“Masih hujan, Kak.”
Langit sudah berwarna jingga; menandakan senja. Sepanjang Krishna menapakkan kakinya di tanah Jogjakarta, belum pernah sekalipun ia melihat langit senja yang sejingga ini. Mentari seakan enggan untuk pamit sehingga mungkin ia tengah merayu segala yang ada di langit agar membiarkannya bersinar walau hanya pendar.
Raesaka dan Krishna sudah keluar dari dalam mall. Boneka singa yang Raesaka dapatkan dari mesin pencapit di Timezone tidak lagi berada di tangan Krishna. Si lelaki Haliem meminta persetujuan Raesaka untuk memberikan boneka berukuran besar itu kepada anak kecil yang sedari tadi memandangi mereka berdua, mungkin iri dengan sebagaimana besarnya boneka yang dibawa oleh Krishna. Beruntung, Raesaka tidak begitu mempermasalahkannya. Malahan, si yang lebih muda kembali memainkan mesin pencapit dengan hadiah boneka berukuran lebih kecil.
Lagi, Raesaka mendapatkan boneka singa. Lagi, boneka itu ia namai sebagai Leo. Lagi, Krishna tergelak dan tertawa ketika lagi-lagi Raesaka membuat sandiwara tidak jelas dengan berpura-pura membuat suara untuk si boneka.
Saat ini, si putra Haliem dan Danadyaksa berdiri di pinggiran lobi dari pintu masuk mall. Selain mereka berdua ada banyak pengunjung lain yang juga berdiri dengan niatan berteduh dari guyuran hujan; sama seperti Raesaka dan Krishna. Di langit jingga yang indah ini — hujan tetap turun dengan lumayan deras. Tidak mendung, tidak pula kelabu. Raesaka yang semula sedang menatap ke arah langit, secara perlahan menghela nafas dalam-dalam sebelum melemparkan tanya kepada si yang lebih tua. “Kak Krishna tau, nggak?”
“Tau apa?”
“Kalau kata tetua di keluarga saya, hujan yang cerah dan nggak mendung begini 'tuh tandanya hujan orang meninggal, lho,” ujar Raesaka dan sontak membuat Krishna merasakan tubuhnya seakan membatu; kaku. “Katanya, ada orang yang meninggal dengan mata terbuka. Nggak sadar bahwa maut lagi jemput dia dan langit lagi ikut bersedih karena hal itu.”
“Tapi, ya, pastinya cuma takhayul, lah. Selalu ada penjelasan dari sisi sains, kok. Hujan kayak begini nggak ada hubungannya sama cerita orang meninggal.” Penjelasan Raesaka sama sekali tidak membantu Krishna agar menjadi lebih tenang. Malah sebaliknya, lelaki itu sekarang memandangi jam arloji di pergelangan tangan kanannya dengan lekat-lekat.
Waktu yang tersisa hanya lima belas menit lagi.
“Kak Krishna.” Raesaka masih tidak mengalihkan pandangannya dari langit senja, sebelah tangannya sekarang diulurkan ke depan untuk menadah rintik air hujan yang turun. Krishna berupaya untuk mengatur ekspresi wajahnya sebaik mungkin agar kesedihannya tidak terlihat jelas. Setelah yakin ekspresinya sudah terukir mantap, Krishna mengangkat kepala dan memandangi Raesaka yang berdiri di sampingnya dengan senyuman terulas di wajah. “Hm? Kenapa?”
“Siniin tangan Kakak, coba.” Raesaka mengulurkan sebelah tangannya yang bebas ke arah Krishna. Walau diliputi sedikit perasaan ragu dan kebingungan, Krishna tetap balas mengulurkan tangannya kepada Raesaka. Tangan kanan Krishna diraih Raesaka kemudian diposisikan agar telapak tangannya menghadap ke atas serta dibuat terbuka; menadah air hujan, sama seperti yang sedang Raesaka lakukan. “Kak Krishna pernah nonton FROZEN, nggak?”
Belum habis kebingungan yang Krishna rasakan karena tindakan Raesaka, sekarang ia sudah dibuat kebingungan dengan pertanyaan yang dianggap Krishna agak aneh. “FROZEN? Elsa sama Anna? Pernah.”
