deediary

“Sini gue bantu.”

Seungwoo menatap (lagi lagi) punggung telanjang byungchan yang barusan lewat di depannya dengan kaos yang terkalung di leher, menawarkan diri membantu hana yang akan menuang minuman soda kedalam gelas.

Niat awalnya mengambil daging di kulkas buyar sudah. Dia malah memandangi byungchan yang sepertinya tidak sadar dan tidak terganggu dengan kaosnya belum terpasang dengan benar.

Ternyata benar kata hanse. Byungchan punya tato yang tersembunyi alias tidak pernah dipamerkan karena tatonya memang terlukis di bagian tubuh yang selalu ditutupi. Melihat ekspresi wooseok yang biasa saja (dia malah melanjutkan kegiatan menumis sosis) membuat seungwoo yakin kalau lelaki yang paling kecil diantara mereka itu sudah sering melihat tato yang baru seungwoo tahu keberadaannya beberapa hari lalu itu. Yang paling terpampang jelas di hadapannya sekarang adalah tato bunga mawar yang menjalar sepanjang garis tulang punggung byungchan.

Seungwoo sudah sering melihat tato seperti itu, tapi entah mengapa melihatnya terukir di tubuh bagian belakang suaminya membuatnya berpikir bahwa tato tersebut seperti di desain khusus untuk menghiasi punggung lelaki yang acap kali membuatnya kebingungan itu.

Sangat indah. Cocok sekali dengan kulitnya yang putih bersih.

“Kamu mau?” tawar byungchan yang tiba-tiba sudah berbalik dan memandangnya. Segelas minuman soda dingin di tangan kanan sedang yang kiri sedang memegangi helai kain yang tadi tersangkut di lehernya.

Kaki panjangnya melangkah ke arah seungwoo tanpa ragu-ragu.

“Nyari apa?” tanyanya lagi, melongok melewati bahu seungwoo untuk melihat pintu lemari es yang terbuka lebar.

“Mau ambil daging.” Tangan seungwoo meraih uluran gelas dari byungchan dan menyesapnya sedikit. Matanya mengikuti gerak tubuh byungchan yang menunduk untuk mengambil sebuah plastik berwarna oranye berisi daging dari dalam freezer.

“Ini kan?”

Seungwoo mengangguk.

Berhadapan seperti ini, pandangan mata seungwoo mau tidak mau jadi tertuju ke tubuh bagian depan byungchan yang tidak terhalang apapun. Bisa dilihatnya beberapa tato lain yang jauh lebih kecil dari tato di punggung byungchan.

Tato bunga lavender di rusuk sebelah kiri dan sebuah gambar konstelasi bintang yang seungwoo tidak yakin apa jenisnya menghiasi rusuk sebelah kanan.

Entah angin dari mana yang membuat tangan seungwoo bergerak untuk menyentuh sebuah tato lain di atas tulang selangka byungchan.

Dum spiro, spero.

Jemarinya mengelus tulisan kecil yang tak ia tahu artinya itu.

“Ekhem.” Jinhyuk berdehem begitu keras, sengaja dibuat sedikit terbatuk agar kedua sejoli di hadapan mereka itu sadar kalau di dapur ada orang lain yang sedang menyaksikan apapun itu yang sedang mereka lakukan.

Byungchan menggaruk tengkuknya yang jelas-jelas tidak gatal. Seungwoo hanya menenggak habis minuman yang ada di tangannya lalu buru-buru menaruhnya di wastafel sebelum berlalu keluar ke tempat hangyul dan seungyoun sedang memanggang daging untuk mereka makan malam.

*

Setelah kejadian tadi seungwoo pikir dirinya akan sangat canggung dengan byungchan. Namun ternyata dugaannya melenceng.

Byungchan terlihat biasa saja dan sangat menikmati makan malam mereka.

Berbeda dengan jisu yang terlihat sedikit lebih diam.

Sejak tadi pagi seungwoo sudah menyadari ada yang janggal dengan teman spesial hangyul itu.

Setiap kali mereka berempat mengobrol, gadis itu dengan kentara sekali menanggapi perkataannya dengan antusias. Berbeda saat dia berbicara dengan byungchan ataupun hangyul.

Seungwoo bukan lelaki kemarin sore yang tidak paham jika seseorang tertarik padanya. Berbeda dengan hangyul dan byungchan yang mungkin menganggap itu hal biasa. Tapi seungwoo tidak.

Dengan sengaja ia duduk sangat dekat dengan byungchan ketika akhirnya dia dan hangyul bertukar posisi mengemudi. Tangannya juga tidak mau melepas genggaman tangan byungchan (yang untungnya tidak protes sama sekali) selama perjalanan menuju pantai yang kalau kata wooseok jika kamu menumpuk batu setinggi mungkin dan batunya tidak roboh maka permintaanmu akan terkabul.

Entahlah seungwoo tidak terlalu percaya hal seperti itu.

Beberapa kali dia juga menyadari usaha jisu untuk memonopoli dirinya saat mereka sampai di tempat tujuan wisata hari ini. Yang tentunya tidak digubris oleh seungwoo.

Bahkan ketika makan malam tadi hampir saja gadis itu berhasil duduk di sampingnya kalau saja byungchan tidak datang tepat waktu.

Sebetulnya seungwoo tidak terlalu peduli dengan apapun maksud dan tujuan gadis termuda diantara mereka itu. Hanya saja apa yang dia lakukan terlalu terang-terangan dan seungwoo tidak suka.

Bagaimanapun hangyul punya perasaan terhadap gadis itu. Dia juga yang mengajaknya untuk ikut kesini sebagai teman spesial yang akan diperkenalkan kepada teman-teman baiknya.

“Dicariin kok malah ngelamun disini?”

Suara lembut byungchan membuat seungwoo menoleh. Kepala suaminya itu menyembul dari balik pintu. Wajah byungchan sedikit memerah, mungkin efek dari soju yang dia minum tadi.

“Nggak ngelamun kok, nyari angin aja.” Jawabnya sembari membalikkan badan menghadap byungchan yang sedang melangkah ke arahnya.

Setelah makan malam tadi seungwoo memang kembali ke kamar mereka di lantai dua. Dia butuh udara segar. Sepertinya.

“Seungwoo.” Panggil byungchan selagi kakinya melangkah maju.

Seungwoo memperhatikan gerak-gerik lelaki diseberangnya, tidak mungkin byungchan mabuk 'kan?

“Kenapa, Byungchan?”

Byungchan kembali melangkah maju. Kali ini tiga langkah lebar yang membuatnya mencapai lantai balkon yang dingin karena dia tidak memakai alas kaki.

“Seungwoo. Makasih ya.”

Kening seungwoo mengernyit. Ditatapnya mata byungchan yang terlihat jauh lebih sayu dari biasanya.

Debur ombak pantai malam ini terdengar sangat kencang dengan hembusan angin laut yang membuat si lebih muda bergidik dingin.

“Makasih buat apa?”

“Udah buat aku seneng.”

Kali ini bukan byungchan yang melangkah maju melainkan seungwoo yang berjalan mendekati suaminya yang sedang memandanginya penuh penuh.

Sepertinya byungchan memang mabuk.

Dan ini kali kedua seungwoo melihat byungchan yang seperti ini. Tetapi untungnya tidak separah yang pertama.

“Aku nggak ngapa-ngapain perasaan?”

Seungwoo berhenti tepat di hadapan byungchan yang masih berdiri ditempatnya semula. Byungchan memperhatikan seungwoo yang tengah melepas sweater hitam kenaannya dan menyampirkannya di bahunya sendiri.

“Anginnya kenceng, kenapa nggak pakai jaket?”

Bukannya menjawab pertanyaan yang terlontar untuknya, Byungchan malah tersenyum kecil entah karena apa. Perutnya yang baru saja diisi daging saat makan malam sepertinya baru saja dihinggapi ratusan kupu-kupu yang membuatnya geli.

Seungwoo di hadapannya ini adalah seungwoo yang seharian ini menggenggam tangannya. Seungwoo yang memperhatikan langkah kakinya agar tidak tergelincir saat melangkah di undakan tangga menuju pantai kedua yang mereka kunjungi sore tadi. Seungwoo yang sama yang membantunya mengambil beberapa gambar untuk diabadikan sebagai kenang-kenangan tanpa diminta.

