[The Fault in our stars by Ecaniwasoyo]

 

 

Win memejamkan matanya saat bintang jatuh baru saja terlihat dan membuatnya memohon kepada Tuhan untuk memberikannya seseorang yang dapat ia jadikan tumpuan dalam kehidupan ini. Ia hanya memiliki seorang nenek sekarang, tidak memiliki kedua orang tua ataupun saudara karena semuanya telah Tuhan ambil darinya.

“Bintang memangnya bisa jadi perantara permintaanmu kepada Tuhan? Kalau kamu memohon sesuatu katakan langsung kepada Tuhan bukannya kepada Bintang segala. Umur berapa memangnya kamu sampai masih percaya yang begituan” seru seseorang yang berdiri tidak jauh dari Win membuat Win sedikit menoleh dari rebahannya pada rerumputan untuk menghardik orang yang baru saja menghinanya secara tidak langsung.

“Aku 21! Kenapa?? Ga suka??” decak Win kesal sambil mulai membereskan barang-barangnya karena tidak ingin berlama-lama di sana berhubung kedua jarinya ingin sekali mencolok kedua mata kecoklatan milik orang itu.

“Ah aku pikir kamu lebih tua dariku”

Kedutan kesal di dahi Win seharusnya dapat cowo itu lihat dengan jelas karena perubahan raut wajah yang semakin signifikan untuk dapat orang waras perhatikan, namun sepertinya dia sama sekali tidak peduli karena tidak berniat meminta maaf kepada Win yang langsung berjalan menjauh dengan susah payah diantara rasa berdenyut pada kaki kirinya yang patah.

“Mau aku bantu?”

Win menoleh dengan horror, “Terlihat jelas tidak di wajahku seperti membutuhkan bantuanmu???”

Gidikan kecil sebagai balasan lagi-lagi seperti memancing batas kesabaran yang Win punya karena cowo itu justru merangkul bahunya dan membantunya untuk berjalan karena tadinya cukup kesusahan saat memakai kruk.

“Kalau mau memohon minta bantuan sekarang kamu bisa memintanya ke aku bukannya ke bintang. Aku bisa bantu kamu kembali ke kamarmu”

Siapa sih orang bodoh dan menyebalkan di sampingnya ini? Dari mana dia datang dan berasal? Sepertinya Win sama sekali tidak pernah bertemu dengannya dimana pun. Andaikan saja ia tidak memakai kruk, mungkin benda itu sudah berpindah untuk memukuli kepala orang yang ada di hadapannya sekarang karena dia sangat cerewet dan banyak bicara.

“Coba kamu pikir baik-baik, apa bintang bisa membantumu seperti aku yang membantumu berjalan?”

“Mungkin lebih baik tidak sama sekali di bandingkan kamu yang sejak tadi berceloteh tidak jelas seolah kita pernah saling mengenal!”

“Ah, itu ternyata alasan kenapa kamu sangat jutek. Kamu kesal ya karena aku sama sekali tidak memperkenalkan diri? Oke-oke, aku tau kok aku bisa terbilang tampan. Orang-orang banyak yang membicarakannya” kedua mata hitam Win seperti ingin keluar dari tempat saat pendengarannya harus menangkap kalimat menggelikan dan percaya diri barusan.

Serius, kewarasan orang yang tidak ia kenal ini patut di pertanyakan karena bagaimana bisa manusia normal mengatakannya dengan lancar kepada orang yang baru di kenal atau di sapa?

“Tidak terima kasih, aku sama sekali tidak tertarik dengan namamu. Minggir!” serunya sebal dan membuat orang itu berlari kecil mengejar sambil menarik tangan kanan Win ke dalam jabatan hangat.

“Bright. Namaku Bright. Kamu yang percaya dengan bintang namanya siapa? Bulan?”

Bibir Win terbuka merasa aneh akan seluruh hal yang baru saja di dengarnya, bibirnya hendak terbuka sebelum sikutan kecil di lakukan untuk menyuruhnya melirik kearah langit,” Bintang jatuh lagi tuh. Ga mau doa semoga aku jadi pacar kamu?”

Oke, mulai semakin aneh dan ingin sekali Win melanjutkan niatnya yang tadinya ia tahan.

“Kamu siapa sih? Datang-datang ngomong ngawur dan ga jelas kayak gini! Jangan main-main ya kamu sama aku. Awas aja kamu muncul lagi. Aku botakin seluruh rambut panjangmu itu” ketus Win yang langsung berjalan cepat menjauh karena tidak ingin mendengar apapun lagi tentang hal konyol yang baru saja cowo tadi keluarkan di setiap perbincangan singkat mereka.

“Bulan!! Namaku Bright! Masa kamu masih nanya lagi”

Satu teriakan barusan segera Win balas dengan teriakan tidak kalah heboh,

 “SINTING!”

.

.

.

Win membuka jendela kamar ruang rawatnya saat sebuah suara keras dari arah luar yang memutar lagu rock and roll membuat dirinya bertanya-tanya siapakah orang aneh yang melakukannya di sebuah rumah sakit besar.

Baru saja Win melirik selama beberapa detik untuk mengamati sekitarnya namun sebuah siluet orang yang tengah berlari dari kejaran beberapa perawat yang berteriak memanggil namanya barusan membuat Win memicingkan matanya penuh malas karena tersadar siapa lagi orang aneh yang ada di rumah sakit ini selain cowo kemarin malam?