Pandangan Raesaka kembali dialihkan ke langit senja. “Kakak inget, nggak? Kata Olaf, air itu punya memori yang isinya kenangan tentang sesuatu. Itu sebabnya Olaf bisa dibalikin lagi biar jadi hidup padahal awalnya dia udah mati.”
Sungguh, kata mati rasanya adalah kata terakhir yang ingin Krishna dengar di hari ini. Entah seberapa sakitnya hati Krishna barusan tatkala Raesaka menyebutkan kata itu, walau jelas topik yang diangkat adalah tentang Olaf — si bola salju yang ceria. “Iya,” balas Krishna dengan lirih. “Gue inget.”
Bukannya membalas jawaban dari Krishna, kini Raesaka malah berlari menembus hujan. Ia keluar dari naungan teduh atap lobi mall dan berlari ke pelataran jalur yang biasanya sering digunakan mobil-mobil untuk berlalu lalang. Sontak, Krishna terkejut dan segera berseru panik. “Saka! Woy! Lo ngapain, heh?! Hujan! Lo basah kuyup!”
“AAAA! KAK, INI SERU BANGET! HAHAHA.” Raesaka berseru. Bukan seruan yang berisi perasaan marah atau kesal melainkan seru teriakan yang dirasakan seseorang tatkala merasakan sesuatu yang membuatnya antusias. “KAK KRISHNA! AYO KE SINI! ENAK BANGET HUJAN-HUJANAN BEGINI!”
Krishna melirik ke kiri dan kanannya dengan gelisah. Ia tidak mau Raesaka dianggap seperti orang gila karena hujan-hujanan seraya berteriak begitu. Akan tetapi yang ditemukan oleh Krishna bukanlah sekumpulan orang-orang yang menaruh perhatian kepada tingkah Raesaka, yang Krishna dapatkan adalah sekumpulan orang yang sedang sibuk dengan urusannya masing-masing. Ada yang sibuk dengan ponselnya, ada yang berbincang dengan kawan, ada juga yang sedang memarahi anaknya. Tidak ada yang memberi perhatian kepada Raesaka. Mereka memperlakukan Raesaka seperti mahluk transparan.
Krishna mengalihkan pandangannya ke arah Raesaka yang masih berdiri di tengah hujan. Kali ini ia merentangkan tangannya dan menengadahkan kepala ke atas. Raesaka tertawa, riang.
Tak ingin lelakinya basah kuyup, Krishna melepaskan jaketnya dan menaruh kenaan itu di atas kepala. Tak lama, langkahnya dibawa berderap menghampiri Raesaka yang sedang tersenyum lebar ke arah Krishna. “Saka! Lo ngapain, sih, anjir?!” Krishna lebih mengangkat posisi jaket di atas kepalanya agar kini bisa memayungi kepalanya serta kepala Raesaka. “Lo basah kuyup begini!”
Di bawah naungan jaket yang memayungi mereka berdua, Raesaka meraih kedua sisi pipi Krishna dan mendekatkan ke wajahnya sendiri. Di tengah hujan yang turun, si lelaki Danadyaksa melabuhkan ciuman ke putra Haliem. Krishna terbelalak kaget, menyadari bahwa keduanya ada di tempat umum dan hubungan keduanya masih dianggap sangat tabu di kota yang menjunjung tinggi adat istiadat tradisional. “Saka!”, Krishna sedikit membentak. “Kita di ruang publik!”
Refleks, Krishna segera menoleh ke belakang; berupaya memastikan tidak banyak yang menyaksikan tindak Raesaka barusan. Akan tetapi yang Krishna temukan adalah pemandangan yang sama seperti sebelumnya. Mereka, sekelompok orang-orang yang berdiri di lobi pintu masuk mall sama sekali tidak mempedulikan mereka berdua.
“Kak Krishna.” Panggilan Raesaka membuat Krishna kembali memandang ke arah ke depan walaupun ekspresi kebingungan masih terukir jelas di wajahnya. “Sejak awal, mereka nggak nyata.”
