dontlockhimup

ㅤ      「 Mereka 」 ㅤ

Hening untuk beberapa detik. Cakrawala dan Baskara, mereka hanya saling bertatap tanpa kata hingga akhirnya Baskara melebarkan pintu. Memberi ruang agar Cakrawala dapat masuk.

“Masuk.” Tubuh sedikit dimundurkan, isyarat bahwa ia mempersilahkan Cakrawala masuk sebagai tamunya.

Tidak terlihat jelas, memang. Namun sesungguhnya kini Cakrawala tengah mengepalkan jemari tangan kirinya. Bingung mengambil keputusan. Sumpah, demi apapun─ jantungnya berdebar tidak karuan.

Baru di luar saja, debaran jantungnya sudah seberisik ini. Bagaimana jika ia masuk ke dalam, coba?

“Nggak usah.” “Gue mau ngasih ini doang, lagian.”

Penolakan dilayangkan, seiring dengan tangan kanan yang terjulur. Memberikan album Feel Special yang didalamnya terdapat postcard Sana, album milik Baskara. “Sama jemput Bunda.”

“Bunda lo di kamar,” balas Baskara seraya menerima album yang diulurkan oleh Cakrawala. “Mau gue ambilin?”, tanyanya, sementara tangannya membolak-balik isi album. Oh, benar. Postcardnya Sana, memang ini miliknya.

“Kalo lo nggak keberatan,” ujar Cakrawala, mencoba bersikap sopan.

“Ya udah. Gue ambilin.” “Lo beneran nggak mau masuk?” “Minum dulu atau ngapain, kek.”

“Kembung gue.” “Thanks.”

Bohong. Padahal alasan sebenarnya karena Cakrawala tidak tahu akan bagaimana kerja jantungnya jika masuk ke dalam apartemen. Sudalah, lebih baik begini daripada ambil resiko.

“Hm-mm.” “Gue ambil dulu.” “Pulangnya gue anter, ya?”

“Nggak usah, lah.” “Kuningan macet bener.” “Gue naik gojek aja.”

“Lo bisa naik gojek?” “Maksud gue, nggak kebawa angin? Terbang, gitu? Badan lo tipis begitu.”

Ingin merutuk. Jika saja

ㅤ      「 Mereka 」 ㅤ

Hening untuk beberapa detik. Cakrawala dan Baskara, mereka hanya saling bertatap tanpa kata hingga akhirnya Baskara melebarkan pintu. Memberi ruang agar Cakrawala dapat masuk.

“Masuk.” Tubuh sedikit dimundurkan, isyarat bahwa ia mempersilahkan Cakrawala masuk sebagai tamunya.

Tidak terlihat jelas, memang. Namun sesungguhnya kini Cakrawala tengah mengepalkan jemari tangan kirinya. Bingung mengambil keputusan. Sumpah, demi apapun─ jantungnya berdebar tidak karuan.

Baru di luar saja, debaran jantungnya sudah seberisik ini. Bagaimana jika ia masuk ke dalam, coba?

“Nggak usah.” “Gue mau ngasih ini doang, lagian.”

Penolakan dilayangkan, seiring dengan tangan kanan yang terjulur. Memberikan album Feel Special yang didalamnya terdapat postcard Sana, album milik Baskara. “Sama jemput Bunda.”

“Bunda lo di kamar,” balas Baskara seraya menerima album yang diulurkan oleh Cakrawala. “Mau gue ambilin?”, tanyanya, sementara tangannya membolak-balik isi album. Oh, benar. Postcardnya Sana, memang ini miliknya.

“Kalo lo nggak keberatan,” ujar Cakrawala, mencoba bersikap sopan.

“Ya udah. Gue ambilin.” “Lo beneran nggak mau masuk?” “Minum dulu atau ngapain, kek.”

“Kembung gue.” “Thanks.”

Bohong. Padahal alasan sebenarnya karena Cakrawala tidak tahu akan bagaimana kerja jantungnya jika masuk ke dalam apartemen. Sudalah, lebih baik begini daripada ambil resiko.

