entuesday

Kerja kelompok.

Levi dan Hange kini saling memandang canggung di depan pintu rumah milik Hange.

Tiba-tiba saja kedua orang tua Hange ada keperluan, hingga mau tak mau mereka harus berduaan.

“Eum.. kerjainnya di teras aja ya? gapapa kan?” ujar Hange ragu

Levi hanya mengangguk, kemudian duduk di salah satu kursi. Entah kenapa, Ia pun merasa gugup dan canggung? terutama ketika Ia menyadari ada yang berbeda dengan tampilan Hange.

Gadis itu terlihat rapih, rambutnya tergerai sempurna. Bahkan, wangi sampoonya pun tercium.

Hange itu cantik, tapi hari ini kadar cantiknya meningkat. Bahkan celana pendek dan sweater terlihat berkali-kali lipat lebih cantik ketika digunakan di tubuhnya yang tinggi. Levi berani bertaruh, jika saja gadis itu lebih memerhatikan dirinya pasti akan banyak yang mengajaknya berkencan.

“Mau minum apa?” pertanyaan Hange membuat dirinya kembali tersadar dari lamunannya

“Apa aja” balas Levi singkat

“Oke, tunggu diambilin dulu” sahut Hange lalu meninggalkan Levi sendirian.

Sepanjang waktu mereka sibuk dengan tugas masing-masing, walau kadang Levi mencuri waktu untuk sekedar memperhatikan gadis di hadapannya.

Dibalik sifatnya yang aneh -untuk ukuran Levi-, gadis itu sangat pintar dan dewasa. Pemikirannya selama diskusi membuat Levi kagum.

Levi rasanya bersyukur bisa melihat sisi lain Hange yang jarang diketahui orang lain. Anehnya, Ia tidak mau orang lain menyadari kecantikan Hange.

“Udah puas belum liatinnya?” ujar Hange memecah keheningan diantara mereka

Hange menaik-turunkan kedua alisnya sambil tersenyum menggoda Levi. Semburat merah tiba-tiba muncul di kedua pipi laki-laki itu

“IH SUMPAH LEVI PIPI LO MERAH BANGET” teriak Hange dengan tawa lepas

Dan sejak saat itu Levi tersadar bahwa gadis itu telah menyita seluruh perhatiannya.

Pertemuan pertama.

Mike melambaikan tangannya pada seorang anak laki-laki yang sedang asik bermain dengan pesawat terbang. Anak itu kemudian berlari menghampiri Mike.

“Kenapa om?” tanya anak itu dengan wajah bingung

“Mau tau ga pertama kali Ayah sama Bunda kamu ketemu kaya gimana?” tanya Mike yang langsung membuat semua orang disana menoleh kearahnya

“Mike, dia masih kecil” tegur istrinya, Nanaba.

“Gapapa tante, Udo juga penasaran pengen denger ceritanya” balas anak kecil bernama Udo itu dengan semangat.

“Nanti aja kalau kamu udah mau nikah” ujar sang Ayah, Levi Ackerman.

“Kelamaan, yaudah gue aja kali yang ceritain?” Mike menawarkan diri

“ENGGAK. LO SUKA NGACO” teriak Hange

“Ngaco apaan? gue berperan penting atas hubungan lo berdua”

“Males banget, gue aja yang cerita” kata Hange

“Ga mau dari Bunda, Udo mau denger versi Ayah.” balas Udo sambil memasang ekspresi memelas pada sang Ayah.

Levi menghembuskan napasnya berat, mau tidak mau Ia harus menuruti kemauan anak satu-satunya itu.

“Oke”

“Aawalnya Ayah murid baru di sekolahnya Bunda kamu.”

“Pas pertama ketemu Bunda gimana? Bunda cantik ya?” tanya Udo antusias

“Cantik lah.” sahut Hange

“Bunda kamu dari dulu jarang keramas”

“IYA DEH YANG MANDINYA SEPULUH KALI SEHARI”

“Diem atau aku cium?” tanya Levi

“ITU ANAK LO MASIH DISITU GAUSAH BIKIN KONTEN PORNO” ujar Mike

“Sirik”

“Om Mike diem dulu dong, kan Udo mau dengerin Ayah cerita”

“Sabar Mike” ujar Nanaba menahan tawa sambil mengelus tangan suaminya itu

“Oke, Ayah lanjut”

/Flashback/

Hange memandang laki-laki di depannya dengan pandangan bingung, Ia kemudian berpaling pada Nanaba teman sebangkunya.

“Dia siapa?” tanya Hange penasaran

“Please, Han? dia baru dikenalin banget barusan, anak pindahan” balas Nanaba tidak percaya teman sebangkunya itu tidak sadar atas kehadiran penghuni baru.

