fluctuius

i leave my thoughts here.

— 30 Days OTP Challenge Day 7 —

[ tw: character death dan suicidal thoughts ] [ di semesta ini, senjata seperti pistol tetap digunakan ]

————

“Kalau begitu aku pergi dulu ya! Jiro dan Saburo yang akur!”

“Iya...,” keduanya menyahut lesu lalu saling melirik, Ichiro ingin tertawa karena dilihat-lihat mereka ini lucu sekali, karena walau menyahut begitu biasanya juga setelah pintu rumah kediaman Yamada bersaudara itu ditutup tidak lama keduanya akan mulai adu mulut.

“Siap Ichiro?”

“Jyuto-san, kapan aku tidak pernah siap?”

Jyuto terdiam sebentar seraya menginjak pedal gas pada mobilnya yang kemudian meluncur meninggalkan Ikebukuro, “Tidak pernah jika itu tentang Samatoki.”

Senyuman tipis yang diulas adalah pertanda setuju.

————

Pintu kamar rawat inap milik Samatoki terbuka, membuat Ichiro dengan cepat menoleh dan mendapati Riou serta Jyuto keluar dari sana.

“Bagai—” Ichiro menggeleng. “Biar aku lihat sendiri saja.”

“Dia mencarimu.” Riou yang berucap, diangguki oleh Jyuto.

“Kalau sudah selesai kami berada di kantin ya, Ichiro.”

Anggukan pelan dari Ichiro dianggap sebagai tanda persetujuan oleh Jyuto yang kemudian mempersilahkan si pemilik manik dua warna itu masuk ke dalam kamar rawat inap milik Samatoki—kekasih Ichiro.

Begitu pintu ditutup dan Ichiro berbalik untuk melihat Samatoki, yang didapatinya adalah kekasihnya mengerang menahan sakit seraya berusaha berbalik untuk melihat siapa yang masuk.

“Ichiro?”

“Hehe, halo.”

Jika saja Samatoki tidak sedang menahan rasa sakit pada kepalanya, mungkin ia akan menyumpahi si bocah kesayangannya ini.

“Jyuto bilang kamu tidak ikut?”

“Sejak kapan Samatoki-san percaya dengan Jyuto?” tanya Ichiro, sebenarnya menyindir, seraya berjalan mendekati kasur rawat milik Samatoki, tangannya meraih kursi yang menganggur lalu duduk di sana.

“Benar juga.” Samatoki berujar dengan kekehan di ujungnya lalu meringis dikarenakan rasa sakit di kepalanya.

“Aduh, tuh, 'kan, jangan ketawa dulu— heh!” Ichiro berseru di ujung kalimatnya yang mengkhawatirkan Samatoki karena bukannya menurut untuk diam saja Samatoki malah tertawa.

“Kamu lucu kalau mengomel.”

“Tapi enggak gitu juga, ya,” ketus Ichiro sebal. “Kamu disuruh diam aja, 'kan, istirahat.”

“Mm-hm. Padahal, harusnya tahun ini kita bisa rayakan natal bersama Jiro, Saburo, dan Nemu ya?”

Ichiro berinisiatif menggenggam tangan Samatoki lalu menunduk dan menaruh kepalanya di kasur.

“Enggak apa. Tahun depan masih ada natal.”

“Memangnya aku masih ada di sini sampai natal tahun depan?”

Ichiro terdiam sebelum matanya mulai mengerling marah, menatap mata Samatoki lurus. Duduknya kembali ditegakkan tetapi tangannya masih saling menggenggam.

“Jangan gitu, deh.”

“Itu 'kan kata dok—”

“Persetan,” dengus Ichiro. “Kalau aku bilang kamu masih bisa ikut natal tahun depan, ya bisa!”

Tidak sekali-dua kali setiap Ichiro mengunjungi kamar rawat inap Samatoki keduanya malah berujung bertengkar seperti ini. Hanya karena alasan yang sama.

Apakah ia masih akan berada di sini untuk natal tahun depan?

“Kamu dengar sendiri perkataan dokter soal peluru yang bersarang di kepalaku, 'kan?”

Bukannya diam dan mengalah, Samatoki memilih untuk mendebat setiap perkataan Ichiro. Pesimis.

Ketika Ichiro selalu berusaha menguatkan dirinya dan bahkan Samatoki. Yang sedang dikuatkan sedang bersedih hati, tidak semangat, patah semangat malah, pesimis. Tidak ada keinginan hidup lagi.

“Sa—”

“Bergeser sedikit lagi, maka langsung menyenggol pembuluh darah.”

“Diam.”

“Aku mati, Ichiro.”

“Samatoki-san!” bentaknya. Suaranya bergetar menahan tangis. Selalu seperti ini. Bertengkar karena keinginan bertahan. Ichiro yang optimis dan kekasihnya yang pesimis.

“Maaf,” Samatoki akhirnya sadar jika ia sedikit kelewatan kali ini. Tangannya yang satu lagi (yang tidak dipakai saling genggam) diangkat untuk mengusap sayang puncak kepala kekasihnya lalu merambat pelan turun ke sisi wajah Ichiro, menatap matanya dalam. Mata berbeda warna yang selalu Samatoki kagumi. Mata yang sama yang membuat Samatoki jatuh cinta sedemikian dalamnya. Mata yang sama juga yang selalu berbinar penuh harap dengan cahaya optimis di setiap perbuatan dan ucapannya.

Ah, harusnya Samatoki lebih paham mengenai hal ini.

“Natal nanti mau pergi ke mana?” Samatoki bertanya, kali ini ibu jarinya digunakan untuk mengusap pipi Ichiro lembut.

“Di sini saja boleh?”

“Ichiro.”

Ichiro mendecak pelan, “Enggak tahu, ya. Nemu punya rencana bagus, katanya, nanti mau dibahas dua hari sebelum.”

“Jyuto dan Rio?”

“Ikut tentu saja.”

“Jyuto memangnya akur dengan Jiro?”

Pertanyaan Samatoki malah disambut tawa oleh Ichiro, membuat Samatoki mengerutkan keningnya bingung, “Mana akur! Tadi saja waktu Jyuto jemput aku di rumah, mereka sempat-sempatnya adu mulut.”

“Jyuto duluan yang ganggu?”

“Memang siapa lagi?”

Kali ini Samatoki turut tertawa. Selepas tertawa, matanya kembali menatap Ichiro lurus di kedua maniknya.

“Matamu cantik.”

“Akunya ganteng?”

“Kalau aku bilang enggak kamu pasti marah.”

“Mana ada!” seru Ichiro protes. Namun, tangannya yang bebas ikut terangkat dan memegang tangan Samatoki yang masih asik bertengger untuk mengusap pipinya penuh sayang sedari tadi.

“Aku sayang Ichiro.”

Ichiro mengulas senyuman tipis, “Aku juga sayang Samatoki-san.”

Keduanya diam sesaat sebelum Ichiro buka mulut lagi, “Oh iya, karena natal nanti enggak ke sini—” ada jeda di kalimatnya sebelum tersenyum ke arah Samatoki.

“Selamat natal, Samatoki-san.”

“Ya, selamat natal, Ichiro.”

Senyuman diulas tipis oleh Samatoki. Walau natal tahun ini ia tidak bisa merayakannya bersama yang lain, tetap saja ini adalah natal terbaik untuknya, karena Ichiro ada di sini.

Ichiro ada di sini untuknya.

Ichiro berada di sisinya untuknya.

Ichiro berada di sana, di natal terakhir Samatoki.

————

© fluctuius.

————

soal peluru bersarang di kepala itu sebenarnya terinspirasi dari drama Born Again.

— 30 Days OTP Challenge Day 6 —

[ semesta lokal lagi dengan lokasi kota banjarmasin ]

————

Di bawah langit malam Kota Banjarmasin, ketika jalanan sedang sibuk-sibuknya, para mahasiswa fakultas ekonomi dan bisnis juga tak kalah sibuknya. Bolak-balik beberapa dari mereka pergi ke ruang sekretariat dan lapangan fakultas mereka (sebenarnya bukan lapangan karena tempat itu lebih seperti tanah kosong di tengah-tengah bangunan fakultas itu).

“Korek dong, woi,” suara berat Atsumu membuat dua orang yang sedang berbincang di koridor entah membicarakan apa itu menoleh ke arahnya.

“Korek Rin.”

“Parah deh mau ngerokok pas puncak ospek,” jawab Rintarou seraya melempar koreknya kepada Atsumu yang langsung ditangkap.

“Walah si bungul, enggak gitu ya.” Atsumu berdecak seraya mengetes korek tersebut. “Buat nyalain lilin ini.”

“Lilin di tanah apa lilin buat di mulut, tuh?”

“Sam, aku kira kita nih kembar yang saling mengerti?”

Osamu bergidik dengan ekspresi yang dibuat-buat, “Males ngerti sama kamu.”

