delunairee

“Sayang.” Jake berbisik pelan, menciumi belakang telinga sang istri yang tidur di sofa dekat boks bayi. Sunghoon mengeryit, membuka mata sesaat lalu memejam lagi melihat Jake tengah duduk memainkan surai lembutnya. “Tidur di kamar yuk, aku temenin.”

“Nggak.” Jake menunduk, telunjuknya memencet hidung mungil Sunghoon yang langsung dapat pukulan tidak suka.

“Aku gendong ke kamar, mau?”

“Nggak.”

“Terus maunya apa dong biar aku nggak kesepian di kamar? Kan Niki udah tenang bobo sendiri di kasurnya.”

“Kamu udah gede, udah tuir, gausah manja-manjaan kayak Niki. Sana, sana, sana! Berisik, ganggu orang cantik tidur.”

Seringai Jake mengembang, mendekatkan bibirnya ke lipatan leher Sunghoon sambil berbisik seduktif. “Aku ngga bisa, Sayang. Masa iya aku main sendiri? Lebih enak ditemenin kamu.”

Sunghoon berbalik memunggungi Jake, wajahnya ia benamkan diantara lipatan sofa sembari menggumam kecil. “Biarin. Tidur aja sendiri, kalo nggak gitu sama Sunoo Jungwon. Aku mau tidur nemenin Niki aja. Dada aku sakit.”

“Mau aku bantu pijitin supaya nggak sakit?”

Sunghoon bergerak tidak nyaman, Jake memasukkan tangannya demi menggapai puting kerasnya.

“Nggak mau, Jake!” Ia berusaha menarik keluar jemari nakal suaminya dari balik piyama merah marun, hingga tawa singkatnya membuat Sunghoon mendelik bangun. “Kamu apa-apaan sih? Aku nggak mood buat ngelayanin kamu! Aku masih kesel sama kamu, asal kamu tahu!”

“Galak banget sih, sayangnya mamas.”

“Jijik, mamas mamas. Kamu udah berumur gausah sok narsis mentang-mentang lebih muda dari aku. Anak juga udah tiga, pantesnya kamu tuh dipanggil aki-aki.” Sunghoon melirik sengit, terduduk bangun membenarkan piyamanya yang lungset.

Jake menarik senyum, meraih pipi gembil istrinya untuk dicubit gemas, tapi Sunghoon lebih cepat menghindar.

“Anak-anak tadi nangis sebelum bobo. Mereka ngerasa bersalah karena nggak nurut sama kamu.”

“Terus kamu bilangin apa?” Sunghoon menoleh, suaminya masih sibuk terpesona memandanginya. Kali ini dia tidak boleh percaya dengan tipu daya Jake, apalagi ketika sepasang obsidiannya menggelap sayu menghunus miliknya, seperti memohon meluapkan sesuatu padanya.

“Aku bilangㅡ” Jarak satu lengan menipis, Sunghoon membeku ketika hangat nafas Jake menyentuh kulit leher telanjang yang tidak tertutup kain. “Biar Papa aja yang minta maaf ke kalian. Sesekali jadi anak pembangkang itu bagus biar kayak Ayahnya waktu masih bocil.”

“Gitu? Bagus biar kayak Ayahnya? Besok-besok kamu gausah tidur di kamar. Tidur di gudang selamanya, mau?”

Jake tampak tidak takut, menyampirkan lengannya melingkari pinggang Sunghoon dan merapatkan duduk mereka. “Jangan dong, Sayang. Masa iya aku bilang gitu ke anak-anak? Aku kan cuma godain kamu biar nggak tegang.”

“Ah, udahlah. Aku gedek lama-lama liat kamu.” Sunghoon mendorong Jake menjauh, memekik keras saat kedua kakinya sudah melayang dari tanah. Sembari melirik Niki yang tidak bereaksi apa-apa, hatinya legaㅡmemukul dada suaminya hingga meringis.

“Sakit, beb.”

“Lagian pake gendong aku segala. Turunin atau aku bakal laporin ke polisi!”

“Buat apa emang?”

“Pelecehan.” Gelak tawa Jake menggelegar, melangkah keluar kamar Niki dan membawa Sunghoon ke ruang utamaㅡkamar mereka.

Satu kakinya naik ke ranjang, membaringkan Sunghoon yang otomatis berada di bawah kuasanya. “Coba aja. Nanti kalo ditanya salah aku dimana, aku bilang suka ngelecehin mantan guru les yang sekarang statusnya udah jadi istri bocah SMA.”

“Aku yang nggugat, ya terserah aku dong mau kamu dipenjara atau nggak.”

“Mana mungkin kamu berani nggugat aku karena masalah pelecehan. Yang ada kamu entar kangen aku, nggak ada yang bisa ngangetin kamu apalagi mandiin kamu kalo lagi males.”

Sunghoon berdecak, “Kamunya ngeselin. Aku bisa jagain anak-anak tanpa kamu kok. Nggak masalah.”

“Hei, sayang…”

Hmm?”

“Masih marah karena masalah anak-anak tadi?”

“Menurut lo?” Sunghoon mendesis, melepaskan satu lengan Jake supaya tidak mengukungnya dan tidur menyampingㅡmengabaikan suaminya.

“Masalah gitu kok diperberat sih? Aku nggak belain anak-anak atau kamu. Aku sayang sama kalian. Sesekali kan gapapa kasih anak waktu buat nikmatin sesuatu yang bikin mereka seneng. Ngga bisa orang tuanya doang yang bahagia kalo anaknya enggak. Anggep aja, aku nyuruh kamu makan bubur tanpa lauk tiap hari supaya kuat, tapi tiba-tiba aku kasih kamu cokelat sampai bikin kamu seharian mau makan itu terus saking bosen sama bubur. Anak-anak juga gitu. Coba aja dibuat jadwal kapan mereka harus makan sayur dan enggak.”

Helaan nafas Sunghoon terdengar teratur, tidak seperti sebelumnya. “Tapi sayur kan penting. Anak zaman sekarang itu susah disuruh makan sayur. Bahkan dari balita kalo mereka kebanyakan dicekokin jajanan kemasan, mereka bakal abai sama yang namanya sayur seumur hidup.”

“Hei, udah ya, lupain soal makan sayur. Memang nggak gampang buat ngingetin anak-anak, tapi kamunya juga nggak bisa terus ngambekan kayak gini atau pake suara keras kalo lagi negasin mereka. Sunoo Jungwon udah ngaku salah nggak nurut sama kamu, jadi sekarang lupakan aja masalah ini dan tidur. Besok kamu ada jadwal ngajar 'kan? Mau masalah ini kebawa terus sampe besok?”

Dijawab gumamam rendah hampir selaras angin, Sunghoon masih enggan berbalikㅡJake memutar otak supaya pendamping hidupnya ini bisa menatapnya dan mereka menghabiskan malam dengan rengkuhan, bukan memunggungi satu sama lain.

“Terus kalo udah nggak marah, kenapa masih hindarin aku? Sini dong, peluk mamas. Masa akunya dianggurin dan malah milih pelukin guling?” Jake berusaha menarik guling sepanjang kakinya yang sudah merebut posisinya, menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Sunghoonㅡhingga si istri melenguh karena geli.

“Jek! Geli ishh! Jangan suka cium-cium leher aku! Kek cicak aja nempel-nempel!”

“Aku bukan cicak. Masih ada yang lebih bagus daripada cicak.” Jake tidak menggubris, malah menendang jauh-jauh guling di pelukan Sunghoon, merengkuhi pinggang sempitnya.

“Terus apaan? Kadal?”

“Tokek.” Yang paling tua berusaha tidak tersenyum, kukuh pada pendirianㅡtapi Jake meniup kulit lehernya hingga bunyi mirip kentut terdengar membuatnya tidak bisa lagi menahan gelakan.

“Jake! Jangan kayak gitu! Jelek tau bunyinya! Emang kulit leher aku balon apa, bisa ditiupin? Entar kalo aku segede Bibi Merge melayang-layang di udara, kamu nggak bisa kelon sama aku lagi, mampus.”

“Nggak papa, entar aku taliin biar nggak kemana-mana. Kamu udah menetap di hati aku mana mungkin bisa lepas segampang itu.”

“Gausah gombal, geblek.”

Sunghoon tidak tahan lagi, melepaskan belitan Jake dan berdiri di ujung kasur sambil lidahnya menjulurㅡmenantang laki-laki Shim di atas ranjang mereka untuk beradu.

“Oh, kamu berani sama aku? Ngejek aku? Kamu kira aku nggak bisa nangkep kamu sebelum milih lari dari kamar atau ke toilet?”

“Enggak. Kaki aku lebih panjang daripada kakimu. Jelas bakal lebih cepet aku lah.” Jake tergelak, mendadak bangkit cepat menggoda Sunghoon yang panik karena tidak mau ditangkap.

“Hiyee, beraninya cuma ngejek. Tapi pas digertak malah takut, gimana sih? Aku kan cuma mau duduk.”

“Aku nggak takut kok. Aku bicara fakta, lagipula sejak kapan kamu bisa menang dari aku? Suami nggak akan pernah menang dari istri, kamu salah satunya.” Lagi-lagi Sunghoon memeletkan lidahnya, berancang pergi dari kamar, meliriki Jake yang masih duduk dengan santaiㅡtidak goyah akan ucapannya.

“Oke, aku kalah dari kamu. Tapi jangan berdiri di situ dong. Masa iya kita mau tidur kamunya hindarin aku. Sini, sayang. Aku nggak nggigit kok, paling nyubit.” Satu tangannya menepuk sisi ranjang yang kosong, memasang wajah lelah karena sikap Sunghoon yang terlalu sulit untuk diajak damai.

“Nggak mau ah. Shimsimi Jake itu nggak bisa dipercaya. Siapa yang bisa jamin kalo aku bakal selamat kalo ngikutin ajakan kamu? Dari awal juga udah mencurigakan.”

Sunghoon tidak bergerak, tidak pula memaling dari Jake, bersiap menerima serangan yang mungkin bisa datang kapanpun.

“Jadi beneran pengen aku kejar? Kamu sungguhan pengen nantangin aku ya?”

“YA! NGGAK, NGGAK, NGGAK! JAKEE!” Di luar dugaan, ia malah memekik keras sewaktu Jake tanpa bicara melompat dan sudah berdiri menghadang jalannya. Otomatis tumit kakinya terseret mundur, mencoba berbalik lari melewati kasurㅡtapi tidak sampai 5 menit, Sunghoon sudah masuk ke pelukan Jake.

“Kena! Sekarang siapa yang menang, huh?!”

“Jake, please! Ampun!” Tawa Sunghoon menggelegar, mereka jatuh ke lantai kayu dengan Jake berada di atasnya. Menggelitiki pinggangnya sampai di titik mereka saling diam menyadari posisi intim, lalu menghela nafas bebarengan.

“Aku pernah bilang ke kamu kalo senyum kamu itu duniaku. Aku nggak cuma beruntung milikin kamu, tapi juga senyum kamu. Memang kadang kamu itu terkesan galak, agak susah nerima pendapat, tapi kamu beneran sosok yang nggak bisa sehari aku lupain. Ibarat minum obat ada dosisnya, aku tergila-gila sama kamu sampai lupa dosis. Mulai besok jangan marah-marah lagi ya, apalagi pake suara keras ke anak-anak atau maksa mereka nurutin semua kemauan kamu. Biarin mereka seneng. Toh, kamu punya aku buat lampiasin kemarahan kamu sama mereka.”

“Aku sayang kamu, aku rindu kamu, aku cinta kamu. Nggak ada yang bisa nyamain cinta aku ke kamu, sekalipun anak-anak.” Jake menarik telunjuknya, menyentuh hidung gemas Sunghoon dan mencubitnya pelan.

“Kamu kayak bonekanya Niki, Rudolph si hidung merah tiap kali marah. Nggak mempan sama sekali buat aku kicep. Malah aku makin seneng godain kamu.”

Bibir pink Sunghoon mengerucut, alisnya menyatu tidak senang. “Kenapa Rudolph? Aku kan pangeran negeri es yang baik hati dan bijaksana!”

“Kalo gitu, aku raja yang nyium pangeran es dong? Kan aku ganteng, banyak black card, bisa kasih kamu keturunan.”

“Nggak lah! Mending juga Rajanya Jay, lebih muda dari kamu, lebih tinggi, jempol kakinya gak pendek, bibirnya gak suka dimanyun-manyunin tiap selca dan nggak kayak uke-uke kalo lagi karaokean.”

