fluctuius

i leave my thoughts here.

— 30 Days OTP Challenge Day 14 —

[ sudut pandang orang pertama oleh Akaashi Keiji ]

————

Sejujurnya, saya tidak tahu sejak kapan saya jadi gampang kepikiran perihal kakak kelas itu. Tahu-tahu saya jadi sering mampir ke gymnasium sekolah. Tahu-tahu saya jadi sering sembunyi-sembunyi taruh susu kotak rasa coklat di loker si kakak. Tahu-tahu saya jadi sering terserang penyakit jantung ketika tidak sengaja bersisian di koridor sekolah.

Kata Osamu, hal ini wajar. Katanya, saya kagum. Di umur saya yang beranjak enam belas tahun, saya baru tahu jika kagum bisa semenyenangkan ini rasanya.

Namun, kata kembaran Osamu saya jatuh cinta.

(Seingat saya setelahnya Osamu dan Atsumu malah bertengkar, padahal bukan maksud saya membuat mereka bertengkar.)

“Kamu kayaknya jatuh cinta.”

Itu kata Kiyoomi di suatu haru sewaktu saya minta tolong padanya untuk menaruh sekotak susu rasa coklat di loker milik si kakak kelas di ruang ganti.

“... Ngaco, deh,” balas saya setelah terdiam beberapa saat, saya berusaha memproses perkataan tiba-tiba Kiyoomi. Tidak menyangka Kiyoomi bisa sok tahu juga (walau kata Atsumu pacarnya itu memang begini).

“Terserah,” ucap Kiyoomi. “Nanti nonton pertandingannya?”

Ah, benar. Klub bola voli putra sekolah kami hari ini mengadakan latih tanding dengan sekolah lain. Biasanya murid sekolah kami atau sekolah lawan akan berada di gymnasium untuk memberikan dukungan kecil (tidak mati-matian sampai membawa banner motto sekolah) kepada para pemain di lapangan.

Saya memutar memori, ingat pertama kali saya hadir untuk menonton Kiyoomi dan Atsumu bersama dengan Osamu yang membawakan saudara kembarnya minuman isotonik dan beberapa biji onigiri di dalam kotak bekal (kalau kalian mau tahu, onigiri buatan Osamu sangat enak), kami menonton dari atas. Sesekali bola sering melambung sampai ke tempat kami menonton, saya tidak punya bakat dalam olahraga jadi saya (lumayan) takut ketika bola untuk kesekian kalinya mengarah ke saya lagi hari itu, untungnya saya datang bersama Osamu (yang cukup atletis) sehingga dia yang menyelamatkan saya dari berbagai bola yang salah sasaran itu (saya ucap terima kasih berkali-kali walau Osamu bilang saya harus santai saja).

Saat itu juga saya melihat si kakak kelas yang tahu-tahu ambil perhatian saya tidak bilang-bilang. Lancang. Tapi, saya tidak tahu saya berhak marah atau tidak.

“Mungkin. Jika Osamu ikut.” Jawaban saya menuai anggukan mengerti dari Kiyoomi yang kemudian saya permisi dari sana dan pergi kembali ke kelas.

————

Saya baru tahu jika latih tanding hari ini akan melawan sekolah yang cukup terkenal karena murid-murid mereka sungguh berbakat (dan tampan). Ketika saya baru keluar dari ruang guru untuk mengantarkan setumpuk pekerjaan anggota kelas, Osamu sudah berisik berucap “Ayo! Gymnasium-nya sudah mulai penuh!” kepada saya seraya menarik tangan saya yang menyebabkan saya harus mengikuti ritme larinya (yang sama sekali tidak pelan) menuju ke gymnasium.

Saya dan Osamu berhasil mendapatkan tempat dan berdiri di sana memandangi bagian dalam gymnasium sekolah kami yang hari ini penuh sesak. Banyak anak-anak perempuan dengan rok berwarna biru tua dengan sedikit merah tua membawa papan nama (saya tidak bisa membacanya dengan jelas karena kacamata saya sedang tidak saya kenakan) di tangannya. Padahal, ini cuman latih tanding.

Ketika pertandingan dimulai, sorak-sorai penonton memenuhi gymnasium. Saya tidak tahu apa itu karena permainan dan perihal angka pada papan nilai atau karena para pemainnya yang (harus saya akui) memang rupawan. Tapi, toh, saya tidak terlalu peduli. Saya lebih memilih fokus pada si kakak kelas yang kenakan angka 4 dengan garis di bawah angka 4 tersebut, kata Kiyoomi untuk menandakan bahwa ia adalah kapten dari tim sekolah kami.

Kakak kelas itu (yang saya enggan sebut namanya sampai saya berani tanyakan langsung) hari ini terlihat semangat seperti biasa, walau tadi sempat ada cekcok karena beberapa masalah dengan Atsumu, keduanya terlihat mengatasinya dengan baik.

Seperti biasa, kakak itu terlihat hebat.

Lompatannya. Teriakan senangnya. Caranya memukul bola berwarna kuning-biru itu. Bagaimana ia berteriak seraya melompat.

Melihatnya saja mampu membuatmu semangat.

Saya tidak tahu apakah saya tertular semangatnya di lapangan sana atau memang saya saja yang sedang melantur karena saya rasa suhu tubuh saya naik, maka saya menarik Osamu untuk menunduk dan berucap di telinganya.

“Osamu, saya mau bagi satu rahasia.”

“Apa itu, Keiji?”

“Saya jatuh cinta.”

Osamu terlihat bingung.

Biarlah. Jika Osamu tidak mengerti sekarang, mungkin ia bisa mengerti besok. Mengerti tentang rahasia saya.

Bahwa, saya jatuh cinta.

————

© fluctuius.

— 30 Days OTP Challenge Day 13 —

Special for Shoyo Hinata's Birthday! Selamat ulang tahun bayi jeruk!!

————

“Huh?” dengungan bingung yang dikeluarkan Shoyo membuat teman-temannya menatap aneh. “Kenapa?” lanjutnya ketika menyadari tatapan teman-temannya.

“Serius, nih? Tsukishima belum pernah satu kalipun begitu?”

Shoyo mengangguk, “Lagipula itu bukan hal penting bukan?” tanyanya lagi.

“Eh— Shoyo.” Atsumu angkat bicara. “Memang bukan sih, tapi bahkan Omi yang menghindari kontak fisik saja selalu menciumku setiap malam dan pagi?”

“TMI banget bangsat,” hardik Osamu sebelum mendaratkan satu sentilan pada kening kembarannya.

Sementara Shoyo menatap keduanya bingung. Tidak tahu harus bereaksi apa. Karena, sebenarnya Shoyo pun tidak keberatan jika Kei tidak pernah menciumnya. Ia tahu bagaimana watak Kei dan walaupun kadang Shoyo suka lupa diri, dia menghormati pilihan kekasihnya. Setidaknya, itu yang ia janjikan ketika mereka mulai berkencan delapan bulan yang lalu.

Tapi, setelah dipikir-pikir dan mendengar cerita Atsumu (yang baru dua bulan berpacaran dengan Kiyoomi), Shoyo mulai meragukan apakah ia masih bisa menghormati keinginan Kei dan tidak mengganggu personal space kekasihnya itu.

————

Hari semakin larut dan Kei pada akhirnya menginjakkan kakinya di rumah setelah pulang dari magangnya. Ia sedang magang (sembari skripsi) di sebuah perusahaan fashion, menjadi bagian dalam sebuah project dari barang keluaran terbaru milik brand tersebut, lumayan besar tapi para pekerja di sana percaya Kei dapat membantu mereka mengingat Kei merupakan seorang yang kompeten. Bahkan seniornya di sana—Tetsurou namanya, menawarkan Kei untuk bekerja di sini saja setelah lulus kuliahnya, ia menjanjikan tempat dan cara yang mudah agar Kei dapat bekerja di sini. Kei hanya mengangguk dan berucap akan ia pikirkan ketika magangnya berakhir.

Kei baru pulang dan mendapati kekasihnya sudah bergelung di dalam kasur di apartment kecil mereka dengan ponsel di tangannya yang sedang membuka aplikasi youtube.

“Sho?”

Yang dipanggil langsung bangun dari kasur dan berseru riang, “Kei!”

