Darkizhit

— 光 —

Arki tidak pernah punya teman. Tidak pernah memiliki seseorang yang bisa dia panggil untuk menghabiskan waktu, untuk bersenang-senang. Setiap hubungan yang dia miliki selalu didasarkan pada harapan dan keuntungan.

Maksudnya, siapa juga yang mau berteman dengan seseorang yang punya kekurangan?

Itu semua karena saat itu. Arki, pewaris tunggal kelompok Adlantha yang bergengsi menjadi bisu setelah dia mengalami kecelakaan yang sengaja dimanipulasi oleh seseorang.

Dan karena insiden itu, tepatnya, Arki kehilangan kedua orang tuanya pada usia sepuluh tahun.

Dia tidak beruntung sama sekali.

Dan karena itulah, Arki berusaha untuk tidak terlalu memikirkan kecacatannya. Tentang bagaimana dia tidak akan pernah memiliki suaranya sendiri lagi. Meskipun dia mengatakan pada dirinya sendiri bahwa dia tidak terlalu peduli, tetapi terkadang dia merasa keadaan itu merepotkan.

“Arki!”

Kemudian dia bertemu dengan anak berisik yang menjengkelkan.


“Arki, aku datang lebih dulu daripada kamu!”

'Arki, Arki, Arki.' Secara harfiah, itu seharusnya mengganggunya. Tapi Arki tidak pernah menyangka Alya akan menjadi bagian penting dalam hidupnya.

Keduanya selalu berselisih satu sama lain sejak mereka bertemu.

Tetapi dengan berlalunya hari dan semua kegiatan yang mereka lakukan bersama di setiap pertemuan, mereka berdua semakin dekat. Entah bagaimana.

Alya tidak memperlakukan Arki seperti gangguan. Sebaliknya, dia memperlakukan Arki secara pribadi, bukan karena nama Adlantha-nya. Tidak mengasihani dia atau mengolok-olok dia di belakang punggungnya.

Juga adalah seseorang yang memojokkan seorang anak kelas dari angkatan di atasnya, yang mengatakan tentang bagaimana “Anak cacat sepertimu seharusnya tidak sekolah di sini!”

Arki menutup mata untuk itu. Dia tahu akan selalu ada orang seperti ini. Dia sudah terbiasa dengan itu semua.

“Terus kenapa?”

Arki menoleh cepat dan melihat bagaimana si rambut cokelat pasir mengerutkan dahinya, menarik kerah laki-laki itu, sementara jarinya yang terlipat menodong seperti sebuah pistol.

Alya lalu menjawa lantang, “Dia mungkin punya kekurangan, tapi usaha yang dia lakukan bahkan jauh lebih baik dari apapun yang kalian semua lakukan!”

Dengan mengatupkan giginya, mata bersinar dengan tajam pada anak-anak itu, sementara Arki menyaksikan dari samping bagaimana ekspresi ketakutan tercetak jelas di wajah mereka, dan keyakinan di wajah gadis ini.

Arki belum pernah bertemu orang orang yang membelanya seperti itu.

Ketika akhirnya orang-orang itu pergi, gadis berkuncir dua itu menghela nafasnya. Dia berbalik, menatap Arki yang hanya bergeming kepadanya.

“Aku keren, kan?” Alya berucap sembari menepuk dadanya sendiri dengan bangga. “Aku lihat ini semalem di Tv tau! Dia nodongin pistolnya, terus berdiri di depan temannya, ngelindungin teman baiknya! Kayak gini!”

Melihat Alya memperagakan karakter yang dibicarakannya dengan binaran di matanya, mata Arki berputar jengah, dan dia hanya berdengung pelan tidak peduli.

“Kamu seharusnya jangan diam aja kayak orang bodoh!”

Ah, itu kalimat ironis yang menyinggung perasaannya.

Arki secara naluriah akan mengabaikan kalimat itu. Berpikir dia tahu bahwa sebenarnya itu tidak berniat untuk mengejek dirinya, karena itu memang faktanya. Dia diam karena tidak bisa bicara.

Benar juga, kenapa dia bisa lupa? Pada akhirnya, semua kembali ke awal, bahwa mereka semua tetap akan merasa aneh pada 'hening'nya yang seperti seorang pecundang.

Arki menghela nafasnya kemudian bola matanya bergulir ke bawah, ke saku roknya, meraih sesuatu dari dalam sana. Lalu mengeluarkan sesuatu itu dan menyerahkannya pada gadis di hadapannya dalam diam.

Dia sudah memperkirakan waktu ini akan tiba.

“Kamu emang suka bawa uang sebanyak ini?! Untuk apa ini?”

Arki mengerutkan kening. Bukankah dia selama ini melakukannya karena menginginkan ini?

Itu faktanya, kan? Tidak ada yang ingin berhubungan dengan orang cacat seperti dia jika mereka tidak akan mendapatkan keuntungan sebagai balasannya.

Dan sekarang sudah waktunya untuk 'membalas', kan?

“Loh, tunggu! Ini kamu bayar aku?”

Arki tersentak ketika mendengar suara cempreng itu begitu penuh tekanan. Dia mendongak, hanya untuk melihat sorot mata penuh kekecewaan dan kemarahan di sana.

Arki otomatis mengkoreksi diri. Apakah dia melakukan kesalahan?

“Kamu jangan bodoh gitu dong! Aku juga punya uang, walau nggak sebanyak punya kamu.”

“Terus juga kamu seharusnya pukul mereka, kayak yang di film action di Tv aku semalam! Aku tahu, kamu anak karate, kan? Itu keren! Kenapa kamu diam aja?”

Memukul mereka? Oh tunggu, dia tidak berniat mengejeknya?

Arki menatap diam pada dia yang menampakkan senyum bodoh. Arki tak habis pikir dengan apa ini sebenarnya. Apa yang diharapkan orang ini padanya sebenarnya?

Dia benar-benar susah ditebak.

Saat orang-orang lainnya biasanya akan membiarkannya begitu saja.

Alya berbeda.

Alya akan memarahinya untuk menjaga dirinya lebih baik. Untuk tidak tinggal begitu terlambat. Untuk tidak selalu terkubur dalam kesibukannya.

Dan bahkan jika Arki tidak mendengarkannya, Alya akan ada di sana, duduk di kursi yang sudah ditariknya ke sebelahnya, dan menunggunya.

Itu membuat Arki kesal tanpa akhir.

Tidak seorangpun menikmati menghabiskan waktu bersamanya. Tidak seorangpun tahan duduk lama di sebelahnya. Lalu kenapa dia bisa?

Saat kemudian Arki menghadapinya dengan mengatakan untuk tidak bersikap demikian hanya karena kasihan, Alya akan menggedikkan bahu dan mengatakan, “Ini bukan belas kasihan. Aku suka mengganggumu saja.”

Dan di situlah Arki diam. Kembali mengabaikan Alya yang terus mengoceh sambil menampilkan senyum bodohnya.

Arki juga kadang memperhatikan bagaimana Alya, datang lebih dulu di kelas. Lalu fokus pada ponsel dengan tangan bergerak-gerak mencoba menyusun sebuah kalimat dalam bahasa isyarat.

Dan ketika Arki berpura-pura mengetuk pintu, atau melakukan apapun yang menarik perhatian, Alya akan tersenyum kikuk dan menyimpan ponselnya ke bawah kolong meja lalu mengajaknya bicara.

Arki tahu Alya sengaja mempelajari bahasa isyarat karena mereka sadar, tidak bisa selalu bergantung pada kertas dan bolpoin atau ponsel untuk berkomunikasi.

Ada perasaan tidak enak ketika Arki memikirkan bagaimana repotnya Alya terpaksa harus mempelajari bahasa isyarat itu untuknya. Tapi ketika dia bertanya, Alya menjawabnya sambil tertawa.

“Aku belajar bukan buat kamu tuh!”

Kalimat itu membuat wajahnya panas dan Arki mendengus. Lalu setelah itu dia memutuskan untuk mendiamkan Alya yang terus mengoceh meminta maaf, dan sempat meminta contekan padanya.

Itu praktis menyebalkan, tapi Arki membiarkannya saja, terus seperti itu, karena dia tidak keberatan.


Semuanya berubah setelah Arki tak sengaja mendengar percakapan yang dia dengar saat dia melewati wilayah kelas lain.

“Alya itu, bodoh, kan?”

“Dia mau temenan sama anak bisu, padahal dia bisa dapat lebih banyak teman yang normal.”

“Kasihan ya?”

Arki otomatis tersenyum tipis. Dia pergi dari sana, dan kalimat itu dengan jelas berdengung di kepalanya, seperti alunan sirine yang membuat paru-parunya terasa ditarik ke perutnya.

Sepertinya dia akhirnya sampai di suatu tempat. Pengakhiran.

Dan setelah itu, Arki akhirnya memutuskan untuk membuat jarak. Menutup diri dari Alya sepenuhnya. Tidak memberitahunya apapun tentang alasan mengapa dia begitu tertutup selama beberapa minggu terakhir.

Bahkan ketika Alya mendesaknya untuk memberitahunya apa yang mengganggu dirinya, Arki tetap keras kepala dan menutup bibirnya.

Arki bukannya enggan namun dia percaya bahwa dengan cara ini dia melindungi Alya.

Alya tidak perlu tahu masa lalu temannya yang bermasalah ini dan akibat keadaannya yang seperti ini Alya jadi kena getahnya.

Lebih baik begini saja.


“Kamu seharusnya menjauh dari sini!”

Semuanya berubah buruk ketika Arki tiba-tiba diseret dan dibawa melewati lorong-lorong sekolah, lalu dipaksa masuk dan didorong ke dalam toilet di ujung koridor yang sepi, sudah tak dipakai lagi.

Arki otomatis meringis ketika salah satu dari mereka yang berdiri di belakangnya menarik rambutnya, memaksa kepalanya untuk menengadah.

“Alya seharusnya nggak temenan sama kamu.”

“Kamu cuma orang bisu, cacat, nggak normal. Nggak seharusnya bahagia.”

Arki mencengkeram tangan yang menarik rambutnya. Kata-kata itu bergema di telinganya, membuat oksigen di paru-parunya bergemuruh di dalam dadanya.

“Kamu seharusnya jangan diam aja kayak orang bodoh!”

Suara cempreng yang menyebalkan itu membuat mata Arki berkilat. Dia mengatupkan mulutnya. Kemarahan, kekesalan, rasa jengkel, berkumpul menjadi satu di dalam dadanya menjadi sebuah perasaan sesak.

Dan karena itulah, Arki memelintir tangan orang yang menjambak rambutnya, lalu mendorong tubuhnya kencang.

Kemudian salah satu dari mereka berteriak murka, mengatakan dengan lantang bahwa dia tidak pantas hidup di sana, berteman dengan Alya yang naif dan memanfaatkan kebaikannya.

“Emang apa hak kalian ngelarang aku?”

Mata Arki membulat melihat siluet seseorang yang dikenalnya berdiri tak jauh darinya dengan wajah ditekuk dan tangan terlipat di depan dada. “Aku teman Arki, dan aku sendiri yang pilih dia jadi temanku.”

Dan ketika matanya bertemu pandang dengan iris biru kristal itu, orang itu tersenyum. Mendekat, membelah gerombolan itu lalu menarik tangan Arki.

“Arki itu temanku.” Lalu pergi menariknya dari sana.

Dan Arki hanya diam. Berpikir setelah semua ini, mengapa Alya masih begitu peduli padanya bahkan setelah sekian lama?

Alya seharusnya meninggalkan seseorang seperti dia. Tetapi bahkan setelah melalui semua ini, Arki melihat Alya mengatakan kepadanya bahwa dia percaya padanya.

Dia bahkan masih memanggil dirinya teman.


“Kamu jauhin aku karena mereka ya?”

Setelah dirinya menyeret Arki ke belakang sekolah, tempat mereka biasa bermain menghabiskan waktu, Alya bertanya mengapa Arki tidak memberitahunya apapun tentang masalahnya.

Tidak pernah memberi tahu siapapun, untuk bisa sedikit meringankan bebannya. Bahwa dia tidak harus melalui semua omong kosong ini sendirian.

Dia juga mengatakan betapa marahnya dia karena Arki mendadak menjauhinya dan mengabaikannya. Marah tentang bagaimana Arki menempatkan dirinya untuk masalahnya sendirian. Gila karena dia sangat peduli sehingga menyakitkan.

Ketika Arki bertemu mata dengan Alya, dia melihat sekilas bagaimana Alya di masa lalunya. Yang terbiasa merasa kecil dan kurang percaya diri. Orang yang selalu merasa bahwa dia tidak berguna dan hanya malapetaka.

Dia tahu ini karena Alya telah berbagi masa lalu dan masalahnya.

Dan saat ini, sudah waktunya bagi Arki untuk melakukan hal yang sama.

Arki mundur dan menjelaskan tentang dirinya sendiri. Tentang bagaimana dia hanya ingin Alya lepas dari cemoohan. Tentang bagaimana dia ingin Alya berteman dengan seseorang yang 'sama' dengannya.

Tangan Alya otomatis terangkat untuk meraih tangan Arki, menghentikannya. Dan Alya memberitahunya bahwa dia mengerti. Dia memberitahu bahwa dia melihat maksud baik Arki.

“Tapi karena kita teman, seharusnya kita jalanin sama-sama! Kita teman, kan?! Kita teman—”

“Alya.”

Suara kecil itu membuat nafas Alya tercekat dan matanya melebar karena terkejut. Semua kata-katanya tertelan begitu saja di tenggorokkan ketika Arki menatapnya dengan pandangan lurus.

Arki pernah memimpikan bagaimana kehidupannya jika suaranya normal. Bagaimana suaranya jika itu tidak hilang. Dan bagaimana nada bicaranya jika dia memanggil nama seseorang, menyatakan betapa menjengkelkannya orang itu.

Dan Arki ingin dia mendengarnya.

“Kita ... teman, dasar ... bo-doh.”

Suara itu, jelas tegang dan sangat kesakitan. Tapi Arki tidak peduli. Meski ini tidak sempurna, dia tidak peduli. Dia ingin memberitahu seberapa penting dirinya.

Jadi dia mendorong, untuk memberi tahu yang lain sebelum Alya bisa menyelanya.

“Alya—” Namun suara Arki pecah, tidak mampu melanjutkan. Rasanya seperti semuanya sakit, seolah-olah rasa sakit dari tenggorokannya menyebar ke seluruh tubuhnya.

Tapi itu belum cukup. Arki ingin mengatakannya lagi.

“Aku tau!” Alya memotong dirinya yang hendak berbicara lagi dengan suara tinggi. Menggenggam pergelangan tangannya, dan itu membuat Arki mengerjapkan matanya.

Alya menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya perlahan. Menatap Arki dengan sorot mata penuh tekad, dan sangat intens.

Lalu tiba-tiba dia tertawa terbahak-bahak.

Arki sontak menaikkan satu alisnya, bertanya-tanya apa yang lucu. Namun Alya menggelengkan kepala dan lanjut tertawa, sampai dia kemudian mengusap sudut matanya yang mengeluarkan air mata karena geli.

“Suaranya beneran punya kamu, Ki.”

Arki terdiam, terlihat memproses kalimat itu. Lalu setelah beberapa saat bungkam, dia akhirnya membelalakkan matanya dan wajahnya memerah sempurna. Menangkap perkataan Alya.

Alya tentu saja melihat itu, dan dia tertawa lagi dengan kencang.

Arki sontak menundukkan kepala dan tangannya mengepal di samping badan. Melihat bagaimana mulutnya mengatup rapat dan tatapannya berubah walau wajahnya masih jelas nampak memerah, Alya berhenti tertawa. “Eh?”

Saat itu dia akhirnya merasakan bagaimana dipukul di perut oleh Arki yang sedang memerah. Alya tak akan melupakan ini.

Ya, sudah seharusnya itu memang seperti itu.

#6

“Aku bersumpah kau akan terbunuh di tangan Lucifer, King Byleth.”

Caim menarik kedua sudut bibirnya ke atas ketika merasakan cengkeraman di rambutnya sedikit mengendur.

Dia menyeringai, begitu matanya menangkap perubahan ekspresi di wajah itu.

“Oh? Bilang apa?”

Caim berjengit dan berteriak kaget ketika merasakan tangan lain yang lebih besar menjegal kepalanya, mencengkeram seolah akan menghancurkannya.

Tak hanya itu, dia otomatis memucat ketika mendengar hembusan nafas kasar di dekat telinganya.

“Hei, burung elang sialan, kau mau ku panggang?”

Dan Caim merinding panik ketika matanya tak sengaja menangkap taring yang mencuat tajam, seolah siap untuk menusuk di tubuhnya saat itu juga.

Cerberus Hellhound itu semakin menyeringai, memamerkan taringnya, dan deretan giginya dengan bangga. “Atau kau mau ku cabik saja?”

Caim semakin ketakutan.

“Nad, jangan kotori tanganmu dengan darah dari seonggok daging busuk itu.”