Dan seungwoo yang ini juga masih seungwoo yang sama dengan yang membuat jantungnya berdebar kencang saat jemari panjangnya menjejak lembut diatas guratan tinta hitam di tulang selangkanya.

Seungwoo tidak tahu byungchan sudah sampai sejak setengah jam yang lalu. Kenapa? jelas lah karena mereka berdua tidak berkomunikasi sejak kemarin. Mungkin bahkan sejak dua atau tiga hari yang lalu. Dia tidak ingat karena frekuensi komunikasi mereka memang tidak seintens pasangan pada umumnya.

Mereka memang pasangan. Tetapi rasanya jika dibandingkan dengan wooseok atau hanse intensitas komunikasi seungwoo dan byungchan tidak ada apa-apanya.

Makanya dia terlihat sangat terkejut saat mendapati koper kecil milik byungchan yang berada disamping tempat tidur, juga sebuah ponsel hitam yang tergeletak begitu saja di atas kasur.

Dia lupa kalau mereka akan berbagi tempat tidur. Harus berbagi lebih tepatnya. Seungwoo tidak berpikir sejauh itu saat mengiyakan ajakan kawan-kawannya untuk liburan singkat karena seungyoun yang terus-terusan merengek ingin mendapatkan promo cottage tepi pantai di jeju yang ia incar sejak lama.

Byungchan sedang berdiri bersandar di balkon saat dia masuk kedalam kamar. Tidak bergeming sama sekali bahkan saat seungwoo yang belum tahu kalau dirinya sudah sampai menutup pintu dengan cukup keras hingga menimbulkan suara berdebam dan buru-buru melepas kaos kenaannya karena dia diajak berenang di kolam renang privat di samping cottage oleh seungyoun dan hangyul. Jinhyuk, wooseok, hana dan jisu kebagian jatah memasak sarapan mereka berdelapan karena pagi-pagi buta tadi ketiganya yang mengalah untuk berbelanja ke pasar terdekat.

“Mau mandi woo?”

Sebuah suara menyadarkan seungwoo yang tengah bertelanjang dada kalau dirinya tidak sendirian. Disanalah byungchan. Memunggunginya, sebuah cangkir dalam genggaman.

“Loh, kamu udah sampe?”

Byungchan mengangguk, kembali tenggelam dalam hening. Pandangannya tak lepas dari pantai dihadapan cottage yang mereka tempati.

Kamu.

Oh iya. Mereka sekarang tidak sedang berdua, bisa saja seseorang mendengar pembicaraan mereka. Walaupun kemungkinannya kecil.

Seungwoo berjalan menghampiri byungchan. Masih bertelanjang dada, bahkan dia lupa kalau dia hanya berniat kembali ke kamar untuk ganti baju.

“Ngapain disini sendiri?”

“Nggak boleh ke dapur sama wooseok. Katanya nanti kebakaran.”

Seungwoo terkekeh sambil menggeleng-gelengkan kepala. Kini dia ikut bersandar di pagar balkon kamar mereka. Sayup-sayup terdengar suara seungyoun dan hangyul yang memanggil-manggil namanya.

“Mau ikut berenang?”

Byungchan menoleh sebentar, tidak sengaja dan tidak ada niatan melihat otot perut seungwoo yang terpampang tanpa penghalang.

“Kirain mau mandi.”

Suara seungyoun kembali terdengar memanggil nama seungwoo, ada sahutan dari suara perempuan juga. Sepertinya teman seungyoun atau hangyul yang mereka ajak, entah, byungchan tidak tahu mana teman hangyul mana teman seungyoun karena saat berkenalan tadi dia hanya ingat namanya. Hana dan jisu.

“Ya sekalian kan kalo gini?” jawab seungwoo.

Byungchan menggumam iya 'sih.

“Tadi sampe jam berapa?”

Seungwoo kembali berjalan masuk kedalam kamar dan membuka kopernya untuk mencari celana renangnya. Sengaja pakaiannya tidak dimasukan kedalam lemari yang tersedia karena tidak mau repot membereskannya kembali saat mereka pulang nanti.

“Setengah jam yang lalu pokoknya.”

“Naik taksi?”

“Iya.”

“Kenapa nggak ngabarin aja? Kan bisa aku jemput.”

Byungchan memutar tubuhnya dan menghadap seungwoo yang masih berkutat dengan kopernya. Tattoo yang biasa bersembunyi dibalik kenaan seungwoo kini terlihat jelas oleh manik mata byungchan.

Beautiful.

Angka-angka roman di bahu kanan seungwoo indah bukan main. Kata hanse itu tanggal lahir seungwoo. Dan sebuah kalimat di dekat tulang selangka sebelah kiri yang tidak terbaca oleh byungchan dari jarak antara dirinya dan seungwoo sekarang.

“Byungchan?”

“Nggak papa. Nggak mau ngerepotin aja woo. Lagian aku pernah ke daerah sini sekali sama temen-temen pas kuliah, nggak terlalu asing.”

Seungwoo menghentikan pencariannya setelah menemukan barang yang ia cari. Tubuhnya ia tegapkan lalu kembali menatap byungchan yang sedang menunduk, memainkan jari telunjuknya di atas cangkir. Memutar searah jarum jam.

“Ayo kebawah.”

“Nanti. Nyusul deh abis ganti baju.”

Seungwoo hanya mengangguk maklum lalu memutar badan untuk meninggalkan kamar mereka dan memberikan privasi untuk byungchan.

Trust me, you're doing a good job. Keep going.

Pagi ini Seungwoo terbangun dengan kepala yang seperti dihantam tongkat bisbol. Sakit dan berdentum-dentum.

Semalaman ia pusing dengan laporan dari bendahara acaranya bahwa tiga sponsor terbesar acara festival yang diketuainya mengancam akan menarik diri tanpa alasan yang jelas. Masalahnya acara festival tersebut membutuhkan dana besar dan hari yang dinantikan itu juga sudah dipikirkan matang-matang konsepnya oleh seluruh panitia. Hanya tinggal menghitung hari untuk mereka mengeksekusi hari besarnya

Rumah Sehun, si ketua divisi acara yang menjadi markas panitia inti pagi ini ramai dengan kegaduhan yang terdengar dari arah dapur. Suara gemercik air dari kamar mandi dan bunyi keyboard komputer yang beradu dengan jari, kerasnya sudah mengalahkan bunyi mesin ketik ayah Seungwoo yang sudah usang dan tak terpakai.

Semuanya sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing tetapi tidak ada yang membangunkan Seungwoo. Tidak satu pun mengusik istirahatnya yang sudah beberapa hari ini terganggu karena memikirkan rencana dan biaya cadangan apabila ketiga sponsor terbesar mereka benar-benar menarik diri dan berpotensi membuat kerugian besar bagi keberlangsungan acara yang sudah mereka pikirkan sejak enam bulan lalu ini.

“Oi, udah bangun lo?” sapa seseorang sembari menepuk bahu Seungwoo pelan. Seungwoo menoleh dan menemukan Johnny sedang mengulurkan secangkir energen coklat panas. “Nih energen, sisa yang coklat doang. Diminum dulu dah buat ganjel perut. Anak-anak lagi masak nasi goreng tapi gasnya abis, mau ke warung depan dulu beli yang baru.”

Seungwoo hanya mengangguk setelah menggumamkan thanks pelan kepada Johnny yang langsung memposisikan diri disamping Jinhwan dan Taeil yang sedang sibuk melakukan sesuatu didepan komputer lama Sehun. Saat ditanya Seungwoo, mereka hanya berkata bahwa mereka mencoba menghubungi beberapa calon sponsor cadangan yang semalam diusulkan oleh Naeun si bendahara.

Kalau Seungwoo boleh egois demi kenyamanan seluruh panitia, dia pasti sudah memilih untuk membatalkan kontrak bintang tamu dan menanggung rugi biaya down payment yang sudah diberikan saat penandatanganan kontrak daripada membuat pusing semua panitia yang sudah bekerja keras dalam mematangkan konsep dan tinggal mengeksekusi acara. Semalam mereka sudah memutuskan untuk melakukan garage sale besar-besaran dari barang-barang sumbangan dan kembali melangsungkan kegiatan danus selama seminggu penuh untuk mendapat dana tambahan dari total dana awal jika dana sponsor tidak dimasukan kedalam hitungan. Ada total lima belas juta rupiah yang mereka butuhkan dalam kurun waktu dua minggu untuk keperluan malam puncak festival tahunan.

