dontlockhimup

ㅤ      「 Cakrawala. 」

Awalnya, Cakrawala hanya ingin mengambil buku catatan miliknya yang tertinggal di ruang tamu apartemen milik Baskara.

Awalnya, pula, Cakrawala hanya ingin meletakkan sekotak terang bulan dengan isi coklat-keju ke atas meja makan di apartemen milik Baskara. Bukan apa-apa, sih. Cakrawala hanya teringat situasi ketika lelaki itu berujar ingin menyantap kue terang bulan.

Awalnya, Cakrawala hanya ingin melakukan dua hal itu lalu kembali menuju hotel yang Baskara pesankan khusus untuknya tinggal selama dua hari.

Selama koleganya datang, kata dia.

Namun, Cakrawala terkesiap ketika terdengar suara pintu yang dibuka. Bukan karena ia takut ketahuan atau apaㅡ akan tetapi Cakrawala merasa malu jika ketahuan bahwa dia sengaja datang ke sini karena ingin mengantarkan kue terang bulan untuk Baskara.

Perhatian? Cish! Tidak! Tidak! Tidak, kok! Ini hanya bentuk balas budi.

Maka dengan tergesa, Cakrawala segera berderap menuju kamar Baskara. Kembali bersembunyi di lemari kamar si lebih tua dan berharap bisa keluar dari sana ketika Baskara tengah mandi nanti.

Awalnya, rencana Cakrawala sesederhana itu.

Hingga akhirnya, terdengar suara lenguh dari sepasang laki-laki dan perempuan dari arah pintu masuk. Seakan tengah dimabuk kenikmatan dunia tiada tara.

Hati Cakrawala seakan mencelos ketika mendengar suara si gadis menyebutkan nama Baskara. Meminta diperlakukan dan diberi kenikmatan lebih, melenguh keras.

Sekejap, Cakrawala merasa nafasnya seakan berhenti. Seperti pasokan oksigen di dunia menghilang dan tidak memberinya cukup udara untuk bernafas walau hanya sekejap.

Dadanya sakit. Sakit. Bukan main.

Tanpa ia sadari, tangan kanannya bergerak mencengkeram baju di sisi kiri dadanya. Nafasnya sesak. Tersengal, tidak jelas ritmenya.

Suara dari pintu masuk, kini mulai terdengar lebih jelas. Semakin jelas ketika ada suara debuman kecil, seperti ada sesuatu yang didorong ke atas ranjang.

Apa? Ada apa? Apa yang sedang terjadi?

Cakrawala ingin tahu, namun pintu lemari menghalangi semua pandangannya. Tidak ada celah untuknya melihat apa yang terjadi di luar sana. Namun, kalaupun ada celahㅡ Cakrawala tidak yakin ia akan kuat melihat apa yang tengah terjadi.

Karena menit setelahnya, di tengah suara lenguh si perempuan yang ia tidak ketahui siapaㅡ ada suara lenguhan Baskara.

Ada Baskara, di sana. Ada Baskara, bertingkah seenak dan semaunya. Ada Baskara, yang tengah menikmati segalanya. Ada Baskara, yang tidak tahu tengah menyakiti hati Cakrawala.

Di tengah segala kekalutannya, Cakrawala meraih saku celana dan mengeluarkan ponselnya dari sana.

Memberi jawaban, untuk pertanyaan yang diberi Baskara perihal kebahagiaan.

ㅤ      「 Baskara. 」

“Chel.” “Rachel.” “Nanti. Jangan di sini.”

Baskara menjenjangkan lehernya. Terpaksa, garis bawahi itu. Alasannya? Karena gadis ini, Rachel, tengah mengecupi lehernya dengan seduktif padahal mereka masih di dalam mobil yang terparkir di bandara internasional Soekarno Hatta.

Seakan belum cukup membuat Baskara kerepotan, Rachel malah semakin berulah. Tangannya bergerak ke arah kancing celana yang dikenakan si lelaki, berusaha membukanya dengan sedikit tergesa. “Hnn. Mau jilat, Bas.”

“Chel.” “Chel.” “Masih di bandara.” “Nggak lucu kalau kamu sama aku diarak ke bagian keamanan gara-gara kepergok ML di parkiran.”

Percuma. Rachel tidak mempedulikan ucapan Baskara. Sedikitpun, sepertinya tidak. Tangan gadis itu masih bergerak di sekitar kejantanan Baskara yang terbungkus celana jeans hitam, seakan berniat menggoda.

“Mau hisap.” “Mau jilat.” “Mau semuanya dari kamu.”

Tepat setelah kalimat diujarkan, Rachel segera mendaratkan bibirnya di bibir Baskara. Awalnya hanya gigitan kecil, hingga perlahan berubah menjadi lumatan dan pergumulan lidah diantara keduanya.

Tangan Rachel seakan tidak mau kalah. Usahanya membuahkan hasil, kancing celana Baskara berhasil dibuka dan membebaskan milik Baskara untuk dimanjakan oleh tangan si gadis. “Bas.”

“Ayo.” “Sebentar aja.”

Rachel menegakkan posisi duduknya di bangku penumpang, tidak lain hanya untuk menurunkan tali dress yang ia kenakan. Masih dalam usahanya menggoda Baskara, sepertinya.

Baskara? Jujur saja, ia pun tergoda. Ayolah, ia hanya laki-laki pada umumnya. Diberi godaan seperti Rachel yang bertubuh molek dan wajah rupawan, siapa yang tidak akan tergoda, sih?

Namun, bagaimana ini?

Tawa Cakrawala malah terbersit sekilas di pikirannya. Disertai senyum berbentuk bulan sabit dan lesung di kedua sisi pipi, membuat Baskara tiba-tiba pusing bukan main.

“Chel.” “Nanti, ya?” “Di apartemen aja.” “Biar kamunya lebih nyaman.” “Nggak enak, 'kan, tempatnya sempit begini? Badan kamu sakit, nanti.”

Usapan kecil diberi dari tangan Baskara ke pipi si gadis. Entah membujuk atau hanya sekedar mencari alasan agar aktivitas birahi mereka tidak terlaksana. “Nanti, ya?”

Rachel terlihat kecewa, namun senyum manis masih terulas di bibirnya. Kepalanya terangguk, membuat Baskara sedikit merasa lega.

Senyuman Rachel manis. Lelaki manapun pasti akan tergoda dan luluh untuk senyumannya. Senyuman Rachel, dengan deretan giginya yang rapih dan tawanya yang renyah juga mempesona.

Semestinya, siapapun takluk. Semestinya, siapapun jatuh. Semestinya, siapapun luluh.

Semestinya, begitu.

Lalu, kenapa Baskara tidak begitu?

***

Panas, teramat sangat. Gerah, bukan main.

Ciuman Rachel kali ini terlampau bernafsu. Sumpah, baru kali ini Baskara kebingungan harus membalas tindakan gadis ini dengan bagaimana.

Padahal mereka berdua baru saja sampai di apartemen, itupun dengan Baskara yang baru saja sempat memutar kenop pintu unitnya. Namun Rachel, gadis ini, langsung mendorong tubuh Baskara agar tersudut ke pojok ruangan. Mendesaknya untuk segera beradu lumatan pada bibir dan menurunkan celana si lelaki dengan gesit.

Dalam hati, Baskara selalu bertanya-tanyaㅡ sesungguhnya sudah seberapa banyak lelaki yang menemani malam-malam Rachel sehingga ia seperti sangat terbiasa untuk melakukan hal seperti itu, sih?

“A-ahhㅡ” “ㅡche-l..”

Sebisa mungkin, Baskara berusaha untuk mengendalikan libidonya. Sebisa mungkin, Baskara berusaha mengingatkan dirinya sendiri bahwa ia masih bingung dengan 'perasaan'nya sendiri. Sebisa mungkiㅡ

Sialan. Rachel sialan.

Tidak mungkin Baskara bisa menahan diri ketika mulut gadis itu memanjakan miliknya dengan teramat lihai! Tidak mungkin Baskara bisa mengatakan tidak dan menolak segala tindakan Rachel ketika gadis itu kini membuka pakaiannya sendiri dan menjepit miliknya dengan kedua buah dadanya yang sintal!

“Bas ..” “Enak banget, Bas.” “Ayo, Bas. Aku nggak bisa tahan ..”

Tidak mungkin Baskara bisa mempertahankan akalnya ketika gadis itu menatap dari bawah, dengan pandangan memohon, dan suara serak karena sudah terlanjur dimakan oleh nafsu!

Tidak mungkin bisa. Siapapun, tidak ada yang bisa.

Dengan satu tarikan kasar, Baskara menarik tangan Rachel dan mendorongnya kuat ke atas ranjang. Lihat, bagaimana sosok setengah telanjang dari gadis itu membuat tubuh Baskara seakan panas bukan mainㅡ!

Lihat, bagaimana gadis itu memainkan buah dadanya sendiri dan memberi tatapan penuh menggoda kepada Baskara yang tengah melepaskan kancing kemejanya sendiri. Lihat, bagaimana semua yang dia lakukan membuat Baskara pusing bukan kepalang.

Satu. Suara decitan dari ranjang yang bergoyang terdengar. Dua. Ketukan intens dari ranjang yang beradu dengan permukaan lantai seakan membuat harmoni dengan lenguh dari dua insan yang dibasuhi peluh kenikmatan. Tiga. Di tengah semua itu, ada satu orang yang terisak dalam diam. Sesak, dalam bungkam.

Cakrawala.

ㅤ      「 Mereka. 」

“Gue bisa sendiri.” “Gapapa, heh.”

“Udah, sini.” “Badan lo ceking begitu.” “Ntar tulang lo patah, gimana?” Baskara berujar seraya meraih koper berukuran cukup besar dari tangan Cakrawala. Koper milik Cakrawala terlihat sudah cukup tua, usang. Bahkan kaitan yang biasa digunakan untuk menarik koper pun sudah rusak sehingga Cakrawala membawa kopernya sembari dijinjing. Kelihatan kerepotan, sungguh.

“Lo sebenernya khawatir sama gue atau pengen ngejekin gue, sih?”, tanya Cakrawala, sedikit ketus. Sekali lagi, ia berusaha merebut koper miliknya dari tangan Baskara namun tenaga lelaki itu terlalu kuat untuk dilawan. Maka, yaㅡ sudahlah. Cakrawala tidak ingin tenaganya sia-sia untuk suatu hal yang sudah pasti dan jelas hasil akhirnya.

