dontlockhimup

Serius cuma begini doang?”

Padahal si lelaki berkulit putih dengan mata yang sipit itu hanya mengujarkan satu kalimat namun sekumpulan mahasiswa dengan jaket berwarna merah terang yang sedang duduk dengan formasi melingkar di tanah lapangan utama Universitas Ganesha Mandala segera meneguk ludah; terlihat jelas bahwa mereka gugup bukan main. Krishna, lelaki yang barusan berujar tampak melipat kedua tangannya di depan dada. Berbeda dengan mahasiswa yang mengenakan jaket merah, Krishna mengenakan jaket hitam dan berada dalam posisi berdiri. “Serius-rencana-kalian-cuma-begini-doang?”

Pandangan si mantan ketua Paskibra Ganesha Mandala itu masih tertuju ke papan tulis kecil yang tergeletak di atas tanah lapangan yang lumayan basah akibat hujan kecil di sore hari ini. Di atas papan tulis kecil itu tertulis beberapa hal yang ditulis dalam kalimat pendek-pendek serta lingkaran yang mengelilinginya, seperti membentuk sebuah bagan organisasi.

Beberapa detik berlalu, tidak ada satupun diantara para mahasiswa yang mengenakan jaket merah berani membuka suara. Hampir seluruhnya menundukkan kepala, seakan enggan bertatapan mata dengan si kakak tingkat yang memang dikenal sangat disegani itu. Dengan tangan yang masih dilipat di depan dada, Krishna mengetuk-ngetukkan sebelah kakinya ke atas tanah dan membuat suara becek yang sayup-sayup terdengar di tengah keheningan.

“Gue ngomong sama dedemit atau gimana, nih? Masa' nggak ada yang jawab? Pada nggak punya mulut atau gimana? Ketuanya juga mana? Diem doang bisanya?”

Salah satu mahasiswa berjaket merah yang duduk tidak jauh dari posisi Krishna berdiri segera mendesah berat. Kepalanya tertunduk dalam-dalam untuk sekilas sebelum akhirnya ia menghela nafas banyak-banyak. Di sisi kanan jaket yang dikenakan si lelaki, tertulis nama yang dijahit rapi. Tarendra.

“Siap, kak!” Tarendra, si ketua Paskibra Ganesha Mandala pada tahun yang berlangsung segera memberi jawab setelah yakin dengan kepercayaan dirinya sendiri. Si lelaki berkulit kecoklatan itu berdiri dari posisi duduk dan memasang sikap sempurna. Tegak. Krishna melirik sinis, sungguh — siapapun yang diberi pandangan begitu pasti akan merasa gentar bukan main. Tidak terkecuali Tarendra yang sekarang merasa kepalan tangan di samping pahanya tengah gemetar.

“Siap apa?”, tanya Krishna dengan nada dingin. Tarendra mengutuk dalam hati, menyesali segala keputusannya dahulu yang bersedia dijadikan ketua dari pasukan Ganesha Mandala dan secara otomatis menjadikannya korban paling empuk dari semua kemarahan senior seperti Krishna. “Lo ngerasa masih bisa ngomong siap gitu, padahal lo pasang sikap siap pun setelah gue panggil.”

Krishna melangkahkan tungkainya perlahan hingga berakhir di hadapan Tarendra yang masih memberi pandangan lurus ke depan. Tarendra paham, ia tidak boleh menundukkan kepala walaupun sangat ingin melakukan demikian. Jika ia menolak untuk berbalas tatap dengan Krishna yang sedang memberikan tatapan dingin kepadanya, itu sama saja dengan cari mati.

“Hah?” Krishna memajukan kepala sehingga jarak antara wajahnya dengan wajah Tarendra hanya terpisah sekian sentimeter saja. Bahkan hidung mereka nyaris bersentuhan. Walau begitu, Krishna tidak tampak gentar. Begitupun dengan Tarendra yang terlalu dimakan rasa takut dibanding rasa malu. “Gue tanya, Ren. Serius lo cuma ngerencanain itu doang buat planning tahun ini?”

Tarendra meneguk ludah gugup. “Anu...”

“Lo tau, 'kan, penjuru sama danton pasukan lo nggak akan bisa ikut lomba tahun ini?” Krishna memotong ujaran Tarendra dan kali ini, tidak hanya membuat Tarendra kehabisan kata-kata melainkan juga kehilangan warasnya. Gila, tidak usah diberitahu dua kalipun Tarendra sudah tahu bahwa pasukan yang dipimpinnya tahun ini sudah dipastikan akan mengalami banyak hambatan.

