Darkizhit

Au

#Au

“Arki, aku sudah bilang padamu untuk tidak menggunakan kekuasaanmu dalam segala hal.”

Alya melihat gadis di hadapannya menoleh, menatap dirinya dengan mata remeh dan senyum merendahkan tersungging di bibirnya.

“Dan aku sudah bilang padamu bahwa aku tidak peduli.” Dia mengejek, dengan suaranya yang monoton. Kekanakan.

Alya mengepalkan tangan. Dan karena itulah, gadis berambut hitam itu mendesis. Marah. Dia menarik kerah seragam kebanggaannya, jas mahal, dan beberapa lencana terpasang di sana. Mendorongnya ke dinding dan menahannya.

Arki mendengus karena tekanan itu, tapi Alya tidak peduli. Dia berkata, memanggil dan mengeluarkan suara yang dipenuhi dengan kemarahan yang bahkan membuat dirinya sendiri terkejut. “Dengarkan aku baik-baik, Arki.”

Dia mulai menarik nafas. Mencoba mengurangi emosinya, tapi itu justru menambah penekanan. Lalu matanya menatap tajam, ganas.

“Kamu berpikir bahwa karena uangmu, kamu merasa hebat, ya? Semua orang akan mengikutimu, kan?”

Alya tersenyum.

“Yah, coba tebak. Semua orang ada karena uangmu. Tapi setelah kamu kehilangan itu semua, kamu akan kehilangan segalanya.

“Lihat saja, tidak ada orang yang tahan dengan sikap kekanakanmu, egois dan bajingan! Dan pada akhirnya kamu hanya akan menjadi seseorang yang kesepian, tidak benar-benar dicintai.”

“Menyedihkan bukan?”

Alya menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Dia terengah-engah, lalu kembali mengatur nafasnya sendiri. Tangannya melepas cekalan, dan menyuruhnya pergi.

“Dan?”

Lalu suara sombong itu terdengar lagi.

Alya menoleh dan melebarkan matanya hanya karena melihat tatapan mata yang berkaca-kaca, dipenuhi emosi tak terbaca. Ekspresi tergambar seperti dia habis diganggu oleh orang jahat.

Kenapa jadi seolah-olah, dirinya yang salah?

Selama Alya berdiri dan diam tak bergerak sedikitpun, diam-diam dia merasakan Arki berdiri tegak, membenarkan dasinya lalu berbalik melangkah pergi dan berkata, “Seberapa jauh kamu mengenalku?”

Dan kemudian dia benar-benar pergi.

Alya tergamam. Rasanya dia mendengar suaranya agak ... rusak.

Tapi itu bukan salahnya! Ini semua salah orang itu sendiri karena—

Apa? Ini salahnya karena dia sombong, kaya? Karena terlahir di keluarga kaya?

Ini salahnya karena dia terbiasa tumbuh dan bergantung sepenuhnya pada uang?

Karena menjadi orang yang tidak mengerti cinta tanpa uang?

Alya mengusap kasar wajahnya lalu mengerang. Arki memang orang yang arogan dan angkuh, dan menganggap bahwa semua masalah bisa diselesaikan dengan uang, itu adalah masalahnya.

Tapi mengatakan bahwa orang-orang sekitarnya ada untuknya hanya karena uang, di samping dirinya yang berusaha membangun kepercayaan pada orang-orang di sekitarnya, maka itu terkesan kasar, lancang, dan buruk.

Alya mengacak surainya lalu meninju udara dan berteriak frustrasi, merasa sial.

“Mengapa rasanya, aku yang jahat di sini?”

Setelah puas melemparkan kekacauan pikirannya, Alya berjalan dengan gontai menuruni tangga untuk kembali ke ruang kantor ketika kepalanya yang kusut mengingat ada beberapa tumpuk dokumen yang harus diurusnya.


“Alya, kami pulang duluan.” Suara Anstian menyadarkannya dari lamunan berkepanjangan dan gadis itu kemudian mengangguk lesu.

Anstian yang melihat itu hanya menghela nafasnya. Tahu seberapa keras Alya ingin menyembunyikan emosinya, tapi selalu gagal.

Sementara Iiro dan Nad sudah sibuk sendiri pada dunia mereka, Namie menegur mereka untuk segera masuk ke mobil dan pulang. Anstian yang terakhir pergi, menurut dengan patuh setelah dia meninggalkan beberapa pesan untuk Alya.

Ruangan itu kini sepi. Hanya ada Alya, dan komputernya yang menyala, juga beberapa tumpuk arsip keuangan yang harus disusunnya.

Alya menghela nafasnya. Matanya tak henti-hentinya mengerling ke arah meja kosong tepat di depannya, lalu telinganya tak henti-hentinya memutar kalimat Anstian.

“Alya, seseorang agak canggung, dia tidak tahu kehidupan di luar kehidupan yang dia jalani. Dibesarkan secara berbeda dan dia memandang sesuatu secara berbeda. Tapi meski begitu, dia mencoba yang terbaik untuk menyesuaikan diri juga.”

“Jadi, Alya, yang ingin aku katakan adalah, bersabarlah dengannya. Arki mungkin sombong dan merendahkan, tapi dia bukan orang jahat.”

Alya tersenyum sedikit.

Anstian benar-benar luar biasa, dia bisa tetap sabar dan bersimpati dengan orang-orang di sekitarnya, tidak peduli siapa mereka.

