Evanescent
“Alden.”
Remaja yang berdiri dengan canggung di depan pintu itu sedikit terkesiap atas panggilan mendadak yang membuyarkan semua lamunannya.
“Kenapa berdiri di situ? Gak mau masuk?”
Alden sedikit melirik ke orang lain yang berada di sana sebelum akhirnya secara perlahan dia maju mendekat karena Aristian terus mendesaknya untuk mendekat.
Lalu di sanalah Alden. Berdiri dengan kikuk dan tidak tahu harus berkata apa, sementara orang yang ingin dia temui juga melakukan hal yang sama.
Sungguh, Alden ingin memukul apa saja asal bisa meredakan kecanggungan yang tidak jelas ini.
“Ki?” Aristian tersenyum pada seseorang yang terus-terusan memandangnya dengan tatapan aneh.
Aristian kemudian beralih pada Alden, dan mengisyaratkannya untuk bicara apa saja pada Arazki. Seperti dia telah menunggu ini sejak lama.
Sementara Alden berjuang keras untuk mengatakan sesuatu, tapi suaranya tercekat di tenggorokan alhasil dia mengurungkan niatnya untuk menyapanya terlebih dahulu.
Tapi Alden sendiri justru tidak nyaman pada tatapan bingung yang dilempar Arazki sejak tadi.
“Hei? Ayo dong ngobrol, gak mau berantem nih? Hahaha.” Aristian tertawa, meski Alden tahu dia tidak benar-benar tertawa.
“Yah, lagian dia mana bisa nonjok gue sih sekarang.” Alden mencoba melawak walau dia tahu leluconnya memang tidak lucu sama sekali. Yah, dia hanya berniat memancing sebenarnya.
Namun daripada membalas lelucon garing Alden dengan umpatan dan hinaan seperti biasanya yang dia lakukan, Arazki justru terus menatapnya seolah-olah dia adalah hal aneh lain yang baru pertama kali dilihatnya.
Melihat itu, seharusnya Alden meledeknya, atau menghina wajah Arazki yang saat ini terlihat seperti orang idiot. Tapi entah kenapa ini malah membuat perasaan Alden semakin tidak karuan.
“Lo ... tau gak?” Alden bertanya tanpa dasar yang jelas sambil cengengesan tidak jelas. Berbanding terbalik dengan perasaan hatinya yang resah.
Namun respon Arazki semakin membuat Alden sadar, yang di hadapannya bukan lagi Arazki.
“Ah....” Alden kemudian diam. Melamun beberapa saat sebelum kemudian dia tiba-tiba merogoh sakunya dan mengeluarkan ponselnya dari sana.
“Oh, bentar, gue ada telepon.” Dia berdiri, berpamitan dengan singkat untuk menjawab panggilannya, kemudian berlalu tanpa repot-repot menunggu jawaban mereka.
Aristian yang tentu saja menyadari sesuatu lantas menyusul dan sebelum itu dia berbicara pada Arazki. “Ki, bentar ya? Entar gue ke sini lagi.”
Dan Arazki hanya mengangguk sebagai jawaban.
“Alden.”
Alden yang sebenarnya tidak menerima panggilan sama sekali hanya diam, tidak menoleh, hanya berdiri di lorong rumah sakit itu dan bersandar di tembok. Dia sudah menduga Aristian akan menyusulnya.
“Tadi Azka kepencet telepon, gapapa ini gue lagi pewe aja,” ujar Alden tiba-tiba yang mana secara otomatis membuat Aristian entah kenapa merasa bersalah.
Dia dekati Alden pelan-pelan, tapi tidak benar-benar mendekat. Hanya berdiri beberapa senti meter di sebelahnya, lalu ikut bersandar ke tembok.
“Gue tau.” Aristian berkata dengan pelan.
Karena itu pula Alden secara refleks tersenyum, tapi bukan senyuman yang ingin Aristian lihat sama sekali.
Lelaki itu menghela nafasnya dengan berat, kemudian menoleh untuk melihat Alden yang menendang-nendang udara, seperti dia tengah mencoba menahan dirinya.
