Membujuk Papa
“Sayang.” Jake berbisik pelan, menciumi belakang telinga sang istri yang tidur di sofa dekat boks bayi. Sunghoon mengeryit, membuka mata sesaat lalu memejam lagi melihat Jake tengah duduk memainkan surai lembutnya. “Tidur di kamar yuk, aku temenin.”
“Nggak.” Jake menunduk, telunjuknya memencet hidung mungil Sunghoon yang langsung dapat pukulan tidak suka.
“Aku gendong ke kamar, mau?”
“Nggak.”
“Terus maunya apa dong biar aku nggak kesepian di kamar? Kan Niki udah tenang bobo sendiri di kasurnya.”
“Kamu udah gede, udah tuir, gausah manja-manjaan kayak Niki. Sana, sana, sana! Berisik, ganggu orang cantik tidur.”
Seringai Jake mengembang, mendekatkan bibirnya ke lipatan leher Sunghoon sambil berbisik seduktif. “Aku ngga bisa, Sayang. Masa iya aku main sendiri? Lebih enak ditemenin kamu.”
Sunghoon berbalik memunggungi Jake, wajahnya ia benamkan diantara lipatan sofa sembari menggumam kecil. “Biarin. Tidur aja sendiri, kalo nggak gitu sama Sunoo Jungwon. Aku mau tidur nemenin Niki aja. Dada aku sakit.”
“Mau aku bantu pijitin supaya nggak sakit?”
Sunghoon bergerak tidak nyaman, Jake memasukkan tangannya demi menggapai puting kerasnya.
“Nggak mau, Jake!” Ia berusaha menarik keluar jemari nakal suaminya dari balik piyama merah marun, hingga tawa singkatnya membuat Sunghoon mendelik bangun. “Kamu apa-apaan sih? Aku nggak mood buat ngelayanin kamu! Aku masih kesel sama kamu, asal kamu tahu!”
“Galak banget sih, sayangnya mamas.”
“Jijik, mamas mamas. Kamu udah berumur gausah sok narsis mentang-mentang lebih muda dari aku. Anak juga udah tiga, pantesnya kamu tuh dipanggil aki-aki.” Sunghoon melirik sengit, terduduk bangun membenarkan piyamanya yang lungset.
Jake menarik senyum, meraih pipi gembil istrinya untuk dicubit gemas, tapi Sunghoon lebih cepat menghindar.
“Anak-anak tadi nangis sebelum bobo. Mereka ngerasa bersalah karena nggak nurut sama kamu.”
“Terus kamu bilangin apa?” Sunghoon menoleh, suaminya masih sibuk terpesona memandanginya. Kali ini dia tidak boleh percaya dengan tipu daya Jake, apalagi ketika sepasang obsidiannya menggelap sayu menghunus miliknya, seperti memohon meluapkan sesuatu padanya.
“Aku bilangㅡ” Jarak satu lengan menipis, Sunghoon membeku ketika hangat nafas Jake menyentuh kulit leher telanjang yang tidak tertutup kain. “Biar Papa aja yang minta maaf ke kalian. Sesekali jadi anak pembangkang itu bagus biar kayak Ayahnya waktu masih bocil.”
“Gitu? Bagus biar kayak Ayahnya? Besok-besok kamu gausah tidur di kamar. Tidur di gudang selamanya, mau?”
Jake tampak tidak takut, menyampirkan lengannya melingkari pinggang Sunghoon dan merapatkan duduk mereka. “Jangan dong, Sayang. Masa iya aku bilang gitu ke anak-anak? Aku kan cuma godain kamu biar nggak tegang.”
“Ah, udahlah. Aku gedek lama-lama liat kamu.” Sunghoon mendorong Jake menjauh, memekik keras saat kedua kakinya sudah melayang dari tanah. Sembari melirik Niki yang tidak bereaksi apa-apa, hatinya legaㅡmemukul dada suaminya hingga meringis.
“Sakit, beb.”
“Lagian pake gendong aku segala. Turunin atau aku bakal laporin ke polisi!”
“Buat apa emang?”
“Pelecehan.” Gelak tawa Jake menggelegar, melangkah keluar kamar Niki dan membawa Sunghoon ke ruang utamaㅡkamar mereka.
Satu kakinya naik ke ranjang, membaringkan Sunghoon yang otomatis berada di bawah kuasanya. “Coba aja. Nanti kalo ditanya salah aku dimana, aku bilang suka ngelecehin mantan guru les yang sekarang statusnya udah jadi istri bocah SMA.”
“Aku yang nggugat, ya terserah aku dong mau kamu dipenjara atau nggak.”
“Mana mungkin kamu berani nggugat aku karena masalah pelecehan. Yang ada kamu entar kangen aku, nggak ada yang bisa ngangetin kamu apalagi mandiin kamu kalo lagi males.”