Kei gemas sekali, mau langsung ikut naik ke kasur lalu menarik Shoyo ke dalam pelukannya sambil hirup dalam-dalam aroma kepala Shoyo yang bersandar di dadanya. Pasti bau jeruk.

“Besok akhir pekan!” ucap Shoyo riang.

“Hm. Aku mandi dulu.”

Dengan begitu Shoyo kembali masuk ke dalam selimut dan memilih untuk melanjutkan menonton video-video di youtube.

Besok adalah akhir pekan. Ini adalah Jumat. Artinya, sesi bermanja-manjaan setelah hari kerja yang begitu panjang telah tiba. Kei tidak pernah bilang jika ia menyukai hal ini bukan berarti ia tidak suka.

Sangat suka, malah.

Kei biasanya akan rela buru-buru pulang dari magangnya lebih cepat sejak bulan lalu (di mana ide kegiatan nyaman ini digagas oleh Shoyo pada suatu malam saat Kei sedang mengerjakan tugasnya dan Shoyo baru selesai mandi setelah latihan) demi bisa menikmati hangat kasur dan mendengarkan celoteh Shoyo sampai si jeruk mengantuk dan merengek minta tolong matikan lampu apartment mereka agar ia bisa tidur.

Bucin.

“Geser.” Kei berucap setelah selesai mandi dan berdiri di samping kasur sehingga Shoyo menggeser tubuhnya di kasur dan membiarkan Kei bergabung ke bawah selimut hangat mereka.

Dengan cepat Shoyo memposisikan dirinya membelakangi Kei dan menaruh kepalanya di dada kekasihnya sementara tangan Kei sudah berselancar mencari tempatnya yaitu melingkari pinggang Shoyo.

Shoyo mematikan ponselnya lalu menaruhnya di sebelah bantal, tangannya memegang tangan Kei yang berada di perutnya, menepuk-nepuk tangan Kei, dan tidak berucap apapun. Padahal, Kei sudah siap menanggapi segala celotehan penuh semangat Shoyo seperti biasanya.

“Kenapa?”

Pada akhirnya, Kei memutuskan untuk bertanya daripada mengambil kesimpulan sepihak. Kei tidak mau sok tahu.

“Enggak, sih.” Shoyo berujar bimbang. “Tapi aku mau tanya sesuatu boleh?” sambungnya.

“Sejak kapan kamu bertanya dulu sebelum melakukan sesuatu?” tanya Kei heran, niatnya bercanda dan untung saja Shoyo paham karena ia hanya mencebik sebal, paham bahwa Kei menggodanya. “Tanya saja,” ucap Kei kemudian.

“Kenapa kamu tidak pernah menciumku?”

Kei, agak terkejut. Malah, mungkin sangat terkejut. Ia bangun dari posisinya, membuat Shoyo mengikutinya dan akhirnya keduanya saling berhadapan di atas kasur, bertatapan bingung.

“Sebentar—” Kei yang tidak mengenakan kacamata mengurut keningnya agak pusing, “—darimana kamu—” Kei menggantungkan kalimatnya seraya berusaha mengingat sesuatu, “—oh, si kembar.”

Kei ingat bahwa Shoyo tadi siang mengiriminya pesan agar tidak lupa makan siang dan berkabar bahwa ia akan menemui kembaran Atsumu sesudah latihan nanti sore. Maka, Kei dapat menyimpulkan bahwa Shoyo pasti menanyakan hal aneh-aneh ini karena ulah si kembar yang entah bicara apa padanya.

“Nggg— aku cuman bertanya, kok. Kalau Kei tidak ma—”

“Siapa sih yang bilang tidak mau?”

“Eh?”

Kei menepuk pahanya, memberi sinyal agar Shoyo duduk di atasnya, “Kemari.”

Ragu-ragu Shoyo merangkak naik ke atas paha Kei dan duduk di atas sana, berhadapan, wajahnya menjadi dekat sekali dengan wajah Kei. Detak jantung Shoyo tidak karuan rasanya, padahal sudah sering sedekat ini dengan Kei, tapi ini beda.

“Malah sejak awal aku ingin sekali,” Kei berucap tepat di depan wajah Shoyo, menerpa wajah Shoyo dengan napasnya yang membuat Shoyo menjadi menahan napasnya sendiri. “Tapi aku takut kamu tidak mau.”

“Makanya, jangan sok tahu. Tidak tanya aku dulu sih,” omel yang lebih kecil.

Kekehan kecil lolos dari bibir Kei. “Maaf,” ujarnya. “Jadi boleh?”

“Kenapa tidak?”

Dengan begitu bibir keduanya berpagutan. Kei yang memimpin, walau harus Shoyo akui Kei agak buruk (karena mungkin ini juga adalah kali pertama untuk Kei), tapi tetap saja rasanya luar biasa. Ini ciuman pertama mereka. Ciuman pertama Kei dan Shoyo. Milik mereka. Kei menggigit sedikit bibir bawah Shoyo sebelum melepaskan bibir mereka.

“Kamu habis sikat gigi, ya?”

“Kan tadi aku mandi.”

Shoyo merengut. Menuai tatapan bingung dari Kei. “Kenapa?” tanyanya.

“Aku semakin tidak suka pasta gigi rasa cengkehmu itu.”

————

Selamat Ulang Tahun, Shoyo!

————

© fluctuius.

— 30 Days OTP Challenge Day 12 —

————

Hati orang seperti kapal. Tidak tahu akan berlabuh di mana dan kapan akan berlabuhnya atau bahkan bisa saja karam di tengah jalan seperti kisah tragis RMS Titanic yang kini berada di dasar samudra, membaur dengan laut yang misterius.

Sama misteriusnya seperti seseorang yang beberapa hari terakhir Keiji lihat di perpustakaan kota mereka. Selalu duduk di dekat jendela besar perpustakaan tersebut, di bangku yang sama, ditemani buku Layar Terkembang yang Keiji yakin sudah orang itu tamatkan berulang kali.

Tapi, karena terus-menerus penasaran, Keiji jadi sering mampir ke perpustakaan kota hanya untuk melihat pria yang dimaksud. Rambutnya aneh karena satu matanya tertutup poni, tingginya sangat tinggi sekitar seratus delapan puluhan (menurut Keiji), kadang wajahnya tanpa ekspresi tapi tidak jarang tersenyum, Keiji yakin itu karena buku yang ia baca (walau sebenarnya Keiji tidak tahu isi buku Layar Terkembang itu).

Siang itu Keiji mampir lagi perpustakaan kota setelah pekerjaannya sebagai dokter residen di rumah sakit selesai (sungguh sebuah keajaiban, sebenarnya), setelah sempat mampir untuk makan satu buah donat dan menenggak habis segelas iced americano baru kakinya dibawa melangkah memasuki perpustakaan, mengambil buku tentang kedokteran (sangat dasar, bahkan rasa-rasanya Keiji sudah hapal isi buku ini) yang kemudian ia duduk di depan pria yang dimaksudnya selama beberapa minggu terakhir.

“Oh, hai.” Pria itu mengangkat kepalanya dari buku Layar Terkembang yang selalu menemaninya. “Aku menunggumu. Aku kira tidak datang.”

Keiji mengerutkan kening, “Maksudnya?”

“Biasanya ketika aku masuk, kamu sudah duduk di sana,” ujar pria itu seraya menunjuk ke kursi di belakang Keiji namun agak jauh ke kanan, tempat Keiji biasa duduk membaca buku.

“Oh?”

“Ya. Hari ini kamu duduk di depanku. Agak terkejut.”

“Maaf kalau begitu.” Keiji berucap, tidak ada niat membuka buku yang ia pegang di tangan. Sebenarnya, Keiji tidak mengerti mengapa dirinya bisa berpikir begitu beraninya untuk duduk di depan orang yang beberapa minggu terakhir selalu ia perhatikan dari tempat duduknya.

“Kamu dokter, 'kan?”

Keiji mengangguk sebagai jawaban, “Aku Kuroo Tetsurou, ingin jadi pasienmu. Bisa berikan aku obat?”

“Uh—” Keiji bingung sesaat, “—mari ke rumah sakit dulu. Aku tidak tahu kamu sak—”

“Hatimu.”

“Maaf?” Keiji bertanya bingung.

“Berikan hatimu kepadaku sebagai obatnya. Aku jatuh cinta padamu, kamu sembuhkan luka jatuhku dengan hatimu.”

