[ sebuah fiksi penggemar pendek dikarenakan rindu hwangmini ]
————
Kata Junho, semesta itu lucu.
Yunseong sore itu baru beranjak dari perpustakaan kampus, seperti biasa ia memilih menghabiskan waktu di perpustakaan jikalau tidak ada kegiatan lainnya. Walau terkadang beberapa temannya akan mengajak dirinya untuk hangout, Yunseong selalu menolak ajakan itu. Entahlah, mungkin Yunseong menikmati menghabiskan waktu luangnya sendirian.
“Kak Yunseong!”
Merasa namanya dipanggil dengan suara keras, Yunseong segera memperhatikan sekitar, memastikan tidak ada banyak orang di sekitar mereka. Syukurnya, hari sudah lumayan sore jadi tidak akan ada banyak orang di sini sekarang.
“Sore, Eunsang.”
Eunsang memberikan cengiran di wajahnya, “Sore! Baru mau pulang, Kak?”
“Iya, kamu kenapa masih di kampus?” tanya Yunseong, matanya beralih ke sosok yang sedari tadi berdiri di sebelah Eunsang, ia rasanya mengenal siapa saja teman Eunsang, tapi ia tidak pernah melihat yang ini.
Buru-buru Yunseong menepis pikiran yang satu itu. Mungkin memang Yunseong saja yang tidak terlalu bergaul dengan orang-orang di kampusnya (bahkan, dengan beberapa teman sekelas pun, Yunseong menemukan dirinya kesulitan bicara dengan mereka). Jadi, seharusnya jika Eunsang memiliki teman selain lingkaran pertemanan dengan dirinya dan teman mereka yang lainnya, Yunseong tidak perlu heran.
“Habis rapat rampus!” jawab Eunsang dengan cengiran di wajahnya, “Bawa motor, Kak?”
“Bawa. Kamu mau nebeng? Junho hari ini di sekre sampai malam ya?”
Tidak lama, orang yang dimaksud sampai di dekat mereka. Pakai motor.
“Loh ini Junho bawa motor, Sang—”
“Yeee, emang balik sama gue kalau Eunsang. Ini mau minta tolong anterin temen gue sama temen Eunsang, anak rampus juga, kasian kesorean—”
“—enggak usah! Bisa naik gojek, kok.”
“Enggak ya bocil, enggak gue biarin lo naik gojek ini sore banget.” Junho memberikan satu helm lagi (milik Eunsang sendiri sebenarnya) kepada Eunsang yang sudah mendekat ke arah Junho.
“Bisa anterin, enggak Kak?” tanya Junho.
Teman Eunsang tadi berbalik ke Yunseong lalu memberi kode bilang-aja-enggak-bisa-kak, yang sebenarnya Yunseong enggak tahu kenapa ia bisa mengartikan tatapan kode dari adik tingkatnya (karena mereka berteman dekat, maka bisa disimpulkan mereka satu angkatan). Yunseong bergantian menatap ke Eunsang yang sudah memasang cengiran lagi di atas jok motornya Junho.
“Bisa. Tapi, gue mau mampir ke gramedia dulu. Enggak apa?”
“Wah, enggak apa banget dong, Kak!” Junho langsung menyahut, “Iya kan, Minhee?” Junho melirik ke Minhee yang kembali berbalik menghadap Junho dan Eunsang.
“Eunsang...,” rengeknya.
“Hehe, dadah Minhee!”
“Nitip ya, Kak!” kata Junho lalu langsung meninggalkan Yunseong berduaan dengan orang asing bernama Minhee yang baru ia kenal beberapa menit yang lalu.
Minhee berbalik dengan wajah cemberut, “Junho tuh—” kakinya dihentakkan sekali karena kesal, “—nyebelin banget! Kakak kok bisa sih tahan berteman sama Junho?”
“Enggak tahu, ya. Mungkin karena dari kecil sudah bareng-bareng?”
“Kakak kalau mau pulang, pulang aja, aku bisa naik gojek.”
Yunseong menggeleng (yang sebenarnya Yunseong tidak mengerti kenapa ia menggeleng, padahal kalau dia mau dia bisa saja membiarkan Minhee pulang naik gojek, urusan dengan Junho bisa disepakati), “Sama aku aja.”
