Darkizhit

1509


Andhito sebetulnya menyadari ada yang aneh dengan rute yang dia lewati. Tapi dia hanya diam, pura-pura tidak tahu dengan terus memainkan ponselnya, dan membiarkan Alden menyetir di sebelahnya dengan ekspresi kesal yang dia tidak mengerti datang dari mana.

“Sorry gue malah minta jemput elo.”

Alden yang mendengar kalimat itu keluar dari mulut adiknya sontak langsung menoleh untuk beberapa saat, fokusnya otomatis langsung terbagi.

“Kenapa minta maaf?”

Andhito bergumam, tidak tahu harus berkata apa. Dia tahu kakaknya yang satu itu memang sering berada dalam suasana hati yang tidak bagus, tapi Andhito tidak tahu kalau ekspresi itu muncul gara gara dirinya.

“Gue gak marah sama lo.”

“Terus?”

Alden hanya menjawab pertanyaan itu dengan keheningan. Namun beberapa saat kemudian, dia menjawabnya, “Arki.”

“Ooh.” Andhito bergumam singkat. Memilih untuk tidak ikut campur dengan masalah personal kedua Kakaknya itu karena dia memang sudah sering melihat keduanya bertengkar. Jadi masalah seperti ini pasti bisa mereka selesaikan sendiri.

Namun Andhito menjadi semakin penasaran karena dia tidak mengingat jalan yang tengah dia lewati ini adalah jalan menuju ke rumahnya.

Maksudnya, kenapa sejak tadi Alden justru mengemudi ke arah yang berlawanan dengan rumah mereka?

Namun karena Andhito tidak berani bertanya, dia hanya diam karena pastinya nanti juga dia akan segera mengetahui kemana tujuan Alden setelah mereka sampai.

“Tunggu bentar.”

Alden segera keluar tanpa mematikan mesin mobilnya setelah dia berhenti di depan sebuah tempat yang terlihat seperti cafe tapi lebih tertutup dari cafe yang biasa dia lihat sebelumnya.

“Lo kemana?”

“Tunggu di sini, 5 menit,” final Alden, sebelum akhirnya dia benar-benar keluar meninggalkan Andhito tanpa penjelasan apapun.

Andhito yang tidak mengerti ada apa lebih memilih untuk menurut. Tetapi dia sejujurnya masih sangat penasaran kenapa Alden tiba-tiba terlihat begitu sangat kesal dan ada urusan apa Alden di tempat ini dan dengan siapa.

Andhito ingat tadi Alden berpamitan kepadanya untuk waktu lima menit, tapi dia tidak benar-benar menghitung sudah berapa lama dia berada di dalam mobil ini, menunggu Alden yang masih belum kembali sejak tadi.

Sampai kemudian, Andhito yang sudah terlalu larut dalam kesendirian itu tiba-tiba dikejutkan oleh suara gedebug kencang, sebelum akhirnya seseorang tiba-tiba membuka pintu mobil tepat di sampingnya dan tiba-tiba menarik tangannya.

Andhito langsung membeku karena kaget dan kebingungan.

“Ki....” Suara Alden terdengar lelah, tapi alih-alih mendengarkan, Arazki yang bertindak aneh ini malah semakin menariki lengannya dengan sekuat tenaga.

“Gak mauu! Gak mauuu pulanggg!”

Dibanding terkejut dengan Arazki yang tiba tiba hendak menyeretnya, Andhito lebih terkejut pada Arazki yang tiba-tiba merengek dan membuat wajah memohon seperti itu.

Andhito tidak tahu apa yang baru saja terjadi di antara kedua kakaknya, dan Andhito tidak tahu apa yang terjadi pada Arazki, hanya yang jelas, sejauh dari yang dia biasa lihat, Arazki tidak pernah bersikap seperti ini apalagi jika sedang bertengkar dengan Alden.

Atau aslinya memang mereka selalu seperti ini dan Andhito saja yang tidak tahu.

Yang jelas, Andhito benar-benar shock. Sangat shock.

“Ki anjing, gue tinggal lah!” Alden meledak, tapi orang yang diduga adalah Arazki ini dan tengah kesurupan justru malah menatap ke Andhito. Dia cemberut sampai Andhito tidak bisa mengenali siapa yang beradap di hadapannya ini.

“Ayo plissss, ke sanaaaa....” Arazki merengek kepadanya sembari mencoba menarik dan mengguncang-guncang tangannya. “Plissssss”

Ini Andhito harus ngapain, Andhito gak ngerti sumpah.

“Kak... s-sorry, kayaknya Kak Alden gak mau.” Andhito menggigit bibirnya kemudian usai dia mengucapkan kalimatnya barusan. Benar-benar merasa aneh harus memanggil orang yang bertindak sangat asing di hadapannya dengan sebutan Kakak.

Karena ini bukan Kakaknya yang dia kenal sama sekali....

“Jahat.” Arazki semakin menekuk wajahnya. Dia akhirnya melepaskan Andhito, tapi kekesalan tergambar jelas di matanya, namun masih kelihatan .... lucu.

Andhito takut.

“Gak mau sama kalian.” Arazki hendak pergi, tetapi Alden lebih cepat untuk menarik dan kembali menyeret Arazki agar masuk ke dalam mobil.

“Tahan, Dhit, kalo dia mau keluar,” ujar Alden, setelah berhasil mendorong kakaknya itu ke bangku belakang.

“Jahat! Jahat! Jahat!! Mau ke sanaaaaa, mau ke sanaaaa.”

“Ya udah sana! Keluar!” Alden belum menjalankan kembali mobilnya dan malah mematikan mesin mobil mereka ketika dia tiba-tiba berteriak pada Arazki.

Tapi karena Andhito duduk di sampingnya, dia jadi bisa melihat dengan jelas kemarahan di wajah Alden.

“Kenapa diem? Katanya mau keluar?” Alden kembali bersuara setelah dia hanya menerima kebisuan dari Arazki.

“Gue gak suka ya lo kalo ada masalah kayak gini terus. Mau sampe kapan sih, anjing? Sampe gue mati?”

Jujur Andhito tidak tahu masalah apa yang terjadi pada mereka berdua sampai-sampai dia harus ikut terjebak pada suasana ini.

Andhito benar-benar tidak mengerti, dan tidak tahu apa yang harus dia lakukan sekarang selain diam, mengatur nafasnya sendiri karena dia merasa tidak berhak bernafas di sini.

“Kenapa sih lo marahin gueee?” Tapi Arazki malah merengek lagi.

Sumpah, kenapa Andhito harus terjebak di sini....

“Diem atau gue buang.”

“Tch, emang jahat terus, orang orang jahat terus sama gue... semuanya jahat terus, gak ada yang pernah baik sama gue, gak ada yang peduli sama gue.”

“Gak usah didengerin, Dhit. Sorry lo harus ngeliat beginian.”

Andhito segera melihat ke arah Alden. Dia sebetulnya ingin bertanya tentang apa yang sebenernya terjadi pada Arazki sampai-sampai Kakaknya itu bersikap sangat amat aneh malam ini.

Tapi Andhito takut.

Takut yang di belakang semakin berisik kalau dia tiba-tiba bicara pada Alden.

“Lo gak akan ngerti, Dhit. Gue juga gak ngerti dia kenapa soalnya.”

Dan lagi-lagi Alden seperti biasa, dapat menebak isi kepalanya seperti seorang cenayang.

Andhito jadi gak tahu harus takut sama siapa sekarang.

“Lo masih sayang gue gak sih?” Arazki kembali bersuara setelah sejak tadi dia berbicara pada dirinya sendiri. “Udah gak sayang gue lagi ya?”

“Bisa stop najis kayak gitu gak?”

“Cium dulu kalo masih sayang?”

“APAANSIH BANGSAT, DIEM????”

Ini apa lagi ya Allah, Andhito beneran pusing.

“Gue sedih.” Arazki di kursi belakang cemberut. Kalau Andhito melirikkan matanya pada kaca spion di atas kepalanya, Andhito dapat melihat wajah muram Arazki yang tidak pernah dia lihat seumur hidupnya.

“Kayana juga udah gak sayang gue.”

Andhito entah kenapa tiba-tiba tersedak sehingga harus batuk di suasana seperti ini.

“Diputusin kah emangnya?” Dan Alden malah memancing.

“Gak mauuuuu.” Arazki kembali merengek dengan suaranya yang gemetaran kali ini.

“Ya udah lo diem makannya biar gak diputusin Kayana.”

Secara ajaib, Arazki benar-benar diam. Saking diamnya, ketika Andhito melirik ke kaca spion, dia melihat Arazki ternyata sudah tidur sejak tadi.

“Itu emang kayak gitu ya, Kak?”

“Apanya?”

“Gak jadi.” Andhito tadinya ingin membahas soal keanehan Arazki dan bertanya makhluk apa yang baru saja merasuki kakaknya itu.

Tapi melihat Arazki habis baterai begitu, Andhito percaya deh kayaknya yang barusan itu emang beneran Arazki....

“Lo tanyain aja besok sama kakak lo itu,” ujar Alden.

Membuat Andhito menggeleng untuk menolak saran tersebut. Mending dia pura-pura amnesia deh daripada harus bahas kejadian ini di depan orangnya langsung.

0203 #366

***

Hari sabtu begini biasanya Alden akan bermalas-malasan, bangun sampai siang, mengintip jam sebentar dan kemudian tidur lagi sampai sore. Semua itu dia lakukan untuk memanfaatkan jadwal kosongnya yang jarang terjadi itu.

Seperti yang dia lakukan saat ini. Alden menggerutu kecil ketika merasakan tetesan air yang jatuh ke wajahnya, namun karena merasa itu tidak cukup menggganggu, lelaki itu malah membalik posisinya menjadi miring dan melanjutkan tidurnya.

Tapi entah datang dari mana, tetesan itu ada lagi dan kali ini benar-benar hampir membuat wajahnya basah sehingga Alden yang merasa itu mulai mengganggu tidurnya harus bangun.

Ketika dia membuka matanya, pemandangan pertama yang dia lihat adalah seseorang dengan sebuah gayung di satu genggaman tangannya, dan tangan lainnya yang basah.

Alden tidak perlu repot untuk menyesuaikan penglihatannya dulu karena dari pergelangan tangannya saja dia tahu itu siapa.

Jelas karena satu-satunya orang yang berada di kosannya hanya Arazki.

“Diem, Ki.” Hanya itu yang dia ucapkan sembari dia menarik selimut sehingga menenggalamkan seluruh kepalanya. Alden tidak tahu pengucapannya terdengar jelas atau tidak, dia tidak peduli, dia hanya ingin Arazki segera pergi dari sini.

Tapi merasakan seseorang naik ke atas kasurnya, Alden berdecak, mau tidak mau dia kembali menarik selimutnya dan melihat Arazki berdiri di atasnya yang sedang terlentang—dengan gayung di tangannya.

“Bangun.” Arazki siap menyiram Alden sekarang juga kalau anak itu mengabaikannya dan dia tidak bercanda sama sekali.

Jadilah Alden sekali lagi berdecak. “Bisa gak sih lo tuh udah gue kasih tempat di kosan gue, minimal gak usah gangguin gue. Gue buang lo lama-lama, pergi sana anjing!” Dia menendang-nendang Arazki meski dia tahu Kakaknya itu tidak akan bergerak sedikitpun. Maka Alden kembali menutupi kepalanya dengan selimut.

Arazki tentu saja langsung berjongkok, dia tarik selimut Alden kemudian dengan tangannya yang sudah dia celupkan ke dalam gayung, dia membasahi wajah Alden saat itu juga.

“Bangsat! Apasih mau lo, anjing?”

“Ayo bangun.”

“Bangun kemana sih, anjing? Mau ngapain? Lo ganggu gue mulu, keluar sendiri apa gak bisa?”

“Gak apal jalan.”

“Terus gunanya lo bawa hp apaan? Nelepon Kayana?”

“Iya.”

“Najis! Sana ah! Jalan lo sana sambil teleponan, anjing jangan ganggu gue!”

Arazki diam saja ketika Alden membalik posisinya menjadi membelakangi dirinya dan mengabaikannya.

Tapi karena tidak mau menyerah, Arazki kemudian turun, dia balik ke kamar mandi untuk menyimpan gayung terlebih dahulu kemudian kembali ke Alden.

Kemudian secara tiba-tiba dia ikut naik lagi ke atas kasur, dan ikut tidur di sebelah Alden dengan posisi saling membelakangi.

Kasur sekecil itu berkelahi dengan dua pria dewasa.

“Ngapain sih, Ki?”

“Gak bisa keluar. Tidur aja.”

Alden sebenarnya tidak peduli kalau Arazki mau robohin ini satu kosan atau ngapain, tapi masalahnya ini dia tiduran di sebelah Alden, terus dempet dempet gini kayak, geser dikit apa gak bisa, Ki??? Alden gerah banget ini.

“Anjing.” Karena merasa risi lantaran Arazki yang dengan sengaja 'mepet-mepet' ke Alden, dia akhirnya bangun dengan perasaan kesal. Dia turun dari kasurnya dan akhirnya pergi ke kamar mandi.

Kalo udah maksa gini, Alden mending pergi aja.

***

“Duh apasih?” Alden sudah selesai mandi beberapa menit yang lalu, dia tadinya sedang asik mengedit video di ponselnya, ketika Arazki tiba-tiba datang dan melempar wajahnya dengan jaket kulit hitam miliknya sendiri.

Paham tapi tidak mau peduli, Alden hanya meletakkan jaket itu di sampingnya dan kembali fokus pada ponselnya, mengabaikan Arazki yang hanya diam berdiri memperhatikan dirinya.

Dan Alden yang lama kelamaan merasa risi ditatap seperti itu oleh Arazki, Alden lantas beranjak. Niatnya untuk pergi keluar dan duduk di depan kosan, tapi Arazki malah menarik tangannya sehingga Alden mau tidak mau harus kembali berhadapan dengannya.

“Apa sih, Ki?” Alden tadinya akan mengomel, namun melihat Arazki yang secara spontan memasang ekspresi cemberut, Alden langsung menarik tangannya dari Arazki. Dia tiba-tiba merinding. “Lo kenapa, anjing?”

“Ayooo.”

Alden tidak tahu ini Arazki sengaja atau gak, tapi apa maksudnya tatapan matanya itu? Ini bukan Arazki sama sekali!

“Lo sakit ya?” Alden maju, menyentuh ke dahi Arazki yang normal, tidak ada tanda-tanda sakit sama sekali. Atau dirinya yang sakit ya?

“Ayo, keluar.” Bukannya menjawab Alden, Arazki malah merengek yang secara harfiah membuat Alden merinding sebadan-badan. Jujur, Alden takut banget. Fix sakit ini mah, sakit jiwa.

“Gila kali ya lo?”

Arazki semakin cemberut. Aldennya makin takut.

“Udah, diem dah lo di sini.”

“Mana kunci lo siniin.”

Arazki membiarkan Alden buru-buru pergi dengan kunci mobilnya di tangannya, kebetulan motornya sedang di bengkel jadi Alden harus terpaksa menggunakan mobil milik Arazki.

Saat akhirnya Alden sudah menutup pintu, Arazki berjongkok, menunduk dan mengacak-acak rambutnya sendiri sembari berteriak tertahan. Merasa malu, aneh, mual, pengen nonjok diri sendiri.

Maksudnya tadi Arazki ngikutin cara Kayana yang biasanya kalo mau ngebujuk dia, tapi Arazki gak tau kalo jadinya bakal geli banget dipraktekkin ke Alden.

Ke Kayana aja dia belum pernah begitu, kenapa malah nyoba ke Alden ya?

“Anjing lo, tolol! Idiot, goblokkk, anjing anjing anjing!” Arazki berkali-kali mengumpati dirinya sendiri.

Dia malu banget, jujur.

Namun ketika dia mendengar suara mobil dinyalakan, Arazki melupakan perasaan tadi dan buru-buru berdiri, pergi keluar dan menghampiri Alden yang benar-benar sudah akan pergi. Jadi melihat itu, Arazki segera berlari.

Alden tentu saja terkejut lantaran Arazki yang tiba-tiba muncul sembari membuka pintu mobil mereka sehingga otomatis Alden tidak bisa menjalankan mobilnya.

“Apaan sih, Ki?” Alden menaikkan nada bicaranya karena mulai malas dengan sikap Arazki.

Tapi Arazki bukannya menjawab Alden, dia malah mengatakan, “Gue yang bawa.”

