delunairee

Lima tahun bukan waktu yang singkat bagi Sunghoon menjalani hidupnya di kerajaan. Banyak suka duka dan bahagianya, termasuk menerima perasaan Jake lalu menyerahkan juga hatinya untuk Raja Aldebaron yang hampir tidak pernah menolak perempuan. Oke, Sunghoon agak membenci sikap Jake. Dia hampir selalu cemburu setiap Jake harus menghabiskan malam dengan selir lain—yang juga bagian dari kewajibannya.

Namun dari semua itu, Jake lebih mengutamakannya dari segala hal yang dia punya. Kata-kata yang selalu Sunghoon ingat dan berhasil mendebarkan hatinya adalah jika Jake tidak pernah mengharapkan 99 selir yang lain ketika dia sudah punya satunya-satunya di antara sekian puluh yang bisa menaklukkan hati bajanya.

Walau dia sebenarnya tipe keras kepala dan sensitif, Jake punya cara melunakkan situasinya. Melakukan apapun yang dia minta selama mengandung 9 bulan, tidak balik marah ketika dia mengusirnya tidur di luar atau tetap acuh meskipun dia tolak berapa kali pun.

Entah Jake yang terlalu baik atau dirinya yang terlalu kejam, intinya tidak pernah sedikitpun Sunghoon melihat wajah marah Jake kecuali wajah tegasnya di hadapan para pengawal.

Sunghoon akui, dia tidak salah memilih takdir bersama Jake. Hingga Wonu lahir di antara mereka, Jake tidak pernah ingkar pada janji perasaan yang dia ucapkan malam itu.

Pagi itu suasana cerah, Sunghoon duduk di depan Wonu kecil yang menatap takut ke arah Papanya setelah ketahuan mengambil apel dari pohon milik warga desa.

“Jika ketahuan bersalah, Wonu harus apa?” tanya Sunghoon sambil meletakkan apel merah ke tangan putranya. Ia baru saja kembali setelah menghadiri pertemuan di balai, tapi Wonu yang notabene tidak betah ada di acara kerajaan memilih pergi tidak tahu arah dan kembali dengan segenggam apel.

Bukannya Sunghoon jahat, hanya saja tata krama kerajaan tidak pernah menghalalkan bentuk pencurian model apapun, sekalinya mencuri kerikil.

“Wonu harus kembalikan ke pohonnya?”

“Bukan itu, Sayang.”

“Wonu harus tanam pohon apel yang baru?” Sunghoon terkekeh. Anaknya berusia 5 tahun, namun sikapnya benar-benar sebelas dua belas dengan Jake yang kelebihan batas bodohnya.

“Wonu harus minta maaf sama Paman Hong dan kembalikan apel ini padanya. Kasian nanti apelnya kurang. Kita masih punya banyak apel merah di rumah.”

“Tapi 'kan, Wonu ambil apel yang jatuh, bukan dari atas pohonnya. Paman Hong pasti tidak suka buah yang jatuh ke tanah.” Penuturan polos Wonu lagi-lagi membuat Papanya terkekeh. Ia bangkit menggandeng tangan Wonu menuju rumah kayu di depan perkebunan apel.

“Sekalipun jatuh, apelnya masih berharga. Kita tidak berhak mengambil tanpa izin. Kecuali kalau Wonu sudah izin pada Paman Hong. Ayo, sekarang taruh apelnya di sini dan kita pencet belnya.”

Wonu menurut saja perkataan Sunghoon, meletakkan buah manis itu di atas tembok pagar setinggi dada Papanya. Tidak lupa kertas bertuliskan Sorry ditempelkan di tangkai apel.

Baru setelah menekan bel, Sunghoon menggendong Wonu untuk berlari pulang. Sebentar lagi hari menjelang malam, Jake pasti dalam perjalanan pulang.

“Papa, Wonu mau deh punya adek kayak temen-temen Wonu yang lain.”

Ungkapan Wonu sontak membuat Sunghoon meneleng pada putranya. Dia kecup pipi gembil pink itu sembari berjalan memasuki gedung kastil yang mulai terlihat.

“Bagaimana bisa Wonu ingin punya adik kalau Wonu masih suka manja sama Papa?” Si kecil memberengut memainkan kerah jubah Papanya. Jake yang baru sampai dengan kereta kudanya tersenyum melambai ketika menjumpai mereka.

“Hei, anak ayah habis kemana aja? Kenapa cemberut mukanya? Biasanya Ayah dateng semangat pelukinnya sampe Ayah nggak bisa nafas.” Sunghoon mengarahkan bola matanya pada sang anak, mengkode Jake untuk bertanya langsung pada jagoannya.

“Wonu kenapa, Sayang? Ututututu, anak ayah.” Jake mengambil alih Wonu dari gendongan Sunghoon, mengecupi wajahnya sampai si kecil merengek tidak suka.

“Wonu mau punya adek katanya, Ayah.” Bukan Wonu yang menjawab, tapi Sunghoon. Jake seketika melirik putranya yang sekarang menunduk memainkan dasi hitamnya.

“Benar Wonu pengen punya adek? Atau Papa yang suruh Wonu berakting begini supaya ayah percaya?”

Sunghoon mendelik, dibalas senyuman selidik dari Jake.

Dengan polos Wonu mengangguk. Tawa Jake terdengar, membisikkan sesuatu di telinga Wonu sampai raut si kecil berubah cerah lagi.

“Jangan nakal dan baik-baik sama Bibi Jung ya?” ujar Jake.

Dahi Sunghoon mengeryit heran. Setelah Wonu turun dari gendongan, anak itu berlari masuk ke dalam istana sedangkan Jake berbalik menghadap Sunghoon.

“Kamu bisikkin apa ke Wonu?”

“Bukan apa-apa, hanya rahasia antara ayah dan anak.” Jake tersenyum, mendekat meraih pinggang Sunghoon dan berbisik seduktif, “Hanya misi untuk membuat adik.”

Firasat Sunghoon mulai buruk akan misi Jake dalam bentuk apapun itu. Pasalnya, dua pria kesayangannya itu paling suka menjahili atau menggodanya.

“Aku akan meminta pelayan mengirim makan malam untukmu ke kamar, tidak perlu ke meja makan. Aku yakin kamu perlu banyak waktu di kamar mandi. Paham maksud ucapanku 'kan, Sunghoon?”

“Jangan buat Wonu kecewa karena tidak membuatkannya adik malam ini. Aku pikir hari ini kita akan melewati waktu yang panjang karena sebulan ini kamu terus melarangku melakukannya dan sering mengajak Wonu tidur bersama kita,” lanjutnya.

Sunghoon menghela nafas, “Bilang saja memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.”

“Tidak sia-sia aku meminta Wonu setiap malam untuk meminta adik pada Papanya. Ternyata secepat itu.”

“YAAA! SHIM JAKE!”

Mungkin jika Jake tidak mempercayai ucapan peramal tua itu atau lebih mengacuhkan saran Jay, dia tidak akan tertawa lepas melihat wajah malu sekaligus wajah judes Sunghoon, tidak juga melihat kehadiran putra kecil mereka.

Empat minggu terasa hidup setahun. Sunghoon kira hidup di istana akan indah dalam bayangannya, tapi nyatanya tidak jauh beda tinggal bersama 7 gadis di Blakeley. Dia harus bangun pagi sarapan lebih awal sebelum selir lain tiba atau jika kesiangan, semua mata akan tertuju padanya.

Tidak sampai 1 menit duduk dan menyantap roti panggang selai maple, telinganya memerah sendiri karena panas.

'Kalau sampai dia tidak bisa mengandung, bukannya itu memalukan? Setidaknya derajat kita masih lebih baik darinya.'

'Dia pasti menggoda Raja supaya menyukai laki-laki banci. Raja tidak akan selera dengan modelan begitu.'

'Aku tidak habis pikir kenapa Raja mau memasukkan laki-laki ke dalam rumah selirnya? Tampang lusuh kampungan begitu, apa Raja tidak mual?'

'Liat saja nanti, siapa yang harus menelan malu? Bukannya ini 4 minggu sejak dia menjalani pernikahan bersama Raja? Aku ingin liat wajah malunya di hadapan dewan kerajaan.'

'Kalau dia gagal juga, aku akan mempermalukannya nanti selama teronggok di sini.'

Demi Tuhan, Sunghoon tidak tahan. Tolong ingatkan jika dia laki-laki. Memangnya laki-laki mana yang mau diremehkan dan dicaci maki perempuan seperti itu? Persetan dengan hasil yang akan dia dapat nanti, ia akan memutuskan pergi dari istana.

Pagi ini, para Baron, Viscount dan Marquess Aldebaron berkumpul di satu tempat, tidak terkecuali Jake dan Jay. Setiap kali Raja mengumumkan pernikahan, beberapa bulan sekali bangsawan sekaligus tokoh penting pengurus istana berkumpul menyaksikan berita soal kelangsungan keturunan Raja. Demi menangkal rumor yang terus beredar jika Raja junjungan mereka dikutuk atau Aldebaron yang menguasai hampir seluruh wilayah kepulauan Levirne hingga Penthesilea itu akan kehilangan kejayaan.

Dalam artian, pemerintahan mereka akan runtuh.

“Bisa kita mulai?” ujar tabib.

Helaan disertai decak Sunghoon lemparkan pada pria tua berjubah putih yang dianggap orang paling suci di Aldebaron. Jangankan tabib, dia muak melihat raut muka dewan kerajaan yang jatuhnya seperti merendahkan statusnya. Kalau saja Sunghoon tidak tergiur hidup damai tanpa 7 kakaknya, dia tidak akan mungkin berakhir seperti ini. Dia bahkan tidak tahu sejak kapan Raja tertarik menikahi laki-laki.

Sedangkan Jake, ekspresinya tidak terbaca. Memandang lurus Sunghoon yang belum menunjukkan reaksi, kepalanya tertunduk tanpa pikirannya bisa terbaca oleh Jake. Padahal Jay sedang berbisik, ia hiraukan demi memperhatikan si selir bungsu.

Lima menit, 10 menit, hening. Semua menanti, layaknya menunggu hujan di musim kemarau yang panjang. Hingga, Tabib Kim tiba-tiba berdiri menghadap Jake dengan wajah kaku setelah memeriksa lengan kiri Sunghoon lamat, berkali-kali sampai kelopak mata beliau melebar.

“Bagaimana hasilnya?” tanya Jake cepat, menegakkan punggungnya menunggu hasil.

“Se-selir Park sedang mengandung, Paduka.”

Tidak ada respon berarti, pun sama hal Sunghoon yang diam tidak bergerak dari posisinya. Di kepalanya hanya ada bagaimana cara dia akan melewati gerbang untuk lari setelah ini.