“Udah Woo gausah dipikirin banget, pasti ada cara lain kok buat dapet dananya. Kita kerja sama-sama, jangan lo pikir sendirian sampe nggak tidur lo, ntar pacar lo ngamuk ke kita kalo yayangnya kenapa-kena— ADUH ANYING SIA KENAPA DILEMPAR MUKA GANTENG AING???”

Seungwoo melemparkan bantal sofa ke wajah Jackson yang baru saja muncul dari kamar mandi. Semua yang mendengar teriakan Jackson hanya geleng-geleng kepala, si pemilik rumah bahkan kembali melempar sebuah lap meja ke kepala Jackson yang sukses membuat rumahnya kembali riuh dengan suara nyaring yang protes karena diperlakukan demikian.

“Pada diem gak lo pada?! Capek capek gue beli gas buat masak malah pada berisik disini.”

Suara melengking Sungwoon dari pintu masuk langsung membuat semua orang diam.

Seungwoo kembali geleng-geleng kepala lalu menyeruput energen coklatnya yang sudah mulai menghangat.

Hari itu sakit kepalanya tidak berhenti bahkan sampai ia sampai di kamar kosnya sendiri malam harinya. Tapi sakit kepalanya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan rasa haru dan terima kasihnya kepada orang-orang yang sudah menjadi tempatnya bersandar dan berbagi keluh kesah selama beberapa bulan terakhir.

Beberapa hari kemudian Seungwoo dan panitia lain harus menerima kenyataan pahit bahwa ketiga sponsor yang mendanai acara kampusnya benar-benar menarik diri dan uang yang terkumpul dari danus juga garage sale yang mereka lakukan hanya berhasil mencapai angka tiga juta rupiah. Itupun sudah digenapkan dengan uang panitia yang mau menyumbang secara sukarela.

Seungwoo pusing bukan main. Badannya juga sudah terlampau lelah karena harus mengurangi waktu tidurnya agar kuliah, tugas dan kegiatan lainnya bisa ia selesaikan tepat waktu. Bahkan untuk sekedar makan saja Seungwoo mengandalkan makanan instan atau pesan antar dari restoran fast food terdekat dari kosannya agar efisien waktu.

Tok tok tok

Suara pintu kamarnya yang diketuk pelan membuat Seungwoo mendongak dari layar laptopnya dan menatap daun pintu yang kembali diketuk beberapa detik kemudian. Dengan enggan ia beranjak untuk membuka pintu kamarnya.

Tok tok—

Badan Seungwoo hampir saja limbung kalau dia tidak buru-buru berpegangan pada gagang pintu yang menahan badannya dari adegan jatuh dengan bokong yang mendarat duluan ke atas ubin yang keras. Byungchan, entah datang dari mana tiba-tiba menubruknya dan memeluk tubuhnya dengan sangat erat. Kepalanya menelusup di ceruk leher Seungwoo, menciumi sisi kepala yang lebih tua banyak-banyak.

“Kamu kesini sama siapa?” Tanya Seungwoo setelah yang lebih muda melepaskan pelukannya dan tersenyum lebar sekali. Tangannya refleks menyentuh pipi bolong pacarnya dan mengusapnya pelan.

“Sendiri! Tadi pagi aku izin ke ayah buat kesini naik travel terus dibolehin!”

Tuturan Byungchan yang ceria itu membuat Seungwoo tersenyum. Ditutupnya pintu kamarnya setelah Byungchan mempersilahkan diri duduk di atas ranjangnya yang cukup berantakan. Tas ransel cukup besar yang tadi dikenakannya sudah berdiam menempati tempat duduk Seungwoo.

“Tumben kamu dibolehin ke bandung sendiri? Ada acara apa emang?”

Byungchan menepuk-nepuk spasi kosong disampingnya, “Acara sayang-sayang pacar aku.” Saat Seungwoo diam saja Byungchan meraih tangan yang lebih tua dan menariknya mendekat. “Sini dong, kak. Aku nggak bau kok, tadi travelnya cuma isi tiga orang jadinya nggak pengap, nggak keringetan.”

Seungwoo terkekeh.

“Emang mau ngapain sih bocil?”

Byungchan yang sedang melihat-lihat isi rak buku Seungwoo langsung menoleh tajam dengan bibir yang mencibir. “Bocal bocil bocal bocil! Aku lebih tinggi lima senti dari kamu tau kak.”

“Tetep bocil ah.” Ledek Seungwoo yang kini memilih untuk merebahkan diri di atas kasurnya

“Ih orang aku tahun ini bakal jadi mahasiswa, berarti udah nggak bocil lah.”

Byungchan mengikuti Seungwoo berbaring tetapi dengan posisi menyamping menghadap Seungwoo, tangan kirinya sebagai bantalan dan kaki panjangnya ditekuk sedikit untuk menyamankan diri di lebar kasur yang hanya cukup mengakomodasi kurang dari separuh tinggi tubuh mereka dengan posisi seperti ini. Kaki Seungwoo saja dibiarkan menggantung dipinggir ranjang.

Seungwoo menoleh sebentar untuk melihat apa yang sedang dilakukan Byungchan karena yang lebih muda tiba-tiba saja tidak bersuara. Ternyata pacarnya itu sedang memandanginya.

“Kenapa?” Tanyanya, lalu kembali menatap langit-langit.

Byungchan mengulurkan tangannya untuk mengelus puncak kepala Seungwoo sebentar sebelum beralih ke rahangnya yang terlihat semakin menonjol karena jelas sekali yang lebih tua sudah kehilangan beberapa kilo masa tubuhnya.

“Capek banget ya?”

Seungwoo yang tahu maksud pertanyaan Byungchan malah memejamkan mata dan menghembuskan nafasnya.

Jemari Byungchan masih mengusapi wajah Seungwoo. “Kakak jangan maksain diri, kasian lho sama badan kakak. Kalau capek istirahat, kakak selalu bilang begitu kan ke aku.”

“Sekarang belum bisa. Masih banyak hal yang mesti aku beresin Chan.”

“Masalah uang yang kemarin?”

Seungwoo mengangguk. Kelopak matanya terbuka, bertemu dengan langit-langit kamarnya yang berwarna abu-abu hasil karya laki-laki di sampingnya dua bulan yang lalu. Katanya kamarnya bikin bosen soalnya warnanya cuma putih.

“Kak.”

“Hmm.”

Tiba-tiba Byungchan menarik tangan kiri Seungwoo yang ia letakkan diatas perut, mau tidak mau ia berganti posisi menjadi menyamping menghadap Byungchan yang sedang membenarkan posisi mereka berdua. Tubuh Byungchan sedikit diangkat naik, posisinya jadi lebih tinggi dari Seungwoo. Leher Seungwoo dibantali dengan lengannya sendiri.

“Aku kemarin cerita sama abang.”

Seungwoo terdiam sejenak, menyamankan diri dalam dekapan Byungchan yang tengah menepuk-nepuk punggungnya pelan. “Cerita apa?”

“Soal kepanitiaan kakak. Kata abang besok kakak ke kantor tante aja yang di dipatiukur. Bawa proposal sponsorshipnya.”

Gerakan tangan Byungchan di punggung Seungwoo terhenti di udara saat ia merasa pergerakan kekasihnya yang mendongakkan kepala. Pandangan mereka bertemu. Mata lelah Seungwoo menatapnya penuh tanda tanya.

“Seriusan?”

Yang lebih muda mengangguk pasti, pelukannya dipererat. “Abang tiba-tiba bilang gitu pas tadi pagi aku mau berangkat, padahal aku cerita beneran nggak ada maksud apa-apa. Katanya kalo butuh bantuan tuh jangan segan buat cerita ke abang, dulu kan abang juga suka ikut kepanitiaan gitu.”

Seungwoo mengembuskan nafasnya lega, walaupun kepalanya masih sedikit pusing tapi setidaknya ia punya kabar baik untuk dibagikan kepada teman-temannya.

“Hari ini nggak usah kemana-mana ya kak? Disini aja, istirahatin badan sama pikiran kakak. Kakak udah lakuin yang terbaik buat semuanya, akan terus begitu. Jadi nggak apa kakak istirahat sehari buat diri kakak sendiri.”

Seungwoo menjawabnya dengan gantian membawa Byungchan kedalam pelukan hangatnya. Menyempatkan diri untuk mengecupi permukaan dan sisi wajah yang lebih muda. Ucapan terima kasih tidak lupa ia ucapkan setiap kali ia selesai mengecup satu bagian wajah Byungchan.