Kalimat yang diujarkan Raesaka membuat Krishna terkesiap. Apa maksudnya? “Nggak...nyata?”, ulang Krishna. “Maksud lo...apa?”
Tangan Raesaka sedikit menyingkirkan posisi tangan Krishna yang sedang terangkat ke atas; memayungi kepala mereka berdua dengan jaket. Alhasil, keduanya sekarang diguyur rintik air hujan tanpa penghalang apapun. Krishna merasakan pandangannya sedikit kabur karena air hujan perlahan jatuh mengalir ke wajahnya, akan tetapi pandangannya tetap ditujukan kepada Raesaka di hadapan. “Apanya yang nggak nyata?”
Raesaka tersenyum. Manis, manis sekali. “Kak Krishna,” ujar si lelaki Danadyaksa seraya menangkup kedua sisi pipi Krishna. “Yang nyata di sini cuma saya sama Kakak. Semenjak jam pasir itu dipecahin sama Ayah, semua manusia di sini nggak ada lagi yang menganggap kita sebagai bagian dari mereka.”
Kepala Krishna diliputi tanda tanya besar. “T-tunggu...” Krishna sedikit menjauhkan diri dari Raesaka, terlalu dilanda rasa kalut. “Kenapa lo ngomongin jam pasir? Lo semestinya nggak pernah tau kalau lo—”
“Kalau waktu saya sebelum mati lagi itu cuma tinggal sepuluh menit?”
Krishna merasa kakinya lemas. Ia jatuh terduduk di hadapan Raesaka, bibirnya gemetar — begitupun juga tubuh si putra Haliem. Lelaki di hadapannya sekarang tahu tentang semua yang terjadi?! “Lo— kenapa bisa tau semua ini?”
Perlahan, Raesaka ikut berjongkok di hadapan Krishna sehingga tinggi mereka saat ini sejajar. Tangan kanan si yang lebih muda meraih tangan kanan Krishna kemudian diposisikan agar menadah ke atas; menerima rintik air hujan di telapak tangannya. “Water has memories, remember?”, ujar Raesaka dengan suara yang agak gemetar. Krishna memandangi wajah lelaki di hadapannya. Hujan yang turun sulit untuk membuat Krishna bisa membedakan apakah air yang mengalir di wajah Raesaka adalah air hujan atau air mata.
“Aku inget semuanya sekarang, sayang.”
Krishna menangis.
Lelaki yang ada di hadapannya sekarang bukanlah Raesaka berusia dua puluh tahun. Lelaki yang sedang menatapnya sekarang adalah Raesakanya. Raesaka berusia tiga puluh tahun yang sudah menjalani hubungan selama sepuluh tahun dengannya. Keduanya memiliki memori yang serupa saat ini.
“Sayang. Hei, Krishna...” Raesaka merengkuh tubuh Krishna untuk kemudian dipeluk erat-erat. Keduanya sama sekali tidak berpikiran untuk mencari tempat berteduh, setiap detik yang terlewati sekarang rasanya sangat enggan untuk mereka lewati dengan taut tangan atau pelukan tubuh yang terpisah antara satu sama lain. “Jangan nangis...” Raesaka berujar lirih, tampak jelas bahwa ia sendiri juga sedang menahan sesak dalam dadanya. “Please. Aku nggak mau sampai terakhir kalinya pun aku cuma jadi alasan kamu nangis.”
“Saka—” Di tengah raungan tangisnya, Krishna terus memanggil nama Raesaka. “Ka...” Tangannya memeluk erat tubuh si lelaki Danadyaksa. “Saka, aku kangen kamu...”
“Aku kangen banget sama kamu, Saka.”
“Sama, sayang. Sama...” Raesaka menangkup dua sisi pipi Krishna untuk diarahkan ke wajahnya, agar mereka bisa bertatapan walau jujur saja untuk melihat Krishna yang menangis sesenggukan seperti ini membuat hati Raesaka sakit bukan main. “Aku juga kangen kamu.”
Guyuran hujan semakin deras, seakan tidak kuasa menahan sedihnya tatkala melihat dua insan di bawah mereka yang sedang memeluk erat seraya menyuarakan kalimat rindu yang baru sekarang bisa terucap di hadapan satu sama lain.