“Mengandung?” Alis Jake terpaut bingung.

Tabib Kim menarik lengkung bibir, mengangkat dua tangannya sebelum bersimpuh di lantai berlapis karpet merah menjuntai.

“Selamat, Yang Mulia. Setelah bertahun-tahun lama, kerajaan ini akan segera memiliki putra mahkota!”

Sontak perkataan tabib mengundang riuh serta sorakan dewan kerajaan, tidak terkecuali Jake. Gelakan tawa bercampur haru tergambar di wajahnya, melirik Jay yang syok bukan main.

“Ta-tapi dia laki-laki…” protes Jay.

“Apa perlu aku mengganti nama posisi permaisuri dengan Baginda Adipati Aldebaron?”

Namun di antara kabar gembira itu, Sunghoon masih mengerjap tidak percaya. Apalagi saat Tabib Kim memutar badan menyembah di bawah kakinya, dia tidak sebahagia itu. Padahal dia sempat menginginkan posisi permaisuri.

Tolong katakan pada Sunghoon jika semua ini hanya mimpi buruk di siang bolong. Tolong katakan padanya jika dia tidak benar-benar mengandung.


Sesuai aturan kerajaan, malam ini Sunghoon akan pindah dari statusnya di rumah selir. Agak tergelitik membayangkan wajah wanita-wanita di sana ketika kabar dirinya diangkat menjadi Adipati—sebutan pendamping Raja selain permaisuri–disebarkan ke seluruh istana. Tapi, baru juga dia membulatkan mulutnya terkesima dengan ruangan baru yang akan dia tinggali, nafasnya terhela malas. Jake duduk di tepi ranjang melipat lengan seolah memang sedang menunggunya.

Refleks, Sunghoon meraih pintu lagi.

“Mau kemana?” tanya Jake.

“Kondangan,” ketusnya membuat Raja terakhir itu mengerutkan dahi. “Ya tidur di rumah selir lah.”

“Kenapa? Kamar ini milik kita. Jadi, tidak perlu lagi tidur di rumah selir. Kamu Adipatiku sekarang.”

Giliran Sunghoon memandang Jake aneh, “Kita? Maaf, Baginda. Sekalipun saya berstatus Permaisuri, Adipati atau apapun itu, saya tidak akan sekamar dengan anda.”

“Kamu masih tidak menyukaiku?”

“Sangat.”

Mendengar penuturan judes Sunghoon, Jake terkekeh. Menurunkan kakinya menapak di lantai, kemudian berjalan selangkah demi langkah mendekati istri yang memunggunginya.

“Disaat semua orang menyukaiku, memujaku, mengagungkan namaku, apa yang membuat kamu tidak menyukaiku?”

“Apa tidak suka itu perlu alasan?”

Jake mendorong maju wajahnya begitu dia berdiri tepat di belakang Sunghoon, menghirup aroma persik dan chamomile yang menguar dari kulit lehernya.

“Aku punya semua hal di dunia ini yang tidak dimiliki siapapun, termasuk rasa tidak suka dan benci. Aku bisa memenggal kepala setiap orang yang mengibarkan perang padaku, termasuk kamu.”

“Pembohong.”

“Apa perkataan Raja adalah sebuah kebohongan untukmu? Tidak menyukaiku, tidak menyembah di bawah kakiku, tidak pernah menyebut namaku, tidak menurutiku, semuanya. Raja tidak akan mau ditolak rakyatnya.”

“Aku bukan rakyatmu—”

“Tapi kamu istriku. Rakyat saja aku tidak mau menerima tolakan, apalagi istriku sendiri yang akan melahirkan putra mahkota?” Jake menenggelamkan hidung bangirnya di tengkuk Sunghoon, mengecup singkat lalu berbisik rendah. “Bukannya kamu merindukanku, Park Sunghoon?”

“Sejak kapan?” sergah Sunghoon, memejamkan mata ketika Jake meniup belakang telinganya.

“Sejak malam pernikahan.”

Deg

Sunghoon tidak sadar, Jake tersenyum tengil seraya menjauhkan diri dan duduk kembali di atas ranjang. Berbeda dengan Sunghoon yang membeku memikirkan setiap jengkal perkataan Jake.

“Malam ini dan seterusnya kamu harus terbiasa tidur berdua denganku. Kalau kamu tidak mau, aku akan memaksa.”

“Aku tidur di sofa saja.”

Seperti dugaannya, Sunghoon memilih opsi lain, menjauhi pintu menuju sofa. Ingatan Jake memutar memori beberapa bulan silam, saat ia dan Sunghoon berdua menjelajahi hutan panjang sebelum sampai di istana. Berulang kali Sunghoon mencoba lari kabur darinya, berulang kali juga si Park itu kembali padanya.

Intinya, tameng pelindung Sunghoon terlalu tinggi untuk keberaniannya yang lunak.

“Sunghoon, kemari.”

“Aku akan tidur disini.” Sunghoon menempatkan bantal di sisi sofa, bersiap akan tidur sebelum suara Jake lagi-lagi membuatnya berhenti.

“Baiklah, kalau kamu lebih nyaman tidur di sofa. Aku juga akan tidur di sofa berdua denganmu.”

Tidak!” bentak Sunghoon, mengangkat tangannya mengkode Jake untuk tidak turun dari atas tempat tidur.

“Kenapa?”

Sunghoon meringis. “Tidak boleh, ya tidak boleh!”

“Aku suamimu, kalau kamu lupa. Suami harus menderita kalau istrinya menderita.” Jake bersikap santai, bertolak belakang dari Sunghoon yang meneguk ludahnya menenangkan panik jantung.

“Aku sama sekali tidak menderita tidur di sofa! Tidur saja di ranjang. Anda tidak pantas tidur di atas sofa, Paduka Raja.” Sebenarnya Sunghoon agak malas membawa panggilan formalitas itu, situasi yang memaksanya bersopan santun.

“Kalau aku tidak mau?”

“Harus mau.”

“Sayangnya aku tidak mau.” Jake turun menarik bantal, membuat Sunghoon buru-buru berlari ke arah Jake supaya tidak berpindah dari kasur. Tapi bukannya menuruti permintaan istrinya, seringai Jake menyungging dan belum juga Sunghoon sadar tipu daya buatan laki-laki Shim itu, Jake menarik lengannya hingga mereka sama-sama jatuh ke ranjang.

“YA! Apa-apaan?!”

“Sudah aku bilang, aku akan memaksa 'kan?”

Sunghoon tidak peduli, mengerahkan seluruh kekuatan menyingkirkan bahu Jake yang menindih badannya, berakhir percuma karena lengannya lebih kuat dicengkram ke atas kepala.

“JAKE!” bentak Sunghoon.

“Siapapun yang menolak Raja Jake dari klan Shim Aldebaron harus dapat hukuman dari tindakannya.”

Shireo—”

Belum sampai Sunghoon menuntaskan penolakan, Jake membungkam ranumnya. Mengecup, sesekali menghisap, memainkan lidah istrinya yang masih dilanda ombak kejutan. Hanya sebentar sebelum Jake melepaskan kontak, menyatukan hidung mereka.

“Kalau bencimu tidak punya alasan, aku akan membuatmu menyukaiku tanpa alasan. Aku hidup keras selama 27 tahun demi pantas mendapat posisi Raja bagi rakyatku, siapapun tidak berhak membenciku apalagi menolakku.”

“Seandainya aku tidak mempercayai ramalan wanita tua di Pasar Haman sore itu, aku tidak akan bertemu dengan laki-laki keras kepala sepertimu—yang berani menginjakku, padahal dia sendiri tidak begitu tangguh,” lanjut Jake.

“Sekarang saat suram sudah diganti sinar matahari dan bulan purnama terlihat lagi di langit gelap, aku tahu alasan kenapa hidupku tidak pernah secerah hari ini.”

“Empat minggu tidak bisa dekat denganmu itu menyiksaku, aku tidak berhenti memikirkanmu setiap malam, berharap keputusanku membawamu kemari benar. Sekalipun kamu masih tidak menyukaiku.”

“Entah bagaimana perasaan kecil ini muncul, walau kita hanya menghabiskan sebulan penuh lalu jarang bersua lagi selama sebulan, aku tidak bisa tidak mengingat sikap random, labil dan anehmu itu.”

Senyum Jake melengkung, menyeka rambut Sunghoon ke belakang telinga kemudian mendekat dan berbisik lagi. “Walau kamu sulit mengakui atau menerima ini, tapi sepertinya aku memang jatuh cinta pada laki-laki sepertimu, Park Sunghoon.”

Mendengar penuturan Jake, Sunghoon terdiam. Menghunuskan tatapannya lagi hingga bertabrakan lagi dengan obsidian gelap milik Jake.

“Kamu tidur saja di sini, aku akan tidur di kamar lain jika kamu masih tidak menyukaiku.”

Akhirnya mengalah, Jake menegakkan punggung dan turun dari atas tempat tidur, meninggalkan kecupan hangat di dahi Sunghoon sebelum benar-benar pergi. Di antara keheningan, Sunghoon melirik punggung Jake yang sebentar lagi akan menghilang dari daun pintu.

Pria Shim itu mengakui perasaannya secara langsung, menyingkirkan tinggi statusnya bahwa Raja tidak akan pernah memohon pada siapapun, semua orang yang harus memohon padanya.

“Jake!”

Panggilan Sunghoon sontak mengurungkan niat Jake menarik gagang pintu, meneleng tanpa memutar badan ketika dua lengan Sunghoon melingkari perutnya membuat kelopak mata Raja Aldebaron melebar saking terkejut.

“Sunghoon?”

“Tidur saja di sini, a-aku tidak keberatan. Jangan pergi.”

“Tapi kamu memilih tidur di sofa untuk menghindariku 'kan? Aku tidak ingin kamu sakit tidur di tempat sempit—”

Sunghoon cepat menggeleng, “Tidur berdua denganku di ranjang.”

Jake termangu, menghadapkan dirinya pada Sunghoon yang memasang wajah sendu, atau raut bersalah? Jake tidak yakin. Telapak besarnya memangku rahang Adipatinya hingga mendongak.

“Kalau kamu memaksa, kita akan tidur berdua. Aku tidak akan menyentuhmu, aku akan menjaga jarak supaya kamu bisa tidur nyenyak. Oke?”

Sayangnya, Sunghoon menggeleng lagi seraya menunduk. Telunjuk dan ibu jarinya dia ulur menarik ujung piyama tidur Jake, membuat alis tebal pria Shim itu menukik bingung.