Nad merengut dan bergumam kecewa begitu Arki melarangnya. Dengan berat, dia akhirnya melepaskan Caim.

Arki berdiri, tak lagi berjongkok di hadapan Caim. “Dan kau.”

Suara Arki kembali menarik perhatian Caim. Membuat pria itu berdecak, dan mengangkat kepalanya, untuk menatap Arki dengan tatapan penuh keengganan.

Dan Arki yang menangkap ekspresi itu hanya memandangnya dengan mata sedikit membulat.

Tatapan itu menusuk.

“Menunduklah, dasar brengsek!”

Caim tersentak. Suara itu seolah memerintahnya dan tubuhnya dengan otomatis mematuhi kalimat itu.

Ini di luar kehendaknya, namun secara nyata dia menundukkan kepalanya, setelah Arki berkata demikian.

Dan Caim baru menyadari perbedaan kasta mereka.

Arki yang berdiri di hadapannya melihat bagaimana tangan pria di bawahnya terkepal. Dia menghela nafasnya pelan.

“Aku tidak tahu apa tujuanmu,” ujar Arki. Terdiam sejenak, sebelum kemudian dia kembali menghela nafasnya.

“Aku tidak tahu dari mana kau tahu Lucifer.”

Sring!

Caim terkejut. Kepalanya spontan menoleh ke belakang ketika merasakan sebuah pintu dimensi terbuka di belakangnya. Menarik seluruh jiwanya.

Pria itu kembali menatap Arki. Menyadari bahwa dia tak lagi bisa menggunakan kekuatan mempercepat waktunya karena sudah ditarik, dan bahkan dia tak bisa mengeluarkan sayapnya.

“Tapi habiskan waktumu di dalam kesalahanmu sendiri, Pemberontak Camio.”

“Tidak! Tuan Byleth, saya mohon ampun!” Caim yang sebagian raganya terlihat terhisap ke dalam lubang dimensi yang berkobar di belakangnya, bersujud di atas kakinya. “Saya minta maaf!”

“Ampuni saya, sekali lagi, ampuni saya!”

Arki tak mendengarkan, mengabaikan. Sementara keempat manusia di sana, dan tiga iblis lainnya terpaku dalam suasana, tidak tahu harus berbuat apa. Lebih tepatnya, mereka juga hanyut dalam ketakutan.

“Tolong, Tuan Byleth!” Caim tidak mendapat kesempatan. Dia berdecak.

“Cih, sialan! King Byleth, Lucifer akan membunuhmu!”

Itu kalimat terakhir, sebelum akhirnya Caim melebur bersama hilangnya sumber ketegangan.

Ruangan yang semula riuh karena pengeksekusian berubah senyap dalam sekejap.

Tak memedulikan suasana aneh di sekitarnya, Arki melangkah menuju pintu keluar, sembari memasukkan tangannya ke dalam saku.

“Nad, ikut aku sebentar.”

Menganggap seolah kejadian tadi tidak ada.

“B-Baik.” Nad tersenyum kikuk. Dengan patuh, dia mengikuti Arki dari belakang.

Alya yang sempat berpapasan dengan Arki pun diam membeku. Membiarkan iblis itu berjalan keluar, dan meninggalkan mereka dalam suasana yang tidak mengenakkan.

Alya mengeratkan kepalan tangannya di samping badan. Dia sudah melihatnya, dan gadis itu sadar pada satu hal.

King Byleth.

Arki sedang memberinya peringatan.


“Aku nggak tahu harus berkata apa.”

Iiro tersentak dan mundur beberapa langkah, ketika Alya menarik pedangnya dan mendongkannya ke arahnya.

Sembari menjaga jarak, dan mengangkat kedua tangannya, Iiro berkata dengan terbata-bata. “Tu-tunggu! Apa yang kau lakukan hei?”

“Apa lagi?” Alya mendekat. Membuat Iiro refleks bergerak mundur dan tak sengaja tersandung sesuatu. Dirinya jadi terduduk di hadapan Alya.

“Kamu sengaja menjebakku, kan?”

Alya menatapnya tajam. Mata pedang yang tertodong tepat di depan matanya membuat Iiro berteriak panik dan merinding. “Tunggu, tunggu! Aku bisa jelaskan! Turunkan dulu pedangnya!”

Iiro memang iblis dan punya kekuatan supranatural. Tapi jika dia dihadapkan dengan pedang suci, tentu saja dia kalah telak dan tak bisa apa-apa.

Apalagi saat ini dirinya tengah dipojokkan, oleh Alya, dan aura membunuhnya.

“Oke, oke, aku akan jelaskan.” Iiro menarik nafas dalam-dalam, terpaksa membiarkan pedang itu tetap terhunus di depannya. “Kalau semisal aku pakai teleportasi, kekacauan tadi tidak akan ada. Dan kamu tidak akan sadar pada tipu daya Caim!”

“Aku melakukan ini karena sejak awal masuk gereja, aku sudah merasakan kehadiran lain!”

Alya hanya diam, tak berniat menurunkan pedangnya. Namun matanya nampak merenung, menunggu Iiro melanjutkan penjelasannya.

“Aku menyadari itu. Terlebih ketika melihat tanda yang terpampang di dekat telinga di balik tudung seorang biarawati, saat dia berbalik mengantarkan kita masuk ke dalam gereja. Apa kau tidak menyadarinya? Oh pasti tidak, kau, kan, bodoh.”

“Iya, iya, iya! Aku yang bodoh!” panik Iiro ketika Alya bahkan tanpa ragu menempelkan mata pedang itu ke dahinya.

Alya merenung, nampak memikirkan sesuatu. Pedang diturunkan dan dimasukkan ke dalam sarung ketika setelahnya dia berbalik membelakangi Iiro.

Menghela nafas ketika sebuah kalimat kembali terngiang di kepalanya.

“Satanist.”

“Jadi maksudmu, petugas gereja itu semuanya adalah bawahan iblis?” tanya Zuu, setelah sekian lama menyimak pembicaraan mereka.

Iiro menggeleng. “Aku tidak yakin. Karena di antara mereka tadi, aku masih bisa merasakan kehadiran manusia.”

“Panggil Inspektur Fazri.”

“Hah? Siapa?” Zuu dan Iiro serentak menatap ke arah Alya.

“Kepala divisi Pemberantasan tindak kriminal metropolitan. Nggak usah.” Suara itu tiba-tiba muncul dari samping Alya, membuat gadis itu berjengit. Dan bersamaan dengan itu, beberapa lembar kertas dan foto terjatuh dan berhamburan di bawah kakinya.

“Itu, kan, yang mau kau minta dari mereka?” Arki menunjuk secara tidak langsung lewat tatapannya, pada kertas-kertas yang bertaburan di atas lantai.

Alya yang tadinya ingin marah karena melihat ruangan meeting dikotori oleh iblis sialan itupun mengurungkan niatnya.

Gadis itu tanpa bicara membungkuk, memunguti beberapa lembar foto dan mengamatinya.

“Banyak kasus pembunuhan terjadi di sekitar sana,” ucap Arki, seraya mendaratkan tubuhnya ke atas kursi, dan duduk dengan posisi arogan seperti biasa. “Dan kepala para korban ditemukan menghilang dari jasadnya. Bukankah itu aneh?”

Kemudian setelah itu, dia tersenyum miring dan menatap Alya dengan pandangan remeh. “Jadi apa yang akan kau lakukan, Kapten?”

Alya mengeratkan cengkeramannya pada foto di tangan itu guna menghalau emosinya. Saat ini, marah-marah pada iblis brengsek itu tidak ada gunanya.

“Ini bukan urusan kita.” Suara dingin dengan nada datar mengalihkan perhatian mereka semua pada Namie.

“Tugas kita hanya memberantas para iblis. Kita belum tahu dengan pasti apa dan siapa yang memimpin gereja itu. Kita tidak bisa bergerak begitu saja!” lanjut gadis itu.

“Dan itulah gunanya penyelidikan.” Arki menyilangkan kakinya.

“Aku tidak masalah kalau mereka benar menyembah iblis. Itu mempermudahku, sih.” Arki berdeham ketika mendapat tatapan aneh dari ketujuh penghuni di ruangan sana. Oke, dia hanya bercanda.

“Masalahnya bagaimana kalau yang mereka puja adalah Fallen angel?”

Ketujuh penghuni ruangan itu sontak terdiam dengan tatapan yang merenung jauh.

Arki yang mengedarkan pandangannya tentu saja menyadari perubahan ekspresi yang terjadi di wajah mereka semua.

“Apalagi setelah mendapat fakta kalau injil dan tabernakel di sana palsu.”

“Apa kalian tidak curiga kalau yang asli selama ini dipegang oleh 'Raja' mereka?”

Arki tersenyum miring.

“Kalian masih ingin diam saja?”

—1

Dia berhenti melangkah. Matanya menatap lurus pada dua orang siswi yang menghadang jalannya, mempertanyakan alasan mereka berbuat demikian dalam diam.

“Lapangan ke sebelah sana,” ujar salah seorang siswi, seolah tahu arti tatapan matanya. Tangannya menunjuk ke arah berlawanan, seolah menuntutnya untuk pergi ke sana.

Dia lantas mengangguk. “Tau.”

“Terus lo mau kemana?” Satu lagi gadis di sebelah orang itu menyahut.

“Nyari sesuatu.”

“Nyari masalah, kan?”

Suara itu muncul dari belakang. Tanpa berniat menoleh atau bahkan melirik karena dia sudah tahu siapa pemilik suara itu, gadis dengan rambut hitam keabuan yang dibiarkan tergerai hingga ke punggungnya itu menghela nafasnya.

“Lo pada kayak ngepung penjahat,” dengusnya, kemudian.

“Pergi ke lapangan, Arki! Ini hari pertama, jangan berulah!”

Gadis dengan rambut cokelat terang sebahu turut menunjuk ke arah berlawanan. Tulisan 'Arazzu Fenandita' terpampang jelas di name tag keanggotaan OSIS yang menggantung di lehernya.

Gadis bernama Arki itu kembali menghela nafas. “Iya, gue tau.” Kemudian kembali melangkahkan kakinya.

Namun dengan itu, seseorang yang sedari tadi berdiri di belakangnya menarik tangannya, menahannya. “Nggak bakal balik dia mah, seret aja!”

“Apa—” Arki terkejut, bahkan nyaris kehilangan keseimbangan ketika tangannya main ditarik begitu saja.

“Alya cekatan banget, masuk OSIS aja yuk?” ajak Zuu.

“Berharap aja.” Gadis yang menarik Arki menyahut datar tanpa menoleh.

Arki sendiri pasrah saja dirinya ditarik seperti kambing akan disembelih. Matanya sempat melirik ke arah Kakak keduanya—Anstian Tanaya—dengan penuh harap. Namun gadis itu malah tersenyum. Arki jadi semakin pasrah.

“Nah, udah, baris di sini aja sama gue!” Alya menahan bahunya. Sementara Zuu pergi ke barisan lain bersama Tian.

Wait, gue nggak pake topi—”

“Oh? Jadi sekarang seorang Arki takut sama hukuman?” Alya mendekat, sedikit berjinjit untuk berbisik di dekat telinga gadis yang nampak mencoba memisahkan diri dari berisan. “Udah, palingan lo cuma disuruh berdiri di depan. Nggak apa-apa kok.”

Arki menghela nafas kasar. Dengan malas dan bibir sedikit mengerucut yang keluar tanpa ia sadari, gadis itu menatap ke depan.

Dan Arki tak sengaja bertemu pandang dengan seseorang. “Cowok lo jadi pembaca doa.”

“Hah? Siapa? Siapa?” Alya sedikit menoleh-nolehkan kepalanya dan berpura-pura mencari sosok yang dimaksud Arki.

Sebenarnya dia sudah tahu, tapi ya sudahlah, biar nggak keliatan paling tahu. Entar diejek lagi.

“Ah, gak keliatan? Gaib ya? Setan jangan-jangan. Biarin, paling nanti pas baca doa dia kebakar.”

Arki yang menyadari sikap idiot adiknya itu hanya diam tak menjawab. Dan tak lama kemudian, upacara dimulai ketika protokol upacara memulai pembukaan. Dan suasana di lapangan seketika berubah menghening.


“Agaknya Kak Zuu nampak tertekan.”

Kalimat itu keluar bersamaan dengan satu sendok nasi goreng yang masuk ke mulutnya setelahnya.

Mendengar namanya disebut, Zuu menegakkan tubuhnya. “Bukannya lo yang lebih keliatan tertekan?” tanyanya.

“Ya bener, sih.” Iiro menunduk lesu. Di kepalanya masih ada topi kerucut yang terbuat dari karton, dan papan nama yang menggantung di lehernya dengan tali rafia.

“Lo betah banget makenya,” sambung Zuu.

“Mana ada ya! Ini nggak bisa dilepas!” tekan Iiro.

“Lah? Kenapa?” Tita yang sedari tadi sudah memerhatikan perdebatan saudarinya akhirnya ikut masuk dalam pembicaraan.

“Kenapa? Kak Tita tanya kenapa?” Iiro berdiri dari kursinya, sembari menggebrak meja. “Karena Arki kayak anjing.” Kemudian gadis itu menunjuk tali rafia yang melingkari lehernya, ternyata diikat mati.

“Udah, udah, Iiro, itu digunting aja.” Tian dengan suara lembutnya menengahi, sekaligus memberi saran.

“Masih dipake, Kak. Nanti ketiup angin, aku disuruh push up,” ucap Iiro, nampak sangat tertekan lahir batin.

Tian menggelengkan kepalanya. “Ya udah, kamu tahan aja sampe rumah ya? Ngomong-ngomong ada yang lihat—”

“Arki mana?”

Suara itu membuat Tian tersentak dan langsung menoleh ke belakang, begitu juga dengan keenam saudarinya yang otomatis mengalihkan perhatian mereka.

“Lah, biasanya nempel sama lo, kan?” Zuu menyahut seraya memasukkan satu sendok mi goreng ke dalam mulutnya.

Alya mengedarkan matanya. Dan dengan begitu saja, dia sudah mendapat kepastian bahwa orang yang dicarinya tidak ada di sini.

Alya mendesah lelah. “Ya udah.”

Gadis itu berniat pergi. Namun tangannya ditahan oleh seseorang yang membuat dirinya refleks berhenti dan menoleh.

Tian menatapnya. “Al, makan dulu.”

Alya mengangguk. “Duluan aja.”

Begitu tangannya dilepas Tian, Alya melangkah pergi.

“Kenapa dah?” tanya Iiro, yang bingung melihat Alya nampak terburu-buru. Dan dijawab dengan gelengan kepala, tanda mereka tidak tahu apa-apa.

“Tadi Kak Arki dihukum?” Nad yang duduk di samping Iiro memastikan, lebih tepatnya mancing buat jadiin bahan ghibah.

“Itu mah udah bukan kejutan lagi, hari senin dia kalo nggak bolos, ya baris di depan lapangan,” jawab Tita.

“Kalian jangan ikut-ikutan!” Zuu memicingkan matanya.

Okey dokey monkey!” Iiro mengacungkan jempol, mengabaikan raut wajah Zuu yang nampak sudah siap memukulnya.

Sementara Nad manggut-manggut nggak jelas, kemudian beralih menatap Iiro di sampingnya. “Ro, kelas lo dimana?”

“Lah iya, tadi gue dapat kelas apa ya? Lo dapat kelas apa?”

“Lah? Gue nanya karena gue juga nggak dengerin pembagian kelas tadi.”

Nad dan Iiro terdiam dan saling pandang. Keduanya kompak memasang ekspresi suram, dan tertekan.

“Bego,” decih Namie, lelah pada kebodohan adik-adiknya.

Di posisi lain, Alya nampak mendengus. Gadis itu berdecak saat kakinya menginjak ke luar wilayah kantin, dan berhenti di samping seseorang yang berdiri di depan pintu masuk.

“Nggak ada?” tanya orang itu.

Alya menggertakkan giginya. “Tuh anak emang pengen banget dicari.”

Laki-laki itu menghela nafasnya sembari memegangi keningnya. “Ya udah, gue cari sendiri aja.”

“Nggak. Anak itu dari sebelum upacara udah keliatan aneh. Gue mau mastiin sesuatu.”

“Keliatan aneh gimana?”

Alya menggigit bibirnya. Sial, keceplosan. Bisa mati di tangan Arki kalau dia tahu.

“Biasalah, si Arki.” Alya mengatakannya sembari melangkah pergi.

Membiarkan laki-laki itu menatap lamat punggungnya dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan, sebelum kemudian dia menyusul gadis itu dan berjalan di sampingnya.

Btw tadi dicariin Brian, dia ngajak makan bareng. Biar gue aja yang cari sendiri.”

“Nggak laper.”

“Tapi Brian udah jadi pembaca doa.”

“Lah terus?”

“Barangkali lo mau ajak dia jadi pembaca ijab kabul.”

“Gimana?”