“Al, sebelumnya gue udah bilang, kan, soal Arazki?”
Alden tertawa kecil. Tentu saja, dia juga sudah tahu apa yang terjadi pada Arazki.
Apa yang dia harapkan?
Tapi Alden tidak menduga rasanya akan sesakit ini.
Dia bahkan tidak tahu harus merespon bagaimana.
Sebuah keajaiban karena keduanya bisa selamat dari kecelakaan pesawat beberapa bulan lalu. Seharusnya Alden senang karena Arazki yang nekat melakukan hal bodoh demi dirinya masih bisa membuka matanya sekarang.
Seharusnya Alden senang, dia bahkan tidak dapat membayangkan hidupnya akan seperti apa jika Arazki tidak selamat karena itu, sementara dirinya baik-baik saja di sini, sendirian.
Ini bahkan lebih bagus daripada tidak sama sekali. Tapi kalau hasilnya seperti ini, apa bedanya?
Alden merasakan lututnya melemas dan dia jatuh terduduk di atas lantai yang dingin, dan Aristian dengan panik mendekatinya.
“Gue gak tau harus gimana.” Alden berujar dengan lirih. Dia tidak peduli jika Aristian harus melihat dirinya yang menyedihkan seperti ini.
“Kalo dia bahkan gak tau namanya sendiri, terus gue harus apa?” Alden meremas dadanya yang mendadak terasa sesak.
Arazki memang selamat dari kecelakaan pesawat, tapi seluruh ingatannya tentang hidupnya hilang.
“Gue udah tau endingnya pasti gini. Tapi kenapa gini banget, anjing?” Dia memukul dinding di belakangnya dengan frustrasi.
Aristian memandang adiknya dalam diam, berusaha untuk tidak membiarkan dirinya menangis tapi dia sendiri juga mengerti bagaimana perasaan Alden.
Dia memang sudah menebak bagaimana respon Alden nantinya. Tapi dia tidak tahu Alden akan sehancur ini.
Baru kali ini Aristian benar-benar kehilangan semua kata-katanya sehingga yang bisa dia lakukan hanya berusaha tersenyum. Dia tarik Alden ke dalam pelukannya, meski dia yakin ini bahkan tidak cukup untuk meyakinkan dirinya bahwa semuanya baik-baik saja.
Karena ini bahkan tidak akan menjadi baik-baik saja.
***
“Lo takut mati gak?”
“Lo sendiri gimana?”
“Gak tau, sih. Gue belum siap aja soalnya dosa gue masih banyak.”
“Syahadat aja sekarang.”
“Gue banyak dosa bukan murtad, anjng!”
“Anyway, gue nanya sama lo ya, njing!”
Daripada menjawabnya, dia justru tersenyum. Dialihkannya pandangannya ke jendela, mungkin berharap seseorang di sebelahnya tidak melihat ekspresinya saat ini.
“Gue gak tau.”
“Tapi gue lebih takut kalo lo yang mati.”
Alden terbangun dari tidurnya dalam keadaan terkejut dan panik tanpa alasan. Keringat dingin membasahi pelipisnya dan Alden mengumpati mimpi yang sama untuk yang kesekian kalinya.
Alden meminum air dari gelas di atas nakas dengan terburu-buru, dia melirik ke laci, memutuskan untuk mengambil sesuatu dari sana dan tidur tanpa harus terganggu oleh bunga tidur busuk satu itu.
Tapi kemudian setelah berhasil menjernihkan pikirannya, dia menghela nafasnya dengan lelah.
“Kenapa....” Alden tidak tahu kemana arah pertanyaan itu, jadi dia memutuskan untuk menghentikan kalimatnya di ujung lidah lalu memutuskan untuk beranjak dan keluar mencari udara segar.
Dilihatnya jam yang tertera di layar ponselnya, pukul sebelas malam. Dan rumah ini seharusnya sudah sepi karena kebanyakan dari mereka sudah tidur.
Alden seharusnya menjadi salah satunya, tapi karena mimpi sialan yang terus-terusan menghantuinya, dia jadi harus terbangun lagi dan lagi.