Mendengar nama laki-laki lain disebut, Jake mendelik tidak suka.

“Gitu ya kelakuan kamu sekarang. Mau diapain nih sehabis ngejek, ngerendahin dan ngebandingin suami sendiri sama suami orang lain? Minta nggak bisa jalan sampai besok, hmm?”

“Boleh.”

Spontan Jake terbatuk ludahnya, menoleh ke Sunghoon yang sudah mengalung manja dengan senyum sensual. “Udah lama ladangnya nggak ditaburin benih lagi sama kamu. Aku kangen kamu. Hampir sebulan, kamu bikin aku kesiksa pengen dijamah.”

“Kamu ngasih izin nih ceritanya? Biasanya langsung ngamuk dan ujung-ujungnya mukulin wajah aku sampe bonyok.”

“Enggak. Sekarang giliran kamu bikin aku bonyok. Kalo perlu sampe aku nggak bisa jalan ke sekolah besok. Aku bakal minta izin sakit nanti.”

Jake tersenyum. “Beneran?”

“Ya! Jake! Gausah pake segala basa-basi ngapa sih? Biasanya juga langsung nyosor kek burung onta. Kalo nggak gercep, aku bakal berubah pikiran nih?!”

“Eh, iya, iya, Beb. Sabar. Aku nafas dulu, barusan nggak bisa nafas. Sesek.”

Sunghoon memutar bola matanya kesal, menarik tengkuk Jake hingga mereka saling melumat sebelum melepaskan sepihak.

“Cepetan! Keburu Niki bangun, mampus kita berdua berhenti di tengah-tengah!”

“Abang, adek, dimam dulu sayurnya atau Papa nggak akan kasih izin jamah es krim di kulkas.” Sunghoon menyipit tegas melihat Sunoo Jungwon menyisihkan sayur hijau ke pinggir piringㅡmenggeleng tidak terima protes ketika si sulung menyatukan kedua telunjuk meminta kesempatan tidak makan sayur sehari, sedangkan satu lagi kicep dan merosot dari duduknya.

“Nggak. Papa nggak akan biarin kalian skip sayur. Itu penting buat daya tahan tubuh. Siang tadi Papa denger dari wali kelas kalo kalian nggak makan siang, tapi milih jajan di minimarket. Papa nggak seneng kalo Sunoo Jungwon udah pandai bohong kasih alasan ke Papa udah mam sayur dan malah minta dijajanin cokelat sama permen.”

Sunghoon mengaduk bubur tim, menyuapkan ke mulut Niki, sebelum mengambil alih sendok makan kakak adik di depannyaㅡmendorong sayuran ke tengah dan mencampurnya dengan nasi ayam.

“Papa, Jungwon gasuka sawi.”

“Ho'oh, Hyung juga nggak suka batangnya sawi.”

“JANGAN BANTAH PAPAA!”

Papa tiga anak itu seketika diam membeku, masih tidak lepas memperhatikan dua putra tertuanya merengek hampir mau menangis.

“Kenapa sih? Kalian nggak suka masakan Papa? Mau nggak usah Papa masakin lagi? Makan seadanya, nggak usah pilih-pilih.”

Jake yang baru kembali setelah menyeruput teh hangat mengusak kepala Sunoo Jungwon, meminta mereka membereskan piring dan pergi sikat gigi sehabis makan.

“Kenapa sih? Sekali-kali mereka nggak makan sayur sehari kan gapapa. Lagipula hampir tiap hari mereka dikasih sayur sama kamu dan Bibi kantin.” Jake duduk di samping istrinya, mengusapi punggung melemas Sunghoon yang sekarang sibuk menyeka mulut belepotan Niki.

“Nggak gitu, Jek. Aku cuma nggak suka anak-anak hobi cemilin jajan kemasan pabrik yang nggak sehat buat pertumbuhan mereka. Kamu tahu kan Sunoo Jungwon kayak gimana? Sekali mereka diberi kesempatan, selamanya bakal lupa sama makanan sehat kayak sayur.”

“Tapi kan nggak selamanya mereka harus konsumsi sayur terus. Biar mereka nggak bosen. Apa salahnya kasih mereka reward setelah rajin makan sayur selama ini, hmm?”

Sunghoon tidak menggubris, mengangkat mangkuk kosong dan membawa Niki bersamanya meninggalkan meja makan.

“Hah, marah lagi deh.” Jake tidak kaget melihat istrinya yang menghindar karena topik kurang menyenangkan, atau saat Sunghoon tidak bisa menerima pendapatnya. Masalahnya memang simpel, tapi Sunghoon tidak pernah menyelewengkan satu celah kecil yang berpotensi menciptakan kegundahan hatinya.

Setelah makan malam beres, Jake membantu Sunoo Jungwon mengerjakan tugas rumahㅡmenggantikan Sunghoon yang sepertinya sedikit tersinggung dia membela dua putranya dibanding dirinya.

“Ayah, maafin Jungwon sama Sunoo Hyung.” Si kecil anak tengah yang selonjoran di karpet tiba-tiba berdiri menariki ujung piyama ayahnya. Wajahnya menunduk, bibirnya menekuk ke bawah.

“Kenapa minta maaf?” Jake bertanya, mengelus pipi gembil Jungwon, tapi isakannya mengeras. Sunoo yang selesai membuat esai bahasa inggris juga ikut sesenggukan melihat adiknya dipeluk erat sambil menyesali perbuatan mereka.

“Huweee, Sunoo juga minta maaf.” Si sulung juga mulai terisak, menghambur ke pelukan ayah dan adiknya lalu menangis berjamaah.

Jake tertawa, menciumi puncak kepala Sunoo Jungwon yang meluapkan sedih bersama. Sunghoon memang terkesan tegas, tapi dua anaknya lebih tahu mereka punya salah karena tidak menuruti Papanya.

“Sunoo sama Jungwon lagi nggak mau makan sayur sehari karena bosen. Besok-besok kita nggak skip sayur lagi…huwaaa!”

“Ho'oh, Jungwon jugaa! Dedek nggak mau Papa marah. Nanti kalo Papa marah, Jungwon sama Hyung nggak dibeliin es krim, permen sama cokelat lagi.”

Telapak besar Jake terulur menyentuh wajah dua anak laki-lakinya yang berdiri berdampingan di depannya, mengusap hidung mungil memerah mereka satu persatu sebelum berjongkok mengajak bicara.

“Hei, Papa nggak marah kok sama kalian. Papa hari ini cuma kesel aja dan capek karena habis pulang kerja, terus rawat Dedek Niki yang tiba-tiba rewel manja. Yang penting abang sama adek kan udah ngaku salah nggak nurutin Papa. Mending sekarang siap-siap bobo, besok bangun pagi, sarapan, terus minta maaf deh sama Papa. Mau 'kan?”

“Tapi nanti Papa nggak bakal marah dan pake suara keras lagi kan setelah Sunoo ama dede minta maaf?”

“Enggak dong. Percaya sama Ayah. Oke?”

Sunoo Jungwon mengangguk bebarengan, berlari kecil menuju kamar mandi menggosok gigi dan mencuci muka. Jake masih duduk di kursi belajar, memperhatikan putra-putranya yang mulai naik ke kasur tingkat untuk tidurㅡselagi ia memadamkan lampu kamar.

“Selamat tidur, sayang-sayangnya Ayah.”

Ciuman di kening mengakhiri pertemuan mereka hari ini demi menjemput mimpi indah. Jake menutup pintu kamar sambil tersenyum tipis.

Harinya selalu bahagia, tidak kurang apapun. Cuma satu masalah yang harus dibereskanㅡmembujuk Sunghoon. Itu seperti menuntun badak kembali masuk ke kandangnya.

Sunghoon menggeram frustasi, menaruh barang belanjaannya ke dalam mobil karena Demi Tuhan, ponselnya tidak henti bergetar mulai dari sejak masuk supermarket sampai selesai berbelanja. Nama 'Ayahnya krucil' terpampang di layar gawai mahalnya, selagi ia memastikan Sunoo Jungwon tidak absen masuk ke bagasi juga. Seperti kesepakatan yang sudah lama mereka buat, Jake tinggal di rumah merawat Nikiㅡberuang kecil mereka yang baru berusia 10 bulan, selepas pulang kantor.

Kebetulan, Sunghoon mendapat pekerjaan guru matematika tetap di SMA Yongsan tidak jauh dari sekolah dua putranya, jadilah dia bertugas mengantar jemput Sunoo Jungwon.

Sialnya, justru Jake malah merepotkannya. Bukan sekali memang, Sunghoon hafal tabiat suami mudanya itu. Tenaganya bisa dihabiskan bercinta hingga menjelang pagi, tapi soal mengurus anak walau cuma satu jam tenaganya cepat terkuras.

Hyung, itu telur cokelatnya Jungwon!”

“Mana ada. Orang aku yang ambil duluan! Ini punya Hyung! Kamu kan ambilnya chupa chups.”

“Ih, gamau jeli yang cicak!”

“Gaboleh, adeek. Ini tuh entar buat Niki yang beruang. Kan yang cicak gedean, kalo beruang kan kekecilan buat kamu.”

“Gamau…”

“Abang, adek, diem sebentar ya. Papa mau angkat telpon dari Ayah.”

Sunghoon memutar matanya malas, melirik adik kakak beda setahun yang berdebat lagi soal kepemilikan camilan setiap kali diajak mampir ke supermarket. Jari panjangnya menggeser list kontak, mencari panggilan tidak terjawab Jake lalu menghubunginya balik. Sembari merogoh dompet memastikan kantong uang itu ada dalam tas, Sunghoon mengapit ponsel di telinga kiri dan bahunya.

Hai, sayang, hhh…” Suara Jake parau, nafasnya tersengal. Bunyi cipratan air dan rengekan kecil Niki ikut menyahut dari seberang.

“Apalagi sekarang? Kamu kalo nggak bisa urus Niki, bilang aja kali Jek. Biar kita tukeran tugas. Kamu jemput Sunoo Jungwon, aku yang jagain Niki.“ 

Hehehe. Maaf, Sayang. Tadi beneran aku panik soalnya Niki tiba-tiba berak dan aku sempet lupa kasihin dia popok. Sekarang anaknya udah aku mandiin sekalian kok.”

Sunghoon memijat keningnya, mendesah pelan sambil memejam. “Yang bersih kalo bersihin pupnya Niki. Jangan kayak kemarin, kececer di lantai kamu nggak tahu.”

Tenang, Beb. Aku foto-in Niki lagi mandi nih.”

Satu pesan chat masuk, Sunghoon langsung bersemangat membuka roomchatnya bersama sang suamiㅡtapi tidak sampai satu detik, sipitnya mendelik melihat Niki duduk telanjang di bak cuci piring kesayangannya.

“Jek, kamu apain anak aku?!”

Ta-tadi Niki keburu pup duluan pas aku lagi siapin dia susu, daripada kelamaan akhirnya aku bersihin kotorannya di bak cuci piring sekalian mandi. Darurat banget soalnya. Tapi tenang Sayang, Nikinya malah kesenengan mandi di pancuran dapur.”

Padahal baru dua jam Sunghoon meninggalkan Jake bersama Niki, tapi kelakuan suaminya tidak bisa masuk di akal.

“YA, SHIM JAKE! ITU BEDA, GEBLEK! YA KALO KOTORANNYA CAIR GAPAPA, KALO PADET GIMANA? NGGAK NYUMBAT SALURAN BAK CUCI PIRING AKU APA? CEPET BERSIHIN ATAU AKU SMACKDOWN PAS PULANG!”

Panggilan ditutup cepat, Sunghoon menghela menenangkan urat-urat emosi. Ia sekarang tahu istilah jangan biarkan anak tinggal bersama ayahnya sering populer. Tidak ada sehari Jake hidup tanpa ceramah dari Sunghoon, apalagi soal mengurus Niki. Beruntung, Sunoo Jungwon lebih mudah dihandle daripada suami brondongnya.

Sedangkan di sisi lain, Jake tersenyam-senyum sendiri. Memandangi Niki yang dia dudukkan di atas sofa dengan belitan kimono mungil hadiah dari Kakek Jun ketika baru sampai di Korea setelah menetap sebulan di Jepang. Bau minyak telon dan bedak bayi menguar, usaha kerasnya mengasuh Niki beberapa jam membuahkan hasil. Walau kaos hitamnyanya penuh keringat dan tumpahan bedak, setidaknya Niki terlihat bagus di kamera.

