dontlockhimup

“Kita mau muter ke mana dulu?”

“Gue ngikut, sih.”

“Ke kelas 11 IPA aja dulu, kalau kata gue, sih.”

“Tapi inget, kita liat-liat di kelas yang emang lagi jam kosong aja, guys. Jangan masukin kelas yang emang ada gurunya. Lo semua tau, 'kan, nggak semua guru suka sama TCO. Kita cari aman aja, masuk ke kelas yang lagi nggak ada gurunya. Oke?”

“Sip.”

Keuntungan Menjadi The Chosen One Nomor 1 :

● Para siswa-siswi yang tergabung sebagai The Chosen One memiliki hak untuk tinggal di rumah mewah yang disediakan oleh sekolah secara gratis.

Private, (Not) Exclusive

SMA Bina Manggala. Sebut saja nama itu di hadapan sepuluh siswa-siswi dari SMP manapun, pasti sembilan dari sepuluh akan mengatakan bahwa sekolah yang kau sebut namanya itu adalah sekolah idaman mereka. Satu yang mengatakan tidak ingin melanjutkan pendidikannya di SMA Bina Manggala pasti berasal dari daerah antah berantah.

Bermimpi diterima sebagai siswa-siswi SMA Bina Manggala tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ujian tertulis yang dikenal sangat sulit, ujian praktek keterampilan serta bakat, juga penilaian fisik yang menarik adalah ujian yang harus dihadapi para remaja yang ingin menyematkan titel siswa/i SMA Bina Manggala di resume pendidikan mereka.

Tidak heran, sih. Memang sebegitu terkenalnya SMA Bina Manggala, sekolah yang berhasil mencetak banyak prestasi dan menghasilkan entertainer berbakat yang menghiasi layar kaca, terlebih jika kalian adalah siswa-siswi lulusan SMA Bina Manggala maka jaminan untuk masuk ke Perguruan Tinggi Negeri sudah berada di genggaman. Belum lagi, sekolah ini dikenal dengan siswa-siswinya yang ramah, hangat, serta selalu menjaga sopan-santun.

Cuih.

Sopan santun, katanya. Semua menganggap siswa-siswi SMA Bina Manggala memiliki sikap sopan santun karena yang diekspos ke khalayak publik adalah mereka yang memiliki topeng tebal.

Masih bingung dengan maksud kalimat ini?

Okay, mari kita bahas dari hal yang paling mendasar. Para petinggi SMA Bina Manggala menganggap Twitter dan Youtube adalah dua platform sosial media yang paling efektif untuk menjual nama sekolah. Segala prestasi yang diraih oleh muda-mudi Bina Manggala diunggah, membuat banyak mata mulai menaruh perhatian. Dari dua platform itu, nama SMA Bina Manggala semakin menggaung lantang.

Agar semua semakin mulus, semenjak sepuluh tahun lalu, pihak petinggi sekolah hanya memperlihatkan para anak murid yang mampu mendongkrak nama Bina Manggala. Ya, mereka yang diperlihatkan ke khalayak publik adalah mereka yang berprestasi atau yang terkenal sebagai publik figur.

Mereka diberi titel The Chosen One.

Sebagai tambahan, tolong beri garis bawah dan tandai dengan stabilo berwarna terang : selain siswa-siswi yang tercatat sebagai The Chosen One maka tidak boleh ada siapapun yang membuka akun sosial media pribadinya ke publik. Dengan kata lain, selain para The Chosen One — semua siswa-siswi SMA Bina Manggala harus mengunci akun twitter mereka. Iya, hanya twitter karena sekolah tengik ini tidak mengizinkan siswa-siswinya mengakses situs sosial media selain twitter dan youtube. Daya internet yang dimiliki para siswa-siswi SMA Bina Manggala tidak akan diperbolehkan untuk mengakses platform sosial media yang lain, meski kalian menggunakan fitur VPN sekalipun. Gila? Memang.

Siswa-siswi SMA Bina Manggala yang tidak terpilih sebagai The Chosen One akan dibiarkan bersaing di arena yang sengit, dalam tanda kutip. Mereka yang bukan anggota The Chosen One akan disembunyikan oleh sekolah, tidak diperbolehkan membuka akun twitter pribadinya ke publik, foto mereka tidak boleh disebarluaskan, dan sepanjang mereka berada di SMA Bina Manggala, siswa-siswi hanya boleh menggunakan satu foto yang sudah diambil ketika mereka masuk ke Bina Manggala. Satu foto untuk digunakan selama tiga tahun sebagai foto profil di akun pribadi mereka. Sinting? Iya.

Apa kau pikir cara agar bisa menjadi The Chosen One adalah hanya dengan memiliki otak cemerlang seperti Tawan dan Singto ataupun bakat kepemimpinan yang tiada tanding seperti Harit dan Pluem?

Tidak, kawan.

Jika kau memiliki wajah yang super tampan juga cantik, mungkin kau akan seberuntung Janhae atau Ciize serta New atau Thanat yang direkrut menjadi artis oleh salah satu pemimpin agensi selebriti ternama hingga dikenal sebagai publik figur dalam cara yang legal. Bisa juga, jika kau memiliki sokongan dana biaya yang super besar seperti Neen, kamu bisa membuat satu inovasi produk yang dielu-elukan sebagai produk terbaik se-Indonesia — padahal produkmu biasa saja dan penghargaan itu adalah hasil suap Ayahmu kepada para panitia penyelenggara acara. Atau seperti Joss yang memaksa Ayahnya untuk menyuap para wasit pertandingan agar menutup mata akan setiap pelanggaran yang tim basketnya lakukan.

Selain itu? Tidak ada cara yang lain.

Jika kalian ingin menjadi bagian The Chosen One, buktikan prestasi apa yang bisa kalian beri untuk sekolah. Hanya berhasil memberi penghargaan di tingkat kota/kabupaten? Tidak berguna. Paling tidak, juara satu tingkat nasional adalah patokan paling rendah.

Jika kalian ingin menjadi bagian The Chosen One, faktor keberuntungan harus menyertai wajah cantikmu. Jika kalian ingin menjadi The Chosen One, jadilah anak yang terlahir dari pengusaha kaya raya.

Jika kau berhasil mewujudkan prestasimu? Selamat. Titel The Chosen One berhasil kau dapatkan dan berhak tersemat di dadamu. Banggakan ke semua orang, bahwa kau adalah satu yang terbaik diantara sekian banyak putra-putri berkualitas se-nasional.

Oh, tapi sesungguhnya tidak semua siswa-siswi SMA Bina Manggala ingin menjadi The Chosen One — ada juga yang enggan dan menolak keras keberadaan para superior.

Mereka menamai diri : Asa Senandika.

Harapan dari suara hati.


SMA Bina Manggala. Sebut saja nama itu di hadapan sepuluh siswa-siswi dari SMP manapun, pasti sembilan dari sepuluh akan mengatakan bahwa sekolah yang kau sebut namanya itu adalah sekolah idaman mereka. Satu yang mengatakan tidak ingin melanjutkan pendidikannya di SMA Bina Manggala pasti berasal dari daerah antah berantah.

Bermimpi diterima sebagai siswa-siswi SMA Bina Manggala tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ujian tertulis yang dikenal sulit, ujian praktek keterampilan serta bakat, juga penilaian fisik adalah ujian yang harus dihadapi para remaja yang ingin menyematkan titel siswa/i SMA Bina Manggala di resume pendidikan mereka.

Tidak heran, sih. Memang sebegitu terkenalnya SMA Bina Manggala, sekolah yang berhasil mencetak banyak prestasi dan menghasilkan entertainer berbakat yang menghiasi layar kaca, terlebih jika kalian adalah siswa-siswi lulusan SMA Bina Manggala maka jaminan untuk masuk ke Perguruan Tinggi Negeri sudah berada di genggaman. Belum lagi, sekolah ini dikenal dengan siswa-siswinya yang ramah, hangat, serta selalu menjaga sopan-santun.

Cuih.

Sopan santun, katanya. Semua menganggap siswa-siswi SMA Bina Manggala memiliki sikap sopan santun karena yang diekspos ke khalayak publik adalah mereka yang memiliki topeng tebal. Masih bingung dengan maksud kalimat ini?

Maksudnya, selain siswa-siswi yang tercatat sebagai The Chosen One maka tidak boleh ada siapapun yang membuka akun sosial media pribadinya ke publik. Dengan kata lain, selain para The Chosen One — semua siswa-siswi SMA Bina Manggala harus mengunci akun twitter mereka. Iya, hanya twitter karena sekolah tengik ini tidak mengizinkan siswa-siswinya mengakses situs sosial media selain twitter dan youtube. Melanggar aturan? Hukuman atau detensi siap menyambut hari-hari kalian.

Gila? Memang. Para petinggi sekolah menganggap dua media sosial itu adalah tempat yang paling efektif untuk menjual nama sekolah. Dari dua platform itu, nama SMA Bina Manggala semakin menggaung lantang. Agar semua semakin mulus, semenjak sepuluh tahun lalu, pihak petinggi sekolah hanya memperlihatkan para anak murid yang mampu mendongkrak nama Bina Manggala. Ya, mereka yang diperlihatkan ke khalayak publik adalah mereka yang berprestasi atau yang terkenal sebagai publik figur.

Mereka diberi titel The Chosen One.

Sisanya? Dibiarkan. Siswa-siswi yang tidak terpilih sebagai The Chosen One akan dibiarkan bersaing di arena yang sengit. Jika kalian ingin menjadi bagian The Chosen One, buktikan prestasi apa yang bisa kalian beri untuk sekolah. Hanya berhasil memberi penghargaan di tingkat kota/kabupaten? Tidak berguna. Paling tidak, tingkat nasional adalah patokan paling rendah.

Lalu jika kau berhasil mewujudkan prestasimu? Selamat. Titel The Chosen One berhasil kau dapatkan dan berhak tersemat di dadamu. Banggakan ke semua orang, bahwa kau adalah satu yang terbaik diantara sekian banyak putra-putri berkualitas senasional.

Segala hal yang ada di dalam cerita sepenuhnya adalah fiksi. Sifat dan tabiat serta perilaku yang dimiliki setiap karakter tidak mencerminkan sang pemilik wajah juga nama asli, mohon kebijakannya untuk tidak menyangkut-pautkan isi cerita dengan artis terkait.


The Chosen One tinggal di kastil.

Bukan kastil bak kerajaan di zaman dahulu, kastil yang ditempati oleh The Chosen One adalah rumah bergaya modern dengan luas bangunan lebih dari 500 meter persegi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa setiap siswa-siswi SMA Bina Manggala yang berhasil meraih prestasi akademik setidaknya hingga tingkat nasional diperbolehkan untuk masuk ke dalam jajaran The Chosen One dan tinggal di dalam kastil mewah yang difasilitasi secara penuh oleh sekolah.

Tawan dan Singto adalah anggota The Chosen One yang

“Tawan Vikanasatya dan Singto Pradipta, terima kasih atas dedikasi kalian untuk mengharumkan nama Bina Manggala.”

Lucu. Sungguh lucu. Sekarang Tawan dan Singto berdiri di atas podium yang menghadap langsung ke para peserta upacara hari Senin. Lucu, mereka berdua sekarang sedang diberi tepuk tangan riuh dan siul sorak sorai gembira. Lucu, baik Singto dan Tawan sekarang diperlakukan bak pangeran mahkota yang baru berhasil menjejakkan kaki untuk melakukan langkah pertamanya.