“Khawatir.” Ujaran Baskara sempat membuat Cakrawala terdiam. Namun itu hanya untuk beberapa detik karena kalimat Baskara selanjutnya adalah, “1%. Sisa 99%nya pengen ngejekin.”

Tuhan. Kuatkan hamba. Kuatkan hamba. Kuatkan hambamu yang bernama Cakrawala ini, ya Tuhan.

Pintu bagasi ditutup. Debumannya benar-benar halus, membuat Cakrawala sempat berpikirㅡ seapik apa Baskara merawat mobilnya hingga segalanya terlihat sangat bagus? “Yuk?”, ajak Baskara seraya menepukkan tangannya beberapa kali. “Berangkat.”

Si lelaki yang lebih tua berjalan mendahului, membuat Cakrawala mengikuti langkahnya untuk kemudian duduk di bangku samping pengemudi. Mungkin baru beberapa detik semenjak Cakrawala mendudukkan dirinya di jok mobil, tiba-tiba Baskara sudah bergerak menghampirinya.

Sebelum Cakrawala sempat menyadari situasi apa yang terjadi, Baskara sudah menarik tali sabuk pengaman di samping kiri yang lebih muda dan memasangkannya ke pengait. “Pake, takut kenapa-kenapa.”

Hhh. Hhh. Hhh. Sumpah. Sumpah. Barusan ada bau apel dan jeruk (lagi) yang memasuki indera penciuman Cakrawala. Saat Baskara meraih tali sabuk pengaman, pas sekaliㅡ leher si lelaki itu lewat di hadapannya. Membuat mata Cakrawala menangkap pemandangan leher putih nan jenjang, disertai beberapa titik hitam kecil di tempat yang tersebar.

Lalu ketika Baskara mengaitkan tali sabuk pengaman pada tempatnya, kepala si lelaki itu berada tepat di depan wajahnya. Membuat surai rambut si lelaki yang lebih tua hampir bersentuhan dengan hidung Cakrawala. Kalian tahu apa yang menyebalkan? Harum jeruk bercampur apel itu semakin tercium jelas dari rambutnya! Heran, apa lelaki ini mandi dan keramas menggunakan wdressroom 49?!

Tanpa sadar, tangan Cakrawala mencengkeram tali sabuk pengaman yang kini terbentang di dada. Berusaha menenangkan degup berlebihan pada jantungnya. Aduhㅡ apa lebih baik ia batalkan keinginannya untuk pindah, ya? Baru naik mobil saja, degupannya sudah sebegini bergemuruh. Bagaimana jika nanti sudah tinggal serumah, coba?!

“Lo kenapa?” “Keringetan.”

“Hah?” “Nggak! Nggak apa-apa!” “Gue suka grogi naik mobil bagus.”

“Mobil bagus?” “Fortuner doang, wey.” “Gimana lo dibawa naik Alphard atau Tesla? Kejang-kejang, kali, ya?”

“Kali.” “Bisa jadi.”

Tidak. Cakrawala tidak sekampungan itu. Namun jika alasan demikian bisa menyamarkan perihal jantungnya yang berdegup sangat cepat, alasan apapun tidak masalah. Dianggap kampungan pun tidak mengapa.

“Pft.” Baskara tertawa kecil, sebelum akhirnya melanjutkan kalimat. “Santai, lah. Bukan mobil gue, lagian. Gue nggak punya mobil, aslinya.”

“Oh, ya?”, tanya Cakrawala. “Mobil siapa, emang?”

“Mobil orang.”

”...” “Lo kira monyet naik mobil?” “Ya, mobil orang, lah! Maksud gue, temen lo baik banget sampai mau pinjemin mobil begini.”

“Yaa.” “Begitulah.”

Pembicaraan terhenti. Baik Cakrawala dan Baskara, tidak ada yang memulai topik pembicaraan. Cakrawala hanya menatapi jalan raya menuju Setiabudi dari kaca jendela sebelah kiri, sementara Baskara? Fokus menyetir.

Lagu Feel Special yang mengalun di dalam mobil pun tidak membuat Cakrawala ataupun Baskara berinisiatif untuk membuka mulut. Entah itu untuk memuji member TWICE atau untuk membicarakan perihal lainnya.

Awalnya, Cakrawala tidak merasakan namun perlahan, ia sadarㅡ ekspresi wajah Baskara sedikit berubah semenjak ia mengangkat topik pembicaraan perihal 'teman'nya.

Baskara, tiba-tiba diam. Sesekali menggigiti kuku jarinya seraya sebelah tangan masih memegang setir kemudi.

Entah memang terlalu menaruh fokus akan aktivitasnya membelah jarak di jalan raya atau memikirkan hal lainnya, Cakrawala tidak tahu. Namun, sepertinya hal yang sangat serius.

Kenapa, tanyamu?

Karena ..

ㅤ      「 Mereka. 」

“Yakin, 'kan, nggak ketuker lagi?”, tanya Baskara kepada Cakrawala yang tengah memasukkan album Feel Special ke tas ransel hitamnya. “Cek lagi, coba.”

“Nggak.” “Tuh, bener.” “Postcardnya Mina.”

Cakrawala menunjukkan lembar kertas berukuran cukup besar yang berada di dalam albumnya, foto Mina. “Nggak bakal gue kehilangan Bunda lagi.”

“Hm-mm.” Baskara mengangguk-angguk kecil seraya menggumam. Badannya bersandar di daun pintu kamar tidurnya, sementara pandangan masih tertuju ke Cakrawala.

Lebih tepatnya, sih, ke arah leher jenjangnya. Jelas-jelas tercetak bekas ciuman darinya di sana. Merah. Entah, Baskara tidak tahu harus merasa bangga atau bingung karenanya. Bangga, karena ia berhasil memberi tanda di sana. Bingung, karena ia sendiri tidak tahu mengapa ia harus merasa bangga.

“Lo bisa dikepret sama Bang Tristan lagi kalo ngeliatin gue sampe sebegitunya,” ujar Cakrawala tanpa menoleh ke arah Baskara. Bahkan tanpa menoleh pun, ia sudah tahu bahwa lelaki jangkung dan kekar itu memperhatikannya dalam-dalam.

“Nggak.” “Cuma agak keganggu aja.” “Sama bekas merah di leher lo.”

Alis Cakrawala sedikit bertaut. Terganggu, katanya? Hell-o!!! Yang memberi bekas merah ini 'kan dia sendiri! Terganggu bagaimana, sih? Ada juga semestinya Cakrawala yang terganggu, lah.

“Tunggu.” “Sebentar.”

Baskara berujar cepat sebelum akhirnya berjalan menjauhi si lelaki yang lebih muda dengan langkah sedikit pincang. Oh, hampir saja Cakrawala lupa bahwa kaki lelaki itu sedang luka.

Cakrawala tidak perlu menunggu lama karena kini Baskara sudah kembali menghampiri dengan jaket berwarna coklat di tangan kanannya. Diserahkan kepada Cakrawala seraya berujar singkat, “nih. Pake.”

“...” “Buat apa?”

“Itu.” “Tutupin leher.” “Gue nggak mau Tristan ngomelin lo lagi.”

Tidak mau Tristan mengomeli Cakrawala? Bukan karena tidak ingin Tristan mengomeli dirinya sendiri? Tunggu, sejak kapan Baskara jadi seperhatian ini, sih? Apa kuah indomie yang tersiram ke kakinya menyebabkan salah satu syaraf yang tersambung ke otaknya menjadi rusak?!

Cakrawala tidak segera menerima sodoran jaket dari tangan Baskara. Menimbang sejenak, dengan mata yang menatap lekat ke arah jaket.

Ambil, tidak? Ambil, tidak? Ambil, tidaㅡ

“LO BERDUA KALO CUPANG CUPANGAN LAGI, GUE LAPOR RT SETEMPAT! CACAK! BURUAN LO KELUAR!”

Suara Tristan yang terdengar dari arah pintu keluar membuat ragu yang sempat menyerang Cakrawala segera hilang. Terpaksa hilang, lebih tepatnya. Hitungan sepersekian detik, Cakrawala segera menyambar jaket yang disodorkan oleh Baskara dan menyampirkan tali tas ranselnya ke pundak. Bersiap kembali ke kostnya, kebetulan ada Tristan yang berdia (atau mungkin- memaksa) untuk mengantarnya pulang. “Thanks.”

“Hm-mm.” “Hati-hati.” “Ngomong-ngomong, Cak ..”

“Apa?”

“Kita ..” “.. bisa ketemu lagi, 'kan?”

“...” “...” “Bisa.”

“Gue mesti balikin ini, 'kan?”

Cakrawala mengangkat jaket milik Baskara yang semula ada di dekapannya. Senyum terulas tipis di bibir Cakrawala, namun sudah cukup membuat lesung pipinya terlihat jelas, lagi. “Gue balikin sehabis gue laundry.”

Baskara? Sebisa mungkin, ia mencoba menahan senyuman lebarnya. Ingin tersenyum bahagia, namun rasa gengsi kembali membuatnya harus tahan-tahan diri. Jadi, Baskara hanya mengangguk kecil seraya terbatuk : berharap cara itu dapat membuat senyumannya dapat tersembunyikan. “Santai.”

“Oke.” “Gue pamit dulㅡ”

“WOI!” “CUPANG-AN LAGI, YA?!”

“BAWEL, ANJIR!” Baskara dan Cakrawala, keduanya berseru bersamaan jua melontarkan kalimat yang persis sama. Setelahnya, mereka sempat bertatapan sesaat walaupun pada akhirnya saling membuang muka. Entah karena apa.

Namun kini Baskara kembali terbatuk-batuk dan Cakrawala tengah mengenakan jaket milik si yang lebih tua. Mungkin sebagai pengalihan agar wajah merah keduanya tidak terlihat oleh masing-masing. Mungkin, begitu.

Namun sepertinya mengenakan jaket Baskara adalah keputusan yang salah. Karena kini indera penciuman Cakrawala segera menghirup harum apel bercampur jeruk yang sangat menusuk hidung. Harum Baskara yang barusan ia hirup dalam-dalam tatkala lelaki itu melabuhkan bibir ke lehernya.

Sungguh, sungguh. Cakrawala tidak bohong. Jaket Baskara kebesaran di tubuhnya, namun itu malah membuat ia merasa nyaman dan aman. Seakan Baskara tengah memeluki dirinya erat. Teramat sangat.

Baskara? Luluh. Sosok Cakrawala yang tengah mengenakan jaketnya terlihat sangatㅡ apa, ya? Menggemaskan.

