Darkizhit

#1

Tap!

“Distrik 1 bersih. Tidak ada tanda-tanda apapun akan kehadiran mereka.” Gadis berambut panjang hitam legam itu dengan mudahnya berkata setelah mendaratkan kakinya dari atas loteng sebuah rumah.

Mendengar pernyataan itu, gadis yang didominasi oleh warna hitam dan putih itu melirikkan iris aquamarine-nya. “Tian,” ujarnya singkat.

Yang ditanya menganggukkan kepala, mengerti. “Jawabanku sama, semuanya bersih.”

Jawaban itu membuat keempat gadis di sana terdiam.

“Hm, bukankah ini aneh?” Zuu bergumam pelan namun masih bisa ditangkap dengan jelas oleh indera pendengeran. “Kita mundur dulu?” tanyanya kemudian.

“Aku rasa ini salah satu tipu muslihat mereka,” ujar Tian pelan.

Sementara itu, Alya selaku pemimpin mereka menghela nafasnya lalu menyandarkan tubuhnya ke salah satu bangunan dan melipat tangannya di depan dada. “Kita tidak akan mundur.”

Iris merah Namie mendelik. “Lalu, apa yang mau kau lakukan?”

Alya berdiri tegak. Bibirnya membentuk senyum kecil, yang jika dilihat di tengah kegelapan seperti ini, nampak seperti sebuah seringai.

“Bagaimana kalau kali ini, kita yang maju?”


BRAK!

Tubuh itu terbanting dengan kerasnya ke atas tanah. Si empunya meringis kesakitan. Hanya sejenak dia diberikan waktu untuk mengambil nafas, dia kembali merasakan tubuhnya tertarik ke atas hingga kakinya tak lagi menapak.

Dan sepersekian detik kemudian, tubuh itu kembali terbanting sangat keras.

“Ki, kamu banting dia, dia malah keenakan.” Seorang gadis berambut twintail menyahut santai. Namun dari kalimatnya, ada sedikit rasa iba yang dia tujukan pada rekan sepernistaannya itu. 

Setelahnya kalimat itu terlontar, Iiro berhenti dibanting oleh Arki. Dia dilempar ke arah dua iblis yang sedari tadi diam menyaksikan teman mereka dibanting berkali-kali.

Iiro tersungkur di depan Nad. Dan Nad refleks membantunya berdiri. “Ro, enak gak?”

“Rasa odading Mang Oleh,” jawab Iiro. Dia berdiri dengan tegak setelah dibantu Nad, seolah rasa sakit setelah dibanting itu tidak ada.

Karena iblis itu mati rasa.

“Lumayan, sih,” ringis Iiro, kemudian terduduk. Lumayan sakit iya.

Arki menghela nafasnya. Dia duduk di kursinya, menyilangkan kakinya kemudian memijat batang hidungnya. Dia menggeram frustrasi.

Dan Iiro yang mendengar geraman itu kembali berdiri dan mendekati Arki. “Oh, ayolah, Arki. Kita cuma kecolongan satu kesempatan.”

Lirikan tajam dari iris zamrud itu menghentikan langkah Iiro. “Ini gara-gara kau!”

“Apa? Kenapa aku? Salahin tuh kenapa portal buatanmu selemah itu—”

“Woah, bercanda, kapten! Neraka sudah panas, jangan ditambah lagi!” Iiro cepat-cepat memotong kalimatnya sendiri lantaran merasakan hawa tak mengenakkan dari hadapannya.

“Cih, brengsek.” Arki mengumpat pelan. Dia menopang kepalanya di atas telapak tangan lalu menghela kasar.

Tita yang sedari tadi terdiam merasa iba. Sebetulnya dia sebisa mungkin menekan perasaan itu, tapi mau bagaimana lagi? Perasaan itu datang sendiri.

“Dia tidak akan bisa masuk ke sini sebelum melewati alam dunia,” ujar Tita. Dia berhenti sejenak memberi jeda. “Tapi bagi dia yang berani menentang surga, melewati alam dunia tidak akan sulit.”

“Intinya kita masih punya waktu, kan?” celetuk Nad, sengaja dengan suara cempreng.