Bukannya marah, Atsumu malah melemparkan ciuman kepada Osamu dan Rintarou lalu berlari seraya berteriak, “Tiati orang ketiga biasanya setan!!!!”

Beruntung, dia enggak dilempar sepatu sama kembarannya dan Rintarou yang sama-sama ketua pelaksana dan wakil ketua pelaksana pelaksanaan ospek fakultas.

Malam ini adalah puncak ospek jurusan, enggak ngerti kenapa kayak gini padahal biasanya enggak ada cerita nginep di kampus (tidurnya di aula bareng-bareng, desak-desakan) dan sekarang adalah waktunya renungan suci yang dipindah jadwalnya secara mendadak karena pengisinya enggak bisa nanti pagi.

Padahal kalau malam tuh rawan banget.

Mahasiswa-mahasiswi baru sudah ngumpul di lapangan tadi, masing-masing megang lilin mereka yang sudah dikasih alas yaitu robekan kardus. Ngumpul gitu aja sih duduk biasa, enggak melingkar atau apa, pokoknya berbaris gitu, sementara si pembicara renungan suci udah ada di depan. Atsumu yang akhirnya nyampe di lapangan ngasihin korek tadi ke salah satu mahasiswa terus nyuruh dia buat oper ke yang lain, nyalain lilinnya.

“Sudah nyala semua lilinnya?”

“Sudah!”

Renungan malam dimulai.

Semuanya larut ke dalam pikiran sendiri, sementara Atsumu mengawasi karena dia adalah anggota tim medis, lagipula dia kating, enggak ikutan ospek lagi kali. Sebenarnya, Atsumu merasa renungan suci tuh enggak guna di acara kayak gini, anak orang dibikin nangis terus tiba-tiba langsung dibentak, enggak lucu banget. Apalagi malam gini, takutnya ada yang kesurupan karena terlalu larut dan pikirannya kosong. Masalahnya, malam juga semakin tinggi, jarum jam menunjukkan pukul setengah dua belas kita Atsumu melihat jam tangannya.

Atsumu memperhatikan satu-persatu mahasiswa-mahasiswi baru jurusannya, merasa kasian (tapi daritadi sebenarnya dia mau ketawa karena mampus deh lo) karena anak-anak ini harus melewati tradisi enggak jelas jurusan ini. Sekalian, jaga-jaga kalau ada yang enggak bisa dibentak setelah dibikin lesu, takut jantungnya ada yang lemah (angkatan Atsumu ada yang seperti ini, semua langsung panik).

Enggak lama, tiba-tiba mereka berjengit karena dibentak. Mata Atsumu gencar mencari-cari di kerumunan jika ada yang mulai menunjukkan gejala (puji syukur sih enggak ada yang kesurupan, karena tolong deh Atsumu enggak mau ngurusnya).

Ada.

Untungnya si mahasiswa baru itu (iya, cowok) enggak duduk di tengah tapi di paling belakang, langsung disamper sama Atsumu.

“Dek. Ke ruang kesehatan aja yok?”

“Enggak usah, Kak.”

“Aku tau ya jantung kamu lemah, makanya sesak napas? Sekarang udah mulai sesak kan? Ke ruang kesehatan, aku maksa,” ucap Atsumu berbisik, biar enggak berisik.

“Tobio, iya ih, ke ruang kesehatan aja.”

“Tuh, kata—” Atsumu menoleh ke teman si mahasiswa ini.

“Shoyo, Kak.”

“Nah, kata Shoyo mendingan kamu ke ruang kesehatan aja, yuk berdiri. Aku tuntun.”

Tobio mengalah dan memilih untuk dituntun ke ruang kesehatan yang syukurnya enggak jauh dari lapangan. Begitu sampai di sana, Tobio yang untungnya enggak parah-parah amat lebih memilih untuk duduk saja di kasur sementara Atsumu mencari oksigen di dalam lemari, ketika sudah dapat ia berbalik, “Sini, pakai oksigen dulu.”

“Aku bisa sendiri, Kak.”

“Enggak, enggak, kamu pasien ya, aku yang urusin.”

“Kak—”

“Nah, ayo, siap-siap hirup ya,” Atsumu yang sudah selesai menyiapkan tabung oksigen itu sudah menempelkannya, menutupi mulut dan hidung Tobio yang tidak bisa lagi menolak.

“Hirup.” Atsumu menekannya selama lima detik, lalu berhenti.

“Lagi.”

Berulang sampai tiga kali karena setelah yang ketiga Tobio mengangguk tanda sudah tidak apa.

“Bawa obat enggak?” tanya Atsumu seraya menaruh kembali tabung oksigen ke dalam lemari ruang kesehatan.

“Bawa, Kak.”

“Yaudah nanti ditanyain sama temennya yang tadi tas kamu yang mana, kamu tidur di ruang kesehatan aja malam ini.”

Tobio mau protes lagi, “Tapi—”

“Ya ampun, pasien aku hari ini keras kepala banget. Nurut aja deh kamu ya.”

Dengan cepat Tobio tutup mulut. Enggak berani juga membantah kakak tingkatnya. Bisa habis dia kalau namanya jelek hanya karena bersikeras tidak ingin tidur di ruang kesehatan.

“Bagus,” kata Atsumu. “Aku balik lapangan dulu ya.” Atsumu memakai sepatunya kembali setelah berada di depan pintu ruang kesehatan.

“Kak—”

“Iya?”

“Eum— itu—”

“Kenapa? Ngomongnya yang jelas.”

Tobio mengusap tengkuknya, dingin, “Kakak tidurnya di ruang kesehatan 'kan? Aku takut kalau sendiri,” cicitnya cepat.

Atsumu bengong sebentar sebelum tertawa renyah.

“Aduh, kayaknya giliran aku yang sakit deh ini, sakit gara-gara kamu.”

“Eh?”

“Enggak tau nih, rasanya kayak berbunga-bunga aja.”

Tobio memerah (untungnya, ruang kesehatan cukup gelap dan Atsumu sedang berbalik dari dirinya).

“Iya tidur di sini,” ucap Atsumu. “Tiduran sana, aku bentar lagi juga balik sini.”

Tobio mengangguk menurut dan mulai merebahkan diri di kasur ruang kesehatan, sementara Atsumu kembali ke lapangan seraya tersenyum lebar (Osamu hampir melemparnya dengan mikrofon ketika ia melihat kembarannya).

Atsumu beneran berbunga-bunga.

————

bungul = bego.

————

© fluctuius.

— 30 Days OTP Challenge Day 5 —

[ semesta lokal lagi, jangan bosan ya. ]

————

Suasana ruang sekretariat Palang Merah Remaja milik SMA 2 benar-benar berat. Atmosfirnya enggak enakin banget. Semuanya pada nunduk, enggak berani liat ke depan di mana ketua umum ekskul mereka—Daichi, berdiri di sana dengan wajah datar.

Anak-anak PMR sudah belajar bahwa jika Daichi sudah diam saja tanpa mengomel artinya orang itu sedang benar-benar marah. Dan jika hal ini terjadi, mereka terjebak di masalah besar.

“Jadi, ada yang mau ngomong soal apa yang harus dikoreksi hari ini?”

Koushi menghela napasnya pasrah, takut juga kalau ketuanya sudah marah begini, ia berdiri lalu berjalan ke depan.

“Siapa yang suruh ke depan?” tanya Daichi.

Daichi bahkan tidak ada lembut-lembutnya ketika berbicara dengan Koushi. Artinya, mereka berada di masalah yang besar banget.

“Gue sendiri, lah. Gue 'kan ketuplak.”

“Anggota yang lain enggak ada yang mau? Ketuplak lo semua yang lo suruh jadi tumbal?”

Semua menunduk, anak-anak angkatannya sendiri ataupun angkatan di bawahnya. Anak-anak anggota MPK-OSIS (yang dari MPK berjumlah dua dan OSIS berjumlah dua) membiarkan saja, mereka di sini hanya mengawasi jika evaluasi usai acara ini ujungnya menjadi kelewatan, mereka tidak memiliki urusan untuk ikut campur dalam masalah mereka, pun mengevaluasi anggota ekskul PMR.

“Yaudah, Koushi ngomong.”

Hela napas terdengar dari mulut Koushi, “Gimana? Capek?” tanyanya.

Anggota lainnya mengangkat pandangan mereka, menatap Koushi bingung. Bukannya Koushi juga marah? Secara hari ini acara benar-benar kacau-balau, padahal mereka kemarin sudah evaluasi hari pertama dan tadi pagi juga sudah rapat persiapan (yang mendadak tentu saja) dan mereka masih mengacaukan hari kedua sekaligus terakhir acara lomba mereka.

“Tegang banget, deh. Capek enggak?” Koushi mengulangi pertanyaannya.

“Kou—”

“Daichi, enggak perlu marah-marah, oke? Lo marah-marah juga enggak bawa hasil apa-apa. Mending diomongin kesalahannya apa terus kita cari solusi biar tahun depan enggak keulang begini lagi.”