“Ga denger” ujar Hange dengan cengiran khasnya

Hange mencolek punggung laki-laki di hadapannya menggunakan penggaris miliknya

Laki-laki itu menoleh dengan ekspresi seperti siap memakan orang hidup-hidup.

“Hi? gue Hange” sapa Hange dengan senyuman lebar, gadis itu bahkan mengulurkan tangannya

Namun, lelaki itu masih diam memandang aneh Hange.

“Ga nanya”

Hange melotot kaget, sedanglan Nanaba dengan sekuat tenaga menahan tawa agar tidak meledak. Lelaki itu kembali membalikan badannya ke depan, tak memperdulikan Hange yang sibuk mengeluarkan sumpah serapah.

“Gue doain naksir gue mampus lo, bakal gue tolak.” cibir Hange kesal

Tanpa gadis itu ketahui, Levi menarik ujung bibirnya membentuk sebuah senyuman. Walaupun hanya sedikit dan nyaris tidak terlihat, faktnya Hange mampu membuat seorang Levi menyadari keberadaannya.

“Cantik-cantik jarang keramas” batin Levi

See you, Hange.

Dua bulan sudah semenjak pernikahan Udo dengan Zofia. Hari demi hari Levi lewati sendiri, Ia hanya duduk di depan tv menonton semua rekaman tentang Hange. Melihat semua album foto mereka berulang kali.

Rasa rindu yang selama ini Levi berusaha pendam kini telah Ia biarkan mengalir begitu saja. Ia hanya menunggu dimana waktunya tiba.

Levi menatap seseorang yang sangat Ia rindukan sedang berdiri di depan pintu kamarnya dengan senyuman manis. Laki-laki itu mencubit tangannya, namun wanita itu masih berdiri disana.

Tanpa berpikir panjang, Ia berlari memeluk wanita itu dengan erat. Rindunya selama belasan tahun akhirnya terbayar.

“Hange, I miss you so much”

“Hei, kenapa nangis? aku udah datang buat kamu. Aku juga kangen banget” ujar Hange sambil menangkup kedua pipi Levi

“Makasih Levi udah mau bertahan, kamu hebat bisa didik Udo sampai sekarang.” ujar Hange bangga

Levi hanya tersenyum

“Kamu mau ikut aku?” tanya Hange yang dijawab dengan anggukan Levi

Hange mengulurkan tangannya dan disambut bahagia oleh Levi, keduanya tersenyum cerah sambil berjalan menuju titik cahaya lalu menghilang.

Udo mengusap rambut Ayahnya dengan rasa sayang.

“Ayah pasti dijemput Bunda, makanya senyum” ujar Udo saat melihat wajah Ayahnya yang tersenyum cerah

“Kamu gapapa?” tanya Zofia sambil memegang tangan Udo

“Aku sedih, tapi ayah pasti bahagia akhirnya bisa ketemu Bunda. Sekarang ayah bisa pergi dengan tenang karna aku ga sendirian, aku punya kamu” jawab Udo sambil tersenyum kearah Zofia.

Hange sadar.

Levi tersentak kaget saat tangannya tersentuh oleh jemari Hange, wanita itu perlahan membuka matanya membuat Levi bangun dari duduknya untuk bergegas memanggil dokter.

Namun, tangan Hange kini menahan dirinya. Wanita itu tersenyum manis menatap wajah Levi.

“Duduk dulu” ujar Hange pelan

Wanita itu masih belum punya tenaga lebih, tetapi tetap memaksakan diri.

“Bangunin Udo, aku mau ngomong sama kalian berdua”

Tanpa bertanya, Levi membangunkan anak laki-laki itu lalu keduanya berdiri di sebelah ranjang Hange.

“Ko wajahnya murung gitu? senyum dong” ujar Hange sambil tertawa

“Aku panggil dokter ya? kamu baru sadar jangan banyak ngomong dulu.” balas Levi dengan wajah penuh rasa cemas

“Nanti aja”

“Udo, peluk Bunda boleh?” pinta Hange

Udo memeluk Hange dengan erat, tanpa terasa air matanya tak bisa berhenti keluar

“Hei, jagoan bunda ko nangis?”

“B-Bunda cepet sembuh” ujar Udo dengan terbata-bata

“Sayang dengerin ya, Bunda sayang banget sama Udo. Tahun depan Udo udah SMP, harus udah mulai mandiri oke? kalau dikasih tau Ayah harus nurut. Udo harus bantuin Ayah, jangan bikin ayah kesepian” ujar Hange sambil tertawa

Wanita itu mengelus rambut anak satu-satunya dengan penuh kasih sayang. Lalu beralih pada Levi yang sedari tadi hanya diam menyaksikan keduanya.

“Kamu ga mau peluk aku?” tanya Hange sambil tersenyum lebar

Satu detik kemudian Levi telah memeluk tubuh Hange dengan erat, Ia mencium puncak kepala istrinya itu. Entah kenapa Levi merasa Hange sedang melakukan perpisahan.