Nakuladewa dan Raesaka dipastikan tidak akan bisa mengikuti perlombaan baris-berbaris tingkat nasional di tahun ini, sebab keduanya harus menjalani karantina guna mengikuti Pemilihan Mahasiswa Berprestasi sebagai utusan kampus. Dengan kata lain, dua titik paling penting di dalam baris pasukan Ganesha Mandala hilang dalam satu waktu : Raesaka sebagai danton dan Nakuladewa sebagai penjuru. Lalu sekarang Krishna menekannya seperti begini di hadapan anggotanya yang lain. Jika bisa, Tarendra ingin melempar jaketnya saat ini juga dan meneriakkan emosi bahwa ia ingin berhenti dari jabatannya sebagai ketua Paskibra Ganesha Mandala.

“Kalau lo tau bahwa dua titik paling penting di dalam barisan itu nggak ada, mestinya lo bikin rencana lebih mateng! Kalau lo cuma copy-paste dari planning tahun lalu, lo kira semua masalah di pasukan bisa selesai?! Hah?!”

Krishna menampar pipi kanan Tarendra dengan cukup kencang. Hanya sekali, namun bisa membuat seluruh anggota pasukan terdiam. Sekarang tidak ada yang berani mengangkat pandangan, semua memilih untuk menundukkan kepala dan memandangi rumput liar di tanah becek.

“Lo udah mikir, apa ada diantara temen-temen seangkatan lo atau anak-anak setaun di bawah lo yang cukup pantes buat jadi danton selain Saka?” Pertanyaan Krishna barusan membuat Tarendra melirik ke sekeliling lewat ekor matanya. Tidak ada yang memberi bantuan, semua anggotanya terdiam dan tidak ada satupun yang menawarkan diri untuk menjadi danton. Tarendra tidak menyalahkan mereka, 'toh siapapun di dalam pasukan pasti paham bahwa mereka tidak akan sepantas itu untuk menggantikan posisi Raesaka yang pernah menjadi juara danton nasional tahun lalu.

“Siap! Saya masih belum tentukan pengganti Raesaka, Kak!”

Tamparan kedua kalinya mendarat, lagi-lagi dari tangan Krishna ke pipi kanan Tarendra. Kali ini lebih kencang dan keras daripada sebelumnya, hingga membuat Tarendra membutuhkan waktu beberapa detik untuk kembali siap di posisi sempurnanya karena barusan tubuhnya terhuyung.

“DAN LO BANGGA UCAPIN SEMUA HAL ITU DI DEPAN GUE, HAH?! LO BANGGA NGOMONG BAHWA LO BELUM TENTUIN SIAPA DANTON BERIKUTNYA TAPI BAHKAN LO NGGAK MASUKIN AGENDA SOAL ITU KE PLANNING TAHUN INI?”

Teriakan Krishna terdengar lantang, hingga membuat beberapa orang yang sedang melakukan jogging sore di sekitar lapangan utama kampus segera mengalihkan perhatiannya kepada mereka. Namun begitu mengetahui bahwa yang berkumpul di tengah lapangan adalah anggota paskibra Ganesha Mandala, mereka yang awalnya penasaran dengan apa yang terjadi akhirnya memilih untuk tidak peduli.

Paskibra dan tindak gembleng dalam bentuk fisik bukanlah hal yang aneh. Tindakan main tangan dianggap sangat lazim dan banyak orang sangat menormalkan hal itu. Entah apa harus dianggap melegakan atau malah semestinya dipikir miris.

“Maaf... Kak...”

Suara Tarendra terdengar gemetaran. Bukan karena ia sedang menahan tangis atau apa, Tarendra hanya merasakan perasaan campur aduk yang sedang ia coba tahan agar tidak keluar meledak. Perasaan marah, ingin menyerah, juga malu besar. Semua campur aduk namun hanya bisa ia ekspresikan lewat kepalan tangan yang berada di samping paha dalam posisi sikap sempurna.

“Pikir, Ren. Pikir.” Krishna mengarahkan telunjuknya ke sisi pelipis Tarendra. Sangat jelas ingin mengintimidasi si adik tingkat di hadapan para anggotanya. “Lo punya otak di kepala, tuh, jangan cuma buat dijadiin pajangan doang. Bisa mikir, 'kan? Otak lo dipake!”

Apa yang bisa Tarendra katakan selain kalimat berisi pernyataan mengiyakan? Apa yang bisa Tarendra lakukan selain memberi anggukan paham dan permintaan maaf berulang kali yang bahkan tidak ia ketahui apa alasannya?

