Aula kampus dipenuhi mahasiswa dan mahasiswi yang sibuk dengan berbagai kegiatan. Ada yang bernyanyi, bermain alat musik, menari, atau sekedar berbincang dengan teman-teman yang lain. Biasanya mereka berlatih di ruangan masing-masing, namun hari ini sang ketua pelaksana mengajak untuk berkumpul dan berlatih bersama. Saat ini mereka tengah beristirahat untuk nanti kembali melanjutkan latihan.
Seminggu lagi kampus mereka akan mengadakan acara amal yang diselenggarakan diluar sekolah. Selain acara amal, mereka juga sepakat untuk melakukan kemah, karena kebetulan didekat area itu terdapat tempat yang cukup bagus untuk berkemah.
“Ini minum dulu”
Pria bersurai blonde dengan mata setajam elang menatap uluran botol didepannya, ia lalu mengangkat pandangannya. Pria manis bersurai coklat kemerahan adalah objek pertama yang ia lihat. Pupil matanya membesar dan tanpa sadar ia meneguk ludahnya gugup. Ia berdehem untuk menetralkan detak jantungnya, lalu tangannya menerima uluran botol dari si manis.
“Terimakasih, Heeseung” tangan mereka sedikit bersentuhan, membuat darah si surai blonde berdesir.
“Sama-sama. Semangat Jay!” jawabnya tak lupa dengan senyum manis yang terpatri dibibirnya.
Jay hanya membalas dengan deheman dan senyum tipis. Setelah itu Heeseung beranjak dari hadapan nya, membagikan air yang ia bawa pada teman-teman yang lain. Mata Jay terus mengikuti gerak-gerik Heeseung, melihat pria manis itu melakukan hal yang sama —memberi semangat dengan senyum manis— kepada yang lain. Jay menghela nafas, sedikit kecewa.
“Lo berharap apa sih? Lo pikir dia beliin minum buat lo doang? Dia kan emang baik sama semua orang” batin Jay.
Ya, begitulah Lee Heeseung, pemuda tampan dan juga manis yang sialnya teramat baik hati. Tak jarang orang salah paham dengan merasa diistimewakan olehnya, padahal ia memang baik pada semua orang. Salah satu orang itu adalah Park Jeongseong atau yang dikenal dengan nama Jay.
“Hoi! Kedip napa” pria bule yang sejak tadi duduk disampingnya mengusap wajah Jay dengan tangannya.
Jay memicingkan matanya kearah sahabat yang merangkap menjadi teman se-group nya itu, sedangkan yang ditatap tampak tidak peduli.
“Apa liat-liat? Suka lo sama gua? Oh iya lupa, kan lo sukanya sama Hee—”
Ucapan pria itu terputus karena Jay membekap mulutnya.
“Bisa diam gak sih?” tanya Jay, terselip nada jengkel dalam ucapannya.
Jake —si pria bule— menepis tangan Jay yang menutup mulutnya.
“Gua baru ngomong sekali, lagian itu fakta” sanggah nya.
“Sok tau”
“Dari cara lo ngeliat dia aja udah ketauan, Jay. Gua yakin dia juga sebenernya udah tau”
“Tau apaan?”
“Lo suka sama dia”
Jay terdiam, entah dia harus merespon bagaimana. Senang? Sedih? Atau malu?
“Makanya lo gerak napa, diem diem gini ntar giliran dia kecolong orang repot lo. Nih ya, menurut gua dia juga ada rasa sama lo, cuma dia jadi ragu karena setiap dia deketin duluan respon lo selalu cuma senyum tipis sama 'ham hem' doang” cerocos Jake.
“Dia emang baik sama semua orang, Jake. Gua gamau terlalu berharap dengan nganggep kalo gua itu dia istimewakan”
“Tapi nyatanya emang lo itu dia istimewakan”
Jay mengerutkan dahinya, bagian mana Heeseung terlihat mengistimewakan dia?
Jake menunjuk dengan dagunya kearah minuman dari Heeseung yang masih Jay pegang.
“Cuma lo yang dia beliin rasa lemon”
Jay melihat kearah minuman yang belum ia buka, lalu mengalihkan pandangannya kearah minuman digenggaman teman-teman nya yang lain. Benar. Heeseung membeli minuman berperisa jeruk untuk yang lain, hanya dia yang dibelikan minuman berperisa lemon. Heeseung tau ia lebih suka rasa lemon atau memang hanya sebuah kebetulan?
