0203 #366
***
Hari sabtu begini biasanya Alden akan bermalas-malasan, bangun sampai siang, mengintip jam sebentar dan kemudian tidur lagi sampai sore. Semua itu dia lakukan untuk memanfaatkan jadwal kosongnya yang jarang terjadi itu.
Seperti yang dia lakukan saat ini. Alden menggerutu kecil ketika merasakan tetesan air yang jatuh ke wajahnya, namun karena merasa itu tidak cukup menggganggu, lelaki itu malah membalik posisinya menjadi miring dan melanjutkan tidurnya.
Tapi entah datang dari mana, tetesan itu ada lagi dan kali ini benar-benar hampir membuat wajahnya basah sehingga Alden yang merasa itu mulai mengganggu tidurnya harus bangun.
Ketika dia membuka matanya, pemandangan pertama yang dia lihat adalah seseorang dengan sebuah gayung di satu genggaman tangannya, dan tangan lainnya yang basah.
Alden tidak perlu repot untuk menyesuaikan penglihatannya dulu karena dari pergelangan tangannya saja dia tahu itu siapa.
Jelas karena satu-satunya orang yang berada di kosannya hanya Arazki.
“Diem, Ki.” Hanya itu yang dia ucapkan sembari dia menarik selimut sehingga menenggalamkan seluruh kepalanya. Alden tidak tahu pengucapannya terdengar jelas atau tidak, dia tidak peduli, dia hanya ingin Arazki segera pergi dari sini.
Tapi merasakan seseorang naik ke atas kasurnya, Alden berdecak, mau tidak mau dia kembali menarik selimutnya dan melihat Arazki berdiri di atasnya yang sedang terlentang—dengan gayung di tangannya.
“Bangun.” Arazki siap menyiram Alden sekarang juga kalau anak itu mengabaikannya dan dia tidak bercanda sama sekali.
Jadilah Alden sekali lagi berdecak. “Bisa gak sih lo tuh udah gue kasih tempat di kosan gue, minimal gak usah gangguin gue. Gue buang lo lama-lama, pergi sana anjing!” Dia menendang-nendang Arazki meski dia tahu Kakaknya itu tidak akan bergerak sedikitpun. Maka Alden kembali menutupi kepalanya dengan selimut.
Arazki tentu saja langsung berjongkok, dia tarik selimut Alden kemudian dengan tangannya yang sudah dia celupkan ke dalam gayung, dia membasahi wajah Alden saat itu juga.
“Bangsat! Apasih mau lo, anjing?”
“Ayo bangun.”
“Bangun kemana sih, anjing? Mau ngapain? Lo ganggu gue mulu, keluar sendiri apa gak bisa?”
“Gak apal jalan.”
“Terus gunanya lo bawa hp apaan? Nelepon Kayana?”
“Iya.”
“Najis! Sana ah! Jalan lo sana sambil teleponan, anjing jangan ganggu gue!”
Arazki diam saja ketika Alden membalik posisinya menjadi membelakangi dirinya dan mengabaikannya.
Tapi karena tidak mau menyerah, Arazki kemudian turun, dia balik ke kamar mandi untuk menyimpan gayung terlebih dahulu kemudian kembali ke Alden.
Kemudian secara tiba-tiba dia ikut naik lagi ke atas kasur, dan ikut tidur di sebelah Alden dengan posisi saling membelakangi.
Kasur sekecil itu berkelahi dengan dua pria dewasa.
“Ngapain sih, Ki?”
“Gak bisa keluar. Tidur aja.”
Alden sebenarnya tidak peduli kalau Arazki mau robohin ini satu kosan atau ngapain, tapi masalahnya ini dia tiduran di sebelah Alden, terus dempet dempet gini kayak, geser dikit apa gak bisa, Ki??? Alden gerah banget ini.
“Anjing.” Karena merasa risi lantaran Arazki yang dengan sengaja 'mepet-mepet' ke Alden, dia akhirnya bangun dengan perasaan kesal. Dia turun dari kasurnya dan akhirnya pergi ke kamar mandi.
Kalo udah maksa gini, Alden mending pergi aja.
***
“Duh apasih?” Alden sudah selesai mandi beberapa menit yang lalu, dia tadinya sedang asik mengedit video di ponselnya, ketika Arazki tiba-tiba datang dan melempar wajahnya dengan jaket kulit hitam miliknya sendiri.