“Hah?”

“Geser lo.”

Alden mengernyitkan dahinya dalam-dalam, jelas tidak mengerti dengan sikap aneh Arazki sejak tadi. Jadi dia semakin emosi sekarang. “Lo tuh kenapa sih, anjing? Lo kenapa?” Dia bahkan sampai mengulangi pertanyaannya.

Tapi Arazki hanya diam di sana, sepertinya menunggu Alden benar-benar pindah dan duduk di kursi penumpang.

“Apaansih?”

“Gue ikut.”

“Ya udah tinggal duduk aja.”

“Gue yang bawa.”

“Gue aja anjing, apa sih mau lo? Lo mau kemana emang? Kayak hapal aja jalan di sini.”

Arazki menatap datar Alden yang sedang mengomel dan kelihatan siap menonjoknya sekarang juga, ya dia gak takut juga sih.

“Ya udah lo pangku gue aja.” Arazki di luar perkiraan Alden tiba-tiba menyerobot masuk dan benar-benar akan duduk di atas pangkuannya.

“Arazki?? Anjing! Gila lo!?” Alden tentu saja segera mendorong Arazki sebelum Kakaknya itu benar-benar duduk di atasnya. Sumpah, Alden speechless banget, ini orang kenapa sih bangsat?

“Pangku gue.” Arazki masuk lagi, dan Alden segera menahan pergerakan Arazki sementara dia dengan cepat bergeser dan duduk di kursi sebelah.

“Bangsat, ambil dah tuh anjing, bajingan lo.” Alden ngedumel di sebelahnya, tapi Arazki tidak peduli sama sekali dan memilih untuk mulai menjalankan mobil mereka.

Selama di perjalanan, Alden tidak membuka suaranya sama sekali karena suasana hatinya yang buruk, dan Arazki tentu tidak akan mau repot-repot mencari topik obrolan untuk sekadar berbasa-basi.

Jadi keduanya membiarkan diri mereka tenggelam dalam kesunyian yang panjang.

Setelah kecanggungan intens di antara mereka, Alden akhirnya sadar dia dibawa kemana oleh Arazki setelah Kakaknya itu berhenti dan memarkirkan mobil mereka. Tapi Alden masih tidak mengerti, kenapa Arazki mengajaknya kemari?

“Lo ngapain dah ke sini?”

Yang benar aja, dufan?

Mau apa Kakaknya mengajaknya kemari? Maksudnya kayak, tumben??

“Turun.”

“Dih, ogah. Lo sendiri kan yang mau ke sini, ya udah sana main sendiri.”

Alden dapat melihat Arazki menatapnya dari sampingnya dan tidak mengatakan apapun lagi setelahnya, mereka kembali pada keheningan panjang yang sebelumnya yang jujur, Alden tidak mengerti, Arazki sebenarnya mau apa sih?

Tapi karena dia malas, jadi Alden hanya fokus pada ponselnya, benar-benar tidak ada niatan untuk keluar sama sekali.

Sampai akhirnya, Arazki keluar sendiri dari mobil mereka, berjalan memutar kemudian membuka pintu mobil di samping Alden dan menyeretnya keluar dengan paksa.

“Anjing! Apaansih, Ki?”

Arazki tidak menjawabnya sama sekali, hanya terus memaksa Alden keluar dari sana, dan Alden tentu saja berusaha keras untuk tidak kalah meski kenyatannya, tenaga Arazki jauh lebih kuat dari dirinya.

“Gak mau, anjing! Lo kan yang pengen ke sini, ya udah sana sendiri, kenapa harus sama gue?”

Alden mengomel panjang, dia udah mirip sama bocah sd yang tantrum gak mau dibawa ke dokter soalnya takut disuntik.

Karena Alden sadar diri kalau dia tidak akan bisa menang dari Arazki, Alden akhirnya menyerah, Alden secara paksa ditarik keluar dari mobil mereka, tepat setelahnya Arazki segera mengunci mobil mereka sehingga Alden tidak bisa lagi masuk.

“Bangsat lah lo! Ya udah sana dah! Jalan sendiri!” Alden udah bete banget, tapi Arazki yang seolah belum puas merusak ketenangan Alden, dia mencengkeram dan menarik tangan Alden sehingga anak itu mau tidak mau harus mengikutinya.

Sepanjang jalan, Alden terus-terusan mengumpat dengan tangannya yang masih diseret-seret Arazki. Sejak tadi dia berusaha agar Arazki melepaskannya tapi sampai mereka benar-benar masuk ke area wahana permainan, Alden belum bisa menjauhkan dirinya dari Arazki.

“Ah anjing! Lo mau apa sih sebenernya?” Alden mendorong Arazki yang mana kali ini sukses membuat dirinya berhasil terlepas dari cekalan Kakaknya.

Tapi Arazki secara mengejutkan tidak marah sama sekali dan malah berkata, “Pilih tuh, mau yang mana.”

“Mau ke sana.” Alden menunjuk ke arah yang tadi sempat mereka lalui untuk sampai ke sini, jalan kembali ke mobil mereka.

Arazki segera menjawab, “Naik satu dulu, baru bisa pulang.”

“Ah, maleslah, anjing!” Alden akan pergi, tapi Arazki lagi-lagi menahan tangannya hanya saja kali ini tidak mencekalnya kuat-kuat sehingga Alden refleks bersitatap dengan Kakaknya.

Namun setelah ditunggu, Arazki tidak mengatakan apapun yang membuat Alden kali ini menghela nafasnya.

“Gue mau duduk.” Alden dengan mudah menarik tangannya dari Arazki dan berjalan mendekati bangku kosong untuk dia duduki.

Arazki mengikutinya. Awalnya dia hanya berdiri memperhatikan Alden yang sedang memainkan ponselnya, kemudian dia ikut duduk di sebelah Alden dan ikut memainkan ponselnya sendiri.

Alden kan jadi kayak ?????

Ngapain ke sini kalo dia jadinya cuma ikutan scroll scroll twitter.

Mereka berdua pada akhirnya bertahan dalam posisi itu tanpa ada niatan untuk saling berbicara satu sama lain, tentu saja, lagipula Alden tidak akan mau repot repot melakukan itu.

Namun setelah beberapa saat, Alden tidak lagi menemukan sesuatu yang menarik di ponselnya, alhasil dia menutup benda itu dan memasukannya ke dalam saku.

Alden menatap ke hadapannya, dimana banyak anak-anak yang nampak bersenang-senang menikmati suasana liburan bersama keluarga mereka.

Entah kenapa, Alden jadi refleks sedikit melirik ke Arazki yang ternyata tidak lagi memainkan ponselnya dan malah melamun.

Ini serius, sebenarnya apa sih tujuan Arazki membawanya ke sini kalau ujung-ujungnya dia sendiri saja nampak ogah-ogahan berada di tempat ini.

“Mana?”

Arazki sedikit tersentak ketika Alden tiba-tiba memukul lengannya kemudian ketika melihat adiknya itu menengadahkan tangan kepadanya. Jadi karena tidak mengerti, Arazki hanya menaikkan satu alisnya.

Alden mendesah jengah karena berpikir kalau Arazki sedang berpura-pura tidak mengerti. “Mana sini kunci, gue mau balik.”

“Nanti.”

“Terus lo mau ngapain di sini, buruan lah!” Alden tidak bisa lagi membendung kekesalannya karena waktu liburnya yang terbuang sia-sia hanya karena ketidakjelasan Arazki.

Mending dia pulang aja dah sumpah.

“Naik satu dulu, baru pulang.”

Alden berdecak, kalau sudah begini mau bagaimanapun juga dia tidak akan bisa pulang sebelum Arazki benar-benar mencapai tujuannya.

“Naik itu.” Alden menunjuk ke salah satu wahana ekstrim yang jujur saja, sedikit menarik minatnya sejak awal.

“Berani gak lo?” Alden tersenyum miring, dia yakin Arazki tidak akan mau naik hysteria.

Tapi sekali lagi di luar dugannya, Arazki mengantongi ponselnya dan bersiap untuk beranjak sembari mengatakan, “Ya, ayo.”

Alden mengerjap beberapa kali. Tidak percaya kalau Arazki benar-benar menerima tantangannya. Masalahnya, tidak tahu dia bisa survive dengan wahana seperti itu. Dia tadi hanya iseng saja, Arazki juga pasti mana berani, tapi kok malah setuju?

Ini Alden yang takut jadinya.

“Serius mau naik itu?” Alden bertanya sembari mengekori Arazki yang terlihat sangat yakin di hadapannya.

“Hm. Emang lo gak serius?”

“Gak. Tapi ya udah, ayo coba.” Alden penasaran juga sih, lagipula siapa tau abis ini Arazki kapok kan nyeret sama maksa-maksa dia ke sini.

Mereka berdua benar-benar serius pada ucapan mereka. Arazki jalan terlebih dahulu dan memilih tempat duduk paling tepi sementara Alden berada di sebelahnya.

Anak itu sampai melirikkan matanya berkali-kali pada Arazki, mencoba melihat bagaimanna perasaan Arazki sekarang, tapi kakaknya itu bahkan tidak memasang raut wajah apapun. Yah, apa yang Alden harapkan?

“Lo seriusan?” Alden bertanya sekali lagi karena jujur, dia sedikit bingung dan khawatir. Arazki itu takut ketinggian, bisa-bisanya dia nekat mengiyakan permintaannya yang asal-asalan itu?

Arazki tidak menjawab dan tidak juga melirik ke Alden sedikitpun, tapi Alden tidak kesal karena dia sendiri juga tiba-tiba merasa perutnya tidak enak. Sial, kenapa jadi dia yang takut ya?

“Lo takut ya?”

Alden dengan cepat menoleh ke Arazki dan melihatnya tersenyum dengan cara yang menyebalkan tanpa menatapnya sama sekali. Serius, nyebelin banget dah ini.

“Anjing, lo. Awas aja.” Alden bergumam, dan tepat setelahnya, Alden merasakan kalau benda ini mulai bergerak naik secara perlahan.

Penasaran sekali lagi, Alden menoleh, dan dia melihat Arazki sudah memejamkan matanya rapat-rapat dengan kedua tangannya yang mencekal erat pengaman, padahal wahana ini belum benar-benar meluncur.

Baru akan meledek Arazki, dia tiba-tiba meluncur ke atas dengan sangat cepat sampai Alden tidak sempat menarik nafasnya sendiri.

Bahkan, tidak ada jeda waktu sedikitpun, dia merasakan dirinya dihempas secepat kilat kemudian ditarik lagi ke atas dan hal ini terus berlanjut dengan kecepatan yang kian bertambah.

Alden tidak berteriak sama sekali, tapi serius gila ini wahana, Alden nyesel banget minta naik psikopat ini. Tau gitu dia naik komedi putar aja tadi.

“Ki, lo mau minum?”

Arazki menggelengkan kepalanya sembari memukul kedua lututnya secara bergantian lantaran kakinya mati rasa pasca dia selesai menaiki wahana permainan yang tadi.

“Lo ... gapapa?” Alden memandangi Arazki yang masih berjongkok, sedikit merasa bersalah karena sudah membuat kakaknya harus melawan rasa takutnya sendiri.

“Ya udah kalo gitu pulang aja gak sih, sini gue yang bawa mobilnya.”

Setelah mengatakan itu, Arazki spontan berdiri, memasang tampang datar seolah tidak terjadi apa-apa. “Lanjut.”

“Anjing, lo emang gila.” Alden mengumpat padanya, tapi tidak berniat marah sama sekali.

Merasa tidak tega karena gini-gini Alden masih punya rasa empati, dia mengedarkan pandangannya. Berniat mencari booth makanan di sekitar sana karena dia sebetulnya juga merasa lapar.

“Beli makan aja deh.”

Arazki ikut menoleh dan melihat ada booth makanan yang lumayan ramai. “Suit. Yang kalah ngantri sama bayarin.”

“Apaan dah bocah banget, gak mau.”

Arazki tentu saja tersenyum miring karena Alden sepertinya takut pada kekalahannya sendiri.

“Takut kalah?”

“Apaansih, males gue, anjing! Udah sini cepetan!” Alden malas, tapi dalam hati juga dia masih pengen menang sih.

Liat aja, Alden bakal balas dendam.

Alden menunjukkan kepalan tangannya yang artinya dia mengeluarkan batu, sementara Arazki membiarkan telapak tangannya terbuka dan menunjukkan kalau dia mengeluarkan kertas.

Arazki tersenyum puas atas kemenangannya.

“Bangsatttt.” Alden mengumpat panjang, bukan kesal karena kalah, tapi kesal melihat wajah Arazki yang benar-benar menyebalkan dan begitu meledek dirinya.

“Mau yang paling mahal,” ujar Arazki, sebelum Alden benar-benar pergi dari sana.

“Bodo amat, asu!” Alden pergi sambil tanpa sadar dia menghentakkan kakinya. Arazki hampir tertawa tapi untungnya dia masih bisa mengontrol dirinya sendiri.

***

Alden mengedarkan pandangannya ke seluruh area tapi tidak dapat menemukan dimana Arazki berada. Dia sudah mengirimnya pesan tapi belum kunjung dibalas alhasil Alden memilih duduk di bangku kosong yang tadi mereka tempati sendirian, dengan dua buah corndog di tangannya, satunya memang milik Arazki tapi Alden masih belum melihat batang hidungnya.

“Masa nyasar?” Alden menggigit corndog miliknya sembari mencoba menelepon Arazki, tapi karena tidak ada jawaban, dia kembali membuka aplikasi lain.

Biar ajalah, kalo nyasar beneran tinggal bikin announcement, lagian siapa suruh pergi-pergi sendirian.

“Gak beli minum?”

Alden sedikit terkejut karena datangnya suara yang tiba-tiba itu dan menoleh untuk melihat Arazki dan setengah rambutnya yang terlihat basah.

“Lo mandi kah?”

“Abis wudhu.” Arazki jawab ngasal aja ini mah.

“Buset, wudhu apa keramas lo?”

Arazki duduk di sebelah Alden, memakan corndog miliknya sendiri kemudian menjawab pertanyaan Alden, “Biar dosanya cepet ilang jadi airnya yang banyak.”

“Anjir, oke.” Alden tidak tahu kenapa dia tertawa, tapi jokes Arazki barusan lucu menurutnya.

“Abis ini pulang?”

“Tar, cari es krim dulu.” Alden mendadak jadi betah di sini dan Arazki nya iya iya aja.

“Suit.” Arazki mengangkat kepalan tangannya, bermaksud mengajak Alden melakukan suit lagi.

“Anjing, bocah banget sih.” Alden memang mengatakan itu, tapi jiwa balas dendamnya meronta-ronta. Jadilah mereka berdua melakukan suit sekali lagi dan kali ini keberuntungan memihak pada Alden.

“Mau yang paling mahal.”

“Hm. Gue beli pedagangnya entar.”

“Bangsat.” Alden refleks memukul lengan Arazki, benar-benar tidak habis pikir.

Alden sudah menghabiskan makanannya, tapi Arazki bahkan belum makan setengahnya. Jadi keduanya masih duduk diam di sana sembari memerhatikan orang lalu lalang dan tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing.

“Lo tumben banget lagian?”

Arazki langsung menoleh dan menatap Alden dengan alis terangkat satu.

“Ya, ngajak ke tempat ginian. Biasanya lo gak pernah mau kan diajak sama Nad atau yang lain ke sini.”

Arazki tidak langsung menjawab dan membiarkan keheningan kembali mendera mereka. Alden juga tidak mendesaknya sama sekali karena dia juga tidak mengerti, kenapa dia harus mempertanyakan itu ke Arazki?

“Lo seneng gak?”

Kali ini, gantian Alden yang menatap bingung atas pertanyaan Arazki. Tapi dia langsung menjawab, “Tengah tengah.”

“Emang kalo gak seneng kenapa? Kalo seneng kenapa?” Alden balik bertanya pada Arazki.

“Kalo gak seneng gue iket di hysteria.”

“Emang lo yang paling anjing kata gue mah.”

Arazki tidak menyahut lagi, sementara Alden tidak ada alasan lagi untuk bertanya pada Arazki karena semua jawaban yang keluar dari mulutnya itu ngawur dan nyebelin banget, Alden jadi males.

“Soalnya besok tanggal 1.”

Alden mendengar itu, namun karena suara Arazki terdengar kecil dan tidak jelas jadi Alden menoleh ke Arazki, tapi dia tidak menemukan Arazki tengah berbicara kepadanya jadi Alden berpikir dia hanya salah dengar.

