Selamat Natal, Samatoki
— 30 Days OTP Challenge Day 7 —
[ tw: character death dan suicidal thoughts ] [ di semesta ini, senjata seperti pistol tetap digunakan ]
————
“Kalau begitu aku pergi dulu ya! Jiro dan Saburo yang akur!”
“Iya...,” keduanya menyahut lesu lalu saling melirik, Ichiro ingin tertawa karena dilihat-lihat mereka ini lucu sekali, karena walau menyahut begitu biasanya juga setelah pintu rumah kediaman Yamada bersaudara itu ditutup tidak lama keduanya akan mulai adu mulut.
“Siap Ichiro?”
“Jyuto-san, kapan aku tidak pernah siap?”
Jyuto terdiam sebentar seraya menginjak pedal gas pada mobilnya yang kemudian meluncur meninggalkan Ikebukuro, “Tidak pernah jika itu tentang Samatoki.”
Senyuman tipis yang diulas adalah pertanda setuju.
————
Pintu kamar rawat inap milik Samatoki terbuka, membuat Ichiro dengan cepat menoleh dan mendapati Riou serta Jyuto keluar dari sana.
“Bagai—” Ichiro menggeleng. “Biar aku lihat sendiri saja.”
“Dia mencarimu.” Riou yang berucap, diangguki oleh Jyuto.
“Kalau sudah selesai kami berada di kantin ya, Ichiro.”
Anggukan pelan dari Ichiro dianggap sebagai tanda persetujuan oleh Jyuto yang kemudian mempersilahkan si pemilik manik dua warna itu masuk ke dalam kamar rawat inap milik Samatoki—kekasih Ichiro.
Begitu pintu ditutup dan Ichiro berbalik untuk melihat Samatoki, yang didapatinya adalah kekasihnya mengerang menahan sakit seraya berusaha berbalik untuk melihat siapa yang masuk.
“Ichiro?”
“Hehe, halo.”
Jika saja Samatoki tidak sedang menahan rasa sakit pada kepalanya, mungkin ia akan menyumpahi si bocah kesayangannya ini.
“Jyuto bilang kamu tidak ikut?”
“Sejak kapan Samatoki-san percaya dengan Jyuto?” tanya Ichiro, sebenarnya menyindir, seraya berjalan mendekati kasur rawat milik Samatoki, tangannya meraih kursi yang menganggur lalu duduk di sana.
“Benar juga.” Samatoki berujar dengan kekehan di ujungnya lalu meringis dikarenakan rasa sakit di kepalanya.
“Aduh, tuh, 'kan, jangan ketawa dulu— heh!” Ichiro berseru di ujung kalimatnya yang mengkhawatirkan Samatoki karena bukannya menurut untuk diam saja Samatoki malah tertawa.
“Kamu lucu kalau mengomel.”
“Tapi enggak gitu juga, ya,” ketus Ichiro sebal. “Kamu disuruh diam aja, 'kan, istirahat.”
“Mm-hm. Padahal, harusnya tahun ini kita bisa rayakan natal bersama Jiro, Saburo, dan Nemu ya?”
Ichiro berinisiatif menggenggam tangan Samatoki lalu menunduk dan menaruh kepalanya di kasur.
“Enggak apa. Tahun depan masih ada natal.”
“Memangnya aku masih ada di sini sampai natal tahun depan?”
Ichiro terdiam sebelum matanya mulai mengerling marah, menatap mata Samatoki lurus. Duduknya kembali ditegakkan tetapi tangannya masih saling menggenggam.
“Jangan gitu, deh.”
“Itu 'kan kata dok—”
“Persetan,” dengus Ichiro. “Kalau aku bilang kamu masih bisa ikut natal tahun depan, ya bisa!”
Tidak sekali-dua kali setiap Ichiro mengunjungi kamar rawat inap Samatoki keduanya malah berujung bertengkar seperti ini. Hanya karena alasan yang sama.
Apakah ia masih akan berada di sini untuk natal tahun depan?
“Kamu dengar sendiri perkataan dokter soal peluru yang bersarang di kepalaku, 'kan?”
Bukannya diam dan mengalah, Samatoki memilih untuk mendebat setiap perkataan Ichiro. Pesimis.
Ketika Ichiro selalu berusaha menguatkan dirinya dan bahkan Samatoki. Yang sedang dikuatkan sedang bersedih hati, tidak semangat, patah semangat malah, pesimis. Tidak ada keinginan hidup lagi.
“Sa—”
“Bergeser sedikit lagi, maka langsung menyenggol pembuluh darah.”
“Diam.”
“Aku mati, Ichiro.”
“Samatoki-san!” bentaknya. Suaranya bergetar menahan tangis. Selalu seperti ini. Bertengkar karena keinginan bertahan. Ichiro yang optimis dan kekasihnya yang pesimis.
“Maaf,” Samatoki akhirnya sadar jika ia sedikit kelewatan kali ini. Tangannya yang satu lagi (yang tidak dipakai saling genggam) diangkat untuk mengusap sayang puncak kepala kekasihnya lalu merambat pelan turun ke sisi wajah Ichiro, menatap matanya dalam. Mata berbeda warna yang selalu Samatoki kagumi. Mata yang sama yang membuat Samatoki jatuh cinta sedemikian dalamnya. Mata yang sama juga yang selalu berbinar penuh harap dengan cahaya optimis di setiap perbuatan dan ucapannya.
Ah, harusnya Samatoki lebih paham mengenai hal ini.
“Natal nanti mau pergi ke mana?” Samatoki bertanya, kali ini ibu jarinya digunakan untuk mengusap pipi Ichiro lembut.
“Di sini saja boleh?”
“Ichiro.”
Ichiro mendecak pelan, “Enggak tahu, ya. Nemu punya rencana bagus, katanya, nanti mau dibahas dua hari sebelum.”
“Jyuto dan Rio?”
“Ikut tentu saja.”
“Jyuto memangnya akur dengan Jiro?”
Pertanyaan Samatoki malah disambut tawa oleh Ichiro, membuat Samatoki mengerutkan keningnya bingung, “Mana akur! Tadi saja waktu Jyuto jemput aku di rumah, mereka sempat-sempatnya adu mulut.”
“Jyuto duluan yang ganggu?”
“Memang siapa lagi?”
Kali ini Samatoki turut tertawa. Selepas tertawa, matanya kembali menatap Ichiro lurus di kedua maniknya.
“Matamu cantik.”
“Akunya ganteng?”
“Kalau aku bilang enggak kamu pasti marah.”
“Mana ada!” seru Ichiro protes. Namun, tangannya yang bebas ikut terangkat dan memegang tangan Samatoki yang masih asik bertengger untuk mengusap pipinya penuh sayang sedari tadi.
“Aku sayang Ichiro.”
Ichiro mengulas senyuman tipis, “Aku juga sayang Samatoki-san.”
Keduanya diam sesaat sebelum Ichiro buka mulut lagi, “Oh iya, karena natal nanti enggak ke sini—” ada jeda di kalimatnya sebelum tersenyum ke arah Samatoki.
“Selamat natal, Samatoki-san.”
“Ya, selamat natal, Ichiro.”
Senyuman diulas tipis oleh Samatoki. Walau natal tahun ini ia tidak bisa merayakannya bersama yang lain, tetap saja ini adalah natal terbaik untuknya, karena Ichiro ada di sini.
Ichiro ada di sini untuknya.
Ichiro berada di sisinya untuknya.
Ichiro berada di sana, di natal terakhir Samatoki.
————
© fluctuius.
————
soal peluru bersarang di kepala itu sebenarnya terinspirasi dari drama Born Again.