“Nah, jadi ada yang bisa nyebutin kesalahan apa aja yang kalian rasa kalian lakukan atau panitia lakukan hari ini?” Koushi kembali bertanya ke anggota lainnya.

Ada satu yang mengangkat tangan, “Interupsi, Kak.”

“Bukan ospek kali, Keiji.” Koushi terkekeh. “Tapi, silahkan.”

“Beberapa LO juri kebanyakan santai dan ninggalin ruangan perlombaan padahal harusnya mereka stand by,” ujar Keiji takut-takut. “Lalu ada beberapa panitia yang malah pergi jajan juga padahal harusnya diam di tempat kalau ada apa-apa.”

Koushi tersenyum, “Makasih, Keiji.”

“Nah, sekarang enggak perlu senggol-senggolan siku sama temennya, ya, hahaha. Yang perlu diperbaiki itu berarti cara kita mendisiplinkan diri sendiri 'kan?” Koushi bertanya, menatap satu-satu anggotanya lalu sempat melirik Daichi yang terlihat mau meledak di belakang sana.

“Koushi mending lo duduk, gue yang pimpin evaluasinya.”

“Ketuplaknya 'kan gu—”

“Tapi lo enggak becus banget! Liat hari ini lomba kayak gimana? Kacau! Jelek banget! Dan lo di sini masih bisa senyum manis dan baik-baikin ini anak-anak?”

Daichi benar-benar terlihat marah, “Lo enggak becus. Banget.”

“Gue enggak ngerti lagi sama lo semua tapi evaluasi ini kita ulang besok aja sepulang sekolah,” ucapan final dari Daichi membuahkan tatapan heran dari Koushi maupun anak-anak lainnya, termasuk anggota MPK-OSIS.

“Oh? Gue enggak becus banget? Lo sendiri yang liat gue sakit tapi tetap masuk sekolah buat urus proposal?” Koushi jadi ikut emosi. Sejak kapan Daichi bisa seenaknya sendiri seperti ini?

Koushi melipat tangannya di depan dada, menatap lurus Daichi, enggak ada takut-takutnya sama sekali, “Enak banget lo bilang gue enggak becus? Gue relain waktu tidur gue berbulan-bulan demi mikirin acara ini dan—” Koushi menarik napasnya, wajahnya mulai memerah, karena emosi, sebelum nada suaranya meninggi, “—lo di sini dengan seenaknya bilang gue enggak becus ngurus ini? Kalau kayak gitu kenapa enggak lo tunjuk yang lain jadi ketuplak kalau ada yang becus, hah?! Kenapa gue?!”

Anggota yang seangkatan dengan Daichi dan Koushi sudah bergerak mendekat untuk melerai keduanya, walau tadi sempat terkejut karena jarang-jarang melihat Koushi yang wajahnya merah padam karena marah, apalagi melihat Koushi menaikkan nada bicaranya.

“Koushi, udah—” Yaku menarik bahu Koushi, “—lo pasti capek, evaluasinya diundur besok aja ya?”

Koushi menghela napasnya lalu menatap Daichi yang lumayan terkejut karena setelah dua tahun mereka bekerja bersama di PMR, baru sekali ini ia melihat orang itu marah sampai seperti ini. Akhirnya, Daichi memilih untuk melangkah keluar dari ruangan sekretariat PMR sekolah mereka, meninggalkan anggota MPK-OSIS yang datang untuk mengawasi jalan acara (serta evaluasi) mereka. Tanpa pamit.

Yaku menoleh ke anak-anak kelas satu dan dua lainnya yang masih duduk di bangku mereka. “Kalian boleh pulang, kok. Jangan lupa besok pulang sekolah kita evaluasi ulang ya?”

Semua mengangguk lalu tanpa disuruh lagi mulai meninggalkan ruangan sekretariat PMR dan pulang ke rumah masing-masing sementara Koushi malah duduk di salah satu kursi dan memandangi berkas-berkas sisa pelaksanaan lomba mereka.

“Yaku, Moniwa, Shinsuke, terus anak-anak MPK-OSIS kalian pulang duluan aja, gue mau rapiin ini dulu,” ujarnya tanpa menoleh ke orang yang ia maksud.

Shinsuke berinisiatif ingin membantu sebenarnya, tapi ia rasa Koushi sedang butuh waktu sendiri sekarang setelah tiba-tiba terkejut dan marah atas ucapan Daichi tadi. Ia paham, seberapa capeknya Koushi mengurus lomba ini sejak awal, belum lagi banyak kekacauan yang harus ia urus sebagai seorang ketua pelaksana, belum lagi masalah dana mereka yang ribet banget cuman gara-gara uang jatah ekskul ditilep kakak kelas di atas mereka. Makanya, Koushi sebenarnya stress banget.

“Yaudah, kita duluan ya, Kou.”

Koushi mengangguk tanpa menoleh, tidak mengucapkan hati-hati di jalan seperti biasanya, tidak ada senyuman menyegarkan yang biasanya akan selalu terpasang di wajahnya bahkan tadi ketika seorang juri memarahinya karena tidak becus sebagai seorang ketua pelaksana juga ketika pelatih dari peserta protes kepadanya.

Yang lain meninggalkan ruangan sekretariat, membiarkan Koushi larut dengan pikirannya sendiri padahal hari sudah semakin sore dan langit sebentar lagi gelap, tapi Koushi enggan beranjak dari tempatnya sekarang.

Jujur saja, rasanya Koushi capek banget. Enggak batin, enggak fisik, dua-duanya sama-sama capek banget. Mau nangis, tapi—

“Lo ngapain masih di sini?”

—masih ada satu orang yang berdiri di depan pintu ruang sekretariat PMR. Dari bajunya sih, kemeja anak OSIS karena anak MPK lebih milih pakai jas mereka daripada kemeja (Koushi agak bingung dengan hal ini).

“Lo oke?”

“Keliatannya gimana?” tanya Koushi balik. Sumpah, Koushi capek banget kalau harus diminta ngehadepin satu orang lagi.

“Mau gue anter pulang?”

“Enggak usah, Tooru. Gue bisa naik gojek.”

Yang dipanggil Tooru malah berjalan mendekat, membuat Koushi cemberut, tidak suka waktu sendirinya diganggu.

“Maaf banget, tapi gue—”

Tooru duduk di bangku sebelah Koushi dan dengan cepat memotong ucapan Koushi, “—gue boleh megang tangan lo enggak?”

Tangannya diulurkan dengan telapak tangan yang diulurkan.

“Hah?”

“Megang tangan lo. Boleh enggak?”

Koushi ragu-ragu, namun tetap menyambut uluran tangan Tooru. Enggak tau kenapa dia mau-mau aja.

“Anggep aja mental support,” ucap Tooru lalu terkekeh.

“Koushi, lo tau enggak?” tanya Tooru.

“Apaan?”

“Walau gue sama lo enggak akrab, cuman sekadar kenal aja dan beberapa kali pas-pasan di koridor atau kantin, tapi gue tau kok lo udah berusaha keras buat acara ini.”

Ini yang Koushi perlukan.

“Hm. Makasih.”

“Gue liat gimana dengan sabarnya lo ngomong sama juri yang marah-marah tadi, terus nanganin anak SMP yang ngamuk karena posisinya jadi mundur karena panitia lomba—”

“Duta.”

“Nah, panitia mata lomba dutanya salah hitung nilai.”

Koushi menatap lurus mata Tooru, “Makasih.”

“Senyum dulu.”

“Dih?” bukannya tersenyum, Koushi malah tertawa.

“Yaaay, ketawa!” ucap Tooru.

Koushi menghentikan tawanya lalu tersenyum, “Makasih banyak, Tooru.”

“Sama-sama.”

“Tapi, ini tangan gue masih harus dipegang ya?” tanya Koushi, jahil.

Tooru malah tertawa, “Iya, sekarang yang perlu mental support tuh gue, ketawa lo lucu banget.”

Tidak tahu harus bereaksi apa lagi, Koushi memilih untuk tertawa seraya berusaha menyembunyikan rona wajahnya yang memerah malu.

Setidaknya, genggaman tangan Tooru memberinya dukungan dan semangat yang ia perlukan.

————

© fluctuius.

— 30 Days OTP Challenge Day 4 —

[ lokal dan college au. ]

————

“Malas.”

Yahaba mengerang sebal, “Ayo, dong.”

Gelengan kuat diberikan Shirabu seraya menutup buku yang sedari tadi ia baca.

“Malesin banget dateng ke acara enggak jelas.”

Yahaba menoleh ke sekitar mereka, memastikan tidak ada anak dari Fakultas Hukum, kalau tidak habislah mereka.

“Hush! Jangan ngomong gitu! Acara-nya anak-anak hukum terkenal bagus, tau!”

