deediary

— Lembar Kelima belas

Seungwoo keluar ruangan sidang dengan wajah sumringah dan tangan yang menenteng lembaran penilaian performa presentasi skripsinya. Tercatut nilai A disana. Senyuman yang terkembang di bibir Seungwoo sudah menjelaskan segalanya.

Jadi teman-teman dekatnya berhamburan memeluk pemuda yang mengenakan stelan hitam putih itu. Pelukan mereka erat. Ucapan selamat hilir mudik ke indera pendengarannya.

“Bang selamat ya, wah keren banget sih lo bisa lulus tepat waktu.”

“Congrats, Woo. Doain gue bisa nyusul ya.”

“Gimana Woo? Degdegan nggak?”

“Penguji lo galak gak, Woo? Wah keren bisa dapet A lho.”

“Panutan banget emang temen gue yang satu ini.”

Itulah sederetan ucapan yang berhasil ia tangkap karena banyak sekali orang yang menunggu di koridor area ruang sidang menungguinya harap-harap cemas.

Perasaannya sudah jauh lebih lega. Akhirnya, perjuangannya menyelesaikan skripsi yang berbarengan dengan waktu magangnya itu membuahkan hasil.

Seungwoo lulus dengan nilai akhir diatas rata-rata dan dia patut berbangga diri sebagai penyandang status mahasiswa double-degree yang berhasil lulus tepat waktu di kedua jurusannya.

Tangannya sudah penuh dengan buah tangan. Ada goodie bag besar berwarna putih dari teman-teman magangnya. Buket bunga dari beberapa teman satu angkatannya. Cokelat batangan yang dihias pita lucu dan masih banyak lagi.

Ia berterima kasih banyak untuk itu.

Tapi sejujurnya dia agak sedikit kecewa.

Byungchan tidak disini.

Iya. Iya. Dia tahu bahwa dirinya sendiri yang memaksa Byungchan untuk tetap pergi ke jogja sebagai bentuk profesionalitas terhadap pekerjaannya. Tapi kalau bisa egois pun ia ingin Byungchan disini dan jadi orang yang pertama kali ia rengkuh untuk menyalurkan rasa bahagianya.

Tadi pagi yang lebih muda sudah mengabarinya bahwa ia akan pergi ke salah satu pantai di daerah Gunung Kidul dan kemungkinan dia tidak akan bisa dihubungi seharian karena menurut Subin disana akan sulit mendapat sinyal. Jadi ia menyempatkan diri untuk menelpon Seungwoo dan menyemangatinya—sekaligus memberi selamat, dan juga sebuah foto imutnya yang dikirim sebagai ganti dirinya.

Ah, baru dua hari dia sudah sebegini rindu.

“Bang,” panggilan itu menyadarkan Seungwoo.

Itu Jinhyuk, yang datang dengan Wooseok—pacarnya, dan juga Yohan. Mereka berdua anak arsi, kenal lumayan baik dengan Seungwoo.

“Oit, Hyuk.”

Ketiganya memberikan selamat kepada Seungwoo seperti teman-temannya yang lain.

“Rame bener yang dateng udah kayak orang kawinan aja.”

“Jelas lah, mantan ketua BEM.” sahut Yohan seraya mengangsurkan sebuah buket bunga lilac ungu yang di tata dengan indah. Ada sepucuk amplop berwarna senada di dalamnya.

Seungwoo mengernyit.

“Buka aja bang.”

Maka ia membukanya. Sebuah surat?

From: Yours

Hi, Champion. My snoopy. Senu-nya aku ❤ Gimana sidangnya? Lancar nggak? Pasti lancar deh aku yakin banget. Selamat ya, kak. Now you're one step ahead of me. Kamu udah berhasil raih gelar sarjana. Nggak kerasa ya? Kemarin kita masih anak SMA bau matahari yang sibuk mikirin bakalan mau ngapain pas weekend? Atau bertanya-tanya rasanya jadi anak kuliahan. Seru nggak sih? Susah nggak keeping up with the environment? tau-tau kakak udah lulus duluan aja, ya.

Kak Seungwoo tau nggak? Hari ini aku jadi orang paling bahagia setelah kak Seungwoo.

Mau tau nggak, kenapa?

p.s: Buka amplop di buket yg dibawa kak Mijoo.

Seungwoo meletakkan semua barang di tangannya ke lantai dan menghampiri Mijoo.

“Sini kembangnya.” pintanya tanpa basa-basi.

“Yeuh dasar bucin lo!”

“Emang enak jomblo.” balas Seungwoo.

Jalan 30 langkah ke utara. Nanti dari situ ada anak panah di tembok. Ikutin ya, sayang.

Maka Seungwoo berjalan. 30 langkah sesuai arahan dalam memo yang diberi Byungchan.

Anak panah pertama mengarah ke timur. Ia mengikutinya sampai bertemu dengan satu anak panah lagi yang menunjuk ke selatan. Dengan perasaan berdebar Seungwoo kembali menggerakan kakinya dengan sedikit terburu-buru.

Di hadapannya ada Chaeyeon dan Kukheon yang masing-masing memegangi setangkai bunga, Chaeyeon memberinya mawar merah dan Kukheon memberinya setangkai bunga lily calla.

“Tau nggak bang mawar sama lili itu simbol apa?” Kukheon bertanya kepada Seungwoo yang masih memandangi dua tangkai mawar di tangannya.

Love. Passion. Purity. jawab Seungwoo pelan.

Chaeyeon memegang pundak Seungwoo dan mengarahkan tubuhnya ke koridor yang menuju halaman parkir gedung serba guna.

Now go. You'll meet someone at the end of the hallway.

Walaupun masih setengah bingung, Seungwoo tetap berjalan sesuai petunjuk Chaeyeon.

Benar saja. Di ujung koridor ada Sejin dan Seungyoun yang berdiri bersisihan.

“Woo, congrats ya, gue tau lo pasti bisa ngelewatinnya dengan baik.”

Seungyoun memeluk Seungwoo erat dan menyelipkan setangkai bunga matahari berwarna kuning cerah dan kelihatan masih segar.

Thanks, Cho. Semoga lo cepet nyusul juga, ya.”

Kali ini gantian Sejin yang membawanya dalam rengkuhan tangannya yang lebih kecil, menepuk singkat punggung yang lebih tua lalu memberikan setangkai bunga krisan berwarna merah muda.

“Udah siap belom kak sama yang bakal lo dapetin di sana?”

Sejin menunjuk ke arah parkiran. Tepatnya menunjuk ke mobilnya yang terparkir paling depan.

Otak Seungwoo mulai merangkai satu per satu dari maksud bunga bunga yang diberikan kepadanya.

Lilac ungu yang diberi Yohan. Hydrangea yanh dipegang Mijoo. Mawar merah. Lily calla. Bunga matahari dan bunga Krisan.

Bunga-bunga ini memiliki arti simbol yang indah.

“Jangan bengong disini, Woo. Kasian bocahnya kepanasan.”

Seungyoun terkekeh saat melihat Seungwoo yang langsung melesat lari ke arah mobilnya.

Byungchan muncul disana.

Dengan sebuket bunga yang ia sadari merupakan rangkaian dari bunga-bunga yang baru saja ia terima.

Byungchan tidak ke Jogja.

Byungchan-nya disini. Menyiapkan kejutan yang sangat indah untuknya. Kejutan yang bahkan tidak terlintas sama sekali oleh yang lebih tua.

Yang lebih muda berjalan mendekat dengan senyum terkembang manis. Nafas Seungwoo tercekat.

Lelaki yang hanya berjarak beberapa langkah darinya itu sangat indah.

“Hi, pacar aku. Kaget nggak?”

Cengiran di bibir Byungchan menular. Seungwoo ikut mendekat. Memangkas sisa jarak sampai ujung sepatu mereka bersentuhan.

“Aduh!”

Seungwoo baru saja menyentil kening Byungchan.

“Kamu bohong.” “Katanya kamu ke Jogja.”

“Aku beneran ke Jogja.”

“Terus kok bisa disini?”

Bunga dalam genggamannya disodorkan kepada yang lebih tua. “Ya bisa dong, pacar aku sidang, masa aku nggak dateng?”

“Nggak mau aku dateng, emang?”

Seungwoo mendengus tetapi tangannya memeluk buket bunga yang diberikan oleh Byungchan.

“Katanya kamu pergi satu mingguan? Bohong kan!” kali ini ia menjawil dagu Byungchan.

Yang lebih muda terkekeh. “Kalo yang itu emang bohong sih.”

“Pantes aja aku ngerasa aneh pas liat Chaeyeon tadi.”

“Baru nyadarnya kok sekarang.”

