entuesday

One day.

Malam ini di rumah Hange dan Jean cukup ramai karena kehadiran Levi, Mike, Erwin, Nanaba dan Pieck. Entah ada angin apa mereka semua memutuskan untuk berkumpul di sana. Padahal hari ini bukan hari libur.

“Dah lah gue pulang males banget” ujar Erwin sambil menyimpan piringnya cukup keras

Semua menatap Erwin dengan pandangan bingung

“Kenapa lo marah-marah terus, kaya kucing minta kawin” sahut Mike membuat Erwin semakin kesal

“MENDING KITA TUKERAN POSISI BIAR LO PAHAM”

“Yaudah” Mike bangun dari duduknya hendak berjalan menuju Erwin untuk pindah posisi

“Mau kemana lo?” tanya Erwin

“Katanya mau tukeran posisi?” jawab Mike tanpa dosa

“GA GITU SETAN”

“Kenapa sih, Win. Gue lagi fokus baca” tanya Hange yang juga bingung melihat Erwin yang biasanya terlihat kalem sekarang malah ribut.

“HAHAHAHAHAHAHAHA”

Semua orang memandang Jean yang tertawa, Pieck sampai harus memukul bahunya agar Ia berhenti.

“Bang Erwin berasa jadi nyamuk ya? makanya bang cari pacar biar ga kesepian” ujarnya dengan nada meledek

“Sopankah? lagian kaya punya pacar aja” balas Erwin

“Otw nih”

“Emang yakin diterima?”

“PIECK TOLONGIN GUE, KASIH TAU BANG ERWIN” sahut Jean sambil merangkul tubuh mungil gadis itu

“Doain aja, Win” jawab Pieck dengan muka memerah membuat Jean menepuk-nepuk puncak kepala Pieck

“Anak baik, gemes banget”

“Hehehe”

“DIH.” teriak semuanya kecuali Erwin yang hanya mendengus sambil memijat pelepisnya pusing. Lama-lama Ia lelah.

Alasannya sejak Ia datang, matanya disuguhi pemandangan aneh.

Pertama, ada Mike yang sedang asik bermain game bersama Nanaba dengan sedikit bumbu keributan. Kedua, ada Levi yang sedari tadi tiduran di pangkuan Hange, sedangkan gadis itu membaca buku sambil sesekali mengusak rambut Levi. Ketiga, ada Jean dan Pieck yang sedang membuat omelette dengan keributan.

Tolong siapapun culik Erwin sekarang juga dari sini.

Sabtu malam.

Di atas motor kesayangannya Jean menunggu Pieck yang sedang mengambil sweaternya.

“Tjiah si ganteng.” ujar Jean saat melihat pantulan dirinya dari kaca spion. Sambil menunggu, Ia sibuk merapihkan rambutnya berulang kali.

“Heh” Pieck menepuk keras punggung Jean, membuat laki-laki itu terkesiap.

“FAK. GUE KIRA TUKANG HIPNOTIS”

“Bacot.”

“Dih, untung gue sabar”

“Jean lo turun dulu deh bentar” suruh Pieck tiba-tiba

“Ngapain?”

“Turun aja bentar”

Jean menuruti perintah gadis mungil di hadapannya itu, lalu dengan gerakan cepat Pieck menarik lengan Jean, membawa laki-laki itu mendekat kearah kursi teras rumahnya.

“Lo mau ngapain?” tanya Jean bingung melihat Pieck yang tiba-tiba menarik dirinya, lalu naik keatas kursi.

“Sumpah, gue udah ga tahan.”

Pada saat itu juga Pieck menjambak rambut Jean sekuat tenaga, membuat laki-laki jangkung itu menjerit kesakitan.

“ANJING LO PIECKY SHU” teriaknya kesakitan

Pieck tertawa puas “Akhirnya dendam gue tersalurkan”

“Sinting.”

“Lo lebih sinting”

“Jodoh kali.”

“MULUT LO” sahut Pieck sambil menoyor kepala Jean

“DUH PENGEN GUE TOYOR BALIK”

“Yaudah toyor aja.”