Hati itu seperti kapal. Tidak ada yang tahu hati akan berlabuh ke mana. Tapi, setidaknya Keiji tahu, hatinya tidak akan karam layaknya RMS Titanic di dasar laut samudra sana.

————

© fluctuius.

— 30 Days OTP Challenge Day 11 —

[ tw // break up ] [ rarepair; osasuga ]

————

Lagi. Osamu mengulanginya lagi.

Entah sudah yang ke-berapa kalinya dalam kurun waktu tiga bulan terakhir, Koushi tidak merepotkan dirinya untuk menghitungnya.

Alasannya, tidak mau kepikiran.

Ujungnya, malah terpikir sampai sesak tidak bisa tidur.

Koushi sedang melamun menatap balkon apartment yang ia bagi sejak ia memutuskan untuk tinggal bersama Osamu di bulan ke-tujuh mereka berkencan, ketika pintu unit mereka terbuka dan menampakkan sosok Osamu yang masih mengenakan coat coklatnya karena Jepang mulai memasuki musim dingin.

“Koushi? Masih bangun?”

“Kenapa baru pulang?”

Alih-alih menjawab pertanyaan kekasihnya, Koushi memilih untuk menyemburkan pertanyaan yang retoris, menurut Koushi.

“Aku lembur. Seperti biasa.”

“Lembur atau menemui Shinsuke?”

Osamu menatap Koushi yang berdiri dari sofa dan berjalan menujunya yang masih terpaku di depan pintu masuk. Keningnya dikerutkan pertanda bingung dengan pertanyaan Koushi yang tiba-tiba.

“Maksud kamu ap—”

“Sejak kapan Osamu Miya sebodoh ini?”

“Koushi, aku lelah. Kita bicarakan besok pagi saja ya?”

Osamu mengerti Koushi sedang di ambang emosinya, bicara malam ini tidak akan menyelesaikan masalah mereka. Walau Osamu tahu sebenarnya ialah yang menyebabkan masalah ini, tepat sejak satu tahun tiga bulan hubungan mereka berjalan.

“Tidak. Aku juga lelah. Ayo bicara sekarang.”

“Kou—”

“Jelaskan, Osamu. Aku akan mendengarkan.”

Osamu memasang wajah tidak suka. Koushi sudah berkali-kali memotong kalimatnya dan itu adalah hal yang tidak disukai Osamu, siapapun lawan bicaranya.

“Kamu kenapa jadi banyak menuntut seperti ini?”

Giliran Koushi yang menatap Osamu dengan tatapan yang sejujurnya lumayan sulit Osamu artikan. Antara kecewa, marah, dan tidak percaya.

“Aku? Banyak menuntut?” intonasi Koushi meninggi, membuat Osamu semakin tidak suka. Koushi tidak pernah seperti ini sebelumnya.

“Iya! Kamu banyak menuntut!” Osamu turut menaikkan nada bicaranya, walau ia masih menahan dirinya sedikit.

Koushi memejamkan kedua matanya sebentar, Osamu berani bertaruh Koushi sekarang sedang berusaha tidak mengikuti emosi yang mengambil alih cara bicaranya dan membutakan pikirannya dengan kabut.

“Sejak kapan, Osamu?” tanya Koushi lirih.

“Apa aku pernah bilang jika aku cemburu ketika kamu merangkul Shinsuke sedemikian mesranya?”

“Shinsuke itu—”

“Apa aku pernah memaksamu untuk berada di sisiku? Memonopoli waktumu? Bahkan ketika aku sakit?”

Osamu ingin bicara, namun Koushi tidak membiarkannya.

“Apa aku pernah melarangmu melakukan hal-hal yang ingin kamu lakukan? Apa aku pernah merengek agar kamu tetap tinggal di sisiku? Memonopoli dirimu untuk diriku?”

“Koushi, dengarkan aku—”

“Aku tidak pernah meminta, Osamu—” suaranya bergetar, begitu menyakitkan, selayaknya menyilet pendengaran serta hati Osamu, “—tidak pernah satu kalipun.”

“Koushi, dengarkan aku.”

“Osamu, kamu yang dengarkan aku!” bentak Koushi.

Osamu terdiam. Sama sekali tidak menyangka Koushi akan membentaknya seperti itu.

“Tadi aku bilang aku lelah. Kamu juga lelah bukan?”

Osamu mengangguk, walau sebenarnya ia tahu hal yang terjadi selanjutnya akan menjadi penyesalan terbesar dalam hidupnya.

“Kalau begitu, mari berpisah.”

Padahal, Koushi tidak pernah meminta.

————

© fluctuius.

— 30 Days OTP Challenge Day 10 —

[ sebuah semesta lokal lagi dengan latar SMA ]

————

“Revisi lageeee!” Atsumu mengerang setelah ia dan Keiji keluar dari ruang wakasek.

Sekarang ini Atsumu dan Keiji yang merupakan pasangan ketua pelaksana dan sekretaris OSIS sedang mengurus proposal mereka yang sudah tiga kali mereka revisi ketika diserahkan kepada wakasek kesiswaan. Anak-anak MPK dan OSIS sedang mempersiapkan pensi sebagai puncak acara ulang tahun sekolah mereka di mana mereka akan mengundang artis sebagai bintang tamu. Untuk itu diperlukan proposal dari pihak OSIS (MPK hanya mengawasi dan membantu sedikit) agar sekolah tahu bagaimana rencana pensi sekolah mereka ini, sekalian sebagai persetujuan.

“Haha, nanti gue revisi ya. Paling lama kayaknya sore ini. Nanti file-nya gue kirim, lo cek lagi.”

Atsumu mengacungkan jempolnya ke arah Keiji yang berjalan berbelok menuju area kelas 12 jurusan IPS dan menaiki tangga menuju lantai dua, menuju Ruang MPK-OSIS.

“Buset. Langsung revisi.”

Atsumu menggelengkan kepalanya seraya berdecak kagum lalu mengeluarkan ponselnya seraya men-dial nomor yang sudah ia hapal di luar kepala.

Telepon tersambung. Senyum Atsumu merekah.

“Halo, 'Samu.”

————

“Knock! Knock!”

Keiji yang sedang fokus berkutat pada laptopnya di dalam RMO seraya mengademkan diri menggunakan salah satu kipas angin yang terpasang di RMO (hasil patungan anak MPK-OSIS) menengok ke arah pintu yang tidak ia sadari terbuka.

“Masuk saja.”

“Kembaranku menelponku tepat setelah keluar dari ruang wakasek, aku kira ada apa ternyata pacarku sedang revisi.”

Keiji tertawa, “Biar cepat selesainya.”

Osamu menaruh kantung kresek yang ia bawa di tangannya tadi juga tas Keiji yang tersampir di salah satu pundaknya. Keiji melepaskan earphone yang sedari tadi hanya ia gunakan sebelah selama mengerjakan revisi proposal, lalu mematikan spotify-nya yang menyala.

“Istirahat dulu. Aku bawa makan siang buat kamu.”

“Geprek?” tanya Keiji.

“Geprek terus kamu mau lambungmu kambuh? Lagi stress juga malah ditambahin beban lambungnya. Aku bawain nasi goreng.”

Keiji hanya mengangguk lalu berujar, “Makasih ya.” Lalu mengambil kantung kresek yang tadi diletakkan Osamu lalu mulai menyiapkan makanannya, duduknya tidak menghadap laptop, namun membelakangi, jadi ia menggunakan meja lainnya di RMO. Malas kena omel Osamu.

Sementara Osamu hanya merebahkan dirinya seraya bermain ponselnya (paling-paling permainan cacing itu lagi, Osamu jarang menyentuh ponselnya kecuali untuk menghubungi orang tuanya dan Keiji atau bermain game cacing itu) di sofa RMO yang didapat dari ruang tamu sekolah mereka ketika pihak sekolah memutuskan untuk mengganti sofa di ruang tamu. Dengan cepat Keiji menghabiskan makanannya, menenggak air mineral yang ia bawa dari rumah lalu membereskan sampah makanannya dan membuangnya ke bak sampah di depan RMO.

“Ah, ada kucing.” Keiji berbalik ke Osamu yang masih diam bermain ponsel di dalam ruangan. “Osamu, bisa tolong ambilkan kaleng makanan kucing di lemari, enggak?”

