kosan miliknya. Jisung ada di sana, berdiri tegap menyambut Chenle yang baru saja selesai kelas dengan sumringah. Kedua tangannya memegang box kue disertai lilin berangka 20.

“Ji, aku kaget. Kirain bener kamu pulang ke rumah? Kamu bohong?”

“Hehehe, kan mau kasih surprise! Ayo tiup lilin!”

Chenle tersenyum lebar. Tentu ia merasa senang bahwa pacarnya ini sudah bersusah payah menyiapkan kejutan ulang tahun untuk dirinya. Chenle usap kepala Jisung penuh sayang, lalu ia tiup lilin yang masih menyala di atas kue.

Melihat hal tersebut Jisung langsung protes. “Dih, make a wish dulu!!”

Dengan entengnya Chenle menggedikan bahu. “You are all I ask. Lagi enggak mau apa-apa kok.”

Bohong jika debar jantung Jisung tidak bertambah kencang mendengar pengakuan pacarnya.

[]

“Kenapa sih yang?” Chenle bertanya begitu ia menyadari bahwa sedari tadi Jisung terlihat tidak fokus.

Sendok milik Jisung sama sekali tidak bergerak menuju mulutnya untuk menyuapkan kue. Berbeda dengan Chenle yang begitu lahap memakan kue ulang tahun dari pacarnya itu.

Jisung menggeleng, tersadar dari lamunannya begitu Chenle menegurnya tadi.

“Enggak.” Jawabnya singkat.

Lengan kanan Jisung yang sedang memegang sendok Chenle raih. Membuat sendok tergeletak begitu saja di atas meja, sedang kini jemari milik Jisung dibuat saling bertaut dengan miliknya. Menguarkan rasa hangat, membuat Jisung tersenyum geli.

“Harus banget pegangan?” Jisung bertanya jahil.

“Iya.” Tidak ada kata basa-basi lain. Karena memang Chenle sedang ingin memegang tangan pacarnya.

“Terus entar aku makannya gimana?”

“Aku suapin.” Chenle berkata enteng, lalu ia menyuapkan satu potong besar kue ke dalam mulut Jisung.

Membuat mulut yang lebih muda  belepotan cream dan remah kue juga kini pipinya membulat lucu.

Chenle tertawa, sedang Jisung terlihat ingin protes namun tetap berusaha menelan kue dalam mulutnya.

“Ah iseng banget kamu mah! Jadi belepotan nih.”

“Tinggal aku bersihin.” Suara Chenle berubah dalam. Ia tatap Jisung penuh ingin.

Dan yang Jisung tidak sangka, Chenle mencium ujung bibir miliknya dan melumat cream juga sisa remahan kue di sana.

[]

Sudah 3 menit Chenle tertawa tanpa henti. Mereka sedang duduk di sofa, dengan kertas kado sudah berserakan dan sebuah kotak berada di atas pangkuan Chenle.

“Hahaha ini beneran kamu bikin sendiri?” Tawanya belum mereda.

Sebetulnya ini yang membuat Jisung sedikit ragu dan tidak henti memikirkannya sedari tadi.

Kado ulang tahunnya untuk Chenle.

“Ji ... Aduh hahahaha.” Bahkan kini air mata Chenle keluar saking ia tidak bisa berhenti tertawa.

Dan benar saja, sejujurnya reaksi Chenle sedikit membuat Jisung menyesal.

Menyesal karena sudah berpikiran memberikan kado hand made untuk pacarnya.

Padahal ia dan semua orang yang kenal dirinya tahu betul, jika Ji adalah pemilik tangan tanpa bakat seni. Namun dua minggu kemarin Renjun meminta Jisung untuk ikut hadir menemani dirinya ke workshop pembuatan keramik. Dan di sana Renjun menyarankan Jisung untuk memberikan kado untuk Chenle hasil dari tangannya sendiri, biar orisinil katanya.

Karena kalau barang biasa, Chenle sudah pasti dapat membelinya sendiri.

Menyadari bahwa sedari tadi Jisung hanya diam, tawa Chenle sedikit demi sedikit berhenti.

“Inituh ... Konsepnya gimana?”

“Sumpit sama sendok.”

Menyeka air mata yang masih tersisa, Chenle tatap wajah Jisung yang mulai berkerut. “Ya aku tahu, tapi ini tuh ji ... Ya ampun ini aneh banget!”

“Iya, aneh ya? Balikin aja sini, kamu mau kado apa? Nanti aku beliin.”

Bukan. Ini bukan reaksi yang Chenle harapkan. Biasanya jika diisengi begini Jisung akan membalas dengan ucapan yang lebih pedas. Namun kali ini Jisung meng-iyakan tanpa perlawanan.

Jelas hal ini membuat Chenle merasa amat bersalah.

“Ih apaansi yang. Kamu nyerah sama becandaan aku?”

Jisung hanya diam.

“Sayang?”

Jisung masih diam.

“Yang ah, biasanya juga bales ejekan aku. Jangan gini dong. Kamu tahu aku cuma becanda kan?”

Meskipun bentuk sumpit dan sendok nya tidak jelas, namun itu membutuhkan waktu selama 5 hari sampai produk akhir dikirimkan ke kosan nya.

Tapi Chenle malah membuatnya jadi bahan candaan. Rasanya Jisung ingin menangis.

“Siniin, Le.” Jisung berniat merebut kotak berisi sendok dan sumpit buatannya yang masih berada di pangkuan Chenle.

Namun Chenle lebih cepat. Ia pertahankan hadiah dari Jisung agar tetap berada dalam jangkauan nya.

“Orang ini kado buat aku.”

“Iya tapi itu jelek, aneh!”

“Yaudah biarin, bakalan aku pake kok.”

“Le ... Siniin.” Suara Jisung kini mulai bergetar. Antara malu, kesal, beecampur jadi satu.

“Enggak.”

“Aku ganti aja yang baru. Kamu mau kado apa? Please balikin aja, itu jelek. Kenapa ...” Tangis Jisung pecah, “kenapa sih aku sampe kepikiran ngasih kamu kado itu. Tolol banget.”

Sontak perkataan Jisung membuat hati Chenle mencelos.

“Hush ah, ngomong apa sih yang!”

Lalu tanpa ditunda, Chenle langsung memeluk Jisung setelah menaruh hadiah dari Jisung di atas meja.

“Hey ... Aji sayang. Maaf ...” Chenle memeluk Jisung, mengusap-usap punggung yang lebih muda menenangkan.

Ia salah. Ia merasa bersalah.

“Tapi emang beneran ... Beneran jelek!” Jisung menjawab tersedu.