“EEEUH GEMES BANGET PENGEN GUE GEBUG.” ujar Jean sambil mengepalkan tangannya mendekati kepala Pieck, namun yang dilakukan laki-laki itu malah mengusap-ngusap rambut Pieck.

Gadis itu diam membeku, jarak mereka kini terlalu dekat. Pieck buru-buru mengalihkan pandangannya.

“Jadi ga sih?” tanya Pieck tiba-tiba sewot

“Ya daritadi juga gue udah siap cantik” jawab Jean

“Terus?”

“YA LO NGAPAIN MASIH DI ATAS KURSI” sahut Jean frustasi

“Oh iya”

Pieck langsung turun dari atas kursi, lalu keduanya menaiki motor Jean.

“Pegangan, soalnya kalau lo terbang gue ga akan sadar.” ujar Jean membuat Pieck mencubit pinggangnya

“Bacot.” balasnya

Tetapi Ia tetap memegang ujung jaket Jean.

“Lo kira gue najis apa dipegang secuil doang”

“Bodo”

“Pegangan yang bener, gausah protes.”

Jean menarik lengan Pieck untuk memeluk dirinya.

“Dih modus”

“Hahaha”

“Gausah ketawa, lo bau.”

“Jangan gemes-gemes, nanti gue ga fokus.”

Dan akhirnya di bawah sinar rembulan yang ditemani angin malam, keduanya memilih untuk mengelilingi kota. Menikmati indahnya pemandangan malam hanya berdua.

“Pieck”

“Hm”

“Kirain tidur”

“Engga lah”

“Gue mau nanya”

“Nanya apa?”

“Kira-kira peluang gue dapetin lo segimana ya?”

Kurang.

Hange buru-buru mengambil handuknya, lalu bergegas untuk mandi. Setelah beres Ia segera memakai kaos putih polos dan celana pendek.

“KAMU KO UDAH DATENG LAGI” sahut Hange saat melihat Levi dan Jean duduk di depan TV

“Makanya mandi tuh jangan pas mau ketemu mantan doang” cibir Jean yang langsung dihadiahi lemparan bantal sofa oleh Hange.

“Sini bawa hairdryer sama sisirnya, biar aku bantuin” ujar Levi

Setelah memberikan barang tersebut, Hange duduk di hadapan Levi. Sedangkan Jean memandang mereka horror.

“PLEASE GAUSAH MESRA-MESRAAN DEPAN GUE.” sewot Jean melihat Levi yang mulai mengeringkan rambut Hange

“Lo tinggal pergi” ujar Levi tanpa dosa

“INI RUMAH GUE BANG. LO MAU USIR GUE KEMANA LAGI”

“Stop being a drama queen, please.” sahut Hange malas

“OKE GUE AKAN PERGI SEBELUM MATA GUE TERNODAI”

“YAUDAH SIH SANA GA PERLU BANYAK OMONG”

“Jadian aja kaga tapi ngapel setiap hari”

Dan sekali lagi bantal sofa melayang ke kepala Jean.

“Kalian tuh sehari ga berantem bisa panuan atau gimana?” tanya Levi

“Dia yang duluan”

“Tapi kamu udah tua, jangan keseringan marah-marah”

“LEVI”

“Kenapa? kan bener?”

“Ga.” balas Hange singkat

Keduanya kini terdiam, Levi mengambil ikat rambut milik Hange saat gadis itu hendak mengikat rambutnya.

“Jangan langsung diiket”

Hange hanya diam tak memperdulikan ucapan Levi.

“Biar aku yang iket”

Setelah rapih, Hange duduk di ujung sofa jauh dari Levi. Sedangkan laki-laki itu hanya memandangnya bingung

“Kamu marah?”

“Ga.”

“Kamu marah.”

“Kalau udah tau ngapain nanya” ujar Hange

Levi menghembuskan napasnya pelan, lalu mendekati Hange.

“Maaf” ujarnya sambil menatap mata Hange

“HAHAHAHA AKU BERCANDA” tawa Hange memenuhi ruangan tersebut

“Lucu?” ujar Levi dingin lalu mengalihkan pandangannya kearah lain.

