—Love Hate
Bulan pertama sebagai siswa putih abu-abu ternyata nggak seburuk perkiraan awal Byungchan. Buktinya dia sudah kerasan dengan kawan-kawan barunya terutama kawan kelasnya di 10 IPA 4 yang kalau sepenuturan Byungchan kepada Wooseok, tetangga sekaligus kakak kelasnya di 11 IPA 1, lebih banyak yang ajaibnya ketimbang yang benar-benar keliatan kayak anak IPA kaya yang dibicarain orang-orang yang katanya pendiam, nggak asik, bla bla bla. Jauh lah pokoknya.
Kelas mereka yang letaknya paling jauh dari kantin nggak ada bedanya sama pasar, terutama di jam istirahat karena ada Mingyu yang berteriak menanyakan pesanan jajan kantin kepada semua orang—dua mingguan ini udah kaya kurir makanan dengan ongkos jalan sebiji gorengan atau es teh ibu kantin pojok yang warnanya menurut Hanse lebih mirip kaya air seni. Ada juga siswa macam Yuvin dan Hangyul yang tiap hari selalu ribut siapa yang hari itu berhak duduk dengan Yohan, si cowok manis seperti kelinci yang jadi incaran keduanya, padahal ujung-ujungnya Yohan akan duduk dengan Sihoon yang sedari awal memang sudah jadi teman sebangkunya.
Belum lagi siswi perempuan di kelas Byungchan ini sudah seperti biang gosip, sebut saja Sejeong dan Somi yang sedikit-sedikit berkerumun didepan kelas membahas siapa sedang pacaran dengan siapa, berita apa yang sedang jadi topik hangat di sekolah dan tidak ketinggalan info tentang kakak kelas ganteng yang akan mereka incar sebagai calon pacar. Cih, kayak yang mau aja kakel gantengnya sama mereka. Ini kata Jamie, siswi yang dipanggil lady rocker karena dari smp sudah menjadi vokalis band dengan teman-temannya yang kebanyakan sekarang di penjurusan IPS.
Byungchan cuma ketawa pas denger ini, mikir, ya bener juga, belum tentu kakak kelas mereka ada yang mau kalau tau kelakuan mereka yang begitu.
Bel istirahat baru saja dibunyikan, hampir semua siswa kelasnya—kecuali yang jastip ke Mingyu, tumpah ruah di area kantin yang berada bersebelahan dengan lahan parkir siswa. Byungchan sudah membeli beberapa kotak susu dan air mineral botolan untuk dirinya dan teman-temannya yang baru saja selesai mata pelajaran olahraga. Byungchan tidak minta ongkos jalan untuk yang ini omong-omong, hanya membantu teman-temannya yang masih berganti pakaian seragam karena dirinya sudah selesai duluan.
Ia sedang menunggu Kukheon dan yang lain memesan makanan di kedai tengah yang paling ramai sedangkan dirinya menunggui meja agar tidak di ambil orang lain ketika tiga orang laki-laki tak dikenal menghampirinya. Dia sedikit terperanjat tatkala salah satu dari mereka menepuk bahunya yang sedang iseng bermain game Pou.
“Eh. lo sendirian kan, kita gabung ya soalnya tempatnya penuh.” Itu bukan pertanyaan tapi pernyataan.
Diliriknya salah satu dari mereka yang teridentifikasi sebagai anak kelas 12 dari badge yang ada di lengan kiri seragamnya. Byungchan lalu menengok ke sekelilingnya, benar saja kantin area kelas 10 ini ramai bukan main, bahkan ada beberapa yang menggunakan sepeda motor yang sedang terparkir sebagai tempat duduk sembari menyantap semangkuk soto di tangan kiri dan es jeruk plastikan yang digantunkan di stang motor. Ia lantas mendongak ke tiga laki-laki dihadapannya yang sudah mempersilahkan diri untuk duduk, makanan mereka sudah di atas meja namun tidak ada satu pun yang memulai agenda sarapan yang sebetulnya sudah terlampau siang.
“Anu, maaf kak saya disini berlima temen-temen saya.” Jawabnya sedikit sungkan karena posisinya dia sedang duduk dan dikerubungi tiga kakak kelas yang harusnya sih makan di kantin kawasan kelas 12, yang ada area gedung barat saja.
Ketiganya lalu saling tatap dan salah satu dari mereka mengendikkan bahu acuh.