Padahal tiga hari yang lalu, mereka berdua baru saja berciuman dengan lidah bersama Janhae di klab malam; tempat yang tak sepantasnya siswa SMA datangi. Padahal tiga hari yang lalu, Singto dan Tawan meminum bergelas-gelas minuman beralkhohol sampai muntah. Padahal tiga hari yang lalu, Tawan memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi — itupun sambil mabuk berat dan disemangati oleh Singto yang duduk di sebelahnya.

Padahal keduanya melakukan tindak segila dan tak bermoral begitu, namun tetap saja sekarang mereka mendapatkan sorak sorai yang mengelukan kalimat selamat dan hebat.

Lucu. Sekolah ini, Bina Manggala, memang sangat lucu.

PROLOG

“LEPASIN GUE!”

Percuma. Sekuat apapun kamu berusaha memberontak, lengan berotot milik seorang lelaki jangkung yang sekarang sedang mengangkat tubuhmu seakan bisa mematahkan semua usaha. Tidak habis akal, kali ini kamu berupaya untuk menendangi lelaki yang membopong kedua kakimu. Paling tidak, di matamu sekarang—lelaki yang memegangi kakimu itu bertubuh tidak begitu besar layaknya si lelaki berotot. “LEPASIN, NGGAK?! BRENGSEK LO SEMUA!”

Si lelaki berkacamata yang sedang memegangi kakimu hampir kehilangan keseimbangan tubuhnya karena tendangan dari sebelah kakimu mengenai dadanya. Pasti sakit, tebakmu. Akan tetapi si lelaki berkacamata segera menyeimbangkan tubuh kembali, kali ini seraya memegangi kedua kakimu dengan jauh lebih kuat daripada sebelumnya. Sakit. Rasa perih yang kamu alami saat ini sangat menyakitkan. “Sakit...”, rintihmu; saking sudah tidak bisa lagi meneriakkan apapun. Percuma, ‘toh tampaknya kedua lelaki ini tidak terlihat memiliki keinginan untuk melepaskanmu.

Please. Lo berdua nggak bakal dapet tebusan apa-apa kalau culik gue. Nggak ada yang bakal jemput atau selamatin gue…” Sekarang kamu memohon. Dalam hati, tidak henti-hentinya kamu menertawakan diri sendiri dengan getir. Kamu, seorang perempuan yang selalu menganggap tidak ada hal di dunia yang mampu menjatuhkanmu, saat ini sedang memohon untuk dilepaskan dari cengkeraman dua lelaki tak dikenal yang membawa dirimu ke mobil Toyota Crown yang sudah tampak usang. “Gue nggak punya siapa-siapa…”

Masih sama, kedua lelaki itu tidak ada yang menaruh perhatian ke setiap kalimat yang lolos dari bibirmu. Si lelaki jangkung berotot tampak sudah menguasai tubuhmu di pegangannya; buktinya, sekarang ia memegang tubuh atasmu dengan sebelah kanan tatkala tangannya yang lain membuka pintu mobil bagian belakang. “Masukin pelan-pelan, Tay.”

Kalimat yang diujarkan si lelaki jangkung berotot sontak membuatmu yang sudah tidak bertenaga tiba-tiba seperti disetrum oleh pasokan energi berlebih. Lagi, kamu memberontak walau yakin tenagamu pasti akan habis sepenuhnya setelah ini. Kakimu ditendang-tendangkan tidak tentu arah sementara badanmu bergerak ke kanan-kiri; membuat kedua lelaki itu kesusahan. “GUE NGGAK MAU DIPERKOSA! MENDING LO BUNUH GUE AJA SEKALIAN! LEPASIN!”

Tendangan kali ini membuahkan hasil. Lelaki berkacamata yang tadi memegangi kakimu akhirnya terjatuh ke tanah karena lagi-lagi terkena tendanganmu mengenai dadanya. Memang jelas, sih, lelaki berkacamata itu bahkan tidak memiliki separuh tenaga dari lelaki berotot di atasmu. Namun baru saja kau akan menapakkan kakimu ke tanah, si lelaki yang memegangi tubuh bagian atasmu mengunci semua pergerakan. Tubuhmu berakhir dibanting olehnya agar masuk ke dalam mobil bagian belakang. Kasar, bahkan hingga kepalamu terantuk ke sisi jendela mobil; membuat pening bukan main.

“Lo bisa diem? Jangan sampai kami berdua lakuin hal yang nggak bener ke lo. Kami nggak pernah ngebunuh orang yang nggak ada di dalam daftar. Kalau lo masih terus bersikap kayak tadi, gue nggak akan sungkan buat keluarin peluru di sini biar nembus kepala lo. Paham?”

Kamu terdiam membisu ketika melihat lelaki itu mengacungkan pistol laras pendek berwarna perak itu ke arahmu, lurus-lurus. Jelas kamu merasakan tubuhmu gemetaran karena seumur hidup baru kali ini kamu melihat pistol sungguhan secara langsung. Tidak tanggung-tanggung, pistol itu teracung ke arahmu—dan kamu yakin, lelaki itu tidak main-main dengan ucapannya. Pasti ia akan menembakkan longsongan pelurunya kepadamu, sama seperti yang lelaki itu lakukan beberapa belas menit yang lalu.

Sama halnya ketika kamu yang sedang melewati barisan rumah kosong di daerah yang jarang dihuni, secara tidak sengaja melihat lelaki ini menembakkan isi pelurunya ke kepala seorang lelaki paruh baya yang tersudut tidak berdaya. Pasti lelaki ini tidak sedang bercanda.

“Paham?” Lelaki itu lagi-lagi menyuarakan tanya. Suara lelaki itu tidak diucapkan dengan nada tinggi, malah terkesan sangat tenang. Kamu mengangguk kecil dengan penuh rasa takut. “Paham…”, jawabmu lirih. Posisi dudukmu masih sama seperti ketika didorong secara paksa untuk masuk ke dalam mobil, saking kamu merasa takut apabila menggerakkan jari barang sedikit saja—lelaki itu akan menembak kepalamu. Bahkan saking takutnya, rok pendek yang kamu kenakan tersingkap ke atas dan memperlihatkan pahamu jelas-jelas.

Tidak! Tidak ada maksud menggoda sama sekali. Kamu bukan perempuan seperti itu. Walau setiap malammu dihabiskan di klab malam untuk tertawa palsu bersama lelaki hidung belang, semua kamu lakukan hanya untuk mengais uang agar Ibunda dan Ayahmu di kampung halaman bisa mendapat kiriman uang yang cukup untuk melanjutkan hidup secara layak.

Dengan gerak yang sangat hati-hati, kamu menggerakkan tangan untuk menarik turun rok pendek kenaan agar pahamu tidak terlalu terumbar. Entah bagaimana ceritanya, si lelaki berotot yang semula mengacungkan pistolnya ke arahmu tiba-tiba melepaskan jaket kulit yang semula ia kenakan untuk kemudian dilemparkan ke arahmu. “Tutup paha lo,” ujarnya dengan masih sama tenang seperti sebelumnya. Tidak tampak dipenuhi nafsu layaknya lelaki hidung belang yang setiap malam berupaya menyentuh tubuhmu dengan berbagai rayuan menjijikkan.

“Iket aja mendingan, Joss.” Baru saja kamu berhasil menutupi pahamu dengan jaket si lelaki berotot, lelaki berkacamata yang seingatmu dipanggil Tay oleh kawannya itu sudah memasuki ruang pandanganmu. Di tangan lelaki berkacamata, ada segulung lakban berwarna hijau. “Buat jaga-jaga. Bisa jadi dia kabur selagi kita beresin mayatnya.”

Mendengar kata mayat, tak urung membuatmu gugup; bahkan sampai meneguk air liur dengan ketakutan yang memenuhi benak. Lelaki berotot yang dipanggil Joss terlihat menimbang sejenak sebelum akhirnya kembali mengarahkan pandangannya ke arahmu. “Lo bakal kabur kalau kami nggak iket lo, ‘kan?”

Refleks, kamu menggelengkan kepala. Iya, kepalamu memang menggeleng namun hatimu berteriak senang. Kamu membayangkan, jika lelaki ini mempercayai ucapanmu dan tidak mengikat tanganmu—pasti akan jauh lebih mudah untuk kabur. Memikirkannya saja sudah membuatmu senang setengah mati. “Gue nggak akan kabu—”

Kalimatmu terputus ketika suara tarikan lakban yang memekakkan telinga terdengar, panjang. Joss menarik lakban dari tangan Tay kemudian menempelkannya ke mulutmu, bahkan sebelum kamu sempat menyelesaikan kalimat barusan. “Lo mesti tau…”, bisik Joss ketika lakban hijau itu sudah melekat di mulutmu. “Kami udah terbiasa bunuh orang dan di mata mereka selalu terpancar binar yang sama setiap kali kami kasih pertanyaan soal kabur atau nggak.”

“Persis kayak binar mata lo tadi,” lanjut Joss disertai tangannya yang kini bergerak menyusuri kulit pipimu, memberi usapan lembut yang membuatmu semakin ketakutan. Tangan Joss sangat dingin, seperti bongkahan es. “Binar mata yang lagi bahagia karena berharap kami percaya sama omongan lo agar bisa kabur.”

Joss memundurkan posisi tubuhnya kemudian memberi isyarat kepadamu untuk menaikkan kedua kakimu ke atas jok mobil. Masih dengan mulut yang ditutupi lakban, tubuh gemetar, dan menahan isak tangis, kamu mengikuti perintahnya. Kedua kaki diangkat dan diselonjorkan lurus-lurus. Tanganmu juga dijulurkan dengan posisi jemari saling menggenggam erat, sesuai perintah Joss selanjutnya. Seusai itu, si lelaki berotot memundurkan tubuh dan memberikan gulungan lakban hijau di tangannya ke si lelaki berkacamata. Kepada Tay.

“Lakban kaki sama tangannya biar dia nggak ke mana-mana. Gue beresin keju dulu sama apel. Buat keju, gue bisa sendiri tapi kalau apel kayaknya agak susah kalau sendirian. Sehabis lo ikat dia, susul gue.” Setiap kalimat Joss membuat dahimu berkerut. Keju dan Apel?

Tay tampak terbiasa dengan semuanya. Ia hanya mengangguk kecil seraya menerima sodoran lakban dari tangan Joss. “Gue susul nanti,” ujar Tay dengan tenang. Selepas kepergian Joss, sekarang gantian Tay yang menghampirimu dengan masuk ke bagian belakang mobil.

“Jangan tendang gue lagi,” ucapnya seraya terus memandangi kakimu dengan penuh waspada. Kamu terdiam. Siapa juga yang berani melakukan apapun setelah diacungi pistol seperti tadi? Maka walaupun sangat ingin, kamu hanya diam—berharap akan ada orang yang melewati daerah ini dan menyadari bahwa telah terjadi pembunuhan kejam di dalam rumah tua tadi.

Sepanjang Tay melakban tanganmu, lelaki itu sama sekali tidak berbicara apapun. Lelaki itu tidak terlihat kikuk dengan pekerjaannya sekarang walaupun penampilannya menggambarkan kesan kutu-buku yang anti bersosialisasi. Oh, mungkin memang benar untuk poin anti bersosialisasi karena ia hanya diam membisu sedari tadi. Kamu pun tidak bisa membuka perbincangan apapun karena mulutmu dilakban. Ah, lagipula siapa juga yang mau membuka pembicaraan dengan seorang penculik?

