“Serius cuma begini doang?”
Padahal si lelaki berkulit putih dengan mata yang sipit itu hanya mengujarkan satu kalimat namun sekumpulan mahasiswa dengan jaket berwarna merah terang yang sedang duduk dengan formasi melingkar di tanah lapangan utama Universitas Ganesha Mandala segera meneguk ludah; terlihat jelas bahwa mereka gugup bukan main. Krishna, lelaki yang barusan berujar tampak melipat kedua tangannya di depan dada. Berbeda dengan mahasiswa yang mengenakan jaket merah, Krishna mengenakan jaket hitam dan berada dalam posisi berdiri. “Serius-rencana-kalian-cuma-begini-doang?”
Pandangan si mantan ketua Paskibra Ganesha Mandala itu masih tertuju ke papan tulis kecil yang tergeletak di atas tanah lapangan yang lumayan basah akibat hujan kecil di sore hari ini. Di atas papan tulis kecil itu tertulis beberapa hal yang ditulis dalam kalimat pendek-pendek serta lingkaran yang mengelilinginya, seperti membentuk sebuah bagan organisasi.
Beberapa detik berlalu, tidak ada satupun diantara para mahasiswa yang mengenakan jaket merah berani membuka suara. Hampir seluruhnya menundukkan kepala, seakan enggan bertatapan mata dengan si kakak tingkat yang memang dikenal sangat disegani itu. Dengan tangan yang masih dilipat di depan dada, Krishna mengetuk-ngetukkan sebelah kakinya ke atas tanah dan membuat suara becek yang sayup-sayup terdengar di tengah keheningan.
“Gue ngomong sama dedemit atau gimana, nih? Masa' nggak ada yang jawab? Pada nggak punya mulut atau gimana? Ketuanya juga mana? Diem doang bisanya?”
Salah satu mahasiswa berjaket merah yang duduk tidak jauh dari posisi Krishna berdiri segera mendesah berat. Kepalanya tertunduk dalam-dalam untuk sekilas sebelum akhirnya ia menghela nafas banyak-banyak. Di sisi kanan jaket yang dikenakan si lelaki, tertulis nama yang dijahit rapi. Tarendra.
“Siap, kak!” Tarendra, si ketua Paskibra Ganesha Mandala pada tahun yang berlangsung segera memberi jawab setelah yakin dengan kepercayaan dirinya sendiri. Si lelaki berkulit kecoklatan itu berdiri dari posisi duduk dan memasang sikap sempurna. Tegak. Krishna melirik sinis, sungguh — siapapun yang diberi pandangan begitu pasti akan merasa gentar bukan main. Tidak terkecuali Tarendra yang sekarang merasa kepalan tangan di samping pahanya tengah gemetar.
“Siap apa?”, tanya Krishna dengan nada dingin. Tarendra mengutuk dalam hati, menyesali segala keputusannya dahulu yang bersedia dijadikan ketua dari pasukan Ganesha Mandala dan secara otomatis menjadikannya korban paling empuk dari semua kemarahan senior seperti Krishna. “Lo ngerasa masih bisa ngomong siap gitu, padahal lo pasang sikap siap pun setelah gue panggil.”
Krishna melangkahkan tungkainya perlahan hingga berakhir di hadapan Tarendra yang masih memberi pandangan lurus ke depan. Tarendra paham, ia tidak boleh menundukkan kepala walaupun sangat ingin melakukan demikian. Jika ia menolak untuk berbalas tatap dengan Krishna yang sedang memberikan tatapan dingin kepadanya, itu sama saja dengan cari mati.
“Hah?” Krishna memajukan kepala sehingga jarak antara wajahnya dengan wajah Tarendra hanya terpisah sekian sentimeter saja. Bahkan hidung mereka nyaris bersentuhan. Walau begitu, Krishna tidak tampak gentar. Begitupun dengan Tarendra yang terlalu dimakan rasa takut dibanding rasa malu. “Gue tanya, Ren. Serius lo cuma ngerencanain itu doang buat planning tahun ini?”
Tarendra meneguk ludah gugup. “Anu...”
“Lo tau, 'kan, penjuru sama danton pasukan lo nggak akan bisa ikut lomba tahun ini?” Krishna memotong ujaran Tarendra dan kali ini, tidak hanya membuat Tarendra kehabisan kata-kata melainkan juga kehilangan warasnya. Gila, tidak usah diberitahu dua kalipun Tarendra sudah tahu bahwa pasukan yang dipimpinnya tahun ini sudah dipastikan akan mengalami banyak hambatan.