Gadis itu menghela nafasnya. Tubuhnya yang bersandar di dinding terlihat melemas, sementara satu tangannya terlihat memegangi surai hitam keperakan yang menutupi dahinya.

Mata hijaunya yang khas dengan ketajaman terus menatap pada benda pipih di genggamannya.

“Cih.” Dia berdecih, untuk yang ke sekian kali.

Sambil memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku jaketnya, gadis itu membiarkan tubuhnya merosot dan terduduk.

Kepalanya mendongak, menatap dedaunan yang bergerak tertiup angin.

“Kenapa di sini?” tanyanya, setelah sekian lama membungkam mulutnya.

“Harusnya gue yang tanya.”

Suara itu bergetar tidak teratur, terdengar terkejut, namun setelahnya sang pemilik suara keluar menunjukkan dirinya di hadapannya.

Tak berniat untuk menoleh, atau bahkan membalas, Arki bersandar lebih santai pada dinding di belakangnya, sementara tangannya terlipat di depan dada dan kepalanya menghadap ke depan. Dia menutup matanya.

“Heh! Anjing, gue capek-capek ke sini, malah lo tinggal tidur?!”

“Nggak suruh juga,” jawabnya, tanpa berniat membuka matanya untuk menatap lawan bicaranya.

Membuat gadis yang kini berdiri di hadapannya berjongkok, dan mengetuk-ngetuk kepalan tangannya di bahu Arki. “Tok, tok, tok, dengan Arki Rav—”

Shut.

Gadis dengan rambut yang diikat kuncir kuda itu sedikit tersentak ketika matanya bertemu pandang dengan manik hijau Arki. Tajam, dan liar.

“Sakit loh ini.”

Arki tak menjawab, dia melepas cekalannya di tangan Alya, dan sedikit mengempasnya.

Setelahnya, tak ada suara di antara mereka. Arki memejamkan matanya, enggan menatap gadis di hadapannya, sementara Alya, hanya diam, bingung harus melakukan apa.

“Kemana?” tanya Arki, nyaris tidak terdengar.

“Apanya?” Alya yang memang tak mengerti mengerutkan dahinya.

Namun setelahnya, Arki tak kunjung bicara. Dan walau sudah ditunggu lama, tak ada kelanjutan dari pertanyaan menggantung itu.

Membuat Alya yang berjongkok di hadapannya menghela nafasnya. “Sial, beneran tidur.”

Alya lantas mendongakkan kepalanya, menghembuskan nafas pelan. Membiarkan keheningan mengisi ruang di sekitarnya, untuk sementara.

“Lo liat, kan?” Dan kemudian Alya bersuara. Matanya sedikit melirik ke arah tempatnya dia bersembunyi tadi, menantikan balasan.

“Iya.”

Dan suara itu akhirnya terdengar. Membuat Alya kembali melirik ke hadapannya.

“Dia emang pinter ngelaknya.”

#5

“Kalian perlu sesuatu?”

Alya tersentak dari lamunan berkepanjangannya. Kepalanya menoleh, menatap ke arah Iiro yang memandang laki-laki di hadapan mereka dengan tatapan yang sulit dijelaskan.

Sadar kalau situasi ini memojokkan mereka, Alya lantas mencoba buka suara. “Maaf, sepertinya kami tersesat, karena keributan di luar tadi.”

Pastor di hadapannya tersenyum. Melangkah mendekat sambil berkata, “Tidak apa-apa, saya memakluminya. Lagipula tempat ini pasti jauh dari jangkauan kericuhan, jadi kalian pasti refleks masuk ke sini.” Laki-laki itu berjalan melewatinya.

Masih terus mengoceh, Alya tak mendengarkan. Membiarkan laki-laki itu mengacak isi lemari di belakangnya, entah sedang apa, sementara matanya melirik ke arah Iiro, mencoba mengatakan—lebih tepatnya memerintahkan sesuatu.

“Semoga Tuhan memberkati kita semua—Demi Bapa Allah!”

Laki-laki itu tersentak kala merasakan tubuhnya terdorong dan terhimpit ke lemari besar di hadapannya, sementara satu tangannya ditarik, dikunci ke belakang tubuhnya.

“Apa yang kalian lakukan, anak-anak? Ini tidak sopan,” ujarnya, dengan senyum tenang. Dia tidak bisa menoleh ke belakang karena kepalanya juga dibekuk ke lemari.

“Wah, aktingmu buruk sekali, Pak Pastor,” kata Iiro, sembari mendorong dan mengunci laki-laki itu.

“Apa maksud kalian—”

Pasti jauh dari kericuhan, kau bilang? Kenapa kau tidak yakin pada letak gerejamu sendiri?” sahut Alya, seraya berjalan mendekati dan berhenti tepat di depan matanya, menatapnya.

“Ini memang menguntungkan bagiku, tapi seharusnya kau membicarakan keadaan orang-orang di Nave. Mengingat kau harus melewati Nave untuk bisa ke sini. Kenapa tak ada sedikitpun raut wajah shock di wajahmu, Pak?”

Mendengar penuturan itu, lelaki itu otomatis berdecih. Dia mengangkat satu sudut bibirnya. “Begitukah?”

Pria itu terkikik sendiri. Iris coklatnya yang memandang ke arah Alya perlahan berubah menjadi manik merah yang menatap nyalang.

Alya tersenyum melihat itu. “Sudah ku duga, kau seorang iblis.”

“Kau benar.”

Alya tak sempat bereaksi ketika melihat mata merah itu semakin menyala terang. Tak sempat memberitahu Iiro untuk mundur, Alya sudah melompat ke belakang, mencoba menghindari serangan.

“Kenapa mundur?”

Alya terkejut ketika pria yang tadinya dikunci oleh Iiro tiba-tiba berada tepat di belakangnya.

Tak sempat menghindari lagi ketika sebuah pukulan melayang tepat ke arahnya. Alya mencoba mempertahankan diri, namun pukulan itu terlalu kuat, hingga tangan yang membenteng di depannya tak cukup menahan dorongan pukulan itu.

Alhasil, tubuhnya terpental ke belakang dan menabrak lemari dengan bunyi debuman keras.

“Sial!” Iiro pula menyiapkan serangan. Namun gadis itu juga tak sempat bereaksi begitu suara kikikan terdengar dekat di telinganya.

Pria itu sudah berada di belakangnya. “Ah, Astaroth, apa kau jadi lemah sekarang?”

Brak!

Iiro terbatuk. Dorongan kuat mengenai punggungnya sehingga tubuhnya terhimpit pada lemari kayu besar di hadapannya.

“Aku tidak mengerti kenapa kau bisa bersama manusia rendahan ini, apa citramu sudah anjlok ke bawah?” Dia tersenyum, tangannya mengunci tangan Iiro ke belakang punggungnya.

Iiro menggeram dan tersenyum. “Heh, kenapa brengsek Caim ada di sini?”

“Astaroth, kau sombong ya sekarang? Setelah diangkat jadi tangan kanan Tuan Byleth—oh tunggu, apa untungnya?” Iblis itu meletakkan telnjuknya di dagu, nampak berpikir. Sebelum kemudian, dia tersenyum lebar. “Toh, sebentar lagi, dia akan hancur.”

Tangan Iiro mengepal di belakang punggungnya. Bibirnya melengkung, membentuk sebuah senyuman. Namun wajahnya memerah, menahan amarah.

“Kau pikir begitu, huh?”

Caim tersentak. Merasakan sebuah tekanan dingin menarik tubuhnya. Dia terkekeh menyadari bahwa Iiro tengah melakukan hal gila.

Menghindari hal yang tidak diingankan, Caim melepas Iiro. Melepaskan diri dari lubang hitam yang berniat menghisapnya.

Dan dengan itu, dia tiba-tiba sudah berada jauh dari jangkauan Iiro. “Anjing gila,” kekehnya.

“Cih, makasih, bangsat.” Iiro mengusap pergelangan tangannya. Matanya melirik ke arah Alya. Entah kenapa sejak tadi gadis itu diam saja.

Iiro mengernyit bingung. Tidak ada waktu untuk memikirkan manusia itu, karena setelahnya, Caim muncul tepat di hadapannya, dengan tangan terkepal siap melayang.

“Sial!” Iiro mengumpat, berniat membuka black hole namun waktu yang tersisa hanya bisa dia pakai untuk menghindar.

Karena terlalu dadakan, Iiro kehilangan keseimbangan. Kakinya terpeleset, dan Iiro tak bisa mengelak pada kepalan tangan selanjutnya.

Gadis itu merelakan pipinya ditonjok kali ini.

“Auh, sakit ya? Coba kalau tadi kau tidak menghindar, pasti tidak akan sakit.” Caim mundur begitu menyadari bahwa Iiro berniat membalas pukulannya.

Sekali lagi, dia berpindah dalam sekedip mata, berdiri di belakang Iiro. Mendorong kepala gadis itu ke depan hingga berakhir menghantam lantai.

“Sayang sekali, kalau saja kau tak memikirkan tempat ini, kau tidak akan babak belur sekarang, idiot!”

Caim tertawa. Dia hendak menarik gadis itu untuk bangun dan memukulinya, namun dia mengurungkan niatnya begitu merasakan datangnya serangan dari belakang.

Dengan begitu, Caim meloncat mundur, menjauh tanpa menggunakan kekuatannya. “Ah, manusia ini.” Dia bergumam malas.

Melihat Alya pasang kuda-kuda tangan kosong, Caim tertawa keras. “Apa kau mau mati?”

Alya tak menjawab. Matanya menatap iblis itu penuh tekad.

“Baiklah, baiklah, aku akan kabulkan permintaanmu. Setelah ini biarkan aku menghabisi iblis idiot itu, oke?”

Caim berhenti tertawa. Mata merahnya berubah tajam, dan sekali lagi, dia berdiri di hadapan Alya cukup dalam kurun waktu kurang dari satu detik.

Bugh!

Gadis itu tersungkur. Pukulan keras tadi mengenai wajahnya, hingga hidungnya mimisan.

Alya mengusapnya dengan acuh, tidak peduli. Kali ini dia yang menerjang maju.

Melihat itu, Caim menghela nafasnya. Dengan sekedip mata, Caim sudah berdiri di belakang Alya. “Kau menyusahkan.”

Alya menoleh. Dan itu dimanfaatkan Caim untuk melemparkan pukulan pada wajahnya.

Namun Caim tersentak. Dalam sepersekian detik setelah mendaratkan pukulan, dia merasakan tubuhnya melayang dan terbanting cukup keras ke lantai.

Dia sedikit meringis ketika merasakan satu lengannya ditarik ke belakang, sementara dia sendiri dalam posisi tengkurap.

“Ah, kuncian ini lagi. Kau bodoh ya?”

“Coba saja melepaskan diri.”

Caim tersenyum remeh. Dia hendak berbicara namun disela oleh gadis yang menginjak punggungnya.

“Tidak pernah menyerang dari samping. Mengunci dengan tangan kanan, dan melemparkan serangan dengan tangan kiri.” Alya yang sedari tadi diam akhirnya bersuara juga. Manik aquamarinenya menatap nyalang laki-laki di bawah kakinya.

“Tadi itu aku hanya memastikan, sih,” sambung Alya, seraya menarik tangan kiri di cekalannya. Membuat Caim berteriak. “Sudah ku duga, kau akan menyerang dengan tangan kiri.”

“Apa kau tidak tahu bahwa dirimu kidal?”

Pria itu membulatkan matanya.

Melihat bahunya sedikit menegang, Alya tersenyum miring. “Wah, baru tahu ya?”

“Kau beruntung aku sedang tidak membawa senjata,” lanjut Alya.

Membuat laki-laki itu menyeringai setan. “Cih, kau pikir aku takut padamu? Coba saja bawa aku ke sarangmu, manusia! Itupun kalau kau berani!”


Arki berdecih. Dia berdiri dengan tegak sembari melipat tangannya di depan dada, sementara mata hijaunya menatap tajam seseorang yang terduduk di bawah kakinya. “Kenapa kalian malah bawa pulang sampah?”

“Ki, kita gagal mengambil alkitab karena sialan ini tahu!” Iiro memberitahu. “Dia mengacaukan semuanya! Sekarang kita tidak bisa ke sana lagi!”

“Lihat! Dia bahkan memukul bawahan setiamu ini!” Dan Iiro mengadu. Tangannya menunjuk luka lebam di wajahnya sembari pasang tampang sedih.

Plak!

“ACK! Sakit sialan!” Iiro menoleh kesal pada Zuu.

“Bukannya iblis bisa regenerasi? Apa kau lemah?” Zuu meledek. Iiro menggeram kesal, mukanya sudah ditekuk, menyeramkan.

“Ngajak berantem?”

“Oh, boleh. Tapi nggak dulu, lawanku harus berbadan tinggi.” Zuu berbalik dan kembali ke tempat duduknya, di sebelah Tian.

Gadis berambut panjang dengan ekspresi adem itu hanya menggelengkan kepala melihat wajah Iiro yang kini sudah dihiasi oleh plester—hasil tempelan Zuu tadi—yang pasang tampang menantang.

“Hei! Diamlah kau iblis sialan! Berisik!” bentak Namie.

Arki tak mendengarkan, lebih tepatnya tak peduli pada pertikaian di belakangnya. Dia berjalan melewati Caim yang tertunduk dengan tubuh gemetaran, mendekati Alya.

“Kau sudah lihat, kan?”

Pertanyaan itu sontak membuat kening Alya berkerut tak mengerti.

“Apa yang disimpan gereja itu?” tanya Arki.

Alya tergamam, menangkap sesuatu. Mulutnya yang hendak bicara seketika terhenti ketika Arki lebih dulu membuka suara. “Tidak ada alkitab, injil saja tidak ada. Memalsukan tabernakel, ruang persenjataan di belakang ruang Sakristi. Bahkan iblis rendahan sepertinya bisa masuk ke sana.”

Ucapan Arki membuat ruangan itu menghening.

“Satanist.”

“Tunggu, jadi apa gunanya kau menyuruh kami mengambil alkitab ke sana, sialan?” Alya menggeram kesal. Kalau begitu untuk apa dia mengorbankan waktunya untuk hal yang sia-sia?

“Apa kau sengaja, mengulur waktu, sehingga kami terjerat di sini, dan membebaskan bangsa kalian berulah di alam dunia?” tanya Alya.

Arki hanya menggedikkan bahunya. “Bukankah aku meringankan beban kalian?”

Alya berdecih. Tangannya lantas menarik kerah baju Arki. Membuat Nad di belakangnya menggeram, bersiap menerjang.

Namun gadis itu berhenti ketika Arki mengangkat tangannya.

“Dengarkan aku, brengsek!” Alya berdecak kesal. “Kami bahkan harus terpaksa menyakiti orang-orang di gereja demi mengambil apa yang kau inginkan!”

“Lalu begini sikapmu?!”

“Siapa yang menyuruh kalian menyakiti mereka?” Arki menatap Alya datar. “Iblis yang bersamamu tadi bisa teleportasi. Kau pikir untuk apa aku mengirim idiot itu bersamamu?”

Mendengar itu, Alya refleks melirik pada Iiro. Iblis itu nampak tengah bersenandung, jelas menghindari tatapannya.

“Yang jelas kedok mereka terbongkar sekarang.” Arki menepis tangan Alya, melepaskan cekalannya dengan mudah. “Seharusnya kalian berterimakasih padaku.”

“Bajingan tak tahu diri.”

Mengabaikan Alya yang mukanya sudah tak bersahabat, Arki berbalik, berjalan mendekati Caim dan berhenti tepat di depannya. Dia berjongkok untuk menyetarakan tinggi mereka.

“Dan apa yang kau lakukan di sana, Camio?”

Caim tersentak mendengar suaranya. Kepalanya menunduk semakin dalam. Membuat Arki harus menjambak rambutnya agar bisa bertatapan dengan matanya.

“Bicaralah, elang sialan.”

“Lucifer.”

Arki bergumam pelan dan mengerjap. Matanya menatap lurus, mulutnya bungkam, menunggunya bicara.

Dan Caim, mencetak seringai di wajahnya.

“Aku bersumpah kau akan terbunuh di tangan Lucifer, King Byleth.”

#5

“Kalian perlu sesuatu?”

Alya tersentak dari lamunan berkepanjangannya. Kepalanya menoleh, menatap ke arah Iiro yang memandang laki-laki di hadapan mereka dengan tatapan yang sulit dijelaskan.

Sadar kalau situasi ini memojokkan mereka, Alya lantas mencoba buka suara. “Maaf, sepertinya kami tersesat, karena keributan di luar tadi.”

Pastor di hadapannya tersenyum. Melangkah mendekat sambil berkata, “Tidak apa-apa, saya memakluminya. Lagipula tempat ini pasti jauh dari jangkauan kericuhan, jadi kalian pasti refleks masuk ke sini.” Laki-laki itu berjalan melewatinya.