Osamu berdiri dan melempar ponselnya ke sofa lalu melakukan permintaan tolong Keiji lalu ikut berjongkok bersama Keiji di depan ruangan untuk memberi makan kucing.

“Ini siapa yang punya ide kasih makan kucing, sih?”

“Kak Yaku, tuh, tahun kemaren waktu kita kelas 10, dia yang ngide kalau kas OSIS disisihin perbulannya dua puluh ribu buat beli makanan kucing yang biasa aja buat ngasih makan kucing sekolahan.”

“Pantas jadi banyak kucing di ruangan.”

“Enggak apa,” ucap Keiji lalu berdiri dan kembali masuk ke dalam ruangan, “biar ramai, ada yang menemani sampai petang juga buat revisian.”

“Aku 'kan bisa temani.”

“Kamu sebentar lagi harus mulai jalan komunikasi sama sponsor, loh.” Keiji mengingatkan.

“Aaaah! Malas banget!!” Osamu mengerang lalu merebahkan diri lagi di sofa. “Kenapa aku enggak kerja di bawah kamu aja sih? Atau apa deh yang sering ketemu kamu.”

“Manja banget,” ledek Keiji lalu kembali duduk di depan laptopnya.

“Nanti lagi dong revisi-nya, aku mau peluk.”

“Kalau kepergok susah, Osamu.”

Osamu mengerutkan keningnya, “Sekolah bubar kali enggak lama kamu dari wakasek, guru 'kan rapat.”

“Loh?”

“Tuh, kebanyakan mikirin pensi sih, sini dulu istirahat.”

Maka, Keiji menuruti kehendak pacarnya dan beranjak dari bangkunya, ikut menyesakkan diri di sofa ruangan, menyamankan posisinya dalam rengkuh hangat milik pacarnya. Tangan Osamu melingkar di perut Keiji yang membelakanginya sementara wajahnya dibenamkan di perpotongan pundak Keiji, mencari-cari rasa hangat kesukaannya.

“Ini namanya pelukan penyemangat.”

“Alasan.”

Osamu tertawa.

————

© fluctuius.

[ sebuah fiksi penggemar pendek dikarenakan rindu hwangmini ]

————

Kata Junho, semesta itu lucu.

Yunseong sore itu baru beranjak dari perpustakaan kampus, seperti biasa ia memilih menghabiskan waktu di perpustakaan jikalau tidak ada kegiatan lainnya. Walau terkadang beberapa temannya akan mengajak dirinya untuk hangout, Yunseong selalu menolak ajakan itu. Entahlah, mungkin Yunseong menikmati menghabiskan waktu luangnya sendirian.

“Kak Yunseong!”

Merasa namanya dipanggil dengan suara keras, Yunseong segera memperhatikan sekitar, memastikan tidak ada banyak orang di sekitar mereka. Syukurnya, hari sudah lumayan sore jadi tidak akan ada banyak orang di sini sekarang.

“Sore, Eunsang.”

Eunsang memberikan cengiran di wajahnya, “Sore! Baru mau pulang, Kak?”

“Iya, kamu kenapa masih di kampus?” tanya Yunseong, matanya beralih ke sosok yang sedari tadi berdiri di sebelah Eunsang, ia rasanya mengenal siapa saja teman Eunsang, tapi ia tidak pernah melihat yang ini.

Buru-buru Yunseong menepis pikiran yang satu itu. Mungkin memang Yunseong saja yang tidak terlalu bergaul dengan orang-orang di kampusnya (bahkan, dengan beberapa teman sekelas pun, Yunseong menemukan dirinya kesulitan bicara dengan mereka). Jadi, seharusnya jika Eunsang memiliki teman selain lingkaran pertemanan dengan dirinya dan teman mereka yang lainnya, Yunseong tidak perlu heran.

“Habis rapat rampus!” jawab Eunsang dengan cengiran di wajahnya, “Bawa motor, Kak?”

“Bawa. Kamu mau nebeng? Junho hari ini di sekre sampai malam ya?”

Tidak lama, orang yang dimaksud sampai di dekat mereka. Pakai motor.

“Loh ini Junho bawa motor, Sang—”

“Yeee, emang balik sama gue kalau Eunsang. Ini mau minta tolong anterin temen gue sama temen Eunsang, anak rampus juga, kasian kesorean—”

“—enggak usah! Bisa naik gojek, kok.”

“Enggak ya bocil, enggak gue biarin lo naik gojek ini sore banget.” Junho memberikan satu helm lagi (milik Eunsang sendiri sebenarnya) kepada Eunsang yang sudah mendekat ke arah Junho.

“Bisa anterin, enggak Kak?” tanya Junho.

Teman Eunsang tadi berbalik ke Yunseong lalu memberi kode bilang-aja-enggak-bisa-kak, yang sebenarnya Yunseong enggak tahu kenapa ia bisa mengartikan tatapan kode dari adik tingkatnya (karena mereka berteman dekat, maka bisa disimpulkan mereka satu angkatan). Yunseong bergantian menatap ke Eunsang yang sudah memasang cengiran lagi di atas jok motornya Junho.

“Bisa. Tapi, gue mau mampir ke gramedia dulu. Enggak apa?”

“Wah, enggak apa banget dong, Kak!” Junho langsung menyahut, “Iya kan, Minhee?” Junho melirik ke Minhee yang kembali berbalik menghadap Junho dan Eunsang.

“Eunsang...,” rengeknya.

“Hehe, dadah Minhee!”

“Nitip ya, Kak!” kata Junho lalu langsung meninggalkan Yunseong berduaan dengan orang asing bernama Minhee yang baru ia kenal beberapa menit yang lalu.

Minhee berbalik dengan wajah cemberut, “Junho tuh—” kakinya dihentakkan sekali karena kesal, “—nyebelin banget! Kakak kok bisa sih tahan berteman sama Junho?”

“Enggak tahu, ya. Mungkin karena dari kecil sudah bareng-bareng?”

“Kakak kalau mau pulang, pulang aja, aku bisa naik gojek.”

Yunseong menggeleng (yang sebenarnya Yunseong tidak mengerti kenapa ia menggeleng, padahal kalau dia mau dia bisa saja membiarkan Minhee pulang naik gojek, urusan dengan Junho bisa disepakati), “Sama aku aja.”

“Takut Kakak repot,” ujarnya seraya menggeleng lalu mengeluarkan ponselnya.

Yunseong dengan cekatan menurunkan ponsel Minhee dan memasukkannya kembali ke kantung celana milik adik tingkat yang baru dikenalnya.

“Sama aku. Nanti aku dimarah Junho, kamu mau?”

“Ya... Enggak sih.”

“Yaudah, ayo.” Yunseong berbalik dan berjalan menuju motornya di sana. Minhee dengan terpaksa mengikuti dari belakang.

Yunseong membuka jok motornya dan mengambil satu helm dari dalam sana, “Pake, ya.”

Minhee mengambil helm tersebut dari tangan Yunseong, “Bersih ya. Harum. Enggak kayak helm mas gojek,” celetuk Minhee begitu saja.

“Ini kamu bandingin aku sama mas gojek apa gimana....”

Minhee memberikan cengiran, “Enggak gitu, Kak.”

Yang punya motor kembali menutup jok motornya seraya geleng-geleng kepala lalu memakai helm miliknya sendiri, naik ke atas motornya dan menyalakan mesinnya sebelum memundurkan motornya dari tempatnya diparkirkan.

“Yuk. Enggak apa 'kan mampir dulu?”

Minhee mengangguk lalu naik ke atas motor, di belakang Yunseong. “Santai aja, Kak,” ujarnya.

Motor Yunseong sore itu membelah jalanan sore seperti biasa. Bedanya, kali ini ada satu orang yang ikut di belakangnya.

————

Minhee sebenarnya enggak tau kenapa suatu hari tiba-tiba Eunsang nanya ke dia, “Minhee, lo enggak tertarik punya pacar?”

Dengan jujurnya, Minhee bilang dia santai aja enggak punya pacar. Tertarik enggak, nolak buat punya pacar juga enggak. Biasa saja. Kalau ada yang dekatin dan sesuai kayak yang dia mau, ya gas aja. Begitu katanya.

Lalu, suatu hari Junho—pacarnya Eunsang, tiba-tiba ngomong kalau dia mau kenalin Minhee ke temannya.

“Enggak, ah. Orang yang lo cariin pasti aneh-aneh.”