Byungchan tertawa dan Seungwoo kembali menyentil keningnya main-main.

Untuk beberapa saat mereka jadi larut dalam keheningan. In a good way.

Mereka saling memandang dengan penuh afeksi. Rasanya hati Seungwoo sangat penuh, mungkin saja sudah tumpah dengan hangat kasih Byungchan yang disampaikan lewat tangkai-tangkai bunga berbagai makna yang membuat Seungwoo ingin meleleh.

Byungchannya sangat manis. Teramat manis.

“Selamat ya, kak? Aku bangga sama kakak.”

Seungwoo mengulas senyum. Lalu ia bawa Byungchan kedalam pelukannya. Kedua lengannya mengerat.

Byungchan membalas pelukan itu dengan sama eratnya. Menyurukan kepalanya di perpotongan leher Seungwoo dan memberi satu ciuman kecil di belakang telinga.

Thank you for coming.” puncak kepala Byungchan diciumnya, hidungnya sengaja dibenamkan untuk menghidu aroma sampo yang dipakai sang kekasih.

Thank you for coming to my life.

— Lembar Keempat belas.

Seminggu pasca kepulangan keduanya dari Bandung, Byungchan dan Seungwoo sama-sama disibukkan dengan kegiatan masing-masing, Byungchan dengan tawaran pekerjaan yang membludak semenjak hubungannya terkespos dan Seungwoo yang sedang sibuk mempersiapkan diri untuk sidang dua minggu lagi. Walau begitu, keduanya selalu menutup hari dengan perut kekenyangan di sofa abu-abu empuk milik Seungwoo atau dengan pemandangan ratusan bintang yang terproyeksi dari lampu hias milik Byungchan yang sering ia hidupkan menjelang tidur.

Dalam kurun satu minggu itu juga keduanya sudah menyisihkan space kosong untuk menaruh pakaian di lemari masing-masing, peralatan mandi yang kini berubah menjadi dua kali lebih banyak, juga dapur Seungwoo yang jadi lebih sering digunakan memasak makan malam oleh Byungchan.

Seungwoo bahkan sudah hapal bau pelembut yang digunakan Byungchan untuk mencuci sarung bantalnya. Begitupun Byungchan yang kerap terbengong dengan bagaimana Seungwoo bisa menghabiskan 200 gram eskrim rasa mintchoco yang menurutnya seperti rasa odol dalam sekali duduk saat mereka sedang menonton siaran ulang film action di apartemen yang lebih muda.

Sejauh ini belum ada pertengkaran tidak berarti diantara keduanya, yang jelas sangat disyukuri. Memangnya siapa yang mau bertengkar dengan pasangannya?

Namun kedamaian mereka ternyata tidak bertahan lama dengan munculnya sebuah cuitan teman Byungchan yang menggelitik rasa ingin tahunya.

“Kak, udah mau jam 2 nih, masih belum selese, ya?”

Byungchan mengerutkan dahinya ketika Seungwoo tidak menyahut panggilannya sama sekali, yang lebih tua tetap memfokuskan diri dengan laptop di atas coffee table, dapat dilihatnya bahwa pacarnya mengenakan earphone di kedua telinganya.

“Pantesan aja nggak nyaut.” Gumamnya.

Byungchan akhirnya mendekati Seungwoo dan melepas buds yang terpasang di telinga kiri dan dipelukannya leher Seungwoo.

“Udah mau jam 2 kak, istirahat dulu yuk?” ajakan Byungchan disuarakan dengan nada manja, bibirnya menguap sesaat setelahnya.

“Kamu kalo ngantuk duluan aja, aku masih ada yang dikerjain.”

Lagi, Byungchan mengernyit heran. Nada bicara Seungwoo agak dingin. Mungkin faktor lelah atau bagaimana, tapi jujur saja Byungchan sedikit kecewa. Ia ingin tidur dipelukan Seungwoonya seperti beberapa hari belakangan.

Biasanya sesibuk dan selelah apapun kondisi pacarnya itu, Seungwoo selalu berbicara dengan nada lembut, tidak seperti tadi. Tapi Byungchan tidak mengutarakannya, takut membuat suasana jadi tidak nyaman.

Karena dilihatnya Seungwoo seperti tidak bisa diganggu dan tidak akan menggubris dirinya jika ia mengganggu, maka Byungchan mengecup kedua pipi Seungwoo bergantian dan pamit tidur lebih dahulu.

Beberapa bela menit setelah dirinya merebahkan diri di atas kasur, Byungchan mendengar pintu kamar Seungwoo dibuka.

“Kok belum tidur?”

Yang lebih tua berjalan mendekati tempat tidur.

“Ini tadi kukun nanyain besok free apa nggak, mau ngajak beli kado katanya.”

“Terus kamu jawab apa?”

“Yaaaa...aku iyain? Kan emang besok aku free abis ngampus.”

“Kamu nggak nanya aku dulu?”

Byungchan agak kaget mendengar pertanyaan Seungwoo, “Eh..kita ada janji mau pergi ya? Atau gimana? Aduh kakkkk, maaf, beneran kalo aku udah janji sama kakak biar aku bilang ke kukun perginya lusa aja.”

Byungchan buru-buru meraih ponselnya di atas nakas. Namun sebelum ia menyentuh ikon WhatsApp untuk mengabari Kukheon Seungwoo keburu membuatnya tercengang.

“Nggak, nggak penting kok. Kamu tidur duluan ya, aku paling tidur di sofa.”

ー Lembar ketiga belas.

Pagi ini Seungwoo dan Byungchan bertolak ke kota kembang karena Byungchan mendapat tawaran syuting iklan minuman teh kemasan. Harusnya Byungchan pergi dengan asisten dari managernya yang sedang menghadiri acara pernikahan kakak kekasihnya di Lombok, namun Seungwoo memaksa menemani dengan alasan, ‘pengen nemenin pacar aku kerja sesekali, boleh ya?’, maka punya kuasa apa Byungchan untuk menolak ketika Seungwoo sudah memohon dengan matanya yang jernih dan cantik itu?

“Capek nggak, kak? gantian sama aku ya?”

Byungchan mengusap lengan yang lebih tua. Seungwoo menggeleng dan meraih tangan kekasihnya untuk menautkan jemari mereka.

“Kamu tuh mending istirahat deh, sampe ciwidey bukannya langsung syuting?”

Byungchan menggelengkan kepalanya, menggeser badan sehingga ia menghadap ke kanan, bersandar pada pintu mobil. “Mau nemenin kakak ngobrol aja, nanti kasian kalo aku tinggal tidur.”

“Bandel,” Seungwoo meremas tangan Byungchan yang ada pada genggamannya.. “tapi kalo ngantuk kamu tidur aja, ya? Biar sampe sana kamu seger, nggak kecapean.”

“Iya iya, tapi kakak kalo capek juga bilang biar gantian.”

Selama perjalanan ke Bandung keduanya bercerita untuk menghalau bosan karena dari Jakarta ke Ciwidey menempuh waktu hampir 3 jam jika tidak terhadang kemacetan, kebanyakan cerita tentang masa kecil Byungchan yang dihabiskannya di buah batu hingga menginjak usia 10 tahun.

Mata Seungwoo fokus ke jalan raya, hanya sesekali menoleh ke samping untuk memberi sebuah senyuman kecil saat Byungchan bercerita, atau tangannya yang sesekali beristirahat di atas tempurung lutut Byungchan dan mengusapnya pelan saat mereka memasuki gerbang tol.

Jalanan yang cukup lengang membuat jarak tempuh perjalanan mereka jadi lebih cepat. Keduanya sampai di lokasi perkebunan teh Rancabali tepat pukul 6.

Byungchan langsung dibawa masuk ke dalam sebuah tenda berwarna putih mirip yang digunakan untuk CFD oleh seorang stylist. Seungwoo yang tidak memiliki kepentingan memilih menyingkir ke luar area steril agar tidak mengganggu jalannya pengambilan gambar.

Dua jam berlalu sejak Byungchan dan dua talent lain memasuki area perkebunan bersama staf produksi, meninggalkan Seungwoo di dalam mobil bagian belakang yang sengaja dibuka dengan laptop di pangkuan dan sekotak makanan yang diberikan yang lebih muda sebelumnya.

Saat Byungchan kembali kotak makanan Seungwoo belum tersentuh sama sekali. Jadi ia mendekati pacarnya itu dan berkacang pinggang.

“Kok kakak belum makan? Tadi aku pesen apa sebelum pergi?”

“Aku belum lapar, by, lagian aku biasanya sarapan lepas jam sembilan.”