Manis. Manis sekali. Harus berapa kali Baskara mengucapkan kata itu untuk mendeskripsikan segala hal tentang Cakrawala, coba?

“Cak.”

“Hm?”

“Lo mau, nggㅡ”

“GUE ITUNG SAMPE TIGA. LO NGGAK KELUAR JUGA, GUE PANGGIL KETUA RT SETEMPAT BUAT NYIDUK LO! SATU! DUA!”

Bangsat, Tristan! Bangsat kali, kau!

“Nggak.” “Nggak jadi.” “Nanti aja.”

“Oh.” Entah. Baskara barusan seperti mendengar ada nada kecewa dari ujaran Cakrawala barusan. Apa hanya perasaannya saja?

“Ya udah, gapapa.” “Gue pulang, ya?”

“Hati-hati.” “Sampai ketemu lagi.” “Segera.”

“Iya.” “Nggak usah nganter ke pintu depan. Lo di sini aja. Kasian kaki lo.”

Usai mengatakan itu, Cakrawala berbalik sebelum akhirnya berjalan menuju ke arah pintu keluar unit apartemen. Meninggalkan Baskara yang masih berdiri di pintu kamar tidurnya. Memandangi sosok si lelaki jangkung namun kurus itu berjalan menjauhinya.

Terdengar suara pintu ditutup dan langkah kaki yang berjalan menjauh. Jua suara Tristan yang seperti mengomeli Cakrawala.

Namun yang menjadi fokus situasi bukanlah itu. Kini, Baskara tengah tertawa seperti orang gila yang tersenyum lebar. Sangㅡaaaat lebar.

Segera, ia melompat ke atas kasur dan memeluki selimutnya. Ada harum Cakrawala di sana. Harumㅡ apa, ya? Anggur. Bercampur stroberi. Bau yang manis. Terlampau manis.

Rasa apa ini? Sumpah. Sumpah. Perasaan iniㅡ apa, sih?

Masih dalam posisi berbaring, Baskara meraih ponsel miliknya yang sedang ia isi dayanya semenjak Tristan datang ke apartemen. Tidak melakukan banyak, ia segera menekan ikon kakaotalk dan menemukan nama kontak Cakrawala di sana.

TB.

Tepung Beras? Bukan. Bukan itu. Sesungguhnya, TB adalah ..

ㅤ Tuhan, ini do'aku.

ㅤ      「 Jangan Ubah Takdirku. 」 ㅤ

Halo? Atau, selamat malam? Errㅡ nggak tahu mesti ngomong apa, saya baru pertama kali ngelakuin ini, soalnya.

Apa cara saya bersimpuh sudah benar? Tunggu, apa cara saya mengepalkan tangan juga sudah benar? Tunggu. Sudah benar, belum, sih?

Maaf. Maaf banget kalau salah. Ini kali pertama saya lakuin hal begini, karenaㅡ jujur .. saya nggak pernah kepikiran buat ngelakuinnya juga.

Tapi malam ini, saya dikasih tahu Sejun-ie hyungㅡ katanya, cuma katanya, katanya .. ketika dia gundah karena segala hal, cara satu-satunya biar perasaan itu hilang, ya, cuma berdoa.

Saya? Oh. Lupa beri penjelasan.

Kenalin, Tuhan. Saya Byungchan. Choi Byungchan, tepatnya. Usia 22 tahun, zodiak Scorpio. Member paling ganteng di Victoㅡ eh, nggak, sih. CEO kami malah beri title visual ke Sejun-ie hyung. Biarpun nggak bisa dipungkiri kalau dia memang ganteng, sih, tapi lebih ganteng sayㅡ

Oh. Oke. Tuhan pasti udah tau, ya?

Kembali ke topik. Tuhan, jujur ajaㅡ ㅡsaya atheis.

Nggak percaya adanya Tuhan. Nggak tau kenapa juga, pokoknya ya begitu aja. Jangan tanya alasannya, ya, Tuhan? Please. Please banget. Lagi gunda gulana begini, kalau Tuhan ikut tanya alasan kenapa saya atheis nanti malah makin gundah, ini.

Tapi malam ini, saya cuma mau cerita tentang satu hal, Tuhan. Saya nggak tahu mau cerita ke siapa atau gimana. Soalnya .. gimana, ya?

Bingung. Gimana kalau orang anggap yang aneh-aneh tentang saya? Gimana kalau orang malah ngejauhin saya? Yang lebih penting, gimana kalau orang-orang kecewa sama saya?

Halah. Kebanyakan basa-basinya, ya? Oke. Gini, Tuhan. Langsung ke intinya aja, ya?

Tuhan. Tuhan. Tuhan.

Saya kangen dia. Seongwoo hyung. Kangen, banget. Keterlaluan kangennya.

Tuhan. Tuhan. Tuhan.

Saya titip dia di tangan-Mu. Tetap beri senyuman di wajahnya, ya? Jujur, saya khawatir sama kondisi lututnya. Takut dia kenapa-kenapa lagi, Tuhan. Tolong, tolooong bangetㅡ kalau misalnya dia sakit, tolong suruh dia lapor ke manager X1 supaya bisa diantar ke Rumah Sakit buat diperiksa.

Tolong, ya, Tuhan?

Lalu, Tuhan .. .. errrㅡ saya suka dia.

Seungwoo hyung. Saya suka dia. Entah suka sebagai apa. Entah ingin bagaimana juga.

Tapi, Tuhan, saya ingin semua kebahagiaan di dunia ini sampai ke dia. Semua keceriaan, semua tawa, semua kebaikan di dunia diberikan untuk dia. Untuk Seungwoo hyung.

Tuhan bisa bantu? Pasti bisa, 'kan?

Sedikit-sedikit aja. Jangan langsung sekaligus. Dia anaknya gampang nangis, tapi gengsi begitu, lho. Kalau sekaligus, takutnya dia pendam rasa sedih sama senangnya di dalam hati terus. Sedikit-sedikit aja, ya, Tuhan? Supaya dia nggak terlalu kaget dan nggak kebingungan cari cara buat ekspresiin perasaannya.

Sedikit-sedikit aja. Misalnya? Errrㅡ Tolong buat Hangyul nggak terlalu ngerecokin Seungwoo hyung pas di van, biar dia bisa tidur biarpun cuma sebentar di dalam bus. Tolong buat Eunsang nggak mukul-mukul paha Seungwoo hyung keras-keras pas lagi ketawa. Kadang aku khawatir kena lututnya, dia mukulnya kenceng lho, Tuhan.

Segala hal yang sederhana namun bermakna, tolong beri itu untuk dia, ya?

Tuhan. Aduh. Kok mau nangis, ya?

Tuhan. Rasanya sesak. Tahan perasaan ini sendirian. Sesak banget, Tuhan. Beneran.

Tuhan. Mungkin ini kali terakhir saya panjatkan doa. Mungkin ini kali terakhir saya bersimpuh sambil kepalkan tangan untuk memohon begini. Iya, tahu kok, lancang banget buat saya meminta banyak di kali pertama dan mungkin bisa jadi yang terakhir ini.

Tapi, Tuhan .. .. ini pengakuan saya.

Tolong, jangan marahi saya karena sekarang saya pinta satu minta yang mengada-ada.

Tuhan, kucinta dia. Kuingin bersamanya. Kuingin habiskan nafas ini, berdua dengannya.

Jangan ubah takdirku. Satukanlah hatiku dengan hatinya.

Bersama sampai akhir.

Amen.

ㅤㅤ      「 Mereka. 」

ㅤ “Sakit!” “A-aa! A! Aa! Sakit!” “Sumpah! Pelan sedikit!” “Kalo gue diamputasi gimanㅡHMMPH!”

“Mulut lo, tuh, amputasi!”

Segala gerutuan Baskara segera terhenti ketika Cakrawala menutup mulutnya dengan perban yang ada di kotak P3K. Kesal sendiri, padahal sedari tadi Cakrawala sudah sangat berhati-hati ketika mengoleskan salep untuk luka bekas tersiram air panas di kaki Baskara. Namun laki-laki itu benar-benar seperti anak kecil, sedikit-sedikit merengek.

Heran. Badannya saja besar. Manjanya? Bukan main.

“Manja bener, heran.”

Kaki Baskara kini terbujur lurus di atas sofa sementara Cakrawala duduk di bawah, akibat mengolesi salep ke kaki yang lebih tua. “Apaan, sih? Beginian doang jugㅡ”

“Gue rebus air terus siramin ke kaki lo juga, mau? Biar ngerasain?”

Sontak, Cakrawala langsung bungkam dan memilih untuk memunggungi Baskara. Duduk menghadap ke arah televisi yang terletak persis di depan sofa. Diam, tidak berkata apa-apa.

“Nggak dingin? Naik aja ke sofa, kenapa, sih? Gue nggak rabies, lagian.”

“Nggak.” “Di sini aja, adem.”

Baskara bukan lelaki tanpa sopan-santun. Ia tidak sebegitu lancangnya untuk membiarkan tamu duduk di lantai sementara ia duduk di sofa. Maka dipilih olehnya untuk turun, duduk bersebelahan dengan Cakrawala. “Nih.” Diberikan sebuah bantal kecil kepada si lelaki yang lebih muda, agar merasa lebih nyaman.

“Thanㅡ”

Tiba-tiba saja, Cakrawala teringat akan sesuatu. Bundanya! Bunda Minanya!

“Album gue.” “Di mana?”

“Oh, bener.” “Hampir lupa.” “Ada di kamar. Bentar.” “Gue bangun dulㅡ”

“Gue aja.” “Lo diem, mendingan.” “Jangan banyak jalan.”

Sedikit tersentuh, Baskara. Namun itu hanya untuk sekilas karena kini Cakrawala berujar ketus, “lagian gue males denger lo aaahㅡ ahhㅡ ahhㅡ begitu. Lo keseringan nonton bokep, apa? Makanya suara ngaduh kesakitan aja kayak orang lagi ngedesah.”

Mulut Cakrawala, tetap panas seperti biasanya. Sialan.

Sementara itu, si lelaki jangkung yang lebih muda beranjak dari posisi duduknya. Berjalan ke arah kamar tidur Baskara yangㅡ bagaimana menjelaskannya, ya?

Rapi. Sungguh, rapi. Namun seperti ada rasa sepi yang menyelimuti ruang itu. Rasa seperti kesepian yang teramat sangat, rasa sepertiㅡ meraung ingin ditemani. Ingin direngkuh.