“Yaudah biarin jelek. Kan itu dari kamu, apapun dari kamu aku suka. Maaf, aku salah udah ngetawain. Tapi bukan berarti aku nganggep ini gak berharga, Ji. Kamu udah susah payah bikin, bohong kalau aku enggak suka. Aku suka, sayang. Meskipun bentuknya aneh, aku suka. Karena itu dari kamu.”

Mendengar ucapan Chenle, Jisung balik memeluk yang lebih tua. Kepalanya ia tumpukan di bahu milik Chenle. Sedangkan Chenle kini mengusap-usap rambut sang kekasih. Sesekali mengecupnya.

“Makasih ya, buat kadonya.” Chenle memilih untuk meneruskan perkataannya. “Makasih udah susah payah bikin ini buat aku. It makes you special, it makes this gift special for me. Makasih banyak, Ji.”

Jisung masih menangis, ia hanya bisa mengangguk mendengar ucapan Chenle.

“Selamat ulang tahun ya, Le. Aku sayang sama kamu. Maaf kado dari aku aneh.”

Chenle mendorong perlahan bahu Jisung berniat menciptakan sedikit jarak hanya agar dirinya dapat melihat kedua mata yang lebih muda.

“Aneh emang. Tapi aku suka, suka banget. Aku bakalan pakai ini tiap aku makan, ya? I love you so much.”

Lalu Chenle mengakhiri kalimatnya dengan sebuah kecupan panjang di dahi milik Jisung.

CHAPTER 6

Mark masih bersikukuh menghalangi dua orang yang kini sedang berusaha melewati dirinya. Kali ini ia tidak akan menyerah, tidak begitu saja.

“Lo budeg ya? Minggir!” Jaemin kembali memperingatkan, sedangkan Donghyuck— tubuh kecilnya hanya bisa berlindung di balik tubuh Jaemin. Sedikit takut dan malu mereka menjadi tontonan di parkiran sekolah.

“Lo juga budeg. Gue bilang gue mau nganter Donghyuck balik!” Mark tidak ingin kalah.

“Na ...” Donghyuck menarik kecil ujung seragam Jaemin saat melihat tangan kiri sahabatnya mengepal. Ini tanda Jaemin marah, ini tanda Jaemin akan mengeluarkan emosinya. Dan Donghyuck tidak ingin hal itu terjadi. Donghyuck tidak ingin ada yang terluka. “Na, jangan.”

Jaemin bernapas dengan memburu. Tahan, sebisanya ia tahan kepalan lengannya agar tidak melayang di wajah kakak kelas yang tidak tahu diri ini.

Melihat Jaemin yang begitu emosi, Mark malah tertawa mengejek. “Gue heran deh, lo tuh kenapa sebenci itu sama gue?”

“Karena lo bajingan!” Jaemin menunjuk-nunjuk dada yang lebih tua. “Lo. Bajingan!”

Tangan Mark langsung menahan lengan Jaemin yang masih bertengger di dadanya. Ia genggam lengan itu kuat sembari berkata, “gue tahu gue bajingan. Tapi itu dulu! Sekarang gue lagi mau perbaikin, tapi kenapa lo ngalang-ngalangin gue mulu?!”

Jaemin menepis lengan Mark, ada tanda merah di sana akibat cengkraman Mark yang cukup kuat. “Lo gak pantes dapet kesempatan buat perbaikin.”

Karena bagi Jaemin, Mark adalah orang yang paling bertanggung jawab atas murungnya Donghyuck. Mark yang paling bertanggung jawab atas hilangnya senyum juga semangat pria kelahiran Juni selama sebulan terakhir. Mark harus bertanggung jawab. Dan bagi Jaemin, tanggung jawab Mark yang paling baik adalah meninggalkan Donghyuck dan tidak perlu berurusan lagi dengannya.

Mark tersenyum miring, “siapa lo berhak ngomong gitu, hah? Siapa lo gue tanya?!”

“Cukup!” Donghyuck berusaha melerai. Tapi tidak ada satupun yang mendengar usahanya.

“Gue sahabatnya!”

“Berhak sahabat ngomong begitu? Lo suka kan sama Donghyuck?” Mark menebak telak.

Jantung Jaemin rasanya sempat berhenti beberapa detik mendengar ucapan Mark. Tidak ... Rahasia mengenai perasaannya untuk Donghyuck tidak boleh terkuak ke permukaan.

Melihat Jaemin yang mematung, Mark semakin gencar memojokkan adik kelasnya, “wah bener ternyata. Jadi selama ini lo halang-halangin gue supaya enggak bisa perbaikin kesalahan gue itu karena lo suka sama Donghyuck. Lo yang bajingan, Jaemin! Lo yang bajingan dan lo egois!”

“Na ... Itu bohong kan?” Donghyuck bertanya dengan suara yang bergetar.

“Na Jaemin! Jawab!” Donghyuck kembali bertanya, kali ini sedikit membentak karena Jaemin sama sekali tidak merespon.

Tidak ada jawaban. Jaemin hanya memandang Donghyuck dalam diamnya.

Melihat kesempatan emas, Mark langsung saja menarik tubuh Donghyuck untuk mendekat ke arahnya.

Donghyuck sempat tersentak kaget. Ia masih memproses semua ini. Maka ketika Mark mengatakan, “pulang ya, sama Kakak,” dan membawa dirinya ke arah motor miliknya, Donghyuck hanya bisa diam mengikuti.

Seiring tubuh Donghyuck yang semakin menjauh, obrolan mereka yang lalu-lalu kembali terputar dalam kepala Jaemin.

“Gimana kalau seandainya gue suka sama lo, Hyuck?”

“Hahahaha jangan!”

“Kenapa emang?”

“Kamu kan tau, aku udah suka sama Kak Mark. Jangan suka sama aku, Na. Aku enggak mau kamu sakit hati gara-gara aku.”

Tapi gue udah jatuh, Hyuck. Gue udah jatuh sedari dulu.

[]

“Pegangan di pinggang dong, masa di pundak? Emang aku ojeg?” Mark berbicara setelah menstarter motor miliknya. Ia belum berniat menancap gas.

“Enggak.” Donghyuck menolak cepat.

Mendengar penolakan Donghyuck, Mark berdecak. Lalu tanpa kata, Mark menarik lengan yan lebih muda agar memeluk dirinya. Memasukkan kedua lengan kecil itu ke dalam saku jaketnya.

“Nurut, aku enggak mau kamu jatoh.” Ucap Mark sembari menengok ke arah belakang. Melihat Donghyuck yang wajahnya kini memerah.

