entuesday

Levi menatap malas sekeliling ruangan yang kini dipenuhi oleh para tamu undangan pernikahan anak dari sahabat Mamanya. Kalau saja ia tidak diiming-imingi tiket liburan ke luar negeri, mana mau laki-laki itu mengikuti acara seperti ini.

“Senyum dong, jangan malu-maluin mama” sahut sang Mama, Kuchel.

Levi terpaksa menarik ujung bibirnya membentuk sebuah senyuman

“Nih abang udah senyum nih.”

“Nah gitu dong kan anak mama ganteng.”

“Hm.”

“Mama kesana dulu, kamu tunggu disini jangan kemana-mana” sahut Kuchel sambil beranjak meninggalkan anak tunggalnya itu

Karena bosan, Levi memutuskan untuk berkeliling sekaligus mencari makanan. Lumayan makanan kondangan kan suka enak-enak gitu pikirnya. Saat ia hendak mengambil satu cup ice cream tiba-tiba sebuah tangan lain juga ikut mengambil cup tersebut, sehingga kini tangan keduanya saling bersentuhan.

Jika di dalam drama adegan seperti ini akan menjadi sebuah adegan romantis, berbeda dengan Levi yang malah disebut mesum.

“Heh! ngapain kamu pegang-pegang tangan saya? cari kesempatan banget, dasar mesum.” sahut gadis itu judes, sedangkan Levi hanya menatapnya dengan pandangan tak percaya

“Hah?”

“Iya kamu sengaja kan? bilang aja kalau mau mesumin cewek” sahut gadis itu lagi.

“Apaan? pengen banget gue mesumin?”

“Tuhkan emang dasar mesum, awas aja kalau macem-macem saya teriak sekarang juga.”

“Lah? sinting nih cewek, untung cantik” gerutu Levi kesal

“Loh Hange? ini Hange Zoe kan?” sahut Kuchel yang entah muncul dari mana.

Keduanya memalingkan wajah mereka menatap Kuchel secara bersamaan. Gadis dengan rambut ekor kuda itu tak kalah terkejut saat melihat kehadiran Kuchel.

“Tante?”

“Ya ampun, makin cantik aja kamu ya, tante sempet pangling liat kamu pake dress gini. Kacamatanya juga ga dipake.” ujar Kuchel dengan senyuman lebar

Levi menatap keduanya bergantian dengan pandangan bingung. Sejak kapan mamanya kenal sama cewek sinting ini.

Bentar, Hange?

Tapi mana mungkin gadis masa kecilnya itu bisa berubah drastis.

“Levi inget ga? ini Hange yang suka main sama kamu waktu kecil sebelum pindah.” sahut Kuchel membuat keduanya melotot tak percaya, ternyata pikiran mereka benar.

“HAH?”

“Ini beneran Levi temen kecil Hange tante? ko beda?” ujar Hange bingung karena sepengetahuannya, temannya yang bernama Levi itu merupakan sosok laki-laki yang kurus dekil. Ya walaupun wajah datarnya tidak berubah.

“Jadi ganteng ya? ga kaya dulu dekil banget.” ujar Kuchel sambil tertawa, sedangkan Levi mendelik malas ke arah Mamanya.

“Apasih Ma, Hange tuh yang dekil ga pernah mandi.”

“Kamu juga sama, sekarang aja jadi penggila kebersihan. “

“Terserah Mama aja.”

Kuchel mengacak-ngacak rambut anak tunggalnya itu dengan gemas. Sedangkan Levi merengut kesal karena rambutnya menjadi berantakan. Wanita paruh baya itu tiba-tiba menepuk dahinya pelan.

“Hampir aja lupa.”

“Tante pulang duluan ya Han, masih ada urusan. Kapan-kapan main ke rumah ya.” ujar Kuchel sambil mencium pipi Hange

“Hehehe iya tante, hati-hati ya.”

“Kamu mau ikut Mama pulang atau disini dulu?” tanya Kuchel sambil menyenggol lengan anaknya itu.

“Ngapain juga aku disini?”

“Bukannya kamu setiap hari nanyain Hange terus ke Mama? katanya kangen sama temen SD kamu yang suka bawelin kamu.”

“MA.” sahut Levi karena malu rahasianya terbongkar di hadapan gadis yang selama ini ia cari.

Sedangkan Hange tak menyadari jika kini kedua pipinya telah bersemu kemerahan.

Jean menatap seorang gadis di hadapannya dengan wajah datar, lagi-lagi ia harus bertemu gadis bertubuh mungil itu di depan gerbang sekolah mereka dengan alasan yang berbeda setiap harinya.