“Lo ngapain malah diem?” Baskara, kini sudah berdiri di belakang Cakrawala. Membuat si lelaki yang lebih muda sontak terkejut dan menoleh ke belakang. Lebih terkejut lagi ketika melihat Baskara ada di sana, dan ..

“ANJIㅡW-WAA! WAAA!”

“Eh! Eh! Eh!” “Awaㅡ!”

Brugh.

”...” Deg.

“...” Deg. Deg.

”...” Deg. Deg. Deg.

“...”

Tidak ada yang bersuara diantara keduanya, sehingga debaran jantung Baskara dan Cakrawala terdengar lebih jelas dibandingkan apapun. Terlebih, dengan Baskara yang kini menindih tubuh Cakrawala yang (secara tidak sengaja) terbaring di atas kasur miliknya.

Sumpah. Sumpah. Sumpah.

Dari jarak sebegini, Baskara baru menyadari bahwa leher Cakrawala benar-benar jenjang. Baskara baru tahu, bagaimana bibir si lelaki yang ditindihinya ini terlihat sangatㅡ argh, bagaimana menjelaskannya?

Merah. Terlihat manis. Apakah benar, manis?

Cakrawala juga tidak kalah paniknya. Tubuh Baskara di atasnya terasaㅡ berat, namun ia tidak merasa keberatan untuk merasakannya. Kenapa, tanyamu? Karena dari jarak segini, Cakrawala bisa menghirup bau yang sedari tadi ia bingungkan.

Jujur saja, sedari tadi Cakrawala mencium bau manis. Harum seperti apel yang bercampur dengan jeruk. Aneh, harum yang aneh. Namun entah mengapa membuat Cakrawala ingin menciuminya terus menerus.

Awalnya, ia kira semua itu harum yang berasal dari pewangi ruangan di unit apartemen Baskara. Namun barusan, ketika Baskara menindih tubuhnya dan mereka hanya terpisah jarak seminim iniㅡ Cakrawala baru menyadari bahwa harum itu datang dari Baskara.

Entah dari mana. Apa dari harum sabun yang digunakannya? Atau harum shampoo yang ia pakai? Atau memangㅡ harum Baskara memang seperti itu?

Sumpah. Sumpah. Sumpah.

Boleh, tidak, Cakrawala membenamkan wajah pada leher lelaki di atasnya ini? Ia ingin tahu, harum itu berasal dari mana!

Sumpah. Sumpah. Sumpah.

Boleh tidak Baskara membuktikan apakah bibir lelaki di bawahnya ini benar manis atau tidak? Bolehㅡ tidak?

“Anu ..”

Cakrawala membuka suara, mencoba membuat situasi yang tengah terjadi menjadi tidak begitu membuat mereka kikuk. Namun, percuma. Tepat ketika Cakrawala membuka mulut, Baskara malah secara perlahan memajukan wajahnya.

Perlahan. Menghampiri Cakrawala.

Sumpah. Tidak bohong. Cakrawala yang semula berniat untuk berteriak atau meninju Baskara kini malah memejamkan mata, rapat-rapat. Nafasnya tertahan, membuatnya sesak. Namun Cakrawala tidak berani menghirup nafas karena ia yakin harus manis dari apel yang bercampur dengan jeruk itu pasti sekarang semakin dapat ia cium.

Semakin Cakrawala menghirupnya, semakin ia merasa dimabukkan. Semakin Cakrawala menghirupnya, semakin ia menginginkan lebih.

Sementara itu, wajah Baskara perlahan menghampiri Cakrawala. Pandangannya hanya terfokus pada bibir si lelaki yang lebih muda darinya. Sungguh, Tuhan memikirkan apa ketika menciptakan lelaki bernama Cakrawala ini?

Kulit putihnyaㅡ Tuhan. Apakah Baskara akan menjadi pendosa jika ia mengakui bahwa ia ingin sekali memberi bercak kemerahan di kulit putih Cakrawala? Terlebih, pada lehernya?

Kemudian bibirnyaㅡ Tuhan, izinkan Baskara bertanya sekali lagi. Apakah ia akan dianggap hina jika ia mengakui bahwa ia ingin memagut bibir Cakrawala yang merah itu? Apakah ia akan dianggap keterlaluan jika ia ingin membiarkan lidah mereka bertemu dan saling bergumul, memberi kepuasan antara satu sama lain?

Apakah .. boleh?

“Hhㅡ”

Cakrawala terlihat mengerang kecil, entah karena apa. Baskara yang melihat situasi itu dari atas, sempat menghentikan sejenak gerakannya. Lelaki di bawahnya ini menahan nafas, tubuhnya bergetar.

Takut? Atau bagaimana?

“Hei.” “Gapapa.” “Lo aman.”

Bibir Baskara berujar demikian, namun wajahnya tetap bergerak mendekati wajah Cakrawala. “Tapi izinin gue buktiin rasa penasaran gue, ya?”

Satu kecupan didaratkan ke bibir Cakrawala. Benar-benar kecupan kecil. Hanya sepersekian detik, namun cukup untuk membuat Baskara merasakan candu ingin mendapatkan lebih. Hingga tidak sampai satu detik setelahnya, ia kembali mendaratkan kecupan di bibir Cakrawala.

Dua kali. Perlu dua kali kecupan hingga rasa penasaran Baskara terbuktikan. Bahwa memang benar, bibir Cakrawala manis.

Manis. Sangat manis. Terlampau manis.

Sementara itu, di bawah kungkungan tubuh Baskaraㅡ Cakrawala masih terdiam. Kedua mata masih terpejam, walaupun kini nafasnya mulai terembus perlahan.

Barusan, ketika bibir Baskara menyentuh bibirnyaㅡ Cakrawala merasakan seluruh tubuhnya seakan disengat listrik ribuan volt. Terdengar berlebihan? Mungkin. Yang pasti, Cakrawala merasakan semua yang asing di tubuhnya.

Yang familiar baginya sekarang, paling hanya harum apel serta jeruk yang bergabung dan kini kembali menghampiri indera penciumannya. Harumnya, Baskara.

“Buka aja matanya.” “Gue nggak ngapa-ngapain.”

Ucapan Baskara tidak segera dituruti oleh Cakrawala. Maksudnya, siapa tahu laki-laki itu sudah siap menyerangnya lagi atau bagaimana, 'kan? Hingga beberapa detik berlalu dan tidak ada sentuhan apapun pada wajahnya, Cakrawala perlahan membuka matanya. Mengintip.

Benar. Baskara memang tidak melakukan apa-apa, namun tubuhnya masih berada tepat di atas tubuh Cakrawala. Kedua tangan kekarnya berada di sisi tubuh yang lebih muda, masih mengkungkung. “Nggak ngapa-ngapain, 'kan?”

“Iya.” Jawaban yang diberi oleh Cakrawala benar-benar diucapkan dengan pelan. Sangat pelan, bahkan lebih dapat disebut cicitan daripada ujaran.

Cakrawala mengerjap sekali. Lampu di kamar tidur Baskara berada tepat di atas si lelaki, membuat pantulan yang menyilaukan sehingga menjadikan sosoknya terlihat sama gemerlapnya.

Cakrawala tidak paham, setan apa yang memasuki tubuhnya ketika tangan kanannya terangkat. Bergerak ke arah kepala Baskara dan mengusapi rambutnya, lembut.

Rambut lelaki ini halus, pikir Cakrawala. Sangat halus, hingga membuat Cakrawala mempertanyakanㅡ apakah wajar seorang lelaki memiliki rambut sehalus ini?

Bukannya Baskara tidak terkejut akan perlakuan Cakrawala. Sumpah demi apapun, ia terkejut. Tubuhnya seperti membeku hingga tidak dapat bergerak sama sekali.

Bagi seorang Baskara, menghabiskan waktu di atas tempat tidur bersama seseorang bukanlah hal yang asing untuk dilakukan. Bersama Rachel, khususnya. Baskara sudah melakukan hubungan intim dengan gadis itu mungkin entah berapa kali, saking seringnya.

Namun sentuhan dari Rachel tidak pernah ada yang membuat Baskara seakan membeku di tempat. Tidak, tidak hanya sentuhan dari Rachel. Sentuhan dari mereka semua yang pernah mendaratkan tangannya di tubuh Baskara, tidak pernah ada yang demikian.

Baru dia. Baru Cakrawala.

Baskara tidak tahu apakah Cakrawala yang menuntun kepalanya untuk turun menghampiri si yang lebih muda atau bagaimana, namun kini kepala Baskara kembali bergerak menghampiri wajah Cakrawala.

Kali ini ke lehernya. Dengan perlahan dan lembut memberi kecupan kecil di sana, sesekali menghisap dan menggigiti leher jenjang dan putih milik Cakrawala.

Jika tadi Baskara berpikir bibir Cakrawala manis, maka leher Cakrawala adalah madu. Lebih daripada manis, lebih membuat candu.

Ingin lebih. Baskara ingin lebih.

Cakrawala? Dia tidak tahu harus bagaimana. Separuh dari kewarasannya meminta untuk tetap sadar dan memerintahkan untuk mendorong lelaki di atasnya ini menjauh. Namun separuh dari kewarasannya takluk akan perintah dari nafsu yang terlampau menguasai diri.

Baskara memperlakukannya dengan terlalu lembut. Tidak memaksa. Tidak menuntut. Namun membuat Cakrawala merasa seperti dibutuhkan. Seperti dihargai sebanyak-banyaknya segala hal berarti di dunia.

“A-aah ..” “Nnhㅡ”

Cakrawala ingin merutuki dirinya sendiri yang kini malah mengerang, biarpun pelan. Kenapa ia malah memberi pertanda bahwa ia menikmati segala sentuhan Baskara, sih?

“Hm?” “Enak?”

Jangan jawab, Cak! Jangan! Jangan! Jangaㅡ

“Hm-mm.” Nalar kembali melawan. Akal sehat kembali tidak berfungsi. Alih-alih menjawab tidak, Cakrawala malah menggumam mengiyakan. Entah sudah bagaimana wajahnya kini. Entah sudah seberapa merah rona wajahnya sekarang. Entah. Sungguh, entah.

Baskara? Gila. Baskara gila. Hilang akal sehatnya ketika melihat Cakrawala menganggukkan kepala. Mengakui bahwa setiap cumbuannya barusan memberikan kepuasan baginya sendiri.

Gila. Gila. Gila.

“Lagi.” Ujaran Cakrawala barusan bahkan dianggap sama sekali tidak masuk akal untuk si pembicaranya sendiri. “Lagi. Cium lagi.”

