Darkizhit

(⁠o⁠´⁠・⁠_⁠・⁠)⁠っ

Alden (tidak) sengaja mengikuti Arazki ketika menyadari Kakaknya itu tiba-tiba undur dari ketika melihat Nadira dan yang lainnya sibuk dengan teman-teman mereka.

Dia perhatikan Arazki yang berdiri sendirian dengan kepala tertunduk sembari menghela nafas panjang, dan tak lama kemudian terduduk sampai Alden mengira orang itu pingsan jadi dia terpaksa keluar dari persembunyiannya.

Arazki tentu saja langsung menoleh ke arahnya, dan dia memasang wajah garang, menatap Alden seolah-olah dia ingin menghabisinya sekarang juga.

“Apasih?” Alden mendesis galak, dan Arazki tidak berniat meladeninya jadi dia hanya kembali membuang pandangannya ke arah lain sembari menghela nafasnya.

Melihat Arazki yang sepertinya dilanda kesedihan yang begitu besar, Alden melengkungkan mulutnya, tersenyum tanpa alasan.

Dia mendekat ke Arazki, tiba-tiba duduk di sampingnya. Dia mengerti apa yang dirasakan Arazki saat ini ketika melihat Adik perempuannya yang dia jaga sejak kecil akan direbut darinya oleh pria lain–suaminya Nadira saat ini.

“Kalo mau nangis, nangis aja sih.” Alden merasakan Arazki melirik ke arahnya, jadi dia dengan cepat melanjutkan, “Gak bakal gue ledek.”

“Lagian gue juga sedih sih, yaaa gimana ya, ya udahlah ya. Mau gimana lagi? Lagian juga Nad kayaknya bakal bahagia banget sama lakinya tuh.”

“Kalo dia kangen juga pasti main ke rumah. Mana bisa dia mah jauh dari Kakak-kakaknya, lo liat aja tuh nanti seminggu ada kali dia bolak-balik nyampe sepuluh kali.”

Alden menoleh kemudian dia terkejut lantaran baru menyadari Arazki saat ini tengah menahan tangisnya sendiri dengan menggigit bibirnya sendiri.

Dia tersenyum, bahkan nyaris akan tertawa jika dia tidak bisa mengontrol dirinya sendiri.

Tapi untungnya dia bisa. Jadi Alden mencoba menenangkan Arazki dengan menepuk-nepuk punggungnya.

Sebenarnya dia ingin menepuk kepalanya, tapi takutnya dia malah dibanting di sini, karena meski hanya punggungnya saja yang ditepuk, Arazki tetap menepis tangannya dengan gerakan kasar.

“Kenapasih?” Alden kelepasan tertawa, jadi Arazki memukulnya kemudian menundukkan kepalanya sendiri di atas lututnya. Dia menangis di sana.

“Kasiannya kakak gue....” Alden akhirnya berani menepuk-nepuk kepala Arazki karena dia tahu orang ini pasti tidak akan memukulnya sekarang, dia juga mencoba yang terbaik untuk tidak tertawa.

Alden jujur kasihan, tapi dia merasa lucu juga melihat Kakaknya nampak sangat tidak rela melepaskan Nadira pada orang lain.

Kalau Nadira tau ini dia pasti tidak mau pulang dengan suaminya.

Apa dia nikah aja kali ya, biar Kakaknya mewek juga begini?

1167


“Kamu kenapa tiba-tiba manjangin rambut?”

Juyeon semulanya fokus memperhatikan Younghoon yang menatap ke jalanan, dan karena pertanyaan itu, dia langsung menyadari kalau Younghoon saat ini tengah menunggu dirinya menjawab pertanyaan itu.

Sambil tersenyum, Juyeon lantas membalas, “Emang kenapa? Kamu gak suka?”

“Ya ... enggak, aku cuma pengen tau aja.” Younghoon mengalihkan atensinya, tangannya kini memainkan name tag yang menggantung di lehernya. “Soalnya orang-orang jadi sering keliru.”

Mendengar itu, Juyeon sontak tertawa. “Keliru gimana, Kak?”

“Ya kamu tau gak sih?” Younghoon mengerutkan alisnya. Menatap Juyeon dengan serius seolah-olah pembicaraannya setelah ini akan menjadi pembahasan yang sangat berat.

“Kemaren kan aku main kan sama Sunwoo, sama Jacob, terus aku ketemu temen kamu di kereta, aku lupa namanya siapa.”

“Dia nepuk pundak aku, terus bilang 'Heh, Juyeon!' Kayak gitu!”

“Aku kaget dong, terus diketawain Sunwoo. Kata dia, bener kan lo sekarang udah Juyeon banget. Begitu katanya.”

Juyeon hanya tersenyum sambil sesekali tertawa mendengar Younghoon bercerita, dan memerhatikan ekspresi di wajahnya. Jadi Juyeon secara tidak langsung membayangkan dirinya benar-benar melihat Younghoon saat itu.

“Kayak kenapa orang-orang jadi mikir aku mirip sama kamu? Perasaan kemaren-kemaren enggak.”

“Ya itu soalnya kan kamu sering makan aku juga tiap malem.”

“Hah?” Younghoon mengernyitkan dahinya atas jawaban itu.

Dan Juyeon hanya tersenyum sampai matanya menyipit. “Tau kan, sayang?”

You're what you eat.

Karena jawaban itu, Younghoon memukul lengan Juyeon, sementara Juyeon hanya mengaduh di sela-sela tawanya dan berpura-pura kesakitan.

Sambil masih tertawa, Juyeon mencoba menyusun kata-katanya. “Kenapasih, sayang..? Padahal aku juga sering dibilangin mirip sama kamu. Soalnya apa?”

“Soalnya aku sering makan kamu juga.”

“Sumpah, Stop ngomong!”

Younghoon menggapai bantal leher di belakangnya dan langsung melemparnya ke arah Juyeon.

Tapi Juyeon hanya lanjut tertawa.

Karena itu pula Younghoon mendengus. Dia biarkan saja Juyeon menertawakannya sampai dia puas sendiri, sementara dirinya kembali fokus menatap ke jalanan.

“Ah, tapi kamu tau gak sih alasan aku panjangin rambut tuh kenapa?”

Tertarik dengan pembahasan awal mereka, Younghoon kembali menaruh atensinya pada Juyeon. “Kenapa?”

“Ini biar kalo misal kamu kehabisan nafas pas kita ciuman, kamu bisa jambak aja rambut aku.” Juyeon bermaksud baik.

Younghoon menarik nafasnya, dia ingin bicara, tapi dia kehabisan kata-katanya.

Jadi Younghoon hanya tertawa pada kemurahan hati itu, tapi dia tertawa bukan karena merasa lucu, melainkan kesal lantaran Juyeon tidak serius sama sekali.

Stop ngomong jorok kata aku, kan?”

Juyeon membalas tatapan matanya. Kali ini tanpa senyum, dia hanya memandang lebih dalam ke mata Younghoon.

Lalu Juyeon tiba-tiba bicara, “Mau langsung ciuman aja gak? Sekalian mau cobain jambak aku?”

Younghoon menghela nafasnya. Tersenyum kepada Juyeon yang hanya menatap dirinya dengan wajah tidak bersalah.

“Sumpah, stop jorok gak? Stop jorokkkk!” Karena tidak habis pikir, Younghoon memukul Juyeon berkali-kali, sementara laki-laki di sebelahnya ini hanya tertawa seolah pukulannya ini lebih menggelitik dirinya.

Tapi Juyeon serius soal ajakannya sebelumnya.

bye😇😇


Arazki memandang bangunan yang terlihat tua dan terbengkalai dari atas motornya. Berpikir sejenak apa yang harus dia lakukan untuk membuka pintu yang tertutup rapat seolah melarangnya masuk ke dalam sana.

Dia tidak tahu ini adalah pilihan yang benar atau tidak, tapi Arazki terlalu percaya diri ketika dia menurunkan kaca helm full face nya, kemudian melajukan motornya dengan kecepatan yang tinggi.

Menerobos masuk dan menabrakkan dirinya sendiri ke pintu dengan sangat kencang seolah dia tidak peduli pada hidupnya.

Sampai di dalamnya, Arazki disambut oleh kesunyian. Gedung itu hampir tidak berpenghuni dan tidak ada apa-apa di dalamnya selain ruang kosong yang gelap.

Dia turun dari motornya setelah melepaskan helm dari kepalanya, berniat mencari langsung keberadaan orang yang dicarinya dan berharap bahwa dia tidak benar-benar dibohongi.

BUGH!

Arazki dengan refleksnya yang tajam menghindar ketika seseorang mendadak muncul di belakangnya dan melayangkan sebuah tongkat besi yang langsung mengenai stang motornya sendiri.

Dia balas serangan itu dengan melempar helmnya sendiri, dan menghantamnya tepat ke wajah orang itu.

Orang itu tumbang, tapi Arazki tidak langsung mendekatinya dan hanya waspada apalagi karena ruangan itu kembali menjadi sunyi.

sambil berjaga-jaga Arazki terlihat mengambil sesuatu dari tasnya sampai ketika seorang pria tiba-tiba muncul lagi dari belakang Arazki dan melemparkan bogem mentah ke wajahnya.

Namun Arazki dengan cepat membalas pukulan itu dengan buku paket di tangannya yang dia hantamkan sekencang mungkin ke wajah pria barusan.

Arazki sedikit tersenyum ketika satu persatu dari mereka mulai muncul dan melawan secara bergantian.

Dia lantas buru-buru membungkuk untuk menggapai kembali buku paket sejarah milik Aristian yang terjatuh ke atas tanah, sekaligus menghindari seseorang yang melemparkan tinju ke wajahnya.

Dia kemudian bangkit, memukul orang itu tepat ke dagunya, kemudian dengan buku yang sudah dia gulung di tangannya, dia menyerang orang lainnya yang maju.

Bugh!

Buku di tangan Arazki terlempar dari genggamannya ketika seseorang tiba-tiba melayangkan sebuah tendangan dan Arazki mencoba menghindar.

“Lo cuma lagi beruntung.” Pria dewasa yang menyerangnya tertawa.

Arazki tidak menanggapi kata-kata itu sama sekali dan malah memasang kuda-kuda, kali ini dia memutuskan menggunakan tangan kosong, meninju perut satu pria setengah botak yang terkejut karena Arazki bahkan tiba-tiba sudah berada di hadapannya.

Shit. Arazki mengumpat di dalam hatinya ketika dia nyaris saja terkena pukulan di wajahnya.

Untungnya dia secara refleks berjongkok. Dan dari posisi itu, Arazki memanfaatkan kakinya yang bebas untuk menyapu di kaki lawannya, sehingga lawannya terjatuh.

Arazki tidak tahu ini orang yang ke berapa, dia sudah tidak lagi menghitung ketika dia dengan cepat berdiri dan menarik pria yang lengah untuk dijadikan tameng ketika sebuah tinju akan melayang lagi kepadanya.

BUAGH!

Arazki akhirnya melemparkan tas di punggungnya yang sudah dia isi dengan banyak buah batu ke orang lain yang sekali lagi akan memukulnya, dan semua orang di sana tercengang karena Arazki bahkan nampak tidak segan untuk membunuhnya.

Buagh!

Remaja itu membanting satu pria lainnya ke tanah, kemudian dengan cepat bangkit dan memukul ke wajah pria lain yang tiba-tiba muncul di belakangnya.

Pria itu terhuyung. Akhirnya dengan kesal dia mengeluh, “Brengsek, habisin aja dia! Dia aja gak segan buat bunuh kita!”

“Tapi kita gak dibolehin bikin dia mati.”

“Lo mau mati di tangan dia? Bodo amat, habisin aja!”

Mendengar instruksi dari seseorang yang Arazki duga sebagai pemimpin mereka semua, semua pria dewasa di sana spontan menyerangnya dengan lebih beringas.

Arazki belum sempat menarik nafas, sesuatu tiba-tiba menjerat lehernya dari belakang, tapi Arazki tidak panik karena dia masih sempat menendang seseorang yang akan menyerangnya di hadapannya.

Arazki kemudian menyikut pria yang menjerat lehernya di belakangnya dengan kencang sehingga dia berhasil terlepas.

Dia kemudian berputar dan menyerang balik orang yang akan memukulnya. Tapi jujur saja, dia sebenernya sudah kewalahan sehingga Arazki mulai jadi lengah.

Bugh!

Karena itu pula sebuah pukulan kencang mengenai pipinya, yang kali ini berhasil membuat Arazki sedikit terhuyung.

