Empat minggu terasa hidup setahun. Sunghoon kira hidup di istana akan indah dalam bayangannya, tapi nyatanya tidak jauh beda tinggal bersama 7 gadis di Blakeley. Dia harus bangun pagi sarapan lebih awal sebelum selir lain tiba atau jika kesiangan, semua mata akan tertuju padanya.
Tidak sampai 1 menit duduk dan menyantap roti panggang selai maple, telinganya memerah sendiri karena panas.
'Kalau sampai dia tidak bisa mengandung, bukannya itu memalukan? Setidaknya derajat kita masih lebih baik darinya.'
'Dia pasti menggoda Raja supaya menyukai laki-laki banci. Raja tidak akan selera dengan modelan begitu.'
'Aku tidak habis pikir kenapa Raja mau memasukkan laki-laki ke dalam rumah selirnya? Tampang lusuh kampungan begitu, apa Raja tidak mual?'
'Liat saja nanti, siapa yang harus menelan malu? Bukannya ini 4 minggu sejak dia menjalani pernikahan bersama Raja? Aku ingin liat wajah malunya di hadapan dewan kerajaan.'
'Kalau dia gagal juga, aku akan mempermalukannya nanti selama teronggok di sini.'
Demi Tuhan, Sunghoon tidak tahan. Tolong ingatkan jika dia laki-laki. Memangnya laki-laki mana yang mau diremehkan dan dicaci maki perempuan seperti itu? Persetan dengan hasil yang akan dia dapat nanti, ia akan memutuskan pergi dari istana.
Pagi ini, para Baron, Viscount dan Marquess Aldebaron berkumpul di satu tempat, tidak terkecuali Jake dan Jay. Setiap kali Raja mengumumkan pernikahan, beberapa bulan sekali bangsawan sekaligus tokoh penting pengurus istana berkumpul menyaksikan berita soal kelangsungan keturunan Raja. Demi menangkal rumor yang terus beredar jika Raja junjungan mereka dikutuk atau Aldebaron yang menguasai hampir seluruh wilayah kepulauan Levirne hingga Penthesilea itu akan kehilangan kejayaan.
Dalam artian, pemerintahan mereka akan runtuh.
“Bisa kita mulai?” ujar tabib.
Helaan disertai decak Sunghoon lemparkan pada pria tua berjubah putih yang dianggap orang paling suci di Aldebaron. Jangankan tabib, dia muak melihat raut muka dewan kerajaan yang jatuhnya seperti merendahkan statusnya. Kalau saja Sunghoon tidak tergiur hidup damai tanpa 7 kakaknya, dia tidak akan mungkin berakhir seperti ini. Dia bahkan tidak tahu sejak kapan Raja tertarik menikahi laki-laki.
Sedangkan Jake, ekspresinya tidak terbaca. Memandang lurus Sunghoon yang belum menunjukkan reaksi, kepalanya tertunduk tanpa pikirannya bisa terbaca oleh Jake. Padahal Jay sedang berbisik, ia hiraukan demi memperhatikan si selir bungsu.
Lima menit, 10 menit, hening. Semua menanti, layaknya menunggu hujan di musim kemarau yang panjang. Hingga, Tabib Kim tiba-tiba berdiri menghadap Jake dengan wajah kaku setelah memeriksa lengan kiri Sunghoon lamat, berkali-kali sampai kelopak mata beliau melebar.
“Bagaimana hasilnya?” tanya Jake cepat, menegakkan punggungnya menunggu hasil.
“Se-selir Park sedang mengandung, Paduka.”
Tidak ada respon berarti, pun sama hal Sunghoon yang diam tidak bergerak dari posisinya. Di kepalanya hanya ada bagaimana cara dia akan melewati gerbang untuk lari setelah ini.
“Mengandung?” Alis Jake terpaut bingung.
Tabib Kim menarik lengkung bibir, mengangkat dua tangannya sebelum bersimpuh di lantai berlapis karpet merah menjuntai.
“Selamat, Yang Mulia. Setelah bertahun-tahun lama, kerajaan ini akan segera memiliki putra mahkota!”