Paham tapi tidak mau peduli, Alden hanya meletakkan jaket itu di sampingnya dan kembali fokus pada ponselnya, mengabaikan Arazki yang hanya diam berdiri memperhatikan dirinya.
Dan Alden yang lama kelamaan merasa risi ditatap seperti itu oleh Arazki, Alden lantas beranjak. Niatnya untuk pergi keluar dan duduk di depan kosan, tapi Arazki malah menarik tangannya sehingga Alden mau tidak mau harus kembali berhadapan dengannya.
“Apa sih, Ki?” Alden tadinya akan mengomel, namun melihat Arazki yang secara spontan memasang ekspresi cemberut, Alden langsung menarik tangannya dari Arazki. Dia tiba-tiba merinding. “Lo kenapa, anjing?”
“Ayooo.”
Alden tidak tahu ini Arazki sengaja atau gak, tapi apa maksudnya tatapan matanya itu? Ini bukan Arazki sama sekali!
“Lo sakit ya?” Alden maju, menyentuh ke dahi Arazki yang normal, tidak ada tanda-tanda sakit sama sekali. Atau dirinya yang sakit ya?
“Ayo, keluar.” Bukannya menjawab Alden, Arazki malah merengek yang secara harfiah membuat Alden merinding sebadan-badan. Jujur, Alden takut banget. Fix sakit ini mah, sakit jiwa.
“Gila kali ya lo?”
Arazki semakin cemberut. Aldennya makin takut.
“Udah, diem dah lo di sini.”
“Mana kunci lo siniin.”
Arazki membiarkan Alden buru-buru pergi dengan kunci mobilnya di tangannya, kebetulan motornya sedang di bengkel jadi Alden harus terpaksa menggunakan mobil milik Arazki.
Saat akhirnya Alden sudah menutup pintu, Arazki berjongkok, menunduk dan mengacak-acak rambutnya sendiri sembari berteriak tertahan. Merasa malu, aneh, mual, pengen nonjok diri sendiri.
Maksudnya tadi Arazki ngikutin cara Kayana yang biasanya kalo mau ngebujuk dia, tapi Arazki gak tau kalo jadinya bakal geli banget dipraktekkin ke Alden.
Ke Kayana aja dia belum pernah begitu, kenapa malah nyoba ke Alden ya?
“Anjing lo, tolol! Idiot, goblokkk, anjing anjing anjing!” Arazki berkali-kali mengumpati dirinya sendiri.
Dia malu banget, jujur.
Namun ketika dia mendengar suara mobil dinyalakan, Arazki melupakan perasaan tadi dan buru-buru berdiri, pergi keluar dan menghampiri Alden yang benar-benar sudah akan pergi. Jadi melihat itu, Arazki segera berlari.
Alden tentu saja terkejut lantaran Arazki yang tiba-tiba muncul sembari membuka pintu mobil mereka sehingga otomatis Alden tidak bisa menjalankan mobilnya.
“Apaan sih, Ki?” Alden menaikkan nada bicaranya karena mulai malas dengan sikap Arazki.
Tapi Arazki bukannya menjawab Alden, dia malah mengatakan, “Gue yang bawa.”
“Hah?”
“Geser lo.”
Alden mengernyitkan dahinya dalam-dalam, jelas tidak mengerti dengan sikap aneh Arazki sejak tadi. Jadi dia semakin emosi sekarang. “Lo tuh kenapa sih, anjing? Lo kenapa?” Dia bahkan sampai mengulangi pertanyaannya.
Tapi Arazki hanya diam di sana, sepertinya menunggu Alden benar-benar pindah dan duduk di kursi penumpang.
“Apaansih?”
“Gue ikut.”
“Ya udah tinggal duduk aja.”
“Gue yang bawa.”
“Gue aja anjing, apa sih mau lo? Lo mau kemana emang? Kayak hapal aja jalan di sini.”
Arazki menatap datar Alden yang sedang mengomel dan kelihatan siap menonjoknya sekarang juga, ya dia gak takut juga sih.
“Ya udah lo pangku gue aja.” Arazki di luar perkiraan Alden tiba-tiba menyerobot masuk dan benar-benar akan duduk di atas pangkuannya.