“Tapi aku nggak bisa lawan semua ini lebih lama lagi.” Raesaka memaksakan diri untuk mengulas senyum di hadapan Krishna. “Aku harus segera pergi.” Perlahan, ibu jari Raesaka mengusapi pipi si kekasih dengan lembut. Berharap dengan cara begitu, Krishna bisa menjadi lebih tenang. “Kamu nggak usah nangis. Dua tahun sehabis aku pergi, kamu udah bisa kuat, 'kan, buat nggak nangis? Hm?”
Krishna menggeleng kuat-kuat. Tangan kanannya dipukulkan ke dada Raesaka, memberi jawab tersirat bahwa ia membenci kalimat yang diujarkan kekasihnya. Itu hal yang mustahil; hidup baik-baik saja tanpa Raesaka di sisinya, itu hal yang tidak mungkin bisa terjadi. “Nggak bisa, Ka. Nggak bisa...”
“Aku sesak setiap malem kalau inget kamu nggak lagi ada di samping aku ketika tidur. Aku nangis setiap pagi ketika aku tanpa sadar panggang dua tangkup roti buat kamu juga...” Krishna masih terisak hebat. “Aku nggak bisa, Saka.”
Tangan kanan Krishna yang sedang memukuli dada Raesaka diraih oleh si pemilik raga. Gerak tangan kanan Krishna kini terhenti karena sekarang tangannya sedang digenggam oleh Raesaka. Untuk beberapa saat, Raesaka terdiam memandangi sesuatu di jari manis Krishna hingga akhirnya senyum si lelaki kembali terkembang. “Cincinnya cantik.”
Raesaka memandangi cincin yang Krishna kenakan di jari manis kanan; bentuk pertunangan secara sepihak antara dirinya dengan si yang sudah berpulang terlebih dulu. Dengan Raesaka.
“Aku nggak nyangka cincinnya bakal secantik ini di tangan kamu.” Perlahan, Raesaka melepaskan cincin di jari manis Krishna untuk kemudian digenggam erat-erat. “Sayang,” panggil Raesaka. “Boleh aku ulang pasang cincin ini di tangan kamu?”
“Aku mau pasangin cincin ini langsung buat kamu.”
Krishna tidak bisa memberi jawab apapun selain anggukan lemah. Semua emosinya bercampur aduk di dalam diri. Senang, karena akhirnya cincin yang awalnya ia sematkan sendiri kini bisa dilingkarkan oleh si pujaan hati. Sedih, karena ia tahu mungkin saja ini adalah kali pertama dan terakhir cincin itu berada di tangan Raesaka.
“Kamu bawa cincin buat aku?” Pertanyaan Raesaka dibalas lagi dengan anggukan. Kotak cincin yang ia dapatkan dari Nakuladewa itu selalu Krishna bawa di dalam tas slempangnya sehingga tidak perlu waktu lama bagi Krishna untuk merogoh isi tasnya agar bisa menemukan benda yang ia cari.
Cincin berukirkan gambar arah mata angin ada di tangan Krishna sementara cincin berukirkan gambar bintang digenggam oleh Raesaka. Masih di bawah guyuran hujan, keduanya saling bertatapan dan tersenyum simpul; berupaya menemukan satu alasan untuk bisa mereka syukuri. “Krishna Putra Haliem,” ujar Raesaka seraya meraih tangan kiri Krishna. “Aku, Raesaka Danadyaksa, berjanji untuk selalu mencintai kamu. Dalam susah maupun senang. Dalam suka maupun duka. Dalam hidup...”, Raesaka menghela nafasnya sebelum kembali melanjutkan kalimat, “maupun mati.”
Cincin dari tangan Raesaka sudah terlingkar di jari manis kiri Krishna; tidak lagi di jari manis kanan. Raesaka sudah mengikat Krishna, bukan lagi dalam ikatan pertunangan secara sepihak melainkan pernikahan yang direstui oleh mereka berdua.
Krishna tertawa getir ketika melihat cincin perak yang semula selalu terlingkar di tangan kanannya sekarang berada di tangan kiri. Belum juga perasaan kalutnya tersingkirkan, Raesaka menyodorkan tangan kirinya kepada Krishna. “Punyaku belum dipasangin.”