“Hai Bulan! Mau main bareng?” ajaknya dengan senyum manis yang terpasang di wajah tampannya bukanlah hal yang dapat mematahkan skeptis di kepala Win akan tingkah absurd cowo itu.

Lalu ada apa dengan nama Bulan barusan? Sejak kapan namanya berubah menjadi Bulan?

“Suster! Pasien gilanya barusan ngumpet di balik taman bunga itu!” jerit Win tidak mau kalah untuk membalas dendam membuat beberapa perawat yang tadinya sibuk mencari akhirnya dapat menarik Bright kembali masuk ke dalam dengan mata penuh picing dari Bright terarah kearahnya.

“Aku pikir kita teman!”

“Aku pikir kamu orang gila” ujar Win tanpa memfilter kata-katanya dan setelahnya menutup jendela kamar dengan kasar.

Kenapa kakinya harus memakan waktu lama untuk sembuh sih???

.

.

.

“Tok.. Tok..”

“Siapa?”

“Bintang”

“Hah?”

Win membuka pintu kamarnya dan terkejut saat mendapati Bright tengah menyengir kecil seperti menunggu ia membuka pintu sejak tadi.

“Halo Bulannya Bintang”

Pintu yang Win banting kasar karena terlalu muak dengan kata-kata barusan menjadi saksi nyata dari permulaan bagaimana hubungan keduanya yang tanpa sadar kembali terikat di sela hari mereka bersama di rumah sakit.

Tentang Win yang selalu menghindar akan kehadiran Bright ataupun berperilaku kasar kepada cowo itu karena telah mengganggunya selama berhari-hari di rumah sakit.

“Aku perhatikan kayaknya kamu ga punya teman ya, yang jenguk kamu ga ada”

Win berusaha sebaik mungkin agar tidak terpancing dan tetap melanjutkan makannya sambil menatap langit gelap yang bertaburkan banyak bintang.

“Gapapa, ada Bintang disini yang bakalan jadi teman Bulan”

Kunyahan Win terhenti karena mendengar kalimat barusan seperti dejavu untuknya yang pernah mendapatkan kalimat yang sama dari orang lain tapi tentu saja hanya ada kebohongan karena buktinya tidak ada siapapun yang menemaninya saat ini.

Tidak ada satu pun suara lagi diantara mereka kecuali Bright yang sibuk mengunyah makanannya juga dengan tenang seolah tidak merasakan apapun.

“Bright”

“Hm?” balas Bright menoleh bingung karena akhirnya Win memanggil namanya dengan serius.

“Kamu ngapain disini? Kamu kenapa ga balik? Kamu kenapa justru temani aku?” Tanya Win berturut-turut hingga genangan air mata mulai terkumpul di pelupuk matanya yang sembab.

Bright meletakkan bungkusan burgernya ke rerumputan lalu tersenyum tipis kepada Win sambil membersihkan sisa remahan roti yang berada di ujung bibir Win dengan lembut, “Karena Bintang bakalan kesepian tanpa ada kehadiran Bulan. Jadi aku disini buat temani kamu. Kamu keberatan ga?”

Hati Win yang berdenyut menyakitkan semakin bertambah dengan banyaknya air di pelupuk mata Win yang tidak sanggup ia tahan lagi dan akhirnya terjatuh di telapak tangan Bright karena dia menampungnya dengan sabar.

“Kalau aku bilang keberatan gimana?”

“Ya aku maksa sih, jadi kamu ga punya pilihan sekarang”

Air mata Win terhenti karena bergantikan rasa geli saat mendengar ucapan barusan keluar dari bibir seorang cowo berumur 23 tahun yang semula terasa menyebalkan namun berujung menjadi nyaman untuk Win dengar setiap harinya.

Cowo itu mengisi hari-hari membosankannya.

.

.

.

“Bulan, aku bosan. Bagusnya ngapain?” Tanya Bright yang sibuk bergulung diantara selimut kasur di sebelahnya karena lelah menunggu Win selesai membaca bukunya yang masih tersisa 200 halaman lagi.

Bisa mati bosan Bright menunggunya tanpa melakukan apapun.

“Coba deh ikutan baca buku yang aku tumpukin di samping kamu” seru Win tanpa menoleh dan sibuk mengamati bacaannya yang terasa seru. Bright yang di cuekin pun akhirnya mau tidak mau mulai mencari-cari buku yang cocok untuknya hingga sebuah judul pada buku yang dia temukan membuatnya terduduk dan menatap benda itu dengan penuh binar.

“Aku pinjam buku kamu satu ya!! Makasih!” ujar Bright sebagai kalimat pamit pergi dan membuat Win menatapnya dengan bingung sekaligus takjub karena dia benar-benar mau membaca sebuah buku setelah berhari-hari lamanya selalu mengeluh pusing menatapi rentetan tulisan tanpa gambar yang ada.

Lagi pula, buku apa yang dia ambil tadi? Kenapa mendadak jadi bersemangat ingin membacanya?

.

.

.

“Bright! Ngapain??” Tanya Win penasaran karena Bright sangat serius menatap sesuatu yang ada di tangannya hingga ia tidak sadar Win telah masuk ke dalam ruangan untuk mengajaknya berjalan-jalan.

