fluctuius

i leave my thoughts here.

Deru nafas tenang khas orang yang tengah tidur adalah suara yang pertama kali sambut Jungwon ketika ia membuka kedua matanya.

Hari ini natal.

Natal selalu menjadi hari penuh magis bagi semua orang. Tidak terkecuali bagi Jungwon yang tengah megeratkan dekapnya pada tubuh yang tertidur dengan nyaman di dalam dekapnya sejak tadi malam. Natal selalu menjadi hari penuh kebahagiaan bagi semua orang. Tidak terkecuali bagi Jungwon yang sekarang menatap ke bawah, untuk melihat bagaimana kelopak mata yang lebih tua menutup rapat dalam tidurnya.

Tangan yang awalnya mendekap pinggang tersebut kini naik untuk mengusap tangan yang memeluk tubuhnya—meremat kaos pada bagian pundaknya. Kemudian tangan tersebut bergerak lagi untuk jangkau helai-helai rambut yang lebih tua, merapikannya agar tidak menutupi wajahnya.

Jungwon tersenyum.

“Look at you, sleeping like an angel,” bisiknya.

Punggung jarinya bergerak lembut usap sisi wajah yang tidak bertemu dengan dadanya sendiri. Ia tersenyum ketika kening yang tengah lelap dalam tidurnya sedikit mengerut, mungkin merasa terganggu.

“Semoga besok dan seterusnya, kamu bisa tidur senyenyak ini, ya. I'm so worried because every night you always looks like you have a nightmare.”

Karena di setiap malamnya, setiap kali Sunoo terlelap lebih dahulu darinya, Jungwon akan larikan jemarinya yang tidak menggenggam milik Sunoo untuk mengusap pelan kening tersebut—yang selalu mengerut dalam tidurnya. Entah bunga tidur apa yang dihembuskan ke dalam tidurnya tersebut. Yang jelas, Jungwon akan terlelap kemudian setelah memastikan yang lebih tua mulai nyenyak dengan tenang dalam lelapnya.

“I know you still have lots in your mind,” bisiknya lagi, kali ini memetakan setiap inci wajah Sunoo, kemudian mengusap pipi yang memerah—mungkin karena mereka tidur di ruang tengah dan udara dingin jelas mengusik keduanya, “tapi enggak papa, aku punya banyak waktu sampai kamu bisa bilang semuanya ke aku satu-persatu.”

Karena di setiap interaksinya, setiap kali ia memperhatikan seluruh gerak-gerik Sunoo, maka dengan mudah bisa ditangkapnya bahwa banyak hal yang kembali ditelan oleh yang lebih tua. Entah apapun itu, tetapi Jungwon hanya akan diam sampai Sunoo mengatakan sendiri padanya apa yang ada di dalam pikirannya.

“I know too, you still scared of everything.”

Karena di setiap kerlingan matanya, Jungwon akan selalu bisa tangkap banyaknya ketakutan yang berenang-renang di sana. Menenggelamkan seluruh perasaan lain yang kadang turut bermain di sana, tanpa sisakan ruang satupun untuknya menaruh kerling harap itu di sana.

“Aku mau kamu juga hidup untuk dirimu sendiri.”

Karena dalam langkahnya mengenal yang lebih tua setiap harinya, Jungwon bisa rasakan bagaimana suaminya tersebut berangsur hidup dengan caranya sendiri. Tanpa terbayang-bayang dengan apa yang harus ia lakukan agar hidupnya menjadi lebih baik—sesuai dikte dan setir yang mengikatnya bertahun-tahun lamanya.

Kali ini, jemarinya jepit dagu yang masih lelap untuk diangkat sedikit, membuatnya tersenyum memperhatikan wajah yang tertidur dengan damai di pagi natal yang terasa hangat dalam dekapnya sekarang.

Bibirnya dibawa menempel pada kening yang lebih tua. Lembut dan hati-hati. Seakan ia tengah menyentuh material paling rapuh di dunia—atau mungkin memang seperti itu. Bahwa, Sunoo selalu terlihat rapuh di matanya, meskipun pria yang berstatus sebagai suaminya itu mungkin berusaha sembunyikannya dengan menjalani hidupnya sebagaimana yang sudah terjadi.