“Lo nggak usah takut.” Setelah kaki dan tanganmu dilakban kuat-kuat, akhirnya Tay membuka suara. “Kami nggak bakal segampang itu bunuh orang lain yang nggak ada di daftar. Asalkan lo bisa diajak kerjasama dan nggak berontak kayak tadi, gue yakin Joss nggak akan bertindak nekat.”

Selesai dengan tugasnya, Tay meletakkan lakban hijau itu begitu saja ke lantai mobil. Kamu kira, ia akan pergi begitu saja dan meninggalkanmu dengan kondisi mengenaskan ini di dalam mobil akan tetapi dugaanmu salah besar. Tay memang menutup pintu penumpang bagian belakang dan pergi melangkah menjauhimu, namun langkahnya mengarah menuju ke bangku pengemudi. Tay menyalakan mobil agar mesin pendingin terus menyala.

“Jangan macem-macem,” ucap lelaki berkacamata itu sebelum akhirnya meninggalkanmu sendirian di dalam mobil. Dari posisi dudukmu sekarang, kamu bisa agak memanjangkan leher dan melihat lelaki itu berjalan kembali ke arah rumah tua yang tadi kamu lewati.

Tidak lama berselang, kamu melihat kedua lelaki itu mengangkat kantung plastik hitam berukuran besar dan kembali mendekati mobil. Pintu bagasi belakang dibuka dan kantung plastik itu dimasukkan secara asal ke dalam sana. Entah pengelihatanmu yang salah atau fantasimu yang terlalu tinggi, kamu sempat melihat ada tangan terjulur keluar dari kantung plastik yang mereka masukkan ke dalam bagasi. Kamu semakin dibuat mual, apalagi mulutmu dilakban—membuat cairan yang ingin kau keluarkan hanya bisa tertahan di tenggorokan. * Kamu membayangkan, akan bagaimana jadinya jika mayat yang di dalam plastik itu adalah dirimu?*

Lamunanmu buyar ketika Joss membuka pintu bagian belakang secara tiba-tiba. Tanpa basa-basi, ia melemparkan dua tas kulit berukuran besar yang bagian luarnya sudah berlumuran darah. Kamu berteriak dengan tertahan, kakimu kau gerakkan tak tentu arah. Persis seperti putri duyung, akibat kakimu sekarang dilakban kuat-kuat.

“Hei! Hei! Santai!” Joss berseru ketika melihatmu panik. Agaknya ia paham bahwa mungkin kamu menganggap isi tas ini adalah bagian tubuh mayat yang baru mereka habisi. “Nggak. Ini bukan mayat. Tas ini isinya uang!” Joss membuka retsleting tas dan memang benar apa yang diucapkannya, di dalam ta situ terisi uang dalam jumlah sangat banyak. Kamu bahkan baru pertama kali melihat tumpukan uang sebanyak itu. Gila.

“Joss,” Tay memanggil si rekan sementara pandangannya masih tertuju ke layar ponsel di tangannya. Kamu sedikit bergidik ngeri karena melihat tangan Tay berlumuran darah walaupun si pemilik raga tampaknya sama sekali tidak mempedulikan cairan merah itu di tangannya. “Krist sama Singto bilang mereka udah masuk ke lubang kelinci. Semua keju udah diambil.”

Joss memindahkan posisi tas kulit berlumuran darah itu ke lantai mobil, agaknya tidak ingin membuatmu merasa kesempitan karena kakimu juga sedang terjulur di jok, “Cuma keju? Anjing, gue kira dia punya banyak susu. Dia nyangkul sampai trilyunan dan cuma punya keju doang? Tai.”

Tay terkekeh kecil sebelum memutarkan posisi layar ponselnya ke arah Joss, memperlihatkan layar datar kepada si kawan. Dari posisimu, kamu bisa melihat sedikit isi layar ponsel di tangan Tay; ada foto yang diperlihatkan. “Susu, setumpuk.”

Kamu mengenyitkan alis. Walaupun tidak begitu jelas, kamu tetap bisa melihat foto yang terpampang di layar ponsel itu dengan sangat jelas. Itu bukan foto atau hal lain yang menggambarkan susu seperti yang Tay katakan. Itu adalah tumpukan emas dan berlian.

Dalam jumlah sangat banyak.

“Lho, Krishna? Lo mau balik?”

Pertanyaan yang disuarakan oleh Bayu, salah satu rekan kerjanya di kantor, sama sekali tidak dipedulikan oleh Krishna. Si lelaki Haliem menengok jarum jam di arlojinya dengan tergesa, pukul sembilan malam. “Hari ini tanggal berapa?!”, seru Krishna dengan nada suara yang agak terdengar gemetar hingga membuat Bayu yang meja kerjanya berhadapan dengan meja Krishna menjadi kebingungan setengah mati. “Tanggal berapa, Bay?!”

“Tanggal dua-delapan, anjir. 28 Juli. Kata Ayesha, gajian ditransfer besok. Nggak usah rame gitu. Kalau lo nggak punya sisa duit, pinjem aja sini ke gue.” Bayu berujar ringan seraya merogoh saku kemejanya, mengeluarkan beberapa lembar uang puluh ribuan kemudian menyodorkannya kepada Krishna. “Nih, kalo mau pinjem, ya, pinjem aja. Nggak usah rame.”

Bukannya menerima uang yang disodorkan oleh Bayu, Krishna malah meraih kalender yang ada di mejanya. Tahun yang tertulis menunjukkan angka 2031, tahun dimana Raesaka semestinya masih hidup. Lalu tanggal ini adalah perayaan sepuluh tahun hari jadi mereka!

“HAHAHAHA!” Krishna tertawa keras, lantang. Suara tawanya bahkan membuat Bayu terperanjat di kursinya. “Anjir! Lo ngapain, sih, Krish? Tadi teriak-teriak, sekarang ketawa. Lo kalau udah capek, mending sana balik aja, dah. Gue takut lo kesurupan,” saran Bayu seraya menggeleng-gelengkan kepalanya karena merasa heran dengan kelakuan si rekan kerja yang biasanya terlihat normal-normal saja.

Krishna menghentikan tawanya dan mengangguk senang. “Yo'i. Kayaknya gue mending pulang sekarang, deh. Pacar gue lagi nungguin di apartemen, hari ini gue sama dia rayain sepuluh taun jadian,” ujar Krishna dengan nada riang dan dibalas dengan alis Bayu yang sedikit berkerut. “Gue balik sekarang, ya, Bay. Lo juga balik, demen bener nemenin Mbak Kunti di sini.”

“Tai, lo! Gue sendirian, nih!” Lemparan kertas kumal yang dikepal asal itu berpindah dari tangan Bayu ke arah Krishna. Si lelaki Haliem hanya membalas dengan tawa seraya menyimpangkan tali tasnya ke pundak, “gue balik! See you tomorrow, ya.”

Selepas kepergian Krishna hingga sosok lelaki Haliem menghilang di balik pintu kaca yang memisahkan ruang kerja divisi mereka dengan lorong perkantoran, Bayu hanya mengerutkan dahi seraya mencoba mengingat-ingat sesuatu. “Emangnya si Krishna punya pacar? Nggak pernah cerita apa-apaan, dia.”


Jalanan Jakarta masih cukup padat walaupun tidak begitu terlalu hiruk pikuk seperti ketika masih petang. Krishna berjalan menapaki trotoar dengan langkah ringan seraya menyenandungkan nada yang tidak begitu jelas isinya. Ah, sudahlah— untuk apa memikirkan soal nada? Ia merasa terlalu senang karena semua hal yang menyeramkan itu hanyalah mimpi. Sumpah demi apapun, Krishna merasa senang bukan main saat ini.

Mungkin ia terlalu kelelahan dengan semua tugas di kantornya hingga ketiduran kemudian memimpikan hal yang sangat gila seperti tadi. Di tengah langkahnya menuju apartemen, Krishna tidak berhenti tertawa kecil. Ia terus mengatakan 'gila' berkali-kali ketika otaknya mengingat setiap hal yang terjadi di dalam mimpinya.

Semua terasa sangat nyata.

Semua tangisan yang ia keluarkan, semua cerita juga tawa yang ia lakukan dengan Raesaka, bahkan hingga ketakutan dan semua hal yang terjadi ketika kecelakaan itu terjadi; rasa sakit, rasa perih juga sesak yang memenuhi dada, semuanya terasa sangat jelas. Lagi, Krishna tertawa. Ia harus segera sampai di apartemen dan menceritakan semua ini kepada Raesaka! Pasti kekasihnya itu sekarang sedang menunggu di apartemennya dengan kue tart yang terhidang dan lilin-lilin kecil yang menghiasinya.

“Malam, Mbak Riska.” Krishna menyapa salah seorang pegawai apartemen di bagian front desk yang bertugas menerima laporan siapa saja orang yang bertamu ke apartemen elit yang ditempati Krishna.

Sapaan Krishna dibalas dengan ramah oleh si karyawati. “Malam, Pak Krishna. Lembur terus, ya, Pak?,” ujar Riska dibarengi dengan sedikit nada guyon. Krishna hanya balas tertawa. “Oh, iya, Pak Krishna. Tadi ada yang dateng cari Pak Krishna...”

“Iya, Mbak. Temen saya dateng, ya? Udah naik ke atas kayak biasanya, 'kan?” Belum juga Riska menyelesaikan kalimatnya, Krishna sudah menyela. Memang biasanya ketika Raesaka datang berkunjung ke apartemennya, lelaki itu akan mendatangi front desk untuk sekedar melapor bahwa ia akan berkunjung ke unit apartemen yang ditempati Krishna dan selama ini Riska sudah terbiasa dengan hal itu.

Akan tetapi, kali ini ekspresi Riska agak berbeda. Alisnya sedikit bertaut, dahinya mengerut. “Temen Pak Krishna ada rencana ke sini?”, tanya Riska dengan ekspresi wajah kebingungan. Sekarang di tangan si karyawati ada beberapa lembar amplop yang di bagian depannya terdapat logo dari perusahaan cukup besar di Indonesia. “Saya mau bilang, tadi ada orang yang cari Pak Krishna buat sampaiin surat-surat ini. Kayaknya buat urusan pekerjaan. Perempuan, Pak. Dia kasih suratnya sore-sore, di jam yang memang biasanya Pak Krishna sudah pulang.”

Kali ini gantian dahi Krishna yang sedikit berkerut. “Bukan...temen saya?”, tanya Krishna memastikan. Riska menggeleng, “seingat saya, sih, hari ini nggak ada orang yang cari Pak Krishna selain perempuan yang titipin surat ini.”

“Cowok, Mbak,” ucap Krishna; berupaya menjelaskan sosok Raesaka. “Kulitnya agak kecoklatan. Tingginya sepantaran saya terus badannya agak lebih besar daripada saya. Pakai kacamata.”