Masih terus mengoceh, Alya tak mendengarkan. Membiarkan laki-laki itu mengacak isi lemari di belakangnya, entah sedang apa, sementara matanya melirik ke arah Iiro, mencoba mengatakan—lebih tepatnya memerintahkan sesuatu.

“Semoga Tuhan memberkati kita semua—Demi Bapa Allah!”

Laki-laki itu tersentak kala merasakan tubuhnya terdorong dan terhimpit ke lemari besar di hadapannya, sementara satu tangannya ditarik, dikunci ke belakang tubuhnya.

“Apa yang kalian lakukan, anak-anak? Ini tidak sopan,” ujarnya, dengan senyum tenang. Dia tidak bisa menoleh ke belakang karena kepalanya juga dibekuk ke lemari.

“Wah, aktingmu buruk sekali, Pak Pastor,” kata Iiro, sembari mendorong dan mengunci laki-laki itu.

“Apa maksud kalian—”

Pasti jauh dari kericuhan, kau bilang? Kenapa kau tidak yakin pada letak gerejamu sendiri?” sahut Alya, seraya berjalan mendekati dan berhenti tepat di depan matanya, menatapnya.

“Ini memang menguntungkan bagiku, tapi seharusnya kau membicarakan keadaan orang-orang di Nave. Mengingat kau harus melewati Nave untuk bisa ke sini. Kenapa tak ada sedikitpun raut wajah shock di wajahmu, Pak?”

Mendengar penuturan itu, lelaki itu otomatis berdecih. Dia mengangkat satu sudut bibirnya. “Begitukah?”

Pria itu terkikik sendiri. Iris coklatnya yang memandang ke arah Alya perlahan berubah menjadi manik merah yang menatap nyalang.

Alya tersenyum melihat itu. “Sudah ku duga, kau seorang iblis.”

“Kau benar.”

Alya tak sempat bereaksi ketika melihat mata merah itu semakin menyala terang. Tak sempat memberitahu Iiro untuk mundur, Alya sudah melompat ke belakang, mencoba menghindari serangan.

“Kenapa mundur?”

Alya terkejut ketika pria yang tadinya dikunci oleh Iiro tiba-tiba berada tepat di belakangnya.

Tak sempat menghindari lagi ketika sebuah pukulan melayang tepat ke arahnya. Alya mencoba mempertahankan diri, namun pukulan itu terlalu kuat, hingga tangan yang membenteng di depannya tak cukup menahan dorongan pukulan itu.

Alhasil, tubuhnya terpental ke belakang dan menabrak lemari dengan bunyi debuman keras.

“Sial!” Iiro pula menyiapkan serangan. Namun gadis itu juga tak sempat bereaksi begitu suara kikikan terdengar dekat di telinganya.

Pria itu sudah berada di belakangnya. “Ah, Astaroth, apa kau jadi lemah sekarang?”

Brak!

Iiro terbatuk. Dorongan kuat mengenai punggungnya sehingga tubuhnya terhimpit pada lemari kayu besar di hadapannya.

“Aku tidak mengerti kenapa kau bisa bersama manusia rendahan ini, apa citramu sudah anjlok ke bawah?” Dia tersenyum, tangannya mengunci tangan Iiro ke belakang punggungnya.

Iiro menggeram dan tersenyum. “Heh, kenapa brengsek Caim ada di sini?”

“Astaroth, kau sombong ya sekarang? Setelah diangkat jadi tangan kanan Tuan Byleth—oh tunggu, apa untungnya?” Iblis itu meletakkan telnjuknya di dagu, nampak berpikir. Sebelum kemudian, dia tersenyum lebar. “Toh, sebentar lagi, dia akan hancur.”

Tangan Iiro mengepal di belakang punggungnya. Bibirnya melengkung, membentuk sebuah senyuman. Namun wajahnya memerah, menahan amarah.

“Kau pikir begitu, huh?”

Caim tersentak. Merasakan sebuah tekanan dingin menarik tubuhnya. Dia terkekeh menyadari bahwa Iiro tengah melakukan hal gila.

Menghindari hal yang tidak diingankan, Caim melepas Iiro. Melepaskan diri dari lubang hitam yang berniat menghisapnya.

Dan dengan itu, dia tiba-tiba sudah berada jauh dari jangkauan Iiro. “Anjing gila,” kekehnya.

“Cih, makasih, bangsat.” Iiro mengusap pergelangan tangannya. Matanya melirik ke arah Alya. Entah kenapa sejak tadi gadis itu diam saja.

Iiro mengernyit bingung. Tidak ada waktu untuk memikirkan manusia itu, karena setelahnya, Caim muncul tepat di hadapannya, dengan tangan terkepal siap melayang.

“Sial!” Iiro mengumpat, berniat membuka black hole namun waktu yang tersisa hanya bisa dia pakai untuk menghindar.

Karena terlalu dadakan, Iiro kehilangan keseimbangan. Kakinya terpeleset, dan Iiro tak bisa mengelak pada kepalan tangan selanjutnya.

Gadis itu merelakan pipinya ditonjok kali ini.

“Auh, sakit ya? Coba kalau tadi kau tidak menghindar, pasti tidak akan sakit.” Caim mundur begitu menyadari bahwa Iiro berniat membalas pukulannya.

Sekali lagi, dia berpindah dalam sekedip mata, berdiri di belakang Iiro. Mendorong kepala gadis itu ke depan hingga berakhir menghantam lantai.

“Sayang sekali, kalau saja kau tak memikirkan tempat ini, kau tidak akan babak belur sekarang, idiot!”

Caim tertawa. Dia hendak menarik gadis itu untuk bangun dan memukulinya, namun dia mengurungkan niatnya begitu merasakan datangnya serangan dari belakang.

Dengan begitu, Caim meloncat mundur, menjauh tanpa menggunakan kekuatannya. “Ah, manusia ini.” Dia bergumam malas.

Melihat Alya pasang kuda-kuda tangan kosong, Caim tertawa keras. “Apa kau mau mati?”

Alya tak menjawab. Matanya menatap iblis itu penuh tekad.

“Baiklah, baiklah, aku akan kabulkan permintaanmu. Setelah ini biarkan aku menghabisi iblis idiot itu, oke?”

Caim berhenti tertawa. Mata merahnya berubah tajam, dan sekali lagi, dia berdiri di hadapan Alya cukup dalam kurun waktu kurang dari satu detik.

Bugh!

Gadis itu tersungkur. Pukulan keras tadi mengenai wajahnya, hingga hidungnya mimisan.

Alya mengusapnya dengan acuh, tidak peduli. Kali ini dia yang menerjang maju.

Melihat itu, Caim menghela nafasnya. Dengan sekedip mata, Caim sudah berdiri di belakang Alya. “Kau menyusahkan.”

Alya menoleh. Dan itu dimanfaatkan Caim untuk melemparkan pukulan pada wajahnya.

Namun Caim tersentak. Dalam sepersekian detik setelah mendaratkan pukulan, dia merasakan tubuhnya melayang dan terbanting cukup keras ke lantai.

Dia sedikit meringis ketika merasakan satu lengannya ditarik ke belakang, sementara dia sendiri dalam posisi tengkurap.

“Ah, kuncian ini lagi. Kau bodoh ya?”

“Coba saja melepaskan diri.”

Caim tersenyum remeh. Dia hendak berbicara namun disela oleh gadis yang menginjak punggungnya.

“Tidak pernah menyerang dari samping. Mengunci dengan tangan kanan, dan melemparkan serangan dengan tangan kiri.” Alya yang sedari tadi diam akhirnya bersuara juga. Manik aquamarinenya menatap nyalang laki-laki di bawah kakinya. “Kau tidak tahu bahwa dirimu kidal?”

Pria itu membulatkan matanya.

Melihat bahunya sedikit menegang, Alya tersenyum miring. “Wah, baru tahu ya?”

“Kau beruntung aku sedang tidak membawa senjata,” lanjut Alya.

Membuat laki-laki itu menyeringai setan. “Cih, kau pikir aku takut padamu? Coba saja bawa aku ke sarangmu, manusia! Itupun kalau kau berani!”


Arki berdecih. Dia berdiri dengan tegak sembari melipat tangannya di depan dada, sementara mata hijaunya menatap tajam seseorang yang terduduk di bawah kakinya. “Kenapa kalian malah bawa pulang sampah?”

“Ki, kita gagal mengambil alkitab karena sialan ini tahu!” Iiro memberitahu. “Dia mengacaukan semuanya! Sekarang kita tidak bisa ke sana lagi!”

“Lihat! Dia bahkan memukul bawahan setiamu ini!” Dan Iiro mengadu. Tangannya menunjuk luka lebam di wajahnya sembari pasang tampang sedih.

Plak!

“ACK! Sakit sialan!” Iiro menoleh kesal pada Zuu.

“Bukannya iblis bisa regenerasi? Apa kau lemah?” Zuu meledek. Iiro menggeram kesal, mukanya sudah ditekuk, menyeramkan.

“Ngajak berantem?”

“Oh, boleh. Tapi nggak dulu, lawanku harus berbadan tinggi.” Zuu berbalik dan kembali ke tempat duduknya, di sebelah Tian.

Gadis berambut panjang dengan ekspresi adem itu hanya menggelengkan kepala melihat wajah Iiro yang kini sudah dihiasi oleh plester—hasil tempelan Zuu tadi—yang pasang tampang menantang.

“Hei! Diamlah kau iblis sialan! Berisik!” bentak Namie.

Arki tak mendengarkan, lebih tepatnya tak peduli pada pertikaian di belakangnya. Dia berjalan melewati Caim yang tertunduk dengan tubuh gemetaran, mendekati Alya.

“Kau sudah lihat, kan?”

Pertanyaan itu sontak membuat kening Alya berkerut tak mengerti.

“Apa yang disimpan gereja itu?” tanya Arki.

Alya tergamam, menangkap sesuatu. Mulutnya yang hendak bicara seketika terhenti ketika Arki lebih dulu membuka suara. “Tidak ada alkitab, injil saja tidak ada, memalsukan tabernakel, ruang persenjataan di belakang ruang Sakristi. Bahkan iblis rendahan sepertinya bisa masuk ke sana.”

Ucapan Arki membuat ruangan itu menghening.

“Satanist.”

“Jadi apa gunanya kau menyuruh kami mengambil alkitab ke sana, sialan?” Alya menggeram kesal. Kalau begitu untuk apa dia mengorbankan waktunya untuk hal yang sia-sia?

Arki menggedikkan bahunya. “Bukankah aku meringankan beban kalian?”

Alya berdecih. Tangannya lantas menarik kerah baju Arki. Membuat Nad di belakangnya menggeram, bersiap menerjang.

Namun gadis itu berhenti ketika Arki mengangkat tangannya.

“Dengarkan aku, brengsek!” Alya berdecak kesal. “Kami bahkan harus terpaksa menyakiti orang-orang di gereja demi mengambil apa yang kau inginkan!”

“Lalu begini sikapmu?!”

“Siapa yang menyuruh kalian menyakiti mereka?” Arki menatap Alya datar. “Iblis yang bersamamu tadi bisa teleportasi. Kau pikir untuk apa aku mengirim idiot itu bersamamu?”

Mendengar itu, Alya refleks melirik pada Iiro. Iblis itu nampak tengah bersenandung, jelas menghindari tatapannya.

“Kedok mereka terbongkar sekarang.” Arki menepis tangan Alya, melepaskan cekalannya dengan mudah. “Seharusnya kalian berterimakasih padaku.”

“Bajingan tak tahu diri.”

Mengabaikan Alya yang mukanya sudah tak bersahabat, Arki berbalik, berjalan mendekati Caim dan berhenti tepat di depannya. Dia berjongkok untuk menyetarakan tinggi mereka.

“Dan apa yang kau lakukan di sana, Camio?”

Caim tersentak mendengar suaranya. Kepalanya menunduk semakin dalam. Membuat Arki harus menjambak rambutnya agar bisa bertatapan dengan matanya.

“Lucifer.”

Arki mengerjap. Matanya menatap lurus, mulutnya bungkam, menunggunya bicara.

Dan Caim, mencetak seringai di wajahnya.

“Aku bersumpah kau akan terbunuh di tangan Lucifer, King Byleth.”

-1

Benda yang tersodor tepat di depan wajahnya berhasil membuat manik yang mirip dengan permata delima itu mengecil.

“Balikin!”

Tangannya terulur dan menggapai. Benda itu seharusnya berada di genggaman kalau saja tidak berpindah ke belakang tubuh seorang gadis yang tengah menampilkan cengiran di wajahnya.

Pemuda itu mendengus. Alisnya mengernyit pertanda kesal. Tanpa basa-basi, dia membungkukkan badannya, berusaha membawa tangannya untuk melewati punggung gadis itu. Namun karena tubuh gadis itu lebih kecil darinya, sehingga dengan mudah dia menghindari tangannya.

“Lo mau apa, sih? Balikin ah!” Halilintar kembali berusaha merebut benda kepunyaannya, namun gerakan gadis itu lebih cepat dari tangannya.

Halilintar akhirnya diam. Matanya menatap tajam, wajahnya masam. Terlihat tidak oke sekali. Tapi gadis berjaket merah muda itu justru terkikik seperti penghuni pohon belakang sekolah. “Oke, oke, gue balikin.”

Mendengar itu, raut wajah Halilintar berubah menjadi sedia kala. Datar, datar, mirip papan triplek. Tapi cengiran di wajah gadis berhijab putih itu berhasil mengembalikan raut masam ke wajahnya.

Tidak sabar, Halilintar kembali menggerakkan tangannys, berusaha merebut. “Ya udah sini balikin!”

“Et, et! Sebentar dong!” Gadis itu kembali menghindar. Halilintar kembali mendengus, sebal.

“Lo apa-apaan, sih?! Sok kenal banget! Norak tau nggak!?” Sambal goreng petai citarasa eropa meluncur mulus dari bibir Halilintar. Bukannya sakit hati atau tersinggung, gadis itu malah tertawa lalu nyengir kuda. Membuat Halilintar ragu mengganggap makhluk di hadapannya ini adalah manusia.

“Lucu ya kalo ada cowok judes yang ternyata suka sama semua warna merah, termasuk merah muda.”

Halilintar tersentak. Semburat merah mulai terlukis di pipinya. “A-apa, sih, nggak nyambung! Balikin nggak!” Pemuda itu menarik lengan gadis aneh di depannya. Sayangnya, gadis itu terlalu lincah dan lolos dari jeratannya.

“Kira-kira, cowok pedes tahan nggak ya kalo makan pedes?”

Halilintar kembali memerah. Kali ini lebih merah dari sebelumnya. Dia mulai menggerakkan tangan untuk menutup sebagian wajahnya. “Berisik! Balikin!”

“Dan gue baru tahu ternyata 'Ksatria Merah' nggak bisa tidur kalo belum ngelus-ngelus Pika-Li.”

Halilintar semakin memerah. Dia semakin yakin untuk menenggelamkan diri ke dasar bumi. Dengan cekatan, tangannya berusaha merebut benda itu dari tangan cewek di hadapannya. “Udah cukup! Balikin itu!”

“Tenang, tenang! Gue bakal balikin ini!” Gadis berhijab putih itu kembali memamerkan deretan gigi putihnya. Terlihat manis. Halilintar diam, dia sadar kalau gadis ini tengah menggantung ucapannya.

“Tapi ada syaratnya!” Tuh, kan, benar!

Lelaki itu mendengus. Malas bicara, dia menaikkan kedua alisnya tanda menyuruh gadis itu agar mengatakan syaratnya dengan segera.

“Oke, gampang kok! Lo tinggal turutin apa kata gue seminggu ini!”

Mendengar itu, Halilintar membelalakkan matanya. Rasa malas yang menyerang mulutnya hilang seketika. “Maksud lo apaan?!”

“Ya, gitu! Lo paham lah! Nanti kalo udah seminggu, gue bakal balikin ini!”

“Cih! Ogah banget gue jadi babu lo! Mending gue main lompat tali sama otak gue sendiri!” Halilintar berbalik, hendak melangkah pergi.

“Trending topic nggak ya kalo Halilintar Alheksan ternyata suka nulis diary yang bagian belakangnya ada gambar love warna pink~?”

Halilintar berhenti melangkah. Entah kenapa, wajah najisun Solar—Rivalnya sedari embrio—Berkeliaran di kepalanya.

“Siapa nama lo?” Cowok itu bertanya ketus, badannya sama sekali tak berbalik untuk menghadap lawan bicaranya, yang sebentar lagi akan menjadi Bu Bos nya.

Menatap punggung tegap itu, gadis ini tersenyum. “Yaya Afemelia. Panggil aja Yaya!”


Day 1

“Itu buat siapa, Li?”

Pemuda dengan jaket berwarna hitam itu menoleh sebentar sebelum kemudian dia menyerahkan kertas berharga pada wanita penjaga kantin yang tengah mereka jejaki ini.

Pemuda beriris kuning keemasan itu semakin dibuat bingung. Menurutnya, melihat Halilintar mengajaknya ke kantin saja sudah terlihat aneh karena biasanya, Gempa akan memohon sampai berlutut hanya demi membuat anak ini mau makan dan keluar dari kelas.