Fakultas Hukum di universitas mereka terkenal sebagai fakultas yang kalau sudah melaksanakan suatu acara biasanya acara-nya bagus dan keren banget. Selain panitia-nya pada solid mereka juga biasanya banyak dapet donatur dari sana-sini. Makanya, acara mereka bisa lancar dan bagus gitu. Enggak heran setiap tahunnya acara yang paling ditunggu tuh pasti acara-acara dari Fakultas Hukum karena ini fakultas acaranya enggak cuman satu, ada pembukaan, puncak yang biasanya itu dilaksanakan music fest, ngundang artis dan beberapa pengisi acara lainnya gitu, lalu penutupan. Meriah banget pokoknya.

Tapi, tetap aja Shirabu enggak suka.

“Tetap enggak jelas. Mending gue pacaran sama dorland semaleman daripada dateng ke acaranya anak hukum.”

“Lo kenapa sih sensi banget sama anak-anak hukum?”

Shirabu mengendikkan bahunya, “Perasaan lo aja kali.”

“Hadeh, susah deh anak kedokteran belajar terus,” cibir Yahaba.

“Yee, enggak ya! Enak aja.” Shirabu membalas sewot. Ya, memang benar sih, anak kedokteran enggak semuanya kerjaannya belajar terus, 'kan? Mereka juga tau kali kapan harus bersenang-senang.

“Lah sewot,” balas Yahaba. “Makanya ayo ikut ini tiket lo dah sama gue, gue yang bayaaaar.”

“Lo aja sana ajak siapa itu anak teknik? Kyoutani? Siapa deh gebetan lo tuh enggak kenal.”

“Dia mah ngisi acara, Shiraaabuuuuu. Ayo dong ya temenin gue? Kita bisa minta dapet tempat paling depan, loh.”

The power of orang dalem banget lo ya.” Shirabu memutar bola matanya, hapal dengan kebiasaan Yahaba. Temannya banyak, sih, jadi enggak kaget kalau dia bisa minta ini-itu sama anak Fakultas Hukum.

Yahaba nyengir lalu beringsut turun dari kasur Shirabu, “Yaaa? Temenin gue ya?”

“Iya dah iya. Sekarang lo pulang ke kamar kosan lo sendiri sana! Gue masih mau nugas dulu!”

“Siap, kapteeennn!!”

————

Sejak kecil, Shirabu sudah sering kena cibir orang-orang karena dia orangnya kaku dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan buku daripada bergaul dengan orang-orang. Temannya juga itu-itu saja. Selain karena kerjaannya pacaran dengan buku, sekalinya ngomong Shirabu tuh jahat banget kalau kata Yahaba.

Yahaba dan Shirabu kenal pertama kali semasa SMP, waktu itu mereka berantem (lebih tepatnya adu argumen) di kelas waktu Yahaba lagi presentasi tapi Shirabu banyak komen banget. Yang awalnya materinya cuman sistem ekskresi malah semakin jauh aja bahasannya, karena guru IPA mereka sudah pusing duluan (enggak nyangka ada dua anak yang otaknya jenius banget di kelasnya) dan teman-teman mereka udah bingung sendiri, ujungnya, disuruh maafan sama gurunya.

Tapi, sejak itu jadinya Shirabu punya teman yang ngerti sama dirinya. Bahkan enggak sekali dua kali keduanya belajar bareng tukar informasi, juga saingan nilai. Akrab sampai bangku perkuliahan walau SMA-nya misah. Ujungnya, Shirabu masuk kedokteran dan Yahaba masuk farmasi. Masih sama-sama kesehatan, jadi masih suka saingan.

Karena SMA-nya misah, ada banyak hal yang Yahaba lewatkan dari kehidupan Shirabu. Salah satunya adalah kehidupan cinta Shirabu.

Ini deh alasan kenapa Shirabu enggak mau nemenin Yahaba ke acara Fakultas Hukum.

Dia malas ketemu mantannya yang anak Fakultas Hukum dan juga anak band yang pastinya bakal ngisi acara fakultasnya sendiri.

Tapi, di sinilah Shirabu berada, dengan celana jeans dan kaos putih bertulisan sok edgy yang Yahaba pilih untuk tidak beri komentar malam ini karena melihat Shirabu mau keluar dari kosannya untuk menonton acara ini saja sudah sebuah keajaiban baginya (padahal, ia yang memaksa ikut).

“Enak kan, first row.”

“Terserah lo aja.” Shirabu menjawab, namun suaranya teredam dengan teriakan para penonton ketika pembawa acara turun dari panggung dan digantikan oleh band yang akan mengisi acara sebelum artis bintang tamu utama mengisi acara puncaknya.

Yahaba mendekatkan diri lalu berbisik (sebenarnya berteriak tapi di sebelah telinga Shirabu langsung, biar dengar), “Ini nih! Band paling terkenal dari Fakultas Hukum!”

Tanpa diberi tahu juga Shirabu sebenarnya tahu. Bukan hanya dari teriakan penonton tapi juga karena mantannya berdiri di sana dengan bass kebanggaan di pelukannya. Mau tidak mau jadinya Shirabu melihat ke arah panggung.

Sialnya malah kontak mata.

Kenapa semesta suka bercanda sama Shirabu, sih?

Shirabu bisa melihat mata si mantan membulat terkejut sebentar sebelum berganti dengan seringai jahil (yang sejujurnya sudah lama sekali tidak Shirabu lihat setelah mereka putus). Perasaan Shirabu benar-benar enggak enak.

“Kak Semi tuh bassist mereka. Penggemarnya paling banyak, coba lo nengok ke belakang deh pasti banyak yang pegang slogan nama dia. Apalagi anak-anak cewek.”

Shirabu menurut saja lalu menoleh ke belakang dan mendapati ucapan Yahaba ada benarnya. Bisa-bisanya orang ini punya banyak penggemar? Belum tahu saja mereka kebiasaan buruk Semi Eita.

Lagu pertama dimulai. Shirabu harus mengakui memang band mantannya ini bagus sekali. Suara vokalis mereka juga benar-benar enak di dengar.

“Mereka bawain berapa lagu?” tanya Shirabu.

“Biasanya tiga. Dua lagu yang bikin loncat-loncat kayak sekarang, satu lagi yang mellow.”

“Serius mellow?” Shirabu bertanya heran yang dijawab dengan anggukan Yahaba.

Firasat Shirabu semakin tidak enak.

Selesai dengan dua lagu yang kata Yahaba bikin loncat-loncat, sekarang bassist mereka—Semi Eita tentu saja, mengambil alih untuk bicara dengan para penonton.

“Selamat malam semuanya!”

Teriakan histeris para penonton adalah jawabannya. Membuat Shirabu memutar bola matanya bosan—dan kesal.

“Kayak biasa, habis ini band kami bakal bawain satu lagu mellow, jadi kalau lo pada gampang baper, siapin tisu dan gandeng pacar lo sebelum pacar lo digandeng orang lain. Tapi khusus buat Shirabu Kenjirou, anak kedokteran yang nonton paling depan sama temennya, jangan ada yang gandeng, ya, mau gue gandeng habis tampil.”

Shirabu melotot sementara penonton menjadi histeris. Yahaba juga ikut terkejut.

Tuh, 'kan. Pantes firasat gue enggak enak banget.

“Oke, kita mulai ya lagu terakhir!”

Lalu mulailah lagu terakhir, judulnya All Out of Love oleh Air Supply. Lagu yang sering didengerin oleh Shirabu dan Semi semasa SMA.

Hadeh.

Mau tidak mau Shirabu ikut bernyanyi dengan lagu ini, membuat Semi diam-diam tersenyum seraya menyanyi di atas panggung (selain menjadi bassist, Semi kadang juga ikutan nyanyi). Selesai penampilan tersebut semua bertepuk tangan riuh. Shirabu juga ikut bertepuk tangan.

“Ya. Mantan gue, Dek Shirabu. Jangan coba-coba kabur, ya.”

Shirabu boleh enggak sih pinjam stick drummer band mereka terus gebukin kepala Semi?

————

© fluctuius.

— 30 Days OTP Challenge Day 3 —

[ lokal au ]

————

Keduanya bertemu pertama kali tatkala adanya sebuah acara besar di kota. Semacam bazaar besar-besaran yang hanya dilakukan satu tahun sekali sebagai peringatan hari jadi kota mereka. Kala itu, Jiro memisahkan dirinya dengan Ichiro dan Saburo—sebenarnya ia kabur karena Ichiro berduaan dengan Samatoki dan Saburo entah kemana perginya ia tidak bertanya pada Ichiro—sehingga Jiro memilih untuk berkeliling sendirian, mencoba berbagai macam makanan dan minuman serta menikmati pertunjukan yang berada di panggung utama walau harus lumayan berdesakan.