Byungchan mendengus cukup keras, diambilnya kotak berwarna putih itu lalu kembali menyodorkannya kepada yang lebih tua. Wajahnya tertekuk masam, suaranya yang biasa lembut dan manis berganti dengan intonasi sebal cenderung ketus. “Kalo nggak mau makan mending kakak pulang aja, biar aku stay sendiri disini.”

“Nanti aja, ya? setengah jam lagi deh janji, aku belum lapar, Chan.”

Seungwoo berusaha meraih tangan Byungchan yang sedang berdiri di hadapannya, posisinya yang duduk jauh lebih rendah membuat lehernya sedikit sakit karena harus mendongak.

Walaupun omelannya sudah sampai di ujung lidah Byungchan tidak sampai hati memarahi sang pacar. Mata yang lebih tua terlihat sedikit memerah, mungkin menahan kantuk, atau bisa jadi matanya lelah menatap layar laptop yang sempat dilirik Byungchan, lelaki yang sudah berbaik hati melepas tiket konser band jazz kesukaannya demi menemaninya syuting ke luar kota itu sedang mengerjakan revisinya, di tengah dinginnya udara hamparan kebun teh dan suasana bising proses pengambilan gambar tak jauh dari lokasi mobilnya terparkir.

“Aku suapin ya?”

Nadanya melunak. Seungwoo menatap sendok dihadapan bibirnya yang berisi nasi dan potongan ayam lada hitam yang sudah dingin.

“Nah gitu dong,” Byungchan tersenyum manis saat Seungwoo mengunyah makanannya lambat-lambat. “bilangnya aku bandel padahal sendirinya juga. Nanti kalo kamu sakit kan yang ngerasain nggak enaknya kan kamu kak. Makan itu bukan perkara udah laper apa belum, usahain ada yang masuk ke perut kalo kamu udah aktivitas dari pagi buta, apalagi tadi kamu sempet minum kopi, kasian tau lambung kamu. Percuma aja nge gym kalo makannya gak teratur.”

“Bagian kamu emang udah selese?” “Udah kok, bagianku emang nggak banyak, kemungkinan sebelum makan siang udah selese semua. Nggak papa kan nunggu sampe jam segitu?”

Seungwoo mengusak rambut Byungchan pelan lalu dicubitnya pipi tembam pemuda yang lebih tinggi satu setengah senti dari dirinya itu.

“Kamu nggak usah ngerasa bersalah gitu bikin aku nunggu, kan aku yang mau nemenin pacar aku kerja, ya?”

Lagi-lagi bibir yang lebih muda melengkung membentuk senyuman, merupa yang dilakukan oleh yang lebih tua. Wajahnya merona merah ketika disadari bahwa Seungwoo menatapnya dengan penuh afeksi, matanya yang lelah ikut tersenyum, menggantikan bibirnya menyuarakan ungkapan sayang.

Pukul 12.53 sutradara mengumumkan bahwa seluruh rangkaian pengambilan gambar telah selesai. Setengah jam kemudian Byungchan sudah berada di mobil Seungwoo dalam perjalanan menuju hotel tempat keduanya bermalam di kawasan dago pakar.

Seungwoo yang kelelahan setelah menahan kantuknya sedari mereka berangkat akhirnya tertidur pulas sesaat setelah mereka berdua membaringkan tubuh di atas kasur empuk yang baru saja diganti sprei dan selimutnya dengan yang baru dan berbau wangi yang nyaman.

“Kak,”

Dalam mimpinya Seungwoo mendengar suara yang amat familiar memanggilnya. Terasa sangat nyata bahkan untuk beberapa detik ia yakin ada sesuatu yang lembut dan empuk di bibirnya.

“Kak Senu, sayang, bangun yuk.”

Matanya mengerjap-ngerjap menatap wajah dengan dekik pipi dalam dihadapannya. Jemari yang mengelus keningnya beralih ke pipi bawah dan keningnya.

“Jam berapa?” tanyanya, menyadari hari sudah gelap.

“Udah jam 7 nih,” yang lebih muda beranjak mengambil sebuah handuk abu-abu di atas sofa dan kembali ke atas ranjang untuk menarik Seungwoo, menuntunnya ke dalam kamar mandi.

“Mandi gih, aku punya kejutan buat kakak.”

— Lembar Kesebelas.

Sejin menatap Seungwoo dan Seungyoun bergantian, merasakan aura permusuhan yang pekat di antara kakak sepupu dan kekasihnya itu. Tidak hanya itu, mata nyalang Seungwoo yang menatap Seungyoun lekat-lekat sejujurnya membuatnya sedikit takut. Seungwoo dan Seungyoun merupakan sahabat baik sejak SMA, fakta itulah yang mendekatkannya dengan kakak sepupunya yang sering berpindah tempat tinggal tersebut, padahal mereka memiliki hubungan darah, namun Seungyoun lah yang menjembatani keduanya hingga jauh lebih akrab dari saat mereka satu sekolah dulu. Belum pernah dilihatnya Seungwoo si penyabar, Seungwoo si anak bungsu yang selalu mengayomi adik-adik sepupunya terlihat semarah ini, dahi berkerut, nafas yang memburu dan kedua tangan terkepal erat di atas kedua lututnya, memperlihatkan guratan otot tangan yang terbiasa dilatih mengangkat beban di pusat kebugaran setiap minggu itu, terlihat siap melayangkan tinjunya kapanpun-yang jelas kepada Seungyoun.

“Jelasin,” suara Seungwoo rendah dan tajam. “Apa maksud lo gue sama Byungchan putus gara-gara lo?”

Kedua orang dihadapannya terdiam, Sejin yang diam karena dirinya yang benar-benar tidak tahu duduk permasalahannya, dan Seungyoun yang terdiam karena tidak tahu harus memulai darimana. Perasaan bersalah begitu menyesakkan dadanya, terasa nyeri sekali karena sudah ditahan empat tahun lamanya.

5 menit lalu Seungwoo masuk kedalam ruang rawat Sejin dengan sorot mata berapi-api dan tangan terkepal erat setelah mendapat pesan dari Seungyoun. Sejin sedikit paham masalah Seungwoo dan Byungchan, yang jelas membuat Seungwoo jadi terlihat lebih murung dari biasanya, karena Sunhwa sempat menceritakan bahwa adik bungsunya itu sedang gundah karena ditinggal pergi oleh Byungchan seperti 4 tahun lalu saat yang lebih muda meninggalkan pulau dewata.

“JAWAB ANJING!”

“K-kak…” Sejin terperanjat, dadanya berdegup kencang, Seungwoo baru saja melemparkan telepon genggamnya ke seberang ruang rawatnya, berakhir tergeletak dengan layar yang retak disana-sini, sangat mengenaskan karena beradu dengan dinding beton yang di cat warna broken white itu.

Nafas yang paling tua menderu, amarahnya sudah di tenggorokan. Atensi dua sepupu itu tertuju pada Seungyoun yang tiba-tiba menunduk, terdengar isak tangis yang membuat keduanya kembali terdiam.

“Gue make heroin, pas kelas dua.” Kalimat itu meluncur tanpa tedeng aling-aling dari bibir pemuda Cho, membuat Sejin tak kuasa menutupi ekspresi terkejutnya hingga tak sadar dirinya menahan napas mendengar pengakuan kekasihnya yang terlampau mengejutkan itu, sedangkan Seungwoo memilih bungkam, ini bukan saatnya menghakimi tindak tanduk teman baiknya di masa lalu itu, karena pasti ada sebab dari semuanya. Jadi Seungwoo hanya menipiskan bibirnya, menunggu Seungyoun yang kakinya bergerak tidak nyaman untuk melanjutkan ceritanya.

“Nggak ada yang tau awalnya, sampe Hayoung liat gue lagi transaksi sama pengedar di Kuta.”

“Hayoung?” Tanya Seungwoo memastikan. Kareana Hayoung bukanlah nama asing bagi ketiganya.

“Iya, Hayoung,” Seungyoun melirik Seungwoo sekilas yang dibalas dengan alis si pemuda Han yang tertaut, “lo pasti nyadar kan Woo, kalo Hayoung udah suka lo dari kita kelas satu.”

