Break up
“Chan,” panggil Jaemin dengan nada lesu.
Haechan yang sedang mengetik sesuatu di laptopnya pun segera mengalihkan pandangannya ke arah Jaemin. Tumben sekali anak ini lesu?
“Kenapa, na?”
Wajah Jaemin kini bersedih, suara isak tangis keluar perlahan. Haechan pun memindahkan laptopnya ke meja dan segera memeluk tubuh Jaemin.
“Kenapa nangis?” tanya Haechan lembut sesekali mengelus punggung Jaemin.
Jaemin melengkungkan bibirnya ke bawah, ia sungguh sakit hati sekali atas perkataan Jeno.
“Jeno minta putus,” setelah berkata seperti itu, isakan tangis Jaemin semakin keras dan memeluk tubuh Haechan dengan erat.
Haechan mengelus surai hitam milik Jaemin, membisikkan kata penenang.
“Dia bilang, kita berdua terlalu sibuk ngurusin pekerjaan sampe gak punya waktu buat berdua,” Jaemin mengusap air matanya. “Dia juga bilang udah gak ada rasa sama gue, channnnnn!!” Jaemin memejamkan matanya, mengeluarkan semua rasa sakit di hatinya dengan menangis.
Haechan hanya diam, dalam hatinya ia akan membalas apa yang Jeno lakukan terhadap sahabatnya.
•••
“Punya otak gak lo?” tanya Haechan penuh penekanan.
Jeno hanya diam tanpa melihat ke arah Haechan, pipinya membiru karena terkena pukulan lelaki manis itu.
“Gue gak habis pikir sama lo, jen,” ucap Haechan. “Lo pacaran sama Nana bukan sebulan atau pun setahun, tapi 8 tahun!! Dan lo bisa-bisanya minta putus karena hal itu?” tanya Haechan dengan nada tidak percaya.
Jeno mendengus pelan.
“Gue udah gak ada rasa lagi sama dia, chan!” ucap Jeno kini menatap tajam Haechan.
Haechan tertawa sarkas.
“Gue ingetin omongan lo, jen. Jangan pernah lo ngemis-ngemis cinta ke Nana. Gue yakinin ke diri lo, LO BAKAL NYESEL!!”
Haechan pun meninggalkan Jeno sendirian di dalam ruangan lelaki itu. Sedangkan Jeno kini bersandar ke sofa sambil memijat dahinya.
Apa yang ia lakukan sudah tepat kan? . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Seminggu, sudah seminggu.
Jaemin kini lebih bersemangat karena selama seminggu ini Haechan benar-benar menghiburnya.
Sedangkan Jeno?
Terpuruk, walaupun ia bisa menutupi hal itu dengan baik.
Semua sosmed miliknya di block oleh Jaemin, bahkan pria manis itu pindah apartemen dengan meninggalkan semua barang pemberian Jeno.
Jeno menghela nafas, ada rasa kehilangan di hatinya. Seperti sebuah tempat yang biasanya selalu terisi, kini kosong.
Jeno menyesal? Bila diperbolehkan untuk berkata iya, Jeno akan berkata iya.
•••
Jaemin membuka lemari pendingin yang berada di supermarket, memilih beberapa minuman yang akan ia beli.
Jaemin mengambil dua botol, kemudian menutup pintu lemari pendingin tersebut. Saat ingin melanjutkan berbelanja, langkah Jaemin berhenti, Jeno berdiri tak jauh di depannya dengan tatapan tidak terbaca.
Jaemin hanya memasang wajah datar dan berjalan sambil membawa keranjang belanjaannya. Melewati tubuh tegap milik Jeno, Jaemin menahan nafas saat tercium bau parfum yang ia rindukan.
Jeno masih sama seperti dulu.
Jeno mengepalkan tangannya, rindu menggebu-gebu di hatinya. Menahan sakit saat melihat respon Jaemin.
Dan tanpa Jeno lihat, di keranjang Jaemin terdapat susu ibu hamil.
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Jaemin mengelus perutnya yang kini agak menonjol, tersenyum dengan bangganya sambil melihat cermin.
Ia duduk di sofa sambil melihat sebuah katalog perumahan. Ia akan berencana pindah dari daerah ini supaya kehamilannya tidak diketahui oleh Jeno.
Jeno? Jaemin sudah tidak peduli.
Yang ia pikiran sekarang adalah anaknya, hanya anaknya.