“Kamu nangis? ga malu apa sama Udo?” ujar Hange sambil mengelus rambut Levi yang masih memeluk dirinya

“Gapapa”

“Levi, aku sayang banget sama kamu. Aku bahagia bisa punya kamu sama Udo disisi aku. Jagain Udo ya? jangan berantem terus.” ujar Hange masih dengan senyumannya

“Ayah sama Udo ikhlasin Bunda ya?”

“Bunda ngantuk mau bobo dulu”

“Iya, tidur yang tenang ya. I love you” ujar Levi sambil mencium dahi Hange lalu diikuti dengan Udo.

“Bunda, jagain Udo dari atas ya”

“See you, Hange”

Setelah ucapan terakhir, Hange menutup mata selamanya dengan senyuman. Meninggalkan kedua orang yang paling Ia cintai.

Kecelakaan.

Mempunyai pekerjaan sebagai seorang Detektif membuat Levi sangat sibuk. Tak beda jauh dengan Hange, yang juga seorang Dokter Patalogi.

Walaupun waktu mereka hampir dihabiskan oleh pekerjaan, keduanya selalu menyempatkan untuk berkomunikasi dan merawat Udo anak mereka satu-satunya.

Hari ini Levi hanya perlu membereskan laporan kasusnya, setelah itu Ia bisa pulang dan bertemu dengan Hange serta Udo.

Drrt.. drrt

Getaran yang bersumber dari ponsel miliknya membuat laki-laki itu mengalihkan perhatiannya.

Nomor tak dikenal terpampang dilayar ponselnya

“Halo?” sapa Levi

“Halo, apa benar ini dengan saudara Levi?” ujar seseorang diseberang sana

“Iya, ada apa?”

“Saya mau memberitahukan bahwa istri anda terlibat kecelakaan beruntun dan mengalami koma. Sekarang beliau sedang dirawat di rumah sakit Marley”

Levi terdiam sejenak hingga ponsel miliknya terjatuh, kepalanya terasa sakit dan seluruh tubuhnya pun terasa lemas. Ia bahkan dengan susah payah bertahan untuk tetap berdiri.

Ia buru-buru menyambar kunci mobil miliknya dan bergegas menuju Rumah Sakit Marley.

Levi mengendarai mobilnya dengan kecepatan penuh, Ia bahkan tidak peduli dengan peraturan lalu lintas. Di pikirannya sekarang hanya ada Hange.

Sepanjang jalan Ia tak berhenti berdoa agar istrinya itu selamat.

confession.

Levi dan Hange kini sedang duduk beralaskan rerumputan. Keduanya menatap langit dengan pikirannya masing-masing.

“The moon is beautiful, isn't?” ujar Levi pelan namun tetap mampu memecahkan keheningan diantara mereka

Hange menolehkan kepalanya menatap Levi dengan senyuman dan sebelah alis terangkat.

“Apa?” tanya Levi membuat Hange semakin tertawa

“Ini perasaan aku aja atau emang pipi kamu merah ya?” goda Hange

“Apaan, mana ada merah” balas Levi sambil mengalihkan pandangannya kearah lain menghindari kontak mata dengan Hange.

“Kamu serius?” tanya Hange pelan

“Serius apa?”

“Yang tadi kamu bilang, aku tau artinya. Itu juga kalau aku ga kegeeran sih” balas Hange

Levi terdiam cukup lama, begitu pula dengan Hange yang setia menunggu jawaban laki-laki itu.

“Iya”

“Jadi, ceritanya kamu beneran sayang sama aku?” tanya Hange sambil tertawa membuat Levi mendelik malas

“Aku juga” balas Hange pelan

Lagi-lagi keduanya terdiam, tak tahu apa yang harus mereka katakan. Hingga suara berat Levi menyadarkan Hange dari lamunannya

“Aku ga mau kita temenan lagi” ujar Levi serius

“Terus? mau musuhan?”

“Engga, mulai sekarang kita pacaran”

“HAH?”

“Kenapa?”

“Kamu ga nembak aku dulu? kamu yakin banget aku bakal nerima kamu?” tanya Hange membuat nyali Levi sedikit menciut

“Kamu nolak aku?”

“HAHAHAHAHAHAHA TEGANG BANGET MUKA KAMU” ujar Hange sambil tertawa

Namun, laki-laki itu masih diam mencerna apa maksud Hange.

“YA AKU TERIMA KAMU LAH NGACO”

Dengan itu kedua sudut bibir Levi terangkat menciptakan senyuman yang berakhir dengan tawa.

Di bawah sinar bulan keduanya duduk berdampingan, dengan tangan Levi memeluk kepala Hange yang sedang bersandar di bahunya.