Gadis dengan ikat kuncir kuda itu menyandarkan tubuhnya ke kursi lalu menghela panjang. Menatap ke arah jam dinding, dan memikirkan sesuatu yang membuatnya beranjak dari kursinya tak lama kemudian.

Alya berjalan keluar gedung departemen, menghirup udara malam yang senggang dan dingin dengan segala pikiran kacau yang berkecamuk di kepalanya.

Setelah beberapa menit berjalan-jalan, dia melangkah ke arah mesin kopi.

Dia duduk di kursi kosong, sendirian, membuka tutup kaleng dengan mudah, lalu meminum isinya dengan sedikit tatapan kosong, sampai dia terbatuk karena tersedak.

“Akh! Sial! Minum saja tidak bisa!” Alya mengerang dan langsung melempar botol kaleng itu ke tempat sampah lalu berdiri, meregangkan sedikit tubuhnya dan berbalik untuk kembali ke gedung departemen.

Tepat saat dia berbalik, dia merasakan sesuatu menabraknya dan menghasilkan bunyi bruk keras dan Alya tersentak refleks menunduk untuk melihat apa yang jatuh di hadapannya.

Seorang anak kecil—

Tunggu, kenapa ada anak kecil di tengah malam begini? Bukan hantu, kan?

“Ma-maaf, aku tidak—” Ucapan Alya terhenti saat anak kecil di bawahnya menyodorkan selembar kertas dengan nominal yang tidak sedikit sambil mengatakan, “Pergi dan jangan cari aku.”

“Hah?”

Anak itu tersentak kecil dalam beberapa saat, bingung. “Oh, kau bukan pelayan Ayahku?”

Alis Alya berkedut. Pelayan katanya?

Alya mendapat suara monoton. Tatapan iris hijau yang sedikit gelap di bawah remang lampu, arogan, wajah datar tak berekspresi, dan—

Alya terkesiap. “ARKI?!”

Alya membungkuk meraih wajah anak bersurai hitam keunguan di depannya. Menepuk pipi mungilnya berkali-kali sambil terus memastikan bahwa yang di depannya ini nyata.

“Arki ... nggak, nggak, kamu pasti bukan—Arki? Kamu Arki?!” Alya tertawa dan terkejut secara berulang kali dalam pengulangan yang kontras. Berteriak sendiri sementara tangannya sibuk memutar kepala gadis kecil di depannya untuk mendapatkan setiap inci wajahnya di penglihatannya.

“Apa ... apa yang terjadi? Apa kamu baru saja tak sengaja menggunakan penemuan bodoh imajinasimu? A-atau kamu diculik dan dipaksa jadi kelinci percobaan serum penyusutan? Atau kamu anak Arki ... SAMA SIAPA ANJIR?”

“Berapa yang kau mau?”

Alya tersentak kemudian merubah raut wajahnya dengan cepat. Alis berkerut, kesal dan bingung.

Sementara anak di hadapannya praktis terdiam dengan ekspresi bingung. Tak lama kemudian dia buka mulut untuk bicara, “Untuk apa kau repot-repot berpura-pura bingung seperti itu, Tante? Berapa yang kau inginkan? Sebutkan saja, tapi biarkan aku pergi.”

Tunggu, apa? Anak ini mengiranya penculik?

“Arki! Jangan bercanda! Kamu tidak mengingatku?” Alya berlutut dan mencekal kedua bahu kecil anak itu lalu mengguncangnya pelan.

“Aku tidak tahu sudah sampai mana kau menggali informasi tentangku, untuk kepentingan itu.” Arki dengan tenang dan santai, mencekal pergelangan tangan yang menjegalnya. Meski itu tidak berasa apa-apa, tapi Alya mengetahui bahwa anak ini berusaha terlihat berani.

“Tapi kalau kau mau uang, cepat sebutkan dan tidak usah bicara apapun pada Ayahku.”

“Karena dia tidak akan peduli.”

“Apa katamu?”

Alya terkejut sendiri menyadari nada suaranya yang berubah drastis. Membuat anak di depannya otomatis terdiam, dan tangannya mencekal lebih erat padanya.

Sadar bahwa dirinya secara tidak sengaja menakutinya, Alya berdeham. “Pertama, biar aku jelaskan, aku bukan penculik. Hanya seorang pegawai kantoran divisi fin. FC yang tidak mengerti kenapa bisa dapat rekan kerja bajingan kaya dan tidak tahu diri.”

Dia menghela nafasnya, mencoba mengatur emosinya. Menatap penuh keyakinan agar anak di hadapannya percaya bahwa dirinya bukan orang jahat. “Kedua, namaku Alya. Cukup, panggil aku Alya saja, bukan penculik.”

Alya sengaja mengulang kalimat 'Bukan penculik' untuk meyakinkan, dan dia refleks tersenyum saat anak di depannya mengangguk paham.

Alya pun melanjutkan kalimatnya. “Ketiga, kenapa kau bisa di sini?”

Alya dapat melihat anak itu menatapnya lama, sebelum kemudian dia mengalihkan pandangan. Tangannya tak lagi mencekal dan beralih memilin bagian lengan baju Alya, bibirnya mengerucut.

Dan Alya mau tak mau percaya, bahwa yang di hadapannya ini benar-benar seorang anak kecil.

“Oke, kau kabur dari rumah?” tebak Alya, yang dibalas dengan keheningan dan Alya yakin tebakannya benar.

Alya menghela nafasnya untuk yang kesekian kalinya. Gadis itu memijat pangkal hidungnya, lalu berdiri tegak. Membuat anak dengan kisaran usia tujuh tahun itu mendongakkan kepalanya. Tinggi, Alya sedikit merasa bangga pada itu.