“And i hope, you will stop being so hard on yourself. Because you, always, always, always—deserves every kindness and love in this world.”

“Abba minta maaf ya, Onyi....”

Lampu lalu lintas di depan mereka sudah beberapa kali menyala merah, tidak membiarkan sepasang ayah dan anak tersebut untuk melewatinya, sebab terjebak dalam lalu lintas yang padat.

Wonhee yang duduk di kursi tepat di sebelah ayahnya menghela nafas, “Onyu bilang aku harus dengarkan Abba menjelaskan,” ujarnya, “baru aku boleh memaafkan Abba.”

Kadang, Jungwon bersyukur pada kehadiran Sunoo yang menemani setiap harinya Wonhee sampai ia bisa tumbuh besar menjadi seorang gadis yang pintar. Namun, terkadang Jungwon juga merutuki bagaimana Wonhee lebih banyak mengadopsi sikap Sunoo daripada sikapnya.

“Oke. Abba jelaskan.” Jungwon menghela nafas seraya melepaskan rem tangan dan menginjak pedal gas di kakinya. “Abba akhir-akhir ini sibuk sekali karena mahasiswa Abba harus segera Abba berikan tugas, beri nilai, dan semua hal. Sama seperti guru Onyi kalau Onyi dan teman-teman mengumpulkan tugas.” Jungwon mulai menjelaskan seraya memelintir setirnya untuk membelok di perempatan jalan setelah berhasil melalui lampu lalu lintas yang sebentar lagi akan berubah kuning.

“Nah, Abba harus menilai semuanya, sambil melakukan yang lain. Abba minta maaf ya, Onyi, Abba jadi mengabaikan Onyi di rumah....”

“Aku maafkan, Abba,” ujar gadis tersebut. Ia menatap Jungwon yang sesekali melirik ke anak gadisnya tersebut kemudian berujar, “tapi Abba jangan begitu lagi, ya.”

“Abba janji enggak akan begitu lagi.”

Satu tangan yang bebas diulurkan pada Wonhee yang duduk di sebelahnya, dengan jari kelingking yang diacungkan, buat Wonhee terkikik dan menyambut kelingking tersebut dengan miliknya.

“Pinky promise!”

“Pinky promise,” ujar Jungwon seraya mengangguk.

“Harus ditepati loh, Abba,” ujar Wonhee lagi setelah kembali menarik tangannya, “nanti Abba diajak bicara serius lagi oleh Kaken dan Nini seperti tadi. Hiiii aku sih enggak mau dimarahi sama Kaken dan Nini, ya!”

Jungwon terdiam sebentar, ia menggigit pipi bagian dalamnya sebelum kemudian bertanya dengan suara pelan.

“Onyi dengar tadi Kaken dan Nini ngomong apa ke Abba?”

Gadis itu menggeleng, “enggak, Abba.” Kemudian ia menatap Jungwon bingung ketika ia melihat ayahnya tersebut menghela nafasnya. “Kenapa Abba?” tanyanya.

“Enggak papa,” jawab Jungwon.

“Enggak papa, Onyi.”

Atau mungkin, belum waktunya gadis kecilnya itu tahu soal ini.

“Onyi sudah tidur?”

Suara di seberang sambungan, yang dibuat berbisik, membuat Jungwon mengembangkan senyum seraya melangkah mundur.

“Sudah,” jawabnya, dengan suara pelan nyaris seperti berbisik pula, “sambil peluk boneka dino yang lo belikan itu.”

Pintu kamar gadis kecil itu ditutupnya perlahan sebelum ia menyusuri rumahnya sendiri untuk capai sofa di ruang tengah. Hela nafasnya mengudara isi ruangan tersebut setelah bokongnya mendarat duduk di salah satu sofa.

“Sorry jadi harus ngerepotin lo semalam ini,” ujarnya, terkekeh seraya mengusap wajahnya.

“Enggak papa,” jawab yang di seberang sana, “it's one of that time of the year,” tambahnya.

“Sudah mau berapa tahun coba? Dua belas? Tiga belas? Onyi bahkan sudah masuk SMP—” Jungwon melirik jam yang tergantung di dinding rumahnya, “—tapi gue masih kayak gini aja tuh, menurut lo—”

“Lo enggak pernah gagal jadi orang tua, Jungwon.”