Cukup capai, Jiro memilih untuk menyingkir dari kerumunan penonton dan duduk di salah satu bangku yang berada di sebuah kedai (yang terpaksa ia beli makanannya agar ia bisa duduk di sana). Selebihnya, Jiro melamun seraya memperhatikan panggung dari tempatnya duduk. Kakaknya pasti masih asik pacaran, begitu juga dengan Saburo (ah, sialan. Jiro keduluan). Tidak ada alasan untuk Jiro kembali dan merecoki saudara-saudaranya yang sedang dimabuk asmara dan memanfaatkan keadaan sekarang ini. Mungkin, Jiro akan menghabiskan sisa waktunya di acara ini dengan cara menemani bibi penjual di kedai ini.

“Di muka lo ada saos.”

Berjengit Jiro dibuat suara itu, ia menoleh dan bertatap wajah dengan seorang pria yang balas menatap dirinya. Pria itu terlihat muda, kacamata bertengger di wajahnya, rambutnya disisir rapi, dan harum tubuh pria itu bisa Jiro cium dengan jelas.

“Gimana?”

“Ck. Ada saus tuh di muka lo.”

Pria tersebut memberikan tisu kepada Jiro agar Jiro bisa membersihkan saos di wajahnya. Tisu itu diterima dan Jiro mengeluarkan ponselnya yang digunakannya sebagai kaca agar bisa membersihkan saos pada wajahnya.

“Makasih— eung??”

“Jyuto.”

Jiro mengangguk mengerti, “Makasih Kak Jyuto.” Lalu ia kembali menatap panggung.

“Kak?”

Kembali Jiro menoleh kepada Jyuto. Kenapa sih kok masih belum pergi.

“Iya, Kakak. Lo keliatan lebih tua, sih.” Jiro mengendikkan bahunya tidak acuh. Memang jelas sih terlihat pria ini lebih tua dari dirinya.

“Gue masih kuliah kali.”

“Nah, pas,” sahut Jiro seraya mengernyit ketika Jyuto malah duduk di bangku sebelahnya. “Gue masih SMA.”

“Biasanya anak SMA ke sini rame-rame?”

“Gue sebenarnya bareng saudara. Tapi, misah. Soalnya mereka sama pacarnya.”

Jyuto malah tertawa mendengar pengakuan Jiro yang membuat Jiro mengerang sebal. Kenapa pula pria asing satu ini tertawa?

“Habis ini band temen gue tampil.” Jyuto berucap setelah tawanya reda.

Sumpah, enggak nanya, Kak.

“Mau nonton sama gue? Mereka cover lagu siapa sih itu gue sebenernya enggak tau, tapi mereka bagus.”

Jiro mungkin terlampau kesepian dan kelebihan takaran gila pada dirinya ketika ia mengiyakan ajakan pria asing bernama Jyuto ini.

————

“Ke tengah aja, ya? Biar enak liatnya.”

Jiro hanya mengangguk seraya membiarkan tangannya ditarik-tarik oleh Jyuto. Tidak sakit, sih. Malah, terlampau lembut. Bahkan tadi Jyuto sempat bertanya apa tidak apa-apa jika ia memegangi Jiro seperti ini karena takutnya ketika kerumunan penonton makin menggila mereka menjadi heboh dan menyeruak maju sehingga keduanya terpisah. Jiro mengangguk mengiyakan karena ia tidak suka harus sendirian berada di tengah-tengah kerumunan penonton.

Penampilan band yang dimaksud Jyuto memang bagus, Jiro mengakuinya. Lagipula, Jiro adalah seorang anggota band di sekolahnya, mereka juga sering manggung di kafe-kafe kecil, saat acara sekolah, ataupun acara amal. Makanya, Jiro bisa menikmati penampilan ini tanpa banyak protes walaupun harus berdesakkan. Ia tidak menyangka penggemar band ini akan sebanyak ini.

Tapi, namanya nasib, Jiro yang awalnya meniatkan diri agar tidak terpisah dengan Jyuto malah merasa ingin bersin dan terpaksa melepaskan tangannya untuk menutup mulutnya sendiri dengan kedua tangannya ketika bersin. Sial bagi Jiro, si vokalis (yang terlihat paling diidam-idamkan oleh para penggemarnya) malah melempar handuk bekas keringatnya (yang menurut Jiro menjijikkan) ke penonton dan para penonton seketika ricuh dan berdesakan maju dan saling dorong-mendorong.

Hal yang tak diinginkan terjadi; Jiro dan Jyuto terpisah.

Tidak mungkin Jiro harus berteriak memanggil nama Jyuto, lagipula di atas panggung sana sebuah band tengah tampil dan para penggemarnya berteriak kesenangan, suaranya pasti akan teredam. Maka, Jiro segera berusaha memisahkan diri dari kerumunan penonton. Dengan panik segera pergi ke pinggir dengan nafas tersengal seraya mencoba mencari-cari sosok berkacamata yang ia lepaskan tangannya.

Jyuto juga sama paniknya, sama seperti Jiro, ia berdesakan keluar dari kerumunan penonton, sayangnya berbeda arah dengan Jiro. Menyebabkan Jyuto menjadi panik. Memang, mereka baru kenal beberapa menit, tetapi itu kan anak orang! Dengan tadinya ia yang mengajak Jiro pergi ke tengah untuk menonton band temannya, maka saat itu juga Jiro berada di bawah tanggung jawabnya.

Untungnya, keduanya sama-sama tidak tinggal diam dan mulai berlari ke kerumunan penonton paling belakang, walau masih lumayan banyak penonton di sana, tetapi tidak sepadat di tempat keduanya menonton tadi.

Jiro panik. Napasnya tersengal. Jantungnya hampir copot. Ia tidak mau membuat orang lain khawatir (walau sebenarnya ia tidak yakin Jyuto akan mengkhawatirkannya, mereka baru bertemu beberapa menit yang lalu). Sedetik kemudian Jiro baru ingat hal yang selalu dapat membuatnya tenang dikala panik di tengah kerumunan orang banyak (Ichiro yang mengajarinya). Ia menghirup napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya. Diulang beberapa kali. Sebelum akhirnya matanya fokus mengitari tempatnya berdiri sekarang, fokusnya tidak terbuai oleh dentuman musik oleh sound system di depan sana dan teriakan histeris para penonton. Yang ia harus temukan hanyalah sosok tinggi dengan baju kaos berwarna biru malam.

Ketika matanya menangkap siluet pria yang dimaksud, kaki-kaki Jiro dibawa berlari dan berakhir dirinya menubrukkan dirinya ke punggung Jyuto yang sepertinya masih panik.

Jyuto terkejut ketika punggungnya ditabrak sehingga ia berbalik dan seketika jantungnya terasa berhenti berdetak ketika mendapati Jiro berdiri di hadapannya sekarang. Jiro terbahak melihat ekspresi Jyuto.

“Ketemu.”

————

© fluctuius.

— 30 Days OTP Challenge Day 2—

[ warning: local dan non-baku ]

————

Sebenarnya banyak kegiatan yang bisa dilakukan selagi menunggu yang lain selesai mandi. Namun, Yaku lebih memilih diam dan menatap ke hamparan rumput di depannya. Dia tidak bersemangat sama sekali untuk camping kali ini (padahal ini gilirannya untuk bisa balas dendam atas tahun lalu, walau tidak masuk akal, sih), suasana hatinya benar-benar buruk.

Malah, mungkin sekarang Yaku merasa marah karena hal tidak terduga tadi siang.

“Dor.”

Yaku menoleh dengan malas dan mendapati Kuroo menyengir menyebalkan kepadanya. “Apa?” sahutnya malas.

“Cie masih kesel ya?”

“Siapa yang enggak kesel digituin adkel, hah?”

Kuroo tertawa, “Enggak ada.”

Yang lebih tinggi ikut duduk di sebelah Yaku, ikutan menatap hamparan rumput yang mulai dibangun tenda di atasnya oleh masing-masing kelompok. Lalu beberapa panitia sedang menyiapkan kayu untuk membuat api unggun sebagai puncak acara nanti malam. Kuroo harusnya ikut membantu, tapi ia malah menemani Yaku duduk di tenda panitia dari PMR.

Hari ini adalah camping dalam rangka latihan gabungan setiap ekskul yang biasa dilakukan setiap tahunnya dan tempatnya selalu sama. Tidak ada yang berubah kecuali angkatan yang nantinya bakal ngelatdas adkel-adkel di ekskulnya masing-masing. Kuroo dan Yaku sebenarnya sama-sama anggota pengurus OSIS, tetapi keduanya hanyalah anggota pengurus biasa bukan pengurus inti, maka keduanya memilih untuk meminta izin mengurus ekskul mereka masing-masing karena Kuroo adalah ketua ekskul teater dan Yaku adalah ketua ekskul PMR tahun ini.

“Aku juga kesel, loh.”

“Yang dicium aku. Kenapa kamu yang kesel coba?” tanya Yaku dengan nada sebal, masih merasa marah dengan kejadian tadi siang saat materi.