“Baiklah, aku akan mengantarmu pulang.” Alya meraih pergelangan tangan kecil Arki, dan menariknya. Tapi dia berhenti karena anak itu enggan beranjak.

Alya kembali berbalik. Menunduk untuk melihat tatapan skeptis dari mata hijau itu.

“Arki, ini sudah malam dan kau harus pulang. Keluargamu akan mencarimu—”

“Tidak.”

Alis Alya yang mengerut praktis berkedut dalam kekesalan saat matanya menangkap tatapan keras kepala dari anak bersurai hitam keunguan di hadapannya.

Mendengus, Alya mengusap kasar wajahnya. Terdiam sejenak, tanpa kata-kata, dia memutuskan untuk mengulurkan tangan, mengangkat anak itu dengan mudah, menggendongnya.

“TIDAK! AKU TIDAK MAU PULANG! LEPASKAN AKU! AKU AKAN MEMBAYARMU, TAPI JANGAN BAWA AKU PULANG, BRENGSEK!”

Ya ok, itu kasar. Alya akan terkejut kalau anak ini bukan Arki.

Arki terus berontak. Memukul kepalanya dan menjambak rambutnya sampai Alya tahu sendiri ikatan rambutnya jadi berantakan karena ulahnya. Terus menendang dirinya. Dan Alya tidak peduli, meskipun itu lumayan menyakitkan.

Alya akui, untuk ukuran anak kecil, itu sangat bertenaga.

“Aku ....”

Mendengar suara dengan nada bicara yang pelan membuat Alya berhenti, dan menunduk, untuk melihat wajah anak itu. Mata berkaca-kaca, dan bibirnya cemberut.

“Aku tidak pernah memiliknya ....” Arki mencekal erat kemeja krem di bagian pundaknya.

Membuat Alya gelagapan, karena anak ini mulai akan menangis.

“Aku tidak bisa ... mendapatkannya. Tidak bisa ... dibeli.” Dan benar-benar menangis.

Alya panik. “Hei, hei, jangan menangis. A-apa yang mau kau beli? Es krim? Atau cokelat? Aku akan ... aku akan belikan—”

“Ingin Ayahku.”

Alya membulatkan matanya. Semua kalimat yang berputar di kepalanya otomatis berhenti di ujung lidah. Itu adalah satu kalimat ambigu dengan artian luas, tapi Alya tahu ke arah mana kalimat itu berjalan.

Menggigit bibirnya, Alya mengedarkan pandangan. Berusaha mencari tumpuan lain asal jangan manik komplemen dari magenta yang menyorotnya dengan maksud tertentu itu.

“A-aku akan ... bicara pada Ayahmu ... untuk itu.” Dia berdecak dalam diam atas ketidakyakinan dalam suaranya.

Arki menggelengkan kepalanya. Dia menenggelamkan wajahnya di bahu Alya dengan bahunya sendiri bergetar, yang membuat Alya otomatis terdiam, bingung.

Alya tidak punya pengalaman dengan anak kecil, apalagi menenangkan mereka yang sedang menangis, dalam masalah seperti ini. Jadi dia hanya bisa mengusap dan menepuk kepalanya, sambil sesekali bergumam 'Jangan menangis' dan tidak ada lagi yang bisa dia lakukan.

Alya semakin bingung. Dalam kepanikannya sendiri, dia memutuskan untuk membawa anak ini ke rumahnya saja.


Arki mengeratkan pegangannya pada Alya ketika gadis yang lebih tua menurunkannya dari gendongan. Menyuruhnya secara tidak langsung untuk duduk di atas apapun yang bentuknya seperti kasur, tapi lebih kecil dari yang sering dilihatnya.

Dan tindakannya entah kenapa, sekali lagi, menarik helaan kasar dari mulutnya. “Apa kau merasa aneh pada kasurku atau jijik atau apapun? Tapi ku mohon, duduk! Punggungku pegal!”

Mata sedikit sembab itu mengarah padanya, menunjukkan sebuah ekspresi bingung dan waspada yang kontras di wajahnya yang memerah karena emosi di beberapa menit sebelumnya. “Ini di mana?”

Alya menghela nafasnya, lagi. “Kenapa baru sekarang kau bertanya, huh? Aduh, cepat turun dulu, kau berat tahu!”

Arki berdengung pelan dan mulai tak menolak ketika Alya menurunkan tubuhnya ke atas lantai.

Sementara Alya meregangkan otot-otot di tubuhnya sambil mengerang, Arki mengedarkan pandangan. Kepalanya berputar untuk mengamati setiap inci ruangan kecil yang meski kecil, tetap terasa lebih hangat.

“Oh, kita harus mandi. Ini memang sudah malam, tapi, tidak baik tidur tanpa membersihkan diri setelah kita berada di luar.” Alya terkejut pada dirinya sendiri yang mendadak jadi tukang ceramah, padahal dirinya selalu mengabaikan mandi jika pulang larut malam dari kantornya.

Dan Alya terkejut ketika Arki menurut tanpa adanya bantahan yang keluar. Ini berjalan lebih mudah dari yang dia perkirakan.

“Oke, aku mungkin masih menyimpan beberapa pakaian SMP ku, mungkin akan sedikit—”

Alya menelan kalimatnya sendiri setelah dirinya tak sengaja membayangkan Arki, si bajingan kaya kejam yang tidak tahu diri, tenggelam dalam pakaiannya. Praktis membuat dirinya harus mengulum senyum agar tidak tertawa. Akan memalukan jika tiba-tiba tertawa.