Jungwon menarik kedua kakinya naik ke atas sofa, dipeluk keduanya masuk ke dalam dada dan menaruh sisi kiri wajahnya di atas lutut dengan ponsel yang masih menempel di telinga kanannya.

“It's just— It's not like i haven't move on. Already did a long time ago. Cuman rasanya kayak enggak adil buat Wonhee, 'kan? Wonhee tumbuh sampai segede ini cuman dengan satu orang tua.”

“Dan Wonhee tumbuh dengan baik.”

“Did she?”

“Iya, Jungwon.” Suara dari seberang sana terdengar tegas, Jungwon tersenyum membayangkan Sunoo yang bisa saja tengah berkacak pinggang atau melipat tangannya di depan dada untuk bicara dengan nada seperti itu. “You're the best parent Wonhee could ask for,” ujarnya.

Kali ini Jungwon terkekeh, “yakin banget, tuh?”

“I'm your daughter's bestfriend! I know her the best!”

Gelak tawa Jungwon mengudara, kali ini ia bisa membayangkan ekspresi Sunoo yang tersenyum dengan satu sudut bibir yang di angkat. Merasa menang, sebab ia tahu, Wonhee memang sangat menyukai menceritakan apapun itu kepada Sunoo.

“Well, Wonhee juga tumbuh besar sama lo, jadi i guess you could take that title.”

“Iyalah, gila. Sampai gue enggak punya titel itu, gue piting kepala lo.”

Jungwon tergelak lagi, kemudian tersenyum ketika mendengar yang di seberang sambungan juga turut tertawa.

“Thank you,” bisik Jungwon pada ponselnya, “karena sudah menemani Wonhee sampai sebesar ini.”

“Bayar, ah.” Jungwon tertawa, “weekend ya gue bawa Wonhee main ke mall, belanjain si princess buat perayaan masuk SMP,” tambahnya, membuat Jungwon semakin tergelak.

“Itu namanya lo yang bayar.”

“Let me have my time with my bestfriend!”

Gelak tawa Jungwon tiada habisnya malam ini, ia membiarkan Sunoo tergelak juga di ujung sambungan telepon mereka.

“Sure. Asal jangan lupa dipulangin ke gue aja. I only have her, afterall.”

“Aku suka banget sama brownies buatan kamu itu, tahu.”

Sunoo tertawa dan menaruh gelas berisi susu hangatnya ke atas meja ruang tengah yang sudah bersih dari acara makan malam mereka tadi.

“Nanti aku buat lagi,” ujarnya, seraya bersandar pada sofa dan menaruh kepalanya dan menoleh pada Jungwon. “Ayo habiskan punyamu, terus kita tidur,” ujarnya lagi, tertawa ketika Jungwon menguap setelah kata tidur mengudara dari bibir Sunoo.

Susu yang menjadi bagian Jungwon ditenggak habis sebelum diletakkan gelasnya ke atas meja, “tapi gelasnya belum dicuci,” ujarnya, “besok aja ya?” pintanya perlahan seraya turut bersandar pada sofa seperti yang dilakukan Sunoo.

Tawa Sunoo berderai isi atmosfir yang ada di antara keduanya, buat Jungwon kemudian ikut tertawa sebelum kemudian kembali menguap.

“Kayaknya aku enggak sanggup kalau harus ke kamar,” keluhnya.

“Terus mau tidur di sini?” tawa Sunoo, yang kemudian mengerutkan keningnya ketika ia bisa lihat bagaimana Jungwon terlihat mempertimbangkan apa yang diucapkan sehingga ia buru-buru menambahkan, “sofanya enggak cukup, Jungwon. Badan kita juga bisa sakit.”

“Bisa, kok.”

Kemudian ia beranjak dari tempatnya duduk dan menarik lembut tangan Sunoo untuk mengajaknya berdiri. “Muat. Muat buat berdua,” ujarnya ketika menatap sofa tersebut, sebelum kemudian ia merebahkan dirinya lebih dulu di sana.

“Come lay here,” ujarnya, memberikan ruang bagi Sunoo di antara dirinya dan punggung sofa, sementara ia mengambil bagian pinggir sofa. “Muat, kok. Betulan.” Ia menarik lembut tangan Sunoo agar suaminya tersebut ikut bergabung merebahkan dirinya di sana.

