deediary

—Love Hate

Bulan pertama sebagai siswa putih abu-abu ternyata nggak seburuk perkiraan awal Byungchan. Buktinya dia sudah kerasan dengan kawan-kawan barunya terutama kawan kelasnya di 10 IPA 4 yang kalau sepenuturan Byungchan kepada Wooseok, tetangga sekaligus kakak kelasnya di 11 IPA 1, lebih banyak yang ajaibnya ketimbang yang benar-benar keliatan kayak anak IPA kaya yang dibicarain orang-orang yang katanya pendiam, nggak asik, bla bla bla. Jauh lah pokoknya.

Kelas mereka yang letaknya paling jauh dari kantin nggak ada bedanya sama pasar, terutama di jam istirahat karena ada Mingyu yang berteriak menanyakan pesanan jajan kantin kepada semua orang—dua mingguan ini udah kaya kurir makanan dengan ongkos jalan sebiji gorengan atau es teh ibu kantin pojok yang warnanya menurut Hanse lebih mirip kaya air seni. Ada juga siswa macam Yuvin dan Hangyul yang tiap hari selalu ribut siapa yang hari itu berhak duduk dengan Yohan, si cowok manis seperti kelinci yang jadi incaran keduanya, padahal ujung-ujungnya Yohan akan duduk dengan Sihoon yang sedari awal memang sudah jadi teman sebangkunya.

Belum lagi siswi perempuan di kelas Byungchan ini sudah seperti biang gosip, sebut saja Sejeong dan Somi yang sedikit-sedikit berkerumun didepan kelas membahas siapa sedang pacaran dengan siapa, berita apa yang sedang jadi topik hangat di sekolah dan tidak ketinggalan info tentang kakak kelas ganteng yang akan mereka incar sebagai calon pacar. Cih, kayak yang mau aja kakel gantengnya sama mereka. Ini kata Jamie, siswi yang dipanggil lady rocker karena dari smp sudah menjadi vokalis band dengan teman-temannya yang kebanyakan sekarang di penjurusan IPS.

Byungchan cuma ketawa pas denger ini, mikir, ya bener juga, belum tentu kakak kelas mereka ada yang mau kalau tau kelakuan mereka yang begitu.

Bel istirahat baru saja dibunyikan, hampir semua siswa kelasnya—kecuali yang jastip ke Mingyu, tumpah ruah di area kantin yang berada bersebelahan dengan lahan parkir siswa. Byungchan sudah membeli beberapa kotak susu dan air mineral botolan untuk dirinya dan teman-temannya yang baru saja selesai mata pelajaran olahraga. Byungchan tidak minta ongkos jalan untuk yang ini omong-omong, hanya membantu teman-temannya yang masih berganti pakaian seragam karena dirinya sudah selesai duluan.

Ia sedang menunggu Kukheon dan yang lain memesan makanan di kedai tengah yang paling ramai sedangkan dirinya menunggui meja agar tidak di ambil orang lain ketika tiga orang laki-laki tak dikenal menghampirinya. Dia sedikit terperanjat tatkala salah satu dari mereka menepuk bahunya yang sedang iseng bermain game Pou.

“Eh. lo sendirian kan, kita gabung ya soalnya tempatnya penuh.” Itu bukan pertanyaan tapi pernyataan.

Diliriknya salah satu dari mereka yang teridentifikasi sebagai anak kelas 12 dari badge yang ada di lengan kiri seragamnya. Byungchan lalu menengok ke sekelilingnya, benar saja kantin area kelas 10 ini ramai bukan main, bahkan ada beberapa yang menggunakan sepeda motor yang sedang terparkir sebagai tempat duduk sembari menyantap semangkuk soto di tangan kiri dan es jeruk plastikan yang digantunkan di stang motor. Ia lantas mendongak ke tiga laki-laki dihadapannya yang sudah mempersilahkan diri untuk duduk, makanan mereka sudah di atas meja namun tidak ada satu pun yang memulai agenda sarapan yang sebetulnya sudah terlampau siang.

“Anu, maaf kak saya disini berlima temen-temen saya.” Jawabnya sedikit sungkan karena posisinya dia sedang duduk dan dikerubungi tiga kakak kelas yang harusnya sih makan di kantin kawasan kelas 12, yang ada area gedung barat saja.

Ketiganya lalu saling tatap dan salah satu dari mereka mengendikkan bahu acuh.

“Mana? Orang lo sendirian.” yang mengendikkan bahu tadi menjawab.

Lah, ngeyel ini kutil anoa. Pikirnya, tentu saja dalam hati. Biar begitu juga statusnya kakak kelas, Byungchan masih berusaha menjaga unggah-ungguhnya.

“Mereka lagi pesen makanan kak, nanti kasian mereka sampe malah bingung mau makan dimana.”

“Terus lo nggak kasian sama kita gitu? Kita juga bingung tuh mau makan dimana.”

Wah nyolot anjir.

“Yaudah kalo gitu kakak-kakak sekalian makannya agak cepet ya biar temen saya bisa makan di meja juga.” Byungchan mulai sebal, pasalnya dia melihat keempat teman kelasnya sudah berada di antrian paling depan sedang mengambil pesanan masing-masing.

“Gue nggak bisa makan cepet-cepet, nanti lambung gue kaget.”

“Terus temen-temen saya gimana dong nanti?”, suaranya agak meninggi tetapi tidak terlalu keras dan untungnya kantin masih sangat ramai jadi mana peduli orang-orang dengan mereka.

“Ya terserah mereka lah.”

“Lah gimana sih? Orang nyerobot meja orang lain malah terserah-terserah gapunya manner banget.”

“Meja orang lo bilang? Ini meja kantin, punya sekolah, siapa aja bisa pake.”

“Ya kan gue duluan yang disini gimana—”

“Kenapa Chan?”

Suara Kukheon menghentikan omelan Byungchan yang sudah di ujung lidahnya. Yuvin, Hangyul dan Hanse mengerubungi Byungchan dengan Kukheon yang berdiri disampingnya.

Dengan kesal Byungnchan menunjuk ke arah kakak kelas dengan badge nama Han Seungwoo. “Tau nih orang dibilangin baik-baik mejanya dipake dia tetep maksa make, mana bilang terserah kalian mau makan dimana, ngeselin banget jadi orang.”

“Tinggal ambil aja itu bangku, makan tinggal makan kalo mau sempit-sempitan.”

“Woo udah sih kita ngalah aja bawa ke kelas, ntar gue yang balikin kesini.” Kakak kelas lain bernama Seungsik yang sedari tadi hanya geleng-geleng dengan pertengkaran Seungwoo dan Byungchan akhirnya angkat bicara.

“Gak, kejauhan Sik, nanti jam keenam ulangan sosiologi kita mesti belajar dulu. Udah makan aja.”

“DIH APAA— hanggel lwpus angjeng bibi gwe besah.”

Hangyul buru-buru membekap mulut Byungchan dengan tangan kirinya yang sedang memegang plastik es rasa mangga yang sudah berembun saat dilihatnya raut emosi Byungchan dan tatapan siswa-siswa di sekeliling mereka yang ingin tahu ada masalah apa.

“Kita aja yang bawa ke kelas kak, lebih deket kok, permisi.”

Mereka berlima—dengan Byungchan yang digeret paksa meninggalkan area kantin dengan langkah panjang.

“Deket apaan njing kelas kita diujung kulon sono jauh bego,” sungut Byungchan dengan jemari yang gesit menggeplak punggung Yuvin didepannya karena posisi dirinya yang digeret Hangyul disampingnya.

Yuvin mengaduh, mengumpat, mendelik tetapi Byungchan tidak takut. Dia masih kesal bukan main, kalau ini kartun pasti sudah ada asap yang keluar dari kedua lubang telinga dan hidungnya.

“Congor lo tuh emang bener-bener deh, kakak kelas itu bego, kelas 12 pula.” Yang ini omongan Hangyul, plastik esnya sudah berpindah ke tangan Hanse yang bodo amat dengan makian-makian teman-temannya.

“Karena dia kakak kelas! Senioritas banget, apa-apaan tadi lo liat sendiri dia yang songong,”

Perdebatan mereka berlima ternyata masih terdengar jelas oleh Seungwoo, Seungsik dan Sejun—yang sejak tadi menahan tawa.

Akhirnya tawa Sejun lolos, terbahak-bahak dengan tangan yang tak mau diam menepuk-nepuk lengan Seungsik yang kemudian mendorong kepala Sejun sebagai balasan. “Sumpah bang Seungwoo orang aneh paling aneh satu sekolahan, masa orang naksir digituin.”

“Siapa naksir?”