Dan dengan itu Alya mengusir Arki dengan kedok “Pergi mandi!” Sementara Arki menurut, dan setelahnya dirinya tertawa dengan suara teredam bantal di kamarnya.

“TANTE! SHOWER-NYA KETINGGIAN!”

Lalu Alya melupakan harga dirinya dan tertawa terbahak-bahak.

***

“Bagus, itu pas denganmu!” Alya mendesah bangga melihat Arki dalam sweater abu-abu, dan celana training hitam bergaris merah SD nya.

Semuanya sedikit kebesaran, dan dia bisa menebak kalau dulu Arki ternyata lebih pendek darinya.

Tapi sekarang Alya harus menahan diri untuk tidak mencubit, memeluk, atau melakukan apapun untuk menyalurkan kegemasannya. Dia tidak bisa seperti ini.

Arki sendiri baru selesai mandi dan duduk di pinggir ranjangnya, sementara Alya, yang duduk di belakangnya mengusak rambut basahnya dengan handuk secara manual karena dia tidak punya pengering rambut dengan alasan hemat uang, dan untungnya, Arki tidak mengeluh karena itu.

“Apa kau ... manja seperti ini jika di rumah? Yah, itu tidak apa-apa, itu bagus. Tapi kenapa di tempat kerja kau seperti manusia brengsek?” Kalimat terakhir keluar dengan suara pelan tentu saja.

“Tidak bisa,” ujar Arki tiba-tiba.

“Hm? Tidak bisa?” Alya memiringkan kepalanya, sedikit menunduk untuk bisa melihat anak yang duduk membelakanginya ini.

“Aku tidak bisa bersikap seperti itu di rumah. Tidak boleh. Itu tidak pantas.”

Alya membuka dan mengatup mulutnya serapat mungkin. Bingung untuk memilih reaksi apa yang harus keluar, dan semua kata-katanya tertahan di kerongkongan.

Selama beberapa saat tidak ada sedikitpun suara di antara mereka, Alya berniat membuka percakapan. Tapi suara perut keroncongan yang jelas di tengah keheningan tertangkap indera pendengarnya. Dan Alya dapat melihat telinga anak di depannya memerah, otomatis membuat Alya mau tak mau harus menahan tawanya karena kasihan.

“Yah, aku tidak punya susu, tapi umm ... kau mau cokelat panas? Mungkin tidak sesuai seleramu karena aku membelinya di supermarket atau aku akan keluar untuk membeli yang lebih—”

“Berikan.”

Alya tersentak. Nada bicara arogan yang akhir-akhir ini membuatnya kesal otomatis membuat dirinya mengepalkan tangan. Tapi dia tidak bisa membiarkan dirinya dikuasai kemarahan karena yang di hadapannya ini seorang Arki, seseorang yang—

Ah, benar.

—Tumbuh dan dibesarkan dengan cara berbeda.

Dengan enggan, Alya beranjak dari tempatnya dan segera menuju ke dapur yang letaknya sekitar sepuluh langkah dari ruang kamarnya.

Tapi Alya tidak melangkah sendiri. Dia merasakan tarikan di ujung bajunya, sementara telinganya mendengar ketukan lembut dari langkah lain di belakangnya.

Alya berdecak. Berbalik untuk bertanya, “Bisakah kau duduk saja?”

Anak itu tidak menjawab, tidak membuka mulut, bahkan tidak bergeming. Matanya menatap lurus, wajah datarnya mengarah padanya dengan penuh kekeraskepalaan. Intinya tidak ingin ditinggal.

Alya mengusap rambutnya dalam kefrustrasian dan mendengus sembari bergumam, “Terserah.” Dan kembali melanjutkan tujuannya untuk membuat minuman hangat, dan mungkin makan malam.

Ah ya, sudah tengah malam, tidak baik jika makan di tengah malam. Tapi siapa yang tahu kalau anak ini ternyata belum makan apapun seharian ini?

Alya melirik ke arah Arki. Gadis kecil itu terlihat mengedarkan pandangan, nampak seperti seorang seniman yang sedang menilai tingkat keartistikan barang-barang di dapurnya, namun tangannya masih tak lepas dari memegang ujung bajunya.

Alya menghela nafasnya. Dia menyerahkan segelas cokelat panas begitu saja. “Ambil ini, dan duduk di sana,” tunjuknya, pada ruang tv yang bisa terlihat jelas dari tempat mereka berdiri.

Arki mengambil gelas di tangannya tanpa banyak bicara tapi tidak segera beranjak. Sebaliknya, dia malah berdiam diri, sembari memperhatikan air cokelat lamat-lamat.

“Apa yang salah?” tanya Alya.

“Punyaku biasanya lebih hitam dari ini.” Arki memiringkan kepalanya.

“Aku biasanya mendapatkan krim kocok di atasnya.” Arki mengangkat gelasnya, mencoba melihat sesuatu di bagian dasar minumannya. “Kenapa tidak ada marshmallow-nya?”

“Yah, bagus, apa kau kritikus makanan sekarang?” Alya mendesah lelah. Melihat bagaimana Arki menatap padanya, mengerjapkan matanya, Alya kehilangan semangat untuk marah-marah. “Coba saja, itu pasti enak!”

Arki mengangguk pelan, menurut. Mulai menyesap cokelatnya kemudian terdiam selama beberapa saat yang entah kenapa berhasil menarik ketegangan dalam diri Alya.