Di sisi lain, Krishna juga merasakan dilema yang teramat sangat. Sungguh bukan keinginannya untuk mempermalukan Tarendra di hadapan para anggota paskibra Ganesha Mandala. Krishna juga tahu masih ada berbagai cara yang lebih baik dan santun untuk memberi nasihat kepada di penerus posisinya sebagai ketua. Namun permasalahannya, apabila semua dilakukan secara sopan dan santun, apakah Tarendra bisa memahami situasi bahwa segala rencana yang ia buat tadi sangatlah kurang?

Mengingat sifat Tarendra yang terkadang sulit untuk dinasihati dan juga menimbang hubungan antara Krishna dengan si adik tingkat yang sudah kepalang dekat, akhirnya dengan berat hati Krishna melakukan semua ini. Memberi ajaran secara keras.

“SEMUA!” Krishna tidak lagi memberi fokus kepada Tarendra. Kini pandangan si lelaki Haliem diedarkan ke sekeliling, memandangi para anggota yang masih duduk seraya menundukkan kepala. “ENAK DUDUK KAYAK BEGITU SEMENTARA KETUA KALIAN GUE MARAHIN KAYAK BEGINI?”

Sontak, semua anggota segera bangkit dari posisi duduk. Mereka berdiri dan membentuk tiga jejer barisan yang memanjang ke belakang sesuai dengan urutan tinggi badan. “Siap, Kak! Tidak!” Usai merapikan barisan, koor kompak terdengar seiring seruan dari para anggota. Krishna menyipitkan matanya; sebuah kebiasaan ketika ia ingin mencoba mengetahui apa yang sedang dipikirkan para anggotanya.

“LUCU, YA, NGELIATIN KETUANYA DIMARAHIN BEGINI? LO SEMUA MILIH RENDRA JADI KETUA CUMA BIAR DIA BISA NGEWAKILIN LO-LO BIAR NGGAK GUE MARAHIN, GITU?!”

Ah, paskibra memang semenyebalkan itu. Senior selalu saja bersikap kesana-kemari. Sedetik tadi memarahi si A, kemudian detik berikutnya bisa saja memarahi B dan C dengan membawa alasan yang mengatasnamakan A. Krishna juga awalnya memiliki pemikiran demikian. Semula, ia kesal dengan sikap senior yang ia anggap seenaknya. Namun seiring dengan posisinya yang semakin naik, ia menjadi paham bahwa tindak kesana-kemari itu adalah bentuk ketidakberpihakannya kepada siapapun.

Ia tidak ingin terlalu memanjakan Tarendra sebagai ketua namun ia juga tidak ingin para anggota lepas tangan sepenuhnya dari segala tanggung jawab yang semestinya menjadi milik bersama.

“LO SEMUA JUGA PUNYA OTAK! PAKE! PIKIRIN SAMPE JAUH! JANGAN CUMA MIKIR RENCANA BUAT SEMINGGU DUA MINGGU KE DEPAN! LO ADA DI PERIODE INI SELAMA SETAHUN! BIKIN RENCANA SELAMA SETAHUN!”

PLANNING YANG LO SEMUA BIKIN SEKARANG CUMA BISA BUAT SEBULAN, PAHAM?! TERUS SEBELAS BULAN YANG LAINNYA, KALIAN MAU NGAPAIN? CUMA CAPEK-CAPEKAN DI LAPANGAN? DIJEMUR?”

“Oh,” Krishna memasang senyum sinis. Suaranya tidak lagi berseru kencang, malah saat ini Krishna terdengar seperti sedang berbisik. “Atau lo semua emang cuma mau balas dendam ke anak-anak baru pas pendaftaraan keanggotaan nanti? Makanya lo semua cuma bikin planning sampe sebulan ke depan aja?”

“SIAP! TIDAK, KAK!”

Jawaban kompak dari para anggota termasuk Tarendra, tak urung membuat senyuman tipis terulas di bibir Krishna. Ia sendiri sesungguhnya sudah mengetahui bahwa tidak mungkin anggota paskibra Ganesha Mandala memiliki pemikiran untuk melakukan tindak balas-dendam. Semenjak awal, semua anggota paskibra GAMA sudah diajarkan untuk tidak membalaskan dendam apapun kepada adik tingkat dan itu sudah tertera di janji yang mereka tandatangani sebelum masuk ke dalam pasukan.

Krishna berdehem sekali, berupaya menutupi ulas senyumnya yang ia harap tidak disadari oleh siapapun. “Okay,” lanjut Krishna kemudian memeriksa arloji yang terlingkar di pergelangan tangannya. “Rendra, gue pengen lo perbaiki lagi rencana agenda yang kalian buat tadi.”