“Sembarangan!”

“Yeee bener kan gue?” balas Minhee seraya menjulurkan lidahnya.

Namun, walau Minhee menolak, Junho tetap bersikukuh, katanya kasian temannya itu sudah teman sedikit, pacar juga enggak punya. Lempeng sekali hidupnya. Enggak ada asik-asiknya.

“Enggak tau ya gue kalau dia enggak nyaman sama gue lo tau sendiri gue tuh—”

“—berisiknya minta ampun.” Eunsang memotong seraya berjalan mendekat ke arah Junho dan Minhee yang sibuk bicara menunggunya sedang mengurus beberapa hal dengan anggota radio kampus seusai rapat sore itu.

“Enggak usah diperjelas, kali.”

“Kali aja lo lupa diri, kan....” Eunsang berucap seenaknya lalu beranjak mengenakan sepatunya yang tadi ditanggalkan di depan ruangan.

“Lo balik gih sama orangnya sore ini.”

“Hah?” Minhee yang lagi nempel-nempelin Eunsang yang ribet makai sepatunya langsung berbalik menatap Junho dengan wajah penuh tanda tanya. “Jangan ngawuuuur deh lo, lo kira gue kayak superman apa bisa menerima kabar dadakan ada musuh dan langsung ngeeeng terbang untuk mengalahkan musuh?”

“Kenapa superman....”

“Lagian siapa sih yang ada di kampus sampai sore begini kecuali anak BEM atau HIMA?”

“Temen gue,” jawab Junho santai lo mendorong Eunsang dan Minhee dari depan ruang siaran radio kampus, “Anterin dia ya, Sang, aku ambil motor. Pasti di perpus dia.”

Karena itulah Minhee bisa berada di antara Yunseong-Junho-Eunsang sore itu. Malah, berakhir pulang bersama. Pakai mampir ke gramedia pula.

“Kok melamun?”

“Hah? Eh? Sorry, Kak.” Minhee menggelengkan kepalanya, “Enggak fokus.”

Yunseong hanya mengangguk lalu tangannya terulur seperti minta sesuatu. Minhee enggak ngerti. Jadi secara aneh dan tidak sadar dia malah naruh tangannya di atas telapak tangan Yunseong.

“Kamu ngapain?”

“Aku enggak tau maksud Kakak ngulurin tangan, aku taruh aja tanganku.”

“Helm di kepala kamu, Minhee.” Yunseong tersenyum geli.

Sementara tangan Minhee yang satu lagi bergerak naik ke atas kepalanya. “Oh iya. Helm-nya masih di kepala aku.” Tangannya yang tadinya ditaruh di atas tangan Yunseong (yang anehnya juga Yunseong tidak keberatan) ditarik kembali untuk melepaskan helm dan diberikan kepada tangan Yunseong yang masih terulur.

Keduanya memasuki gramedia. Minhee yang memang enggak mau beli apa-apa cuman bisa ngekor Yunseong ke mana kaki si kakak tingkat (yang Minhee baru sadar sedikit lebih pendek darinya, Minhee memang kelebihan kalsium) melangkah. Pertama, ke rak buku-buku olimpiade (Minhee enggak tahu buat apa, karena mereka sudah kuliah). Kedua, ke rak buku-buku sastra karya beberapa penulis lama, Minhee tahu beberapa karena dia pernah ikut klub membaca (walau sering bolos dan lebih memilih ikut bermain voli) semasa SMA.

Sepanjang Yunseong memilih buku, sepanjang itu juga Minhee tidak berhenti berceletuk.

“Kak, nyari apa sih?”

“Mau ambil buku di rak atas? Nyampe enggak, Kak?” yang kemudian Minhee mengambilkannya untuk Yunseong.

Dan berbagai macam kalimat lainnya, yang sejujurnya buat Yunseong pusing. Minhee bisa lihat kakak tingkatnya itu enggak nyaman dengan dirinya yang daritadi sibuk berceloteh. Tapi, Minhee tidak mau suasana menjadi lebih canggung jadi dia berinisiatif terus membuka percakapan. Mungkin, Yunseong setuju dengan ide ini sehingga daritadi Yunseong selalu menanggapi segala ucapan Minhee. Bahkan, ketika Minhee bilang, “Gue mau deh se-keren Rick Riordan.” Yang sebenarnya, Yunseong enggak tahu itu siapa.

Ketika kaki Yunseong melangkah ke rak komik-komik terbitan Jepang, Minhee langsung diam dan melipir untuk mendekati satu rak berisi komik (yang diketahui memang sangat disukai Minhee).

“Kamu suka Haikyu?” tanya Yunseong ketika Minhee membolak-balik komik Haikyuu!! di tangannya. Yunseong juga sebenarnya lumayan suka, tapi dia ke sini hanya untuk melihat sudah sampai mana komik Shingeki no Kyojin diterbitkan oleh pihak gramedia kotanya.

“Banget!”

“Aku baca leaks-nya di twitter.”

“Aaaah! Serius, Kak? Aduh, aku beneran kaget tau! Enggak nyangka banget setelah time-skip bakalan kayak gitu!” Minhee sibuk berceloteh secara tiba-tiba. Namun, kali ini matanya tidak terarah kepada Yunseong dan tidak untuk mengganggunya. Matanya berbinar begitu lucu menatap dua buah komik dengan judul Haikyuu!! di tangannya seraya menceritakan segala pendapatnya tentang chapter terbaru yang tersebar di internet.

Kali ini, Yunseong tidak menemukan bahwa Minhee menyebalkan. Malah, menurutnya Minhee menyenangkan sekali. Apa karena akhirnya Yunseong menemukan seseorang yang bisa menemaninya membicarakan hal-hal yang jarang ia bicarakan dengan teman-teman yang dekat dengan dirinya? Yunseong terkenal tidak terlalu pandai dalam berteman, temannya hanya itu-itu saja. Bahkan, kepada teman dekatnya ia jarang bercerita panjang lebar seperti ia menanggapi segala cerita Minhee tentang komik yang kebetulan mereka sukai. Padahal, dia baru bertemu Minhee sore ini. Beberapa jam yang lalu, di parkiran perpustakaan pusat kampusnya, namun Yunseong sudah menemukan dirinya nyaman berada di sekitar adik tingkatnya ini.

Benar apa kata Junho, semesta itu lucu.

————

© fluctuius.

— 30 Days OTP Challenge Day 9 —

————

I wonder if the moonlight knows how you’re crying

Kadang, ada satu malam di mana Mayuzumi akan mempertanyakan perihal hubungannya dengan kekasihnya—yang sejujurnya seperti bukan kekasihnya. Tidak jarang sebenarnya, namun Mayuzumi selalu menekan perasaan dan pikiran hal ini menuju dasar.

Namun, sama seperti bola-bola kecil mainan anak-anak dahulu yang jika direndam di dalam air semalaman akan menjadi besar, begitu juga masalah yang selalu Mayuzumi coba tekan ke dasar pikiran dan perasaannya.

“Sebentar—” kekasihnya memijit keningnya, pusing, “—kamu ngomong apa tadi?”

“Aku bilang, kamu itu sebenarnya enggak sayang sama aku.”

“Chihiro bagaimana kamu bisa bicara seper—”

“Bisa. Karena memang seperti itu adanya bukan?”

Mayuzumi memotong cepat, tidak mau bertengkar (walau sebenarnya ini sudah dihitung bertengkar, sih), lagipula, perasaan tentang hubungan mereka yang lebih seperti teman satu rumah daripada kekasih adalah hal yang tidak bisa terus-menerus Mayuzumi paksakan mengendap di dasar pikiran dan perasaannya.

Malam itu, setelah pertengkaran tentang hubungan mereka yang tidak lagi diperjuangkan, akhirnya mereka berpisah.

Mayuzumi yang angkat kaki dari apartment kecil mereka—sekarang hanya milik mantan kekasihnya seorang. Berjanji besok akan kembali untuk mengambil barang-barangnya yang lain.

Besoknya, Mayuzumi tidak kembali.

“Jadi, apa yang kamu harapkan atas perpisahan ini, Shuuzo?”