Kedua kelopak mata Byungchan dikecup.

“Makasih udah dateng kesini jauh-jauh buat aku.”

Bibirnya menjejak turun ke hidung. Berhenti disana untuk memberi satu kecupan kecil lain di puncak hidung Byungchan yang kecil dan tinggi.

“Aku yang makasih ke kakak harusnya.”

Gumam Byungchan saat bibir Seungwoo berhenti diatas belah bibirnya.

“Makasih udah jadi Han Seungwoo yang kuat, makasih udah jadi Han Seungwoo yang selalu mikirin kepentingan orang banyak diatas kepentingan kamu sendiri. Makasih udah jadi laki-laki panutan aku setelah ayah dan abang. Sekarang kakak punya aku yang bisa kakak ajak cerita, diskusi atau apapun. Jadi jangan dipendem sendiri ya kak? Kita cari solusinya bareng-bareng kalau ada masalah.”

Seungwoo yang gemas karena Byungchannya, laki-laki yang belum genap delapan belas tahun di dalam dekapannya ini sudah berubah banyak selama dua tahun hubungan mereka. Maka dengan satu anggukan yakin dari yang lebih muda Seungwoo memangkas jarak, menempelkan bibirnya ke atas belah bibir Byungchan yang merah, mengecap rasa stroberi yang tertinggal dari lipbalm yang diberi kakak perempuannya.

“Kalo kaya gini aku masih bocil ngga?” Tanya Byungchan setelah Seungwoo mengangkat wajahnya beberapa senti untuk menatap matanya.

Kali ini Seungwoo menggeleng. “Nggak bocil kalo begini.”

Satu kecupan ia curi. Byungchan tersenyum lebar.

“Tapi kamu tetep bocil nakal ngambekan kesayangan kakak sampe kapanpun.”

“Idih males gombalannya gak naik kelas. Kalah sama gombalan aku ke pak Dongwook ah.”

“Kamu ngapain gombalin guru penjaskes?”

“Hehehe iseng ka-AMPUN JANGAN KELITIKIN HAHAHA AMPUNNNNN”

Seungwoo tidak ingat bagaimana dirinya yang pada pukul satu dini hari harus memapah Byungchan yang mabuk kedalam kamarnya tiba-tiba terbangun pada pukul dua dalam keadaan dirinya dalam dekapan erat yang lebih muda. Byungchan tertidur lelap. Mendengkur. Bau tubuhnya seperti campuran tinta, pizza dan bir.

Harusnya Seungwoo bertanya tingkat toleransi alkohol Byungchan kepada Hanse sebelum membiarkan yang lebih muda menggelonggong lima kaleng bir dengan kadar 9% yang di pesan sebagai pelengkap makanan yang tersedia pada layanan pesar antar.

Seungwoo tidak mabuk. Tentu saja.

Dia punya tingkat toleransi yang bagus. Apalagi dia harus menyetir pulang, maka dari itu dia hanya minum soda yang diberikan cuma-cuma oleh pemilik restoran karena malam tadi mereka memesan makanan cukup banyak.

Yang dia ingat adalah entah kenapa Byungchan tadi menciumnya dengan membabi buta.

Betulan membabi buta.

Bibirnya meraup bibir Seungwoo ganas bahkan menggigit gigit belah bibir Seungwoo yang mengatup karena pemiliknya masih mencerna apa yang sedang terjadi.

Katakanlah Seungwoo gila karena dia malah mengimbangi ciuman liar Byungchan dengan menelusupkan lidahnya dan membelit lidah lawan pergumulannya dengan lihai.

Decapan basah bibir keduanya benar-benar membuat siapapun yang mendengar akan panas dingin.

Kedua tangan mereka menemukan tempat berlabuh. Kedua tangan Byungchan yang berdiam di pinggang Seungwoo, memeluknya erat. Tangan kiri Seungwoo bertumpu pada meja kecil di sisi kiri tempat tidur sedangkan tangan kanannya menopang tengkuk Byungchan yang harus menengadah karena posisi mereka yang tidak menguntungkan, Byungchan yang terduduk di atas kasurnya dan Seungwoo harus setengah membungkuk selama sesi panas bibir mereka berlangsung.

Setelah itu tidak ada yang tahu bagaimana mereka malah terlelap dalam dekapan satu sama lain di atas kasur kamar Byungchan.

Seungwoo yang terbangun karena pengap (wajahnya terbenam di bidang dada Byungchan yang mengenakan sweater) buru-buru melepaskan diri dan berbalik memunggungi tubuh Byungchan.

Setelah dua jam berdiam diri dan memikirkan bagaimana dia menjelaskan apa yang baru saja terjadi antara dirinya dengan sang suami yang berada di bawah pengaruh alkohol, akhirnya ia bangkit secara perlahan agar tidak mengusik Byungchan.

Dia tahu lelaki itu sudah bangun.

Tapi masa iya dia harus menyapa Byungchan dan mengumpankan diri untuk masuk kedalam kecanggungan yang bisa dihindari jika dia diam saja?

Masalahnya.

Ciuman mereka tadi itu, dia harus mengartikan seperti apa?

Ciuman pertama mereka di altar bahkan lebih terasa nyata daripada ini.

Seungwoo bingung. Dan kebingungannya itu tanpa sadar membuat dirinya uring-uringan hingga kakinya menjejak di lantai bakery keluarga yang dikelola dirinya dan kedua kakak perempuannya.

*

Byungchan datang ke studio dengan wajah sedikit bengkak dan kantung mata yang kentara sekali.

Bibirnya yang terlihat sedikit lebih tebal sisa ekhem jejak ciumannya dengan Seungwoo yang membuatnya merutuki diri sendiri saat yang lebih tua harus mengendap-endap saat keluar dari kamarnya dan menutup pintu dengan amat perlahan. Byungchan sampai harus menahan nafas agar tidak membuat Seungwoo terkejut kalau-kalau dirinya kelepasan bersuara.

Byungchan dan mabuk tidak boleh ada dalam kalimat yang sama.

Sudah terbukti dengan tingkah konyolnya semalam yang secara impulsif menarik tangan Seungwoo dan mengikis jarak dalam sepersekian detik ketika yang lebih tua hendak melepas kaus kaki yang dikenakannya.

Orang mau bantuin biar lo tidurnya nyaman malah lo sosor.

Begitulah bagaimana batin Byungchan berseteru dengan suara lain dalam kepalanya yang membenarkan tindakannya dengan,

Semalem dia ganteng banget. Nggak apa-apa kan cium suami sendiri? Nggak ada klausa dilarang kontak fisik kan?

Bahkan Bang Ian yang pagi itu kebagian menjaga meja resepsionis harus mengguncang-guncang tubuh Byungchan yang tiba-tiba terdiam di tengah-tengah pintu masuk dengan pandangan kosong menatap lantai dibawahnya dan mulut terkatup rapat.

Sudad!Woo, Subab!Bchan

Bagi Byungchan yang hidupnya seperti dijungkirbalikkan semenjak bertemu Seungwoo (si keturunan old money berusaha 36 tahun yang setahun belakangan berstatus sebagai sugar daddynya), mengucap kata kangen bukanlah hal lumrah jika dilisankan dalam keadaan dirinya yang baru saja mandi dengan rambut yang dikeramas dengan shampo bayi milik keponakannya.

Apalagi penampilannya saat sampai di penthouse milik Seungwoo sangat tidak cocok dengan titelnya sebagai sugar baby yang selalu berhasil membuat yang lebih tua tak mau lepas darinya seusai sesi bercinta mereka. Rambutnya tak dikeringkan dengan benar. Juga celana jins yang menurut Byungchan terlihat sangat belel padahal itu adalah keluaran merk Earnest Sewn seharga sepuluh juta rupiah milik Seungwoo yang ia potong asal diatas lutut dipadukan dengan sepatu vans lamanya yang ia temukan di rumah kakaknya saat berkunjung tadi pagi.

Bébé, pakaian kamu...kenapa?” tanya Seungwoo dengan alis tertaut di balik frame kacamatanya.

Byungchan selalu mengenakan pakaian rapi saat berkunjung ke tempatnya. Byungchannya ini laki-laki yang selalu memperhatikan penampilannya setiap kali ia akan kemana-mana.