Dan dengan begitu saja, Mark menancap gas. Mengendarai motor miliknya dengan kecepatan lumayan tinggi. Dengan satu tujuan, agar Donghyuck tidak melepas pelukannya.

“Kak! Pelanin motornya!” Donghyuck sedikit berteriak agar suaranya tidak kalah oleh angin. Lengannya semakin memeluk erat Mark karena dirinya takut terjatuh.

“Kak Mark!”

“Nanti kamu lepas pelukannya, aku enggak mau.” Mark membalas.

“Enggak akan! Cepetan pelanin, please Kak. Aku takut.”

“Tapi janji jangan dilepas ya?”

“Iya!!!”

Mark tersenyum. Kemudian ia menurunkan kecepatan motornya.

“Abis ini belok kanan.” Donghyuck mengarahkan Mark agar sampai di rumah Tante Irene.

“Hah?”

“Belok kanan!”

“Hyuck, gak kedengeran. Coba ngomongnya deketan sama Kakak.”

Dasar modus! Donghyuck kesal. Meskipun begitu jantung miliknya tidak bisa berbohong. Jantungnya masih berdetak kencang saat tubuhnya menempel di punggung milik Mark.

Donghyuck memposisikan wajahnya tepat di samping wajah milik Mark. “Belok kanan, Kak.”

“Okay.”

Begitu seterusnya. Donghyuck terus mengarahkan agar mereka sampai. Dan Mark yang sekarang malah melama-lama kan perjalanan agar bisa mendapat waktu berduaan dengan Donghyuck.

Sampai akhirnya sebuah rumah berpagar putih hadir di hadapan matanya. Ini saatnya Mark berpisah kembali dengan Donghyuck.

Tanpa berbasa-basi, Donghyuck langsung turun dari motor milik Mark. Wajahnya masih suram. Tangannya buru-buru membuka cantelan helm yang ia gunakan.

Mark ikut turun. Memperhatikan Donghyuck yang begitu tergesa. Sampai akhirnya helm yang tadi Hyuck gunakan diberikan kepada Mark secara kasar.

“Enggak usah nganter aku balik kalau niatnya Kak Mark bikin kita mati!” Donghyuck berkata dengan napasnya yang cepat.

Donghyuck sudah akan memutar tubuhnya saat sebuah lengan menahannya agar diam di tempat.

“Hyuck, Kakak enggak maksud begitu.”

Donghyuck berbalik, mendapati Mark dengan raut wajah penuh sesal di sana. “Kak Mark pikir keren kebut-kebutan begitu? Aku takut!”

“Maaf ...”

“Lepasin tangan aku.”

“Enggak sebelum kita ngomong.” Mark mengeratkan genggamannya.

“Kak, mau ngomong apa lagi sih? Apa omongan aku kemarin-kemarin kurang jelas? Stop, Kak. Stop!”

Sebelum meneruskan ucapannya, Donghyuck menarik napas panjang sambil membuang muka. Tidak sanggup melihat wajah Mark.

“Stop bersikap peduli sama aku. Kak Mark cuma bikin aku bingung.”

“Bingung karena apa, Hyuck? Biar aku lurusin semuanya. Biar aku perbaikin semuanya.”

Donghyuck menggeleng lemah. “Aku tuh apa sih buat kamu? Bukannya cuma beban ya? Bukannya aku cuma pengganggu buat kamu, Kak.”

Tanpa disadari, Donghyuck mulai menangis.

Dan Mark langsung menarik tubuh Donghyuck kedalam pelukannya.

“Stop saying nonsense! Kamu berharga, Hyuck. Kamu sama sekain bukan beban!”

“Tapi sikap kamu bikin aku ngerasa kayak gitu, Kak. Aku minta maaf kalau rasa sayang aku buat kamu malah bikin kamu ngerasa jijik, ngerasa terbebani. Aku minta maaf. So please ... Stop bersikap kayak gini.”

“Donghyuck ... Oh God. I'm sorry, I'm truly sorry. Kakak harus gimana buat perbaikin ini semua, Hyuck? Kakak harus gimana?”

Donghyuck menggeleng. Karena ia pun tidak tahu apa jawaban yang ia inginkan.

Selama ini, ia pikir Mark peduli meskipun dalam diamnya. Tapi kemudian realita menghantamnya keras. Bahwa Mark melakukan segala apa yang Donghyuck ingin hanya karena pinta sang Bunda. Bahwa Mark tidak mencintai dirinya. Donghyuck mulai saat ini sedang berusaha sadar diri.

“Donghyuck, please. Kakak beneran perduli sama kamu. Maaf kalau selama ini sikap Kakak bikin kamu ngerasa kayak gitu. Maaf Donghyuck, maaf. Tapi satu bulan jauh dari kamu ngebuat aku sadar, kalau kamu itu berarti banget buat Kakak, Hyuck. Kamu berharga banget buat Kakak.”

“Tolong ... Tolong kasih Kakak kesempatan buat perbaikin hubungan kita. Buat balikin rasa sayang kamu, biar kamu juga ngerasa disayang. Aku mau kamu ngerasa disayang, Hyuck. Karena kamu pantes dapetin itu.”

Mark memohon. Dengan suaranya yang bergetar, Mark memohon.

Perlahan Donghyuck melepaskan pelukan mereka. Ia menatap Mark. Matanya terlihat meyakinkan. Jadi apa salah jika Donghyuck juga ingin memberi kesempatan?

“Mama sama aku udah dapet rumah buat tempat kita tinggal. Minggu nanti mau adain syukuran kecil-kecilan di sana. Kak Mark boleh dateng.” Donghyuck berucap dengan suara kecil. Air mata yang kepalang mengalir ia hapus dengan punggung tangan miliknya.

Senyum milik Mark merekah. Ia diberi kesempatan oleh Donghyuck. Ia diberi kesempatan!

“I'll come. I'll come, Donghyuck.”

Dan Mark tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang sudah Donghyuck berikan.

CHAPTER 5

Tiga minggu berlalu dan Mark belum bisa menggapai Donghyuck. Mereka sering bertemu— atau dalam hal ini Mark yang selalu dengan sengaja ingin berpapasan dengan Donghyuck, namun untuk mengobrol, untuk menyelesaikan masalah apapun yang sedang mereka hadapi, untuk mendekatkan mereka kembali, Mark belum berhasil.

Donghyuck selalu bisa menghindar. Dan ketika Mark ingin memaksa, Na Jaemin ada di sana. Sebagai seseorang yang selalu menjaga Donghyuck. Jaemin sama sekali tidak pernah membiarkan Mark mempunyai kesempatan untuk berbicara dengan Donghyuck.

