ㅤ
「 𝐂𝐀𝐊𝐑𝐀𝐖𝐀𝐋𝐀 」
The Skygarden Apt
meja Resepsionis
Setiabudi, Jaksel.
“Sore, Mbak.”
“Unit 2055.”
“Baskara.”
“Sore, Mas.”
“Oh, iya.”
“Tadi Pak Baskara udah titip pesan buat antar tamunya ke unit. Nggak ada akses, ya, Mas?”
“Iya, Mbak.”
“Nggak ada akses.”
“Baik, Mas.”
“Tunggu sebentar, ya.”
Anggukan diberi, setelahnya kedua mata Cakrawala segera mengedar ke sekeliling. Ternyata begini, ya, tinggal di lingkungan apartemen yang segala privasinya serba dijaga. Bahkan untuk menerima tamu pun harus lapor dahulu.
Berbeda jauh dengan lingkungan kost Cakrawala. Biarpun berada di lingkungan kawasan Kemang yang dianggap elit, sesungguhnya rumah kostnya hanya ruang petak sederhana dengan perlengkapan seadanya. Cakrawala tinggal di sana karena rumah kost itu adalah rumah milik sanak saudaranya dan ia diberi jatah gratis untuk tinggal di sana.
Kenapa, tanyamu?
Karena Ibu tirinya tidak memiliki uang lebih yang dapat diberikan kepada Cakrawala.
Benar. Kalian tidak salah baca. Ibu tiri. Ibunda kandung Cakrawala sudah meninggal setelah melahirkan dirinya, sehingga sang Ayah membesarkan si putra sendirian untuk lima tahun pertama.
Mungkin tidak kuat melalui semuanya sendiri, sang Ayah memutuskan untuk menikah dengan seorang perempuan yang sederhana. Tidak, kok. Tidak ada cerita ala sinetron dimana sang Ibu tiri memperlakukan anaknya dengan kejam. Tidak sama sekali. Ibu tiri Cakrawala sangat baik dan memperlakukan ia layaknya putra kandungnya sendiri.
Pernikahan kedua sang Ayah tidak dikaruniai anak sehingga hanya Cakrawala putra satu-satunya di keluarga.
Semua berjalan harmonis. Keluarga yang akur, ekonomi yang berkecukupan, jua Cakrawala yang dikenal cukup berprestasi di sekolah.
Setidaknya hingga Cakrawala menginjak bangku SMA, semua baik-baik saja. Sampai akhirnya, sang Ayah meninggal dunia ketika Cakrawala menginjak tahun kedua di bangku SMA. Kanker paru-paru yang sudah lama diderita sang Ayah tidak dapat lagi diobati sehingga membuat Cakrawala dan Ibu tirinya harus hidup berdua secara sederhana.
Tidak masalah bagi Cakrawala, sesungguhnya. Ia bukan laki-laki yang memiliki banyak keinginan. Kesukaannya kepada TWICE pun masih dapat dikendalikan, ia hanya mengoleksi album. Tidak kalap hingga mengoleksi ini itunya.
Menginjak bangku perkuliahan, Cakrawala mendapatkan beasiswa untuk jurusan komunikasi di sebuah Perguruan Tinggi Negeri di kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan. Jujur, sama sekali tidak ada minatan baginya untuk mendalami bidang yang dilakoninya sekarang. Namun, beasiswa yang didapatkannya hanya memberi opsi demikian. Maka, yah─ sudahlah. Yang penting, sang Ibunda tidak perlu pusing memikirkan biaya kuliahnya, bukan?
“Mas.”
“Permisi, Mas.”
“Oh. Ya, Mbak?”
“Udah?”
“Maaf menunggu, ya.”
“Mari, saya antar ke unit.”
Ramah sekali. Benar-benar, ya, tinggal di apartemen begini membuat diri sendiri terasa seperti raja. Ah─ coba saja Cakrawala bisa merasakan ini terus-terusan.