“Next naik halilintar,” kata Alden.

“Rumah hantu.” Arazki segera memotongnya.

“Gak, halilintar dulu.”

“Rumah hantu.”

“Anjirlah, sini suit!” Alden mengangkat kepalan tangannya, bersiap melakukan suit untuk yang kesekian kalinya dan Arazkinya nurut aja soalnya dia juga kepengen menang.

Alden tidak pernah mengira kalau salah satu dari harapannya yang mustahil akan terjadi benar-benar bisa kejadian begini.

Jujur saja, Alden terkadang sedikit iri melihat dua saudara yang akrab, bahkan sampai mereka bisa pergi keluar bersenang-senang tanpa merasa bersalah, sementara dia dengan Arazki bahkan mengobrol saja kadang masih kerasa canggungnya.

Sekarang, Arazki tiba-tiba mengajaknya keluar seperti ini, dengan inisiatifnya sendiri, jujur saja, Alden terkejut dan sedikit takut tapi juga dia merasa senang.

Senang karena dia akhirnya bisa merasakan bagaimana rasanya berada di posisi seorang adik yang sering dia lihat di video sosial medianya itu.

Tapi dia juga takut, Arazki yang begini secara mengejutkan adalah hal yang akan dia rasakan sekali seumur hidupnya saja.

Arazki gak bakal kemana-mana kan?

Kalau Alden ditanya dia senang atau tidak, Alden bakal jawab kalau dia senang, dia sangat senang hari ini. Tapi kalau senangnya hari ini malah diganti dengan hal yang lebih buruk, Alden lebih baik untuk tidak usah merasakan senang sama sekali.

“Lo gak bakal kemana-mana kan?”

Arazki berhenti ketika telinganya mendengar dengan jelas pertanyaan itu. Dia berbalik, menatap ke Alden yang berusaha keras untuk tidak berkontakmata dengannya.

“Kemana emang?” Arazki malah balik bertanya, wajahnya tidak menunjukkan ekspresi sama sekali tapi dia penasaran dengan maksud pertanyaan Alden.

“Ya gak tau, lo tiba-tiba begini nanti besoknya ngilang kan gak lucu.”

Arazki tersenyum tipis, entah kenapa merasa lucu melihat Alden mengkhawatirkan dirinya terang-terangan begini.

“Emang gue gak boleh kayak gini?”

“Kayak gini boleh, ngilangnya yang jangan.”

Arazki berdengung panjang, seolah benar-benar menangkap maksud Alden. Dia menatap Alden yang berdiri di hadapannya, kemudian mendekat satu langkah, mengacak-acak rambutnya tanpa sebab tapi Alden tidak marah kali ini karena setelahnya Arazki berbicara kepadanya.

Tapi Alden tidak dapat mengingat kata-kata itu dengan jelas padahal dia harap dia tidak akan pernah lupa. Padahal rasanya belum lama tapi kenapa Alden tidak bisa mengingat apa yang Arazki katakan hari itu? Alden tidak ingin lupa.

“Jahat banget, anjing.” Alden tertawa miris pada kertas di tangannya. Dia kepal kuat-kuat benda itu, kemudian dia tinju lantai dingin di bawahnya.

“Lo jahat, anjing!” Alden membentak kesunyian. Dia meninju ke lantai, memukul kepalanya sendiri dan sekali lagi berteriak di balik telapak tangannya yang bergerak mengusap wajahnya sendiri dengan kasar.

Alden meringkuk, menenggelamkam wajahnya di atas kedua lututnya sembari menarik rambutnya sendiri. Dia tidak tahu lagi harus melampiaskan rasa sakitnya seperti apa lagi karena dia sudah tidak bisa lagi menangis.

“Lo ada kepengen sesuatu?”

Di tengah malam, saat Alden mulai merasa ngantuk dan akan tidur, Arazki tiba-tiba menanyakan kepadanya sebuah pertanyaan yang bahkan tidak penting sama sekali.

Jadi Alden tidak menjawabnya. Dan Arazki merasa tidak puas, maka dari itu dia kembali mengulangi pertanyaannya tapi kali ini, dia sedikit bangun untuk bisa mendekat dan berbisik tepat ke telinga Alddn “Lo ada kepengen sesuatu?”

“Bangsat!” Alden refleks memukul Arazki, dan Arazki spontan menampar wajahnya untuk membalas perbuatannya. Padahal yang mulai duluan jelas-jelas dia sendiri.

“Bisa gak sih biarin gue tidur? Dari tadi pagi sampe malem ini lo bikin gue gak bisa tidur. Stop ganggu gue, anjing! Gue ngantuk! Sana lah lo!” Alden berteriak pada Arazki sembari dia menarik selimut sampai menutupi seluruh wajahnya.

Tapi Arazki tidak menyerah sama sekali hingga kali ini dia benar-benar bangun dan duduk, dia tarik selimut Alden kemudian dia kembali berbicara di depan telinganya.

“Kenapa emang lo gak kepengen sesuatu? Ayo pengen aja, ayo cepetan.”

“Arazki anjing!” Alden merinding dan sangat amat kesal. “Beliin gue rumah sana lo!”

“Itu aja?”

Alden bergumam, dia membalik posisinya jadi membelakangi Arazki, dan mencoba untuk tidur lagi. Di sebelahnya juga Arazki akhirnya merebahkan diri, dia tidak lagi bicara sehingga suasana kamar kembali sunyi.

Tapi sekarang sialannya dia tidak merasakan kantuk sama sekali dan malah kepikiran sesuatu.

“Gak usah kasih gue apa-apa.” Alden tidak tahu kenapa dia jadi mengatakan itu, dan dia tidak tahu apakah Arazki masih bangun atau tidak dan mendengarkannya sekarang.

“Cukup ucapin gue aja tiap tahun, itu aja.”

“Gue gak butuh yang lain.”

“Ya udah, habede.” Arazki ternyata belum tidur, dan Alden tentu saja dapat mendengar dengan jelas ucapan ogah-ogahan Arazki di belakangnya.

“Kayak gak ikhlas,” gumam Alden, tapi Alden tetap tersenyum pada itu.

Alden meremat kertas yang sudah lusuh di tangannya sekali lagi, dia sudah berkali-kali mengepalkan dan mengambil lagi kertas itu dan terus membaca kalimat di dalamnya berulang kali padahal dia tahu, kalimat itu tidak akan bisa berubah sama sekali.

“Kenapa lo nyalahin kita padahal lo sendiri yang gak bisa dihubungin!” Aksana mendorong Alden yang spontan memukul Aristian karena kekesalannya.

Tidak ada yang memberitahunya soal Arazki, tidak ada satupun yang mengabarinya tentang Arazki. Dia tidak tahu sama sekali kalau selama ini Arazki mengidap leukimia.

Bahkan di hari itu Alden masih tidak sadar kalau Arazki sebenarnya menyembunyikan rasa sakitnya hanya untuk mengajaknya keluar di sebelum hari ulang tahunnya.

“Lo yang ninggalin rumah! Lo ngilang, lo yang gak pernah ngangkat dan baca pesan kita, bahkan nomor Tian pun lo block tanpa sebab! Terus lo nyalahin kita? Gak ada yang ngasih tau lo, lo bilang?”

“Gue nyari lo, Al. Gue sama Tian nyariin lo yang ngilang setahun, tapi lo sendiri kan yang gak pengen ketemu sama kita?”

“Terus sekarang lo masih nyalahin kita?”

Alden mengumpat, kali ini dia melempar kertas yang sudah dia kepal kuat-kuat ke sembarangan arah. Dia tidak butuh surat itu, dia tidak butuh ucapan itu.

“Gue bilang lo harus ngucapin gue terus, bukan kayak gini maksudnya, anjing!”

“Gue mau lo yang ngomong di depan muka gue! Gue gak butuh tulisan lo, bangsat!” Alden mengacak-acak rambutnya sendiri sekali lagi dan mengusap wajahnya dengan kasar. Dadanya terasa sangat sesak, tapi Alden tidak bisa menangis sama sekali padahal dia butuh itu sekarang.

“Lo tolol, Ki! Emang tolol!” Alden memukuli kepalanya sendiri, kepalanya berisik tapi dia merasa kesepian lebih banyak mendekapnya di sini.

“Happy birthday, Al. Gue nulis ini buat lo soalnya gue gak yakin bisa ngucapin lo terus kayak yang lo harapin waktu itu, mungkin gue bakal sibuk atau kenapa ya gak tau sih. Sorry. Cuma mau bilang itu aja, makasih lo udah mau jadi Adek gue, i'm a lucky person because i have you as my siblings. Jangan pergi yang jauh ya?”

“Bangsat.” Alden menenggelamkan wajahnya di balik kedua telapak tangannya. Nafasnya tersengal karena setelah semua perasaan yang menyiksanya selama ini, semua pertahanannya runtuh.

Alden menangis tanpa suara di dalam kamar Arazki yang gelap. Tidak ada lagi orang yang akan mengejeknya jika dia melihat dirinya menangis seperti bocah cengeng saat ini.

Tidak ada lagi orang yang akan mengajaknya pergi entah kemana di hari ulang tahunnya, orang yang akan mengingat hari tidak penting itu selain ucapannya yang abadi dalam tulisan.

“Lo jahat, Ki, anjing!” Alden benci perasaan seperti ini, Alden benci menangis seperti ini, tapi dia tidak bisa lagi menemukan cara lain untuk melampiaskan semuanya.

2.2 ***

hi hello, guten morgen wilujeung enjing selamat pagiii, bjir emang boleh ultah seperti event shopee begini??? tanggal lahirnya cantik banget pantesan orangnya juga cantik

semoga hari ini dari pagi sampe malem gak ada masalah sedikitpun di hidup kamu, aktivitas kamu berjalan lancar tanpa hambatan ya

maybe, i'm not the first one, tapi aku bener bener merasa bersyukur bisa ngucapin ini ke kamu, selamat ulang tahun, selamat sekarang udah 22 tahun yang artinya? selamat sekarang harus jadi lebih kuat lagi buat ngadepin kehidupan wkwkwk gue selalu doain lo semoga lo dijauhkan dari hal hal buruk dan selalu dikelilingin sama kebahagiaan dan hal baik apapun itu

gue gak tau mau ngomong apa tapi makasih ya udah bertahan sampe sekarang, makasih udah gak nyerah waktu lo mungkin bisa aja milih opsi buat nyerah, gue selalu salut sama lo yang gak pernah keliatan capek dan aneh aneh, lo keren, lo hebat dan gue juga selalu bangga bisa jadi temen lo

hei, makasih banyak ya udah jadi temen dan sahabat gue sekaligus, gue bener-bener bersyukur banget bisa punya temen yang sebaik lo, lo bener bener baik banget, semoga semua kebaikan yang lo kasih ini berbalik ke diri lo sendiri, you deserve the world dan semua orang wajib tau kalo ada manusia cantik yang baik banget kayak malaikat, sampe sering dimanfaatin orang lain tapi dia sabar banget, teriakin jancok plisss gapapa kok, dunia juga berharap lo bisa teriak jancok yg kenceng pake qolqolah sekalian “JANCOQ” gitu

gue takut kepanjangan dah ini ngetiknya belum mandi gue mau berangkat kerja wkwkwwk jadi maaf kalo terkesan buru buru, gue doain lo selalu dilimpahin rejeki yang banyak, dikasih kesehatan yang banyak, dikasih kebahagiaan yang banyak, dikuatin lagi punggung dan kakinya, diluasin lagi kesabarannya, dan semoga lo selalu dikelilingin sama orang orang baik yang sama kayak lo, lo harus dijauhin dari orang jahat, lo lebih harus dideketin sama kebaikan, gue mau protes ke Tuhan kalo lo gak bahagia awas aja😠😠

senyum terus yaa, tolong jangan berhenti jadi orang baik, makasih sekali lagi udah jadi temen gue dan sosok kakak buat gue

happy birthday aul, i hope love surround you today, all the best on your birthday!! may god bless you, HAPPY BIRTHDAY!!!!!

0701 — Please listen to me.


“Kamu mau kemana?”

Younghoon yang sedang bercermin refleks melirik ke pantulan Juyeon yang berdiri di belakangnya, kemudian menaikkan satu alisnya. “Ya berangkat?”

Juyeon ikut mengernyit. Dia tarik kedua bahu Younghoon sehingga kali ini mereka saling berhadapan. Sementara Younghoon hanya diam saja ketika tangan Juyeon ikut merapikan dan mengelus rambutnya.

“Kamu bukannya masih sakit?”

Younghoon menghela nafasnya, “Gak sesakit itu sih.”

“Gak mungkin.” Juyeon menyentuh ke pipinya yang lembut hanya untuk merasakan hangat menjalar ke telapak tangannya. “Jangan bandel dulu, please?

“Gak bandel lohh..” Younghoon segera cemberut, dan dahinya mengernyit kesal lantaran tidak suka Juyeon mengaturnya seperti ini.

Tidak mendengarkan Juyeon, Younghoon kembali menatap ke cermin untuk menata rambutnya sendiri, menganggap bahwa eksistensi orang di sampingnya itu tidak ada.

Juyeon hanya memperhatikan setiap gerak-gerik Younghoon, masih belum menyerah sedikitpun, dia kembali membujuk, “Kak, istirahat di rumah aja ya? Nanti aku ngomong ke atasan.”

“Gak.”

“Hari ini aja, tolong ya? Gapapa kan?”

“Enggak.”

“Tapi kamu masih sakit, Kak.”

Younghoon kali ini tidak meresponnya. dia kembali berpaling, benar-benar acuh pada keberadaan Juyeon.

“Sayang...” Juyeon menangkup ke pipi Younghoon yang hangat, menariknya untuk membuat Younghoon melihat kepadanya. “Please?

Sementara Younghoon diam, manik hitam miliknya mengarah tepat ke mata Juyeon, tatapan yang polos dan murni itu berhasil membuat Juyeon melihat pantulan dirinya sendiri di sana.

Younghoon sekarang hanya tersenyum kepadanya, dia kemudian beralih kembali menatap ke cermin, benar-benar tidak mendengar dan mengabaikan Juyeon.

Yang lebih muda sekali lagi menghela nafasnya. Dia tahu dan hafal bagaimana Younghoon dan sikapnya yang terkadang bebal dan keras kepala. Dan Juyeon tidak akan keberatan sama sekali pada itu.

Apalagi setelah dia mengucapkan janji pernikahan di atas altar, memasangkan cincin di jari manisnya, itu artinya Juyeon sudah siap, dia sudah menerima Younghoon apapun kekurangan dan kelebihannya.

Tapi Juyeon tidak pernah menyangka bahwa dia akan sampai di saat seperti ini, dimana Younghoon hampir berhasil mengikis semua kesabarannya.

“Sayang, tolong ya? Sehari aja kok, besok bebas deh kamu mau kemana, mau ngapain, aku gak bakal ngelarang lagi.”

Juyeon tidak pernah seberisik ini, tapi itu tidak akan membuat Younghoon goyah dari pendiriannya sedikitpun yang akhirnya dia tidak menggubris Juyeon sama sekali. Cowok leo itu bahkan tidak melihat ke suaminya yang berdiri di sebelahnya, menunggu responnya.

“Aku titipin absen nanti ya ke atasan?”

“Gak mauu, Juyeon.” Younghoon tanpa sadar menaikkan suaranya, kepalang kesal pada Juyeon yang terus-terusan memaksanya.

Dan Juyeon yang memang juga kesal mencoba yang terbaik untuk tidak ikut emosi kepada Younghoon, dia tidak akan mau melakukan itu.

“Kenapa sih kamu susah banget aku kasih tau?” Dia masih mencoba untuk tidak menaikkan nada bicaranya.

“Ya aku gak mau, gak enak entar di rumah gak ngapa-ngapain.”

“Namanya juga istirahat kan?”

Younghoon menoleh hanya untuk tersenyum dan mengatakan pada Juyeon, “Gak bisa.”

Jujur, Juyeon hampir berteriak frustrasi, tapi dia tidak akan melakukan itu. “Terus kamu maunya gimana?”

“Maunya berangkat.”

Mendengar itu, Juyeon akhirnya menghela nafasnya. “Emang gak bisa sehari aja gitu?”

Younghoon tidak merespon kali ini, dan Juyeon bersumpah dia benar-benar sudah berada di batas kesabarannya.

“Terserah kamu deh, Kak.”