“Elo lah tolol, kasian tuh anaknya emosi.”

“Biarin aja, lucu Sik.”

Tidak pernah Byungchan tau kalau pertengkarannya dengan Seungwoo dikantin menghasilkan pertengkaran-pertengkaran dan gangguan-gangguan lain di kemudian hari.

Gangguan pertama saat Byungchan sedang berjalan sendirian ke perpustakaan untuk mengembalikan buku paket biologi yang dipinjam tempo hari. Seungwoo muncul dan merebutnya, berlari ke lapangan basket dan menaruh buku paket itu diatas ring basket.

Gangguan-gangguan kecil memang masih bisa Byungchan hadapi, tapi terkadang dia bersumpah kalau Seungwoo itu memang dilahirkan untuk jadi orang yang kelewat menyebalkan.

Pernah sekali waktu Seungwoo muncul di depan 10 IPA 4, 5 menit sebelum bel istirahat karena tahu kalau kelas Byungchan waktu itu sedang tidak ada guru alias hanya diberi tugas untuk dikumpul seusai bel ganti pelajaran, jadi saat dilihatnya Byungchan sedang bercanda dengan kawan-kawannya di pojok depan dekat papan tulis, dia tidak ragu-ragu menyelonong masuk dan menarik tangan yang lebih muda untuk mengikutinya dengan langkah terseret-seret karena tentu saja Byungchan melakukan pemberontakan habis-habisan. Dari mulai mengumpat, menabok bahkan mencubit pegelangan tangan Seungwoo hingga merah keunguan.

Hal itu tak membuat Seungwoo melepaskan Byungchan hingga mereka sampai di area kantin kelas 12. Seberani-beraninya Byungchan, sepede-pedenya dia mengatai Seungwoo, kalau ditatap gerombolan kakak kelas yang menduduki kasta sosial tertinggi di sekolah tetap saja membuatnya ciut dan urung melawan Seungwoo. Jadi dia hanya diam ketika disodori semangkuk soto babat serta es jeruk yang terkenal paling enak di seantero sekolah.

“Makan.”

Byungchan tidak mau awalnya, jadi dia diam saja ketika Seungwoo mulai menyendok dari mangkuknya sendiri. Dia masih sebal bukan kepalang dengan kelakuan Seungwoo senin lalu yang menarik dasinya sebelum upacara berlangsung, mengharuskan Byungchan dihukum tinggal di lapangab untuk membaca UUD 1945 sambil hormat ke tiang bendera. Tapi ketika dia menyadari bahwa hampir semua pasang mata tengah menatapnya dan bibir yang berbisik-bisik bertanya-tanya siapa gerangan cowok asing setinggi jerapah yang digeret Seungwoo ke teritorialnya, dirinya langsung berpura-pura sibuk dengan sendok makannya. Jelas semuanya heran, ini Han Seungwoo, pentolan 12 IPS 1 yang terkenal ogah-ogahan dengan siapapun yang mendekatinya. Dia malah datang sendiri dengan sandera cowok manis dengan dekik lucu yang sebelah kanannya lebih dalam.

Lain lagi ketika yang lebih tua muncul di depan pagar rumah Byungchan yang sudah 2 hari absen sekolah karena demam—bunda yang sedang menyiram tanaman menyuruhnya masuk ketika Seungwoo memperkenalkan diri sebagai kakak kelas Byungchan dan memanggil anak bungsunya untuk turun, ada temen kamu ini dek sini turun, begitu kata bunda, tidak sadar sedang mengumpankan anak terkecilnya ke mulut buaya, kalau ini jelas kata Byungchan.

Byungchan buru-buru menuruni anak tangga dengan langkah sedikit tergesa. Dia tidak biasa membuat orang menunggu terlalu lama—walaupun dia tidak ingat membuat janji dengan siapa-siapa, jadi sebisa mungkin ia bergegas menemui temannya.

Setelah melihat sosok menyebalkan yang dikenalinya tengah bersandar di pintu mobil sembari menunduk memperhatikan ponselnya malah membuat Byungchan memperlambat langkahnya jadi ogah-ogahan.

Sedetik kemudian lelaki berkulit pucat itu mendongak dan tersenyum ketika manik matanya menangkap sosok Byungchan yang tengah berdiri, bersedekap beberapa langkah dari tempatnya berdiri.

Si yang lebih tua kemudian beranjak mendekati Byungchan yang masih berdiam di tempatnya semula, wajahnya masam sekali, lucu menurut Seungwoo.

“Hai, Chan.” Sapanya.

“Ngapain sih lo, sore-sore bukannya di rumah malah kesini.” Gerutunya, Seungwoo malah tersenyum lebar seperti orang sinting.

Adegan itu terjadi begitu tiba-tiba.

Byungchan tidak pernah menyangka bahwa tangan Seungwoo akan bergerak secepat kilat untuk menyentuh keningnya dengan punggung tangan kirinya begitu jarak mereka hanya terpisah satu langkah kaki panjangnya.

Tubuh yang berdiri kaku. Jantung yang berdebar. Dan mata yang membulat sempurna.

Seungwoo tersenyum, lagi. Kali ini bahkan laki-laki itu memiringkan kepalanya untuk menatap mata Byungchan secara terang-terangan.

“Muka lo pucet banget, Chan. Udah minum obat belum sih?”

Byungchan hanya mengangguk pelan, terlalu bingung dengan situasi yang sedang terjadi. Seingatnya mereka tidak sedekat itu untuk lelaki dihadapannya melakukan, errr... maksudnya untuk bertindak senatural itu seolah mereka sudah berteman lama. Yikes...apanya yang teman lama, selama mereka kenal saja yang ada tiada hari tanpa mereka bertengkar di sekolah maupun di chat.

Karena pada kenyataannya mereka berdua masih orang yang cukup asing bagi satu sama lain dilihat dari segi manapun.

“Earth to Byungchan yang cerewet.”

Lelaki yang lebih muda itu mengerjap-ngerjapkan matanya.

“IH LEPAS.”

“Ngapain sih pegang-pegang,”

“Abis lo diem aja,”

“Lo nggak keliatan kayak orang demam, kok nggak masuk sekolah lagi?”

Lagi. Seungwoo tersenyum, kepada Byungchan yang dalam hati malah merutuki tangan 'kurang ajar' si lebih tua yang baru saja merapikan anakan rambutnya. Darahnya berdesir dengan begitu cepatnya mengalir ke kedua belah pipinya. Pemilik lesung pipi sedalam palung itu merasa panas disekitar wajahnya.

Sial.

“Emang demam kok semalem, udah minum obat makanya udah nggak panas.”

“Hmm-mmm.” Seungwoo mengangguk-angguk.

Fiuh... akhirnya. Batin yang lebih muda ketika Seungwoo menegakkan tubuhnya.

Tapi, seakan belum cukup mempermainkan kerja jantung Byungchan sejak tadi, dengan santainya lelaki itu menarik tangan Byungchan untuk membawanya mengitari bagian depan mobilnya sebelum membukakan pintu bagian penumpang dan memberi sinyal agar si lebih muda segera naik.

“Eh eh mau kemana, lepas ih mau kemana sih, ngga mau ngga mau, nanti dicariin bunda!”

Byungchan memprotes saat Seungwoo tetap mendorongnya untuk segera naik ke mobil.

“Udah masuk aja, tadi udah ijin bunda mau ngajak lo jalan-jalan sebentar, nyari angin biar nggak tiduran terus di kamar.”

Dan sore itu dia benar-benar diajak berkeliling ke pinggiran kota yang masih rindang pepohonan dengan jaket abu-abu Seungwoo yang tersampir dibahunya, menghalau angin sore di musim penghujan itu.

Setelah sore itu sikap menyebalkan yang lebih tua sedikit melunak. Terkadang dirinya hanya memanggil-manggil Byungchan, seperti saat ada 3 on 3 dadakan di lapangan basket beberapa minggu lalu. Saat semua guru kelas 12 ada rapat dengan kepala sekolah. Namun panggilan-panggilan Seungwoo itulah yang membuat Byungchan malah ogah menanggapi.

Siapa coba yang nggak salting dipanggil, “Byungchan manis”, “Sayang mau kemana”, “Woi jangan gangguin pacar gue lagi sakit gigi” (ini betulan dia sakit gigi karena Seungwoo ngasih coklat silverqueen chunky bar almond 10 buah, dititipkan ke Yuqi saat pekan olahraga sekolah yang tentu saja direbut paksa makhluk-makhluk tidak tau malu di kelasnya, menyisakan 3 buah yang kemudian dilahap Byungchan sambil menonton tayangan ulang film kesukaannya di tv)

Banyak yang bilang Seungwoo suka Byungchan, tapi yang lebih tua gengsi memperlihatkan perlakuan senormalnya remaja yang sedang naksir seseorang makanya dia menganggu Byungchan agar perhatian cowok manis itu hanya untuk dirinya.