“Hm-mm.” “Gue ambil dulu.” “Pulangnya gue anter, ya?”

“Nggak usah, lah.” “Kuningan macet bener.” “Gue naik gojek aja.”

“Lo bisa naik gojek?” “Maksud gue, nggak kebawa angin? Terbang, gitu? Badan lo tipis begitu.”

Ingin merutuk. Jika saja

ㅤ      「 𝐂𝐀𝐊𝐑𝐀𝐖𝐀𝐋𝐀 」 The Skygarden Apt meja Resepsionis Setiabudi, Jaksel.

“Sore, Mbak.” “Unit 2055.” “Baskara.”

“Sore, Mas.” “Oh, iya.” “Tadi Pak Baskara udah titip pesan buat antar tamunya ke unit. Nggak ada akses, ya, Mas?”

“Iya, Mbak.” “Nggak ada akses.”

“Baik, Mas.” “Tunggu sebentar, ya.”

Anggukan diberi, setelahnya kedua mata Cakrawala segera mengedar ke sekeliling. Ternyata begini, ya, tinggal di lingkungan apartemen yang segala privasinya serba dijaga. Bahkan untuk menerima tamu pun harus lapor dahulu.

Berbeda jauh dengan lingkungan kost Cakrawala. Biarpun berada di lingkungan kawasan Kemang yang dianggap elit, sesungguhnya rumah kostnya hanya ruang petak sederhana dengan perlengkapan seadanya. Cakrawala tinggal di sana karena rumah kost itu adalah rumah milik sanak saudaranya dan ia diberi jatah gratis untuk tinggal di sana.

Kenapa, tanyamu? Karena Ibu tirinya tidak memiliki uang lebih yang dapat diberikan kepada Cakrawala.

Benar. Kalian tidak salah baca. Ibu tiri. Ibunda kandung Cakrawala sudah meninggal setelah melahirkan dirinya, sehingga sang Ayah membesarkan si putra sendirian untuk lima tahun pertama.

Mungkin tidak kuat melalui semuanya sendiri, sang Ayah memutuskan untuk menikah dengan seorang perempuan yang sederhana. Tidak, kok. Tidak ada cerita ala sinetron dimana sang Ibu tiri memperlakukan anaknya dengan kejam. Tidak sama sekali. Ibu tiri Cakrawala sangat baik dan memperlakukan ia layaknya putra kandungnya sendiri.

Pernikahan kedua sang Ayah tidak dikaruniai anak sehingga hanya Cakrawala putra satu-satunya di keluarga.

Semua berjalan harmonis. Keluarga yang akur, ekonomi yang berkecukupan, jua Cakrawala yang dikenal cukup berprestasi di sekolah.

Setidaknya hingga Cakrawala menginjak bangku SMA, semua baik-baik saja. Sampai akhirnya, sang Ayah meninggal dunia ketika Cakrawala menginjak tahun kedua di bangku SMA. Kanker paru-paru yang sudah lama diderita sang Ayah tidak dapat lagi diobati sehingga membuat Cakrawala dan Ibu tirinya harus hidup berdua secara sederhana.

Tidak masalah bagi Cakrawala, sesungguhnya. Ia bukan laki-laki yang memiliki banyak keinginan. Kesukaannya kepada TWICE pun masih dapat dikendalikan, ia hanya mengoleksi album. Tidak kalap hingga mengoleksi ini itunya.

Menginjak bangku perkuliahan, Cakrawala mendapatkan beasiswa untuk jurusan komunikasi di sebuah Perguruan Tinggi Negeri di kawasan Fatmawati, Jakarta Selatan. Jujur, sama sekali tidak ada minatan baginya untuk mendalami bidang yang dilakoninya sekarang. Namun, beasiswa yang didapatkannya hanya memberi opsi demikian. Maka, yah─ sudahlah. Yang penting, sang Ibunda tidak perlu pusing memikirkan biaya kuliahnya, bukan?