“Sumpah Jean, tadi aku salah pake kaos kaki. Makanya balik lagi ke rumah.” jelas gadis dengan name tag Pieck Finger.

“Terus?” balas Jean sambil menyilangkan kedua tangannya di dada.

“Yaudah gitu aja sih.”

“Hari senin salah pake sepatu, hari selasa salah pake baju, hari rabu salah bawa buku pelajaran, sekarang salah pake kaos kaki. Ga bosen?” Jean menyebutkan alasan-alasan yang selalu gadis itu lontarkan setiap harinya.

Pieck memandang Jean dengan takjub, ia bertepuk tangan dengan wajah berseri-seri.

“Gila, ketua osis kita emang dahsyat. Perhatian banget sampe inget semuanya.“  ujar Pieck membuat Jean menggelengkan kepalanya.

“Berisik kamu tuh. Gabung sana sama yang lain, bersihin halaman belakang.”

“Tapi Jean, aku ada ulangan matematika” balas Pieck dengan muka memelas berharap diberi keringanan.

Jean mendekatkan tubuhnya pada Pieck, lalu menyentil dahi gadis itu.

“Jean ih!”

“Makanya gausah ngarang, aku tau kelas kamu pelajaran pertamanya bahasa inggris”

Pieck mencibir lalu bergegas meninggalkan laki-laki itu, gadis itu bergabung bersama murid lain yang telat seperti dirinya.

Jean tertawa pelan melihat kekasihnya kesal.


jean. semangat piku. jangan ngambek, nanti aku bantuin haha


Pieck menatap layar ponselnya dengan senyuman cerah, mungkin memang tidak banyak yang tau tentang hubungan mereka, tetapi gadis itu selalu senang dengan hubungan mereka yang seperti ini. Hubungan mereka tidak dirahasiakan, tapi tidak juga diumbar.

Seorang pemuda memasuki kawasan Rumah Sakit dengan tergesa-gesa karena mendapat kabar bahwa kekasihnya yang menjadi korban tabrak lari tidak dapat diselamatkan. Dengan perasaan yang tak karuan, ia membuka pintu ruangan kekasihnya itu dengan kasar.

Orang-orang di sana menatap dirinya dengan pandangan khawatir.

Langkah kakinya semakin terasa berat ketika melihat wajah cantik kekasihnya kini telah berubah menjadi pucat. Rasa sakit yang menguasai hatinya membuat pemuda itu sama sekali tidak meneteskan air mata, karena sampai detik ini ia masih tidak percaya bahwa kekasihnya telah tiada.

Saat tiba di sampingnya, pemuda itu langsung menggenggam erat tangan kekasihnya yang dingin dan kaku. Ia menatap wanita itu penuh harapan.

Pemuda itu berharap ada sebuah keajaiban.

“Hange, ayo bangun.” ujarnya dengan suara yang sangat lembut

“Hange.” panggilnya lagi

“Hange.”

“Hange, please?”

Hening.

Semua orang yang berada di sana tak ada yang berani membuka suara, mereka hanya diam menyaksikan sepasang kekasih itu dengan air mata yang perlahan mulai berjatuhan.

Pemuda itu mulai hilang kendali.

“HANGE BANGUN.” pada akhirnya pemuda bersurai hitam itu tak lagi bisa menahan dirinya. Ia menggoyang-goyangkan tubuh kaku itu dengan harapan kekasihnya bangun.

Pemuda itu terus berteriak putus asa, membuat kedua temannya, Erwin dan Mike harus menahan tubuhnya dengan sekuat tenaga.

“Levi berhenti, Hange tidak akan senang melihatmu seperti ini. Relakan dia.” ujar Erwin sambil menepuk-nepuk pundak sahabatnya itu.

Levi selalu bermimpi untuk menua bersama Hange. Tetapi, mengapa wanita itu harus lebih dulu pergi meninggalkan dirinya. Mengapa Tuhan harus membawa pulang wanita yang sangat ia cintai. Jika seperti ini, lalu bagaimana ia harus menjalani sisa hidupnya.

Setelah pemakaman Hange, Levi menjalani hari-harinya dengan meminum minuman keras tanpa henti. Tubuhnya semakin kurus tak terawat. Para sahabatnya pun tak tahu harus berbuat apa. Karena mereka tahu betapa besarnya pengaruh Hange pada hidup Levi. Pemuda itu tampak seperti mayat hidup.


Hari ini tepat sebulan Hange meninggalkan Levi sendirian. Menyisakan kenangan dan luka yang akan terus tersimpan di lubuk hatinya. Pemuda itu terlalu mencintai Hange.

