Seorang pemuda memasuki kawasan Rumah Sakit dengan tergesa-gesa karena mendapat kabar bahwa kekasihnya yang menjadi korban tabrak lari tidak dapat diselamatkan. Dengan perasaan yang tak karuan, ia membuka pintu ruangan kekasihnya itu dengan kasar.
Orang-orang di sana menatap dirinya dengan pandangan khawatir.
Langkah kakinya semakin terasa berat ketika melihat wajah cantik kekasihnya kini telah berubah menjadi pucat. Rasa sakit yang menguasai hatinya membuat pemuda itu sama sekali tidak meneteskan air mata, karena sampai detik ini ia masih tidak percaya bahwa kekasihnya telah tiada.
Saat tiba di sampingnya, pemuda itu langsung menggenggam erat tangan kekasihnya yang dingin dan kaku. Ia menatap wanita itu penuh harapan.
Pemuda itu berharap ada sebuah keajaiban.
“Hange, ayo bangun.” ujarnya dengan suara yang sangat lembut
“Hange.” panggilnya lagi
“Hange.”
“Hange, please?”
Hening.
Semua orang yang berada di sana tak ada yang berani membuka suara, mereka hanya diam menyaksikan sepasang kekasih itu dengan air mata yang perlahan mulai berjatuhan.
Pemuda itu mulai hilang kendali.
“HANGE BANGUN.” pada akhirnya pemuda bersurai hitam itu tak lagi bisa menahan dirinya. Ia menggoyang-goyangkan tubuh kaku itu dengan harapan kekasihnya bangun.
Pemuda itu terus berteriak putus asa, membuat kedua temannya, Erwin dan Mike harus menahan tubuhnya dengan sekuat tenaga.
“Levi berhenti, Hange tidak akan senang melihatmu seperti ini. Relakan dia.” ujar Erwin sambil menepuk-nepuk pundak sahabatnya itu.
Levi selalu bermimpi untuk menua bersama Hange. Tetapi, mengapa wanita itu harus lebih dulu pergi meninggalkan dirinya. Mengapa Tuhan harus membawa pulang wanita yang sangat ia cintai. Jika seperti ini, lalu bagaimana ia harus menjalani sisa hidupnya.
Setelah pemakaman Hange, Levi menjalani hari-harinya dengan meminum minuman keras tanpa henti. Tubuhnya semakin kurus tak terawat. Para sahabatnya pun tak tahu harus berbuat apa. Karena mereka tahu betapa besarnya pengaruh Hange pada hidup Levi. Pemuda itu tampak seperti mayat hidup.
Hari ini tepat sebulan Hange meninggalkan Levi sendirian. Menyisakan kenangan dan luka yang akan terus tersimpan di lubuk hatinya. Pemuda itu terlalu mencintai Hange.
Dunia Levi seolah ikut berhenti pada hari kematian Hange. Wanita itu pergi dengan membawa seluruh warna dalam hidupnya. Tanpa Hange, hidupnya hanya seputar hitam dan putih.
“Hange, aku mohon kembali. Aku berjanji akan menjadi kekasih yang baik untukmu. Bagaimana aku bisa terus menjalani hidup tanpamu di sisiku.”
Untuk kesekian kalinya pemuda itu meracau dengan botol minuman keras di tangan kanannya.
“Kamu tahu, Levi? Tuhan tidak pernah tidur. Ia selalu mendengarkan doa setiap orang yang mempercayainya. Jadi, apa salahnya kamu mencoba?” ujar Hange dengan senyuman manisnya.
Saat ingatan itu muncul, Levi kemudian bergegas menuju tempat yang selalu Hange datangi. Ia melangkahkan kakinya memasuki sebuah Gereja, tempat di mana sebagian orang memanjatkan doa. Ia menatap lurus ke depan dengan mata yang sendu. Pada akhirnya Ia duduk bersimpuh dengan air mata yang mengalir dari kedua pelupuk matanya.
“Kamu hanya perlu mengaitkan kedua tanganmu seperti ini, lalu pejamkan mata sambil berdoa. Tuhan akan mendengarkanmu.” Jelas Hange, sedangkan Levi hanya diam memperhatikan kekasihnya yang berdoa dengan serius.
Perlahan Levi menyatukan kedua tangannya yang bergetar dengan kedua mata terpejam, mengikuti apa yang selalu Hange lakukan ketika sedang berdoa.
Untuk pertama kali dalam hidupnya ia memutuskan untuk percaya pada Tuhan.
“Tuhan, tolong beri aku kesempatan untuk bertemu dengan Hange. Aku akan melakukan apapun untuk bertemu dengannya.” suara Levi terdengar parau.
Kemudian pemuda itu terdiam sejenak untuk mengumpulkan kekuatan. Kini ia membuka matanya, lalu menatap lurus ke depan.
“Apa kau bisa dengar tangisanku untuknya setiap malam? aku selalu berharap ia kembali menemuiku, tapi ia tak pernah datang.” keluhnya sambil tertawa masam.
Lalu, ia kembali menatap dengan pandangan penuh harap.
“Tuhan, jika kau memang benar ada tolong dengarkan doaku. Kau bilang kau akan mendengarkan tangisan domba yang lemah. Apa kau akan mendengarkan doaku juga? Tolong kembalikan Hange padaku. Aku mohon.”