Nakuladewa dan Raesaka dipastikan tidak akan bisa mengikuti perlombaan baris-berbaris tingkat nasional di tahun ini, sebab keduanya harus menjalani karantina guna mengikuti Pemilihan Mahasiswa Berprestasi sebagai utusan kampus. Dengan kata lain, dua titik paling penting di dalam baris pasukan Ganesha Mandala hilang dalam satu waktu : Raesaka sebagai danton dan Nakuladewa sebagai penjuru. Lalu sekarang Krishna menekannya seperti begini di hadapan anggotanya yang lain. Jika bisa, Tarendra ingin melempar jaketnya saat ini juga dan meneriakkan emosi bahwa ia ingin berhenti dari jabatannya sebagai ketua Paskibra Ganesha Mandala.
“Kalau lo tau bahwa dua titik paling penting di dalam barisan itu nggak ada, mestinya lo bikin rencana lebih mateng! Kalau lo cuma copy-paste dari planning tahun lalu, lo kira semua masalah di pasukan bisa selesai?! Hah?!”
Krishna menampar pipi kanan Tarendra dengan cukup kencang. Hanya sekali, namun bisa membuat seluruh anggota pasukan terdiam. Sekarang tidak ada yang berani mengangkat pandangan, semua memilih untuk menundukkan kepala dan memandangi rumput liar di tanah becek.
“Lo udah mikir, apa ada diantara temen-temen seangkatan lo atau anak-anak setaun di bawah lo yang cukup pantes buat jadi danton selain Saka?” Pertanyaan Krishna barusan membuat Tarendra melirik ke sekeliling lewat ekor matanya. Tidak ada yang memberi bantuan, semua anggotanya terdiam dan tidak ada satupun yang menawarkan diri untuk menjadi danton. Tarendra tidak menyalahkan mereka, 'toh siapapun di dalam pasukan pasti paham bahwa mereka tidak akan sepantas itu untuk menggantikan posisi Raesaka yang pernah menjadi juara danton nasional tahun lalu.
“Siap! Saya masih belum tentukan pengganti Raesaka, Kak!”
Tamparan kedua kalinya mendarat, lagi-lagi dari tangan Krishna ke pipi kanan Tarendra. Kali ini lebih kencang dan keras daripada sebelumnya, hingga membuat Tarendra membutuhkan waktu beberapa detik untuk kembali siap di posisi sempurnanya karena barusan tubuhnya terhuyung.
“DAN LO BANGGA UCAPIN SEMUA HAL ITU DI DEPAN GUE, HAH?! LO BANGGA NGOMONG BAHWA LO BELUM TENTUIN SIAPA DANTON BERIKUTNYA TAPI BAHKAN LO NGGAK MASUKIN AGENDA SOAL ITU KE PLANNING TAHUN INI?”
Teriakan Krishna terdengar lantang, hingga membuat beberapa orang yang sedang melakukan jogging sore di sekitar lapangan utama kampus segera mengalihkan perhatiannya kepada mereka. Namun begitu mengetahui bahwa yang berkumpul di tengah lapangan adalah anggota paskibra Ganesha Mandala, mereka yang awalnya penasaran dengan apa yang terjadi akhirnya memilih untuk tidak peduli.
Paskibra dan tindak gembleng dalam bentuk fisik bukanlah hal yang aneh. Tindakan main tangan dianggap sangat lazim dan banyak orang sangat menormalkan hal itu. Entah apa harus dianggap melegakan atau malah semestinya dipikir miris.
“Maaf... Kak...”
Suara Tarendra terdengar gemetaran. Bukan karena ia sedang menahan tangis atau apa, Tarendra hanya merasakan perasaan campur aduk yang sedang ia coba tahan agar tidak keluar meledak. Perasaan marah, ingin menyerah, juga malu besar. Semua campur aduk namun hanya bisa ia ekspresikan lewat kepalan tangan yang berada di samping paha dalam posisi sikap sempurna.
“Pikir, Ren. Pikir.” Krishna mengarahkan telunjuknya ke sisi pelipis Tarendra. Sangat jelas ingin mengintimidasi si adik tingkat di hadapan para anggotanya. “Lo punya otak di kepala, tuh, jangan cuma buat dijadiin pajangan doang. Bisa mikir, 'kan? Otak lo dipake!”
Apa yang bisa Tarendra katakan selain kalimat berisi pernyataan mengiyakan? Apa yang bisa Tarendra lakukan selain memberi anggukan paham dan permintaan maaf berulang kali yang bahkan tidak ia ketahui apa alasannya?