“Mana? Orang lo sendirian.” yang mengendikkan bahu tadi menjawab.
Lah, ngeyel ini kutil anoa. Pikirnya, tentu saja dalam hati. Biar begitu juga statusnya kakak kelas, Byungchan masih berusaha menjaga unggah-ungguhnya.
“Mereka lagi pesen makanan kak, nanti kasian mereka sampe malah bingung mau makan dimana.”
“Terus lo nggak kasian sama kita gitu? Kita juga bingung tuh mau makan dimana.”
Wah nyolot anjir.
“Yaudah kalo gitu kakak-kakak sekalian makannya agak cepet ya biar temen saya bisa makan di meja juga.” Byungchan mulai sebal, pasalnya dia melihat keempat teman kelasnya sudah berada di antrian paling depan sedang mengambil pesanan masing-masing.
“Gue nggak bisa makan cepet-cepet, nanti lambung gue kaget.”
“Terus temen-temen saya gimana dong nanti?”, suaranya agak meninggi tetapi tidak terlalu keras dan untungnya kantin masih sangat ramai jadi mana peduli orang-orang dengan mereka.
“Ya terserah mereka lah.”
“Lah gimana sih? Orang nyerobot meja orang lain malah terserah-terserah gapunya manner banget.”
“Meja orang lo bilang? Ini meja kantin, punya sekolah, siapa aja bisa pake.”
“Ya kan gue duluan yang disini gimana—”
“Kenapa Chan?”
Suara Kukheon menghentikan omelan Byungchan yang sudah di ujung lidahnya. Yuvin, Hangyul dan Hanse mengerubungi Byungchan dengan Kukheon yang berdiri disampingnya.
Dengan kesal Byungnchan menunjuk ke arah kakak kelas dengan badge nama Han Seungwoo. “Tau nih orang dibilangin baik-baik mejanya dipake dia tetep maksa make, mana bilang terserah kalian mau makan dimana, ngeselin banget jadi orang.”
“Tinggal ambil aja itu bangku, makan tinggal makan kalo mau sempit-sempitan.”
“Woo udah sih kita ngalah aja bawa ke kelas, ntar gue yang balikin kesini.” Kakak kelas lain bernama Seungsik yang sedari tadi hanya geleng-geleng dengan pertengkaran Seungwoo dan Byungchan akhirnya angkat bicara.
“Gak, kejauhan Sik, nanti jam keenam ulangan sosiologi kita mesti belajar dulu. Udah makan aja.”
“DIH APAA— hanggel lwpus angjeng bibi gwe besah.”
Hangyul buru-buru membekap mulut Byungchan dengan tangan kirinya yang sedang memegang plastik es rasa mangga yang sudah berembun saat dilihatnya raut emosi Byungchan dan tatapan siswa-siswa di sekeliling mereka yang ingin tahu ada masalah apa.
“Kita aja yang bawa ke kelas kak, lebih deket kok, permisi.”
Mereka berlima—dengan Byungchan yang digeret paksa meninggalkan area kantin dengan langkah panjang.
“Deket apaan njing kelas kita diujung kulon sono jauh bego,” sungut Byungchan dengan jemari yang gesit menggeplak punggung Yuvin didepannya karena posisi dirinya yang digeret Hangyul disampingnya.
Yuvin mengaduh, mengumpat, mendelik tetapi Byungchan tidak takut. Dia masih kesal bukan main, kalau ini kartun pasti sudah ada asap yang keluar dari kedua lubang telinga dan hidungnya.
“Congor lo tuh emang bener-bener deh, kakak kelas itu bego, kelas 12 pula.” Yang ini omongan Hangyul, plastik esnya sudah berpindah ke tangan Hanse yang bodo amat dengan makian-makian teman-temannya.
“Karena dia kakak kelas! Senioritas banget, apa-apaan tadi lo liat sendiri dia yang songong,”
Perdebatan mereka berlima ternyata masih terdengar jelas oleh Seungwoo, Seungsik dan Sejun—yang sejak tadi menahan tawa.
Akhirnya tawa Sejun lolos, terbahak-bahak dengan tangan yang tak mau diam menepuk-nepuk lengan Seungsik yang kemudian mendorong kepala Sejun sebagai balasan. “Sumpah bang Seungwoo orang aneh paling aneh satu sekolahan, masa orang naksir digituin.”
“Siapa naksir?”
“Elo lah tolol, kasian tuh anaknya emosi.”