Seungwoo mengangguk. Siapa juga yang tidak tahu? Anak dari gubernur Bali pada masanya itu sangat terang-terangan memperlihatkan rasa sukanya pada Seungwoo, bahkan beberapa kali dengan gamblangnya memberikan kode agar Seungwoo mengajaknya kencan lah, menonton konser lah, bahkan memberikan undangan VIP khusus untuk Seungwoo seorang saat pesta ulang tahunnya yang ketujuh belas di salah satu hotel bintang lima yang harga sewanya sudah pasti terdiri dari 8 digit angka paling minimum. Ketika Seungwoo memutuskan untuk berkuliah di Bina Bangsa, Hayoung melepaskan kesempatan menempuh pendidikan di Singapura dan mendaftar di jurusan design interior kampus mereka. Saat Seungwoo mencalonkan diri sebagai ketua BEM, Hayoung bergerak mengerahkan teman-temannya untuk memilih Seungwoo yang pada saat itu sudah jelas akan memenangkan hasil voting mahasiswa. Dan masih banyak hal yang dilakukan gadis itu untuk memenangkan hati Seungwoo, namun tak pernah sekalipu digubris oleh si pemuda Han.

“Hayoung tau gue pake nama samaran, Evan, buat transaksi sama drug dealer langganan gue dan dia ngancem bakal ngadu ke mami, Woo. Gue nggak sanggup liat mami kecewa apalagi pasca kepergian papi, mami udah banyak beban pikiran, kalo beliau tau gue make mungkin bakalan stress berat...” Seungyoun meneguk ludah, “gue tau gue salah...dan gue takut banget pas itu, gue yang kalut jadi mohon-mohon ke dia supaya mau tutup mulut sambil gue coba rehab pelan-pelan dibantu sama bli Wayan.”

“Dia setuju buat tutup mulut tapi dengan satu syarat…”

“Lo bikin gue putus sama Byungchan?” Sambar Seungwoo cepat.

Seungyoun mengangguk dan Sejin mengumpat, “Anjing.”

“Gue bingung gimana caranya bikin lo sama dia pisah...karena gue tau lo sesayang apa sama dia Woo, sumpah demi tuhan gue juga nggak tega, tapi gue khawatir sama keadaan mami.”

“Youn, jangan bilang...kamu manfaatin aku waktu itu?” Sejin terperangah, dari sini dia tau pola manipulasi kekasihnya untuk membuat kedua sejoli dimabuk asmara itu putus tanpa harus repot-repot membuat drama yang rumit. “Kamu bohong soal taruhan itu, iya, kan?” suara Sejin sedikit meninggi. Dia marah. Lebih kepada dirinya sendiri karena menjadi orang bodoh yang bisa-bisanya mempercayai bahwa kakak sepupunya yang ramah, yang baik dan penyayang bisa melakukan tindakan sejahat itu, harusnya dia sadar dari awal kalau Seungyoun tidak berkata jujur.

“Taruhan apa?” Ganti Seungwoo yang bertanya.

“Gue...dulu minta tolong Sejin buat bilang ke Byungchan kalo lo taruhan sama Jaebum buat bikin Byungchan bertekuk lutut karena dia anak pejabat.”

“Sinting!”

Seungwoo menarik kerah kaos milik Seungyoun dan menghantamkan satu pukulan ke perut kawan baiknya itu. Tidak sampai disana, Seungwoo yang bak kesetanan beralih mengejar wajah, menghempaskan Seungyoun yang sudah terbatuk-batuk dan darah yang mengalir dari sudut bibirnya. Keduanya terengah.

Seungwoo menutupi wajahnya sendiri, mencoba mengais sisa kewarasannya untuk tidak menghajar kawannya lagi.

“Iya gue sinting, Woo. Gue sadar!! Apa yang lo harapin dari pikiran pemakai kaya gue? Gue bener-bener impulsif dengan nyeret Sejin sebagai perantara karena dulu kalian nggak terlalu deket untuk ukuran sepupu, dan gue berpikir kalo gue yang ngomong ke Byungchan dia nggak bakal percaya karena gue sering bercandain dia.”

“Lo tuh…” Seungwoo memijit pelipisnya, mendadak pusing dengan informasi yang tidak sepenuhnya bisa ia cerna. “Bangsat, Cho.”

“Gue sayang banget sama dia, anjing!”

“Gue minta maaf, Woo, beneran minta maaf sama lo, juga Sejin yang harus nanggung akibat dari kelakuan gue dulu.”

“Apalagi maksud lo?”

“Hayoung yang nyuruh orang nabrak mobil Sejin, Woo.”

“Cewek gila,” untuk ukuran Lee Sejin, mengumpat bukanlah hal yang biasa dia lakukan, tapi dalam kurun 10 menit dia sudah beberapa kali mengumpat, baik di lisan atau hanya di pikiran. “Kenapa dia sampe ngelakuin itu, Youn?”

“Karena dia ngerasa aku udah melanggar janji buat misahin Seungwoo sama Byungchan,”

“Semenjak hubungan mereka keekspos di sosmed, Hayoung hubungin gue lagi, Woo, dia lagi-lagi ngancem buat bilang ke mami, dan gue menolak permintaan dia buat jauhin lo lagi sama Byungchan. Karena perasaan bersalah gue ke lo sama dia masih sebesar gunung, gue nggak sanggup buat misahin kalian lagi. Gimanapun juga lo sahabat gue, kakak sepupu pacar gue, dan gue dulu kenal baik sama Byungchan...gue nggak tega.”

“Akhirnya gue milih ngaku ke mami karena Hayoung pernah ngancem bakal ganggu Sejin sebagai ganti karena gue ingkar janji, gue kira awalnya cuma gertakan aja, Woo, tapi lo liat sendiri Sejin sekarang di rawat di rumah sakit kaya gini. Kakak lo juga masih shock gara-gara kecelakaan kemaren, gue nggak mau kejadian serupa menimpa Byungchan.”

Alis Seungwoo berjengit.

“Kejar Byungchan, Woo, selamatin dia sebelum Hayoung sempet nyentuh barang sehelai rambutnya. Dia obses sama lo, otak sama nuraninya udah nggak ada, gue mohon, Woo. Kejadian yang nimpa orang-orang yang deketin lo itu bukan kebetulan semata, Woo, itu semua rencana dia biar lo tetap sendiri, biar dia ada kesempatan buat dapetin lo.”

Sekarang Seungwoo mengerti. Banyak kejadian janggal luput dari perhatiannya. Naeun si mahasiswi Bisnis yang mendekatinya tiba-tiba terkena isu hamil diluar nikah dengan mantan kekasihnya. Minki si adik kelas saat SMA yang dekat dengan dirinya sebelum Byungchan hadir tiba-tiba menghindari Seungwoo mati-matian. Juga masih ada sederet nama yang pernah mencoba singgah dalam kehidupan Seungwoo berakhir meninggalkan sisinya sebelum berhasil membuka hati pemua itu, dengan alasan-alasan yang kini sudah Seungwoo mengerti asal muasalnya.

“Gue udah ceritain semua yang gue tau ke pengacara keluarga gue, Woo, dan gue siap bersaksi kalau sampai semuanya naik ke meja hijau.”

“Sekarang giliran lo jemput bahagia lo ya, Woo?”

—Lembar Kesepuluh.

Selama perjalanan menuju bandara Seungwoo tidak berhenti menggumamkan kata-kata yang tidak didengar jelas oleh Seungsik. Sesuai saran Seulgi, dirinya tidak mengajak Seungwoo berbicara karena tidak mau memecah konsentrasi yang lebih tua. Pikiran pemuda itu pasti sedang kalut, banyak hal yang bersliweran di otaknya, bergantian meminta untuk diberi perhatian lebih. Namun saat ini fokusnya hanya agar bagaimana ia bisa lebih cepat sampai di bandara.

Setelah memarkirkan mobilnya—yang ditinggal begitu saja oleh Seungwoo di drop zone, Seungsik segera berlari menyusul masuk kedalam terminal keberangkatan hanya untuk melihat yang lebih tua sedang terpekur, memandangi flight information display dihadapannya dengan tatapan nanar.

Maskapai yang ditumpangi Byungchan sudah mengumandangkan panggilan terakhir kepada penumpangnya agar segera melakukan boarding, itu berarti dia sudah terlambat. Sangat terlambat, karena menurut Seungsik, dari postingan media sosial Byungchan tentunya, bahwa yang lebih muda sudah check in lebih awal untuk menghindari antrian imigrasi yang mengular di musim liburan ini.

Pesannya tidak dibalas oleh Byungchan, tidak satu pun.

Raut wajahnya terlihat sangat kecewa. Byungchan benar-benar pergi tanpa mendengar penjelasannya, dari masalah video yang tersebar, juga kesalahpahaman saat dirinya mabuk tempo hari.

Rasanya sudah terlalu banyak kata maaf yang tertunda. Mereka terluka lebih banyak karena diam-diam berharap akan satu sama lain.

Helaan napas Seungwoo yang seperti sudah pasrah akan keadaanya membuat Seungsik memberi satu tepukan ringan di bahu yang lebih tua.

“Balik dulu yuk, makan siang. Nanti kita pikirin lagi gimana cara hubungin Byungchannya.”