Tapi tidak menurut Byungchan. Buktinya setelah berbagai gangguan-gangguan menyebalkan, ya terkadang Seungwoo juga berbaik hati memberikan camilan-camilan dan mengantarnya pulang saat ada ekskul, tiba-tiba Seungwoo berubah. Iya berubah.

Biasanya ada chat isengnya yang masuk di jam jam tertentu, kadang ada dirinya yang muncul mengusili Byungchan sampai siswi dikelasnya menggosipkan Byungchan pakai susuk untuk menggaet Seungwoo. Susuk palalo mletak, sungut Byungchan yang dibalas tawa puas Seungwoo yang hampir tersedak oreo McFlurrynya suatu malam di teras rumah Byungchan.

Iya, Seungwoo sering ke rumah Byungchan tanpa di undang, anehnya ayah dan bunda tidak pernah melarang cowok itu bertamu, bahkan kadang dia diajak makan malam bersama. Belum lagi kakak-kakak Byungchan yang terlihat sangat akrab dengan kakak kelasnya itu. Byungchan kadang sampai kesal sendiri karena tidak ada yang memihaknya ketika Seungwoo menggodanya habis-habisan, didepan keluarganya sendiri pula!

Seungwoo juga tidak pernah lagi kelihatan berkeliaran di area kantin kelas 10, padahal dia bilang kalau bakso kantin situ paling enak dan dia sangat suka, makanya sering kesana dengan teman-temannya, kadang dengan Seungsik, Sejun, Seungyoun atau Jinhyuk. Byungchan jadi ikutan akrab dengan mereka.

Tidak ada lagi telepon iseng tengah malam saat Byungchan sedang mengerjakan tugas. Dulu kata Seungwoo dia sengaja menelpon karena mau menemani Byungchan belajar, anggap saja radio, yang benar-benar dianggap radio oleh yang lebih muda karena Seungwoo suka menyanyi, suaranya bagus sekali. Ini jujur, Byungchan mengakui dan memberi dua jempol untuk suara dan lagu-lagu yang dipilih Seungwoo.

Hal itu terus berlanjut sampai tau-tau sudah pengumuman kelulusan.

Byungchan sudah naik kelas 11, di 11 IPA 2, terpisah dengan kawan-kawan akrabnya di kelas 10. Tapi untungnya dia masih sekelas dengan Hanse juga Kukheon yang setia mendengar keluh kesah Byungchan.

“Galauin bang Seungwoo lo ya.” Ledek Hanse, ini dari kelas 10, kalau dilihatnya Byungchan tidur-tiduran tidak jelas di pojok belakang.

“Lo suka sama bang Seungwoo itu Chan.” Ia ingat ini omongan Yohan yang katanya kerap memperhatikan interaksi keduanya. “Lo tuh nggak keliatan benci sama dia, tapi lo sebel aja sama caranya buat dapet perhatian lo.”

“Dapet perhatian apaan orang dia gangguin gue mulu.”

“Dih dibilangin ngeyel banget lo. Tuh ngaca deh muka lo asem banget semenjak kak Seungwoo nggak pernah keliatan lagi, biasanya nempel banget kan lo bedua, dimana-mana ribut kaya tom sama jerry.”

Byungchan jari termenung mendengar semua perkataan teman-teman dekatnya.

Tidak bisa dipungkiri kalau dia memang sudah terbiasa dengan kehadiran Seungwoo, yang kadang menyebalkan dan tidak jarang juga menjadi penyemangatnya kalau dirinya sedang tidak mood belajar.

Dia bahkan tidak sempat mengatakan selamat saat kelulusan yang lebih tua, karena dia merasa mereka sudah seperti dua orang asing lagi.

Maka ketika dia dengar Seungwoo diterima di salah satu universitas negeri di luar kota, dia sudah pasrah.

Minggu-minggu awal di kelas baru digunakan Byungchan sebaik mungkin dengan beradaptasi. Tidak sulit, mengingat pergaulannya sangat luas jadi banyak wajah-wajah familiar di kelasnya, tapi memang tidak sedekat Yuvin dan lain-lain.

Sore itu Byungchan sedang menyiram tanaman didepan rumah, disuruh bunda setelah dirinya bertengkar dengan kakak perempuannya karena digoda. Makanya masih kecil gausah pacaran-pacaran, putus galaunya kayak ayam kesambet kan. Byungchan kesal, jadi dia balas meneriaki kakaknya itu hingga mereka adu mulut dan didengar bunda yang sedang membuat pesanan kue kering di dapur.

Bunyi klakson mobil tidak dihiraukan, pasti ayah, pikirnya, lagi pula gerbang depan terbuka lebar jadi dia tidak perlu beranjak kemana-mana.

“Byungchan,”

Selang airnya terjatuh. Byungchan mematung saat mengangkat wajahnya.

Dihadapannya ada Seungwoo, mengenakan kaos hitam polos dan celana jeans kesayangan yang biasa dipakainya kemana-mana.

Yang lebih tua tersenyum. Manis sekali. Sampi ulu hati Byungchan terasa sakit. Karena dia rindu senyuman itu, juga senyuman jahil Seungwoo yang biasanya.

“Hei Chan, apa kabar?”

Apa kabar katanya?

Setelah hampir 4 bulan, dia tanya apa kabar?

Yang lebih muda tersenyum kecut lalu berlari meninggalkan Seungwoo di halaman depan tanpa sepatah kata pun.

Secepat kilat dia menaiki tangga, masuk kedalam kamarnya dan membanting tubuhnya di kasur. Wajahnya dibenamkan di selimut tebalnya dan Byungchan menangis tersedu-sedu. Pilu sekali kalau didengar.

Ada yang membuka pintu kamarnya. Ah dia lupa menguncinya tadi. Pasti kakak perempuannya atau bunda.

Byungchan sudah tidak peduli kalau nanti dia diolok-olok lagi oleh kakaknya. Sekarang dia hanya ingin menangis sampai puas.

Dia kesal bukan main, dia kesal, sebal, sedih juga rindu. Semuanya tumpah begitu saja dipelupuk mata saat melihat Seungwoo tersenyum. Dadanya sakit sekali karena dia berusaha menahan suaranya agar tidak meraung-raung.

Surainya diusap lembut, lembut sekali rasanya hingga Byungchan merasa mulai tenang. Rasa ini familiar, seperti saat Seungwoo mengusap kepalanya saat dia ketiduran di kelas beberapa bulan lalu. Ah Byungchan rindu sekali.

“Chan, kakak minta maaf.”

Byungchan tidak salah dengar. Ini suara Seungwoo, jadi yang mengusap rambutnya sudah pasti yang lebih tua. Pantas saja jari-jarinya terasa berbeda dengan bunda atau kakak perempuannya.

“Kakak tau udah jahat banget menghilang tiba-tiba, tapi ijinin kakak jelasin sekali aja boleh ya? Abis itu kamu mau benci atau nggak mau ketemu kakak juga nggak apa, tapi kasih aku kesempatan ya buat jelasin?”

Byungchan bangkit dari posisi tengkurapnya. Menatap Seungwoo yang ternyata dari tadi berjongkok disamping tempat tidurnya, dengan binernya yang kini memerah, air mata masih mengalir dan bibirnya yang sedikit bengkak mencebik.

Seungwoo jadi ingin menciumnya, tapi diurungkan karena itu tidak sopan pikirnya. Apalagi yang membuat Byungchan menangis adalah dirinya. Tidak tahu diri namanya kalau dia malah mencium yang lebih muda.

“Nggak.”

Sebuah kata yang keluar itu membuat hati Seungwoo mencelos, sepertinya dia menorehkan luka yang tak termaafkan sampai-sampai dirinya tidak pantas menerima sebuah kesempatan untuk sekedar menjelaskan alasannya menghindari Byungchan. Ia egois, benar, benar sekali. Tapi Seungwoo juga ingin Byungchan tau alasan sesungguhnya agar tidak ada kesalahpahaman diantara mereka.

Hah, Han Seungwoo, udahlah, lo tuh bisanya bikin nangis anak orang doang.

Jadi ditatapnya sosok yang lebih muda dihadapannya lamat-lamat, wajahnya yang sembab, hidung dan mata yang merah dan bibir yang mencebik menahan tangis dia rekam baik-baik dalam memori.

“Kakak minta maaf ya sekali lagi, kakak ngerti kalau kamu nggak mau diganggu.”