Dua malam setelah Mayuzumi tidak kunjung kembali seperti janjinya, dalam diam Nijimura mempertanyakan tentang hubungan keduanya yang tidak berjalan lancar. Padahal, rasanya baru kemarin ia memainkan rambut Mayuzumi dalam tidurnya. Mungkinn, kali ini Nijimura lagi yang salah karena masih sering terbawa ketakutan masa lalunya. Padahal, Mayuzumi sudah begitu sering menenangkannya dan berkata bahwa masa depan akan lebih baik jika kita tidak membawa masa lalu mencampurinya (yang kemudian oleh Mayuzumi ia dilempar bantal karena membuat Mayuzumi mengatakan hal yang memalukan menurut Mayuzumi).

Nijimura menghembuskan asap rokoknya ke udara. Menatap langit malam dari depan sebuah toko toserba yang menjual beberapa keperluan kulkasnya seminggu ke depan (toh, ia tinggal sendiri sekarang, tidak banyak yang harus dibeli). Ketika lintingan tembakau kembali dihisap dan dihembus seiring napas frustrasi, Nijimura bicara dengan langit malam. Apakah Mayuzumi menangis? Apakah benderang bulan menemaninya?

Nijimura tidak pernah tahu jawabannya.

————

I’m afraid I won’t be able to see you, that you’ll suddenly disappear

Kata Mayuzumi, ketika dua orang berani menjalin sebuah hubungan, maka keduanya harus siap bertanggung jawab atas segala konsekuensi yang ditimbulkan. Nijimura juga ingat bahwa Mayuzumi berkata mereka harus tetap dewasa bahkan jika suatu saat mereka berpisah.

Tapi, Mayuzumi mungkin tidak mengingat hal-hal tersebut. Nijimura kerap menyalahkan dirinya yang tidak pernah berlaku selayaknya pacar dan lebih memilih berkencan dengan setumpuk berkas pekerjaannya daripada menggempur kekasihnya di bawah atap rumah mereka (bahkan, Nijimura tidak bisa menyebut apartment mereka sebagai rumah lagi).

Mungkin jika ia bisa bersikap lebih manis. Mungkin. Mayuzumi mungkin tidak akan lelah dan memilih untuk mengakhiri keduanya. Bukan hanya hubungan mereka sebagai sepasang kekasih, namun juga hubungan mereka sebagai makhluk sosial. Mungkin, harusnya Nijimura memang harus disalahkan?

Mungkin juga tidak.

Toh, sebenarnya andai Mayuzumi mau bicara tentang perasaannya daripada menumpuknya, mungkin Nijimura akan lebih mengerti.

Mungkin.

Mungkin.

Selalu mungkin.

Kata itu menakutkan menurut Nijimura, karena hal itu bisa saja terjadi. Sama seperti ketika ia dan Mayuzumi bertengkar pertama kali karena Nijimura menaruh handuk basah setelah mandi di atas kasur (Mayuzumi tidak suka) dan Mayuzumi mendengus seraya mengomel, “Mungkin aku harus cari pacar baru.”

Awalnya, ucapan seperti itu hanya dianggap sebagai angin lalu, karena toh saat itu mereka sedang asik dimabuk asrama karena panah cupid masih menancap tepat di hati. Namun, semakin malam berlalu dan hari dilewati dengan berbagai macam senda gurau dan pertengkaran kecil, Nijimura turut kerap mempertanyakan. Mungkin saja, Mayuzumi meninggalkannya suatu hari nanti. Tetapi, hal ini selalu ditepis oleh Nijimura dan menganggap itu hanyalah pikirannya yang sering muncul ke permukaan ketika ia lelah atau sedang bertengkar dengan Mayuzumi.

Namun, hal itu terjadi.

Sekeras apapun Nijimura menepisnya, pada akhirnya Mayuzumi pun pergi.

Tidak kembali.

Bahkan hanya untuk melihatnya.

(toh, alasan kepergian Mayuzumi adalah dirinya).

Pada akhirnya, Mayuzumi pergi. Menghilang. Mungkin, dibawa oleh benderang bulan malam itu.

————

© fluctuius.

— a khunbaam short-fiction.

————

Sejak kecil, Aguero sudah diajari berbagai macam hal tentang dunia, pengetahuan umum, sains, maupun sosial. Sejak kecil pula ia diajarkan menjadi seorang petarung hebat, mengikuti berbagai macam latihan dari taekwondo, memanah, menembak, dan serangkaian kegiatan lainnya. Bakat seninya juga tidak kalah dari kecerdasan otak dan ketangkasan fisiknya, ia bisa memainkan piano di umurnya yang saat itu menginjak 6 tahun.

Intinya, Aguero adalah seorang anak emas yang akan sangat sulit untuk dikalahkan dalam berbagai bidang.

Namun, kata Shibisu, jika kamu ingin mengalahkan Aguero, maka kamu bisa mengalahkan Aguero dalam satu hal.

Percintaan.

————

Aguero melotot protes, “Enggak, ya! Gue enggak mau!”

“Tapi katanya mau punya pacaaaaaar?????” Androssi melotot balik.

“Lo gila ya? Sejak kapan gue ikutan kencan buta gitu! Mau taruh muka gue di mana?”

“Susah banget Tuan Muda,” celetuk Hatz.

Aguero mendelik sebal, “Enggak jadi gue bantuin ya lo promosi naik jabatan.”

“Lo-nya aja dibantuin gini. Haduh.” Hatz membalas sebal. Susah sekali rasanya memberikan saran kepada si surai biru ini, karena orang ini benar-benar keras kepala.

“Padahal bisa gue set-up sama cewek cantik.” Androssi berceletuk seraya mengambil satu buah lagi donat dari kotak yang tadi dibelikan Aguero ketika mereka berjanji untuk berkumpul di apartment tempat Aguero tinggal sekarang. Semuanya sampai terlebih dahulu sebelum Aguero pulang dari kantornya, mereka sudah hapal dengan sandi unit milik Aguero jadi mereka bisa mendobrak masuk sesuka hati mereka.

“Mana doyan dia sama cewek,” ucap Hatz, yang mendapat lemparan kaleng kosong oleh Aguero.

“Kenapa enggak coba ajak kencan gebetan lo dari jaman SMA aja sih?” Shibisu akhirnya buka suara, muak melihat Aguero sedari tadi menolak segala bentuk saran yang diberikan oleh teman-temannya.

Aguero melotot, “Itu lebih gila lagi ya, anjing.”

“Nyolot banget!”

Satu lemparan bantal melayang ke kepala Aguero karena dilemparkan oleh Androssi. Disusul dengan Hatz dan Shibisu yang juga memukul pelan kepala Aguero menggunakan botol cola yang telah kosong. Memang, cuman teman-temannya ini yang berani macam-macam dengan Aguero.

“Sudah berapa lama sih naksirnya?”

“Dari jaman MPLS,” sahut Shibisu yang mendapat pelototan dari Aguero.

Androssi ber-oh ria sebelum tiba-tiba berucap hal yang buat semuanya jantungan, apalagi Aguero.

“Gue masih akrab tuh sama dia. Mau gue set-up sama dia?”

————

Katakan Aguero itu pengecut—atau cupu, yang mana saja boleh, asal tidak mengatakan ia hebat dalam hal percintaan. Hal ini sering jadi bahan ejekan teman-temannya.

Karena, Aguero benar-benar payah dalam hal percintaan. Terakhir kali Aguero berpacaran pun itu di bangku kuliah (yang berarti sekitar tiga tahun yang lalu) dan itu pun sekadar ingin mengisi hari bosan (memang brengsek) karena ia berkuliah di universitas yang berbeda dengan si pujaan hati—Baam namanya.

Tidak jarang Androssi yang satu universitas (bahkan fakultas dan jurusan) memanas-manasi Aguero perihal keseharian seorang Baam di universitasnya. Tapi, sejak lulus, Aguero tidak pernah mendengar Androssi membawa-bawa nama Baam lagi, maka ia mengira mungkin mereka jarang bertemu.

Tapi, itu salah. Ternyata, Androssi setiap akhir pekan masih sering bertemu dengan Baam di sebuah kafe milik Baam sendiri bersama dengan kakaknya (yang Aguero ketahui bernama Yuri, terima kasih tim intel Khun Corp.).

“Haaah terus gimana? Masuk? Sapa gitu aja? Pesan kopi?”

“Hadah, enggak nyangka lo beneran bodoh banget soal kayak gini.” Shibisu dari seberang sana mendengus kasar. Tidak menyangka jika temannya yang selalu dielu-elukan ini bisa menjadi sangat bodoh soal urusan hati.