“Mas.” “Permisi, Mas.”

“Oh. Ya, Mbak?” “Udah?”

“Maaf menunggu, ya.” “Mari, saya antar ke unit.”

Ramah sekali. Benar-benar, ya, tinggal di apartemen begini membuat diri sendiri terasa seperti raja. Ah─ coba saja Cakrawala bisa merasakan ini terus-terusan.

Lihat. Lihat sebagaimana karyawati ini mempersilahkan Cakrawala masuk terlebih dulu dengan senyuman manis. Apa dia menganggap Baskara sehebat itu sampai semua tamunya juga harus diperlakukan demikian?

“Teman Pak Baskara, ya, Mas?”

“Ya?” “Saya?” “Nggak, Mbak.” “Cuma kenalan.”

“Oh. Begitu, ya, Mas.” “Soalnya jarang-jarang Pak Baskara bawa teman. Biasanya cuma satu. Siapa, ya, itu? Lupa-lupa ingat namanya.” “Mas Tristan, kayaknya.”

“Tristan?”

Alis Cakrawala sedikit bertaut. Tristan yang perempuan ini maksud, apakah Tristan yang dikenalinya? Si laki-laki lebih tua yang sudah semenjak kecil menjadi tetangga rumahnya? Ah, tapi ayolah─ pasti bukan.

Tristan nama yang umum. Pasti bukan Tristan itu.

“Iya, Mas.” “Pak Baskara ini memang lumayan tertutup orangnya. Saya aja cuma sekedar kasih salam aja setiap dia lewat di meja resepsionis. Sayang, ya. Padahal ganteng.”

“Oh. Gitu, ya.”

“Aduh. Saya bawel banget, ya? Seenaknya ngomong tentang privasi tenant apartement. Maaf, ya, Mas. Habisnya saya suka bosen di meja resepsionis sendirian. Nggak punya temen. Maaf, ya, Mas.”

“Nggak, Mbak.” Cakrawala mengulas senyum tipis, namun tetap saja membuat lesung pipinya terlihat jelas. “Santai aja.”

TING.

Elevator berhenti di lantai lima dan secara otomatis, pintu terbuka dari kedua sisi. Yang pertama kali dihirup oleh Cakrawala adalah wangi oakwood, sedikit menyengat namun segera memberi kesan menenangkan. Si karyawati menjulurkan sebelah tangan, mempersilahkan Cakrawala keluar dari elevator. “Silahkan, Mas. Unitnya Pak Baskara ada di tikungan sebelah kiri. Di pintunya ada papan kecil, tulisannya 2055.”

“Atau perlu saya antar?”

“Nggak apa-apa, Mbak.” “Saya sendiri aja.”

“Baik, Mas.” “Mari.”

“Makasih, Mbak.”

“Dengan senang hati.”

Pintu elevator kembali tertutup, dan Cakrawala masih di sini. Dikelilingi bangunan yang ditata rapi dengan desain minimalis namun terkesan elegan.

“Tikungan kanan.” Langkah Cakrawala bergerak sesuai arahan si karyawati. Berbelok ke kanan, hingga akhirnya menemukan pintu bertuliskan angka 2055 di papannya.

Jemari tangan kanan terangkat, berniat ingin menekan bel. Namun diurungkan. Ragu, sungguh.

Ragu. Karena dadanya berdebar tanpa alasan. Ragu. Karena dirinya merasa ada yang salah dari alasan pada debaran dadanya. Ragu. Karena ia merasa, jika masuk ke sana─ ada kesalahan yang mungkin saja bisa terjadi dan menjadi runyam.

Ragu. Ragu. Ragu. Haruskah?

Di rumah gue ada kucing. Suka robekin kertas, dia. Bunda lo bisa bahaya.

HARUS! DEMI BUNDA MINA! DEMI SELAMATKAN DIA! HARUS MASUK! HARUS!