Byungchan mencekal pergelangan tangan Seungwoo saat cowok itu beranjak, hendak meninggalkan kamarnya yang pintunya terbuka lebar.

“Mau kemana?”

“Pulang? Kakak nggak mau ganggu kamu lagi.”

“Nggak boleh.”

Seungwoo bingung.

Byungchan mulai menangis lagi jadi Seungwoo buru-buru jongkok dihadapannya dan memegangi tangan Byungchan yang tidak menutupi wajah.

“Hei, Chan, jangan nangis lagi, please, jangan nangis ya?”

Tidak ada hasil.

“Katanya kamu nggak mau denger penjelasan kakak, kok kamu nangis lagi? Kamu mau pukul kakak? Ayo pukul aja kenceng-kenceng, gapapa, kakak pantes dipukul.”

“Nggak mau.”

Jawabnya disela-sela tangis.

“Terus kakak harus gimana? Kakak pergi aja ya daripada kamu makin kesel?”

“Nggak boleh pergi lagi, pokoknya nggak boleh ngilang lagi, aku nggak mau. Kakak jahat banget gantungin aku kemaren, terus sekarang muncul lagi ngapain kalo ujung-ujungnya pergi lagi? Ngapain kakak panggil-panggil aku sayang, manis apalah itu? Kamu pasti mainin aku aja kan? Jahat banget sih jadi orang—”

Seungwoo mengecup Byungchan sekilas. Mata yang lebih muda membola sempurna dan omelannya berhenti.

“Kakak sayang banget sama kamu Byungchan, kamu jadi pacar kakak ya?”

“Apa-apaan! Katanya mau pergi? Sana pergi, nanti aku bilangin bunda kakak cium-cium aku!”

“Nggak, kamu sekarang pacar kakak titik. Soalnya kamu sendiri yang bilang nggak boleh pergi lagi.”

“Nggak mau, ini pemaksaan!”

“Orang kamu yang minta kok tadi, katanya jangan pergi.”

“NGGAK!”

“Kamu dari tadi manggil aku kakak lho, Chan, nggak manggil nama doang apalagi pake lo-gue, sadar nggak?”

Byungchan jadi terdiam dan mengingat-ngingat.

“Nggak tau.”

Seungwoo tertawa keras sekali lalu menarik Byungchan dalam pelukannya, mengungkungnya dengan kedua lengannya erat-erat.

“Kakak sayang banget sama kamu tau Byungchan, kakak nggak bakal pergi lagi. Janji.”

“Bohong. Lo mau kuliah di luar kota kan, itu berarti ninggalin gue. Udah lepasin, sana pergi aja yang jauh.”

“Nanti kamu nangis lagi,” ledeknya yang dihadiahi cubitan di perutnya.

“Ampun ampun, duh galak banget pacar gue.”

“Siapa pacar lo? Ngarang!”

“Choi Byungchan pacar gue pokoknya, pacarnya Han Seungwoo.”

“Aku.”

“Hmm?”

“Pacar aku, bukan gue. Katanya pacar masa pake gue-lo?”

Seungwoo semakin mengeratkan pelukannya dan mengecupi pipi Byungchan berkali-kali.

“Tadi katanya nggak mau,”

“Mau...”

“Apa nggak denger?”

“MAU IH.”

“Hahahaha gitu dong.”

Seungwoo memisahkan diri lalu menatap Byungchan dengan senyum merekah.

“Mau jalan-jalan sore nggak sambil aku ceritain alesab kenapa kemaren aku ngilang?”

“Beli chatime.”

“Sama silverqueen 2,”

“Nanti kamu sakit gigi.”

“Yaudah nggak mau.”

“Iya iya chatime hazelnut choco large topping grass jelly sama silverqueen chunky bar almond 2.”

“Sana ambil jaket biar aku pamitan sama bunda sama kakak.”

Saat Byungchan hendak berdiri Seungwoo kembali mengecup bibir merahnya sebelum berlari keluar kamar degan tawa yang terdengar sangat bahagia.

“HAN SEUNGWOO NYEBELIN!!!”, teriaknya.

“HAN SEUNGWOO PACARNYA CHOI BYUNGCHANNN”

Byungchan mendengus sebal dan menghentakkan kakinya ketika kakaknya menyahut dari seberang kamarnya.

Astaga, dia lupa kalau mereka dirumah.

“Tapi emang pacar gue sih.”

Ucapnya dengan senyum lebar hingga matanya membentuk satu garis lucu.

—Lembar kelima.

Seungwoo memandangi Byungchan yang ada didepannya sembari terkekeh, kening pemuda itu berkerut namun jari-jari lentiknya terlihat lihai diatas keyboard laptopnya.

Saat ia melangkah masuk ke dalam cafe 3 jam yang lalu—sesuai janjinya dengan Heochan untuk menggantikan salah satu barista yang izin cuti untuk pulang ke kampung halaman, ia sudah menemukan yang lebih muda dengan kacamata bulat yang bertengger di hidungnya sedang mengerjakan tugas kuliahnya dengan buku-buku yang bertebaran, berantakan diatas meja dan amerikano dingin ukuran besar yang tersisa separuh gelas.

Kata Byungchan dirinya baru saja mengantarkan beberapa barang sisa endorsement ke kantor dan memutuskan untuk sekalian mengerjakan tugas kuliah di cafe, tentunya tidak berpikir akan bertemu Seungwoo disini. Semesta ini benar-benar senang sekali membuat mereka berdua terkejut dalam beberapa minggu terakhir.

Pemuda itu terlihat sibuk dengan apapun itu yang sedang ia kerjakan dan hanya sesekali menyentuh minumannya. Byungchan hari ini tampak sangat normal di mata Seungwoo, seperti layaknya seorang mahasiswa pada umumnya yang harus berjibaku dengan seabrek tugas menjelang ujian akhir semester.

“Chan,” panggilnya saat dirasa pemuda dihadapannya terlalu diam. Iya, Seungwoo sedang duduk dihadapan Byungchan sejak 15 menit lalu dengan dalih bosan duduk di meja kasir sendirian karena staff yang lain sedang istirahat makan siang.

“Hmm,” gumam pemuda itu, masih fokus dengan sebuah buku yang ada di hadapannya.

“Kamu mau cake nggak?”

“Gimana kak?” Byungchan menatapnya sekilas lalu kembali ke bukunya.

“Kamu mau cake ngga? aku mau balik ke meja kasir lagi nih biar aku ambilin kalo kamu mau.”

“Hngg, ngga deh kak, aku lagi diet.” jawab yang lebih muda sekenanya karena dia sibuk memberi tanda di bukunya dengan highliter.

Seungwoo mengernyit tapi tidak berkata apa-apa dan segera beranjak ke meja kasir untuk membuat beberapa pesanan minuman yang masuk dan menyiapkan beberapa potong kue juga sandwich yang tersedia di display. Saat Seungwoo kembali ke meja Byungchan, pemuda itu sedang menunduk sembari memegangi kepalanya.

“Kak Seungwoo suka makanan manis sekarang?” tanya yang lebih muda begitu dia melirik sepotong cheesecake, sebuah muffin coklat dan sandwich platter yang baru saja diletakan Seungwoo di meja. Lelaki itu mengambil tempat di samping Byungchan.

Seungwoo menggeleng, “Ini buat kamu juga, dimakan sandwichnya dulu mumpung baru diangetin.”

“Aku lagi diet, kak.”

“Ngga ada diet-diet Chan, badan kamu kecil gitu apanya yang mau kamu kecilin lagi? kamu pasti juga belum makan apapun kan dari pagi?”

“Tapi kak-”

“Udah Chan, aku tau kamu lagi pusing, rileks dulu sebentar jangan dipaksa ngga makan, ini makan kue juga kan sekali-kali.” potong Seungwoo cepat dengan memberi tatapan lembut ke Byungchan, tangannya sudah terulur di depan bibir pemuda itu, menyodorkan sepotong cheesecake yang tadi masih berada di atas meja.

Byungchan tertegun.

Tatapan Seungwoo selalu berbeda menurutnya, terkadang hangat dan terkadang hanya tatapan yang tidak bisa ia artikan.

Byungchan merasa dirinya seolah terlalu mengenal sosok pria yang kini sedang membaca beberapa referensi literatur miliknya. Dia merasa takut tapi disisi lain dia merasa nyaman dengan keberadaan Seungwoo di sekitarnya, bahkan ia sudah mengesampingkan segala keresahannya tentang masa lalu mereka berdua yang belum pernah disinggung sama sekali sejak mereka bertemu lagi.