Papan tulis kecil yang tadi tergeletak di atas tanah dipungut oleh Krishna kemudian disodorkan kepada Tarendra. “Please, kali ini pikirin agenda lo secara jauh. Lo nggak mau diomongin senior-senior karena nggak bisa bikin GAMA menang jadi juara umum di masa kepemimpinan lo, 'kan?”

Tarendra mengangguk dengan tegas. “Siap! Tidak, Kak!”

Krishna tersenyum, walau tipis. Selepas papan tulis di tangannya sudah digenggam oleh Tarendra, si lelaki Haliem mengusak rambut si adik tingkat kemudian menepuk-nepukkan tangannya ke pipi Tarendra. “Sorry kalo gue terlalu keras tadi. Lo paham, 'kan, apa maksud sebenernya gue lakuin kayak gitu?”

Lagi, si ketua mengangguk. Tarendra paham dengan jelas bahwa Krishna ingin mendidiknya agar bisa menjadi ketua yang lebih baik, bukannya ingin menghukum tanpa alasan jelas atau lainnya. “Siap, Kak.”

“Ya udah,” Krishna mengambil nafas dalam-dalam sebelum kembali memandangi anggota paskibra GAMA yang ada di dalam barisan. “Gue rasa, gue udah cukup banyak ikut campur di agenda kalian padahal status gue di sini adalah senior. Gue minta maaf soal itu.” Krishna mengambil jeda sejenak dari kalimatnya. “Tapi gue harap lo semua paham bahwa kalian ini adalah anggota Ganesha Mandala. Pasukan yang disegani banyak orang. Pasukan yang nggak pernah gagal sabet status juara umum di setiap perlombaan.”

“Jangan sampai status terbaik yang kita udah bangun dari jauh-jauh hari, malah hancur di tangan kalian. Paham?”

“Siap! Paham!”

“Bagus.” Krishna merogoh saku celana dan mengeluarkan ponsel lipat miliknya. Hampir pukul lima sore. Krishna bisa terlambat menjalankan rencananya. “Gue pamit dulu, kalo gitu. Ren, kabarin gue kalau lo udah beres tambahin planning. Oke?”

Anggukan Tarendra menjadi akhir dari sesi-menyeramkan ala seorang Krishna Putra Haliem. Selepas berpamitan singkat dengan anggota lainnya, Krishna berderap meninggalkan lapangan; terlihat sangat tergesa. Sementara itu, hampir seluruh anggota segera mengembuskan nafas lega sepeninggal si kakak tingkat yang menyeramkan.

“Anjir. Gue berasa mau kencing di celana tadi pas Kak Krishna teriak di depan gue. Serem banget.”

“Sama banget, nyet! Gue merinding abis sampe ngebayangin, lebih sereman mana malaikat Izrail sama Kak Krishna?”

Sementara para anggota saling berbagi cerita tentang bagaimana menyeramkannya sosok Tarendra, si ketua malah pergi keluar barisan dan mengambil ponsel miliknya yang semula ada di dalam tas ransel. Ia juga harus melakukan sesuatu sebelum terlambat!

“Ren! Kok lo di situ?! Jadi latihan lagi, nggak?”, tanya salah satu anggota kepada Tarendra yang terlihat sedang mengutak-atik sesuatu di layar ponselnya. “Atau kita balik, nih?!”

“JANGAN, WOY! PALA LO BALIK-BALIK! GUE UDAH DITAMPAR DUA KALI SAMA KAK KRISHNA! SEENAK KATA LO PADA MAU BALIK GITU AJA?!” Tarendra berseru setelah menekan tombol terakhir pada layar ponselnya. Saat ini, di layar ponsel Tarendra terdapat tanda frekuensi radio dan icon lambang yang menandakan bahwa ponselnya sedang merekam isi serta suara pada ponsel secara otomatis. “LATIHAN LAGI! LATIHAN! ABIS ITU RAPAT BIKIN PLANNING!”

Baik Krishna dan Tarendra, keduanya melakukan segala tindak yang terburu-buru sebab satu alasan yang sama; karena Raesaka dan Nakuladewa akan melakukan wawancara dengan radio kampus.

Boyfriend privilege.