Tapi Arazki dengan cepat membalas. Dia berputar, baru kemudian melemparkan bogem sekuat mungkin kepada orang yang barusan memukul dirinya, kemudian lanjut ke orang berikutnya yang akan membalas perlawanannya.

Arazki mendesis, dia benar-benar tidak mengerti apa masalah orang-orang ini padanya karena Arazki tidak ingat pernah bertemu mereka semua.

Di puncak emosinya yang mendorongnya untuk terus menyerang karena diburu waktu, sekali lagi Arazki lupa pada sekitarnya dan sama sekali tidak menyadari seseorang muncul dengan balok kayu di tangannya.

Jadi kali ini benda tumpul itu dengan entengnya menghantam ke kepalanya.

Arazki tidak terjatuh. Tapi secara otomatis telinganya nyaris tidak bisa mendengar suara apa-apa.

Dia masih membalas perlawanan orang-orang dewasa yang mencoba menjatuhkannya, tapi karena telinganya berdengung, kewaspadaan Arazki jadi menurun.

Cowok itu tersungkur ke depan lantaran seseorang mendorongnya dan segera mengunci tangannya ke belakang punggungnya ketika dia berontak.

“Brengsek!” Arazki ingin menendang orang yang menahan dirinya, tapi gerakannya terhambat karena dia benar-benar terkunci.

“Diem.” Pria yang tadi mengejek dirinya kini berjongkok di hadapan dirinya.

“Gue gak mau tau apa urusan lo sama gue, tapi lo sama antek-antek tolol lo itu lemah banget keroyokan lawan anak SMA! Maju satu-satu, anjing!” Itu kalimat terpanjang Arazki yang dia ucapkan pada mereka semua.

Namun sayangnya tidak ada yang peduli.

Bahkan pria yang tidak dia kenali ini hanya menatap dirinya seperti dia adalah orang paling menyedihkan.

Arazki menggertakkan giginya. Dia memberontak, tapi orang yang menahannya ini dengan cepat mendorong kepalanya ke tanah sementara tangannya semakin dicekal di belakang punggungnya.

Arazki tidak bisa berkutik sama sekali karena bagaimanapun juga, tenaganya masih kalah dengan mereka semua.

“Kalian ngapain sama dia?”

Arazki melirikkan matanya ketika dia mendengar suara lain datang mendekati mereka.

“Lepasin dia.”

Orang-orang di sekitarnya tentu saja terkejut mendengar itu.

“Kenapa?”

Tidak menjawab pertanyaan mereka, dia malah berjalan mendekat kemudian merendahkan tubuhnya ketika dia sampai di hadapan Arazki.

“Apa tujuan kamu dateng ke sini?”

Dia bahkan berani menepuk-nepuk ke kepalanya seolah Arazki adalah adiknya sendiri. Arazki tentu saja langsung berontak.

Orang itu lantas tersenyum pada Arazki. Senyum yang meledek dirinya.

“Asal kamu tau, di sini gak ada apa-apa.”

Arazki sontak membulatkan matanya setelah mendengar kalimat itu bersamaan dengan dirinya yang akhirnya dibebaskan.

Dia memang tidak bicara apapun, tapi wajahnya jelas menggambarkan ketidakpercayaan.

Dan pria itu justru tersenyum ketika melihat ekspresi Arazki. “Sayang banget, kamu cari apa ke sini?”

“Diem.” Arazki mencekal tangan orang itu, dan orang-orang di belakangnya langsung bergerak, tapi pria ini menahan pergerakan mereka dan membiarkan Arazki melakukan apa yang ingin ia lakukan kepadanya.

“Lo bohong, anjing!”

“Ah, emang gak ada tuh.” Pria itu menoleh ke sebelahnya, seperti menyuruh Arazki untuk melihat apa yang ada di sebelahnya, jadi Arazki ikut menolehkan kepalanya dan dia langsung terdiam.

Dan betapa terkejutnya Arazki ketika melihat sosok yang sangat dikenalinya meski dari kejauhan, tejatuh ke atas tanah dan tidak bergerak sama sekali.

Meski tidak berada di dekatnya, Arazki masih dapat melihat keadaannya yang benar-benar menyedihkan.

Apa yang bajingan ini lakukan pada Kayana nya?

Ah how bad really is it? Do we need an ambulance right away? Hey, hurry up! We need a doctor immediately!

Or are we too late? Oh no, I'm so sorry, I think she's gone.

“Lo diem ya bangsat!”

Arazki mendorong pria itu, dia meninju wajahnya sampai laki-laki itu terkapar di atas tanah, dan Arazki lanjut memukulinya di atasnya.

“Lo semua emang setan! Mati aja gak cukup lo, anjing!”

“Gue gak peduli gue pernah buat salah apa sama lo, tapi jangan libatin orang lain, anjing!”

Ketika Arazki akan memukul wajahnya lagi, pria ini menahan kepalan tangan Arazki dan lalu mendorong Arazki agar menjauh dari atasnya.

“Tapi kamu gak salah apa-apa sama saya.”

“Saya emang pengen aja ngelakuin ini, gimana?”

Semakin bertambah kebencian Arazki setelah mendengar kalimat yang menyepelekannya itu.

Dia tidak peduli orang-orang ini akan melakukan apa pada dirinya, yang jelas, dia harus membunuh semuanya yang ada di sini.

Arazki kembali maju. Dia meninju lagi orang di hadapannya itu tanpa basa-basi sedikitpun, bahkan tidak memberi jeda sedikitpun untuknya bernafas.

Semua orang di sini harus mati di tangannya.

“Enteng lo ngomong gitu padahal lo tau gue ke sini disuruh sama Alden! Gue ke sini biar dia gak ngerasa bersalah sama Kayana! Gue ke sini cuma buat bawa dia pulang!”

“Dan lo malah ngincer dia!”

“Yang harusnya lo bunuh itu gue, bangsat! Bukan Kayana!”

Arazki berteriak marah ketika dia ditarik menjauh dari orang itu. Dia memukul siapa saja yang menyentuh dirinya, tapi bagaimanapun juga Arazki hanya sendirian di sini.

Dia lengah, jadi sekali lagi seseorang berhasil menyerang pertahanannya.

Arazki jatuh setelah kepalanya kembali dihantam sesuatu. Kali ini dia tidak bisa mempertahankan dirinya lagi karena sekarang dia merasa seluruh tubuhnya terasa berat, bahkan hanya untuk membuka matanya.

Tapi meski begitu, Arazki masih bisa sayup-sayup mendengar pria itu mendekat dan mengatakan kepadanya.

“Harusnya kamu gak ke sini, Nak.”

“Semoga kita bisa ketemu lagi, ya?”

Dan kalimat itu menjadi kalimat terakhir yang dia dengar sebelum akhirnya dia kehilangan kesadarannya.

***

Alden perlahan membuka matanya dan merasakan seluruh tubuhnya terasa dingin.

Dia mengernyit, menyentuh ke pelipisnya dan menekannnya dengan tangannya ketika merasakan sakit yang menyerang kepalanya.

Alden mengumpat ke sekitarnya. Dia tidak ingat apa yang terjadi padanya terakhir kali selain dipukuli habis-habisan setelah membocorkan tempat dimana Kayana berada pada Arazki.

Tahu-tahu dia sudah kembali dikurung di ruangan gelap yang dia sendiri tidak tahu apa fungsinya.

“Duh apasih diiket-iket gini, dikira gue gak diiket bakal bisa kabur apa?” Laki-laki itu mengeluh sembari untuk mencoba melepaskan tali yang mengikat tangan di belakang punggungnya.

Kemudian dia menghela nafasnya ketika dia sadar dia tidak akan bisa melepaskan benda itu dari tangannya.

Kalau Arazki ada di sini, dia pasti akan mengatai dirinya “Tolol” “Pecundang” atau apa saja yang sejenis itu, kemudian menunjukkan kepadanya cara membuka tali yang mengikat tangannya saat ini.

Alden tersenyum miris. Jujur, dia pengen nangis boleh gak sih ini.

Dia semakin sadar kalau dirinya tanpa Arazki ini tidak berguna sama sekali.

“Anjing, kemana sih sat tuh orang, mau banget gue tonjok, lama banget.”

Alden masih berusaha melepaskan tali di tangannya, tapi setelah itu dia menendang apapun yang berada di dekat kakinya karena kesal terus-terusan gagal.

“Bangsat! Lo gak mati kan?”

Remaja itu menggigit bibirnya, kalau boleh jujur, dia takut. Dia takut Arazki tidak akan bisa menjemputnya.

Alden tidak peduli kalau dirinya mati, tapi setidaknya dia ingin Arazki yang menjemput mayatnya, bukan orang lain.

Alden tidak bisa tidak menangis sekarang, bodo amat kalau Arazki melihat dirinya menyedihkan seperti ini, yang penting dia bisa pulang dengan Arazki.

Dia harus pulang dengan Arazki.

12245


Alden menatap prihatin gelas yang dibanting Arazki ke atas meja, sebelum kemudian tatapannya naik untuk menatap ke Arazki.

“Udah?”

“Lo mau sampe kapan sih di sini?”

Bukannya mendapat jawaban, Alden justru malah mendapatkan cengiran menyebalkan dari Kakaknya.

“Emang kenapa sih?” Arazki lalu tiba-tiba sewot.

“Masih nanya?”

Alden akhirnya menghela nafasnya. Dia rasanya ingin pergi saja dari sini, tidak ingin peduli dan biarkan saja Arazki di sini sampai dia puas.

Tapi mau seberapa besar keinginannya untuk pergi, Alden tetap berada di sini, menunggu Arazki yang entah sampai kapan akan menyerah pada minumannya sendiri.

Jujur, dia tidak suka Arazki seperti ini, setiap ada masalah dia pasti selalu lari ke sini. Apalagi kalau masalah itu timbul karena dirinya.

Dia memang sempat berdebat dengan Arazki, dan Alden saat itu memutuskan untuk mengakhiri pertengkaran dengan meninggalkan Arazki sampai orang ini tenang.

Karena dia tahu mereka berdua pasti akan menyesali perbuatan mereka sendiri jika nekat meneruskan perdebatan yang tadi.

Tapi Alden benar-benar tidak menyangka Arazki akan menelepon dirinya untuk datang ke sini dan melihatnya seperti ini.

“Asli, gue tinggal aja dah lo.”

Alden mengulangi kalimat yang sama entah sudah ke berapa kalinya, tapi tetap tidak membuat Arazki tertarik untuk berhenti menuangkan minuman ke dalam gelasnya.

Dan Alden masih tetap berada di sana.

“Lo emang gak capek ya?”

Arazki tiba-tiba bertanya kepadanya, sembari menyodorkan gelas berisikan minuman ke depan wajahnya yang otomatis membuat Alden mengerutkan dahinya.

“Hah? Gue gak minum.” Alden mendorong gelas itu menjauh darinya.

Dan Arazki secara spontan menunjukkan ekspresi tidak percaya. “Lo gak minum?”

Arazki mengerjapkan matanya dengan tidak percaya. “Lo nolak gue...?” Dia sedikit mengerucutkan bibirnya dengan kecewa.

“Apasih? Lo mau kita mati gara-gara bawa motor sambil gak sadar?”

Arazki menutup mulutnya sendiri dengan telapak tangannya dan berteriak tertahan. “Sumpah?”

“Jahat banget.” Dia menatap ke arah Alden dengan tatapan shock.

Alden gak kuat lagi.

“Beneran gue tinggal aja lah anjing!” Alden berdiri dari tempat duduknya.

“Aaahh! Jangan tinggalin gueee!” Arazki menghentakkan kakinya dan berteriak seperti tidak peduli pada sekitarnya.

Serius, ini orang-orang kalo denger bisa salah paham, anjing!

“Ya udah stop bertingkah aneh, sat!” Alden dengan berat hati harus kembali duduk di hadapan Arazki yang benar-benar mabuk.

Arazki lagi-lagi mengerucutkan bibirnya, tapi kemudian dia tertawa dengan memamerkan deretan giginya.

“Gue takut dah lo cengir cengir begitu.”

“Lo juga harus senyum, Al.” Arazki mengangkat kedua jari telunjuknya, menarik kedua sudut bibirnya sendiri sembari menunjukkannya kepada Alden. “Kayak gini.”

“Gampang kan?”

Sumpah, Alden gak butuh ilmu senyum dari orang yang nyapa orang lain aja gak bisa.

