ㅤㅤ
「 Mereka. 」
ㅤ
“Sakit!”
“A-aa! A! Aa! Sakit!”
“Sumpah! Pelan sedikit!”
“Kalo gue diamputasi gimanㅡHMMPH!”
“Mulut lo, tuh, amputasi!”
Segala gerutuan Baskara segera terhenti ketika Cakrawala menutup mulutnya dengan perban yang ada di kotak P3K. Kesal sendiri, padahal sedari tadi Cakrawala sudah sangat berhati-hati ketika mengoleskan salep untuk luka bekas tersiram air panas di kaki Baskara. Namun laki-laki itu benar-benar seperti anak kecil, sedikit-sedikit merengek.
Heran.
Badannya saja besar.
Manjanya? Bukan main.
“Manja bener, heran.”
Kaki Baskara kini terbujur lurus di atas sofa sementara Cakrawala duduk di bawah, akibat mengolesi salep ke kaki yang lebih tua. “Apaan, sih? Beginian doang jugㅡ”
“Gue rebus air terus siramin ke kaki lo juga, mau? Biar ngerasain?”
Sontak, Cakrawala langsung bungkam dan memilih untuk memunggungi Baskara. Duduk menghadap ke arah televisi yang terletak persis di depan sofa. Diam, tidak berkata apa-apa.
“Nggak dingin? Naik aja ke sofa, kenapa, sih? Gue nggak rabies, lagian.”
“Nggak.”
“Di sini aja, adem.”
Baskara bukan lelaki tanpa sopan-santun. Ia tidak sebegitu lancangnya untuk membiarkan tamu duduk di lantai sementara ia duduk di sofa. Maka dipilih olehnya untuk turun, duduk bersebelahan dengan Cakrawala. “Nih.” Diberikan sebuah bantal kecil kepada si lelaki yang lebih muda, agar merasa lebih nyaman.
“Thanㅡ”
Tiba-tiba saja, Cakrawala teringat akan sesuatu. Bundanya! Bunda Minanya!
“Album gue.”
“Di mana?”
“Oh, bener.”
“Hampir lupa.”
“Ada di kamar. Bentar.”
“Gue bangun dulㅡ”
“Gue aja.”
“Lo diem, mendingan.”
“Jangan banyak jalan.”
Sedikit tersentuh, Baskara. Namun itu hanya untuk sekilas karena kini Cakrawala berujar ketus, “lagian gue males denger lo aaahㅡ ahhㅡ ahhㅡ begitu. Lo keseringan nonton bokep, apa? Makanya suara ngaduh kesakitan aja kayak orang lagi ngedesah.”
Mulut Cakrawala, tetap panas seperti biasanya. Sialan.
Sementara itu, si lelaki jangkung yang lebih muda beranjak dari posisi duduknya. Berjalan ke arah kamar tidur Baskara yangㅡ bagaimana menjelaskannya, ya?
Rapi. Sungguh, rapi.
Namun seperti ada rasa sepi yang menyelimuti ruang itu. Rasa seperti kesepian yang teramat sangat, rasa sepertiㅡ meraung ingin ditemani. Ingin direngkuh.
“Lo ngapain malah diem?” Baskara, kini sudah berdiri di belakang Cakrawala. Membuat si lelaki yang lebih muda sontak terkejut dan menoleh ke belakang. Lebih terkejut lagi ketika melihat Baskara ada di sana, dan ..
“ANJIㅡW-WAA! WAAA!”
“Eh! Eh! Eh!”
“Awaㅡ!”
Brugh.
”...”
Deg.
“...”
Deg.
Deg.
”...”
Deg.
Deg.
Deg.
“...”
Tidak ada yang bersuara diantara keduanya, sehingga debaran jantung Baskara dan Cakrawala terdengar lebih jelas dibandingkan apapun. Terlebih, dengan Baskara yang kini menindih tubuh Cakrawala yang (secara tidak sengaja) terbaring di atas kasur miliknya.
Sumpah.
Sumpah.
Sumpah.
Dari jarak sebegini, Baskara baru menyadari bahwa leher Cakrawala benar-benar jenjang. Baskara baru tahu, bagaimana bibir si lelaki yang ditindihinya ini terlihat sangatㅡ argh, bagaimana menjelaskannya?
Merah.
Terlihat manis.
Apakah benar, manis?