RULES :

● Dilarang ejek atau sindir sesama anak UNI. DILARANG KERAS kirim menfess tentang NANON atau PAWAT! ini base kampus, bukan base buat memuja mereka. buat yang suka sama nanon atau pawat, cek aja akun @NANONKESAYANGAN @PAWATSUAMIKU.

halo, semua! aku mau informasikan bahwa akun ini bakal aku tutup dan aku nggak akan update apapun ㅡ entah itu au atau tweet pribadiku.

alasannya klasik, sih. aku ngerasa bahwa jadwal kerjaku udah sangat padat dan aku nggak bisa lagi aktif di dunia tulis menulis. lalu cerita yang belum lanjut gimana? ya, kalian berhak sebut aku nggak bertanggung jawab karena aku nggak bisa lanjutin semua itu. cerita yang belum selesai akan berakhir discontinued.

aku mau ucapin maaf buat yang mungkin nunggu cerita yang lagi aku garap dan mungkin yang aku tunda. tapi belakangan ini emang aku lagi sangat capek sama semuanya dan walau aku berusaha buat 'bersikap positif' di sini, tetep aja sebenernya aku kepikiran banyak hal, hahaha.

tapi walau begitu, aku bersyukur karena udah dikasih kesempatan buat kenalin beberapa karakterku ke kalian. Saka, Krishna, Dewa, Rendra, mereka adalah kebahagiaanku dan aku seneng ketika tau banyak yang sayang ke mereka juga. maaf kalau aku bikin kecewa kalian di beberapa hal yang mungkin ga aku sadari, semoga berkenan diberi maaf supaya akunya bisa lebih tenang, ya ♡

akhir kata, sayangi diri kalian!

salam hangat, Tebe! 🤟

“Aduh!”

Beberapa pengunjung supermarket yang lumayan ternama di kawasan bilangan Jakarta Selatan itu segera memfokuskan perhatiannya ke seorang pria yang barusan mengaduh kesakitan. Di belakang si pria yang sekarang sedang mengusapi pinggangnya, tampak seorang lelaki lain yang tengah mendorong troli berisi cemilan serta kebutuhan pangan dalam jumlah yang cukup banyak. “Ta! Liat-liat, kenapa, sih? Sakit, anjir!”

Tawan baru saja menabrak pinggang Singto dengan troli yang sedang ia dorong. Seakan menganggap tindakannya barusan bukan hal yang harus dibesar-besarkan, Tawan hanya membalas gerutuan Singto dengan bahu yang diangkat. Tampak sangat santai. “Ya, abisnya... kerjaan lo liatin handphone melulu dari tadi. Ya, gue tabrak aja biar lo bisa fokus liatin jalan. Nabrak rak, mampus lo.”

Singto mendengus. Memang sedari tadi fokusnya tertuju ke layar ponsel di tangan, namun Tawan tidak memiliki hak untuk menasehati Singto karena lelaki bernama panjang Vikanasatya itu sesungguhnya juga memperhatikan fokusnya ke ponsel di tangan; hanya saja Tawan menatapi handphonenya tidak selama Singto.

“Bacot, dah.” Gerutuan masih lolos dari bibir Singto sementara kuasanya kini memasukkan ponsel yang sudah agak kuno itu ke dalam saku celana. Setelahnya, si lelaki Pradipta memperlambat langkahnya agar bisa berjalan berdampingan dengan Tawan yang memang berjalan sangat perlahan seraya melihat-lihat jejeran rak sereal.

“Lo udah nggak pusing?”, tanya Singto.

Tawan menggeleng. “Udah lumayan ilang pusingnya. Kayaknya tadi cuma gara-gara abis ulangan matematika aja, makanya gue jadi agak mual.” Tangan si lelaki Vikanasatya meraih sereal berbentuk bintang yang ada di barisan lumayan atas; sereal kesukaan Ciize. Gadis itu pasti selalu merajuk jika sereal berbentuk bintang ini tidak ada di daftar belanjaan setiap bulan.

“Sereal buat Ciize udah. Titipan anak-anak yang lain juga udah,” gumam Tawan seraya memeriksa kembali daftar belanjaan yang harus mereka beli untuk memenuhi kebutuhan jajanan di kastil. “Ada yang mau lo beli, nggak?”, tanya Tawan kepada Singto yang sedang ikut melirik daftar belanja buatan Neen. “Mumpung masih di sini. Kalau udah pulang ke kastil, suka susah lagi belanjanya.”

Singto menggeleng. “Kita beli jajanan chiki-chiki gitu aja, gimana? Nanti sebelum kita ke kastil, kita mampir dulu ke sana. Udah lama gue nggak mampir ke situ, kangen gue sama mereka.”

Ide Singto dibalas dengan kekehan tawa kecil dari Tawan. Kertas berisi daftar belanjaan di tangannya dikibaskan iseng ke depan wajah si lelaki Pradipta. Tanpa Singto menjelaskan secara rinci, Tawan sudah paham tentang apa yang ingin Singto beli dan ke mana Singto akan menyalurkan jajanan itu. “Dasar,” gumam Tawan seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Lo jadi orang kenapa baik banget, sih, To?”

“Kata siapa gue baik?”, gumam Singto seraya ikut meraih handle troli dan bersama-sama mendorong troli supermarket; beriringan dengan Tawan. “Kalau gue baik, nggak akan mau gue join TCO.”