“Arazki?? Anjing! Gila lo!?” Alden tentu saja segera mendorong Arazki sebelum Kakaknya itu benar-benar duduk di atasnya. Sumpah, Alden speechless banget, ini orang kenapa sih bangsat?
“Pangku gue.” Arazki masuk lagi, dan Alden segera menahan pergerakan Arazki sementara dia dengan cepat bergeser dan duduk di kursi sebelah.
“Bangsat, ambil dah tuh anjing, bajingan lo.” Alden ngedumel di sebelahnya, tapi Arazki tidak peduli sama sekali dan memilih untuk mulai menjalankan mobil mereka.
Selama di perjalanan, Alden tidak membuka suaranya sama sekali karena suasana hatinya yang buruk, dan Arazki tentu tidak akan mau repot-repot mencari topik obrolan untuk sekadar berbasa-basi.
Jadi keduanya membiarkan diri mereka tenggelam dalam kesunyian yang panjang.
Setelah kecanggungan intens di antara mereka, Alden akhirnya sadar dia dibawa kemana oleh Arazki setelah Kakaknya itu berhenti dan memarkirkan mobil mereka. Tapi Alden masih tidak mengerti, kenapa Arazki mengajaknya kemari?
“Lo ngapain dah ke sini?”
Yang benar aja, dufan?
Mau apa Kakaknya mengajaknya kemari? Maksudnya kayak, tumben??
“Turun.”
“Dih, ogah. Lo sendiri kan yang mau ke sini, ya udah sana main sendiri.”
Alden dapat melihat Arazki menatapnya dari sampingnya dan tidak mengatakan apapun lagi setelahnya, mereka kembali pada keheningan panjang yang sebelumnya yang jujur, Alden tidak mengerti, Arazki sebenarnya mau apa sih?
Tapi karena dia malas, jadi Alden hanya fokus pada ponselnya, benar-benar tidak ada niatan untuk keluar sama sekali.
Sampai akhirnya, Arazki keluar sendiri dari mobil mereka, berjalan memutar kemudian membuka pintu mobil di samping Alden dan menyeretnya keluar dengan paksa.
“Anjing! Apaansih, Ki?”
Arazki tidak menjawabnya sama sekali, hanya terus memaksa Alden keluar dari sana, dan Alden tentu saja berusaha keras untuk tidak kalah meski kenyatannya, tenaga Arazki jauh lebih kuat dari dirinya.
“Gak mau, anjing! Lo kan yang pengen ke sini, ya udah sana sendiri, kenapa harus sama gue?”
Alden mengomel panjang, dia udah mirip sama bocah sd yang tantrum gak mau dibawa ke dokter soalnya takut disuntik.
Karena Alden sadar diri kalau dia tidak akan bisa menang dari Arazki, Alden akhirnya menyerah, Alden secara paksa ditarik keluar dari mobil mereka, tepat setelahnya Arazki segera mengunci mobil mereka sehingga Alden tidak bisa lagi masuk.
“Bangsat lah lo! Ya udah sana dah! Jalan sendiri!” Alden udah bete banget, tapi Arazki yang seolah belum puas merusak ketenangan Alden, dia mencengkeram dan menarik tangan Alden sehingga anak itu mau tidak mau harus mengikutinya.
Sepanjang jalan, Alden terus-terusan mengumpat dengan tangannya yang masih diseret-seret Arazki. Sejak tadi dia berusaha agar Arazki melepaskannya tapi sampai mereka benar-benar masuk ke area wahana permainan, Alden belum bisa menjauhkan dirinya dari Arazki.
“Ah anjing! Lo mau apa sih sebenernya?” Alden mendorong Arazki yang mana kali ini sukses membuat dirinya berhasil terlepas dari cekalan Kakaknya.
Tapi Arazki secara mengejutkan tidak marah sama sekali dan malah berkata, “Pilih tuh, mau yang mana.”
“Mau ke sana.” Alden menunjuk ke arah yang tadi sempat mereka lalui untuk sampai ke sini, jalan kembali ke mobil mereka.
Arazki segera menjawab, “Naik satu dulu, baru bisa pulang.”