Mark merasa dunia tidak adil. Ia hanya ingin memperbaiki, namun kenapa rasanya sulit sekali. Bahkan Bunda tidak memihak kepadanya. Minggu kemarin Mark bertanya kepada Bunda mengenai Tante Chungha dan Donghyuck akan mampir ke rumah dan berkumpul seperti biasa. Tapi pertanyaan tersebut dijawab ketus oleh Bunda.

“Enggak.”

Hanya itu jawaban dari Bunda, tanpa penjelasan lain, tanpa memberitahu Mark akan apapun yang sedang terjadi kepada Donghyuck dan keluarganya.

Maka malam ini Mark menghabiskan malam minggunya di rumah Aheng untuk melepas sedih dan kecewanya pada dunia, pada dirinya sendiri.

“Udeh ah sebatang aja cukup, lo enggak biasa ngerokok njir.” Aheng membuka tutup kaleng soda miliknya, menyerahkan satu kepada Xiaojun yang sedari tadi hanya duduk diam memperhatikan Mark.

Mark menjawab dengan menggeleng lemah sembari menghembuskan asap rokoknya secara perlahan. Pertanda bahwa ia masih ingin, ia masih butuh zat nikotin ini untuk melepas kecewa pada dirinya sendiri.

“Lo ... udah ngomong sama Donghyuck?” Xiaojun bertanya dengan nada ragu. Karena mau bagaimanapun, ia merasa bahwa dirinya secara tidak sengaja terlibat dalam hubungan mereka.

Mark kembali menggeleng. Rokoknya yang hanya sisa satu ruas jari ia matikan dalam asbak. Saat Mark hendak mengambil satu batang lagi untuk ia nyalakan, Aheng menahan lengannya. Mencegah temannya itu untuk kembali merokok.

“Udeh anjir. Ngerokok doang mah enggak akan bikin kelar masalah. Buruan ngobrol ama kita dah.”

Mark sempat terdiam beberapa saat. Menatap kosong ke arah asbak yang penuh dengan abu. Lucu, seperti hidupnya yang kelabu.

Maka Mark mengeluarkan tawa sedihnya, “huh, mau apa juga yang diobrolin.”

Aheng berdecak, “ya masalah elu, bego. Mungkin aja kita bisa bantu.”

“Susah. Gue udah nyoba buat perbaikin, tapi Donghyuck selalu bisa ngehindar. Apalagi ada Jaemin, udah kayak pawangnya. Bahkan gue enggak bisa ngedeket Donghyuck cuma sekedar buat ngomong.”

“Karma sih menurut gue.” Ojun tiba-tiba berbicara.

Bukannya merasa tersinggung dengan ucapan Xiaojun, Mark malah mengangguk mengiyakan. “Iya kayaknya.”

Sontak mendegar ucapan pasrah temannya itu membuat Aheng dan Ojun mengangakan mulutnya. “Anyiiing, beneran jadi lembek. Mana kata lu enggak ada rasa sama Donghyuck, tapi begini aja udah kayak dunia runtuh.”

Mark memijat pangkal hidungnya, merasa pusing makin melanda mendengar ocehan Aheng. “Please, udah. Gue pening banget sumpah. Gue enggak tau gue suka sama dia apa enggak, tapi rasanya emang dua minggu kebelakang hidup gue enggak bener.”

Melihat raut wajah Mark yang memelas dan menampilkan kesedihan membuat Xiaojun tidak tega juga. Ia menepuk-nepuk pundak Mark untuk memberikan semangat. “Lo udah tau Donghyuck tinggal di mana?”

“Belum.” Mark menjawab singkat.

“Gue tahu.”

Mata Mark langsung terbuka lebar saat mendengar ucapan Xiaojun. “Lo serius?”

Mengangguk, Xiaojun tersenyum kecil melihat Mark yang kini terlihat seperti mendapat harapan. “Pernah enggak sengaja  ketemu pas dia ke indomaret deket halte. Dijemput naik motor sama cowok. Gue enggak tau sih siapa, soalnya pake seragam swasta. Karena penasaran yaudah gue ikutin, ternyata masuk perumahan Permai.”

Kalau kalian lupa, Xiaojun juga tertarik kepada Donghyuck. Jadi saat ia melihat Donghyuck dijemput oleh seseorang yang tidak ia kenal, Ojun memutuskan untuk mengikuti. Apalagi Donghyuck dikabarkan tidak lagi tinggal di rumah miliknya. Ojun hanya ingin memastikan bahwa Donghyuck tinggal di lingkungan yang aman.

“Makasih, Jun. Makasih banget.”

Dengan informasi yang ia dapat dari Xiaojun, Mark berharap bahwa ini bisa jadi awal yang baik untuk ia memperbaiki hubungannya dengan Donghyuck.

[]

“Kak, buka kunci mobilnya!” Untuk kesekian kalinya Donghyuck meminta.

Tapi Mark memilih egois. Karena kali ini ia berhasil berduaan dengan Donghyuck setelah membawa yang lebih muda menuju ke dalam mobilnya di dekat halte. Tanpa ada Jaemin, tanpa ada ruang untuk Donghyuck menghindar. Ini adalah satu-satunya kesempatan Mark agar bisa berbicara dengan Donghyuck. Tentang mereka, tentang apapun.

“Donghyuck, tolong ... Aku cuma mau ngomong sama kamu.”

Mark kini menarik tangan Donghyuck yang sedari tadi berusaha membuka handle pintu mobil. Digenggamnya tangan itu erat, membuat Donghyuck mau tidak mau saling berhadapan dengan Mark.

“Apa? Ngomongin apa?”

“Kenapa kamu ngehindar dari aku?”

Bodoh, Mark berteriak membodohi dirinya dalam hati. Harusnya ia bertanya mengenai kabar Donghyuck terlebih dahulu dibanding pertanyaan tidak penting seperti itu.

Tapi hati tidak bisa dibohongi. Mungkin pertanyaan mengenai alasan Donghyuck menghindar dari dirinya merupakan pertanyaan yang sangat Mark ingin ketahui jawabnya.

“Bukannya itu yang Kak Mark mau dari dulu?” Donghyuck berbicara dengan nada penuh tanya.

Bukankah Mark dari dulu sangat tidak menginginkan hadir dirinya? Bukankah Donghyuck menjauhi Mark adalah yang ia mau selama ini?

“Apa? Kenapa bisa ngomong kayak gitu? Aku enggak mau kamu ngejauh. Aku enggak mau kamu ngehindar dari aku.”