Laki-laki itu memutuskan untuk pergi dari kamar meninggalkan Younghoon yang hanya menatap kepergian dirinya dari cermin. Nampak tidak berani sama sekali untuk melihatnya secara langsung.

Dia tahu dan sadar, Juyeon marah padanya. Tapi Younghoon tetap tidak akan mengurungkan niatnya sama sekali.

Juyeon pergi duluan ke mobil mereka. Dia tanpa sadar menutup pintu mobilnya dengan bantingan kencang karena perasaan kesal yang sejak tadi bergumul di dadanya.

Laki-laki itu mengusap ke wajahnya sembari menghela kasar, entah kenapa tiba-tiba merasa kecewa dan marah pada dirinya sendiri karena tidak bisa membuat Younghoon mendengarkannya.

Terbesit sebuah ide untuk mengunci Younghoon di rumah mereka sendiri dan pergi meninggalkannya sekarang juga, tapi Juyeon tidak akan tega melakukan itu, dia juga masih sangat waras.

Juyeon akhirnya bertumpu di atas kemudi mobilnya dengan perasaan kalut dan rambut yang sudah berantakan, lagi-lagi menghela nafasnya seolah-olah dia tengah menghadapi cobaan yang begitu berat, kemudian tepat di saat itu juga Younghoon masuk dan duduk di sebelahnya.

Sumpah, meski Juyeon sudah mencapai batas akhir kesabarannya, Juyeon masih belum ingin menyerah.

Jadi kali ini dia dengan wajah lelah dan pasrah, sekali lagi, mencoba berbicara. “Kak....” Suaranya benar-benar sudah sangat lembut dan lemah.

“Udah jalan aja.” Namun respon Younghoon hanya tersenyum tipis, dia bahkan tidak mengangkat kepala untuk melihat ke arah Juyeon, dia hanya terus menatap ke ponselnya.

Juyeon akhirnya diam, dia nyalakan mesin mobilnya dan mulai mengemudi tanpa memaksa Younghoon lagi. Tidak juga berbicara pada Younghoon sepatah katapun dan hanya membiarkan kesunyian menyelimuti mereka sepanjang perjalanan.

Sampai di gedung tempat mereka bekerja, Juyeon segera mematikan mesin mobilnya setelah memastikan mobilnya terpakir dengan benar. Sekali lagi, dia menoleh ke arah Younghoon yang tengah bersiap-siap keluar dari mobil.

Merasa ada yang tengah memperhatikannya, Younghoon pun menoleh dan benar saja, ketika dia mengangkat kepala, dia juga melihat Juyeon menatap ke arahnya.

Younghoon segera mengangkat tangannya tepat sebelum Juyeon akan bicara, seolah tau apa yang akan pria yang lebih muda darinya itu katakan kepadanya.

Younghoon lantas mengangkat jari telunjuknya ke depan mulutnya yang melengkung ke atas, kemudian menepuk-nepuk lutut Juyeon baru dia akhirnya keluar dari mobil setelah yakin bahwa Juyeon tidak akan lagi protes.

Ternyata, Juyeon masih belum menyerah. Apalagi ketika dia melihat ke mata Younghoon yang mulai sedikit sayu, Juyeon tidak mungkin membiarkan dia tanpa istirahat lagi kali ini.

Juyeon tidak mau kalah lagi oleh kekeraskepalaan Younghoon. Dia harus bisa tegas.

Jadi Juyeon secara tiba-tiba menarik lengan Younghoon, menahannya untuk keluar sehingga Younghoon mau tidak mau harus berhadapan kembali dengan Juyeon.

“Apa lagi?” Younghoon bertanya dengan ketus, dia sudah sangat kesal lantaran Juyeon tidak kunjung menyerah karena tidak biasanya dia seperti ini?

“Kamu kalo masih nekat mau ikut latihan, pulang sendiri hari ini.”

Younghoon diam untuk beberapa saat, dia tatap wajah Juyeon yang tegas dan menyadari bahwa dia belum pernah melihat Juyeon marah sampai seperti ini.

Tapi ancaman itu bahkan tidak membuat Younghoon menciut dan masih tidak mau kalah sehingga memutuskan untuk melepas cekalan tangan Juyeon darinya. Karena tidak kencang sama sekali jadi Younghoon dengan mudahnya menarik lengannya kembali.

“Aku berangkat sendiri, pulang sendiri selamanya juga gapapa. Biasanya juga kayak gini, gapapa tuh aku udah biasa sendiri.”

Setelah mengatakan itu, Younghoon dengan perasaan dongkol akhirnya keluar dari mobil dan menutup pintu mobil dengan kencang.

Dan Juyeon yang ditinggalkan seperti itu hanya bisa menghela nafasnya dengan berat.

Kenapa dia selalu tidak bisa membuat Younghoon mendengarkannya? Kenapa dia selalu kalah dengan Younghoon?

Juyeon merasa marah pada dirinya sendiri, dan di sisi lain dia juga menyesal.

Caranya yang tadi itu terlalu kasar ya?


“Tekuk aja terus tuh muka, kertas origami juga entar kalah.”

Juyeon refleks melirikkan matanya pada Hyunjae yang berbicara tepat di sampingnya. Tanpa sadar, laki-laki itu menghela nafasnya, kemudian kembali menatap layar ponselnya yang menampilkan roomchat dari Younghoon.

Haruskah dia mengiriminya pesan atau tidak? Haruskah dia meminta maaf padanya dan kembali membujuknya untuk pulang? Sore hari masih lama sekali, dan Juyeon tidak mau menunggu sampai selama itu.

“Kenapa dah lo?” Hyunjae kembali buka suara, tapi pertanyaan itu sekali lagi hanya diabaikan Juyeon karena kepalanya lebih terus memikirkan Younghoon.

“Berantem sama Younghoon ya?”

Baru di saat kalimat itu terlontar, Juyeon akhirnya mendelik pada Hyunjae, namun kemudian dia tidak merespon sedikitpun selain dengan helaan nafas yang berat.

Melihat reaksi itu, Hyunjae melengos. “Bener sih kata gue, pasti berantem, soalnya biasanya jam segini nempel mulu seolah dunia cuma punya lo berdua doang.”

“Omongan lo kayak orang sirik.” Ini Sunwoo yang bicara.

“Dih, ngapain? Bahagia gue walau sendiri.”

“Idih.”

Pertengkaran itu tidak membuat Juyeon terhibur sedikitpun karena sekali lagi, dia hanya menghela nafasnya. Dan Teman-temannya harus kembali menaruh atensi mereka kepadanya.

“Kayak berat banget, berantemin apa sih emang?” tanya Hyunjae, lagi. Dia mendadak penasaran karena tidak biasanya dua orang ini saling diem-dieman begini.

Bukannya menjawab, Juyeon malah berdiam diri selama beberapa saat, baru kemudian balik bertanya. “Gue salah ya?”

“Salah kenapa dah?”

Dan Juyeon kembali balik bertanya, “Younghoon pasti benci sama gue kan sekarang?”

“Buset segitunya kah? Emang masalah apa sih?”

Juyeon tidak menjawab kali ini dan kembali merespon pertanyaan Hyunjae dengan helaan nafas berat, seolah masalah di hidupnya memang benar-benar sangat berat.

Sangyeon yang sejak tadi diam ikut merasa prihatin, apalagi melihat Juyeon hanya diam saja seperti ini, karena biasanya minimal dia akan tersenyum.

“Berantem tuh wajar.” Juyeon akhirnya mengangkat kepalanya ketika mendengar Sangyeon, yang paling tua di sana berbicara kepadanya.

“Yang penting, kita bisa sama-sama ngerti, harus bisa saling mahamin, gak egois, gak harus menang sendiri, jadi masalahnya gak bakal makin panjang.”

“Tuh, dengerin, Juy, Father of marriage life,” celetuk Hyunjae.

“Eh lo bisa diem gak sih? Komen mulu dari tadi.”

“Seratus ribu dulu lah?”

“Murah amat mulut lo.”

“Anjing.”

“Intinya, Juyeon.” Juyeon yang fokusnya sempat terdistraksi oleh pertengkaran Hyunjae dan Sunwoo kembali menatap ke Sangyeon ketika dia menepuk-nepuk pundaknya. “Mau berantem gimanapun juga, harus bisa diselesain pake kepala dingin.”

“Coba abis ini ngobrol lagi sama Younghoon, tapi pelan-pelan. Lo gak tau dia kenapa jadi ngeselin di mata lo, dia juga gak tau lo kenapa, jadi coba komunikasiin itu baik-baik, paham ya?”

Juyeon diam tidak membalas, bahkan tidak bergerak sedikitpun. Kepalanya sibuk meresapi setiap perkataan Sangyeon, dan dia diam-diam setuju pada itu.

“Eh, ngun, mau nitip minum gak? Mumpung yang lain lagi pada di luar.”

Younghoon mengarahkan tatapannya pada Jacob dengan malas, kemudian tanpa menjawab pertanyaan itu, dia kembali menggulir ponselnya dengan ogah-ogahan pula.

Melihat itu, Jacob merasa ada yang aneh, karena tidak biasanya Younghoon akan jadi sediam ini.

Jadi Jacob yang kebetulan duduk di sebelah Younghoon berinisiatif untuk mendekat. Dia memiringkan kepalanya untuk melihat wajah Younghoon yang terus-terusan menunduk.

“Lo sakit?”

“Gapapa.” Hanya itu respon Younghoon.

“Lo kok gak izin aja? Juyeon emangnya gak ngelarang lo? Atau lo yang gak dengerin dia?”

Karena malas bicara, dan dia merasa perutnya semakin tidak enak, Younghoon akhirnya memutuskan untuk pergi ke kamar mandi tanpa berniat untuk menjawab Jacob terlebih dahulu.

Namun baru saja dia berdiri, Younghoon tidak tahu kenapa dia merasa kakinya kehilangan tumpuan, jadi dia hampir saja jatuh jika tangannya tidak cepat bersandar di dinding di sebelahnya.

“Kan! Gue bilang juga apa?” Jacob langsung mendekat ke Younghoon, mencoba membantu Younghoon, tapi Younghoon terus menolaknya.

“Eh Kak, lo kenapa, anjir?” Eric ikut mendekat karena panik mendengar suara Jacob.

“Younghoon, lo sakit dari tadi ya?”

“Gue gapapa.”

“Gapapa apa? Lo udah kayak orang mau pingsan!” Jacob tidak bohong, karena sekarang dia sampai menahan Younghoon agar tidak jatuh.

“Sumpah, Younghoon, kan! Kan! Younghoon!”

Younghoon tidak tahu kenapa Jacob panik karena dia merasa dia masih sadar sepenuhnya, masih bisa melihat dan merasakan Jacob yang mengguncang pundaknya, tapi suaranya teredam karena telinganya yang tiba-tiba berdengung.

Di saat itu juga, dia melihat Juyeon yang entah habis dari mana datang memeluknya, dan Younghoon akhirnya merasakan dia lemas sampai tidak bisa lagi menopang tubuhnya sendiri.

Younghoon sedikit bisa mendengar Juyeon memanggil-manggil namanya, tapi suara itu terus mengecil di telinganya, dan Younghoon bersumpah, Juyeon tidak pernah terdengar sepanik ini.

Tidak tahu apa yang terjadi, dia mencoba melihat ke Juyeon untuk memastikan bahwa dia benar-benar Juyeon, namun pandangan Younghoon seperti diserap oleh lubang yang gelap, meski begitu, dia masih bisa melihat bahwa itu benar-benar Juyeon.

Sampai Younghoon akhirnya baru merasakan kesadarannya ditarik, dan perlahan menghilang seiring dengan suara Juyeon yang semakin teredam.

Younghoon kehilangan kesadarannya.

link_scam

hihihihihihi halo kk seyiiii!!! happy late birthday yaaaa, aku sengaja tau ucapin terakhir biar jadi org terakhir hihihihi, HAPPY BIRTHDAY KAKAK SEYII AH SENENG BGT BISA PANGGIL KAKAK SOALNYA KITA BEDA SETAHUN🥺🤗🥺🤗🥺 KAKAK SEYI BESOOKKK KITA HARUS KETEMU YA GAK SIH [lewat vc] TAPI SELANJUTNYAA AYO KITA KETEMU SECARA RIIL NYATA, KITA BANGUN UNIT MARKISA CIBADUYUT KITA SENDIRI BERSAMA GIGI, IBUK LOLEN, DAN GISI, banyakkk banget yg mau aku lakuin sama kakak seyi contohna mmhm [6 hurup]🥺🥺

hm gue gak inget kapan tepatnya kita bisa jadi deket, tapi makasih deh waktu itu lo dm gue duluan ya, lupa bahas apa, cuma berkat itu gue jadi gak ngerasa takut lagi jbjb sama lo [sorry lo vibes akun gede gue deserve takut sama lo] dAn ternyata emamg seharusnya gue TAKUT sama lo sih, ternyata lebih brutal dari yg gue kira TAPI MAKASIH GUE SENENGGG BANGET BISA DEKET SAMA LO DAN MEMBAHAS HAL HAL DEWASA YG SANGAT INTIM [debat capres] AYOOO PLISSS KITA KETEMUU YAA, KITA BERLIMA HARUS KETEMU UNTUK MENGGUNCANG DUNIA!!!!!!!!!!!

oh iya aku lupa seharusnya aku berdoa tapi bentar, aku mau berterima kasih dulu kakak seyi udah selalu peduli sama semua orang, udah selaluu mencoba nyebarin kebahagiaan [ngebadut] DAN kakak seyi HARUS DAPET KEBAHAGIAAN YANG LEBIH DARI ITU, YOU DESERVES ALL THE LOVE, YOU DESERVE THE HAPPINESS IN THIS WORLD POKOKNYAA LO SEHARUSNYA DICINTAI SATU ALAM SEMESTA

seyii gue pengen panggil lo sherin tapi sepertinya lo tidak suka itu, jadi kakak seyiii🥺🥺🥺tolong bahagia terus yaa, gue selalu berdoa kita semua, selalu bahagia jugaa, semoga tahun ini gak ada lagi yang bikin kakak seyi sedih, CUKUPPP SEKALI AJA!! semogaa Tuhan selalu kasih kesehatan dan kebahagiaan buat kakak seyi dan orang orang tersayangnya kakak seyiii, biar kakak seyi terus happy AAMIIN

inget yaaa kalo lo sedih lo gak sendirii, LO BERUNTUNG JUGA PUNYA GIGITA YG HATINYA SEBAIK MALAIKAT ITU, kalo gak nyaman sama gue, lo bisa sama dia, DAN LO JUGA PUNYA REHAN SUMPAH GUE DOAIN DIA BAHAGIA DAN SEHAT SELALU, NGEPAP SELALU, MEMBUAT GEBARAKAN SELALU UNTUK SEYI BISMILLAH REHAN BUGIL DI ATAS STAGE!!?¿??!!!!!!???!!!!!

hihihijihihi SEKALI LAGIIIII HAPPY BIRTHDAY YAAAA, maaf kalo surat scam ini jadi sepanjang skripsi semoga gak remedial, selamat malam kalo lo baca ini malam malam, atauu selamat pagi kalo bacanya pagi pagi, ALWAYS REMEMBER LEE JAEHYUN LOVES YOU!! semangat menjalani weekend yaaa, SAMPAI KETEMU BESOKKK QIQIQIQIQIQ

11.11


Younghoon hanya menghela nafasnya sembari meletakkan kembali ponselnya ke atas meja setelah dia membalas pesan dari Juyeon.

Dia kembali menaruh atensinya kepada Eric ketika dia tiba-tiba bertanya, “Kak Juyeonnya kemana emang?”

“Ke masjid bentar.” Younghoon mengacak-acak tasnya sendiri, mencari botol minumnya dari sana. “Sholat.”

Eric hanya mengangguk-anggukkan kepalanya. Dia kembali menyeruput ke minumannya sendiri, kemudian tiba-tiba mengeluh, “Eh sumpah gue pengen kawin dah.”

“Apaan Ric, tiba-tiba?” Chanhee tertawa dan memukul pundak Eric dengan pukulan yang tidak kencang sama sekali.

“Ah lo mah udah kawin anjir! Gak bakal ngerti!”

“Tinggal lo ajak aja itu si Haknyeon grebek rumah penghulunya,” sahut Hyunjae.

“Anjir.” Eric mendorong main-main pada Hyunjae. “Lo ya gak mau kawin?”

“Hah gue?” Hyunjae bergumam sejenak. “Kan nanti bulan depan.”