Sunghoon berdecak, “Kamunya ngeselin. Aku bisa jagain anak-anak tanpa kamu kok. Nggak masalah.”
“Hei, sayang…”
“Hmm?”
“Masih marah karena masalah anak-anak tadi?”
“Menurut lo?” Sunghoon mendesis, melepaskan satu lengan Jake supaya tidak mengukungnya dan tidur menyampingㅡmengabaikan suaminya.
“Masalah gitu kok diperberat sih? Aku nggak belain anak-anak atau kamu. Aku sayang sama kalian. Sesekali kan gapapa kasih anak waktu buat nikmatin sesuatu yang bikin mereka seneng. Ngga bisa orang tuanya doang yang bahagia kalo anaknya enggak. Anggep aja, aku nyuruh kamu makan bubur tanpa lauk tiap hari supaya kuat, tapi tiba-tiba aku kasih kamu cokelat sampai bikin kamu seharian mau makan itu terus saking bosen sama bubur. Anak-anak juga gitu. Coba aja dibuat jadwal kapan mereka harus makan sayur dan enggak.”
Helaan nafas Sunghoon terdengar teratur, tidak seperti sebelumnya. “Tapi sayur kan penting. Anak zaman sekarang itu susah disuruh makan sayur. Bahkan dari balita kalo mereka kebanyakan dicekokin jajanan kemasan, mereka bakal abai sama yang namanya sayur seumur hidup.”
“Hei, udah ya, lupain soal makan sayur. Memang nggak gampang buat ngingetin anak-anak, tapi kamunya juga nggak bisa terus ngambekan kayak gini atau pake suara keras kalo lagi negasin mereka. Sunoo Jungwon udah ngaku salah nggak nurut sama kamu, jadi sekarang lupakan aja masalah ini dan tidur. Besok kamu ada jadwal ngajar 'kan? Mau masalah ini kebawa terus sampe besok?”
Dijawab gumamam rendah hampir selaras angin, Sunghoon masih enggan berbalikㅡJake memutar otak supaya pendamping hidupnya ini bisa menatapnya dan mereka menghabiskan malam dengan rengkuhan, bukan memunggungi satu sama lain.
“Terus kalo udah nggak marah, kenapa masih hindarin aku? Sini dong, peluk mamas. Masa akunya dianggurin dan malah milih pelukin guling?” Jake berusaha menarik guling sepanjang kakinya yang sudah merebut posisinya, menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Sunghoonㅡhingga si istri melenguh karena geli.
“Jek! Geli ishh! Jangan suka cium-cium leher aku! Kek cicak aja nempel-nempel!”
“Aku bukan cicak. Masih ada yang lebih bagus daripada cicak.” Jake tidak menggubris, malah menendang jauh-jauh guling di pelukan Sunghoon, merengkuhi pinggang sempitnya.
“Terus apaan? Kadal?”
“Tokek.” Yang paling tua berusaha tidak tersenyum, kukuh pada pendirianㅡtapi Jake meniup kulit lehernya hingga bunyi mirip kentut terdengar membuatnya tidak bisa lagi menahan gelakan.
“Jake! Jangan kayak gitu! Jelek tau bunyinya! Emang kulit leher aku balon apa, bisa ditiupin? Entar kalo aku segede Bibi Merge melayang-layang di udara, kamu nggak bisa kelon sama aku lagi, mampus.”
“Nggak papa, entar aku taliin biar nggak kemana-mana. Kamu udah menetap di hati aku mana mungkin bisa lepas segampang itu.”
“Gausah gombal, geblek.”
Sunghoon tidak tahan lagi, melepaskan belitan Jake dan berdiri di ujung kasur sambil lidahnya menjulurㅡmenantang laki-laki Shim di atas ranjang mereka untuk beradu.
“Oh, kamu berani sama aku? Ngejek aku? Kamu kira aku nggak bisa nangkep kamu sebelum milih lari dari kamar atau ke toilet?”
“Enggak. Kaki aku lebih panjang daripada kakimu. Jelas bakal lebih cepet aku lah.” Jake tergelak, mendadak bangkit cepat menggoda Sunghoon yang panik karena tidak mau ditangkap.
“Hiyee, beraninya cuma ngejek. Tapi pas digertak malah takut, gimana sih? Aku kan cuma mau duduk.”
“Aku nggak takut kok. Aku bicara fakta, lagipula sejak kapan kamu bisa menang dari aku? Suami nggak akan pernah menang dari istri, kamu salah satunya.” Lagi-lagi Sunghoon memeletkan lidahnya, berancang pergi dari kamar, meliriki Jake yang masih duduk dengan santaiㅡtidak goyah akan ucapannya.