Sontak perkataan tabib mengundang riuh serta sorakan dewan kerajaan, tidak terkecuali Jake. Gelakan tawa bercampur haru tergambar di wajahnya, melirik Jay yang syok bukan main.
“Ta-tapi dia laki-laki…” protes Jay.
“Apa perlu aku mengganti nama posisi permaisuri dengan Baginda Adipati Aldebaron?”
Namun di antara kabar gembira itu, Sunghoon masih mengerjap tidak percaya. Apalagi saat Tabib Kim memutar badan menyembah di bawah kakinya, dia tidak sebahagia itu. Padahal dia sempat menginginkan posisi permaisuri.
Tolong katakan pada Sunghoon jika semua ini hanya mimpi buruk di siang bolong. Tolong katakan padanya jika dia tidak benar-benar mengandung.
Sesuai aturan kerajaan, malam ini Sunghoon akan pindah dari statusnya di rumah selir. Agak tergelitik membayangkan wajah wanita-wanita di sana ketika kabar dirinya diangkat menjadi Adipati—sebutan pendamping Raja selain permaisuri–disebarkan ke seluruh istana. Tapi, baru juga dia membulatkan mulutnya terkesima dengan ruangan baru yang akan dia tinggali, nafasnya terhela malas. Jake duduk di tepi ranjang melipat lengan seolah memang sedang menunggunya.
Refleks, Sunghoon meraih pintu lagi.
“Mau kemana?” tanya Jake.
“Kondangan,” ketusnya membuat Raja terakhir itu mengerutkan dahi. “Ya tidur di rumah selir lah.”
“Kenapa? Kamar ini milik kita. Jadi, tidak perlu lagi tidur di rumah selir. Kamu Adipatiku sekarang.”
Giliran Sunghoon memandang Jake aneh, “Kita? Maaf, Baginda. Sekalipun saya berstatus Permaisuri, Adipati atau apapun itu, saya tidak akan sekamar dengan anda.”
“Kamu masih tidak menyukaiku?”
“Sangat.”
Mendengar penuturan judes Sunghoon, Jake terkekeh. Menurunkan kakinya menapak di lantai, kemudian berjalan selangkah demi langkah mendekati istri yang memunggunginya.
“Disaat semua orang menyukaiku, memujaku, mengagungkan namaku, apa yang membuat kamu tidak menyukaiku?”
“Apa tidak suka itu perlu alasan?”
Jake mendorong maju wajahnya begitu dia berdiri tepat di belakang Sunghoon, menghirup aroma persik dan chamomile yang menguar dari kulit lehernya.
“Aku punya semua hal di dunia ini yang tidak dimiliki siapapun, termasuk rasa tidak suka dan benci. Aku bisa memenggal kepala setiap orang yang mengibarkan perang padaku, termasuk kamu.”
“Pembohong.”
“Apa perkataan Raja adalah sebuah kebohongan untukmu? Tidak menyukaiku, tidak menyembah di bawah kakiku, tidak pernah menyebut namaku, tidak menurutiku, semuanya. Raja tidak akan mau ditolak rakyatnya.”
“Aku bukan rakyatmu—”
“Tapi kamu istriku. Rakyat saja aku tidak mau menerima tolakan, apalagi istriku sendiri yang akan melahirkan putra mahkota?” Jake menenggelamkan hidung bangirnya di tengkuk Sunghoon, mengecup singkat lalu berbisik rendah. “Bukannya kamu merindukanku, Park Sunghoon?”
“Sejak kapan?” sergah Sunghoon, memejamkan mata ketika Jake meniup belakang telinganya.
“Sejak malam pernikahan.”
Deg
Sunghoon tidak sadar, Jake tersenyum tengil seraya menjauhkan diri dan duduk kembali di atas ranjang. Berbeda dengan Sunghoon yang membeku memikirkan setiap jengkal perkataan Jake.
“Malam ini dan seterusnya kamu harus terbiasa tidur berdua denganku. Kalau kamu tidak mau, aku akan memaksa.”
“Aku tidur di sofa saja.”