“Lo tau sendiri, lah, Ta,” lanjut Singto. “TCO nggak sebaik yang orang-orang kira.” Ujaran Singto barusan dibalas dengan senyum miris dari bibir Tawan. Sesungguhnya, Tawan juga tahu dengan jelas bahwa tidak ada yang baik dari TCO. Hanya saja, kebanyakan dari mereka mencoba menutup mata. Karena— jika tidak berada di dalam TCO, semuanya bisa jadi lebih menyeramkan.

“Lo ngedaftarin gue buat jadi peserta yang tampil pas Dies Natalis nanti?! Lo waras, Namtan?!”

Namtan Thiyandari, gadis berparas ayu dengan rambut panjang hitam legam itu sedang duduk berhadapan di bangku kantin dengan sahabatnya semenjak duduk di bangku SMP. Krist Petrus Sanjaya, adalah nama si sahabat yang sama-sama berkulit putih susu seperti Namtan. Walaupun menerima teriakan dengan penuh nada marah, Namtan terlihat sangat santai dan malah menyendok potongan batagor di piring milik Krist. “Lho, kok marah? 'Kan kata lo, gue bebas milih siapa aja. Ya, gue pilih lo, dong. Lo jago main drum, bisa ngegitar, bisa main piano juga. Nyanyi juga bisa. Ya udah, lo aja.”

Krist mengacak rambutnya sendiri dengan gemas, hampir ingin menangis. Kalau tahu situasi akhirnya akan begini, lebih baik ia lari sekuat tenaga agar bisa kembali ke kelas dalam waktu satu menit. Ia lupa bahwa sahabat sekaligus wakil ketua kelasnya adalah Namtan, si gadis super cerdik yang tidak akan pernah membiarkan dirinya berada di situasi yang tidak menguntungkan.

“Santai aja, sih. 'Toh lo udah biasa tampil di choir gereja, 'kan?” Lagi, Namtan menyendok potongan batagor milik Krist tanpa rasa bersalah sedikitpun. “Apa bedanya tampil di gereja sama tampil di depan sekolah? Sama aj—”

Ucapan Namtan terhenti karena Krist menarik piring batagor miliknya agar menjauh dari jarak jangkauan Namtan. “Batagor gue, heh! Enak bener nyendoknya! Beli sendiri!,” ujar Krist ketus.

Namtan merengut. “Iya, anjir, iyaaa. Gue juga udah pesen makan, kok! Tapi karena makanannya banyak, jadi bibi kantinnya mesti siapin agak lama. Nanti kalau makanan gue dateng, gue nggak akan minta ke lo, kok! Pelit banget, ih! Kuburan lo sempit lho, nanti!”

Krist mengangkat sebelah alisnya. “Lo pesen makan apaan? Bibi kantin kita gerakannya gesit, nggak mungkin nyita waktu lebih dari lima menit.”

Namtan tersenyum lebar kemudian mengangkat tangan kanannya, membuat gerak seakan sedang menghitung sesuatu. “Gue pesen mie ayam, ayam geprek, batagor sama siomay, es podeng, es cincau, pecel lele sama—”

“Lo abis ngerampok di mana?”

Ujaran Namtan terhenti dan disusul dengan bibir si gadis yang kini mengerucut kecil. “Gue nggak ngerampok, yaaa! Ini traktiran dari cowok ganteng soalnya gue berhasil laksanain sesuatu yang saaaangat berbahaya.” Krist menyadari bahwa ekor mata Namtan tertuju ke satu arah dimana ada empat member TCO duduk di sofa empuk yang disediakan khusus untuk mereka apabila sedang berkunjung ke kantin. Pasti objek pandang Namtan ada diantara Tawan, Singto, Thanat, atau Pluem; kakak tingkat mereka.

“Lo ditraktir anak TCO?”, tanya Krist dan segera membuat Namtan menyadari bahwa tindakannya barusan terlalu terang-terangan. Dengan segera, Namtan bersikap seakan fokusnya teralihkan dengan sesuatu yang ada di layar ponselnya. “Eh! Ampun, pasti pesenan gue udah selesai, nih! Yuk, Krist. Bantuin gue angkat nampannya, nggak akan bisa kalau gue angkat sendirian.”

Krist masih mengangkat alisnya. Apa hubungannya antara layar ponsel Namtan dengan pemberitahuan bahwa pesanannya sudah selesai, coba?

Namun Krist tidak bisa melawan ketika tangannya ditarik secara paksa oleh Namtan. Sahabatnya itu memang selalu memaksakan kehendak dan Krist sendiri terlalu sayang kepada si sahabat sehingga sulit untuk mengatakan tidak kepada setiap permintaan Namtan.