Dunia Levi seolah ikut berhenti pada hari kematian Hange. Wanita itu pergi dengan membawa seluruh warna dalam hidupnya. Tanpa Hange, hidupnya hanya seputar hitam dan putih.

“Hange, aku mohon kembali. Aku berjanji akan menjadi kekasih yang baik untukmu. Bagaimana aku bisa terus menjalani hidup tanpamu di sisiku.”

Untuk kesekian kalinya pemuda itu meracau dengan botol minuman keras di tangan kanannya.

“Kamu tahu, Levi? Tuhan tidak pernah tidur. Ia selalu mendengarkan doa setiap orang yang mempercayainya. Jadi, apa salahnya kamu mencoba?” ujar Hange dengan senyuman manisnya.

Saat ingatan itu muncul, Levi kemudian bergegas menuju tempat yang selalu Hange datangi. Ia melangkahkan kakinya memasuki sebuah Gereja, tempat di mana sebagian orang memanjatkan doa. Ia menatap lurus ke depan dengan mata yang sendu. Pada akhirnya Ia duduk bersimpuh dengan air mata yang mengalir dari kedua pelupuk matanya.

“Kamu hanya perlu mengaitkan kedua tanganmu seperti ini, lalu pejamkan mata sambil berdoa. Tuhan akan mendengarkanmu.” Jelas Hange, sedangkan Levi hanya diam memperhatikan kekasihnya yang berdoa dengan serius.

Perlahan Levi menyatukan kedua tangannya yang bergetar dengan kedua mata terpejam, mengikuti apa yang selalu Hange lakukan ketika sedang berdoa.

Untuk pertama kali dalam hidupnya ia memutuskan untuk percaya pada Tuhan.

“Tuhan, tolong beri aku kesempatan untuk bertemu dengan Hange. Aku akan melakukan apapun untuk bertemu dengannya.” suara Levi terdengar parau.

Kemudian pemuda itu terdiam sejenak untuk mengumpulkan kekuatan. Kini ia membuka matanya, lalu menatap lurus ke depan.

“Apa kau bisa dengar tangisanku untuknya setiap malam? aku selalu berharap ia kembali menemuiku, tapi ia tak pernah datang.” keluhnya sambil tertawa masam.

Lalu, ia kembali menatap dengan pandangan penuh harap.

“Tuhan, jika kau memang benar ada tolong dengarkan doaku. Kau bilang kau akan mendengarkan tangisan domba yang lemah. Apa kau akan mendengarkan doaku juga? Tolong kembalikan Hange padaku. Aku mohon.”

Levi terus memohon hingga akhirnya ia tak memiliki tenaga lagi untuk sekedar berjalan pulang, maka dari itu ia memutuskan untuk tetap disana sementara waktu. Berulang kali berdoa dengan putus asa berharap permintaannya terkabul.

Hanya saja, bagaimana bisa orang yang telah tiada kembali ke dunia? Bukankah itu mustahil? Levi sadar itu, tetapi ia tidak tahu harus berbuat apa lagi. Pemuda itu benar-benar berada di titik ingin menyerah.


“Levi.”

Samar-samar Levi mendengar suara yang memanggil namanya.

“Levi.”

Suara itu semakin keras dan mendekat.

“Levi.”

Tubuh Levi menegang ketika menyadari suara itu adalah suara yang sangat ia rindukan. Suara yang selalu ia ingin dengar. Pemuda itu kemudian berbalik dan menemukan Hange berdiri tak jauh darinya.

Wanita itu masih sama, tetapi kali ini ia terlihat berkali lipat lebih cantik. Wajah cantiknya yang bercahaya dan senyumannya yang indah bersatu menjadi sebuah elegi.

Levi tersenyum dengan mata yang kembali berkaca-kaca saat Hange mulai berjalan menghampirinya. Wanita itu duduk sambil memeluk kedua lututnya tepat di hadapan Levi.

“Hange.”

“Kamu tidak ingin memelukku?” tanya Hange sambil tersenyum lebar, memperlihatkan deretan giginya yang rapih

Cantik.

“Tentu saja mau, bodoh.” balas Levi dengan suara serak, ia segera memeluk tubuh wanita itu erat.

Mereka cukup lama dalam posisi tersebut.

“Kamu tidak akan melepaskan pelukanmu?” tanya Hange

“Tidak, biarkan seperti ini untuk waktu yang lama. Aku tidak keberatan jika harus memelukmu satu hari penuh.”

Hange tersenyum mendengar balasan Levi. Kemudian ia mengusap lembut rambut halus milik kekasihnya itu.

“Bagaimana kabarmu? apa kamu baik-baik saja?”

“Tidak.” balas Levi tanpa melepaskan pelukannya.