Sejujurnya ini melelahkan, tapi dia harus belajar keluar dari bergantung dengan obat-obatan itu. Faktanya, mengonsumsi itu bahkan lebih melelahkan.
Alden keluar dari kamarnya dan menutup pintu kamarnya kemudian menoleh ke samping ketika menyadari bahwa seseorang dari kamar di sebelahnya secara kebetulan juga tengah melakukan hal yang sama.
Arazki memang sudah diperbolehkan pulang dari beberapa minggu yang lalu, tapi keduanya bahkan tidak saling menyapa sedikitpun sejak saat itu.
Mungkin sudah terhitung satu bulan, dan Alden tidak ingat pembicaraan apa yang terakhir kali mereka lakukan selain di rumah sakit. Itu juga hanya,
“Gue Alden, kalo lo pengen tau. Gak penting, sih, tapi gue ngasih tau aja biar lo gak bingung nanti liat gue bisa ada di rumah terus.”
“Iya, gue udah tau.”
“Oh gitu. Ya udah.”
Kemudian Alden dan Arazki tidak berbicara lagi.
tapi Alden sadar, ini semua terjadi karena Alden sendiri yang lebih banyak melarikan diri setiap kali melihat Arazki.
Jujur, Alden merasa kasihan pada dirinya sendiri.
Dia melihat Arazki juga memandangnya, tapi tidak mengatakan sepatah katapun dan Alden tidak mengharapkan Arazki akan berbicara padanya.
Jadi Alden berniat pergi begitu saja, seperti yang biasa dia lakukan akhir-akhir ini.
“Mau kemana?”
Alden tidak akan pernah percaya bahwa pertanyaan itu akan keluar dari mulut Arazki, tidak sampai dia mendengarnya sendiri kali ini.
“Bawah, sih.”
“Pergi?”
“Iya.”
Arazki hanya bergumam sebagai tanggapan, dan percakapan berakhir di sana.
Alden akan tertawa jika ini Arazki yang ingatannya masih sama. Tapi nyatanya, kecanggungan ini benar-benar akan membunuhnya.
Tapi Alden memutuskan untuk bertanya, “Lo kenapa belum tidur?”
“Kebangun.”
“Oh.”
Alden merasa menyesal sudah melanjutkan percakapan yang miris ini.
Dipikir-pikir, ini adalah kali pertama Alden berbicara dengan Arazki, setelah saat itu. Arazki yang belum tentu mengenali dirinya.
“Ya udah, gue pergi dulu.”
Alden memutuskan untuk pergi dan melanjutkan niat awalnya mencari udara segar.
Tapi lagi-lagi Arazki menahan dirinya, kali ini dengan kalimat,
“Lo ngehindarin gue kah?”
Alden tidak tahu harus tertawa untuk dirinya sendiri atau pada pertanyaan Arazki.
Dia akhirnya berbalik, kali ini memberanikan diri untuk berbalik dan memandang Arazki secara langsung.
Melihat Arazki yang menatap dirinya dengan tatapan putus asa, tapi Alden sendiri tidak yakin apakah Arazki sendiri mengerti kenapa dia harus merasa seperti itu.
“Gak, ngapain gue ngehindarin lo?”
“Gue ... gak tau.”
Alden sedikit tertawa. “Kenapa lo bisa mikir gue ngejauhin lo?”
“Hmm.” Arazki hanya bergumam panjang sembari mengalihkan pandangannya ke arah lain.
Kebiasaannya masih sama, tapi ini masih bukan Arazki yang Alden kenal.
“Ya udah kalo gak tau.”
Alden berdecih di dalam hatinya pada kalimatnya sendiri dan berpikir seharusnya dia tidak bicara seperti itu karena sekarang, pembicaraan mereka lagi-lagi berakhir begitu saja.
Namun karena Alden tidak ingin pusing memikirkan hal seperti ini, dia akhirnya menghela nafasnya. “Udahlah, gue mau keluar. Gak usah pikirin kata-kata gue, gue juga gak ngehindarin lo. Gue emang begini dari sananya. Jadi yaudah aja.”