•••
“Sebulan lagi gue kayaknya pindah,” ucap Jaemin yang kini duduk di ruang tunggu rumah sakit.
“Lama banget! Keburu Jeno nya tau!”
Jaemin memasang wajah dengkinya. “Bawel banget sih! Gaji gue belom turun tau!”
“Kan bisa pake duit gue?!”
“Emang lo emak gue? Udah chan, makasih banget. Gue udah terlalu ngerepotin elo, nanti anak gue mirip elo,” ucap Jaemin yang kini tertawa kecil.
“Bangke lo ya, na. Harus mirip gue lah! Gue bapaknya.”
“Cuci muka dulu lo, masih ngantuk otak lo,” balas Jaemin sebal.
Haechan pun tertawa diseberang sana, kemudian pamit dan mematikan panggilan.
Jaemin tersenyum melihat ponselnya, kemudian ia memasukan ke dalam tas dan duduk tenang menunggu giliran.
“Na Jaemin?”
Jaemin menoleh saat suster memanggilnya. Ia segera bangkit dan berjalan ke dalam ruangan. Ia agak gugup karena ini pertama kalinya ia periksa janin.
Tapi, saat memasuki ruangan, tubuh Jaemin seketika kaku.
Begitu pun dengan Jeno, menatap terkejut ke arah Jaemin.
“Tuh kan, udah ada pasien aku. Sono pergi,” usir sang dokter ke arah Jeno.
Jeno tetap terdiam, menatap Jaemin kemudian berpindah ke arah perut lelaki manis itu. Jaemin pun mengalihkan pandangannya, berusaha menghindar dari tatapan Jeno.
“Kak Jeno?!” ucap dokter itu sebal. “Pulang sana, nanti aku nyusul!!”
Jaemin menatap dokter itu. Oh, jadi dia kekasih baru Jeno? Cantik, pantas Jeno lebih memilih dokter itu daripada dirinya.
Jeno berjalan ke arah pintu sambil terus menatap ke arah Jaemin dengan pandangan terkejut. Sedangkan Jaemin pura-pura tidak merasa dirinya ditatap.
Dokter itu tersenyum ke arah Jaemin yang sudah duduk di kursi pasien.
“Baru pertama kali periksa ya?” tanya dokter itu ramah.
Jaemin pun mengangguk canggung.
“Perkenalan nama saya Popo.”
“Saya Jaemin.”
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Jaemin sudah menduga Jeno akan menunggunya. Ia pun segera berjalan seakan-akan tidak melihat keberadaan pria itu.
Langkah Jaemin berhenti saat lengannya ditahan oleh Jeno. Jaemin menoleh ke arah pria itu. Wajah Jeno terlihat frustasi.
“Kita perlu bicara,” ucap Jeno.
“Aku gak ada urusan sama kamu,” balas Jaemin dingin sambil menepis tangan Jeno.
Wajah Jeno kini bertambah frustasi.
“Aku mohon Jaemin, aku mohon banget,” pintanya dengan nada memelas.
Jaemin mengalihkan pandangannya ke arah lain.
“Ini anak kamu,” ucapan Jaemin membuat Jeno merasa batu seakan menimpanya. “Tapi dia gak butuh kamu,” lanjut Jaemin yang kini menatap ke arah Jeno.
Air mata Jeno terjatuh.
“Aku mohon, maafin aku,” pinta Jeno yang berusaha menggenggam tangan Jaemin.
Jaemin menepis kembali tangan Jeno.
“Aku udah maafin kamu, jadi tolong pergi jangan ganggu aku lagi,” ucap Jaemin sambil menunduk.
“Enggak,” Jeno menggeleng. “Aku-”
“Kita gak bisa balik lagi kayak dulu,” potong Jaemin yang membuat nafas Jeno tercekat. “Kita saling sibuk sampe gak ada waktu buat kita berdua dan kamu udah gak ada rasa sama aku.”
Jeno kalah telak, hujan pisau seakan jatuh dari atas kepalanya. Jaemin pun mengusap air matanya dan berjalan pergi. Meninggalkan Jeno yang penuh penyesalan. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
“Gue bilang apa, jen.”
Jeno tidak peduli atas perkataan Haechan, ia tetap merokok dan sesekali meminum alkohol.
“Nana juga nangis jen setelah ketemu sama lo.”
Alkohol itu kini Jeno genggam dengan erat, hatinya masih ngilu saat mendengar nama itu.