“A-aku juga merindukanmu,” cicitnya pelan. “La-lagipula, aku tidak benar-benar tidak menyukaimu. Aku hanya—” Sunghoon menggigit bibir bawahnya, berupaya bicara tanpa terdengar gugup.

“Hanya?” Jake mengulang kata, menunggu dengan raut serius sebelum sisi wajahnya ditarik dan Sunghoon menyatukan bibir mereka lagi. Nyawa Jake masih belum mengerti situasi, memandang kelopak mata Sunghoon yang menutup rapat dalam penyatuan ranum mereka. Melumat, sesekali menghisap dan Sunghoon mulai sadar ketika Jake mulai menguasai alurnya.

Tubuhnya dituntun jatuh ke atas ranjang berbaring, menerima setiap kecupan, gelenyar dan kikikan geli yang coba dia tahan.

Hingga Jake yang pertama melepas kontak—

“Aku ingin kamu, Sunghoon.”

Di bawah kungkungan Jake, Sunghoon mengais udara menstabilkan detak jantungnya—mencoba mencerna maksud terselubung di balik kata-kata Jake.

“Ta-tapi...”

Jake meraih jemari Sunghoon dan dikecup. “Kita sama-sama punya perasaan yang sama. Aku akan buktikan ke kamu kalau kata-kataku bukan main-main. Kamu percaya padaku 'kan, Sayang?”

“Apa itu akan sakit untuk yang kedua kalinya?” Sunghoon berusaha mencari harapan di setiap kedipan tajam Jake yang menguarkan gairah. Namun yang dia temukan hanya ketulusan dan senyuman penuh keyakinan suaminya sambil berbisik rendah,

“Tidak ada dayang di luar. Hanya kamu dan aku. Aku tidak akan bermain kasar, tidak seperti malam pertama yang terburu-buru.”

“Be-berapa lama?” tanya Sunghoon dengan bahu menyempit karena Jake mulai melucuti kancing piyamanya, mengusap kulit di sisi leher membuatnya hampir menggelinjang aneh.

“Sampai pagi kalau perlu, sampai jarak di antara kita benar-benar habis di titik nol.”

“Papa, di sekolah ada anak baru namanya Yunhee. Kata temen-temen dia mirip sama Hyeon. Marga Hyeon sama Yunhee juga sama-sama Shim.”

“Terus kalian temenan?”

Hyeon mengangguk. “Yunhee bilang ibunya sudah meninggal, sama kayak Hyeon, tapi kalo Hyeon ayahnya yang meninggal.” Sunghoon mengulas senyum.

“Hmm, Papa jadi penasaran Yunhee itu kayak gimana kalo Hyeon bilang punya temen baru.”

“Yunhee cantik, kalo senyum ada dimpelnya dikit.” Hyeon bercerita sembari menerawang ke atap kamar, seolah tengah membayangkan wajah teman perempuannya. “Ah! Yunhee bilang dia mau ketemu sama Papanya Hyeon. Katanya mau kasih hadiah buat Papa.”

“Sama Papa? Kenapa Papa? Bukannya Hyeon yang harusnya dikasih hadiah? Kan Hyeon kemarin ulang tahun.”

“Yunhee mau bilang makasih ke Papanya Hyeon karena udah lahirin Hyeon ke dunia dan jadi temennya Yunhee.” Sunghoon tertawa mendadak, mengusap rambut jamur putranya lalu menguyel pipi gembilnya gemas.

“Dah yuk tidur, besok harus masuk pagi supaya nggak terlambat 'kan? Hyeon bilang ada lomba lari.”

Heum.” Tidak butuh waktu banyak Hyeon menarik selimutnya, tenggelam di pelukan Sunghoon. Di tengah kesunyian kamar itu Sunghoon menerawang ke jendela, menepuk punggung putranya lembut lalu bibirnya menggumam lagu pengantar tidur.

Tidak terasa 8 tahun berlalu seperti kakinya hanya berjalan 2 jam melewati setapak berkabut. Walau trauma dan ketakutan itu masih tersisa di hatinya, ia tidak dijatuhi hukuman atas kematian Jake. Sama halnya Jake merekayasa kematian Sunoo, Sunghoon pun melakukan hal yang sama. Setidaknya sekarang ia tidak menyesali keputusannya mengakhiri hidup suaminya sendiri demi hidup orang lain. Hanya Hyeon satu-satunya yang tersisa dan ditinggalkan Jake untuknya.

Kalau dosanya tidak bisa diampuni, setidaknya ia akan menjaga permata mereka, Shim Hyeon. Bagaimana pun, Jake sosok yang pernah dia cintai, Sunghoon tidak akan melupakan kenangan masa lalu mereka. 

Dia sempat membayangkan bagaimana hidup mereka lengkap dengan Jake di sisinya, merawat Hyeon bersama-sama dan tahu setiap detail tumbuh kembangnya. Namun di sisi berlawanan, Sunghoon membenci Jake.

Kalau seandainya waktu itu bisa diputar kembali, di hari itu dia tidak akan menolong Jake dan mengatakan kalimat yang mengubah seluruh hidupnya.


“Katanya takut telat, tapi kenapa kita nunggu di depan gerbang sekolah begini? Yunhee pasti sudah masuk kelas.” Sunghoon melirik Hyeon yang masih kukuh menggandeng tangan Papanya demi menemui Yunhee seperti katanya kemarin. Hingga 10 menit berlalu pun, mereka tidak melihat sosok anak perempuan seumur Hyeon berteriak menyapa.

“Kita masuk kelas aja ya?”

Hyeon merengek tidak mau, menggoyangkan genggaman tangan Sunghoon sambil pandangannya lurus ke depan.

“Nanti kalo Hyeon telat masuk kelas gimana? Bel sebentar lagi bunyi. Papa kan harus kerja juga.” Sunghoon masih bersikeras membujuk, supaya Hyeon mau diantar masuk ke dalam kelas. Akan menghabiskan banyak waktu berjalan dari sekolah Hyeon ke halte lalu menuju kantornya.

“Itu Yunhee!”

Sunghoon berniat akan memaksa Hyeon masuk kelas kalau saja putranya tidak tiba-tiba berteriak ke arah gadis kecil yang lari terburu-buru karena hampir terlambat. Hatinya menghela nafas lega.

“Ini Papanya Hyeon. Papa, ini Yunhee temen barunya Hyeon yang kemarin.”

“Selamat pagi, Paman.” Sunghoon membalas dengan senyum, memperhatikan Yunhee yang membungkuk sebelum buru-buru lari ke arah mobil yang sempat membawanya datang tadi.

Sesekali ia melirik ke arah jam di pergelangan kirinya, sudah hampir pukul 8 pagi. Ia bisa terlambat. Sunghoon menekuk lutut dan mendongak menatap Hyeon dengan wajah bersalah.

“Papa nggak bisa lama-lama nemenin Hyeon. Nanti setelah ini Hyeon sama Yunhee masuk ke kelas ya?” Hyeon terlihat tidak rela, bibirnya mengerucut, tapi kemudian mengangguk pelan sembari manik hitamnya fokus pada Yunhee yang sedang bicara dengan seorang pria—mungkin ayahnya.

“Papa pamit ya—”

“Apa anda orang tua Hyeon?”

Deg

Belum juga sempat Sunghoon melambai ke putranya, langkahnya dipaksa berhenti mendengar suara familiar yang begitu dia rindu selama bertahun-tahun. Refleks dia menoleh, mendapati sosok Jake dengan senyum lebar yang rupawan berjalan mendekatinya.

“J-Jake?” lirihnya.

Dunia Sunghoon serasa membeku. Waktu seolah melambat ketika sosok mirip Jake mengulurkan tangannya, menatapnya tepat dengan raut penuh keramahan.

“Perkenalkan nama saya Shim Jaeyun. Senang bertemu dengan anda, Papa Hyeon? Yunhee banyak cerita tentang Hyeon, jadi kupikir apa salahnya menyapa kalian dan berterima kasih karena sudah baik pada Yunhee.”

Sunghoon tidak tahu harus membalas apa, sekujur tubuhnya syok. Bahkan nama asli mereka pun sama, tidak mungkin ada yang namanya kebetulan seidentik itu. Wajah, perawakan, suara dan nama. Sunghoon mengenal Jake selama 9 tahun lamanya, terlalu mengenal bahkan. Ia tidak mungkin salah mengira jika laki-laki di depannya memang Jake.

“Anda baik-baik saja?”

Suara Jaeyun lagi-lagi terdengar, membuat tungkai kaki Sunghoon mundur menjauh. Bibirnya bergetar, jantungnya seperti diguncak ombak besar yang menyeretnya ke tepi pantai. Sunghoon menggeleng, tidak bisa menerima yang dia lihat, air mata juga sudah hampir tidak tertampung saking lonjak kejutan yang dia terima. Apa ini hadiah yang dimaksud putranya kemarin?

Cepat-cepat ia membuang muka, menyeka air mata dan meneleng pada Hyeon.

“Papa pamit ya?”

Tanpa menjabat uluran tangan Jaeyun, Sunghoon berjalan pergi, tidak membalas ataupun memberi Ayah dari Yunhee itu senyum. Biar dikata tidak punya sopan santun, dadanya terlalu sesak, perasaannya kacau balau melihat pria mirip Jake, atau bisa juga itu Jake, muncul di depannya setelah sekian lama.

Sunghoon hanya belum siap. Bahkan halte yang seharusnya lebih cepat sampai ketika berlari pun tidak kunjung terlihat.

Jake masih hidup? Atau hanya perasaannya?


Di sisi berlawanan, Jaeyun berlutut di depan gundukan rerumputan yang setengah basah karena hujan sore ini, meletakkan satu karangan bunga di atas makam kakaknya. Terlalu cepat dia ditinggalkan saat dia belum bicara ataupun menatap wajah saudara kembarnya.

Raut muka yang semula lembut itu berangsur memudar, diganti seringai kebahagiaan.

“Harusnya aku berterima kasih padamu karena menggantikanku mati. Setidaknya sekarang giliranku merebut Sunghoon darimu 'kan? Sejak awal kamu berpura-pura menjadi Shim Jaeyun yang lemah, mau-maunya ditindas dan mendapatkan hati Sunghoon. Sedangkan aku Shim Jaeyun yang asli tidak punya kesempatan melihat senyum Sunghoon apalagi melihatku. Aku hidup di balik punggungmu dan melakukan semuanya untukmu. Termasuk membunuh satu persatu orang yang mendekati Sunghoon, bahkan ibu kita sendiri.”