“Coba tahan bentar.” Alden merogoh sakunya dan mengeluarkan ponselnya dari sana, lalu membuka kamera dan mengarahkannya ke Arazki.

Alden hanya berniat memotret Arazki yang tersenyum seperti ini, tapi di luar dugaannya, Arazki malah memasang pose lain.

Alden tentu saja langsung menekan tombol potret berkali-kali.

“Orgil banget.” Alden akhirnya menurunkan ponselnya, dia refleks tersenyum karena menurutnya ini lucu.

Dan Arazki menganggap Alden senang padanya. “Nih.”

Wajah Alden langsung berubah drastis ketika Arazki lagi-lagi menyodorkan segelas minuman kepadanya.

“Gue bilang kagak, kan?”

“Tanda persahabatan!?” teriak Arazki.

“Males banget jing!”

Mendapat penolakan untuk yang kedua kalinya, Arazki menurunkan gelasnya lagi. Kali ini dia tidak menunjukkan ekspresi apapun dan hanya langsung membungkuk dengan kepala yang sengaja dia tenggelamkan di atas lipatan tangannya.

Dan Alden paham betul kalau orang ini pasti ngambek.

Dan kalau sudah ngambek begini, mau Alden ngereog sambil tari piring juga gak bakal mau pulang dah orang ini. Makin nyusahin.

Alden berdecak. “Yaudahlah terserah lo! Paling nanti nabrak pos ronda. Kalo mati juga bareng-bareng.”

Mendengar persetujuan dari Alden, Arazki dengan cepat mengangkat kepalanya kembali sambil tersenyum pada Alden.

“Gapapa, yang penting bareng Alden,” katanya.

Alden merinding sampai ke ujung kuku.

Arazki menyodorkan lagi gelas itu, namun baru saja Alden akan mengambil itu dari tangannya, Arazki malah berteriak.

“Ah, gue aja!”

“Gak usah, gue bisa sendiri.”

“TAPI GUE MAU SUAPIN ELO!!!” Arazki yang berteriak dengan nada panjang mengundang atensi beberapa orang di sana.

Duh anjing Arazki kalo tantrum begini bikin orang-orang salah paham, sat!

“Bangsat ah, buruan!” Alden berdiri seraya menggebrak meja lantaran kesal, tapi dia tetap mendekat ke gelas yang disodorkan Arazki dan meminum itu dari tangannya.

Lalu ketika air yang dia minum sudah tandas, Alden segera duduk dengan tangan yang mengusap kasar ke bibirnya sendiri.

“Puas lo?” Alden menyentak ke Arazki yang terdiam.

Dia tidak tahu kenapa Arazki tiba-tiba jadi diam. Menunduk sembari mengerucutkan bibirnya sampai Alden harus menaikkan sebelah alisnya karena heran.

“Napa lagi lo manyun-manyun gitu?”

Arazki menjawab dengan bibirnya yang masih melengkung ke bawah. “Ya lo marah sama gue.”

Alden membuang nafasnya sembari memijat ke pangkal hidungnya. Jujur, dia pusing. Entah karena efek minuman atau karena tingkah Arazki.

“Terserah lo dah.” Alden akhirnya mengambil jaketnya dan berniat untuk keluar dari sana.

Tapi karena Arazki lagi-lagi bertingkah, Alden jadi terpaksa harus berhenti karena dia terkejut juga, Arazki tiba-tiba memeluk dirinya.

“Ki, apaan sih?”

“Maaf.”

Alden yang tadinya ingin melepaskan tangan Arazki dari dirinya tidak jadi setelah dia mendengar gumaman Arazki yang teredam, nyaris tidak terdengar.

“Maaf ... gue suka nyusahin lo ... sama Kak Tian.”

“Sama Kak Aksa juga, Zuno juga.”

“Jangan buang gue.”

Fix udah ngawur banget ini bocahnya.

“Lepasin dulu gak?”

Alden yang masih belum menyerah mencoba melepaskan tangan Arazki yang melingkarinya, tapi karena Arazki justru semakin mengeratkan pelukannya pada dirinya, Alden akhirnya memilih untuk menyerah.

“Males gue kalo lo begini, beneran gue tinggal pulang.”

Secara ajaib Arazki mendengarkan perkataanya dan dengan cepat melepas Alden.

Alden langsung menjauh dari Arazki dan menyampirkan jaketnya ke salah satu pundaknya. “Diem lo di sini!” titah Alden sebelum kemudian dia pergi dari hadapan Arazki.

Ketika Alden berhasil ke luar dari tempat itu, dia mengecek sebentar ke ponselnya dan melihat nama Aksana tertera di layar ponselnya.

Kakak pertamanya ini sejak tadi terus menelepon dirinya, dia yakin pasti Aksana sudah tahu kemana dirinya dan Arazki pergi, apalagi di dini hari seperti ini.

Sialan, dia harus membawa Arazki pulang sebelum keadaan semakin runyam.

Alden kemudian berbalik, dan dia berhenti ketika matanya menangkap seseorang yang dikenalinya.

Gideon. Dan jika Deon ada di sini, artinya Kenzie dan pengikut-pengikutnya yang sesat juga ada di sini.

“Gak enak dah perasaan gue.”

Alden yang tadinya berniat untuk mampir terlebih dahulu ke minimarket dan membeli air putih untuk Arazki jadi harus mengurungkan niatnya.

Jadi dia memilih untuk kembali masuk ke dalam dan menemui Arazki lagi.

Alden sedikit menghela nafasnya karena melihat Arazki benar-benar mendengarkan dirinya. Dia duduk diam di tempat awalnya, dan tidak menyentuh minuman sedikitpun selain sibuk memutar tutup botol di atas meja.

Alden lantas mendekat, dan Arazki mendongak lalu tersenyum ketika dia melihat Alden kembali untuknya.

“Gimana liburannya?”

Stop ngawur! Ayo pulang!” Alden menarik tangan Arazki memaksanya berdiri, namun Arazki sepertinya belum berniat meninggalkan tempat itu.

“Ah, gak mauuu!” Arazki menarik tangannya dari cekalan Alden.

“Ya udah gue tinggal!”

“Ya tinggal aja sana! Hus hus!” Dia mengibaskan tangannya, seolah-olah dia mengusir seekor anjing.

Ngeselin anjing ini orang!

Alden tentu saja berdecak, dia tidak peduli Arazki protes atau apa, dia tetap akan menyeretnya pergi sekarang juga.

“Lo benci ya sama gue? Apaansih? Lo mau ngerampok ya?”

“Eh, itu temen sekolah lo bukan sih?” Arazki tiba-tiba berubah jadi sumringah.

“Anjir, jangan dipanggil!”

“KEN—”

Sebelum Arazki dapat menuntaskan kalimatnya, Alden lebih dulu berdiri di hadapan Arazki, menutupi pandangan Arazki dari Kenzie, dia juga dengan cepat membekap mulut Arazki sebelum dia bersuara lagi.

“Mending lo ikut gue.”

Kali ini Alden berhasil membuat Arazki beranjak. Jadi dia langsung menyeret Arazki pergi dari sana.

“Dadah Kenzie!” Arazki malah melambaikan tangannya pada Kenzie.

Alden yakin sekarang mereka terutama Kenzie sedang bingung berjamaah.

“Gue gak bisa jalan, Al.”

Arazki berjongkok sehingga Alden yang sedang menarik tangannya terpaksa harus berhenti.

“Gendong gue.” Arazki merenggangkan tangannya.

Sementara Alden sedang sibuk memikirkan harus dibuang di mana Kakaknya ini nanti.

***

Keduanya kini berhenti di pinggir jalan karena Arazki terus-terusan ribut meminta turun.

“Bangsat.” Arazki mengumpat karena kepalanya terasa pusing, dia menenggelamkan wajahnya di antara lipatan tangannya, mencoba meredam rasa sakit di kepalanya meski dia tahu itu tidak akan bekerja sama sekali.

“Mampus sih.” Alden mengomentari kelakuannya, dan Arazki sepertinya memang tidak ada niat untuk membalas semua ocehan Alden sama sekali.

“Nih minum lagi.” Alden menyodorkan sebotol air mineral pada Arazki. Itu air mineral kedua yang dia berikan pada Arazki.

Namun Arazki kali ini menolaknya dan menggeleng tanpa mengangkat kepalanya sama sekali.

Alden tahu Arazki belum sepenuhnya sadar, tapi setidaknya ini lebih baik dari yang sebelumnya.

“Ini udah deket rumah sih.” Alden memecah keheningan di antara mereka.

Lelaki itu menunduk, memerhatikan Kakaknya yang masih berjongkok dan bertelungkup di atas kedua lututnya.

“Gue gak pernah ngelarang lo buat minum atau apalah itu terserah lo, tapi bukan berarti lo boleh over kayak gini sih.”

“Apalagi lo begini gara-gara gue, gue jadi ngerasa bersalah ya anjing!”

“Jadi next time, kalo misal ada masalah sama gue, mending lo pukul aja gue dah daripada lo begini.”

Alden berdiri di sebelah Arazki yang masih tidak berkutik dari posisinya saat ini. Dia tidak tahu Arazki mendengarnya atau tidak, tapi karena dia yakin Arazki tidak akan mengingat semua kejadian malam ini besok pagi, jadi dia berani mengatakan itu.

Alden menghela nafasnya. Dia melihat ke ponselnya dan melihat bahwa sudah hampir pagi, dan Alden belum melihat Arazki bergerak sejak tadi.

“Bangun gak!” Alden menarik lengan Arazki, menyuruhnya berdiri agar mereka bisa pulang sekarang juga.

“Bentar.” Arazki akhirnya mengangkat kepalanya.

“Gue mau muntah.”

“Anjing, bisa ditahan aja gak sampe rumah?”

“Lo jangan pegang gue makannya! Bikin mual.” Arazki menarik tangannya dari cekalan Alden dengan galak.

“Terserah lo, anjing!” umpat Alden.

Arazki kembali bertelungkup, tapi kali ini Alden menunggu dengan sabar sampai akhirnya Arazki kembali mengangkat kepalanya dan menatapnya.

“Tapi gue gak bisa bangun.”

“Alah, anjing! Bodo amat!”

001


“Kamu lagi ngapain?” Juyeon yang sejak tadi mengawasi Younghoon akhirnya tidak tahan untuk bertanya lantaran dia sejak tadi terus menatap ke ponselnya dengan tatapan serius, seperti sesuatu yang buruk akan terjadi jika dia mengalihkan pandangannya dari sana.

“Baca maps,” jawab younghoon dengan singkat, dia bahkan tidak menoleh sedikitpun. “Kata aku abis ini belok ke kanan.”

Juyeon mengernyitkan dahinya. “Bukannya kiri ya?”

“Tapi di sini kanan, Juyeon.”

“Kamu gak percaya sama aku?”

“Hah?” Younghoon otomatis mengangkat kepalanya dan menatap Juyeon yang juga memandangnya dengan tatapan ... kecewa?

Kenapa tiba-tiba jadi begini?

“Apa, sih? Aku gak bilang gitu?”

Younghoon kembali menatap ke ponselnya sendiri. “Udah ikutin aja, aku baca maps, kamu jalan.”

“Tapi kamu emang ngerti baca maps?”

“Maksud kamu?” Younghoon yang tidak terima langsung menyorot Juyeon dengan tatapan galak.

Sementara Juyeon hanya menunjukkan wajah tidak bersalah sama sekali, dan malah dengan percaya dirinya mengatakan, “Kak, aku udah sering lewat sini tau. Jadi percaya sama aku, oke?”

“Terakhir kali kamu bilang gitu, kita malah masuk ke hutan. Please, gak gitu kalo mau buang aku.”

“Aku dapetin kamu susah, masa malah aku buang?” Juyeon menatap kembali ke jalanan. Dia sedikit kesal karena Younghoon tidak percaya padanya, jadi dia akan membuktikan kalau semua perspektif Younghoon itu salah.

“Udah, percaya sama aku ya? Aku hapal kok jalannya.”

Juyeon mengulurkan tangannya, sedikit mengacak puncak rambut Younghoon, mencoba memberitahunya bahwa dia tidak perlu khawatir.

Dan Younghoon segera mengalihkan pandangannya ke luar, tidak membalas lagi. Dia membiarkan Juyeon menyetir dan mencoba untuk percaya pada Juyeon.

Selama Juyeon menyetir, keduanya memilih untuk tidak saling bicara. Younghoon pada dunianya sendiri, dan Juyeon sibuk memerhatikan jalanan.