Sunghoon pernah melarangnya memposting foto anak-anak di media sosial, tapi Jake tidak pernah mendengar dan tetap mengirim foto ketiga putranya di akun rahasia.

“Papamu galak, udah kayak singa hutan. Lebih enak juga sama Ayah 'kan? Nanti Ayah beliin mainan yang banyak, tapi jangan sampe ketauan Papa ya? Dia tuh pelit sebelas dua belas sama Bibi toko klontong ujung komplek.”

Niki merespon mesem, menunjukkan sepasang gigi gemas dan gusi ompong. Bayi bungsu Papa Sunghoon itu lebih mirip ayahnya daripada Sunoo Jungwon yang beringas makan gen ibunya. Jake gembira Niki mirip dengannya, secara statusnya hampir terancam sebagai yang membuahi

“Setelah ini Ayah bakal ajarin kamu nyelam di bathtub. Biar nanti pas besar jago nyelam sambil nyari kodok.”

Hoo.”

Aigoo, anak pinter. Anak Ayah jelas beda dari anak Papa. Niki kan anaknya Ayah Jeki.”

Ini pernikahan tahun ketiga Jake dan Sunghoon. Bukan hal yang gampang hidup dengan istri lebih tua atau lebih dewasa. Sunghoon sering meragukannya mengurus anak-anak karena kestabilan emosi dan tingkat lelah mereka di taraf berbeda. Kesangsian Sunghoon juga yang membuat mereka sempat menunda pernikahan dan tidak mendapat setuju dari calon ayah mertua, Park Seojun. Demi kesalahan yang sudah terlanjur dibuat, Jake tidak menyerah memperjuangkan cintanya.

Berkali-kali Sunghoon diberi iming-iming pria duda yang lebih kaya, Jake sempat potek. Tapi tetap saja dia merasa menang dan bangga.

Kalau ditanya, Jake pasti bilang : 'Lebih enak nikah sama laki-laki bujang daripada laki-laki duda brewokan. Gue juga udah jadi Ayah kandung anaknya Sunghoon, jadi mau apa lo?'

Sedangkan Sunghoon kalau ditanya kenapa semudah itu membiarkan perasaan batunya jatuh ke mantan anak SMA berandalan yang kurang ajar menyentuhnya sampai beranak 2, dia pasti menjawab : 'Soal akhlak, Jake emang dapet nilai F. Nikah sama yang berondong itu nano nano dan justru menantang dibanding nikah sama duda beringas. Kayak ada manis-manis gairahnya.'

“Sunoo-ya, liat jerapahnya tinggi!”

“Nanti pas besar kamu harus tumbuh jadi anak yang pemberani kayak harimau sama buaya.”

“Ngeliatin ibu panda lagi gendong anaknya, kayak kamu lagi gendong Sunoo. Ya gak?”

Bola mata Sunghoon memutar malas, Jake tidak berhenti menunjuk semua hewan dan memberi komentar. Padahal jelas-jelas Sunoo lebih memilih tertidur di tas gendong kurang dari satu jam setelah mereka sampai. Jadilah, Sunghoon seperti diajak berkencan di kebun binatang.

“Bahkan sekalinya Sunoo bangun pun, dia nggak bakal paham sama yang kamu omongin. Dahlah, mending juga rebahan di rumah.” Sunghoon mencebik, berlari menghampiri gerobak jajanan di taman khusus pengunjung. Sunoo masih tentram dalam gendongan, kesempatan bagus untuk modus.

“Sayang, kan aku udah bilang jangan keseringan makan manis. Liatin kamu aja perpaduan madu, gula sama surga. Ya kan, Ahjumma?”

Sontak Sunghoon melotot, menyingkirkan tangan Jake yang kurang ajar bertengger di pinggangnya. Bahkan laki-laki Shim itu mengerling, membuat keinginan Sunghoon meresignkan muridnya makin besar. Wanita tua yang baru menerima uang pas lantas tersenyum. “Aigo, pasangan muda zaman sekarang. Kalo saja Bibi nggak liat bayi itu di gendongan, Bibi mengira kalian masih pacaran.”

“Kami nggakㅡ”

“Kami nggak pacaran, langsung halal dari awal.” Sunghoon mencubit pinggang Jake, dihadiahi aduhan sakit.

“Sudah berapa lama kalian menikah?”

“Bibi, kami tidakㅡ”

“Baru setahun lalu, Bi. Tuhan memang sebaik itu. Keinginan saya jadi suami sekaligus ayah tercapai dalam satu tahun.” Sunghoon menggigit permen kapasnya, meletupkan lahar emosi.

“Apa kalian punya rencana anak kedua?”

Sudut mata Sunghoon mengarah ke Jake, mewanti jawaban nyeleneh yang akan keluar. “Ah, kami belum memiliki rencana karena putra kami masih terlalu kecil. Mungkin nanti. Kami sedang proses.”

Aigo, punya anak sebanyak-banyaknya juga tidak apa-apa. Toh, istrimu masih muda dan kalian terlihat bugar. Kalian bisa jadi pejuang generasi di Korea kalau punya anak banyak. Bibi doakan anak kedua kalian kembar, begitu juga ketiga dan keempat.”

Sunghoon mesem, senyumnya dipaksa. Mengiyakan orang tua itu membawa berkah, sekalipun dongkol. Setelah membeli permen kapas yang dia incar, Sunghoon berjalan mendahului Jake.

Ya! Aku bilang kamu bisa jadi suamiku seharian 24 jam tapi nggak begitu juga!” Sampai di tempat sepi, Sunghoon mencercah Jake dengan bentakan. Menodongkan permen kapas yang setengah habis.

“Emangnya ga boleh ya? Kan ga masuk di syarat.”

“Te-tetep aja ga boleh! Cuma kamu sama aku yang boleh tahu kita suami istri sehari ini! Orang lain enggak! Sok genit lagi ke Bibi tadi!”

Mendengarnya, Jake langsung tersenyum. Beda lagi Sunghoon yang menutup mulutㅡmengunyah sisa gula tertinggal di lidah seakan pernyataannya tadi bukan apa-apa.

“Kamu cemburu aku godain ibu-ibu PKK?”

“Mana ada! Aku nggak cemburu!” Sunghoon duduk di tepi air mancur sambil memakan permen kapas seperti makan sate. Alisnya menyatu, wajahnya memaling. Satu poin yang membuat Jake meletakkan hati pada guru gemas ini karena tingkah abstraknya. Kadang sikapnya bijaksana, sok dingin, jual mahal, tegas tapi aslinya lebih kekanakkan, manja, butuh perhatian dan belaian.

“Masa permen kapasnya dimam sendiri? Bahkan permen kapas aku aja udah tandas di tangan kamu.”

“Biarin! Beli aja lagi sana!” Satu gigitan Sunghoon mengakhiri kesalnya, menarik habis permen kapas merah muda dari tongkatnya hingga tidak ada sisa.

Jake berdecih, mendekat dengan satu uluran tangan menyentuh tengkuk Sunghoon. Mata sipit Papa Sunoo itu melebar, terkejut melihat Jake yang bergerak memakani satu persatu permen hingga bibir mereka akan bersentuhan. Entah refleks atau nyaman, Sunghoon memejamㅡJake mulai memakai lidahnya masuk ke dalam rongga mulut mencari rasa manis yang bersembunyi di bawah lidah.

Suasana sepi seolah mendukung mereka melampiaskan hasrat tertinggal semalam karena Sunoo mendadak butuh asupan untuk lambung kecilnya. Jake melepaskan kontak bibir mereka, mengusap bibir gurunya dengan satu ibu jari.

“Mau pulang? Kita lanjutin di rumah. Mumpung aku masih punya belasan jam jadi suami kamu.”

Sunghoon tidak menjawab. Pikirannya kalut, isi otak dan kesadarannya ditarik paksa keluar. Jake bukan seperti murid yang dia ajar pada umumnya, laki-laki 18 tahun itu memperlakukannya seperti ia lebih muda.


Jake terkikik geli, melirik Sunghoon yang sekarang tengah memandikan Sunoo. Dia baru mendapat bahan untuk dijadikan obat rindu ketika nanti dia pergi berjuang mendapatkan perasaan Papa Sunoo—foto Sunghoon ketika mencebikkan bibir yang dia ambil diam-diam melalui kamera ponselnya.

“Jake, bisa ambil sampo baru di rak?” Lantas secepat kilat ia menutup galeri, berlari mengambil sampo dan memberikannya pada Sunghoon.

“Mau aku mandiin juga?”

“Gausah, makasih.” Sunghoon mengusapkan sampo ke rambut putranya lembut, tidak sadar Jake duduk di samping bathtub tempat Sunghoon dan Sunoo berendam, tersenyum seperti orang gila, apalagi melihat kaos tipis Sunghoon yang basah menempel di tubuh rampingnya.

“Kenapa masih disini? Bentar lagi juga selesai mandi. Mending siapkan baju Sunoo sekarang.”

“Udah. Kan aku mau mandiin juga.”

Sunghoon memejam, meneleng ke arah Jake dengan wajah sangar. Sisi galak Sunghoon mulai muncul lagi tidak seperti tadi. “Apa kamu nggak denger? Bentar lagi Sunoo selesai mandi. Aku udah mandiin dia. Entar kamu lama, Sunoo bisa kedinginan.”

“Aku nggak mandiin Sunoo, aku mau mandiin kamu.”

“Ya! Pergi kamu, Jake!”

Jake langsung lari terbirit sebelum air hangat bekas sabun dan sampo mengenai muka gantengnya. Pipi Sunghoon memanas, Sunoo melihati wajah ibunya dengan raut polos. Sesekali menguap ketika rasa kantuk menghampirinya.

“Kamu jangan bubuk terus dong, Dek. Bantuin Papa yang dimangsa buaya planet mars itu. Kamu nggak sayang sama Papa? Padahal dulu susah payah Papa ngikutin kemauan kamu makan ini itu sendirian waktu hamil. Tapi sekarang pas lahir, kamu nggak bantuin Papa?”

“Sunoo mau jadi anak durhaka sama Papa?”

Ohhh...” Bibir mungil Sunoo menggumam, seolah menjawab kerisauan hati Sunghoon.

“Kamu mau Jake berandalan itu jadi calon Ayah kamu? Nggak mau 'kan? Jadi mending kamu bantuin Papa buat nggak molor semaleman. Nangis terus yang keras biar si blangsak itu nggak apa-apain Papa. Oke?”

Ayyayayayayayaa...

“Hei, kenapa malah manggil Ayah sih? Sunoo anak Papa 'kan? Manut sama Papa, ayo!”

Ayyayayayayayayaa...

Ya! Park Sunoo!”

Huwaaa!”

Berakhir Sunoo menangis. Sedangkan di depan pintu kamar mandi, Jake tertawa mendengar interaksi calon istri dan anaknya. Dia membayangkan masa depan bahagia bersama Sunghoon dan Sunoo beberapa tahun lagi. Dia tidak sabar menanti putra mereka belajar jalan dan berlarian di halaman rumahnya.

'Aku bakal berjuang, Sunghoon. Kamu pasti bakal lebih bangga punya suami kayak aku daripada di brengsek mantan suami kamu.'

'Aku juga bakal sematin marga Shim di nama kamu dan Sunoo setelah syarat ini selesai.'

Tubuh Sunoo masih berguncang, sesenggukan selepas menangis keras memandang wajah Jake dengan sisa air mata menggenang di bawa kelopak gemasnya. Bayi satu tahun itu paling suka tersenyum ketika orang lain menaruh perhatian padanya, mengemut jemari lucu saat popok basah bekas buang airnya diganti. Kaki-kaki gemuk dan mungilnya pun sudah bersiaga menendang kecil ketika celana panjang usai dipakaikan.

“Selesai. Sunoo laper ya?” Jake melirik Sunghoon yang tengah memakai baju handuk, merebus air di pantry dapur demi sebotol susu Sunoo.

Membayangkan kegiatannya di apartemen Sunghoon tiga jam lalu, hati Jake tergelitik untuk menganggu guru pacar kesayangannya.

“Sunoo botak diem ya, jangan kemana-kemana. Ga boleh naik turun kasur, manjat apalagi lari-larian kayak bayi gaib. Nanti serem, serumah takut lihat kamu.”