Begini, tadi siang Yaku sedang melamun di depan tendanya di temani salah satu adik kelas klub futsal, awalnya mereka hanya berbincang biasa karena itu waktu istirahat dan beberapa anak PMR lain sedang sibuk mengurus beberapa pasien yang pingsan setelah kegiatan panas-panasan di tengah lapangan, Yaku yang sudah bekerja dari kemarin sebelum keberangkatan dan saat tadi pagi baru sampai di lokasi pun diminta anggotanya untuk mengawasi saja dan beristirahat (karena Yaku mengorbankan banyak tenaganya untuk latihan gabungan ini dikarenakan ia mengurus OSIS sekaligus PMR). Saat itulah tiba-tiba si adik kelas dengan lancangnya mencuri satu kecupan dari bibir Yaku saat Yaku melamun karena bosan menunggu pacarnya—Kuroo tentu saja serta anggota ekskulnya.

Jelas, Yaku marah. Pacarnya saja tidak pernah berani mencuri kecupan. Untuk memegang tangannya saja Kuroo selalu bertanya, “Aku boleh pegang tanganmu, enggak?” terlebih dahulu. Lalu, adik kelas tidak tahu diri ini tiba-tiba mencuri satu kecupan ringan?

Yaku dengan senang hati menendang bokongnya dan memberikan satu tonjokan di perutnya lalu mengantarnya ke ruangan aula di sana yang dijadikan sebagai tempat tidur orang sakit dan guru-guru yang ikut serta. Si adik kelas tidak protes ketika Yaku bilang kepada anak buahnya bahwa ia tertusuk ranting (alasan tidak masuk akal) karena ia benar-benar tidak ingin mencari masalah lagi dengan Yaku (salah siapa naksir tapi lancang?).

Dan di sinilah Yaku sekarang, masih dengan suasana hati yang tidak baik.

“Aku pacarmu. Aku pacarmu loh!” Kuroo berseru, bukan bermaksud membentak sebenarnya. Tapi, Yaku tetap berjengit kaget. Tidak menyangka reaksi Kuroo akan seperti ini.

Kuroo menyesali perbuatannya sesaat setelah melihat Yaku terkejut dan berinisiatif menggenggam tangan Yaku lalu menautkan jemari-jemari keduanya, “Pegangi ya?”

“Hm.”

“Maaf karena meninggikan suaraku tadi. Kaget ya?” tanya Kuroo.

Yaku menggeleng, tanda tidak apa, “Kaget. Tapi enggak apa.” Lalu ia tertawa, “Jarang lihat kamu marah. Yang biasanya marah-marah 'kan aku.”

Tawa adalah cara Kuroo menerima jawaban itu, “Benar juga.”

“Tapi, serius. Aku juga kesel.” Kuroo merengut, mengundang tawa Yaku karena kini pacarnya itu merengut sebal. “Aku yang pacarmu saja enggak pernah ya cium-cium kamu!”

“Ya sudah, cium sini. Hapus yang tadi.” Yaku berucap spontan tanpa berpikir dua kali lalu merutuki dirinya sendiri.

Yaku, kamu bodoh.

Kuroo menatap Yaku dengan tatapan bingung dan terkejut, “Hah?”

“T-tapi kalau enggak mau ya enggak apa-apa.”

“Kamu yang mau apa enggak?” Kuroo malah bertanya, membuat Yaku panik dan salah tingkah.

“Kita bisa cuci saja bibirmu dengan tanah tujuh kali loh?” sambung Kuroo.

Yaku malah tertawa keras, “Kamu kira aku dicium anjing?!”

“Emang, 'kan?”

Yaku mencubit lengan Kuroo dengan satu tangannya yang lain. “Sembarangan.”

“Hehe, tapi serius. Kalau kamu enggak mau ya jangan dipaksa, oke? Aku cemburu tapi bisa tahan diri.”

“Tapi, nanti waktu jurit kamu habisin gitu ya anaknya?”

Kuroo nyengir.

Yaku merasa lebih baik sekarang. Ia merasa tidak perlu menunggu anak-anak PMR lainnya memanggilnya atau menunggu anak OSIS untuk meminta bantuannya menumpuk kayu-kayu untuk membuat api unggun. Setelah ini ia akan menyusul teman-temannya. Kuroo benar-benar menemaninya menunggu suasana hatinya membaik.

Kekuatan cinta.

“Enakan ya?” tanya Kuroo.

Yaku mengangguk mengiyakan. “Makasih.”

“Iyaaaa, gemes banget pacar siapa sih? Aku cubit ya pipinya?” lagi, Kuroo bertanya. Yaku mengangguk dan berucap, “Jangan kenceng-kenceng.”

Kuroo berdiri dari duduknya lalu berjongkok di depan Yaku, tautan jemarinya sudah dilepas. Tangannya berada di pipi Yaku, mencubit pipinya kencang sebelum kemudian langsung berlari kencang menuju kumpulan anak-anak teater lainnya.

“Kuroo!”

Yang diteriaki malah tertawa kencang lalu berteriak.

“Sayang kamu juga!”

————

© fluctuius.

— 30 Days OTP Challenge Day 1 —

————

Hanamaki merengut sebal seraya menatap jendela di apartment-nya yang ia tempati setahun terakhir bersama kekasihnya.

“Mau bagaimana lagi?”

Suara Matsukawa—kekasihnya yang berusaha terdengar menyesal dan sedih dengan kondisi bumi sore itu (walau gagal) memasuki indera pendengarannya membuat Hanamaki makin merengut sebal.

“Buat ramen cup saja.” Matsukawa berujar lagi seraya menggonta-ganti saluran di televisi, mencari sesuatu untuk mereka tonton.

“Kamu tidak membantu,” ucap Hanamaki seraya berjalan ke dapur kecil di apartment mereka yang tergabung dengan ruang tengah di mana mereka biasa menyantap makanan mereka seraya bersantai menonton televisi.

“Kamu mau juga?” tanya Hanamaki seraya menoleh ke Matsukawa yang duduk santai.

Yang ditanya menggeleng pertanda tidak sebelum menyahut, “Aku makan kamu saja.”

“Mesum.”

“Memang, 'kan? Begini juga bisa membuatmu memohon begitu.”

Hanamaki mengerang sebal, “Menyebalkan.”

“Ya, sayang kamu juga.”

Memutar bola matanya sebal, Hanamaki kembali kepada cup ramen-nya yang sedang menunggu air mendidih seraya kembali tercenung. Harusnya, sore ini ia pergi keluar bersama Matsukawa, membeli beberapa stok bahan makanan dan beberapa hal penting lainnya, baru mampir ke kedai ramen kesukaan Hanamaki sejak SMA (dulu mereka sering mampir bersama anak-anak klub voli Aoba Johsai). Namun, semua rencananya gagal hanya karena langit yang berubah gelap lalu tidak lama kemudian disusul dengan air yang mengguyur bumi tanpa permisi.

Hanamaki sebal.

Sejujurnya, Hanamaki tidak terlalu menyukai hujan. Alasannya klise sekali, hanya karena hujan bisa merusak segala rencana yang ia buat. Termasuk hari ini. Padahal, Hanamaki sudah sangat ingin memakan ramen kesukaannya di kedai itu selama seminggu lebih lamanya (andai kedai ramen itu ada pesan antarnya. tapi, lagipula mana tega Hanamaki membiarkan pegawai pesan-antarnya mengantarkan pesanannya hujan-hujanan?) dan ketika Matsukawa berjanji akan menemaninya hari ini, hujan malah turun. Bagaimana Hanamaki tidak sebal?

Setelah airnya mendidih, dengan cekatan Hanamaki menuangkan semua bumbunya dah air yang telah mendidih lalu membawanya ke ruang tengah, memilih duduk di lantai dan bersandar pada kaki sofa daripada duduk di atas sofa—di sebelah pacarnya.

“Jangan di lantai. Dingin. Naik sini.”

Hanamaki menggeleng dan mulai menyeruput ramen-nya, mengunyahnya pelan lalu menelannya, “Enggak mau.”

Si pacar mendecak sebal (pelan, sih. malas berkelahi dengan Hanamaki), lalu beringsut mendekati Hanamaki yang sibuk memakan ramen-nya seraya menikmati acara pencarian bakat di televisi. Sekarang kedua lutut Matsukawa menjadi sejajar dengan kepala Hanamaki. Tangan Matsukawa bergerak untuk mengusap kepala Hanamaki (hal yang disukai Matsukawa sejak keduanya mulai berkencan), membuat Hanamaki menoleh protes karena aku-ini-sedang-makan-loh-!

“Aku mau.” Matsukawa mencondongkan badannya ke depan, minta disuapi oleh Hanamaki. Karena itu Hanamaki menoleh untuk menyuapi Matsukawa sesendok ramen.

“Muka kamu terlalu dekat.”