Tapi sekarang mereka bisa menjadi teman kan walau status mereka adalah sepasang mantan kekasih?

“Tugas kamu masih banyak?” tanya yang lebih tua dengan suara lembut, sesekali tangannya terulur dengan sesendok kue. Byungchan yang mau tidak mau membuka bibirnya untuk menerima suapan kue dari Seungwoo yang memberinya tatapan tidak menerima penolakan.

Byungchan mengangguk, “Sebagian paper kelompok bagianku udah selesai sih, tinggal beberapa tugas individu aja.”

Tell me if you ever need my help.”

“Emang kak Seungwoo ngerti materi anak HI?”

Seungwoo menggeleng, “Hehe enggak sih Chan, tapi aku bisa bantuin kamu ngetik kalo kamu capek.” Tangannya bergerak mengelus puncak kepala pemuda itu, merapihkan anakan rambut yang jatuh di dahinya. Refleks.

Tangan kurang ajar.

Umpat Seungwoo dalam hati, buru-buru ia tarik tangannya dan menatap Byungchan yang juga sedang menatapnya kaget.

Sorry, Chan.”

“Nggak apa, kak.”

Byungchan memandang Seungwoo dengan dahi berkerut. Tidak tau harus memberi respon apa, karena entah mengapa perasaanya menjadi sedikit aneh, seperti ada gelenyar yang tak bisa dia definisikan.

Dengan enggan ia kembali mencoba fokus ke buku-buku yang ada di hadapannya. Ia mencoba mengalihkan fokusnya kembali ke tugasnya yang seperti tidak ada habisnya.

Hanya bertahan beberapa menit karena tiba-tiba terdengar suara seseorang yang menyebut nama Seungwoo dan Byungchan bergantian, membuatnya seketika terdiam di tempat duduknya, berusaha mencerna situasi. Suara sepatu yang beradu dengan lantai terdengar mendekat bersamaan dengan panggilan namanya yang kembali terulang dan ia kenali sebagai suara adik sepupu dari laki-laki di sampingnya.

Oh my god, it’s you Chan, no wonder aku kayak nggak asing pas liat kamu.”

Sapa Lee Sejin sembari memberikan pelukan singkat yang bisa dikategorikan sebagai basa-basi semata karena sejatinya pemuda itu hanya menempelkan tangannya di bahu Byungchan, menepuknya pelan dan menarik diri dalam kurun waktu kurang dari 5 detik.

“Udah lama banget kayaknya aku nggak liat kamu.” pemuda yang usianya satu tahun lebih tua dari Byungchan itu kembali bersuara.

“Oh, iya hehe. Apa kabar kak?” jawab Byungchan sekenanya dengan senyum kaku sembari mengawasi Sejin yang sudah mempersilahkan dirinya sendiri duduk di hadapan Seungwoo.

Well, as you can see, I’m doing good. Denger-denger kamu jadi model ya?”

“Kan gue udah ceritain Jin, kalau Byungchan jadi campaign modelnya Blanc and Eclare.” Seungwoo menjawab pertanyaan Sejin setelah diliriknya Byungchan yang hanya mengangguk enggan.

“Wah, keren-keren. Gue mah apa cuma mahasiswa biasa hahaha.”

“Mahasiswa biasa apaan, Sejin ini kuliah di University of Washington, Chan.”

Byungchan menanggapi dengan kalimat basa-basi standar yang ia pelajari dari Chaeyeon jika orang yang mengajaknya bicara bukan teman dekatnya atau orang yang dianggap sedikit menyebalkan.

“Ahaha duh jadi malu gue padahal emang gue mahasiswa biasa aja, beda lah sama mahasiswa berprestasi Bina Bangsa apalagi model yang followers instagramnya hampir sembilan ratus ribu.”

“Ah enggak kok, kak Sejin keren bisa masuk undab.”

Seungwoo yang menyadari bahwa Byungchan seperti kurang nyaman segera mengajak Sejin naik ke kantor kakaknya untuk memberikan ruang kepada yang lebih muda untuk melanjutkan aktivitas belajarnya. Byungchan melirik bergantian ke Seungwoo lalu ke tangan Sejin yang sedang merangkul tubuh yang lebih tinggi ketika mereka beranjak naik ke lantai 2.

Byungchan mengernyit melihat interaksi keduanya yang terlihat sangat dekat, karena seingatnya dulu saat mereka masih berpacaran, Seungwoo tidak terlalu dekat dengan Sejin walaupun mereka bersekolah di yayasan yang sama.

Dan kenyataan bahwa Sejin lah yang membocorkan tentang taruhan Seungwoo dengan teman-teman angkatannya kepada Byungchan membuatnya semakin bingung dengan apa yang dia lihat.

Kenapa rasanya ada yang aneh dengan Lee Sejin?

— Lembar keempat.

Byungchan bingung setengah mati dengan situasi yang sedang dia hadapi.

Dari ratusan ribu hingga jutaan penduduk kota ini, kenapa ia harus kembali dipertemukan dengan mantan kekasihnya?Dan anehnya, kenapa hampir semua orang disekitar Byungchan seperti mengenal sosok Seungwoo yang sudah 4 tahun lamanya tak ditemui?

Pertemuan di cafe malam itu memang sudah memberikan firasat kepada Byungchan bahwa akan ada pertemuan lain setelahnya. Ya, hanya saja dia tidak menyangka akan secepat ini.

Jadi, tolong tanyakan dimana kewarasan Byungchan sekarang karena tidak lebih dari lima langkah dihadapannya, Han Seungwoo berdiri dalam balutan kaus putih sedikit longgar dibagian dada dan stelan casual suit berwarna stone blue, catat ini baik-baik, pria itu sedang menatap kearah Byungchan lamat-lamat. Rambutnya—yang seingat Byungchan dulu hampir selalu menutupi matanya, kini ditata sedemikian rupa membingkai sisi-sisi dahinya, menunjang pesona maskulin dan aura lelaki dewasa, yang sebenarnya tanpa laki-laki itu berusaha pun dirinya sudah sangat diberkahi Tuhan dengan fisik yang nyaris tanpa cela dan kemampuan otak diatas rata-rata.

Bohong kalau Byungchan dirinya biasa saja dengan presensi salah satu orang yang pernah menempati urutan teratas dalam daftar prioritasnya. Buktinya jantungnya berdetak sedikit lebih cepat tatkala yang lebih tua menggerakan kaki panjangnya dua langkah lebih dekat kepada Byungchan.

“Byungchan,” panggilnya lembut.

Yang lebih muda mendongak. Gendang telinganya memproses gema suara Seungwoo, merekamnya dalam otak baik-baik untuk menggantikan memori lama akan bagaimana suara mantan kekasihnya itu memanggil namanya untuk yang terakhir kali nyaris empat tahun lalu.

“Ngapain sendirian disini?”

Oh.

Byungchan ingat ini.

“Temen-temen kamu pada kemana?”

Seperti dejavu.

Iya, Byungchan ingat dengan jelas obrolan pertama mereka siang itu di bulan pertama Byungchan, si siswa baru sekolah yang sama dengan Seungwoo sedang berdiri sendirian di depan pintu ruang ekskul PMR sembari memegang sebuah komik.

Kalau dipikir-pikir, aneh juga kenapa Seungwoo bisa mengetahui nama anak baru disekolahnya yang berinteraksi dengannya saja tidak pernah, bahkan saat itu Byungchan tidak tau nama orang yang mengajaknya mengobrol. Sekarang semuanya sudah jelas dengan terbongkarnya intensi asli laki-laki yang sudah menyandan status mantan pacarnya ini.

“Chan...?”

“Oh, lagi pengen aja. Basement masih rame mobilku agak susah keluarnya.”

Seungwoo mengangguk. Namun tidak juga berlalu dari hadapan pemuda manis dihadapannya.

“Kak Seungwoo...ngapain disini?”, tanya Byungchan yang merasa canggung dengan tatapan Seungwoo.

Sebenarnya tidak ada yang salah dari keberadaan mereka disini, acara inti sudah selesai dari satu jam yang lalu dan bahkan banyak yang sudah meninggalkan venue untuk kembali ke rutinitas mereka masing-masing. Begitu pula teman-teman Byungchan dan managernya yang sudah pamit undur diri, meninggalkan dirinya sendiri yang kini malah duduk menyandar di salah satu kursi empuk sebuah kedai kopi kecil disamping gedung baru Blanc & Eclare yang menguarkan aroma manis yang datang dari roti yang baru selesai dipanggang.

“Oh, lagi nunggu pesenan. Anak-anak pada kecapean kayaknya makanya pada mau kopi.”