Tangan diangkat kembali ke arah bel, keputusannya sudah bulat. Ayo, masuk. Selamatkan Bunda Mina lalu segera keluar. Jangan biarkan debaran dadanya terus terjadi seperti ini, menyiksa.

Tekan bel. Sunyi. Tekan lagi. Masih sunyi.

“Kok?” “Rusak, ya?”

Tekan lagi. Lagi. Lagi.

”...” “Percuma apartemen bagus.” “Belnya aja rusak. Monyet.”

ㅤ      「 𝐁𝐀𝐒𝐊𝐀𝐑𝐀 」

“Lo kenapa?” “Senyum-senyum sendiri.”

“Gue?” “Masa' iya?” “Nggak, ah.”

Baskara meletakkan kembali ponsel yang semula digenggam olehnya ke atas meja. Tepat di sebelah piring berisikan pasta yang sudah tandas dilahap. “Gue biasa aja.”

“Apanya yang biasa?” “Senyuman lo tadi udah ngalahin senyumannya joker, tau. Sampe ke ujung begitu.”

“Joker apaan? Lebay.” “Tapi, yaa─” “─ada yang lucu, sih.”

“Apaan?” “Sana?”

“Bukan.”

“Mina?” “Mina asli?” “Atau Mina yang lo temuin kemarin itu, nih?”

“Nnnn─” erangan kecil dilepaskan sebelum akhirnya menjawab pelan, “nggak tau.”

“LO APAAN, SIH?! SOK IMUT BEGITU? TUHAN. GUE MERINDING!”

“Eh. Tapi gue penasaran.” “Anaknya cantik?”

“Katanya lo merinding.” “Masih mau denger ceritanya?”

“Gue merinding liat lo.” “Bukan dengerin cerita.” “Jadi, gimana? Cantik?”

“Putih.” “Tinggi.”

“...” “Lo yakin ketemu manusia?” “Bukan tiang listrik dikafanin?”

“Setan.” “Beneran. Gue nemuin manusia.”

“Terus?” “Cantik?”

“Bibirnya merah.” “Terus apa, ya? Kayaknya rambut dia halus banget, gitu. Biarpun pendek tapi─”

“Oh. Nggak panjang?”

“Nggak.” “Kayak Jeongyeon jaman dulu.”

“Mirip Jeongyeon juga?”

“Lo banyak nanya bener, dah.” “Diem, kenapa?” “Bawel.”

Tristan membuat gerakan seakan sedang membungkam mulutnya sendiri, kemudian memberi isyarat bagi Baskara untuk melanjutkan ujarannya.

“Dia, tuh─ gimana, ya?” “Bingung gue jelasinnya. Kemarin, di depan gue tuh dia awalnya bener-bener pasang muka masam. Beneran. Maaaasam banget. Tapi lama-kelamaan pas gue sama dia ngobrol perihal ini itu .. dia mulai ketawa.”

“Ketawanya lucu. Matanya jadi sipit, bentuknya kayak bulan sabit. Lucu. Belum lagi, pas dia senyum tuh lesung di dua sisinya muncul. Bibirnya juga merah.”

“Tapi Tris─ yang bikin gue suka kikuk, pas dia ketawa 'kan badannya gerak-gerak tuh ..”

”.. gue, nggak tau kenapa cuma ngeliat ke leher dia. Aseeeem, putih banget. Tapi putihnya tuh' bukan putih kayak gue yang pucat. Putihnya dia tuh' kayak putih susu yang agak-agak krem. Kayak Chelsea Olivia. Terus─”

“Bas.”

Perkataan Baskara terhenti ketik Tristan memanggil namanya. Si rekan sekantor rupanya sedang tersenyum, namun seraya menahan tawa kecil. Kontan, dahi Baskara mengerut.

“Kenapa lo senyum-senyum?”

“Ini gue ngomong sebagai sohib lo yang udah temenan selama empat taun, ya? Gue mah jujur-jujuran aja, nih.”