Ketika akhirnya Sunoo mengikuti permintaannya, hipotesa itu terbukti benar, sebab lebar sofa tersebut memang mampu mengakomodasi tubuh keduanya, tetapi dengan posisi yang buat Sunoo menahan nafasnya sebab ia harus menaruh kepalanya di atas lengan Jungwon—yang sengaja dilakukan oleh yang lebih muda.

“Come here, let me hold you.”

Jarak yang minim dipangkas sepenuhnya oleh Jungwon dengan menarik tubuh Sunoo ke dalam dekapnya, membiarkan kepala Sunoo bertumpunyaman pada pundaknya sementara satu tangannya memeluk pundak Sunoo dan mengusapnya perlahan.

Sunoo tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya. Namun ia mengangkat lengannya dan menyilangkannya pada tubuh Jungwon, meraih pundak yang ada di sisi lain sebelum menyembunyikan wajahnya pada ceruk leher yang lebih muda.

“Is it okay?”

Jungwon yang awalnya terkejut kemudian terkekeh pelan sebelum mengusakkan sisi wajahya pada surai Sunoo, menghirup aroma shampo yang lebih tua sebelum berujar, “aku suka, kok.”

Sunoo hanya menggumamkan hmm kecil dan membiarkan Jungwon bergerak sedikit untuk menyamankan posisinya sebelum melingkarkan satu tangannya lagi pada pinggang Sunoo.

“Good night, Jungwon,” ujar Sunoo dengan suara kecil, tuai senyuman mengembang di wajah yang lebih muda.

“Good night, sweetcheeks.”

Sunoo tersenyum dan memejamkan kedua netranya dengan erat. Dadanya berdebar, meletup-letup menyenangkan, sementara perutnya masih terasa melilit hebat di dalam sana.

This time, he let himself to be embraced by the love he wants.

And he prays to any God that would grant his wish, that, he want embraced by this love for—forever.

“Hey, want to go for a night walk?”

Sunoo yang tadinya sedang meletakkan piring terakhir ke dalam rak piring menoleh pada Jungwon yang berdiri tidak jauh darinya, baru saja selesai memasukkan beberapa makanan yang tersisa ke dalam kulkas.

“At this hour?” tanya Sunoo setelah melirik jam yang tergantung di dinding.

Jungwon mengangguk, “yuk? Let's see the snow together.”

Ajakan itu yang buat keduanya berakhir berjalan bersisian dengan satu tangan Sunoo yang masuk ke dalam kantong mantel Jungwon setelah digenggam—alasannya adalah untuk membuatnya tetap hangat di tengah salju yang sedang turun sebab Sunoo hanya kenakan sweater yang katanya cukup tebal. Mereka hanya berjalan-jalan ringan mengitari komplek hingga sampai di taman komplek tempat mereka biasa bermain dengan kucing-kucing yang seringkali diberi makan oleh Sunoo pada acara jalan-jalan pagi mereka.

Salju sudah turun sejak beberapa minggu yang lalu, tetapi kesibukannya membuat Sunoo hanya mampu menikmatinya melalui kaca jendela mobil setiap kali ia berangkat dan pulang dari klinik. Mungkin, sempat untuk sedikit bermain-main dengan salju yang turun ketika ia berjalan bersama Jungwon dari parkiran swalayan menuju pintu masuk beberapa hari yang lalu.

“We're lucky ini enggak terlalu lebat,” ujar Sunoo, menghentikan langkahnya dan mendongakkan kepalanya menatap pada salju yang terus-menerus turun untuk melapisi seluruh permukaan bumi hingga berwarna putih.

“Kamu suka salju?” tanya Jungwon, memperhatikan setiap lekuk wajah Sunoo dan berakhir pada kedua netra yang sedang berbinar menatap salju yang terus turun.

“Aku selalu suka salju,” akunya. “Tapi aku sering enggak bisa menikmati salju seperti ini, kalau punya waktunya pasti saljunya terlalu lebat dan jadinya terlalu dingin,” tambahnya, sedikit mengerucutkan bibir sebelum kembali menurunkan pandangannya.