“Oke, aku kalah dari kamu. Tapi jangan berdiri di situ dong. Masa iya kita mau tidur kamunya hindarin aku. Sini, sayang. Aku nggak nggigit kok, paling nyubit.” Satu tangannya menepuk sisi ranjang yang kosong, memasang wajah lelah karena sikap Sunghoon yang terlalu sulit untuk diajak damai.
“Nggak mau ah. Shimsimi Jake itu nggak bisa dipercaya. Siapa yang bisa jamin kalo aku bakal selamat kalo ngikutin ajakan kamu? Dari awal juga udah mencurigakan.”
Sunghoon tidak bergerak, tidak pula memaling dari Jake, bersiap menerima serangan yang mungkin bisa datang kapanpun.
“Jadi beneran pengen aku kejar? Kamu sungguhan pengen nantangin aku ya?”
“YA! NGGAK, NGGAK, NGGAK! JAKEE!” Di luar dugaan, ia malah memekik keras sewaktu Jake tanpa bicara melompat dan sudah berdiri menghadang jalannya. Otomatis tumit kakinya terseret mundur, mencoba berbalik lari melewati kasurㅡtapi tidak sampai 5 menit, Sunghoon sudah masuk ke pelukan Jake.
“Kena! Sekarang siapa yang menang, huh?!”
“Jake, please! Ampun!” Tawa Sunghoon menggelegar, mereka jatuh ke lantai kayu dengan Jake berada di atasnya. Menggelitiki pinggangnya sampai di titik mereka saling diam menyadari posisi intim, lalu menghela nafas bebarengan.
“Aku pernah bilang ke kamu kalo senyum kamu itu duniaku. Aku nggak cuma beruntung milikin kamu, tapi juga senyum kamu. Memang kadang kamu itu terkesan galak, agak susah nerima pendapat, tapi kamu beneran sosok yang nggak bisa sehari aku lupain. Ibarat minum obat ada dosisnya, aku tergila-gila sama kamu sampai lupa dosis. Mulai besok jangan marah-marah lagi ya, apalagi pake suara keras ke anak-anak atau maksa mereka nurutin semua kemauan kamu. Biarin mereka seneng. Toh, kamu punya aku buat lampiasin kemarahan kamu sama mereka.”
“Aku sayang kamu, aku rindu kamu, aku cinta kamu. Nggak ada yang bisa nyamain cinta aku ke kamu, sekalipun anak-anak.” Jake menarik telunjuknya, menyentuh hidung gemas Sunghoon dan mencubitnya pelan.
“Kamu kayak bonekanya Niki, Rudolph si hidung merah tiap kali marah. Nggak mempan sama sekali buat aku kicep. Malah aku makin seneng godain kamu.”
Bibir pink Sunghoon mengerucut, alisnya menyatu tidak senang. “Kenapa Rudolph? Aku kan pangeran negeri es yang baik hati dan bijaksana!”
“Kalo gitu, aku raja yang nyium pangeran es dong? Kan aku ganteng, banyak black card, bisa kasih kamu keturunan.”
“Nggak lah! Mending juga Rajanya Jay, lebih muda dari kamu, lebih tinggi, jempol kakinya gak pendek, bibirnya gak suka dimanyun-manyunin tiap selca dan nggak kayak uke-uke kalo lagi karaokean.”
Mendengar nama laki-laki lain disebut, Jake mendelik tidak suka.
“Gitu ya kelakuan kamu sekarang. Mau diapain nih sehabis ngejek, ngerendahin dan ngebandingin suami sendiri sama suami orang lain? Minta nggak bisa jalan sampai besok, hmm?”
“Boleh.”
Spontan Jake terbatuk ludahnya, menoleh ke Sunghoon yang sudah mengalung manja dengan senyum sensual. “Udah lama ladangnya nggak ditaburin benih lagi sama kamu. Aku kangen kamu. Hampir sebulan, kamu bikin aku kesiksa pengen dijamah.”
“Kamu ngasih izin nih ceritanya? Biasanya langsung ngamuk dan ujung-ujungnya mukulin wajah aku sampe bonyok.”
“Enggak. Sekarang giliran kamu bikin aku bonyok. Kalo perlu sampe aku nggak bisa jalan ke sekolah besok. Aku bakal minta izin sakit nanti.”
Jake tersenyum. “Beneran?”
“Ya! Jake! Gausah pake segala basa-basi ngapa sih? Biasanya juga langsung nyosor kek burung onta. Kalo nggak gercep, aku bakal berubah pikiran nih?!”
“Eh, iya, iya, Beb. Sabar. Aku nafas dulu, barusan nggak bisa nafas. Sesek.”
Sunghoon memutar bola matanya kesal, menarik tengkuk Jake hingga mereka saling melumat sebelum melepaskan sepihak.
“Cepetan! Keburu Niki bangun, mampus kita berdua berhenti di tengah-tengah!”