“O-oh Bulan! Pasti rindu Bintang ya kan?” ujar Bright meledeki mengingat Win yang tidak pernah mendatanginya terlebih dahulu.

Win seharusnya menanggapi ucapan barusan dengan cuek ataupun mengomel seperti biasanya tapi kenapa kali ini ia justru tersipu malu dan gugup seperti baru saja tertangkap basah.

“Iya-iya, jangan marah gitu dong. Kan aku cuman bercanda. Jadi kamu ngapain disini? Memangnya ga capek jalannya sendirian? Kan bisa panggil aku buat datang” celoteh Bright seolah dia mempunyai hp di tangannya untuk mereka berdua gunakan karena pada kenyataannya mereka di larang menggunakan benda persegi panjang tersebut.

“Kamar kita beda jarak 4 ruangan, memangnya kalau aku teriak kamu bakalan dengar? Bisa habis aku di marahin sama suster yang jaga karena teriak-teriak” balas Win tampak sewot tapi justru itulah yang Bright tunggu sejak tadi.

“Coba deh kamu balik ke kamarmu. Ada yang mau aku tes”

“Apaan sih? Aku kan baru datang masa udah di usir aja. Capek!”

“Nanti aku gendong deh buat jalan-jalan tapi habis selesai eksperimennya dulu yaaa” pinta Bright memelas dan membuat Win dengan berat hati menurutinya.

“Hitung sampai 50 ya! Kalau udah nanti aku datangi”

Gumaman kecil menghiasi Win yang menghitung sambil berjalan menuju kamarnya hingga akhirnya di hitungan ke 42, ia sampai di kamarnya yang sama sekali tidak menunjukkan perubahan apapun.

“Bulan?? Dengar ga Bintang manggil?”

Win menolehkan kepalanya kekanan dan kekiri karena terkejut saat suara Bright memenuhi ruangannya namun kehadiran cowo itu sama sekali tidak terlihat di mana pun. Apa dia bersembunyi? Tapi dimana?

Tubuh yang muncul dari balik jendela membuat Win menatap penuh kejut akan aksi Bright yang terbilang cukup berani atau mungkin terlalu nekat karena memanjat beranda tiap kamar hingga sampai ke tempatnya sekarang hanya untuk menunjukkan maha karyanya yang ia bilang dapat membantu mereka berdua saat jam malam tiba karena tidak boleh keluar dari kamar.

“Bagus ga? Aku lihat tutorialnya dari buku yang aku pinjam kemarin. Jadi kalau kamu butuh apapun kamu bisa panggil aku ya!”

Win tidak tau mengapa senyum dan tawa kecil itu perlahan ingin ia rengkuh karena dapat melihat setitik harapan dan juga kesedihan terselip di wajah cerianya.

Ada apa dengan Bright?

“Bright” panggilnya pelan hingga mungkin tidak dapat Bright dengar apabila cowo itu tidak berjarak cukup dekat dengannya.

“Iya Bulan?”

“Kamu gapapa?”

Kerjapan kecil karena Bright yang terkejut mendapatkan pertanyaan barusan akhirnya berganti dengan anggukan semangat dan senyum tipis yang menghangatkan kearah Win sebagai balasan.

Tangannya yang semula memegang kaleng ia arahkan untuk mengelus rambut Win penuh lembut karena takut menyakitinya lebih jauh lagi.

“Kan aku udah bilang kalau mau buat permohonan jangan ke bintang di langit, coba mulai sekarang minta permohonannya ke aku. Pasti aku usahakan buat bisa wujudkan itu” jelas Bright sambil menarik tubuh Win ke dalam sebuah pelukan erat ketika menyadari Win kini menangis dengan keras hingga membasahi bajunya yang memiliki motif serupa dengan yang Win pakai.

“Sekali pun aku minta buat kamu tetap temani aku? Kamu bakalan wujudkan itu?” tanya Win yang menangis dengan banyak jejak air mata di kedua pipinya membuat Bright kali ini yang tidak dapat menahannya lebih jauh pun turut menangis seperti Win.

“Kita kan teman? Tentu aja aku bakalan selalu temani kamu kemana pun kamu mau. Kamu ga perlu khawatir” ujar Bright yang masih menangis sambil sesekali mengelap air matanya yang jatuh begitu deras dengan lengan bajunya sebelum kembali memberikan senyuman menenangkan kepada Win.

‘Maaf Win’

.

.

.

“Pergi..engga..pergi..engga…pergi..engga..per-“

           “Kamu lagi ngapain sih? Ngitungin apa?” keluh Bright pusing karena Win sejak tadi telah menghabiskan banyak bunga hanya untuk memetik tiap kelopaknya hingga Bright muak mendengar kata pergi dan tidak selama hampir 15 menit.

“Aku lagi bimbang” seru Win polos dan menatap wajah bingung Bright tanpa beban.

“Bingung kenapa? Cepatan cerita ke Bintang”

“Hari ini harusnya aku pergi kabur dari rumah sakit, tapi kalau aku kabur aku bingung perginya gimana” celetuk Win yang semula sama sekali tidak dapat Bright mengerti apa maksudnya hingga sebuah ingatan kelam yang muncul membuatnya terdiam dan mengerti kemanakah Win ingin pergi kabur.