Lihat. Lihat sebagaimana karyawati ini mempersilahkan Cakrawala masuk terlebih dulu dengan senyuman manis. Apa dia menganggap Baskara sehebat itu sampai semua tamunya juga harus diperlakukan demikian?
“Teman Pak Baskara, ya, Mas?”
“Ya?”
“Saya?”
“Nggak, Mbak.”
“Cuma kenalan.”
“Oh. Begitu, ya, Mas.”
“Soalnya jarang-jarang Pak Baskara bawa teman. Biasanya cuma satu. Siapa, ya, itu? Lupa-lupa ingat namanya.”
“Mas Tristan, kayaknya.”
“Tristan?”
Alis Cakrawala sedikit bertaut. Tristan yang perempuan ini maksud, apakah Tristan yang dikenalinya? Si laki-laki lebih tua yang sudah semenjak kecil menjadi tetangga rumahnya? Ah, tapi ayolah─ pasti bukan.
Tristan nama yang umum.
Pasti bukan Tristan itu.
“Iya, Mas.”
“Pak Baskara ini memang lumayan tertutup orangnya. Saya aja cuma sekedar kasih salam aja setiap dia lewat di meja resepsionis. Sayang, ya. Padahal ganteng.”
“Oh. Gitu, ya.”
“Aduh. Saya bawel banget, ya? Seenaknya ngomong tentang privasi tenant apartement. Maaf, ya, Mas. Habisnya saya suka bosen di meja resepsionis sendirian. Nggak punya temen. Maaf, ya, Mas.”
“Nggak, Mbak.” Cakrawala mengulas senyum tipis, namun tetap saja membuat lesung pipinya terlihat jelas. “Santai aja.”
TING.
Elevator berhenti di lantai lima dan secara otomatis, pintu terbuka dari kedua sisi. Yang pertama kali dihirup oleh Cakrawala adalah wangi oakwood, sedikit menyengat namun segera memberi kesan menenangkan. Si karyawati menjulurkan sebelah tangan, mempersilahkan Cakrawala keluar dari elevator. “Silahkan, Mas. Unitnya Pak Baskara ada di tikungan sebelah kiri. Di pintunya ada papan kecil, tulisannya 2055.”
“Atau perlu saya antar?”
“Nggak apa-apa, Mbak.”
“Saya sendiri aja.”
“Baik, Mas.”
“Mari.”
“Makasih, Mbak.”
“Dengan senang hati.”
Pintu elevator kembali tertutup, dan Cakrawala masih di sini. Dikelilingi bangunan yang ditata rapi dengan desain minimalis namun terkesan elegan.
“Tikungan kanan.” Langkah Cakrawala bergerak sesuai arahan si karyawati. Berbelok ke kanan, hingga akhirnya menemukan pintu bertuliskan angka 2055 di papannya.
Jemari tangan kanan terangkat, berniat ingin menekan bel. Namun diurungkan. Ragu, sungguh.
Ragu. Karena dadanya berdebar tanpa alasan. Ragu. Karena dirinya merasa ada yang salah dari alasan pada debaran dadanya. Ragu. Karena ia merasa, jika masuk ke sana─ ada kesalahan yang mungkin saja bisa terjadi dan menjadi runyam.
Ragu.
Ragu.
Ragu.
Haruskah?
Di rumah gue ada kucing.
Suka robekin kertas, dia.
Bunda lo bisa bahaya.
HARUS!
DEMI BUNDA MINA!
DEMI SELAMATKAN DIA!
HARUS MASUK! HARUS!
Tangan diangkat kembali ke arah bel, keputusannya sudah bulat. Ayo, masuk. Selamatkan Bunda Mina lalu segera keluar. Jangan biarkan debaran dadanya terus terjadi seperti ini, menyiksa.
Tekan bel.
Sunyi.
Tekan lagi.
Masih sunyi.
“Kok?”
“Rusak, ya?”
Tekan lagi.
Lagi. Lagi.
”...”
“Percuma apartemen bagus.”
“Belnya aja rusak. Monyet.”