Mammaamaamaamm...

“Kenapa Sunoo gemes banget sih? Pengen gigit pantatnya sampe kempes. Jangan gemes-gemes ya? Ayah udah terlalu gemes sama Papa kamu, jadi jangan ditambahin entar diabetes. Sayangi Ayahmu yang masih terlalu muda buat mati, oke?”

Ayayayayyaaaya...” Sunoo dengan wajah polos, mengerjap-ngerjap berharap bisa mengerti perkataannya. Mata, hidung, bentuk bibir, semuanya mirip Sunghoon tanpa kecuali.

“Ah, kamu panggil aku Ayah? Doain aja ya. Papa kamu kayak batu soalnya. Cepet gede aja yuk, biar bisa jadi komplotan Ayahmu buat dapetin Papa.”

Jake mencium pucuk kepala Sunoo, bayi laki-laki itu bergerak abstrak menelan kepala teddy bear yang baru diberikan calon ayahnya untuk dieksekusi. Langkah kaki Jake mengendap, mendekati Sunghoon yang sekarang tengah sibuk memasukkan bubuk susu ke dalam botol. Refleks Papa satu anak itu berjingkat, apalagi ketika si brondong manis mendekap pinggangnya posesif.

“Jake, jangan ganggu. Mending kamu jagain Sunoo biar nggak lari.” Sunghoon melepas lengan Jake, tapi si murid blangsaknya malah makin menempelinya seperti lem.

“Emangnya Sunoo anak gorila apa? Udah aku iket di boksnya. Dia lagi mangsa beruang tadi aku liatin nyambi nungguin susu.”

Suasana berubah hening sejenak. Sunghoon fokus mengocok botol susu, menumpahkan setetes supaya bisa merasakan suhunya.

“Kenapa bayi botak itu dikasih nama Sunoo?”

“Karena waktu masih di perut, dia suka bikin Papa-nya nyemil mulu. Jadi namanya Sunoo.”

“Kayak nama kocheng oren.”

HEH! Kalo kamu ganggu, mending diem atau susu panas ini muncrat ke muka kamu!”

“Galak banget sih, Saem.” Jake tersenyum, menyandar di bahu Sunghoon melihat cupang merah hasil karyanya di leher putih Papa Sunoo. “Kalo muncratnya sesuatu yang lain, gapapa sih. Asal bisa angetin kamu.”

Sunghoon terkesiap, buru-buru mendorong tubuh Jake yang memang jauh lebih kekar darinya. “Apa nggak cukup yang semalem? Setelah ini mending kamu pulang, orang tua kamu khawatir. Dan lupain soal semalem, nggak ada apa-apa diantara kita selain guru sama muridnya.”

Tidak semudah itu, pekikan Sunghoon mengalun kencang tatkala Jake menariknya, mengangkatnya hingga terduduk di atas meja dapur. Bahkan botol susu Sunoo sudah menghilang tergeletak di lantai.

“Bahkan setelah nggak melawan dan mendesah keenakan di bawah jamahan muridmu, kamu masih sombong dan jual mahal? Mau sampe kapan? Sampe kamu hamil anak kedua dari aku?”

Sunghoon terbahak, “Sampai kiamat dateng.”

Bibir Jake merapat, merasa usahanya meyakinkan gurunya sia-sia. Sunghoon masih tidak bergeming atau memohon di bawah kakinya. Padahal perasaannya sudah kentara, tidak bisa dibohongi. Dia ingin Sunghoon, dia ingin Sunoo dan hidup bersama mereka berdua.

“Sunoo udah laper, minggir!” Bahu Jake didorong menjauh, Sunghoon memasang muka sebal sekaligus dinginㅡlebih galak dari semalam ketika dia menjemputnya di bar.

“Shim Jake!”

Jake mencekal kedua lengan gurunya, mimik mukanya bergetar seperti menahan sesuatu. “Kamu kira aku nggak capek apa bikin masalah sana sini cuma buat dapet perhatian kamu? Kasih aku kesempatan supaya bisa buktiin ke kamu kalo aku bisa jadi pemimpin keluarga. Aku nggak mau perasaan ini kebakar sebelah. Kamu bahkan nggak tahu degup jantung aku tiap kali ada di deket kamu.”

Sunghoon berusaha menghempas, menghindari Jake yang mendekatkan telapak tangannya ke dada bidang berlapis kaos hitam tipis bekas kemarin. Ingatan perut kotak-kotak kecoklatan punya Jake memenuhi memorinya, dia tidak ada hak untuk membayangkan tubuh muridnya.

“Aku bakal lakuin apapun, asal kamu bisa jatuh cinta sama aku. Aku nggak peduli status karena kamu udah jadi punyanya Shim Jake. Aku nggak bisa biarin kamu lepas. Kasih aku kesempatan. Apapun aku bakal lakuin asal kamu nggak nyuruh aku pergi atau nganggap cinta ini salah.”

Nafas hangatnya dibuang, Sunghoon memaling muka sebelum kembali menghadap Jake.

“Belajar sampai nilai ujian jadi yang terbaik, masuk SNU tanpa uang dari orang tua kamu, hidup sederhana, kerja part-time sampai bisa jadi pekerja tetap. Punya bisnis sendiri, sukses dan masuk deretan orang kaya seperti Ayah kamu. Setelah itu, aku bakal nerima kamu jadi ayahnya Sunoo.”

“Apa itu masuk syarat kamu mau nikah sama aku?”

Kepala Sunghoon mengangguk, walau dalam hati dia sengaja memberi Jake persyaratan gila supaya anak SMA itu tidak lagi mendekatinya. Dia tahu Jake, anak itu sulit menerima pelajaran sekuat apapun selama sesi bimbel privat.

“Kalo kamu nggak sanggup, kamu bisa mundur dari sekarang. Kamu harus tahu mantan suamiku punya perusahaan besar dan bisa kasih Sunoo apapun kalo dia nggak selingkuh atau cerai dari aku. Buktiin kalo kamu bisa ngelebihi dia. Jangan bikin aku malu.”

Sunghoon melompat turun, membiarkan Jake merenung dengan tuntutan yang dia beri. Tapi sebelum dia sempat meraih botol susu Sunoo, suara Jake memaksanya berhenti.

“Aku sanggup. Aku bakal berusaha sekuat kemampuan aku. Tapi syarat juga harus diikuti syarat lain.”

“Apa?”

“Aku pengen ajak Sunoo jalan-jalan. Aku pengen jadi ayah buat dia seharian.”

Tenggorokan Sunghoon serasa tercekat, berdeham melegakan ganjalan membuang takut karena Jake dengan enteng menerima syaratnya. “Oke. Tapi kamu harus pulangin Sunoo sebelumㅡ”

“Bertiga sama kamu.”

“A-apa?”

“Kamu ibunya Sunoo. Aku nggak akan bisa nge-handle Sunoo sendirian, kamu pun juga, sekalipun Sunoo bayi anteng. Aku pengen 24 jam habisin waktu sama kalian dengan kamu anggep aku suami kamu dan Sunoo anak aku. Gimana?”

Sunghoon menggigit bibirnya, mengeratkan genggaman di botol susu yang mulai terasa suam kuku karena terlalu lama dibiarkan. “O-oke. Cuma 24 jam, nggak lebih. Setelah itu, kamu harus tepatin syarat dan ketentuan yang aku kasih.”

Sunghoon tersenyum, memainkan genggaman kecil yang tidak lebih besar dari ibu jarinya. Seperti malam-malam sebelumnya, Sunoo tidak pernah rewel sekalipun dia sibuk dengan pekerjaan rumah. Putranya yang baru menginjak usia 8 bulan tidur damai dengan mulut mengecap lucu. Menggeliat pelan dan berakhir menghisapi jempol ketika eksistensi botol susu hilang dari indra pengecapnya.

Ada rasa syukur Tuhan memberkati wajah Sunoo mirip dengannya daripada muka si brengsek tukang selingkuh yang sekarang merangkap mantan suaminya. Sunghoon tidak perlu repot terbayang wajah Heeseung lagi setelah setahun mereka berpisah. Toh, mantan suaminya tidak peduli padanya dan Sunoo, bahkan ketika buah hati mereka belum melihat dunia.

Sekarang tinggal dia dan Sunoo. Setelah mendapat pekerjaan yang layak, Sunghoon membawa putranya hidup di apartemen sederhana tengah kota. Dia cuma tidak ingin sakit hati teringat kenangan dan cerita pernikahan mereka yang kandas jika masih tinggal di rumah pemberian Heeseung setelah bercerai.

Heeseung sudah hidup dengan keluarga baru, dia pun juga harus.

Drrt drrt

“Ssst...” Sunghoon mendesis pelan, mempuk-puk pantat Sunoo yang barusan terusik mendengar getar dari ponselnya di nakas. Buru-buru dia raih benda persegi itu dan berdecak sebal melihat nama 'Jake' ada di layar panggilan.

'Sialan, anak itu lagi. Kapan sih dia berhenti ganggu hidup aku sekali aja. Sekarang apalagi masalahnya?'

Sembari beranjak dari tempat tidur, Sunghoon mengikat baju handuknyaㅡberdiri di pintu balkon menunggu suara dari seberang telpon.

“Ya, Shim Jake, jangan menghubungiku melebihi jam 8 malam. Sunoo barusan tidurㅡ”

“Yeoboseyo? Apa anda Ibunya Jake-ssi?”

Mendadak bicara Sunghoon terputus, berdeham sekilas meredakan emosi sebelum balik bicara dengan nada lembut. “A-aku bukan ibunya. Aku cuma guru yang memberinya bimbingan belajar.”

“Ah, begitu? Maaf aku menelponmu, tapi di ponsel Jake-ssi cuma ada satu kontak dengan nama 'Eomma' dan aku tidak tahu jika itu bukan orang tuanya.”

'Si brengsek itu. Dia kira aku Ibunya apa?'

“Tidak masalah, Tuan. Ada apa tiba-tiba anda menelpon saya dengan ponsel Jake?”

“Saya hanya ingin meminta tolong. Saya tidak bisa melakukan apa-apa karena saya cuma bartender yang bekerja di club. Bisakah anda membawa pulang Jake-ssi? Dia mabuk berat dan saya yakin dia masih sekolah. Bukan apa-apa, hanya saja dia bisa terjerat masalah jika berhubungan dengan polisi. Saya juga tidak tahu bagaimana caranya dia bisa masuk ke club.”

Sunghoon mendesah sebal. Setelah kemarin masalah tawuran dan geng motor, Jake menjebaknya lagi dan merepotkan orang lain dengan mabuk-mabukkan lalu mengunjungi bar di bawah umur. Dia lupa mencatat berapa nyawa yang Jake punya sampai berani bertindak di luar akal sehat.

“Seongsaenim? Anda masih disana?”

Ah, ne! Aku masih disini.”

“Jadi, anda bisa membawa murid anda pulang? Jika iya, aku akan membantumu lewat pintu belakang. Aku khawatir penjaga tahu identitasnya dan murid anda bisa kena masalah berat.”

“Ba-baiklah.” Tidak ada opsi terakhir, Sunghoon tahu betul hubungan anak SMA jenjang akhir itu dengan keluarganya tidak cukup baik. Ia sempat berpikir akan menghubungi Nyonya atau Tuan Shim karena ia berstatus guru les privat putra tunggal mereka, tapi dia tidak akan gegabah. Dua kasus lalu, Jake menderita pukulan dan siksaan keras sampai kadang matanya tidak bisa membuka saking terluka.

Paling parah, anak laki-laki itu masuk rumah sakit karena cedera penganiayaan, tapi respon ayahnya hanya, “Biarkan anak itu merasakan deritanya, Saem. Jake perlu dikasari supaya ingat kelakuannya. Paling juga setelah cederanya sembuh, dia bakal berulah lagi seperti biasa.

Aish, merepotkan! Gimana kalo Sunoo bangun? Akh, bisa gila aku!”

Sunghoon segera membuka lemari, mengganti pakaian dan berjalan mengendap keluar kamar. Sembari menuruni tangga apartemen, dia terus merapal doa supaya bayinya tidak bangun selama dia keluar. Bisa gawat, apalagi Sunoo mulai pandai merangkak naik dari boks bayinya.

'Anak berandal sialan itu! Mengganggu waktu orang tidur dengan kelakuannya lagi!'