“Gua rasa ini bukan kebetulan, walaupun cukup sederhana sih, tapi gak salah juga kalo lo merasa diistimewakan karena itu. Lagian lo aneh, biasa juga pepetin cewe gak mikir-mikir dulu, sekarang malah tiba-tiba jadi menciut nyalinya. Udah sana mulai pdkt-in. Ya urusan diterima engga nya mah belakangan lah, yang penting usaha dulu” ucap Jake, seakan tau apa yang Jay pikirkan.
Kalau dipikir ucapan Jake ada benarnya. Kenapa Jay jadi terlihat seperti pengecut begini? Ia menghembuskan napasnya.
“Oke, gua bakal mulai berjuang buat dapetin dia”
“Gitu dong. Good luck, bro” Jake menepuk bahu Jay, menyemangati.
Seperti hari-hari sebelumnya, pria manis itu disana, berjongkok disamping halte dengan kucing kecil yang tengah makan dihadapan nya. Tangan si pria manis mengelus kepala anak kucing itu, senyumnya tak pernah luntur. Ia juga sesekali mengajak kucing kecil itu berbicara, walaupun tau kucing itu tak akan menjawab apa-apa.
Jay ikut tersenyum melihatnya. Lee Heeseung benar-benar seperti seorang malaikat. Ia tak hanya baik pada semua orang, tapi juga pada makhluk hidup lain. Ini bukan pertama kalinya Jay melihat interaksi dua makhluk manis —Heeseung dan kucing— itu.
Kucing kecil dekat halte itu mungkin hanya satu dari sekian banyak kucing yang mendapat perlakuan manis dari Heeseung. Tak jarang Jay melihat Heeseung memberi makan kucing liar, pria manis itu selalu membawa makanan kucing didalam tas nya. Dan entah kenapa pemandangan seperti itu selalu membuat hatinya menghangat.
Biasanya Jay yang pengecut hanya akan memperhatikan dari jauh, namun kali ini ia memberanikan diri untuk mendekat pada pria manis itu.
“Nemo, apa makanannya kurang?” Jay bisa mendengar suara lembut Heeseung.
“Namanya nemo?” suara Jay yang terlalu tiba-tiba membuat Heeseung sedikit berjengit karena terkejut.
Heeseung mendongak untuk melihat siapa oknum yang mengejutkan nya.
“Oh Jay, sedang apa disini?” tanya Heeseung dengan senyum manisnya.
“Gapapa, cuma pengen aja” ucap Jay, lalu ikut berjongkok disamping Heeseung.
Heeseung hanya mengerjap bingung.
“Namanya nemo?” Jay mengulang kembali pertanyaan nya.
Heeseung kembali menatap si kucing kecil sambil mengelus kepalanya.
“Iya! Karena dia lucu kayak nemo, coba liat, lucu kan?” ucap Heeseung teramat bersemangat, senyumnya merekah.
Jay menatap Heeseung dalam yang tentu saja tak disadari pria manis itu. Jay tanpa sadar tersenyum.
“Iya.. Lucu” reflek, kata yang ada diotaknya keluar begitu saja.
“Iya kan? Nemo memang lucu!” pekik Heeseung sambil terkekeh.
Jay tertawa pelan, lalu mengalihkan atensi nya dari Heeseung ke arah Nemo, tangannya terulur untuk mengelus bulu halus kucing itu.
“Lo suka kucing?” Jay kembali membuka suaranya.
“Iya suka!” jawab Heeseung dengan bersemangat lagi.
Jay melirik sebentar ke arah Heeseung sebelum kembali memperhatikan kucing kecil itu. Jay tersenyum tipis, sangat tipis sampai Heeseung tidak menyadarinya.
“Kamu?” tanya Heeseung.
“Hah?”
“Kamu suka kucing?” Heeseung memperjelas pertanyaan nya.
“Sebenernya gak terlalu suka. Tapi kayaknya gua mau belajar buat lebih suka kucing”
“Kenapa?”
Jay mengalihkan pandangannya, ternyata Heeseung juga tengah menatap kearahnya. Pandangan mereka bertemu, Jay menatap Heeseung dalam, lalu tersenyum.