“Kamu tenang aja, aku bisa bantu kamu keluar dari sini nanti malam”

“Yang benar??”

“Iya!! Tapi kamu harus janji kamu bakalan balik sebelum jam 10 oke? Balik kesini lagi”

“Heem janji. Makasih Bintang” ujar Win yang sama sekali tidak dapat menyembunyikan rasa bahagianya pun memeluk erat tubuh Bright yang mematung karena merasakan hal itu. Kepalanya ia sandarkan ke dalam pelukan erat yang Win berikan sambil memejamkan matanya berharap semuanya akan berakhir dengan bahagia karena Win sudah terlalu banyak menderita selama setahun belakangan.

‘Aku tau kamu bisa Win’

.

.

.

“Win udah datang?” Tanya Bright kepada beberapa perawat yang tadinya berkerumunan dan membahas sesuatu membuat salah satunya mengangguk sambil membawa Bright menuju suatu ruangan yang mana dapat Bright lihat dengan jelas jika Win tengah tertidur akibat obat bius yang di suntikkan untuk menenangkannya. Beberapa lelehan air mata yang tersisa sama sekali tidak dapat Bright tahan karena kini ia melangkah mendekat agar dapat menghapusnya.

Beberapa luka goresan pada telapak kaki Win karena cowo itu tidak menggunakan sepatunya membuat Bright merasakan bagaimana dadanya terasa teremat begitu menyakitkan. Bibir  bawahnya ia gigit kecil berharap dapat meredam isakannya yang ingin keluar saat melihat Win tidak kunjung membaik sebanyak apapun hari yang ia lewati bersama dengannya. Apakah memang kehadirannya sama sekali tidak akan dapat membuat perubahan untuk Win? Apa dia tidak ada bedanya dengan orang-orang yang selama ini berusaha untuk membuat Win sembuh? Ataukah Bright kurang berusaha?

“Bright..its okay kamu udah ngelakukan yang terbaik untuk Win” bisikan menenangkan dari seorang wanita tua di sampingnya tersebut membuat Bright menoleh dengan air mata yang semakin deras mengalir membasahi kedua pipinya yang memerah, “ H-harusnya aku tau kalau aku ga bakalan bisa ngeganti apapun yang ada di masa lalu Win.. a-aku harusnya sadar dengan siapa diriku sebenarnya” isak Bright yang menangis keras di pelukan satu-satunya keluarga yang Win punya saat ini.

“ Win sayang kamu dan dia juga pasti ga mau semua ini terjadi Bright, dia cuman butuh waktu. Nenek yakin perlahan tapi pasti Win pasti bisa. Tunggu sedikit lagi ya?”

Anggukan mengerti Bright berikan untuk membalas karena merasa jika semuanya pasti akan tergantikan nantinya dengan berita bahagia yang tidak akan lama lagi ia dapatkan. Bright tau, semuanya dapat berlalu seperti yang ia harapkan namun dirinya juga takut apabila Win menyerah dan meninggalkannya yang telah berusaha sebaik mungkin untuk membantunya membangun kembali kehidupan yang ideal seperti semula.

Tepukan pelan Bright lakukan kepada kedua pipinya agar dapat tersadar dari seluruh hal negative yang terus menerus menggerogotinya seolah ia tidak percaya bahwa Win kuat dan dapat melaluinya.

‘Sekali pun aku tau di dunia ini tidak ada satu pun yang percaya kamu bakalan kembali, aku bakalan selalu di sampingmu untuk mendukung dan juga membantumu bangkit Win’

.

.

.

“Ini apa?” Tanya Win sambil menaikkan sepasang kaos kaki bergambar kelinci di hadapan Bright yang sibuk memakan bubur milik Win karena kelaparan belum sarapan.

“Bulan ga lihat memangnya itu apa? Ya kaos kaki” jawab Bright terlalu santai dan mendapatkan lemparan benda yang tadinya ia hardik di depan mukanya dari Win yang ngambek, “Ya aku tau kalau itu kaos kaki Bintang! Tapi kan maksud Bulan itu kaos kakinya buat apaan sih??” decak Win yang dapat membuat Bright diam membeku saat mendengar ucapan barusan keluar dari bibir Win. Sudah hampir 5 bulan berlalu ia mencoba mendekati Win dan baru kali ini Win mau menerima panggilan yang semula di sebut kekanakan itu.

Senyum bahagia tidak dapat Bright sembunyikan karena ia justru menubrukkan tubuhnya pada tubuh Win dengan berteriak bahagia. Teriakan meminta di lepaskan dari Win sama sekali tidak Bright pedulikan berhubung dia sibuk menetralkan detak jantungnya yang berdegub begitu cepat hingga ia merasa bahwa tidak ada hal yang lebih membahagiakan dari ini semua selama satu tahun belakangan.

“Coba bilang Bintang sama Bulan lagi” pinta Bright memohon dan menghasilkan rona merah di pipi oleh Win yang malu.

“Ga mau ah”

“Ih ayo bilang lagi Bulan~~”

“Ga mau Bintang~” jelas Win meledeki Bright sebelum berlari keluar dari kamarnya untuk menghindari Bright yang tentunya tersenyum lebar seperti orang bodoh dan bersiap untuk mengejarnya.

“Kaos kakinya di pakai dulu Bulan!!!”