Donghyuck kini menatap Mark bingung, “Kak ...”

“Kamu sekarang tinggal di mana? Maaf karena Kakak enggak tahu masalah kamu lebih awal. Tapi Kakak harap kamu sama Tante Chungha sekarang udah baik-baik aja. Maaf, Donghyuck ... Kakak minta maaf kalau ...”

“Stop, Kak udah stop minta maaf!” Sedikit menyentak, Donghyuck hanya ingin Mark berhenti untuk meminta maaf. Karena bagaimanapun, Mark tidak bersalah atas hidupnya yang malang.

“Aku tinggal sama Tante Irene. Mama baik. Mama sekarang udah lebih baik setelah lepas dari Papa. Meskipun Mama harus ngambil banyak lembur di kantor supaya cepet buat sewa rumah, tapi hidup aku sama Mama enggak pernah ngerasa sebaik ini.”

Tangis mulai keluar dari mata indah Donghyuck. Dan Mark sama sekali tidak menyukai hal ini.

Maka Mark tarik tubuh gemetar Donghyuck ke dalam pelukannya. Membiarkan Donghyuck menangis di sana, dalam dekapan hangatnya, bersandar pada dadanya.

“I'm sorry, Donghyuck ... I'm so sorry.“

Donghyuck menggeleng dalam pelukan Mark. “Stop saying sorry, it's not your fault.”

“Pindah ke rumah Kakak, ya? Selagi kamu sama Tante Chungha belum dapat rumah baru, tinggal di rumah Kakak, ya?”

Mendengar ucapan Mark, Donghyuck sempat mematung. Beberapa saat kemudian, setelah pikirannya kembali tenang, Donghyuck menarik diri dari pelukan Mark.

“Kak, Mark. Tolong berhenti, Kak.”

Mark terdiam, membiarkan Donghyuck untuk meneruskan ucapannya.

“Jangan begini lagi. Tolong jangan bersikap seolah-olah Kak Mark perduli sama aku. Itu cuma bikin aku makin sedih.” Donghyuck mengusap air mata yang tidak kunjung berhenti mengalir di pipinya.

“Donghyuck, but I really care.” Napas Mark seakan tercekat melihat betapa Donghyuck bersedih seperti ini.

Donghyuck menggeleng. “You are not, and that's totally okay. Aku enggak mau kamu begini cuma karena ngerasa kasihan sama aku. Aku sama Mama udah baik-baik aja, Kak. Kita lebih bahagia. So please, stop. Stop pretending that you are care.”

Mark kembali menggenggam lengan Donghyuck. Kali ini lebih erat, kali ini ia genggam lengan itu seolah ini adalah terakhir mereka akan dekat.

Sampai Mark tidak sadar bahwa genggamannya malah menyakiti Donghyuck.

“Kak, awh ... Kak, lepas. Sakit.” Donghyuck meringis.

Namun Mark tetap menggenggam lengan itu sambil kepalanya terus menggeleng cepat. “Hyuck, I'm not. I'm not pretending. Aku beneran peduli sama kamu!” Setetes air mata kini juga keluar dari mata milik Mark.

“Kak Mark! Lepasin!” Donghyuck sedikit berteriak, ia yakin di pergelangan tangannya kini sudah tercetak tanda merah.

Tersadar bahwa ia menyakiti Donghyuck, Mark segera melonggarkan genggamannya. Ia bawa pergelangan tangan itu mendekati bibirnya, lalu ia cium dengan cepat. “Maaf, aku enggak sadar. I'm sorry if I hurt you.” Ucap Mark, lalu setelahnya ia cium kembali pergelangan tangan milik Donghyuck dengan air mata yang masih mengalir.

Donghyuck sedikit ketakutan, meskipun pergelangan tangan miliknya sudah mendapat banyak ciuman dari Mark, namun yang kali ini— ciuman itu sama sekali tidak terasa menyembuhkan. Maka Donghyuck tarik pergelangan tangannya dari genggaman tangan Mark.

“Aku tahu aku cuma beban buat Kakak. Aku tahu dari dulu Kak Mark mau aku ngejauh. Dan Kak Mark inget kan sama janji aku di pesan yang aku kirim buat Kakak. Kalau itu terakhir kali aku akan minta tolong sama kamu, Kak. So please, let me go? Aku enggak akan ganggu kamu lagi.”

Mark hanya bisa pasrah membuka kunci pintu mobil saat seorang lelaki tidak henti-henti mengetuk kaca mobil miliknya.

Ia membiarkan Donghyuck pergi, tapi bukan berarti ia merelakan Donghyuck begitu saja.

Biarkan kali ini Mark yang berusaha membangun menara yang Donghyuck sempat susun. Menara bernama kepercayaan, kepedulian dan kasih sayang.

[]

HUHAH HUHAH MAAF BELOM TAMAT JUGAAA

CHAPTER 4

“Na, boleh kasih tau gue sekarang Donghyuck tinggal di mana?”

Rasanya Jaemin ingin sekali tertawa terbahak di depan wajah kakak kelasnya itu.

“Dih, tanya sendiri lah sama anaknya.” Melangkahkan kaki tanpa peduli, Jaemin hanya ingin menghindari orang yang ia benci.

Mark menahan lengan Jaemin yang akan melewatinya begitu saja. Suasana sekolah cukup sepi karena ini memang sudah jam pulang— Mark bersyukur tindakannya ini tidak akan menarik perhatian. Ia sengaja menunggu Jaemin yang baru selesai mengikuti club photography hanya untuk menanyakan mengenai Donghyuck.

“Na, tolong. Gue udah tanya anaknya kali kalau gue bisa. Ini masalahnya Donghyuck terus ngehindar dari gue.”

Jemin tertawa mencemooh, “oh, terus?”

Mark menggeram. Saking emosinya dengan tanggapan Jaemin, kini lengan Mark sudah mencengkram kerah baju adik kelasnya. “Jaemin! Gue cuma khawatir sama dia!”

Tersenyum miring, Jaemin sama sekali tidak melawan. Dalam situasi begini, ia tidak ingin terbawa emosi. Jadi dengan santainya ia tatap balik mata Mark dengan pandangan tajam. Telunjuk kanannya menekan-nekan dada Mark di tiap kata yang ia utarakan.

“Kalau lo sebegitu khawatir sama Donghyuck, seharusnya lo bisa nolong dan bales pesan dia disaat dia butuh! Tapi apa? Lo malah pacaran kan sama Renjun. Terus sekarang lo maksa-maksa ke gue buat kasih tau di mana Donghyuck tinggal? GUE GAK SUDI!”