Tidak hanya Baskara yang gila. Cakrawala juga kini sama gilanya. Mereka berdua, gila.

Senyum tipis terulas di bibir Baskara sebelum akhirnya kembali menghampiri wajah si yang lebih muda. Mengecupi dahi, kedua mata, puncak hidung, pipi (tepatnya, di lesung pipi), hingga akhirnya berlabuh di bibir Cakrawala.

Kali ini tidak hanya kecupan. Pagutan diberi, juga bibir yang menuntun Cakrawala untuk membuka mulut agar Baskara dapat melesakkan lidah ke dalam sana. Memberi kenikmatan lebih, membiarkan akal sehat mereka semakin menghilanㅡ

“Baskara!” “Bas! Woy!” “Lo di dalem, nggak?” “Kok pintunya kebuka?” “Bas! Nggak apa-apa?”

”...”

“...”

”...”

“Lo nggak kunci pintunya?”

“Mana gue tau caranya, anjir.” “Lo yang punya apartemen!”

“Baskara!” “Gue masuk, ya!”

“MAMPUS!” “BANGUN!” “BANGUN!” “SEMBUNYI!” “BURUAN!”

Cakrawala tidak paham dengan apa yang tengah terjadi. Kenapa Baskara harus sepanik ini? Jika memang itu temannya, tinggal bertingkah saja seperti biasa. Sewajarnya. Tidak perlu berlebihan.

“Lo kenapa, siㅡ anjir! Sakit, nyet! Jangan tarik-tarik begitu, laㅡ lah? Lah? Lo mau bawa gue ke manㅡ heh! Kok lemari?! Wey! Heh! Gue kenapa dimasukin lemari?! Heh! Buka, nggak?! Bangsat! Kenapa dikunci?! BASKARA!”

“Diem!” “Sumpah, please!” “Ini permohonan gue!” “Tolong diem bentar!” “Oke?”

Tidak memiliki pilihan lain, Cakrawala memilih menuruti ucapan Baskara. Oke, ia akan paksa Baskara membeberkan semua ketika semua sudah selesai. Toh' lelaki itu pasti tidak akan membiarkan Cakrawala mati terkurung di sini, 'kan?

Beberapa detik setelahnya, selain suara Baskaraㅡ terdengar suara seorang laki-laki lain. Seperti tidak asing, pikir Cakrawala. Namun, ah, siapapun bisa punya suara yang mirip, bukan? Sudahlah, jangan dipedulikan.

Samar terdengar perbincangan Baskara dengan kawannya. Mereka seperti membicarakan perbincangan yang serius karena kini suara Baskara seperti meninggiㅡ menandakan ada sesuatu yang tengah terjad ...

Tunggu. Suara apa itu? Seperti kepakan sayap? Suara apa itㅡ

“...” “KECOAK!” “ANJING! ADA KECOAK!” “KECOANYA TERBANG!” “HEH! BUKA PINTUNYA!” “BASKARA!” “ADA KECOA! TERBANG!” “BUKA! KECOANYA GEDE!” “BASKARA! BAㅡ”

Bugh.

Cakrawala jatuh terjerembab di atas lantai. Salahkan pintu lemari yang dibuka tiba-tiba ketika ia tengah menggedor tanpa melihat situasi. Lupakan rasa sakit yang menyerang tubuhnya akibat jatuh barusan. Lupakan. Ia ingin merutuki Baskara karena mengurungnya di lemari yang ditempati kecoak di dalamnya.

“BASKARA!” “ANJING EMANG YA Lㅡ”

Kalimat terputus ketika Cakrawala melihat sosok yang berdiri di hadapannya. Tinggi, seperti Baskara. Tegap, seperti Baskara. Namun orang itu bukan Baskara.

Dia ...

“Bang Tristan?”

ㅤㅤ      「 Mereka. 」

ㅤ “Sakit!” “A-aa! A! Aa! Sakit!” “Sumpah! Pelan sedikit!” “Kalo gue diamputasi gimanㅡHMMPH!”

“Mulut lo, tuh, amputasi!”

Segala gerutuan Baskara segera terhenti ketika Cakrawala menutup mulutnya dengan perban yang ada di kotak P3K. Kesal sendiri, padahal sedari tadi Cakrawala sudah sangat berhati-hati ketika mengoleskan salep untuk luka bekas tersiram air panas di kaki Baskara. Namun laki-laki itu benar-benar seperti anak kecil, sedikit-sedikit merengek.

Heran. Badannya saja besar. Manjanya? Bukan main.

“Manja bener, heran.”

Kaki Baskara kini terbujur lurus di atas sofa sementara Cakrawala duduk di bawah, akibat mengolesi salep ke kaki yang lebih tua. “Apaan, sih? Beginian doang jugㅡ”

“Gue rebus air terus siramin ke kaki lo juga, mau? Biar ngerasain?”

Sontak, Cakrawala langsung bungkam dan memilih untuk memunggungi Baskara. Duduk menghadap ke arah televisi yang terletak persis di depan sofa. Diam, tidak berkata apa-apa.

“Nggak dingin? Naik aja ke sofa, kenapa, sih? Gue nggak rabies, lagian.”

“Nggak.” “Di sini aja, adem.”

Baskara bukan lelaki tanpa sopan-santun. Ia tidak sebegitu lancangnya untuk membiarkan tamu duduk di lantai sementara ia duduk di sofa. Maka dipilih olehnya untuk turun, duduk bersebelahan dengan Cakrawala. “Nih.” Diberikan sebuah bantal kecil kepada si lelaki yang lebih muda, agar merasa lebih nyaman.

“Thanㅡ”

Tiba-tiba saja, Cakrawala teringat akan sesuatu. Bundanya! Bunda Minanya!

“Album gue.” “Di mana?”

“Oh, bener.” “Hampir lupa.” “Ada di kamar. Bentar.” “Gue bangun dulㅡ”

“Gue aja.” “Lo diem, mendingan.” “Jangan banyak jalan.”

Sedikit tersentuh, Baskara. Namun itu hanya untuk sekilas karena kini Cakrawala berujar ketus, “lagian gue males denger lo aaahㅡ ahhㅡ ahhㅡ begitu. Lo keseringan nonton bokep, apa? Makanya suara ngaduh kesakitan aja kayak orang lagi ngedesah,”

Mulut Cakrawala, tetap panas seperti biasanya. Sialan.

Sementara itu, si lelaki jangkung yang lebih muda beranjak dari posisi duduknya. Berjalan ke arah kamar tidur Baskara yangㅡ bagaimana menjelaskannya, ya?

Rapi. Sungguh, rapi. Namun seperti ada rasa sepi yang menyelimuti ruang itu. Rasa seperti kesepian yang teramat sangat, rasa sepertiㅡ meraung ingin ditemani. Ingin direngkuh.

“Lo ngapain malah diem?”

“ANJIㅡW-WAA! WAAA!”

“Eh! Eh! Eh!” “Awaㅡ!”

Brugh.

”...” Deg.

“...” Deg. Deg.

”...” Deg. Deg. Deg.

“...”

Tidak ada yang bersuara diantara keduanya, sehingga debaran jantung Baskara dan Cakrawala terdengar lebih jelas dibandingkan apapun. Terlebih, dengan Baskara yang kini menindih tubuh Cakrawala yang (secara tidak sengaja) terbaring di atas kasur miliknya.

Sumpah. Sumpah. Sumpah.

Dari jarak sebegini, Baskara baru menyadari bahwa leher Cakrawala benar-benar jenjang. Baskara baru tahu, bagaimana bibir si lelaki yang ditindihinya ini terlihat sangatㅡ argh, bagaimana menjelaskannya?

Merah. Terlihat manis. Apakah benar, manis?

Cakrawala juga tidak kalah paniknya. Tubuh Baskara di atasnya terasaㅡ berat, namun ia tidak merasa keberatan untuk merasakannya. Kenapa, tanyamu? Karena dari jarak segini, Cakrawala bisa menghirup bau yang sedari tadi ia bingungkan.

Jujur saja, sedari tadi Cakrawala mencium bau manis. Harum seperti apel yang bercampur dengan jeruk. Aneh, harum yang aneh. Namun entah mengapa membuat Cakrawala ingin menciuminya terus menerus.

Awalnya, ia kira semua itu harum yang berasal dari pewangi ruangan di unit apartemen Baskara. Namun barusan, ketika Baskara menindih tubuhnya dan mereka hanya terpisah jarak seminim iniㅡ Cakrawala baru menyadari bahwa harum itu datang dari Baskara.

Entah dari mana. Apa dari harum sabun yang digunakannya? Atau harum shampoo yang ia pakai? Atau memangㅡ harum Baskara memang seperti itu?

Sumpah. Sumpah. Sumpah.

Boleh, tidak, Cakrawala membenamkan wajah pada leher lelaki di atasnya ini? Ia ingin tahu, harum itu berasal dari mana!

Sumpah. Sumpah. Sumpah.

Boleh tidak Baskara membuktikan apakah bibir lelaki di bawahnya ini benar manis atau tidak? Bolehㅡ tidak?

“Anu ..”

Cakrawala membuka suara, mencoba membuat situasi yang tengah terjadi menjadi tidak begitu membuat mereka kikuk. Namun, percuma. Tepat ketika Cakrawala membuka mulut, Baskara malah secara perlahan memajukan wajahnya.

Perlahan. Menghampiri Cakrawala.

Sumpah. Tidak bohong. Cakrawala yang semula berniat untuk berteriak atau meninju Baskara kini malah memejamkan mata, rapat-rapat. Nafasnya tertahan, membuatnya sesak. Namun Cakrawala tidak berani menghirup nafas karena ia yakin harus manis dari apel yang bercampur dengan jeruk itu pasti sekarang semakin dapat ia cium.

Semakin Cakrawala menghirupnya, semakin ia merasa dimabukkan. Semakin Cakrawala menghirupnya, semakin ia menginginkan lebih.

Sementara itu, wajah Baskara perlahan menghampiri Cakrawala. Pandangannya hanya terfokus pada bibir si lelaki yang lebih muda darinya. Sungguh, Tuhan memikirkan apa ketika menciptakan lelaki bernama Cakrawala ini?

Kulit putihnyaㅡ Tuhan. Apakah Baskara akan menjadi pendosa jika ia mengakui bahwa ia ingin sekali memberi bercak kemerahan di kulit putih Cakrawala? Terlebih, pada lehernya?