“Biarin aja, lucu Sik.”
Tidak pernah Byungchan tau kalau pertengkarannya dengan Seungwoo dikantin menghasilkan pertengkaran-pertengkaran dan gangguan-gangguan lain di kemudian hari.
Gangguan pertama saat Byungchan sedang berjalan sendirian ke perpustakaan untuk mengembalikan buku paket biologi yang dipinjam tempo hari. Seungwoo muncul dan merebutnya, berlari ke lapangan basket dan menaruh buku paket itu diatas ring basket.
Gangguan-gangguan kecil memang masih bisa Byungchan hadapi, tapi terkadang dia bersumpah kalau Seungwoo itu memang dilahirkan untuk jadi orang yang kelewat menyebalkan.
Pernah sekali waktu Seungwoo muncul di depan 10 IPA 4, 5 menit sebelum bel istirahat karena tahu kalau kelas Byungchan waktu itu sedang tidak ada guru alias hanya diberi tugas untuk dikumpul seusai bel ganti pelajaran, jadi saat dilihatnya Byungchan sedang bercanda dengan kawan-kawannya di pojok depan dekat papan tulis, dia tidak ragu-ragu menyelonong masuk dan menarik tangan yang lebih muda untuk mengikutinya dengan langkah terseret-seret karena tentu saja Byungchan melakukan pemberontakan habis-habisan. Dari mulai mengumpat, menabok bahkan mencubit pegelangan tangan Seungwoo hingga merah keunguan.
Hal itu tak membuat Seungwoo melepaskan Byungchan hingga mereka sampai di area kantin kelas 12. Seberani-beraninya Byungchan, sepede-pedenya dia mengatai Seungwoo, kalau ditatap gerombolan kakak kelas yang menduduki kasta sosial tertinggi di sekolah tetap saja membuatnya ciut dan urung melawan Seungwoo. Jadi dia hanya diam ketika disodori semangkuk soto babat serta es jeruk yang terkenal paling enak di seantero sekolah.
“Makan.”
Byungchan tidak mau awalnya, jadi dia diam saja ketika Seungwoo mulai menyendok dari mangkuknya sendiri. Dia masih sebal bukan kepalang dengan kelakuan Seungwoo senin lalu yang menarik dasinya sebelum upacara berlangsung, mengharuskan Byungchan dihukum tinggal di lapangab untuk membaca UUD 1945 sambil hormat ke tiang bendera. Tapi ketika dia menyadari bahwa hampir semua pasang mata tengah menatapnya dan bibir yang berbisik-bisik bertanya-tanya siapa gerangan cowok asing setinggi jerapah yang digeret Seungwoo ke teritorialnya, dirinya langsung berpura-pura sibuk dengan sendok makannya. Jelas semuanya heran, ini Han Seungwoo, pentolan 12 IPS 1 yang terkenal ogah-ogahan dengan siapapun yang mendekatinya. Dia malah datang sendiri dengan sandera cowok manis dengan dekik lucu yang sebelah kanannya lebih dalam.
Lain lagi ketika yang lebih tua muncul di depan pagar rumah Byungchan yang sudah 2 hari absen sekolah karena demam—bunda yang sedang menyiram tanaman menyuruhnya masuk ketika Seungwoo memperkenalkan diri sebagai kakak kelas Byungchan dan memanggil anak bungsunya untuk turun, ada temen kamu ini dek sini turun, begitu kata bunda, tidak sadar sedang mengumpankan anak terkecilnya ke mulut buaya, kalau ini jelas kata Byungchan.
Byungchan buru-buru menuruni anak tangga dengan langkah sedikit tergesa. Dia tidak biasa membuat orang menunggu terlalu lama—walaupun dia tidak ingat membuat janji dengan siapa-siapa, jadi sebisa mungkin ia bergegas menemui temannya.
Setelah melihat sosok menyebalkan yang dikenalinya tengah bersandar di pintu mobil sembari menunduk memperhatikan ponselnya malah membuat Byungchan memperlambat langkahnya jadi ogah-ogahan.
Sedetik kemudian lelaki berkulit pucat itu mendongak dan tersenyum ketika manik matanya menangkap sosok Byungchan yang tengah berdiri, bersedekap beberapa langkah dari tempatnya berdiri.
Si yang lebih tua kemudian beranjak mendekati Byungchan yang masih berdiam di tempatnya semula, wajahnya masam sekali, lucu menurut Seungwoo.