Seungwoo menoleh ke Seungsik, teman magangnya memberikan senyum penuh arti kepadanya. “Sorry ya Sik, gue malah bawa-bawa lo ngebut kaya tadi.”

“Nggak apa bang, mending sekarang kita balik deh, biar gue yang nyetir.”

“Pasti gue keliatan konyol banget ya di mata lo, Sik?”

“Nggak juga sih, bang.” Jawab Seungsik, “Tapi gue nggak membenarkan kelakuan lo tadi ya, bahaya bang lo ngebut sebegitunya di jalan tol. Kalo sampe celaka nih bang, bukan cuma telat ketemu Byungchan, lo juga bakal telat menyesali kelakuan lo sendiri yang nggak bisa ngontrol emosi.”

“Sorry, Sik.”

“Iya gue paham, kita langsung cabut aja ya? Rame banget ini bandara, percuma juga orangnya udah check in kan lagian.”

Seungsik ada benarnya. Pikir Seungwoo.

Keduanya melangkah bersisihan melewati kerumunan orang yang akan pergi atau hanya sekedar mengantar sanak saudara atau kerabat ke tujuan mereka masing-masing.

Selama perjalanan pulang tak henti-hentinya Seungwoo menghela napasnya berat. Seungsik jadi prihatin sendiri karena seminggu belakangan yang lebih tua terlihat agak murung dan uring-uringan.

Sebelumnya Seungwoo dikenal sebagai pribadi yang bisa memisahkan urusan profesional dengan urusan pribadi, baik di organisasi kampus atau saat magang kemarin. Bahkan dia selalu menjadi tempat bersandar banyak orang yang kebingungan mencari solusi.

Tapi sekarang Seungsik tahu, kalau Seungwoo si anak bungsu dalam keluarga juga memiliki kekurangan jika berkaitan dalam urusan percintaannya.

Dikenal sebagai orang yang tidak pernah punya pacar walaupun sederet laki-laki dan perempuan dengan terang-terangan menunjukan rasa suka kepadanya ternyata disebabkan kisah lamanya yang belum usai dengan sang mantan kekasih yang baru diketahui publik beberapa minggu belakangan ini.

Semenjak hubungan keduanya terekspos, Seungsik sering kali diberitahu Sejun tentang video yang ditemukannya di linimasa sosial medianya. Seulgi pernah mencubit Sejun saking gemasnya dengan interaksi hangat keduanya di masa sekolah dulu, atau Krystal yang tiba-tiba pernah menyarankan agar Seungwoo pergi kencan dengan Byungchan ke salah satu taman di pinggiran kota yang cocok untuk piknik.

Semua orang berpikir mereka serasi, serius, banyak sekali yang mengharapkan mereka kembali bersama. Tapi ternyata jalannya tidak semulus kelihatannya setelah peristiwa yang mereka lalui barusan.

Seungsik jadi tahu, Seungwoo sangat menyayangi Byungchan, lebih dari dirinya sendiri.

—Lembar kesembilan

Tidak banyak yang tahu kalau Byungchan punya insekyuritas yang cukup tinggi sedari ia kecil.

Mempunyai fisik yang nyaris sempurna, wajah yang rupawan dan anak tunggal dari pasangan suami-istri bergelimang harta serta penyayang tidak lantas membuat Byungchan menjadi pribadi yang luput dari rasa tidak percaya diri.

Ketika keluarga besarnya sedang merayakan kenaikan jabatan sang ayah saat dirinya kelas 4 sekolah dasar, rasa tidak percaya diri muncul dalam benak Byungchan kecil yang diajak ngobrol salah satu sepupu jauh ibunya yang datang dari Manado, Kamu kalau sudah besar jadi presiden ya Byungchan, harus jadi orang besar, lebih dari ayah, terdengar sangat sepele tetapi bocah berusia belum genap 11 tahun itu langsung merubah kolom cita-cita di buku bimbingannya dari dokter menjadi presiden. Terbayang-bayang oleh jabatan tinggi sang ayah di kursi pemerintahan kala itu.

Menginjak kenaikan kelas 3 sekolah menengah pertama, salah satu sepupu Byungchan di Semarang masuk berita nasional setelah memenangkan medali emas pada kejuaraan bulutangkis remaja se-Asia. Semua orang mengelu-elukan sepupunya itu dan tak hanya sekali-dua kali menyeret nama Byungchan dalam obrolan mereka, menyesali lemahnya fisik remaja belasan tahun itu sehingga dirinya tidak diberkahi ketangkasan dalam bidang atletik. Jadi begitu mendapat kesempatan mengikuti lomba cerdas cermat astronomi tingkat provinsi, Byungchan mengerahkan segala kemampuan dan waktunya untuk belajar agar menyabet tropi juara 1. Mematahkan pendapat keluarga besar bahwa dirinya telah diberkahi kecerdasan otak yang bisa membuat mereka bangga, bukan hanya seseorang yang selalu dielu-elukan rupanya yang menawan sejak dia lahir ke dunia.

Lalu saat dirinya bersanding dengan Seungwoo, sebagai kekasih hati si wakil ketua ekskul basket SMA Bina Mulya sekaligus MVP DBL Seri Bali dengan catatan 13 assist dari lima laga yang diikuti sekolahnya itu membuat Byungchan sedikit tertekan dengan cibiran orang-orang tentang dirinya yang tidak sebanding dengan Seungwoo-nya yang gagah, yang atletis dan salah satu dari sekian permata sekolah mereka. Walaupun dirinya bersikap acuh dihadapan semua orang—termasuk Seungwoo— diam-diam Byungchan melatih fisiknya dengan rajin ke pusat kebugaran bersama Hanse, juga ikut-ikut bunda aerobic di taman belakang setiap minggu pagi agar dirinya tidak dipanggil si lemah lagi.

Maka saat dirinya mendengar penuturan Lee Sejin, kakak kelas sekaligus sepupu dari kekasihnya, bahwa dirinya hanyalah si anak pejabat yang menjadi bahan taruhan anak-anak angkatan Seungwoo, hatinya hancur bukan main. Tawaran ayah tentang perpindahan sekolah ke Jakarta yang sempat ditolak Byungchan seminggu sebelumnya langsung diterimanya tanpa pikir panjang lagi. Dirinya yang saat itu sedang kasmaran dengan si kakak kelas segera memutuskan jalinan kisah romansa mereka sebelum dirinya yang dicampakkan dan terlihat seperti pecundang di mata orang-orang. Dan kabar kepindahannya ke sekolah internasional di ibukota itu seolah menjadi alasan utama dirinya memutuskan hubungannya dengan Seungwoo yang baru menginjak usia 5 bulan, tidak ada yang benar-benar bertanya tentang dia yang dijadikan bahan taruhan para kakak kelasnya.

Maka ketika jam sudah menunjukan pukul 1 dini hari, 11 jam setelah pesan terakhirnya kepada Seungwoo, 15 jam sejak pria itu mengatakan akan menunggunya pulang ke apartemennya namun sampai sekarang tidak ada tanda-tanda bahwa Seungwoo akan muncul atau menghubunginya.

Perasaan dibohongi berkecamuk dalam dirinya yang kini dipenuhi ingatan empat tahun silam. Kalimat-kalimat cemooh imajiner yang bercokol dalam benaknya semakin keras dan lantang mengatakan...

Choi Byungchan, lo tuh dijadiin bahan taruhan lagi. Wake up!

“Gue emang manusia paling naif udah percaya gitu aja sama orang yang pernah jadiin gue bahan taruhan.”

Gumaman terakhirnya dengan suara serak sebelum malam itu Byungchan membawa tangisnya ke alam mimpi, dengan jemari yang memegangi bercak merah keunguan di lehernya bekas gigitan Seungwoo kemarin malam.

—Lembar kedelapan.

Byungchan menemukan Seungwoo cengar-cengir memperhatikan dirinya yang sedang berjalan menuju sofa di samping meja resepsionis.

“Gi...itu Byungchan gi hehe halo channn apa kabar??”

Byungchan mengernyit ketika Seungwoo dengan heboh menepuk-nepuk lengan Seulgi disampingnya lalu menunjuk-nunjuk yang lebih muda dengan senyum lebar, teler dikit sebelah mananya anjir orang wasted gitu, gerutunya dalam hati saat Seulgi memberinya sebuah senyum apologetik yang dibalasnya dengan senyum maklum.

Seulgi segera bangkit dan menarik paksa Seungwoo, membantu lelaki itu berdiri disamping Byungchan yang dengan sigap memapahnya. “Byungchan, maaf ya jadi ngerepotin kamu, kita nggak tau kalo keycard dia nggak di dompet terus anaknya udah ngelantur nggak bisa diajak ngobrol baik-baik.”