“Kenapa?”

“Kamu tidak ada di sini, bagaimana bisa aku baik-baik saja.”

“Levi.”

“Hm.”

“Bisakah kamu melepaskan aku?”

Mendengar itu Levi melepaskan pelukannya lalu menatap Hange dalam. Ia kemudian menundukkan kepalanya.

“Aku tidak bisa.”

Hange menangkup kedua pipi Levi sambil tersenyum hangat.

“Hei, kamu bisa.”

“Walaupun dunia kita sudah berbeda, tetapi aku tidak pernah meninggalkanmu sendirian. Aku disini dan selalu disini.” lanjut Hange sambil menunjuk dada Levi.

“Tapi-”

“Levi, hidup kamu masih panjang. Jika kamu tidak bisa bertahan untuk dirimu sendiri, bisakah kamu bertahan untukku?” potong Hange

“Aku mohon.”

“Baik lah. Aku akan bertahan untukmu. Tapi kamu harus berjanji akan datang ke mimpiku.” balas Levi membuat wanita itu kembali memeluknya.

“Selama kamu mau bertahan dan berhenti menyakiti dirimu sendiri, aku akan datang.”

“Aku berjanji.”

“Terimakasih, Levi.”

“Aku menyayangimu, Hange.”

Pemuda itu mengeratkan pelukannya pada Hange.

“Levi, aku harus pergi.” ujar Hange pelan

Namun pemuda itu tak menanggapinya. Ia belum siap untuk kehilangan wanita itu untuk yang kedua kalinya.

“Levi.”

Dengan berat hati Levi melepaskan pelukannya.

“Sampai jumpa lagi.” ujar Hange lalu mencium dahi Levi kemudian mengusap rambutnya penuh kasih sayang.

“Ini untukmu.”

Hange memberikan kacamata yang ia gunakan pada Levi.

“Simpan baik-baik.”

Genggaman tangan Levi semakin mengendur bersamaan dengan memudarnya tubuh Hange.


Levi terbangun dari tidurnya, lalu menatap sekeliling dan melihat jarum jam yang telah menunjukkan angka sembilan. Ia memandang ke arah luar jendala.

Ternyata sudah malam.

Lalu pemuda itu menatap lurus ke depan.“Terimakasih kau telah mendatangkan Hange ke mimpiku.”

Kemudian ia beranjak dari duduknya.

Pluk

Sebuah benda terjatuh dari pangkuannya. Pupil milik Levi membesar tak percaya, namun tak lama kemudian sudut bibirnya terangkat membentuk sebuah senyuman.

“Ah, terimakasih lagi untuk membuatnya benar-benar datang kepadaku.” ujar Levi lalu memasukan benda tersebut ke dalam saku jaketnya.

“Hange, terimakasih telah memberiku kacamata ini. Aku akan menepati janjiku.”

Levi tidak berniat memikirkan kejadian itu benar-benar nyata atau hanya sekedar mimpi. Selama ia bisa merasakan kehadiran Hange di sisinya, itu sudah lebih dari cukup.

Seorang pria dengan sweater berwarna hijau tua tersenyum lebar ketika dirinya memasuki rumah yang selama ini ia rindukan. Tempat di mana semua kenangannya bersama wanita bernama Shimizu Kiyoko dulu.

Benar, pria itu adalah Koushi Sugawara.

Setelah membereskan semua barang-barang miliknya, ia memutuskan untuk mencari udara segar. Jarinya sibuk menari di atas layar ponselnya, pria itu menimbang-nimbang apakah ia harus mengirim pesan tersebut atau menghapusnya kembali.

Koushi memejamkan matanya lalu menekan tombol kirim. Tak lama kemudian senyumannya merekah ketika membaca nama seseorang yang sangat ia rindukan muncul di layar benda persegi tersebut.

Kakinya melangkah dengan lebar, jantungnya berdetak cepat. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya, karena bagaimana pun mereka tidak pernah lagi bertukar kabar selama lima tahun lamanya.

Akhirnya Koushi tiba di cafe tempat pertama mereka berkencan. Ia benar-benar merasa bahagia dan gugup dalam waktu yang bersamaan.

“Koushi.” suara lembut itu membuat perhatian Koushi teralih dengan cepat

Shimizu Kiyoko kini hadir di hadapannya, dengan susah payah ia harus menahan diri agar tidak berlari untuk memeluk wanita itu.

Masalah yang terjadi antara mereka cukup rumit, maka dari itu Koushi tidak mau membuat wanita itu lari. Melihat Kiyoko mau menemuinya saja ia sudah bersyukur. Karena bagaimanapun dirinya telah menanam luka pada wanita itu.