Hange menangkup kedua pipi Levi agar laki-laki itu melihatnya.

“Maafin aku”

“Hm”

Hange mencium kilat pipi sebelah kanan Levi

“Kurang”

Kini Hange mencium pipi sebelah kiri Levi

“Kurang”

Hange kini menangkup kedua pipi Levi lalu memberi ciuman bertubi-tubi di seluruh wajah Levi.

Laki-laki itu kini tak bisa menyembunyikan senyumnya, lalu dengan lembut Levi menarik tengkuk Hange.

Finally.

“Ayah kamu emang cupu kalau masalah cinta-cintaan” sahut Mike pada Udo

Kemudian dihadiahi pukulan dari Nanaba.

“Udo masih kecil”

“Gapapa ko tante, Ayah kan emang cupu” jawab Udo polos membuat semua yang disana tertawa, kecuali Levi.

“Anak lo aja tau”

Levi hanya mendelik malas mendengar ucapan Erwin

“Lanjutin dong, Yah. Masa ga jadi terus ngelamar Bunda. Udo kan pengen tau gimana cara Ayah ngajak Bunda nikah”

“Cara Ayah kamu ngelamar Bunda tuh biasa banget, tapi manis” sahut Hange sambil tertawa

Pada hari libur kali ini Hange dibawa Levi ke salah satu perpustakaan kota.

“Kamu beneran ngajak aku kesana?” tanya Hange memastikan

“Iya”

“Aku takut malah asik sendiri sama buku”

“Ya gapapa, aku ga keberatan?”

“Beneran?”

“Iya”

Akhirnya sepasang kekasih itu memasuki ruangan yang dipenuhi buku-buku dan aroma khas dari kertas. Aroma yang sangat Hange sukai selain aroma milik Levi.

Hampir tiga jam mereka disana, Hange yang sibuk membaca buku dan Levi yang sibuk memandangi wajah Hange sambil menopang dagunya.

“Kamu bosen ya?” tanya Hange

“Sejak kapan muka kamu ngebosenin?” jawab Levi

Kedua pipi Hange kini memerah “Ko muka aku?”

“Ya aku daritadi liatin muka kamu” balas Levi membuat Hange langsung menyembunyikan wajahnya diantara buku yang Ia baca.

Mau teriak tapi ini perpustakaan. Jadi dalam hati aja.

“Hange” panggil Levi

Ia meraih salah satu tangan Hange, lalu memberikan kotak kecil berwarna merah berlapis beludru.

“Kamu ngelamar aku?” Hange memandang kotak tersebut dengan bingung

“Iya”

“Beneran ngajak nikah?”

“Iyaaa, Hange.” balas Levi

“Kamu mau selamanya sama aku? walaupun aku susah disuruh mandi sama keramas?” Hange kembali menghujani Levi dengan berbagai pertanyaan

“Kalau aku ga mau nikah gimana?”

“Kemarin mau?”

“Orang kan bisa berubah pikiran?”

Levi terdiam sebelum akhirnya menjawab “Gapapa, selama kamu masih sama aku itu udah cukup”

“Kalau aku ga jadi pacar kamu lagi? kamu gimana?”

“Jomblo seumur hidup”

Tawa Hange meledak, Ia bahkan lupa sedang di perpustakaan sampai harus ditegur oleh penjaga.

“Ih kamu manis banget” ujar Hange gemas, Ia langsung memeluk erat laki-laki yang lebih pendek darinya itu.

“Aku mau nikah sama kamu” bisik Hange

Pada saat itu senyuman di bibir Levi terukir sangat jelas bahkan ketika bertemu dengan milik Hange.

“Udah sampe situ aja, sekarang waktunya kamu tidur.”

“Tapi-”

“Kapan-kapan lagi aja, ayo Ayah anter ke kamar.” ajak Levi sambil mengulurkan tangannya

Udo cemberut tetapi Ia tetap menerima uluran tangan Ayahnya, keduanya kini berjalan bergandengan menuju kamar anak satu-satunya itu. Sedangkan Hange hanya menatap mereka dengan senyuman paling indah.

