— 光 —
Arki tidak pernah punya teman. Tidak pernah memiliki seseorang yang bisa dia panggil untuk menghabiskan waktu, untuk bersenang-senang. Setiap hubungan yang dia miliki selalu didasarkan pada harapan dan keuntungan.
Maksudnya, siapa juga yang mau berteman dengan seseorang yang punya kekurangan?
Itu semua karena saat itu. Arki, pewaris tunggal kelompok Adlantha yang bergengsi menjadi bisu setelah dia mengalami kecelakaan yang sengaja dimanipulasi oleh seseorang.
Dan karena insiden itu, tepatnya, Arki kehilangan kedua orang tuanya pada usia sepuluh tahun.
Dia tidak beruntung sama sekali.
Dan karena itulah, Arki berusaha untuk tidak terlalu memikirkan kecacatannya. Tentang bagaimana dia tidak akan pernah memiliki suaranya sendiri lagi. Meskipun dia mengatakan pada dirinya sendiri bahwa dia tidak terlalu peduli, tetapi terkadang dia merasa keadaan itu merepotkan.
“Arki!”
Kemudian dia bertemu dengan anak berisik yang menjengkelkan.
“Arki, aku datang lebih dulu daripada kamu!”
'Arki, Arki, Arki.' Secara harfiah, itu seharusnya mengganggunya. Tapi Arki tidak pernah menyangka Alya akan menjadi bagian penting dalam hidupnya.
Keduanya selalu berselisih satu sama lain sejak mereka bertemu.
Tetapi dengan berlalunya hari dan semua kegiatan yang mereka lakukan bersama di setiap pertemuan, mereka berdua semakin dekat. Entah bagaimana.
Alya tidak memperlakukan Arki seperti gangguan. Sebaliknya, dia memperlakukan Arki secara pribadi, bukan karena nama Adlantha-nya. Tidak mengasihani dia atau mengolok-olok dia di belakang punggungnya.
Juga adalah seseorang yang memojokkan seorang anak kelas dari angkatan di atasnya, yang mengatakan tentang bagaimana “Anak cacat sepertimu seharusnya tidak sekolah di sini!”
Arki menutup mata untuk itu. Dia tahu akan selalu ada orang seperti ini. Dia sudah terbiasa dengan itu semua.
“Terus kenapa?”
Arki menoleh cepat dan melihat bagaimana si rambut cokelat pasir mengerutkan dahinya, menarik kerah laki-laki itu, sementara jarinya yang terlipat menodong seperti sebuah pistol.
Alya lalu menjawa lantang, “Dia mungkin punya kekurangan, tapi usaha yang dia lakukan bahkan jauh lebih baik dari apapun yang kalian semua lakukan!”
Dengan mengatupkan giginya, mata bersinar dengan tajam pada anak-anak itu, sementara Arki menyaksikan dari samping bagaimana ekspresi ketakutan tercetak jelas di wajah mereka, dan keyakinan di wajah gadis ini.
Arki belum pernah bertemu orang orang yang membelanya seperti itu.
Ketika akhirnya orang-orang itu pergi, gadis berkuncir dua itu menghela nafasnya. Dia berbalik, menatap Arki yang hanya bergeming kepadanya.
“Aku keren, kan?” Alya berucap sembari menepuk dadanya sendiri dengan bangga. “Aku lihat ini semalem di Tv tau! Dia nodongin pistolnya, terus berdiri di depan temannya, ngelindungin teman baiknya! Kayak gini!”
Melihat Alya memperagakan karakter yang dibicarakannya dengan binaran di matanya, mata Arki berputar jengah, dan dia hanya berdengung pelan tidak peduli.
“Kamu seharusnya jangan diam aja kayak orang bodoh!”
Ah, itu kalimat ironis yang menyinggung perasaannya.
Arki secara naluriah akan mengabaikan kalimat itu. Berpikir dia tahu bahwa sebenarnya itu tidak berniat untuk mengejek dirinya, karena itu memang faktanya. Dia diam karena tidak bisa bicara.