“Ehmmm btw Chan, aku boleh duduk disini...?”, rujuk Seungwoo pada kursi dihadapan Byungchan yang tak bertuan.

Dengan ragu pemuda berlesung pipi itu mengangguk, bingung juga karena kedai kopi ini tidak memiliki banyak meja dan kursi, mengingat banyaknya antrian masuk ke Blanc & Eclare jelas lah keadaan tempat mungil ini semakin penuh sesak, tidak ada tempat kosong untuk sekedar menunggu pesanan selesai dibuat.

Ketika Seungwoo menempatkan dirinya dengan nyaman dihadapan Byungchan, diliriknya pesanan pria manis itu sembari tersenyum kecil. Di meja itu ada segelas strawberry milkshake dan 2 buah macaron rasa tiramisu dan coklat yang sudah tergigit dibeberapa bagian.

Ada hening yang normal diantara mereka berdua sedangkan sekitar mereka sangat berisik dengan bunyi mesin kasir dan orang-orang yang mengobrol, juga aroma pekat kopi yang sedang dibuat membuat Byungchan sedikit mendesah senang. Dia suka bau kopi walaupun dia minum kopi hanya sesekali.

“Kamu...apa kabar Chan?”

“Baik, kak Seungwoo apa kabar?”

So so.” jawabnya, “aneh juga ya aku baru nanya kabar kamu padahal kemaren udah ketemu.”

Oh, ya. Di cafe.

“Ya...mungkin masih kaget nggak sih kak kemaren ketemu nggak sengaja.”

Satu hal yang Seungwoo suka dari Byungchan adalah pembawaannya yang santai dengan semua orang, mantan kekasihnya itu adalah pria periang dan supel. Orang pasti nyaman dengan Byungchan bahkan dipertemuan pertama seperti teman-teman satu kantornya.

Menurut Seungwoo sifat yang lebih muda tidak berubah banyak.

“Jadi kamu anak binbas juga?”

Yang lebih muda kembali mengangguk, “Sempit banget ya dunia kak, terakhir kali kita ketemu masih anak SMA swasta di Bali. Sekarang udah anak kuliahan aja.”

“Aku denger kamu pindah ke Jakarta pas kenaikan kelas 2 ya?”

Pasti dia yang ngasih tau. Batin Byungchan.

“Iya, ayah sama bunda kan udah pindah duluan sebelumnya jadi aku nyusul.”

Hening lagi.

Byungchan mendadak malas berbicara setelah mengetahui informasi tersirat bahwa Seungwoo masih berhubungan dengan dia.

Tanpa sadar pemuda itu meremat tisu yang sedari tadi digenggamnya.

Byungchan benci mengingat orang yang membuatnya dan Seungwoo seperti ini.

Membuat dirinya memilih memutuskan semua kontak dengan lelaki yang sangat di puja Byungchan ketika usianya baru menginjak 16 tahun.

Orang yang mengatakan kebenaran kepada dirinya tetapi kebenaran itulah yang menyakiti Byungchan bertahun lamanya.

Disisi lain, Seungwoo juga tenggelam dengan pikirannya sendiri.

Tentang bagaimana keseharian Byungchan. Bagaimana kondisi yang lebih muda setelah memutuskan hubungan mereka secara sepihak tanpa menjelaskan apapun kepada Seungwoo.

Yang dia ingat hanya wajah merah menahan marah dan biner cantik kekasihnya yang berkaca-kaca menahan isak tangis di sore itu.

Bukankah harusnya Seungwoo marah kepada Byungchan?

Bukankan seharusnya dia sudah melupakan Byungchan setelah 4 tahun mereka berpisah?

Tapi Seungwoo tidak bisa berbohong. Ada waktu dimana dia melihat sosok yang mirip dengan Byungchan, berlari mengejar sosok itu hingga realita yang dijemputnya hanya fatamorgana semata karena rindu yang selalu dipendamnya.

Berkali-kali dia meminta dan memohon kepada sahabat karib Byungchan disekolah, Do Hanse untuk memberitahu keadaan mantan kekasihnya itu yang berujung dengan kenyataan pahit kalau sang pujaan hati sudah meninggalkan pulau dewata dua bulan setelah kelulusannya.

“Atas nama Senu.”

Keduanya menoleh ke arah kasir yang sedang mencari sosok customer bernama Senu yang pesanannya sudah terdisplay di dekat mesin kasir.

Byungchan tidak tau harus bagaimana dengan informasi baru ini. Bahwa Seungwoo benar memiliki nama panggilan 'Senu' yang tidak pernah ia tau sebelumnya.

“Pesenannya udah jadi tuh,”

Seungwoo mengangguk enggan. Mereka belum berbicara dengan benar dan Seungwoo benci mengatakan kalau dia belum sanggup.

“Iya,” jawabnya pelan.

Seungwoo menatap Byungchan yang sedang menatapnya datar.

“Chan,” panggilnya mantap setelah menimang ide impulsif yang datang karena dikejar waktu itu.

“Aku boleh kontak kamu sesekali?”

“If you don't mind?”

Nyaris 10 detik Byungchan diam saja ketika Seungwoo sudah beranjak dari tempat duduknya tanpa mengalihkan pandangan dari yang lebih muda.

Ketika sosok mantan kekasihnya itu sudah menghilang dari pandangan Byungchan buru-buru membereskan barang-barangnya dan pergi secepat mungkin dari kedai kopi itu.

Tak lupa merutuki dirinya sendiri yang mengangguk mengiyakan permintaan Seungwoo—yang tersenyum begitu tulusnya, tak sampai 5 menit yang lalu.

I hope I'll never regret this.

—Lembar Ketiga.

Rencana merayakan kesuksesan proyek di kelab malam atas undangan Krystal pukul 8 malam—masih satu jam lagi, jadi Seungwoo memutuskan untuk mampir sebentar ke cafe untuk sekedar memantau, menggantikan kakaknya—Sunhwa yang sedang bertolak ke Bali untuk menjenguk Jiyoung, kakak keduanya yang baru saja melahirkan.

Suasana cafe terlihat sangat sibuk malam itu, kebanyakan pengunjungnya adalah pegawai kantoran dari sekitar cafe dan para remaja yang nongkrong bersama teman-temannya, terlihat sangat menikmati waktu mereka. Mungkin karena besok juga sudah akhir pekan, pikir Seungwoo.

Seungwoo hanya menemui Heo Chan, teman kuliahnya yang sejak enam bulan lalu resmi diangkat sebagai manager operasional cafe menggantikan manager sebelumnya yang sedikit bermasalah.

Mereka berbincang sebentar mengenai perkembangan cafe dan beberapa hal kecil yang sudah dilaporkan via email kepada kakak beradik pemilik cafe itu sehari sebelumnya.

Pembicaraan itu berlangsung sekitar 20 menit kemudian hingga Heo Chan mengatakan harus mengecek kiriman logistik cafe yang sedang loading melalui pintu belakang. Seungwoo memutuskan untuk ikut turun dan membantu meracik beberapa gelas minuman sebelum bertandang ke tempat janjiannya dengan teman-teman sekantornya yang lain.

“Bang, lo bentar lagi cabut kan?”

Seungwoo menoleh, mendapati Heo Chan yang sedang memegangi sebuah jaket hitam dan segelas strawberry milkshake yang tidak tersentuh, dilihat dari masih penuhnya substansi berwarna merah muda itu disertai embun di luaran gelas kaca yang menampung isinya.

Ia mengangguk. “Kenapa emang?”

“Anu itu ada pengunjung yang mau ikut keluar lewat pintu belakang, keliatannya dia lagi ngehindarin orang deh, mukanya panik banget gue nggak tega.”

Dahi Seungwoo berkerut heran. “Yang mana orangnya?”

“Diluar, tuh, liat nggak yg nyeder ngebelakangin pintu?”

“Ohh, iya gue liat.”

“Yaudah ntar gue samperin, ini gue juga mau jalan takut malah macet.”

Heo Chan buru-buru menahan Seungwoo untuk menunggunya memindahkan minuman tadi kedalamgelas plastik dan memasukannya kedalam box kertas untuk dibawa pulang.

Seungwoo sebetulnya agak ragu ketika dirinya membuka pintu dan menemukan seseorang yang membelakanginnya itu sedang menunduk.

Maka ia berdeham dan menyodorkan jaket yang ada dilengan kirinya. “Hi, sorry kata Chan ini punya....”

Kalimat Seungwoo menggantung di udara, sesosok dihadapannya sedang menatapnya dengan bola mata bulatnya yang semakin bulat karena terkejut, terkejut melihat Seungwoo pastinya.

”....lo”

Yang terakhir tadi terdengar seperti hembusan napas.