Seperti dugaannya, Sunghoon memilih opsi lain, menjauhi pintu menuju sofa. Ingatan Jake memutar memori beberapa bulan silam, saat ia dan Sunghoon berdua menjelajahi hutan panjang sebelum sampai di istana. Berulang kali Sunghoon mencoba lari kabur darinya, berulang kali juga si Park itu kembali padanya.
Intinya, tameng pelindung Sunghoon terlalu tinggi untuk keberaniannya yang lunak.
“Sunghoon, kemari.”
“Aku akan tidur disini.” Sunghoon menempatkan bantal di sisi sofa, bersiap akan tidur sebelum suara Jake lagi-lagi membuatnya berhenti.
“Baiklah, kalau kamu lebih nyaman tidur di sofa. Aku juga akan tidur di sofa berdua denganmu.”
“Tidak!” bentak Sunghoon, mengangkat tangannya mengkode Jake untuk tidak turun dari atas tempat tidur.
“Kenapa?”
Sunghoon meringis. “Tidak boleh, ya tidak boleh!”
“Aku suamimu, kalau kamu lupa. Suami harus menderita kalau istrinya menderita.” Jake bersikap santai, bertolak belakang dari Sunghoon yang meneguk ludahnya menenangkan panik jantung.
“Aku sama sekali tidak menderita tidur di sofa! Tidur saja di ranjang. Anda tidak pantas tidur di atas sofa, Paduka Raja.” Sebenarnya Sunghoon agak malas membawa panggilan formalitas itu, situasi yang memaksanya bersopan santun.
“Kalau aku tidak mau?”
“Harus mau.”
“Sayangnya aku tidak mau.” Jake turun menarik bantal, membuat Sunghoon buru-buru berlari ke arah Jake supaya tidak berpindah dari kasur. Tapi bukannya menuruti permintaan istrinya, seringai Jake menyungging dan belum juga Sunghoon sadar tipu daya buatan laki-laki Shim itu, Jake menarik lengannya hingga mereka sama-sama jatuh ke ranjang.
“YA! Apa-apaan?!”
“Sudah aku bilang, aku akan memaksa 'kan?”
Sunghoon tidak peduli, mengerahkan seluruh kekuatan menyingkirkan bahu Jake yang menindih badannya, berakhir percuma karena lengannya lebih kuat dicengkram ke atas kepala.
“JAKE!” bentak Sunghoon.
“Siapapun yang menolak Raja Jake dari klan Shim Aldebaron harus dapat hukuman dari tindakannya.”
“Shireo—”
Belum sampai Sunghoon menuntaskan penolakan, Jake membungkam ranumnya. Mengecup, sesekali menghisap, memainkan lidah istrinya yang masih dilanda ombak kejutan. Hanya sebentar sebelum Jake melepaskan kontak, menyatukan hidung mereka.
“Kalau bencimu tidak punya alasan, aku akan membuatmu menyukaiku tanpa alasan. Aku hidup keras selama 27 tahun demi pantas mendapat posisi Raja bagi rakyatku, siapapun tidak berhak membenciku apalagi menolakku.”
“Seandainya aku tidak mempercayai ramalan wanita tua di Pasar Haman sore itu, aku tidak akan bertemu dengan laki-laki keras kepala sepertimu—yang berani menginjakku, padahal dia sendiri tidak begitu tangguh,” lanjut Jake.
“Sekarang saat suram sudah diganti sinar matahari dan bulan purnama terlihat lagi di langit gelap, aku tahu alasan kenapa hidupku tidak pernah secerah hari ini.”
“Empat minggu tidak bisa dekat denganmu itu menyiksaku, aku tidak berhenti memikirkanmu setiap malam, berharap keputusanku membawamu kemari benar. Sekalipun kamu masih tidak menyukaiku.”
“Entah bagaimana perasaan kecil ini muncul, walau kita hanya menghabiskan sebulan penuh lalu jarang bersua lagi selama sebulan, aku tidak bisa tidak mengingat sikap random, labil dan anehmu itu.”
Senyum Jake melengkung, menyeka rambut Sunghoon ke belakang telinga kemudian mendekat dan berbisik lagi. “Walau kamu sulit mengakui atau menerima ini, tapi sepertinya aku memang jatuh cinta pada laki-laki sepertimu, Park Sunghoon.”