“Raesaka Danadyaksa,” ujar Krishna seraya meraih tangan kiri yang terjulur di hadapannya. “Aku, Krishna Putra Haliem, bersedia untuk temani kamu ke manapun kamu pergi. Entah itu untuk terus hidup bersama...” Krishna mengambil jeda di kalimatnya. “...atau mati bersama.”
Raesaka menggeleng. “Bukan begitu kalimatnya,” ujar si yang lebih muda dan dibalas oleh gelengan serupa dari Krishna. “Aku serius, Saka.”
“Bawa aku pergi juga sama kamu.”
“Nggak boleh, sayang. Nggak bisa.” Raesaka mendekatkan keningnya dengan kening Krishna. Mata si lelaki yang lebih muda terpejam, ia ingin menenangkan dirinya agar tidak terus menangis. Ia ingin tampak kuat di hadapan Krishna. “Kalaupun aku pergi, kamu bakal baik-baik aja. Kamu bakal bahagia dengan cerita baru, dengan orang baru, dengan pengalaman baru.”
“Buku hidup kamu masih tersisa banyak halaman, sayang. Kamu bisa tulis banyak jilid baru dengan berbagai rahasia hidup yang jauh lebih menarik. Semuanya masih bakal sama. Aku nggak akan hilang dari buku hidup kamu. Aku masih akan ada di halaman dimana kamu torehin cerita kita. Ketika kamu kangen aku, kamu bisa buka halaman dimana cerita kita ditulis. Kamu bisa baca, kamu boleh nangis, kamu boleh ketawa — tapi setelah itu, kamu harus inget bahwa cerita aku sama kamu udah selesai.”
“Sayang, hei... Liat aku.” Raesaka membuka matanya dan mengarahkan wajah Krishna untuk kembali menatapnya. “Dengan siapapun nantinya kamu buka jilid baru di buku kehidupan kamu, aku yakin— aku yakin bahwa nggak akan ada yang bisa kalahin besarnya cinta karakter seorang Raesaka Danadyaksa ke Krishna Putra Haliem.”
“Walaupun di halaman selanjutnya 'tuh cerita hidup kamu nggak akan lagi mengukir nama aku tapi karakter Raesaka Danadyaksa untuk tercatat sebagai seseorang yang mencintai Krishna Putra Haliem sepenuh hati,” bisik Raesaka lirih. “Bahkan sampai kabur dari surga,” lanjutnya diiringi kekehan getir.
“Ya, Krishnaku?”
Krishna menggeleng. Bibir si yang lebih tua terus meracau, menyuarakan kalimat penolakan atas ujaran si kekasih. Kepalanya kembali tertunduk dan secara tidak sengaja melihat jam arloji di pergelangan tangan.
Tiga menit lagi.
“Ayah bakal jemput aku sebentar lagi.” Seperti memahami pemikiran Krishna, Raesaka sudah berujar terlebih dahulu. Lagi, kini tangan si yang lebih muda dibawa untuk merangkul tubuh si kekasih. Raesaka memeluk Krishna, erat. “Boleh aku minta kita habisin waktu kita dengan begini aja? Aku bakal kangen banget peluk kamu nantinya.”
Krishna tidak bisa menahan lagi raungannya. Tanpa bisa dielak dan ia pun tidak ingin menyembunyikannya, Krishna menangis sepuasnya. Tidak ada yang memberi perhatian kepada mereka berdua walaupun Krishna terus mengatakan 'jangan pergi' kepada Raesaka. Tangan Raesaka terus mengusapi punggung kepala Krishna, beberapa kali diselingi dengan kecupan penuh sayang tak terhingga ke wajah si kekasih.
“Aku sayang kamu. Sayang banget, Krishna.” Di setiap kecupannya, Raesaka terus mengulang kalimat itu; seperti kaset rusak. “Sayang...banget.”
Suara deru mesin mobil terdengar mendekat. Raesaka menolehkan kepala dan menemui mobil taksi yang akan menjemputnya sudah tiba. Pelukan di tubuh Krishna perlahan dilonggarkan oleh Raesaka. “Aku pergi, ya, sayang?”, pamit Raesaka.