Hyung, kamu tahu rasanya dibuang 'kan? Itu yang aku rasakan saat ibu membuangku dan tidak pernah menganggapku anaknya karena bodoh. Ibu hanya mengakuimu, lalu aku membunuhnya saat Ibu meremehkan Sunghoon dan melarangmu menikah dengan laki-laki miskin. Tapi aku bahkan tidak dapat apa-apa dari semua yang sudah aku lakukan.”

“Sekarang kamu mati, bahkan di tangan Sunghoon sendiri. Apa ini yang namanya karma? Kamu mengancam akan mengirimku paksa ke Australia jika aku tidak menurutimu. Bukannya aku cukup baik? Aku merelakanmu dengan Sunghoon dan melampiaskan rasa cinta bertepuk sebelah tanganku pada Minhee, lalu kami punya Yunhee di antara kami.”

“Sayang sekali Minhee mati karena sakitnya, sama sepertimu yang mati terbunuh. Hah, Tuhan memang tidak pernah salah mengirim jalan takdir. Aku, Shim Jaeyun yang asli selamanya akan ditakdirkan untuk Sunghoon. Bukan kamu, Shim Jaehyun.”

“Beristirahatlah yang tenang, Jaehyun Hyung. Kuharap kamu tahu posisimu sekarang. Adikmu yang akan menggantikanmu merebut hati Sunghoon. Percaya padaku, aku akan menjaga Sunghoon lebih baik darimu. Aku juga akan menjaga Hyeon—andwae, bagaimana kalau aku membunuh Hyeon anakmu, darah dagingmu? Bukannya itu bagus?”

Jaeyun tertawa, menepuk lututnya yang berdebu karena tanah yang dia tumpu, bangkit berdiri dan menarik senyum lebar menakutkan untuk mendiang sang kakak.

“Aku turut bersedih, semoga kamu ditempatkan di surga, kakakku. Jangan mengkhawatirkan Sunghoon. Dia tidak akan pernah lagi kehilangan Shim Jaeyun-nya.”

Note : *Mention above, CRAVITY Kang Minhee.

“Papa, di sekolah ada anak baru namanya Yunhee. Kata temen-temen dia mirip sama Hyeon. Marga Hyeon sama Yunhee juga sama-sama Shim.”

“Terus kalian temenan?”

Hyeon mengangguk. “Yunhee bilang ibunya sudah meninggal, sama kayak Hyeon, tapi kalo Hyeon ayahnya yang meninggal.” Sunghoon mengulas senyum.

“Hmm, Papa jadi penasaran Yunhee itu kayak gimana kalo Hyeon bilang punya temen baru.”

“Yunhee cantik, kalo senyum ada dimpelnya dikit.” Hyeon bercerita sembari menerawang ke atap kamar, seolah tengah membayangkan wajah teman perempuannya. “Ah! Yunhee bilang dia mau ketemu sama Papanya Hyeon. Katanya mau kasih hadiah buat Papa.”

“Sama Papa? Kenapa Papa? Bukannya Hyeon yang harusnya dikasih hadiah? Kan Hyeon kemarin ulang tahun.”

“Yunhee mau bilang makasih ke Papanya Hyeon karena udah lahirin Hyeon ke dunia dan jadi temennya Yunhee.” Sunghoon tertawa mendadak, mengusap rambut jamur putranya lalu menguyel pipi gembilnya gemas.

“Dah yuk tidur, besok harus masuk pagi supaya nggak terlambat 'kan? Hyeon bilang ada lomba lari.”

Heum.” Tidak butuh waktu banyak Hyeon menarik selimutnya, tenggelam di pelukan Sunghoon. Di tengah kesunyian kamar itu Sunghoon menerawang ke jendela, menepuk punggung putranya lembut lalu bibirnya menggumam lagu pengantar tidur.

Tidak terasa 8 tahun berlalu seperti kakinya hanya berjalan 2 jam melewati setapak berkabut. Walau trauma dan ketakutan itu masih tersisa di hatinya, ia tidak dijatuhi hukuman atas kematian Jake. Sama halnya Jake merekayasa kematian Sunoo, Sunghoon pun melakukan hal yang sama. Setidaknya sekarang ia tidak menyesali keputusannya mengakhiri hidup suaminya sendiri demi hidup orang lain. Hanya Hyeon satu-satunya yang tersisa dan ditinggalkan Jake untuknya.

Kalau dosanya tidak bisa diampuni, setidaknya ia akan menjaga permata mereka, Shim Hyeon. Bagaimana pun, Jake sosok yang pernah dia cintai, Sunghoon tidak akan melupakan kenangan masa lalu mereka. 

Dia sempat membayangkan bagaimana hidup mereka lengkap dengan Jake di sisinya, merawat Hyeon bersama-sama dan tahu setiap detail tumbuh kembangnya. Namun di sisi berlawanan, Sunghoon membenci Jake.

Kalau seandainya waktu itu bisa diputar kembali, di hari itu dia tidak akan menolong Jake dan mengatakan kalimat yang mengubah seluruh hidupnya.


“Katanya takut telat, tapi kenapa kita nunggu di depan gerbang sekolah begini? Yunhee pasti sudah masuk kelas.” Sunghoon melirik Hyeon yang masih kukuh menggandeng tangan Papanya demi menemui Yunhee seperti katanya kemarin. Hingga 10 menit berlalu pun, mereka tidak melihat sosok anak perempuan seumur Hyeon berteriak menyapa.

“Kita masuk kelas aja ya?”

Hyeon merengek tidak mau, menggoyangkan genggaman tangan Sunghoon sambil pandangannya lurus ke depan.

“Nanti kalo Hyeon telat masuk kelas gimana? Bel sebentar lagi bunyi. Papa kan harus kerja juga.” Sunghoon masih bersikeras membujuk, supaya Hyeon mau diantar masuk ke dalam kelas. Akan menghabiskan banyak waktu berjalan dari sekolah Hyeon ke halte lalu menuju kantornya.

“Itu Yunhee!”

Sunghoon berniat akan memaksa Hyeon masuk kelas kalau saja putranya tidak tiba-tiba berteriak ke arah gadis kecil yang lari terburu-buru karena hampir terlambat. Hatinya menghela nafas lega.

“Ini Papanya Hyeon. Papa, ini Yunhee temen barunya Hyeon yang kemarin.”

“Selamat pagi, Paman.” Sunghoon membalas dengan senyum, memperhatikan Yunhee yang membungkuk sebelum buru-buru lari ke arah mobil yang sempat membawanya datang tadi.

Sesekali ia melirik ke arah jam di pergelangan kirinya, sudah hampir pukul 8 pagi. Ia bisa terlambat. Sunghoon menekuk lutut dan mendongak menatap Hyeon dengan wajah bersalah.

“Papa nggak bisa lama-lama nemenin Hyeon. Nanti setelah ini Hyeon sama Yunhee masuk ke kelas ya?” Hyeon terlihat tidak rela, bibirnya mengerucut, tapi kemudian mengangguk pelan sembari manik hitamnya fokus pada Yunhee yang sedang bicara dengan seorang pria—mungkin ayahnya.

“Papa pamit ya—”

“Apa anda orang tua Hyeon?”

Deg

Belum juga sempat Sunghoon melambai ke putranya, langkahnya dipaksa berhenti mendengar suara familiar yang begitu dia rindu selama bertahun-tahun. Refleks dia menoleh, mendapati sosok Jake dengan senyum lebar yang rupawan berjalan mendekatinya.

“J-Jake?” lirihnya.

Dunia Sunghoon serasa membeku. Waktu seolah melambat ketika sosok mirip Jake mengulurkan tangannya, menatapnya tepat dengan raut penuh keramahan.

“Perkenalkan nama saya Shim Jaeyun. Senang bertemu dengan anda, Papa Hyeon? Yunhee banyak cerita tentang Hyeon, jadi kupikir apa salahnya menyapa kalian dan berterima kasih karena sudah baik pada Yunhee.”

Sunghoon tidak tahu harus membalas apa, sekujur tubuhnya syok. Bahkan nama asli mereka pun sama, tidak mungkin ada yang namanya kebetulan seidentik itu. Wajah, perawakan, suara dan nama. Sunghoon mengenal Jake selama 9 tahun lamanya, terlalu mengenal bahkan. Ia tidak mungkin salah mengira jika laki-laki di depannya memang Jake.

“Anda baik-baik saja?”

Suara Jaeyun lagi-lagi terdengar, membuat tungkai kaki Sunghoon mundur menjauh. Bibirnya bergetar, jantungnya seperti diguncak ombak besar yang menyeretnya ke tepi pantai. Sunghoon menggeleng, tidak bisa menerima yang dia lihat, air mata juga sudah hampir tidak tertampung saking lonjak kejutan yang dia terima. Apa ini hadiah yang dimaksud putranya kemarin?

Cepat-cepat ia membuang muka, menyeka air mata dan meneleng pada Hyeon.

“Papa pamit ya?”

Tanpa menjabat uluran tangan Jaeyun, Sunghoon berjalan pergi, tidak membalas ataupun memberi Ayah dari Yunhee itu senyum. Biar dikata tidak punya sopan santun, dadanya terlalu sesak, perasaannya kacau balau melihat pria mirip Jake, atau bisa juga itu Jake, muncul di depannya setelah sekian lama.

Sunghoon hanya belum siap. Bahkan halte yang seharusnya lebih cepat sampai ketika berlari pun tidak kunjung terlihat.

Jake masih hidup? Atau hanya perasaannya?


Di sisi berlawanan, Jaeyun berlutut di depan gundukan rerumputan yang setengah basah karena hujan sore ini, meletakkan satu karangan bunga di atas makam kakaknya. Terlalu cepat dia ditinggalkan saat dia belum bicara ataupun menatap wajah saudara kembarnya.

Raut muka yang semula lembut itu berangsur memudar, diganti seringai kebahagiaan.

“Harusnya aku berterima kasih padamu karena menggantikanku mati. Setidaknya sekarang giliranku merebut Sunghoon darimu 'kan? Sejak awal kamu berpura-pura menjadi Shim Jaeyun yang lemah, mau-maunya ditindas dan mendapatkan hati Minhee. Sedangkan aku Shim Jaeyun yang asli tidak punya kesempatan melihat senyum Sunghoon apalagi melihatku. Aku hidup di balik punggungmu dan melakukan semuanya untukmu. Termasuk membunuh satu persatu orang yang mendekati Sunghoon, bahkan ibu kita sendiri.”

Hyung, kamu tahu rasanya dibuang 'kan? Itu yang aku rasakan saat ibu membuangku dan tidak pernah menganggapku anaknya karena bodoh. Ibu hanya mengakuimu, lalu aku membunuhnya saat Ibu meremehkan Sunghoon dan melarangmu menikah dengan laki-laki miskin. Tapi aku bahkan tidak dapat apa-apa dari semua yang sudah aku lakukan.”