Jungwon tersenyum padanya, “tahun-tahun selanjutnya, kita lihat salju pertama, ya.”

Sunoo hanya tersenyum padanya.

Keduanya melanjutkan acara jalan malam tersebut mengitari komplek dan kembali lagi ke taman yang berada di tengah komplek tempat tinggal mereka. Acara jalan-jalan malam itu diiringi dengan Jungwon yang tidak berhenti bercerita tentang Jongseong yang mengancam akan menjitaknya—berkali-kali banyaknya—tetapi tidak terjadi melainkan ada satu buah peluk dan tepukan di pundaknya sebelum kakak sepupuya itu pergi dengan taksinya.

Sunoo juga sesekali menceritakan tentang bagaimana Jongseong dan Sunghoon bisa bersama dan berakhir, yang membuat Jungwon mencibir payah banget dan dihadiahi tawa juga ucapan jangan seperti itu! dari Sunoo.

“You should go for it,” ujar Jungwon tiba-tiba ketika mereka berhenti di dekat salah satu bangku taman, tepat di bawah lampu jalan. Keduanya berdiri berhadapan sekarang, “tawaran dosen itu,” tambahnya ketika menyadari Sunoo menatapnya dengan bingung.

“Oh—” Sunoo berujar, seperti ingin melanjutkan, tetapi ragu sehingga ia hanya mengatupkan kedua bilah bibirnya dengan tatapan ragu, “boleh?” tanyanya dengan suara kecil.

Jungwon menarik kedua tangan mereka keluar, meniup telapak tangan Sunoo setelah menarik satu lagi tangan Sunoo ke dalam genggamnya sebelum diusap pelan untuk berbagi kehangatan.

“Boleh,” jawabnya, menurunkan kedua tangan tersebut tanpa dilepaskan, “kamu mau 'kan?” Sunoo hanya mengangguk sebagai jawaban, membuat Jungwon tersenyum, “go for it, then,” ujarnya lagi.

“Gimana kalau aku ternyata enggak cocok jadi dosen?”

Jungwon mengusap kening yang berkerut khawatir tersebut, tersenyum ketika mengucapkan, “you're worrying over nothing, Sunoo.” Tangannya berhenti di udara, “i know you would do great.”

“Kenapa kamu percaya sama aku? Padahal bisa aja banyak kurangku yang enggak pantas, tahu.”

Untuk menjadi apapun, termasuk bagian hidupmu.

“Kekurangan itu juga ada buat dicintai,” ujar Jungwon, menurunkan pandangannya, hingga ia bertemu dengan hazelnut milik Sunoo, “didn't i already said that flaws are meant to be loved too?” ujarnya, kembali menurunkan pandangannya dan bertemu dengan kalung yang menggantung nyaman di leher Sunoo. Tangan kanannya terangkat untuk menyentuh bandul kalung tersebut—cincin pernikahan mereka—hal ini buat Sunoo turut mengikuti arah pandang Jungwon.

“Kamu enggak pernah lepas cincinnya?” bisik Sunoo lirih ketika netranya menangkap cincin yang bertengger manis pada jari manis Jungwon yang tengah memegangi cincin yang menjadi pasangannya.

“Never. Why would i?”

Sunoo memejamkan matanya sebelum kembali menaikkan pandangannya—membuka netranya perlahan, paham betul setelah ia membuka pandangannya maka yang pertama kali ia lihat adalah wajah Jungwon yang hanya berjarak entah berapa senti dari wajahnya.

Akan tetapi, yang langsung dilihatnya adalah kedua netra coklat Jungwon yang berpendar di bawah sinar lampu jalan saat ini. Meskipun tidak seterang lampu pada umumnya, tetapi cukup untuk membantu Sunoo melihat ribuan perasaan yang bercampur di sana.

Apakah perasaanmu padaku—apapun itu—juga ada di sana?