Riska masih terlihat kebingungan, matanya mengerjap beberapa kali. “Maaf, Pak— kayaknya ngga ada, deh.” Krishna sedikit mendecakkan lidahnya seraya merogoh ponsel di saku kemejanya. Jemarinya bergerak di atas layar ponsel, berusaha menemukan histori panggilannya dengan Raesaka yang dilakukan tadi sore. “Gimana, sih, Mbak? Orang temen saya bilang kalau tadi sore dia udah di deket apartemen, kok. Masa' iya ada orang dateng ke sini tapi nggak dicek? 'Kan District8 ini Private Property, harusnya lebih tebel keamananny—”

Ujaran Krishna berhenti tatkala mata si lelaki tidak menangkap adanya nama Raesaka di histori panggilan telefonnya. Nama Raesaka tidak terdaftar di ponselnya. “Lho?” Krishna menggulir layar ponsel, masih berusaha menemukan nama si kekasih diantara daftar panggil maupun daftar kontak. Namun hasilnya nihil, tidak ada. “Kok nggak ada?”

“Pak Krishna mau saya cek ke security di depan? Kalau mau, bisa tunggu dulu di lobi, Pak. Nanti saya kasih ta— eh? Pak! Pak Krishna! Eh, kok malah pergi gitu, sih? Pakai lari-lari segala, pula...”

Tanpa mempedulikan panggilan dari Riska, Krishna berlari cepat menuju elevator. Kakinya mengetuk-ngetuk lantai dengan tidak sabar karena elevator tidak kunjung datang. Waktu seakan berjalan sangat lambat untuk Krishna saat ini; berbanding terbalik dengan degup jantungnya yang berdebar sangat cepat, tidak karuan. Krishna merasakan firasat buruk.

Sangat buruk.


“SAKA!”

Krishna membuka pintu unit apartemennya dengan tidak sabar, bahkan hampir saja membanting pintunya. Yang pertama menyambut pandangan si lelaki Haliem adalah ruangan yang gelap gulita dan hanya diterangi oleh penerangan pendar lampu dari luar apartemen. Tergesa hingga lupa menyalakan lampu terlebih dahulu, Krishna melangkah menuju kamar tidurnya. Bisa jadi Raesaka sedang tertidur karena terlalu bosan menunggu Krishna pulang, 'kan?

Kosong.

Di kamar tidur Krishna tidak ada siapapun. Seprai serta posisi bantalnya bahkan sama sekali tidak berubah dari posisi awal ketika Krishna berangkat kerja tadi pagi. Si lelaki Haliem membuka pintu kamar mandi, berharap Raesaka berada di sana. Hasilnya serupa, kosong.

“SAKA!” Krishna berteriak, panik. “SAKA! KELUAR! KAMU DI MANA?”

Hening, tidak ada jawaban apapun dan dari siapapun. Hanya ada sedikit suara deru mobil dan motor yang bersahutan di jalan raya; suara yang tidak Krishna harapkan. Ia berharap bisa mendengar suara Raesaka.

DUGH!

Kaki Krishna tidak sengaja menabrak kaki meja makan sehingga ia mengaduh kesakitan. Suasana sekitar memang cukup gelap walau tidak gulita. Akhirnya dengan sedikit menggerutu, Krishna beranjak menuju ke dinding dimana saklar lampu berada. Lampu menyala, memperlihatkan situasi sekitar yang semula tidak diperhatikan oleh Krishna.

Oh, tunggu...

Semestinya di meja televisi ruang tamu ada banyak figura foto yang diisi oleh fotonya dengan Raesaka di berbagai kesempatan. Semestinya di rak sepatu ada beberapa pasang sepatu Raesaka yang sengaja si kekasih simpan agar ia tidak perlu membawa banyak barang ketika menginap di apartemen Krishna.

Sekarang, di meja televisi hanya ada figura foto yang berisi foto Krishna; seorang diri. Sekarang, di rak sepatu hanya ada sepatu milik Krishna saja. Tidak ada barang apapun yang berkaitan dengan Raesaka di sini.

Raesaka, seakan tidak pernah ada di sini.

“Ha ha ha,” Krishna tertawa getir. Tangannya menjambaki rambut dan kepalanya menggeleng-geleng beberapa kali. Ia seakan tidak mempercayai semua hal yang sedang ia lihat. Semua hal yang terjadi saat ini, semuanya tidak masuk akal. “Nggak...”, bisik Krishna. “Nggak mungkin...”

Krishna, kamu bisa hidup tanpa aku, 'kan?

“Saka!” Krishna kembali berderap menuju kamar tidurnya. Ia membolak-balik bantal dan selimut, walau logikanya mengatakan bahwa tidak mungkin Raesaka akan bersembunyi di sana. “Saka! Ini nggak lucu! Kalau kamu mau bikin kejutan, ini nggak lucu!”

Kamu harus tetap hidup, Krishna...

Krishna membuka lemari baju. Semestinya di sana ada baju Raesaka yang disimpan agar kekasihnya bisa berganti baju dengan nyaman tanpa harus mempersiapkan apapun dari Cikarang. Namun sekarang— tidak ada baju siapapun lagi selain baju Krishna.

Timelinenya bisa berantakan!!!

Dengan langkah kalap, Krishna kembali ke ruang tamu. Ia membuka laci meja televisi dan mengacak isinya hingga berantakan. Ia ingin mencari obat Raeska yang sengaja distock agar jikalau kekasihnya mengalami kejadian tidak mengenakkan, Krishna bisa segera memberi pertolongan pertama. Namun, di laci meja televisi tidak ada obat yang Krishna cari.

Kamu nggak boleh mati sekarang!!!

”...Sa—ka?” Krishna berujar pelan dengan pandangan nanar yang kosong; tidak fokus memandang apapun. Kakinya terasa lemas secara mendadak sehingga kini dirinya jatuh terduduk di lantai ruang tamu. Sungguh, Krishna tidak tahu bagaimana harus menyimpulkan semuanya. Kenapa— semua tentang Raesaka tidak ada di sini?

Berupaya bangkit walau kakinya terasa lemas dan dadanya berdegup terlampau cepat hingga rasanya Krishna bisa memuntahkan organnya dari mulut, si lelaki beranjak melangkah menuju dapur. Ia mengingat di dalam mimpinya tadi, Raesaka membelikan kue tart untuk merayakan hari jadi mereka. Jika memang Raesaka tidak ada, semestinya— kue tart itu juga tidak ad...

Tidak ada.

Di dalam kulkas maupun di atas meja makan tidak ada apapun yang menggambarkan sesuatu berbentuk hadiah. Di atas meja makan hanya ada satu piring berisi remahan roti panggang yang Krishna santap tadi pagi dan belum sempat ia cuci. Di kulkas hanya ada beberapa kaleng minuman keras dan makanan instan yang biasa ia santap.

Tidak ada kue tart.

Krishna merasakan air matanya turun tanpa ia kehendaki. Dadanya sekarang sakit bukan main, perih dan pedih seperti sedang disayat oleh pisau tajam. “Nggak...”, bisik Krishna seraya menutupi kedua wajahnya. “Kamu nggak boleh pergi, Saka...”

Aku pergi, ya, Kak?

“Aku nggak bisa,” isak tangis Krishna tidak bisa lagi disembunyikan oleh si pemilik raga. Ia sekarang paham bahwa semua yang dialaminya tadi bukanlah mimpi. Semua itu nyata, maka dari itu semua terasa sangat jelas. Sangat jelas indahnya, sangat jelas sakitnya. “Aku nggak bisa kalau nggak ada kamu...”

Sesungguhnya, ada satu hal yang membuat tangisan Krishna semakin menjadi. Adalah ketika ia menyadari bahwa di jari manis kirinya sekarang sudah tidak ada apapun yang terlingkar. Cincin yang Raesaka sematkan sebagai janji agar mereka selalu bersama— menghilang. Sama seperti segala lainnya yang berkaitan dengan Raesaka, cincin itu tiada.

Di luar sana, bulan purnama bersinar penuh; sedang indah-indahnya. Sayangnya, biarpun bulan sedang bersinar sangat indah— tidak ada satupun bintang yang ikut bersinar. Bulan seakan membiarkan bintang tidak muncul di langit hari ini agar ia tidak menyaksikan seorang lelaki yang sekarang sedang menangis meraung seraya memukuli dadanya sendiri di bawah sana.

Bulan seakan paham bahwa sang bintang sangat menyayangi seseorang di bawah sana. Bulan seakan mengerti bahwa jika sang bintang melihat seseorang di bawah sana sedang menangis, mungkin nanti ia tidak mampu lagi memancarkan sinarnya karena selalu diliputi rasa bersalah.

Jadi, sudahlah. Biarkan, kali ini Sirius beristirahat.


“Masih hujan, Kak.”

Langit sudah berwarna jingga; menandakan senja. Sepanjang Krishna menapakkan kakinya di tanah Jogjakarta, belum pernah sekalipun ia melihat langit senja yang sejingga ini. Mentari seakan enggan untuk pamit sehingga mungkin ia tengah merayu segala yang ada di langit agar membiarkannya bersinar walau hanya pendar.

Raesaka dan Krishna sudah keluar dari dalam mall. Boneka singa yang Raesaka dapatkan dari mesin pencapit di Timezone tidak lagi berada di tangan Krishna. Si lelaki Haliem meminta persetujuan Raesaka untuk memberikan boneka berukuran besar itu kepada anak kecil yang sedari tadi memandangi mereka berdua, mungkin iri dengan sebagaimana besarnya boneka yang dibawa oleh Krishna. Beruntung, Raesaka tidak begitu mempermasalahkannya. Malahan, si yang lebih muda kembali memainkan mesin pencapit dengan hadiah boneka berukuran lebih kecil.

Lagi, Raesaka mendapatkan boneka singa. Lagi, boneka itu ia namai sebagai Leo. Lagi, Krishna tergelak dan tertawa ketika lagi-lagi Raesaka membuat sandiwara tidak jelas dengan berpura-pura membuat suara untuk si boneka.

Saat ini, si putra Haliem dan Danadyaksa berdiri di pinggiran lobi dari pintu masuk mall. Selain mereka berdua ada banyak pengunjung lain yang juga berdiri dengan niatan berteduh dari guyuran hujan; sama seperti Raesaka dan Krishna. Di langit jingga yang indah ini — hujan tetap turun dengan lumayan deras. Tidak mendung, tidak pula kelabu. Raesaka yang semula sedang menatap ke arah langit, secara perlahan menghela nafas dalam-dalam sebelum melemparkan tanya kepada si yang lebih tua. “Kak Krishna tau, nggak?”

“Tau apa?”

“Kalau kata tetua di keluarga saya, hujan yang cerah dan nggak mendung begini 'tuh tandanya hujan orang meninggal, lho,” ujar Raesaka dan sontak membuat Krishna merasakan tubuhnya seakan membatu; kaku. “Katanya, ada orang yang meninggal dengan mata terbuka. Nggak sadar bahwa maut lagi jemput dia dan langit lagi ikut bersedih karena hal itu.”

“Tapi, ya, pastinya cuma takhayul, lah. Selalu ada penjelasan dari sisi sains, kok. Hujan kayak begini nggak ada hubungannya sama cerita orang meninggal.” Penjelasan Raesaka sama sekali tidak membantu Krishna agar menjadi lebih tenang. Malah sebaliknya, lelaki itu sekarang memandangi jam arloji di pergelangan tangan kanannya dengan lekat-lekat.

Waktu yang tersisa hanya lima belas menit lagi.