“Lo di mana sekarang?”

“Depan kafenya.”

“Masuk sana. Pesan apa yang lo suka.”

Hening sesaat sebelum Aguero kembali berucap, “... Isu, gue enggak bisa minum kopi.”

“Ada minuman lain itu, ada kue juga, kata Androssi gitu, udah sana masuk!”

“Gue matiin,” ucap Aguero lalu mematikan sambungan teleponnya secara sepihak dan melangkah masuk ke dalam kafe milik Baam.

“Selamat da—” sapaan itu menggantung dari si surai hitam ketika mendapati seorang yang familiar memasuki kafenya, “—Khun, 'kan?”

Berusaha tidak canggung (untungnya, Aguero berbakat dalam hal ini), Aguero mengangguk seraya berjalan mendekat ke kasir, “Iya. Baam 'kan?”

“Ahaha, iya. Wah, kamu ingat!”

Tentu saja.

“Jadi mau pesan apa, Khun?”

“Rekomendasimu, saja.”

Baam berpikir sebentar sebelum berucap, “Minuman saja atau?”

“Ah, kalau kamu punya cheese cake, aku mau satu.”

Senyuman diulas lagi (Aguero sampai berpegangan pada meja kasir), “Oke! Ada lagi?”

Mau kamu.

“Itu saja.”

“Baiklah, cari saja tempat duduk, nanti akan diantarkan.”

Aguero mengeluarkan uang untuk membayarnya sebelum kakinya dibawa untuk mencari tempat duduk, memilih untuk duduk di dekat pintu masuk saja, karena tidak jauh dan juga tidak terlalu dekat dengan kasir sehingga ia (harapnya) bisa melihat Baam dari tempatnya duduk.

Pikiran Aguero melalang buana ketika bokongnya mendarat di bangku yang cukup nyaman untuknya. Ia menatap ke luar jendela kafe, memperhatikan orang-orang yang berlalu-lalang bersama teman atau mungkin kekasihnya. Benar juga, ini akhir pekan. Kota selalu ramai di akhir pekan. Walaupun beberapa orang akan memilih untuk beristirahat saja di kamar mereka.

Aguero sebenarnya adalah tipe yang akan menghabiskan waktunya dengan beristirahat di unit apartment-nya. Tapi, khusus untuk akhir pekan ini ia akan mengikuti saran-saran sahabatnya untuk melakukan pendekatan (dan supaya Aguero sadar juga berhenti menjadi orang yang tolol dalam masalah cinta) kepada gebetannya sejak lama. Sejujurnya, Aguero pun tidak pernah mempermasalahkan jika ia tidak punya kekasih. Tetapi, berhubung keluarganya (ayah, kakak, dan sepupunya) sangat cerewet soal pasangan hidup (katanya sih karena Aguero ini akan meneruskan perusahaan keluarga Khun), makanya Aguero terpaksa harus secepatnya mencari pacar. Karena itulah tempo hari yang lalu ia meminta saran juga bantuan kepada teman-temannya yang berujung ia duduk di sini, berusaha mengejar cinta lamanya.

Aguero tidak pernah memulai sebuah hubungan lebih dahulu, karena sudah dikatakan Shibisu beberapa kali jikalau Aguero benar-benar payah dalam hal percintaan. Entah ia yang akan telat menyadari perasaan (ini pernah terjadi semasa SMP) atau hanya bisa mengagumi dalam diam dan tidak berani ungkapkan seperti kasus Baam ini.

Tanpa sadar, Aguero menghela napasnya berat, tidak tahu harus berbuat apa setelah datang ke sini dan memesan minuman serta makanan. Apa ia harus minta nomor telepon Baam? Atau mengajak Baam jalan-jalan di lain hari? Mungkin, ia juga bisa saja mengajak—

“Khun? Kamu enggak apa?”

“Baam, pacaran yuk.”

—Baam untuk berpacaran dengannya.

Tuh, 'kan. Aguero bodoh.

“Ah, maaf, refleks. Aku kaget.”

Baam tertawa lembut, “Ahaha, aku sudah terkejut tadi. Ini aku membawakan pesananmu. Dinikmati, ya.”

“Anu, Baam—” Aguero memanggil ragu ketika Baam sudah berbalik untuk kembali ke balik kasir.

“Iya?”

“Kamu punya karyawa?”

Baam mengangguk, “Sedang sibuk membersihkan dapur, tapi sebentar lagi selesai. Kenapa, Khun?”

“Kalau tidak keberatan, biarkan dia yang menjaga kasir, aku mau kamu jika tidak keberatan menemaniku berbincang.”

Terdiam sebentar Baam dibuatnya. Seketika, Aguero merasa panik. Harusnya ia tidak berucap secara tiba-tiba begitu, lagipula ia tidak terlalu dekat dengan Baam di SMA dahulu, aneh bukan tiba-tiba ingin berbincang?

“Boleh. Sebentar, ya, Khun.”

Untungnya Baam begitu baik hati. Untungnya.

“Baam, satu lagi.”

“Ya?”

“Panggil aku Aguero saja, oke?”

“Ahaha, oke Aguero.”

Aguero tidak pernah menyangka, namanya akan sebegitu menyenangkan untuk didengar ketika seseorang menyebutkannya.

Shibisu, Androssi, dan Hatz. Lihatlah. Sebentar lagi, Aguero tidak akan payah dalam hal percintaan seperti apa kata kalian.

————

© fluctuius.

— 30 Days OTP Challenge Day 8 —

[ sok puitis, ini ]

————

“Kamu tahu tidak kenapa setiap negara menginginkan kemerdekaan?”

Keiji menghela napasnya pelan lalu menurunkan buku yang sedang ia baca seraya membenarkan letak kacamatanya, “Kenapa itu, Kiyoomi?”

“Alasannya sama seperti ketika aku ingin kamu mencintaiku.”

“Maksudnya?”

“Aku sudah jatuh cinta pada kamu terlebih dahulu, jika kamu jatuh cinta padaku juga, maka aku merdeka. Bebas. Bebas untuk mengklaim dirimu atas milikku. Tidak ada yang boleh sentuh, tidak ada yang boleh pegang, barang satu senti. Jadi miliknya sendiri. Tidak dijajah. Tidak perlu berbagi. Merdeka.”

Tawa yang tidak bisa ditahan meluncur manis dari bibir ranum Keiji seiring ia menutup bukunya.

“Kamu mau apa?”

“Kenapa bertanya seperti itu?” Kiyoomi menaikkan salah satu alisnya.

“Kamu selalu bicara seperti ini ketika kamu menginginkan sesuatu.”

Kali ini Kiyoomi berdecak, rona merah menjalar malu-malu. Ketahuan.

“Aku—” jeda di kalimatnya membuat Keiji menatapnya lembut. Ah, rasanya Kiyoomi jatuh cinta dengan tatapan Keiji. “—mau dipeluk.”

“Kemari.” Keiji menepuk sisi kasur yang kosong, membuat Kiyoomi dengan perlahan beranjak dari kursi kerjanya pada sebuah meja kerja yang tidak terlalu besar di kamar mereka.

“Kamu seperti anak kecil, Kiyoomi,” ucap Keiji ketika Kiyoomi sudah merebahkan dirinya di samping Keiji yang telah menaruh bukunya ke atas meja beserta kacamatanya.

Keiji beringsut merebahkan diri sementara Kiyoomi mulai menarik tubuh yang lebih kecil ke dalam pelukannya, yang dilakukan Keiji hanyalah menyamankan diri dalam pelukan kekasihnya, mendusel sebentar di dada Kiyoomi untuk mengerjainya (Kiyoomi agak merasa geli, ujarnya suatu malam ketika Keiji bicara dalam tidurnya di dalam pelukan Kiyoomi), lalu menyamankan dirinya sendiri sementara Kiyoomi menaruh dagunya di puncak kepala Keiji.

“Keiji, kamu indah.”

“Kamu enggak lihat wajahku, ini. Tau darimana aku indah?”

“Tahu saja, kok.”

“Aneh.”

“Gara-gara kamu.”

Keiji mendengus (sengaja di depan dada Kiyoomi lagi) tanpa mendongakkan kepalanya. “Kenapa aku?”

“Aku jadi aneh sejak suka kamu. Aku kira aku sakit jantung lalu perutku kayak diterbangi kupu-kupu— atau capung?”