“Ah, maleslah, anjing!” Alden akan pergi, tapi Arazki lagi-lagi menahan tangannya hanya saja kali ini tidak mencekalnya kuat-kuat sehingga Alden refleks bersitatap dengan Kakaknya.
Namun setelah ditunggu, Arazki tidak mengatakan apapun yang membuat Alden kali ini menghela nafasnya.
“Gue mau duduk.” Alden dengan mudah menarik tangannya dari Arazki dan berjalan mendekati bangku kosong untuk dia duduki.
Arazki mengikutinya. Awalnya dia hanya berdiri memperhatikan Alden yang sedang memainkan ponselnya, kemudian dia ikut duduk di sebelah Alden dan ikut memainkan ponselnya sendiri.
Alden kan jadi kayak ?????
Ngapain ke sini kalo dia jadinya cuma ikutan scroll scroll twitter.
Mereka berdua pada akhirnya bertahan dalam posisi itu tanpa ada niatan untuk saling berbicara satu sama lain, tentu saja, lagipula Alden tidak akan mau repot repot melakukan itu.
Namun setelah beberapa saat, Alden tidak lagi menemukan sesuatu yang menarik di ponselnya, alhasil dia menutup benda itu dan memasukannya ke dalam saku.
Alden menatap ke hadapannya, dimana banyak anak-anak yang nampak bersenang-senang menikmati suasana liburan bersama keluarga mereka.
Entah kenapa, Alden jadi refleks sedikit melirik ke Arazki yang ternyata tidak lagi memainkan ponselnya dan malah melamun.
Ini serius, sebenarnya apa sih tujuan Arazki membawanya ke sini kalau ujung-ujungnya dia sendiri saja nampak ogah-ogahan berada di tempat ini.
“Mana?”
Arazki sedikit tersentak ketika Alden tiba-tiba memukul lengannya kemudian ketika melihat adiknya itu menengadahkan tangan kepadanya. Jadi karena tidak mengerti, Arazki hanya menaikkan satu alisnya.
Alden mendesah jengah karena berpikir kalau Arazki sedang berpura-pura tidak mengerti. “Mana sini kunci, gue mau balik.”
“Nanti.”
“Terus lo mau ngapain di sini, buruan lah!” Alden tidak bisa lagi membendung kekesalannya karena waktu liburnya yang terbuang sia-sia hanya karena ketidakjelasan Arazki.
Mending dia pulang aja dah sumpah.
“Naik satu dulu, baru pulang.”
Alden berdecak, kalau sudah begini mau bagaimanapun juga dia tidak akan bisa pulang sebelum Arazki benar-benar mencapai tujuannya.
“Naik itu.” Alden menunjuk ke salah satu wahana ekstrim yang jujur saja, sedikit menarik minatnya sejak awal.
“Berani gak lo?” Alden tersenyum miring, dia yakin Arazki tidak akan mau naik hysteria.
Tapi sekali lagi di luar dugannya, Arazki mengantongi ponselnya dan bersiap untuk beranjak sembari mengatakan, “Ya, ayo.”
Alden mengerjap beberapa kali. Tidak percaya kalau Arazki benar-benar menerima tantangannya. Masalahnya, tidak tahu dia bisa survive dengan wahana seperti itu. Dia tadi hanya iseng saja, Arazki juga pasti mana berani, tapi kok malah setuju?
Ini Alden yang takut jadinya.
“Serius mau naik itu?” Alden bertanya sembari mengekori Arazki yang terlihat sangat yakin di hadapannya.
“Hm. Emang lo gak serius?”
“Gak. Tapi ya udah, ayo coba.” Alden penasaran juga sih, lagipula siapa tau abis ini Arazki kapok kan nyeret sama maksa-maksa dia ke sini.
Mereka berdua benar-benar serius pada ucapan mereka. Arazki jalan terlebih dahulu dan memilih tempat duduk paling tepi sementara Alden berada di sebelahnya.
Anak itu sampai melirikkan matanya berkali-kali pada Arazki, mencoba melihat bagaimanna perasaan Arazki sekarang, tapi kakaknya itu bahkan tidak memasang raut wajah apapun. Yah, apa yang Alden harapkan?
“Lo seriusan?” Alden bertanya sekali lagi karena jujur, dia sedikit bingung dan khawatir. Arazki itu takut ketinggian, bisa-bisanya dia nekat mengiyakan permintaannya yang asal-asalan itu?