“Karena katanya kalo mau menyukai seseorang, harus suka juga sama apa yang dia sukai”
Tanpa sadar Heeseung menahan napasnya, jantungnya juga ikut berdebar diluar batas normal. Heeseung tidak bodoh untuk paham maksud Jay. Tapi apa yang dimaksud pria itu adalah dirinya? Salahkah jika ia berharap?
Acara amal telah selesai dilaksanakan, sekarang semuanya tengah berkumpul mengelilingi api unggun yang beberapa menit lalu baru selesai dinyalakan. Agenda wajib dalam kemah, menghabiskan malam dibawah langit berbintang dengan api unggun yang menerangi. Beberapa diantara mereka tampil secara sukarela, dari mulai stand up comedy, bernyanyi, beatbox, dan lainnya.
Dan sebenarnya acara api unggun ini adalah acara yang ditunggu-tunggu oleh Jay. Walaupun tak bisa dipungkiri bahwa ia merasa gugup, juga takut jika rencananya gagal. Beruntung Jake selalu meyakinkan jika semuanya akan berjalan dengan baik, setidaknya itu bisa mengurangi sedikit rasa gugupnya.
Jay memusatkan pandangannya pada pria manis dengan hoodie berwarna jingga yang duduk cukup jauh dari tempatnya, siapa lagi kalau bukan Lee Heeseung.
Heeseung selalu indah, bahkan hanya dengan disinari cahaya bulan dan api unggun, dia tetap terlihat sangat sempurna. Matanya selalu berbinar antusias, pun bibirnya yang tak henti tertawa dan tersenyum, sesekali bergerak ikut bernyanyi.
Tambahan informasi, Heeseung adalah anggota club vokal kampus, pria manis itu memiliki suara yang sama indahnya dengan parasnya, siapapun bisa saja terhipnotis setelah mendengar suara menenangkan miliknya. Buktinya adalah apa yang tengah dialami Park Jay saat ini. Sejak beberapa menit lalu Heeseung dengan sukarela menyumbang sebuah lagu untuk mereka, sampai sekarang saat Heeseung kembali duduk ditempatnya. Seperti dihipnotis, Jay sama sekali tak bisa mengalihkan pandangannya dari pria manis itu.
“Heh, kesambet lo malem-malem bengong ditempat kek gini” Jake menoyor kepala temannya itu.
“Ah rese lo, ganggu aja” gerutu Jay.
Jake hanya mencibir.
“Siapa lagi nih yang mau nyumbang lagu?” tanya salah satu teman mereka yang beralih profesi menjadi mc dadakan dalam acara api unggun ini.
Jake dengan cepat mengangkat tangannya, Jay menatap temannya sedikit curiga.
“Sini lo, mau nyanyi apa?” tanya si mc.
“Bukan gua. Nih si Jay yang mau nyumbang” ucap Jake sambil mendorong bahu temannya.
Jay membelalak, lalu menatap Jake tajam.
“Rencananya kan gua nyanyi terakhir anjing, sekarang belom siap” bisik Jay penuh penekanan pada temannya.
“Udah sih sekarang aja, kelamaan kalo nanti. Cepet tuh doi lo nungguin”
Jay mengalihkan pandangannya kearah objek yang sejak tadi menjadi fokusnya, dan benar saja pria manis itu tengah memberi gestur semangat padanya dengan senyum yang merekah, lalu setelahnya bertepuk tangan kecil. Ah, kenapa Heeseung menggemaskan sekali, Jay jadi semakin gugup.
Jay mengatur nafas dan detak jantungnya —walaupun tidak membantu banyak—, lalu beranjak dari tempatnya. Tangannya meraih gitar milik temannya yang sudah disediakan untuk malam ini, lalu duduk sambil memangku gitarnya. Ia menghembuskan nafas lagi, lalu berdehem.
“Lee Heeseung..” satu nama yang keluar dari mulut Jay membuat semuanya sontak menatap kearah objek yang disebut.
Heeseung membelalak lucu, lalu mengedipkan matanya beberapa kali. Tolong tahan Jay agar tidak beranjak untuk mencubit pipi pria manis itu, atau mengusak kepalanya mungkin.
Jay melempar senyum tulus kearah Heeseung, pandangan mereka seakan terkunci.
“This song is for you” lirih Jay.