“Nggak apa-apa mbak, terus mbak Seulgi pulangnya gimana? Kesini nyetir sendiri?”

“Oh aku sama Krystal kok, tapi anaknya lagi di minimarket depan beli minum.”

Melihat mata Seungwoo yang sudah menutup hampir kehilangan seluruh kesadarannya, Byungchan segera pamit kepada Seulgi setelah memberi pesan untum menitipkan kunci kamar yang lebih tua kepada satpam untuk nanti diambilnya.

“Makasih ya Byungchan, maaf ngerepotin!”

Byungchan menghela napas berat sepeninggal Seulgi yang buru-buru melesat keluar, setengah meneriakan ucapan terima kasih dan permintaan maaf sekaligus. Dengan susah payah setengah menyeret badan Seungwoo yang ternyata lumayan berat karena dirinya sama sekali tidak repot-repot berjalan dengan benar, malah menyandarkan sebagian berat tubuhnya pada lelaki yang tengah kesusahan membawa dirinya itu memasuki elevator.

Satu hal yang lupa Seulgi beritahukan kepada Byungchan adalah Seungwoo dalam mode mabuk berubah jadi sedikit clingy and brutally honest, ralat, Seungwoo tidak bisa diam dan mau menempel terus kepadanya bahkan ketika dia hanya beranjak untuk menekan tombol lift barang sebentar.

Kepalanya disurukkan ke leher Byungchan yang mengenakan kaus hijau belel berpotongan V yang sangat rendah dan dibalut cardigan biru dongker yang ia ambil buru-buru dari gantungan.

Seungwoo tidak mau diam dan sangat berisik dalam perjalanan ke lantai tempat Byungchan tinggal.

“Hehe Byungchan...”

“Byungchan kamu wangi telon bayi, hmm, enak chan kaya bau Alice.”

“Ini...asli yaaaa...Byungchan beneran...”, jari Seungwoo mencubit-cubit pipi Byungchan.

Semua itu diucapkan Seungwoo tanpa ada balasan satupun dari Byungchan yang hanya mengusap lengan kiri Seungwoo yang mengalung di pundaknya, sesekali menyingkirkan tangan kanan Seungwoo yang mau memeluknya, di dalam lift ini ada kamera pengawas, dia tidak mau dituduh melakukan tindakan amoral di dalam kotak besi yang kini sudah berenti di lantai tujuannya itu.

Beruntung kamarnya tidak terlalu jauh dari posisi lift jadi dia dengan mudahnya menggeret Seungwoo sampai ke dalam apartemennya dengan selamat.

“Kak, mau minum dulu apa mau ganti baju?”, tanyanya setelah mendudukan Seungwoo yang langsung menggelosor, menyamankan posisi bersandarnya di sofa empuk ruang tv Byungchan.

Byungchan menunggu, berharap Seungwoo masih sedikit ada kesadaran untuk sekedar menjawabnya. Dia sudah biasa meladeni ocehan ngelantur Sejeong ketika sahabatnya itu mabuk, juga terbiasa dengan Jinhyuk yang jadi super hiperaktif oleh dua kaleng bir atau malah Yohan yang jadi seperti orang linglung setelah meneguk campuran soju dan beer saat pesta BBQ di belakang rumahnya dulu. Tapi dia belum terbiasa dengan mode mabuk Seungwoo yang menempel seperti lintah ketika dirinya akan mengambil minum ke dapur. Yang lebih tua malah menarik Byungchan duduk ke pangkuannya dan memegangi pinggang Byungchan agar ia tak beranjak kemana-mana. Wajahnya yang sayu, setengah sadar, membuat Byungchan sedikit bergidik. Astaga, jangan sampai ada setan lewat dalam kondisi mereka yang begitu rapat itu.

Wajah yang lebih muda sudah merah padam menahan malu dan rasa terkejutnya, jika saja Seungwoo cukup sober untuk memperhatikannya. Matanya yang mengerjap-ngerjap menatap Seungwoo tidak percaya membuat yang lebih tua gemas.

Detik itu Byungchan ingin berteriak kencang, Seungwoo baru saja mengecup bibirnya, lalu berdiam dengan bibir yang saling menempel sebelum yang lebih tua tersenyum, membuat Byungchan merasakan basah di belah bibir bawahnya akibat bersentuhan dengan lidah Seungwoo yang menjilatnya sekilas.

“Hmmm...susu ya...enak...hehe,”

Wah, Byungchan bisa pingsan kalau begini. Demi Tuhan itu adalah ciuman keduanya setelah pertama kali dicium Seungwoo di malam puncak HUT sekolah ketika yang lebih tua mengantarkannya pulang.

“K-kak, aku ambil minum dulu ya? Lepasin sebentar,”

“Nggak,” telunjuk kanan Seungwoo bergerak kekanan kekiri seirama dengan gelengan kepalanya. “Nanti kamu ilang...poof!...kaya di kartun.”

“Aku—hik kangen Byungchannya aku, Byungchannya Seungwoo—hik yang pipinya bolong kayak gini—hik.”

Melihat Seungwoo yang cegukan membuat Byungchan memaksa berdiri agar ia bisa mengambilkan minum untuknya, saat berhasil lepas dari Seungwoo buru-buru Byungchan berlari ke dapur dan mengambil gelas lalu menuangkan air putih dari dispenser.

“Jangan pergi.”

Kalau Byungchan tidak punya refleks yang cukup bagus pasti gelas yang sedang dipegangnya sudah meluncur menjadi pecahan kaca berserakan di lantai dapurnya. Dia tidak menyangka Seungwoo mengikutinya ke dapur kalau saja yang lebih tua tidak melingkarkan kedua lengan kekarnya di pinggang Byungchan protektif.

“Minum dulu ya, kak?”

Dibelakangnya Seungwoo mengangguk, “Lepasin dulu biar kak Seungwoo bisa minum.”

“Janji jangan pergi?”

“Iya, nah ini minum dulu biar nggak cegukan.”

Airnya tandas.

“Tuhkan kamu haus, ngeyel banget nggak mau minum.”

Byungchan menuntun Seungwoo berjalan ke kamarnya untuk mengganti baju yang lebih tua dengan piyama yang lebih nyaman.

Dia sendiri sedikit heran karena kemarahannya kepada Seungwoo menguap entah kemana sejak dia melihat kondisi lelaki itu. Mungkin karena kemeja satin hijau lumutnya yang sudah tidak rapi, atau bibir yang meracaukan namanya, juga bisa jadi karena keprotektifannya kepada Byungchan membuatnya tergelitik rasa rindu yang sejak pagi ia tahan-tahan.

Aneh rasanya melihat Seungwoo yang sepertinya jago minum sampai mabuk cukup parah.

“Ganti baju dulu kak, nggak nyaman kan pake baju kayak gitu.”

Kali ini Seungwoo menurut.

Anjing. Malah bugil disitu.

Umpatnya cukup keras saat Seungwoo tanpa peduli menaikan atasan yang ia kenakan, memperlihatkan otot perutnya yang tak pernah Byungchan duga akan sebagus itu. Kotak-kotak dengan dua garis pinggulnya yang menyembul malu-malu. Byungchan memunggungi Seungwoo, menunggunya menyelesaikan acara berganti pakaiannya yang akan memakan waktu itu.

Dia bisa mendengar Seungwoo menggeram, mendecak sebal ketika tidak bisa mengenakan bawahan piyama Byungchan karena kesadarannya yang hanya berapa persen membuat kepalanya berputar-putar saat membungkuk untuk memakainya.

“Udah belum kak?”

“Hng,”

“Kak?”

Tidak adanya jawaban dari yang lebih tua membuat Byungchan menoleh, Seungwoo terduduk di samping tempat tidurnya. Matanya terpejam dengan celana yang berhasil naik hingga betis—peduli setan dengan boxer brief hitamnya yang, yah, begitu lah, juga atasan yang belum terkancing satu pun.

“Sabar Chan sabar,” katanya kepada diri sendiri, mengelus dada lalu mengangkat Seungwoo untuk berpindah ke atas kasurnya.

Byungchan membantunya mengenakan piyama ungu polkadotnya, kali ini dengan benar dan cepat tanpa ada protes atau tingkah aneh Seungwoo yang menyulitkannya.

“Byungchan kenapa pergi?”

“Hng? Kan tadi ambilin minum, kak.”, jawabnya sambil merapikan rambut Seungwoo yang acak-acakan.

“Bukannnnn,” “Kenapa pergi dari Baliiiii...kenapa pergi ninggalin Senuuuu,”

Eh?