Rutinitas pagi Jake setelah bangun tidur adalah olahraga lalu membuat sarapan, seperti roti bakar, sandwich, telur atau sosis. Jika ia tidak punya banyak waktu, ia hanya akan menyeduh teh atau kopi. Namun, segala aktivitas pagi itu mendadak buyar saat Jake melangkah keluar kamar.

Benar-benar merusak mata.

Ah, dia lupa kalau semalam mengizinkan Sunghoon menginap di apartemennya. Jika diingat-ingat, kenapa ia bisa dengan bodohnya mengizinkan Sunghoon tinggal walau semalam?

“Tidak, tidak. Tidak bisa!”

“Ish, tega sekali. Kalau aku bertemu orang jahat di jalan bagaimana? Apa kamu mau melihatku muncul di berita karena mendapat perlakuan kriminal? Kudengar pelaku pemerkosaan dan jual beli manusia mulai berkeliaran setelah petang,” ujar Sunghoon seperti akan menangis.

Melihatnya, Jake menggeram frustasi. Sekali lagi, ia melirik Sunghoon yang masih menatapnya dengan wajah memelas plus menyedihkan minta dibantai.

“Lalu hubungannya denganmu apa? Kamu laki-laki 'kan? Tetap tidak, sekarang pergi dari apartemenku!”

“Ck, ayolah! Masa kamu tega membiarkan aku menginap di pemakaman malam ini? Aku pernah melakukannya sekali dan itu benar-benar sangat mengerikan!” paksanya sambil mencebikkan bibir.

Jake mulai dilema. Dia memikirkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi kalau dia menerima atau menolak permintaan itu. Meskipun resikonya lebih banyak, tapi ia juga tidak ingin Sunghoon mendapat tindakan berbau kriminal. Hari sebentar lagi menjelang malam, kasihan juga si Park dekil jika harus berjalan kaki ke Busan.

“Benar cuma sehari?” tanya Jake ragu.

“Ne!” sorak Sunghoon bersemangat. “Aku janji akan segera pergi dari sini. Bibi tidak akan tega mengusirku lebih dari sehari.”

“Ba-baiklah, hanya sehari.” Mendengarnya, bibir Sunghoon melengkung lebar, menghambur ke pelukan dan mengecup pipi Jake kilat.

“Gomawo, kamu memang teman terbaikku!”

Jake buru-buru mengusak pipi kirinya jijik, mengingat semalam membuatnya emosi. Ia berancang akan memaki si dekil, tapi bingung harus mulai darimana. Aduh, kepalanya hampir meledak melihat ruang tengah berubah menjadi kapal pecah. Sunghoon tidur dengan sebelah kaki naik ke sandaran sofa. Belum juga sehari tinggal di apartemen ini.

Namun bukan itu yang membuat Jake ingin menenggelamkan Sunghoon ke Antartika, melainkan bekas bungkus makanan ringan dan kaleng minuman yang berserakan di mana-mana. Jelas sekali si aneh Park membongkar seluruh isi rumahnya.

Dengan kedua tangan terkepal menahan amarah, Jake melangkah ke sofa. Sunghoon masih tampak damai dalam tidurnya. Dia bahkan memakai sandal di atas sofa, benar-benar tidak bisa dibiarkan.

“YA!” bentak Jake mentoel-toel bahu Sunghoon dengan telunjuk. Tubuhnya ia julurkan ke belakang sedikit supaya tidak mencium bau-bau aneh dari tubuh Park Dekil. “WOI, DEKIL, BANGUN! SUDAH PAGI!”

Refleks Jake mundur ketika Sunghoon menguap lebar-lebar. “Ada apa sih, ribut-ribut?”

“Sudah pagi. Kamu bilang hanya menginap semalam,” balas Jake dengan ekspresi datar. Untung emosinya berhasil ia redam.

“Pagi?” Sunghoon langsung duduk mengeryit mendapati cahaya menyilaukan dari arah jendela. “Ah, padahal aku baru tidur beberapa jam.”

“Aku tidak akan menuntutmu karena sudah menghancurkan isi kulkas dan rumahku tanpa izin. Kalau kamu pulang sekarang, aku tidak akan melaporkanmu dan aku akan menganggap ini semua tak pernah terjadi.” Jake melipat kedua lengannya di dada. Ia tidak sedang mengancam, hanya ingin bersikap tegas saja.

Sunghoon mengerucutkan bibir sambil menggaruk kepala.

“Apa aku harus pulang sepagi ini, teman? Aku tidak biasa keluar rumah dalam keadaan begini.”

Jake yang melihat penampilan Sunghoon yang masih sama seperti semalam tertawa, “ Tidak biasa? Apa maksudmu? Bukannya kemarin kamu juga datang dengan pakaian ini? Jadi, apa salahnya jika pulang dengan pakaian yang sama?”

“Ish, kemarin kan tidak ada yang melihatku selain kamu! Dasar!”

“Jangan bicara aneh-aneh. Kamu bukan ninja atau semacamnya. Jadi sekarang lebih baik kamu pergi dari apartemenku.”

Sunghoon mendengus sambil menggeleng, “Bukan begitu. Aku sengaja mengikutimu sampai car dealer kemarin dan menyelinap masuk ke dalam mobilmu sampai tiba di apartemen.”

“APAA?!” Dengan polos Sunghoon mengangguk. Wah, sepertinya ia harus membersihkan bagasi mobilnya setelah si dekil bersembunyi disana.

“Jadi, bisa antarkan aku pulang?”

Jake yang belum selesai dengan keterkejutannya seperti ditimpa batu dari atas. Dia ngeri membayangkan Sunghoon ada bersamanya setelah dirinya kembali dari restoran daging. Meskipun kejadian semalam sudah berlalu, tetap saja bulu kuduk Jake berdiri.

“Aku tidak mau mengantarmu pulang,” tolak Jake cepat. Lelaki sejati tidak akan mengulangi kesalahan yang sama dua kali, ingat itu.

Wae?” Sunghoon tampak kecewa.

“Aku ini seorang dokter dan tidak punya banyak waktu untuk mengantar siapapun pagi-pagi begini.”

“Kalau begitu, izinkan aku mandi sebelum pulang. Aku tidak akan keluar dari apartemenmu dengan pakaian begini.”

Mendengar penawaran itu, Jake langsung mengeryit. Dia hanya tidak menyangka kalau Sunghoon masih memperhatikan penampilan juga. Apa tadi dia bilang? Mandi? Jake langsung melirik rambut lepek, gondrong dan berketombe Sunghoon. Ada baiknya juga sih Park dekil membersihkan diri.

“Tapi, aku hampir terlambat.” Jake mengamati jam dinding dan baru sadar jika waktu sudah menunjukkan pukul setengah 7 pagi. Jam kerjanya pukul 8.

“Memangnya kenapa? Apa aku memintamu memandikan aku? Sudah, percayalah padaku. Aku pasti akan pulang setelah mandi. Kamu berangkat kerja saja.”

Tidak langsung menjawab, Jake terdiam. Terjadi perang batin dalam dirinya. Dia ingin meninggalkan si dekil sendirian di apartemennya, tapi ia jelas-jelas ragu melihat apa yang terjadi pada apartemennya dalam satu malam.

“Janji tidak akan macam-macam?” Jake ingin memastikan dan Sunghoon menyambutnya dengan anggukan yakin. Hanya mandi kan? Setelah itu Sunghoon berjanji akan pergi dari rumahnya.

“Kalau begitu, kamu bisa pakai kamar mandi di kamarku.”

Semoga saja tidak terjadi masalah setelah ia pulang kerja nanti. Jake yakin seratus persen jika ia tidak akan membuat kesalahan dengan meninggalkan Sunghoon sendiri di apartemennya.


Jake melepaskan stetoskop, tersenyum mengusap pelan rambut jamur Jio, pasien pertamanya semenjak pindah ke rumah sakit cabang Jeonju.

“Kondisi Jio baik-baik saja selama dia tidak melakukan aktivitas yang berat. Tolong pastikan juga Jio meminum obatnya dengan teratur, banyak minum air dan makan yang bergizi,” jelasnya. Si Ibu tersenyum lega mendengar pernyataan Jake.

“Dokter, Jio ndak mau minum obat. Obatnya pahit. Jio juga mau main sepak bola sama teman-teman.”

Jake menarik kursi di samping ranjang, memandang wajah pucat Jio. Ia sebenarnya juga tidak tega memberikan obat berbagai macam merek dan bentuk pada anak kecil berusia 6 tahun ini. Tapi keadaannya berbeda, jantungnya tidak cukup kuat membawanya bertemu teman-teman atau melakukan aktivitas luar ruangan yang beresiko.

“Jika Jio mau, Jio boleh main sama dokter di rumah sakit setiap kali check up. Nanti dokter akan temani Jio bermain atau mendengar cerita Jio. Bagaimana?” tawar Jake.

Ini juga sebagai salah satu ajang mendapat kepercayaan dari pasien. Ketidakberuntungannya dilahirkan dengan penyakit jantung bawaan membuat Jake iba. Bersyukur ia menjadi dokter kini dan bisa membantu Jio bertahan hidup dengan jantung lemahnya.

“Dokter mau jadi teman Jio?” Jake mengangguk.

“Yey! Jio punya teman!” soraknya gembira. Nyonya Lee ikut tertawa melihat kelakuan putranya sambil sesekali membungkuk berterima kasih pada Jake.

Setelah kepergian Jio dan ibunya, Jake duduk di kursi kerjanya. Memang ruangannya sekarang tidak besar jika dibandingkan di Seoul, tapi suasananya benar-benar nyaman dan sejuk. Jeonju hampir dipenuhi dengan perbukitan dan gunung, membuat udara terasa lebih alami dibanding ibu kota yang penuh gedung pencakar langit.

Ngomong-ngomong soal Jio. Ia jadi ingat anak kecil seusianya yang pernah ia tolong ketika kabur dari rumah. Ia lupa namanya, tapi masih sedikit jelas di ingatannya. Bagaimana kabar orang tuanya yang bertengkar waktu itu ya? Ia berharap semoga saja anak itu tidak bernasib sama dengannya yang kehilangan kedua orang tua.

Ah, tiba-tiba jadi rindu masa-masa hidup di panti asuhan dulu. Terasa lebih menyenangkan dibanding tinggal bersama keluarga angkat. Iya, kan?

Drrt drrt

Di tengah rasa rindunya pada rumah sederhana tempatnya tinggal dulu, ponsel Jake tiba-tiba berdering. Ia geser tombol hijau di layar dan menempelkan benda persegi panjang itu ke telinga.

Yeoboseyo?”

Selamat pagi, Shim Jake-ssi. Kami dari Anjeon Groups, perusahaan asuransi properti yang bekerja sama dengan Jeonjubay Reed Field, gedung apartemen tempat anda tinggal.

Mendengar sambutan pembuka dari penelpon di seberang panggilan berhasil membuat jantung Jake berdebar. Untuk apa perusahaan asuransi properti tiba-tiba menghubunginya? Itu bukan pertanda yang baik 'kan? Sambil memikirkan segala kemungkinan yang berhubungan dengan tempat tinggalnya, Jake menegakkan tubuhnya di kursi.

“Ya, ada yang bisa saya bantu?”

Begini, kami baru saja mendapat telepon dari pihak Jeonjubay. Kami hanya ingin memastikan apa benar Shim Jake-ssi adalah penyewa apartemen dengan nomor 309?

Ne, ne. Itu memang apartemen saya.” Jake menelan ludahnya cemas, “Memangnya apa yang terjadi?”

Kami baru saja mendapat kabar jika bagian dapur apartemen anda mengalami kebakaran. Jadi kapan kami bisa melakukan perbaikan?

“Perbaikan apa?” Jake masih belum sadar, tapi seketika bayangan Sunghoon muncul dalam pikirannya. Jangan bilang—

“KEBAKARAN KATAMU?!”

Perjalanan Seoul ke Jeonju hanya membutuhkan waktu 2 jam dengan kereta. Setelah mengurus semua kepindahannya dibantu Jay dan Jungwon, akhirnya Jake benar-benar hidup di kota kecil yang jaraknya hampir 200 kilometer dari Seoul. Ia tidak tahu apa-apa sejak kedatangan pertamanya disini, tapi ia dengar dari Jungwon jika ada tempat makan daging enak di Jeonju.

Beruntung sekali walau profesinya dokter, ia tidak buta arah. Lumayan bisa digunakan beradaptasi di lingkungan barunya ‘kan?