“Hai, Chan.” Sapanya.
“Ngapain sih lo, sore-sore bukannya di rumah malah kesini.” Gerutunya, Seungwoo malah tersenyum lebar seperti orang sinting.
Adegan itu terjadi begitu tiba-tiba.
Byungchan tidak pernah menyangka bahwa tangan Seungwoo akan bergerak secepat kilat untuk menyentuh keningnya dengan punggung tangan kirinya begitu jarak mereka hanya terpisah satu langkah kaki panjangnya.
Tubuh yang berdiri kaku. Jantung yang berdebar. Dan mata yang membulat sempurna.
Seungwoo tersenyum, lagi. Kali ini bahkan laki-laki itu memiringkan kepalanya untuk menatap mata Byungchan secara terang-terangan.
“Muka lo pucet banget, Chan. Udah minum obat belum sih?”
Byungchan hanya mengangguk pelan, terlalu bingung dengan situasi yang sedang terjadi. Seingatnya mereka tidak sedekat itu untuk lelaki dihadapannya melakukan, errr... maksudnya untuk bertindak senatural itu seolah mereka sudah berteman lama. Yikes...apanya yang teman lama, selama mereka kenal saja yang ada tiada hari tanpa mereka bertengkar di sekolah maupun di chat.
Karena pada kenyataannya mereka berdua masih orang yang cukup asing bagi satu sama lain dilihat dari segi manapun.
“Earth to Byungchan yang cerewet.”
Lelaki yang lebih muda itu mengerjap-ngerjapkan matanya.
“IH LEPAS.”
“Ngapain sih pegang-pegang,”
“Abis lo diem aja,”
“Lo nggak keliatan kayak orang demam, kok nggak masuk sekolah lagi?”
Lagi. Seungwoo tersenyum, kepada Byungchan yang dalam hati malah merutuki tangan 'kurang ajar' si lebih tua yang baru saja merapikan anakan rambutnya. Darahnya berdesir dengan begitu cepatnya mengalir ke kedua belah pipinya. Pemilik lesung pipi sedalam palung itu merasa panas disekitar wajahnya.
Sial.
“Emang demam kok semalem, udah minum obat makanya udah nggak panas.”
“Hmm-mmm.” Seungwoo mengangguk-angguk.
Fiuh... akhirnya. Batin yang lebih muda ketika Seungwoo menegakkan tubuhnya.
Tapi, seakan belum cukup mempermainkan kerja jantung Byungchan sejak tadi, dengan santainya lelaki itu menarik tangan Byungchan untuk membawanya mengitari bagian depan mobilnya sebelum membukakan pintu bagian penumpang dan memberi sinyal agar si lebih muda segera naik.
“Eh eh mau kemana, lepas ih mau kemana sih, ngga mau ngga mau, nanti dicariin bunda!”
Byungchan memprotes saat Seungwoo tetap mendorongnya untuk segera naik ke mobil.
“Udah masuk aja, tadi udah ijin bunda mau ngajak lo jalan-jalan sebentar, nyari angin biar nggak tiduran terus di kamar.”
Dan sore itu dia benar-benar diajak berkeliling ke pinggiran kota yang masih rindang pepohonan dengan jaket abu-abu Seungwoo yang tersampir dibahunya, menghalau angin sore di musim penghujan itu.
Setelah sore itu sikap menyebalkan yang lebih tua sedikit melunak. Terkadang dirinya hanya memanggil-manggil Byungchan, seperti saat ada 3 on 3 dadakan di lapangan basket beberapa minggu lalu. Saat semua guru kelas 12 ada rapat dengan kepala sekolah. Namun panggilan-panggilan Seungwoo itulah yang membuat Byungchan malah ogah menanggapi.
Siapa coba yang nggak salting dipanggil, “Byungchan manis”, “Sayang mau kemana”, “Woi jangan gangguin pacar gue lagi sakit gigi” (ini betulan dia sakit gigi karena Seungwoo ngasih coklat silverqueen chunky bar almond 10 buah, dititipkan ke Yuqi saat pekan olahraga sekolah yang tentu saja direbut paksa makhluk-makhluk tidak tau malu di kelasnya, menyisakan 3 buah yang kemudian dilahap Byungchan sambil menonton tayangan ulang film kesukaannya di tv)
Banyak yang bilang Seungwoo suka Byungchan, tapi yang lebih tua gengsi memperlihatkan perlakuan senormalnya remaja yang sedang naksir seseorang makanya dia menganggu Byungchan agar perhatian cowok manis itu hanya untuk dirinya.