Arazki tidak menjawab dan tidak juga melirik ke Alden sedikitpun, tapi Alden tidak kesal karena dia sendiri juga tiba-tiba merasa perutnya tidak enak. Sial, kenapa jadi dia yang takut ya?
“Lo takut ya?”
Alden dengan cepat menoleh ke Arazki dan melihatnya tersenyum dengan cara yang menyebalkan tanpa menatapnya sama sekali. Serius, nyebelin banget dah ini.
“Anjing, lo. Awas aja.” Alden bergumam, dan tepat setelahnya, Alden merasakan kalau benda ini mulai bergerak naik secara perlahan.
Penasaran sekali lagi, Alden menoleh, dan dia melihat Arazki sudah memejamkan matanya rapat-rapat dengan kedua tangannya yang mencekal erat pengaman, padahal wahana ini belum benar-benar meluncur.
Baru akan meledek Arazki, dia tiba-tiba meluncur ke atas dengan sangat cepat sampai Alden tidak sempat menarik nafasnya sendiri.
Bahkan, tidak ada jeda waktu sedikitpun, dia merasakan dirinya dihempas secepat kilat kemudian ditarik lagi ke atas dan hal ini terus berlanjut dengan kecepatan yang kian bertambah.
Alden tidak berteriak sama sekali, tapi serius gila ini wahana, Alden nyesel banget minta naik psikopat ini. Tau gitu dia naik komedi putar aja tadi.
“Ki, lo mau minum?”
Arazki menggelengkan kepalanya sembari memukul kedua lututnya secara bergantian lantaran kakinya mati rasa pasca dia selesai menaiki wahana permainan yang tadi.
“Lo ... gapapa?” Alden memandangi Arazki yang masih berjongkok, sedikit merasa bersalah karena sudah membuat kakaknya harus melawan rasa takutnya sendiri.
“Ya udah kalo gitu pulang aja gak sih, sini gue yang bawa mobilnya.”
Setelah mengatakan itu, Arazki spontan berdiri, memasang tampang datar seolah tidak terjadi apa-apa. “Lanjut.”
“Anjing, lo emang gila.” Alden mengumpat padanya, tapi tidak berniat marah sama sekali.
Merasa tidak tega karena gini-gini Alden masih punya rasa empati, dia mengedarkan pandangannya. Berniat mencari booth makanan di sekitar sana karena dia sebetulnya juga merasa lapar.
“Beli makan aja deh.”
Arazki ikut menoleh dan melihat ada booth makanan yang lumayan ramai. “Suit. Yang kalah ngantri sama bayarin.”
“Apaan dah bocah banget, gak mau.”
Arazki tentu saja tersenyum miring karena Alden sepertinya takut pada kekalahannya sendiri.
“Takut kalah?”
“Apaansih, males gue, anjing! Udah sini cepetan!” Alden malas, tapi dalam hati juga dia masih pengen menang sih.
Liat aja, Alden bakal balas dendam.
Alden menunjukkan kepalan tangannya yang artinya dia mengeluarkan batu, sementara Arazki membiarkan telapak tangannya terbuka dan menunjukkan kalau dia mengeluarkan kertas.
Arazki tersenyum puas atas kemenangannya.
“Bangsatttt.” Alden mengumpat panjang, bukan kesal karena kalah, tapi kesal melihat wajah Arazki yang benar-benar menyebalkan dan begitu meledek dirinya.
“Mau yang paling mahal,” ujar Arazki, sebelum Alden benar-benar pergi dari sana.
“Bodo amat, asu!” Alden pergi sambil tanpa sadar dia menghentakkan kakinya. Arazki hampir tertawa tapi untungnya dia masih bisa mengontrol dirinya sendiri.
***
Alden mengedarkan pandangannya ke seluruh area tapi tidak dapat menemukan dimana Arazki berada. Dia sudah mengirimnya pesan tapi belum kunjung dibalas alhasil Alden memilih duduk di bangku kosong yang tadi mereka tempati sendirian, dengan dua buah corndog di tangannya, satunya memang milik Arazki tapi Alden masih belum melihat batang hidungnya.
“Masa nyasar?” Alden menggigit corndog miliknya sembari mencoba menelepon Arazki, tapi karena tidak ada jawaban, dia kembali membuka aplikasi lain.