Jemari Jay mulai memetik gitar, sekedar informasi Jay merupakan anggota club band kampus, tidak heran jika ia lihai bermain alat musik terutama gitar.
I miss you already And you're not even gone I wanna call you We just hung up the phone
Baru satu bait lagu itu Jay nyanyikan, tapi sudah mengundang banyak sorakan, yang tentu saja didominasi dengan sorakan menggoda yang ditujukan untuk Heeseung.
Dalam keadaan remang pun, Jay tau jika wajah pria manis itu memerah. Keduanya masih belum memutus kontak satu sama lain, seakan tenggelam dalam netra masing-masing walaupun dengan jarak yang cukup jauh. Senyum tulus Jay semakin merekah saat sampai pada bagian reff lagu.
I love you more than the bad days ahead I love you more than the nights that we ended with slamming doors Oh I love you more
There will be times when your heart will forget But I'll say it over and over again So you know for sure Darlin' I love you...
Sorakan dari yang lain semakin menggema, namun baik Jay maupun Heeseung tak merasa terganggu sama sekali.
Jika Heeseung menganggap Jay tengah menyatakan cinta apakah itu artinya dia terlalu percaya diri? Tapi tatapan dan senyum pria itu begitu tulus, belum lagi bagaimana cara dia menyanyikan lagu itu, membuat Heeseung mau tak mau menaruh harapan besar.
I'll love you more as the years pass us by If you ever doubt it just look in my eyes And you'll know for sure
I love you more than the bad days ahead I love you more than the nights that we ended with slamming doors Oh I love you more
There will be times when your heart will forget I'll say it over and over again So you know for sure Darlin' I love you more
Penampilan Jay diakhiri dengan sorakan heboh dan tepuk tangan meriah.
“Terima! Terima!” sebuah suara tiba-tiba menginterupsi sorakan mereka, siapa lagi kalau bukan Jake.
Seperti diperintah, yang lain justru ikut menyorakkan satu kata yang sama.
“Dia gak nembak tau” ucap Heeseung dengan wajahnya yang memerah.
Ucapan Heeseung sontak membuat semuanya diam.
Jay sedikit membelakak lalu mengusap tengkuknya karena entah kenapa ia tiba-tiba merasa gugup. Sedangkan Heeseung mengedarkan matanya sembarang, kemanapun asal bukan kearah Jay.
“Ekhem. Sebelum itu, gua mau tau balesan lo dulu” ucap Jay.
“Eum, I love you too..” lirih Heeseung sambil menunduk, suaranya teramat pelan namun masih mampu Jay dengar karena suasana hening —semuanya memilih diam dan mulai fokus layaknya menonton drama—.
“Apa? Gua gak denger, coba sini” bohong Jay sambil menyuruh Heeseung untuk ikut berdiri.
“I love you too, Jay!” ulang Heeseung dengan suara yang lebih keras, namun masih belum beranjak dari tempatnya.
“Sini dulu, Hee” ucap Jay lembut.
Heeseung menghela nafas guna menetralkan detak jantungnya. Lalu berdiri dan beranjak mendekati Jay, masih dengan pandangan terarah kebawah.
Tepat saat Heeseung sampai dihadapan nya, Jay meraih kedua tangan Heeseung dan menggenggam nya. Heeseung sedikit berjengit, tangan nya dingin sedangkan tangan Jay hangat, kehangatan nya bahkan seakan menusuk sampai ke jantungnya.
“Hei, tatap gua” suara rendah Jay menyapa indra pendengaran nya.
Heeseung mengangkat kepalanya, dan disambut dengan Jay yang menatapnya sambil tersenyum.
“When I say I love you, your answer is you love me too. Then, if I ask will you be mine? what's your answer?”
Heeseung menelan ludahnya sendiri. Kegugupan nya menguap ketika ia merasakan Jay mengelus tangannya lembut. Heeseung lalu mengulas senyum.
“I'm yours”
Jay lalu menarik Heeseung kedalam pelukannya, dan Heeseung sama sekali tak menolak, ia justru menyamankan dirinya dalam pelukan hangat itu.
Suasana yang tadinya hening kembali ramai. Sorakan-sorakan tak henti dilemparkan untuk keduanya. Dan lagi, baik Heeseung maupun Jay tak merasa terganggu dengan itu semua. Mungkin benar kata orang, saat kau jatuh cinta, dunia seakan hanya ada kau dan dia.