Di sisi lain, Krishna juga merasakan dilema yang teramat sangat. Sungguh bukan keinginannya untuk mempermalukan Tarendra di hadapan para anggota paskibra Ganesha Mandala. Krishna juga tahu masih ada berbagai cara yang lebih baik dan santun untuk memberi nasihat kepada di penerus posisinya sebagai ketua. Namun permasalahannya, apabila semua dilakukan secara sopan dan santun, apakah Tarendra bisa memahami situasi bahwa segala rencana yang ia buat tadi sangatlah kurang?
Mengingat sifat Tarendra yang terkadang sulit untuk dinasihati dan juga menimbang hubungan antara Krishna dengan si adik tingkat yang sudah kepalang dekat, akhirnya dengan berat hati Krishna melakukan semua ini. Memberi ajaran secara keras.
“SEMUA!” Krishna tidak lagi memberi fokus kepada Tarendra. Kini pandangan si lelaki Haliem diedarkan ke sekeliling, memandangi para anggota yang masih duduk seraya menundukkan kepala. “ENAK DUDUK KAYAK BEGITU SEMENTARA KETUA KALIAN GUE MARAHIN KAYAK BEGINI?”
Sontak, semua anggota segera bangkit dari posisi duduk. Mereka berdiri dan membentuk tiga jejer barisan yang memanjang ke belakang sesuai dengan urutan tinggi badan. “Siap, Kak! Tidak!” Usai merapikan barisan, koor kompak terdengar seiring seruan dari para anggota. Krishna menyipitkan matanya; sebuah kebiasaan ketika ia ingin mencoba mengetahui apa yang sedang dipikirkan para anggotanya.
“LUCU, YA, NGELIATIN KETUANYA DIMARAHIN BEGINI? LO SEMUA MILIH RENDRA JADI KETUA CUMA BIAR DIA BISA NGEWAKILIN LO-LO BIAR NGGAK GUE MARAHIN, GITU?!”
Ah, paskibra memang semenyebalkan itu. Senior selalu saja bersikap kesana-kemari. Sedetik tadi memarahi si A, kemudian detik berikutnya bisa saja memarahi B dan C dengan membawa alasan yang mengatasnamakan A. Krishna juga awalnya memiliki pemikiran demikian. Semula, ia kesal dengan sikap senior yang ia anggap seenaknya. Namun seiring dengan posisinya yang semakin naik, ia menjadi paham bahwa tindak kesana-kemari itu adalah bentuk ketidakberpihakannya kepada siapapun.
Ia tidak ingin terlalu memanjakan Tarendra sebagai ketua namun ia juga tidak ingin para anggota lepas tangan sepenuhnya dari segala tanggung jawab yang semestinya menjadi milik bersama.
“LO SEMUA JUGA PUNYA OTAK! PAKE! PIKIRIN SAMPE JAUH! JANGAN CUMA MIKIR RENCANA BUAT SEMINGGU DUA MINGGU KE DEPAN! LO ADA DI PERIODE INI SELAMA SETAHUN! BIKIN RENCANA SELAMA SETAHUN!”
“PLANNING YANG LO SEMUA BIKIN SEKARANG CUMA BISA BUAT SEBULAN, PAHAM?! TERUS SEBELAS BULAN YANG LAINNYA, KALIAN MAU NGAPAIN? CUMA CAPEK-CAPEKAN DI LAPANGAN? DIJEMUR?”
“Oh,” Krishna memasang senyum sinis. Suaranya tidak lagi berseru kencang, malah saat ini Krishna terdengar seperti sedang berbisik. “Atau lo semua emang cuma mau balas dendam ke anak-anak baru pas pendaftaraan keanggotaan nanti? Makanya lo semua cuma bikin planning sampe sebulan ke depan aja?”
“SIAP! TIDAK, KAK!”
Jawaban kompak dari para anggota termasuk Tarendra, tak urung membuat senyuman tipis terulas di bibir Krishna. Ia sendiri sesungguhnya sudah mengetahui bahwa tidak mungkin anggota paskibra Ganesha Mandala memiliki pemikiran untuk melakukan tindak balas-dendam. Semenjak awal, semua anggota paskibra GAMA sudah diajarkan untuk tidak membalaskan dendam apapun kepada adik tingkat dan itu sudah tertera di janji yang mereka tandatangani sebelum masuk ke dalam pasukan.