Sesampainya di kamar, Levi menyelimuti tubuh Udo lalu mengecup dahinya.

“Udo?”

“Iya, Yah?”

“Kamu tau apa yang paling Ayah suka dari Bunda kamu?” tanya Levi tiba-tiba

Udo hanya diam menunggu sang Ayah melanjutkan

“She always understands me. She chases my darkness away. She makes me happy in a way no one else can. She's beautiful inside and out.”

“Dan jangan lupakan otaknya yang cerdas.” lanjutnya dengan senyuman tulus

Rumah baru.

Menatap bintang di atas rerumputan adalah salah satu kegiatan favorit Levi dan Hange.

Di bawah sinar rembulan dengan ditemani suara hembusan angin, Levi mencoba memecahkan kesunyian diantara mereka.

“Levi”

Laki-laki itu menolehkan kepalanya lalu menatap Hange dengan penuh tanda tanya.

“Kenapa?”

“Kalau aku beli rumah gimana?” tanya Hange

“Buat apa?”

“Ya buat ditempatin lah. Rumahnya dua tingkat, ada halaman depan sama belakang buat taman. Ada perpustakaan sama kolam renangnya juga. Kamarnya ada 4, satunya buat tamu. Menurut kamu gimana?” jelas Hange

“Itu udah nemu atau baru rencana kamu?” tanya Levi memastikan

“Udah nemu, tinggal nunggu keputusan kamu. Boleh atau engga?”

“Ga boleh.” jawab Levi

“Oke”

“Bercanda” ujar Levi tetap dengan wajah tanpa ekspresi.

“DIH LUCU BANGET NGELAWAK MUKANYA DATAR GITU” sahut Hange sambil mencubit kedua pipi Levi, sedangkan laki-laki itu hanya pasrah

“Lepasin”

“Tapi beli rumahnya boleh ya?” ujar Hange memohon

“Iya”

“Oke, abis aku bayar kita langsung pindah kesana ya?”

“Kita?”

“Kenapa? kamu ga mau tinggal serumah beneran sama aku?” tanya Hange dengan ekpresi kecewa

“Bukan gitu”

“Terus?”

“Jelasin dulu maksud kamu gimana?”

“Ayo kita nikah terus tinggal bareng” jawab Hange dengan yakin

“Ga”

Raut wajah Hange langsung berubah ketika mendengar jawaban Levi. Ada rasa sakit dan kecewa. Apakah Ia baru saja ditolak?

“Kalau tujuannya kesana aku ga mau”

Hange hanya diam hingga Levi melanjutkan kata-katanya.

“Buat rumah kita nanti, biar aku aja yang beli. Itu salah satu rencana aku”

“Jadi kamu mau tinggal sama aku?”

“Iya”

“Kita nikah?”

“Iya”

“Ini beneran?”

“Iya Hange”

“Kamu terpaksa ya?”

“Astaga. Mana ada aku terpaksa kalau di semua rencana masa depan aku aja ada nama kamu”

“Mau nangis”

Levi memeluk erat Hange yang menangis. Tangan Levi membelai lembut rambut kekasihnya itu.

“Aku ga bawa cincin, jadi jangan anggap ini lamaran resmi.” tambah Levi sedangkan Hange hanya tertawa

Cincin kertas.

Hange dan Levi kini berada di ruang tengah. Menghabisi waktu libur mereka yang jarang didapatkan.

Malam ini mereka tetap sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Hange membaca buku dengan sebelah tangannya mengusap rambut Levi yang tidur dipangkuannya. Sedangkan Levi sibuk menggunting kertas entah untuk apa.

“Kamu lagi ngapain? kertasnya jadi berserakan gitu kamu guntingin. Giliran aku yang kaya gitu kamu omelin” ujar Hange yang baru menyadari kondisi sekitarnya.

“Gapapa kan aku yang beresin rumah” balasnya tanpa mengalihkan pandangan dari kertas miliknya.