“Inikah tempatnya? Kelihatannya nyaman.” Jake menyimpan ponselnya dan mulai masuk ke restoran dengan papan kayu bertuliskan Galbisal. Suasananya tidak terlalu ramai karena ini masih siang. Biasanya restoran daging akan ramai ketika menjelang sore ke malam. Dari luar, Jake bisa melihat sepasang pria dan wanita paruh baya sedang berdiri di depan kasir entah tengah memesan atau membayar makanan mereka. Selebihnya hanya ada pria tua yang duduk di pojok ruangan menikmati supnya.

Begitu pasangan suami istri tadi keluar, Jake langsung melangkah masuk. Ia melirik ke setiap sudut rumah makan yang didominasi kayu jati berwarna cokelat gelap. Baik sisi kanan, kiri dan tengah dipenuhi kipas angin yang berjarak, membuat suasana makin sejuk. Tidak salah Jungwon memilih tempat ini.

Prang!

Namun ketika Jake hendak melangkah menuju meja kasir untuk memesan, dia langsung dikagetkan suara teriakan diikuti lemparan panci dari dapur yang nyaris mengenainya. Sepasang mata Jake mengerjap melihat tutup panci yang masih berputar tidak jauh dari kakinya. Ia langsung mengurut dada karena masih diberi keselamatan, tapi ia seketika berjingkat saat melihat seorang pria berpenampilan dekil tengah berlari ke arahnya. Lalu muncul juga ibu-ibu tua dengan daster merah berteriak di belakangnya sambil memegang sutil. Jake hanya bisa membeku menyaksikan pemandangan ajaib itu.

“YA! Sampai kapan kamu akan membuat onar, hah?!”

“Bibi, aku tahu aku salah! Tapi bisa tidak jangan pakai kekerasan! Pundakku sakit tahu!” rengeknya sambil mengusap pundaknya yang baru saja kena pukul sutil bekas memasak daging.

“Kamu selalu saja bicara begitu, tapi sudah dua tahun kamu menyia-nyiakan hidupmu! Sampai kapan kamu akan terus begini, hah? Lebih baik kamu keluar saja dari rumahku!”

“Aku tahu aku bersalah, Bibi. Maafkan aku!” mohonnya sambil memegang kedua bahu wanita tua tersebut, sedangkan si ibu hanya menggerutu lalu menghempaskan tangan si laki-laki dekil.

“Sekarang buktikan ucapanmu! Cepat layani dia!” kata wanita tua, menatap lurus pada Jake. “Sampai aku melihatmu melakukan kesalahan lagi, kamu akan tahu akibatnya!” ancamnya.

Jake yang sadar jika wanita pemilik restoran melihatnya langsung tersenyum kikuk. “Ah, silakan saja jika ingin dilanjut. Aku tidak masalah.”

Si wanita tua menggeleng, “Maafkan aku dan keponakanku. Tidak apa-apa. Kami sudah selesai.”

Setelahnya si wanita bertubuh gembul tadi berbalik dan melenggok anggun memasuki dapur, sedangkan keponakan laki-lakinya membuntut sambil menghentak-hentakkan kakinya kesal.

“Wah, itu tadi sungguhan?” Jake hanya bisa melongo. Lupakan soal ucapannya barusan soal Jungwon yang tidak salah memilih tempat. Baru datang sudah mendapat sambutan meriah dari panci dan tutupnya. Jake akhirnya memilih duduk di pojok ruangan, takut kalau ada blender atau semacamnya ikut melayang keluar dari dapur.

Beberapa saat kemudian, anak laki-laki yang tadi dipukuli Bibinya datang membawa dua porsi daging besar beserta pemanggangnya.

“Kurasa aku hanya pesan satu porsi daging,” Jake mengingatkan karena tak ada lagi pelanggan selain dirinya disana. Pria tua yang tadi duduk di pojokan pun sudah tidak ada.

Laki-laki kurus bersweater biru itu menatapnya galak. “Kamu pikir aku tidak lapar begitu? Aku juga lapar sama sepertimu!” jawabnya sambil ikut duduk di meja yang sama dengan Jake. Tanpa canggung dan melirik Jake lagi, dia mulai memanaskan pemanggang lalu mencampurkan saus untuk daging.

Jake yang melihat tingkah pria di depannya entah mengapa hilang selera makan. Dalam sekali tebak ia tahu jika laki-laki tersebut sudah berhari-hari tidak mencuci dan memotong rambut hitamnya yang tampak lepek plus gondrong. Meskipun ia akui wajahnya masih putih bersih dan mulus tanpa cacat, tapi Jake bisa mengira setelan tak matchingnya—sweater biru dan celana training kuning—juga seperti lama tidak dicuci. Warna biru di pakaian atas pria itu kusam. Samar-samar ia bisa mencium bau tak sedap keringat bercampur asap daging dari tubuhnya.

“Kamu datang kesini untuk memberi makan lalat ya?”

Jake tersentak saat mendengar ucapan pria yang sekarang melahap daging ke mulutnya. Saking fokusnya ia memperhatikan pria di depannya, ia tidak sadar jika daging sudah masak.

“Tentu saja tidak,” bantah Jake cepat seraya mengangkat sumpit dan mengunyahnya terburu.

“Aku tahu kamu kaget mendengar pertengkaranku dan Bibi tadi. Dia memang selalu mendidikku dengan cara militer. Jadi, jangan heran kalau kesini kamu mendengar ucapan tidak bermoral keluar dari bibir wanita itu.”

“Ahh...” Hanya itu yang bisa diucapkan Jake. Sebenarnya, banyak yang ingin ditanyakannya. Mengapa pria itu sesantai ini duduk semeja dengan pelanggan, mereka ‘kan tidak saling mengenal sebelumnya? Hanya saja, Jake menahan keinginannya sekuat tenaga. Di matanya, pria ini adalah tipe manusia yang harus ia jauhi.

“Kamu dengar ‘kan, kalau dia tadi mengusirku dari rumahnya?” tanyanya lagi, sambil menuangkan air ke dalam gelas. “Dia tidak main-main dengan ucapannya. Kalau malam ini aku masih tidur di rumah wanita tua itu, dia pasti akan menyuruhku jalan kaki ke Busan, berdoa di kuburan Mama dan Papa, lalu memaksaku tidur disana semalaman.”

Mendengarnya saja Jake bergidik ngeri membayangkan kalau saja pria ini benar-benar harus menempuh perjalanan ribuan kilometer dengan berjalan kaki. Apalagi sampai menginap di pemakaman segala.

“Kamu keberatan tidak kalau aku menjadikanmu teman?” tanyanya tiba-tiba membuat Jake tersedak. Ia menggerakkan matanya kesana kemari. Sebenarnya ia ingin sekali pergi dari hadapan laki-laki ini, tapi urung saat melihat tatapan telisik diarahkan padanya.

“Namaku Park Sunghoon. Panggil saja Hoon kalau mau. Kamu tidak mau berkenalan denganku? Kamu tidak mau punya teman?” cercahnya seraya mengulurkan tangan.

Jake yang memang tidak bisa menolak punya teman akhirnya mengangguk tanpa merespon uluran tangan. Setidaknya setelah ia menghabiskan makanannya, dia tidak bertemu lagi dengan Sunghoon.

Lain kali juga, ia tidak akan berkunjung kemari hanya untuk makan daging. Sekalipun rasa daging dan saus racikan Sunghoon benar-benar enak.


Jake memarkirkan mobilnya tepat di basement. Benar-benar siang yang aneh. Baru saja hari pertama ia berada di Jeonju, tapi sudah menemukan orang paling unik sedunia. Siapa tadi namanya? Park Suhoon? Ya, anggap saja namanya begitu.

Ia memejamkan matanya. Kebiasaan buruk setelah makan adalah tidur. Sebagai dokter ia tidak memperbolehkan hal itu, tapi menyukainya. Setelah perjalanan dua jam lebih ke Jeonju dan makan di restoran daging tadi, Jay mengabari jika mobilnya sudah bisa diambil. Beruntung dia tidak jalan kaki sekembalinya dari car dealer.

Jake melepas sabuknya lalu berjalan pergi meninggalkan parkiran menuju lift. Angka di monitor masih menunjukkan angka 12. Sambil menunggu pintu lift terbuka, ia merogoh sakunya dan mulai memainkan ponsel.

Ting!

“Hai, teman.” Namun baru saja pintu lift terbuka, sesuatu berwarna biru dan kuning mendahuluinya masuk. Jake refleks mengangkat kepala dan hampir jantungan. Orang yang setengah mati ingin ia jauhi malah sudah berdiri di dalam lift, di sampingnya.

“Kenapa melihatku seperti itu?” tanya Sunghoon.

“Ka-kamu tinggal disini?” tanyanya, seratus persen meragukan pertanyaannya sendiri. Seumur hidup tidak pernah ia dapati pria sejorok Sunghoon tinggal di tempat mewah seperti apartemennya ini. Mendengar pertanyaan Jake, Sunghoon mengedarkan matanya. Jawaban Sunghoon berikutnya membuat dadanya sesak.

“Ya, anggap saja mulai sekarang aku penghuni apartemen ini.”

Demi apapun, Jake benar-benar tidak ingin bertemu Sunghoon, tapi mereka malah tinggal di gedung apartemen yang sama? Berapa banyak ketidakberuntungan yang ia dapat hari ini?

Apalagi melihat Sunghoon menggaruk-garuk kepalanya yang pasti gatal berat. Sekali lirik, Jake bisa melihat putih-putih yang ia kenal sebagai ketombe. Spontan Jake merapat ke dinding lift menjauh, takut-takut ketombe Sunghoon meloncat ke rambutnya.

Ting!

Ketika elevator sampai di lantai 9, Jake melirik lagi Sunghoon. Si Park itu masih berdiri dengan punggung menegak, bersenandung menggerakkan kakinya. Menyadari kalau Sunghoon tidak keluar di lantai yang sama dengannya, Jake merasa lega luar biasa.

Secepat kilat, Jake berlari melewati lorong dan menekan password apartemen. Tanpa menoleh, Jake langsung masuk. Sungguh, ia seperti melihat hantu tadi. Benar-benar membuat jantungnya maraton saking ingin menghindar.

“Yang tadi itu benar-benar,” umpat Jake.

Seraya melonggarkan dasi, ia melangkah menuju pantri meregangkan otot leher. Dibukanya kulkas 4 pintu menegak air dingin. Kerongkongannya kering, ia hampir tidak minum apapun setelah pulang dari restoran tadi. Ia berencana akan mandi setelah ini karena hari menjelang sore, lumayan juga perjalanan restoran menuju car dealer.

Namun, niatnya mandi tertunda karena bel tiba-tiba berbunyi. Ia ingat jika Jay akan mengirim orang membawa barang keperluannya selama di Jeonju. Tanpa repot melihat identitas tamu di layar interkom, Jake langsung membuka pintu.

“Hai, teman!”

Mendadak ia terkena serangan jantung. Bagaimana tidak, seseorang yang ternyata berdiri di depan pintu membunyikan bel adalah Sunghoon. Lebih kagetnya lagi ketika pria itu langsung menerjangnya, sehingga mereka berdua berakhir dengan posisi tergolek di lantai.

“YA! Apa-apaan?!” bentak Jake, meringis saat sikunya menghantam marmer keras. Tanpa mengucapkan apapun, Sunghoon bangkit dari atas tubuhnya dan berjalan ke ruang tengah. Jake tentu tidak terima, melotot ke arah Sunghoon yang memandangnya penuh arti.

“Kamu gila? Apa yang kamu lakukan tadi bisa membuatku masuk rumah sakit! Ani, itu tidak penting. Ada urusan apa kamu kesini, hah?!”

Sunghoon menggigit bibirnya, mulai memperlihatkan ekspresi bersalah. Ia hendak menyentuh siku Jake, tapi dihempas begitu saja. “Maaf, padahal aku hanya ingin membuat kejutan.”

Jake melebarkan matanya dan tertawa, “Aku bukan siapa-siapamu. Untuk apa repot-repot segala?” ujarnya. Tapi Sunghoon malah menggembungkan pipinya memelas.

“Kamu bilang kita teman.”

“Apa?!” Jake bergerak maju mendekati Sunghoon untuk mendengar ucapan pria dekil itu lebih jelas. “Teman katamu? Teman darimana?”