“Selama gue kenal lo, lo nggak pernah nyeritain seseorang dengan seantusias ini. Kayak─ selama ini lo cuma bilang kalau orang yang lo temuin itu nggak kayak Sana. Atau tentang Sana yang lebih cantik daripada cewek yang lo temuin. Lo selalu begitu.”

“Tapi sekarang?” “Lo perhatiin detailnya.” “Cara dia ketawa. Cara dia nyipitin mata. Lehernya dia. Kulitnya dia. Lo perhatiin semua. Yang paling penting ..”

“.. lo nggak sebut nama Sana.”

“Lo, jatuh cinta, kayaknya.”

”...” “Nggak, lah.” “Nggak mungkin.”

Baskara tertawa kecil. Kikuk. Siapapun yang mendengarnya pasti dapat menebak demikian. “Nggak mungkin gue suka sama dia.”

“Kenapa, emangnya?” “Pacarin, lah. Tembak.”

“Nggak.” “Nggak.” “Nggak.”

“Kenapa, wey?” “Badannya bau?”

“Nggak.”

“Punya kadas?” “Kurap? Panuan?”

“Nggak juga.”

“Wasir?”

“LO KIRA GUE MERIKSA DUBUR DIA PAS DI PIM, APA, TRIS?”

“...” “Ya biasa aja.” “Nggak usah sensi.”

Ada alasan kenapa tiba-tiba Baskara menjadi sensitif. Bukan apa-apa, gara-gara ucapan Tristan barusan Baskara merasakan jantungnya berdebar tidak karuan. Wajahnya terasa panas. Sial! Jangan-jangan wajahnya merona sekarang? Bagaimana ini?

Masa' iya, sih, Baskara suka si Tepung Beras Cakra?

ㅤ      「 Mereka. 」 ㅤ Suasana ramai di Starbucks Pondok Indah Mall cukup membantu menyamarkan situasi canggung di antara dua lelaki yang tengah duduk berhadapan saat ini. Adalah mereka, Baskara dan Cakrawala, duduk berhadapan dengan segelas minuman dingin di atas meja masing-masing.

Baskara mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ke mana saja, asal jangan ke depan. Asal tidak bertatapan langsung dengan Cakrawala.

Begitupun dia, Cakrawala. Ia memilih untuk menatapi meja, berharap setidaknya ada seekor semut yang lewat sehingga ia bisa memfokuskan perhatian ke sana. Namun sial, tidak ada seekorpun semut yang lewat di atas mejanya.

“Jadi, Min─ GAK. GAK. Apaan Mina!?! Nggak, bukan. Jadi, gini, gue mau tanya. Lo kenapa nge-TG?”

TG atau Transgender, adalah hal yang lumrah ditemukan di dunia roleplayer. Biasanya, yang kerap melakukan adalah perempuan yang memilih memainkan karakter laki-laki. Jarang sekali kasusnya seperti sekarang : laki-laki memilih memainkan karakter perempuan.

Pertanyaan dari Baskara ditangkap dengan tatapan penuh menilai dari Cakrawala. Siapa yang bertanya ke siapa, coba? Kenapa nada bertanyanya seperti menyalahkan? Memang dia tidak sadar bahwa yang dirugikan dalam hal ini tidak hanya dia, namun juga Cakrawala?

“Lo sendiri?” “Kenapa TG?”

Dahi Baskara mengerut. Lo? Tunggu, dia tidak salah dengar, 'kan? Laki-laki di hadapannya itu baru saja memanggilnya dengan sebutan Lo, padahal sudah jelas-jelas Baskara lebih tua daripada dia. Biarpun ya─ si lelaki di hadapannya memang lebih tinggi, sih.

“Suka-suka gue, dong.” “Akun 'kan akun gue.”

“Ya, gue juga.” “Itu akun gue.” “Bebas kali gue mau mainin siapa.” “Mau gue mainin karakter Mimi Peri juga hak gue.”

“Lo .. punya akun Mimi Peri?”