Biar ajalah, kalo nyasar beneran tinggal bikin announcement, lagian siapa suruh pergi-pergi sendirian.
“Gak beli minum?”
Alden sedikit terkejut karena datangnya suara yang tiba-tiba itu dan menoleh untuk melihat Arazki dan setengah rambutnya yang terlihat basah.
“Lo mandi kah?”
“Abis wudhu.” Arazki jawab ngasal aja ini mah.
“Buset, wudhu apa keramas lo?”
Arazki duduk di sebelah Alden, memakan corndog miliknya sendiri kemudian menjawab pertanyaan Alden, “Biar dosanya cepet ilang jadi airnya yang banyak.”
“Anjir, oke.” Alden tidak tahu kenapa dia tertawa, tapi jokes Arazki barusan lucu menurutnya.
“Abis ini pulang?”
“Tar, cari es krim dulu.” Alden mendadak jadi betah di sini dan Arazki nya iya iya aja.
“Suit.” Arazki mengangkat kepalan tangannya, bermaksud mengajak Alden melakukan suit lagi.
“Anjing, bocah banget sih.” Alden memang mengatakan itu, tapi jiwa balas dendamnya meronta-ronta. Jadilah mereka berdua melakukan suit sekali lagi dan kali ini keberuntungan memihak pada Alden.
“Mau yang paling mahal.”
“Hm. Gue beli pedagangnya entar.”
“Bangsat.” Alden refleks memukul lengan Arazki, benar-benar tidak habis pikir.
Alden sudah menghabiskan makanannya, tapi Arazki bahkan belum makan setengahnya. Jadi keduanya masih duduk diam di sana sembari memerhatikan orang lalu lalang dan tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing.
“Lo tumben banget lagian?”
Arazki langsung menoleh dan menatap Alden dengan alis terangkat satu.
“Ya, ngajak ke tempat ginian. Biasanya lo gak pernah mau kan diajak sama Nad atau yang lain ke sini.”
Arazki tidak langsung menjawab dan membiarkan keheningan kembali mendera mereka. Alden juga tidak mendesaknya sama sekali karena dia juga tidak mengerti, kenapa dia harus mempertanyakan itu ke Arazki?
“Lo seneng gak?”
Kali ini, gantian Alden yang menatap bingung atas pertanyaan Arazki. Tapi dia langsung menjawab, “Tengah tengah.”
“Emang kalo gak seneng kenapa? Kalo seneng kenapa?” Alden balik bertanya pada Arazki.
“Kalo gak seneng gue iket di hysteria.”
“Emang lo yang paling anjing kata gue mah.”
Arazki tidak menyahut lagi, sementara Alden tidak ada alasan lagi untuk bertanya pada Arazki karena semua jawaban yang keluar dari mulutnya itu ngawur dan nyebelin banget, Alden jadi males.
“Soalnya besok tanggal 1.”
Alden mendengar itu, namun karena suara Arazki terdengar kecil dan tidak jelas jadi Alden menoleh ke Arazki, tapi dia tidak menemukan Arazki tengah berbicara kepadanya jadi Alden berpikir dia hanya salah dengar.
“Next naik halilintar,” kata Alden.
“Rumah hantu.” Arazki segera memotongnya.
“Gak, halilintar dulu.”
“Rumah hantu.”
“Anjirlah, sini suit!” Alden mengangkat kepalan tangannya, bersiap melakukan suit untuk yang kesekian kalinya dan Arazkinya nurut aja soalnya dia juga kepengen menang.
Alden tidak pernah mengira kalau salah satu dari harapannya yang mustahil akan terjadi benar-benar bisa kejadian begini.
Jujur saja, Alden terkadang sedikit iri melihat dua saudara yang akrab, bahkan sampai mereka bisa pergi keluar bersenang-senang tanpa merasa bersalah, sementara dia dengan Arazki bahkan mengobrol saja kadang masih kerasa canggungnya.
Sekarang, Arazki tiba-tiba mengajaknya keluar seperti ini, dengan inisiatifnya sendiri, jujur saja, Alden terkejut dan sedikit takut tapi juga dia merasa senang.