“Apa kabar Kiyoko?” tanya Koushi sambil mempersilahkan wanita itu untuk duduk

Kiyoko tertawa mendengar pertanyaan pria itu.

“Kenapa kamu ketawa?”

“Lucu aja, kita kaya orang asing beneran. Tapi ya emang kenyataan kan? lost contact selama lima tahun kayanya udah cukup bikin kita berubah jadi orang asing.” jelas Kiyoko

“Maaf.”

“Aku udah berdamai sama masa lalu kita, aku juga udah maafin kamu. Sejujurnya aku kesini mau ngasih tau kamu sesuatu.” ujar Kiyoko sambil mengeluarkan sebuah kertas yang terlihat seperti undangan.

Koushi mengerutkan dahinya, namun melihat nama Kiyoko disana membuatnya seperti terpukul oleh beban yang sangat berat.

Kiyoko akan menikah. Bodohnya ia tidak menyadari bahwa cincin itu sedari tadi terpasang di jari manis mantan kekasihnya itu.

“Oh, selamat ya Kiyoko.” sahut Koushi mencoba untuk tersenyum lebar

Lima tahun sejak mereka memutuskan berpisah telah berlalu dan mereka telah memilih untuk menjalani hidup masing-masing. Lantas, mengapa Koushi masih menaruh hati pada mantan kekasihnya itu?

Sejak hari itu ia tersadar bahwa rasa cemburu itu masih ada dan Shimizu Kiyoko tidak pernah pergi dari hatinya. Tetapi, apa boleh buat? nasi telah menjadi bubur.

Seorang pria dengan sweater berwarna hijau tua tersenyum lebar ketika dirinya memasuki rumah yang selama ini ia rindukan. Tempat di mana semua kenangannya bersama wanita bernama Shimizu Kiyoko dulu.

Benar, pria itu adalah Koushi Sugawara.

Setelah membereskan semua barang-barang miliknya, ia memutuskan untuk mencari udara segar. Jarinya sibuk menari di atas layar ponselnya, pria itu menimbang-nimbang apakah ia harus mengirim pesan tersebut atau menghapusnya kembali.

Koushi memejamkan matanya lalu menekan tombol kirim. Tak lama kemudian senyumannya merekah ketika membaca nama seseorang yang sangat ia rindukan muncul di layar benda persegi tersebut.

Kakinya melangkah dengan lebar, jantungnya berdetak cepat. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya, karena bagaimana pun mereka tidak pernah lagi bertukar kabar selama lima tahun lamanya.

Akhirnya Koushi tiba di cafe tempat pertama mereka berkencan. Ia benar-benar merasa bahagia dan gugup dalam waktu yang bersamaan.

“Koushi.” suara lembut itu membuat perhatian Koushi teralih dengan cepat

Shimizu Kiyoko kini hadir di hadapannya, dengan susah payah ia harus menahan diri agar tidak berlari untuk memeluk wanita itu.

Masalah yang terjadi antara mereka cukup rumit, maka dari itu Koushi tidak mau membuat wanita itu lari. Melihat Kiyoko mau menemuinya saja ia sudah bersyukur. Karena bagaimanapun dirinya telah menanam luka pada wanita itu.

“Apa kabar Kiyoko?” tanya Koushi sambil mempersilahkan wanita itu untuk duduk

Kiyoko tertawa mendengar pertanyaan pria itu.

“Kenapa kamu ketawa?”

“Lucu aja, kita kaya orang asing beneran. Tapi ya emang kenyataan kan? lost contact selama lima tahun kayanya udah cukup bikin kita berubah jadi orang asing.” jelas Kiyoko

“Maaf.”

“Aku udah berdamai sama masa lalu kita, aku juga udah maafin kamu. Sejujurnya aku kesini mau ngasih tau kamu sesuatu.” ujar Kiyoko sambil mengeluarkan sebuah kertas yang terlihat seperti undangan.

Koushi mengerutkan dahinya, namun melihat nama Kiyoko disana membuatnya seperti terpukul oleh beban yang sangat berat.

Kiyoko akan menikah. Bodohnya ia tidak menyadari bahwa cincin itu sedari tadi terpasang di jari manis mantan kekasihnya itu.

“Oh, selamat ya Kiyoko.” sahut Koushi mencoba untuk tersenyum lebar

Lima tahun sejak mereka memutuskan berpisah telah berlalu dan mereka telah memilih untuk menjalani hidup masing-masing. Lantas, mengapa Koushi masih menaruh hati pada mantan kekasihnya itu?