Cengkraman tangan Mark di kerah baju Jaemin melonggar seiring tangannya yang melemas mendengar tiap kata yang Jaemin ucap.

“Gak usah deketin Donghyuck lagi. Gue peringatin. Lo cuma bawa sedih buat dia!”

Kini cengkraman Mark dapat Jaemin tepis dengan mudah. Dan dengan begitu saja, Jaemin meninggalkan Mark di lorong kelas XII sendirian.

//

Donghyuck Kak, can you pick me up?

Donghyuck Kak, aku takut

Donghyuck Please, kak. Sekali ini aja, ini terakhir kali aku minta tolong sama kamu kalau kamu ngerasa terus direpotin aku minta maaf

Donghyuck Tolong jemput aku

Mark Hyuck sorry aku gak bisa

Mark Aku udh ada janji sama renjun

Mark Minta jemput sama jaemin aja ya

//

Donghyuck sudah mulai membiasakan diri tanpa Mark. Meskipun seminggu ini kerap kali ia dilanda rindu, tapi mungkin memang seharusnya ia berhenti.

Sedari dulu, mungkin memang ia harusnya menyerah.

Lukanya bertambah dua kali lipat. Tiga hari sebelum semuanya meledak, Donghyuck mendapati kabar jika Mark sudah menjalin kasin dengan Renjun.

Tidak ada yang bisa Donghyuck salahkan. Karena pada akhirnya, memang ini tentang perasaan. Tidak ada yang bisa ia paksakan.

Namun setelah tiga hari pasca Mark berpacaran dengan Renjun, Mama dan Donghyuck mendapat badai besar.

Papa datang. Papa yang hanya tiga tahun sekali pulang kembali datang. Dan Donghyuck tidak pernah suka saat pria itu ada di rumah.

Cinta dan sayang tidak seharusnya menyakiti diri. Donghyuck yakin tiap tamparan juga benda melayang di rumah bukanlah karena sayangnya Papa. Meskipun beliau selalu berlindung dibalik ucapan, “ini demi kamu dan Mama! Papa sayang sama kalian!”

Bagi Donghyuck, sayang bukan berwujud kekerasan.

Dan saat Mama meminta Papa menandatangani surat cerai yang sudah Mama persiapkan tiga bulan lalu, rumahnya bagaikan diserang ratusan momster dalam satu wujud manusia.

Donghyuck takut, pecahan kaca di mana-mana. Dirinya juga sudah terluka, apalagi sang Mama. Ia takut, ia merasa takut.

Dan Donghyuck hanya terpikirkan meminta tolong kepada satu orang.

Kak Mark.

Orang yang selalu siap sedia membantu meski disertai gerutuan. Donghyuck yakin Kak Mark akan membantunya.

Dengan lengan yang gemetar, Donghyuck mengetik pesan kepada Mark. Meminta untuk dijemput, keluar dari rumah ini, kemanapun, dimanapun, asal ia dan Mama bisa lepas dari Papa.

Namun sepertinya ia harus patah dua kali. Mark berkata ia tidak bisa. Hati Donghyuck serasa remuk. Sayang lukanya kali ini tidak bisa dikecup untuk disembuhkan.

Donghyuck runtuh di hadapan koper yang masih terbuka. Sampai suara ketuk pintu dan bisikan Mama Donghyuck dengar.

“Hyuck ... Sayang ayo, sudah selesai? Ayo kita pergi dari sini. Mama udah minta Tante Irene buat jemput kita.”

Dengan cepat Donghyuck membereskan kopernya. Setidaknya, masih ada bidadari lain yang bisa membantu ia dan Mama.

[]

“Pesen apa Hyuck?”

Sadar akan nama siapa yang terucap, Mark dengan cepat mengatupkan mulutnya rapat.

Renjun mendengus, selera makannya langsung menguap entah kemana.

“Jun ... Sorry, gue enggak maksud—”

“Enggak maksud tapi udah keseringan. Kemarin juga lo salah panggil nama gue, Kak. Kemarinnya lagi juga gitu. Gue maklum kalau cuma sekali, tapi ini udah keseringan.” Renjun berucap kesal sembari menutup buku menu dengan cukup kencang.

“Jun ...”

Badan Renjun boleh kecil, namun soal sorot mata tajam— ia tidak kalah dari orang yang berbadan besar. Mark bahkan merasa kikuk ditatap macam begitu oleh Renjun. “Kak, sekarang gue mau tanya sama lo.”

“Apa?”

“Lo kenapa pacaran sama gue?”

“Ya karena gue suka sama lo? Lo cakep, pinter, jago ngelukis. Gue minta maaf kalau gue sering salah sebut nama dan itu bikin lo raguin perasaan gue. Tapi Jun, gue beneran enggak pernah ada niat mainin lo. Gue beneran suka sama lo.”

Renjun tersenyum kecut. “Enggak, lo sama sekali enggak suka sama gue. Lo cuma tertarik akan apa yang lo liat dari luar. Lo enggak suka sama inner self gue. Bahkan kita pdkt cuma seminggu. Gue tanya sekarang, lo tau apa tentang gue?”

Mendengar tanya Renjun, Mark hanya mampu terdiam dalam duduknya. Benar juga ... Apa yang ia ketahui tentang Renjun selain anak itu pintar, jago lukis dan pandai bergaul dengan orang? Mark sama sekali tidak tahu apa-apa.

“Lo tahu warna kesukaan gue?”

Mark menggeleng.

“Makanan kesukaan gue?”

Mark kembali menggeleng.

“Lo tahu enggak kenapa gue suka ngelukis?”

Terdiam. Mark sama sekali tidak tahu menahu mengenai orang yang berada di hadapannya ini.

Rwnjun tertawa kecil, “see? Lo sama sekali enggak kenal sama gue Kak. Gue nerima lo juga jujur aja karena lo cakep, baik, pinter. Gue ngerasa nyambung sama lo. Tapi kalau lo udah suka sama orang, kenapa sih lo musti nembak gue?”

“Gue enggak suka sama orang lain, Jun.”

“Oh ya? Kalau gue tanya, lo tahu warna kesukaan Donghyuck?”

Merah, Donghyuck paling suka warna merah.

“Lo tahu makanan favoritnya Donghyuck?”

Donat kacang.

Mark dengan sangat mudah dapat menjawabnya dalam hati.

“Lo tahu kan? Lo jelas tahu!”

“Renjun...”