“Kak Krishna.” Raesaka masih tidak mengalihkan pandangannya dari langit senja, sebelah tangannya sekarang diulurkan ke depan untuk menadah rintik air hujan yang turun. Krishna berupaya untuk mengatur ekspresi wajahnya sebaik mungkin agar kesedihannya tidak terlihat jelas. Setelah yakin ekspresinya sudah terukir mantap, Krishna mengangkat kepala dan memandangi Raesaka yang berdiri di sampingnya dengan senyuman terulas di wajah. “Hm? Kenapa?”

“Siniin tangan Kakak, coba.” Raesaka mengulurkan sebelah tangannya yang bebas ke arah Krishna. Walau diliputi sedikit perasaan ragu dan kebingungan, Krishna tetap balas mengulurkan tangannya kepada Raesaka. Tangan kanan Krishna diraih Raesaka kemudian diposisikan agar telapak tangannya menghadap ke atas serta dibuat terbuka; menadah air hujan, sama seperti yang sedang Raesaka lakukan. “Kak Krishna pernah nonton FROZEN, nggak?”

Belum habis kebingungan yang Krishna rasakan karena tindakan Raesaka, sekarang ia sudah dibuat kebingungan dengan pertanyaan yang dianggap Krishna agak aneh. “FROZEN? Elsa sama Anna? Pernah.”

Pandangan Raesaka kembali dialihkan ke langit senja. “Kakak inget, nggak? Kata Olaf, air itu punya memori yang isinya kenangan tentang sesuatu. Itu sebabnya Olaf bisa dibalikin lagi biar jadi hidup padahal awalnya dia udah mati.”

Sungguh, kata mati rasanya adalah kata terakhir yang ingin Krishna dengar di hari ini. Entah seberapa sakitnya hati Krishna barusan tatkala Raesaka menyebutkan kata itu, walau jelas topik yang diangkat adalah tentang Olaf — si bola salju yang ceria. “Iya,” balas Krishna dengan lirih. “Gue inget.”

Bukannya membalas jawaban dari Krishna, kini Raesaka malah berlari menembus hujan. Ia keluar dari naungan teduh atap lobi mall dan berlari ke pelataran jalur yang biasanya sering digunakan mobil-mobil untuk berlalu lalang. Sontak, Krishna terkejut dan segera berseru panik. “Saka! Woy! Lo ngapain, heh?! Hujan! Lo basah kuyup!”

“AAAA! KAK, INI SERU BANGET! HAHAHA.” Raesaka berseru. Bukan seruan yang berisi perasaan marah atau kesal melainkan seru teriakan yang dirasakan seseorang tatkala merasakan sesuatu yang membuatnya antusias. “KAK KRISHNA! AYO KE SINI! ENAK BANGET HUJAN-HUJANAN BEGINI!”

Krishna melirik ke kiri dan kanannya dengan gelisah. Ia tidak mau Raesaka dianggap seperti orang gila karena hujan-hujanan seraya berteriak begitu. Akan tetapi yang ditemukan oleh Krishna bukanlah sekumpulan orang-orang yang menaruh perhatian kepada tingkah Raesaka, yang Krishna dapatkan adalah sekumpulan orang yang sedang sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada yang sibuk dengan ponselnya, ada yang berbincang dengan kawan, ada juga yang sedang memarahi anaknya. Tidak ada yang memberi perhatian kepada Raesaka. Mereka memperlakukan Raesaka seperti mahluk transparan.

Krishna mengalihkan pandangannya ke arah Raesaka yang masih berdiri di tengah hujan. Kali ini ia merentangkan tangannya dan menengadahkan kepala ke atas. Raesaka tertawa, riang.

Tak ingin lelakinya basah kuyup, Krishna melepaskan jaketnya dan menaruh kenaan itu di atas kepala. Tak lama, langkahnya dibawa berderap menghampiri Raesaka yang sedang tersenyum lebar ke arah Krishna. “Saka! Lo ngapain, sih, anjir?!” Krishna lebih mengangkat posisi jaket di atas kepalanya agar kini bisa memayungi kepalanya serta kepala Raesaka. “Lo basah kuyup begini!”

Di bawah naungan jaket yang memayungi mereka berdua, Raesaka meraih kedua sisi pipi Krishna dan mendekatkan ke wajahnya sendiri. Di tengah hujan yang turun, si lelaki Danadyaksa melabuhkan ciuman ke putra Haliem. Krishna terbelalak kaget, menyadari bahwa keduanya ada di tempat umum dan hubungan keduanya masih dianggap sangat tabu di kota yang menjunjung tinggi adat istiadat tradisional. “Saka!”, Krishna sedikit membentak. “Kita di ruang publik!”

Refleks, Krishna segera menoleh ke belakang; berupaya memastikan tidak banyak yang menyaksikan tindak Raesaka barusan. Akan tetapi yang Krishna temukan adalah pemandangan yang sama seperti sebelumnya. Mereka, sekelompok orang-orang yang berdiri di lobi pintu masuk mall sama sekali tidak mempedulikan mereka berdua.

“Kak Krishna.” Panggilan Raesaka membuat Krishna kembali memandang ke arah ke depan walaupun ekspresi kebingungan masih terukir jelas di wajahnya. “Sejak awal, mereka nggak nyata.”

Kalimat yang diujarkan Raesaka membuat Krishna terkesiap. Apa maksudnya? “Nggak...nyata?”, ulang Krishna. “Maksud lo...apa?”

Tangan Raesaka sedikit menyingkirkan posisi tangan Krishna yang sedang terangkat ke atas; memayungi kepala mereka berdua dengan jaket. Alhasil, keduanya sekarang diguyur rintik air hujan tanpa penghalang apapun. Krishna merasakan pandangannya sedikit kabur karena air hujan perlahan jatuh mengalir ke wajahnya, akan tetapi pandangannya tetap ditujukan kepada Raesaka di hadapan. “Apanya yang nggak nyata?”

Raesaka tersenyum. Manis, manis sekali. “Kak Krishna,” ujar si lelaki Danadyaksa seraya menangkup kedua sisi pipi Krishna. “Yang nyata di sini cuma saya sama Kakak. Semenjak jam pasir itu dipecahin sama Ayah, semua manusia di sini nggak ada lagi yang menganggap kita sebagai bagian dari mereka.”

Kepala Krishna diliputi tanda tanya besar. “T-tunggu...” Krishna sedikit menjauhkan diri dari Raesaka, terlalu dilanda rasa kalut. “Kenapa lo ngomongin jam pasir? Lo semestinya nggak pernah tau kalau lo—”

“Kalau waktu saya sebelum mati lagi itu cuma tinggal sepuluh menit?”

Krishna merasa kakinya lemas. Ia jatuh terduduk di hadapan Raesaka, bibirnya gemetar — begitupun juga tubuh si putra Haliem. Lelaki di hadapannya sekarang tahu tentang semua yang terjadi?! “Lo— kenapa bisa tau semua ini?”

Perlahan, Raesaka ikut berjongkok di hadapan Krishna sehingga tinggi mereka saat ini sejajar. Tangan kanan si yang lebih muda meraih tangan kanan Krishna kemudian diposisikan agar menadah ke atas; menerima rintik air hujan di telapak tangannya. “Water has memories, remember?”, ujar Raesaka dengan suara yang agak gemetar. Krishna memandangi wajah lelaki di hadapannya. Hujan yang turun sulit untuk membuat Krishna bisa membedakan apakah air yang mengalir di wajah Raesaka adalah air hujan atau air mata.

“Aku inget semuanya sekarang, sayang.”

Krishna menangis.

Lelaki yang ada di hadapannya sekarang bukanlah Raesaka berusia dua puluh tahun. Lelaki yang sedang menatapnya sekarang adalah Raesakanya. Raesaka berusia tiga puluh tahun yang sudah menjalani hubungan selama sepuluh tahun dengannya. Keduanya memiliki memori yang serupa saat ini.

“Sayang. Hei, Krishna...” Raesaka merengkuh tubuh Krishna untuk kemudian dipeluk erat-erat. Keduanya sama sekali tidak berpikiran untuk mencari tempat berteduh, setiap detik yang terlewati sekarang rasanya sangat enggan untuk mereka lewati dengan taut tangan atau pelukan tubuh yang terpisah antara satu sama lain. “Jangan nangis...” Raesaka berujar lirih, tampak jelas bahwa ia sendiri juga sedang menahan sesak dalam dadanya. “Please. Aku nggak mau sampai terakhir kalinya pun aku cuma jadi alasan kamu nangis.”

“Saka—” Di tengah raungan tangisnya, Krishna terus memanggil nama Raesaka. “Ka...” Tangannya memeluk erat tubuh si lelaki Danadyaksa. “Saka, aku kangen kamu...”

“Aku kangen banget sama kamu, Saka.”

“Sama, sayang. Sama...” Raesaka menangkup dua sisi pipi Krishna untuk diarahkan ke wajahnya, agar mereka bisa bertatapan walau jujur saja untuk melihat Krishna yang menangis sesenggukan seperti ini membuat hati Raesaka sakit bukan main. “Aku juga kangen kamu.”

Guyuran hujan semakin deras, seakan tidak kuasa menahan sedihnya tatkala melihat dua insan di bawah mereka yang sedang memeluk erat seraya menyuarakan kalimat rindu yang baru sekarang bisa terucap di hadapan satu sama lain.

“Tapi aku nggak bisa lawan semua ini lebih lama lagi.” Raesaka memaksakan diri untuk mengulas senyum di hadapan Krishna. “Aku harus segera pergi.” Perlahan, ibu jari Raesaka mengusapi pipi si kekasih dengan lembut. Berharap dengan cara begitu, Krishna bisa menjadi lebih tenang. “Kamu nggak usah nangis. Dua tahun sehabis aku pergi, kamu udah bisa kuat, 'kan, buat nggak nangis? Hm?”

Krishna menggeleng kuat-kuat. Tangan kanannya dipukulkan ke dada Raesaka, memberi jawab tersirat bahwa ia membenci kalimat yang diujarkan kekasihnya. Itu hal yang mustahil; hidup baik-baik saja tanpa Raesaka di sisinya, itu hal yang tidak mungkin bisa terjadi. “Nggak bisa, Ka. Nggak bisa...”

“Aku sesak setiap malem kalau inget kamu nggak lagi ada di samping aku ketika tidur. Aku nangis setiap pagi ketika aku tanpa sadar panggang dua tangkup roti buat kamu juga...” Krishna masih terisak hebat. “Aku nggak bisa, Saka.”

Tangan kanan Krishna yang sedang memukuli dada Raesaka diraih oleh si pemilik raga. Gerak tangan kanan Krishna kini terhenti karena sekarang tangannya sedang digenggam oleh Raesaka. Untuk beberapa saat, Raesaka terdiam memandangi sesuatu di jari manis Krishna hingga akhirnya senyum si lelaki kembali terkembang. “Cincinnya cantik.”

Raesaka memandangi cincin yang Krishna kenakan di jari manis kanan; bentuk pertunangan secara sepihak antara dirinya dengan si yang sudah berpulang terlebih dulu. Dengan Raesaka.

“Aku nggak nyangka cincinnya bakal secantik ini di tangan kamu.” Perlahan, Raesaka melepaskan cincin di jari manis Krishna untuk kemudian digenggam erat-erat. “Sayang,” panggil Raesaka. “Boleh aku ulang pasang cincin ini di tangan kamu?”

“Aku mau pasangin cincin ini langsung buat kamu.”