Tidak ada suara apapun dari mereka, bahkan musik. Hanya ada suara deru mesin mobil mereka.

Namun kemudian setelah beberapa saat mereka berada dalam kesunyian, Juyeon tiba-tiba menghentikan mobilnya.

Dia memerhatikan ke sekelilingnya kemudian menoleh ke Younghoon, lalu menggaruk rambutnya dan kembali menatap ke depan. “Ini aku bener gak ya?”

Younghoon yang sejak tadi bertahan memerhatikan jalanan refleks menoleh ketika dia mendengar Juyeon berkata seperti itu.

“Kayaknya aku salah ambil belokan.”

“Itu ada warung, coba tanya aja ke situ,” kata Younghoon.

“Gak usah deh, Kak. Aku cuma salah ambil belokan.”

“Tanya aja.”

Juyeon tidak mendengarkannya dan malah segera memutar kembali setir mobilnya, kemudian menelusuri ulang jalan yang tadi dia lewati.

Terserah Juyeon saja.

“Perasaan aku kemarin gak ada lewat sini.”

Setelah beberapa puluh menit mereka berputar-putar entah di tempat apa, Juyeon akhirnya kembali menghentikan mobilnya.

Dia memerhatikan ke sekelilingnya, sepi dan tidak ada siapapun di sana selain mereka berdua di jalan setapak yang entah akan sampai ke mana.

“Kak.” Juyeon menoleh kepada Younghoon, kemudian dia tersenyum sampai matanya menyipit. “Salah lagi, Kak, hehe.”

Younghoon menghela nafas panjang dan memijat pangkal hidungnya.

Juyeon yang melihat itu tertawa tapi dia juga merasa bersalah di saat bersamaan, jadi dia tidak tahu harus berkata apa lagi selain meminta maaf pada Younghoon.

“Maaf, Kak.”

“Coba kamu buka maps.”

Tidak mau membuat Younghoon semakin marah, Juyeon dengan cepat menuruti perkatannya.

Tapi dia harus menelan pil pahit sekali lagi karena ketika dia membuka ponselnya, dia melihat bahwa tidak ada sinyal sama sekali di dalam sini.

“Gak ada sinyal?”

“Iya, tapi aku cobain di luar ya, sebentar.“  Juyeon melepas sabuk pengamannya kemudian keluar dari mobil mereka.

Dan Younghoon memerhatikan Juyeon di luar sana, berputar putar sembari mengangkat ponselnya seperti orang bodoh. Kemudian masuk lagi setelah dia menyerah.

“Kok gak ada sinyal ya, Kak?” Juyeon bingung sendiri.

“Menurut kamu?”

Juyeon lagi-lagi hanya bisa tersenyum.

“Coba, sekarang kita mau gimana?” Younghoon bertanya padanya. “Puter balik lagi? Kamu hapal gak jalannya? Gak kan? Yang ada kita makin nyasar. Biarin aja nanti tiba-tiba udah di Jepang.”

“Maaf.” Juyeon benar-benar merasa bersalah, tapi dia tidak bisa menahan dirinya untuk tidak tertawa ketika melihat Younghoon ngomel begini.

Dia lantas mendekat, segera memeluk Younghoon sambil terus meminta maaf padanya.

Dan ketika Juyeon tau Younghoon tidak akan membalas pelukannya, dia segera menjauh, tapi tangannya tetap berada di satu sisi wajah Younghoon, jarinya mengusap di pipinya.

“Aku tanya orang aja ya?” Juyeon mencoba menawarkan solusi.

“Mau nanya ke siapa? Batu?” Younghoon menatap ke arahnya dengan galak.

Juyeon meringis sekali lagi dan dia tahu solusinya kali ini sangat tidak berguna.

“Stop ngeselin ya, Juyeon!”

“Iya, maaf ya?”

Juyeon sepertinya benar-benar merasa bersalah, jadi Younghoon tidak ingin terus-terusan menekannya dan membiarkan saja Juyeon menyisiri anak-anak rambutnya ke belakang telinga.

“Tapi kamu tau gak sih Kak, kalo nyasar gini, aku jadi sering keinget pas pertama kali kita latihan bareng tau.” Juyeon lagi-lagi tertawa sendiri saat dia menerawang jauh ke belakang.

“Kalo gak salah gara-gara itu kita jadi deket kan? Thanks to Sunwoo yang kemaren nyaranin aku se-room sama kamu.”

“Aku gak mau bilang thanks sih.”

Juyeon berkedip beberapa kali. “Kenapa, Kak?”

“Ya aku rugi lah? Dateng telat terus jadinya? Kamu pikir enak diomelin sama manager?”

“Terus waktu itu pas ada rolling, kok kamu gak mau ganti partner aja?”

“Males pindah,” jawab Younghoon.

“Seriusan? Padahal kan udah ditawarin sama Eric di ruangan ini jadi kamu gak perlu pindah?”

“Tetep aja, aku males ganti suasana kamar.”

“Tapi kan Eric gak keberatan kamarnya mau diubah atau gak—”

“Kamu tuh ngerti gak, sih? Aku maunya sama kamu, gak mau sama yang lain! Puas kamu?” Younghoon meninggikan suaranya sehingga Juyeon mau tak mau membungkam mulutnya sendiri.

Padahal Juyeon sudah tau sih alasan sebenarnya, dia hanya iseng saja.

Karena tidak tahu harus membalas apa, Juyeon hanya bisa tertawa. Jujur, Juyeon benar-benar tidak pernah bisa menahan tawanya jika bersama Younghoon.

Mau bagaimanapun juga Younghoon-nya ini sangat lucu.

“Galak banget, sayangku.” Juyeon mengacak-acak puncak rambutnya, sehingga Younghoon berteriak kesal padanya.

“Ya kamu pikir aja!” Dia menoleh, matanya yang berkaca-kaca mengarah langsung ke arah Juyeon. “Aku kesel, Juyeon! Abis ini kita pasti diomelin lagi! Emang kamu gak inget waktu itu kita dibilangin kalo telat sekali lagi kita bakal dipisahin kamarnya!”

“Mana ini mau bikin video kan! Aku gak mau! Aku gak mau nanti jadi dipisahin sama kamu, kamu ngerti gak sih? Ngeselin banget harus dijabarin terus kayak gini!”

Juyeon menggigit bibir bagian dalamnya dan merenung. Berpikir keras dia harus membalas apa perkataan Younghoon dan berakhir dengan meminta maaf kepadanya.

“Maafin aku ya?” Juyeon mengusap ke lututnya, berusaha menarik atensi Younghoon.

“Jangan marah-marah terus dong.”

Dan Younghoon masih tidak berniat membalas atau sekadar melihat ke arahnya.

Juyeon tau Younghoon kesal kepadanya, tapi lucu melihatnya seperti ini sehingga Juyeon tidak bisa menahan senyumnya sejak tadi.

“Mau peluk?”

Ketika Juyeon menawarkan itu, Younghoon tidak menoleh sedikitpun, tapi dia menggeser tubuhnya sehingga Juyeon dapat menariknya ke dalam uluran tangannya.

“Aku minta maaf ya.” Juyeon mengusap punggungnya, kemudian naik dan mengusap kepalanya dengan lembut. “Janji abis ini gak bakal gini lagi.”

“Kita gak bakal dipisahin kamarnya, tenang aja. Yang ini percaya sama aku ya?”

“Hm.” Younghoon hanya bergumam, tetapi dia akhirnya membalas pelukan Juyeon.

“Aku coba puter balik lagi ya?” Juyeon meminta izin padanya setelah mereka melepas pelukan mereka, sementara di sisi lain, tangan Juyeon masih menggenggam telapak tangan Younghoon.

“Terserah kamu aja.” Younghoon pasrah.

“Kamu baca maps aja, Kak. Nanti kalo udah ada sinyal langsung arahin aku.”

“Tapi aku kan gak bisa baca maps.”

Younghoon sebenarnya tidak berniat mengatakan itu dan hanya berbisik kepada dirinya sendiri karena setelah itu, dia tetap membuka ponselnya.

Tapi karena keheningan di sekeliling mereka, Juyeon masih dapat mendengar Younghoon bergumam pada dirinya sendiri dengan nada sedih.

Younghoon-nya tersinggung dengan perkataannya tadi ya?

“Kamu bisa, Kak.” Juyeon menatap padanya dengan lembut dan tersenyum seolah-olah dia sangat percaya kepadanya. “Aku yakin kalo sambil diarahin kamu, mobilnya bakal begini 'cling!' terus langsung nyampe ke tempat latihan.”

“Apaansih, aneh.”

Juyeon tertawa karena Younghoon akhirnya tidak lagi menunjukkan wajah kesal dan malah tersenyum sekarang.

“Eh tapi bener gak sih, Kak? Kita nyasar terus tuh biar kita gak lupa sama awal-awal kita bisa deket,” ujar Juyeon tiba-tiba, tanpa mengalihkan sedikitpun pendangannya dari jalanan.

“Jelek pengingatnya. Bikin terancam dipecat,” balas Younghoon.

“Jangan gitu, Kak.” Juyeon tertawa dengan gugup. “Lumayan kan kita bisa peluk-pelukan, soalnya biasanya kita gak bisa kayak gini.”

“Lumayan buat kamu doang kali. Aku sih masih kesel ya.” Younghoon mendelik sehingga Juyeon hanya bisa meringis.

“Maaf, Kak, udah dong.” Juyeon masih sempat menepuk singkat ke puncak kepalanya meski dia tidak menoleh sama sekali karena harus fokus pada jalanan mereka yang ternyata sempit.

Dia jadi bertanya-tanya kenapa tadi dia bisa lewat sini.

“Nanti pulang syuting aku masakin.”

“Seriusan?” Younghoon tertarik pada tawaran itu karena sebetulnya Juyeon jarang sekali menawarkan mereka memakan masakannya.

Padahal menurutnya masakan Juyeon cukup enak.

“Janji gak?” Younghoon tersenyum, dia mengangkat jari kelingkingnya lalu mengulurkannya pada Juyeon.

Lalu Juyeon sambil tersenyum membalas uluran tangan itu dengan menautkan jari kelingkingnya juga di sana.

“Janji, sayang.”

Juyeon tidak melepaskan tangannya, dan Younghoon yang mudah disogok membiarkan saja tangannya digenggam Juyeon sambil terus memikirkan masakan apa yang harus dibuat Juyeon malam ini.

Juyeon sih senyum-senyum aja.

001


“Kamu lagi ngapain?” Juyeon yang sejak tadi mengawasi Younghoon akhirnya tidak tahan untuk bertanya lantaran dia sejak tadi terus menatap ke ponselnya dengan tatapan serius, seperti sesuatu yang buruk akan terjadi jika dia mengalihkan pandangannya dari sana.

“Baca maps,” jawab younghoon dengan singkat, dia bahkan tidak menoleh sedikitpun. “Kata aku abis ini belok ke kanan.”

Juyeon mengernyitkan dahinya. “Bukannya kiri ya?”

“Tapi di sini kanan, Juyeon.”

“Kamu gak percaya sama aku?”

“Hah?” Younghoon otomatis mengangkat kepalanya dan menatap Juyeon yang juga memandangnya dengan tatapan ... kecewa?

Kenapa tiba-tiba jadi begini?

“Apa, sih? Aku gak bilang gitu?”

Younghoon kembali menatap ke ponselnya sendiri. “Udah ikutin aja, aku baca maps, kamu jalan.”

“Tapi kamu emang ngerti baca maps?”

“Maksud kamu?” Younghoon yang tidak terima langsung menyorot Juyeon dengan tatapan galak.

Sementara Juyeon hanya menunjukkan wajah tidak bersalah sama sekali, dan malah dengan percaya dirinya mengatakan, “Kak, aku udah sering lewat sini tau. Jadi percaya sama aku, oke?”

“Terakhir kali kamu bilang gitu, kita malah masuk ke hutan. Please, gak gitu kalo mau buang aku.”

“Aku dapetin kamu susah, masa malah aku buang?” Juyeon menatap kembali ke jalanan. Dia sedikit kesal karena Younghoon tidak percaya padanya, jadi dia akan membuktikan kalau semua perspektif Younghoon itu salah.

“Udah, percaya sama aku ya? Aku hapal kok jalannya.”

Juyeon mengulurkan tangannya, sedikit mengacak puncak rambut Younghoon, mencoba memberitahunya bahwa dia tidak perlu khawatir.

Dan Younghoon segera mengalihkan pandangannya ke luar, tidak membalas lagi. Dia membiarkan Juyeon menyetir dan mencoba untuk percaya pada Juyeon.