Tapi tak berapa lama kemudian Arki kembali menyesap minumannya tanpa komentar apapun. Alya bersorak tanpa sadar, bangga dan puas melihat binaran yang berkerlip di manik mata anak kecil itu.

“Bagus, kan? Enak, kan? Aku adalah koki rumahan, tentu saja! Sekarang pergi dan duduk saja di sana sampai aku kembali.” Alya mendorong pelan punggung kecil itu, menuntunnya untuk pergi dari dapur.

Setelah itu, Alya mulai berpikir untuk memilih apa yang akan dia masak. Dia meraih lemari es, dan mengamati setiap bahan makanan yang berada di dalam sana. Mencari sesuatu yang tidak merepotkannya, tapi juga bisa mengenyangkan mereka berdua.


Alya duduk dan meletakkan sepiring makanan di hadapan Arki yang sedari tadi matanya mengedar entah kemana, menolak untuk melihat televisi.

Arki mengerutkan dahinya. “Apa ini?”

“Omurice,” jawab Alya.

“Sebuah telur dadar? Untuk makan malam? Dan kenapa ada saus tomat di atasnya?” Dia tidak bisa menahan nada ketidaksukaan yang menyelimuti suaranya.

“Ini Omurice, Arki. Coba saja, ini pasti enak,” saran Alya, yang pada titik ini mulai terbiasa dengan standar kritis yang cenderung dilihat oleh rekan kerjanya—atau calon karena yang di hadapannya versi kanak-kanaknya.

Arki memberinya pandangan ragu, dan dia hanya bisa mengangguk sebagai jawaban. Gadis kecil itu mengambil sendok yang disediakan untuknya, membuka telur yang dimasak dengan sendoknya dan dengan ekspresi terkejut, melihat nasi di dalamnya.

Ini menjelaskan besarnya omelet karena meskipun kebanyakan omelet hanya memiliki sayuran atau daging dan keju di dalamnya. Dia menatap Alya dengan alis terangkat. Alya tersenyum penuh harap harap cemas.

Arki tidak mengerti tapi dia memutar matanya dan mengambil sesendok ke dalam mulutnya.

Dia berhenti. Alya menahan nafasnya.

“Enak.” Monoton, tapi Alya dapat melihat binaran bintang di mata hijaunya. Secara harfiah, membuat Alya bersorak penuh kemenangan, menganggap bahwa dia menyukai makanannya, lalu menyiapkan makanannya sendiri.

Mereka makan dalam diam. Tapi Alya secara terbuka tidak bisa tidak menatap ke arah Arki yang duduk di seberangnya sesekali.

Menyaksikan Arki makan dan menikmati makanan yang dimasaknya, percakapan yang jarang tapi nyaman, di apartemennya di malam hari adalah sesuatu yang sangat aneh. Rasanya ... lucu, dan tidak mungkin akan terjadi tapi inilah faktanya.

Kata-kata yang pernah Tian ucapkan di sekelilingnya, secara bertahap muncul di benaknya.

“Dia hanya tidak tahu cara 'orang biasa' melakukan suatu hal. Tapi dia selalu sebisa mungkin melakukan yang terbaik, yah, dengan versinya.”

Alya menepuk puncak kepalanya. Secara spesifik, mengejutkan anak di depannya, dan dia terdiam dalam kebingungan karena perasaan itu.

Menyadari pergerakan tersentak darinya, Alya sesegera mungkin tersadar. Dia menarik tangannya, dengan canggung tertawa. “A-ah, maaf. Apa itu mengganggumu?”

Arki tak segera menjawab dan malah menatap Alya dalam keheningan. Dia menunduk, menautkan jari jemarinya di atas meja dengan malu, dan mencicit pelan, “Aku belum pernah ... itu tidak apa-apa.”

“Eh?” Alya bergumam bingung. Melihat bagaimana Arki terlihat berusaha memberitahukan sesuatu tentang keinginannya, tapi malu untuk mengatakannya dan itu terlihat mengemaskan. Yah, khas anak-anak.

“Baiklah, ini sudah malam. Dan kau harus segera tidur.” Alya berdiri setelah tangannya menggapai tumpukan piring untuk dibawa ke wastafel. Tapi sebelum dia beranjak, dia menepuk singkat kepala Arki dan mengacak surainya.

Setelah membereskan meja, Alya menuntun Arki untuk pergi tidur ke kamarnya.

Tapi Arki diam di sana. Memandang tempat tidurnya, kemudian dirinya, dengan tatapan yang sulit dijelaskan.

Apa dia tidak suka tempat sempit itu?

Alya mendengus, sedikit tersinggung. “K-kau tidur di sini. Aku akan tidur di tempat lain, tenang saja—” Lalu Alya menunduk untuk melihat tangan kecil itu menarik ujung bajunya.

“Tidak mau.”

“Ya?” Alya mengerjapkan matanya. Menebak dengan apa yang akan Arki katakan selanjutnya dan bersiap-siap untuk menahan diri agar tidak marah pada komentar pedas penuh penghinaan yang akan keluar dari bibirnya.

“Tidak mau sendiri.”

“Oh, baikla—Eh? Apa?” Alya mengerjap lagi, kali ini bingung dan terkejut. Dengan tidak percaya dia melihat ke arah Arki, mencari ekspresi yang menyiratkan kekeliruan atas kata-katanya di wajahnya, tapi itu tidak ada.