Krishna berdehem sekali, berupaya menutupi ulas senyumnya yang ia harap tidak disadari oleh siapapun. “Okay,” lanjut Krishna kemudian memeriksa arloji yang terlingkar di pergelangan tangannya. “Rendra, gue pengen lo perbaiki lagi rencana agenda yang kalian buat tadi.”
Papan tulis kecil yang tadi tergeletak di atas tanah dipungut oleh Krishna kemudian disodorkan kepada Tarendra. “Please, kali ini pikirin agenda lo secara jauh. Lo nggak mau diomongin senior-senior karena nggak bisa bikin GAMA menang jadi juara umum di masa kepemimpinan lo, 'kan?”
Tarendra mengangguk dengan tegas. “Siap! Tidak, Kak!”
Krishna tersenyum, walau tipis. Selepas papan tulis di tangannya sudah digenggam oleh Tarendra, si lelaki Haliem mengusak rambut si adik tingkat kemudian menepuk-nepukkan tangannya ke pipi Tarendra. “Sorry kalo gue terlalu keras tadi. Lo paham, 'kan, apa maksud sebenernya gue lakuin kayak gitu?”
Lagi, si ketua mengangguk. Tarendra paham dengan jelas bahwa Krishna ingin mendidiknya agar bisa menjadi ketua yang lebih baik, bukannya ingin menghukum tanpa alasan jelas atau lainnya. “Siap, Kak.”
“Ya udah,” Krishna mengambil nafas dalam-dalam sebelum kembali memandangi anggota paskibra GAMA yang ada di dalam barisan. “Gue rasa, gue udah cukup banyak ikut campur di agenda kalian padahal status gue di sini adalah senior. Gue minta maaf soal itu.” Krishna mengambil jeda sejenak dari kalimatnya. “Tapi gue harap lo semua paham bahwa kalian ini adalah anggota Ganesha Mandala. Pasukan yang disegani banyak orang. Pasukan yang nggak pernah gagal sabet status juara umum di setiap perlombaan.”
“Jangan sampai status terbaik yang kita udah bangun dari jauh-jauh hari, malah hancur di tangan kalian. Paham?”
“Siap! Paham!”
“Bagus.” Krishna merogoh saku celana dan mengeluarkan ponsel lipat miliknya. Hampir pukul lima sore. Krishna bisa terlambat menjalankan rencananya. “Gue pamit dulu, kalo gitu. Ren, kabarin gue kalau lo udah beres tambahin planning. Oke?”
Anggukan Tarendra menjadi akhir dari sesi-menyeramkan ala seorang Krishna Putra Haliem. Selepas berpamitan singkat dengan anggota lainnya, Krishna berderap meninggalkan lapangan; terlihat sangat tergesa. Sementara itu, hampir seluruh anggota segera mengembuskan nafas lega sepeninggal si kakak tingkat yang menyeramkan.
“Anjir. Gue berasa mau kencing di celana tadi pas Kak Krishna teriak di depan gue. Serem banget.”
“Sama banget, nyet! Gue merinding abis sampe ngebayangin, lebih sereman mana malaikat Izrail sama Kak Krishna?”
Sementara para anggota saling berbagi cerita tentang bagaimana menyeramkannya sosok Tarendra, si ketua malah pergi keluar barisan dan mengambil ponsel miliknya yang semula ada di dalam tas ransel. Ia juga harus melakukan sesuatu sebelum terlambat!
“Ren! Kok lo di situ?! Jadi latihan lagi, nggak?”, tanya salah satu anggota kepada Tarendra yang terlihat sedang mengutak-atik sesuatu di layar ponselnya. “Atau kita balik, nih?!”
“JANGAN, WOY! PALA LO BALIK-BALIK! GUE UDAH DITAMPAR DUA KALI SAMA KAK KRISHNA! SEENAK KATA LO PADA MAU BALIK GITU AJA?!” Tarendra berseru setelah menekan tombol terakhir pada layar ponselnya. Saat ini, di layar ponsel Tarendra terdapat tanda frekuensi radio dan icon lambang yang menandakan bahwa ponselnya sedang merekam isi serta suara pada ponsel secara otomatis. “LATIHAN LAGI! LATIHAN! ABIS ITU RAPAT BIKIN PLANNING!”
Baik Krishna dan Tarendra, keduanya melakukan segala tindak yang terburu-buru sebab satu alasan yang sama; karena Raesaka dan Nakuladewa akan melakukan wawancara dengan radio kampus.
Boyfriend privilege.