“Tuh! Dengerin! Jangan bisa-bisanya marah mulu! Udah bagus mukamu datar aja, gak usah ditekuk lagi!” Dan Iiro ikut-ikutan memanasi.

Sementara Arki, entah mendengar atau tidak, matanya nampak menerawang jauh, memikirkan sesuatu. Mengabaikan perdebatan kecil di hadapannya.

Setelah beberapa saat terdiam, Arki kemudian buka suara. “Iiro.”

“Ya?” Iiro refleks menyahut sopan.

Namun Arki tak kunjung bicara. Membuat Iiro mau tak mau harus terus menatap ke arah mata yang terus menyorot ke arahnya.

Dan perasaannya mendadak tidak enak.


“Yak, yakin nih?” Untuk yang ke sekian kalinya, Zuu melontarkan kalimat itu.

Membuat si empunya nama mendesah jengah sembari memutar bola matanya. Malas menjawab, jadi dia mengabaikannya.

Please, sejak kapan lingkaran setan bisa jadi ritual pemanggilan iblis?” Lagi, Zuu mengeluh lagi.

“Yang nyaranin main jelangkung, gak usah sok keras!” tegas Alya.

“Ya gak gini juga!” Zuu frutrasi. Alya menggedikkan bahu, dan kembali melanjutkan kegiatan membaca ponsel dimana di sana tertera mantra-mantra aneh yang dia cari di internet.

Intinya kalau di tengah ritual ini ada yang kesurupan, Alya ngorbanin Zuu sebagai tumbal.

“Udah selesai nih!” Namie mengalihkan perhatiannya.

Alya kemudian menoleh ke arah Tian. Dan Tian yang melihat itu seolah mengerti kemudian mendekati gambaran yang baru saja dilukis di dinding oleh Namie.

“Tian tau mantranya?” tanya Zuu.

Tian mengangguk sembari tersenyum. Dia lantas fokus pada lingkaran bersekte iluminati, kemudian mulai membuka mulutnya.

“Bismillah, lingsir wengi.”

“CUKUP, MAK! CUKUP!”

Zuu nampak semakin tertekan. Alya mau ketawa tapi gengsi, maka gak jadi. Dan Namie sama sekali tidak peduli.

“Gambarnya bagus.”

Sementara Tian terkejut dengan kehadiran suara yang tiba-tiba muncul dari sampingnya. Karena ilmu bela diri yang dia pelajari dari gurunya yang latah, maka Tian refleks melemparkan kepalan tangannya.

Perisai kecilpun refleks terbentuk sesaat setelah Tian melayangkan pukulannya. “Oh, wow! Ini pasti sakit.”

“Dia iblis!” pekik Zuu, membuat kedua temannya yang lain refleks mengeluarkan senjata mereka dan pasang ancang-ancang untuk melemparkan serangan.

Iblis bersurai cokelat pendek itu terkepung. Namun dia masih terlihat tenang dengan memasang senyum santai di wajahnya. “Namaku Iiro, izinkan aku bica—”

Belum selesai dia bicara, sebuah belati terhunus, hendak menusuknya. Tapi dia bisa menghindar. Dan di saat bersamaan, dua buah peluru menuju ke arahnya. Namun lagi-lagi, dia bisa menghindarinya.

Semua senjata yang terarah padanya benar-benar dirancang khusus. Iiro bisa merasakannya, dia tahu itu, keempat orang ini bukan manusia biasa.

Dan Iiro menyukai saat-saat terkepung seperti ini. Memacu adrenalinnya.

Merasa bahwa dia benar-benar dipojokkan, iblis itu akhirnya melawan balik.

“Kalian menyenangkan, jadi temanku yuk?” Dia tersenyum lebar. Energi negatif ditekan begitu kuat di sekitarnya.

Dengan begitu Alya tahu, iblis ini akan melemparkan serangan besar. Gadis itupun menggenggam pedangnya kuat, kemudian maju menerjang.

“HOI! JANGAN GILA!” Zuu hendak menahan namun terlambat.

Alya bersiap menebas. Namun saat kakinya menyentuh langkah ke-dua belas, gadis itu terpental, begitu pula dengan teman-temannya yang lain.

Mereka dilempar oleh energi yang sedari tadi ditekan iblis itu.