Lagi. Rasanya selalu sama. Selalu seperti Jungwon berulang kali coba memberinya tempat di dalam hidupnya. Sesuatu yang seharusnya tidak pernah terjadi di dalam pernikahan mereka. Rasanya selalu sama. Selalu seperti Jungwon sedang mengulurkan tangannya tanpa lelah untuk mengajak Sunoo keluar dari balik pintunya sendiri—dimana ia terus menyembunyikan dirinya yang tidak pantas untuk siapapun di dunia ini. Rasanya selalu sama. Selalu seperti Sunoo ingin sekali menerima uluran tangan tersebut dan mengisi bagian-bagian yang dibuat oleh Jungwon untuk ia isi dalam hidupnya.

Ia berjengit pelan ketika tangan yang tadinya memegangi bandul kalungnya—cincin pernikahan milik Sunoo—naik untuk tangkup sebelah pipinya. Kali ini, untuk entah keberapa kalinya, Sunoo bisa merasakan nafas Jungwon yang menerpa langsung ke wajahnya, buat ia menahan nafasnya—entah mengantisipasi apa.

Yang ia tahu adalah ketika wajah Jungwon bergerak semakin dekat ke arahnya dan ujung hidung mereka bersentuhan, Sunoo membiarkan hal tersebut.

“May i?”

Perbedaan tinggi mereka yang hanya sentuh angka satu sentimeter buat Sunoo mampu bersitatap langsung dengan netra coklat milik Jungwon yang menatap lurus ke arahnya.

Apakah memang benar aku punya tempat di antara semua kebaikan dan cintamu itu?

“Yes.”

Maka dengan satu kata tersebut, Sunoo memejamkan kedua netranya ketika dirasanya bibir Jungwon membawa miliknya ke dalam sebuah pagut. Pagut tersebut awalnya hanya berupa kecup ringan, yang kemudian berubah menjadi sesuatu yang lebih intim ketika tangan Jungwon yang lain mendekap pinggangnya untuk mendekat ke arahnya—memperdalam pagut mereka sementara Sunoo yang tidak tahu harus apa merenggut bagian depan mantel Jungwon dengan erat sebagai pegangan—entah sebagai apa, padahal ia juga masih bisa berdiri dengan benar.

Ada yang meletup di dalam dadanya ketika pendengarannya sendiri mendengar bagaimana Jungwon mengecap rasa pagut mereka—yang bagi Sunoo terasa seperti sup wortel yang dibuatnya—dan membuat perutnya melilit senang ketika bibir Jungwon bawa bibirnya dalam pagut yang lebih dalam, bagaimana kepala Jungwon dimiringkan untuk temukan nyamannya dalam memagut bibir Sunoo.

Jungwon menarik dirinya mundur sebentar hanya untuk menghirup oksigen yang hampir hilang dari keduanya, buat Sunoo yang terengah terkejut di tempatnya ketika bibir Jungwon kembali menemukan jalan untuk memagut bibirnya, kali ini dalam intimasi yang lebih dalam dari tadi. Lumatan yang dilakukan Jungwon dan bunyi kecap merasa pada apa yang mereka bagi buat Sunoo mengeratkan rematannnya pada bagian depan mantel Jungwon. Rasanya seluruh indranya terbelenggu, bahkan ketika jam besar berdentang tandakan pergantian hari sudah dimulai—Sunoo rasa itu terjadi seperti jauh sekali dari tempatnya sekarang.

Pagut tersebut tidak terkesan buru-buru, tetapi lambat—penuh dengan seluruh perasaan yang tidak bisa keduanya utarakan satu sama lain—bagi Jungwon sama seperti ia tengah mencoba katakan pada Sunoo tentang apa yang ia inginkan. Bagi Sunoo, sama seperti ini adalah usaha terakhirnya agar Sunoo pada akhirnya meraih uluran tangannya tersebut.

Pagut tersebut juga tidak lapar, malah seperti tengah memberi—bukan meminta atas nafsu. Namun, penuh dengan perasaan yang sedang mengatakan bahwa akan selalu ada tempat yang tersedia baginya di dalam ribuan kebaikan dan cinta yang ia miliki, yang sudah ia buatkan setiap tempat itu ke dalam seluruh bagian hidupnya.

Ketika Jungwon menarik dirinya lagi, terengah menatap Sunoo yang perlahan membuka kedua kelopak matanya dengan nafas yang sama terengahnya, ia tersenyum pada Sunoo. Ia menyatukan kening keduanya sembari tidak memutuskan kontak matanya dengan hazelnut Sunoo sementara ibu jarinya mengusap lembut pipi Sunoo dan sisa jarinya juga melakukan yang sama pada tengkuk Sunoo yang bisa dijangkaunya—antarkan rasa nyaman pada yang lebih tua.