“Sekarang kamu mati, bahkan di tangan Sunghoon sendiri. Apa ini yang namanya karma? Kamu mengirimku paksa ke Australia supaya aku tidak bisa kembali ke Korea begitu kamu menikah dengan Sunghoon. Bukannya aku cukup baik? Aku merelakanmu dengan Sunghoon dan melampiaskan rasa cinta bertepuk sebelah tanganku pada Minhee, lalu kami punya Yunhee di antara kami.”

“Sayang sekali Minhee mati karena sakitnya, sama sepertimu yang mati terbunuh. Hah, Tuhan memang tidak pernah salah mengirim jalan takdir. Aku, Shim Jaeyun yang asli selamanya akan ditakdirkan untuk Sunghoon. Bukan kamu, Shim Jaehyun Hyung.”

“Beristirahatlah yang tenang, Jaehyun Hyung. Kuharap kamu tahu posisimu sekarang. Adikmu yang akan menggantikanmu merebut hati Sunghoon. Percaya padaku, aku akan menjaga Sunghoon lebih baik darimu. Aku juga akan menjaga Hyeon—andwae, bagaimana kalau aku membunuh Hyeon anakmu, darah dagingmu? Bukannya itu bagus?”

Jaeyun tertawa, menepuk lututnya yang berdebu karena tanah yang dia tumpu, bangkit berdiri dan menarik senyum lebar menakutkan untuk mendiang sang kakak.

“Aku turut bersedih, semoga kamu ditempatkan di surga, kakakku. Jangan mengkhawatirkan Sunghoon. Dia tidak akan pernah lagi kehilangan Shim Jaeyun-nya.”

Note : *Mention above, CRAVITY Kang Minhee.

Jake menarik senyum, bergerak menggenggam tangan Sunghoon yang dingin. Usai Sunoo meninggal dengan lubang peluru menembus kepala, seminggu setelahnya Sunghoon dirawat di rumah sakit.

Bukan artian rumah sakit umum sebenarnya, lebih mirip rumah sakit perawatan untuk pasien kriminal dan gangguan jiwa. Jake sebagai pelaku di balik insiden mengaku dan bersaksi bahwa istrinya yang melakukan pembunuhan berencana pada sahabat semasa kuliahnya.

Sunghoon dendam pada Sunoo karena punya hubungan khusus dengan suaminya, kira-kira begitu alasan yang ditunjukkan Jake sambil melampirkan bukti-bukti rekayasa pembunuhan Sunoo.

Ah, Sunghoon lupa. Memang dirinya siapa? Berani melawan Jake itu artinya membuang sia-sia nyawanya. Bahkan bukti rekayasa bisa dia putar balik seolah Sunghoon yang bersalah dan melakukan semuanya. 

“Kamu makin cantik pagi ini, apa anak kita perempuan?” Jake menyentuh pipi putih Sunghoon yang bersemu merah, tapi dihempas keras dan dibalas tatapan menjijikkan yang tidak sekali istrinya lemparkan.

Masih ingat dalam kepalanya, Jake juga melenyapkan orang-orang di sekitarnya, terutama laki-laki. Hanya sekecil mendapati senyum Sunghoon untuk orang lain, Jake sudah bersiap mengasah belati dan pelan-pelan menyodorkan ujung runcingnya. Hidup Sunghoon mirip burung dalam sangkar, semuanya diatur, tidak boleh pergi kemanapun selain di rumah, bahkan sekecil naik berat badan pun Jake tidak suka. 

“Jangan menyentuhku dengan tangan haus darahmu itu, Shim Jake. Pembunuh.” Nafas Sunghoon naik turun tidak stabil, menahan emosi yang berkumpul dan bersiap meledak. Apalagi melihat respon Jake yang hanya tertawa, duduk di tepian ranjang memainkan rambut halusnya.

Tidak peduli berapa banyak sentakan yang diberikan Sunghoon menjauhkan tangan, Jake bersikukuh melakukan kontak fisik. Satu hal yang paling dibenci Sunghoon, bukan berarti dia tidak mau melaksanakan kewajibannya, hanya saja intensitasnya terlalu berlebihan.

“Aku bisa cabut semua tuntutan asal kamu kembali sama aku, Sunghoon. Itu hanya Sunoo 'kan? Belum ibumu.”

Tangan kanan Jake berpindah ke pinggang kiri Sunghoon mengukungnya. Usapan halus di atas bibir pucat berhenti, dibalas delikan maut.

“Jangan mencoba menyentuh ibuku atau kamu akan menyesal seumur hidupmu,” geram Sunghoon. Tetapi Jake enggan mendengar, menelusupkan tangannya berusaha masuk ke baju pasien Sunghoon dan mengusap pinggang istrinya.

“Oh ya? Kalau aku menyentuhmu, kamu tidak menyesal?”

“Hentikan.” Sunghoon memperingati Jake yang sekarang turun menyentuh miliknya di balik celana, sedangkan sisanya melucuti kancing pakaiannya.

“HENTIKAN, SHIM JAKE!” Bahu Jake didorong terjengkang. Sunghoon buru-buru merapikan bajunya yang setengah terbuka dan melempar aura kebencian.

Jake mendadak tertawa keras. “Kenapa? Aku suamimu. Aku berhak atas apapun pada istriku. Bayi dalam perutmu juga milikku.” Langkah Jake kembali mendekati brankar dan duduk di tepiannya, mengagumi wajah samping Sunghoon yang memaling tidak mau melihatnya.

“Aku pernah bilang jika aku benci dihindari olehmu 'kan? Mari buat keputusan paling bijak di antara semua yang terjadi. Kamu membunuh sahabatmu sendiri dan mendekam di penjara rumah sakit jiwa karenanya. Sedangkan kamu masih bersikeras menuduhku yang jelas-jelas berkuasa memutarbalik takdirmu.”

Lelehan air mata Sunghoon tidak bisa lagi ditahan ketika Jake mengucapkan kalimat paling menyiksa hidupnya. Sekuat apapun ia mengatasi ketakutan, serapuh itu juga dia jatuh. Walau kini ia bisa mengelak, tapi seluruh hidupnya tetap ada di tangan Jake.

Ia benci fakta bahwa secara tidak langsung ia menggantung hidup pada suaminya. Begitu juga nasib orang terdekatnya yang satu persatu gugur ditebas pedang kematian Jake.

Bahu sempit Sunghoon bergetar hebat, ia menangis dengan isakan tertahan, membuat Jake memandang iba pada sang istri.

“Ssst, aku tidak suka melihatmu menangis seperti ini.” Seakan pasrah, Sunghoon hanya diam saja ketika Jake menariknya dalam pelukan. Membiarkan pujaan hati menangis sambil kepalanya diusap penuh cinta.

Diam-diam Jake tersenyum. Sunghoon selamanya akan bergantung padanya, tidak bisa hidup tanpanya, begitu pun sebaliknya.

“Kembalilah padaku, Sunghoon. Aku tidak pernah melakukan semua ini jika saja kamu tidak berusaha menjauhiku.”

Jake melepas pelukan, menyeka air mata yang masih membasahi pipi putih sang istri. “Aku melakukan semuanya untukmu. Kamu tahu jika aku mencintaimu lebih dari apa yang aku punya 'kan?”

Sunghoon mengangguk dalam tundukan, hingga dagunya terangkat, Jake menghujamkan ciuman lembutnya hingga lenguhan tidak bisa lagi terelak.

“Setelah ini, kita pulang seperti sedia kala, oke? Jangan mencoba kabur.”

Sunghoon mengangguk samar. Bahkan sebelum perang melawan Jake, dia sudah kalah. Mau dikata apa? Jake menang atas hidupnya.

Dia lelah.

Dia tidak mau orang lain meregang nyawa lagi hanya karena berurusan dengan hidupnya.

Mungkin akan lebih baik untuknya pulang dan hidup terkekang seperti dulu, sambil mencari tahu kelemahan Jake sebelum balas dendamnya tertuntaskan.

“Jadi?”

Terdengar nada frustasi, kesekian kali dari Jake. Sedangkan Sunghoon berusaha menganggap ini serius, bukan main-main saat Jake bilang jika dia tidak mau bertemu dengannya lagi—dalam artian memang putus. Padahal hari ini anniversary mereka yang ke-4, sudah selama itu. Tapi tuturan Jake, bahkan sebelum hobakjuk pesanan mereka tersantap, menghancurkan hatinya.

“Semudah itu? Brengsek.” Begitu kira-kira kata Sunghoon, walau samar, terdengar juga di telinga Jake karena mereka duduk berhadapan.

“Maaf, Sunghoon. Aku hanya ngerasa bosen sama hubungan kita. Kamu, aku, hubungan kita flat. Aku nggak merasakan something yang orang bilang cinta itu tumbuh karena terbiasa.”

Seriously? Bahkan setelah 4 tahun berlalu?”

Jake mengaduk limunnya, tidak mengangguk juga tidak membalas. Dia tahu Sunghoon kecewa berat, apalagi dia bilang jika hubungan mereka tidak menyenangkan. Ayolah, apa cuma Sunghoon yang berharap lebih di hubungan ini sedangkan Jake hanya ala kadar sebagai formalitas?

“Aku akan bertolak ke Brisbane besok, jadi jaga dirimu. Kamu lebih layak dapat yang lebih baik—”

“Dan nggak brengsek kayak kamu 'kan?” sahut Sunghoon. Jake berusaha tidak menyulut sebenarnya, dia mencoba jujur meski menyakitkan. Dua telapak tangan hampa Sunghoon dia raih, tapi berakhir penolakan.

“Pergi, Jake.”

“Sunghoon, aku minta maaf kalau—”

“Pergi atau aku makin nggak rela kamu pergi.”

Mereka sama-sama diam. Jake belum berancang meninggalkan tempat, melihat Sunghoon yang berkaca-kaca menahan air mata di pelupuk sipitnya. “Kalo kamu nggak mau pergi, biar aku yang pergi.”

“Sunghoon.”

Terlambat, Jake tidak punya hak menahan Sunghoon yang langsung pergi menjauh dari meja, keluar dari cafe dengan mengusak pipinya yang basah. Bubur labu kesukaan mereka belum dimakan, Jake mendesah pelan, menarik sendok yang tadi sempat digenggam Sunghoon, mengaduk sup oranye hobakjuk sebelum dimakan pelan-pelan.

Rasanya manis, menggelitik lidahnya.

Sunghoon pasti menanti saat-saat mereka makan bersama satu mangkuk lalu tersenyum karena citarasa lembut sekaligus hangat menyentuh pencecap. Membayangkan mereka selalu makan ini untuk perayaan, Jake jadi agak bersalah. Bukan maunya meninggalkan Seoul dan Sunghoon, tapi hatinya bicara.