“Iya, gimana kamu aja” ujar Hange lalu kembali membaca bukunya

Namun kegiatannya tertunda karena Levi menarik sebelah tangannya, lalu Ia memasukkan cincin kertas ke jari manis Hange.

Iya, sejak tadi Levi sibuk menggunting dan mengelem kertas hanya untuk membuat sebuah cincin.

“Kamu tuh guntingin kertas sampe kaya gini karna mau bikin cincin?” tanya Hange sambil memandang Levi dengan pandangan kaget

“Ih gemes banget” lanjutnya sambil mengacak-ngacak rambut Levi

“Jadi ini kamu ngelamar aku atau gimana?”

“Itu simulasi aja, emang kamu mau aku lamar cuma pake cincin kertas?” tanya Levi

“Gapapa sih, yang penting bisa terus sama kamu. Kan yang aku mau kamu, bukan cincinnya” balas Hange sambil tersenyum dan pipi Levi memerah salah tingkah.

Attention.

Sudah beberapa jam ini Hange sibuk dengan buku-buku tebal miliknya, membuat Levi yang sedari tadi menemaninya menghela napas berat.

“Mata empat” panggil Levi tapi tak ada balasan

“Hange”

“Hange Zoe”

Hange hanya menggumam menjawab panggilan Levi tanpa menolehkan kepalanya.

“Mau susu atau kopi?” tanya Levi

“Kopi” balas Hange singkat membuat garis bibir Levi melengkung ke bawah.

Tak lama kemudian Levi kembali membawa segelas kopi hangat, Ia berdiri tepat di hadapan Hange yang masih saja fokus pada bukunya.

“Makasih Levi, simpan sini aja” kata Hange menoleh sekilas lalu kembali menunduk membaca bukunya

“Hm”

Beberapa menit kemudian Levi kembali menghampiri Hange, kini dengan berbagai peralatan pembersih rumah. Ia mulai menyapu, membersihkan debu juga membereskan barang-barang yang berserakan. Namun, masih tak ada reaksi dari kekasihnya itu. Pada akhirnya Ia menyerah.

Tanpa Ia sadari, sejak tadi Hange menyadari tingkah laku Levi. Ia bahkan dengan susah payah menahan tawanya. Menurut Hange, kekasihnya itu terlihat lucu ketika meminta perhatian.

Hange bangun dari posisinya, lalu menghampiri Levi yang sedang menenggelamkan wajahnya di bantalan sofa.

“Levi” panggil Hange lembut

Kini giliran Levi yang hanya menyahut dengan gumaman, sedangkan Hange hanya terkekeh lalu menarik paksa tubuh Levi agar duduk tegak. Laki-laki itu membuang pandangannya, tidak mau menatap Hange.

“Ih ko pacar aku ngambek” sahut Hange sambil menangkup kedua pipi Levi

“Oh aku pacar kamu? kirain pacaran sama buku.” balas Levi kesal

“IH PACARKU GEMES BANGET NGAMBEKNYA KAYA ANAK GADIS” sahut Hange yang kini sibuk mencubiti pipi Levi

Sedangkan laki-laki itu hanya mencibir, hingga tiba-tiba Hange mencium pipi Levi.

Laki-laki itu akhirnya menatap Hange dengan pandangan terkejut.

“Sebenernya aku daritadi sadar, tapi aku biarin soalnya kamu lucu kalau lagi pengen diperhatiin” ujar Hange sambil senyum lebar

“Damn, Hange.” balas Levi lalu dengan cepat membalik keadaan

Hange terdiam mematung ketika kini jarak mereka sangat dekat, bahkan hidung mereka saling bersentuhan. Gadis itu menahan napasnya saat mendengar ucapan Levi.

“You have to be punished.”

Saturday Night.

Malam ini hujan turun cukup deras, sehingga mau tak mau Levi dan Hange hanya diam di dalam mobil.

“Disini aja gapapa kan?” tanya Levi memastikan

“Gapapa, kan pantainya masih keliatan juga dari sini. Kayanya seru hujan gini dengerin lagu sambil liat pantai dari dalem mobil” balas Hange semangat

“Mau lagu apa?”