“Merry christmas, Sunoo.”

Maka, untuk pertama kalinya pula Sunoo membiarkan pintu itu terbuka dan menerima seseorang yang mengulurkan tangannya untuk menyambutnya dalam kehidupan yang penuh dengan kebaikan dan cinta—mengisi bagian tersebut karena seluruh kebaikan dan cinta itu telah yakinkan bahwa ia pantas untuk hal tersebut.

“Merry christmas, Jungwon.”

“Wow, baunya enak banget sum—”

Jongseong yang tadinya sedang memberikan arahan pada Sunoo menoleh melalui pundaknya pada Jungwon yang berdiri tidak jauh dari tempat mereka berdua sekarang.

“Jangan dekat-dekat,” ujar Jongseong, yang mana mau Jungwon menurutinya karena pria itu sekarang sudah berjalan mendekat untuk mengintip apa yang mereka masak di atas kompor sedangkan hidangan lain sudah tersaji di ruang tengah.

“Eh? Itu—”

Honey Carrot Soup.

Ia mengerjap sebentar kemudian melihat ke arah Sunoo yang sudah menoleh melalui pundaknya pada Jungwon yang kali ini sudah berdiri di belakang tubuhnya.

“Your mom said this is your favorite,” ujar Sunoo kemudian mengambil sedikit sup yang tengah dibuatnya sebelum di arahkan pada mulut Jungwon dengan satu tangan, “try it,” ujarnya dengan satu tangan yang menadah mengikuti arah gerak sendok.

Jungwon sedikir merunduk tepat di atas pundak kiri Sunoo untuk menghirup sup yang ada di sendok tersebut, mengecap rasa wortel dan madu yang bercampur sempurna. Kemudian menggigit pipi bagian dalamnya seraya menatap ke arah Sunoo yang menunggu dengan penuh antisipasi.

“Aku masih belajar juga sama Kak Jeng, jadi aku juga enggak yakin sama rasanya, jadi—”

“This is so good,” potong Jungwon.

Dari jarak sedekat ini, Jungwon bisa perhatikan beberapa jejak noda di wajah Sunoo yang mungkin tidak disadari oleh yang lebih tua karena sedari tadi ia sibuk berada di dapur bersama kakak sepupunya.

“You've got something in your face.”

Tangannya naik untuk menyingkirkan noda yang berada di dekat tulang pipi Sunoo, sebelum kemudian menyingkirkan anak rambut yang jatuh mengganggu penglihatannya.

“Dan supnya enak. Enak banget. Thank you for cooking me this.”

Sunoo tidak bisa menjawab dengan satu katapun, sebab atensinya kini tertuju pada bagaimana Jungwon berada begitu dekat dengannya. Sampai ia bisa merasakan bagaimana deru nafas yang lebih muda langsung menerpa wajahnya. Sementara tatapan Jungwon terus turun hingga mendapati kalung yang tergantung di leher lebih tua dengan bandul cincin milik Sunoo. Ia mengulum senyumnya dan hampir memutus jarak di antara mereka—

“Ada yang bunyikan bel.”

—suara Jongseong yang mengembalikan mereka pada pijakan mereka akhirnya menginterupsi.

Refleks Jungwon menarik dirinya menjauh dari Sunoo sementara Sunoo sendiri buru-buru meletakkan sendok yang tadi dipegangnya.

“I'll get the door,” ujar Sunoo kemudian buru-buru berderap setelah membersihkan tangannya dengan tisu yang dilempar masuk ke dalam bak sampah.

Jungwon mengangkat pandangannya ke arah Jongseong yang sudah melihat ke arahnya dengan satu alis yang terangkat.

“Have a grip, little rascal,” ujar Jongseong sembari meraih panci sup tersebut dan diangkat dari atas kompor, “you can always have him for yourself later,” ujarnya lagi, kali ini dengan satu sudut bibir yang terangkat sebelum ia melenggang keluar dari dapur menuju ruang tengah.