”... Kalo.” “Kalo. Kalo. Kalo.”

“Oh.” “Kirain.”

Hening, lagi.

Satu. Dua. Tiga. Empat. Lim─

“Oh. Ini minumnya, thanks.” “Berapa? Gue gantiin.”

“Nggak usah.” “Nyantai.”

Hening, lagi.

Baskara hampir meledak, ingin sekali ia kabur dari tempat ini jikalau bisa. Ingin segera kembali ke rumah, lalu memastikan akun [ MlNAMY0UI ] sudah masuk ke daftar akun yang ia blokir untuk tidak berinteraksi lagi.

Cakrawala? Sedih. Semua impiannya hancur. Setiap bayangannya akan sosok Sana yang manis kini buyar, hancur tanpa sisa. Digantikan dengan sosok laki-laki berpundak lapang dan tato di leher kanannya.

Kulit putihnya, sih, mirip.

YA, MASA SANA TATOAN? TUHAN. JAHAT BANGET.

𝑳𝒂𝒍𝒂𝒍𝒂- 𝒍𝒂𝒍𝒂𝒍𝒂𝒍𝒂- 𝒍𝒂𝒍𝒂 𝒍𝒂𝒍𝒂𝒍𝒂𝒍𝒂- ♪ ♫

Intro yang sudah teramat dikenal terdengar di seluruh penjuru gerai Starbucks. Apa lagi, kalau bukan Dance The Night Away dari Twice.

Baskara yang semula hanya mengedarkan pandang secara asal ke sekeliling, kini tanpa sadar mengetuk-ngetukkan jemarinya ke atas meja; mengikuti ritme nada yang mengalun dari lagu. Cakrawala? Tidak jauh berbeda, ia sedang menggerakkan kepala ke kanan dan kini. Mengikuti alunan nada lagu, walaupun hanya samar-samar saja.

“Eh.” “Lo waktu Jihyo ke-gap Dispatch, nangis berapa jam?”

Pertanyaan aneh? Tidak, kok. Buktinya, Cakrawala, si penerima pertanyaan tidak terlihat kaget. Dia malah bersikap santai sebelum akhirnya menjawab, “Berapa, ya? Tiga jam, kali, ya?”

“Masih kalah sama gue.” “Gue lima jam. Sensi juga tiap ketemu orang yang namanya Daniel. Pengen gue bejek-bejek.”

“Gue lebih sedih pas itu, sihㅡ apa, ya?” Cakrawala menggumam sejenak sebelum akhirnya melanjutkan, “Mina hiatus sampe diem di Jepang, lama. Gue kehausan update, anjir.”

“Aaaah.” “Paham banget, tuh, gue.” “Pas liat si Mina balik di Feel Special terus senyum di adegan bareng Chaeyoung, gue tersentuh banget. Kayak liat istri kasih senyum pas pulang kerja. Adem.”

“Istri gue, wey.” “Enak aja ngaku-ngaku.”

“...” “Iya. Gue yayang Sana aja.”

“Yayang?” “Amit-amit. Jijik, bet.”

“Emang lo nggak ada sebutan begitu buat Mina?”

“Ada.” “Bunda.”

“BUNDA?!” “ANJIR. HAHAHAHA.” “GELI BANGET, ANJRIT.”

“Lebih jijik yayang, nyet!” “Apaan yayang-yayang? Peyang sekalian.”

Satu tawa tercipta dari satu topik pembahasan. Tawa lainnya tercipta lagi dari topik bahasan yang berbeda. Entah sejak kapan, gelas kopi dingin di atas meja yang ditempati Baskara dan Cakrawala sudah kosong dan bertambah dengan gelas kopi lainnya.

Entah sejak kapan, mereka bersikap bagai teman lama. Entah sejak kapan, mereka tertawa akan hal yang hanya dipahami oleh keduanya. Entah sejak kapan, muncul pertanyaan yang mungkin tidak pernah mereka duga sebelumnya.