Sejak hari itu ia tersadar bahwa rasa cemburu itu masih ada dan Shimizu Kiyoko tidak pernah pergi dari hatinya. Tetapi, apa boleh buat? nasi telah menjadi bubur.

Seorang pria dengan sweater berwarna hijau tua tersenyum lebar ketika dirinya memasuki rumah yang selama ini ia rindukan. Tempat di mana semua kenangannya bersama wanita bernama Shimizu Kiyoko dulu.

Benar, pria itu adalah Koushi Sugawara.

Setelah membereskan semua barang-barang miliknya, ia memutuskan untuk mencari udara segar. Jarinya sibuk menari di atas layar ponselnya, pria itu menimbang-nimbang apakah ia harus mengirim pesan tersebut atau menghapusnya kembali.

Koushi memejamkan matanya lalu menekan tombol kirim. Tak lama kemudian senyumannya merekah ketika membaca nama seseorang yang sangat ia rindukan muncul di layar benda persegi tersebut.

Kakinya melangkah dengan lebar, jantungnya berdetak cepat. Keringat dingin mulai membasahi tubuhnya, karena bagaimana pun mereka tidak pernah lagi bertukar kabar selama lima tahun lamanya.

Akhirnya Koushi tiba di cafe tempat pertama mereka berkencan. Ia benar-benar merasa bahagia dan gugup dalam waktu yang bersamaan.

“Koushi.” suara lembut itu membuat perhatian Koushi teralih dengan cepat

Shimizu Kiyoko kini hadir di hadapannya, dengan susah payah ia harus menahan diri agar tidak berlari untuk memeluk wanita itu.

Masalah yang terjadi antara mereka cukup rumit, maka dari itu Koushi tidak mau membuat wanita itu lari. Melihat Kiyoko mau menemuinya saja ia sudah bersyukur. Karena bagaimanapun dirinya telah menanam luka pada wanita itu.

“Apa kabar Kiyoko?” tanya Koushi sambil mempersilahkan wanita itu untuk duduk

Kiyoko tertawa mendengar pertanyaan pria itu.

“Kenapa kamu ketawa?”

“Lucu aja, kita kaya orang asing beneran. Tapi ya emang kenyataan kan? lost contact selama lima tahun kayanya udah cukup bikin kita berubah jadi orang asing.” jelas Kiyoko

“Maaf.”

“Aku udah berdamai sama masa lalu kita, aku juga udah maafin kamu. Sejujurnya aku kesini mau ngasih tau kamu sesuatu.” ujar Kiyoko sambil mengeluarkan sebuah kertas yang terlihat seperti undangan.

Koushi mengerutkan dahinya, namun melihat nama Kiyoko disana membuatnya seperti terpukul oleh beban yang sangat berat.

Kiyoko akan menikah. Bodohnya ia tidak menyadari bahwa cincin itu sedari tadi terpasang di jari manis mantan kekasihnya itu.

“Oh, selamat ya Kiyoko.” sahut Koushi mencoba untuk tersenyum lebar

Lima tahun sejak mereka memutuskan berpisah telah berlalu dan mereka telah memilih untuk menjalani hidup masing-masing. Lantas, mengapa Koushi masih menaruh hati pada mantan kekasihnya itu?

Sejak hari itu ia tersadar bahwa rasa cemburu itu masih ada dan Shimizu Kiyoko tidak pernah pergi dari hatinya. Tetapi, apa boleh buat? nasi telah menjadi bubur.

Matahari terbenam selalu memberikan kedamaian bagi siapapun yang melihatnya. Begitu pula dengan Levi dan Hange yang sedang duduk di tepi pantai menikmati indahnya sang surya di telan bumi.

Keduanya hanya diam menikmati warna jingga yang perlahan memudar dengan desiran ombak yang menenangkan.

Hange memejamkan kedua matanya sambil tersenyum, rambutnya bergoyang mengikuti arah angin, membuat Levi yang sedang menatapnya juga ikut tersenyum walau hanya tipis.

Sejenak mereka melupakan semua masalah yang sedang mereka hadapi. Di hadapan ombak dan langit senja, keduanya memilih untuk melepaskan status mereka sebagai seorang komandan dan manusia terkuat. Saat ini mereka hanya lah Levi dan Hange.

“Levi” panggil Hange pelan tanpa menoleh, wanita itu tetap menatap lurus ke depan.

“Hm”

Hening.

Cukup lama mereka bertahan dalam situasi itu.

“Han?”

Hange kemudian menoleh, menatap lekat pria bersurai hitam yang beberapa tahun ini selalu ada untuknya. Senyuman manis itu tak pernah lepas dari bibir indahnya.