“Takut Kakak repot,” ujarnya seraya menggeleng lalu mengeluarkan ponselnya.
Yunseong dengan cekatan menurunkan ponsel Minhee dan memasukkannya kembali ke kantung celana milik adik tingkat yang baru dikenalnya.
“Sama aku. Nanti aku dimarah Junho, kamu mau?”
“Ya... Enggak sih.”
“Yaudah, ayo.” Yunseong berbalik dan berjalan menuju motornya di sana. Minhee dengan terpaksa mengikuti dari belakang.
Yunseong membuka jok motornya dan mengambil satu helm dari dalam sana, “Pake, ya.”
Minhee mengambil helm tersebut dari tangan Yunseong, “Bersih ya. Harum. Enggak kayak helm mas gojek,” celetuk Minhee begitu saja.
“Ini kamu bandingin aku sama mas gojek apa gimana....”
Minhee memberikan cengiran, “Enggak gitu, Kak.”
Yang punya motor kembali menutup jok motornya seraya geleng-geleng kepala lalu memakai helm miliknya sendiri, naik ke atas motornya dan menyalakan mesinnya sebelum memundurkan motornya dari tempatnya diparkirkan.
“Yuk. Enggak apa 'kan mampir dulu?”
Minhee mengangguk lalu naik ke atas motor, di belakang Yunseong. “Santai aja, Kak,” ujarnya.
Motor Yunseong sore itu membelah jalanan sore seperti biasa. Bedanya, kali ini ada satu orang yang ikut di belakangnya.
————
Minhee sebenarnya enggak tau kenapa suatu hari tiba-tiba Eunsang nanya ke dia, “Minhee, lo enggak tertarik punya pacar?”
Dengan jujurnya, Minhee bilang dia santai aja enggak punya pacar. Tertarik enggak, nolak buat punya pacar juga enggak. Biasa saja. Kalau ada yang dekatin dan sesuai kayak yang dia mau, ya gas aja. Begitu katanya.
Lalu, suatu hari Junho—pacarnya Eunsang, tiba-tiba ngomong kalau dia mau kenalin Minhee ke temannya.
“Enggak, ah. Orang yang lo cariin pasti aneh-aneh.”
“Sembarangan!”
“Yeee bener kan gue?” balas Minhee seraya menjulurkan lidahnya.
Namun, walau Minhee menolak, Junho tetap bersikukuh, katanya kasian temannya itu sudah teman sedikit, pacar juga enggak punya. Lempeng sekali hidupnya. Enggak ada asik-asiknya.
“Enggak tau ya gue kalau dia enggak nyaman sama gue lo tau sendiri gue tuh—”
“—berisiknya minta ampun.” Eunsang memotong seraya berjalan mendekat ke arah Junho dan Minhee yang sibuk bicara menunggunya sedang mengurus beberapa hal dengan anggota radio kampus seusai rapat sore itu.
“Enggak usah diperjelas, kali.”
“Kali aja lo lupa diri, kan....” Eunsang berucap seenaknya lalu beranjak mengenakan sepatunya yang tadi ditanggalkan di depan ruangan.
“Lo balik gih sama orangnya sore ini.”
“Hah?” Minhee yang lagi nempel-nempelin Eunsang yang ribet makai sepatunya langsung berbalik menatap Junho dengan wajah penuh tanda tanya. “Jangan ngawuuuur deh lo, lo kira gue kayak superman apa bisa menerima kabar dadakan ada musuh dan langsung ngeeeng terbang untuk mengalahkan musuh?”
“Kenapa superman....”
“Lagian siapa sih yang ada di kampus sampai sore begini kecuali anak BEM atau HIMA?”
“Temen gue,” jawab Junho santai lo mendorong Eunsang dan Minhee dari depan ruang siaran radio kampus, “Anterin dia ya, Sang, aku ambil motor. Pasti di perpus dia.”
Karena itulah Minhee bisa berada di antara Yunseong-Junho-Eunsang sore itu. Malah, berakhir pulang bersama. Pakai mampir ke gramedia pula.
“Kok melamun?”
“Hah? Eh? Sorry, Kak.” Minhee menggelengkan kepalanya, “Enggak fokus.”
Yunseong hanya mengangguk lalu tangannya terulur seperti minta sesuatu. Minhee enggak ngerti. Jadi secara aneh dan tidak sadar dia malah naruh tangannya di atas telapak tangan Yunseong.