Selama Juyeon menyetir, keduanya memilih untuk tidak saling bicara. Younghoon pada dunianya sendiri, dan Juyeon sibuk memerhatikan jalanan.

Tidak ada suara apapun dari mereka, bahkan musik. Hanya ada suara deru mesin mobil mereka.

Namun kemudian setelah beberapa saat mereka berada dalam kesunyian, Juyeon tiba-tiba menghentikan mobilnya.

Dia memerhatikan ke sekelilingnya kemudian menoleh ke Younghoon, lalu menggaruk rambutnya dan kembali menatap ke depan. “Ini aku bener gak ya?”

Younghoon yang sejak tadi bertahan memerhatikan jalanan refleks menoleh ketika dia mendengar Juyeon berkata seperti itu.

“Kayaknya aku salah ambil belokan.”

“Itu ada warung, coba tanya aja ke situ,” kata Younghoon.

“Gak usah deh, Kak. Aku cuma salah ambil belokan.”

“Tanya aja.”

Juyeon tidak mendengarkannya dan malah segera memutar kembali setir mobilnya, kemudian menelusuri ulang jalan yang tadi dia lewati.

Terserah Juyeon saja.

“Perasaan aku kemarin gak ada lewat sini.”

Setelah beberapa puluh menit mereka berputar-putar entah di tempat apa, Juyeon akhirnya kembali menghentikan mobilnya.

Dia memerhatikan ke sekelilingnya, sepi dan tidak ada siapapun di sana selain mereka berdua di jalan setapak yang entah akan sampai ke mana.

“Kak.” Juyeon menoleh kepada Younghoon, kemudian dia tersenyum sampai matanya menyipit. “Salah lagi, Kak, hehe.”

Younghoon menghela nafas panjang dan memijat pangkal hidungnya.

Juyeon yang melihat itu tertawa tapi dia juga merasa bersalah di saat bersamaan, jadi dia tidak tahu harus berkata apa lagi selain meminta maaf pada Younghoon.

“Maaf, Kak.”

“Coba kamu buka maps.”

Tidak mau membuat Younghoon semakin marah, Juyeon dengan cepat menuruti perkatannya.

Tapi dia harus menelan pil pahit sekali lagi karena ketika dia membuka ponselnya, dia melihat bahwa tidak ada sinyal sama sekali di dalam sini.

“Gak ada sinyal?”

“Iya, tapi aku cobain di luar ya, sebentar.“  Juyeon melepas sabuk pengamannya kemudian keluar dari mobil mereka.

Dan Younghoon memerhatikan Juyeon di luar sana, berputar putar sembari mengangkat ponselnya seperti orang bodoh. Kemudian masuk lagi setelah dia menyerah.

“Kok gak ada sinyal ya, Kak?” Juyeon bingung sendiri.

“Menurut kamu?”

Juyeon lagi-lagi hanya bisa tersenyum.

“Coba, sekarang kita mau gimana?” Younghoon bertanya padanya. “Puter balik lagi? Kamu hapal gak jalannya? Gak kan? Yang ada kita makin nyasar. Biarin aja nanti tiba-tiba udah di Jepang.”

“Maaf.” Juyeon benar-benar merasa bersalah, tapi dia tidak bisa menahan dirinya untuk tidak tertawa ketika melihat Younghoon ngomel begini.

Dia lantas mendekat, segera memeluk Younghoon sambil terus meminta maaf padanya.

Dan ketika Juyeon tau Younghoon tidak akan membalas pelukannya, dia segera menjauh, tapi tangannya tetap berada di satu sisi wajah Younghoon, jarinya mengusap di pipinya.

“Aku tanya orang aja ya?” Juyeon mencoba menawarkan solusi.

“Mau nanya ke siapa? Batu?” Younghoon menatap ke arahnya dengan galak.

Juyeon meringis sekali lagi dan dia tahu solusinya kali ini sangat tidak berguna.

“Stop ngeselin ya, Juyeon!”

“Iya, maaf ya?”

Juyeon sepertinya benar-benar merasa bersalah, jadi Younghoon tidak ingin terus-terusan menekannya dan membiarkan saja Juyeon menyisiri anak-anak rambutnya ke belakang telinga.

“Tapi kamu tau gak sih Kak, kalo nyasar gini, aku jadi sering keinget pas pertama kali kita latihan bareng tau.” Juyeon lagi-lagi tertawa sendiri saat dia menerawang jauh ke belakang.

“Kalo gak salah gara-gara itu kita jadi deket kan? Thanks to Sunwoo yang kemaren nyaranin aku se-room sama kamu.”

“Aku gak mau bilang thanks sih.”

Juyeon berkedip beberapa kali. “Kenapa, Kak?”

“Ya aku rugi lah? Dateng telat terus jadinya? Kamu pikir enak diomelin sama manager?”

“Terus waktu itu pas ada rolling, kok kamu gak mau ganti partner aja?”

“Males pindah,” jawab Younghoon.

“Seriusan? Padahal kan udah ditawarin sama Eric di ruangan ini jadi kamu gak perlu pindah?”

“Tetep aja, aku males ganti suasana kamar.”

“Tapi kan Eric gak keberatan kamarnya mau diubah atau gak—”

“Kamu tuh ngerti gak, sih? Aku maunya sama kamu, gak mau sama yang lain! Puas kamu?” Younghoon meninggikan suaranya sehingga Juyeon mau tak mau membungkam mulutnya sendiri.

Padahal Juyeon sudah tau sih alasan sebenarnya, dia hanya iseng saja.

Karena tidak tahu harus membalas apa, Juyeon hanya bisa tertawa. Jujur, Juyeon benar-benar tidak pernah bisa menahan tawanya jika bersama Younghoon.

Mau bagaimanapun juga Younghoon-nya ini sangat lucu.

“Galak banget, sayangku.” Juyeon mengacak-acak puncak rambutnya, sehingga Younghoon berteriak kesal padanya.

“Ya kamu pikir aja!” Dia menoleh, matanya yang berkaca-kaca mengarah langsung ke arah Juyeon. “Aku kesel, Juyeon! Abis ini kita pasti diomelin lagi! Emang kamu gak inget waktu itu kita dibilangin kalo telat sekali lagi kita bakal dipisahin kamarnya!”

“Aku gak mau! Aku gak mau nanti jadi dipisahin sama kamu, kamu ngerti gak sih? Ngeselin banget harus dijabarin terus kayak gini!”

Juyeon menggigit bibir bagian dalamnya dan merenung. Berpikir keras dia harus membalas apa perkataan Younghoon dan berakhir dengan meminta maaf kepadanya.

“Maafin aku ya?” Juyeon mengusap ke lututnya, berusaha menarik atensi Younghoon.

“Jangan marah-marah terus dong.”

Dan Younghoon masih tidak berniat membalas atau sekadar melihat ke arahnya.

Juyeon tau Younghoon kesal kepadanya, tapi lucu melihatnya seperti ini sehingga Juyeon tidak bisa menahan senyumnya sejak tadi.

“Mau peluk?”

Ketika Juyeon menawarkan itu, Younghoon tidak menoleh sedikitpun, tapi dia menggeser tubuhnya sehingga Juyeon dapat menariknya ke dalam uluran tangannya.

“Aku minta maaf ya.” Juyeon mengusap punggungnya, kemudian naik dan mengusap kepalanya dengan lembut. “Janji abis ini gak bakal gini lagi.”

“Kita gak bakal dipisahin kamarnya, tenang aja. Yang ini percaya sama aku ya?”

“Hm.” Younghoon hanya bergumam, tetapi dia akhirnya membalas pelukan Juyeon.

“Aku coba puter balik lagi ya?” Juyeon meminta izin padanya setelah mereka melepas pelukan mereka, sementara di sisi lain, tangan Juyeon masih menggenggam telapak tangan Younghoon.

“Terserah kamu aja.” Younghoon pasrah.

“Kamu baca maps aja, Kak. Nanti kalo udah ada sinyal langsung arahin aku.”

“Tapi aku kan gak bisa baca maps.”

Younghoon sebenarnya tidak berniat mengatakan itu dan hanya berbisik kepada dirinya sendiri karena setelah itu, dia tetap membuka ponselnya.

Tapi karena keheningan di sekeliling mereka, Juyeon masih dapat mendengar Younghoon bergumam pada dirinya sendiri dengan nada sedih.

Younghoon-nya tersinggung dengan perkataannya tadi ya?

“Kamu bisa, Kak.” Juyeon menatap padanya dengan lembut dan tersenyum seolah-olah dia sangat percaya kepadanya. “Aku yakin kalo sambil diarahin kamu, mobilnya bakal begini 'cling!' terus langsung nyampe ke tempat latihan.”

“Apaansih, aneh.”

Juyeon tertawa karena Younghoon akhirnya tidak lagi menunjukkan wajah kesal dan malah tersenyum sekarang.

“Eh tapi bener gak sih, Kak? Kita nyasar terus tuh biar kita gak lupa sama awal-awal kita bisa deket,” ujar Juyeon tiba-tiba, tanpa mengalihkan sedikitpun pendangannya dari jalanan.

“Jelek pengingatnya. Bikin terancam dipecat,” balas Younghoon.

“Jangan gitu, Kak.” Juyeon tertawa dengan gugup. “Lumayan kan kita bisa peluk-pelukan, soalnya di dorm kita gak bisa kayak gini.”

“Lumayan buat kamu doang kali. Aku masih kesel ya, asal kamu tau!” Younghoon mendelik sehingga Juyeon hanya bisa meringis.

“Maaf, Kak, udah dong.” Juyeon masih sempat menepuk singkat ke puncak kepalanya meski dia tidak menoleh sama sekali karena harus fokus pada jalanan mereka yang ternyata sempit.

Dia jadi bertanya-tanya kenapa tadi dia bisa lewat sini.

“Nanti pulang latihan aku masakin.”

“Seriusan?” Younghoon tertarik pada tawaran itu karena sebetulnya Juyeon jarang sekali menawarkan mereka memakan masakannya.

Padahal menurutnya masakan Juyeon cukup enak.

“Janji gak?” Younghoon tersenyum, dia mengangkat jari kelingkingnya lalu mengulurkannya pada Juyeon.

Lalu Juyeon sambil tersenyum membalas uluran tangan itu dengan menautkan jari kelingkingnya juga di sana.

“Janji, sayang.”

Juyeon tidak melepaskan tangannya, dan Younghoon yang mudah disogok membiarkan saja tangannya digenggam Juyeon sambil terus memikirkan masakan apa yang harus dibuat Juyeon malam ini.

Juyeon sih senyum-senyum aja.

001


“Kamu lagi ngapain?” Juyeon yang sejak tadi mengawasi Younghoon akhirnya tidak tahan untuk bertanya lantaran dia sejak tadi terus menatap ke ponselnya dengan tatapan serius, seperti sesuatu yang buruk akan terjadi jika dia mengalihkan pandangannya dari sana.

“Baca maps,” jawab younghoon dengan singkat, dia bahkan tidak menoleh sedikitpun. “Kata aku abis ini belok ke kanan.”

Juyeon mengernyitkan dahinya. “Bukannya kiri ya?”

“Tapi di sini kanan, Juyeon.”

“Kamu gak percaya sama aku?”

“Hah?” Younghoon otomatis mengangkat kepalanya dan menatap Juyeon yang juga memandangnya dengan tatapan ... kecewa?

Kenapa tiba-tiba jadi begini?

“Apa, sih? Aku gak bilang gitu?”

Younghoon kembali menatap ke ponselnya sendiri. “Udah ikutin aja, aku baca maps, kamu jalan.”

“Tapi kamu emang ngerti baca maps?”

“Maksud kamu?” Younghoon yang tidak terima langsung menyorot Juyeon dengan tatapan galak.

Sementara Juyeon hanya menunjukkan wajah tidak bersalah sama sekali, dan malah dengan percaya dirinya mengatakan, “Kak, aku udah sering lewat sini tau. Jadi percaya sama aku, oke?”

“Terakhir kali kamu bilang gitu, kita malah masuk ke hutan. Please, gak gitu kalo mau buang aku.”

“Aku dapetin kamu susah, masa malah aku buang?” Juyeon menatap kembali ke jalanan. Dia sedikit kesal karena Younghoon tidak percaya padanya, jadi dia akan membuktikan kalau semua perspektif Younghoon itu salah.

“Udah, percaya sama aku ya? Aku hapal kok jalannya.”