Levi terus memohon hingga akhirnya ia tak memiliki tenaga lagi untuk sekedar berjalan pulang, maka dari itu ia memutuskan untuk tetap disana sementara waktu. Berulang kali berdoa dengan putus asa berharap permintaannya terkabul.
Hanya saja, bagaimana bisa orang yang telah tiada kembali ke dunia? Bukankah itu mustahil? Levi sadar itu, tetapi ia tidak tahu harus berbuat apa lagi. Pemuda itu benar-benar berada di titik ingin menyerah.
“Levi.”
Samar-samar Levi mendengar suara yang memanggil namanya.
“Levi.”
Suara itu semakin keras dan mendekat.
“Levi.”
Tubuh Levi menegang ketika menyadari suara itu adalah suara yang sangat ia rindukan. Suara yang selalu ia ingin dengar. Pemuda itu kemudian berbalik dan menemukan Hange berdiri tak jauh darinya.
Wanita itu masih sama, tetapi kali ini ia terlihat berkali lipat lebih cantik. Wajah cantiknya yang bercahaya dan senyumannya yang indah bersatu menjadi sebuah elegi.
Levi tersenyum dengan mata yang kembali berkaca-kaca saat Hange mulai berjalan menghampirinya. Wanita itu duduk sambil memeluk kedua lututnya tepat di hadapan Levi.
“Hange.”
“Kamu tidak ingin memelukku?” tanya Hange sambil tersenyum lebar, memperlihatkan deretan giginya yang rapih
Cantik.
“Tentu saja mau, bodoh.” balas Levi dengan suara serak, ia segera memeluk tubuh wanita itu erat.
Mereka cukup lama dalam posisi tersebut.
“Kamu tidak akan melepaskan pelukanmu?” tanya Hange
“Tidak, biarkan seperti ini untuk waktu yang lama. Aku tidak keberatan jika harus memelukmu satu hari penuh.”
Hange tersenyum mendengar balasan Levi. Kemudian ia mengusap lembut rambut halus milik kekasihnya itu.
“Bagaimana kabarmu? apa kamu baik-baik saja?”
“Tidak.” balas Levi tanpa melepaskan pelukannya.
“Kenapa?”
“Kamu tidak ada di sini, bagaimana bisa aku baik-baik saja.”
“Levi.”
“Hm.”
“Bisakah kamu melepaskan aku?”
Mendengar itu Levi melepaskan pelukannya lalu menatap Hange dalam. Ia kemudian menundukkan kepalanya.
“Aku tidak bisa.”
Hange menangkup kedua pipi Levi sambil tersenyum hangat.
“Hei, kamu bisa.”
“Walaupun dunia kita sudah berbeda, tetapi aku tidak pernah meninggalkanmu sendirian. Aku disini dan selalu disini.” lanjut Hange sambil menunjuk dada Levi.
“Tapi-”
“Levi, hidup kamu masih panjang. Jika kamu tidak bisa bertahan untuk dirimu sendiri, bisakah kamu bertahan untukku?” potong Hange
“Aku mohon.”
“Baik lah. Aku akan bertahan untukmu. Tapi kamu harus berjanji akan datang ke mimpiku.” balas Levi membuat wanita itu kembali memeluknya.
“Selama kamu mau bertahan dan berhenti menyakiti dirimu sendiri, aku akan datang.”
“Aku berjanji.”
“Terimakasih, Levi.”
“Aku menyayangimu, Hange.”
Pemuda itu mengeratkan pelukannya pada Hange.
“Levi, aku harus pergi.” ujar Hange pelan
Namun pemuda itu tak menanggapinya. Ia belum siap untuk kehilangan wanita itu untuk yang kedua kalinya.
“Levi.”
Dengan berat hati Levi melepaskan pelukannya.
“Sampai jumpa lagi.” ujar Hange lalu mencium dahi Levi kemudian mengusap rambutnya penuh kasih sayang.
“Ini untukmu.”
Hange memberikan kacamata yang ia gunakan pada Levi.
“Simpan baik-baik.”
Genggaman tangan Levi semakin mengendur bersamaan dengan memudarnya tubuh Hange.
Levi terbangun dari tidurnya, lalu menatap sekeliling dan melihat jarum jam yang telah menunjukkan angka sembilan. Ia memandang ke arah luar jendala.
Ternyata sudah malam.
Lalu pemuda itu menatap lurus ke depan.“Terimakasih kau telah mendatangkan Hange ke mimpiku.”
Kemudian ia beranjak dari duduknya.
Pluk
Sebuah benda terjatuh dari pangkuannya. Pupil milik Levi membesar tak percaya, namun tak lama kemudian sudut bibirnya terangkat membentuk sebuah senyuman.
“Ah, terimakasih lagi untuk membuatnya benar-benar datang kepadaku.” ujar Levi lalu memasukan benda tersebut ke dalam saku jaketnya.
“Hange, terimakasih telah memberiku kacamata ini. Aku akan menepati janjiku.”
Levi tidak berniat memikirkan kejadian itu benar-benar nyata atau hanya sekedar mimpi. Selama ia bisa merasakan kehadiran Hange di sisinya, itu sudah lebih dari cukup.