Krishna tidak bisa memberi jawab apapun selain anggukan lemah. Semua emosinya bercampur aduk di dalam diri. Senang, karena akhirnya cincin yang awalnya ia sematkan sendiri kini bisa dilingkarkan oleh si pujaan hati. Sedih, karena ia tahu mungkin saja ini adalah kali pertama dan terakhir cincin itu berada di tangan Raesaka.

“Kamu bawa cincin buat aku?” Pertanyaan Raesaka dibalas lagi dengan anggukan. Kotak cincin yang ia dapatkan dari Nakuladewa itu selalu Krishna bawa di dalam tas slempangnya sehingga tidak perlu waktu lama bagi Krishna untuk merogoh isi tasnya agar bisa menemukan benda yang ia cari.

Cincin berukirkan gambar arah mata angin ada di tangan Krishna sementara cincin berukirkan gambar bintang digenggam oleh Raesaka. Masih di bawah guyuran hujan, keduanya saling bertatapan dan tersenyum simpul; berupaya menemukan satu alasan untuk bisa mereka syukuri. “Krishna Putra Haliem,” ujar Raesaka seraya meraih tangan kiri Krishna. “Aku, Raesaka Danadyaksa, berjanji untuk selalu mencintai kamu. Dalam susah maupun senang. Dalam suka maupun duka. Dalam hidup...”, Raesaka menghela nafasnya sebelum kembali melanjutkan kalimat, “maupun mati.”

Cincin dari tangan Raesaka sudah terlingkar di jari manis kiri Krishna; tidak lagi di jari manis kanan. Raesaka sudah mengikat Krishna, bukan lagi dalam ikatan pertunangan secara sepihak melainkan pernikahan yang direstui oleh mereka berdua.

Krishna tertawa getir ketika melihat cincin perak yang semula selalu terlingkar di tangan kanannya sekarang berada di tangan kiri. Belum juga perasaan kalutnya tersingkirkan, Raesaka menyodorkan tangan kirinya kepada Krishna. “Punyaku belum dipasangin.”

“Raesaka Danadyaksa,” ujar Krishna seraya meraih tangan kiri yang terjulur di hadapannya. “Aku, Krishna Putra Haliem, bersedia untuk temani kamu ke manapun kamu pergi. Entah itu untuk terus hidup bersama...” Krishna mengambil jeda di kalimatnya. “...atau mati bersama.”

Raesaka menggeleng. “Bukan begitu kalimatnya,” ujar si yang lebih muda dan dibalas oleh gelengan serupa dari Krishna. “Aku serius, Saka.”

“Bawa aku pergi juga sama kamu.”

“Nggak boleh, sayang. Nggak bisa.” Raesaka mendekatkan keningnya dengan kening Krishna. Mata si lelaki yang lebih muda terpejam, ia ingin menenangkan dirinya agar tidak terus menangis. Ia ingin tampak kuat di hadapan Krishna. “Kalaupun aku pergi, kamu bakal baik-baik aja. Kamu bakal bahagia dengan cerita baru, dengan orang baru, dengan pengalaman baru.”

“Buku hidup kamu masih tersisa banyak halaman, sayang. Kamu bisa tulis banyak jilid baru dengan berbagai rahasia hidup yang jauh lebih menarik. Semuanya masih bakal sama. Aku nggak akan hilang dari buku hidup kamu. Aku masih akan ada di halaman dimana kamu torehin cerita kita. Ketika kamu kangen aku, kamu bisa buka halaman dimana cerita kita ditulis. Kamu bisa baca, kamu boleh nangis, kamu boleh ketawa — tapi setelah itu, kamu harus inget bahwa cerita aku sama kamu udah selesai.”

“Sayang, hei... Liat aku.” Raesaka membuka matanya dan mengarahkan wajah Krishna untuk kembali menatapnya. “Dengan siapapun nantinya kamu buka jilid baru di buku kehidupan kamu, aku yakin— aku yakin bahwa nggak akan ada yang bisa kalahin besarnya cinta karakter seorang Raesaka Danadyaksa ke Krishna Putra Haliem.”

“Walaupun di halaman selanjutnya 'tuh cerita hidup kamu nggak akan lagi mengukir nama aku tapi karakter Raesaka Danadyaksa untuk tercatat sebagai seseorang yang mencintai Krishna Putra Haliem sepenuh hati,” bisik Raesaka lirih. “Bahkan sampai kabur dari surga,” lanjutnya diiringi kekehan getir.

“Ya, Krishnaku?”

Krishna menggeleng. Bibir si yang lebih tua terus meracau, menyuarakan kalimat penolakan atas ujaran si kekasih. Kepalanya kembali tertunduk dan secara tidak sengaja melihat jam arloji di pergelangan tangan.

Tiga menit lagi.

“Ayah bakal jemput aku sebentar lagi.” Seperti memahami pemikiran Krishna, Raesaka sudah berujar terlebih dahulu. Lagi, kini tangan si yang lebih muda dibawa untuk merangkul tubuh si kekasih. Raesaka memeluk Krishna, erat. “Boleh aku minta kita habisin waktu kita dengan begini aja? Aku bakal kangen banget peluk kamu nantinya.”

Krishna tidak bisa menahan lagi raungannya. Tanpa bisa dielak dan ia pun tidak ingin menyembunyikannya, Krishna menangis sepuasnya. Tidak ada yang memberi perhatian kepada mereka berdua walaupun Krishna terus mengatakan 'jangan pergi' kepada Raesaka. Tangan Raesaka terus mengusapi punggung kepala Krishna, beberapa kali diselingi dengan kecupan penuh sayang tak terhingga ke wajah si kekasih.

“Aku sayang kamu. Sayang banget, Krishna.” Di setiap kecupannya, Raesaka terus mengulang kalimat itu; seperti kaset rusak. “Sayang...banget.”

Suara deru mesin mobil terdengar mendekat. Raesaka menolehkan kepala dan menemui mobil taksi yang akan menjemputnya sudah tiba. Pelukan di tubuh Krishna perlahan dilonggarkan oleh Raesaka. “Aku pergi, ya, sayang?”, pamit Raesaka.

“Jangan...” Suara Krishna sudah hampir habis rasanya karena berteriak tanpa henti sekaligus meraung dalam tangis. Raesaka berupaya untuk tidak menghiraukan permohonan si kekasih. Dengan langkah berat, Raesaka bangkit dari posisinya dan berjalan lunglai menuju pintu penumpang mobil taksi.

“Krishna.”

Belum juga Raesaka sempat membuka pintu mobil taksi, suara si supir taksi menyela gerakannya. Padahal yang dipanggil adalah Krishna namun yang menyahut adalah Raesaka. “Ada apa, Yah?”, tanya Raesaka dengan suara parau. Supir taksi yang berwajah sekitar tiga puluh tahunan itu tidak menghiraukan sahutan Raesaka dan malah berseru dengan lebih kencang agar terdengar oleh Krishna yang masih terduduk lemah di tempatnya. “Krishna!”

Krishna mengangkat kepala; pandangannya bertemu dengan Ayahanda Raesaka dalam wujud usia yang lebih muda. “Kamu boleh naik, dengan resiko— kamu juga ikut mati.”

Kalimat sang Ayah segera membuat mata Raesaka membelalak. “Nggak! Ayah, Krishna nggak boleh ikut mati! Dia nggak semestinya mati sekarang!” Dengan gerak cepat, Raesaka membuka pintu penumpang dan masuk ke dalamnya. Pintu mobil dikunci dari dalam, sengaja agar Krishna tidak mengikutinya naik ke dalam taksi. “Ayah! Jangan kasih ide gila buat Krishna!”

“Dia sendiri yang mau mati, Nak.” Sang supir berujar dengan suara tenang yang menjadi khasnya. “Buat apa dia hidup kalau pikirannya sendiri nyuruh dia buat mati?”

“Ayah! Berangkat, sekarang!” Raesaka berseru ketika Krishna bangkit dan berderap mendekati mobil taksi. “AYAH! KRISHNA NGGAK BOLEH MATI SEKARANG!”

“Om! Tolong bukain pintunya, Om!” Krishna menggedor jendela di pintu supir dengan tidak sabar. “Om! Krishna mau ikut Saka, Om!” Krishna tidak ubahnya seperti orang yang hilang kewarasan. Gedoran di jendela supir semakin keras, bahkan seperti bisa memecahkan kacanya. “Buka pintunya, Om!”

“JANGAN, AYAH! INI BELUM WAKTUNYA BUAT DIA MATI! SEMUA INI BAKAL BIKIN TIMELINE YANG ADA SEMAKIN HANCUR!”

“KRISHNA MAU IKUT SAKA, OM!”

“AYAH!”

Si supir taksi yang sedari tadi Raesaka panggil sebagai 'Ayah' memandang si lelaki di bangku belakang dari pantulan kaca spion dalam. “Saka,” lelaki itu berujar pelan, “maafin Ayah.”

Cklek.

Pengunci mobil terbuka sementara sosok yang semula duduk di bangku pengemudi tiba-tiba menghilang begitu saja; menguap bagai asap. Seakan mendapat keberuntungan berlimpah, Krishna segera membuka pintu supir dan menempatkan dirinya di bangku pengemudi. Raesaka berupaya menghalangi namun sayangnya ia kurang gesit sehingga belum sempat tangannya meraih handle pintu, Krishna sudah keburu masuk ke dalam.

“Krishna!” Dari bangku belakang, Raesaka berupaya menahan tangan Krishna yang sedang akan meraih setir kemudi. “Jangan! Kamu nggak semestinya mati sekarang! Kalau kamu berusaha menyalahi takdir, semua timeline bakal semakin berantakan, Krishna! Keluar dari sini!”

Satu menit lagi.

Krishna tidak tahu darimana datangnya namun barusan saja ia menyikut wajah Raesaka dengan sangat keras. Padahal ia tahu, tenaganya tidak cukup kuat untuk memberi sikutan sekeras itu. Alhasil, Raesaka sekarang terdorong kembali ke bangku penumpang dengan hidung yang bersimbah darah akibat sikutan dari kekasihnya sendiri. “Saka! Sorry! Bukan aku! Aku nggak berniat nyikut kamu, Saka!”

Empat puluh detik lagi.

Tanpa Krishna rencanakan, tidak pula sistem syarafnya memerintah, tiba-tiba saja kaki Krishna menginjak pedal gas mobil dengan sangat dalam dan mendadak. Mobil taksi yang dikendarai Krishna melaju tanpa sekalipun mengurangi kecepatan. “Saka! Kaki aku bergerak sendiri!”

“Injak remnya! Rem!”

Berulang kali Raesaka meneriakkan kalimat yang sama, berulang kali juga Krishna memerintahkan kepada otaknya untuk melakukan hal sesuai yang kekasihnya serukan namun kakinya seakan lumpuh. Sekeras apapun Krishna memerintahkan segala sistem syarafnya, semua tidak berguna. Krishna tetap saja menginjak pedal gas dalam-dalam.

Dua puluh detik lagi.

“KRISHNA! REMNYA!”

“AKU NGGAK BISA, SAKA!”

Sepuluh detik lagi.

Dari arah utara, terlihat sebuah truk bermuatan besar yang turun dari tanjakan terjal. Raesaka menyadari situasi itu terlebih dahulu daripada Krishna. “GAS! GAS, KRISHNA! JANGAN BERHENTI!”