Juyeon mengulurkan tangannya, sedikit mengacak puncak rambut Younghoon, mencoba memberitahunya bahwa dia tidak perlu khawatir.

Dan Younghoon segera mengalihkan pandangannya ke luar, tidak membalas lagi. Dia membiarkan Juyeon menyetir dan mencoba untuk percaya pada Juyeon.

Selama Juyeon menyetir, keduanya memilih untuk tidak saling bicara. Younghoon pada dunianya sendiri, dan Juyeon sibuk memerhatikan jalanan.

Tidak ada suara apapun dari mereka, bahkan musik. Hanya ada suara deru mesin mobil mereka.

Namun kemudian setelah beberapa saat mereka berada dalam kesunyian, Juyeon tiba-tiba menghentikan mobilnya.

Dia memerhatikan ke sekelilingnya kemudian menoleh ke Younghoon, lalu menggaruk rambutnya dan kembali menatap ke depan. “Ini aku bener gak ya?”

Younghoon yang sejak tadi bertahan memerhatikan jalanan refleks menoleh ketika dia mendengar Juyeon berkata seperti itu.

“Kayaknya aku salah ambil belokan.”

“Itu ada warung, coba tanya aja ke situ,” kata Younghoon.

“Gak usah deh, Kak. Aku cuma salah ambil belokan.”

“Tanya aja.”

Juyeon tidak mendengarkannya dan malah segera memutar kembali setir mobilnya, kemudian menelusuri ulang jalan yang tadi dia lewati.

Terserah Juyeon saja.

“Perasaan aku kemarin gak ada lewat sini.”

Setelah beberapa puluh menit mereka berputar-putar entah di tempat apa, Juyeon akhirnya kembali menghentikan mobilnya.

Dia memerhatikan ke sekelilingnya, sepi dan tidak ada siapapun di sana selain mereka berdua di jalan setapak yang entah akan sampai ke mana.

“Kak.” Juyeon menoleh kepada Younghoon, kemudian dia tersenyum sampai matanya menyipit. “Salah lagi, Kak, hehe.”

Younghoon menghela nafas panjang dan memijat pangkal hidungnya.

Juyeon yang melihat itu tertawa tapi dia juga merasa bersalah di saat bersamaan, jadi dia tidak tahu harus berkata apa lagi selain meminta maaf pada Younghoon.

“Maaf, Kak.”

“Coba kamu buka maps.”

Tidak mau membuat Younghoon semakin marah, Juyeon dengan cepat menuruti perkatannya.

Tapi dia harus menelan pil pahit sekali lagi karena ketika dia membuka ponselnya, dia melihat bahwa tidak ada sinyal sama sekali di dalam sini.

“Gak ada sinyal?”

“Iya, tapi aku cobain di luar ya, sebentar.“  Juyeon melepas sabuk pengamannya kemudian keluar dari mobil mereka.

Dan Younghoon memerhatikan Juyeon di luar sana, berputar putar sembari mengangkat ponselnya seperti orang bodoh. Kemudian masuk lagi setelah dia menyerah.

“Kok gak ada sinyal ya, Kak?” Juyeon bingung sendiri.

“Menurut kamu?”

Juyeon lagi-lagi hanya bisa tersenyum.

“Coba, sekarang kita mau gimana?” Younghoon bertanya padanya. “Puter balik lagi? Kamu hapal gak jalannya? Gak kan? Yang ada kita makin nyasar. Biarin aja nanti tiba-tiba udah di Jepang.”

“Maaf.” Juyeon benar-benar merasa bersalah, tapi dia tidak bisa menahan dirinya untuk tidak tertawa ketika melihat Younghoon ngomel begini.

Dia lantas mendekat, segera memeluk Younghoon sambil terus meminta maaf padanya.

Dan ketika Juyeon tau Younghoon tidak akan membalas pelukannya, dia segera menjauh, tapi tangannya tetap berada di satu sisi wajah Younghoon, jarinya mengusap di pipinya.

“Aku tanya orang aja ya?” Juyeon mencoba menawarkan solusi.

“Mau nanya ke siapa? Batu?” Younghoon menatap ke arahnya dengan galak.

Juyeon meringis sekali lagi dan dia tahu solusinya kali ini sangat tidak berguna.

“Stop ngeselin ya, Juyeon!”

“Iya, maaf ya?”

Juyeon sepertinya benar-benar merasa bersalah, jadi Younghoon tidak ingin terus-terusan menekannya dan membiarkan saja Juyeon menyisiri anak-anak rambutnya ke belakang telinga.

“Tapi kamu tau gak sih Kak, kalo nyasar gini, aku jadi sering keinget pas pertama kali kita latihan bareng tau.” Juyeon lagi-lagi tertawa sendiri saat dia menerawang jauh ke belakang.

“Kalo gak salah gara-gara itu kita jadi deket kan? Thanks to Sunwoo yang kemaren nyaranin aku se-room sama kamu.”

“Aku gak mau bilang thanks sih.”

Juyeon berkedip beberapa kali. “Kenapa, Kak?”

“Ya aku rugi lah? Dateng telat terus jadinya? Kamu pikir enak diomelin sama manager?”

“Terus waktu itu pas ada rolling, kok kamu gak mau ganti partner aja?”

“Males pindah,” jawab Younghoon.

“Seriusan? Padahal kan udah ditawarin sama Eric di ruangan ini jadi kamu gak perlu pindah?”

“Tapi aku maunya sama kamu, gak mau sama yang lain! Puas kamu?” Younghoon meninggikan suaranya sehingga Juyeon mau tak mau membungkam mulutnya sendiri.

Padahal Juyeon sudah tau sih alasan sebenarnya, dia hanya iseng saja.

Karena tidak tahu harus membalas apa, Juyeon hanya bisa tertawa. Jujur, Juyeon benar-benar tidak pernah bisa menahan tawanya jika bersama Younghoon.

“Galak banget, sayangku.” Juyeon mengacak-acak puncak rambutnya, sehingga Younghoon berteriak kesal padanya.

“Ya kamu pikir aja!” Dia menoleh, matanya yang berkaca-kaca mengarah langsung ke arah Juyeon. “Aku kesel, Juyeon! Abis ini kita pasti diomelin lagi! Emang kamu gak inget waktu itu kita dibilangin kalo telat sekali lagi kita bakal dipisahin kamarnya!”

“Aku gak mau! Aku gak mau nanti jadi dipisahin sama kamu, kamu ngerti gak sih? Ngeselin banget harus dijabarin terus kayak gini!”

Juyeon menggigit bibir bagian dalamnya dan merenung. Berpikir keras dia harus membalas apa perkataan Younghoon dan berakhir dengan meminta maaf kepadanya.

“Maafin aku ya?” Juyeon mengusap ke lututnya, berusaha menarik atensi Younghoon.

“Jangan marah-marah terus dong.”

Dan Younghoon masih tidak berniat membalas atau sekadar melihat ke arahnya.

Juyeon tau Younghoon kesal kepadanya, tapi lucu melihatnya seperti ini sehingga Juyeon tidak bisa menahan senyumnya sejak tadi.

“Mau peluk?”

Ketika Juyeon menawarkan itu, Younghoon tidak menoleh sedikitpun, tapi dia menggeser tubuhnya sehingga Juyeon dapat menariknya ke dalam uluran tangannya.

“Aku minta maaf ya.” Juyeon mengusap punggungnya, kemudian naik dan mengusap kepalanya dengan lembut. “Janji abis ini gak bakal gini lagi.”

“Kita gak bakal dipisahin kamarnya, tenang aja. Yang ini percaya sama aku ya?”

“Hm.” Younghoon hanya bergumam, tetapi dia akhirnya membalas pelukan Juyeon.

“Aku coba puter balik lagi ya?” Juyeon meminta izin padanya setelah mereka melepas pelukan mereka, sementara di sisi lain, tangan Juyeon masih menggenggam telapak tangan Younghoon.

“Terserah kamu aja.” Younghoon pasrah.

“Kamu baca maps aja, Kak. Nanti kalo udah ada sinyal langsung arahin aku.”

“Tapi aku kan gak bisa baca maps.”

Younghoon sebenarnya tidak berniat mengatakan itu dan hanya berbisik kepada dirinya sendiri karena setelah itu, dia tetap membuka ponselnya.

Tapi karena keheningan di sekeliling mereka, Juyeon masih dapat mendengar Younghoon bergumam pada dirinya sendiri dengan nada sedih.

Younghoon-nya tersinggung dengan perkataannya tadi ya?

“Kamu bisa, Kak.” Juyeon menatap padanya dengan lembut dan tersenyum seolah-olah dia sangat percaya kepadanya. “Aku yakin kalo sambil diarahin kamu, mobilnya bakal langsung nyampe ke tempat latihan.”

“Lebay.”

Juyeon tertawa karena Younghoon akhirnya tidak lagi menunjukkan wajah kesal dan malah tersenyum sekarang.

“Eh tapi bener gak sih, Kak? Kita nyasar terus tuh biar kita gak lupa sama awal-awal kita bisa deket,” ujar Juyeon tiba-tiba, tanpa mengalihkan sedikitpun pendangannya dari jalanan.

“Jelek pengingatnya. Bikin terancam dipecat,” balas Younghoon.

“Jangan gitu, Kak.” Juyeon tertawa dengan gugup. “Lumayan kan kita bisa peluk-pelukan, soalnya di dorm kita gak bisa kayak gini.”

“Lumayan buat kamu doang kali. Aku masih kesel ya, asal kamu tau!” Younghoon mendelik sehingga Juyeon hanya bisa meringis.

“Maaf, Kak, udah dong.” Juyeon masih sempat menepuk singkat ke puncak kepalanya meski dia tidak menoleh sama sekali karena harus fokus pada jalanan mereka yang ternyata sempit.

Dia jadi bertanya-tanya kenapa tadi dia bisa lewat sini.

“Nanti pulang latihan aku masakin.”

“Seriusan?” Younghoon tertarik pada tawaran itu karena sebetulnya Juyeon jarang sekali menawarkan mereka memakan masakannya.

Padahal menurutnya masakan Juyeon cukup enak.

“Janji gak?” Younghoon tersenyum, dia mengangkat jari kelingkingnya lalu mengulurkannya pada Juyeon.

Lalu Juyeon sambil tersenyum membalas uluran tangan itu dengan menautkan jari kelingkingnya juga di sana.

“Janji, sayang.”

Juyeon tidak melepaskan tangannya, dan Younghoon yang mudah disogok membiarkan saja tangannya digenggam Juyeon sambil terus memikirkan masakan apa yang harus dibuat Juyeon malam ini.

Juyeon sih senyum-senyum aja.


Ailurophile


Aristian sebenarnya tidak ingin merusak momen mereka berdua yang sedang asik-asiknya bertengkar kecil perkara Alden atau Arazki sama-sama berlomba untuk mendapatkan foto masing-masing.

Jadi dia membiarkan saja keduanya asik pada dunia mereka sendiri, sementara dirinya sibuk dengan ponselnya sendiri, memotret dua orang yang bahkan sampai sekarang masih belum menyadari keberadaannya.

Terbesit sebuah ide jahil di kepala Aristian yang mana membuatnya refleks tersenyum.

Dia berjalan cepat, berusaha menyamakan langkahnya agar sejajar dengan keduanya, kemudian ketika sampai tepat di sebelah Alden, dia mengangkat ponselnya tinggi-tinggi seolah sedang mengajak mereka berfoto.

Lucunya, keduanya masih tidak melihat ke arahnya dan hanya fokus pada kegiatan mereka sendiri.

Serius, Arazki dan Alden kalau sudah main berdua, mau ada hujan meteor juga mereka tidak akan peduli sama sekali.

Namun selang beberapa menit kemudian, Arazki menjadi yang pertama melihat ke arah kameranya, kemudian refleks menutup wajahnya sendiri dengan telapak tangannya lalu berbalik dan berjalan ke arah berlawanan.

Alden yang sedikit bingung jadi ikut menoleh lalu terkejut dan menatap Aristian di sebelahnya dengan ekspresi kaget dan tidak percaya sekaligus.

Aristian mau tidak mau tertawa karena itu.

“Lo berdua asik banget sih mainnya, jadi gue liatin aja,” jelas Aristian sambil berusaha menetralisir tawanya.

Karena tidak adanya respon dari keduanya, Aristian menatap satu persatu dari mereka berdua dan tersenyum.

“Ngapain di sekolah sampe malem gini?” Dia bertanya pada Alden. “Biasanya emang betah di sekolah?”

Alden berdecak kecil tapi tidak menjawab sama sekali.