Lalu sekarang? Halilintar yang biasanya hanya membeli air minum—Itupun dipaksa—Tiba-tiba membeli sebuah roti cokelat dan jus mangga? Astaga, sepertinya Gempa harus membawanya ke rumah sakit.

Gerakkan tiba-tiba dari seorang Halilintar berhasil membuyarkan Gempa. Dengan cekatan, dia menarik lengan sahabatnya itu. Membuat sang empu terpaksa berhenti dan berbalik.

“Lo mau ke mana?”

Halilintar diam tak menjawab. Matanya kemudian mengedar ke arah sebuah meja. Mengerti maksudnya, Gempa melakukan hal yang sama dengan Halilintar. Sepersekian detik kemudian sebuah lengkungan terbentuk di bibirnya.

“Oh, oke semangat!” Gempa menepuk-nepuk pundak Halilntar, membuat lelaki itu menghela napasnya dan pergi dari sana.

Kasep, mau beli apa?” Ibu kantin itu bertanya. Bukannya mendapat jawaban, Ibu kantin itu justru diberikan senyuman oleh Gempa yang pandangannya masih terarah pada Halilintar dan seorang gadis di hadapannya.

“Hali udah gede ya, Bu?” ujar Gempa.

“Belanjakan uangmu atau pergi dari sini!” Ibu kantin tersenyum ramah.

. .

“Makasih, Lintar.” Gadis berhijab putih itu tersenyum manis.

“Mau coba makan bubuk cabe satu galon nggak?” Dan lelaki dengan topi hitam yang menghiasi kepalanya itu malah membalas dengan wajah kecut.

“Aduh, aduh, nggak usah galak gitu dong, jadi tambah imut, kan!” Seusainya kalimat ini diutarakan, Yaya langsung mendapat hadiah jelingan tajam dari kedua mata Halilintar.

Malas menanggapi lebih lanjut, Halilintar memilih berdiri dan meninggalkan tempat sialan itu.

“Mereka tau nggak ya Kstaria Merah itu ternyata gampang ngambek, apalagi kalo nggak permintaannya nggak diturutin. Kayak minta beli gula kapas misalnya?”

Suara menyebalkan yang sampai ke telinganya itu berhasil menghentikan pergerakkannya dan kembali ke tempatnya untuk duduk.

Halilintar melipat tangannya di depan dada. Kepalanya menoleh entah kemana, yang jelas, dia tak ingin matanya menangkap objek serba merah muda tukang nyengir dan menguras kesabarannya.

“Nggak usah basa-basi! Apa mau lo?!” ketus pemuda itu, dengan raut wajah ngajak gelut andalannya. Namun, bukannya menjawab, Yaya justru tersenyum saat mendapat tatapan mengintimidasi itu. Sungguh membuat Halilintat merasa tidak sanggup menahan diri untuk tidak melempar bangku yang didudukinya ke arah gadis ini.

“Oke, oke, sebelum itu....”

Halilintar menaikkan satu alisnya saat melihat sesuatu tersodor di depan wajahnya. Sebagai tanda bahwa ia benar-benar tak mengerti, Halilintar mengalihkan tatapannya pada gadis berhijab putih yang sialnya tengah menopang dagu sembari tersenyum menyebalkan.

“Ayolah, katanya Ksatria Merah akan terus mengabdi pada Putri Cokelat?”

Halilintar terdiam. Mendengar panggilan aib itu terus disebut-sebut, entah kenapa Halilintar jadi tak bisa berbuat apa-apa.

Dengan kemudian tangan itu terulur. Menerima dengan sangat terpaksa roti cokelat yang barusan dibelinya untuk Bu Bos nya. Sungguh, kalau bukan karena buku hariannya, Halilintar tak akan mau menahan diri untuk tidak menggebrak meja.

“Nah, sesuai dengan perjanjian kita yang kemarin. Ini, kan, hari pertama, dan gue udah punya satu permintaan.”

“Itu basa-basi,” ketus Halilintar, sembari memakan roti yang barusan diterimanya dengan sangat terpaksa. Yah, dia tak bisa menolak makanan itu menyentuh indera pengecapnya.

“Gue mau lo senyum.” Kalau Halilintar lebay, mungkin dia sudah tersedak oleh makanan yang akan ditelannya itu. Namun tidak, lelaki beriris merah darah itu membelalakkan matanya sedikit. Melihat perubahan ekspresi yang drastis itu, membuat Yaya mengulum senyum.

“Oke deh, gini aja. Lo senyum, gue pergi.”

Mendengar kalimat itu, Halilintar semakin merenung. Namun tak lama kemudian dia menarik kedua sudut bibirnya dengan sangat terpaksa. Ini semua demi melenyapkan makhluk serba merah muda ini dari hadapannya!

Yaya terdiam melihat lengkungan yang terbentuk oleh bibir Halilintar, sehingga menciptakan senyuman, lebih tepatnya seringai. Gadis itu menghela napas, kemudian berdiri dari tempatnya duduk. “Ah, itu buruk. Tapi nggak apa-apa, deh! Oke, thanks ya! Btw, itu jus buat lo aja!”

Lelaki bernetra merah itu terdiam, membiarkan matanya terpaku pada satu titik yaitu punggung Yaya yang semakin lama semakin menjauh lalu menghilang dari pandangan.

Halilintar tak habis pikir. Permintaan macam apa itu? Dan kenapa dia bisa terlibat dengan cewek sejenis itu?

Tanpa sadar, tangannya bergerak meraih gelas yang barusan sudah beralih menjadi miliknya kembali. Tapi kemudian, dia terbatuk saat menghisap minuman itu. “Ah, sial! Ini mangga!”

Halilintar merasa tenggorokannya gatal. Bagus, dia jadi semakin membenci minuman berserat dan tentunya....

Yaya!


Day 2

Seorang lelaki terlihat mendengus saat kakinya dengan sangat terpaksa berhenti karena sebuah panggilan dari suara menyebalkan yang akhir-akhir ini meneror dirinya.

“Pagi, Lintar!”

“Cukup! Nggak usah basi-basi!”

Pagi-pagi begini mood Halilintar sudah jelek. Dia tak peduli, dia ingin semua ini cepat selesai!

Yaya sendiri, dia tak peduli dengan nada ketus penuh peringatan yang terlempar padanya. Yang jelas, dia harus memasang senyuman sebagai kode.

Halilintar yang dasarnya tidak peka, mengernyitkan dahinya, apalagi saat melihat beberapa tumpukan buku paket tersodor ke hadapannya.

Melihat pemuda itu hanya diam, Yaya mendesah sembari memutar bola matanya. “Bawa!” titahnya, mengundang gerakan kaku dari tangan Halilintar.

Belum cukup sampai di situ, dia juga menyerahkan tas merah mudanya. Wajah masam yang tercetak jelas di wajah Halilintar cukup menunjukkan bahwa pemuda itu mengerti sesuatu. Namun ia pasrah saja.

“Ayo!” Yaya berjalan mendahului Halilintar. Sementara, lelaki itu hanya terdiam. Mencoba menahan diri untuk tidak melemparkan buku-buku di tangannya pada cewek tidak waras itu.


Day 3

Halilintar menghela napasnya kasar saat ponselnya kembali berdering, membuat konsentrasi terpaksa pergi dari kepalanya.

Sembari meletakkan dengan kasar pulpen yang sedari tadi terlihat sibuk menari-nari di atas kertas, Halilintar mengangkat telepon dengan raut wajah yang sepertinya tak perlu dijelaskan lagi.

“Kasih tau alasan lo telepon gue atau gue gentayangin?!”

“Wah, wah. Langsung ke inti, benar-benar Halilintar sekali.”

Halilintar membelakkan matanya. Dia menjauhkan ponsel itu dari telinganya, kemudian menatap layar yang menampilkan nomor tidak dikenal. Tapi sepertinya, dia kenal gaya bicara yang minta dilempar itu.

Ternyata, hari minggu tak cukup membantu Halilintar untuk terbebas dari penyiksaan.

Masalahnya, dari mana gadis gila itu mendapatkan nomor teleponnya?

“Apa mau lo?” desis Halilintar, saat dia kembali menempelkan layar ponsel itu tepat ke arah telinganya.

“Oh, ayolah, Lintar! Nggak selalu gue ngomong sama lo itu karena pengin sesuatu! Lo su'udzon banget, sih, sama gue!” kekeh gadis itu, dari seberang sana. Sementara Halilintar berdecak.

“Percaya sama lo musyrik!”

“Oke, kayaknya lo pengin banget gue kasih tugas ya?”

“Serah!”

Halilintar dengan cepat mematikan telepon secara sepihak. Dia kemudian membanting benda itu ke atas meja lalu mengusap wajah sembari menghela lelah. Setelah itu, dia memangku dagunya di atas telapak tangan, dengan pandangan pasrah yang merenung ke hadapan. Terlihat mengenaskan, tapi itu yang saya inginkan.

Dering telepon membuat ekspresi cukup adem itu hilang dari wajahnya. Dengan frustrasi, dia mengacak rambutnya. Kemudian menundukkan kepalanya sekalian menghantamkannya ke atas meja. Dan dalam posisi itu, dia berteriak.


Day 4

Kantung mata yang tercetak jelas di bawah matanya itu cukup menunjukkan betapa kerasnya sebuah perjuangan demi sebuah diary.

Di sinilah dia berada. Berpasang-pasang mata dari dalam ruangan, menghiasi suasana kelam itu.

Halilintar tak memedulikannya. Ia masih fokus melemparkan tatapan kesal pada pelaku utama atas terciptanya kantung hitam di bawah matanya itu. Dia ingin sekali melumat wajah yang menampakkan senyuman menyebalkan itu, namun dia terlalu mengantuk.

“Halo, Lintar! Muka lo kusut banget, sih! Masih pagi juga!” canda Yaya, sembari terkekeh tanpa dosa.

Halilintar sama sekali tak merasa terhibur. Dia berdecak, kemudian memaksa gadis berhijab putih itu untuk segera mengambil benda yang sedari tadi disodorkannya padanya.

Kesal karena cewek itu malah diam saja, Halilintar berseru, “Ambil!”

Yaya tersentak, namun sepersekian detik kemudian senyum kembali terlukis di wajahnya “Wah, makasih, Lintar! Tapi ini tugas buat minggu depan, sih,” ujar Yaya, sembari menerima jilidan itu dengan terkekeh-kekeh.

“Katanya harus selesai sekarang!” kesal Halilintar, dahinya bahkan mengernyit kini.

“Yah, itu, kan, kalo lo emang Kstaria Merah.” Yaya tersenyum lebar yang sialnya tak ada sedikitpun perasaan bersalah. Benar-benar memancing Halilintar untuk segera melumatnya bulat-bulat.

“Ah! Serah!” gumam lelaki beriris ruby itu, sembari melangkah pergi dari sana. Yaya memanggil namanya berkali-kali, namun Halilintar tak peduli. Dia terlalu mengantuk untuk memaki gadis yang dari dulu ingin sekali dia lempar dari atap sekolah.

Lagi-lagi Halilintar menguap. Sepertinya dia harus tukaran tempat duduk lagi dengan Gopal.

JULUKAN SIALAN!


Day 5

Halilintar yang baru akan kembali ke kelas setelah pamit untuk pergi ke toilet itu menghentikan langkah kakinya saat telinganya menangkap suara yang memanggil namanya.

Puas memutar-mutarkan kepala mencari asal suara, Halilintar semakin memasamkan raut wajahnya yang sudah suram saat manik delimanya menangkap sesuatu yang akhir-akhir ini membuat mood nya turun.

Ingin mengabaikan, namun Halilintar teringat dengan buku diary kesayangannya yang sedang dijadikan 'sandera' oleh objek yang melambai ke arahnya itu. Alhasil, dengan berat hati, Halilintar melangkahkan kakinya untuk mendekat.

“Nah, dia, Pak!”

Halilintar mengeryit bingung saat dirinya tiba-tiba ditunjuk oleh gadis berhijab itu. Tunggu, sejak kapan guru gila kebenarannya berada di sana?

“Oh, ternyata kamu, wahai anak murid kesayangan kebenaran. Papa sungguh kecewa padamu, Halilintar!”

Dahi Halilintar semakin berkerut saat nada bicara yang dramatis itu sampai ke telinganya. Malas membuka mulut, Halilintar melirik ke arah Yaya. Bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi, namun gadis itu malah memberikannya senyuman menyebalkan.

“Kalau begitu, terpaksa Papa memberikan pelajaran padamu.”

“Sebentar—”

“LARI KELILING LAPANGAN SEKOLAH 55,5 KALI! SEKARANG JUGA!!”

Pekikan itu tak hanya membuat telinganya berdenging, tetapi juga kedua matanya membelalak. Kaget dan tidak terima bercampur menjadi satu. “Saya salah apa, Pak?”

“Oh, tak usah sok memasang wajah tidak bersalah itu, wahai penyandera buku harian orang!”

“Hah? Tapi saya—”

“Sudah! Kalau kamu memang Ksatria Merah, laksanakan hukumanmu dan jangan mengelak!” teriak guru itu, sembari menciptakan hujan dari mulutnya.

. .

“Sialan!” umpat seorang lelaki, yang entah sudah keberapa kalinya.

Pemuda itu berlari di lapangan, tepat di bawah teriknya pusat tata surya. Menghasilkan beratus-ratus bulir keringat di dahi dan pelipisnya. Semua karena kesalahan yang jelas bukan dia yang melakukannya.

“Semangat, Lintar! Kalo capek istirahat aja!” teriak seorang gadis berjaket merah muda dari pinggir lapangan. Halilintar tak peduli, dia terlalu lelah untuk mengamuk  pada gadis yang sedari tadi meneriaki kata semangat, padahal dia yang menyeretnya ke sini.

Halilintar bersumpah, setelah perjanjian ini berakhir, dia akan meneror cewek iblis itu sampai ke neraka.

Perlahan, langkah kaki pemuda itu melambat sampai akhirnya dia berhenti. Tangannya bertumpu pada tiang bendera, sembari menundukkan kepala. Berusaha mengurangi sinar matahari yang menyengat wajahnya, dia menurunkan lidah topi hitamnya sampai menutupi kedua matanya.

Halilintar yang tengah mengatur semula deru napasnya yang tak beraturan, sedikit menegakkan tubuhnya saat merasakan bahunya ditepuk dari belakang.

Halilintar mengangkat lidah topinya. Matanya menyipit, berusaha memfokuskan objek pandangannya. Setelah itu, dia dapat melihat siapa gadis berhijab putih yang tengah mengulurkan sebotol air minum padanya—walau nyatanya wajah itu buram di penglihatannya.

Melihat lelaki di hadapannya menautkan alis, tanda kesal dan ragu, Yaya tersenyum. “Ambil aja! Gue nggak ngeletakin racun di sini kok!”

Halilintar menghela. Mau menolak, namun dia sadar kalau tenggorokannya sangat kering. Ya sudah, terima saja. Urusan beracun atau tidaknya itu urusan nanti.

Gadis berjaket merah muda itu tersenyum saat lelaki di hadapannya merebut botol minuman dan meminumnya sampai menyisakan seperempat saja. Setelah itu, dia pergi, ketika Halilintar mengusap bibirnya kasar.

Pemuda itu menatap botol berwarna biru dan kepergian Yaya dengan bertanya-tanya. Dia baru menyadari ada sebuah kejanggalan di sana.

“Haliii! Kenapa lo minum minuman punya gue?!” Suara yang mirip dengan tikus kejepit itu nyaris membuat botol biru terlepas dari genggamannya.

Halilintar menghela napas lelah saat melihat gadis berkacamata biru berdiri di hadapannya, dengan wajah kesal. Dia menggedikkan bahu cuek, kemudian menyerahkan botol biru itu pada sang pemilik.

Cewek berdarah cina itu menatap kecewa botol minumnya yang isinya tersisa sedikit. “Lo habisin?!” pekiknya, mengalahkan suara Yaya. Tapi Halilintar hanya menatap cuek entah kemana.

“ASTAGA, LO GIMANA, SIH!? INI TUH MINUMAN DATANG BULAN GUE, HALI!”

Halilintar terdiam. Wajahnya memucat. Matanya membelalak. Sepersekian detik kemudian dia langsung memasang raut wajah seolah-olah ingin muntah, sambil berusaha mengeluarkan minuman jahanam itu dari perutnya.

Sedangkan jauh di pinggir lapangan, seorang gadis dengan hijab berwarna putih tertawa melihat reaksi Halilintar.


Day 6

“HALI!”

Suara yang terdengar tak jauh dari arah belakangnya membuat pemuda beriris delima itu menghela napas lelah.

Ternyata, berusaha menghindari Yaya lebih sulit daripada menghindari kematian. Sia-sia saja usahanya seharian ini untuk tidak meninggalkan kelas bahkan berpuasa. Ia bahkan rela menunggu sekolah sepi untuk pulang. Namun nyatanya, takdir memang berkata lain.