Tapi lagi-lagi ini Byungchannya. Yang suka sekali memakai kemeja kerja Seungwoo yang baunya seperti bau mint citrus kalau yang lebih tua sedang bepergian. Juga laki-laki yang sama yang suka mengenakan net stocking dibalik kenaannya untuk menggoda Seungwoo.

Yang lebih tua menggeser kertas yang menumpuk di meja kerjanya saat Byungchan berlari kecil ke arahnya dengan senyum bodoh dan tangan yang terentang lebar-lebar.

Daddy!” “Aku kangen banget sama daddy!”

Mengabaikan pertanyaan yang lebih tua, Byungchan memilih memeluk Seungwoo dari belakang dan mengecup sisi kepala Seungwoo dengan ciuman inosen.

Bébé.” Seungwoo menarik lengan panjang Byungchan yang melingkar di bahunya dan membawanya untuk duduk di atas pangkuannya. Dielusnya surai yang lebih muda dengan lembut. “Kenapa nggak dikeringkan dulu rambutnya, hm?”

Tangan Byungchan secara naluriah berlari untuk mengalung di leher yang lebih tua yang kini sedikit lebih pendek karena posisi mereka. Kepalanya menunduk tanpa ada malu untuk menatap yang lebih tua, Seungwoo tengah menatapnya juga.

“Pas kak Seungsik ngabarin kamu udah pulang aku buru-buru pamitan sama kakak, lupa banget aku habis mandi.”

Cengiran Byungchan kala Seungwoo mencubit hidungnya pelan semakin lebar tatkala yang lebih tua mendekatkan wajahnya dan mengendus sisi lehernya, hidungnya menjejak dari bawah telinga ke perpotongan leher.

“Kamu betulan kaya bayi gula, wangi bayi, wangi manis kaya roti yang baru dipanggang.” Byungchan tergelak. Seungwoo itu definisi aneh yang paling aneh.

Satu waktu dia akan bertindak sangat dominan, dengan kalimat kasar amoril yang akan meluncur tanpa tedeng aling-aling kalau dia mau. Lain hari ia akan sangat manja seperti anak kecil yang minta diperhatikan, menempeli Byungchan yang beberapa waktu itu sedang merekam video untuk tugas. Sampai-sampai Byungchan harus menunggu hingga Seungwoo tidur agar tidak ada sosok laki-laki kepala tiga yang sering mondar-mandir di tv nasional itu dalam video tugasnya. Beda lagi kalau Seungwoo sedang seperti ini. Dia seperti orang yang sama sekali berbeda dari sosok penerus perusahaan berprofit milyar hingga triliunan rupiah yang tahun lalu menawarkan tumpangan kepada Byungchan dengan lamborghini aventador hitamnya di halte bus di depan perusahaan startup tempat Byungchan magang. Seungwoo yang ini adalah sosok penyayang yang selalu menjadi tempat yang lebih muda untuk berkeluh kesah dalam dekapan hangat yang lebih tua.

“Kamu sudah makan belum?”

“Udah makan nasi goreng tadi sama Jiyoon. Kak Seungwoo udah makan?”

Seungwoo tersenyum dan menggeleng. Dari semua pet names yang mereka gunakan kepada satu sama lain, ia selalu suka ketika Byungchan yang berusia 14 tahun lebih muda darinya itu memanggilnya dengan embel-embel kak.

“Kok belum makan sih? Terus kenapa sekarang malah lanjut kerja bukannya istirahat?”

Seungwoo suka Byungchan yang selalu khawatir dengan dirinya. Seumur hidupnya, belum ada orang yang benar-benar peduli tentang perasaannya sebagai penerus perusahaan keluarga yang sudah berdiri puluhan tahun dengan beban tak kasat mata yang ia tanggung di pundaknya selain kedua kakak perempuannya. Walaupun kedua orang tuanya tidak pernah memaksakan kehendak mereka kepada Seungwoo, namun titel penerus dinasti Han yang tersemat pada dirinya sejak ia masih berada di dalam kandungan membuatnya selalu dibayang-bayangi beban tanggung jawab yang harus ia pikul sejak dirinya mulai menginjak usia remaja.

“Makan ya, kak?” Tawar Byungchan yang tengah memegangi pipinya yang sedikit lebih tirus setelah perjalanan bisnis ke Boston selama 2 minggu kemarin.

“Aku suapin,”

“Ya?”

Siapa lah Seungwoo untuk menolak penawaran menggiurkan Byungchan yang sedang melisankannya sembari mengecupi permukaan wajahnya.

Maka dengan dua tangan yang menangkup bongkahan sintal yang lebih muda dan kaki panjang yang membantu menahan berat tubuhnya sendiri, Seungwoo membawa Byungchan keluar menuju ruang makan.

“Abis makan mau mandi lagi?”

Byungchan hanya tertawa ketika Seungwoo mengerling penuh makna kepadanya.

Semalam kak Sunhwa bercerita kalau saat dirinya digandeng papa menuju altar merupakan momen paling menegangkan dan mendebarkan dalam hidupnya. Kak Jiyoung menimpali kalau perutnya juga serasa diasuk-aduk saat papa menggenggam tangannya untuk diberikan kepada calon suaminya.

Kedua saudarinya benar-benar menjelajahi memori pernikahan beberapa tahun silam dan menceritakannya dengan wajah yang berseri-seri dan kentara sekali kalau keduanya ingin kembali merasakan euforia menjadi seorang pengantin.

Hal yang semalaman belum dirasakan oleh Seungwoo.

Seungwoo yakin dua minggu persiapan pernikahan mereka tidak benar-benar membuat mereka merasa seperti sepasang calon pengantin yang akan mengikat janji seumur hidup.

Dua tahun.

Janji yang akan mereka ucapkan punya masa berlaku dua tahun. Permintaan Byungchan yang diiyakan Seugwoo.

Seungwoo tengah mendunduk memandangi tautan jarinya ketika suara pintu dibuka menyeruak ke indera pendengarannya.

Para tamu undangan yang tengah bercengkerama satu sama lain seketika senyap. Semua mata berfokus ke dua keponakan Seungwoo yang membawa keranjang putih berisikan kotak beludru merah dan rangkaian bunga berjalan bergandengan tangan, menjadi pengiring sosok lelaki tinggi dalam balutan tuxedo abu-abu seperti yang dikenakan Seungwoo untuk melangkahkan kaki memasuki gereja.

Seungwoo sempat melirik ke arah keluarganya. Mamanya menggenggam tangan sang suami. Kedua saudarinya dalam rengkuhan sayang suami masing-masing tengah menanti buah hati mereka sampai ke hadapan Seungwoo.

Tidak jauh berbeda dengan keluarganya. Keluarga Byungchan, minus sang ayah, yang berkumpul di barisan kiri sedang berharap-harap cemas menunggu sang bungsu melewati barisan para tamu yang menatap penuh suka cita. Dan ketika pandangan matanya bertemu dengan yang lebih muda Seungwoo melihat air wajah tak terdefinisi Byungchan yang tengah menggenggam tangan ayahnya.

Byungchan tampak sangat tampan dalam balutan tuxedo yang mereka pilih bersama-sama nyaris dua minggu lalu. Jantung Seungwoo berdebar sedikit lebih cepat saat disadarinya bahwa yang lebih muda tidak melepaskan pandangan darinya ketika kaki jenjangnya menjejak karpet merah yang membentang dibawahnya.

Bolehkah Seungwoo mengartikan kalau sorot mata yang lebih muda memancarkan kebahagiaan? Bahwa senyum yang terkembang indah itu merupakan senyum tulus yang dilemparkan yang lebih muda kepadanya saat jemari lentik Byungchan menyentuh telapak tangannya. Terasa dingin dan berkeringat.

Lagi. Kedua manik mata mereka bertemu.

Lagi. Jantung Seungwoo berdesir aneh saat jari-jari yang tertaut diremas pelan.

Lagi. Byungchan tersenyum, kini ditambah anggukkan mantap kepada yang lebih tua.

Dan kali ini Seungwoo membalas dengan satu remasan dan senyuman penuh arti sebelum keduanya memutus segala kontak dan berbalik menghadap pendeta yang tengah menunggu untuk memimpin upacara pemberkatan.

Yang tidak mereka tahu adalah sepersekian detik yang mereka bagi tertangkap puluhan pasang mata yang menatap keduanya penuh kekaguman, iri dan juga haru.