Sementara Arazki di belakang hanya diam sembari melempari batu yang ia pungut sebelumnya ke pinggir jembatan.

Sebenarnya Aristian sudah tahu sih jawabannya pasti karena ada Papa di rumah, dia hanya ingin mendengarnya langsung dari Adiknya.

“Sorry ya, gue ganggu lo berdua main. Tapi lo tau gak ini jam berapa?” Aristian mengangkat ponselnya ke hadapan Alden.

“Jam sebelas. Dan lo berdua ngilang gak ada kabar dari pagi sampe malem begini, siapa yang gak khawatir coba?”

“Gue gak mau kayak ngekang lo berdua banget, ngatur jam main kalian karena itu bukan hak kakak, kalian berhak kok main ke luar rumah.”

“Tapi lain kali bilang dulu ya? Kasih tau kalo pengen keluar, minimal sekali aja biar kita gak khawatir, lo juga mainnya puas. Jadi sama-sama enak, kan?” Aristian menyunggingkan senyum pengertiannya, mencoba berbicara dengan lembut.

“Sebenernya tadi Bang Aksa yang mau nyusulin kalian, tapi gue tahan soalnya kalo sambil emosi nyarinya emang bakal ketemu?”

“Tuh, mobil gue parkir di pinggir jalan.” Aristian menunjuk ke belakang mereka dengan ibu jarinya tapi tidak berbalik sama sekali, dan Alden juga tidak menoleh sama sekali.

“Gue kira lo berdua kemana, taunya gue liat lagi main di pinggir jalan, gue kira anak SD tadi, ngapain malem-malem malah main di sini kan?”

Lelaki itu melirik ke arah Arazki dan Alden, mencoba menggoda mereka. Tapi kaena sekali lagi tidak ada respon sedikitpun dari kedunya, dia hanya tertawa sendirian.

Lagipula, Aristian tau apa yang ada di pikiran mereka.

Look at them, how cute they are? Pretty sure, he'd die if he let his brothers like this.

Aristian menggelengkan kepalanya. Dia menepuk puncak kepala Alden tanpa alasan, kemudian berbalik dan mendekat ke arah Arazki.

“Papa udah gak ada di rumah.” Dia bicara pada Arazki. “Udah pulang.” Kemudian mengoreksi kalimatnya setelah sadar bahwa kata-katanya sedikit ambigu.

“Masih mau main? Gue baru tau sih di sini aesthetic banget kalo malem gini, atau baru sadar ya? Eh, bentar deh.”

Aristian mengangkat ponselnya dan mengarahkan kameranya ke arah Arazki, lalu memotret dirinya dengan cepat sebelum Arazki sadar bahwa dirinya benar-benar akan masuk ke galeri Aristian.

Evanescent



“Alden.”

Remaja yang berdiri dengan canggung di depan pintu itu sedikit terkesiap atas panggilan mendadak yang membuyarkan semua lamunannya.

“Kenapa berdiri di situ? Gak mau masuk?”

Alden sedikit melirik ke orang lain yang berada di sana sebelum akhirnya secara perlahan dia maju mendekat karena Aristian terus mendesaknya untuk mendekat.

Lalu di sanalah Alden. Berdiri dengan kikuk dan tidak tahu harus berkata apa, sementara orang yang ingin dia temui juga melakukan hal yang sama.

Sungguh, Alden ingin memukul apa saja asal bisa meredakan kecanggungan yang tidak jelas ini.

“Ki?” Aristian tersenyum pada seseorang yang terus-terusan memandangnya dengan tatapan aneh.

Aristian kemudian beralih pada Alden, dan mengisyaratkannya untuk bicara apa saja pada Arazki. Seperti dia telah menunggu ini sejak lama.

Sementara Alden berjuang keras untuk mengatakan sesuatu, tapi suaranya tercekat di tenggorokan alhasil dia mengurungkan niatnya untuk menyapanya terlebih dahulu.

Tapi Alden sendiri justru tidak nyaman pada tatapan bingung yang dilempar Arazki sejak tadi.

“Hei? Ayo dong ngobrol, gak mau berantem nih? Hahaha.” Aristian tertawa, meski Alden tahu dia tidak benar-benar tertawa.

“Yah, lagian dia mana bisa nonjok gue sih sekarang.” Alden mencoba melawak walau dia tahu leluconnya memang tidak lucu sama sekali. Yah, dia hanya berniat memancing sebenarnya.

Namun daripada membalas lelucon garing Alden dengan umpatan dan hinaan seperti biasanya yang dia lakukan, Arazki justru terus menatapnya seolah-olah dia adalah hal aneh lain yang baru pertama kali dilihatnya.

Melihat itu, seharusnya Alden meledeknya, atau menghina wajah Arazki yang saat ini terlihat seperti orang idiot. Tapi entah kenapa ini malah membuat perasaan Alden semakin tidak karuan.

“Lo ... tau gak?” Alden bertanya tanpa dasar yang jelas sambil cengengesan tidak jelas. Berbanding terbalik dengan perasaan hatinya yang resah.

Namun respon Arazki semakin membuat Alden sadar, yang di hadapannya bukan lagi Arazki.

“Ah....” Alden kemudian diam. Melamun beberapa saat sebelum kemudian dia tiba-tiba merogoh sakunya dan mengeluarkan ponselnya dari sana.

“Oh, bentar, gue ada telepon.” Dia berdiri, berpamitan dengan singkat untuk menjawab panggilannya, kemudian berlalu tanpa repot-repot menunggu jawaban mereka.

Aristian yang tentu saja menyadari sesuatu lantas menyusul dan sebelum itu dia berbicara pada Arazki. “Ki, bentar ya? Entar gue ke sini lagi.”

Dan Arazki hanya mengangguk sebagai jawaban.

“Alden.”

Alden yang sebenarnya tidak menerima panggilan sama sekali hanya diam, tidak menoleh, hanya berdiri di lorong rumah sakit itu dan bersandar di tembok. Dia sudah menduga Aristian akan menyusulnya.

“Tadi Azka kepencet telepon, gapapa ini gue lagi pewe aja,” ujar Alden tiba-tiba yang mana secara otomatis membuat Aristian entah kenapa merasa bersalah.

Dia dekati Alden pelan-pelan, tapi tidak benar-benar mendekat. Hanya berdiri beberapa senti meter di sebelahnya, lalu ikut bersandar ke tembok.

“Gue tau.” Aristian berkata dengan pelan.

Karena itu pula Alden secara refleks tersenyum, tapi bukan senyuman yang ingin Aristian lihat sama sekali.

Lelaki itu menghela nafasnya dengan berat, kemudian menoleh untuk melihat Alden yang menendang-nendang udara, seperti dia tengah mencoba menahan dirinya.

“Al, sebelumnya gue udah bilang, kan, soal Arazki?”

Alden tertawa kecil. Tentu saja, dia juga sudah tahu apa yang terjadi pada Arazki.

Apa yang dia harapkan?

Tapi Alden tidak menduga rasanya akan sesakit ini.

Dia bahkan tidak tahu harus merespon bagaimana.

Sebuah keajaiban karena keduanya bisa selamat dari kecelakaan pesawat beberapa bulan lalu. Seharusnya Alden senang karena Arazki yang nekat melakukan hal bodoh demi dirinya masih bisa membuka matanya sekarang.

Seharusnya Alden senang, dia bahkan tidak dapat membayangkan hidupnya akan seperti apa jika Arazki tidak selamat karena itu, sementara dirinya baik-baik saja di sini, sendirian.

Ini bahkan lebih bagus daripada tidak sama sekali. Tapi kalau hasilnya seperti ini, apa bedanya?

Alden merasakan lututnya melemas dan dia jatuh terduduk di atas lantai yang dingin, dan Aristian dengan panik mendekatinya.

“Gue gak tau harus gimana.” Alden berujar dengan lirih. Dia tidak peduli jika Aristian harus melihat dirinya yang menyedihkan seperti ini.

“Kalo dia bahkan gak tau namanya sendiri, terus gue harus apa?” Alden meremas dadanya yang mendadak terasa sesak.

Arazki memang selamat dari kecelakaan pesawat, tapi seluruh ingatannya tentang hidupnya hilang.

“Gue udah tau endingnya pasti gini. Tapi kenapa gini banget, anjing?” Dia memukul dinding di belakangnya dengan frustrasi.

Aristian memandang adiknya dalam diam, berusaha untuk tidak membiarkan dirinya menangis tapi dia sendiri juga mengerti bagaimana perasaan Alden.

Dia memang sudah menebak bagaimana respon Alden nantinya. Tapi dia tidak tahu Alden akan sehancur ini.

Baru kali ini Aristian benar-benar kehilangan semua kata-katanya sehingga yang bisa dia lakukan hanya berusaha tersenyum. Dia tarik Alden ke dalam pelukannya, meski dia yakin ini bahkan tidak cukup untuk meyakinkan dirinya bahwa semuanya baik-baik saja.

Karena ini bahkan tidak akan menjadi baik-baik saja.

***

“Lo takut mati gak?”

“Lo sendiri gimana?”

“Gak tau, sih. Gue belum siap aja soalnya dosa gue masih banyak.”

“Syahadat aja sekarang.”

“Gue banyak dosa bukan murtad, anjng!”

“Anyway, gue nanya sama lo ya, njing!”

Daripada menjawabnya, dia justru tersenyum. Dialihkannya pandangannya ke jendela, mungkin berharap seseorang di sebelahnya tidak melihat ekspresinya saat ini.

“Gue gak tau.”

“Tapi gue lebih takut kalo lo yang mati.”

Alden terbangun dari tidurnya dalam keadaan terkejut dan panik tanpa alasan. Keringat dingin membasahi pelipisnya dan Alden mengumpati mimpi yang sama untuk yang kesekian kalinya.

Alden meminum air dari gelas di atas nakas dengan terburu-buru, dia melirik ke laci, memutuskan untuk mengambil sesuatu dari sana dan tidur tanpa harus terganggu oleh bunga tidur busuk satu itu.

Tapi kemudian setelah berhasil menjernihkan pikirannya, dia menghela nafasnya dengan lelah.

“Kenapa....” Alden tidak tahu kemana arah pertanyaan itu, jadi dia memutuskan untuk menghentikan kalimatnya di ujung lidah lalu memutuskan untuk beranjak dan keluar mencari udara segar.

Dilihatnya jam yang tertera di layar ponselnya, pukul sebelas malam. Dan rumah ini seharusnya sudah sepi karena kebanyakan dari mereka sudah tidur.

Alden seharusnya menjadi salah satunya, tapi karena mimpi sialan yang terus-terusan menghantuinya, dia jadi harus terbangun lagi dan lagi.

Sejujurnya ini melelahkan, tapi dia harus belajar keluar dari bergantung dengan obat-obatan itu. Faktanya, mengonsumsi itu bahkan lebih melelahkan.

Alden keluar dari kamarnya dan menutup pintu kamarnya kemudian menoleh ke samping ketika menyadari bahwa seseorang dari kamar di sebelahnya secara kebetulan juga tengah melakukan hal yang sama.

Arazki memang sudah diperbolehkan pulang dari beberapa minggu yang lalu, tapi keduanya bahkan tidak saling menyapa sedikitpun sejak saat itu.

Mungkin sudah terhitung satu bulan, dan Alden tidak ingat pembicaraan apa yang terakhir kali mereka lakukan selain di rumah sakit. Itu juga hanya,

“Gue Alden, kalo lo pengen tau. Gak penting, sih, tapi gue ngasih tau aja biar lo gak bingung nanti liat gue bisa ada di rumah terus.”

“Iya, gue udah tau.”

“Oh gitu. Ya udah.”

Kemudian Alden dan Arazki tidak berbicara lagi.

tapi Alden sadar, ini semua terjadi karena Alden sendiri yang lebih banyak melarikan diri setiap kali melihat Arazki.

Jujur, Alden merasa kasihan pada dirinya sendiri.

Dia melihat Arazki juga memandangnya, tapi tidak mengatakan sepatah katapun dan Alden tidak mengharapkan Arazki akan berbicara padanya.

Jadi Alden berniat pergi begitu saja, seperti yang biasa dia lakukan akhir-akhir ini.

“Mau kemana?”

Alden tidak akan pernah percaya bahwa pertanyaan itu akan keluar dari mulut Arazki, tidak sampai dia mendengarnya sendiri kali ini.

“Bawah, sih.”

“Pergi?”

“Iya.”

Arazki hanya bergumam sebagai tanggapan, dan percakapan berakhir di sana.