Cakrawala juga tidak kalah paniknya. Tubuh Baskara di atasnya terasaㅡ berat, namun ia tidak merasa keberatan untuk merasakannya. Kenapa, tanyamu? Karena dari jarak segini, Cakrawala bisa menghirup bau yang sedari tadi ia bingungkan.
Jujur saja, sedari tadi Cakrawala mencium bau manis. Harum seperti apel yang bercampur dengan jeruk. Aneh, harum yang aneh. Namun entah mengapa membuat Cakrawala ingin menciuminya terus menerus.
Awalnya, ia kira semua itu harum yang berasal dari pewangi ruangan di unit apartemen Baskara. Namun barusan, ketika Baskara menindih tubuhnya dan mereka hanya terpisah jarak seminim iniㅡ Cakrawala baru menyadari bahwa harum itu datang dari Baskara.
Entah dari mana.
Apa dari harum sabun yang digunakannya? Atau harum shampoo yang ia pakai? Atau memangㅡ harum Baskara memang seperti itu?
Sumpah.
Sumpah.
Sumpah.
Boleh, tidak, Cakrawala membenamkan wajah pada leher lelaki di atasnya ini? Ia ingin tahu, harum itu berasal dari mana!
Sumpah.
Sumpah.
Sumpah.
Boleh tidak Baskara membuktikan apakah bibir lelaki di bawahnya ini benar manis atau tidak? Bolehㅡ tidak?
“Anu ..”
Cakrawala membuka suara, mencoba membuat situasi yang tengah terjadi menjadi tidak begitu membuat mereka kikuk. Namun, percuma. Tepat ketika Cakrawala membuka mulut, Baskara malah secara perlahan memajukan wajahnya.
Perlahan.
Menghampiri Cakrawala.
Sumpah. Tidak bohong. Cakrawala yang semula berniat untuk berteriak atau meninju Baskara kini malah memejamkan mata, rapat-rapat. Nafasnya tertahan, membuatnya sesak. Namun Cakrawala tidak berani menghirup nafas karena ia yakin harus manis dari apel yang bercampur dengan jeruk itu pasti sekarang semakin dapat ia cium.
Semakin Cakrawala menghirupnya, semakin ia merasa dimabukkan. Semakin Cakrawala menghirupnya, semakin ia menginginkan lebih.
Sementara itu, wajah Baskara perlahan menghampiri Cakrawala. Pandangannya hanya terfokus pada bibir si lelaki yang lebih muda darinya. Sungguh, Tuhan memikirkan apa ketika menciptakan lelaki bernama Cakrawala ini?
Kulit putihnyaㅡ Tuhan. Apakah Baskara akan menjadi pendosa jika ia mengakui bahwa ia ingin sekali memberi bercak kemerahan di kulit putih Cakrawala? Terlebih, pada lehernya?
Kemudian bibirnyaㅡ Tuhan, izinkan Baskara bertanya sekali lagi. Apakah ia akan dianggap hina jika ia mengakui bahwa ia ingin memagut bibir Cakrawala yang merah itu? Apakah ia akan dianggap keterlaluan jika ia ingin membiarkan lidah mereka bertemu dan saling bergumul, memberi kepuasan antara satu sama lain?
Apakah .. boleh?
“Hhㅡ”
Cakrawala terlihat mengerang kecil, entah karena apa. Baskara yang melihat situasi itu dari atas, sempat menghentikan sejenak gerakannya. Lelaki di bawahnya ini menahan nafas, tubuhnya bergetar.
Takut?
Atau bagaimana?
“Hei.”
“Gapapa.”
“Lo aman.”
Bibir Baskara berujar demikian, namun wajahnya tetap bergerak mendekati wajah Cakrawala. “Tapi izinin gue buktiin rasa penasaran gue, ya?”
Satu kecupan didaratkan ke bibir Cakrawala. Benar-benar kecupan kecil. Hanya sepersekian detik, namun cukup untuk membuat Baskara merasakan candu ingin mendapatkan lebih. Hingga tidak sampai satu detik setelahnya, ia kembali mendaratkan kecupan di bibir Cakrawala.
Dua kali. Perlu dua kali kecupan hingga rasa penasaran Baskara terbuktikan. Bahwa memang benar, bibir Cakrawala manis.
Manis.
Sangat manis.
Terlampau manis.
Sementara itu, di bawah kungkungan tubuh Baskaraㅡ Cakrawala masih terdiam. Kedua mata masih terpejam, walaupun kini nafasnya mulai terembus perlahan.