“Aku mau kamu janji sama aku.” ujar Hange

Pria itu mengerutkan dahinya tanda tak mengerti, tetapi Hange tetap mengulurkan kelingkingnya tepat di depan wajah Levi.

“Janji ya?” ulangnya lagi

Sedangkan Levi tetap tak mengerti janji apa yang Hange maksud “Apa?”

Hange merengut saat Levi tidak juga menyambut kelingkingnya. Dengan cepat ia menarik lengan pria itu, lalu menautkan kedua kelingking mereka menandakan sebuah ikatan janji.

“Tsk.”

“Nah sekarang kamu udah janji, jadi kamu harus nepatin ya.” ujar Hange dengan senyuman lebar

“Terserah kamu.” balas Levi sambil memutar kedua bola matanya malas, sedangkan Hange hanya tertawa

Hange tahu Levi akan melakukan apapun yang ia minta.

Keduanya kembali terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Tentu saja sambil menikmati setiap detik moment yang sangat jarang bisa mereka rasakan. Hingga akhirnya suara Hange kembali memecahkan keheningan diantara mereka.

“Levi.” panggilnya sambil menatap Levi dengan senyuman yang tak biasa. Ada rasa takut yang terselip disana dan Levi bisa melihat itu dengan jelas.

“Hm.”

“Aku tahu kamu ga akan ingkar janji.”

“Itu karena kamu maksa.”

“Sama saja, yang penting kamu udah janji.”

“Tsk.”

“Liat aku terus dengarin baik-baik, kalau nanti aku gugur atau harus ngorbanin diri aku sendiri, kamu harus relain aku oke?” jelas Hange membuat Levi menatapnya tak suka

“Idiot. Kita pasti selamat. Semua yang kamu takutin itu ga akan terjadi.” balas Levi dengan nada yang meninggi, walau sejujurnya ia sendiri tidak yakin.

“Tapi kamu udah janji, lagipula cepat atau lambat hari itu bakal datang. Entah aku atau kamu dulu. Kamu tahu sendiri kemungkinan kita bertahan hidup itu ga banyak.”

“Ga.”

“Levi.”

“Kenapa aku harus?”

“Aku takut.”

“Aku takut keberanian yang udah aku kumpulin selama ini bakal goyah, aku ga yakin sanggup kalau kamu nahan aku. Jadi kamu ga boleh lakuin itu.” lanjut Hange sambil tersenyum

“Oh satu lagi, kalau kamu selamat sampai akhir dan aku engga, tolong tetap bertahan. Kamu ga perlu takut sendirian, karena kemana pun kamu pergi aku ada di sana.”

“Berhenti ngomong kaya orang yang mau mati besok.”

“Hahahaha”

Hange berlari dengan terburu-buru menuju kelas ramuan milik Professor Snape. Mulutnya tak berhenti komat-kamit merapalkan kalimat berharap ia akan lolos dari hukuman karena terlambat.

“Jangan kena detensi please please please.”

Menurut Hange semua ini teradi karena kesalahan Levi. Kalau saja malam tadi laki-laki itu tidak membuatnya kelelahan maka ia tidak akan terlambat seperti ini.

“Professor saya minta maaf” mohon Hange dengan gugup saat ia tiba di hadapan Professor Snape.

Semua mata pun kini tertuju padanya, bahkan beberapa murid hampir tidak sanggup untuk menahan tawa mereka. Jika saja ini bukan kelas Professor Snape mungkin mereka sudah terang-terangan mentertawakan Hange.

Gadis itu semakin menunduk takut ketika menyadari sang Professor terus menatap dirinya penuh selidik dengan mata yang menyipit. Hange merasa ia seperti tawanan yang kabur dari Azkaban.

“Aku tidak ingat memiliki murid bernama Hange Zoe di asrama Slytherin” sahut Professor Snape dengan tatapan tajamnya

Gadis itu terdiam mencerna apa yang baru saja ia dengar. Dengan cepat, Hange memperhatikan penampilannya dari atas sampai bawah. Matanya melotot saat melihat dasi berwarna hijau perak yang ia gunakan sekarang tentu saja bukanlah miliknya, melainkan milik seorang laki-laki yang kini sedang menatap dirinya dengan kedua alis terangkat dan tidak lupa sebuah seringai tercetak jelas di bibirnya. Lalu dengan santainya ia mengeluarkan dasi warna biru dan perunggu milik Hange dari balik jubahnya.

Kalian pernah merasa asing dengan diri sendiri? Pernah merasa tidak mengenali dirimu yang asli? Pernah merasa semua yang kalian lakukan itu sia-sia?

Jika kalian pernah merasakannya, maka kalian akan mengerti perasaan sosok wanita bernama Hange Zoe. Wanita yang terkenal akan sikapnya yang selalu ceria dan memahami semua orang yang dekat dengannya.