“Senu sayaaaaaaaaaaaang banget...tapi Byungchan pergi,”

“Kak—”

“Tapi ngga bisa marah,” Seungwoo mendongak, matanya setengah menutup tapi bibirnya lancar berbicara seperti orang yang tidak mabuk sama sekali.

“Tidur aja kak, nanti kalau kak Seungsik—”

“Nanti pergi—Byungchan ini nanti pergi kalo aku bangun.”

Byungchan tertegun. Seungwoo menganggap dirinya ada dalam mimpinya.

Diusapnya pipi yang lebih tua, “Nggak pergi kok, tidur ya? Aku disini—”

Perkataannya terpotong ketika Seungwoo menarik tangannya, membuatnya menunduk cukup rendah, lalu menciumnya dengan lembut dan pelan. Dan dibalas dengan ritme yang sama oleh yang lebih muda ketika tengkuknya diusap pelan oleh Seungwoo. Mereka tenggelam dalam ciuman intens, melupakan bahasan alam bawah sadar Seungwoo yang tidak sepenuhnya dipahami Byungchan.

Ini salah, seharusnya mereka berdua tidak bertingkah seperti muda mudi dimabuk asmara setelah pertengkaran mereka yang belum terselesaikan tempo hari. Harusnya salah satu dari mereka berpikir rasional—dalam keadaan ini seharusnya Byungchan yang sadar sepenuhnya menahan dirinya. Tapi, ah sudahlah, mungkin sesekali tidak masalah bukan?

*

Seungwoo terbangun karena cahaya matahari mulai merangsek masuk melalui jendela yang sepertinya tidak tertutupi tirai. Matanya mengerjap-ngerjap menyesuaikan diri dengan silaunya mentari pagi ini.

Kepalanya berdenyut-denyut dan terasa sangat berat, dia tahu betul penyebabnya tidak lain adalah bergelas-gelas minuman keras yang ia konsumsi tadi malam bersama teman-temannya.

Matanya membulat, terkejut menemukan pemandangan sebuah bahu indah menyambutnya. Seungwoo melihat ada beberapa jejak gigitan cinta di sepanjang bahu dan leher lelaki dalam dekapannya itu.

Setelah beberapa detik memandangi punggung Byungchan akhirnya ia mengedarkan pandangannya ke sekeliling setelah menyadari bahwa ia semalam tidak dipulangkan ke apartemennya sendiri. Dan bahwa semalam ia memang bersama laki-laki yang tengah pulas memunggunginya, bukan halusinasinya dibawah pengaruh alkohol.

Ia pikir semalam hanyalah sebuah mimpi atau bahkan halusinasinya karena begitu merindukan Byungchan yang beberapa hari ini sepertinya tak mau ia temui.

Namun sekarang dia merasa ditampar dengan kenyataan bahwa sesuatu benar-benar telah terjadi tadi malam dan dia mengingat dengan sangat jelas bagaimana lembutnya bibir Byungchan saat dipagut miliknya dengan tempo lambat hingga berganti menjadi ciuman panas yang mendesak dan menuntut, lidah yang melesak saling menyalurkan hasrat yang entah datang dari pengaruh alkohol dalam darah Seungwoo atau murni karena desir kenikmatan yang mengungkung sisi lain diri mereka. Lenguhan-lenguhan yang lolos dari bibir Byungchan saat pria itu menjamah setiap jengkal kulit leher hingga tulang selangkanya dengan kecupan-kecupan sensual sudah membuktikan bahwa ia juga benar-benar menikmati sentuhan Seungwoo yang seperti magis.

Lengan kiri Seungwoo yang dijadikan bantalan sudah terasa kebas, tapi dirinya enggan untuk menariknya karena takut membangunkan Byungchan, takut menghadapi kenyataan kalau Byungchan akan semakin marah setelah apa yang ia lakukan dalam keadaan tidak sadar itu. Seungwoo terdiam menatap bercak keunguan di bawah rahang Byungchan. Helaan napasnya beradu dengan deru napas teratur yang lebih muda.

Tidak ada pergerakan apapun selama hampir 20 menit selanjutnya, mengundang rasa kantuk kembali menyergap Seungwoo yang perlahan menutup matanya, kembali ke alam mimpi, dengan Byungchan yang masih dalam dekapannya.

—I'll walk you home

Malam itu Byungchan terpekur dihadapan laptopnya, rasa-rasanya otaknya sudah terlampau panas memikirkan rangkaian kata untuk mengisi lembar kosong di halaman microsoft word yang tengah ia tatap dengan enggan. Bab 3 skripsinya malam itu terhenti di lembar ke 10 dan Byungchan sudah tidak mau dibuat pusing lebih lama. Jadi dimatikannya laptop turunan kakak perempuannya itu lalu mengedarkan pandangan ke sekelilingnya.

Sejak diresmikan empat bulan lalu, kafe ini tidak pernah sepi pengunjung. Tempatnya yang strategis dan harga yang dibanderol cukup terjangkau untuk mahasiswa kebanyakan tugas namun pemasukan pas-pasan yang butuh koneksi internet cepat dan tempat yang nyaman untuk berlama-lama duduk menyanding laptop dan buku referensi.

Meskipun selalu ramai, hiruk pikuk didalam kafe langganannya ini tidak pernah mendistraksinya, namun pada si pemilik tato lilac ungu dan bulan sabit itulah matanya bermuara. Si pemuda bermarga Han yang sedang meracik salah satu menu terbaiknya terlihat sangat tampan dengan kaos hitam bergambar Snoopy dan apron coklat yang melingkar di pinggulnya.

Adalah dia si pemilik hatinya, terhitung sejak seminggu lalu. Setelah mengamati Seungwoo diam-diam selama satu bulan lamanya, di penghujung malam tanggal 23 desember akhirnya dia memberanikan diri mengajak barista ganteng berambut biru—yang kini sudah di cat coklat— itu untuk berkenalan, yang tak ia tahu adalah bahwa malam itu dirinya akan terjebak diantara pegawa kafe lain yang memberikan kejutan ulang tahun kecil-kecilan untuk Seungwoo.

Dia ingat saat itu Seungwoo mengatakan kalau perkenalan mereka adalah sebuah hadiah untuknya. Maka malam ini dia mai banyak-banyak bersyukur kepada Tuhan sebelum tidur.

Berterima kasih karena sudah memberinya keberanian untuk mangajak barista ganteng berambut biru berkenalan, dan berterima kasih untuk status barunya sebagai tambatan hati si pemilik 3 tato indah yang membuatnya kejang-kejang kemarin lusa.

Lagu Call You Mine dari Jeff Bernat baru memasuki chorus ketika ditangkapnya kerlingan dari sang kekasih di meja kasir. Seungwoo langsung melucuti apron di pinggulnya dan mengatakan beberapa hal kepada pegawai part time baru yang sedang bertugas di kasir sebelum berjalan dengan langkah panjang ke meja Byungchan di sudut ruangan dekat dengan jendela besar yang mengadap langsung ke bagian outdoor kafe ini.

“Gimana progres hari ini?”, tangan Seungwoo yang menguarkan bau kopi mengusak pelan rambut kekasihnya.

“Lumayan dapet sepuluh lembar, kak.” Byungchan mendongak, menatap sang kekasih yang sedang membantunya memasukan barang-barangnya kedalam tas. “Eh, kamu udah selesai shift? Kok apronnya dilepas?”

Seungwoo tersenyum, lalu menyandang tas Byungchan di bahu kirinya. Tangan kanannya terulur untuk menggandeng yang lebih muda kemudian mereka berjalan beriringan melewati orang-orang yang menatap mereka iri.

“Aku hari ini ambil shift siang, tapi sengaja stay sampe malem soalnya mau liat muka serius pacar aku kalo skripsian.”

Hidung Byungchan dicubit pelan, kemudian dikecup sayang. Bibir Seungwoo mendarat di puncak kepala sang kekasih, menghidu aroma peach dari sampo Byungchan dalam-dalam lalu memberi satu ciuman gemas di sisi kepala yang lebih muda.

You are doing great, sayang,” “and as a supportive boyfriend i should be, let me walk you home tonight, okay?”

Dan Byungchan hanya berpikir untuk menambahkan daftar terima kasihnya pada Tuhan, karena dari sekian juta manusia di kota ini, dia mendapatkan Han Seungwoo sebagai kekasihnya.

—Lembar ketujuh.

Siang itu Seungwoo melihat Byungchan dan teman-temannya berjalan beriringan di basement tower apartemen mereka ketika dia hendak menjalankan mobilnya ke kantor Blanc & Eclare untuk mengambil barang-barangnya yang masih tertinggal.