Alden akan tertawa jika ini Arazki yang ingatannya masih sama. Tapi nyatanya, kecanggungan ini benar-benar akan membunuhnya.

Tapi Alden memutuskan untuk bertanya, “Lo kenapa belum tidur?”

“Kebangun.”

“Oh.”

Alden merasa menyesal sudah melanjutkan percakapan yang miris ini.

Dipikir-pikir, ini adalah kali pertama Alden berbicara dengan Arazki, setelah saat itu. Arazki yang belum tentu mengenali dirinya.

“Ya udah, gue pergi dulu.”

Alden memutuskan untuk pergi dan melanjutkan niat awalnya mencari udara segar.

Tapi lagi-lagi Arazki menahan dirinya, kali ini dengan kalimat,

“Lo ngehindarin gue kah?”

Alden tidak tahu harus tertawa untuk dirinya sendiri atau pada pertanyaan Arazki.

Dia akhirnya berbalik, kali ini memberanikan diri untuk berbalik dan memandang Arazki secara langsung.

Melihat Arazki yang menatap dirinya dengan tatapan putus asa, tapi Alden sendiri tidak yakin apakah Arazki sendiri mengerti kenapa dia harus merasa seperti itu.

“Gak, ngapain gue ngehindarin lo?”

“Gue ... gak tau.”

Alden sedikit tertawa. “Kenapa lo bisa mikir gue ngejauhin lo?”

“Hmm.” Arazki hanya bergumam panjang sembari mengalihkan pandangannya ke arah lain.

Kebiasaannya masih sama, tapi ini masih bukan Arazki yang Alden kenal.

“Ya udah kalo gak tau.”

Alden berdecih di dalam hatinya pada kalimatnya sendiri dan berpikir seharusnya dia tidak bicara seperti itu karena sekarang, pembicaraan mereka lagi-lagi berakhir begitu saja.

Namun karena Alden tidak ingin pusing memikirkan hal seperti ini, dia akhirnya menghela nafasnya. “Udahlah, gue mau keluar. Gak usah pikirin kata-kata gue, gue juga gak ngehindarin lo. Gue emang begini dari sananya. Jadi yaudah aja.”

Alden lantas berbalik dan dia tidak tahu untuk apa dia melambaikan tangannya. Tapi sekali lagi, dia tidak peduli.

“Alden.”

Alden berhenti, hanya saja dia tidak berbalik. Hanya diam menunggu Arazki sampai dia tahu bahwa Arazki tidak berniat melanjutkan pembicarannya.

Jadi Alden harus menghela nafasnya sekali lagi. “Mau keluar?”

Alden mengucapkan itu secara spontan. Tapi jujur, sekarang dia menyesali kata-katanya sendiri.

Terlebih sekarang di sinilah mereka. Alden berjuang sendiri setelah dia mendorong motornya keluar dari garasi dan menghidupkan mesin motornya di depan gerbang, seperti seorang penyusup.

Sementara Arazki hanya diam menunggu sampai Alden menyuruhnya naik ke motornya.

“Bentar.”

Alden turun lagi dari motornya. Dia melepas jaketnya, memberikannya secara cuma-cuma pada Arazki yang hanya memakai kaos dan celana pendek.

“Biar gue gak dimarahin abang lo ya bawa lo malem malem kayak gini.”

“Siapa?”

“Ya Bang Aksa tuh, lo pikir siapa lagi?”

“Tapi dia diem aja.”

Alden tersenyum miring tanpa sebab. “Lo sih gak tau aja ... Ah anjir, jadi keluar gak sih?”

“Jadi.”

“Ya udah naik.”

“Terus lo gak pake?”

“Apa?”

“Jaket.”

“Duh gue mager banget balik lagi ke dalem buat ambil jaket doang. Lo aja dah yang pake, lagian gue gini doang mah udah biasa.”

“Hm.”

Biasanya Arazki akan melempar jaket itu ke tanah lalu menginjaknya sambil mengatakan, “Impas.” Dengan wajah menyebalkan.

Lalu dia tinggal membalas, “Bangsat lo! Jaket gue, anjing!”

Tapi ya sudahlah. Bagus juga kalau tidak melawan. Meski iya agak sedih dikit liatnya.

Alden kemudian melajukan motornya setelah dia berhasil mendorong pagar tanpa menimbulkan bunyi melengking yang bisa membangunkan satpam komplek.

Dia ingin sekali bercerita tentang semua hal yang dia alami selama ini pada Arazki yang diboncengnya, namun dia tidak yakin Arazki akan nyambung dengan perkataannya.

“Lo tuh dulu suka banget nongkrong di situ.” Alden merujuk pada danau di yang mereka lewati.

“Di danau?”

“Di pinggirnya, anjing!”

Arazki hanya bergumam. Dia tidak akan ingat.

“Ngelamunin apa gue juga gak tau. Ngeliatin danau. Gue sih takut aja lo malah tiba-tiba nyemplung ke sana gara-gara galauin cewek. Gue kasian sama tim SAR nya aja sih.”

“Kenapa? Gue suka berenang di situ?”

“Gak gitu, anjing! Ini gue lagi ngeledek lo! Ah, dahlah.”

Kemudian kembali hening. Alden membiarkan saja keduanya larut dalam pikiran masing, sementara telinganya hanya mendengar deru motornya sendiri.

Sampai Arazki tiba-tiba bertanya, “Ini mau kemana?”

“Coba tebak.”

Arazki kemudian diam, seperti sedang mencari jawabannya sendiri, tapi Alden tidak yakin orang ini bahkan akan mendapatkan sedikit petunjuk untuk menjawab pertanyaan konyolnya.

Karena tidak adanya jawaban, Alden sedikit tertawa yang mana justru terdengar menyedihkan. Yah, dia sendiri sadar kalau dia memang patut dikasihani.

Alden kemudian tidak berbicara apapun lagi. Membiarkan saja keduanya larut dalam pikiran masing-masing.

Karena dia semakin sadar, mau bagaimanapun juga, bicara apapun juga, semuanya tidak akan lagi sama.

Arazki tidak akan mengerti sama sekali.

bismillah wansut


“Dhit, pinjem hp lo.”

“Hah? Punya hp sendiri buat apa?”

“Ya elah pinjem bentar.”

“Ogah! Pake sendiri lah! Buat apaan sih?”

“Mau liat snapgram Nasya.”

“Hp lo sendiri juga bisa, njing!”

“Gak, ceritanya gue lagi ngilang.”

“Kayak Nasya bakal nyariin lo aja.”

“Anjing! Minjem bentar ah!”

Andhito mendekap ponselnya sementara Andeiro berusaha merebut ponselnya dari Andhito, dan akhirnya mereka malah bertengkar di atas tangga.

Alden yang berjalan di belakang mereka berdua juga berhenti, tidak peduli pada pertengkaran keduanya, dia menunjukkan ponselnya kepada Arazki yang berada di belakangnya.

“Cie.”

Arazki menatap ponsel dari Alden yang berada satu anak tangga di atasnya. Dia berdecak saat melihat foto dirinya dan Kayana yang membelakangi kamera.

Stalker bangsat!” Arazki merebut ponsel Alden begitu saja sehingga Alden dengan cepat berputar dan menangkap kembali ponselnya.

“Eits.” Alden yang sudah berdiri menghadapnya tersenyum penuh kemenangan.

Arazki berdecak sekali lagi. Wajahnya merengut kesal. Dia menarik tangan Alden agar mendapatkan ponselnya.

“Su! Jangan gelitikin gue, anjing!” Andhito menggeliat lantaran Andeiro menggelitiki pinggangnya.

Dia terus menghindari Andeiro dan lupa kalau di belakangnya masih ada Kakaknya yang lain. Alhasil saat dia mencoba menghindar, Andhito menubruk punggung Alden di belakangnya.

Dan karena itu pula, Alden kehilangan keseimbangan dan jatuh ke depan, menabrak Arazki di hadapannya sekaligus yang berdiri di bawah anak tangganya.

Andeiro dan Andhito serentak membulatkan matanya ketika melihat kedua Kakaknya jatuh bersamaan dari atas tangga sekolah, meluncur ke bawah begitu saja.

***

Ringisan kecil keluar dari mulutnya ketika merasakan pusing menyerang kepalanya. Dia mengernyitkan dahinya, mencoba mengurangi denyutan di kepalanya.

“Alden?”

“Ki!”

Dua suara itu muncul berbarengan saat dia mengangkat tangannya, mengurut pelipisnya sendiri untuk menetralkan rasa pusing yang menyerang kepalanya saat dia mencoba membuka matanya.

“Eh, Kak, jangan bangun dulu!” Suara Andhito di sampingnya, dia melirik ke arahnya sekilas lalu kembali memejamkan matanya untuk meredakan peningnya.

Dia bersandar, diam-diam mendengar Aristian menghela nafasnya.

“Untung kalian gak apa-apa, gak ada luka serius, gak ada cedera sama sekali. Kakak tau kalian berdua itu tahan banting, tapi tetep aja jangan main-main di tangga, bahaya ngerti gak?”

“Kakak gak ngomong ke Arki sama Alden aja, ini buat Iro sama Dhito juga. Untung yang jatuh Arazki sama Alden, kalo kalian gimana? Patah tuh kaki.”

Eh? Gimana?

“Ngeri banget, Kak. Iya iya gue minta maaf.” Andeiro menghela nafasnya.

“Hm, maafin gue ya, Kak. Gue gak sengaja dorong lo.”

“Hm.” Alden hanya bergumam. Dan ruangan itu seketika sunyi.

“Lo berdua beneran gak apa-apa? Pusing gak? Arki, Alden, kalo ngerasa ada yang gak enak ngomong aja.” Aristian menatap kedua Adiknya di masing-masing sisinya secara bergantian.

Alden menjawab, “Gak apa-apa.”

Dan Arazki hanya bergumam singkat, “Hm.”

Lalu ruangan itu kembali menghening. Alden menoleh, mengabaikan Aristian yang sedikit menunjukkan raut penasaran dan dua Adiknya yang lain yang mengerutkan kening. Dia menatap pada Arazki.

Arazki yang ternyata memandangnya juga dengan tatapan terkejut.

Tidak, itu bukan Arazki. Di hadapannya itu adalah dirinya sendiri?!

“Anjing?”

Fuck!

“Apa? Apa? Kenapa? Ada apa? Lo berdua ngerasain apa? Ada yang sakit? Di mana?” Aristian sontak berdiri lantaran terkejut dan khawatir.

“Lo—” Tidak menjawab pertanyaan Aristian, Arazki dengan cepat bangkit, energinya menunjukkan seolah dia tidak pernah jatuh dari tangga.

Dia menerjang, mencengkeram kerah seragam Alden.

Atau lebih tepatnya, dirinya sendiri.

“Lo siapa, bangsat!?” Arazki berteriak di depan wajahnya sendiri.

“Lo yang siapa, anjing?” Alden mencekal tangan Arazki, tapi tetap tidak bisa melepaskan cekalan tangan Arazki dari kerahnya.

“Brengsek! Lo pergi sana, anjing!”

“Lo yang pergi, jing!”

“Eh! Udah, stop! Kalian kenapa sih? Jangan bercanda! Stop!” Aristian memisahkan keduanya. Dia menarik Alden yang mencekal Arazki, menjauhkan mereka berdua.

Sementara Andeiro dan Andhito hanya mampu terdiam pada pemandangan itu. Arazki yang tidak berdaya ketika dicekal Alden, itu mengejutkan.

“Tenang, oke? Tenang dulu.” Aristian mendudukkan kembali Alden di ranjang lainnya. Dia menepuk-nepuk pundaknya.

“Lo ... tau gak gue siapa?” Aristian tersenyum menenangkan.

Tapi Alden atau Arazki di sana hanya berdecak dan menepis tangan Aristian dengan kasar. “Maksud lo apa?”

Mendengar Alden bicara dengan penuh penekanan seperti itu, Aristian mengalihkan topik pembicaraannya. “Oke, oke, gak apa-apa, gak usah dijawab. Tenang, oke?”

Dia beralih pada Arazki atau Alden saat ini yang menatap dengan malas dan mendesah jengah.

“Gue gak amnesia.” Dia menjawab pertanyaan Aristian sebelum lelaki itu dapat melontarkan pertanyaannya.

“Oh ... oke.” Aristian merasa sedikit aneh. Mereka berdua seperti bertukar kepribadian.

Apa efek terjatuh di tangga bisa separah ini pada mereka?