Sejak malam itu keduanya memulai dengan status baru.

Khawatir.

Levi tiba-tiba bangkit dari posisi duduknya, semua orang yang ada di ruangan menatap laki-laki itu dengan pandangan bingung.

Namun, beberapa detik kemudian mereka semua bisa menebak apa yang terjadi. Lebih tepatnya mereka tau siapa yang membuat seorang Levi khawatir.

Hange Zoe. Satu-satunya orang yang bisa membuat Levi mengeluarkan berbagai ekspresi. Walaupun terlihat cuek dan kasar, semua orang tahu bahwa Hange memiliki tempat sendiri di hati Levi.

Semua orang tahu mereka saling mencintai hanya dengan melihat tingkah mereka. Levi yang gila kebersihan tidak pernah merasa terganggu dengan Hange yang malas mengurus diri. Bahkan sebaliknya, jika bersama Hange Ia terlihat tenang dan nyaman.

Mereka saling mengerti satu sama lain, hanya saja mereka berdua cukup bodoh jika soal percintaan. Selain itu mereka berdua takut jika mereka mengaku, persahabatan mereka akan hancur.

Maka dengan kondisi seperti ini mereka merasa cukup.

“Mau kemana?” tanya Erwin, walaupun sebenarnya Ia sendiri sudah menebak

“Hange” jawabnya singkat

“Sakit lagi? si Hange bener-bener kaya mesin banget hidipnya. Pantes tumbang.” timpal Mike sambil menggeleng-gelengkan kepalanya

“Gue cabut”

Ketika sampai rumah Hange, laki-laki itu melotot kaget ketika melihat Hange memakan ice cream di ruang tamu.

“Hange” tegur Levi membuat gadis itu tersentak kaget

“KO UDAH DATENG LAGI” teriak Hange sambil menyembunyikan ice cream miliknya

“Telat, aku udah liat” balas Levi datar

Laki-laki itu menghampiri Hange lalu duduk disebelahnya, Ia menangkup pipi gadis dihadapannya lalu meringis

“Ini kamu panas banget Hange. Kenapa makan ice cream?” ujar Levi marah

“Justru karna aku panas makanya makan ice cream biar ga dingin” jelas Hange dengan muka memelas

Levi membuang napasnya kasar karena tidak tega jika harus memerahi gadis itu.

“Sini ice creamnya, kamu duduk disitu aku bikinin bubur”

“Tapi kan sayang kalau dibuang, aku abisin aja ya?” tawar Hange masih dengan muka memelas

“Yaudah abisin biar aku siapin kuburan”

“JAHAT BANGET”

“Sakit aja masih berisik” ujar Levi yang dibalas dengan cibiran Hange

Perpustakaan.

Hange membereskan buku-bukunya yang berserakkan sebelum bergegas keluar menghampiri Levi.

Dengan senyuman lebar, Hange menyapa laki-laki yang sedang bersandar pada dinding itu.

“Makasih banyak ganteng” ujar Hange sambil mengambil kantong berisi burger dan cola.

“Hm” gumam Levi masih dengan ekspresi datarnya

Keduanya kini duduk di kursi depan perpustakaan.

“Aku kira kamu ga baca chat terakhir aku” sahut Hange sambil mengunyah membuat Levi berdecak malas.

“Kalau lagi makan gausah ngomong dulu”

Hange kembali cengengesan, setelah menelan burgernya Ia kembali berbicara pada laki-laki dihadapannya itu.

“Ini udah aku telen. Sekarang boleh ngomong gak?”

“Yaudah abisin semuanya terus beresin tugas kamu biar ga sampe malem”

“Kamu sekarang mau langsung ke bem lagi? sana aja, aku gapapa gausah ditungguin, nanti kamu dicariin sama yang lain” ujar Hange merasa bersalah

“Nanti kalau udah beres chat aku, pulangnya bareng. Kalau aku belum bales, chat Erwin aja hp aku tadi abis batre makanya ditinggal” jelas Levi panjang lebar

“Iya dadah” jawab Hange

Namun baru beberapa langkah, Levi kembali membalikan badannya. Ia menghampiri Hange yang menatapnya bingung

“Kenapa ada yang ketinggalan?” tanya Hange namun Levi malah memajukan badannya, sehingga kini jarak wajah mereka sangat dekat.

Levi mendekatkan bibirnya pada telinga Hange membuat janting gadis itu berdetak tidak karuan.

“Keramas, rambut kamu udah bau” bisik Levi

Setelah itu Ia menegakkan kembali badannya dan bergegas meninggalkan Hange yang masih diam mematung hinga..

“LEVI BAJINGAN” teriak Hange dengan muka memerah antara malu dan kesal.

Sedangkan Levi tertawa pelan tanpa sepengetahuan Hange.