Barusan, ketika bibir Baskara menyentuh bibirnyaㅡ Cakrawala merasakan seluruh tubuhnya seakan disengat listrik ribuan volt. Terdengar berlebihan? Mungkin. Yang pasti, Cakrawala merasakan semua yang asing di tubuhnya.
Yang familiar baginya sekarang, paling hanya harum apel serta jeruk yang bergabung dan kini kembali menghampiri indera penciumannya. Harumnya, Baskara.
“Buka aja matanya.”
“Gue nggak ngapa-ngapain.”
Ucapan Baskara tidak segera dituruti oleh Cakrawala. Maksudnya, siapa tahu laki-laki itu sudah siap menyerangnya lagi atau bagaimana, 'kan? Hingga beberapa detik berlalu dan tidak ada sentuhan apapun pada wajahnya, Cakrawala perlahan membuka matanya. Mengintip.
Benar.
Baskara memang tidak melakukan apa-apa, namun tubuhnya masih berada tepat di atas tubuh Cakrawala. Kedua tangan kekarnya berada di sisi tubuh yang lebih muda, masih mengkungkung. “Nggak ngapa-ngapain, 'kan?”
“Iya.”
Jawaban yang diberi oleh Cakrawala benar-benar diucapkan dengan pelan. Sangat pelan, bahkan lebih dapat disebut cicitan daripada ujaran.
Cakrawala mengerjap sekali. Lampu di kamar tidur Baskara berada tepat di atas si lelaki, membuat pantulan yang menyilaukan sehingga menjadikan sosoknya terlihat sama gemerlapnya.
Cakrawala tidak paham, setan apa yang memasuki tubuhnya ketika tangan kanannya terangkat. Bergerak ke arah kepala Baskara dan mengusapi rambutnya, lembut.
Rambut lelaki ini halus, pikir Cakrawala. Sangat halus, hingga membuat Cakrawala mempertanyakanㅡ apakah wajar seorang lelaki memiliki rambut sehalus ini?
Bukannya Baskara tidak terkejut akan perlakuan Cakrawala. Sumpah demi apapun, ia terkejut. Tubuhnya seperti membeku hingga tidak dapat bergerak sama sekali.
Bagi seorang Baskara, menghabiskan waktu di atas tempat tidur bersama seseorang bukanlah hal yang asing untuk dilakukan. Bersama Rachel, khususnya. Baskara sudah melakukan hubungan intim dengan gadis itu mungkin entah berapa kali, saking seringnya.
Namun sentuhan dari Rachel tidak pernah ada yang membuat Baskara seakan membeku di tempat. Tidak, tidak hanya sentuhan dari Rachel. Sentuhan dari mereka semua yang pernah mendaratkan tangannya di tubuh Baskara, tidak pernah ada yang demikian.
Baru dia.
Baru Cakrawala.
Baskara tidak tahu apakah Cakrawala yang menuntun kepalanya untuk turun menghampiri si yang lebih muda atau bagaimana, namun kini kepala Baskara kembali bergerak menghampiri wajah Cakrawala.
Kali ini ke lehernya.
Dengan perlahan dan lembut memberi kecupan kecil di sana, sesekali menghisap dan menggigiti leher jenjang dan putih milik Cakrawala.
Jika tadi Baskara berpikir bibir Cakrawala manis, maka leher Cakrawala adalah madu. Lebih daripada manis, lebih membuat candu.
Ingin lebih.
Baskara ingin lebih.
Cakrawala?
Dia tidak tahu harus bagaimana. Separuh dari kewarasannya meminta untuk tetap sadar dan memerintahkan untuk mendorong lelaki di atasnya ini menjauh. Namun separuh dari kewarasannya takluk akan perintah dari nafsu yang terlampau menguasai diri.
Baskara memperlakukannya dengan terlalu lembut. Tidak memaksa. Tidak menuntut. Namun membuat Cakrawala merasa seperti dibutuhkan. Seperti dihargai sebanyak-banyaknya segala hal berarti di dunia.
“A-aah ..”
“Nnhㅡ”
Cakrawala ingin merutuki dirinya sendiri yang kini malah mengerang, biarpun pelan. Kenapa ia malah memberi pertanda bahwa ia menikmati segala sentuhan Baskara, sih?
“Hm?”
“Enak?”
Jangan jawab, Cak!
Jangan! Jangan! Jangaㅡ
“Hm-mm.”