“Hah seriusan?” Kevin berseru kaget. Pasalnya dia ini yang jarang ikut kumpul, terus sekalinya kumpul begini dia malah dapet berita kalo musuh bebuyutannya ini bentar lagi mau nikahin anak orang??

“Lah ya iya anjir. Lo gak buka undangan gue?”

Kevin hanya menggedikkan bahunya. “Kirain modus penipuan.”

“Tolol anjing, gak usah dateng lo.”

“Semuanya pada mau kawin!” Eric berteriak frustrasi.

Dan Hyunjae jadi harus menghela nafasnya. “Sebenernya apa sih yang ngalangin lo berdua? Finansial kalian cukup banget, restu orang tua juga udah ada banget kan? Nunggu apa lagi? Nunggu lo siap?”

Melihat Eric hanya diam, Hyunjae merasa kalau tebakannya benar. Jadi dia lagi-lagi hanya menghela nafasnya. “Lama banget, Ric, Haknyeon mah bisa capek.”

“Ya tapi kannnnn....”

“Padahal enak tau nanti kalo udah nikah mah ngewenya lebih leluasa.”

“Kata gue kasian sih Jacob kawinnya sama lo.” Karena perkataan Hyunjae yang ini, dia jadi diamuk Kevin.

“Tapi emang harus ada keyakinan dulu sih,” celetuk Chanhee.

“Ya iya, emang kan....”

Younghoon menggulir ke ponselnya, dia membaca sebuah artikel yang lewat di beranda Twitternya, tapi tidak benar-benar bisa memahami isinya sehingga dia kembali membuka roomchat Juyeon.

Dan dia tidak melakukan apa-apa selain hanya menatap ke sisa bubble yang dia kirimkan kepada Juyeon.

Tepat di saat dia ingin mengetikkan sesuatu, Younghoon mendongak ketika merasakan usapan lembut di atas kepalanya dan melihat Juyeon yang sedang membalas perkataan Eric.

“Dih kita gak dibeliin?” Eric merengut ketika Juyeon mengatakan kalau dia hanya membelikan kopi untuk Younghoon.

Juyeon hanya tertawa dengan pelan atas respon itu. Dan Hyunjae menyahut, “Biarin aja Juy, anaknya lagi birahi.”

“Anjir! Jaga mulut lo!”

“Iya nih, bener, belum dicium Sunwoo.”

“Jorok banget sat.”

Juyeon duduk di sebelah Younghoon setelah melihat dia menerima kopi itu darinya, laki-laki itu memperhatikan pacarnya yang menyeruput es nya dari sedotan.

“Kamu gak beli?” tanya Younghoon sembari mengecap ke lidahnya sendiri, kemudian menyodorkan minumannya ke Juyeon yang dengan cepat pula menerima cup itu darinya.

“Makasih.”

Younghoon hanya bergumam dan kembali menerima es kopinya setelah Juyeon mengembalikan minuman itu kepadanya.

Ketika teman-temannya mulai kembali mengobrol, Juyeon hanya sibuk memperhatikan Younghoon yang memang sangat pendiam, dia hanya menggulir atensinya secara bergantian ketika salah satu teman mereka mulai bicara, meminum kopinya sendiri dan menggigiti sedotan karena kebiasaannya.

Setelah beberapa saat diam, Juyeon secara tiba-tiba berdiri. Membuat semua perhatian jadi tertuju kepadanya. “Eh, gue duluan deh ya?”

“Hah? Mau kemana lo? Yang lain belum pada dateng,” kata Kevin.

Tapi alih-alih menjawab pertanyaan itu, Juyeon malah menaruh perhatiannya sepenuhnya pada Younghoon. “Ayo Kak?”

Younghoon tentu saja mengerjap bingung. “Kemana?”

“Pulang, emang mau kemana?”

Meski tidak mengerti, Younghoon tetap mengambil tasnya ketika Juyeon benar-benar berpamitan pada mereka. Meninggalkan teman-teman mereka dengan ketidakmengertian yang jelas.

Younghoon berjalan di belakang Juyeon menuju ke mobil mereka yang terparkir di area basemant mall, dan ketika mereka sampai di dalam mobilnya, Younghoon akhirnya buka suara.

“Kamu kenapa deh?” tanya Younghoon pada akhirnya.

“Kenapa apa Kak?”

“Ya enggak, tiba-tiba ngajak pulang? Aku ada buat salah kah?”

Juyeon tidak bersuara dalam beberapa saat, tidak juga menjalankan mobilnya meski dia sudah menyalakan mesin. Dan beberapa saat kemudian, Juyeon malah mematikan lagi mobil mereka.

“Sini peluk.” Juyeon tiba-tiba merentangkan tangannya, membuat Younghoon lagi-lagi melemparkan tatapan bingung kepadanya.

Tapi Younghoon tetap masuk ke dalam dekapannya. Merasakan rengkuhan Juyeon di sekelilingnya, merasakan usapan lembut pada kepalanya.

“Aku sayang banget sama kamu.” Juyeon tiba-tiba mengatakan itu. Dan kalimat itu praktis membuat Younghoon mengeratkan pelukannya di punggung Juyeon.

“Aku bakal selalu doain kamu, dimanapun dan kapanpun, semoga kamu selalu dikasih kebahagiaan, gak pernah ngerasain sedih, sakit, atau marah. Semoga kamu selalu dilimpahin kebaikan.”

Aamiin gak?”

Amen.

Juyeon tersenyum atas keheningan yang hadir setelahnya, tapi dia menikmati kesunyian ini karena ada Younghoon dalam pelukannya.

Setelah beberapa waktu yang cukup panjang, Juyeon mengacak rambut Younghoon sebelum akhirnya dia melepaskan pelukan mereka.

“Mau ke tempat lain dulu, atau mau langsung pulang?” Juyeon merapikan anak rambut Younghoon yang sempat jatuh menutupi matanya.

Younghoon tidak menjawab pertanyaan itu. Dia hanya menatap pada Juyeon, lalu tiba-tiba bersuara, “Juyeon.”

“Hm?” Juyeon tentu saja langsung menaruh atensinya pada Younghoon. Dia tatap mata Younghoonnya yang juga tengah menelusuri ke matanya sendiri.

“Aku bisa gak ikut kamu kemana aja?” Pada akhirnya Younghoon mengeluarkan isi pikirannya.

Jadi Juyeon tersenyum. Dia usap satu sisi wajah Younghoon dengan gerakan yang sangat lembut, membuat Younghoon melanjutkan, “I mean... Kamu ngerti kan maksud aku?”

“Ngerti, sayang.”

Juyeon tentu saja mengerti maksud kalimat itu. Juyeon tidak mungkin tidak mengerti, tentang bagaimana perasaan Younghoon, tentang bagaimana hubungan ini akan berjalan dan menemukan akhirnya sendiri.

Juyeon benar-benar paham pada itu.

Hubungan ini jadinya mau kita bawa kemana, Juy?

Jujur, Juyeon juga tidak tahu. Juyeon tidak tahu sama sekali.

“Juyeon.” Younghoon mencoba yang terbaik untuk tidak terlalu larut dalam perasaannya sendiri, tapi ketika dia memandang jauh ke manik mata Juyeon, Younghoon tidak bisa menahan dirinya lagi. “Gak bisa kan ya?”

Juyeon tidak tahu, Juyeon tidak tahu harus menjawab apa, jadi dia hanya diam. Dia benar-benar tidak tahu harus menjawab apa.

Sorry, lupain aja.” Younghoon segera memutus kontak mata mereka ketika merasakan matanya semakin memanas. “Aku mau pulang.”

Juyeon menatap Younghoon yang mencoba membuang tatapannya keluar jendela, kemudian menghela nafasnya.

“Ya udah, ayo pulang.”

Dia menghidupkan mesin mobilnya, kali ini benar-benar membawa Younghoon pulang ke rumahnya.

2910


Aksana menghela nafasnya, dia akan menyerah saat sudah mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan tapi tetap tidak bisa menemukan Arazki, namun seseorang tiba-tiba bicara kepadanya.

“Nyari Arazki?”

Aksana spontan menoleh ke sebelahnya dan melihat ke seorang bartender yang tersenyum sembari mengelap meja counter.

Aksana hanya menaikkan satu alisnya dan melihat respon itu, si bartender itu tertawa singkat. “Gue nebak aja sih, soalnya muka lo agak mirip Arazki. Siapanya? Kakaknya ya?”

Aksana benar-benar tidak percaya pada ucapan itu, tapi dia tetap menjawab, “Kakaknya.”

Setelah itu bartender itu tersenyum. Dia menunjuk ke sebelah kirinya. “Arazki di situ. Dia biasanya di situ, jadi kalo nyariin dia lagi langsung ke situ aja.”

Aksana mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Tanpa bicara lagi dia segera mendekat ke meja yang tadi ditunjuk oleh pria itu, letaknya lumayan berada di pojok dan cahaya di sana remang-remang, jadi wajar jika Aksana tidak menemukannya.

Dan ketika Aksana sampai di meja itu, Aksana benar-benar menemukan Arazki. Anak itu hanya duduk sembari memutar jarinya sendiri di atas gelas, membentuk sebuah lingkaran.

“Arki.”

Aksana melihat Arazki mengangkat kepalanya, tapi kenudian dia kembali menatap ke gelasnya sendiri. Tidak ada ekspresi apapun di wajahnya.

“Ngapain lo di sini?” Aksana harus menghela nafasnya lagi. Dia harus bisa menahan dirinya sendiri untuk tidak 'berceramah' di sini.

“Pulang.”

Tapi melihat Arazki sepertinya tidak mendengarnya sama sekali, Aksana akhirnya meraih tangannya dan menariknya agar dia berdiri sekarang juga.

Aksana bukan Aristian, dia tidak akan sabar.

“Berdiri! Pulang kata gue!”

“Enggakkk!” Arazki menarik tangannya sendiri, dan Aksana jujur cukup terkejut mendengar Arazki merengek seperti itu.

“Lo....” Aksana mendekat. Dia sedikit membungkuk untuk dapat melihat wajah Arazki. Laki-laki itu bahkan sampai menarik dagunya agar Arazki mendongak kepadanya. “Lo minum apa?”

Arazki tentu saja menepis tangan Aksana. Dia tersenyum kepadanya kemudian cemberut lagi. “Apa? Kamu Alden bukan? Kalo bukan Alden sana pergi!”

Memang benar seharusnya Alden yang menjemputnya, karena biasanya memang begitu. Tapi karena anak itu sedang tidak ada di sini, jadi Aksana lah yang harus mencari Arazki.

Dia tahu Arazki di sini juga dari Alden sih sebenarnya. Tapi Aksana tidak menyangka kalau Arazki akan benar-benar minum di sini?

“Apasih duduk duduk di sini? Ini tempat Alden! Pergi gak? Pergi gakkkk? Nanti Alden duduk dimana?” Arazki mendorong Aksana, tapi tidak dapat membuat Aksana bergerak sama sekali.

Jadi Arazki beralih memukulinya.

“Argh anj—Gue Aksana!” Aksana mencekal kuat tangan Arazki agar berhenti memukulinya.

Dan Arazki berhenti memukuli Aksana. Kali ini dia tiba-tiba cemberut, bibirnya mengerucut, tatapannya jadi memelas.

“Terus Alden kemana....”

Aksana spontan seperti serangan jantung. Astaghfirullah ini siapa? Dia salah orang kah? Ini kasian banget Arazkinya.

Refleks Aksana melepaskan Arazki. Dia mengalihkan pandanganya dan melihat di sekililingnya banyak sekali wanita dengan pakaian astaghfirullah Aksana saja sampai istighfar.

Dan Aksana jadi berpikir, apa Arazki gak takut diapa-apain sama mereka? Soalnya dia baru tau Arazki kalo abis minum bentukannya jadi gini???

Aksana merinding sendiri, sekali lagi dia menarik tangan Arazki tapi Arazki malah berteriak dan merengek kepadanya.

“Gak mau! Gak mau pulang, Kak! Mau di sini.”

Aksana melepaskan Arazki dan mulai menganga, sumpah, ini mah bukan Arazki.

Saking tidak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini, Aksana mencoba membuktikan dengan menarik pipi Arazki.

Arazki yang benar biasanya akan langsung berdecak dan menepis tangannya, tapi yang ini dia malah dihadiahi teriakan sebal dan tatapan sengit.

“Jahat banget?” Arazki menggerutu, dia mengusap pipinya sendiri dengan kesal.

Demi apapun Aksana benar-benar speechless kayak ini siapa sih anjir? Ini bukan Adiknya sama sekali.

Lalu Arazki tiba-tiba tersenyum. Dan juga dia tiba-tiba mengulurkan tangannya dan gantian menarik pipi Aksana. Aksana tentu saja terkejut dan langsung menepis tangan Arazki.

Karena itu, ekspresi Arazki langsung berubah, dia menatap Aksana dengan alis mengerut, bibir melengkung ke bawah. Jelas tidak terima pada perlakuan Aksana.

“Kok gitu?”

“Ya udah kita musuhan aja!” putus Arazki.

Aksana menaikkan satu alisnya. “Ya udah.” Ya emang kenapa kalo musuhan? Mereka tetap satu rumah kan?

Dan karena respon itu, Arazki memalingkan wajahnya yang menekuk sebal. Dia menghempas punggungnya ke belakang, tangannya terlipat di depan dada. Merajuk ceritanya.

Tapi Aksana tidak peduli. Kek ya udah terus mau diapain lagi?

Laki-laki itu malah ikut menggapai gelas Arazki dan meminum isinya sampai tandas. Aksana bukan tipe yang mudah mabuk, tapi ketika dia merasakan minuman itu di lidahnya, Aksana langsung menoleh ke Arazki.

“Berapa gelas lo minum ini?”

Arazki mengangkat satu jari telunjuknya, kemudian menempelkannya ke tengah tengah dahinya, matanya terpejam rapat, seolah-olah dia sedang berpikir keras.

Lalu setelahnya, dia tiba-tiba menunjuk ke Aksana dengan wajah seriusnya. “Lo Alden ya?”

Aksana tentu saja langsung mengernyitkan dahinya. Dia menepis telunjuk Arazki yang menunjuk padanya. “Bisa udah gak? Gue Aksana.”

Arazki berkedip beberapa kali sembari menatapnya, lalu dia tersenyum tanpa alasana, dan mengulurkan tangannya, menyuruh Aksana menjabat tangannya.

“Salam kenal, ini Arazki.”

Apaan buset tiba-tiba banget salam kenal???

“Salam kenal?” Arazki cemberut lagi, menggoyang-goyangkan tangannya yang terulur dan Aksana paham jika dia tidak membalas jabatan tangan itu anak ini pasti akan berisik lagi.

Jadi Aksana menghela nafasnya. Terserah saja yang penting gak ngerusak tanaman warga.

“Salam kenal! Hehehe.” Arazki mengguncang heboh tangan Aksana, dia tersenyum lima jari. Aksana memijat ke pelipisnya sendiri.

Apaan coba ini dia gak paham sama sekali.

“Kakak gak suka kenalan sama Arazki?” Arazki cemberut lagi.

Aksana sekali lagi menghela nafasnya kali ini dengan kasar. Dia menarik tangannya sendiri, lalu berdecak. “Apa sih? Lo bisa bangun gak?”

“Bangun? Oh bangun ... bisa.” Setelah menganggukkan kepalanya, Arazki berdiri. Tapi kemudian dia jatuh lagi dan duduk di atas sofa, menyandarkan kepalanya ke belakang, matanya terpejam rapat.

“Ah, gak bisa ... gak bisa, pusing ... capek. Gak bisa ... capek banget.”

Aksana mau tidak mau berdiri, menarik satu tangan Arazki dan melingkarannya di atas pundaknya.

Tapi Arazki malah memeluk lehernya, Aksana terkejut. “Ki, apaansih?”

“Mau gendong?”

“Gak ada yang mau ngegendong lo.”

Arazki menggerutu, meracau tidak jelas dan malah semakin kencang memeluk ke leher Aksana. “Gendong! Gendong! Mau gendong!”

“Anj—” Aksana tidak ingin mengumpat, tapi dia sampai harus menahan tangannya ke atas sofa agar tidak jatuh dan malah menindih Arazki.

Sumpah ini apaan sih anjir? Aksana trauma banget.

“Arazki capek.”

Aksana mendengar gumaman itu tentu saja, karena Arazki bicara tepat di samping telinganya.