“The 1975” Hange berteriak antusias

Sejujurnya Levi tidak pernah tahu tentang The 1975, tapi semenjak tahu gadis itu sangat mengidolakan band tersebut, Ia mulai merubah playlist miliknya. Dengan sengaja Ia memasukan lagu-lagu milik The 1975 ke playlist hanya untuk Hange.

“Fallingforyou dulu ya?” ujar Levi yang diangguki oleh Hange.

“Kamu tau lagunya?” tanya Hange mencoba mengatur detak jantungnya yang mulai berdetak tidak beraturan

“Tau, liriknya bagus. Bisa relate” jawab Levi

Entahlah, mungkin Ini hanya perasaan Hange tapi laki-laki yang kini duduk disampingnya itu terlihat berbeda.

Levi bahkan terang-terangan menatap dirinya, terutama saat lirik

“Soon you will be mine, oh, but I want you now”

“I don't want to be your friend, I want to kiss your neck”

Rasanya Hange mau mengubur diri hidup-hidup. Apalagi setelah apa yang dilakukan Levi setelah lagu selesai.

Plan B.

Saat ini Hange, Erwin, Mike, Nanaba dan Jean sedang berkumpul di salah satu meja kantin.

Tiba-tiba, seorang laki-laki duduk diantara Hange dan Jean. Membuat semua yang disana saling berpandangan

“BANG MASIH LEGA KALI DISANA. GUE KEJEPIT TEMBOK. ” sahut Jean sambil menunjuk bangku sebelah Erwin.

“Lo ngusir?” tanya Levi datar tapi mampu membuat nyali Jean menciut

Tetapi demi misi dan makan gratis, Jean harus tahan banting.

“Bukan gitu, tapi gue ada perlu sama kak Hange jadi perlu mengobrol” balas Jean mencoba tenang

“Apa?” tanya Levi

“Rahasia lah, Ini menyangkut perasaan gue. Cuma kak Hange yang mengerti, karna kak Hange separuh jiwaku ahay”

“Najis, banyak gaya banget lo Jean” cibir Hange

Kening Levi semakin mengkerut mendengar penjelasan Jean.

“Udah lah biarin aja, mending lo yang pindah. Biar Jean bisa ngobrol sama Hange” sahut Erwin menengahi

“Males.” ujar Levi ketus

Kalau boleh diukur mungkin tingkat cemburunya Levi sekarang udah mau batas maksimum.

“Garang amat lo, cosplay jadi maung apa gimana? sahut Mike

“Bacot”

“Yaudah nanti aja, Jean. Lo bisa chattingan atau vc sama Hange sepuasnya. Mumpung Hange jomblo jadi ga ada yang marah. Ya kan, Han?” ujar Nanaba yang langsung dibalas Hange

“Iya siapa juga yang mau marah”

“Gue.” sahut Levi lalu pergi meninggalkan mereka semua yang terdiam mematung.

Gila.

“Demi apapun, lo semua aneh banget.” ujar Hange mengingat kejadian dimana Mike, Erwin dan Nanaba membuat grup hanya untuk menyatukan dirinya dan Levi.

“Lo berdua kaya batu, diem di tempat doang ga ada yang mau gerak.” balas Mike yang disetujui oleh Nanaba dan Erwin.

“Oke, thanks?” ujar Levi malas

“Untung ada Om sama Tante ya, jadi Ayah sama Bunda bisa nikah terus muncul aku” sahut Udo semangat

“Tapi ada untungnya mereka lemot, Do. Kalau mereka ngebut takutnya kamu lahir duluan pas mereka masih sekolah” tambah Erwin tanpa dosa

“JAGA MULUT LO ERWIN SMITH” teriak Hange sambil melempar bantal sofa

“Kelamaan main sama Mike lo ikutan gila.”

“Kasian, Nanaba” tambah Hange

“MAKSUD LO APA LEVI”

“Lo gila.” ujar Levi penuh penekanan.

“OM MIKE SAMA OM ERWIN DIEM DULU BIAR AYAH LANJUTIN CERITANYA. UDO PENASARAN”