“Nama lo siapa?”

“Cakra.” “Cakrawala.” “Lo?”

“Baskara.”

Kisah mereka, tidak berhenti. Kisah mereka, baru dimulai. Sekarang. Saat ini. Dengan kau, jadi saksi.

ㅤ      「 PIM 2 : 13.40 WIB 」

Satu jam empat puluh menit. “Sekalian aja dua jam-in.”

Laki-laki itu tinggi, dengan tangan kiri yang memegangi album FEEL SPECIAL dari Twice dan tangan kanan menggenggam cup transparan berisi Java Chip Frappuccino. Di lengannya, tergantung kantung plastik dengan lambang Starbucks tertera di sana.

Cakrawala, masih berdiri di depan lobby Pondok Indah Mall 2 semenjak pukul setengah dua belas. Kakinya pegal, tubuhnya sudah mulai berkeringat. Beruntung, kemeja flanel berwarna merah yang dikenakannya hanya digunakan sebagai kenaan luar. Di bagian dalam, ia mengenakan kaus tipis berwarna putih. Lumayan untuk memberi pertukaran udara ke tubuhnya sendiri.

Sedari tadi, pandangannya hanya tertuju ke arah pintu masuk yang dilalu-lalangi oleh berbagai macam mobil. Bukan sekali dua kali ia menemukan gadis berpakaian biru, namun tidak ada satupun dari mereka yang membawa album FEEL SPECIAL di tangan kanan.

Apa dia benar-benar tidak datang, ya? Apa dia benar-benar kecewa ketika tahu bahwa Mina yang selama ini dikenalinya adalah laki-laki? Apa iya, begitu?

Di lain tempat, Baskara masih berlari. Berusaha menerobos barisan kendaraan yang seakan tidak ada habisnya. Ia harus bergegas. Sudah terlalu lama Mina-nya menanti. Tidak boleh sampai terlambat lagi.

Sial. Sial. Sial. Pilihan yang salah untuk mengenakan jaket berwarna biru. Kenaannya itu membuat ia kepanasan bukan main. Pasti sekarang penampilannya sudah berantakan. Pasti.

Biarpun begitu, tangan kanan Baskara masih menggenggam satu kotak berkesan warna emas. Album FEEL SPECIAL. Dari semua barang yang ia miliki saat ini, Baskara tidak boleh kehilangan ini.

Ini adalah satu-satunya cara bagi ia untuk bertemu sang gadis impiannya. Dengan dia, Mina-nya. ㅤ

ㅤ      「 PIM 2 : 13.40 WIB 」

Satu jam empat puluh menit. “Sekalian aja dua jam-in.”

Laki-laki itu tinggi, dengan tangan kiri yang memegangi album FEEL SPECIAL dari Twice dan tangan kanan menggenggam cup transparan berisi Java Chip Frappuccino. Di lengannya, tergantung kantung plastik dengan lambang Starbucks tertera di sana.

Cakrawala, masih berdiri di depan lobby Pondok Indah Mall 2 semenjak pukul setengah dua belas. Kakinya pegal, tubuhnya sudah mulai berkeringat. Beruntung, kemeja flanel berwarna merah yang dikenakannya hanya digunakan sebagai kenaan luar. Di bagian dalam, ia mengenakan kaus tipis berwarna putih. Lumayan untuk memberi pertukaran udara ke tubuhnya sendiri.

Sedari tadi, pandangannya hanya tertuju ke arah pintu masuk yang dilalu-lalangi oleh berbagai macam mobil. Bukan sekali dua kali ia menemukan gadis berpakaian biru, namun tidak ada satupun dari mereka yang membawa album FEEL SPECIAL di tangan kanan.

Apa dia benar-benar tidak datang, ya? Apa dia benar-benar kecewa ketika tahu bahwa Mina yang selama ini dikenalinya adalah laki-laki? Apa iya, begitu?