“GA MAU!!!”

“BRIGHT! WIN! JANGAN LARI-LARI DI LORONG!”

“Bright duluan sus!!!”

“Eh sembarangan”

Gelengan kepala dan elusan dada sajalah yang dapat beberapa perawat lakukan apabila keduanya telah berbuat ulah namun tidak di pungkiri mereka turut bahagia akan perubahan yang telah Bright lakukan kepada Win karena cowo itu berhasil menarik satu per satu masalah yang selalu menghantui Win selama ini.

Bright perlahan tapi pasti membuat Win kembali hidup.

. . .

“Kakinya masih sakit ga? Yuk sini aku gendong aja” ujar Bright membungkukkan tubuhnya agar dapat di naiki Win yang tidak menolak sama sekali karena kakinya memang masih terasa berdenyut.

Langit biru dan juga angin yang berhembus membawa sari bunga berterbangan cukup membuat suasana mereka yang tengah berjalan di taman rumah sakit terasa menenangkan.

Bright sibuk berjalan pelan dengan sesekali menguatkan pegangannya agar Win tidak terjatuh selagi cowo itu sibuk menghirup banyak udara segar yang menyenangkan.

“Seseorang pernah bilang ke aku, kalau misalkan angin datang di musim panas berarti seluruh doa-doanya di kabulkan Tuhan karena telah membuatku tidak merasakan panasnya sengatan matahari lagi” jelas Win bercerita secara tiba-tiba berhasil menghentikan langkah Bright yang mendengarnya.

Sebuah senyuman tipis tanpa sadar keluar menghiasi wajah tampannya yang selama berbulan-bulan ini selalu tersenyum untuk Win.

“Baik juga ya orang yang bilang begitu ke kamu. Aku pikir kamu betulan ga punya teman”

Pukulan keras Win berikan karena Bright merusak suasana dengan ledekannya yang menyebalkan, “Iss aku itu juga punya pacar. Kamu aja yang ga percaya”

Anggukan mengerti Bright berikan dengan tubuhnya yang ia rendahkan untuk menurunkan Win di sebuah bangku panjang yang ada di bawah pohon.

“Pacarnya Bulan aku kan?” Tanya Bright dengan serius sambil menatap penuh lekat kedua mata hitam Win yang bergetar karena tidak tau harus membalas apa.

“Bercanda, jangan serius gitu dong mukanya” keluh Bright cepat dengan tidak lupa mengacak rambut hitam Win dengan lembut dan tidak berapa tangan Bright di tepis kasar oleh Win yang tidak senang di perlakukan seperti anak kecil.

Bright menatap tangannya yang baru saja di tepis lalu pergerakan yang selanjutnya Win lakukan justru membuat Bright diam mematung karena tidak tau harus bereaksi seperti apalagi sekarang.

“K-kamu ngapain nangis?” Tanya Win shock karena takut jika Bright tidak suka dengan apa yang baru saja di lakukannya tadi.

Apa Bright tidak menyukainya? Apa cowo itu tidak senang karena dia baru saja menciumnya?

Gelengan cepat Bright berikan sebagai balasan dengan tangan yang menarik pinggang Win untuk mendekat agar dapat mencium bibirnya yang selembut kapas itu karena tidak dapat menahan kebahagiaannya tanpa menyadari seseorang yang berdiri tidak jauh dari mereka tengah menatap mereka dengan raut wajah yang tidak terbaca.

. . .

Win merapihkan helaian rambutnya sambil melirik kearah luar ruangan untuk mengecheck apakah Bright telah datang ataupun belum.

Cowo itu menjanjikan sesuatu kepadanya sebagai hadiah atas kesembuhan kakinya yang sudah tidak perlu memakai kruk lagi untuk berjalan.

Kaos kaki kelinci yang dia berikan telah terpasang manis untuk membalut telapak kakinya dari hawa dingin.

Ketukan pelan dari arah pintu segera membuat Win berjalan cepat untuk membuka dan menemukan Bright telah berada di hadapannya dengan senyum cerah menghiasi wajah tampannya.

Win baru sadar jika cowo itu terbilang cukup tampan setelah sekian lamanya mereka berteman selama di rawat.

Kemana saja Win selama ini? Kenapa baru sekarang?

“Lihat, aku bawa apa?” Seru Bright menggoyangkan beberapa tangkai bunga di tangannya dan membuat Win mengernyitkan keningnya karena berpikir keras.

Denyutan sakit sesekali menghampirinya saat sebuah kilasan bayangan membuatnya tersungkur jatuh sambil menyentuh kepalanya sendiri.

Bright yang terkejut dan panik pun segera menghampiri Win untuk mengecheck kondisinya.

Bibirnya berteriak memanggil perawat untuk datang karena Win mulai berteriak histeris dan menangis kencang hingga Bright tidak tau harus melakukan apa agar dia tenang.

Pintu yang terbuka dan seseorang yang tampak familiar diantara setelan kemeja rapinya membuat Bright terdiam mematung menatapnya dengan tidak percaya.

“KENAPA HANYA DIAM?? CEPAT BUANG BUNGANYA BRIGHT!”

Brigh yang panik pun berlari cepat memungut bunga yang tadinya ia bawa untuk dia bawa pergi meninggalkan rumah sakit sambil meremat dadanya yang terasa sakit karena tidak tau harus bereaksi seperti apa akan peristiwa yang baru saja terjadi.