“... Kamu ngaco.”

Kali ini Kiyoomi tertawa seraya memainkan anak rambut Keiji yang masih asik cari-cari kehangatan di dalam dekapan dirinya.

“Kamu manja, kayak anak kecil.”

Tertawa lagi Kiyoomi atas ucapan tiba-tiba Keiji, “Anak kecilnya kamu.”

“Iya, anak kecilnya aku.”

“Punyanya Keiji, ya?”

“Iya, punya Keiji.”

“Asik, sama-sama merdeka ya, kita.”

Kali ini Keiji tertawa lalu mendongak menatap wajah kekasihnya (dagu Kiyoomi sudah minggir dari puncak kepalanya).

“Iya, merdeka.”

————

© fluctuius.

— 30 Days OTP Challenge Day 7 —

[ tw: character death dan suicidal thoughts ] [ di semesta ini, senjata seperti pistol tetap digunakan ]

————

“Kalau begitu aku pergi dulu ya! Jiro dan Saburo yang akur!”

“Iya...,” keduanya menyahut lesu lalu saling melirik, Ichiro ingin tertawa karena dilihat-lihat mereka ini lucu sekali, karena walau menyahut begitu biasanya juga setelah pintu rumah kediaman Yamada bersaudara itu ditutup tidak lama keduanya akan mulai adu mulut.

“Siap Ichiro?”

“Jyuto-san, kapan aku tidak pernah siap?”

Jyuto terdiam sebentar seraya menginjak pedal gas pada mobilnya yang kemudian meluncur meninggalkan Ikebukuro, “Tidak pernah jika itu tentang Samatoki.”

Senyuman tipis yang diulas adalah pertanda setuju.

————

Pintu kamar rawat inap milik Samatoki terbuka, membuat Ichiro dengan cepat menoleh dan mendapati Riou serta Jyuto keluar dari sana.

“Bagai—” Ichiro menggeleng. “Biar aku lihat sendiri saja.”

“Dia mencarimu.” Riou yang berucap, diangguki oleh Jyuto.

“Kalau sudah selesai kami berada di kantin ya, Ichiro.”

Anggukan pelan dari Ichiro dianggap sebagai tanda persetujuan oleh Jyuto yang kemudian mempersilahkan si pemilik manik dua warna itu masuk ke dalam kamar rawat inap milik Samatoki—kekasih Ichiro.

Begitu pintu ditutup dan Ichiro berbalik untuk melihat Samatoki, yang didapatinya adalah kekasihnya mengerang menahan sakit seraya berusaha berbalik untuk melihat siapa yang masuk.

“Ichiro?”

“Hehe, halo.”

Jika saja Samatoki tidak sedang menahan rasa sakit pada kepalanya, mungkin ia akan menyumpahi si bocah kesayangannya ini.

“Jyuto bilang kamu tidak ikut?”

“Sejak kapan Samatoki-san percaya dengan Jyuto?” tanya Ichiro, sebenarnya menyindir, seraya berjalan mendekati kasur rawat milik Samatoki, tangannya meraih kursi yang menganggur lalu duduk di sana.

“Benar juga.” Samatoki berujar dengan kekehan di ujungnya lalu meringis dikarenakan rasa sakit di kepalanya.

“Aduh, tuh, 'kan, jangan ketawa dulu— heh!” Ichiro berseru di ujung kalimatnya yang mengkhawatirkan Samatoki karena bukannya menurut untuk diam saja Samatoki malah tertawa.

“Kamu lucu kalau mengomel.”

“Tapi enggak gitu juga, ya,” ketus Ichiro sebal. “Kamu disuruh diam aja, 'kan, istirahat.”

“Mm-hm. Padahal, harusnya tahun ini kita bisa rayakan natal bersama Jiro, Saburo, dan Nemu ya?”

Ichiro berinisiatif menggenggam tangan Samatoki lalu menunduk dan menaruh kepalanya di kasur.

“Enggak apa. Tahun depan masih ada natal.”

“Memangnya aku masih ada di sini sampai natal tahun depan?”

Ichiro terdiam sebelum matanya mulai mengerling marah, menatap mata Samatoki lurus. Duduknya kembali ditegakkan tetapi tangannya masih saling menggenggam.

“Jangan gitu, deh.”

“Itu 'kan kata dok—”

“Persetan,” dengus Ichiro. “Kalau aku bilang kamu masih bisa ikut natal tahun depan, ya bisa!”

Tidak sekali-dua kali setiap Ichiro mengunjungi kamar rawat inap Samatoki keduanya malah berujung bertengkar seperti ini. Hanya karena alasan yang sama.

Apakah ia masih akan berada di sini untuk natal tahun depan?

“Kamu dengar sendiri perkataan dokter soal peluru yang bersarang di kepalaku, 'kan?”

Bukannya diam dan mengalah, Samatoki memilih untuk mendebat setiap perkataan Ichiro. Pesimis.

Ketika Ichiro selalu berusaha menguatkan dirinya dan bahkan Samatoki. Yang sedang dikuatkan sedang bersedih hati, tidak semangat, patah semangat malah, pesimis. Tidak ada keinginan hidup lagi.

“Sa—”

“Bergeser sedikit lagi, maka langsung menyenggol pembuluh darah.”

“Diam.”

“Aku mati, Ichiro.”

“Samatoki-san!” bentaknya. Suaranya bergetar menahan tangis. Selalu seperti ini. Bertengkar karena keinginan bertahan. Ichiro yang optimis dan kekasihnya yang pesimis.

“Maaf,” Samatoki akhirnya sadar jika ia sedikit kelewatan kali ini. Tangannya yang satu lagi (yang tidak dipakai saling genggam) diangkat untuk mengusap sayang puncak kepala kekasihnya lalu merambat pelan turun ke sisi wajah Ichiro, menatap matanya dalam. Mata berbeda warna yang selalu Samatoki kagumi. Mata yang sama yang membuat Samatoki jatuh cinta sedemikian dalamnya. Mata yang sama juga yang selalu berbinar penuh harap dengan cahaya optimis di setiap perbuatan dan ucapannya.

Ah, harusnya Samatoki lebih paham mengenai hal ini.

“Natal nanti mau pergi ke mana?” Samatoki bertanya, kali ini ibu jarinya digunakan untuk mengusap pipi Ichiro lembut.

“Di sini saja boleh?”

“Ichiro.”

Ichiro mendecak pelan, “Enggak tahu, ya. Nemu punya rencana bagus, katanya, nanti mau dibahas dua hari sebelum.”

“Jyuto dan Rio?”

“Ikut tentu saja.”

“Jyuto memangnya akur dengan Jiro?”

Pertanyaan Samatoki malah disambut tawa oleh Ichiro, membuat Samatoki mengerutkan keningnya bingung, “Mana akur! Tadi saja waktu Jyuto jemput aku di rumah, mereka sempat-sempatnya adu mulut.”

“Jyuto duluan yang ganggu?”

“Memang siapa lagi?”

Kali ini Samatoki turut tertawa. Selepas tertawa, matanya kembali menatap Ichiro lurus di kedua maniknya.

“Matamu cantik.”

“Akunya ganteng?”

“Kalau aku bilang enggak kamu pasti marah.”

“Mana ada!” seru Ichiro protes. Namun, tangannya yang bebas ikut terangkat dan memegang tangan Samatoki yang masih asik bertengger untuk mengusap pipinya penuh sayang sedari tadi.

“Aku sayang Ichiro.”

Ichiro mengulas senyuman tipis, “Aku juga sayang Samatoki-san.”

Keduanya diam sesaat sebelum Ichiro buka mulut lagi, “Oh iya, karena natal nanti enggak ke sini—” ada jeda di kalimatnya sebelum tersenyum ke arah Samatoki.

“Selamat natal, Samatoki-san.”

“Ya, selamat natal, Ichiro.”

Senyuman diulas tipis oleh Samatoki. Walau natal tahun ini ia tidak bisa merayakannya bersama yang lain, tetap saja ini adalah natal terbaik untuknya, karena Ichiro ada di sini.

Ichiro ada di sini untuknya.

Ichiro berada di sisinya untuknya.

Ichiro berada di sana, di natal terakhir Samatoki.

————

© fluctuius.

————

soal peluru bersarang di kepala itu sebenarnya terinspirasi dari drama Born Again.