Dengan berat, lelaki itu menoleh. Sedikit terkejut menadapati gadis berhijab putih sudah berdiri di belakangnya sambil tersenyum. Ah, senyuman aneh yang menyebalkan.

“Baru pulang?” Halilintar menaikkan satu alisnya. Bingung dengan sikap janggal dari seorang Yaya.

Menyadari ekspresi itu, Yaya terkekeh. “Oke deh! Gue duluan ya! Lo hati-hati di jalan!”

Halilintar semakin bingung saat melihat Yaya berlalu begitu saja. Dirinya sedang tidak mimpi, kan? Atau Yaya sedang kerasukan? Setan jenis apa yang sudi merasukinya?

Sadar kalau ini adalah rejeki untuknya, Halilintar kembali melangkah di tengah kebingungannya. Namun, sesuatu yang menepuk bahunya menahan langkah kakinya.

Dengan sangat terpaksa, Halilintar menoleh ke belakang. Dan matanya membulat ketika dia bertemu pandang dengan seseorang yang baru saja menepuk bahunya.

Halilintar terdiam, merasakan dirinya kehabisan kata-kata. Napasnya tercekat di tenggorokkan, sebelum kemudian mulutnya dengan refleks melontarkan kalimat yang mencekik lehernya.

“Kak Taufan?”

***

“Gue sekolah.”

“Nggak!”

Arki mendengus sebal. Kepalanya sudah berdenyut, dan semakin berdenyut mendengarkan ceramah eksklusif dari kakak keduanya—Tian.

Dengan kesal yang disembunyikan, Arki mengalihkan wajah merah yang panas karena demam. Membuat Tian menghela nafas sedikit kasar.

“Arki, kamu sakit. Suruh siapa begadang terus? Makan telat, kadang nggak makan kalo nggak diingetin! Kakak, kan, udah bilang, berkas kantor bisa dikerjain bareng-bar—”

“Tian.” Arki menghela nafasnya. Meskipun Tian—secara biologis—adalah orang yang lebih tua darinya alias kakaknya, namun dia tak pernah memanggilnya dengan sapaan penuh kehormatan seperti “Kakak” Pada umumnya.

Matanya menatap Tian, datar. Namun secara harfiah, dia tengah menunjukkan sebuah permohonan yang besar.

“Mampus!” Adik bungsunya—Nad—tertawa puas di meja belajarnya. Mengutak-atik kertas-kertas di atas sana, bersama Iiro di sebelahnya.

“Makannya nih, Ki. Kalo nggak mau dengar ceramahan Kak Tian, jangan berulah!” Iiro ikut-ikutan mengomel. Tangannya meraih sebuah pena di sana, lalu dengan asal mengambil kertas apapun yang bisa digapainya.

Arki dengan cepat beranjak dari kasurnya. “Jangan pegang—”

“Eits! Siapa yang ngijinin lo bangun?” Satu lagi gadis menjengkelkan, menahan tubuh lemasnya.

Arki memicingkan matanya pada Alya. “Lompat lo dari jendela.”

“Udah pernah, tapi nggak mati, sih.”

Arki menajamkan iris matanya.

Melihat itu, Alya menyingkirkan telapak tangannya dari bahu Arki, mengangkat kedua tangannya, tanda perdamaian. Walau sebenarnya ekspresi mukanya ngajak ribut sekarang.

Arki mendesis. Dia memijat pangkal hidungnya. “Keluar!” Perintah mutlak yang tak ingin dibantah.

“Arki, kamu harus—”

“Gue sehat. Sekolah.” Arki dengan tidak sopannya memotong ucapan Tian.

Gadis itupun memekik tertahan ketika kepalanya ditoyor dari belakang. Dia menoleh untuk menatap pelakunya, kemudian menggeram kesal.

Zuu di sana pasang tampak sok galak. “Yang sopan sama kakak sendiri!”

“Terus sama adek boleh nggak sopan?” tanya Iiro, dari kejauhan. Kebegoannya kambuh.

“Yaa ... tergantung, sih.”

“Apaan digantung-gantung, kayak hubungan aja.” Nad dan Iiro tertawa di sana.

Sementara Zuu menghela nafas, tertekan. Dan Tita menggelengkan kepalanya sembari menatap Alya dengan senyuman. “Ketularan lo,” ujarnya, setelah mencolek bahu adiknya itu.

“Hah? Fitnah!”

BRAK!

ketujuh kakak beradik itu terdiam ketika mendengar suara nakas dipukul begitu kencang, hingga menimbukan bunyi berdebum yang sangat keras.

Di sana mereka dengan serentak menatap Arki, yang mendesis, memberi peringatan dalam diam lewat tatapan tajamnya.

“Cih, kaget sialan! Tian, dia nggak sakit! Lihat, mejanya aja mau retak!” tuding Alya, sama tidak sopannya. Gadis itu terlihat tengah mengelus-ngelus dadanya, karena dialah yang berada paling dekat dengan nakas.

“Gue berangkat,” tekan gadis itu.

“Arki.” Tian mendesah lelah.

“Lo bisa nggak, sih, sehari aja nurut sama kakak sendiri?” Alya yang sudah kesal akhirnya mengeluarkan isi hatinya. Sebenarnya enggan, tapi ya sudahlah, terlanjur. Lagipula dia geram juga lama-lama.

“Berangkat. Keluar kalian semua!” Arki mengusir mereka, mengabaikan ucapan Alya yang tadi. Padahal dari nada bicaranya saja, dia sudah tahu kalau anak itu sudah benar-benar marah.

“Arki....” Tian sekali lagi, mencoba dengan sabar untuk membujuk.

“Ck, udah berangkat aja! Anak bandel kayak dia nggak usah dimanjain!” Namie yang sedari tadi bungkam akhirnya habis kesabaran.

Kesal, lantaran setiap perhatian yang diberikan saudarinya ditolak mentah-mentah.

Gadis yang tadinya tengah bersandar di bingkai pintu dengan tangan terlipat di depan dadanya itu, akhirnya keluar dari ruangan, pergi duluan.

“Ya, sana pergi.” Arki mengusir lagi.

“Arki, kamu nggak bakal—”

“Nggak mood. Udah sana pergi!” Arki akhirnya mengalah. Berpikir kalau dia terus keras kepala, maka mereka tak akan membiarkannya sendirian.

Sebenarnya lebih ke arah tak ingin saudarinya dihukum karena terlambat berangkat ke sekolah, sih. Tapi masa dia bilang begitu? Tanda-tanda kiamat.

“Ya udah, berangkat aja yuk! Arki kalo berangkat ditandain aja, depan rumah nanti cegat, suruh tidur di luar,” ujar Iiro.

“Malah kesenengan dianya,” timpal Zuu.

“Entar lepas, sih, yang ada,” sambung Alya, enteng.

“Dikira love bird anjir.” Iiro dan Nad serentak tertawa.

“Cih, pergi sana kalian bangsat!”

“Wih, seram. Kabur ah!” Dua gadis yang sedari tadi cekikikan itu beranjak dari meja belajar kemudian mengibrit secepatnya meninggalkan ruangan sambil tertawa tentu saja.

Zuu pula menyusul keduanya dengan setengah berlari.

Tian menghela nafasnya lagi. Matanya kembali menatap Arki, kali ini dengan sedikit rasa lelah yang tersirat. “Kita berangkat, Arki. Kamu di rumah ya, istirahat. Jangan lupa minum obatnya. Mau makan pesan aja, jangan masak. Kalo ada apa-apa telep—”

“Tian.” Tita selaku adik yang beda beberapa menit dengan Tian menyeret gadis itu dengan tidak wajar. Tepatnya setelah dia diberi isyarat oleh Alya.

Karena Alya sadar, kalau dibiarkan, Tian ceramahnya nggak akan selesai sampai jam pulang sekolah. Ok, ini berlebihan, tapi ya sudahlah.

“Sebentar, aku belum selesai.”

“Kita punya berkas prompt yang harus disusun. Ayo berangkat!” Tita menyeret lengan Tian hingga keduanya menghilang dari balik pintu.

Arki mendengus, diam-diam sedikit berterima kasih pada Kakak ketiganya itu.

Namun sekarang Arki merasa sedikit tidak nyaman.

Sembari meringis pelan, dia melirikkan manik matanya. “Ngapain lo malah ngeliatin gue, anjing?”

“Nggak ada.” Alya menggelengkan kepalanya, cuek. Seolah-olah dia tidak melakukan apa-apa. Tapi memang benar begitu.

Atau Arki saja yang merasa kalau gadis itu sedikit menekannya kali ini?

“Ya udah, bye.

Seusainya kalimat itu tersampaikan, Alya berbalik. Melangkah pergi, meninggalkan Arki dengan sunyi di dalam ruangan itu sendiri.

Arki sedikit mengerang. Rasanya sedikit aneh mengingat dirinya yang sangat menyukai ketenangan kini merasa sedikit merinding dengan itu. Mungkin hanya efek demam.

Arki menghela nafasnya. Pusing yang mendera kepalanya membuat kelopak matanya terasa berat. Dia mendengus sebal, memaki kesal. Persetan, panas ini sangat mengganggunya! Dia ingin mandi saja!

Dengan perlahan, gadis itu bergerak untuk beranjak dari kasurnya.

Namun ketika kakinya menginjak lantai, Arki kembali mendapati Alya masuk ke dalam kamarnya, dengan membanting pintu dengan keras. Membuatnya menaikkan satu alisnya secara refleks. Bertanya dalam diam.

Alya yang sepertinya baru saja berlari menaiki tangga karena terlihat bernafas tersengal-sengal akhirnya buka suara. “Hp gue!”

Arki semakin mengerutkan dahi. “Mana tau, anjing!”

“Ah! Sial, gue lupa nyimpen! Bantuin bentar!” Alya nampak menyusuri setiap sudut kamar Arki, mencari-cari keberadaan benda pipih kesayangannya.

Arki memutar bola matanya. Gadis itu ya, apa sehari tidak pegang ponsel saja akan mati?

“Lebay lo!” cibir Arki, pelan. Namun Alya yang berada tak jauh darinya masih bisa mendengarnya.

“Bantuin atau gue acak-acak kamar lo!”

Ancaman sialan itu membuat Arki berdecak. Dengan kesal dia beranjak dari kasurnya, mendekati meja. Mengambil ponselnya dan berdiri membelakangi Alya.

“Tolol lo! Udah diem! Awas aja kalo hp lo di-silent!” Arki menekan nomor Alya tanpa menunggu jawaban gadis itu.

Arki mendekatkan benda pipih miliknya ke telinga. Suara yang masuk ke indera pendengarannya menandakan bahwa nomor itu tersambung.

Ruangan otomatis menghening. Mencoba menangkap suara dering telepon yang mungkin saja teredam oleh benda-benda padat.

Bunyi nada tersambung terhenti. Digantikan oleh suara yang mampu membuat jantungnya berhenti untuk sementara.

“Ki? Ngapain lo nelepon?”

Suara yang familiar itu membuat Arki mematung, dengan wajah memucat. Dia tak bisa mengatakan apapun lagi selain,

“Alya?”

Kalimat itu keluar bersamaan dengan nafas tercekat setelahnya.

“Hah? Tumben? Arki, lo nggak ada niat mau ngapa-ngapain, kan?”

Arki menegang di tempat. Wajahnya pucat pasi. Dia kenal dengan jelas suara itu ... ini suara Alya!

Tapi, bagaimana mungkin itu terjadi? Alya sendiri, kan, sedang berdiri di belakangnya, tak bersuara sama sekali.

Hawa dingin menerpa punggungnya. Dengan keringat dingin yang membasahi pelipisnya, Arki mengumpulkan keberanian, mengumpulkan tenaga untuk menoleh ke belakang.

Dan melihat bahwa ruang di belakangnya kosong.

Tak ada siapapun di kamarnya selain dirinya. Alya, atau siapa pun yang pernah berada di ruangan itu bersamanya, telah menghilang secara misterius tanpa jejak, namun jendela dan pintu tetap tertutup rapat.

Arki membuka sedikit mulutnya, bernafas tidak teratur. Merasakan bahwa lututnya melemas, seolah dia tak bisa lagi berdiri.

Hingga kemudian suara ketukan di pintu menarik kembali kesadarannya.

“Arki? Kamu di dalam?”

Suara berat yang tidak asing di telinganya itu membuat Arki menghembuskan nafas lega.

Dengan begitu, dia berlari menuju pintu dengan kaki gemetar. Tangannya terulur, menarik pintu untuk terbuka, dan sampai di depan sana, dia langsung terduduk sembari meraih tangan seseorang yang berdiri di depan kamarnya itu.

“Arki? Hei? Kenapa? Kenapa kamu gemetar?” Laki-laki itu ikut berjongkok, nampak panik dan khawatir. Dia mengusap punggung gadis itu, mencoba menyalurkan ketenangan.

“Bawa—bawa gue keluar!” Arki menarik lengannya, mendongak, mencoba mendapatkan tatapan laki-laki di hadapannya.

“Kenapa? Kamu kenapa?”

“Gue jelasin. Bawa gue keluar!”

Mendengar kalimat yang terlontar hampir dengan tergagap itu membuat laki-laki yang lebih jangkung darinya itu mengenali adanya rasa takut yang tersirat dari nada bicaranya.

Walaupun bingung, dia mengangguk. Tangannya menarik lengan Arki untuk berdiri. Berlari menuruni tangga dengan sedikit tertatih, dan begitu mereka sampai di depan pintu lantai bawah, Arki bernafas lega, juga tak sanggup lagi berlari.

Gadis itu akhirnya jatuh terduduk di atas lantai teras rumah, dengan sedikit linglung. Laki-laki di sebelahnya berinisiatif untuk mengelus punggungnya, dan sedikit menggeser tubuhnya untuk memberikan kehangatan tubuh yang menggigil itu.

“Alya—A-Alya di dalam. Tapi tadi dia nelepon—di luar....” Arki mencoba menyusun kata untuk menjelaskan.

Laki-laki di sebelahnya otomatis mengerutkan kening. “Gimana maksudnya? Alya? Bukannya adik sama kakak kamu semuanya lagi pada di luar kota?”

Arki mendorong lelaki itu kemudian mendongak. Matanya menatap tidak percaya. “Di luar kota?” ulangnya, dengan suara kecil.

“Hum, kamu nolak ikut karena nggak mau ketemu sama Papa, kan? Sebenarnya ini tadi Kak Tian nelepon, suruh jagain kamu, takutnya—”

“Tapi tadi mereka ada di kamar!” Arki memotong dengan suara tinggi.

“Pamit ... berangkat sekolah ... marahin gue juga.” Suara Arki semakin memelan setiap di akhir kalimat, hingga kemudian dia terdiam dengan sendirinya.

Arki tak bereaksi. Entah kenapa, membiarkan saja punggung tangan yang dingin itu menempel di pipinya. Sementara dia sendiri larut dalam pikirannya yang kosong.

“Arki, kamu demam.”

Apa semua yang terasa begitu nyata hari ini, masih bisa dia sebut sebagai efek demam belaka?

Sialan, atas segala nama umpatan, Arki menyumpahi kabut hitam yang menelan dirinya, semakin pekat dan memotong pikirannya dengan seenaknya.

#4

Alya mendengus. Sudah beberapa menit berlalu, namun perasaan kesal yang mendera gadis itu tak kunjung berlalu.

“Kenapa aku harus dipasangkan denganmu, sih?!”

Untuk yang ke—entahlah, Alya malas menghitung. Yang jelas lagi-lagi, kalimat itu meluncur dari mulut sialan iblis kurang ajar yang sedari tadi bersuara.

Ayolah, kalau kesal tinggal diam saja, kan? Terus mengoceh seperti ini malah memberikan kesan caper? Entahlah, intinya begitu. Lagipula Alya bukannya mau menerima ini.

“Sial, kenapa harus kamu—”

“SALAHIN PEMIMPIN KALIAN ITU YA!”

Berpasang-pasang mata mengarah padanya. Alya meringis kecil lalu mengangguk pelan, mencoba mengabaikan.

Ok, jadi intinya mereka sudah ada di dalam gereja, karena diseret seorang biarawati yang mungkin saja merasa kasihan atau aneh melihat mereka—hanya Iiro sebenarnya—mondar-mandir di depan gereja seperti orang linglung.

Mereka dikira kesurupan, karena tingkah aneh Iiro yang terus menggeram sebelum dan setelah biarawati itu mendekatinya. Yah, intinya semua ini salah Iiro!

Nyaris saja, biarawati itu dihabisi oleh Iiro yang tidak suka diseret masuk ke dalam gereja untuk dibaptis katanya. Namun Alya menengahi. Dan rencananya, mereka akan berdoa sebentar—pura-pura juga gak apa-apa—seharusnya begitu.

Tapi iblis di sebelahnya ini membuat Alya jadi tidak khusyuk berdoa. Memang dasarnya setan, ya tugasnya menyeret manusia beriman seperti dirinya ke neraka.