Benar juga, kenapa dia bisa lupa? Pada akhirnya, semua kembali ke awal, bahwa mereka semua tetap akan merasa aneh pada 'hening'nya yang seperti seorang pecundang.
Arki menghela nafasnya kemudian bola matanya bergulir ke bawah, ke saku roknya, meraih sesuatu dari dalam sana. Lalu mengeluarkan sesuatu itu dan menyerahkannya pada gadis di hadapannya dalam diam.
Dia sudah memperkirakan waktu ini akan tiba.
“Kamu emang suka bawa uang sebanyak ini?! Untuk apa ini?”
Arki mengerutkan kening. Bukankah dia selama ini melakukannya karena menginginkan ini?
Itu faktanya, kan? Tidak ada yang ingin berhubungan dengan orang cacat seperti dia jika mereka tidak akan mendapatkan keuntungan sebagai balasannya.
Dan sekarang sudah waktunya untuk 'membalas', kan?
“Loh, tunggu! Ini kamu bayar aku?”
Arki tersentak ketika mendengar suara cempreng itu begitu penuh tekanan. Dia mendongak, hanya untuk melihat sorot mata penuh kekecewaan dan kemarahan di sana.
Arki otomatis mengkoreksi diri. Apakah dia melakukan kesalahan?
“Kamu jangan bodoh gitu dong! Aku juga punya uang, walau nggak sebanyak punya kamu.”
“Terus juga kamu seharusnya pukul mereka, kayak yang di film action di Tv aku semalam! Aku tahu, kamu anak karate, kan? Itu keren! Kenapa kamu diam aja?”
Memukul mereka? Oh tunggu, dia tidak berniat mengejeknya?
Arki menatap diam pada dia yang menampakkan senyum bodoh. Arki tak habis pikir dengan apa ini sebenarnya. Apa yang diharapkan orang ini padanya sebenarnya?
Dia benar-benar susah ditebak.
Saat orang-orang lainnya biasanya akan membiarkannya begitu saja.
Alya berbeda.
Alya akan memarahinya untuk menjaga dirinya lebih baik. Untuk tidak tinggal begitu terlambat. Untuk tidak selalu terkubur dalam kesibukannya.
Dan bahkan jika Arki tidak mendengarkannya, Alya akan ada di sana, duduk di kursi yang sudah ditariknya ke sebelahnya, dan menunggunya.
Itu membuat Arki kesal tanpa akhir.
Tidak seorangpun menikmati menghabiskan waktu bersamanya. Tidak seorangpun tahan duduk lama di sebelahnya. Lalu kenapa dia bisa?
Saat kemudian Arki menghadapinya dengan mengatakan untuk tidak bersikap demikian hanya karena kasihan, Alya akan menggedikkan bahu dan mengatakan, “Ini bukan belas kasihan. Aku suka mengganggumu saja.”
Dan di situlah Arki diam. Kembali mengabaikan Alya yang terus mengoceh sambil menampilkan senyum bodohnya.
Arki juga kadang memperhatikan bagaimana Alya, datang lebih dulu di kelas. Lalu fokus pada ponsel dengan tangan bergerak-gerak mencoba menyusun sebuah kalimat dalam bahasa isyarat.
Dan ketika Arki berpura-pura mengetuk pintu, atau melakukan apapun yang menarik perhatian, Alya akan tersenyum kikuk dan menyimpan ponselnya ke bawah kolong meja lalu mengajaknya bicara.
Arki tahu Alya sengaja mempelajari bahasa isyarat karena mereka sadar, tidak bisa selalu bergantung pada kertas dan bolpoin atau ponsel untuk berkomunikasi.
Ada perasaan tidak enak ketika Arki memikirkan bagaimana repotnya Alya terpaksa harus mempelajari bahasa isyarat itu untuknya. Tapi ketika dia bertanya, Alya menjawabnya sambil tertawa.
“Aku belajar bukan buat kamu tuh!”
Kalimat itu membuat wajahnya panas dan Arki mendengus. Lalu setelah itu dia memutuskan untuk mendiamkan Alya yang terus mengoceh meminta maaf, dan sempat meminta contekan padanya.