“Jangan...” Suara Krishna sudah hampir habis rasanya karena berteriak tanpa henti sekaligus meraung dalam tangis. Raesaka berupaya untuk tidak menghiraukan permohonan si kekasih. Dengan langkah berat, Raesaka bangkit dari posisinya dan berjalan lunglai menuju pintu penumpang mobil taksi.
“Krishna.”
Belum juga Raesaka sempat membuka pintu mobil taksi, suara si supir taksi menyela gerakannya. Padahal yang dipanggil adalah Krishna namun yang menyahut adalah Raesaka. “Ada apa, Yah?”, tanya Raesaka dengan suara parau. Supir taksi yang berwajah sekitar tiga puluh tahunan itu tidak menghiraukan sahutan Raesaka dan malah berseru dengan lebih kencang agar terdengar oleh Krishna yang masih terduduk lemah di tempatnya. “Krishna!”
Krishna mengangkat kepala; pandangannya bertemu dengan Ayahanda Raesaka dalam wujud usia yang lebih muda. “Kamu boleh naik, dengan resiko— kamu juga ikut mati.”
Kalimat sang Ayah segera membuat mata Raesaka membelalak. “Nggak! Ayah, Krishna nggak boleh ikut mati! Dia nggak semestinya mati sekarang!” Dengan gerak cepat, Raesaka membuka pintu penumpang dan masuk ke dalamnya. Pintu mobil dikunci dari dalam, sengaja agar Krishna tidak mengikutinya naik ke dalam taksi. “Ayah! Jangan kasih ide gila buat Krishna!”
“Dia sendiri yang mau mati, Nak.” Sang supir berujar dengan suara tenang yang menjadi khasnya. “Buat apa dia hidup kalau pikirannya sendiri nyuruh dia buat mati?”
“Ayah! Berangkat, sekarang!” Raesaka berseru ketika Krishna bangkit dan berderap mendekati mobil taksi. “AYAH! KRISHNA NGGAK BOLEH MATI SEKARANG!”
“Om! Tolong bukain pintunya, Om!” Krishna menggedor jendela di pintu supir dengan tidak sabar. “Om! Krishna mau ikut Saka, Om!” Krishna tidak ubahnya seperti orang yang hilang kewarasan. Gedoran di jendela supir semakin keras, bahkan seperti bisa memecahkan kacanya. “Buka pintunya, Om!”
“JANGAN, AYAH! INI BELUM WAKTUNYA BUAT DIA MATI! SEMUA INI BAKAL BIKIN TIMELINE YANG ADA SEMAKIN HANCUR!”
“KRISHNA MAU IKUT SAKA, OM!”
“AYAH!”
Si supir taksi yang sedari tadi Raesaka panggil sebagai 'Ayah' memandang si lelaki di bangku belakang dari pantulan kaca spion dalam. “Saka,” lelaki itu berujar pelan, “maafin Ayah.”
Cklek.
Pengunci mobil terbuka sementara sosok yang semula duduk di bangku pengemudi tiba-tiba menghilang begitu saja; menguap bagai asap. Seakan mendapat keberuntungan berlimpah, Krishna segera membuka pintu supir dan menempatkan dirinya di bangku pengemudi. Raesaka berupaya menghalangi namun sayangnya ia kurang gesit sehingga belum sempat tangannya meraih handle pintu, Krishna sudah keburu masuk ke dalam.
“Krishna!” Dari bangku belakang, Raesaka berupaya menahan tangan Krishna yang sedang akan meraih setir kemudi. “Jangan! Kamu nggak semestinya mati sekarang! Kalau kamu berusaha menyalahi takdir, semua timeline bakal semakin berantakan, Krishna! Keluar dari sini!”
Satu menit lagi.
Krishna tidak tahu darimana datangnya namun barusan saja ia menyikut wajah Raesaka dengan sangat keras. Padahal ia tahu, tenaganya tidak cukup kuat untuk memberi sikutan sekeras itu. Alhasil, Raesaka sekarang terdorong kembali ke bangku penumpang dengan hidung yang bersimbah darah akibat sikutan dari kekasihnya sendiri. “Saka! Sorry! Bukan aku! Aku nggak berniat nyikut kamu, Saka!”