“Ah maaf, terkadang aku lupa cara menekan kekuatanku sendiri saat sedang senang. Ayo main lagi, yang ini aku gak bakal kelepasan kok!”

Alya meringis menahan sakit di punggungnya akibat menabrak dinding. Dia menggeram lalu menggenggam pedangnya.

Selama misi, mereka belum pernah bertemu iblis dengan aura negatif sepekat ini. Apakah dia bisa disebut raja iblis? Alya yakin, iblis ini adalah pemimpin setan-setan itu.

Tapi untuk apa seorang king demon keluar dari zona nyamanya?

Alya berdecak. Dia kembali bangkit, mengabaikan rasa sakit di tubuhnya. Dia menggenggam kuat pedangnya dan memasang kuda-kuda untuk menebas.

“Enyahlah, brengsek!” ujar Alya, dan dia kembali menerjang.

Iiro tersenyum. Energi negatif kembali ditekan, dan Alya bisa merasakan oksigen di sekitarnya menipis seiring dia mendekati iblis itu. Namun dia tidak gentar.

Dan senyum Iiro semakin melebar. “AYO DATANG PADAKU MANU-”

JEDAR!

Alya belum sampai dalam radiusnya untuk memberikan serangan, namun iblis itu sudah terpental jauh ke belakang.

“Maaf Iiro, disuruh Papa.”

Suara lain menyahut setelahnya, membuat ketiga gadis di sana termasuk Alya menengadahkan kepala. Dan nampaklah seorang gadis berperawakan bocah SMP tengah duduk manis di salah satu balkon rumah-rumah itu.

Alya mengernyitkan dahinya. Iblis lain? Tapi kenapa dia malah menyerang sebangsanya sendiri?

“Sialan!” umpat Iiro. Kali ini dia merasakan seluruh tubuhnya nyaris mati rasa.

Alya yang melihat Iiro kesulitan bergerak pun tak ingin membuang kesempatan. Dia menggenggam erat pedangnya kemudian maju untuk menyerang.

Hingga sampai di hadapannya, dia mengangkat pedangnya setinggi mungkin.

Sring!

Namun lagi-lagi, mata pedangnya tak mencapai sasarannya.

“Iiro, apa kau berniat menentang neraka?”

Alya membelalakkan matanya kemudian menarik pedangnya dan melompat mundur begitu merasakan aura dari orang yang menangkis serangan pedangnya.

“Jangan seenaknya bicara, Titan! Fitnah lebih kejam daripada pemimpin neraka! Aku tidak segila Lucifer!” omel Iiro, pada gadis yang membentangkan beberapa helai benang di hadapannya.

“Maaf, cuma curiga,” jawab Tita.

“FITNAH ITU!”

Alya yang berdiri di garis depan memperhatikan dengan aneh perdebatan itu.

Tepukan di bahunya kemudian mengalihkan perhatiannya. Dia refleks menoleh ke belakang, dan mendapati Zuu, juga kedua temannya yang lain sudah berdiri di belakangnya.

“Kita habisi,” ujar Zuu, sembari menatap tajam kedua iblis yang berdiri di hadapan mereka, dan bersiap mengangkat pistolnya.

Alya berpikir sejenak. Menurutnya, ini akan mustahil. Mereka berempat sudah dikepung tiga iblis yang dia sendiri tidak tahu, apakah mereka saling berteman atau bermusuhan.

Tapi jika memilih mundur pun, sama-sama tidak ada untungnya buat mereka.

Alya berdecak. Mati karena menyerang, atau mati karena mundur? Tentu saja dia ambil pilihan bodoh yang pertama.

“Hei, manusia-manusia tolol.”

Kalimat menyebalkan itu menyahut bersama dengan datangnya aura dingin yang entah kenapa membuat dirinya dan ketiga rekan-rekannya membeku. Dalam artian, mereka kesulitan bergerak bahkan untuk sekadar menolehkan kepala.

Alya pun berdecih, memaki dalam hati. Merutuki seluruh sistem sarafnya yang tiba-tiba kaku, membuatnya benar-benar tidak bisa bergerak.

“Dengarkan aku bicara.”

Aura yang terus mendekat ini seolah menundukkan mereka.

Alya seharusnya mengatakan ini sejak tadi. Sebenarnya dia sadar, mereka berempat terseret bahaya.