“Kamu ngapain?”
“Aku enggak tau maksud Kakak ngulurin tangan, aku taruh aja tanganku.”
“Helm di kepala kamu, Minhee.” Yunseong tersenyum geli.
Sementara tangan Minhee yang satu lagi bergerak naik ke atas kepalanya. “Oh iya. Helm-nya masih di kepala aku.” Tangannya yang tadinya ditaruh di atas tangan Yunseong (yang anehnya juga Yunseong tidak keberatan) ditarik kembali untuk melepaskan helm dan diberikan kepada tangan Yunseong yang masih terulur.
Keduanya memasuki gramedia. Minhee yang memang enggak mau beli apa-apa cuman bisa ngekor Yunseong ke mana kaki si kakak tingkat (yang Minhee baru sadar sedikit lebih pendek darinya, Minhee memang kelebihan kalsium) melangkah. Pertama, ke rak buku-buku olimpiade (Minhee enggak tahu buat apa, karena mereka sudah kuliah). Kedua, ke rak buku-buku sastra karya beberapa penulis lama, Minhee tahu beberapa karena dia pernah ikut klub membaca (walau sering bolos dan lebih memilih ikut bermain voli) semasa SMA.
Sepanjang Yunseong memilih buku, sepanjang itu juga Minhee tidak berhenti berceletuk.
“Kak, nyari apa sih?”
“Mau ambil buku di rak atas? Nyampe enggak, Kak?” yang kemudian Minhee mengambilkannya untuk Yunseong.
Dan berbagai macam kalimat lainnya, yang sejujurnya buat Yunseong pusing. Minhee bisa lihat kakak tingkatnya itu enggak nyaman dengan dirinya yang daritadi sibuk berceloteh. Tapi, Minhee tidak mau suasana menjadi lebih canggung jadi dia berinisiatif terus membuka percakapan. Mungkin, Yunseong setuju dengan ide ini sehingga daritadi Yunseong selalu menanggapi segala ucapan Minhee. Bahkan, ketika Minhee bilang, “Gue mau deh se-keren Rick Riordan.” Yang sebenarnya, Yunseong enggak tahu itu siapa.
Ketika kaki Yunseong melangkah ke rak komik-komik terbitan Jepang, Minhee langsung diam dan melipir untuk mendekati satu rak berisi komik (yang diketahui memang sangat disukai Minhee).
“Kamu suka Haikyu?” tanya Yunseong ketika Minhee membolak-balik komik Haikyuu!! di tangannya. Yunseong juga sebenarnya lumayan suka, tapi dia ke sini hanya untuk melihat sudah sampai mana komik Shingeki no Kyojin diterbitkan oleh pihak gramedia kotanya.
“Banget!”
“Aku baca leaks-nya di twitter.”
“Aaaah! Serius, Kak? Aduh, aku beneran kaget tau! Enggak nyangka banget setelah time-skip bakalan kayak gitu!” Minhee sibuk berceloteh secara tiba-tiba. Namun, kali ini matanya tidak terarah kepada Yunseong dan tidak untuk mengganggunya. Matanya berbinar begitu lucu menatap dua buah komik dengan judul Haikyuu!! di tangannya seraya menceritakan segala pendapatnya tentang chapter terbaru yang tersebar di internet.
Kali ini, Yunseong tidak menemukan bahwa Minhee menyebalkan. Malah, menurutnya Minhee menyenangkan sekali. Apa karena akhirnya Yunseong menemukan seseorang yang bisa menemaninya membicarakan hal-hal yang jarang ia bicarakan dengan teman-teman yang dekat dengan dirinya? Yunseong terkenal tidak terlalu pandai dalam berteman, temannya hanya itu-itu saja. Bahkan, kepada teman dekatnya ia jarang bercerita panjang lebar seperti ia menanggapi segala cerita Minhee tentang komik yang kebetulan mereka sukai. Padahal, dia baru bertemu Minhee sore ini. Beberapa jam yang lalu, di parkiran perpustakaan pusat kampusnya, namun Yunseong sudah menemukan dirinya nyaman berada di sekitar adik tingkatnya ini.
Benar apa kata Junho, semesta itu lucu.
————
© fluctuius.