Mereka terlihat sangat serasi. Dan terlihat saling mencintai.

Byungchan menghela nafas untuk kesekian kalinya selama lima belas menit perjalanan dari rumahnya menuju rumah orangtua Seungwoo. Tadinya ia biasa saja. Tidak nervous. Tidak deg-degan. Bahkan dia sempat bersantai menonton acara masak-masak sambil minum susu pisang milik Wooseok yang ia curi di kulkas.

Begitu mobil Seungwoo keluar dari jalanan yang biasa ia lewati menembus padatnya lalu lintas kendaraan sore itu mendadak perasaan aneh muncul. Perutnya tidak enak dan tiba-tiba saja ia jadi cemas. Bagaimana kalau orangtua Seungwoo tidak setuju? Bagaimana kalau keluarga Seungwoo meminta mereka untuk tidak langsung menikah?

Masalahnya ayah dan bunda Byungchan sudah sangat gembira dengan berita pernikahan anak bungsunya. Walaupun kenyataannya semua ini hanya akan menjadi sebuah perjanjian hitam di atas putih yang sudah disepakati keduanya kemarin malam. Sebuah kontrak pernikahan antar dua lelaki dewasa yang bermain-main dengan ikatan suci dan sumpah yang akan mereka ucapkan di altar nanti.

Ah. Omong-omong isi kontraknya. Byungchan sebetulnya heran. Seungwoo itu aneh. Kebanyakan isi klausa dari perjanjian mereka muncul atas usulan Byungchan. Kalau tidak salah mungkin Seungwoo hanya berkontribusi dengan dua kalimat.

Kalau orang berpikir bahwa isi kontrak pernikahan mereka akan diawali dengan klausa klise berbunyi tidak boleh jatuh cinta kepada satu sama lain, keduanya mungkin akan kompak terbahak.

Ini bukan opera sabun. Mereka tidak bisa mengatur perasaan orang lain. Bahkan mereka tidak bisa mengatur perasaan mereka sendiri. Jadi bagian mananya tidak boleh saling jatuh cinta diperkenankan masuk kedalam sebuah kontrak pernikahan? Mereka memang menikah bukan atas dasar cinta. Bukan berarti tidak akan.

Sayangnya klausa perjanjian mereka tidak muluk-muluk.

  1. Kedua belah pihak tidak diperkenankan menjalani hubungan dengan orang lain selama dua tahun masa pernikahan.
  2. Pihak kesatu yang kemudian disebut Choi Byungchan akan menemani pihak kedua yang kemudian disebut Han Seungwoo ke acara-acara formal dan acara keluarga sebagai pendamping, begitu pula sebaliknya.
  3. Selama dua tahun masa pernikahan, kedua belah pihak akan tinggal di kediaman pihak kedua yaitu Han Seungwoo.
  4. Tidak ada penggabungan aset pribadi kedua belah pihak selama masa pernikahan dan tidak ada pembagian aset setelah perjanjian berakhir.
  5. Kesepakatan ini bersifat pribadi dan tidak diperkenankan kepada kedua belah pihak untuk membocorkan isi dari perjanjian yang telah di tanda tangani di atas materai.
  6. Perjanjian ini dinyatakan batal apabila salah satu dari kedua belah pihak melanggar klausa pertama dan kelima secara sadar dan pihak pelanggar akan membayar penalti berupa materil atau non-materil kepada pihak yang menjaga kerahasiaan kontrak sampai akhir.

Kalau dipikir-pikir lagi, Seungwoo tidak mendapat benefit apapun dari pernikahan kontrak ini selain lepas dari tuntutan untuk menikah, itu menurut penuturan yang lebih tua sih.

“Kenapa?”

Byungchan menoleh. Ternyata sedari tadi Seungwoo memperhatikan lelaki yang duduk diam disampingnya itu.

“Nggak tau. Overthinking aja kayaknya.”

“Mama pasti bakal seneng, kok. Lo nggak perlu cemas.”

Walaupun Seungwoo bilang begitu, Byungchan masih belum tenang.

Padahal mereka menikah untuk bercerai, tetapi rasanya dia seperti mau meminta Seungwoo kepada orangtuanya untuk menikah seumur hidup, iya kan?

Seungwoo membelokan mobilnya ke komplek perumahan asri berbelas menit kemudian. Sedari tadi bibirnya menggumamkan nyanyian dari lagu yang Byungchan kenali karena bang Ian sering memutarnya di parlor. Mobil berwarna abu-abu itu berhenti di pelataran rumah bernomor 104 bertuliskan 'HAN FAMILY' yang pagarnya sudah terbuka saat mereka sampai.

“Ready?”

Seungwoo menoleh untuk melihat Byungchan yang sedang melepas sabuk pengaman. Yang lebih muda mengangguk mantap dan keduanya pun turun bersamaan. Seungwoo menunggu Byungchan selesai merapikan kemeja yang ia kenakan sebelum mengulurkan tangan kirinya kepada yang lebih muda.

Byungchan menatap yang lebih tua dengan bingung. “Pegang tangan gue kalau lo masih nervous.” Seungwoo menggerak-gerakan tangannya meminta Byungchan untuk menyambut uluran tangannya.

Saat Byungchan meraih tangannya Seungwoo, yang lebih tua langsung menggandengnya naik ke undakan kecil sebelum berhenti didepan pintu kayu berwarna putih yang di dominasi aksen klasik.

Derap langkah terburu-buru datang dari dalam rumah sesaat setelah bel ditekan.

Suara anak-anak yang meneriakan ankel wooya, ankel wooya sedikit membuat dada Byungchan semakin berdebar tak karuan. Tangannya dalam genggaman Seungwoo bergerak tidak nyaman karrna substansi yang diproduksi oleh kelenjar keringatnya tiba-tiba menjadi dua kali lipat. Membasahi telapak tangan keduanya.

Seungwoo melirik yang lebih muda. Tangan dalam genggamannya ia remas pelan untuk memberikan reassurance, bahwa dirinya akan baik-baik saja dan keluarganya akan senang menerima keberadaan Byungchan.

Dengan senyum kikuk Byungchan memeluk balik seorang perempuan paruh baya yang pernah di jumpainya tempo hari saat makan malam dengan Seungwoo.

“Selamat datang, Byungchan, ayo masuk semuanya udah nunggu daritadi.”

Dan Byungchan dapat melihat Seungwoo yang mengucapkan told you tanpa suara saat dirinya dimonopoli dua bocah kecil setinggi lututnya yang mengambil paksa tangannya dari genggaman Seungwoo dan membawanya ke ruang keluarga.

Seungwoo dan Byungchan saling menatap sengit. Keduanya sudah beradu argumen selama 5 menit tentang burger mana yang lebih enak, McDonalds atau Burger King. Padahal dua orang di samping mereka sepertinya berpikiran sama, kalau kedua franchise fast food tersebut burgernya biasa aja.

“Udah deh mending kita pesen phd aja. Ribet banget lo berdua orang mau makan doang.” putus Sejun yang kemudian ditatap sebal oleh Byungchan dan Seungsik. Byungchan agak dramatis sih menatapnya, bibirnya terbuka—tertarik ke atas mencibir Sejun dengan terang-terangan. Yang ditatap tentu saja menantang balik, Sejun kalau tidak meladeni Byungchan namanya bukan Sejun.

“Nggak. Kalau mau pizza kita pesen dominos aja, pizza hut rotinya ketebelan, mas seungwoo nggak suka.”

“Iya udah pesen yang american cheeseburger sama tuna delight aja ya, paling deket juga gerainya bisa lebih cepet. Ini chatime sama seafoodnya udah di jalan juga abang gofood-nya.”

Yang ini Seungsik. Sudah lelah dengan pasangan beda usia 3 tahun tersebut yang biasanya adem ayem malam ini malah berantem perkara roti lapis daging. Sedari tadi dia sudah membuka aplikasi layanan pesan antar berikon hijau menunggu makanan apalagi yang harus dipesan untuk mereka dan tiga kawan lain yang masih di perjalanan. Jadi buru-buru dia mengetik kata kunci, memasukan beberapa menu yang mereka mau dalam pesanan dan secepat yang dia bisa memecet tombol pesan.

Malam ini mereka akhirnya bisa berkumpul fullteam di apartemen Seungsik, yang letaknya di tengah dan paling strategis dari arah mana saja, untuk merayakan proyek kerjasama startup mereka dengan salah satu perusahaan swasta mencapai kesepakatan minggu lalu.