Akan lebih baik, mereka menjauh. Sunghoon harus bisa menyembuhkan lukanya, sedangkan ia lambat-lambat melupakan sosoknya.


“Pernikahannya di Brisbane? Sungguh?”

Sunghoon menghentikan gerakannya di atas kertas putih merancang tuxedo, setiap mendengar Brisbane hatinya berdenyut nyeri. Ini sudah 2 bulan semenjak mereka putus. Dibilang sudah lupa, memang iya, tapi Sunghoon benci membayangkan sosoknya ketika siapapun menyebut tempat tinggal Jake di Australia.

“Sunghoon, kamu ikut 'kan?”

“Aku akan tinggal saja.” Jangankan datang langsung ke Brisbane, membayangkan Jake saja menyiksanya. Lukanya masih belum sembuh.

Jungwon yang tahu kondisi Sunghoon menggeleng, menarik kursi kayu menghadap meja sebelum menaruh kepala di lengan yang ditidurkan hingga ia bisa melihat tundukan wajah teman sekantornya.

“Masih soal Jake? Kapan kamu bisa move on?”

“Udah aku coba, susah.”

“Mau tahu sesuatu? Kadang trauma itu bisa disembuhkan dengan trauma itu sendiri. Kamu percaya?”

Sunghoon menggeleng. “Bukannya makin sakit?”

“Tergantung. Walau tanpa kehadirannya aja kamu semenyedihkan ini, mungkin kalau sekali lagi Tuhan kasih kesempatan bertemu, kamu bisa lebih kuat.”

“Kuharap Tuhan nggak mengabulkan doamu.”

“Ya, karena yang menikah Jake 'kan? Sedangkan kamu disini sebagai perancang busana pernikahannya.” Jungwon menarik sketchbook punya Sunghoon kemudian diamati cukup lama.

“Kamu nggak berpikir apa Sean Park cocok pakai ini?” Jungwon menyodorkan lagi gambarnya. Tahu kalau Sunghoon sengaja merancang tuxedo impiannya untuk pasangan Jake bernama Sean.

“Seenggaknya walau bukan aku yang menikah sama Jake, orang lain yang bersanding sama Jake harus pakai baju ini. Jake suka kalau pasangannya pakai baju putih.”

“Apa kamu nggak merasa curiga sama mereka?”

“Buat apa?”

Jungwon mengedikkan bahunya, bangun menyandar ke kursi sebelum melipat lengan memperhatikan Sunghoon. “Bahkan dalam kurun waktu 2 bulan setelah putus, Jake menikah. Desas desusnya Sean hamil 2 bulan juga.”

Sunghoon memejamkan matanya, tidak mau lagi mendengar perihal bagaimana Jake menjalani hidupnya.

“Jungwon, cukup. Jangan buat aku menaruh harapan sama Jake. Dia mau menikah, bukan hal bagus gosip tentang calon pengantin. Pamali.”

Bibir Jungwon melebar. “Aku berharap kamu yang jadi pengantinnya Jake besok di Brisbane.”

“Mimpi darimana itu?” ledek Sunghoon.

“Aku yang dihubungi Jake duluan supaya merencanakan wedding dan minta kamu khusus buat rancang bajunya.”


Hari yang dinanti itu akhirnya tiba, 15 November 2020, musim semi di Brisbane. Setelah sebulan kebut rapat dan bolak balik mengganti konsep, akhirnya usaha keras Sunghoon beserta teman sekantornya sebagai wedding organizer terlaksana.

Sunghoon sedang menata tuxedo putih yang akan dipakai Sean di manekin ketika suara ketukan pantofel membuatnya menoleh dramatis.

Long time no see, Park Sunghoon.”

Sunghoon jelas tahu pemilik suara yang menyapa indah gendang telinganya, suara yang begitu dia rindukan tapi dia tidak berhak, suara yang selalu memujinya, suara yang hampir selalu membuatnya mengangkat bibir tersenyum. Tapi kini, suara itu membuat hatinya teriris perih. Membayangkan Sean memakai tuxedo putih ini bukan dirinya, Sunghoon hanya melirik Jake tanpa minat. Membungkuk punggung hormat sebelum memilih meninggalkan ruang rias Sean.

“Bukankah seharusnya kamu balik menyapaku? Aku costumer yang pakai jasa bisnis kamu dan teman-teman kamu jauh-jauh dari Seoul ke Brisbane.” Jake memainkan jemarinya menggelitik di lengan Sunghoon yang dia tahan—seperti kebiasaannya dulu, memperpendek jarak hingga mereka berdiri berhadapan.

“Saya bahkan tidak memaksa anda memakai jasa kami, Tuan Shim. Saya bukan tidak mau menyapa anda, hanya saja bukan waktu yang tepat dan di situasi yang pas. Sean bisa melihat kita begini kalau dia tiba-tiba masuk ke sini. Pernikahan kalian hanya tinggal menunggu hitungan jam.”

“Memangnya situasi yang pas itu bagaimana?” Jake satu langkah demi langkah merangsek ke arah Sunghoon, menimbulkan gesekan mundur tidak terarah sepatu kets Sunghoon pada lantai marmer hingga menepi ke dinding.

“Lepaskan atau aku teriak.”

Up to you, and I make sure no one hears it.”

Sunghoon memaling muka, menghindari tatapan Jake. Dia benci seringai menggelikan itu ditunjukkan padanya, seperti menertawakan perasaannya yang belum lepas membungkus Jake dalam posisi istimewa. Sedangkan Jake akan menikah dan membuangnya pergi. Ah, jangan lupa soal desas desus Sean tengah mengandung.

Memang semenjak awal Sunghoon belum melihat rupa Sean, lebih tepatnya tidak mau, takut kalau Sean lebih indah darinya dan akan melahirkan anak Jake—yang bahkan selama 4 tahun sebelum putus, Sunghoon tidak pernah bersentuhan lebih dari sekadar ciuman dan tidur bersama.

“Oh ya? Kalau begitu aku tidak bertanggungjawab kalau Sean datang kemari dan melihat kita.”

Jake tertawa mendadak, melihat Sunghoon yang sok berani menantangnya—meski mantan kekasihnya tidak bisa berbohong. Dia tahu Sunghoon bagaimana, selama 4 tahun, kebiasaannya menyembunyikan sesuatu, mengatakan jika dia baik padahal sebaliknya.

But, he will never come into this room even if I kiss your lips and say that I miss you,” ujar Jake menyeka poni rambut kesukaannya, mengganti seringai dengan senyum paling lembut yang dilihat Sunghoon lagi setelah sekian lama.

“Kamu pikir aku percaya? Aku nggak akan percaya ucapan laki-laki brengsek kayak kamu—”

“Tapi kamu masih cinta sama laki-laki brengsek ini.”

Seriously, Jake. Jangan buang waktu sebelum upacara pernikahan. Panggil Sean kemari dan aku akan pergi sejauh-sejauhnya sesuai permintaanmu ketika kamu hendak meninggalkanku ke Brisbane, two months ago, ketika kamu bilang hubungan kita membosankan.”

How can I call him, when he's already standing in front of me? Tell me, Sean Park.”

What?”

“Kamu lupa aku pernah kasih kamu nama Sean Park waktu kamu bilang pingin nikah dan hidup berdua sama aku di Brisbane? Banyak hal di Seoul yang buat kamu menderita sampai di titik kamu hampir menyerah, kamu nangis di depan aku dan bilang nggak sanggup buat jadi Park Sunghoon. So, aku sengaja hancurin perasaan Park Sunghoon hari itu hingga 2 bulan berlalu supaya kamu bisa jalani hidup baru sebagai Sean Park disini.”

Jake menjauhkan badannya, berjongkok lalu mengeluarkan kotak merah berisi cincin dari dalam saku jas hitamnya kemudian ia ulurkan pada Sunghoon yang tampak menahan lelehan air mata.

So, Sean Park, will you marry me, today?”

Sunghoon sebenarnya masih tidak percaya, tapi tawa bercampur tangisnya menggelegar, lengannya memanjang meraih Jake dan memeluknya. Sungguh, dia bahkan sudah mau menyerah menghadapi Jake tadi dan hampir bilang jika dia memang masih mencintainya.

“Dasar brengsek!” ujar Sunghoon, memukul keras dada Jake yang pelan-pelan bangkit membalas pelukan. “Udah nyakitin Park Sunghoon, ninggalin dia dua bulan dan tiba-tiba bawa kabar palsu nikah sama orang yang dihamili, sekarang bilang kalau Sean Park itu aku?”

“Aku pikir kehadiranmu sebagai Sean Park di sini bakal jadi hadiah paling indah di hari ulang tahun sekaligus pernikahanku. Make sense?”

Sunghoon tidak tahu harus membalas apa. Tembok pertahanan yang dia bangun hancur, sekaligus bahagia karena ternyata Jake masih mencintainya.

“Kamu belum jawab pertanyaanku, Sean Park.”

“Menurutmu?”

Jake tersenyum. “I think is yes.”

Maybe not.“ Sunghoon menaikkan alisnya menggoda.

Then, I'll kiss you hundreds, thousands, million times now, until you say yes.”

“Coba aja kalau bisa.”

“Nantang?”

“YA, JAKE!” Sunghoon tanpa sadar memekik, Jake mendorongnya jatuh ke sofa tidak jauh dari kaki mereka. Sesaat hanya diam menyapa, baik Jake dan Sunghoon memandang satu sama lain sampai tidak ada lagi jarak di bibir mereka. Menimbulkan kecapan berarti yang sudah lama tidak Sunghoon rasa dari Jake. Berjalan singkat, sebelum Jake memindahkan bibirnya ke telinga Sunghoon dan berbisik dengan senyum.

“Kita punya waktu 2 jam buat nuntasin rindu.”

How?”

“Gimana kalau first night weddingnya diganti first morning before wedding?”

“Kamu gila?” Jake menggeleng, Sunghoon menghela nafas sebelum suara lugas keluar dari bibirnya. “Do it then. Supaya aku percaya kamu sungguhan nikahin Sean Park mantan kamu dari Seoul dan bukan dari mana-mana.”

“Siapa takut?”

Sedangkan jauh di balik pintu, Jungwon tersenyum. Berjalan pergi meninggalkan lorong ruang ganti pengantin dan lega ketika kedok dan rencananya bersama Jake mengejutkan Sunghoon berhasil.

Biarkan dua sejoli yang dimabuk rindu itu menghabiskan waktu mereka sampai mereka saling berdiri berhadapan di altar nanti mempertanggungjawabkan perasaan selama 4 tahun 3 bulan.