“Nana tau dia hamil pas 3 hari kalian putus. Dia sedih? Sedih, jen. Sedih karena Nana ngerasa jahat ke anaknya. Yang suatu saat lahir gak ada ayah buat dia.”
Jeno menangis kembali, kini rokoknya terjatuh dan tentu saja Haechan langsung menginjak rokok itu supaya mati.
“Tapi Nana berusaha kuat, dia minta ke perusahaannya buat pindahin dia ke cabang yang ada di kota sebelah dan beli rumah di sana. Sampe kemarin Nana selalu mikir, gue harus hidup demi anak gue, gue harus semangat demi anak gue, Nana gak boleh nyerah, Nana itu calon ibu.”
Suara isakan tangis Jeno semakin besar.
Haechan bersandar ke kursi.
“Lo temen gue juga, jen. Walaupun elu tolol, tapi lo tetep temen gue.” Haechan mendengus. “Sekarang samperin dia,” perintah Haechan.
Jeno menatap Haechan tajam.
“Lo kira dia bakal terima gue lagi setelah apa yang gue lakuin?!” tanya Jeno naik pitam.
Haechan menatap remeh ke arah Jeno.
“Dia ngira Popo itu pacar lo, padahal dia sepupu lo,” ucap Haechan sebal.
Jeno kini terdiam, masih mencerna perkataan Haechan.
“MALAH BENGONG, SAMPERIN DIA GOBLOG!”
Jeno segara bangkit tapi ditahan oleh Haechan.
“Apaan lagi sih?!” tanya Jeno.
“Ganti baju lo, cuci muka. Wujud lo kayak gembel,” ucap Haechan yang kini mengomel.
Jeno menatap sengit ke arah Haechan walaupun akhirnya ia menurut. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
“Halo?”
“Jaemin.”
Jaemin yang sedang mengaduk adonan kue kini berhenti.
“Apa,” suara Jaemin begitu dingin.
“Popo itu sepupu aku.”
Jaemin terkejut tapi kemudian berusaha untuk menetralkan dirinya.
“Oh.”
“Nana, aku bodoh, bodoh banget sampe ragu akan cinta kita berdua. Aku dengan bodohnya lepasin diri kamu. Aku bodoh banget na, maafin aku. Aku mohon jangan pergi, tolong terima aku, terima aku jadi ayah dari anak yang kamu kandung, na.”
Jaemin bisa mendengar suara isakan tangis Jeno di seberang sana.
“Aku masih sakit hati, jen,” ucap Jaemin yang kini ikut menangis. “Aku benci banget sama kamu, kamu bisa-bisanya sejahat itu sama aku.”
“Maaf, na.”
“Aku gak mau anak aku punya ayah bodoh.”
“Tapi aku juga pinter.”
“Bodoh kamu lebih mendominasi, jen.”
“Terus supaya aku pinter, aku harus gimana?”
“Gak tau,” jawab Jaemin sewot.
Jaemin benar-benar tidak tau jawabannya.
“Na Jaemin,” panggil Jeno.
“Hm?” Jaemin gugup, suara Jeno terdengar menggelitik di perutnya.
“Aku bawa cincin, cincin yang aku beli udah setahun yang lalu. Cincin ini aku beli pas mau lamar kamu. Tapi kamu gak dateng, Na. Kamu sibuk kerja, dan sampe hari kita putus, kesibukan itu terus nyerang kamu dan aku pun juga punya banyak kerjaan. Hal itu buat aku frustasi sampe aku ngelakuin hal paling bodoh di dunia ini.”
Jaemin menutup mulutnya, terkejut akan pengakuan Jeno.
“Na Jaemin,” panggil Jeno kembali. “Kamu mau gak, jadi teman hidup aku untuk selamanya. Nerima aku jadi suami kamu, nerima aku jadi ayah dari anak yang kamu kandung, dan tentu aja, kamu mau gak nerima lamaran dari pria bodoh ini?”
Jaemin kehabisan kata-kata, yang ia keluarkan hanyalah suara tangisan.
“Kamu nangis berarti jawabannya iya.”
Jaemin mendengus sebal. “Tapi kamu harus jadi pinter dulu!”
“Iya Lee Jaemin.”
“Aku belum nerima lamaran kamu?????”
“Iya Lee Jaemin.”
“Gak jelas kamu!”
“Iya Lee Jaemin.”
“GAK MAU NIKAH SAMA KAMU.”
“Gak boleh Lee Jaemin.”
“Nyebelin!!!”