Tanpa Krishna rencanakan, kali ini kakinya bergerak untuk menekan pedal rem. Menjadikan mobil yang dikendarainya berhenti secara mendadak; tepat beberapa ratus meter di depan mobil truk yang sedang melaju dengan kecepatan sangat tinggi ke mobil mereka. Krishna mengalihkan pandangan dan menemukan situasi yang terjadi. Truk itu semakin mendekat tapi ia tidak bisa melakukan apa-apa. “Aku— aku— kakiku nggak bisa gerak, Saka..”

Lima detik lagi.

Raesaka melompat dari bangku penumpang di bagian belakang menuju bangku penumpang di bagian depan. Dengan gerakan yang sangat cepat, ia memposisikan tubuhnya untuk menutupi tubuh Krishna dari hantaman truk yang mengarah ke mobil mereka. “SAKA, JANGA—”

BUAGH!

Yang Krishna ingat selanjutnya, suara yang ada di dunia seakan hanya diisi oleh denging memekakkan telinga. Dengingan panjang— panjang sekali, hingga Krishna merasakan darah keluar dari telinganya. Matanya masih bisa menangkap gambar walaupun yang dilihatnya sekarang hanyalah langit senja yang memerah; bukan lagi berwarna jingga.

“Kr-rish...”

Krishna mendengar suara Raesaka yang memanggilnya. Walau rintih, Krishna dapat dengan jelas menyadari bahwa itu adalah suara kekasihnya. Dengan susah payah, Krishna menolehkan kepala dan menemukan sosok Raesaka sedang terbaring dengan posisi menelungkup. Wajah kekasihnya bersimbah darah, membuat Krishna spontan memikirkan satu hal. Hemofilia yang diidap Raesaka.

“Sak...a—” Krishna berupaya sekuat tenaga menggerakkan tubuhnya agar dapat menghampiri Raesaka lebih dekat namun semua percuma, tubuh si lelaki Haliem seakan lumpuh sepenuhnya. “Sa...ka— darah...”

“Janga...n ber...dar...ah...”

Kalimat Krishna tidak disahut sama sekali oleh Raesaka. Lelaki itu terdiam, kaku. “Saka...”, Krishna merintih. Hanya tangan kirinya yang bisa bergerak dengan tertatih, terus berupaya meraih tangan Raesaka yang juga sudah sama kakunya. “Ma—af...” Tangan Krishna berhasil meraih tangan Raesaka dan menggenggamnya, walau sungguh sangat lemah.

Tangan kiri dengan jari manis terlingkar cincin perak, saling menggenggam. Hanya itu yang Krishna ingat sebelum semuanya menjadi serba putih dan sangat terang hingga seperti membuat dirinya buta dalam sekejap.

Semuanya berubah terang, tidak lagi jingga.

“Kok bisa tiba-tiba mogok begini, ya?”

Raesaka berjongkok di samping motor Scoopy miliknya yang disandarkan pada tuas penyangga di pinggir jalan raya yang cukup ramai dilalui oleh pengguna jalan. Sementara Krishna berdiri di belakang Raesaka, tas slempang hitamnya diletakkan agak berjarak dari kepala si yang lebih muda; Krishna berupaya memayungi kepala Raesaka dari rintik-rintik hujan yang turun dengan tas miliknya. “Bukan masalah di bensinnya, 'kan?”, tebak Krishna dan dibalas dengan gelengan kepala Raesaka. “Bensinnya masih penuh, kok, Kak.”

Baik Krishna dan Raesaka sama-sama buta perihal mesin. Keduanya bukan mahasiswa jurusan Teknik Mesin, jadi embel-embel anak teknik tidak bisa dikemukakan sebagai pembelaan bagi mereka berdua. “Gimana, ya?” Raesaka menggaruki pipinya, menandakan kebingungan yang dirasa. “Kita nggak bisa tinggalin motornya begitu aja di pinggir jalan begini, 'kan?”

Krishna mengedarkan pandang. “Seinget gue, sih, kayaknya di sekitar sini ada tukang bengkel, deh. Tapi masih agak maju gitu. Mau coba dorong dulu, nggak?”, tanya si yang lebih tua dan dibalas dengan helaan nafas berat dari si yang lebih muda. “Ya, mau gimana lagi, Kak? Kayaknya harus begitu, deh.”

Raesaka bangkit dari posisi jongkoknya secara tiba-tiba hingga kepalanya terantuk ke tas slempang yang sedari tadi Krishna gunakan untuk memayungi kepala si lelaki Danadyaksa. “Lho? Kakak dari tadi payungin saya?”, tanya Raesaka dengan nada sedikit terkejut. “Ampun. Ngapain, coba? Tangannya pegel, 'kan? Udah, siniin tasnya. Taruh di depan aja biar Kak Krishna nggak berat bawa tasnya sambil jalan.”

Udah, kamu tidur aja, ya, sayang? Aku aja yang nyetir. Kamu ngantuk, pasti. Tidur aja, nanti aku bangunin pas kita udah sampe ke Surabayanya. Enak nggak duduknya? Mundurin aja bangkunya kalau kerasa sempit.

Krishna kembali mengulas senyum getir. Rupanya Raesaka yang dulu menemani harinya selama sepuluh tahun dengan Raesaka yang sekarang berdiri di hadapannya adalah satu orang yang sama. Walau ingatannya terhapuskan, Raesaka adalah tetap seorang Raesaka. Lelaki itu akan selalu mengutamakan Krishna dibandingkan apapun. Lelaki itu akan menomorsatukan kenyamanan Krishna — sayangnya, Krishna tidak menyadari lebih cepat. Sayangnya, Krishna dalam linimasa yang lain terlalu dimabuk dengan anggapan bahwa memang sudah semestinya Raesaka melakukan semua itu.

Krishna dalam lini masa yang lain terlalu dibuai harga diri dan gengsi sehingga tidak pernah menghargai segala hal yang Raesaka lakukan. Krishna yang bodoh, tolol, dan idiot itu menganggap bahwa Raesaka sudah semestinya memberi perhatian begitu karena ia adalah yang jatuh cinta lebih banyak. Raesaka lebih mencintai Krishna. Jadi sudah sewajarnya lelaki itu memberi perhatian lebih kepada si Putra Haliem.

“Kak Krishna?”

Lagi. Lagi-lagi ingatan Krishna tentang Raesaka di lini masa yang lain buyar secara tiba-tiba tatkala lelaki itu mengibaskan telapak tangannya di depan wajah si yang lebih tua. Krishna mengerjapkan matanya. “Hah? Apa?”

“Kakak ngelamun lagi?”, tanya Raesaka seraya mengulas senyum simpul. “Jangan keseringan ngelamun, ah. Nanti kemasukan jin tomang, 'kan, nggak lucu.” Raesaka berujar seraya menaikkan tuas penyangga motornya dan bersiap mendorong motornya untuk mencari bengkel servis motor terdekat. “Tasnya Kak Krishna mau ditaruh di sini? Di depan? Sini, tasnya. Biar Kak Krishna nggak terlalu capek.”

Krishna melengos. “Udah, nggak usah. Tas gue isinya cuma dompet sama power bank doang, nggak berat.” Si lelaki Haliem sekarang berdiri di bagian belakang motor dan bersiap untuk mendorong motor dari arah belakang agar Raesaka tidak terlalu kesusahan ketika menuntun motornya yang mogok. “Yuk, gue dorong dari sini.”

“Eh? Nggak usah, Kak. Biar saya aja, nanti Kak Krishna capek. Kakak mending jalan di trotoar aja.” Ujaran Raesaka barusan segera dibalas dengan tatapan tajam dari Krishna. Diberi tatapan galak khas si ketua Paskibra GAMA yang dikenal sangat tegas, rupanya lumayan membuat nyali Raesaka sedikit ciut sehingga ia hanya bisa mengangguk kecil seraya tertawa kikuk. “Hehe... Iya, deh, Kak. Tolong Kakak dorong dari belakang, ya?”


“Ini mah kompresi di ruang pembakarannya ilang, Mas.”

Raesaka sedang ikut berjongkok di samping si tukang bengkel servis yang menangani masalah motornya sementara Krishna berada di depan bengkel, sedang menyulut batang rokoknya. Setelah mereka berdua menempuh perjalanan hampir lebih daripada satu kilometer dengan mendorong motor yang mogok, akhirnya Raesaka dan Krishna menemukan bengkel servis di pinggiran jalan. Tidak resmi, memang. Namun siapa yang peduli, sih? Yang penting motor Raesaka bisa diperbaiki dan tidak harus dibiarkan begitu saja di pinggir jalanan.

“Parah nggak, Mas?”, tanya Raesaka. Pengetahuannya tentang mesin memang nol besar maka ia berniat untuk mengikuti apa saja yang nantinya dikatakan oleh si teknisi servis. “Lumayan, sih, Mas. Kalau yang saya liat sih kayaknya ada masalah juga di kelistrikannya. Nggak bisa buru-buru, ini,” jawab si teknisi.

“Nggak apa-apa, Mas. Diinapin aja motornya, nggak apa-apa. Yang penting motornya bisa bener lagi. Tolong, ya, Mas?”

Setelah perbincangan yang lumayan panjang perihal biaya servis dan janji untuk mengambil motornya esok hari, Raesaka akhirnya beranjak menghampiri Krishna yang sedang berdiri di depan bengkel; sudah menyulut batang rokok keduanya. “Kak Krishna.”

Mendengar panggilan Raesaka, Krishna menolehkan kepalanya. “Oh, udah selesai?”, tanya Krishna. Tangannya meraih sodoran air mineral dingin yang dibelikan oleh Raesaka dari kulkas pendingin yang ada di dalam bengkel. “Thanks,” ucap Krishna. “Gimana? Parah banget rusaknya?”

Raesaka mengangkat bahu setelah selesai meneguk teh Sosro di botol plastik yang ia genggam. “Nggak ngerti, Kak. Katanya ada masalah di kompresi apa gitu, sayanya nggak paham. Yang penting sekarang mau dikerjain sama Masnya tapi bakal agak lama selesainya.”

Krishna merasakan ulu hatinya seperti dipukul oleh sesuatu yang transparan. Ia mengingat ucapan Om Budi yang mengatakan bahwa takdir Raesaka akan sama seperti sebelumnya — jika di tahun 2031 nanti Raesaka akan mengalami kecelakaan dengan mobil taksi maka sekarang pun juga akan begitu, 'kan?

“Kita naik taksi aja, ya, Ka—”

“Nggak!” Krishna menyela kalimat Raesaka dengan cepat sehingga membuat si yang lebih muda sedikit terperanjat. “Jangan naik taksi!”

Raesaka mengernyitkan dahinya. “Tadi katanya Kak Krishna mau ke Bukit Bintang. Jauh, lho, itu. Mesti naik kendaraan, nggak mungkin jalan kaki.” Krishna menggeleng. “Nggak. Nggak harus ke Bukit Bintang. Ke manapun boleh asalkan jangan naik mobil taksi...”

Waktu yang tersisa untuk Raesaka adalah tiga jam.

“Seenggaknya, jangan sekarang...”, bisik Krishna dengan lirih. Raesaka memandangi wajah Krish yang tampak muram sebelum akhirnya balas berujar singkat. “Ya, udah. Kita nggak usah ke Bukit Bintang, ya?” Raesaka mengusapi lengan Krishna dengan lembut, berupaya menenangkan kakak tingkatnya itu. “Jadi Kak Krishna mau ke mana sekarang?”