“Akhirnya sampai.” Sunghoon langsung bernafas lega sekembalinya ia ke gedung flatnya dengan menenteng kantung belanja berisi banyak roti. Lumayan untuk mengisi perut selagi menunggu Sunoo datang.

Sambil berjalan santai, Sunghoon membuka maskernya dan melangkah melewati lorong. Namun baru saja ia menekan pin, cairan putih mengalir dari bawah sela-sela pintunya.

“Apa ini?” Tanpa pikir panjang, Sunghoon langsung membuka pintu lebar-lebar dan menemukan tumpahan bekal berisi sup daging di depan pintu.

Jantungnya mulai memacu tidak karuan. Pikirannya kacau dan panik menyergapnya saat melihat sepasang sepatu tergeletak di lantai. Masih hangat, artinya tidak lama terlepas.

“Sunoo?” Sunghoon menengokkan kepalanya kesana kemari berharap apa yang ia lihat hanya ketidaksengajaan Sunoo menumpahkan makanan yang ia bawa. Namun sampai beberapa menit ia memanggil, tidak ada sahutan apapun.

Mau tak mau, Sunghoon akhirnya melangkahkan kakinya masuk ke ruang tengah. Tetap tidak ada tanda-tanda keberadaan sahabatnya.

“S-Sunoo?” Suara Sunghoon perlahan melirih. Seluruh tubuhnya bergetar dan bibirnya kelu. Tidak mungkin Sunoo dengan sengaja menumpahkan bekal di depan pintu dan meninggalkannya pergi begitu saja kan? Apalagi sepasang sepatu putih kesayangan sahabatnya tergeletak di lantai dan bukannya diletakkan di rak sepatu.

Sunghoon melangkah ke arah dapur dan kondisinya masih sama, tidak ada siapapun selain sunyi. Sampai akhirnya pandangan satu-satunya menuju pintu kamar tidurnya yang agak terbuka.

“Sunoo?” panggil Sunghoon lagi. Kali saja Sunoo sedang berada di toilet kamarnya dan tidak mendengarnya jelas. Ragu-ragu Sunghoon menyentuh gagang pintu dan menariknya lahan. Ia melirik kesana kemari dari sela pintu yang ia buka sedikit, tidak ada siapa-siapa.

“Sunoo, kamu di—KYAAA!”

BRUKK

Tepat ketika ia membuka pintu lebar-lebar, sosok Sunoo dengan wajah pucat dan lubang di dahinya ambruk dan hampir menimpanya. Tubuh Sunghoon langsung terjatuh ke lantai bersamaan dengan tubuh kaku Sunoo yang tergeletak di sebelahnya.

“Tidak mungkin, tidak mungkin...” Sunghoon sekuat tenaga menggelengkan kepalanya dan menutup wajahnya ketakutan.

Spontan ia memundurkan tubuhnya menjauh melihat darah mengucur deras dari belakang kepala Sunoo. Sunghoon syok melihat kondisi temannya yang sudah tidak bernyawa. Air mata bahkan membasahi pipinya dan ia tidak bisa melakukan apapun selain menyebut nama Sunoo kemudian menutup telinga.

Ketakutan yang tadi ia rasakan benar-benar terjadi. Sunghoon tidak berhenti memukuli kepalanya melihat keadaan mengerikan Sunoo. Ia menangis kencang sambil menjambaki rambutnya sendiri. Berharap bahwa apa yang ia lihat hanya mimpi buruk karena trauma yang ia derita.

“Tidak mungkin, Sunoo. ANDWAEE!!” teriak Sunghoon.

Dunia seolah jatuh ketika lagi-lagi ia melihat orang yang dekat dengannya mati di depan matanya. Ia tidak pernah mengira hal ini akan terjadi pada Sunoo, sahabat baiknya yang rela melindungi dan menjaganya selama tiga bulan kabur dari Jake.

'Cepat atau lambat, Jake pasti akan mengetahui sekecil apapun rahasia yang ia sembunyikan.'

Dan Sunghoon sungguh yakin jika Jake lah yang membunuh Sunoo setelah semua kematian orang-orang di dekatnya.

“SHIM JAKE, BRENGSEK!” Tidak peduli pita suaranya putus karena berteriak nyaring, karena hanya kata itulah yang pantas disematkan untuk suaminya sendiri. Suami penyiksa, pemaksa dan suami yang tega membunuh sahabatnya, Kim Sunoo.

“JAKE SHIM SIALAN!!”

Sunoo meremat tangannya di atas paha sambil pandangan tak lepas sedikitpun dari suami sahabatnya, Shim Jake. Ia berusaha sekuat tenaga untuk tak terlihat mencurigakan.

Salahnya ia malah membuka pintu apartemen tanpa melihat siapa yang menekan bel dan ingin bertamu pagi-pagi. Ia banyak tahu dari Sunghoon jika Jake bukan sembarang orang yang bisa diremehkan. Dia lebih pintar, seakan-akan bisa membaca gerak gerik lawan bicaranya.

“Ada apa kamu kemari?”

Jake tersenyum, menyadari Sunoo yang sedang ketakutan, lalu dia ulurkan foto hingga ke hadapan Sunoo.

“Aku tahu kamu sahabat istriku. Tapi aku lebih menganjurkanmu jujur pada foto yang kuberikan padamu. Kamu mengerti maksud dari ucapanku kan?”

Sebelah tangan Sunoo bergetar saat menyentuh foto hitam putih itu. Hasil USG yang entah bagaimana bisa Jake dapatkan. Seingatnya Sunghoon tidak pernah mengatakan jika Jake mengetahui soal kehamilannya.

“A-aku tidak tahu apapun. Sunghoon tidak pernah menghubungiku lagi semenjak terakhir kali kita bertemu. Aku tidak tahu foto itu benar atau tidak. Tapi jika memang benar, harusnya cukup jelas Sunghoon tengah hamil kan sekarang? Jadi, setelah ini kamu bisa pergi dari apartemenku. Aku harus berangkat bekerja.”

Sunoo mengulurkan kertas foto kembali pada Jake. Raut wajahnya serius dan ia berusaha melawan buruk tidaknya niat Jake datang ke apartemennya.

“Katakan saja. Aku tahu kamu tengah menyembunyikan Sunghoon saat ini. Baru setelah kamu mengatakan semuanya, aku akan pergi menjauh dari tempat tinggalmu.”

Giliran Sunoo yang tersenyum.

“Aku tidak berniat sama sekali menyembunyikan Sunghoon. Kenapa? Bukankah itu salahmu? Sikap cintamu yang berlebihan dan terlalu gila itu membuat sahabatku pergi kan? Harusnya kamu tidak perlu susah payah datang kemari untuk mencari Sunghoon. Dia tidak akan kembali padamu sekalipun aku menyembunyikannya atau tidak.”

Hening. Tidak ada jawaban dari Jake. Sunoo kembali meremat tangannya, sedangkan jantungnya tak berhenti berdetak kencang. Apa dia terlalu jelas? Apa dia terlihat jika sedang menyembunyikan sesuatu?

Sunoo takut setengah mati sampai rasanya tak bisa memikirkan kalimat apa yang akan dia lontarkan setelah ini. Tapi ucapan Jake berikutnya malah membuatnya terkejut.

“Baiklah, aku percaya padamu. Kurasa Sunghoon tidak akan datang kemari setelah apa yang terjadi. Maafkan aku yang mengganggu waktu pagimu. Selamat bekerja, Kim Sunoo.”

Sunoo seketika menghela nafas lega melihat Jake dan anak buahnya keluar dari apartemennya. Selepas memastikan pintu benar-benar tertutup rapat dari luar, buru-buru ia mengeluarkan ponselnya dan mengirim pesan pada Sunghoon.


Sunghoon mengerjapkan mata memandang langit-langit flatnya. Waktu pagi adalah waktu menyiksa baginya. Terhitung ia sudah melangkah bolak balik ke toilet lima kali untuk memuntahkan isi perutnya.

Harusnya sejak awal dia tahu, Jake menukar pil penunda kehamilannya dengan pil lain. Cepat atau lambat, suaminya akan tahu sekecil apa rahasia yang ia sembunyikan. Dan sekarang Jake sudah mengikatnya dengan janin di dalam perutnya.

“Huh, kenapa Sunoo lama sekali? Aku benar-benar lapar.”

Sunghoon menegakkan tubuhnya yang bersandar di sofa, lalu berjalan mendekati lemari es. Tidak ada apapun selain susu dan air putih, karena Sunoo berjanji akan selalu mengantar makanan untuknya. Tapi pagi ini terasa aneh. Sunoo tidak datang, padahal ini sudah menjelang siang.

“Kamu lapar ya? Aduh, bagaimana ya...” Sunghoon mencoba mencari cara supaya rasa lapar yang sudah sampai kepalanya bisa diganjal. Ia ingat Sunoo memberikan cemilan kemarin, namun sayangnya hanya tersisa bungkusnya saja.

Dia lupa sudah memakannya tengah malam tadi karena dia ingin makan Pizza. Masa ngidam menyiksa dengan keadaannya sekarang.

Sunoo sengaja melarangnya keluar rumah satu langkahpun, jadilah ia terus berdiam diri di dalam flat dan semua kebutuhannya bergantung pada Sunoo. Sebenarnya ia tidak mau sahabatnya terlalu repot, namun Sunoo tetap memaksa. Pada akhirnya dia bisa apa selain menurut.

“Akhh, bagaimana ini...” Kedua tangan Sunghoon sudah mengusapi perutnya yang berbunyi. Masa iya dia harus pergi ke minimarket ujung gang? Bagaimana jika Sunoo datang dan malah menceramahinya? Atau mungkin saja Jake dan anak buahnya berkeliaran di luar sana. 

“Hanya sebentar tidak apa-apa kan? Setelah itu aku harus cepat pulang.”

“Maafkan aku, Sunoo. Ini permintaan bayi di dalam perutku.” Cepat-cepat Sunghoon berganti pakaian dan memakai masker wajah sebagai penyamaran.

Walau sebenarnya Sunghoon takut, lebih baik seperti itu daripada mati kelaparan dengan perut yang menggonggong sejak pagi. Ia tidak boleh membiarkan anaknya kelaparan kan?

“Selamat atas nilai terbaikmu di sekolah ini, Shim Jaeyun. Kamu adalah siswa teladan. Saya bangga dengan kamu,” ujar Pak Kim, selaku kepala sekolah memberikan selamat kepada Jake yang mendapatkan penghargaan utama di hari kelulusan pagi ini.