“Tidak bisa tidur ... harus ada yang menemani.” Arki mengerutkan dahinya, bibirnya mengerucut dan matanya sesekali melirik ke kanan atau ke kiri tapi enggan melihat ke hadapannya.

Sekali lagi, itu lucu.

Dan bagaimana itu membuat keduanya akhirnya tidur, dengan posisi yang canggung. Saling berhadapan, tapi tidak ada suara atau sedikitpun pergerakan di sana.

Alya yang tidak percaya harus berbagi tempat tidur dengan seseorang yang baru-baru ini bertengkar dengannya hanya bisa diam. Dia tidak membenci Arki atau apapun, tidak membencinya sama sekali, hanya saja ini terasa aneh.

“Aku ingin.”

“Ya?” Alya merutuki setiap kinerja tubuhnya yang jadi canggung, dan bertindak seperti orang idiot di hadapan anak kecil. Sialnya, kenapa dia jadi seperti ini?

“Suatu saat, aku ingin punya teman.”

Mendengar kalimat itu entah kenapa membuat alis Alya berkerut dalam kebingungan. “Apa kau tidak punya teman?” Pertanyaan yang keluar dengan cepat itu membuat Alya refleks menggigit lidahnya sendiri ketika sadar bahwa pertanyaan itu terlalu lancang untuk diajukan. Kenapa dia jadi bodoh, sih?

“Tidak, aku punya, banyak.”

“Oh, baguslah.”

“Dan mereka semua selalu merasa senang saat aku mentraktir mereka setiap hari, itu tidak apa-apa, mereka tidak akan pergi tanpa aku.”

Alya tergamam. Pikirannya berputar dalam emosinya yang stabil, bungkam tanpa kata-kata.

“Apa kau punya teman?” Arki bertanya.

Dan Alya tersentak. “Oh, ada. Tidak banyak, tapi mereka semua orang-orang baik. Dan ada satu yang menyebalkan ....”

“Menyebalkan? Kenapa? Apa dia mengganggumu?” Arki mendongak untuk menatap wajahnya.

Alya refleks menggeleng. “Tidak, tidak, dia anak yang pendiam. Hanya saja, tingkahnya sedikit mengganggu, menurutku.” Suara Alya memelan seiring akhir kalimat.

“Tapi dia orang yang sangat baik. Kau tahu, dia selalu tanpa sadar 'membantu' orang-orang di sekitarnya, dan itu praktis membuatku merasa kesal karena dia selalu menghamburkan uangnya. Tapi menyenangkan meski hanya bertengkar bersamanya.”

Arki tersenyum tipis. “Kalian sangat akrab.”

“Ah, eh? Ya-ya, kau benar, haha.” Alya tertawa garing, entah kenapa, tapi dia merasa harus melakukannya.

“Suatu saat, aku juga ingin punya teman seperti itu, seperti Tante.”

Alya mengedarkan pandangan dan terus bungkam, sampai kemudian dia berkata, “Kenapa?”

Arki tersenyum di balik kepalanya yang menunduk. “Sepertinya menyenangkan, dimarahi karena kau nakal pada keuanganmu. Aku ingin merasakan itu.”

Mendengar kejujuran yang sederhana dan terdengar polos itu membuat Alya terdiam. Membiarkan keheningan melanda keduanya sesaat setelahnya.

Tapi kemudian gadis itu menarik nafas dan mengatakan dengan suara pelan, “Kita bisa berteman, kalau kau mau.”

Untuk sekali lagi, Arki mendongak untuk menatap wajahnya. Membuat Alya gelagapan sendiri, dan tertawa gugup.

“Apa boleh?”

“Ya, tentu saja! Tapi berhenti memanggilku Tante, aku tidak setua itu, tahu!”

Arki tertawa pelan, untuk pertama kalinya, membuat Alya tanpa sadar terpaku pada itu, terpesona.

Dan kemudian, keheningan kembali menyerang keduanya.

“Boleh aku memelukmu?” Suara Arki memecah kesunyian.

“Eh, ah, ya, silahkan.”

Arki dengan ragu, mengangkat tangannya. Memeluk Alya seperti yang dimintanya. Dan itu praktis membuat Alya bertanya-tanya.

“Apa kau ... biasa memeluk seseorang untuk tidur?” Pertanyaan konyol yang otomatis membuat Alya merutuki dirinya sendiri.

“Tidak. Aku punya Daada.”

“Daada?” Alya melirik dalam keingintahuan.

“Boneka beruang, dia lucu kau tahu. Salah satu pelayanku memanggilnya Teddy, tapi aku tidak suka dan memberitahunya bahwa namanya Daada bukan Teddy. Jadi dia diterima dengan nama itu.”

Alya tertawa renyah. “Ya, itu bagus.” Sementara dalam hati dia meneriakkan, Gemes, anjing!

Dia mati-matian untuk tidak mendekap erat atau mengacak rambut anak di dekatnya, karena itu akan memalukan jika dilakukan.

Kemudian, tak ada suara apapun lagi selain serangga malam yang terdengar dari pepohonan di belakang ruangan apartemennya.

Dan Alya, baru kali ini merasa mati dibunuh oleh kesunyian. Ironis, padahal dia menyukai kedamaian itu seharusnya.

“Ayahku menyuruhku membuang semua mainanku dari kamar, tapi untuk Daada aku menolak.”

Alya kembali melirik hanya untuk melihat puncak kepala Arki. Secara tak langsung, menunggu anak itu melanjutkan kalimatnya.