Dihadapannya ada Byungchan, yang tak bergeming untuk mengambil uluran jaket yang Seungwoo berikan. Tak juga mengalihkan pandangannya dari wajah Seungwoo yang ekspresinya tak kalah syoknya dengan Byungchan.

“Kak...Seungwoo?”

“Byungchan?”

Uh. Oh.

Kenapa harus manggil barengan sih.

Batin Seungwoo.

Ada gelenyar aneh yang menggelitik relung hatinya. Kini dia benar-benar dihadapkan dengan sosok lelaki berlesung sedalam palung yang beberapa hari ini seperti kembali menjadi titik fokus otaknya secara tidak sengaja.

Harusnya dia merasa senang, kan?

Harusnya dia bisa memeluk Byungchannya.

Tapi sosok dihadapannya menatapnya dengan tatapan nanar, tidak ada binaran senang yang dulu selalu ia perlihatkan saat bersama Seungwoo. Dan itu adalah salahnya sendiri, kesalahan terbesar yang membuatnya menyesali tingginya ego dalam diri remajanya empat tahun silam.

Byungchan meneggakkan tubuhnya, membuat tubuh semampainya sejajar—jelas lebih tinggi beberapa centi dari Seungwoo.

Lelaki yang lebih tua tertegun, ternyata empat tahun membawa banyak perubahan pada diri Byungchan.

Byungchan sekarang lebih tinggi dari dirinya.

Byungchan sekarang terlihat memiliki otot lengan.

Byungchan sekarang terlihat gagah walau wajahnya tetap manis, cantik.

Byungchan sekarang memakai kacamata yang sedikit lebih tebal.

Byungchan sekarang...

...bukan lagi Byungchannya.

“Aku ambil ya kak jaketnya, thanks.”

Suara Byungchan memecah keheningan, tangan kanannya bergerak untuk mengambil jaketnya.

“O-oh, iya ini sama minumannya. Punya kamu kan?”

Empat tahun berlalu dan Byungchan masih menyukai strawberry milkshake dengan whipping cream banyak-banyak.

Mengingatnya membuat Seungwoo tersenyum.

“Mau keluar sekarang?”

Byungchan hanya mengangguk mengiyakan dan mereka berjalan bersisian melewati sebuah jalan setapak menuju pintu bertuliskan khusus karyawan.

Tidak ada yang berbicara. Hening yang terasa aneh ini menggelitik Byungchan, dia tidak suka.

Begitu juga Seungwoo.

Yang lebih muda mengamati pakaian lelaki yang kini satu langkah dihadapannya karena harus melewati ruang kecil antara mobil box yang sedang terparkir dan tembok gudang.

Pakaiannya terlihat rapi, stelan kemeja bercorak dan celana chino hitam membalut tubuh atletis mantan pemain inti tim sepak bola sekolah itu.

Mantan kekasihnya itu terlihat gagah dan tampan malam ini. Rambutnya disugar sedemikian rupa dengan gel rambut atau hairspray, Byungchan juga tidak tahu.

Pemuda itu tidak mau mengelak dan berbohong pada dirinya sendiri, sejak dahulu Seungwoo memang memiliki selera berpakaian yang bagus dan selalu cocok dengan proporsi tubuhnya yang tinggi dan kekar. Jadi tidak heran kini penampilannya semakin tertata dan dalam versi lebih dewasa empat tahun dari ingatannya.

“Mobil kamu yang mana?”

Byungchan mendongak, mendapati Seungwoo tengah mencari-cari kendaraan pribadi yang lebih muda ketika mereka sampai di pelataran cafe yang dijadikan lahan parkir.

“Aku tinggal dikantor, makanya ini mau ambil kesana.”

“Kantornya jauh?”

“10 menit jalan ka-”

“Anjing.”

Yang lebih tua berjengit, terkejut dengan umpatan yang keluar dari belah bibir yang lebih muda.

Byungchan baru saja mengumpat dihadapannya.

Dan saat dia menengok ke arah pandangan pemuda manis itu, barulah dia tahu penyebab mengapa Byungchan tiba-tiba menyembunyikan dirinya ke belakang mobil.

Diseberang mereka, seorang lelaki yang dilihat Seungwoo beberapa saat lalu dari meja kasir tengah berbicara melalui sambungan telepon dan membelakangi mereka.

Untuk suatu alasan yang tak jelas, Seungwoo merasa presensi pria yang tak dikenalnya itu sebagai ancaman.

Terbukti dengan bibir Byungchan yang menggumam, menggerutu dan sesekali mengumpat, berharap si lelaki asing tadi segera pergi.

“Byungchan, kamu nggak papa?”

“Kak jangan pindahin mobilnya dulu ya aku minta tolong.”

“Masuk.”

“Hah?”

“Masuk kedalem mobil Byungchan, biar aku anter ke kantor kamu.”

Saat dilihatnya Byungchan yang masih menatapnya tidak percaya, bibir yang terbuka dan manik yang membola, dengan impulsif tangannya bergerak mengambil jaket hitam ditangan yang lebih muda dan menyampirkannya di kepala, menutupi wajah kecil namun berisi milik Byungchan sebelum menariknya masuk, duduk di kursi penumpang.

Setidaknya dia bisa sedikit lebih lama bersama Byungchan. Pikir Seungwoo yang sedang menyalakan mesin mobilnya dan berlalu meninggalkan pelataran cafe.

“Makasih.”

“Makasih, kak Seungwoo.”

Seungwoo tersenyum lebar.

“Sama-sama, Byungchan.”

—Lembar Kedua.

Byungchan panik bukan main ketika manik matanya menangkap siluet seseorang yang ia hindari mati-matian saat SMA dulu.

Kim Rowoon.

Instingnya menyerukan dirinya untuk kabur sebelum Rowoon melihatnya.

Dengan sesegera mungkin ia bangkit dari kursinya dan berjalan cepat ke arah toilet tanpa memperdulikan bahwa gelas kedua strawberry milkshakenya belum tersentuh sama sekali.

Anjing. Anjing. Anjing. Kenapa harus disini sih itu orang nggak betah di amrik apa?! Kenapa sih harus balik lagi??

Maki Byungchan dalam kepalanya.

Dengan cepat Byungchan membuka ponselnya dan menghubungi orang-orang yang berada di urutan teratas aplikasi chattingnya—masih sambil merutuki kebodohannya sendiri yang tidak mengiyakan ajakan Chaeyeon untuk pulang sejak setengah jam yang lalu karena ia masih mau berlama-lama di cafe yang sempat mereka singgung beberapa hari lalu itu.

Bibirnya bergumam, bermonilog sembari menghubungi beberapa orang yang kiranya bisa menjemputnya kesini secepat yang mereka bisa agar ia dapat menghindar dari Rowoon.

Mbak Dee lagi ke bandara.

Ceyon baru balik tadi ya kali gue suruh kesini lagi.

Jeje ceklis.

Kak Jinhyuk, Kak Wooseok sama Yoyoy lagi ke Singapore.

Byungchan mendecak sebal setelah hampir dua lusin orang ia hubungi dan tak ada satu pun yang bisa menjemputnya.

Salahnya sendiri meninggalkan mobil di kantor—yang sebenarnya hanya berjarak 10 menit dengan berjalan kaki.

Keberuntungan sepertinya tidak berpihak kepadanya ketika tiga kali ketukan agak keras terdengar dari arah luar.

Oh ya Tuhan, dia lupa kalau dirinya berada di salah satu dari empat bilik toilet yang sepertinya sedang ramai pengunjung malam ini.

Dengan setenang mungkin ia menyerukan kata 'sebentar' dan menyalakan kran air berpura-pura sedang menyelesaikan urusannya dan mengambil napas dalam-dalam sebelum melangkah keluar.

Byungchan menyunggingkan senyum apologetik kepada orang yang berada di antrean paling depan lalu merundukan kepalanya sembari melangkah lambat-lambat dengan mata mencari-cari keberadaan Rowoon.

Tinggi badannya yang mungkin sudah melebihi 185 centimeter—ya sangat mencolok, tidak akan mudah menyembunyikan keberadaanya diantara pengunjung lain yang entah kenapa kebanyakan perempuan dan tentu saja sedang duduk dengan gerombolan mereka masing-masing.

Dari balik tumbuhan merambat artifisial yang dipasang sedemikian rupa Byungchan dapat melihat dengan jelas bahwa tempat duduknya yang tadi masih utuh, begitupun strawberry milkshakenya. Mungkin orang-orang berpikir tidak etis menempati kursi yang sepertinya memiliki tuan itu karena Byungchan juga meninggalkan jaket hitamnya di lengan kursi tanpa dia sadari.