“Bisa gak Arazki pulang, mau pulang ... kenapa Arazki di rumah sendirian, gak bisa, gak bisa sendirian. Di rumah nanti gimana ... Arazki gak ngerti....”

Aksana hanya diam dan membiarkan Arazki terus meracau tidak jelas. Tidak mengerti maksud 'kesendirian' yang Arazki ributkan.

Apa karena mereka terlalu sibuk sekarang? Alden kuliah jauh darinya, Aksana sendiri sudah sibuk dengan perusahaan Papanya, begitu juga Aristian dan Azuno yang sibuk dengan masa-masa akhir kuliahnya.

Padahal ada Andeiro dan Andhito di rumah, ada Nadira juga di rumah, lalu apa maksud kesepian Arazki?

Masa iya maksudnya ini Arazki kangen diomelin?

Aksana tanpa sadar tersenyum, entah kenapa merasa lucu sendiri. Dia tidak yakin, tapi sepertinya Arazki memang merindukan di-adek-in sama mereka bertiga.

Arazki tiba-tiba berhenti bicara, dan Aksana mengernyit lantaran merasakan pelukan di lehernya melonggar. Tanpa berlama-lama, Aksana segera menjauh dan segera menarik tangan Arazki ketika anak itu malah akan tidur di situ.

“Pulang dulu!”

Arazki bergumam panjang, dia malah dengan sengaja melemaskan badannya agar Aksana tidak bisa menarik dirinya.

“Berat, gak bisa bangun ... pusing banget. Jauh jalannya jauh....”

“Gendong ... mau gendonggg!” Arazki merengek manja sembari mengangkat tangannya sendiri.

Fuck!” Dan Aksana segera mengusap wajahnya sendiri, kemudian tertawa begitu saja di balik telapak tangannya.

Ki, udah, Ki. Aksana beneran gak sanggup lagi.

“Tega banget ... tega banget, jahat, penjahat!”

“Ya udah sini cepetan!” Aksana berdecak, dia menyerah, dan akhirnya menarik tangan Arazki agar ia segera naik ke punggungnya.

Anak itu akhirnya tersenyum, dengan semangat menjatuhkan tubuhnya sendiri ke atas punggung Aksana, tangannya melingkar erat di leher Kakaknya.

Orgil, abis ini Aksana gak mau lagi jemput-jemput Arazki.

“Jangan cekek gue!” Aksana mencubit kencang pipi Arazki di atas pundaknya.

Karena kesal atas kekerasan berumah tangga yang dilakukan Aksana kepadanyanya, Arazki malah semakin erat memeluk Aksana.

Bangsat ini dikiloin aja kali laku gak sih?

pt2


Arazki berdecak pada Aksana yang berjalan mendekati lift. Sedikit tidak terima kenapa hanya dirinya yang dijemput Aksana tadi, kemana Alden dan yang lainnya?

“Lantai berapa sih emang?”

“Dua belas, lo mau naik tangga emang?”

Mendengar nada bicara Aksana yang terdengar menyebalkan, Arazki berdecak, kemudian dia berbalik untuk mendekati tangga dan naik lewat sana.

Tapi tangan Aksana lebih cepat menahan dirinya sehingga Arazki harus terseret oleh Kakaknya itu.

“Gak bakal kenapa-napa.” Aksana menahan Arazki di sebelahnya, memegangi tangannya takut kalau anak itu akan kabur padahal kalau sudah di dalam begini, Arazki mana berani bergerak sedikitpun.

Karena itu pula, Arazki menggigit bibir bagian dalamnya, mencoba yang terbaik untuk terlihat tidak takut sama sekali karena lift bahkan belum bergerak sama sekali.

“Ki, jangan panik.”

Tapi sepertinya usahanya itu sangat sia-sia lantaran Aksana sudah melihat sendiri bagaimana Arazki kemudian mundur, mencoba mencari sandaran untuk dia merasa aman.

Dan Aksana dengan cepat menarik Arazki ke sisinya, tangannya berada di belakang punggungnya dan memegang erat ke bahunya.

“Gue bilang jangan panik, lo gak sendirian. Ngerti gak?”

Arazki tidak punya waktu untuk membalas kalimat menyebalkan dari Aksana, dia menggenggam pegangan besi di dekatnya, berusaha agar tidak panik berlebihan karena tidak ingin semakin diledek oleh Aksana.

Padahal Aksananya gak ngapa-ngapain sih.

Dan ketika lift tiba-tiba berhenti di tengah jalan hingga menimbulkan sentakan, Arazki spontan beralih mencekal erat ujung jaket Aksana, sementara dia menyembunyikan wajahnya di depan dada Kakaknya.

“Fak kata gue teh, kenapa sih kita bisa salah lantai sega—” Andeiro di depan lift berhenti bicara ketika pintu lift terbuka dan menampilkan pemandangan yang cukup mengejutkan matanya.

Sementara Aristian di sebelahnya hanya menatap keduanya yang berada di pojok lift dengan cukup terkejut.

Pasalnya ini Kakaknya Aksana dan Arazki, dua orang yang sama-sama membenci hal manusiawi tiba-tiba ditemukan melakukan hal dewasa persaudaraan—berpelukan dengan sangat akrab.

Melihat itu, Arazki buru-buru menjauh dari Aksana, tapi karena kakinya tidak tahu kenapa jadi lemas, dia malah membentur bagian lift di belakang kepalanya.

“Astaghfirullah Ki, pelan-pelan.” Aristian segera mendekat, tapi Arazki malah menepis tangannya dan berdecak galak.

Arazki berhasil berdiri dengan berpegangan pada besi di sana, tapi ketika dia mengangkat kepalanya, dia baru menyadari ternyata ada Alden juga di sana.

Arazki mengumpat di dalam hatinya.

Padahal Alden nampak tidak begitu penasaran karena dia sudah tahu ada apa, tapi di mata Arazki wajah Alden itu menyebalkan, jadi setelah ini dia harus memukulnya juga.

“Lo ngapain, Kak?” Andeiro bertanya di waktu yang sangat salah, jadi khusus Andeiro, Arazki segera memukulnya saat itu juga.

Aristian memandang ke Aksana, dan Kakaknya itu sepertinya tidak tertarik untuk terlibat dalam hal ini, itu sebabnya dia hanya menatap ke hadapannya seperti mereka di sini hanya orang asing baginya.

Namun begitu lift mulai kembali berjalan, Aksana segera melempar tatapannya ke Arazki untuk beberapa saat kemudian berpaling dengan cepat.

Dan ketika dia menoleh ke Arazki, dia melihat Arazki mengacak rambutnya sendiri sampai poninya berjatuhan menutupi kedua matanya.

Aristian tersenyum, dia mungkin harus bertanya pada Aksana nanti.

Kalau mereka berdua sudah puas salah tingkah sendiri. published with write.as

3009


Arazki terbangun dan melihat ke langit-langit kamarnya. Dia kemudian melirik ke sampingnya ketika merasakan ada seseorang di sebelahnya, dan Arazki dengan samar melihat wajah Alden di sampingnya.

Namun ketika dia mengerjapkan matanya, Arazki justru melihat Aristian yang tersenyum kepadanya. Dan itu membuat dirinya sadar bahwa ini semua hanya bayang-bayang yang dia ciptakan sendiri.

Aristian menyadari tatapan Arazki kepadanya, jadi dia hanya tersenyum. Dia baru saja akan bicara kepadanya, tapi dia melihat Arazki yang baru sadar tiba-tiba menangis sembari memandang ke arahnya.

Aristian tentu saja bingung dan juga panik. “Arki? Kenapa? Kenapa nangis? Ada yang sakit?”

Namun Arazki malah menutup kedua matanya dengan telapak tangannya dan menggeleng pada pertanyaan Aristian.

Aristian yang kebingunganpun tidak dapat menemukan kalimatnya.

Jadi Aristian berjongkok di sebelah kasurnya. Membawa Arazki ke dalam dekapannya, dan ketika itu juga tangisan Arazki malah semakin kencang.

Aristian tidak tahan. Dia tahu Arazki kenapa, tapi Aristian tetap tidak bisa menyesuaikan perasaannya. Ini tetap menyakiti dirinya.

Aksana menatap keduanya dari luar kamar Arazki. Dia tadinya hendak masuk, tapi Aksana kehilangan keberaniannya hingga akhirnya memilih untuk diam di depan pintu.

“Kak, Ilo gak tau kenapa tapi Kak Alki tiba-tiba nangis kayak gini.”

Aksana memandangi Aristian yang berjongkok dan memeluk Arazki yang sesenggukan dari belakang mereka.

“Tadi abis diledek Iro.”

“Enggak! Jangan pelcaya Dhito, Kak! Dhito mah bohong!”

Aristian melerai keduanya yang malah jadi bertengkar sembari mencoba menenangkan Arazki. Dia tidak tahu kenapa, tapi setiap dia menangis seperti ini, rasanya jadi terdengar begitu menyedihkan.

Sebenarnya bukan hal mengejutkan menemukan Arazki yang tiba-tiba menangis, kadang dia meledak dan marah karena sesuatu, atau dia hanya diam seperti tidak peduli pada sekitarnya, dan Aristian tidak yakin ini adalah hal wajar.

Dia sudah membicarakan hal ini pada Papa mereka, tapi karena kesibukannya sendiri, dia bahkan tidak mendapat jawaban apapun.

Aristian melihat Alden menatap mereka dan tak lama kemudian dia mendekatinya.

“Kak, Aden mau benerin robot Aden, kepalanya coplok, itu dia di sana.”

“Alden, nanti ya? Kak Arkinya lagi—”

“Ayo.”

Aristian terkejut ketika Arazki tiba-tiba membalas ajakan Alden sembari mengusap air matanya sendiri, secara ajaib dia berhenti menangis.

“Mau ikut juga!” Andeiro menarik tangan Andhito ketika melihat Alden dan Arazki pergi duluan tanpa mereka.

Aristian menghela nafasnya. Remaja itu benar-benar tidak mengerti tentang betapa cepatnya perubahan suasana hatinya.

“Tian.”

Aristian menoleh ke belakangnya dan melihat Aksana yang entah sejak kapan berada di belakangnya.

“Dipanggil Papa.”

“Oh, oke.”

***

Aristian menutup kulkas setelah dia mengambil buah apel dari sana, dan terkejut lantaran Arazki tiba-tiba berada di dekatnya, entah sejak kapan anak itu keluar dari kamarnya.

“Arki? Lo mau apa?” Aristian mencoba yang terbaik untuk tersenyum kepadanya.

Dan Arazki hanya diam memandangi Aristian, kemudian turun ke buah apel yang berada di tangannya.

Seolah mengerti, Aristian lantas tertawa. “Oh, lo mau ini? Ya udah gue potongin ya.”

Aristian pergi mencuci buahnya kemudian setelah selesai, dia segera mengambil pisau lalu memotong buah itu sementara Arazki hanya diam memperhatikan dirinya memotong buah apel.

“Lo mau keluar? Coba bilang ke Azuno, siapa tau dia bisa nemenin lo.”

“Atau mau di rumah aja juga gapapa sih.”

Arazki tidak meresponnya ucapannya sama sekali tapi Aristian tidak terlalu mempemasalahkannya karena baginya, Arazki seperti ini saja sudah cukup.

Setelah kejadian hari itu, Aristian jadi sering pergi ke kamar Arazki lantaran anak itu sering memintanya menemaninya.

Aristian sebenarnya tidak masalah karena meski Arazki jadi tiga kali lebih pendiam dari biasanya dan tidak banyak bicara, Aristian justru bersyukur karena Arazki masih mencoba kembali menjadi Arazki.

“Arki, kalo laper panggil gue aja ya, atau Kak Aksa.”

Arazki tidak menjawabnya, tapi Aristian tahu dari cara dia menatapnya, Arazki pasti mendengarkannya.

Tapi tanpa Aristian sangka, Arazki justru datang sendiri menghampirinya ke dapur, dibanding dia menunggu kedatangannya di kamarnya sendiri seperti yang dia minta.

“Mau ketemu Alden.”

“Ya?” Aristian menoleh, dan melihat ke arah Arazki yang tengah mengawasi dirinya mengupas apel.

Arazki tanpa disangka mengulangi ucapannya lagi. “Mau ketemu Alden.”

Aristian mengerjapkan matanya, saking tidak percayanya dia sampai tidak tahu harus memasang ekspresi apa di wajahnya.

“Arki ... beneran mau ketemu Alden?”

“Hm.” Arazki bergumam yang berarti dia serius dengan ucapannya sendiri.

Aristian lantas tersenyum. Dia berbicara dengan lembut. “Nanti ya, gue ngomong dulu ke Kak Aksa, biar nanti lo perginya sama dia.”

Aristian langsung mencuci pisau yang tadi digunakannya untuk memotong buah apel kemudian meletakannya ke tempat semula.

Dia menyodorkan sepiring buah apel yang barusan dia potong ke Arazki, sembari mengatakan, “Bentar, gue coba tanyain Kak Aksanya dulu, takutnya dia lembur malam ini. Oh, ini lo bawa ke kamar aja kalo mau ya?”

Arazki memandangi Aristian yang pergi dari sana. Karena tidak tahu harus melakukan apa, dia akhirnya pergi tanpa membawa buah itu sama sekali.

Dia bahkan belum memakan apel itu sedikitpun.

Arazki tadinya ingin kembali ke kamarnya, tapi begitu dia melewati kamar seseorang, Arazki malah berbelok.

Dia berdiri di depan pintu kamar itu, tidak tahu harus melakukan apa jadi dia hanya iseng memutar kenop pintu itu dan rupanya tidak terkunci sama sekali. Jadi Arazki langsung masuk begitu saja.

Ketika dia sampai di dalam sana, Arazki disambut oleh kekosongan. Kamar itu gelap dan dingin, jelas saja. Tidak ada lagi penghuni di dalam sini.

Dia berjalan ke dekat jendela. Membuka tirainya agar setidaknya kamar itu memiliki kehidupan sedikit saja.

Arazki tidak tahu kenapa dia malah jadi berakhir ke sini, tapi dia akhirnya duduk di pinggir kasur Alden, dan tidak melakukan apapun selain memandangi setiap sudut di ruangan ini.

Apa Alden kesepian di kamar ini?

Pertanyaan itu tiba-tiba terbesit lantaran Arazki merasakan kamar ini sepi, bahkan lebih sepi dari yang terakhir ia lihat.

Terakhir kali ... dia bertemu Alden. Kapan ya?

***

“Ini Alden.” Aksana menatap Arazki yang hanya diam di sebelahnya sembari memandangi pusara di hadapannya. Jadi Aksana tidak mengatakan apapun lagi setelahnya, membiarkan Arazki melakukan apa yang ingin dia lakukan di sini.

Aksana sebenarnya menolak Arazki untuk datang ke sini, dia khawatir, tapi Aristian terus-terusan membujuknya dan Aksana menyerah ketika Aristian memberitahukan kalau Arazki sendiri yang memintanya.

Jadi Aksana dengan berat hati membawanya kemari. Meski dia tidak tahu apa yang di pikirkan anak itu, tapi Aksana masih bisa melihat perasaannya lewat matanya.

“Gue ke tempat Iro sama Nad dulu.” Aksana tidak ingin mengganggu Arazki, jadi dia dengan cepat pergi dari sana.

Dan Arazki akhirnya berjongkok setelah beberapa lama dia berdiam diri memandangi batu nisan di bawah kakinya.

Namun meski begitu, Arazki masih tidak bicara apapun, di sana dia hanya terus menatap ke batu di atas gundukan tanah itu, membaca tulisan yang akan terus berada di sana dan tidak akan berubah sampai kapanpun juga.

Setelah lama berdiam diri, Arazki akhirnya menghela nafasnya, lalu berdiri dari sana dan pergi menyusul Aksana ke tempat Adik-adiknya yang lain.

***

“Makasih.”

Aksana spontan menoleh dengan wajah bingung ketika mendengar Arazki tiba-tiba mengatakan itu kepadanya.

“Hm,” gumam Aksana dengan canggung. Dia tidak tahu kenapa dan untuk apa Arazki tiba-tiba mengucapkan terima kasih kepadanya. Dan dia tidak tahu harus merespon apa.

Karena tidak ada lagi yang ingin ia katakan, Arazki lantas keluar dari mobil duluan. Segera naik ke kamarnya sendiri kemudian mengunci pintunya dan bersandar di sana.

Arazki menatap lurus ke hadapanya, menerawang jauh seolah dia telah mengingat sesuatu, sehingga tangannya yang bertumpu di daun pintu mengepal.