Pada akhirnya, sekarang langkah Krist dibawa berjalan mengekor di belakang Namtan. Sepanjang langkah, Krist memandangi ke ruang berdinding kaca yang posisinya berada tepat bersebelahan dengan ruang kantin. Di dalam ruangan itu ada Tawan, Thanat, dan Pluem.

Jika digambarkan secara sederhana, ruang berdinding kaca itu dipasangin pendingin ruangan dan sofa dengan bantalan yang terlihat sangat empuk. Belum lagi meja marmer di tengah-tengah sofa yang saling berhadapan semakin membuat ruang berdinding kaca itu semakin terlihat megah.

Namun dari semua itu, yang paling menambah kesan istimewa dari ruang berdinding kaca itu adalah mereka yang berada di dalamnya. Para anggota TCO adalah nilai tambah yang tidak terhingga.

Ada peraih olimpiade, ada artis, youtuber terkenal, model, atlet, serta pemimpin dari ekstra-kurikuler paling diminati di sekolah. Ketika anggota TCO berkumpul, ruang berdinding kaca itu seakan memancarkan sinar yang menyilaukan.

Krist tersenyum kecut. Enak sekali, mereka bisa duduk di sofa yang empuk sementara para siswa-siswi biasa seperti Krist dan Namtan hanya duduk di bangku kayu yang agak reyot. Kegerahan, pula.

Tidak adi—

BUGH.

Terlalu disibukkan dengan pemikirannya sendiri, Krist tidak menyadari bahwa dari arah berlawanan ada seseorang yang juga berjalan dengan langkah tergesa. Keduanya bertubrukan, cukup keras walau tidak sampai terjatuh, sih.

Yang jatuh adalah ponsel si lelaki yang menubruk Krist.

“Tuhan. Maaf, maaf! Nggak sengaja! Sorry banget!” Tanpa mencari tahu terlebih dahulu siapa yang ditubruk, secara refleks Krist membungkukkan tubuhnya untuk meraih ponsel yang sekarang tergeletak di lantai kantin.

Begitupun dengan lelaki itu, Singto.

SMA Bina Manggala lebih tepat jika disebut sebagai penjara daripada sekolah.

Bagaimana tidak? Segala sesuatu yang ada di Bina Manggala hanya dibagi ke dua tipikal : baik atau buruk, cantik atau buruk rupa, bodoh atau pintar, dan The Chosen One atau Ordinarian.

Ordinarian adalah sebutan bagi siswa-siswi yang tidak tergabung di The Chosen One, yang mana secara otomatis — terlepas dari sepuluh siswa-siswi The Chosen One, sisa dari murid Bina Manggala adalah para Ordinarian.

Kau berwajah cantik? Tidak akan ada artinya jika kau tidak tergabung di The Chosen One. Jika kau ingin mengubah statusmu dari orang biasa menjadi lebih istimewa, TCO adalah satu-satunya jawaban. Kau harus bersaing sengit untuk mendapatkan segala yang terbaik.

Tinggal di rumah mewah yang mereka sebut sebagai kastil memang menggiurkan. Namun ada satu hal yang lebih menggoda dibanding tinggal di istana Bina Manggala, yaitu hak untuk mengakses segala yang ada di Internet. Tanpa terkecuali.

Bayangkan, akan sebagaimana hampanya hidupmu jika kau dibatasi agar hanya dapat mengakses dua platform? Walaupun, ya, memang dua platform yang disediakan Bina Manggala memang yang paling sering dikonsumsi oleh para pengguna internet, tentu saja ada banyak hal yang ingin kalian telusuri, bukan?

Namun diantara banyaknya platform yang tersedia, pihak sekolah menetapkan sebuah peraturan baru untuk siswa-siswinya beberapa waktu yang lalu. Jika disebutkan secara lebih rinci, kalau tidak salah───sekitar lima sampai enam bulan yang lalu?

Alasannya adalah karena maraknya video tentang pergaulan di sekolah-sekolah lain; menggambarkan hal yang dianggap sangat bertentangan dengan peraturan di SMA Bina Manggala.

Petinggi SMA Bina Manggala sangat menjaga sikap yang mereka sebut sebagai keseragaman. Di Bina Manggala, tertulis peraturan yang dicetak dalam huruf besar-besar : TIDAK BERTINDAK DI LUAR BATAS KESOPANAN DAN KEWAJARAN. MURID HARUS MENGHORMATI GURU DAN THE CHOSEN ONE.

Gila. Bahkan posisi para member TCO dibuat sama rata dengan para staf pengajar.