Alden lantas berbalik dan dia tidak tahu untuk apa dia melambaikan tangannya. Tapi sekali lagi, dia tidak peduli.
“Alden.”
Alden berhenti, hanya saja dia tidak berbalik. Hanya diam menunggu Arazki sampai dia tahu bahwa Arazki tidak berniat melanjutkan pembicarannya.
Jadi Alden harus menghela nafasnya sekali lagi. “Mau keluar?”
Alden mengucapkan itu secara spontan. Tapi jujur, sekarang dia menyesali kata-katanya sendiri.
Terlebih sekarang di sinilah mereka. Alden berjuang sendiri setelah dia mendorong motornya keluar dari garasi dan menghidupkan mesin motornya di depan gerbang, seperti seorang penyusup.
Sementara Arazki hanya diam menunggu sampai Alden menyuruhnya naik ke motornya.
“Bentar.”
Alden turun lagi dari motornya. Dia melepas jaketnya, memberikannya secara cuma-cuma pada Arazki yang hanya memakai kaos dan celana pendek.
“Biar gue gak dimarahin abang lo ya bawa lo malem malem kayak gini.”
“Siapa?”
“Ya Bang Aksa tuh, lo pikir siapa lagi?”
“Tapi dia diem aja.”
Alden tersenyum miring tanpa sebab. “Lo sih gak tau aja ... Ah anjir, jadi keluar gak sih?”
“Jadi.”
“Ya udah naik.”
“Terus lo gak pake?”
“Apa?”
“Jaket.”
“Duh gue mager banget balik lagi ke dalem buat ambil jaket doang. Lo aja dah yang pake, lagian gue gini doang mah udah biasa.”
“Hm.”
Biasanya Arazki akan melempar jaket itu ke tanah lalu menginjaknya sambil mengatakan, “Impas.” Dengan wajah menyebalkan.
Lalu dia tinggal membalas, “Bangsat lo! Jaket gue, anjing!”
Tapi ya sudahlah. Bagus juga kalau tidak melawan. Meski iya agak sedih dikit liatnya.
Alden kemudian melajukan motornya setelah dia berhasil mendorong pagar tanpa menimbulkan bunyi melengking yang bisa membangunkan satpam komplek.
Dia ingin sekali bercerita tentang semua hal yang dia alami selama ini pada Arazki yang diboncengnya, namun dia tidak yakin Arazki akan nyambung dengan perkataannya.
“Lo tuh dulu suka banget nongkrong di situ.” Alden merujuk pada danau di yang mereka lewati.
“Di danau?”
“Di pinggirnya, anjing!”
Arazki hanya bergumam. Dia tidak akan ingat.
“Ngelamunin apa gue juga gak tau. Ngeliatin danau. Gue sih takut aja lo malah tiba-tiba nyemplung ke sana gara-gara galauin cewek. Gue kasian sama tim SAR nya aja sih.”
“Kenapa? Gue suka berenang di situ?”
“Gak gitu, anjing! Ini gue lagi ngeledek lo! Ah, dahlah.”
Kemudian kembali hening. Alden membiarkan saja keduanya larut dalam pikiran masing, sementara telinganya hanya mendengar deru motornya sendiri.
Sampai Arazki tiba-tiba bertanya, “Ini mau kemana?”
“Coba tebak.”
Arazki kemudian diam, seperti sedang mencari jawabannya sendiri, tapi Alden tidak yakin orang ini bahkan akan mendapatkan sedikit petunjuk untuk menjawab pertanyaan konyolnya.
Karena tidak adanya jawaban, Alden sedikit tertawa yang mana justru terdengar menyedihkan. Yah, dia sendiri sadar kalau dia memang patut dikasihani.
Alden kemudian tidak berbicara apapun lagi. Membiarkan saja keduanya larut dalam pikiran masing-masing.
Karena dia semakin sadar, mau bagaimanapun juga, bicara apapun juga, semuanya tidak akan lagi sama.
Arazki tidak akan mengerti sama sekali.