Secara mendadak, laki-laki itu kesulitan bernafas. Mulutnya ikut terbuka untuk meraup oksigen, tapi itu tidak membantu sama sekali dan malah membuatnya semakin kesulitan bernafas. Jadi dia merosot ke bawah karena kakinya jadi gemetaran dan mati rasa.

Arazki terbatuk dan memukul dadanya sendiri lantaran kesal pada ini. Sebisa mungkin mencoba mengatur dirinya sendiri, tapi dia tetap tidak bisa.

“Ki, bisa berhenti bentar gak?”

“Kenapa?”

“Berhenti bentar coba.”

Dengan penuh kebingungan, Arazki menepikan mobilnya di pinggir jalan tol, kemudian dia menoleh untuk meminta penjelasan pada Alden.

Tapi Alden malah, “Sini gue yang nyetir.”

Arazki tentu saja mencekal stir mobilnya, seolah Alden akan merebut benda itu darinya.

“Dih, gantian anjir? Lo emang gak capek? Oke gak capek, tapi lo keliatan ngantuk gitu. Sini gantian, gue aja.”

Arazki menatap Alden dalam diam, lalu pandangannya turun ke kaki Alden yang mana itu membuat Alden berdecak.

“Kaki gue udah gak apa-apa.”

“Oke.” Arazki menarik kembali pedal gasnya dan tidak mendengarkan Alden bicara apa, dia tidak mau menerima saran gila dari Alden.

“Ya udah Dhito aja, Dhito!” kata Alden setelahnya.

Tapi Arazki lagi-lagi menggeleng. Dia tidak mungkin membiarkan anak di bawah umur mengendarai mobil di jalan tol seperti ini. Meski dia sendiri juga baru saja dapat SIM enam bulan lalu.

“Kenapasih keras kepala banget?” Alden berdecak sekali lagi, kali ini dia sampai menaikkan nada bicaranya dan Arazki tidak suka itu.

“Ya udah turun aja, naik mobil sendiri.”

“Ya udah, turunin gue di sini!”

Bukannya mengikuti ucapan Alden, Arazki malah semakin menginjak pedal gas mobilnya.

“Bagus, kebutin lagi aja.” Alden mengomporinya, dan sesuai perkataan Alden, Arazki menerima tantangan itu.

“Kak, napa berantem dah?” Andeiro bersuara duluan. Sementara Nadira di belakang mereka hanya bisa memandang bingung pertengkaran Kakaknya, tidak seharusnya mereka bertengkar di saat seperti ini.

“Mending stop kata gue atau terserah lo dah.” Alden kembali bersuara dengan nada bicara yang tidak mengenakkan sama sekali sehingga Arazki mengeraskan rahangnya. “Fine.

“Kak, berhenti! Kak!” Nadira menutup matanya ketika melihat mobil kontainer di depan mereka, tapi Arazki dengan cepat membanting stir ke kiri sehingga mobilnya berhasil menghindari mobil besar di depan mereka.

Namun naas, karena kecepatan yang berlebihan sebelumnya, Arazki malah menembus pembatas jalan dan mobil mereka terjun bebas ke bawah flyover.

Arazki tercekik suaranya sendiri, dia merintih dan menjambak rambutnya sendiri ketika kepalanya malah jadi terlalu berisik, rasanya dia ingin membenturkannya ke dinding.

Arazki masih ingat dengan jelas bagaimana keadaan Alden di depan matanya, bagaimana keadaan Adik-adiknya yang lain di belakangnya.

Semua keadaan mereka bahkan lebih dari mengenaskan.

“Maaf....” Arazki dengan susah payah mencoba menggumamkan kalimat itu sampai suaranya bergetar, dan dia tidak tahu kalau dia sudah menangis dengan penuh keputusasaan saat ini.

Arazki hanya ingin suara mereka hilang dari hidupnya karena mendengar ini di kepalanya sendiri bahkan lebih buruk dari sekadar mimpi buruknya.

Arazki berteriak pada ini dan membenturkan kepalanya berkali-kali, tapi suara-suara itu bahkan tidak mau hilang sama sekali.

Nafasnya tercekat di tenggorokan, Arazki benar-benar merasa dirinya akan mati saat ini, telinganya berdenging nyaring yang rasanya hampir membuat kepalanya pecah.

Dengan bernafas secara susah payah, Arazki mendongakkan kepalanya sampai bagian belakang kepalanya menempel di sisi pintu. Merasakan pandangannya berkunang-kunang dan perlahan menggelap sampai dia tidak bisa mendengar apapun lagi.

***

“Arazki kenapa?”

Aristian tidak menjawab pertanyaan Ardan apalagi Aksana yang hanya duduk diam sembari memandang ke Adiknya yang masih belum juga sadarkan diri.

Dan memandang ke sana terus-terusan membuat Aksana merasa semakin bersalah.

Seharusnya dia tidak menyetujui permintaan Arazki untuk menemui Alden. Seharusnya dia tidak meninggalkannya sendirian setelah pulang dari sana karena Arazki tidak mungkin baik-baik saja.

Aksana menyesal tidak terlalu peka terhadap itu sehingga menyebabkan Arazki harus berakhir seperti ini lagi.

Sementara itu karena tidak mendapat jawaban, Ardan akhirnya menghela nafasnya. Mendekat ke Arazki kemudian mengusap helaian rambutnya, tapi dia tidak menunjukkan ekspresi apapun di wajahnya.

“Papa udah bilang dari dulu, bawa aja ke rumah sakit.”

Mendengar kalimat itu kembali keluar dari mulut Papanya, Aristian yang sejak tadi bungkam akhirnya tergerak dan menatap pria di sebelahnya dengan tatapan yang tidak lembut sama sekali.

“Kalian gak mau dengerin Papa. Padahal kalo dari dulu kalian ikutin apa kata Papa, gak bakal kayak gini jadinya.”

Aristian berdiri, dan Aksana spontan ikut berdiri lantaran terkejut melihat Aristian tiba-tiba menarik Ardan.

“Papa ngerti gak kenapa bisa jadi gini?” Aristian mencoba untuk tidak membentak Papanya, tapi dari nada bicaranya saja sudah terdengar bahwa dia sangat tidak suka dengan kalimat Ardan barusan.

Aksana tidak jadi melerai keduanya. Dia belum pernah melihat Aristian marah, apalagi pada Papa mereka. Jadi jika Aristian marah pada sesuatu, Aksana akan diam saja karena artinya dia juga merasa terwakilkan pada itu.

“Ini kalo Papa waktu itu gak pisahin Alden sama Arazki, gak bakal kayak gini, Pa, jadinya.”

“Arazki tuh Kakaknya Alden, mereka udah sering bareng dari kecil, udah sering berdua dari kecil, terus kenapa sih Papa tega banget misahin mereka berdua? Tian gak ngerti, Pa, sebenernya buat apa Papa kayak gitu?”

Ardan nampak tidak terkejut sama sekali dan dengan tenang menjawab, “Kamu gak lupa kan, Tian? Arazki itu pernah didiagnosa bipolar.”

Aristian terdiam pada kalimat Ardan. Dia sudah tahu itu, bahkan Alden, Adiknya yang lain, dan Arazki sendiri juga tahu itu karena Ardan sudah pernah membicarakan ini pada mereka.

Dan Aristian sebenarnya tidak percaya, tapi dia sudah melihat sendiri bagaimana perubahan suasana hati Arazki yang begitu cepat.

Aristian setuju jika Arazki kerap kali marah pada sesuatu dan meledak sampai hampir membahayakan dirinya sendiri dan orang lain. Jadi Aristian sadar bahwa Arazki memang memiliki kekurangan itu.

“Kamu pikir kalo dia disatuin sama Alden dia bakal baik-baik aja? Enggak. Arazki bakal makin rusak.”

“Jangan pikir Papa gak tau kelakuan mereka di sekolah kayak gimana. Kalo dibiarin kira-kira bakal gimana menurut kamu?”

Aristian menatap tajam pada Ardan. “Papa gak berhak nilai Alden kayak gitu.”

“Arazki selama ini baik-baik aja sama Alden. Dia bisa sembuh kalo sama Alden. Tapi Papa malah pisahin mereka—”

“Arazki gak akan pernah bisa sembuh, Tian.”

“Kalo Arazki sama Alden terus sifat Arki yang kayak gitu malah bakal ngebahayain dirinya sendiri, termasuk Alden sendiri.”

Aristian akan bicara lagi, tapi ketika melihat pergerakan Arazki dari sebelahnya, dia mengurungkan niatnya dan mengalihkan fokusnya pada Arazki.

Aristian tidak tahu sudah sejak kapan Arazki terbangun, saat dia berbalik, dia melihat Arazki menatapnya kemudian menatap ke Ardan.

“Pa.” Arazki bersuara dengan pelan, dan Ardan memerhatikan Arazki yang kemudian melanjutkan, “Alden belum pulang.”

Ardan membungkam mulutnya sendiri, tapi dia tidak memutus kontak matanya dengan Arazki sehingga di sana dia hanya diam atas kalimat itu. Tidak tahu harus membalas seperti apa.

Ketika Ardan akan bicara, Aristian malah memotongnya dan sedikit mengangkat telapak tangannya untuk menyuruhnya agar tidak bicara apapun.

Dan Aksana yang menyadari itu akhirnya mencoba membawa keluar Ardan dari sana.

“Arki.” Aristian membuat Arazki mengarahkan atensinya kepadanya. Dimana tatapan itu kosong, bahkan Aristian tidak bisa memikirkan seberapa kosongnya isi kepalanya saat ini.

Aristian mencoba yang terbaik untuk tidak menunjukkan sisi lemahnya di hadapan Arazki. Jadi dia segera memeluk Arazki agar tidak perlu berhadapan dengannya.

“Arki jangan kemana-mana ya?”

“Kakak minta maaf udah egois, tapi kakak minta tolong, jangan kemana-mana, please. Kakak cuma punya Arazki. Adeknya kakak sekarang cuma tinggal Arazki.”

“Kakak gak punya siapa-siapa lagi.”

Di seumur hidupnya, Arazki belum pernah melihat Aristian menangis seperti ini. Dia bahkan memeluknya dengan erat sekali, seperti dia akan menghilang jika Aristian melepaskan pelukannya.

Arazki belum pernah tahu kalau Aristian bahkan lebih merasa sakit daripada dirinya.

Dan ini semua terjadi karenanya.

Kenapa dia masih bisa hidup seperti ini ketika dia sendiri melihat Kakaknya bahkan jauh lebih menderita daripada dirinya.

Arazki seharusnya tidak pantas berada di sini.

3008


“Ki.”

“Razki?”

“Razki.”

“Arazki!”

Laki-laki yang baru saja dipanggil namanya itu akhirnya menyahut dengan sentakan terkejut ketika pundaknya ditepuk dari samping.

“Lo gak apa-apa?”

Arazki berdengung dan terdiam sejenak, menatap Kayana di hadapannya dan sedikit merasa bersalah karena untuk yang kesekian kalinya dia melamun lagi sembari menatap ponselnya, seolah-olah dia tidak melihat keberadaannya.

Padahal yang mengajaknya ke tempat ini adalah dia sendiri.

“Kenapa? Dingin?”

Kayana memperhatikan Arazki yang sibuk melepaskan jaketnya sendiri lalu dia melihat laki-laki itu juga menatapnya tanpa kata-kata sembari menyerahkan jaket itu kepadanya.

Kayana tersenyum dan menggeleng. “Gak, gue gak apa-apa. Dipake lo aja jaketnya.”

Arazki tidak mendengarkannya dan malah langsung menyampirkan jaketnya ke pundak Kayana. Sementara dia berdiri sembari menatap jam yang melingkar di tangan kirinya.

“Udah malem.”

Kayana memperhatikan setiap gerak-gerik Arazki dan tidak melewatkan satupun pergerakan dari laki-laki itu.

Sampai Arazki kemudian sadar kalau Kayana belum juga bangkit dari duduknya.

“Kenapa?” Arazki kembali lagi, kali ini dia yang menatap Kayana dengan tatapan bertanya-tanya.

Kayana hanya tersenyum yang mengandung makna lain dan menggelengkan kepalanya.

“Gak, ayo pulang.”

***

Pukul setengah sebelas malam itu, Arazki berdiri di depan pintu, dengan gestur seperti orang yang ragu-ragu pada keputusannya sendiri.

Dia mengangkat tangannya yang mengepal, berniat mengetuk pintu itu, tapi tidak jadi, dan beralih memutar tubuhnya lalu turun ke lantai bawah.

Dia pergi ke dapur, dan berpapasan dengan Aristian yang kebetulan juga sedang berada di dapur, entah sedang apa, tapi Arazki memilih untuk mendekati kulkas tanpa berniat menyapa Kakaknya.

Jadi Aristian dengan ramah membuka percakapan, “Udah makan belum?”

“Udah.”

Aristian memperhatikan Arazki yang masih mengenakan jaket di tubuhnya, dia ingin bertanya sesuatu, tapi melihat anak ini sepertinya sedang tidak bisa diajak bicara, Aristian mengurungkan niatnya.

Jadi dia hanya menyuruhnya makan. “Makan dulu, Arki.”

“Udah.”

“Makan nasi.”

“Nanti.”

“Oke. Yang penting makan ya.”

Arazki hanya berdengung setelahnya dan pergi tanpa memedulikan Aristian bicara apa.

Kemudian berpapasan dengan Aksana yang sepertinya baru keluar dari kamarnya dan kebetulan melihatnya.

Dia paling malas dengan Kakak pertamanya ini, apalagi ketika sudah menudingnya dengan pertanyaan, “Abis dari mana?”

Arazki dengan malas menjawab, “Luar.”

“Gue tau.”

“Ya udah.”

Melihat Arazki akan pergi, Aksana segera menahannya, dia menarik tangan Arazki agar tidak mengelak darinya.

“Lo gak jawab pertanyaan gue.”

Arazki menghela nafasnya dengan kasar lantaran pertanyaan itu tidak kunjung berhenti didengarnya semenjak dia menginjakkan kaki ke rumah ini.

Tau gitu dia gak usah pulang aja sekalian.

“Abis kemana?”

“Bukan urusan lo.”

Tidak puas dengan jawaban itu, Aksana tidak berniat melepaskan tangan Arazki dan malah mencekalnya lebih kencang sampai Arazki mengernyitkan dahinya.

“Kak, pelan-pelan, bisa ya?” Aristian menengahi keduanya, dia mencoba menarik tangan Aksana dari Arazki karena melihat Arazki kesakitan gara-gara itu.

Tapi Aksana tidak mendengarkannya dan malah semakin mencekal pergelangan tangannya, menuntut sebuah jawaban dari Arazki.

“Gak dipatahin aja sekalian?” tanya Arazki, sengaja memprovokasi Kakaknya sendiri.

“Jawab dulu pertanyaan gue.”

“Mending lo patahin dah tangan gue. Sok, patahin.”

“Ki, udah ya, Ki?” Dan Aristian yang semenjak tadi berusaha memisahkan mereka namun ternyata nihil, tetap tidak menyerah. Dia masih berusaha membujuk Arazki. “Kak, please....

“Lo tinggal jawab gue.” Aksana tidak mendengarkan dan malah menatap Arazki dengan tajam, setiap kalimat yang keluar dari mulutnya bahkan penuh penekanan.

Tapi Arazki tidak merasa takut sama sekali dan malah mencoba menantangnya. “Kenapa? Gue gak suka di rumah ini. Gak seneng lo?”

Arazki menarik kembali tangannya saat Aksana akhirnya mengendurkan cekalannya.

Dia menatap sinis pada Aksana. “Lama-lama pergi beneran gue dari sini.”

Arazki kemudian pergi dari hadapan Kakaknya dan mengabaikan Aristian yang mencoba bicara padanya.

Dia segera pergi menuju kamarnya, tapi ketika melewati kamar seseorang, Arazki mengurungkan niatnya dan lebih memilih untuk masuk ke kamar Alden, tanpa persetujuan si empunya kamar.

Jadilah Alden yang sedang tidak melakukan apapun di atas kasurnya terkejut dan langsung bangkit begitu melihat Arazki tahu-tahu sudah berada di dalam kamarnya.

“Kenapa lo?”

Arazki tidak menjawab pertanyaan itu, dia hanya duduk di kursi meja belajar Alden, lalu bertelungkup di sana.

Alden membiarkan saja, yang penting Arazki tidak mengganggunya.