Di Bina Manggala, semua siswa harus tunduk dan tidak boleh membangkang. Bermimpi untuk bisa merasakan keseruan di kelas dengan bolos atau bersenda gurau dengan guru? Tidak akan bisa terjadi. Itu hanya mimpi. Di SMA Bina Manggala, para Ordinarians harus belajar – belajar – dan belajar pada waktu yang sudah ditetapkan. Tidak boleh ada satupun kalimat yang diujarkan dengan nada bercanda di tengah jam pembelajaran.

Semua, serius.

Di luar jam kegiatan belajar mengajar, pihak sekolah tidak membatasi siswa-siswinya untuk melakukan apa yang mereka mau. Sehingga, memang ada ekstra-kurikuler yang diciptakan hanya saja semua harus dilakukan dengan rencana yang jelas dan dijalankan dengan tepat. Tidak boleh ada acara temu-akrab yang layaknya dijadikan ajang kumpul-kumpul antar senior dan junior agar bisa saling mengenal dengan lebih baik.

Lagi. Semua harus serius. Menyandang titel sebagai pelajar di SMA Bina Manggala lebih terasa seperti tahanan yang hidup di dunia hitam putih. Tidak ada warna yang menggambarkan kebahagiaan, sama sekali.

Kembali ke perihal TikTok.

Pihak sekolah melarang dan mengecam siswa-siswi SMA Bina Manggala yang termasuk Ordinarians untuk tidak mengakses platform TikTok. Segala akses dimatikan untuk mereka yang biasa-biasa saja, terkecuali kepada para yang terpilih.

The Chosen One memiliki hak untuk mengakses segala platform, termasuk TikTok. Pihak sekolah percaya bahwa segala konten yang ada di TikTok tidak akan pernah disalahgunakan oleh mereka yang terpilih. Apapun video atau hal lainnya yang mereka lihat di TikTok pasti akan dijadikan bahan untuk kepuasan pribadi.

Toh' logikanya, siapa anggota TCO yang mau membahayakan posisi nyamannya hanya untuk menyebarkan video yang mungkin bisa dijadikan bahan untuk memprovokasi murid-murid Ordinarians? Itu sama saja dengan cari mati.

Tidak akan ada yang segila itu.

Keuntungan Menjadi The Chosen One Nomor 2 :

● Para siswa-siswi yang tergabung di The Chosen One memiliki hak untuk mengakses berbagai website tanpa terkecuali. Siswa-siswi Ordinary hanya memiliki hak untuk mengakses dua platform website, yaitu Youtube dan Twitter dengan mengikuti peraturan yang sudah ditetapkan.

“New. Ih, aku 'kan lagi ngomong serius. Diperhatiin dulu, dong. Ini aku lagi tanya soal apa barang branded apa yang jadi kesukaan adekmu, biar aku bisa ngelobby dia buat jadi adek angkat aku. Jangan mainan handphone terus, New! Ih! Lagi chat sama siapa sih, emangnya?”

“Iya, Neen. Sebentar, ya. Ini gue lagi urusin hal penting dulu. Sebentar aja.”

“Lo kalau jalan 'tuh liat ke depan kek, Tawan. Mainan handphone melulu. Nabrak tiang baru tau rasa!”

“Gue mah doain dia nabrak tiang sampe benjol, sih, Pluem. Tapi lo juga sama aja ── ngapain handphone pake diangkat-angkat segala tapi nggak lo apa-apain? Mau minta nomor hape adek tingkat yang cantik atau gimana?”

“Halah, nggak lah, Thanat! Gue kebiasa aja kayak begini. Tangan gue kayak hampa aja kalau nggak pegang handphone makanya gue selalu pegang kayak begini walau handphonenya nggak gue pegang.”

“Lo jangan suka nasehatin orang, deh, Pluem. Thanat juga sama aja, dia juga sering SMS-an sama nggak tau siapa. Cuma bedanya, gue tuh selalu liat layar tapi kalau Thanat bisa ngetik pakai sebelah tangan tanpa liat keyboardnya. Gila.”

“Udah, sama aja kita semua, tuh. Nggak bisa lepas dari handphone. Bahkan Singto juga sama aja. Itu kuping disumpel melulu sama earphone dari tadi. Dengerin lagu apaan coba? Dari tadi nggak selesai-selesai.”

“Hah? Apa?”

“Yeeee, gue kira lo lagi dengerin lagu, Singto. Ternyata masih bisa dengerin obrolan kita, 'toh?”

“Iya. Masih kedengeran. Ya udah, jadinya sekarang mau ke mana lagi, nih?”

“11 IPA 5 dulu aja, gimana?”

“Oke.”