Kemudian bibirnyaㅡ Tuhan, izinkan Baskara bertanya sekali lagi. Apakah ia akan dianggap hina jika ia mengakui bahwa ia ingin memagut bibir Cakrawala yang merah itu? Apakah ia akan dianggap keterlaluan jika ia ingin membiarkan lidah mereka bertemu dan saling bergumul, memberi kepuasan antara satu sama lain?

Apakah .. boleh?

“Hhㅡ”

Cakrawala terlihat mengerang kecil, entah karena apa. Baskara yang melihat situasi itu dari atas, sempat menghentikan sejenak gerakannya. Lelaki di bawahnya ini menahan nafas, tubuhnya bergetar.

Takut? Atau bagaimana?

“Hei.” “Gapapa.” “Lo aman.”

Bibir Baskara berujar demikian, namun wajahnya tetap bergerak mendekati wajah Cakrawala. “Tapi izinin gue buktiin rasa penasaran gue, ya?”

Satu kecupan didaratkan ke bibir Cakrawala. Benar-benar kecupan kecil. Hanya sepersekian detik, namun cukup untuk membuat Baskara merasakan candu ingin mendapatkan lebih. Hingga tidak sampai satu detik setelahnya, ia kembali mendaratkan kecupan di bibir Cakrawala.

Dua kali. Perlu dua kali kecupan hingga rasa penasaran Baskara terbuktikan. Bahwa memang benar, bibir Cakrawala manis.

Manis. Sangat manis. Terlampau manis.

Sementara itu, di bawah kungkungan tubuh Baskaraㅡ Cakrawala masih terdiam. Kedua mata masih terpejam, walaupun kini nafasnya mulai terembus perlahan.

Barusan, ketika bibir Baskara menyentuh bibirnyaㅡ Cakrawala merasakan seluruh tubuhnya seakan disengat listrik ribuan volt. Terdengar berlebihan? Mungkin. Yang pasti, Cakrawala merasakan semua yang asing di tubuhnya.

Yang familiar baginya sekarang, paling hanya harum apel serta jeruk yang bergabung dan kini kembali menghampiri indera penciumannya. Harumnya, Baskara.

“Buka aja matanya.” “Gue nggak ngapa-ngapain.”

Ucapan Baskara tidak segera dituruti oleh Cakrawala. Maksudnya, siapa tahu laki-laki itu sudah siap menyerangnya lagi atau bagaimana, 'kan? Hingga beberapa detik berlalu dan tidak ada sentuhan apapun pada wajahnya, Cakrawala perlahan membuka matanya. Mengintip.

Benar. Baskara memang tidak melakukan apa-apa, namun tubuhnya masih berada tepat di atas tubuh Cakrawala. Kedua tangan kekarnya berada di sisi tubuh yang lebih muda, masih mengkungkung. “Nggak ngapa-ngapain, 'kan?”

“Iya.” Jawaban yang diberi oleh Cakrawala benar-benar diucapkan dengan pelan. Sangat pelan, bahkan lebih dapat disebut cicitan daripada ujaran.

Cakrawala mengerjap sekali. Lampu di kamar tidur Baskara berada tepat di atas si lelaki, membuat pantulan yang menyilaukan sehingga menjadikan sosoknya terlihat sama gemerlapnya.

Cakrawala tidak paham, setan apa yang memasuki tubuhnya ketika tangan kanannya terangkat. Bergerak ke arah kepala Baskara dan mengusapi rambutnya, lembut.

Rambut lelaki ini halus, pikir Cakrawala. Sangat halus, hingga membuat Cakrawala mempertanyakanㅡ apakah wajar seorang lelaki memiliki rambut sehalus ini?

Bukannya Baskara tidak terkejut akan perlakuan Cakrawala. Sumpah demi apapun, ia terkejut. Tubuhnya seperti membeku hingga tidak dapat bergerak sama sekali.

Bagi seorang Baskara, menghabiskan waktu di atas tempat tidur bersama seseorang bukanlah hal yang asing untuk dilakukan. Bersama Rachel, khususnya. Baskara sudah melakukan hubungan intim dengan gadis itu mungkin entah berapa kali, saking seringnya.

Namun sentuhan dari Rachel tidak pernah ada yang membuat Baskara seakan membeku di tempat. Tidak, tidak hanya sentuhan dari Rachel. Sentuhan dari mereka semua yang pernah mendaratkan tangannya di tubuh Baskara, tidak pernah ada yang demikian.

Baru dia. Baru Cakrawala.

Baskara tidak tahu apakah Cakrawala yang menuntun kepalanya untuk turun menghampiri si yang lebih muda atau bagaimana, namun kini kepala Baskara kembali bergerak menghampiri wajah Cakrawala.

Kali ini ke lehernya. Dengan perlahan dan lembut memberi kecupan kecil di sana, sesekali menghisap dan menggigiti leher jenjang dan putih milik Cakrawala.

Jika tadi Baskara berpikir bibir Cakrawala manis, maka leher Cakrawala adalah madu. Lebih daripada manis, lebih membuat candu.

Ingin lebih. Baskara ingin lebih.

Cakrawala? Dia tidak tahu harus bagaimana. Separuh dari kewarasannya meminta untuk tetap sadar dan memerintahkan untuk mendorong lelaki di atasnya ini menjauh. Namun separuh dari kewarasannya takluk akan perintah dari nafsu yang terlampau menguasai diri.

Baskara memperlakukannya dengan terlalu lembut. Tidak memaksa. Tidak menuntut. Namun membuat Cakrawala merasa seperti dibutuhkan. Seperti dihargai sebanyak-banyaknya segala hal berarti di dunia.

“A-aah ..” “Nnhㅡ”

Cakrawala ingin merutuki dirinya sendiri yang kini malah mengerang, biarpun pelan. Kenapa ia malah memberi pertanda bahwa ia menikmati segala sentuhan Baskara, sih?

“Hm?” “Enak?”

Jangan jawab, Cak! Jangan! Jangan! Jangaㅡ

“Hm-mm.” Nalar kembali melawan. Akal sehat kembali tidak berfungsi. Alih-alih menjawab tidak, Cakrawala malah menggumam mengiyakan. Entah sudah bagaimana wajahnya kini. Entah sudah seberapa merah rona wajahnya sekarang. Entah. Sungguh, entah.

Baskara? Gila. Baskara gila. Hilang akal sehatnya ketika melihat Cakrawala menganggukkan kepala. Mengakui bahwa setiap cumbuannya barusan memberikan kepuasan baginya sendiri.

Gila. Gila. Gila.

“Lagi.” Ujaran Cakrawala barusan bahkan dianggap sama sekali tidak masuk akal untuk si pembicaranya sendiri. “Lagi. Cium lagi.”

Tidak hanya Baskara yang gila. Cakrawala juga kini sama gilanya. Mereka berdua, gila.

Senyum tipis terulas di bibir Baskara sebelum akhirnya kembali menghampiri wajah si yang lebih muda. Mengecupi dahi, kedua mata, puncak hidung, pipi (tepatnya, di lesung pipi), hingga akhirnya berlabuh di bibir Cakrawala.

Kali ini tidak hanya kecupan. Pagutan diberi, juga bibir yang menuntun Cakrawala untuk membuka mulut agar Baskara dapat melesakkan lidah ke dalam sana. Memberi kenikmatan lebih, membiarkan akal sehat mereka semakin menghilanㅡ

“Baskara!” “Bas! Woy!” “Lo di dalem, nggak?” “Kok pintunya kebuka?” “Bas! Nggak apa-apa?”

”...”

“...”

”...”

“Lo nggak kunci pintunya?”

“Mana gue tau caranya, anjir.” “Lo yang punya apartemen!”

“Baskara!” “Gue masuk, ya!”

“MAMPUS!” “BANGUN!” “BANGUN!” “SEMBUNYI!” “BURUAN!”

Cakrawala tidak paham dengan apa yang tengah terjadi. Kenapa Baskara harus sepanik ini? Jika memang itu temannya, tinggal bertingkah saja seperti biasa. Sewajarnya. Tidak perlu berlebihan.

“Lo kenapa, siㅡ anjir! Sakit, nyet! Jangan tarik-tarik begitu, laㅡ lah? Lah? Lo mau bawa gue ke manㅡ heh! Kok lemari?! Wey! Heh! Gue kenapa dimasukin lemari?! Heh! Buka, nggak?! Bangsat! Kenapa dikunci?! BASKARA!”

“Diem!” “Sumpah, please!” “Ini permohonan gue!” “Tolong diem bentar!” “Oke?”

Tidak memiliki pilihan lain, Cakrawala memilih menuruti ucapan Baskara. Oke, ia akan paksa Baskara membeberkan semua ketika semua sudah selesai. Toh' lelaki itu pasti tidak akan membiarkan Cakrawala mati terkurung di sini, 'kan?

Beberapa detik setelahnya, selain suara Baskaraㅡ terdengar suara seorang laki-laki lain. Seperti tidak asing, pikir Cakrawala. Namun, ah, siapapun bisa punya suara yang mirip, bukan? Sudahlah, jangan dipedulikan.

Samar terdengar perbincangan Baskara dengan kawannya. Mereka seperti membicarakan perbincangan yang serius karena kini suara Baskara seperti meninggiㅡ menandakan ada sesuatu yang tengah terjad ...

Tunggu. Suara apa itu? Seperti kepakan sayap? Suara apa itㅡ

“...” “KECOAK!” “ANJING! ADA KECOAK!” “KECOANYA TERBANG!” “HEH! BUKA PINTUNYA!” “BASKARA!” “ADA KECOA! TERBANG!” “BUKA! KECOANYA GEDE!” “BASKARA! BAㅡ”

Bugh.

Cakrawala jatuh terjerembab di atas lantai. Salahkan pintu lemari yang dibuka tiba-tiba ketika ia tengah menggedor tanpa melihat situasi. Lupakan rasa sakit yang menyerang tubuhnya akibat jatuh barusan. Lupakan. Ia ingin merutuki Baskara karena mengurungnya di lemari yang ditempati kecoak di dalamnya.

“BASKARA!” “ANJING EMANG YA Lㅡ”

Kalimat terputus ketika Cakrawala melihat sosok yang berdiri di hadapannya. Tinggi, seperti Baskara. Tegap, seperti Baskara. Namun orang itu bukan Baskara.

Dia ...

“Bang Tristan?”

ㅤ      「 Mereka. 」

“Lo yakin ini mie?” “Bukan bubur bentuk panjang?” “Lo tinggalin bentar lagi, jadi bubur lembek ini.”