Tapi tidak menurut Byungchan. Buktinya setelah berbagai gangguan-gangguan menyebalkan, ya terkadang Seungwoo juga berbaik hati memberikan camilan-camilan dan mengantarnya pulang saat ada ekskul, tiba-tiba Seungwoo berubah. Iya berubah.
Biasanya ada chat isengnya yang masuk di jam jam tertentu, kadang ada dirinya yang muncul mengusili Byungchan sampai siswi dikelasnya menggosipkan Byungchan pakai susuk untuk menggaet Seungwoo. Susuk palalo mletak, sungut Byungchan yang dibalas tawa puas Seungwoo yang hampir tersedak oreo McFlurrynya suatu malam di teras rumah Byungchan.
Iya, Seungwoo sering ke rumah Byungchan tanpa di undang, anehnya ayah dan bunda tidak pernah melarang cowok itu bertamu, bahkan kadang dia diajak makan malam bersama. Belum lagi kakak-kakak Byungchan yang terlihat sangat akrab dengan kakak kelasnya itu. Byungchan kadang sampai kesal sendiri karena tidak ada yang memihaknya ketika Seungwoo menggodanya habis-habisan, didepan keluarganya sendiri pula!
Seungwoo juga tidak pernah lagi kelihatan berkeliaran di area kantin kelas 10, padahal dia bilang kalau bakso kantin situ paling enak dan dia sangat suka, makanya sering kesana dengan teman-temannya, kadang dengan Seungsik, Sejun, Seungyoun atau Jinhyuk. Byungchan jadi ikutan akrab dengan mereka.
Tidak ada lagi telepon iseng tengah malam saat Byungchan sedang mengerjakan tugas. Dulu kata Seungwoo dia sengaja menelpon karena mau menemani Byungchan belajar, anggap saja radio, yang benar-benar dianggap radio oleh yang lebih muda karena Seungwoo suka menyanyi, suaranya bagus sekali. Ini jujur, Byungchan mengakui dan memberi dua jempol untuk suara dan lagu-lagu yang dipilih Seungwoo.
Hal itu terus berlanjut sampai tau-tau sudah pengumuman kelulusan.
Byungchan sudah naik kelas 11, di 11 IPA 2, terpisah dengan kawan-kawan akrabnya di kelas 10. Tapi untungnya dia masih sekelas dengan Hanse juga Kukheon yang setia mendengar keluh kesah Byungchan.
“Galauin bang Seungwoo lo ya.” Ledek Hanse, ini dari kelas 10, kalau dilihatnya Byungchan tidur-tiduran tidak jelas di pojok belakang.
“Lo suka sama bang Seungwoo itu Chan.” Ia ingat ini omongan Yohan yang katanya kerap memperhatikan interaksi keduanya. “Lo tuh nggak keliatan benci sama dia, tapi lo sebel aja sama caranya buat dapet perhatian lo.”
“Dapet perhatian apaan orang dia gangguin gue mulu.”
“Dih dibilangin ngeyel banget lo. Tuh ngaca deh muka lo asem banget semenjak kak Seungwoo nggak pernah keliatan lagi, biasanya nempel banget kan lo bedua, dimana-mana ribut kaya tom sama jerry.”
Byungchan jari termenung mendengar semua perkataan teman-teman dekatnya.
Tidak bisa dipungkiri kalau dia memang sudah terbiasa dengan kehadiran Seungwoo, yang kadang menyebalkan dan tidak jarang juga menjadi penyemangatnya kalau dirinya sedang tidak mood belajar.
Dia bahkan tidak sempat mengatakan selamat saat kelulusan yang lebih tua, karena dia merasa mereka sudah seperti dua orang asing lagi.
Maka ketika dia dengar Seungwoo diterima di salah satu universitas negeri di luar kota, dia sudah pasrah.
Minggu-minggu awal di kelas baru digunakan Byungchan sebaik mungkin dengan beradaptasi. Tidak sulit, mengingat pergaulannya sangat luas jadi banyak wajah-wajah familiar di kelasnya, tapi memang tidak sedekat Yuvin dan lain-lain.