Sejun sebetulnya lebih suka pizza hut karena dia suka toppingnya yang menurutnya lebih banyak dari domino's. Tapi ini Seungsik yang bicara. Tidak ada yang pernah membantah Seungsik kalau soal makanan.

“Masih mau dilanjut nggak berantemnya?” Seungsik bangkit berdiri dari sofa, melirik Seungwoo dan Byungchan yang kembali membahas soal burger. “Ini mending gue bikin popcorn sekalian aja deh, lebih seru nonton kalian berantem daripada nonton netflix.”

Keduanya tidak ambil pusing omongan Seungsik. Buktinya mereka sudah membuka gawai masing-masing saling unjuk hasil review burger dari masing-masing gerai di situs online.

“Tuh liat mas, lebih banyak yang suka burger king daripada mekdi!”

“Dek, jelas-jelas soal rasa lebih enak mekdi. Ayok kita tanya subin, pasti dia setuju sama mas.”

Sejun mengerang. Dua makhluk di hadapannya kalau sedang mesra sudah bikin mual karena selalu menempel kemana-mana, apalagi mereka yang berantem, lebih bikin mual karena yang diributin pasti hal-hal tidak penting. Jadi Sejun memilih mengikuti Seungsik ke bagian dapur, masih di area yang sama dengan ruang tamu karena apartemen lelaki itu berupa ruangan berkonsep open plan yang memberi kesan luas untuk ukuran sebuah hunian single bedroom apartment.

Yang lebih tua sedang membuka-buka laci mencari-cari keberadaan jagung berondong instan yang biasa dia simpan dengan camilan-camilan lain.

“Sik,” panggil Sejun, bersandar di kitchen counter bersedekap dada.

“Hng?”

“Nyari apa?”

“Popcorn. Kemaren rasanya masih nyisa satu.”

“Aku pindahin ke laci ini,” Sejun membuka laci dekat kulkas. Mengeluarkan sebungkus jagung dari dalamnya. “soalnya bungkusnya kecil, kalo dibarengin sama cemilan nanti gak keliatan.”

Seungsik menatap Sejun yang sedang menyodorkan bungkusan berwarna biru itu kepadanya. “Lain kali bilang ya sayang, biar aku nggak nyariin.” Sebuah ucapan terima kasih terlantun dibarengi senyuman menawan Seungsik yang selalu berhasil membuat dada Sejun berdesir sejak mereka bertemu setahun silam.

Bibir yang lebih muda tak kuasa menahan cengiran lebar akibat panggilan sayang yang terlontar dari lelaki yang baru di pacarinya seminggu terakhir ini.

“Eww, mual banget gue liat lo.” Byungchan tau-tau bersuara sangat lantang dari seberang ruangan. “Harusnya gue gak keceplosan bilang kak Seungsik suka lo juga kalo gue harus liat lo jadi tambah cringe.”

Oh, manusia. Alangkah baiknya kalian berkaca dengan tindak tanduk kalian sendiri saat jatuh cinta.

Byungchan terkekeh melihat Hangyul yang sedang tengkurap tidak sengaja membanting ponselnya ke lantai. Jadi ia beranjak sedikit dan membantu mengambilkan ponsel malang tersebut karena Hangyul belum ia perbolehkan bergerak selagi tatonya belum selesai.

“Lo lagi di tato mainan hape, nanti tato lo kelar hape lo ikutan kelar hidupnya.”

Hangyul menggumamkan terima kasih kepada Byungchan dan kembali memhuka ponselnya. “Temen gue ngabarin mau kesini, boleh kan?”

“Ya boleh, udah bilang studionya?”

Hangyul mengangguk dan Byungchan kembali ke tempatnya semula.

Hangyul menggigit bibir saat mesin tato kembali berdengung. Byungchan dengan santai melanjutkan pekerjaannya di atas kulit punggung yang lebih muda.

Kebiasaan Byungchan adalah mengajak canvasnya mengobrol selama proses penggambaran tato karena dia ingin tahu tingkat toleransi rasa sakit sekaligus sebagai distraksi agar si canvas tidak terlalu terfokus kepada rasa sakit saat jarum-jarum berisi tinta permanen itu diinjeksikan kedalam lapisan kulit mereka yang setelahnya dapat menimbulkan efek seperti disengat lebah atau bahkan terbakar, tergantung pada kulit bagian mana mereka di tato.

“Lo udah paham aftercare kalo abis tato kan, Hangyul?” tanya Byungchan memastikan, karena Hangyul sudah pernah di tato sebelumnya harusnya Byungchan tidak perlu menjelaskan lagi dari hal-hal dasar mengenai perawatan pasca pembuatan tato.

Dapat dilihatnya Hangyul mengangguk, “Jangan kontak sama air terlalu lama, kalo iritasi harus langsung di hapus, jangan konsumsi alkohol sampe tato kering...eh apa lagi ya?”

Byungchan menjelaskan beberapa precautions lain sembari melanjutkan bagian tato yang tadi sempat ditinggalkan. Desain tato yang diinginkan kliennya ini tidak terlalu rumit hanya saja cukup memakan waktu karena detail gambarnya yang cukup banyak dan butuh ketelitian.

Beberapa menit berlalu kedua entitas di dalam studio tato tersebut kompak mendongak bersamaan saat ada ketukan di pintu yang kemudian terbuka, menampakkan sosok 183cm dalam balutan celana jeans dan kaos hitam polos yang berdiri di ambang pintu menatap ke arah mereka berdua.

Lebih tepatnya sedang menatap Byungchan lamat-lamat karena mungkin dia takut salah lihat.

Seungwoo kelihatan terkejut bukan main. Pasalnya beberapa hari lalu nomornya baru saja diblokir oleh orang yang duduk satu setengah meter dihadapannya. Begitu pula yang lebih muda, bohong kalau dia bilang ia tak terkejut. Mana pernah dirinya berpikir bahwa kota dimana mereka tinggal ternyata sesempit ini hingga dirinya kembali bertemu dengan Seungwoo disini, di tempat ia bekerja, di tempat ia bisa menjadi dirinya sendiri, di safe-zonenya.

Maka ketika Seungwoo melisankan namanya dengan nada bingung, “Byungchan?”, yang dipanggil hanya menatap Seungwoo dan Hangyul—yang memunggunginya bergantian. Entah harus bereaksi bagaimana mengetahui bahwa teman yang dimaksud kliennya hari ini adalah lelaki yang beberapa hari lalu mengajaknya menikah.

“Oh, temen Hangyul? duduk aja disitu,” tunjuknya dengan dagu ke sofa kulit didekat pintu. “kalo mau ambil minum tuh di showcase deket studio 2 ya.”

Hangyul yang sedang sibuk dengan gawainya bahkan berusaha untuk tidak mengumpat saat melihat Seungwoo mengangguk dan dengan tenang duduk di sofa yang tersedia sebelum mesin tato kembali berbunyi dan kulitnya kembali ditusuk rangkaian jarum kecil berisi tinta.

Yang lebih muda diantara mereka bertiga sudah membenamkan wajahnya diantara tangan yang terlibat, berusaha tidak mengerang dengan rasa sakit yang sedang diterimanya. Byungchan dengan tenang dan serius melanjutkan tahap finishing, sedangkan Seungwoo hanya memperhatikan gerak tangan yang lebih muda bergerak mengarahkan mesih berbentuk silinder itu diatas kulit punggung Hangyul.

Wajahnya terlihat sangat serius, dahihya berkerut tetapi bibirnya mengerucut lucu menurut Seungwoo.

Ia jadi teringat pembicaraan Seungwoo dengan Bunda lelaki itu tempo hari. Bagaimana sebuah fakta kecil bahwa mereka pernah bertemu di pemakaman ibu kandung Byungchan puluhan tahun silam, memori yang secara ajaib kembali terlintas saat Bunda menceritakan bagaimana ia berharap bisa mempercayakan putra bungsunya kepada Seungwoo dalam sebuah ikatan pernikahan agar setidaknya Byungchan memiliki seseorang yang bisa menjadi tempat berbagi secangkir teh hangat dan berkeluh kesah di akhir hari. Seperti hari berat yang dilewati Byungchan kecil dalam dekapan sosok bocah delapan tahun bernama Seungwoo yang baru saja ditemui di tempat peristirahatan terakhir ibunya.