Wanita berkacamata itu selalu menopang orang lain, mendengarkan semua keluh kesah mereka. Ia selalu memberi mereka harapan.

Tapi, siapa yang akan mendengarkannya? siapa yang akan memberinya kekuatan?

Bertahun-tahun Ia menahan beban sendirian, Hange selalu mencoba untuk terlihat kuat. Ia selalu mencoba untuk terlihat baik-baik saja. Ia selalu menutupinya dengan senyuman lebar. Ia selalu mencoba menjadi apa yang orang lain mau. Sampai terkadang Ia tidak tahu mana dirinya yang asli.

Wanita itu menahan beban di pundaknya sendirian. Hange lupa, bahwa dirinya juga manusia.

Hingga akhirnya, di hadapan seorang Levi Ackerman pertahanannya runtuh. Wanita itu menangis melepaskan semua beban di pundaknya.

Sunyi.

Tak ada satu pun dari mereka yang berbicara, hanya suara tangisan putus asa Hange.

Pelukan Levi semakin erat, tangannya Ia gunakan untuk mengusap lembut rambut wanita itu.

“Please remember, I'm here and always be here for you.” ujar Levi dengan tulus

Ia terdiam sebentar lalu melanjutkan ucapannya dengan lembut “I'll keep you safe, Hange.”

Bertemu dengan banyak orang merupakan salah satu hal yang sangat dihindari oleh seorang Rifai Atmadja. Namun, sepertinya alam semesta tidak berpihak padanya. Karena, pemuda itu kini berada di salah satu SMA ternama di kotanya.

Sebagai alumni, Ia diminta untuk mensosialisasikan kampusnya kepada murid-murid kelas 12. Walaupun Ia sebenarnya tidak ingin, tetapi pemuda itu tidak bisa menolak.

Dengan langkah kaki yang berat, Ia berjalan melewati koridor yang dipenuhi oleh murid-murid yang sedang beristirahat.

Untuk menghindari banyaknya pasang mata, Ia memutuskan untuk menunggu di area perpustakaan.

BRUK

“Aduh” seorang gadis berkacamata dengan rambut ekor kuda meringis ketika tubuhnya harus mencium lantai. Buku-buku yang Ia bawa pun ikut berserakan.

“Kalau jalan pake mata” sahut Rifai sambil membersihkan bajunya dari debu yang menempel akibat terjatuh.

“Jalan tuh pake kaki bukan mata” balas gadis itu kesal karena Rifai sama sekali tak berniat membantunya membereskan buku-buku yang berserakan.

“Lagian kakak sama buku aku aja masih tinggian buku yang aku bawa. Ya mana keliatan” tambah gadis itu membuat Rifai menatapnya dengan tatapan tajam

“Kamu ngehina saya?”

“Fakta kak.”

“Cih. Daripada kamu mata udah empat tapi masih ga bisa liat jalan”

“Idih dendam” sahut gadis itu sambil berdiri dengan tumpukan buku di tangannya.

“Siapa yang dendam?”

“Kakak lah”

“Sotau.”

“Jangan bilang kakak kesini sengaja mau ribut sama aku?”

“Dih geer, kenal juga engga”

“Oh bilang dong kak kalau mau kenalan, ga perlu ngajak ribut”

“Dih”

“Aku Jihan kak” ujar Gadis itu sambil mengulurkan tangan

Rifai tenggelam dalam mata coklat milik gadis itu. Mata yang selalu Ia lihat dalam mimpinya.

Hanji. Hanji Zoe

Rifai menggelengkan kepalanya dengan cepat, membuat gadis bernama Jihan itu mengangkat sebelah alisnya.

“Kak?”

“Apa.”

“Dih galak”

“Tunggu” sahut Rifai saat Jihan hendak berbalik karena merasa tidak ditanggapi olehnya.

Rifai menarik lengan gadis itu, membuat sang empu tersentak kaget.

“Nama kamu siapa?”

“Jihan kak”

Jihan. Hanji

Nama mereka pun sangat mirip.

“Yaudah sana” Jihan menatap tangan Rifai yang masih memegang tangannya.

“Bisa lepasin dulu tangan aku ga kak?”

Rifai buru-buru melepaskan tangannya sambil menahan malu. Sedangkan Jihan hanya tertawa lalu berbalik meninggalkan Rifai.

Namun baru beberapa langkah, gadis itu berhenti kemudian menoleh ke arah Rifai dengan senyuman manis.

“Oh iya kak, muka kakak mirip sama cowok yang suka muncul di mimpi aku.”