Itu praktis menyebalkan, tapi Arki membiarkannya saja, terus seperti itu, karena dia tidak keberatan.
Semuanya berubah setelah Arki tak sengaja mendengar percakapan yang dia dengar saat dia melewati wilayah kelas lain.
“Alya itu, bodoh, kan?”
“Dia mau temenan sama anak bisu, padahal dia bisa dapat lebih banyak teman yang normal.”
“Kasihan ya?”
Arki otomatis tersenyum tipis. Dia pergi dari sana, dan kalimat itu dengan jelas berdengung di kepalanya, seperti alunan sirine yang membuat paru-parunya terasa ditarik ke perutnya.
Sepertinya dia akhirnya sampai di suatu tempat. Pengakhiran.
Dan setelah itu, Arki akhirnya memutuskan untuk membuat jarak. Menutup diri dari Alya sepenuhnya. Tidak memberitahunya apapun tentang alasan mengapa dia begitu tertutup selama beberapa minggu terakhir.
Bahkan ketika Alya mendesaknya untuk memberitahunya apa yang mengganggu dirinya, Arki tetap keras kepala dan menutup bibirnya.
Arki bukannya enggan namun dia percaya bahwa dengan cara ini dia melindungi Alya.
Alya tidak perlu tahu masa lalu temannya yang bermasalah ini dan akibat keadaannya yang seperti ini Alya jadi kena getahnya.
Lebih baik begini saja.
“Kamu seharusnya menjauh dari sini!”
Semuanya berubah buruk ketika Arki tiba-tiba diseret dan dibawa melewati lorong-lorong sekolah, lalu dipaksa masuk dan didorong ke dalam toilet di ujung koridor yang sepi, sudah tak dipakai lagi.
Arki otomatis meringis ketika salah satu dari mereka yang berdiri di belakangnya menarik rambutnya, memaksa kepalanya untuk menengadah.
“Alya seharusnya nggak temenan sama kamu.”
“Kamu cuma orang bisu, cacat, nggak normal. Nggak seharusnya bahagia.”
Arki mencengkeram tangan yang menarik rambutnya. Kata-kata itu bergema di telinganya, membuat oksigen di paru-parunya bergemuruh di dalam dadanya.
“Kamu seharusnya jangan diam aja kayak orang bodoh!”
Suara cempreng yang menyebalkan itu membuat mata Arki berkilat. Dia mengatupkan mulutnya. Kemarahan, kekesalan, rasa jengkel, berkumpul menjadi satu di dalam dadanya menjadi sebuah perasaan sesak.
Dan karena itulah, Arki memelintir tangan orang yang menjambak rambutnya, lalu mendorong tubuhnya kencang.
Kemudian salah satu dari mereka berteriak murka, mengatakan dengan lantang bahwa dia tidak pantas hidup di sana, berteman dengan Alya yang naif dan memanfaatkan kebaikannya.
“Emang apa hak kalian ngelarang aku?”
Mata Arki membulat melihat siluet seseorang yang dikenalnya berdiri tak jauh darinya dengan wajah ditekuk dan tangan terlipat di depan dada. “Aku teman Arki, dan aku sendiri yang pilih dia jadi temanku.”
Dan ketika matanya bertemu pandang dengan iris biru kristal itu, orang itu tersenyum. Mendekat, membelah gerombolan itu lalu menarik tangan Arki.
“Arki itu temanku.” Lalu pergi menariknya dari sana.
Dan Arki hanya diam. Berpikir setelah semua ini, mengapa Alya masih begitu peduli padanya bahkan setelah sekian lama?
Alya seharusnya meninggalkan seseorang seperti dia. Tetapi bahkan setelah melalui semua ini, Arki melihat Alya mengatakan kepadanya bahwa dia percaya padanya.
Dia bahkan masih memanggil dirinya teman.
“Kamu jauhin aku karena mereka ya?”
Setelah dirinya menyeret Arki ke belakang sekolah, tempat mereka biasa bermain menghabiskan waktu, Alya bertanya mengapa Arki tidak memberitahunya apapun tentang masalahnya.