Baskara menatap si lelaki dari pinggir matanya, memberi tanda bahwa ia tidak suka dengan kalimat yang barusan diujarkan oleh Cakrawala. Bibir sedikit mengerucut namun kedua tangannya tetap menyendokkan dua porsi mie instan dari panci ke dua mangkuk yang berbeda. Satu untuknya, satu lagi untuk si tamu : Cakrawala.

“Bawel, ahelah.” “Ini juga 'kan gara-gara lo.”

“Kok gue?”

“Iyalah.” “Gue ajakin masuk, nolak.” “Tapi akhirnya masuk juga.” “Coba kalo iyain dari awal, nggak bakal gue tinggalin mienya kelamaan sampe mekar begini.”

“Lo yang maksa, ya,” Cakrawala menekankan nada pengucapannya, memastikan bahwa Baskara pahamㅡ dirinya masuk ke dalam apartemen si lelaki bukan karena bersedia namun sedikit banyak karena dipaksa. “Bukan gue yang ngajuin diri.”

“Ya. Ya. Ya.” Baskara berujar dengan nada tidak perduli seraya bergerak mengambil peralatan makan. Dua set. Satu-satunya yang ada di apartemennya. “Duduk dulu, gih.”

Bukannya Cakrawala tidak menyadari. Ia sadar bahwa semua yang ada di dalam apartemen Baskara, semua hanya ada sepasang. Sepertiㅡ apa, ya? Satu set. Seakan-akan hunian ini memang disengaja ada untuk dihuni oleh dua orang. Tidak lebih.

Lihat. Hanya ada dua buah piring, dua buah mangkuk, sepasang garpu dan sendok, dua buah gelas. Peralatan memasak pun tidak banyak, walaupun Cakrawala yakini bahwa yang paling sering dipakai Baskara hanya panci untuk merebus mie instan, sih.

Semua, ada sepasang. Tapi sepertinya tidak ada yang tinggal di sini lagi selain Baskara. Lalu, satu peralatan lainnya ini milik siapa?

“Cak.” “Cakrawala.”

“Hah?” “Apa?”

“Lo ngelamun melulu, perasaan. Gue bilang, lo duduk duluan aja. Kalau mau ambil minum, ya, ambil. Gelasnya ada di situ, tuh,” ujar Baskara seraya menunjuk ke arah kitchen set yang ada di sampingnya. Tepatnya, ke arah sepasang gelas yang ada di sana.

“Oh, iya.” Mungkin, mungkin Cakrawala masih terlalu sibuk dengan tebakannya sendiri perihal semua yang ada di apartemen Baskara sehingga ia berjalan dengan sedikit sempoyongan. Tidak lurus.

Sayangnya, Baskara terlalu sibuk dengan masing-masing ujung panci di tangannya hingga tidak waspada dengan keadaan sekitar. Sedikit-sedikit, kuah mie instan ditumpahkan ke mangkuk. Saking fokusnya, ketika Cakrawala tidak sengaja menyenggol bahu Baskara, pegangan si lelaki di ujung panci menjadi terlepas dan malah membuat kuahnya tumpah ke tempat yang tidak tepat.

Kemana, tanyamu?

Kakinya sendiri.

“BANGSAAAAT!” “PANAS! PANASSS!”

“Eh?!” “Eh?!” “Eh?! Kenapa lo?!”

Entah refleks atau bagaimana, Cakrawala berbalik dan segera menggenggam kedua tangan Baskara. Memeriksa punggung tangannya, sepertinya khawatir lelaki itu terkena luka bakar. “Tangan lo kenapa? Kebakar? Mananya? Hah? Mana?”

Semestinya Baskara berdebar. Semestinya jantung Baskara berdegup kencang. Namun sepertinya tidak akan demikian, karena ...

“ANJING, CAK!” “KAKI GUE YANG KENA!” “KAKI! KAKI! KAKI!” “LO INJEK! SAKIT!” “PANAS! PANAS! PANAAAS!”

“EH!” “SUMPAH SORRY!” “GA SENGAJA GUE!”

“BANGSAAAAT!” “SENGAJA YA LO, PASTI!”

“KAGAK!” “SUMPAH, GA SENGAJA!”

Entah. Hanya Cakrawala dan Tuhan yang tahu sengaja atau tidak.

ㅤ      「 𝐁𝐀𝐒𝐊𝐀𝐑𝐀 」 2O16, Klab.

“Baskara, ini Rachel.” “Rachel, ini Baskara.”

Belum juga sempat Baskara menyeka peluh di pelipisnya sebab kelelahan sehabis tampil di atas panggung barusan, seorang lelaki bertubuh tambun sudah menghampiri dirinya. Seorang gadis berparas rupawan dengan tubuh molek berdiri di samping lelaki tambun itu, terlihat sangat tidak cocok. Sungguh.

“Oh. Halo.” “Baskara.”

Tangan kanan diulurkan, berniat menjabat tangan si gadis sebagai bentuk perkenalan singkat. Si gadis membalas dengan segera, tidak terlihat jual mahal. Ia juga tersenyum manis, sungguh terlihat sangat sesuai dengan parasnya yang sudah memikat.

“Rachel,” balasnya dan segera dibalas dengan anggukan paham dari Baskara.

“Jadi, gimana kalau di test dulu sebelum saya ambil, Mas Hendro?” Rachel bertanya kepada si lelaki tambun di sebelahnya. Hendro, si pemilik klab tempat mereka berada sekarang mengangguk cepat. “Boleh, Chel. Boleh banget. Mau test di mana? Perlu Mas sediakan tempat?”

“Nggak usah.” Tepat setelah kalimat Rachel terputus, si gadis segera menghampiri Baskara dan merengkuh punggung lehernya. Cepat, seakan sudah sangat sering dan terbiasa melakukan, Rachel mencium bibir Baskara.

Pagutan pertama, bibir si gadis yang kini memagut bibir bawah si lelaki seakan menuntut untuk memintanya memberi jalan guna menjelajahi isi mulut si lawan pagut.

Pagutan kedua, akses diberikan. Baskara yang seakan paham dengan keinginan dan maksud si gadis segera membuka mulutnya, membiarkan lidah Rachel melesak masuk ke sana. Bergumul dengan lidahnya sendiri.

Tangan si lelaki mulai mencari nikmatnya sendiri. Yang semula hanya terdiam di samping diri, kini mulai bergerak dan meraba lekuk tubuh si gadis.

Hendro? Tidak terlihat kaget. Ia hanya berdiri tidak jauh dari Baskara dan Rachel yang tengah bertukar pagut dan memandanginya dengan pandanganㅡ bagaimana menjelaskannya? Datar. Seperti sudah terlalu sering melihat pemandangan seperti itu. Hendro kini hanya berdiri dengan kedua tangan terlipat di depan dada dan memasang wajah agak serius, seakan sedang menanti kabar yang sangat penting.

Mungkin sekitar satu menit Baskara dan Rachel saling bertukar pagut, itupun sudah ditambah dengan Baskara yang mengecupi leher Rachel dan meninggalkan beberapa bekas kemerahan di sana. Baskara cukup berani, tidak sekali dua kali ia mencuri kesempatan untuk meremas payudara Rachel. Seperti ingin memberi kenikmatan lebih kepada si gadis.

Sehingga ketika pergumulan bibir itu berakhir, baik Rachel dan Baskara sedikit terengah. Mungkin, sedikit bernafsu untuk melanjutkan namun paham bahwa keduanya masih berada di lingkungan klub yang ramai.

“Gimana, Chel?” “Barang bagus, 'kan?”

Rachel mengangguk, tangan kanannya masih mengusapi lengan Baskara yang terbalut jas hitam. Ekspresinya tenang. Begitupun ucapannya, sama tenangnya. “Bagus, Mas.”

“Dia kebanggaan Mas, lho, Chel. Banyak banget yang mau sama Baskara. Beneran, dia tuh' rebutannya cewek-cewek di sini.”

“Oh, ya?”, tanya Rachel, mengulang. Tangannya kini beranjak naik ke atas, mengusapi pipi kanan Baskara sebelum akhirnya ibu jari si gadis mengusapi bibir si lelaki. Bergerak seduktif. “Kayaknya aku tau kenapa cewek-cewek banyak yang mau sama dia, Mas.”

“Jadi gimana, Chel?”

Di lain sisi, Baskara hanya mampu terdiam. Tidak ada lagi yang bisa ia katakan, karena posisinya di situasi ini hanyalah sebagai barang. Bukan manusia yang punya hak untuk bicara dan memilih. Di sini, di situasi ini, Baskara harus diam.

Menerima setiap instruksi yang diberi. Menerima siapapun yang diberikan hak untuk (memiliki) dirinya. Baskara harus begitu.

“Mau sama Baskara?”

“Berapa, Mas?” “Mas hargain dia berapa?”

“Sistem biasa, Chel.” “Permintaan ini itunya, bisa kamu perbincangin sendiri sama Baskara. Itu hak kalian. Cuma kalau kamu kontrak dia lebih dari sebulanㅡ kamu harus bayar biaya (jasa) ke Mas.”

“Aku mau ..”

“Oh? Rachel mau?”

”.. kontrak dia seumur hidup.”

“Hah?” “Hah?” Baskara dan Hendro berujar bersamaan, mengutarakan keheranannya atas ujaran Rachel. “Gimana, Chel?”, tanya Hendro, ingin memastikan. “Kamu mau kontrak dia seumur hidup?”

“Iya.” “Seumur hidup.” “Biaya apapun, nggak masalah.” “Yang penting, dia .. sama aku.”

“Baskara, harus sama aku.” “Suka nggak suka.” “Mau nggak mau.” “Selamanya.”

ㅤ     
「 Mereka 」 ㅤ

Hening untuk beberapa detik. Cakrawala dan Baskara, mereka hanya saling bertatap tanpa kata hingga akhirnya Baskara melebarkan pintu. Memberi ruang agar Cakrawala dapat masuk.

“Masuk.” Tubuh sedikit dimundurkan, isyarat bahwa ia mempersilahkan Cakrawala masuk sebagai tamunya.

Tidak terlihat jelas, memang. Namun sesungguhnya kini Cakrawala tengah mengepalkan jemari tangan kirinya. Bingung mengambil keputusan. Sumpah, demi apapun─ jantungnya berdebar tidak karuan.

Baru di luar saja, debaran jantungnya sudah seberisik ini. Bagaimana jika ia masuk ke dalam, coba?

“Nggak usah.” “Gue mau ngasih ini doang.”

Penolakan dilayangkan, seiring dengan tangan kanan yang terjulur. Memberikan album Feel Special yang didalamnya terdapat postcard Sana, album milik Baskara. “Sama jemput Bunda.”

