Berkat kehadiran Hange, hari demi hari Levi jalani dengan rajin meminum obat tepat waktu. Tetapi, hari ini Ia tidak melihat sosok perempuan itu di mana pun. Biasanya, mereka selalu menghabiskan waktu bersama.
Hingga malam tiba perempuan itu tak kunjung menampakkan dirinya. Bahkan, besok dan hari seterusnya Ia tak pernah datang lagi.
Ini sudah hari kesepuluh Levi tidak berjumpa dengannya dan itu membuatnya frustasi.
“Isabel” panggil Levi saat adiknya sedang menuangkan teh pada cangkir miliknya.
“Kenapa, Kak?”
“Kau tau Hange dimana?”
Pertanyaan Levi membuat perempuan itu terdiam mematung lalu tersenyum bahagia.
“Sejak kapan Hange menghilang?” tanya Isabel dengan antusias
“Sepuluh hari.”
Senyuman Isabel semakin melebar.
“Sepertinya Kak Levi tidak perlu obat-obatan itu lagi.”
“Maksudmu?”
“Hari ini ikut aku ke Rumah Sakit ya, Kak.”
Entah apa yang sekarang Levi rasakan, kepalanya sangat tidak sanggup untuk mencerna apa yang Dokter katakan padanya. Ini adalah pertama kalinya Ia kembali mengunjungi Dokter, karena semenjak kehadiran Hange Ia tidak pernah mau lagi untuk berobat langsung.
“Hange tidak pernah ada.. Dia hanya teman yang dibuat oleh imajinasimu.”
Ia memutuskan untuk meninggalkan ruangan serba putih itu saat mendengar kalimat tersebut terlontar dari mulut Dokternya. Bahkan, adiknya mengaku bahwa selama ini sosok Hange memang tidak pernah ada.
Isabel bukan tidak menyukai Hange, tetapi perempuan itu memang tidak pernah melihat sosok Hange.
Isabel tidak pernah bertemu Hange.
Di bangku Taman Rumah Sakit Levi mengacak-ngacak rambutnya dengan kasar. Ia benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi pada dirinya.
Apakah selama ini Ia hanya berhalusinasi?
Levi memang mengalami trauma sehingga harus menghabiskan waktunya untuk meminum obat. Tetapi, Ia tidak menyangka bahwa dirinya bisa sampai seperti ini.
Seorang perempuan dengan tangan memegang tiang infusan datang lalu duduk di sampingnya.
“Hi” sapanya ceria
Laki-laki itu membeku saat mendengar suara orang tersebut. Dengan perasaan ragu Ia menoleh ke arah sampingnya di mana perempuan itu sedang duduk sambil tersenyum manis.
“Hange?”
“Kau tahu namaku?” tanya perempuan itu terkejut
“Kau benar Hange?”
“Benar” jawabnya bingung karena Ia tidak mengenal Levi
“Kau nyata?”
“Tentu saja”
Hange itu hanya teman imajinasimu.
“Kau bohong”
“Hah?”
“Kau hanya imajinasiku kan?”
“Aku tidak mengerti maksudmu tapi aku nyata. Kau perlu bukti?” tanya Hange
Levi hanya diam menatap perempuan itu dengan pandangan yang sulit diartikan. Saat ini otaknya sedang tidak bisa berpikir jernih.
Hange membuang napasnya lalu menarik lengan Levi untuk memegang kedua pipinya.
Saat menyadari itu, Levi langsung menarik tangannya. Karena Ia ingat bahwa Hange tidak mau sama sekali bersentuhan.
“Kau sudah percaya?”
“Hm”
Hange menatap Levi dengan tatapan serius “Kau tau? saat melihatmu entah kenapa aku seperti sudah mengenalmu cukup lama. Padahal kita baru saja bertemu.”
Levi hanya diam mendengarkan perempuan itu berbicara.
“Apa kita pernah bertemu?” tanya Hange
Levi tetap diam tak tahu harus menjawab seperti apa.
“Kenapa rasanya tidak asing sekali. Apa ini efek samping setelah koma satu tahun?” lanjutnya
“Kau koma?” tanya Levi
“Ya, setahun yang lalu aku mengalami kecelakaan hingga membuatku hanya bisa berbaring tak sadarkan diri. Aku pun tidak menyangka akan bangun kembali”
“Sejak kapan?”
“Apanya?”
“Kau sadar”
“Oh, kalau aku tidak salah hitung sepertinya sudah sepuluh hari yang lalu?”
“Sepuluh hari?”
Hange mengangguk membalas pertanyaan Levi. Sedangkan laki-laki itu terdiam, pikirannya melayang menyatukan puzzle-puzzle.
Apakah Hange yang selalu menemaninya itu menghilang karena Ia sudah terbangun dari koma?
Apakah selama ini Hange tidak mau memberitahukan informasinya, dan tidak mau bersentuhan karena ini?
Levi tidak mengerti. Menurutnya ini terlalu mustahil untuk terjadi.
Tetapi, satu hal yang membuatnnya senang adalah Ia menemukan Hange kembali.