Iiro menggedikkan bahu. “Apa kita memang harus melakukan ini?” Sepertinya dia tidak mengerti juga.

“Hm.” Alya yang mencoba khusyuk pada doanya hanya bergumam.

“Apa yang harus ku lakukan?” tanya Iiro.

“Berdoa,” jawab Alya.

“Bagaimana caranya?” tanya Iiro, lagi.

Ya Tuhan. Alya hanya bisa menghela nafasnya mencoba sabar.

Iiro memperhatikan posisi duduk Alya yang tegak sempurna, dengan menyatukan kedua telapak tangan, dan menghadap salib besar di hadapan mereka dengan kepala menunduk.

“Bapa kami yang di sorga, Dikuduskanlah nama-Mu....”

Iiro melihat mulut Alya sedikit berkomat-kamit, kemudian berakhir menggerakkan tangannya untuk menyentuh kedua sisi bahu secara bergantian, dan mencium tangannya.

Iiro mengikutinya, dengan bersemangat karena dia sadar diri dia banyak salah.

“Raja kami, Yang Mulia raja Byleth, yang merajakan neraka, ampunilah kami akan kesalahan kami. Karena Engkaulah yang empunya kerajaan dan kuasa dan kemuliaan atas neraka sampai selama-lamanya.”

Setelah memanjatkan dengan keras 'doa' itu, Iiro mengikuti gerakan tangan Alya yang tadi.

Entah menyadari atau tidak tatapan terkejut jemaat lain di belakang mereka, Alya menatap horor pada Iiro. Ini musyrik namanya.

“Kenapa?” Iiro yang merasa ditatap seperti itu mengerjap bingung. “Raja kita, kan, beda.”

Alya memijat batang hidungnya sembari menghela pelan. Dia lantas menyeret Iiro menjauh dari Nave, setidaknya menjauhi jemaat yang menatap mereka dengan tatapan aneh, seperti ingin menyucikan mereka.

Tapi Alya gak ikutan musyrik ya! Baptis aja tuh si Liro! Ya Tuhan, ampunilah segala dosa-dosanya.

“Dimana biasanya mereka menyimpan benda itu?”

“Di dalam,” jawab Alya, cepat.

Tak menghiraukan Iiro yang mulai mengeluh, Alya melirikkan iris matanya. Mencuri-curi pandang pada biarawati yang berjalan dan kemudian menghilang di balik pintu.

Ah, jadi di situ ruang Sakristi nya. Tapi bagaimana caranya ia dan iblis ini bisa masuk ke sana?

“Hei, lama sekali, sih! Kapan kita akan mengambil benda keramat itu? Apa perlu aku melempar manusia-manusia ini ke neraka dulu?”

Alya melotot pada Iiro, menyuruhnya menutup mulut, atau setidaknya, pelankan suaranya. Astaga, sekali lagi, dirinya jadi pusat perhatian jemaat di sana.

Alya mengabaikan. Dia melamun, larut dalam pikirannya. Mencoba mencari cara, dan tak lama kemudian tiba-tiba tersenyum.

Iiro yang berdiri di sebelahnya menatap horor. “Apa manusia gampang gila sekarang?”

“Aku punya rencana.”

Kalimat itu setidaknya membuat Iiro diam penasaran. Namun sepersekian detik kemudian, iblis itu memucat.

Dia merasakan firasat yang buruk.


Iiro menggeram. Secara tiba-tiba, dia mendorong tubuh Alya hingga keduanya jatuh menghantam lantai. Sementara tangannya mencekik leher Alya.

Alya memberontak. Kakinya secara refleks terangkat, dan lututnya menabrak perut Iiro sehingga gadis itu terdorong dan menyingkir dari atasnya.

Alya terbatuk, kemudian bangkit dari posisinya. Tangannya bergerak mengusap kepalanya yang sakit akibat terbentur lantai. Dan lagi-lagi, Iiro kembali menerjangnya.

“Sial!” Alya mencekal kedua tangan Iiro yang mencekik lehernya sangat kencang, sampai ia benar-benar tak bisa bernafas.

Keributan itu menarik atensi orang-orang di sana. Beberapa jemaat mencoba memisahkan mereka, namun Alya mengangkat tangannya, menghentikan mereka.

Dengan susah payah, dia mencoba berbicara. “Tolong ... dia kerasukan ... iblis.”

Kalimat yang meluncur dengan patah-patah itu sontak saja membuat manusia-manusia di sana panik.

Beberapa biarawati dengan sebotol air di tangannya dan seorang pendeta terlihat mendekat, menarik Iiro dari Alya.

Gadis itu terbatuk ketika cekikan Iiro akhirnya terlepas dari lehernya. Tangannya memegang lehernya, sementara matanya menatap Iiro yang tengah dikerubungi biarawati, disiram-siram air, sementara pendeta itu membacakan doa padanya.

Mampus kena baptis! batin Alya, seraya mendesis kecil, merasakan perih pada lehernya. Sial, sepertinya iblis itu benar-benar ingin membunuhnya.

Tak perlu mengkhawatirkan iblis itu lagi, karena dia tahu, seekor iblis tak akan lenyap hanya dengan terkena siraman air suci, paling cuma kepanasan.

Kalaupun lenyap juga gapapa, Alya tinggal bilang saja iblis ini kecebur air suci.

Alya lantas mengalihkan atensinya. Perhatian orang-orang sudah teralihkan, sekarang dia bisa bergerak diam-diam menuju ruang Sakristi.

Dengan langkah cepat, tak perlu pakai mengendap-ngendap lagi, gadis itu berjalan cepat menuju ruangan khusus di dalam gereja.

Sampai di dalam ruangan yang nampak sepi tak berpenghuni itu, dia dengan tanpa ragu mulai mengecek beberapa lemari, bahkan laci meja di dalam sana, namun tidak mengacak-acaknya. Bagaimanapun juga, dia tahu ini area terlarang.

Ya Tuhan, ampuni segala dosa kami.

Mata Alya tak sengaja menatap pada sebuah kotak yang mirip dengan tabernakel. Dahi itu mengernyit.

Kenapa tabernakel ditaruh di sini?

Alya melupakan tujuan awalnya. Rasa penasarannya yang tinggi membuat gadis itu akhirnya memilih untuk mendekati tabelnaker itu.

Saat sampai di hadapannya, hal yang dia lakukan pertama kali adalah menyatukan kedua telapak tangannya, baru kemudian dia mengulurkan tangan untuk membuka pintu lemari itu.

Click!

Tentu saja, itu terkunci, bodoh!

“Ketemu?”

Alya berjengit, nyaris berteriak ketika mendengar suara yang begitu dekat dengan telinganya.

Iiro di belakangnya, mendaratkan kakinya dan sayap di belakang tubuhnya menghilang. Alya tak mengerti.

“Kenapa di sini?”

“Ya karena mereka sudah aku bereskan.” Iiro menyeringai setan.

Alya tidak peduli dengan apa yang Iiro katakan tentang 'bereskan', mungkin dia menekan titik pingsan satu persatu manusia di sana. Gadis itu mendengus kecewa. Yah, gagal mengirim iblis ke alam baka.

“Heh! Kenapa kamu malah keliatan gak suka aku ada di sini?!”

Ya dari awal juga sebetulnya dia sudah tidak suka Iiro ada di hadapannya.

Alya menghela nafas, tak menjawabnya, karena dia tahu, diladeni maka iblis ini akan semakin berisik.

Dengan itu, Alya kembali melanjutkan pada tujuan awal. Kakinya bergerak mendekati lemari yang seingatnya belum dia sentuh, lalu membukanya. Mencari-cari apa yang harus dicarinya.

“Ngomong-ngomong, seperti apa bentuk alkitab itu?”

Gerakan tangan Alya yang mengacak-acak isi lemari berhenti ketika kalimat itu selesai terlontar. Tubuhnya terdiam, kepalanya mencoba memutar sebuah ingatan.

Benar juga. Alkitab apa yang dia inginkan? Jika hanya injil, dia bisa cari ke rumah orang-orang tanpa harus mengincar gereja.

Alya berpikir keras. Gadis itu membulatkan matanya dan tubuhnya menegang, ketika dia mendapatkan sesuatu yang mengejutkan.

“Hei, aku nanya ya! Kenapa diam saja?!” Iiro yang sewot didiamkan dari tadi akhirnya meninggikan suaranya.

Alya berbalik badan. Matanya menatap Iiro, dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan. Iblis itu bahkan sampai tersentak melihat tatapan Alya.

“Kotak itu, coba kau buka pintunya!”

“Hah?” Iiro mengikuti arah telunjuk Alya menunjuk. Dan mata merah kebiruannya menangkap sebuah kotak mirip lemari di pojok ruangan.

Bentuknya menarik. Mata Iiro berbinar karenanya. “Wah! Ini apa? Sangat artistik! Kerajaan neraka bahkan tidak memilikinya, aku harus menyuruh Arki untuk membawanya bersamanya—”

“Hei! Kau jangan menyentuhnya, sialan!”

Itu benda sakral. Dan Iiro tentu saja tak diperbolehkan menyentuhnya, karena sesaat setelah tangan gadis itu menyentuh kotak itu, dia terlempar ke belakang hingga punggungnya menabrak ke dinding.

Menimbulkan suara “BRAK!” yang mungkin bisa didengar sampai ke luar ruangan.

Mengabaikan Iiro yang meringis, Alya sendiri sangat terkejut.

Bagaimana bisa efeknya sekejam itu pada seekor iblis? Ini benar, ada yang tidak beres.

“Bodoh, sih! Maksudku kau buka dengan kekuatan merusakmu! Aku ingin melihat isinya apa!”

Yang benar saja? Gereja ini menyimpan tabernakel lain? Lantas yang diletakkan di dekat altar itu apa?

“Sedang mencari sesuatu?”

Kedua gadis itu tersentak. Alya yang mencoba membantu Iiro menolehkan kepalanya, begitupula dengan Iiro.

Seorang pastor dengan pakaian khasnya tersenyum pada mereka berdua.

“Saya mendengar keributan dari dalam, jadi saya pikir ada tikus di dalam sini.”

Orang itu mendekat. Dan Alya dibuat kebingungan saat dia merasakan Iiro meringkuk ke pojokan.

Alya menatap Iiro. Ketakutan. Ada apa dengan iblis ini?

“Dan di sini terasa tekanan yang sedikit berbeda.”

Alya benar-benar tidak yakin, entah dia mengkhawatirkan dirinya yang ketahuan mengendap-endap ke ruangan khusus, yang jelas itu dilarang.

“Bisa kita bicarakan masalahnya?”

Atau sebenarnya dia mengkhawatirkan hal lain?

#3

“Ini waktunya istirahat.”

Suara itu akhirnya muncul di dalam ruangan yang sedari tadi dilanda oleh keheningan.

Tau kalimat itu tertuju padanya, Alya menggedikkan bahunya. Matanya tetap fokus pada laptop di hadapannya, sedangkan jari-jarinya sibuk menari di atas keyboard itu.

“Kami ada di ruang rapat, jika kau mencari kami.” Zuu berdiri dari tempat duduknya dan pergi keluar ruangan. Disusul oleh Namie, dan terakhir Tian.

Tapi gadis itu bicara terlebih dahulu. “Jangan paksakan dirimu, Alya. Kami menunggumu.” Baru setelahnya, dia pergi dari sana.

Sepeninggalnya ketiga temannya dari sana, Alya menghela nafasnya. Dia memutar kursi kerjanya hingga menghadap jendela, lalu menengadahkan kepalanya. Manik aquamarinenya menatap hamparan biru yang menjulang di atas sana.

Matanya menerawang jauh. Semilir angin meniup pelan helaian rambutnya, Alya menikmati kedamaian itu. Untuk sejenak, dia melupakan masalahnya.

“Lagi ngapain?”

Baru akan larut dalam ketenangan, Alya dikejutkan oleh suara yang tiba-tiba muncul bersamaan dengan tepukan di bahu yang muncul dari belakang.

Gadis itu spontan menoleh. Begitu tau siapa yang mengejutkannya, dia kembali mengalihkan pandangannya, mengabaikan orang itu.

“Kenapa di sini?” tanya Alya, pada akhirnya. Merasa aneh pada lelaki yang seharusnya di jam-jam seperti ini dia masih bertugas.

“Kamu?”

Alya berdecak. “Ini ruanganku.”

“Dan kamu tempatku.”

Alya terdiam selama beberapa saat sebelum kemudian dia menghela nafasnya. Ada apa lagi ini?

“Aku sibuk,” ujarnya, bermaksud mengusir makhluk di sebelahnya yang seenaknya ikut menikmati kedamaian di dalam ruangannya.

“Aku juga.”

Alya mengernyitkan alisnya. Kalimat itu berhasil membuatnya menoleh. “Terus kenapa di sini?”

“Aku sibuk nemenin kamu.”

“Dahlah.”

Alya kembali menatap hamparan langit. Enggan menatap wajah lelaki di sampingnya. Takutnya nanti malah berdebat, dia malas.

Sebetulnya bertemu saja sudah malas, sih. Entahlah, seharusnya dia pergi saja, tapi sesuatu seolah menahannya untuk pergi padahal dia ingin.

Ah, padahal dia ingin memikirkan solusi harus bagaimana dirinya setelah ini.

Dia terlalu percaya diri kalau teman-temannya akan setuju padanya seperti biasa, tapi pada akhirnya, ini malah merepotkan dirinya sendiri.

Sial, Alya benar-benar pusing.

“Udahan belum?” Suara berat itu kembali terdengar setelah beberapa saat keheningan melanda mereka.

Alya mendengus. Dahinya mengerut bingung sedikit kesal lantaran segala hipotesa yang sempat berkeliaran di kepalanya hilang begitu saja.

Gadis itu kemudian menoleh. Iris matanya kembali menatap laki-laki jangkung di sampingnya. “Apanya?”

Lelaki itu tak menatapnya dan dia terdiam sejenak. Dia ikut mendengus, sebelum kemudian berkata, “Aku cemburu.”

“Hah?” Refleks Alya memasang ekspresi bingung.

Alya benar-benar tak mengerti. Dari tadi, manusia di sampingnya ini mengatakan omong kosong berkali-kali.

Sudah bikin gerah, tidak jelas lagi!

Kenapa, sih, makhluk-makhluk di sekitarnya ini membuatnya berpikir keras terus?!

Laki-laki itu kemudian menoleh. Kali ini, Alya dapat melihat wajah itu sepenuhnya. Dihiasi oleh ekspresi murung.

Dia membuka mulutnya. “Dari tadi kamu natap langit terus.”

Oh shit, enough!

”... Kapan kamu natap akunya?”

Alya tak bisa berkata-kata lagi.

“Aku cemburu.”

Dia menyesal tidak ikut teman-temannya tadi.


Namie menatap aneh pada Alya yang tiba-tiba bergabung dengan mereka. Bukan karena tidak senang, tapi melihat ekspresi ketua mereka yang begitu....

Namie penasaran, ingin bertanya sebenarnya, tapi dia malas. Ya sudah diam saja.

“Alya, kenapa?”

Dan Tian mewakili segala perasaannya. Terima kasih, Tian.

“Gak ap—”

“Habis diapelin cowoknya.”

Alya menolehkan kepalanya, mencari asal suara yang dengan kurang ajarnya memotong ucapannya. Dan matanya menangkap satu sosok yang tengah tengkurap di atas meja rapat. Dia tahu siapa itu.

“Ember banget jadi iblis,” gumam Alya.

“Manusia anjing!” umpat Iiro.

Shut up, brat!

Gertakan itu muncul bersamaan dengan suara benda yang terbanting keras ke atas lantai.

Dan bersamaan dengan itu pula, muncul tiga sosok lain yang sudah berada dalam posisi mereka masing-masing, dan itu tidak ada sopan-sopannya. Mereka menguasai tempat.

Seolah dirinya dan teman-temannya hanya sebuah debu yang pantas diinjak-injak dan dianggap tidak ada.

Lagipula kenapa mereka bisa tiba-tiba ada di sini? Berani banget datang ke kantor pemberantas iblis!

“Tidak perlu perkenalan, kita langsung saja.”

“Hei, jangan seenaknya ya! Ini tempat kami!” marah Alya.

“Baiklah, Tita, beritahu manusia-manusia bodoh ini mengenai Lucifer.” Arki mengabaikan ucapan Alya. Iblis itu sudah duduk dengan posisi kaki saling menyilang, dan tangan terlipat di depan dadanya.

“Brengsek!”

Arki diam tak menanggapi. Dia melirik ke arah Tita. Dan iblis yang didominasi oleh warna ungu itu menganggukkan kepalanya paham.

“Terakhir kali, dia terlihat di sekitar distrik 2 titik 1,4 pukul 11:32 p.m sampai 11:58 p.m. dua hari yang lalu.”

“Kemungkinan dia masih ada di sekitar sana adalah 78%.”