Tubuh kurusnya ia jatuhkan pada aspal sambil menangis melempari bucket bunga yang telah ia bawa karena merasa menyesal.

Kenapa? Kenapa ia menangis? Kenapa ia justru kesal? Bukankah seharusnya ia bahagia saat ini karena dia telah kembali?

Kenapa ia justru menangis menyebut nama Win berulang kali karena takut di tinggalkan oleh cowo itu setelah banyaknya pengorbanan yang ia lakukan agar dia dapat pulih dan kembali lagi.

Tangisnya semakin pecah saat kedua kakinya tidak dapat lagi menumpu tubuhnya yang bergetar lebih lama lagi. Bunga yang sejak tadi ia pegang perlahan ia buang menjauh seiring jatuhnya satu per satu rintikan hujan yang membasahi tubuh kurusnya.

. . .

Win tidak lagi melihat kehadiran Bright selama 4 hari belakangan semenjak adanya seseorang yang tengah duduk di hadapannya saat ini mengaku adalah tunangannya.

Apa dia sudah bertunangan? Tapi kenapa Win sama sekali tidak mengingat apapun?

Apa dirinya pernah mengalami kecelakaan dan hilang ingatan?

“Kamu depresi berat karena kehilangan Ayah dan Bunda lalu aku juga harus terbaring koma di rumah sakit saat itu. Maaf ya aku baru balik lagi setelah satu setengah tahun lamanya ninggalin kamu Win” bisik orang yang bernama Luke itu sambil memeluknya yang hanya dapat diam mencoba mencerna semua yang ada.

Ia tidak mengingat apapun tetapi kenapa pelukan Luke sama sekali tidak terasa asing untuknya?

Apa cowo itu memang benar adalah orang yang ia cintai dulunya? Apakah dia memang adalah orang yang benar-benar ingin ia nikahi?

Lalu bagaimana dengan Bright? Bagaimana dengan keadaan cowo itu? Kenapa dia tidak pernah muncul lagi di hadapannya? Kemana perginya orang yang pernah berjanji akan selalu ada di sampingnya?

Kenapa dia justru pergi dan membuat Win bingung harus mengambil langkah apa saat ini.

“Aku akan bawa kamu pulang ke rumah kita Win, aku janji bakalan jagain kamu mulai sekarang. Aku bakalan jaga janjiku ke Ayah dan Bunda sebelum mereka meninggal” ujar Luke lembut hingga Win tidak dapat untuk tidak menangis karena mendengar kalimat yang baru saja di lontarkan kepadanya.

Lelehan air mata yang menetes terus menerus membasahi kedua pipinya perlahan Luke hapus dan mengingatkan Win akan hal yang selalu Bright lakukan ketika ia menangis di hadapan cowo itu.

Win merindukan Bright.

Win merindukan kehadiran Bright yang terasa kosong karena meninggalkannya selama beberapa hari belakangan.

Setidaknya biarkan ia dapat melihat Bright sebentar sebelum pergi bersama Luke menuju suatu tempat yang tidak ia ketahui ada dimana tersebut.

Bagaimana jika Bright datang dan dia tidak ada di kamarnya?

Bagaimana jika Bright justru mencarinya karena merindukannya juga?

Apa Win harus memohon kepada Bintang di langit lagi agar dapat di kabulkan?

'Kamu kemana Bintang..'

. . .

2 bulan berlalu dari kedatangan Luke dan juga hilangnya Bright tanpa ada kabar ataupun kata perpisahan kepadanya.

Win telah pulih dan juga mengingat semua kenangannya saat bersama Luke.

Ia ingat pernah mencintai cowo itu lebih dari apapun hingga begitu bahagia karena akhirnya dapat melangsungkan pernikahan namun sekarang entah kenapa dirinya tidak dapat merasakan hal yang sama lagi.

Bayang-bayang Bright masih membekas di ingatannya tentang bagaimana cowo usil dan murah senyum itu selalu mengganggu harinya saat rehabilitas di rumah sakit.

Tentang dia yang selalu menggendongnya meskipun tau jika kakinya sama sekali tidak luka dan itu hanya pemikirannya yang tertahan di masa lalu saat mengalami kecelakaan mobil bersama Luke dan kedua orang tuanya.

Win menatap langit yang hari ini bertaburkan banyak bintang sambil berharap jika ada salah satu yang jatuh agar dia dapat membuat permohonan.

Cukup lama ia memandang langit hingga akhirnya sebuah bintang jatuh membuatnya segera mengatupkan tangan untuk memohon kepada Tuhan.

“Tolong kembalikan Bright”

Mata hitamnya menatap sayu pada langit indah diatas sana namun tidak ada seseorang yang menemaninya saat ini berhubung Luke harus pergi mengurus keperluan surat mereka berdua karena akan melangsungkan pernikahan yang tertunda besok lusa.

“Umur berapa sih masih aja percaya sama bintang?”

Sebuah suara yang familiar barusan membuat Win menoleh kebelakang dan terkejut saat mendapati Bright ada di sana dengan kemeja biru lautnya sambil tersenyum tipis.

“B-bintang” isak Win menahan air matanya sebaik mungkin agar tidak terlihat cengeng namun tubuhnya terlanjur berlari terlebih dahulu menuju Bright karena ingin memeluknya.