Matsukawa yang masih menunduk untuk menyejajarkan dirinya dengan Hanamaki yang duduk di lantai mengerutkan keningnya lalu berhenti mengunyah, matanya menatap lurus kedua netra Hanamaki. Jahil, ia memajukan wajahnya dan menempelkan bibirnya (sekadar menempel, karena masih ada ramen di dalam mulutnya) ke bibir Hanamaki yang kemudian kedua netra-nya membelalak setengah terkejut dan setengah protes.

“Issei!”

“Apa Takahiro?”

“Ah, menyebalkan! Aku tidak mau berbagi lagi!”

Tawa meluncur dari bibir Matsukawa yang kemudian mengusak rambut Hanamaki lagi. Suara tawa Matsukawa malah membuat Hanamaki makin sebal (sekaligus malu, sebenarnya).

“Kalau makanmu sudah selesai naik sini, hangatkan diri.”

“Tidak mau.”

“Halah, paling juga naik.”

Hanamaki mendengus kesal, mengundang tawa dari Matsukawa. Setidaknya, walaupun gagal pergi ke kedai ramen, hari ini Hanamaki dan Matsukawa bisa menghangatkan diri berdua saja.

————

© seyra. [ sasshima on twt ]

[ a mini seungchan fanfict by fluctuius ]

—————

Hanya Jung Subin yang mampu mengatai Seungwoo itu—

“Dasar payah.”

—secara blak-blakan.

Semua sontak (sebenarnya hanya ada tiga orang termasuk yang berucap) menatap Subin. Seungwoo yang paling terkejut. Tidak menyangka kalimat seperti itu akan meluncur sebegitu licinnya tatkala ia selesai bercerita.

“Su—”

“Aduh, Kakak tuh!” Subin agak menaikkan suaranya. “Nyadar enggak sih, Kak, kalau lo tuh bego banget?”

“Whoa— Subin—” Seungsik menepuk pundak yang paling muda dengan perlahan. “Kalem dulu,” lanjutnya.

Seungsik berbalik menatap Seungwoo yang duduk berhadapan dengan keduanya, “Tapi, bener kata Subin, lo emang bego banget, Woo.” Seungsik berucap seperti itu dengan wajah mengasihani yang sukses buat Seungwoo bingung.

“Maksudnya?”

“Tuh 'kan, bego.”

Ringisan kecil terdengar dari Seungwoo, “Maaf, Subin. Tapi kenapa deh, jangan ngatain guenya bego terus gini.”

Seungsik menepuk-nepuk pundak Subin lagi berusaha menenangkan Subin yang sepertinya mulai dibuat naik pitam oleh Seungwoo.

“Coba inti ceritanya, deh, Woo.” Seungsik menengahi.

“Gue suka Byungchan, kayaknya, tapi gue yakin Byungchan enggak suka sama gue?”

Subin mengerang frustrasi lalu menyeruput smoothie-nya penuh emosi, “Kak Seungsik aja yang kasih tau. Subin capek banget ngadepin Kak Woo.”

“Gini deh, Woo.” Seungsik mulai bicara setelah sebelumnya mendengus geli karena perilaku Subin yang seperti sedang merajuk kepada mereka. “Coba lo ceritain gimana Byungchan kalau di sekitar lo-nya?”

“Lebih ceria dari biasa, sih. Kadang juga jadi lebih nempel, manja, tapi Byungchan emang se-manja itu 'kan?”

“Iiiisshhh!” Subin berucap frustrasi.

“Lo tuh naksir Kak Byungchan!” Subin lanjut berucap.

“Byungchan juga naksir lo.” Seungsik menyambung.

“Heran gue, Kak, lo tuh pintar, sekarang lagi ambil S2, tapi urusan hati kacau balau!”

Seungsik tertawa, “Lo pernah pacaran enggak?” tanyanya.

Karena Seungwoo terlihat mengingat-ngingat, Subin jadinya merasa makin pusing. Sudah berapa lama sejak Seungwoo terakhir berpacaran sih?

“Pernah. Kelas 11 SMA.”

Otomatis Subin berucap, “Tuhan, gue capek banget sama Kak Seungwoo.”

Lagi, Seungsik tertawa sementara Seungwoo mengerang bingung, bukannya diberi saran ia malah dikatai sana-sini oleh Seungsik dan Subin.

Malam ini, Seungwoo mengajak keduanya makan malam, hanya di resto kecil dekat kosan Subin, tidak ada alkohol, hanya makan daging dan menikmati smoothie rasa stroberi kesukaan Subin (yang di mana akhirnya Seungwoo dan Seungsik sama-sama memesan minuman itu karena Subin tidak berhenti menyarankan) yang berujung pada Seungsik langsung bicara tepat sasaran.

“Lo mau curhat apa, Woo?”

Pada akhirnya Seungwoo menceritakan tentang perasaannya yang mengganjal akhir-akhir ini. Tentang dirinya dan tentang seorang pemuda yang lebih muda beberapa tahun dari dirinya, namanya Choi Byungchan. Kebetulan juga berteman dengan Seungsik dan Subin karena Byungchan itu terkenal sebagai seorang social butterfly yang memiliki teman di setiap angkatan. Pernah, Seungwoo berjalan bersama Byungchan di koridor kampus, semua yang berpas-pasan dengan mereka (bahkan dosen) akan saling tegur sapa dengan Byungchan. Tidak heran jika ia juga mengenal Seungsik dan Subin yang merupakan teman Seungwoo sejak kecil.

Sebenarnya Seungwoo tidak bercerita banyak, ia hanya menceritakan tentang Byungchan yang akhir-akhir ini lebih sering pergi bersama Sejun (teman satu band Seungwoo yang lagi-lagi kenal dengan Byungchan) daripada dengan dirinya, padahal beberapa bulan terakhir Byungchan selalu menghubungi Seungwoo untuk menemaninya pergi ke mana-mana. Lalu, Byungchan jarang mengabarinya melalui aplikasi tukar pesan, padahal biasanya Byungchan sudah akan ribut mengucapkan selamat pagi, siang, sore, dan malam lengkap dengan foto Byungchan sendiri, katanya biar Seungwoo semangat (sadar tidak sadar, Seungwoo tersenyum saat menceritakan bagian ini). Yang lalu ditutup dengan ucapan, “Kayaknya, gue naksir Byungchan tapi orangnya naksir Sejun.” Yang kemudian dihadiahi kata payah dan bego oleh Subin dan Seungsik juga ekspresi Subin yang luar biasa kesal.

“Gini, deh.” Seungsik berucap, “Gue rasa sih Byungchan sengaja sering pergi sama Sejun karena mau tau lo cemburu apa enggak.”

“Tapi 'kan kalau soal kayak gitu tinggal tanya sama gue? Kak Seungwoo lo cemburu enggak kalau gue jalan sama Sejun? Byungchan 'kan orangnya jujur banget masa nanya gitu enggak bisa?”

Subin rasanya mau pukul kepala Seungwoo pakai gelas smoothie miliknya saking tidak habis pikirnya dengan jalan pikir yang lebih tua.

Hopeless banget gue sama Kak Woo.” Subin mengacak rambutnya sendiri. “Sejun tuh deketnya sama gue, Kak!” aku Subin akhirnya.

“Sumpah, gue kira lo enggak bakal se-bego ini sampai enggak sadar kalau Sejun juga lagi deket sama gue?”

“Hah?” Seungwoo menatap terkejut dan bingung. “Terus?”

“Bener kata Kak Seungsik, dia lagi main-main aja bantuin Kak Byungchan, mau liat reaksi lo kayak gimana. Gue niatnya mau nanya tapi lo-nya begini gue jadi pusing sendiri, Kak. Sumpah.”

Seungsik tertawa mendengar pengakuan Subin (walau sebenarnya ia agak bingung dan ia tidak tahu Sejun sedang dekat dengan Subin, tapi biarlah itu urusan nanti). “Nah, berarti udah jelas kalau Byungchan suka sama lo juga.”

“Tapi kenapa dia suka sama gue dan enggak bilang?”

“Seungwoo, lo mau gue lempar pakai piring atau gelas smoothie sih?” Seungsik pada ujungnya ikut naik pitam. Bisa-bisanya seorang Han Seungwoo yang dipuja-puja menjadi sebodoh ini karena jatuh cinta?

“Ada waktunya orang sepositif dan sejujur Byungchan pun merasakan yang namanya insecure dan malu atas sebuah perasaan,” lanjut Seungsik sementara Subin di sebelahnya hanya mengangguk-angguk membenarkan seraya sekali lagi menyeruput smoothie miliknya.

“Terus?”

“Ya, lo gerak duluan lah! Tunjukin kalau lo tuh suka sama dia, gue yakin Byungchan bakal paham dan juga ikutan nunjukin kalau dia suka sama lo,” lanjut Seungsik dengan wajah yakinnya.

Seungwoo menaikkan salah satu alisnya, agak bingung.

“Lo selama ini udah nunjukin rasa sayang gimana aja, Kak?”

“Nanyain udah makan apa belum, nyuruh tidur, nyuruh makan, semangatin nugas. Enggak tau apa lagi?”