Senang karena dia akhirnya bisa merasakan bagaimana rasanya berada di posisi seorang adik yang sering dia lihat di video sosial medianya itu.
Tapi dia juga takut, Arazki yang begini secara mengejutkan adalah hal yang akan dia rasakan sekali seumur hidupnya saja.
Arazki gak bakal kemana-mana kan?
Kalau Alden ditanya dia senang atau tidak, Alden bakal jawab kalau dia senang, dia sangat senang hari ini. Tapi kalau senangnya hari ini malah diganti dengan hal yang lebih buruk, Alden lebih baik untuk tidak usah merasakan senang sama sekali.
“Lo gak bakal kemana-mana kan?”
Arazki berhenti ketika telinganya mendengar dengan jelas pertanyaan itu. Dia berbalik, menatap ke Alden yang berusaha keras untuk tidak berkontakmata dengannya.
“Kemana emang?” Arazki malah balik bertanya, wajahnya tidak menunjukkan ekspresi sama sekali tapi dia penasaran dengan maksud pertanyaan Alden.
“Ya gak tau, lo tiba-tiba begini nanti besoknya ngilang kan gak lucu.”
Arazki tersenyum tipis, entah kenapa merasa lucu melihat Alden mengkhawatirkan dirinya terang-terangan begini.
“Emang gue gak boleh kayak gini?”
“Kayak gini boleh, ngilangnya yang jangan.”
Arazki berdengung panjang, seolah benar-benar menangkap maksud Alden. Dia menatap Alden yang berdiri di hadapannya, kemudian mendekat satu langkah, mengacak-acak rambutnya tanpa sebab tapi Alden tidak marah kali ini karena setelahnya Arazki berbicara kepadanya.
Tapi Alden tidak dapat mengingat kata-kata itu dengan jelas padahal dia harap dia tidak akan pernah lupa. Padahal rasanya belum lama tapi kenapa Alden tidak bisa mengingat apa yang Arazki katakan hari itu? Alden tidak ingin lupa.
“Jahat banget, anjing.” Alden tertawa miris pada kertas di tangannya. Dia kepal kuat-kuat benda itu, kemudian dia tinju lantai dingin di bawahnya.
“Lo jahat, anjing!” Alden membentak kesunyian. Dia meninju ke lantai, memukul kepalanya sendiri dan sekali lagi berteriak di balik telapak tangannya yang bergerak mengusap wajahnya sendiri dengan kasar.
Alden meringkuk, menenggelamkam wajahnya di atas kedua lututnya sembari menarik rambutnya sendiri. Dia tidak tahu lagi harus melampiaskan rasa sakitnya seperti apa lagi karena dia sudah tidak bisa lagi menangis.
“Lo ada kepengen sesuatu?”
Di tengah malam, saat Alden mulai merasa ngantuk dan akan tidur, Arazki tiba-tiba menanyakan kepadanya sebuah pertanyaan yang bahkan tidak penting sama sekali.
Jadi Alden tidak menjawabnya. Dan Arazki merasa tidak puas, maka dari itu dia kembali mengulangi pertanyaannya tapi kali ini, dia sedikit bangun untuk bisa mendekat dan berbisik tepat ke telinga Alddn “Lo ada kepengen sesuatu?”
“Bangsat!” Alden refleks memukul Arazki, dan Arazki spontan menampar wajahnya untuk membalas perbuatannya. Padahal yang mulai duluan jelas-jelas dia sendiri.
“Bisa gak sih biarin gue tidur? Dari tadi pagi sampe malem ini lo bikin gue gak bisa tidur. Stop ganggu gue, anjing! Gue ngantuk! Sana lah lo!” Alden berteriak pada Arazki sembari dia menarik selimut sampai menutupi seluruh wajahnya.
Tapi Arazki tidak menyerah sama sekali hingga kali ini dia benar-benar bangun dan duduk, dia tarik selimut Alden kemudian dia kembali berbicara di depan telinganya.
“Kenapa emang lo gak kepengen sesuatu? Ayo pengen aja, ayo cepetan.”
“Arazki anjing!” Alden merinding dan sangat amat kesal. “Beliin gue rumah sana lo!”
“Itu aja?”
Alden bergumam, dia membalik posisinya jadi membelakangi Arazki, dan mencoba untuk tidur lagi. Di sebelahnya juga Arazki akhirnya merebahkan diri, dia tidak lagi bicara sehingga suasana kamar kembali sunyi.