Seungwoo bertanya-tanya apakah yang lebih muda juga mengingatnya?

— Lembar Terakhir.

Seungwoo memandangi kelopak mata Byungchan yang masih terpejam. Menyembunyikan sepasang bola mata indah milik yang lebih muda yang masih lelap dalam tidurnya.

Sepertinya mimpinya indah karena wajah Byungchan terlihat sangat damai.

Jarinya tau-tau sudah bertengger di kening Byungchan, lalu bergerak lurus ke bawah menuju ujung hidung Byungchan yang kecil dan tinggi.

Ibu jarinya berpindah ke belah bibir Byungchan yang merah dan berisi. Diusapnya pelan agar tidak membangunkan yang lebih muda.

Pada sebuah titik di hidupnya Seungwoo pernah berpikir bahwa dirinya mungkin akan bertemu seseorang yang akan menggantikan sosok Byungchan di masa depan. Ide yang kerap ditepisnya jauh-jauh, tapi menjadi salah satu alasan dia mau memberi kesempatan bagi yang datang.

Bukan karena dia tidak merindukan sosok lelaki dalam dekapannya itu. Seungwoo rindu, bahkan ketika hari-harinya diisi banyak individu yang singgah mencoba membuatnya jatuh cinta.

Dan pada suatu titik balik di hidupnya, dia kembali dipertemukan dengan si pemilik hatinya. Yang kata orang hanya cinta monyetnya di usia remaja.

Seungwoo tidak mau kisah mereka dibilang begitu. Rasa sukanya. Rasa cintanya kepada Byungchan terlalu sakral untuk dipadankan dengan pemaknaan cinta main-main remaja belasan tahun.

Baginya Byungchan adalah cinta pertama. Walau bukan pacar pertama.

Lelaki yang perlahan membuka matanya itu menggenggam separuh hatinya sejak Seungwoo berani menyatakan perasaan sukanya.

“Kok bangun kak?”

Suara Byungchan parau khas bangun tidur. Seungwoo mengeratkan pelukannya saat dilihatnya Byungchan bergidik kedinginan karena mereka tidak menggunakan atasan dan selimut yg sudah turun sebatas pinggang.

“Nggak tau, kebangun aja. Terus liatin kamu tidur cantik banget.”

Byungchan mendesah nyaman saat hangat dada Seungwoo bertemu dengan telapak tangannya yang terasa dingin. Ia bergelung mendekat dalam dekapan yang lebih tua.

“Ini jam berapa sih? Kayaknya masih pagi banget.” tanya yang lebih muda, sedikit melongok melewati bahu Seungwoo untuk melihat jam di atas nakas samping tempat tidurnya. Sebelum ia bisa menajamkan penglihatannya untuk membaca arah jarum jam Seungwoo sudah menarik kepalanya kembali untuk dibenamkan di dadanya sendiri.

“Ngga usah liat jam, by. Mending tidur lagi, masih dingin juga.”

“Aku cuma mastiin, kak.” Byungchan menggesekan pipinya ke kulit telanjang Seungwoo. “Lagian aku masih kangen bau kamu. Enak banget sih, kak. Nagih banget wanginya, padahal aku pake sabun yang sama.”

Yang lebih tua menggumam. Dia mengusakkan hidung di surai Byungchan, menghidu aromanya dalam-dalam.

“Wangi kamu lebih enak, by. Padahal aku juga pake sampo yang sama. Aneh nggak?”

“Hng, preference nggak sih, kak?”

“Maksudnya preference gimana?”

Byungchan berdeham, “Ya, kayak aku yang lebih suka bau sabunnya karena kecampur sama wangi badan kak Seungwoo. Nggak tau deh nggak mau mikir pagi-pagi ah.”

Seungwoo terkekeh lalu mencium puncak kepala Byungchan sayang. Tangannya bergerak mengelus punggung yang lebih muda pelan.

“Chan,” panggilnya. Byungchan menyahut dengan sebuah 'hm'.

“Kita, nggak kecepetan kan?” “Maksudnya pace hubungan kita yang begini nggak kecepetan kan buat kamu?”

“Hng...nggak...?” “Jujur aku nggak tau, tapi aku nyaman aja sama yang kita punya sekarang.”

Seungwoo menghembuskan nafasnya lega. “Syukur deh.”

“Aku tuh takut kamu bakal terganggu sama hubungan kita yang begini, yang pacenya bagi orang lain tergolong cepet banget.”

Byungchan memukul pelan dada Seungwoo. “Tuh, kamu tuh lagi-lagi selalu mikirin omongan orang deh.”

“Bukan gitu, Chan. I just try to put myself on their perspective. Cuma aku nggak bisa. Aku suka kita yang kaya gini, kita yang sekarang. Karena bagi aku pace kita udah pas sama apa yang kita lewatin selama empat tahun ini.”

“Makanya aku nanya kamu, takutnya kamu yang nggak nyaman.”

Yang lebih muda mengangguk. “Aku nyaman selama kakak nyaman. I don't mind at all. Malah aku seneng karena sekarang kita jadi lebih terbuka satu sama lain.”

“Maaf ya, Chan, kemarin-kemarin aku kekanakan banget pake cemburu sama temen kamu.”

Suara tertawa Byungchan teredam oleh tangan Seungwoo yang membekap bibirnya. “Kok kamu ketawa sih.” rajuk Seungwoo.

“Hahahaha abis salah siapa sendiri dibahas. Aku kan jadi keingetan hahaha.”

Tawa Byungchan semakin kencang saat Seungwoo menggelitik pinggangnya dari balik selimut.

“Kak geli ahahaha ampun ampun hahaha udahan aku geli hahaha.”

“Kamu tuh,” keluh Seungwoo ketika Byungchan berhasil melepaskan diri darinya dan beringsut menjauh hingga dirinya berada di ujung sisi tempat tidurnya. “Sini, jangan jauh-jauh.”

Mata Byungchan menyipit. “Janji nggak gelitikin aku?”

“Janji.” “Aku mau peluk kamu aja seharian, kan aku udah bilang kalo kamu pulang mau aku kekepin seharian.”

“Terus nggak makan?”

“Makannya aku pangku.”

“Aku berat.”

“Lebih berat dosa Sejun.”

Byungchan tertawa lagi. “Sembarangan banget kamu ngomongnya. Aku aduin ke kak Sejun lho nanti.”

“Bilangin aja, nanti kalo kita berantem pasti aku yang menang. Sini dong by, nggak dingin apa kamu telanjang begitu?”

“Yang nelanjangin aku siapa coba?”

“Aku. Udah sini deketan.”

“Manja,”

Byungchan mendekat, menyandarkan kepalanya ke dada Seungwoo yang sudah menopang tubuhnya dengan tumpukan bantal yang tinggi.

Yang lebih muda meraih jemari Seungwoo dan memainkannya. Kepalanya menengadah memandangi langit-langit.

Seungwoo disisi lain menautkan kaki kaki mereka dibawah selimut. Membelit satu kaki Byungchan dibawah kakinya.

“Aku udah pernah bilang nggak ke kamu?” tanya Seungwoo, pandangannya jatuh pada jari mereka yang tertaut. Sudut bibirnya tertarik naik.

“Bilang apa?”

“Aku bersyukur banget bisa ketemu lagi sama kamu. Bisa ketemu lagi sama yang bawa pergi hati aku sama dia. Kedengerennya kaya gombal ya?”

“Nggak kok.”

“Masa sih?”

“Iya, nggak gombal. Emang kamu gombal doang?”

“Nggak lah.”

“Yaudah.” “Lagian aku juga ngerasain hal yang sama. Aku bersyukur banget kita bisa nyelesein kesalahpahaman kita pada akhirnya, aku bisa denger sendiri pengakuan kamu tanpa harus asumsi-asumsi jelek berdasarkan prasangka aku semata.”

“Sekarang kita udah sama-sama. Ayo kita bahagia bareng-bareng, ya, by?”

“Selamanya.”

“Iya. Ayo kita bahagia berdua, selamanya.”

Pagi itu sinar matahari yang menyusup melalui celah lubang ventilasi menjadi saksi dua insan yang saling berbagi ciuman hangat diselingi panjatan doa yang disuarakan dalam hati.

Semoga kehidupan mereka benar-benar diisi kebahagiaan sampai akhir.

— fin.

July 9, 2020.