Tidak pernah memberi tahu siapapun, untuk bisa sedikit meringankan bebannya. Bahwa dia tidak harus melalui semua omong kosong ini sendirian.
Dia juga mengatakan betapa marahnya dia karena Arki mendadak menjauhinya dan mengabaikannya. Marah tentang bagaimana Arki menempatkan dirinya untuk masalahnya sendirian. Gila karena dia sangat peduli sehingga menyakitkan.
Ketika Arki bertemu mata dengan Alya, dia melihat sekilas bagaimana Alya di masa lalunya. Yang terbiasa merasa kecil dan kurang percaya diri. Orang yang selalu merasa bahwa dia tidak berguna dan hanya malapetaka.
Dia tahu ini karena Alya telah berbagi masa lalu dan masalahnya.
Dan saat ini, sudah waktunya bagi Arki untuk melakukan hal yang sama.
Arki mundur dan menjelaskan tentang dirinya sendiri. Tentang bagaimana dia hanya ingin Alya lepas dari cemoohan. Tentang bagaimana dia ingin Alya berteman dengan seseorang yang 'sama' dengannya.
Tangan Alya otomatis terangkat untuk meraih tangan Arki, menghentikannya. Dan Alya memberitahunya bahwa dia mengerti. Dia memberitahu bahwa dia melihat maksud baik Arki.
“Tapi karena kita teman, seharusnya kita jalanin sama-sama! Kita teman, kan?! Kita teman—”
“Alya.”
Suara kecil itu membuat nafas Alya tercekat dan matanya melebar karena terkejut. Semua kata-katanya tertelan begitu saja di tenggorokkan ketika Arki menatapnya dengan pandangan lurus.
Arki pernah memimpikan bagaimana kehidupannya jika suaranya normal. Bagaimana suaranya jika itu tidak hilang. Dan bagaimana nada bicaranya jika dia memanggil nama seseorang, menyatakan betapa menjengkelkannya orang itu.
Dan Arki ingin dia mendengarnya.
“Kita ... teman, dasar ... bo-doh.”
Suara itu, jelas tegang dan sangat kesakitan. Tapi Arki tidak peduli. Meski ini tidak sempurna, dia tidak peduli. Dia ingin memberitahu seberapa penting dirinya.
Jadi dia mendorong, untuk memberi tahu yang lain sebelum Alya bisa menyelanya.
“Alya—” Namun suara Arki pecah, tidak mampu melanjutkan. Rasanya seperti semuanya sakit, seolah-olah rasa sakit dari tenggorokannya menyebar ke seluruh tubuhnya.
Tapi itu belum cukup. Arki ingin mengatakannya lagi.
“Aku tau!” Alya memotong dirinya yang hendak berbicara lagi dengan suara tinggi. Menggenggam pergelangan tangannya, dan itu membuat Arki mengerjapkan matanya.
Alya menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya perlahan. Menatap Arki dengan sorot mata penuh tekad, dan sangat intens.
Lalu tiba-tiba dia tertawa terbahak-bahak.
Arki sontak menaikkan satu alisnya, bertanya-tanya apa yang lucu. Namun Alya menggelengkan kepala dan lanjut tertawa, sampai dia kemudian mengusap sudut matanya yang mengeluarkan air mata karena geli.
“Suaranya beneran punya kamu, Ki.”
Arki terdiam, terlihat memproses kalimat itu. Lalu setelah beberapa saat bungkam, dia akhirnya membelalakkan matanya dan wajahnya memerah sempurna. Menangkap perkataan Alya.
Alya tentu saja melihat itu, dan dia tertawa lagi dengan kencang.
Arki sontak menundukkan kepala dan tangannya mengepal di samping badan. Melihat bagaimana mulutnya mengatup rapat dan tatapannya berubah walau wajahnya masih jelas nampak memerah, Alya berhenti tertawa. “Eh?”
Saat itu dia akhirnya merasakan bagaimana dipukul di perut oleh Arki yang sedang memerah. Alya tak akan melupakan ini.
Ya, sudah seharusnya itu memang seperti itu.