Tapi sekarang sialannya dia tidak merasakan kantuk sama sekali dan malah kepikiran sesuatu.
“Gak usah kasih gue apa-apa.” Alden tidak tahu kenapa dia jadi mengatakan itu, dan dia tidak tahu apakah Arazki masih bangun atau tidak dan mendengarkannya sekarang.
“Cukup ucapin gue aja tiap tahun, itu aja.”
“Gue gak butuh yang lain.”
“Ya udah, habede.” Arazki ternyata belum tidur, dan Alden tentu saja dapat mendengar dengan jelas ucapan ogah-ogahan Arazki di belakangnya.
“Kayak gak ikhlas,” gumam Alden, tapi Alden tetap tersenyum pada itu.
Alden meremat kertas yang sudah lusuh di tangannya sekali lagi, dia sudah berkali-kali mengepalkan dan mengambil lagi kertas itu dan terus membaca kalimat di dalamnya berulang kali padahal dia tahu, kalimat itu tidak akan bisa berubah sama sekali.
“Kenapa lo nyalahin kita padahal lo sendiri yang gak bisa dihubungin!” Aksana mendorong Alden yang spontan memukul Aristian karena kekesalannya.
Tidak ada yang memberitahunya soal Arazki, tidak ada satupun yang mengabarinya tentang Arazki. Dia tidak tahu sama sekali kalau selama ini Arazki mengidap leukimia.
Bahkan di hari itu Alden masih tidak sadar kalau Arazki sebenarnya menyembunyikan rasa sakitnya hanya untuk mengajaknya keluar di sebelum hari ulang tahunnya.
“Lo yang ninggalin rumah! Lo ngilang, lo yang gak pernah ngangkat dan baca pesan kita, bahkan nomor Tian pun lo block tanpa sebab! Terus lo nyalahin kita? Gak ada yang ngasih tau lo, lo bilang?”
“Gue nyari lo, Al. Gue sama Tian nyariin lo yang ngilang setahun, tapi lo sendiri kan yang gak pengen ketemu sama kita?”
“Terus sekarang lo masih nyalahin kita?”
Alden mengumpat, kali ini dia melempar kertas yang sudah dia kepal kuat-kuat ke sembarangan arah. Dia tidak butuh surat itu, dia tidak butuh ucapan itu.
“Gue bilang lo harus ngucapin gue terus, bukan kayak gini maksudnya, anjing!”
“Gue mau lo yang ngomong di depan muka gue! Gue gak butuh tulisan lo, bangsat!” Alden mengacak-acak rambutnya sendiri sekali lagi dan mengusap wajahnya dengan kasar. Dadanya terasa sangat sesak, tapi Alden tidak bisa menangis sama sekali padahal dia butuh itu sekarang.
“Lo tolol, Ki! Emang tolol!” Alden memukuli kepalanya sendiri, kepalanya berisik tapi dia merasa kesepian lebih banyak mendekapnya di sini.
“Happy birthday, Al. Gue nulis ini buat lo soalnya gue gak yakin bisa ngucapin lo terus kayak yang lo harapin waktu itu, mungkin gue bakal sibuk atau kenapa ya gak tau sih. Sorry. Cuma mau bilang itu aja, makasih lo udah mau jadi Adek gue, i'm a lucky person because i have you as my siblings. Jangan pergi yang jauh ya?”
“Bangsat.” Alden menenggelamkan wajahnya di balik kedua telapak tangannya. Nafasnya tersengal karena setelah semua perasaan yang menyiksanya selama ini, semua pertahanannya runtuh.
Alden menangis tanpa suara di dalam kamar Arazki yang gelap. Tidak ada lagi orang yang akan mengejeknya jika dia melihat dirinya menangis seperti bocah cengeng saat ini.
Tidak ada lagi orang yang akan mengajaknya pergi entah kemana di hari ulang tahunnya, orang yang akan mengingat hari tidak penting itu selain ucapannya yang abadi dalam tulisan.
“Lo jahat, Ki, anjing!” Alden benci perasaan seperti ini, Alden benci menangis seperti ini, tapi dia tidak bisa lagi menemukan cara lain untuk melampiaskan semuanya.