“Bunda lo di kamar,” balas Baskara seraya menerima album yang diulurkan oleh Cakrawala. “Mau gue ambilin?”, tanyanya, sementara tangannya membolak-balik isi album. Oh, benar. Postcardnya Sana, memang ini miliknya.

“Kalo lo nggak keberatan,” ujar Cakrawala, mencoba bersikap sopan.

“Ya udah. Gue ambilin.” “Lo beneran nggak mau masuk?” “Minum dulu atau ngapain, kek.”

“Kembung gue.” “Thanks.”

Bohong. Padahal alasan sebenarnya karena Cakrawala tidak tahu akan bagaimana kerja jantungnya jika masuk ke dalam apartemen. Sudalah, lebih baik begini daripada ambil resiko.

“Hm-mm.” “Gue ambil dulu.” “Pulangnya gue anter, ya?”

“Nggak usah, lah.” “Kuningan macet bener.” “Gue naik gojek aja.”

“Lo bisa naik gojek?” “Maksud gue, nggak kebawa angin? Terbang, gitu? Badan lo tipis begitu.”

Ingin merutuk. Jika saja Cakrawala tidak bisa menahan kesabaran, ingin rasanya ia mencakar wajah lelaki di hadapannya ini.

𝑆𝑎𝑏𝑎𝑟, 𝐶𝑎𝑘. 𝑆𝑎𝑏𝑎𝑟. 𝐵𝑢𝑛𝑑𝑎 𝑀𝑖𝑛𝑎 𝑑𝑖𝑠𝑎𝑛𝑑𝑒𝑟𝑎 𝑑𝑖𝑎. 𝑆𝑎𝑏𝑎𝑟. 𝑆𝑎𝑏𝑎𝑟. 𝑆𝑎𝑏𝑎𝑟. 𝐿𝑜 𝑔𝑒𝑔𝑎𝑏𝑎𝘩, 𝐵𝑢𝑛𝑑𝑎 𝑏𝑎𝘩𝑎𝑦𝑎.

“Bisa tolong ambilin, nggak?” “Kasian Bunda gue.”

Ambyar. Buyar. Tercecer. Pecah.

Hati Baskara buyar. Pikiran Baskara ambyar.

Barusan Cakrawala meminta dengan sangat─ sangat, saaaaaangat manis. Sampai rasanya lutut Baskara lemas. Bukan apa-apa, tapi lesung pipinya itu, lho. Baskara tahu kalau Cakrawala punya lesung pipi di kedua sisi tapi dia tidak sangka akan sedalam itu.

Dalam. Dalam. Dalam.

Sampai rasanya Baskara seperti didorong ke jurang dalam namun dengan perasaan yang menyenangkan.

“I- iya.” “Bentar.” “Gue ambilin.”

“Thanks.”

Baskara masuk dengan langkah tergesa. Dalam hati berharap, semoga Cakrawala tidak melihat bagaimana wajahnya merona barusan.

Sementara itu, Cakrawala hanya bersandar pada dinding di sebelah pintu masuk. Baskara meninggalkan pintu dalam posisi masih terbuka sehingga sekilas Cakrawala bisa melihat bagaimana desain di dalam apartemennya.

Didominasi warna putih, namun agak dihiasi dengan warna krem. Lumayan rapi.

“Cak!” “Cakra!”

“Woy?”

Dari dalam unit apartemen, Baskara sedikit berteriak. Suaranya agak samar, namun terdengar oleh Cakrawala. “Kenapa?”

“Hape gue di mana, ya?”

“Ya, mana gue tau?” “Lo aja nggak inget.” “Apalagi gue?” “Terakhir taro di mana?”

“Yeee.” “Kalo inget, ngapain gue nyari?” “Telfonin dong, Cak!”

“Nggak ada pulsa.”

“Pake kakao, ahelah!”

“Ooh.” “Ya. Ya. Ya.”

Merepotkan, pikir Cakrawala. Otaknya berpikir demikian namun tangannya tetap merogoh saku, memilih profil Baskara pada aplikasi kakaotalk untuk menelfonnya.

Satu. Duㅡ

Tidak sampai tiga detik semenjak panggilan tersambung, suara getar dan lagu Fancy milik Twice terdengar. Asalnya dari rak sepatu yang ada di samping pintu masuk, sepertinya Baskara tidak sengaja meninggalkan ponselnya di sana ketika berbincang dengan Cakrawala.

Namun yang membuat alis Cakrawala bertaut kecil bukanlah karena letak ponsel yang ada di atas rak sepatu, namun barisan nama yang tertera di ponsel Baskara sekarang.

TB.

“Lah! Ada di situ, rupanya!” “Parah. Lupa gue, main taro aja.”

“TB?” “Lo namain gue apaan?”

“Oh, itu?” “TB. Tepung Beras.” “Lo 'kan Cakra Kembar Premium.”

“...” “Lo minta disantet beneran?”

“Lha. Bener, 'kan?” “Daripada Cak. Cak.” “Emang lo cicak?”

“Ya, udah. Ya, udah.” “Mana Bunda gue?”

“Masih di kamar.” “Lupa. Keburu panik pas tau hape gue ilang. Banyak koleksi bokepnya, bisa gawat kalau kesebar.”

“...” “Ambilin.”

“Masuk aja dulu, lah.” “Sekalian gue lagi masak, kali lo mau makan bareng. Lumayan banyak porsinya.”

𝑇𝑢𝘩. 𝑇𝑢𝘩. 𝑇𝑢𝘩. 𝑇𝑢𝘩, 𝑘𝑎𝑛. 𝑇𝑢𝘩, 𝑘𝑎𝑛. Cakrawala berdebar lagi.

“Ya?” “Gue sepi makan sendirian.” “Bosen, nggak ada temen makan.”

𝐴𝑑𝑢𝘩. 𝑆𝑢𝑚𝑝𝑎𝘩. 𝑃𝑎𝑟𝑎𝘩. 𝐼𝑛𝑖 𝑔𝑖𝑚𝑎𝑛𝑎 𝑐𝑎𝑟𝑎𝑛𝑦𝑎 𝑎𝑡𝑢𝑟 𝑑𝑒𝑔𝑢𝑝 𝑗𝑎𝑛𝑡𝑢𝑛𝑔, 𝑠𝑖𝘩?!

“Ya, udah.” “Boleh.”

“Makan bareng? Bisa?” “Pulangnya gue anter.” “Janji.”

𝑁𝑔𝑔𝑎𝑘 𝑢𝑠𝑎𝘩 𝑙𝑜 𝑛𝑔𝑜𝑚𝑜𝑛𝑔𝑖𝑛 𝑗𝑎𝑛𝑗𝑖-𝑗𝑎𝑛𝑗𝑖 𝑝𝑎𝑘𝑒 𝑚𝑢𝑘𝑎 𝑏𝑒𝑔𝑖𝑡𝑢, 𝑚𝑜𝑛𝑦𝑒𝑡! 𝑆𝑢𝑚𝑝𝑎𝘩! 𝑁𝑔𝑔𝑎𝑘 𝑠𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑝𝑎 𝑖𝑡𝑢 𝑚𝑢𝑘𝑎 𝑠𝑒𝑘𝑎𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑙𝑎𝑔𝑖 𝑚𝑎𝑛𝑖𝑠 𝑏𝑎𝑛𝑔𝑒𝑡? 𝐻𝑎𝘩?! 𝐿𝑜 𝑛𝑔𝑔𝑎𝑘 𝑛𝑦𝑎𝑑𝑎𝑟 𝑎𝑝𝑎 𝑘𝑎𝑙𝑎𝑢 𝑏𝑖𝑏𝑖𝑟 𝑙𝑜 𝑝𝑎𝑠 𝑙𝑎𝑔𝑖 𝑠𝑒𝑛𝑦𝑢𝑚 𝑡𝑢𝘩 𝑘𝑒𝑡𝑎𝑟𝑖𝑘𝑛𝑦𝑎 𝑙𝑒𝑏𝑎𝑟 𝑏𝑎𝑛𝑔𝑒𝑡?! 𝐾𝑎𝑦𝑎𝑘 𝑗𝑜𝑘𝑒𝑟! 𝑇𝑎𝑝𝑖 𝑗𝑜𝑘𝑒𝑟 𝑣𝑒𝑟𝑠𝑖 𝑙𝑢𝑐𝑢! 𝐸𝘩, 𝑚𝑎𝑛𝑎 𝑎𝑑𝑎 𝑗𝑜𝑘𝑒𝑟 𝑣𝑒𝑟𝑠𝑖 𝑙𝑢𝑐𝑢, 𝑠𝑖𝘩?! 𝑇𝑢𝘩, 𝑘𝑎𝑛! 𝐺𝑢𝑒 𝑛𝑔𝑜𝑚𝑜𝑛𝑔 𝑎𝑝𝑎𝑎𝑛, 𝑠𝑖ㅡ

“Cak.” “Hoi.”

Jentikan jari yang dilakukan oleh Baskara sontak membuat Cakrawala tersadar dari lamunannya. “Lo ngelamun?”

“Nggak.” “Nggak ngelamun.”

“Oh.” “Ya udah, ayo masuk.” “Masakannya hampir beres, sih.”

“Ya udah.” “Gue bantuin.” “Lo bisa masak?”

“Bisa, lah.” “Masak mie. Masak air.”

“...” “Emang sekarang lagi masak apaan lo?”

“Masak mie.”

“Lo tinggal di apartemen elit begini tapi makannya tetep mie instan? Nggak malu sama biaya sewa apartemen?”

“Biasa aja. Makanan restoran juga nggak ada yang bisa ngalahin indomie kuah kari pake telor dua plus potongan cabe rawit.”

Untuk kali ini, Cakrawala setuju. Jadi ia hanya diam sementara kakinya melepaskan sepatu yang dikenakan, bersiap masuk ke dalam ruang unit apartemen.

“Ngomong-ngomong, batere hape lo udah mau abis, tuh. Tadi gue sempet liat, tinggal satu persen doang, kayaknya.”

“Oh, ya?” “Lah, bener. Pas banget lo ngomong, hapenya mati.” Baskara memperlihatkan layar ponselnya yang kini gelap ke arah Cakrawala, kemudian tertawa kecil. “Pas banget.”

“Charge, gih.”

“Ntar, lah. Gampang.” “Lagian, nggak ada yang bakal hubungin gue.”

Baskara, Baskara. Jadi orang jangan kepedean begitu, lah. Soalnya ...