Krishna mengedarkan pandangannya lagi. Hingga jangkau pandangnya terhenti di gedung yang lebih tinggi dibanding yang ada di sekitar. Telunjuk Krishna terangkat. “Ke sana aja, mau?”

Mall?“, tanya Raesaka. Krishna mengangguk. “Gue pernah janji mau ajak lo ke Dufan, 'kan? Karena rencana kita batal, mau main Timezone aja, nggak?”

Raesaka tersenyum lebar. Manis sekali. “Mau, Kak!”


“Kak Krishna mau boneka yang mana?”

Selembar kartu dengan tulisan Timezone tercetak jelas-jelas di salah satu sisinya tengah dipegang oleh Raesaka. Mereka berdua sekarang berada di arena permainan Timezone dan sedang berdiri di sebuah mesin pencapit boneka berukuran raksasa.

Aneh. Seingat Krishna, area permainan Timezone ini selalu dipenuhi pengunjung entah itu keluarga maupun pasangan serta orang-orang yang datang dengan teman-temannya. Akan tetapi hari ini semuanya terasa sangat berbeda. Area bermain milik Timezone ini sangat sepi. Selain seorang petugas yang menjaga kasir untuk menerima pengunjung, hanya ada Raesaka dan Krishna sendiri.

Ya, Krishna sesungguhnya tidak begitu mempermasalahkan, sih. 'Toh dengan begini, ia tidak perlu bersikap canggung dan tidak perlu menjaga jarak dengan Raesaka. Maka selagi si yang lebih muda tampak antusias memilih boneka mana yang ingin dia pilih, Krishna berupaya semakin merapatkan posisi berdirinya di samping Raesaka, ia ingin terus mencium aroma parfum lelaki itu. Sebanyak yang ia bisa, selama yang ia mampu— Krishna ingin berada dekat dengan Raesaka.

“Yang mana aja boleh,” jawab Krishna. “Toh' mainan kayak begini, 'tuh, susah tau. Capitannya udah diatur ulang sama teknisi di sini, makanya ketika mesinnya itu lagi nyapit boneka— pas diangkat ke atas bakal melonggar capitannya.” Penjelasan Krishna sedikit membuat alis Raesaka bertaut. “Kakak paham banget soal beginian. Sering main di sini, nih, pasti. Sama siapa? Kak Jane, pasti.”

Kalimat Raesaka barusan jelas mengukir senyum di bibir Krishna. “Gue nggak pernah ajak mantan-mantan gue ke sini, kali. Mana doyan cewek-cewek yang kerjaannya make-upan kayak Jane diajakin ke Timezone? Gue biasanya cuma jadi tukang angkat belanjaan dia kalau lagi jalan-jalan.” Krishna yang merasa sedikit gemas dengan ujaran si yang lebih muda, tiba-tiba menangkup kedua sisi pipi Raesaka dengan sebelah tangan kemudian berujar dengan nada sedikit menggoda. “Cemburu? Hm? Saka cemburu?”

Kedua sisi pipi yang ditangkup dalam satu tangan otomatis membuat bibir Raesaka sedikit mengerucut. Raesaka terlihat manyun, padahal ia sendiri tidak berniat membuat ekspresi seperti begitu. “Iya, saya cemburu.”

Singkat, jelas, dan padat.

Diberi jawaban jujur begitu, kontan membuat wajah Krishna segera bersemu merah. Ia yang semula hendak menggoda si lebih muda malah jadinya berbalik arah; senjata makan tuan, Krishna malah merasa malu bukan main. Tangkupan tangannya di pipi Raesaka segera dilepaskan dan membuat si yang lebih muda terkekeh karena memahami si kakak tingkat sedang tersipu.

“Buruan ambil bonekanya, gih,” ujar Krishna; berupaya mengalihkan fokus Raesaka agar tidak tertuju ke wajah memerahnya yang semakin sulit untuk disembunyikan. Dengan bibir yang masih terus mengulas senyum setengah jahil, Raesaka kembali menanyakan hal yang sama kepada Krishna. “Ya, makanya...Kak Krishna mau boneka yang mana? Biar saya ambilin.”

Krishna mendengus, lagi. Akan tetapi kali ini dibarengi dengan dorongan kecil dari tangan kanannya ke punggung kepala Raesaka. “Susah, Raesaka Danadyaksa. Mainan kayak begini, 'tuh, nggak segampang yang lo pikir. Nggak asal pencet terus boom! capitannya bakal ambil boneka sesuai yang lo mau,” jelas Krishna. “Udah, ambil apa aja boleh. Apapun yang kecapit, boleh.”

Akan tetapi Raesaka dengan sangat jelas melihat pandangan si kakak tingkat sempat tertuju ke sebuah boneka singa yang berukuran lumayan besar; berada tepat di tengah-tengah mesin permainan. Maka target sudah dikunci : boneka singa harus Raesaka dapatkan.

Sementara Raesaka terlihat fokus dengan perjuangannya dalam mendapatkan boneka dari dalam mesin permainan, tatapan Krishna sepenuhnya difokuskan kepada Raesaka. Dari jarak segini, ia baru menyadari bahwa sesungguhnya Raesaka juga memiliki lesung pipi walaupun tidak tercetak dengan sangat jelas seperti milik Krishna sendiri. Dari jarak segini, Krishna baru mengetahui bahwa garis rahang si yang lebih muda terpatri dengan sangat tegas.

Dari dulu, Krishna paling enggan mengakui bahwa Raesaka adalah lelaki yang tampan. Bahkan setiap kali teman-temannya, baik yang pria atau wanita, memberi pujian kepada penampilan fisik Raesaka— Krishna kerap mengulas senyum mengejek. Bagi Krishna, penampilan Raesaka, ya, hanya begitu-begitu saja. Bagi Krishna, seorang Raesaka Danadyaksa tidak terlalu berlebihan tampannya seperti yang sering diujarkan oleh beberapa teman wanitanya.

Tidak hingga Raesaka pergi untuk selama-lamanya di tahun 2031. Sepuluh tahun ke depan, setelah Raesaka pergi meninggalkan Krishna— lelaki Haliem itu baru menyadari bahwa sekeras apapun usahanya untuk mencoba berpindah hati, ia tidak bisa menemukan seseorang dengan senyuman semanis milik Raesaka. Tidak ada yang hangatnya seperti tubuh Raesaka. Tidak ada yang kalimatnya bisa menenangkan seperti Raesaka.

Sejauh apapun Krishna melangkah, seluas apapun pandangannya dibuka untuk mencari orang lain untuk bertahta di hatinya, tidak ada yang bisa mengalahkan sosok Raesaka. Sepuluh tahun ke depan, Krishna baru menyadari segalanya; bahwa Raesaka adalah sosok yang semenakjubkan itu.

“YES!!!” Seruan dari arah sampingnya yang terdengar secara tiba-tiba membuat Krishna segera mengalihkan pandangannya. Raesaka masih berdiri di sana, hanya saja kali ini disertai dengan senyuman super lebar dan tubuh yang sedikit melompat-lompat kegirangan. “Dapet, Kak! Saya dapet bonekanya! Liat!” Raesaka menunjuk ke atas, mengarah ke mesin capit yang rupanya sedang membawa boneka singa menuju ke lubang hadiah.

Belum juga Krishna selesai merasa takjub dengan kehebatan Raesaka yang berhasil mendapatkan boneka di percobaan kali pertamanya, si yang lebih muda sudah berjongkok di depan lubang pengambilan souvenir. Hingga akhirnya, boneka singa itu sudah beralih ke tangan Raesaka dan diangkat bangga-bangga oleh si lelaki. “Halo, Krishna!”, Raesaka memainkan boneka di tangannya dan mengeluarkan suara buatan; seakan-akan boneka di tangannya lah yang berbicara. “Aku Leo. Dan mulai sekarang, aku yang bakal jagain kamu dari orang-orang jahat biar kamu nggak nangis lagi!”

Otomatis, Krishna tertawa. “Apaan, sih, Saka? Nggak lucu. Udahan, ah,” elak Krishna. Perasaannya campur aduk, sebelah hati merasa senang sementara sebelahnya lagi merasa malu dengan akting Raesaka. Sementara itu, Raesaka memasang ekspresi pura-pura tidak tahu. “Lho? Kok saya, sih? Saya nggak ngomong apa-apa, lho, Kak. Emang Leo yang ngomong sendiri kalau dia mau jagain Kakak. Ayo, salaman dulu sama Leo. Dia udah julurin tangan begini, mau kenalan sama Kak Krishna tapi nggak disambut-sambut.”

Memang benar, sekarang Raesaka sedang memposisikan satu kaki si boneka singa ke arah Krishna. Saking tidak menerima balasan apapun, sekarang Raesaka menggerak-gerakkan kaki si boneka dengan tidak sabar. “Aku singa mahal, tau, Krishna. Jarang-jarang aku tawarin kenalan duluan kayak begini. Ayo, dong, dibales salamannya. Pegel tau kayak begini terus.” Lagi, Raesaka mengeluarkan suara buatan seakan dirinya adalah Leo. Tidak habis pikir sekaligus tidak memiliki pilihan lain, akhirnya Krishna mengulurkan tangan kanannya untuk berjabat tangan dengan kaki boneka singa yang dipegangi oleh Raesaka.

“Halo, Kak Krishna! Mulai hari ini, Leo temenan sama Kak Krishna, ya? Hup! Leo mau cium Kak Krishna! Cium! Muah, muah!” Raesaka dengan jenaka menggerak-gerakkan boneka singa di tangannya ke sekitar wajah Krishna. Sesuai ucapannya, kecupan dari boneka didaratkan ke pipi kanan dan kiri Krishna; tak urung membuat si pemilik raga tertawa.

“Ampun, Saka. Lo ngapain, sih?”, gerutu Krishna seraya berupaya menghindar dari gerak tangan Raesaka yang terus-terus mencoba mendekatkan boneka ke wajahnya. “Saka!” Gerutuan Krishna diselingi tawa yang bersahutan dengan kekehan geli dari bibir Raesaka. “Udahan, ah!”

“Bukan saya tau, Kak! Itu Leo yang mau ciumin Kak Krishna terus. Katanya pipi Kak Krishna empuk, kayak mochi. Enak buat diciumi— Aduh! Duh! Kak Krishna! Sayanya jangan dicubitin, dong!”

“Lo bilang pipi gue kayak mochi, hah?” Krishna mencubiti lengan Raesaka dengan gemas. “Coba bilang lagi. Hm? Coba bilang lagiii!”

“Ih! Bukan saya yang bila— AHAHAHA! Kak Krishna! Aduh, jangan dikelitikin! Itu Leo yang bilang, lho! Bukan saya— AHAHAHA! Geli, Kak!”

“Mana ada boneka bisa ngomong?! Sini, gue kelitikin lo lebih parah lagi! Hm? Lo bilang apa? Ulangin lagi, buruan!”

“Pipi Kak Krishna kayak moch— AHAHAHA! Aduh, Leo! Kasih serangan ke Kak Krishna, Leo! Tendangan super attack dari Leo, ciaaaaat! Psiiiu, pssiuu, psiu! Terimalah serangan Leo, Kak Krishna! Buk! Buk! Buk!”

“Sakaaa! Heh! Udahan! Ngapain pukulin gue pake boneka?!”

Waktu Raesaka hanya tersisa satu setengah jam lagi.