“YA! Kamu ini sama saja dengan yang lain. Baru juga tadi siang kita mengikrarkan pertemanan.” Sekarang giliran Sunghoon membentak. Ia menyilangkan kedua lengannya di dada lalu bertanya, “Masa kamu lupa? Kita baru bertemu beberapa jam yang lalu, tapi kamu lupa seperti sudah 10 tahun lamanya.”

Melihat Sunghoon yang seperti tidak terintimidasi sama sekali, akhirnya membuat Jake menyerah. Jangan salah paham, ia hanya tidak mau berdebat dengan orang asing apalagi Sunghoon.

“Baiklah, baiklah. Anggap saja kita berteman. Lalu apa? Apa hubungannya denganmu yang datang memberi kejutan?” Jake mengangkat ponselnya dan memperhatikan tanggal disana. “Ulang tahunku bahkan masih lama.”

Sunghoon berdecak dan berujar dengan entengnya, “Aku datang untuk menginap disini.”

“YA! Aku yakin aku tidak salah dengar. Menginap apa maksudmu?” Jake hanya ingin memastikan bahwa Sunghoon tidak sungguh-sungguh dengan ucapannya.

“Menginap. Bukannya sesama teman biasa melakukan itu? Mereka bahkan melakukan one night stand. Jangan norak begitu, dong.” Seketika, perut Jake mulas membayangkan berada di ranjang yang sama dengan Sunghoon. Meski topless sekalipun, ia tidak akan tergoda.

“Sehari saja, oke? Kamu dengar sendiri ‘kan kalo Bibiku mengusirku dari rumah. Aku tidak punya tempat lain. Kamu temanku satu-satunya.”

Sungguh, jika Jake punya kesempatan untuk menenggelamkan seseorang ke Antartika, ia akan membawa Sunghoon kesana sekarang juga. Teman satu-satunya dia bilang? Yang benar saja. Mereka bahkan baru bertemu 6 jam yang lalu. Jadi, apa itu artinya ia adalah satu-satunya teman Sunghoon? Itu pun bukan teman yang benar-benar teman. Astaga, melihat penampilan Sunghoon saja sudah semenyedihkan ini.

“Tidak, tidak. Tidak bisa!”

Jake memijat pelipisnya frustasi. Baru saja managernya mengatakan kalau ia akan dipindahtugaskan ke rumah sakit cabang di Jeonju.

Sejak awal dia tidak terlalu berharap banyak dengan posisi Cardiologist di kota kecil itu, upah yang ia dapat mungkin akan lebih sedikit daripada Seoul. Dia sudah bekerja 10 tahun di Seoul National Hospital dan mengabdi semenjak ia masih In House Training sampai akhirnya lulus jurusan kedokteran mengambil spesialis.

Managernya bilang ia akan mendapat karir yang lebih bagus ketika nanti ia bekerja di Jeonju. Tapi justru itu yang menjadi masalah. Jake hanya tidak biasa dengan kehidupan dan perubahan baru yang akan dia hadapi selama disana. Jika memilih Jeonju atau Busan, ia jelas akan memilih Busan.

BRAKK

Brother!”

Jake rasanya ingin mengumpat saat Jay membuka pintu dan menyerangnya dengan pelukan.

Walau sejatinya ia terbiasa dengan perilaku random Jay, tapi tidak sampai membuka pintu sekeras itu 'kan? Jake melepaskan pelukan Jay lalu bangkit berdiri dari sofa menuju kursi kerjanya—membuat Jay hampir jatuh terguling.

“Sambutan macam apa itu? Kenapa kamu dingin sekali padaku? Katanya kamu rindu pada adikmu? Tapi giliran aku sudah disini, kamu malah mendorongku,” gerutu Jay. Ia berjalan santai menuju meja Jake dan mendudukinya.

“Adikku? Tolong bedakan adikku dengan adik ipar yang menikahi adikku. Kita baru bertemu bulan lalu. Kamu ingin aku melakukan apa untuk menyambutmu?”

Jake protes, melempar berkas yang sedikit terlipat karena ulah pantat Jay yang menduduki meja. Ia menunjuk berkas itu lalu tatapan tajamnya ia arahkan pada Jay, memberi kode bahwa adik iparnya sudah menyebabkan masalah.

“Hehe, Sorry.” Jay terkekeh memainkan papan nama yang bertuliskan Jake Shim dan jabatannya sebagai dokter kardiologi sambil bersiul untuk menggoda kakak iparnya.

“Kepalaku pusing sekarang. Kamu tidak akan menggangguku 'kan? Jika ingin menemuiku diam saja disini.” Jake menyandarkan tubuhnya di kursi kerjanya dan menaikkan kakinya ke atas meja.

“Ada apa? Ada masalah dengan pasien?”

“Tidak. Hari ini mungkin hari terakhirku bekerja disini. Rumah sakit baru sedang di bangun di Jeonju dan sepertinya aku didepak dari Seoul ke Jeonju.”

“Syukurlah, setidaknya kamu tidak dipecat. Ngomong-ngomong kapan kamu akan pergi ke Jeonju?”

Jake berdecak. Bukannya membelanya, malah senang ia di depak dari rumah sakit pusat.

“Jika tidak ada tugas lagi setelah ini, mungkin aku akan berkemas dan berangkat besok pagi. Bagaimana denganmu? Perusahaan mobilmu berjalan lancar? Katamu kamu tidak lagi menggunakan arsitek lama untuk semua showroom mobilmu karena desainnya selalu mirip. Kamu sudah dapat arsitek barumu? Oh ya, Jay, meja itu bukan untuk diduduki.”

“Wah, tunggu, sabar. Jangan bertanya terlalu panjang. Aku butuh waktu untuk menjawab semuanya. Pertama, kabarku baik-baik saja seperti yang kamu lihat, begitu juga perusahaanku. Aku sudah menemukan arsitek baru walau pengajuan desainnya harus mundur. Oh ya, Shim Jake, meja juga bukan tempat untuk menaruh kakimu,” balas Jay sambil mendorong kaki Jake jatuh ke lantai.

“Ya, kamu mau coba-coba melawanku? Ini kantorku, jadi aku terserah harus melakukan apa!” Jake mulai tidak terima saat Jay balas dendam terhadap ucapannya barusan.

“Memang siapa takut? Aku yang akan menang.” Jay sudah bersiap melipat lengan kemejanya.

“Kemari!”

Jake menyeringai, ia bangkit dari duduknya dan menarik Jay ke lantai untuk berpura-pura meninjunya. Mereka bergelut seperti anak berusia tujuh tahun di atas karpet ruangan Jake sambil tertawa.

Sejak Jay menikahi adiknya, mereka berdua tak pernah akur dan selalu berakhir dengan pertengkaran kecil. Sekarang pun sepertinya masih sama, walau konteksnya bercanda.

Kini Jay yang berada di atas Jake dan ingin menunjukkan gaya gulat terbarunya sebelum suara ketukan di pintu membuat mereka saling memandang satu sama lain.

“Cepat rapikan kemejamu, bodoh! Kalau sampai ada yang melihat kita dengan posisi begini, mereka bisa salah paham!” ujar Jake yang segera menendang perut Jay pelan agar adiknya berdiri. Tapi sepertinya Jay berubah pikiran. Ia kembali menduduki perut Jake dan berteriak, “Masuk saja, tidak dikunci!”

“Mati aja kamu setelah ini, Park Jay!” Jake panik ketika pintu sudah dibuka dari luar. Namun untung saja orang yang masuk adalah tunangan Jay, Yang Jungwon.

Omo! Kalian sedang apa? Ya, Jake Hyung, jangan bilang orientasi seksualmu berubah!” Jay langsung tertawa ketika mendengar apa yang dikatakan Jungwon.

“Bukan begitu! Kami hanya bergulat—”

“Bergulat panas maksudmu, Hyung?” celetuk Jay. Jake spontan menggeplak kepala Jay dan segera berdiri, tidak peduli adik iparnya terguling ke lantai karenanya.

“Dasar kalian! Aku hanya ingin mengantarkan dompet Jay yang tertinggal di rumahnya tadi. Aku menghubungi perusahaannya, dia bilang jika bos besarnya pergi. Jadi aku langsung datang kemari karena pasti mainnya tidak jauh-jauh.” Jungwon memberikan dompet Jay pada pemiliknya itu dan membenarkan letak dasi calon suaminya yang berantakan.

“Terima kasih, Sayang. Bagaimana jika kita makan siang sekarang?” tawar Jay, mengecup pipi lalu bibir Jungwon tanpa mempedulikan kehadiran Jake.

“Hei, hei, kalian! Jangan bermesraan di dalam ruanganku. Pergi sana sewa kamar pasien!” sindir Jake.

“Diamlah, Hyung!” Jay langsung memberikan tatapan mengancam pada kakaknya. Hei, siapa yang lebih tua dan siapa yang lebih muda disini? Tapi walau begitu, Jake merasa sangat bahagia untuk Jungwon dan tunangannya, Jay.

Adiknya itu memutuskan tinggal bersama Jay dan merawat panti asuhan tempat ia dibesarkan dulu. Jungwon dan dirinya memang bukan saudara kandung, namun Jake menyayanginya seperti adiknya sendiri. Sekarang mereka sudah tinggal bersama keluarga angkat masing-masing dan menjalani profesi impian mereka.

“Ah, Jake Hyung juga bisa ikut makan siang bersamaku dan Jay kok. Ayo, Hyung. Kamu pasti lapar 'kan?” ajak Jungwon, membuat Jake tersenyum sumringah. Berbeda dengan Jay yang merengut.

“Wah, aku jadi tersanjung—”

“Tidak, tidak! Itu kan makan siang khusus kita berdua, Sayang.” Jay memotong kalimat Jake.

“Siapa bilang? Ini akan menjadi acara makan siang untuk merayakan kepindahan Jake Hyung. Ah iya, kapan kamu bisa datang ke panti asuhan lagi, Hyung? Anak-anak di sana sering menanyakan kabarmu,” beritahu Jungwon.

“Jika aku ada jadwal libur panjang lagi, aku akan menghabiskan waktu disana. Aku akan menghubungimu nanti ketika aku akan berkunjung. Terima kasih, Adikku tersayang.” Jake hendak memeluk Jungwon sebelum Jay menarik kerah kemeja si kakak ipar untuk menghentikannya.

“Jangan memeluk tunanganku sembarangan!”

“Memangnya kenapa? Ayolah, Jay, jangan jahat begitu! Ini style Amerika! Bahkan orang asing bisa saling memeluk satu sama lain! Come on, Man.” Jay buru-buru menarik Jungwon keluar ruangan saat Jake berusaha memeluknya kembali.

“Aku akan menemuimu nanti malam di apartemenmu, Hyung! Tapi sekarang biarkan aku berduaan dulu dengan Jungwon! Bye, Hyung!”

“Dasar bucin!” ejek Jake.


⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀⠀

Belum hilang kesalnya karena didepak ke Jeonju, tiba-tiba saja Jake harus dihadapkan pada kenyataan untuk menahan kesabaran. Bagaimana tidak, begitu ia tiba di lobi rumah sakit, ia melihat ibu tirinya sedang duduk menyilangkan kaki di kursi tunggu. Mau tak mau mereka akhirnya berbicara berdua di cafe rumah sakit.

“Ada perlu apa Mama kemari?” tanya Jake dingin. Jangan salah sangka, Ibu tirinya sekarang adalah ibu angkat kedua setelah sebelumnya meninggal. Jika disuruh memilih mana lebih baik ibu pertamanya atau kedua, ia lebih suka hidup bersama ibu angkatnya dulu.

“Apa kamu sudah memikirkan soal ucapan Mama minggu lalu? Kamu sudah menemukan seseorang untuk menjadi istrimu? Maksud Mama, kekasihmu?”

“Kenapa harus membahas itu lagi?”

Jake menyeruput kopi hangatnya dan menghela nafas. Sudah seratus kali sepertinya Nyonya Shim kedua ini memintanya menikah, menikah dan menikah. Ia sampai muak dengan segala hal tentang pernikahan dan keturunan yang dibicarakannya. Selama ini ibu angkatnya tak pernah menuntutnya lebih selain meniti karir dan impian yang besar.

“Sebentar lagi usiamu 32 tahun, Jake. Kamu akan selamanya hidup sendiri? Kamu ingin Mama mencarikanmu seseorang untuk kamu nikahi? Kamu anak tunggal di rumah kami dan Mama hanya ingin kamu hidup bahagia bersama seseorang. Lagipula Papa juga akan pensiun dan butuh kamu untuk melanjutkan bisnis rumah sakitnya.”