Setelah kepergian Pak Kim, Jake memperhatikan piagam emas, sertifikat dan amplop berisi uang saku yang diterimanya barusan.

Psst, psst!” Sontak Jake menoleh saat suara seseorang tengah berbisik padanya. Ia melihat kepala Sunghoon muncul dari balik tirai. Begitu memastikan kepala sekolah dan jajaran guru pergi, Sunghoon langsung berlari dan menghambur ke pelukan Jake.

“Jake, kamu hebat! Kamu menjadi lulusan terbaik di sekolah! Aku bangga padamu!” Sunghoon sudah melonjak-lonjak dalam pelukan Jake saking senangnya. Padahal jelas-jelas Jake yang menerima penghargaan, namun malah Sunghoon yang girang bukan main.

“Setelah ini, kamu pasti bisa berkuliah di luar negeri seperti permintaan ibumu. Kamu akan melanjutkan sekolah tinggi di Melbourne kan?” Sayangnya, senyum Jake langsung meluntur. Sunghoon yang menyadari keterdiaman Jake akhirnya melepaskan pelukan.

“Kenapa? Kamu tidak senang?” Jake mengalihkan pandangan. Namun, Sunghoon lebih dulu menahan wajah Jake hingga kini mereka saling menatap satu sama lain.

“Kamu takut kita tidak bertemu lagi? Kita bisa saling menelpon nanti. Lagipula aku ingin sekali kuliah di luar negeri sepertimu, tapi aku harus menjaga ibuku. Dan karena kamu bisa berkuliah disana, kenapa tidak? Aku ikut senang karenamu.”

“Ka-kamu tidak akan meninggalkanku kan?” tanya Jake gugup.

“Tidak akan. Aku tidak akan meninggalkanmu. Kita teman kan? Dan selamanya akan menjadi teman.” Sunghoon tersenyum kemudian memeluk Jake kembali.

Entah mengapa, ada sedikit perasaan di dalam hati Jake yang tidak senang saat Sunghoon menyebut mereka teman. Ia ingin pria Park di dekapannya menjadi miliknya. Hanya dia satu-satunya yang Jake miliki dan membuatnya bertahan sampai sekarang.

'Park Sunghoon harus menjadi milikku bagaimanapun caranya.'


5 tahun berselam,

“Bukankah Mama tidak menyukai jika kita menjalin hubungan seperti ini?” ujar Sunghoon sambil mengusap ujung cangkir kopinya. Ia berusaha untuk tidak menatap Jake yang sekarang jauh lebih tampan dari saat kelulusan SMA mereka. Setelan formal, rambut cokelat yang dinaikkan ke atas dan kacamata yang sudah tanggal dari wajahnya.

Sedangkan dirinya hanya memakai kemeja, celana hitam dan apron khas seorang pelayan cafe. Apalagi beberapa minggu yang lalu, Jake mengatakan jika ia ingin menjalin hubungan yang lebih dari sekedar persahabatan.

Sunghoon tidak merasa pantas dengan pria seperti Jake.

Apalagi Ibu Jake menentang ia dekat dengan putranya.

“Sunghoon.” Kedua tangan Sunghoon perlahan dilepaskan dari cangkir dan digenggam erat oleh Jake. “Aku tidak peduli apapun yang terjadi. Aku menyukaimu. Aku mencintaimu melebihi apapun. Aku akan membuatmu bahagia. Jika perlu, aku akan pergi dari rumah untuk menikah denganmu.”

Sayangnya, Sunghoon menggeleng. Ia melepas paksa tangannya dari Jake. “Tidak, kamu tidak boleh pergi dari rumah. Kamu harus menjaga ibumu. Dia yang melahirkanmu dan merawatmu sampai saat ini. Kamu harus membalas budi padanya. Biar aku saja yang pergi. Kita bisa menjadi teman selamanya, tapi maafkan aku jika kita tidak bisa menjalin hubungan yang lebih dari teman.”

“Sunghoon...”

“Kumohon, Jake. Turuti perkataan ibumu. Aku juga sama sepertimu. Aku hanya tinggal bersama ibuku. Hanya kamu yang dia miliki saat ini. Ya?” mohon Sunghoon.

“Baiklah, aku akan mencobanya.” Sunghoon langsung menghela nafasnya lega dan tersenyum menyeruput kopinya. Berbeda dengan Jake yang menggertakkan giginya di dalam katupan bibir yang merapat tidak suka.


Hari itu menjadi hari yang kelam. Hujan turun tidak berhenti di halaman pemakaman yang luas. Semua orang berduka dengan pakaian hitam mereka, tidak terkecuali Jake dan Sunghoon.

Sunghoon berusaha untuk tidak menangis, namun air mata tetap saja jatuh. Ia ikut bersedih atas kematian ibu Jake. Walau bukan ibu kandungnya, ia menangis karena merasakan apa yang Jake rasakan saat ini.

“Jake...” isak Sunghoon. Tanpa pikir panjang, Jake segera mendekap tubuh kurus Sunghoon dan mencium lehernya. Air hujan membasahi tubuh mereka seiring isakan si cantik yang semakin mengeras.

“Tidak apa-apa, semuanya akan baik-baik saja. Kamu harus berhenti menangis sekarang. Tidak baik terus menerus menangisi seseorang yang baru saja meninggal.”

“Maafkan aku, Jake.”

“Ssst, ini bukan salahmu. Semua terjadi begitu saja. Kamu sudah menolong ibuku, tapi nyawanya tidak bisa tertolong.”

“Sekarang tidak akan ada lagi penghalang diantara kita. Aku yang akan menjagamu mulai sekarang. Aku akan menikahimu. Aku sudah menyingkirkan ibuku, jadi semua akan baik-baik saja mulai hari ini.”

Sunghoon menghentikan isakannya dan hendak melepas pelukan, namun Jake segera mengeratkan dekapannya. Mencium pucuk kepala Sunghoon dan membisikkan beberapa kalimat di telinganya.

Aku pernah bilang jika aku mencintaimu melebihi apapun yang aku punya di dunia ini kan, Sunghoon? Aku rela menyingkirkan semuanya demi kamu.”

“YA! APA YANG KALIAN LAKUKAN PADANYA!” Sunghoon berlari kencang menghampiri anak-anak yang tengah memukuli seseorang di dekat gudang. Ia sudah mengangkat sapu dan pengkinya berjaga-jaga jika Yeonjun dan gengnya hendak memukul balik.

“Ya, Park Sunghoon. Tidak perlu ikut campur urusanku dan si culun jelek sialan ini.” Sunghoon berdecih. Ia kemudian berbalik membantu laki-laki yang tersungkur dengan lebam dan darah di sudut bibirnya.

“Namanya Shim Jake, bukan si culun jelek sialan. Orang tuanya memberinya nama yang bagus tapi kenapa kalian menyebutnya begitu? Kalian manusia kan? Dia juga manusia kan? Jika kalian tidak ingin diperlakukan seperti ini, maka jangan lakukan itu pada orang lain! Brengsek!”

Diam-diam Jake tersenyum ketika Sunghoon membelanya di hadapan Yeonjun dan teman-temannya. Sudah pasti, si Choi itu tidak akan berkutik saat Sunghoon bergerak membantunya. Selama tiga tahun ini Yeonjun berusaha mendekati Sunghoon dan selalu ditolak.

“Jadi, kamu lebih bela si Jake ini daripada pacarmu sendiri?” tanya Yeonjun yang kini berusaha menarik Sunghoon menjauhi Jake.

“Sejak kapan aku pacaran dengan bajingan sepertimu?! Jangan mengaku-ngaku ya! Pembual!”

“Dengar ya, Choi Yeonjun. Jika kamu berbuat hal seperti ini lagi, aku tidak akan segan-segan melaporkan perbuatanmu pada Pak Han! Dan aku akan benar-benar membencimu seumur hidupku!” lanjutnya.

“Ayo kita pergi.” Sunghoon melingkarkan tangan Jake di bahunya dan mulai menuntunnya pergi. Sedangkan Yeonjun melirik Sunghoon dengan kedua tangan yang terkepal.


“Akh!”

“Ah, maaf. Aku akan pelan-pelan,” Sunghoon mengusap sudut bibir Jake dengan kapas alkohol. Sesekali ia meringis melihat luka sobek dan beberapa luka gores di wajah Jake.

Setelah memakaikan plester, Sunghoon mengemasi kotak P3Knya lalu menggeser duduk menghadap Jake.

“Apa kamu tidak bosan diperlakukan seperti tadi? Harusnya kamu lawan anak-anak tidak berguna itu! Bukannya malah pasrah seperti ini! Keluargamu lebih kaya daripada keluarga si Yeonjun itu! Kamu bisa sombong sedikit untuk melawan anak-anak seperti mereka yang sudah dua tahunan menindasmu!” omelnya. Jake hanya diam memperhatikan Sunghoon dari balik kacamata rabun berminus enam.

Tak mendapat jawaban, Sunghoon memajukan wajahnya sampai ia benar-benar melihat jelas rupa Jake yang suka sekali menunduk dan tidak berani menatap lawan bicaranya.

“Kamu tampan, asal kamu tahu.” Perlahan jemari lentik Sunghoon mengusap poni panjang Jake dan melepaskan kacamata yang membingkai wajah rupawannya. “Kamu punya mata tegas, alis tebal dan hidung yang tajam. Apa salahnya memotong rambut ini menjadi lebih pendek?”

Jake perlahan mendongak memandang Sunghoon, walau tampak tak terlalu jelas karena rabun, namun ia bisa melihat wajah cantik Sunghoon dan kulit bersihnya diterpa sinar matahari siang itu.

“Kamu harus lebih percaya diri dengan dirimu sendiri. Kamu bisa berubah menjadi lebih baik. Sebentar lagi kelulusan akan tiba, kamu tidak ingin membuat kenangan yang berharga dari masa SMA? Setidaknya jika kamu malu dengan perubahan itu, lakukan semuanya untukku,” ujar Sunghoon.

Dalam sekali sapuan tangan, Sunghoon membelah poni rambut Jake hingga memperlihatkan jelas dahinya.

“Aku tidak suka setiap kali melihatmu lemah di hadapan musuhmu. Kamu harus melawan, jika perlu hancurkan mereka dengan apa yang kamu punya. Buat mereka yakin jika kamu bukan orang yang pantas untuk direndahkan.”

“Mulai sekarang, jadilah Shim Jake yang percaya diri dan tidak mudah diinjak. Lakukan itu semua untukku.”

Tanpa sadar senyum tipis mengembang di bibir Jake. Ia akan mengingat setiap kalimat yang dilontarkan Sunghoon hari ini. Ia juga akan mengingat sosok Park Sunghoon di dalam hatinya. Selamanya.