“Gue nyerah aja ya? Gue enggak sanggup jadi bayang-bayang doang. Mending lo perbaikin hubungan lo sama Donghyuck deh Kak. Kasian anak orang lo cuekin begitu aja padahal lo juga suka sama dia.”

Membereskan tas miliknya, Renjun segera bangkit dari duduk. “Gue pamit. Good luck sama hubungan lo dan Donghyuck.”

“Maaf. Renjun, gue minta maaf.” Mark berucap tanpa ada yang menjawab.

[]

TERNYATA ENGGAK SELESAI DI CHAPTER 4 SJDKDKDLD MAAF YA 🙇🏻‍♀️

CHAPTER 3

VISITOR

Kalau saja bisa, rasanya Na Jaemin ingin sekali mencopot kuping miliknya untuk sementara. Jujur, ia sangat lelah mendengar Donghyuck— sahabatnya, terus menerus menceritakan mengenai Mark.

“Aku pernah bilang gak sih kalau Kak Mark tuh wangi semangka.”

“Pernah, 20 kali lebih lo bilang gitu ke gue.”

Donghyuck tertawa mendengar jawaban Jaemin, “hehehe oh ternyata udah sering aku omongin ya? Eh iya Na! Terus tadi aku ngasih kue buatan aku sama Bunda kan ke dia, terus dia bilang makasih sama aku! Ya Tuhan, mau nangis dikit, terharu banget!”

Ya elah diucapin makasih doang sampe segini senengnya, itu kan basic manner yang emang semua orang kudu punya! Nana berkata hanya dalam hati. Ia tidak tega meruntuhkan bahagia Donghyuck dengan ucapan miliknya. Jaemin sangat tahu betapa Donghyuck menyukai kakak kelasnya itu.

“Iya, ikut seneng deh gue.”

“Ikut seneng tapi nada bicara kamu datar!”

“Auk ah, serba salah.”

Donghyuck hanya bisa tertawa melihat raut wajah Nana yang menampilkan ekspresi kesal. Meski selalu dijawab seadanya saat ia bercerita, Donghyuck tahu kalau Nana sayang kepadanya.

[]

“Cakep banget.” Begitu ucap Mark sesaat ia dan Ojun meninggalkan ruang guru.

“Muka lu tolong kondisikan.” Xiaojun berkata dengan nada mengejek.

“Lo kenal sama dia?”

“Kenal, sepupu gue.”

Mark menghentikan langkahnya. “Hah? Kok lo gak pernah bilang punya sepupu secakep itu? Dia sekolah di sini kan? Gue kemana aja deh gak pernah liat dia di sini?”

Mark bertanya heboh, karena memang sosok lelaki yang baru saja ditemuinya itu membuat Mark begitu penasaran. Dengan rupa begitu manis, ditambah postur tubuh mungil yang membuatnya terlihat gemas, Mark tidak bisa memungkiri bahwa ia tertarik pada pandangan pertama.

“Kalem anying. Iya dia baru masuk soalnya. Pindahan dari Surabaya. Orang tuanya buka bisnis baru di Jakarta jadi dia ngikut gitu.”

Mark hanya senyum-senyum sendiri mendengar penjelasan Ojun. Melangkahkan kaki untuk menyusul sahabatnya yang sudah berjalan, Mark lalu merangkul Xiaojun dengan akrab.

“Dih ngapa lu rangkul-rangkul gue?”

“Hehehe, kenalin gue sama dia ya?”

Xiaojun sempat terdiam beberapa saat. Mungkin jika ia mengenalkan Mark pada sepupunya, maka hubungan Mark dengan Donghyuck akan punya batasan. Meskipun itu berarti akan menyakiti Donghyuck, tapi menurutnya itu lebih baik. Dibanding Donghyuck terus mengharapkan Mark dan menunggu dalam ketidak jelasan.

“Oke, nanti gue kenalin sama Renjun.”

Renjun, Renjun. Mark merapal namanya bagai mantra.

[]

Rasanya dua minggu terakhir ini Donghyuck tidak bisa tenang. Pasalnya, Mark terlihat begitu menghindari dirinya. Dua minggu terakhir juga Mark memilih tidak berangkat dan pulang sekolah bersama.

“Na, aku ada salah apa ya sama Kak Mark?” Donghyuck bertanya dengan nada nelangsa setelah membaca pesan balasan dari Mark yang kembali menolak ajakan pulang bersama.

“Lah, lo ngerasa bikin salah gak?” Nana masih sibuk mencatat pelajaran di papan tulis. Padahal bel sudah berbunyi dari tadi, namun Nana belum juga merampungkan catatan miliknya.

“Enggak.”

“Terus kenapa bisa punya pikiran kalau lo ada salah sama dia?”

Donghyuck menggedikan bahu, sejujurnya ia juga bingung. “Gatau sih, sikapnya jadi makin cuek.”

Jaemin menghela napas panjang, kemudian ia merenggangkan jari jemari miliknya yang menghasilkan bunyi nyaring akibat pegal menulis. “Itu artinya lo harus berhenti gak sih, Hyuck.”

Sedari dulu, Jaemin ingin sekali menyadarkan Donghyuck. Jaemin ingin membuat Donghyuck berhenti untuk mendekati Mark. Karena dari apa yang ia lihat- apapun yang sedang Donghyuck bangun akan runtuh dan ia akan sakit sendirian.

“Berhenti gimana?” Donghyuck bertanya bingung.

“Berhenti buat deketin Mark. Sampe lebaran monyet juga gue rasa Mark gak akan bales perasaan lo. Emang gak cape apa lo diperlakuin kayak gitu? Emang lo gak cape ngejar sendirian?”

Dalam hati Donghyuck mengiyakan. Bahwa terkadang memang dirinya merasa lelah. Bahwa dirinya merasa sesuatu yang sedang ia bangung untuk mendapatkan Mark tidak kunjung bertemu ujung.

Namun mengingat perkataan Mama, Donghyuck tidak ingin berhenti sampai ia mendapat penolakan yang jelas. Toh selama ini Mark tidak dengan secara gamblang menolak dirinya. Mark masih menuruti keinginannya, jadi mungkin— mungkin Donghyuck masih punya harapan.

“Capek. Tapi aku udah sayang banget sama Kak Mark. Dari dulu, dia udah konstan ada di hidup aku dan selalu nurutin maunya aku, Na.”

“Terserah deh. Asal kalau lo ngerasa sakit hati, jangan salahin gue ya. Gue udah ngewanti-wanti.”

Padahal gue juga selalu nurutin mau nya lo. Meskipun hadirnya gue enggak selama Mark. Tapi gue bisa memperlakukan lo lebih baik, Hyuck.