Sore itu Byungchan sedang menyiram tanaman didepan rumah, disuruh bunda setelah dirinya bertengkar dengan kakak perempuannya karena digoda. Makanya masih kecil gausah pacaran-pacaran, putus galaunya kayak ayam kesambet kan. Byungchan kesal, jadi dia balas meneriaki kakaknya itu hingga mereka adu mulut dan didengar bunda yang sedang membuat pesanan kue kering di dapur.
Bunyi klakson mobil tidak dihiraukan, pasti ayah, pikirnya, lagi pula gerbang depan terbuka lebar jadi dia tidak perlu beranjak kemana-mana.
“Byungchan,”
Selang airnya terjatuh. Byungchan mematung saat mengangkat wajahnya.
Dihadapannya ada Seungwoo, mengenakan kaos hitam polos dan celana jeans kesayangan yang biasa dipakainya kemana-mana.
Yang lebih tua tersenyum. Manis sekali. Sampi ulu hati Byungchan terasa sakit. Karena dia rindu senyuman itu, juga senyuman jahil Seungwoo yang biasanya.
“Hei Chan, apa kabar?”
Apa kabar katanya?
Setelah hampir 4 bulan, dia tanya apa kabar?
Yang lebih muda tersenyum kecut lalu berlari meninggalkan Seungwoo di halaman depan tanpa sepatah kata pun.
Secepat kilat dia menaiki tangga, masuk kedalam kamarnya dan membanting tubuhnya di kasur. Wajahnya dibenamkan di selimut tebalnya dan Byungchan menangis tersedu-sedu. Pilu sekali kalau didengar.
Ada yang membuka pintu kamarnya. Ah dia lupa menguncinya tadi. Pasti kakak perempuannya atau bunda.
Byungchan sudah tidak peduli kalau nanti dia diolok-olok lagi oleh kakaknya. Sekarang dia hanya ingin menangis sampai puas.
Dia kesal bukan main, dia kesal, sebal, sedih juga rindu. Semuanya tumpah begitu saja dipelupuk mata saat melihat Seungwoo tersenyum. Dadanya sakit sekali karena dia berusaha menahan suaranya agar tidak meraung-raung.
Surainya diusap lembut, lembut sekali rasanya hingga Byungchan merasa mulai tenang. Rasa ini familiar, seperti saat Seungwoo mengusap kepalanya saat dia ketiduran di kelas beberapa bulan lalu. Ah Byungchan rindu sekali.
“Chan, kakak minta maaf.”
Byungchan tidak salah dengar. Ini suara Seungwoo, jadi yang mengusap rambutnya sudah pasti yang lebih tua. Pantas saja jari-jarinya terasa berbeda dengan bunda atau kakak perempuannya.
“Kakak tau udah jahat banget menghilang tiba-tiba, tapi ijinin kakak jelasin sekali aja boleh ya? Abis itu kamu mau benci atau nggak mau ketemu kakak juga nggak apa, tapi kasih aku kesempatan ya buat jelasin?”
Byungchan bangkit dari posisi tengkurapnya. Menatap Seungwoo yang ternyata dari tadi berjongkok disamping tempat tidurnya, dengan binernya yang kini memerah, air mata masih mengalir dan bibirnya yang sedikit bengkak mencebik.
Seungwoo jadi ingin menciumnya, tapi diurungkan karena itu tidak sopan pikirnya. Apalagi yang membuat Byungchan menangis adalah dirinya. Tidak tahu diri namanya kalau dia malah mencium yang lebih muda.
“Nggak.”
Sebuah kata yang keluar itu membuat hati Seungwoo mencelos, sepertinya dia menorehkan luka yang tak termaafkan sampai-sampai dirinya tidak pantas menerima sebuah kesempatan untuk sekedar menjelaskan alasannya menghindari Byungchan. Ia egois, benar, benar sekali. Tapi Seungwoo juga ingin Byungchan tau alasan sesungguhnya agar tidak ada kesalahpahaman diantara mereka.
Hah, Han Seungwoo, udahlah, lo tuh bisanya bikin nangis anak orang doang.
Jadi ditatapnya sosok yang lebih muda dihadapannya lamat-lamat, wajahnya yang sembab, hidung dan mata yang merah dan bibir yang mencebik menahan tangis dia rekam baik-baik dalam memori.
“Kakak minta maaf ya sekali lagi, kakak ngerti kalau kamu nggak mau diganggu.”