“Lo mau ikut gue gak?”

Baru akan menutup kembali matanya, dia dikejutkan dengan pertanyaan tiba-tiba dari Arazki.

Dan seolah tahu alasan Arazki yang tiba-tiba bertanya seperti itu kepadanya, Alden menjawab saja dengan jujur.

“Gak ah, sengsara gue sama lo.”

Arazki tidak menanggapi itu, lelaki itu hanya diam, dia bahkan tidak menoleh sama sekali.

“Coba aja lo mau ikut, gue udah pergi dari sini.”

Alden cukup terkejut dengan penuturan Arazki yang satu itu, tapi karena dia tidak tahu ingin menjawab apa, jadi dia hanya diam saja.

“Lo abis minum lagi?”

“Hmm.”

Gumaman yang panjang itu sudah cukup untuk menjawab semua pertanyaan di benak Alden.

“Lo bisa berhenti gak sih?”

***

“Abis kemana?”

Arazki dengan malas melirik ke Aksana yang duduk di sofa tanpa menatap ke arah dirinya. Jadi Arazki tidak akan repot-repot menjawab pertanyaan itu dan pergi saja ke kamarnya.

“Ki, kenapa basah semua?”

Dia melihat Aristian menatapnya dengan pandangan prihatin, tapi Arazki tidak butuh itu.

Dan bukannya menjawab, Arazki malah balik bertanya. “Mana Iro?”

Aristian hanya memandangnya, sebelum dia menjawab pertanyaan itu, Arazki sudah bicara lagi. “Bangsat emang tuh orang.”

Dengan langkah terburu-buru, Arazki berbalik dan berniat pergi lagi dari sana sampai Aksana menahannya, “Di rumah aja.”

Arazki segera mendelik ke Aksana, tidak terima dengan aturan tiba-tiba itu.

“Lo aja yang di rumah.”

“Dengerin gue.” Aksana menatap ke arahnya dengan tatapan tidak ingin dibantah.

“Dengerin sendiri aja.”

“Udah, Arki, udah ya? Lo mending mandi dulu terus ganti baju oke? Nanti masuk angin.” Aristian segera menengahi keduanya sebelum pertengkaran ini berlanjut menjadi semakin panjang.

Arazki sebenarnya ingin langsung mencari Andeiro dan memukulnya saat ini juga karena dia yang telah mengerjainya. Tapi konyol rasanya jika dia keluar dengan basah kuyup seperti ini.

Andeiro pasti akan semakin menertawainya.

Jadi Arazki dengan perasaan gondok akhirnya pergi ke kamarnya untuk berganti pakaian dan menunggu sampai Andeiro pulang sendiri, anak itu tidak akan bisa lama-lama di luar rumah.

***

“Dhito kemana?”

Arazki bertanya pada Azuno yang sepertinya baru saja bangun tidur dan keluar dari kamarnya. Dia menyesal bertanya pada orang itu karena tentu saja responnya pasti cuma, “Hah?”

Arazki berlalu begitu saja tanpa memedulikan Azuno mengoceh tidak jelas. Dia berpapasan dengan Aristian, sepertinya ingin masuk ke kamarnya, tapi karena melihat Arazki, Aristian jadi berbalik menyapanya.

“Cari apa, Ki?”

“Dhito.”

“Dhito?”

“Dia minjem flashdisk gue, gue mau pake.”

Aristian entah kenapa tersenyum, tapi Arazki tidak merasa itu senyuman yang tertuju kepadanya. Tapi ya sudahlah.

“Mau pake punya gue aja?”

“Ya udah.”

“Oke, sini masuk.”

Arazki tidak masuk dan malah menunggu Aristian di depan pintu kamar Kakak keduanya yang sekali lagi membuat Aristian tersenyum meandanginya.

Begitu dia mendapatkan benda itu dari Aristian, Arazki langsung kembali ke kamarnya tanpa menyadari kalau Aristian terus menatap punggungnya yang menjauh dalam diam.

***

“Arki mau keluar?”

Aristian menegur Arazki ketika dia melihat anak itu lengkap dengan balutan jaket di tubuhnya, tengah mengambil sebotol air dari dalam sana.

“Mau kemana emangnya?”

Arazki refleks menaikkan sebelah alisnya karena pertanyaan itu. “Katanya jemput Nad?”

Aristian hanya tersenyum. “Hati-hati ya?”

Dan Arazki hanya bergumam singkat. Dia cepat-cepat pergi sebelum Aristian akan mengomel atau malah menahannya pergi.

“Mau kemana lagi?”

Tapi Arazki harus sial lantaran Aksana kebetulan baru saja kembali entah dari mana, dia muncul di depan pintu ketika dia ingin pergi lewat sana juga.

Arazki tentu saja tidak akan menjawab pertanyaan itu dan pergi melewati Aksana, sementara Aksana tidak menahannya sama sekali.

Aksana langsung pergi ke arah dapur untuk mengambil minuman karena jujur dia belum minum sama sekali setelah meeting dengan kliennya.

Dia langsung pulang setelah Aristian mengiriminya pesan dan mengatakan ingin membicarakan sesuatu dengannya.

Sebetulnya Aristian sudah bilang kalau tidak bisa, dia tidak akan memberatkan Aksana. Tapi karena ini Aksana, jadi kalau menurutnya penting, Aksana akan datang.

Kebetulan Aristian juga sedang berada di dapur, tapi dia tidak melakukan apapun di sana selain berdiri di depan counter dan tersenyum menatap Aksana yang baru pulang.

Aksana menaikkan satu alisnya tanda bingung.

Sorry ya, gue malah bahas ini lagi sama lo. Tapi gue pikir ini udah cukup.”

***

“Buset pagi-pagi mau kemana lagi sih?” Azuno yang kebetulan baru keluar dari kamarnya berpapasan dengan Arazki yang sepertinya akan pergi lagi, terlihat dari dirinya yang sudah mengenakan jaket sembari menenteng sepatunya.

“Emang gak bisa di rumah aja gitu? Di luar ada apaansih?”

“Di luar gak ada lo semua.”

“Anjir, eh, dengerin gue dulu.” Azuno yang jauh lebih tinggi dari Arazki dengan cepat berdiri di hadapannya, menghalangi jalannya.

“Apaan?” Arazki menunggu sampai Azuno bicara, dengan begitu dia bisa pergi tanpa harus ditahan-tahan begini.

“Jangan kemana-mana.”

Aksana dengan cepat menginterupsi mereka sebelum Azuno menjatuhkan kalimatnya.

Dan Arazki mengernyit saat Aksana tiba-tiba gantian menarik tangannya.

“Apaansih? Lepasin gue!” Dia membentak Aksana. Masih kesal dengan sikapnya tempo hari.

Dan Aksana menatap balik dirinya dengan tatapan tajam, seperti menantang dirinya.

“Masuk!” Aksana mendorong bahu Adiknya agar tidak melangkah sedikitpun, setelah dia diam saja dan tidak bicara apapun selain menatap nyalang ke arahnya.

Dan di sana Arazki tidak mendengarkannya dan malah berniat untuk keluar tanpa memedulikan Aksana.

Jadi Aksana harus menyeretnya. “Masuk atau gue—”

“Pukul aja nih! Sok! Lo pikir gue takut?”

“Eh udah! Kenapa jadi berantem?” Azuno mencoba memisahkan mereka ketika dia menyadari tangan Aksana yang mengepal di samping tubuhnya.

Dia jadi merasa bersalah karena sudah menahan Arazki tadi.

“Ki, dengerin dah Kakak lo.” Azuno mencoba membujuk Arazki.

Tapi Arazki malah tidak mendengarnya sama sekali dan berteriak pada Aksana. “Alden belum pulang dari semalem! Gak tau kan lo!”

“Emang gak ada yang peduli ya? Gak ngerti gue, dia masih keluarga lo bukan sih?”

“Kalo lo gak peduli sama dia, Fine, biar gue aja! Lagian dia gak butuh lo semua!”

“Masuk gue bilang!” Aksana membentak Arazki ketika anak itu sekali lagi akan pergi.

“Gue mau cari Alden, anjing!”

“Lo gila ya?”

“Lo yang gila!”

“Lo, anjing! Berapa kali gue harus bilang, Alden gak ada, Arki! Dia udah gak ada setahun lalu! Lo sendiri liat dia—”

“Kak.” Azuno dengan cepat memotong ucapan Aksana karena sadar perkataannya tidak seharusnya diucapkan di depan Arazki untuk saat ini.

Arazki sendiri tentu saja terdiam, dia tidak lagi berusaha melepaskan tangan Aksana darinya dan hanya terpaku memandangi Kakaknya dengan tatapan tidak percaya.

Dan entah kenapa, tatapan itu membuat Aksana merasa sangat bersalah.

Azuno yang merasa situasi ini semakin tidak baik-baik saja, langsung masuk di antara mereka berdua kemudian mencoba menarik perhatian Arazki.

“Arki—”

Namun Arazki sepertinya abai dengan tangan Azuno yang hinggap di pundaknya, dia mengulurkan tangannya yang lain, dan menarik kerah baju Aksana.

“Maksud lo?” Arazki bertanya dengan suara rendah, nyaris tidak terdengar jika Aksana tidak memasang telinganya dengan benar terhadapnya.

Aksana tidak tahu ekspresi apa yang Arazki pasang saat ini, tarikan di kerah bajunya bahkan tidak bertenaga seperti biasanya.

Aksana jelas tahu bagaimana perasaan Arazki saat ini.

“Maksud lo apa, bangsat?”

“Ki, sumpah, jangan emosi dulu please? Gue bisa jelasin.”

Arazki mendorong Azuno lantaran terus-teruasan menghalanginya.

Dan Aksana yang sejak tadi mencoba mengontrol emosinya jadi tersulut lantaran Arazki memang mencoba menantang mereka di sini.

“Ki, ini yang terakhir, dengerin gue.” Dia mengepalkan tangannya, masih mencoba menemukan kembali kewarasannya.

“GAK MAU, ANJING! GUE MAU CARI ALDEN! LEPASIN GUE!”

Aksana tidak terkejut sama sekali ketika Arazki tiba-tiba meledak dan berteriak padanya, dia cengekeram kedua pundak Arazki ketika anak itu masih keras kepala untuk pergi dari sana.

Aksana masih mencoba mengontrol emosinya.

“Arki—”

“LO BOHONG SAMA GUE, ANJING!”

“ALDEN MASIH HIDUP! ALDEN GAK MATI! LO SEMUA YANG MATI! BANGSAT, LEPASIN GUE!”

“Berapa kali lagi gue harus bilang? Alden gak ada, anjing! Alden udah mati!”

Fuck you!” Arazki menarik Aksana, dia siapa menghajar Aksana saat ini juga.

“Anjir, Ki!” Dan Azuno segera menahan Arazki begitu melihat Adiknya itu akan melayangkan sebuah tinju pada Aksana, tapi karena dirinya ikut campur, Arazki jadi malah memukulnya.

Dan Aksana tanpa basa-basi segera membalas Arazki dengan meninju ke perutnya.

Azuno dengan panik berdiri mengabaikan rasa sakitnya sendiri, dia menarik Arazki ke belakangnya sebelum keduanya malah terlibat pertengkaran yang lebih serius.

“Udah! Udah, Kak, jangan gini!” Azuno menahan Aksana, sementara satu tangannya yang lain menahan Arazki.

“Lepasin gue!” Arazki kembali berontak.

“LEPASIN GUE, ANJING!”

Arazki berteriak, sekuat tenaga mencoba melepaskan cekalan Azuno darinya, tapi gagal lantaran Aksana juga ikut menahan dirinya.

“GUE BENCI LO SEMUA!”

“ANJING, GUE BENCI LO SEMUA!”

“ALDEN!”

Di depan matanya Arazki melihat Alden baru kembali ke rumahnya, tetapi dia hanya diam memandanginya seperti ini.

“Al! Bantuin gue, anjing! Alden!”

Dan Alden hanya bergeming seperti dia tidak mendengarkan dirinya. Seperti dia tidak peduli kepadanya.

Seperti dia kembali tanpa jiwanya.

Sialan, Arazki tidak tahu kenapa dia jadi tidak berani menatap ke wajahnya, jadi dia hanya melihat ke ujung sepatunya yang kotor dan berlumpur.

Dan hal itu entah kenapa membuat perasaannya semakin buruk.

Arazki jadi kesal karena itu. “BANGSAT! Bantuin gue, anjing, Al! Ah lepasin gue!”

“Arazki!”

Aksana meninggikan suaranya dan mencengkeram kedua pundak Arazki sembari mengguncangnya untuk menyadarkannya.

Tapi Arazki sama sekali tidak menggubrisnya. “Lepas, anjing! LEPASIN GUE! LEPASIN GUE, BANGSAT!”

Azuno segera menahan Arazki ketika tiba-tiba anak itu limbung ke belakang. Dan Aksana yang juga kaget tidak bisa mengontrol dirinya sendiri untuk tidak ikut panik.

“Arki!” Azuno dengan panik memanggil nama Adiknya berkali-kali. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan, Azuno belum pernah berada di situasi ini.

Sementara Aksana, menarik wajah Arazki mencoba membuatnya menatap dirinya, sambil sesekali menepuk pipinya dengan pukulan pelan.

“Arki? Arki, liat gue! Arki!”

Arazki menggelengkan kepalanya, melepaskan tangan Aksana, dia menunduk dan mencengkeram dadanya yang tiba-tiba terasa sakit. Dan itu semakin menambah kepanikan Aksana juga Azuno.

“Zu, telepon Tian.” Aksana menatap Azuno, lalu sedikit memukul pundaknya ketika melihat anak itu malah kalut dalam kepanikannya sendiri. “Zuno, dengerin gue!”

Azuno akhirnya dengan gelagapan merogoh sakunya.

“Arazki! Lo kenapa?” Aksana mulai frustrasi karena Arazki tidak meresponnya sama sekali.

Dan Arazki menariki rambutnya sendiri ketika kepalanya mendadak jadi berisik sekali.

Semua bayangan yang berusaha dia lupakan justru hinggap dan memenuhi kepalanya saat ini. Bayangan yang membawa penyesalan paling dalam pada dirinya.

Kenapa rasa sakit ini bahkan terasa tidak asing sama sekali?

Kenapa Arazki harus ingat lagi pada perasaan ini?

Di tengah itu semua, Arazki masih dapat mendengar Aksana dan Azuno memanggil namanya, tapi tidak lama setelahnya telinganya justru berdenging nyaring. Arazki meraup oksigen sebanyak yang dia bisa. Tenggorokannya seperti terbakar.

Arazki tidak tahan lagi.

Arazki benci ini. Arazki rasanya ingin mati.

“Kak, gue gak percaya sih kalo lo yang nyetir.”

“Ya udah.”

“Seriusan gak mau nunggu Kanam aja?” Alden memotong pembicaraan mereka berdua, tepat sebelum Arazki benar-benar menghidupkan mesin mobilnya.

Dan Arazki hanya membalas, “Lama, gak usah. Gue juga bisa.”

“Ya iya sih bisa....” Alden bukannya tidak percaya, Arazki itu baru sembuh, ya meski demamnya dua hari yang lalu sih.

Sedangkan dirinya ingin menggantikan Arazki tidak bisa karena kakinya masih dalam masa penyembuhan setelah dia tidak sengaja jatuh dari motor.

Selain itu, Alden hanya merasakan perasaan buruk. Tapi dia tidak mau mengatakannya karena itu bahkan tidak penting sama sekali, ini hanya soal kekhawatirannya.

“Ya udah dah.” Dan Alden menyerah, karena dia tahu pada akhirnya Arazki tidak akan mendengarkannya.

“Nanti kalo ada mobil gede gak usah disalip, biarin aja.”

“Oh.” Arazki menoleh ke Alden dan tersenyum kepadanya, bermaksud meledek dirinya dan rasa traumanya karena kebodohannya sendiri.

Alden pula menyadari itu, jadi dia mengumpat kepadanya. “Emang anjing.”

Arazki tertawa di dalam hatinya, kemudian memutar kunci mobilnya dan mobil menyala saat itu juga.

Dia sempat memutar kaca spionnya dan melihat pertengkaran kecil Andeiro dan Nadira di belakang mereka, sementara Andhito yang duduk di tengah hanya diam seperti tidak peduli pada dua orang di sisinya.

Melihat itu, Arazki lantas tersenyum tanpa sadar, entah kenapa, dia merasa dia harus melakukan itu.