“Cengengnya yang dua hari lagi nikah. Setelah dipikir-pikir harusnya aku ga terkejut lagi ya, kamu aja masih percaya sama Bintang jatuh” kilatan mata jahil yang terarah kearahnya terlihat jelas oleh Win yang terdiam karena bingung harus mengatakan apa kepada Bright yang seolah tidak terganggu dan justru menariknya duduk di kursi kembali untuk menatap langit malam.

“Kan Bintang udah bilang, Bintang bakalan kesepian kalau Bulan ga ada, jadi Bulan ga perlu takut Bintang pergi karena Bintang bakalan selalu ada untuk Bulan” jelas Bright lirih tanpa ingin menatap Win yang diam-diam kembali menangis memikirkan tentang takdir yang ada di antara mereka berdua.

“Bulan”

Win menoleh dengan wajah sembabnya yang segera Bright usap pelan.

“Bintang senang kalau Bulan juga senang. Bintang sedih kalau Bulan juga sedih. Apapun yang terjadi Bintang selalu berharap yang terbaik untuk Bulan. 2 hari lagi pernikahan yang selama ini Bulan tunggu, itu artinya ada ataupun tidak adanya kehadiran Bintang di samping bulan lagi, Bulan harus ingat kalau ada banyak Bintang lainnya yang dapat menggantikan posisi itu. Kali ini adalah Kak Luke. Kamu harus bahagia ya, apapun yang terjadi kamu harus bahagia. Bintang udah memohon tadi kepada Tuhan”

Anggukan menyakitkan Win lakukan untuk membalas ucapan Bright barusan sebagai akhir dari hubungan menyakitkan yang mendera mereka berdua saat ini karena Win memilih Luke untuk berada di sampingnya dibandingkan Bright.

. . .

Senyum manis dan juga wajah yang telah dirias itu cukup membuat semua orang terkagum saat melihat akhirnya Win menginjakkan kaki di altar untuk menikah dengan orang yang selama ini ia tunggu di rumah sakit.

Luke telah mengikatnya di depan semua orang yang hadir dengan berjanji akan selalu ada di dalam suka maupun duka dan juga senang ataupun sedih bersamanya.

Mereka telah menikah.

Suasana meriah dan juga bahagia serta sakral di antara mereka harus terhenti ketika tangisan keras dari depan gereja membuat semuanya menoleh untuk melihat siapakah orang yang telah mengganggu mereka berdua.

Seorang perempuan yang berjalan tertatih menuju kearahnya dan juga Luke sambil memeluk sesuatu di dalam dekapannya sama sekali tidak dapat Win mengerti tentang sebenarnya apa yang baru saja terjadi.

Kepalanya ia tolehkan ke samping untuk melihat Luke yang terdiam mematung dengan wajah yang pucat saat satu bisikan orang tadi ucapkan kepadanya.

“K-kak L-luke? Kenapa?” Tanyanya panik karena sang suami turut shock seperti yang lainnya.

Tarikan kuat di pergelangannya yang Luke lakukan cukup menyakitkan dan ingin Win lepaskan karena bingung dengan semua yang terjadi berhubung begitu tiba-tiba.

Mereka pergi meninggalkan gereja untuk berpergian ke suatu tempat yang tidak Win ketahui ada dimana.

Wajah Luke semakin pucat dengan bibirnya ia gigit resah berulang kali saat akhirnya mereka sampai di depan sebuah gedung.

Langkah beratnya membawa Win mendekati ruangan yang telah penuh dengan beberapa orang berpakaian serupa.

Win menatap kosong kearah Bright yang terbaring berlumuran darah di atas ranjang rumah sakit.

Jas hitam dan juga kemeja putihnya telah kotor bergantikan noda darah banyak yang membuat kepala Win seketika pusing dan terasa berat.

Tangisan kerasnya pecah dengan bibir yang berulang kali menyebut nama Bright memintanya untuk tetap ada di sampingnya dan tidak pergi kemana pun tapi tubuh tanpa nyawa itu tidak dapat lagi di selamatkan oleh dokter yang berusaha keras untuk membawanya kembali ke dalam dekapan Win dan justru menyebutkan jam dan hari yang kini Win benci karena telah membawa pergi Bintangnya.

Bright pergi.

Bintangnya telah pergi dari sisi sang Bulan. Atau justru kebalikannyalah yang sebenarnya terjadi.

Bahwa Win telah meninggalkan Bright untuk selamanya.

. . .

Tatapan kosong Win arahkan pada sebuah buku yang ada di genggamannya.

Air matanya sudah tidak terhitung berapa kali jatuh karena terus menerus mengingat Bright dan kali ini cowo itu meninggalkan sebuah buku jurnal untuknya.

Sebuah buku bersampulkan Bintang dan Bulan yang sangat Win benci karena mengingatkannya akan hubungan mereka berdua.

Tangan bergetarnya membuka lembar demi lembar yang berisikan tulisan rapi Bright yang membuatnya kembali menangis.

Bright telah lama merencanakan semuanya.

Cowo itu telah menyusun banyak hal untuk mendekatinya.