Mendengar itu, Alya membulatkan matanya. Dia sudah ada di sini?

Arki terdiam sejenak kemudian mengalihkan tatapannya. Dia menatap ke salah seorang gadis manusia dengan tatapan yang sulit diartikan.

“Maaf, ada yang salah?” Tian yang merasa sedikit tidak nyaman terus ditatap seperti itu akhirnya menyuarakan ketidaknyamannya.

“Dia meminta penjelasanmu,” ujar Iiro dari tempatnya bertengkurap ria.

“Apa yang harus saya jelaskan?”

“Hei, gak usah formal kalau sama Liro, dia gak ngerti bahasa formal,” sahut Nad.

“Asem!”

“Distrik 2.”

Suara Arki menghentikan perdebatan dan mengalihkan perhatian mereka. Kembali membuat ruangan itu menjadi tempat rapat yang semestinya.

“Jelaskan tentang distrik 2,” ujar Arki, setelah menghembuskan nafasnya kasar.

“Distrik 2 ya kota, Ki!” Iiro yang menyahut.

“Maksudku ada apa di sana?”

“Ya ada orang, Ki,” jawab Nad, ikut menyahut.

“Parah, biasa main di neraka jadi gitu dia.” Iiro tertawa bersama Nad. Keduanya melupakan image iblis yang kemarin mereka tunjukkan di depan keempat manusia ini.

“Kalian bicara lagi, aku cambuk di balai kota.”

Ajaibnya, kedua iblis itu langsung berhenti tertawa dan membungkam mulut mereka.

Dan keempat orang di sana hanya bisa cengo melihat keributan kecil yang dilakukan iblis-iblis ini. Hei, kemana hilangnya karakter serius mereka kemarin?

“Hei, idiot, aku meminta rincianmu.” Arki kembali menatap pada Tian sembari melipat tangannya di depan dada, dan menumpu kedua kakinya di atas meja.

Namie yang mendengar temannya dipanggil seperti itu tentu saja tidak terima. “Iblis sialan, jika kau tak bisa menjaga perilakumu, keluar saja dari sini!” bentaknya.

Arki menatap gadis itu datar. “Aku bahkan tidak pernah menggertak kalian, siapa di sini yang tidak sopan?”

Dituding seperti itu, Namie berdiri dari duduknya. “Brengsek! Enyahlah kau—”

Namie berhenti, begitu merasakan sebuah tangan yang tidak terlalu besar mendarat di puncak kepalanya. Dan juga dia bisa mendengar geraman yang terdengar dari belakang.

Nad tiba-tiba sudah menjagal kepalanya.

“Kalian kelewatan!” Alya yang sebetulnya sudah tidak tahan akhirnya mengeluarkan kemarahannya.

It's ok, hellhound itu tak akan membunuhnya. Itu hanya instingnya kepada seseorang yang dia anggap ancaman.” Arki melirik ke arah Nad yang seperti biasa, gadis yang melayang di belakang Namie itu tersenyum tak berdosa.

“Kita lanjutkan saja, berikan rincianmu, Nona.” Arki kembali menatap ke arah Tian.

Gadis itu mengangguk, menurut saja. Tidak mau salah satu temannya nanti malah diserang kalau dia sampai-sampai menolak.

“Distrik 2 itu pusat kota. Wilayah dengan penduduk terpadat, dan tentu saja, di sana ada banyak fasilitas umum,” jelas Tian, selugas mungkin.

Melihat keempat iblis itu nampak diam tak bergeming, Tian kembali melanjutkan. “Fasilitas umum itu mencakup rumah sakit, universitas, pusat perbelanjaan, bank, pusat transportasi, museum, dan gereja.”

Keempat iblis itu serentak menegang.

“Ah, gereja,” gumam Tita.

“Kenapa? Apa yang salah dengan gereja?” tanya Zuu, pura-pura bodoh, tapi terdengar seperti mengejek.

“Ki, diledakin aja,” celetuk Nad.

“HEH, JANGAN, SETAN!” pekik Zuu.

“Hah? Apa urusannya denganmu?” Nad dan Zuu sontak berdebat. Disusul oleh Iiro, dan gadis itu berakhir dikeroyok.

Sementara Alya menatap pertengkaran itu dengan tatapan aneh. Bukannya kemarin mereka tidak terima dan saling melayangkan tatapan membunuh? Kenapa sekarang kelihatannya malah jadi akrab?

Yang terpenting, kenapa sekarang mereka malah membiarkan iblis-iblis ini enak-enakkan di ruangannya? Bukannya seharusnya mereka tebas satu-satu?

“Apa Lucifer mencoba mencuri alkitab itu?” tanya Tita, menghentikan kebisingan di sana, dan menarik berpasang-pasang mata padanya.

“Kalau begitu benar, kita bom saja supaya alkitabnya juga hil—”

Pletak!

“Dosa banget kamu, cil!” kata Iiro, setelah menjitaknya.

“Apa yang salah? Kita, kan, makhluk pendosa,” jawab Nad.

I see.” Gumaman Arki yang terdengar kencang mengalihkan perhatian mereka.

Arki sedikit tersentak ketika ditatap seperti itu, namun dia bisa mengontrol dirinya untuk memasang wajah natural. Dia berdeham kemudian kembali menatap dengan arogan. “Dapatkan alkitab itu sebelum dia.”

“Apa?!” Zuu memekik tidak percaya. “Apa yang kau pikirkan? Kenapa harus begitu?” Gadis itu langsung melayangkan macam-macam pertanyaan dalam satu waktu.

“Karena kita tidak bisa membiarkan bajingan Lucifer itu mendapatkannya, tolol,” maki Arki. Membuat Zuu menggeram, menahan amarahnya.

Arki menggulir matanya. Kemudian, dia mengangkat telunjuknya. “Kau Hiyak, dan Wiro. Kalian yang ambil,” titahnya.

Wait, you call me?!” tanya Alya.

“KENAPA AKU?!” teriak Iiro, yang kaget sekaligus tidak terima dirinya yang dari tadi diam saja tiba-tiba ditunjuk.

“Ulah siapa?” tanya Arki.

“Oke iya, aku jalan,” jawab Iiro, pasrah. Takut dicambuk di balai kota.

“Tunggu! Kenapa tiba-tiba begini?” kesal Alya.

“Anggap saja aku bereksperimen.”

Ketujuh gadis di sana serentak menatapnya bingung. Arki otomatis meralat ucapannya. “Aku hancurkan, atau kalian ambil?”

“Lagipula pastor tak akan membiarkan kita menyimpan alkitab itu, tak ada gunanya meminta baik-baik.” Arki kembali melanjutkan, seolah tahu dengan apa yang akan disampaikan oleh Tian. Gadis itupun terdiam.

“Ikuti saja!” Arki membanting kakinya sendiri ke atas meja, kemudian bersandar pada kursi, dengan posisi tangan melipat di depan dadanya.

“Babi seperti kalian hanya harus menuruti perintahku.”

Kalimat pedas itu membuat Alya mendengus.

Entahlah, mungkin saja, dia menyesal, sudah mengiyakan tawaran iblis kurang ajar ini kemarin.

Lagipula bukannya ini kebalik? Kenapa pada akhirnya, dia malah tunduk dan rela seja diperintah oleh bajingan seperti dia?

Sampai detik ini, Alya tak menemukan jawaban atas pertanyaannya sendiri.

#2

“Aku bicara dengan damai.”

Alya berdecak dalam hati. Kali ini, matanya dapat melihat dengan jelas sosok bersurai biru tua yang berdiri arogan tepat di hadapannya.

Memandang dirinya dengan tajam, seolah jika dia bergerak sedikit saja, maka dia akan mati di tempat.

“Aku minta, bekerja sama dengan kami, atau mati.”

“Hah?!”

Ini bukan suara Alya, atau teman-temannya. Melainkan berasal dari ketiga makhluk yang seharusnya mereka bantai.

Tapi setidaknya respon itu mewakili keterkejutan mereka yang kesulitan bicara.

“Arki, kamu kekurangan bawahan atau gimana? Apa kami tidak cukup?” protes Iiro, tidak senang.

Si empunya nama yang sudah berdiri di hadapan Alya dan teman-temannya mengabaikan ucapan Iiro. Iris hijaunya mengerling, mengamati satu persatu wajah keempat gadis yang menatapnya dengan jenis tatapan yang berbeda.

“Bekerja sama dengan kami,” ulang Arki, terdengar memaksa.

“Hah? Untuk apa kami—” Zuu membungkam mulutnya serapat mungkin. Ucapan itu seharusnya diteriakannya di dalam hati, tapi kenapa mulutnya malah keceplosan? Ya sudah, bagus juga, sih.

“Tunggu, bisa kau jelaskan dulu maksudmu tiba-tiba mengajak kami bekerja sama?” Seorang gadis berambut hitam legam membuka suara dengan tegas. Dari nada bicaranya, ada ketidaksukaan dan keseganan yang bercampur menjadi satu.

“Untuk menyingkirkan Lucifer.”

Jawaban luwes itu membuat keempat gadis di hadapannya, termasuk ketiga iblis di belakangnya membelalakkan mata mereka.

“Aku tau tujuan kalian,” lanjut Arki.

Dia melipat tangannya di depan dada. “Dan dengan begitu tujuan kita sama.”

“Biar aku jelaskan.” Arki menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya sedikit kasar. “Pada positif, kalian memerlukan negatif untuk meleburnya.

“Anggap saja Lucifer positif. Dan kami adalah negatifnya. Jika dikalikan maka hasilnya negatif. Tapi kalau negatif kami berasal dari negatif yang dikalikan dengan positif kalian....”

”... Bukankah akan jadi lebih bagus?”

“Hah?” Zuu kebingungan. Ketiga temannya yang lain kicep, tidak mengerti sama sekali.

Sementara ketiga iblis di belakang sana saling berbisik.

“Ro, dia ngomong apa?” tanya Nad.

“Gak tau, otak aku ketinggalan di neraka,” jawab Iiro.

Dan setelahnya, tak ada yang menyahut sama sekali. Membuat gadis itu menghela nafasnya kemudian berjalan mendekati salah satu dari keempat gadis di hadapannya.

“Intinya, bekerja samalah dengan kami untuk menyingkirkan Lucifer.” Arki berdiri di hadapan Alya. Sedikit menundukkan kepalanya untuk bisa menatap mata gadis itu dengan langsung.

“Apa yang kau janjikan pada kami jika kami menerima tawaranmu?” tanya Alya.

“Kalian bisa gunakan kami untuk kekuatan kalian. Dan kalian akan kami gunakan untuk tameng kami. Setimpal kan?”

“Mana bisa begitu!” Zuu protes tidak terima, dan mulai mengoceh.

Sementara Alya, terlihat berpikir. Sedikit membenarkan ucapan iblis di depannya yang menyinggung tujuan mereka.

Lucifer adalah musuh besar manusia. Malaikat itu bahkan berani menentang yang di atas hingga diusir dari surga. Lantas bagaimana jika dia turun ke alam dunia?

Bencana. Lucifer adalah ancaman.

Tapi menerima tawaran ini juga tidak memberikan keuntungan yang jelas. Meski tujuannya jelas sama, bisa jadi dia harus mempertaruhkan nyawa teman-temannya, bahkan orang lain.

Alya mengepalkan tangannya. Dia bimbang. Semua pilihan yang ada di depannya benar-benar meresahkan.

“Aku akan berikan jaminan.” Arki yang melihat ekspresi Alya kembali buka suara.

Alya yang mendengarnya melirik tertarik.

“Setelah Lucifer musnah, kalian para manusia tak akan lagi terganggu dengan kehadiran para iblis.”

Alya semakin bimbang. Ini kesempatan emas, haruskah dia terima? Tapi apa resikonya?

Gadis itu menggigit bibirnya. Dia benar-benar bingung.

“Apa kami bisa percaya pada kalian?” Dan di tengah keresahannya, Namie menyahut dengan ketus.

Sementara Arki menggedikkan bahu. “Itu urusan kalian.”

Membuat Namie berdecih, dan otomatis mengangkat senjata apinya kemudian menodongkannya pada iblis di hadapannya.

“Kalau begitu, enyahlah,” ujar Namie. Gadis itu menatap tajam, sebelum kemudian dia menarik pelatuk pistol di genggamannya.

Tetapi saat peluru meluncur dari sana, benda kecil itu dihentikan oleh sesuatu yang tidak terlihat.

Namie terkesiap. Sontak saja, dia berniat menembakkan kembali peluru, namun niat itu tertahan ketika dia merasakan sesuatu mendorong tubuhnya dan membuatnya terbanting cukup keras ke permukaan.

Tidak hanya dirinya, ketiga temannya juga ikut terpental ke belakang.

Gadis itu meringis menahan sakit. Dia mencoba bangkit, tapi seluruh tubuhnya terasa remuk, nyaris tak bisa digerakkan. Dan sepertinya, ketiga temannya juga begitu.

“Masih mau melawan?” Arki berdiri di hadapan mereka dengan arogan.

Dia berjongkok. Mencoba berbicara lebih dekat dengan Namie. “Ini bukan aku.” Setelahnya, dia mendelikkan iris hijaunya, mencoba menunjuk seseorang di belakangnya.

Dan ketika Namie mengikuti arah pandangan Arki, dia menangkap sosok gadis mirip bocah SMP tengah menatap ke arah dirinya sembari tersenyum tak berdosa.

“Jangan banyak tingkah.” Arki kembali berdiri. Dia sedikit melangkah untuk menjauh, namun kembali berbalik untuk menghadap keempat gadis itu.

“Kalian pikir dengan otak kecil kalian itu, kami saja sedikit kewalahan menghadapi Lucifer, apalagi kalian, manusia-manusia bodoh.”

“BANGSAT!”

Tian cepat-cepat menahan Namie yang kembali brutal hendak menerjang iblis yang berdiri arogan di hadapan mereka.

Arki tersenyum miring. Berdecih pelan lalu dia melanjutkan ucapannya.

“Lihatlah sendiri dengan mata sialan kalian, sudah jelas dari segi kekuatan saja, kalian hanya bayi-bayi babi yang lemah tak berguna.”

“Jadi, diamlah dan ikuti saja.”

Keempat gadis itu diam. Serentak bungkam, bukan karena kehabisan kata-kata, namun tidak ingin membuang-buang energi dengan memaki iblis sialan di hadapan mereka ini.

“Baiklah.”

Suara itu membuat ketiga gadis di sana termasuk Arki mengalihkan tatapannya pada Alya.

“Kami terima tawaran kalian.”

“Hiyak?!” Zuu menyahut tidak terima.

Sementara Arki tersenyum tipis. “Deal.”

“Kami akan kembali.”

Setelahnya, dia berbalik dan melangkah pergi meninggalkan keempat gadis yang masih kesulitan menggerakkan tubuhnya akibat efek serangan dari Nad.

Namun dia masih harus menghadapi ketiga iblis sialan yang menatap dirinya tidak terima.

“Ki, yang bener aja?!” protes Iiro.

“Menentang peraturan,” gumam Tita.

“Aku emang pernah bilang peraturan dibuat untuk dilanggar. Tapi kalo kamu yang lakuin, jangan deh!” Nad yang biasa terima-terima aja ikut-ikutan protes.

Arki yang sudah sampai di belakang mereka tentu saja langsung menarik Tita, lalu menendang bokong Iiro dan Nad, menarik dan mendorong ketiga gadis itu untuk pergi dari sana.

Setelahnya, mereka menghilang begitu saja ditelan gelapnya malam.

Tersisa keempat gadis yang masih saling mendiamkan diri. Satu diantara mereka mencoba menahan diri untuk tidak memaki karena ketiga temannya menatap dirinya begitu intens.

“Yak, kamu beneran?” tanya Zuu, lagi.

“Alya, bukannya ini terlalu beresiko?” Tian menyahut risau.

“Cih, dasar bodoh.” Dan Namie berdecih ketus.

Namun gadis itu mengabaikan semuanya. Dia yang sudah bisa bangkit lantas berdiri dan berbalik, melangkah pergi, meninggalkan ketiga temannya yang menatap dirinya tak percaya.

Alya tahu sebenarnya, ini terlalu beresiko. Tapi tak ada pilihan lain, jalan satu-satunya saat ini adalah menerima tawaran mereka.

Karena Alya yakin, jika mereka menolak, keempat iblis di hadapannya tak akan segan langsung mencemplungkan mereka ke api neraka.

Terlebih lagi tidak ada satupun dari empat iblis itu yang terpengaruh auranya. Alya benar-benar heran. Iblis macam apa mereka?

Dan apa-apaan aura iblis yang satu itu?!

Alya berdecih. Memikirkan hal ini membuatnya pusing sendiri.

Mengambil resiko besar untuk satu peluang kecil.

Alya kemudian tersenyum, menertawai kebodohannya sendiri.

Untuk pertama kalinya, dia menyesali keputusannya sendiri. Tapi apa boleh buat?

Lagipula dia menyukai hal ini.