Empat puluh detik lagi.
Tanpa Krishna rencanakan, tidak pula sistem syarafnya memerintah, tiba-tiba saja kaki Krishna menginjak pedal gas mobil dengan sangat dalam dan mendadak. Mobil taksi yang dikendarai Krishna melaju tanpa sekalipun mengurangi kecepatan. “Saka! Kaki aku bergerak sendiri!”
“Injak remnya! Rem!”
Berulang kali Raesaka meneriakkan kalimat yang sama, berulang kali juga Krishna memerintahkan kepada otaknya untuk melakukan hal sesuai yang kekasihnya serukan namun kakinya seakan lumpuh. Sekeras apapun Krishna memerintahkan segala sistem syarafnya, semua tidak berguna. Krishna tetap saja menginjak pedal gas dalam-dalam.
Dua puluh detik lagi.
“KRISHNA! REMNYA!”
“AKU NGGAK BISA, SAKA!”
Sepuluh detik lagi.
Dari arah utara, terlihat sebuah truk bermuatan besar yang turun dari tanjakan terjal. Raesaka menyadari situasi itu terlebih dahulu daripada Krishna. “GAS! GAS, KRISHNA! JANGAN BERHENTI!”
Tanpa Krishna rencanakan, kali ini kakinya bergerak untuk menekan pedal rem. Menjadikan mobil yang dikendarainya berhenti secara mendadak; tepat beberapa ratus meter di depan mobil truk yang sedang melaju dengan kecepatan sangat tinggi ke mobil mereka. Krishna mengalihkan pandangan dan menemukan situasi yang terjadi. Truk itu semakin mendekat tapi ia tidak bisa melakukan apa-apa. “Aku— aku— kakiku nggak bisa gerak, Saka..”
Lima detik lagi.
Raesaka melompat dari bangku penumpang di bagian belakang menuju bangku penumpang di bagian depan. Dengan gerakan yang sangat cepat, ia memposisikan tubuhnya untuk menutupi tubuh Krishna dari hantaman truk yang mengarah ke mobil mereka. “SAKA, JANGA—”
BUAGH!
Yang Krishna ingat selanjutnya, suara yang ada di dunia seakan hanya diisi oleh denging memekakkan telinga. Dengingan panjang— panjang sekali, hingga Krishna merasakan darah keluar dari telinganya. Matanya masih bisa menangkap gambar walaupun yang dilihatnya sekarang hanyalah langit senja yang memerah; bukan lagi berwarna jingga.
“Kr-rish...”
Krishna mendengar suara Raesaka yang memanggilnya. Walau rintih, Krishna dapat dengan jelas menyadari bahwa itu adalah suara kekasihnya. Dengan susah payah, Krishna menolehkan kepala dan menemukan sosok Raesaka sedang terbaring dengan posisi menelungkup. Wajah kekasihnya bersimbah darah, membuat Krishna spontan memikirkan satu hal. Hemofilia yang diidap Raesaka.
“Sak...a—” Krishna berupaya sekuat tenaga menggerakkan tubuhnya agar dapat menghampiri Raesaka lebih dekat namun semua percuma, tubuh si lelaki Haliem seakan lumpuh sepenuhnya. “Sa...ka— darah...”
“Janga...n ber...dar...ah...”
Kalimat Krishna tidak disahut sama sekali oleh Raesaka. Lelaki itu terdiam, kaku. “Saka...”, Krishna merintih. Hanya tangan kirinya yang bisa bergerak dengan tertatih, terus berupaya meraih tangan Raesaka yang juga sudah sama kakunya. “Ma—af...” Tangan Krishna berhasil meraih tangan Raesaka dan menggenggamnya, walau sungguh sangat lemah.
Tangan kiri dengan jari manis terlingkar cincin perak, saling menggenggam. Hanya itu yang Krishna ingat sebelum semuanya menjadi serba putih dan sangat terang hingga seperti membuat dirinya buta dalam sekejap.
Semuanya berubah terang, tidak lagi jingga.