Mendengar penuturan Jake, Sunghoon terdiam. Menghunuskan tatapannya lagi hingga bertabrakan lagi dengan obsidian gelap milik Jake.
“Kamu tidur saja di sini, aku akan tidur di kamar lain jika kamu masih tidak menyukaiku.”
Akhirnya mengalah, Jake menegakkan punggung dan turun dari atas tempat tidur, meninggalkan kecupan hangat di dahi Sunghoon sebelum benar-benar pergi. Di antara keheningan, Sunghoon melirik punggung Jake yang sebentar lagi akan menghilang dari daun pintu.
Pria Shim itu mengakui perasaannya secara langsung, menyingkirkan tinggi statusnya bahwa Raja tidak akan pernah memohon pada siapapun, semua orang yang harus memohon padanya.
“Jake!”
Panggilan Sunghoon sontak mengurungkan niat Jake menarik gagang pintu, meneleng tanpa memutar badan ketika dua lengan Sunghoon melingkari perutnya membuat kelopak mata Raja Aldebaron melebar saking terkejut.
“Sunghoon?”
“Tidur saja di sini, a-aku tidak keberatan. Jangan pergi.”
“Tapi kamu memilih tidur di sofa untuk menghindariku 'kan? Aku tidak ingin kamu sakit tidur di tempat sempit—”
Sunghoon cepat menggeleng, “Tidur berdua denganku di ranjang.”
Jake termangu, menghadapkan dirinya pada Sunghoon yang memasang wajah sendu, atau raut bersalah? Jake tidak yakin. Telapak besarnya memangku rahang Adipatinya hingga mendongak.
“Kalau kamu memaksa, kita akan tidur berdua. Aku tidak akan menyentuhmu, aku akan menjaga jarak supaya kamu bisa tidur nyenyak. Oke?”
Sayangnya, Sunghoon menggeleng lagi seraya menunduk. Telunjuk dan ibu jarinya dia ulur menarik ujung piyama tidur Jake, membuat alis tebal pria Shim itu menukik bingung.
“A-aku juga merindukanmu,” cicitnya pelan. “La-lagipula, aku tidak benar-benar tidak menyukaimu. Aku hanya—” Sunghoon menggigit bibir bawahnya, berupaya bicara tanpa terdengar gugup.
“Hanya?” Jake mengulang kata, menunggu dengan raut serius sebelum sisi wajahnya ditarik dan Sunghoon menyatukan bibir mereka lagi. Nyawa Jake masih belum mengerti situasi, memandang kelopak mata Sunghoon yang menutup rapat dalam penyatuan ranum mereka. Melumat, sesekali menghisap dan Sunghoon mulai sadar ketika Jake mulai menguasai alurnya.
Tubuhnya dituntun jatuh ke atas ranjang berbaring, menerima setiap kecupan, gelenyar dan kikikan geli yang coba dia tahan.
Hingga Jake yang pertama melepas kontak—
“Aku ingin kamu, Sunghoon.”
Di bawah kungkungan Jake, Sunghoon mengais udara menstabilkan detak jantungnya—mencoba mencerna maksud terselubung di balik kata-kata Jake.
“Ta-tapi...”
Jake meraih jemari Sunghoon dan dikecup. “Kita sama-sama punya perasaan yang sama. Aku akan buktikan ke kamu kalau kata-kataku bukan main-main. Kamu percaya padaku 'kan, Sayang?”
“Apa itu akan sakit untuk yang kedua kalinya?” Sunghoon berusaha mencari harapan di setiap kedipan tajam Jake yang menguarkan gairah. Namun yang dia temukan hanya ketulusan dan senyuman penuh keyakinan suaminya sambil berbisik rendah,
“Tidak ada dayang di luar. Hanya kamu dan aku. Aku tidak akan bermain kasar, tidak seperti malam pertama yang terburu-buru.”
“Be-berapa lama?” tanya Sunghoon dengan bahu menyempit karena Jake mulai melucuti kancing piyamanya, mengusap kulit di sisi leher membuatnya hampir menggelinjang aneh.
“Sampai pagi kalau perlu, sampai jarak di antara kita benar-benar habis di titik nol.”