Byungchan mencekal pergelangan tangan Seungwoo saat cowok itu beranjak, hendak meninggalkan kamarnya yang pintunya terbuka lebar.
“Mau kemana?”
“Pulang? Kakak nggak mau ganggu kamu lagi.”
“Nggak boleh.”
Seungwoo bingung.
Byungchan mulai menangis lagi jadi Seungwoo buru-buru jongkok dihadapannya dan memegangi tangan Byungchan yang tidak menutupi wajah.
“Hei, Chan, jangan nangis lagi, please, jangan nangis ya?”
Tidak ada hasil.
“Katanya kamu nggak mau denger penjelasan kakak, kok kamu nangis lagi? Kamu mau pukul kakak? Ayo pukul aja kenceng-kenceng, gapapa, kakak pantes dipukul.”
“Nggak mau.”
Jawabnya disela-sela tangis.
“Terus kakak harus gimana? Kakak pergi aja ya daripada kamu makin kesel?”
“Nggak boleh pergi lagi, pokoknya nggak boleh ngilang lagi, aku nggak mau. Kakak jahat banget gantungin aku kemaren, terus sekarang muncul lagi ngapain kalo ujung-ujungnya pergi lagi? Ngapain kakak panggil-panggil aku sayang, manis apalah itu? Kamu pasti mainin aku aja kan? Jahat banget sih jadi orang—”
Seungwoo mengecup Byungchan sekilas. Mata yang lebih muda membola sempurna dan omelannya berhenti.
“Kakak sayang banget sama kamu Byungchan, kamu jadi pacar kakak ya?”
“Apa-apaan! Katanya mau pergi? Sana pergi, nanti aku bilangin bunda kakak cium-cium aku!”
“Nggak, kamu sekarang pacar kakak titik. Soalnya kamu sendiri yang bilang nggak boleh pergi lagi.”
“Nggak mau, ini pemaksaan!”
“Orang kamu yang minta kok tadi, katanya jangan pergi.”
“NGGAK!”
“Kamu dari tadi manggil aku kakak lho, Chan, nggak manggil nama doang apalagi pake lo-gue, sadar nggak?”
Byungchan jadi terdiam dan mengingat-ngingat.
“Nggak tau.”
Seungwoo tertawa keras sekali lalu menarik Byungchan dalam pelukannya, mengungkungnya dengan kedua lengannya erat-erat.
“Kakak sayang banget sama kamu tau Byungchan, kakak nggak bakal pergi lagi. Janji.”
“Bohong. Lo mau kuliah di luar kota kan, itu berarti ninggalin gue. Udah lepasin, sana pergi aja yang jauh.”
“Nanti kamu nangis lagi,” ledeknya yang dihadiahi cubitan di perutnya.
“Ampun ampun, duh galak banget pacar gue.”
“Siapa pacar lo? Ngarang!”
“Choi Byungchan pacar gue pokoknya, pacarnya Han Seungwoo.”
“Aku.”
“Hmm?”
“Pacar aku, bukan gue. Katanya pacar masa pake gue-lo?”
Seungwoo semakin mengeratkan pelukannya dan mengecupi pipi Byungchan berkali-kali.
“Tadi katanya nggak mau,”
“Mau...”
“Apa nggak denger?”
“MAU IH.”
“Hahahaha gitu dong.”
Seungwoo memisahkan diri lalu menatap Byungchan dengan senyum merekah.
“Mau jalan-jalan sore nggak sambil aku ceritain alesab kenapa kemaren aku ngilang?”
“Beli chatime.”
“Sama silverqueen 2,”
“Nanti kamu sakit gigi.”
“Yaudah nggak mau.”
“Iya iya chatime hazelnut choco large topping grass jelly sama silverqueen chunky bar almond 2.”
“Sana ambil jaket biar aku pamitan sama bunda sama kakak.”
Saat Byungchan hendak berdiri Seungwoo kembali mengecup bibir merahnya sebelum berlari keluar kamar degan tawa yang terdengar sangat bahagia.
“HAN SEUNGWOO NYEBELIN!!!”, teriaknya.
“HAN SEUNGWOO PACARNYA CHOI BYUNGCHANNN”
Byungchan mendengus sebal dan menghentakkan kakinya ketika kakaknya menyahut dari seberang kamarnya.
Astaga, dia lupa kalau mereka dirumah.
“Tapi emang pacar gue sih.”
Ucapnya dengan senyum lebar hingga matanya membentuk satu garis lucu.