“Ayah pernah bilang 'Itu hanya mainan. Kita bisa beli semua yang seperti itu' tapi itu dari Ibu. Tidak akan ada di toko manapun. Lalu Ayah menyerah dan membiarkannya. Itu bagus.” Arki tersenyum, kosong. Alya bisa merasakan tidak ada emosi di sana.

Kemudian kembali hening, namun kali ini lebih terseret dalam kecanggungan.

Alya menghela pelan untuk mengusir atmosfer yang tidak nyaman. Bingung untuk menanggapi bagaimana, dan dia merasakan hembusan nafas teratur di lehernya. Anak ini pasti sudah tidur dan Alya bisa bernafas dengan lega setelah menyadari itu.

“Yah, aku memang jahat,” gumam Alya.

Gadis itu tersenyum miris. “Benar, aku belum mengenalmu, sama sekali tidak mengenalmu.”

“Aku jahat, aku salah. Jadi aku—” Alya menelan kalimat terakhir dengan nafas tercekat. Dia mengusap wajahnya kasar dan memilih untuk mengusap puncak rambut anak itu.

Namun kemudian, Alya tersentak ketika merasakan pergerakan di sampingnya dan refleks membeku dalam posisinya sendiri.

“Bisakah ... itu diteruskan saja?”

“Oh? Apanya?” Alya gelagapan. Menarik kesimpulan dengan pikiran berkecamuk bahwa anak itu belum tidur, atau terbangun? Apakah Arki mendengar kalimatnya barusan? Alya jadi panik sendiri tanpa alasan.

Arki mendongak, dia menarik telapak tangan yang lebih besar darinya yang menjauh, lalu meletakkannya ke atas kepalanya sendiri. “Itu nyaman. Seperti yang dilakukan Ibuku dulu. Rasanya sama. Teruskan itu.”

“Hm, baiklah.” Alya bergumam. Kemudian dengan ragu dia kembali mengusap surai rambutnya dengan lembut dan perlahan-lahan. Membuat Arki tanpa sadar mengeratkan pelukannya dan Alya balas mengusap punggungnya.

Dia lalu menarik nafas. “Kau tidak harus selalu menjadi seperti yang diinginkan orang, termasuk Ayahmu, kau tahu.” Alya bersuara, yang dibalas langsung dengan keheningan. Tapi gadis itu mengangkat bahu dan melanjutkan kalimatnya. “Jadilah dirimu sendiri, apapun itu. Jalani hidupmu dengan pilihanmu sendiri, karena itu milikmu.”

Alya menelan ludah dalam kegugupan setelah tak ada sedikitpun suara yang menyahutnya. Dia menunduk dan mengintip, dan melihat Arki dalam wajah damai, benar-benar sudah tertidur.

Alya mau tak mau tersenyum. Dia menggeser tubuhnya sendiri dan memeluk anak kecil di dekapannya semakin erat.

“Ya, tidak apa-apa. Selamat malam, Arki.”

Kemudian hening, dan matanya tertutup. Lalu secara perlahan, dia membiarkan kesadarannya diseret dengan lembut, ke dalam gelombang lautan yang nyaman, dan dia tertidur sepenuhnya.

. . .

Burung berkicau dan matahari bersinar. Itu bukan kejutan, tidak banyak yang berubah. Alya membuka matanya dengan grogi, hampir seketika menggosoknya. Dia merentangkan tangannya, melengkung ke belakang. Pagi hari selalu menjadi rutinitas yang dia lakukan sendiri dan yang terpenting, dilakukan di rumahnya sendiri.

Matanya berkibar terbuka sedikit ke langit yang bercahaya melawan sinar matahari yang cerah, matanya menyipit melawan cahaya. Setelah dia menyesuaikan diri, matanya terpaku karena kelelahan, sampai kemudian tangannya menggapai-gapai, dan dahinya mengernyit ketika dia tidak mendapatkan apa yang dicarinya.

Alya dalam kelinglungan terdiam sejenak, dia kemudian bangkit dan duduk, sembari menggaruk rambutnya yang berantakan. Matanya melirik ke arah jam digital yang tergeletak di atas meja di samping tempat tidurnya, itu menunjukkan angka 05:02.

Gadis itu mendesah panjang dan mengusap wajahnya. “Mimpi, sialan.”

Apa rasa bersalahnya segitu besarnya sampai merasukinya ke alam mimpi?

Daripada mengingat bagaimana dirinya bisa sampai ke apartemennya, bagaimana perjalanannya, Alya lebih memilih untuk beranjak dan segera pergi ke kamar mandi. Bersiap-siap untuk segera pergi ke kantornya.


Secara tanpa alasan, dan keajaiban mungkin, Alya sampai di kantor lebih awal dari biasanya, dan dari yang lainnya. Tentu saja itu aneh, tapi ini semua demi menuntaskan masalahnya yang mengganggunya bahkan sampai ke alam mimpinya.

Alya sudah menunggu di depan kantor selama lima, tidak, sepuluh menit. Kenapa bajingan itu butuh waktu lama untuk sampai ke sini?

Ini sangat pagi sehingga belum ada seorangpun di sini. Dan Alya memutuskan untuk mengambil kesempatan yang diberikan kepadanya oleh Tian untuk meminta maaf kepada bajingan itu.

Maksudnya, Alya tidak ingin merasa buruk selamanya, terutama karena alasannya adalah gadis itu.