Jake menggigit bibir dalamnya kesal. Ia menautkan kesepuluh jemarinya menatap serius pada ibunya.

“Mama, aku tidak peduli soal cinta dan hubungan. Bagiku semua sudah berakhir. Aku dan Sunoo memutuskan pernikahan kami sebaik-baiknya, tapi apa? Seseorang yang Mama jodohkan denganku itu malah pergi meninggalkanku di altar pernikahan. Apa itu tidak cukup untuk membuat Mama berhenti? Aku sudah muak dengan hubungan cinta dan sejenisnya.”

“Jake!”

Tidak peduli dengan seruan Ibunya, Jake bangkit dan menyampirkan jas putih di lengan kanan, memandang dingin pada Ibunya dan berujar,

“Aku akan hidup dengan diriku sendiri dan apa yang aku pilih sendiri. Jadi, jangan coba-coba mengatur semua rencana hidupku. Jika Mama hanya datang untuk membicarakan itu, lebih baik tidak usah niat sampai mengunjungiku ke rumah sakit.”

Dengan langkah cepat, Jake meninggalkan ibunya dan menghembuskan nafas berat sesampainya ia di lift menuju ruang kerjanya.

Sepertinya ia benar-bebar harus keluar dari zona nyamannya sekarang. Jeonju mungkin terasa lebih baik daripada hidupnya di Seoul, walau karirnya di sana berada di ambang kejayaan dan tidak.

Kala itu hujan deras, Jaeyun tak membawa payung untuk pulang. Dia terpaksa menunggu hujan reda seraya memeluk kotak hadiah yang akan dia beri pada adiknya. Memang masih lusa, dia tidak sabar ingin membeli sekotak aksesoris di toko mainan sebelum habis. Jauh-jauh hari dia rela tidak makan di kantin dan lebih banyak menghabiskan waktu di perpustakaan untuk menghemat uang.

Usahanya tidak sia-sia.

“Sial sekali. Giliran membawa payung tidak hujan, tapi giliran lupa bawa payung kehujanan. Bakal lama menunggu hujan begini,” sesal Jaeyun.

Pantatnya dia dudukkan di kursi kemudian melepaskan seragam SMA-nya. Beruntung dia tidak pernah lupa memakai kaos dalaman hitam, seragam putihnya bisa ia gunakan lagi besok setelah dijemur semalaman.

Tetapi, baru saja ia hendak memasukkan seragam beserta kotak kado ke dalam tas, suara isakan lirih menyapa indra pendengarnya. Kepala Jaeyun meneleng ke samping ketika seorang anak laki-laki bersweater merah tengah duduk menangis di sisi pojok minimarket.

“Hei, kamu kenapa nangis?”

Jaeyun yang sadar bahwa tidak ada orang lain selain mereka—menghampiri laki-laki yang lebih muda darinya. Mungkin anak ini sama sepertinya yang terjebak di situasi hingga tidak bisa pulang. Hanya saja, Jaeyun merasa bukan waktunya anak sekecil ini masih berkeliaran di atas jam 9 malam.

Anak kecil berbaju merah itu akhirnya mendongak, menyadari keberadaan Jaeyun yang balik tertegun melihat sepasang kelopak mata dihiasi bulu mata lentik yang mengerjap, sedangkan bola mata hitam kecoklatannya bersinar di terpa lampu kanopi.

“Hoonie kabur dari rumah, Hoonie tersesat. Hoonie tidak tahu jalan pulang ke rumah. Mama sama Papa bertengkar terus, Hoonie sedih. Huwaaa!”

Jaeyun panik. Tangannya mengulur, menarik laki-laki muda itu hingga masuk dalam pelukannya. Dia tepuk punggungnya berusaha menenangkan, tapi tangisannya semakin menjadi seiring hujan turun disertai petir menyambar.

“Ada Hyung di sini, ya? Hyung yang akan menemani Hoonie sampai hujan reda. Oke? Di elap dulu ingusnya.”

Bukannya tenang, Hoonie makin beringsut berusaha menjauhi Jaeyun, seperti takut mengingat laki-laki 17 tahun di depannya berstatus orang asing. Dia tidak boleh sembarang percaya pada orang tidak dikenal.

“Tidak apa-apa. Hyung bukan orang jahat. Ah, Hoonie suka cokelat? Bagaimana jika kita beli permen cokelat dan makan bersama selagi menunggu Papa Mama Hoonie datang ke sini?”

Biasanya anak kecil akan tertarik dengan tawaran camilan, Jaeyun membujuk Hoonie supaya terbiasa dengan dirinya. Akan susah membantunya nanti jika mereka tidak akrab.

Akhirnya dengan uang saku yang masih sisa, ia menggandeng Hoonie masuk ke dalam minimarket memilih cokelat dan permen kesukaannya. Lumayan untuk mengisi perut. Semenjak pulang lambungnya tidak berhenti gemuruh meminta pasokan makan.

“Hoonie suka cokelat ini, Hyung.”

Walau masih dengan nada malu-malu khas bocah, Jaeyun tersenyum, meraih cokelat di tangan Hoonie untuk dibayar. Setelahnya mereka duduk berdampingan di kursi kayu depan minimarket meratap hujan.

“Hoonie suka?”

Hoonie yang sibuk melahap cokelat hingga belepotan mengangguk, kaki pendeknya mengayun-ayun membuat Jaeyun tanpa sadar gemas sendiri. Bisa-bisanya ada anak kecil mengaku kabur dari rumah dan berakhir menangis di sudut minimarket seperti anjing hilang. Sekilas Jaeyun melirik jalanan lengang pun, tidak ada satu pun orang dewasa mencari Hoonie.

“Makannya pelan-pelan, dek.”

Telunjuk besar Jaeyun mengusap bibir mungil Hoonie yang penuh cokelat lalu menjilatnya. Mubazir nanti jika menggunakan tisu. Sisa cokelat di bibir Hoonie juga dibeli dengan uang.

“Hoonie tinggal di rumah sama siapa? Kenapa bisa kabur sampai ke sini? Mama Papanya kemana?”

Kepala si kecil tertunduk, takut-takut melirik Jaeyun yang memposisikan duduk menghadap Hoonie bersiap mendengar setiap penuturan polosnya.

“Papa sama Mama berantem lagi. Hoonie ga suka. Jadi Hoonie kabur karena gamau dengar bunyi pecahan gelas lagi. Hoonie takut. Padahal hari ini ulang tahunnya Hoonie…”

Jaeyun terkekeh, mengusak poni rata setengah dahi Hoonie saking gemasnya. “Hoonie ulang tahun hari ini? Mau nyanyikan lagu selamat ulang tahun sama Hyung?”

“Tidak mau. Hoonie nggak mau. Hyung tidak membawa kado untuk Hoonie, jadi tidak ada lagu selamat ulang tahun.”

Mulut mungilnya kembali mengunyah sisa setengah cokelat batang di tangan, sesekali jemari kurusnya mengusap hidung yang memerah karena dingin.

“Ah!” Jaeyun tiba-tiba teringat. “Bagaimana jika Hyung pinya hadiah buat Hoonie? Hoonie mau nyanyi selamat ulang tahun sama Hyung?”

Walau ragu, Jaeyun mengeluarkan kotak hadiah yang seharusnya dia berikan pada adiknya. Tidak apa, ia bisa mentraktir adiknya makan tteokbokki dan ayam lusa nanti.

Ne!” balas Hoonie semangat.

“Kalau begitu, ini kado untuk Hoonie.”

Benar dugaannya, mata Hoonie langsung berbinar melihat hadiah pemberian Jaeyun. Ia hendak membuka kado yang sedikit lecek karena hujan itu, namun Jaeyun lebih dulu menahannya.

“Sebelum buka kado, ayo nyanyi selamat ulang tahun sama Hyung. Kan tadi Hoonie udah janji?”


Hujan sudah reda, namun yang menjadi kekhawatiran Jaeyun sekarang adalah Hoonie yang tertidur di pangkuannya. Sepertinya kelelahan karena menangis dan menunggu hujan tadi. Selepas menyanyikan lagu ulang tahun, Hoonie tidak sedetik pun melepaskan pelukannya dari kotak snow globe komedi putar pemberiannya.

“Lucu banget sih, Dek. Jadi pengen gigit.” Jaeyun menekan pelan pipi gembil Hoonie yang sebelas dua belas dengan bakpau yang ia makan siang tadi.

“Bisa-bisanya Mama sama Papa kamu bertengkar di hari berharga anaknya. Harusnya mereka bersyukur punya anak yang lucu kayak kamu. Semoga setelah ini kamu selalu hidup bahagia dan keluarga kamu baikan lagi.”

Sekali kecupan Jaeyun beri di pipi Hoonie yang malah tidak sengaja membuat si kecil terbangun. Ia mengusap matanya yang berair lalu mengerjap lucu memandangi Jaeyun.

Beribu kali pun, Jaeyun tetap tertegun dengan mata berbinar indah milik Hoonie. Seumur-umur, ia tidak pernah melihat anak kecil punya mata menawan, bahkan kulitnya pun putih kontras dengan sweater merahnya.

“Mau pulang sekarang?”

Hoonie mengangguk, Jaeyun bangkit menyampirkan tas di bahu kemudian mengangkat tubuh kecil Hoonie yang masih setengah kantuk.

Sepertinya ia akan pulang terlambat malam ini karena harus mencari rumah Hoonie. Kasihan jika ia harus membawa Hoonie pulang ke rumahnya, bisa-bisa orang tua teman kecilnya ini makin kalang kabut mencari anaknya.

Walau presentasinya kecil.

Selama di jalan, Hoonie tidak berhenti memandangi sisi wajah tampan Jaeyun, sesekali menekan pipinya sampai yang lebih tua tersenyum.

Hyung seperti malaikatnya Hoonie. Hyung tampan.”

“Sama. Hoonie juga tampan. Cuma tampannya sedikit, lebih banyak imutnya,” goda Jaeyun. Dibalas begitu, Hoonie tersenyum malu sembari memainkan kerah kaos hitam kakaknya.

Hyung kenapa tidak pulang sama pacar Hyung?”

“Pacar? Hoonie tahu apa itu pacar? Hyung tidak punya pacar. Hyung masih sekolah.”

Hoonie memangut, sedangkan Jaeyun hanya tersenyum tipis memandang si kecil yang tiba-tiba menempelkan bibir di pipi kirinya.

“Kalau begitu, Hoonie aja yang jadi pacarnya Hyung.”

Langkah Jaeyun seketika berhenti tepat di taman bermain, ia mengusak rambut jamur Hoonie gemas.

“Boleh, tapi Hoonie harus besar dulu dan pakai seragam seperti Hyung, baru Hoonie bisa jadi pacarnya Hyung.”

“Benarkah?” Jaeyun mengangguk, ia melanjutkan lagi jalannya sebelum urung mendengar teriakan sepasang wanita dan pria meneriakkan nama Hoon.

“Kalau begitu, Hoonie juga mau menikah sama Hyung juga waktu Hoonie dewasa nanti. Hyung mau juga 'kan menikah sama Hoonie?”

Jaeyun menurunkan Hoon dari gendongannya lalu berjongkok menyentuh dua pundak sempitnya.

“Tentu saja. Hyung dan Hoonie akan menikah nanti ketika Hoonie dewasa. Sekarang Hoonie pulang, belajar dan makan yang banyak supaya cepat besar, oke? Jangan sedih lagi, Hyung sudah berikan hadiah untuk Hoonie.”

Sayang, bibir Hoonie malah mengerucut sedih mendengar perkataan Jaeyun yang lebih seperti kalimat perpisahan untuk pertemuan singkat mereka.

“Janji Hyung akan menikah dengan Hoonie waktu dewasa nanti? Hyung tidak berbohong?”

Hyung janji.”

Mereka saling mengakhiri janji hari itu menautkan kelingking sebelum Jaeyun bersembunyi di balik pohon, memperhatikan orang tua Hoonie menghampiri dan memeluk anaknya erat.

Ah, kalau dipikir-pikir, Jaeyun jadi rindu Ayah dan Ibunya. Sejak lahir dia tidak pernah merasa kasih sayang dari orang tua atau keluarga. Ia hanya hidup di panti asuhan bersama adik-adik yang senasib.

'Kuharap kamu akan selamanya bahagia, Hoonie.'