Nalar kembali melawan. Akal sehat kembali tidak berfungsi. Alih-alih menjawab tidak, Cakrawala malah menggumam mengiyakan. Entah sudah bagaimana wajahnya kini. Entah sudah seberapa merah rona wajahnya sekarang. Entah. Sungguh, entah.
Baskara?
Gila. Baskara gila.
Hilang akal sehatnya ketika melihat Cakrawala menganggukkan kepala. Mengakui bahwa setiap cumbuannya barusan memberikan kepuasan baginya sendiri.
Gila.
Gila.
Gila.
“Lagi.”
Ujaran Cakrawala barusan bahkan dianggap sama sekali tidak masuk akal untuk si pembicaranya sendiri. “Lagi. Cium lagi.”
Tidak hanya Baskara yang gila. Cakrawala juga kini sama gilanya. Mereka berdua, gila.
Senyum tipis terulas di bibir Baskara sebelum akhirnya kembali menghampiri wajah si yang lebih muda. Mengecupi dahi, kedua mata, puncak hidung, pipi (tepatnya, di lesung pipi), hingga akhirnya berlabuh di bibir Cakrawala.
Kali ini tidak hanya kecupan. Pagutan diberi, juga bibir yang menuntun Cakrawala untuk membuka mulut agar Baskara dapat melesakkan lidah ke dalam sana. Memberi kenikmatan lebih, membiarkan akal sehat mereka semakin menghilanㅡ
“Baskara!”
“Bas! Woy!”
“Lo di dalem, nggak?”
“Kok pintunya kebuka?”
“Bas! Nggak apa-apa?”
”...”
“...”
”...”
“Lo nggak kunci pintunya?”
“Mana gue tau caranya, anjir.”
“Lo yang punya apartemen!”
“Baskara!”
“Gue masuk, ya!”
“MAMPUS!”
“BANGUN!”
“BANGUN!”
“SEMBUNYI!”
“BURUAN!”
Cakrawala tidak paham dengan apa yang tengah terjadi. Kenapa Baskara harus sepanik ini? Jika memang itu temannya, tinggal bertingkah saja seperti biasa. Sewajarnya. Tidak perlu berlebihan.
“Lo kenapa, siㅡ anjir! Sakit, nyet! Jangan tarik-tarik begitu, laㅡ lah? Lah? Lo mau bawa gue ke manㅡ heh! Kok lemari?! Wey! Heh! Gue kenapa dimasukin lemari?! Heh! Buka, nggak?! Bangsat! Kenapa dikunci?! BASKARA!”
“Diem!”
“Sumpah, please!”
“Ini permohonan gue!”
“Tolong diem bentar!”
“Oke?”
Tidak memiliki pilihan lain, Cakrawala memilih menuruti ucapan Baskara. Oke, ia akan paksa Baskara membeberkan semua ketika semua sudah selesai. Toh' lelaki itu pasti tidak akan membiarkan Cakrawala mati terkurung di sini, 'kan?
Beberapa detik setelahnya, selain suara Baskaraㅡ terdengar suara seorang laki-laki lain. Seperti tidak asing, pikir Cakrawala. Namun, ah, siapapun bisa punya suara yang mirip, bukan? Sudahlah, jangan dipedulikan.
Samar terdengar perbincangan Baskara dengan kawannya. Mereka seperti membicarakan perbincangan yang serius karena kini suara Baskara seperti meninggiㅡ menandakan ada sesuatu yang tengah terjad ...
Tunggu.
Suara apa itu?
Seperti kepakan sayap?
Suara apa itㅡ
“...”
“KECOAK!”
“ANJING! ADA KECOAK!”
“KECOANYA TERBANG!”
“HEH! BUKA PINTUNYA!”
“BASKARA!”
“ADA KECOA! TERBANG!”
“BUKA! KECOANYA GEDE!”
“BASKARA! BAㅡ”
Bugh.
Cakrawala jatuh terjerembab di atas lantai. Salahkan pintu lemari yang dibuka tiba-tiba ketika ia tengah menggedor tanpa melihat situasi. Lupakan rasa sakit yang menyerang tubuhnya akibat jatuh barusan. Lupakan. Ia ingin merutuki Baskara karena mengurungnya di lemari yang ditempati kecoak di dalamnya.
“BASKARA!”
“ANJING EMANG YA Lㅡ”
Kalimat terputus ketika Cakrawala melihat sosok yang berdiri di hadapannya. Tinggi, seperti Baskara. Tegap, seperti Baskara. Namun orang itu bukan Baskara.
Dia ...
“Bang Tristan?”