Tentang perjanjiannya dengan pihak rumah sakit yang merawatnya, dan juga tentang dirinya yang memutuskan untuk berkonsultasi dengan banyak psikolog agar dapat membuatnya bisa berkomunikasi begitu lancar.

Banyaknya coretan dan tanda silang menandakan kegagalan itu sudah tidak dapat Win hitung lagi berhubung air matanya berkumpul sangat banyak diantara pelupuk matanya saat ini.

Lembar terakhir yang ada di dalam jurnal itu menjadi tulisan terakhir yang Bright buat di sana sebelum meninggal akibat kecelakaan saat menuju ke gereja karena ingin mendatangi pernikahannya dan Luke.

Bibirnya bergetar tidak kuat membaca tulisan demi tulisan yang menjelaskan semua hal yang selama ini tidak ia ketahui tentang orang yang telah membuatnya kembali hidup setelah sekian lamanya menghilang.

Bahwa Bright mencintainya dan juga merelakannya untuk menikah bersama Luke.

“Aku tau suatu saat nanti kamu bakalan jadi Bulan yang memancarkan cahaya indah di langit tanpa kesepian dengan ada atau tidak adanya kehadiran bintang yang menemani. Jadi jangan lupa, sekali pun kamu sendiri kamu tetap bakalan jadi satu-satunya benda langit yang di tunggu oleh semua orang Win, dan aku percaya itu juga terjadi di kehidupan nyata karena kamu indah. Terlalu indah hingga salah satu Bintang dari banyaknya Bintang yang ada turut berharap dapat menemanimu dan selalu bersamamu. Aku tau ini mungkin satu dari berbagai kesalahan besar yang selama ini ada diantara kita, tapi aku harap kesalahan ini menjadi satu-satunya yang aku ingat nanti saat aku menjadi Bintang sungguhan di langit malam.

Aku boleh kan bilang suka ke kamu untuk pertama dan terakhirnya?

Aku boleh kan bilang mau jadi bintang pertama dan satu-satunya untukmu?

Aku boleh kan bilang kalau aku berharap bisa jadi satu-satunya orang yang bisa ngebuat harimu indah dan menyenangkan?

Aku boleh kan bilang kepada Tuhan kalau ternyata aku satu-satunya orang yang bisa ngebuat ciptaan indahnya akhirnya tersenyum setelah satu tahun lamanya hal itu menghilang dari wajah cantiknya.

Aku tau meskipun pertemuan kita singkat dan terbilang begitu aneh karena status yang mengikat kita adalah seorang Kakak dan Adik.

Kamu adalah satu-satunya orang yang Kakakku cintai hingga sekarang sedangkan aku....

adalah calon adik iparmu yang ternyata telah memendam perasaan semenjak kamu menaiki podium di hari pertamamu berada di sekolah yang sama denganku.

Kamu tau alasan kenapa aku memanggilmu Bulan dan kenapa aku menyebut namaku dengan sebutan Bintang?

Sebuah panggilan yang kamu sebut terlalu kekanakan di umur kita yang tidak terbilang muda lagi.

Ya Win, kamulah yang terlebih dahulu memanggilku dengan sebutan Bintang saat aku menjadi kakak kelas yang mengawasi kelompokmu hari itu.

Kamu terlalu sibuk menghafal visi misimu hingga tidak mengingat namaku dan tanpa sengaja memanggil namaku dengan panggilan Bintang. Nama yang tidak ku sangka ternyata selalu aku harap kamu panggil terus menerus selama kita bersama.

Halo Bulannya Bintang!

Apa kamu tidur nyenyak malam ini?

Apa mimpi buruk masih mendatangimu hari ini?

Apakah aku selalu ada di setiap mimpi indahmu? Ataukah justru hanya ada kakakkulah di sana yang akan selalu menemanimu.

Apapun itu aku akan selalu bersyukur karena dapat menjadi teman dan penopangmu.

Selamat untuk pernikahannya Kakak Iparku!

Aku harap kamu selalu bahagia bersama dengan kakakku dan aku juga turut bahagia nantinya karena menemukan penggantimu.

Kamu adalah kesalahan diantara banyaknya kesalahan yang ada di kehidupanku Win, tapi kamu akan menjadi satu-satunya kesalahan yang ingin ku pertahankan hingga kapan pun. Terima kasih karena telah menjadi salah satu kenangan yang membekas di hatiku”

-Bright Vachirawit (Bintangnya Bulan)

/7 tahun lalu /

“Yang belum maju ayo buruan maju bacain visi misinya yaa” seru seseorang yang bernametag kan Bright Vachirawit itu berhasil menghasilkan seruan woah dari beberapa orang yang mengaguminya.

Satu per satu murid baru akhirnya maju untuk membacakan visi misinya namun semua itu terhenti ketika seseorang yang sibuk memandang kertas di tangannya tersebut sama sekali tidak merespon saat Bright menyuruhnya maju.

“142721” panggil Brigh menegur sekali.

“142721??”

“Win Metawin?”

“Win Metawin Opas Iamkajorn!”

“I-IYA KAK BINTANG??” Balas Win panik dengan kedua mata hitam indahnya bergetar menatap dalam mata kecoklatan milik Bright yang terdiam karena mendengar sebutan barusan.

“Ayo maju”

“Baik kak!”

Terima kasih karena telah menjadi cinta pertama yang berkesan di hidupku Win.

THE END

With love, -Eca