Sudah dua hari Byungchan mengabaikan pesan singkatnya yang terakhir dan meminta agar dirinya tak mengganggu yang lebih muda. Dengan alasan yang tidak jelas.

Seungwoo ingin marah, tetapi dia tidak bisa. Pria berlesung pipit yang belum lama ini kembali hadir di hidupnya itu adalah salah satu orang yang tidak bisa membuatnya marah sebagaimanapun perangainya terhadap Seungwoo. Kawan-kawan semasa sekolahnya pun tau bagaimana dia memuja kekasih hatinya itu.

Byungchan selalu mendapat perhatian utamanya walaupun dia tengah bertanding basket di lapangan, dengan terik matahari yang membuat peluh menetes-netes dari ujung rambutnya dan teriakan siswa-siswi yang mengidolakannya. Tapi di mata Seungwoo hanya ada Byungchan yang tengah duduk, memegangi tumblr biru kesayangannya dibawah naungan pohon 3 meter dari lapangan basket, jauh dari hiruk pikuk suporter kedua belah tim yang sedang bertanding.

Hanya Byungchan yang menjadi alasan Seungwoo bolos sekolah dan jam tambahan pada hari rabu minggu keenam di semester genap tahun ketiganya sebagai siswa putih abu-abu untuk menemani sang peserta lomba cerdas cermat tingkat provinsi itu di venue yang letaknya 2 jam perjalanan dari tempat mereka tinggal.

Adalah Seungwoo yang akhir-akhir ini bangun lebih pagi untuk bersiap dan mengantarkan Byungchan ke kampus atau sekedar menemani yang lebih muda lari pagi keliling komplek apartemen ketika dirinya bahkan tetap membayar membership gym termahal di salah satu pusat perbelanjaan setiap bulannya hanya demi menghabiskan sedikit lebih banyak waktu dengan Byungchan. Menggunakan kesempatan sebaik-baiknya untuk memperbaiki hubungan mereka yang kandas bertahun silam.

Sejun pernah berkata kalau dirinya terlalu selfless, terlalu mementingkan orang lain diatas kepentingan dan kebahagiaan dirinya sendiri. Bahkan ketika Byungchan memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka tanpa satu alasan yang pasti, Seungwoo masih mencarinya.

Mengusahakan dirinya bisa satu kota lagi dengan pemilik hatinya. Walaupun usahanya berujung sia-sia di awal karena sosok Byungchan bak ditelan hiruk pikuk ibukota dengan segala problema dan dinamika kehidupannya. Memaksa Seungwoo mengesampingkan alasan utamanya pergi lagi dari kota kelahirannya ketika orangtuanya baru saja membawanya pulang menetap di pulau dewata setelah bertahun-tahun hidup di kota orang.

Katakanlah Seungwoo remaja tanggung yang dibutakan cinta monyet, katakanlah dirinya nekat, dan dia tidak akan peduli. Setelah empat tahun sosok Byungchan yang tak pernah lagi ia temui akhirnya muncul dihadapannya. Ia sadar sepenuhnya kalau ternyata lelaki yang lebih muda masih menempati posisi kedua orang yang paling dia sayangi setelah keluarganya.

Maka ketika dilihatnya Byungchan baik-baik saja dan menjalani harinya seperti biasa, bibirnya ikut menyunggingkan senyum dengan mata yang menatap lekat mobil Honda HR-V milik Byungchan yang baru saja melintas dihadapannya sebelum mobilnya mengekor keluar ke jalan raya.

—Lembar keenam.

Hari dimana ujian terakhirnya terlaksana Byungchan sudah membuat janji dengan Seungwoo untuk merayakan berakhirnya semester genap— yang berarti di semester mendatang ia sudah harus mengikuti program magang karena hanya fisipol yang punya jadwal magang wajib di semester ganjil— dengan piknik ke pinggiran kota.

(Kalau dipikir-pikir memang tidak terasa dirinya sudah menjalani 6 semester di kampus ini. Kalau tidak ikut program akselerasi di SMA, dulu, Byungchan harusnya masih semester 4. Tapi kini dia sudah merampungkan hampir semua mata kuliah wajib dan beberapa mata kuliah pilihan untuk memenuhi sks sebagai syarat seminar proposal di semester mendatang.)

Ketika sedang menunggu Seungwoo sampai di parkiran gedung fakultasnya, Byungchan menyempatkan diri membuka akun-akun sosmednya setelah hampir dua minggu tidak disentuhnya—kecuali akun twitter privat yang tidak diketahui orang lain tentunya. Bahkan dia tidak membuka grup angkatan maupun grup kelasnya—yang notifikasinya ia senyapkan— karena memang sejak masuk semester 5 grup-grup tersebut sudah jarang sekali digunakan.

Di menit pertama dia masuk ke akun instagram dan twitternya, notifikasi ponsel Byungchan berbunyi nyaring dan konstan, mengejutkan dirinya yang hampir saja membuat ponsel seharga sebuah motor matic itu terjun bebas ke aspal jalanan kalau dirinya tidak sigap meraihnya di detik-detik terakhir.

Kenapa juga gue nyalain soundnya sih, bodoh banget.

Sumpah ini kok notifnya jebol banget lebih dari biasanya? Padahal gue dua minggu nggak ngepost apa-apa.

Dengan kesal dia menekan mode senyap agar bunyi notifikasi ponselnya berhenti.

Byungchan mencebik, dahinya berkerut heran saat memandangi layar ponselnya yang masih menampilkan notifikasi-notifikasi baru.

Tin tin

Lelaki berlesung pipit itu mendongak ketika didengarnya suara klakson mobil yang beberapa hari belakangan ini sering ditumpanginya.

Dengan berlari kecil dia menghampiri mobil Seungwoo yang terparkir tak jauh dari tempatnya berdiri.

“Lama nunggunya ya?”, tanya Seungwoo saat Byungchan tengah memanjat ke kursi penumpang setelah meletakan barang-barangnya di kursi tengah.

“Enggak sih, 15 menitan paling, tadi ngobrol dulu sih sama anak-anak, pada ngajakin hangout.”

“Terus kamu tolak?”

Byungchan yang sedang memasang sabuk pengaman mengangguk, “Aku bilang bisanya selain hari ini.”

“Lagian pada aneh banget minta traktir, pajak katanya, pajak apaan coba emangnya aku abis menang apaan disuruh pajak segala.”

“Emang nggak kamu tanya pajak apaan gitu?”

“Ya aku tanya kan, malah dijawab sama Yuvin gini, 'pura pura aja terus chan, ntar pikun beneran sukurin', gelo memang si eta mah.”

“Yaudah gausah dipikirin, ini kita mampir dulu ke cafe ya ngambil makanan, apa mau sekalian makan siang?”

“Drive thru mekdi aja boleh nggak kak? Lagi pengen mcnuggets nih kebayang-bayang dari kemaren hehe”

Seungwoo tertawa, “Yaudah sekali-sekali gapapa,” tangannya sudah sangat luwes saat mengacak rambut Byungchan yang menguarkan aroma mint citrus.

Awalnya mereka berdua sama-sama kaget saat Seungwoo melakukain ini, lagi, karena dulu sekali memang sudah menjadi kebiasaan Seungwoo untuk memainkan rambut dan jemari Byungchan ketika mereka sedang bersama. Untuk yang kedua, baik Seungwoo maupun Byungchan seperti sudah menyepakati dalam diam bahwa masih terlalu dini untuk keduanya senyaman dahulu, ketika mereka masih bersama.

Mobil meninggalkan pelataran parkiran gedung fakultas Byungchan bertepatan dengan notifikasi ponsel Seungwoo yang berbunyi berkali-kali, seperti yang terjadi dengan ponsel Byungchan tadi. Jadi yang lebih muda berkata, “Oh iya, masa tadi pas aku log in twitter sama instagram tiba-tiba banjir notif kak, bener-bener yang banyak banget sampe hape aku mau jatoh saking kagetnya.”

“Jangan dibuka!”

Byungchan menoleh, Seungwoo terlihat sedikit terganggu dengan perkataan yang lebih muda dan nada bicaranya terlalu cepat menurut Byungchan, seperti sedang ada yang ditutupi.

“Hah?”, hanya itu yang berhasil keluar dari bibirnya.

“Pokoknya jangan dibuka, at least sampai aku pulangin kamu ke apart. Aku mohon, ya?”

Karena dirinya juga memang tidak berniat membukanya maka Byungchan mengangguk saja, “Iya kak, nggak bakal aku buka.”

Dan mobil melaju memecah padatnya jalan ibukota dengan mereka yang menganggap hal tadi sebagai angin lalu.