Subin benar-benar sudah di batas kesabarannya, “Itu mah gue juga bisaaa!” Subin menahan suaranya sendiri karena bagaimanapun Seungwoo adalah sosok kakak yang ia hormati dan mereka sedang berada di tempat umum.

“Nih, gue tanya ya, pernah enggak lo pegang pipinya? Puji senyumnya? Puji wajah manisnya?” Seungsik mengambil alih lagi.

Seungwoo menggeleng sebagai jawaban.

“Kak please jangan bilang lo enggak pernah pegangan tangan sama Kak Byungchan?”

Lagi, Seungwoo menggeleng sebagai jawaban. Seungwoo jadi berpikir, mungkin benar kata Subin bahwa ia memang payah dan bego, bahkan ia enggak pernah berani buat bilang “Byungchan, gue boleh pegang tangan lo, enggak?”.

“Tuh, 'kan.” Subin menghela napas.

“Terus gue harus gimana?”

“Lo bisa mulai dari kasih afeksi yang lebih banyak dari biasanya.” Seungsik menjawab. “Perlakukan dia secara spesial, bedakan dari lo memperlakukan teman-teman lo, gue bilang gini karena emang lo baik sama semua orang, Woo.”

“Lalu?”

“Kalau lo ngerasa udah oke, baru lo bicarain soal perasaan lo berdua satu sama lain itu gimana. Jangan main nge-gas, lo berdua udah gede. Enggak usah taruh harapan tinggi-tinggi, secukupnya aja,” lanjut Seungsik.

Subin mengangguk, “Jangan lupa skinship, seingat gue Kak Byungchan suka banget skinship 'kan?”

Seungwoo mengangguk paham.

“Doain gue, ya?”

“Selalu.”

“Ini aja gue sama Kak Seungsik sabar banget ngadepin lo, Kak.”

Seungwoo menghadiahkan cengiran. Ia tahu sekarang, hatinya adalah milik Byungchan dan (mungkin) hati Byungchan adalah miliknya juga. Yang perlu Seungwoo lakukan hanyalah mencari kebenaran sehingga kata mungkin di dalam tanda kurung itu bisa hilang dan Seungwoo dapat menggandeng tangan Byungchan lalu mengumumkan kepada dunia bahwa Byungchan adalah miliknya dan ia adalah milik Byungchan.

Tapi, sebelum itu—

“Omong-omong, Subin, kalau Sejun berani macam-macam bilang aja, nanti gue yang urus.”

—Seungwoo ingin mengorek satu hal lain lebih dulu.

————

© fluctuius.

by fluctuius.

Kemarin sore Seungwoo mempertanyakan kenapa ada sepasang sepatu asing di apartmentnya dan Seungyoun tinggali. Awalnya, Seungwoo tidak terlalu mempermasalahkan, paling-paling itu Sejin atau teman Seungyoun— tidak menyangka itu temannya karena Seungwoo tidak memiliki terlalu banyak teman.

“Seungyoun?”

Ketika namanya mengudara, maka yang dipanggil berjalan dengan derap langkah yang bisa didengar, “Oh? Sudah balik?”

Seungwoo berikan anggukan sebagai jawaban. “Lo ngapain? Gue liat ada sepatu lagi sepasang di depan, lo bawa siapa?”

“Nugas, nemenin temen gue juga nugas—” Seungyoun berbalik lagi berjalan ke arah kamarnya diikuti oleh Seungwoo di belakangnya yang berjalan menuju kamar yang berseberangan dengan Seungyoun, kamarnya sendiri. “—Chan, sini deh! Kenalin nih roomate gue.”

Seungwoo yang selesai menaruh segala macam bawaannya dan melepas sweaternya keluar dari kamarnya dan melongok ke pintu kamar Seungyoun.

“Halo!”

Cengiran lebar dilengkapi dengan sapaan ceria— jangan lupakan lesung pipi yang dalam menyapa mata Seungwoo begitu ia melongok ke dalam kamar temannya.

“Halo?”

Awkward. Banget.

Seungwoo nggak pernah tau caranya berteman dengan baik, selama ini temennya ya paling Wooseok, Seungyoun, dan Sejun. Itupun ia sudah mengenal ketiganya sejak kecil. Jarang-jarang ia merepotkan dirinya dengan cara membuat teman lebih banyak terlepas dari ketiga orang tersebut. Padahal, teman-temannya sendiri juga sibuk dengan dunianya. Namun, Seungwoo tidak pernah takut ditinggalkan.

Walau nantinya ia ditinggalkan pun, ia tinggal hidup sendiri, 'kan?

“Masuk, bos. Temenin gue nugas sama ni anak dah, kocak kok orangnya.”

Seungwoo masih berdiri kaku di depan pintu kamar Seungyoun yang membuat si pemilik kamar mendengus geli, “Elah, awkward mulu kapan punya pacarnya?” Seungyoun mendorong Seungwoo masuk seraya menggodanya.

“Youn, apa deh?” yang digoda melempar tatapan protes. “Gue mau makan dulu, laper ini gue habis nge-asdos, capek.”

“Gue bawa banyak makanan!”

Orang yang bahkan tidak Seungwoo kenali tiba-tiba ikut terlibat dalam percakapannya dengan Seungyoun dan bahkan anak itu menawarkan makanan yang ia bawa. Seungwoo melirik Seungyoun yang dibalas kedipan sebelah mata oleh Seungyoun yang membuatnya menghela napas berat lalu melangkah masuk dan duduk di kasur milik teman satu apartmentnya itu.

“Anak akuntansi?” tanya Seungwoo begitu melihat tugas teman Seungyoun.

Anak itu mengangguk semangat, “Susah banget! Tapi seru!” ucapnya antusias menuai kerutan bingung di dahi Seungwoo.

Susah? Tapi seru?

Ini pertama kalinya Seungwoo menemukan seseorang seperti ini. Seseorang yang mengerjakan tugas tanpa merasa terbebani, justru ia mengerjakannya dengan mulut penuh yang mengunyah cemilan sembari sesekali meminum soft drink serta sesekali cengiran lebar terpatri di wajahnya.

“Gue nggak pernah liat lo di kampus?”

Teman Seungyoun tertawa, “Gue emang jarang keliaran di kampus, lagian gue 'kan bukan anak famous kayak Kak Seungwoo!”

Begitu namanya disebut ja mengernyit bingung, “Lo tau gue?”

“Siapa yang nggak tau cowo kita bersama-nya fakultas ekonomi-bisnis sih?” si empunya cemilan memasukkan lagi makanan ke dalam mulutnya seraya membalik buku yang menjadi sumber literaturnya.

Hal ini menuai kernyitan pada kening Seungwoo. Memang, sih, selama di kampus sejak menjadi maba Seungwoo sudah dicap sebagai cokiber alias cowo kita bersama milik anak-anak fakultas ekonomi karena Seungwoo sudah berapa kali menolak cewek ataupun cowok yang mengajaknya untuk berkencan. Selain itu Seungwoo juga terkenal suka mendorong jauh orang-orang yang mencoba berteman baik dengannya dan membiarkan mereka ada pada status teman biasa saja. Karena hal inilah akhirnya Seungwoo dijuluki cowok kita bersama-nya anak-anak fekon karena emang nggak akan ada yang bisa meng-hak milikkan seorang Han Seungwoo.

Seungyoun kembali berkutat dengan tugasnya sementara Seungwoo dan temannya lanjut mengobrol.

“Kalau gitu, nama lo siapa?”

“Choi Byungchan. Inget baik-baik ya, Kak cokiber-nya anak-anak fekon!”

Oh, namanya Byungchan. Si empu sepasang sepatu asing di pintu masuk. Mungkin juga sebentar lagi julukan yang Seungwoo berikan padanya adalah si empu hatinya.

—tsukishima kira. by fluctuius.

tsukishima kei. 23 tahun. murid kuliahan tahun keempat. mantan pemain voli jaman putih abu-abu kalau kata orang.

tsukishima kei. rambutnya kuning. matanya empat. otaknya cemerlang. ipk-nya selalu 4,00.

tsukishima kei. dulunya jatuh cinta dengan si berisik oranye. tapi tak sadar dirinya jatuh sedalam itu.

tsukishima kira, perasaannya akan terlupakan begitu saja ketika si oranye pergi jauh ke negara brazil untuk belajar voli pantai.

tsukishima kira, perasaannya tak akan sama lagi setelah lama tak tegur sapa dengan si mungil oranye itu.

tsukishima kira, perasaannya tidak akan berdesir gugup ketika melihat si mungil oranye telah kembali ke tanah kelahiran mereka dan bermain dengan begitu lincahnya di lapangan.

tsukishima kira, perasaannya telah mati.

nyatanya, bertahun-tahun lamanya, perasaannya masihlah sama. pada orang yang sama.

hinata shoyo, tsukishima masih menyukaimu.