Dan Rowoon duduk dua meja dari mejanya.

Ah sial, goblok banget sih chan.

Bukan Byungchan namanya kalau tidak banyak akal. Ucapan Sejeong terngiang dikepalanya.

Kini dia berpikir bagaimana caranya dia bisa mendapatkan jaketnya kembali dan keluar dari sini tanpa harus bertatap muka dengan laki-laki, yang anehnya duduk sendiri dan seperti sedang mencari-cari keberadaan seseorang. Terlihat sekali dari gerak kakinya yang tidak tenang dan kepala yang tertoleh kekanan dan kekiri setiap beberapa saat.

“Permisi kak,”

Byungchan terlonjak, sangat terkejut hingga dadanya berdebar tak karuan. Mungkin efek dirinya terlalu was-was akan keberadaan Rowoon hingga dia melupakan keadaan sekitarnya dan berakhir seperti orang baru saja disiram air dingin ditengah badai salju. Padahal tepukan tadi tidak sekencang itu.

“Errr...maaf kak saya nggak maksud ngaggetin,”

“O-oh iya nggak apa-apa, salah saya juga berdiri di jalan ramai orang lalu-lalang.”

Pemuda yang juga memiliki lesung di pipinya itu menatap Byungchan dan tempat duduknya bergantian, seperti menyadari gelagat aneh laki-laki dihadapannya.

“Ada yang perlu saya bantu kak? Kebetulan saya mau balik ke meja kasir,”

Oh. Sekarang dia ingat pemuda yang menerima order strawberry milkshake keduanya kurang dari 30 menit lalu ini.

“Mmmm...sebenernya saya butuh jaket saya,”

Bibirnya membuka dan mengatup, bingung bagaimana menjelaskannya.

“Ohhh, jaket hitam diatas kursi ya kak?”

Byungchan mengangguk dengan cepat dan semangat. Heran juga kenapa dia berlaku demikian.

“Mau saya ambilkan kak?”

“Eh, boleh...?”

“Iya, kan saya yang nawarin. Kakaknya tunggu disini sebentar nggak apa-apa?”

“Tapi saya ngerepotin masnya nggak? Kayaknya banyak yang mau order?”

“Enggak kok kak, tenang aja.”

Bibir pemuda yang lebih pendek dari Byungchan itu membentuk seulas senyum manis dan Byungchan merupa senyum itu di bibirnya sendiri.

“Kalau gitu saya boleh minta tolong lagi nggak ya mas? Maaf banget tapi saya harus buru-buru keluar,”

“Tapi nggak bisa lewat pintu masuk yang tadi...”

Byungchan meringis ketika disadarinya raut wajah dihadapannya berubah sedikit bingung dengan arah pembicaraan mereka.

“Maksudnya...kalau mas nggak keberatan dan dibolehin saya mau minta tolong keluar dari pintu khusus karyawan.”

Pria dengan name tag bertuliskan Heo Chan itu terdiam sejenak, terlihat berpikir.

“Kalau nggak boleh juga nggak apa-apa saya tau kok permintaan saya aneh banget, aduh maaf ya k-kak Heo Chan.”

Heo Chan menggeleng, “Eh enggak kok kak nggak apa-apa beneran, kebetulan temen saya ada yang mau keluar. Nanti kakaknya ngikutin temen saya aja ya, biar saya yang bilangin.”

“Aduh, maaf banget kak saya jadi ngerepotin gini, makasih banyak kak Heo Chan.”

“Nggak repot kok kak Byungchan,”

“Eh, kok tau nama saya...?”

“Ohhh, saya sering liat kak Byungchan di instagramnya Dee hehe.”

“Eh temennya mbak Dee?? Wah dunia sempit yaaa,”

“Hahaha iya sempit banget, kalau gitu saya ambilin dulu jaketnya ya, kapan-kapan kalau kesini lagi jangan sungkan minta tolong sama saya.”

“Makasih banyak ya kak Chan, eh namanya kembar jadinya hehe,”

“My pleasure, bentar ya saya panggilin temen saya sekalian ngambil jaketnya.”

Byungchan mengangguk dan menggumamkan kata terima kasih sekali lagi sebelum Heo Chan berlalu meninggalkannya kedalam cafe.

Sembari menunggu teman Heo Chan datang ia bersembunyi dibalik pilar, yang sebetulnya tidak terlalu menutupi tubuhnya, bersandar dan mengeluarkan kembali ponselnya untuk memesan taksi online menuju apartemennya.

Mungkin sekitar lima menit kemudian sesosok berperawakan hampir menyamai tingginya berhenti dihadapannya dan menyodorkan jaket hitamnya, dan strawberry milkshakenya yang tak tersentuh sudah dipindahkan dalam cup khusus take away.

Indera penciumannya menangkap wewangian seperti percampuran parfum Wood Sage & Sea Salt Jo Malone dan aroma pekat espresso yang nikmat.

Tiba-tiba dia menyukai wangi ini.

'Wanginya enak banget.'

“Hi, sorry kata Chan ini punya....”

Byungchan mengangkat kepalanya secepat kilat bersamaan dengan kalimat yang menggantung di udara.

”...lo”

Nafasnya tercekat. Biner bulatnya membola mendapati sosok laki-laki dengan rahang tegas dan garis hidung tinggi sedang menatapnya dengan tatapan yang tidak bisa dia artikan.

Sama halnya dengan dirinya yang hanya bisa membuka bibirnya yang tiba-tiba terasa kelu.

“Kak....Seungwoo?”

“Byungchan?”

—Lembar pertama.

Seungwoo mengistirahatkan tubuhnya di sofa panjang ruang tamu begitu dirinya sampai di apartemen. Ransel berisi laptop dan tumpukan kertas coretan skripsi dari pak Richard tergeletak begitu saja di atas karpet.

Tangannya merogoh saku celana depan untuk mengambil gawai keluaran terbaru sebuah brand ternama. Di usapnya layar gawai itu hingga muncul banyak notifikasi dari akun media sosial dan layanan pesan singkat terutama dari grup kantor dan grup angkatannya.

Dirinya yang baru pulang dari program pertukaran pelajar satu tahun ke London terpaksa harus menjalani program magang wajib selama 4 bulan sekaligus mengerjakan tugas akhirnya. Hal ini tidaklah mudah bagi Seungwoo. Dia harus pintar-pintar membagi waktu karena, entah kesialan atau sebuah anugerah kalau dirinya dan teman-teman satu kloter magangnya—Seungsik dan Sejun, Seulgi tidak termasuk karena program wajib magangnya sudah tuntas semester lalu— mendapatkan kesempatan memegang proyek baru perusahaan yang dibawahi langsung oleh adik dari CEO mereka yang tak lain teman sekolah Seungwoo dan Seulgi dari SMP.

Terasa sedikit aneh memang mempercayakan sebuah proyek perusahaan kepada mahasiswa magang yang sejujurnya masih perlu banyak bimbingan. Tidak, pihak perusahaan tidak sepenuhnya melepaskan mereka, hanya saja pengawasannya mungkin tidak semencekik perusahaan lain yang bergerak di bidang serupa.

Belum lagi memiliki direktur sekaligus pendiri perusahaan yang usianya belum terpaut jauh dari mereka, membuat mereka merasa lebih enjoy dan tenang walau dibawah tekanan kerja yang gila-gilaan.

Ah ngomong-ngomong tentang bosnya itu, Seungwoo jadi teringat kalau dia belum mengecek keputusan tiba-tiba mbak Jess—begitu dia disapa, untuk menandatangani kontrak eksklusif dengan model 'temuan' Sejun dari hasil pilih acak karena model sebelumnya yang tiba-tiba tidak kooperatif dan mengundurkan diri di detik-detik krusial.

Engagement sosmed melonjak dari pagi...tutur Seulgi.

Jumlah klik website pembelian juga...imbuh Seungsik.

Apa benar sampai sebegitunya?

Seungwoo membuka aplikasi burung birunya dan mencari kata kunci yang disebutkan Egi.

Benar saja, dari hasil pencariannya banyak sekali cuitan excited dari penggemar si selebgram yang menunggu-nunggu hasil kolaborasi brand yang sedang naik daun itu dengan idola mereka.

Tidak dipungkiri ada rasa penasaran yang menggelitik Seungwoo untuk menyusuri linimasanya dan mencari si selebgram yang mendadak jadi buah bibir orang-orang marketing dan juga di dunia maya.

Maka hal yang dilakukan Seungwoo berikutnya adalah meneliti satu persatu postingan di linimasa akun personalnya hingga ia menemukan apa yang ia cari.

Dan Seungwoo pun termenung.