Di lain tempat, Baskara masih berlari. Berusaha menerobos barisan kendaraan yang seakan tidak ada habisnya. Ia harus bergegas. Sudah terlalu lama Mina-nya menanti. Tidak boleh sampai terlambat lagi.

Sial. Sial. Sial. Pilihan yang salah untuk mengenakan jaket berwarna biru. Kenaannya itu membuat ia kepanasan bukan main. Pasti sekarang penampilannya sudah berantakan. Pasti.

Biarpun begitu, tangan kanan Baskara masih menggenggam satu kotak berkesan warna emas. Album FEEL SPECIAL. Dari semua barang yang ia miliki saat ini, Baskara tidak boleh kehilangan ini.

Ini adalah satu-satunya cara bagi ia untuk bertemu sang gadis impiannya. Dengan dia, Mina-nya. ㅤ

ㅤ      「 D-1 」 ㅤ Guling kiri. Guling kanan. Pindah posisi, masih dirasa tidak nyaman. Bangun? Mengantuk, sumpah. Ingin sekali pejamkan mata, demi apapun.

Namun, hal itu sepertinya tidak bisa diterapkan untuk dua lelaki yang kini tengah gusar di atas kasurnya masing-masing. Baskara dan Cakrawala, nama mereka.

Di atas kasurnya, Baskara masih terus bergerak gusar. Berbalik ke kanan, lalu berguling ke kiri. Guling dalam pelukannya dipindahkan dari yang semula diapit pada paha ke kepalanya. Menutupi mata, seperti enggan menatap langit-langit kamar padahal lampu sudah dimatikan.

Di tempat yang berbeda, ada ia yang bernama Cakrawala. Melakukan hal yang hampir serupa. Bedanya, kegusaran Cakrawala tidak separah lelaki yang satunya. Ia hanya duduk bersandar ke kepala tempat tidur dan memandangi sepotong kemeja flanel berwarna merah dengan corak hitam yang ia sampirkan pada bangku kayu di kamarnya.

Besok, baju itu akan menjadi petunjuk bagi seseorang untuk menemukan dirinya. Besok, baju itu akan menjadi saksi pertemuan pertamanya dengan sosok nyata dari seseorang yang ia panggil dengan sebutan ( 사나 언니 ) selama setahun ke belakang. Besok, semua akan terjadi.

Cakrawala mengubah posisi duduknya, kini menjadi memeluk lutut yang ia tekuk. Tatapannya tidak lepas dari arah kemeja, membayangkan akan sebagaimana indahnya sosok yang akan ia temui esok hari. Apa akan semanis Sana yang aslinya?

Mungkin, iya. Karena cara menulis ╱Sana╱ sangat manis. Manis. Manis. Maaaanis. Namun, kalaupun sosok yang akan ia temui besok berbeda jauh dengan yang ia bayangkan, Cakrawala tidak akan mengeluh. Toh' menambah teman bukan sebuah kesalahan, 'kan?

Baskara? Dia juga sama. Di balik bantal yang menutupi matanya, ia membayangkan sosok seseorang yang akan ia temui esok hari. Sosok di balik akun Mina, yang ia kenali semenjak setahun lalu.

Pasti─ sosok yang akan Baskara temui besok semanis yang terlihat dan memberi pesan serta mention di twitternya selama setahun ke belakang, 'kan?

Tentu. Pasti.

Jadi, Baskara juga tidak akan muncul dengan penampilan memalukan esok hari. Baju kemeja santai berwarna biru dongker dan album FEEL SPECIAL dari TWICE sudah tersimpan rapi di atas nakas samping tempat tidurnya.

Besok, ia akan muncul di hadapannya sebagai pangeran berkuda putih yang tampan.

Itu yang dipikirkan Baskara. Itu juga yang dipikirkan Cakrawala.

Sayang. Tidak ada putri untuk diselamatkan oleh dua pangeran berkud putih ini. Mungkin yang tersisa hanyalah peperangan?

Mungkin. Mungkin saja, begitu.

Ayo, kita lihat jawabannya besok.