Menghela panjang, Alya menyandarkan tubuhnya pada dinding di belakangnya. Tangan terlipat di depan dada, dan kepala menunduk untuk melihat kakinya sendiri mengetuk-ngetuk lantai.

Sampai ketika dia mendengar suara ketukan, mendekat, lembut dan tegas. Alya pun mengangkat kepala dan menoleh ke asal suara. Mendapati seorang gadis, dengan rambut hitam keunguan yang lurus tergerai di belakangnya dengan anggun.

Itu Arki.

Arki tiba-tiba berhenti begitu dia melihat Alya. Dia kemudian tanpa basa-basi memalingkan wajahnya, menjelaskan bahwa dia tidak ingin melihat dirinya.

“Hei, Arki.” Alya memulai percakapan.

Dan dia tidak menanggapi dan terus melihat ke arah lain. Sepertinya dia menunggu Alya untuk pindah dari pintu.

Yah, tapi Alya tidak akan kemana-mana sampai dia menyelesaikan masalah ini.

“Dengar, Arki ....”

Arki tidak menatap Alya, membuat Alya tidak yakin apakah dia mendengarkannya?Apakah dia akan terus melihat ke arah lain sampai dirinya selesai?

Nah, jika dia tidak melihat ke arahnya seperti itu, Alya akan menjatuhkan bom seperti ini.

“Arki, soal kemarin, maafkan aku.”

Tidak ada tanggapan, tentu saja. Permintaan maaf sederhana tidak akan cukup setelah mengejek seluruh hidup dan hubungannya dengan menghina.

“Aku sungguh-sungguh, maafkan aku.”

Alya menundukkan kepalanya, dan Arki masih tidak mau menatapnya.

“Arki, aku serius tentang ini—” Alya menelan ludahnya susah payah, tersedak, dan melanjutkan, “Aku akan melakukan apapun yang kau mau, jadi tolong maafkan aku.”

Bagus, Alya akhirnya mengatakannya.

Dan begitu saja, sedikit demi sedikit, Arki menoleh ke arah Alya. Dan akhirnya, mata mereka bertemu dan terkunci. Dan Arki perlahan membalikkan bibirnya ke atas, menciptakan senyum puas di wajahnya. Menyebalkan, dan kekanakan.

Tapi sejujurnya, Alya lebih suka dia tersenyum seperti itu daripada mengabaikannya seperti dirinya adalah setitik debu, mengganggunya.

“Betulkah?” Suara hangat, lembut, dan rendah itu keluar dari mulutnya perlahan.

Hah? Kenapa aku mendeskripsikannya seolah aku sudah lama berpisah dengannya?

“Tentu saja, aku berjanji padamu.” Alya berbicara lagi, keyakinan dan kepastian terdapat dalam suaranya.

“Aku mengerti ... baiklah, kalau begitu, aku memaafkanmu.”

“Betulkah?”

“Ya, dengan satu syarat.”

“Ya, tentu, ada apa?!” Alya tidak bisa menahan kegembiraannya lagi dan berbicara dengan cepat dan tanpa sadar nadanya meninggi.

“Kamu harus ....” Dia memulai. Senyumnya semakin lebar dan antisipasi Alya mencapai puncaknya. Alya tak bisa menghentikan jantungnya yang berdegup kencang, melawan rasa ingin tahunya dan ketegangan yang entah kenapa bisa tercipta.

”.... membuatkanku cokelat panas.”

“Ya, baik—Tunggu, apa?!” Alya menyembur karena terkejut. Gadis itu mengerjapkan matanya berkali-kali, mencoba mencari kekeliruan di wajah arogan di hadapannya, tapi sekali lagi itu tidak.

Apa? Sekali lagi?

Arki di hadapannya, tersenyum miring melihat kebingung yang jelas di wajah Alya. Lalu dia melanjutkan perkataannya, “Dan izinkan aku mengunjungi tempat tinggalmu.”

Alya terkejut, dan gelagapan sendiri karena suatu alasan. “Kenapa kau harus?”

“Karena aku ingin.” Arki tersenyum miring dan sombong. Tapi entah kenapa, Alya melihat itu sebagai lucu.

Alya mendesah panjang sambil memijat pangkal hidungnya. Mau tidak mau, karena dia sudah berjanji sebelumnya, jadi dia harus menerima tamu lagi di apartemennya.

“Ya, ya, Nona Arki, aku akan membuatkanmu makan malam omurice, dan cokelat panas, tanpa krim dan marshmallow.”

Arki mengerutkan keningnya. “Kenapa tidak ada krim dan marshmallow?”

Dan Alya harus mengulum senyum, menahan tawanya, pada perasaan deja vu yang mendadak muncul, karena suatu alasan tanpa sebab yang jelas.

“Ada apa dengan itu?” Arki semakin bingung ketika melihat Alya akhirnya tertawa. Sadar bahwa, Arki, orang ini bisa lucu di tempat yang paling tidak terduga.

“Kamu, kan, suka itu.” Alya tersenyum dan hanya bisa terkekeh daripada tertawa, mengingat Arki anak-anak itu menghabiskan cokelat instan buatannya, dan diam-diam merengut kecewa ketika minuman itu habis karena dirinya sendiri.

“Ah, ngomong-ngomong, jadi sepertinya kau sama sekali tidak terganggu dengan apa yang aku katakan kemarin ya?” Menahan tawanya, Alya menyeka air matanya.

“Siapa tahu.” Arki tanpa dia sendiri sadari tersenyum lagi, tapi kali ini lebih sedih.

Dan saat ini Alya tahu,

Alya kacau lagi.