Ucapan yang itu, biar Nana utarakan dalam hati saja.

[]

Dua minggu mengenal Renjun, dan Mark semakin merasa tertarik kepada cowok itu.

Pintar ✔️ Jago melukis ✔️ Sikapnya mandiri dan agak cuek ✔️

Lengkap sudah, Renjun benar-benar memenuhi kriteria nya dalam mencari kekasih.

Dan berkat hadirnya Renjun pula, Mark bisa ada alasan untuk tidak melulu berangkat dan pulang sekolah dengan Donghyuck. Meskipun hati kecilnya sedikit merasa bersalah, namun Mark memutuskan untuk mulai bersikap tegas dan memberi jarak.

Siang ini Mark menemani Renjun di ruang kesenian. Padahal Renjun merupakan siswa baru, namun ia sudah terpilih oleh pihak sekolah untuk menjadi perwakilan lomba melukis. Dan Mark mulai seminggu kemarin tidak pernah absen menemani Renjun menyelesaikan karya nya.

“Gak bosen apa liatin gue terus, Kak?” Renjun bertanya di balik kanvas besarnya yang menghalangi wajah rupawan Mark.

Mark tertawa kecil, “enggak, seru malah.”

Senyum miring terbit di bibir Renjun. Ia sadar, sepenuhnya sadar bahwa segala sikap dan ucapan Mark kepada dirinya adalah tidak lain memiliki tujuan tertentu. “Aneh, liatin orang ngelukis seru dari mananya?”

“Muka lo aja udah nyeni banget, Jun. Ditambah lo yang lagi ngelukis, rasanya gue tuh lagi lihatin karya seni paling indah.”

“Stop dengan gombalan cringey lo itu deh.” Namun Renjun tetap tertawa dibuatnya.

Setelah menunggu tawa keduanya reda, Mark memilih kembali membuka obrolan. “Jun, gue mau jujur.”

“Apa?” Ucap Renjun, tangannya tidak berhenti menyapukan kuas yang sudah dicelup cat berwarna biru ke atas kanvas.

“Kalau lo belum sadar, gue bersikap gini sama lo karena gue mau lebih deket. Gue lagi deketin lo, Jun. Tapi gue yakin lo sadar sih, secara lo kan pinter.”

Sapuan kuas di atas kanvas berhenti. Meskipun sudah menduganya, namun Renjun tidak menyangka bahwa Mark akan berkata jujur secepat ini.

“Okay...”

Mark berdiri, kini mata cokelat miliknya dengan mata hitam milik Renjun bisa bertemu pandang tanpa terhalang. “Kalau lo ngerasa risih, lo bisa bilang dari sekarang.”

Mereka berdua masih saling tatap. Mark dengan sorot mata tegang, sedang Renjun dengan sorot mata mencari keyakinan.

Sampai akhirnya ketegangan di mata Mark lenyap seiring ia melihat Renjun tersenyum. “Coba aja dulu, ya?”

Hati Mark berdebar. Meski kini ia merasa bahagia bukan kepalang, namun tidak lama pikirannya melayang pada satu orang.

Ia memikirkan Donghyuck. Akan bagaimana tanggapan bocah itu mengenai dirinya yang mendekati Renjun. Akan bagaimana sikapnya nanti terhadap Mark.

Padahal jika tidak ada rasa, Mark tidak perlu begitu memperdulikan perasaan Donghyuck.

AKMAL DAN ZAIDAN

[]

“Yayaaah!! Yayaaaah!!” Tangis Nara sedari tadi belum berhenti. Akmal menggendong Nara dalam dekapannya, lengan besarnya tidak henti menepuk-nepuk pantat sang buah hati dan mengenyampingkan badannya yang serasa remuk sehabis bekerja.

“Hey baby hey, Ayah di sini, ini Ayah udah pulang. Please stop crying.” Bujuk Akmal.

Namun Inara malah mengencangkan tangisnya.

Lalu Akmal menoleh, menatap Zaidan— sang suami, dengan pandangan menusuk. “Diapain sih? Kok bisa nangis gini?”

Zaidan mengocok botol susu milik Inara tanpa membalas ucapan Akmal, sembari berusaha memberikan padanya supaya tangisnya mereda. “Nara, ini susunya. Nara mau? Papa sudah buatin nih.”

“Dan, jawab pertanyaan Mas bisa?” Akmal kembali bertanya, kini dengan sedikit nada membentak. Mungkin efek capek sepulang bekerja dan ia tidak bisa langsung beristirahat, mungkin juga efek pusing mendengar Nara menangis tak kunjung henti dengan tubuh yang bergetar.

Idan menghela napas panjang, “aku cuma bilangin kalau kucing itu enggak boleh dipukul. Tadi dia lagi main sama Bu Rita, terus Inara mukul kucing Bu Rita pakai sandalnya. Cuma itu kok.”

“Sampe nangis kejer begini? Yakin cuma dibilangin?”

Tidak terima ucapan menuduh sang suami, kini Zaidan mulai bersikap defensive. “Mas gak percaya sama aku?”

“Yayaaaah... Yayaaaaah!!” Nara terus merajuk dengan air mata yang masih turun.

“Ya gimana, ini anakmu nangisnya kenceng. Kamu bisa gaksih ngurus dia?”

“I swear to God, I just tell her to stop!“

Mendengar orang tuanya yang malah saling berteriak, membuat Nara menjerit. “Janan belanteeem! Papaaa, Nala mau sama Papaaa!”

“Siniin Naranya.” Idan bergerak untuk mengambil Nara dari gendongan suaminya. Namun begitu tangan Idan menyentuk punggung Nara, Akmal menghindar. “Mas Mal!”

“You make her cry.” Ucap Akmal dingin.

“Don't you hear that? She want with me!”

“Papaaa!!” Seolah mendukung Papanya, Nara kembali bersuara, meronta dari dekapan Akmal dan mencari keberadaan sang Papa.

Mau tidak mau Akmal mengalah, ia menyerahkan Nara ke gendongan Idan.

“Sama Papa ya? Nara mau bobo? Apa mau mimi dulu?”

“Mimi.” Ucapnya kecil dibarengi cegukan.

“See, kamu enggak perlu khawatir berlebihan. She's fine, Mas.”

Zaidan berbalik hendak meninggalkan Akmal. Tapi kemudian ia membalikan badan dan berucap, “aku tidur di kamar tamu. Kamu lagi marah sama aku, aku enggak mau kena bentak kamu lagi.”

“Dan....” Panggil Akmal pelan, namun sayangnya Idan tidak mendengar.