“Wow, ini kayak perbaikan gizi,” celetuk Riki yang sudah duduk di atas karpet, memperhatikan setiap hidangan yang ada di atas meja ruang tengah tersebut.

“You live with your mom, Riki,” sahut Heeseung yang mengambil tempat di seberang Riki.

“So?”

Sunoo tertawa mendengar interaksi tersebut, ia memang tidak begitu mengenal kedua teman Jungwon tersebut dan hanya pernah bicara dengan mereka ketika hari pernikahannya dan ketika Jungwon harus dirawat di rumah sakit beberapa minggu yang lalu.

“Gue bawa beberapa kue kering, manis semua sih ini,” ujar Heeseung, beralih ke Sunoo setelah merespons Riki dengan bola mata yang diputar jengah, “soalnya Jungwon bilang kamu suka makanan manis”

“Oh?” Sunoo melirik pada beberapa toples kue kering yang ikut bergabung di atas meja, “dia bilang begitu?”

“He told us everything about you,” timpal Riki. “Setiap ada sesuatu yang bikin dia ingat sama kakak, dia bakal mulai ngomongin kakak nonstop,” ceritanya, bertepatan dengan Jungwon yang berjalan mendekat setelah membukakan pintu untuk Sunghoon dan Jaeyun yang datang bersama.

“Ngobrolin gue?”

“Yeah, we told Sunoo that you're a menace,” ujar Heeseung, membuat Jungwon mendecakkan lidahnya bercanda sebelum menoleh pada Sunoo.

“Don't trust them,” ujarnya, lalu beralih pada Jaeyun dan Sunghoon yang masih berdiri di belakangnya, “duduk aja, anywhere,” ujarnya sebelum kemudian meraih bantal duduk yang ada di atas sofa dan diletakan di atas karpet.

“Kamu duduk duluan di sini, aku mau bantu Kak Jay dulu sebentar, lalu kita bisa mulai makan.”

Setelahnya ia langsung berbalik meninggalkan ruang tengah untuk membantu Jongseong yang tengah membawakan beberapa piring berisikan lauk makanan mereka yang belum ditata di atas meja.

“See? He's like that only to you,” ujar Heeseung, tertawa ketika Sunoo menggigit bibir bawahnya dan mengambil tempat di atas bantal duduk yang tadi diletakkan oleh Jungwon.


Makan malam itu diisi dengan percakapan-percakapan sederhana tentang kehidupan mereka sehari-hari.

Pertanyaan-pertanyaan sederhana yang terlontar tentang kehidupan masing-masing, termasuk Jongseong yang baru saja kembali ke radar mereka semua—sebab pria tersebut pergi melanjutkan sekolahnya kemudian menghilang ditelan deru pesawat sore itu. Kemudian, pertanyaan-pertanyaan tersebut berputar pada Heeseung dan Riki tentang pekerjaan mereka, begitu pula dengan Jungwon yang kemudian mendapatkan ledekan dan tawa mengejek (dalam artinya bercanda) karena ia sempat jatuh sakit karena menenggak terlalu banyak kopi.

“Kenapa enggak buka klinik sendiri?” tanya Heeseung penasaran pada Jaeyun dan Sunghoon.

“Terlalu banyak yang harus disiapkan, energinya enggak sanggup,” jawab Sunghoon, “dan awalnya kita mengisi klinik Sunoo sebagai bahan bujukan buat anaknya.”

“Bujukan?” tanya Riki penasaran.

Jaeyun tertawa sembari menyuapkan potongan daging ayam ke dalam mulutnya, “iya, bujukan. Dulu kita bertiga 'kan dekat banget bahkan sampai Sunoo sumpah dokter waktu itu—” Jaeyun melirik pada Sunoo yang mendengarkan percakapan mereka, gonta-ganti melempar tatapan ke mereka semua kecuali Jungwon—yang duduk di sisi sebelah kiri Sunoo—sedang sibuk merobek daging ayam yang kemudian diletakkan ke dalam piring makan Sunoo. Ia tersenyum sebelum melanjutkan, “terus waktu itu kita 'kan ditawari jadi dosen di fakultas karena lumayan kekurangan, nah Sunoo ini sebenarnya incaran dekan waktu itu, tapi dia enggak mau sama sekali terima tawaran itu.”

“Gue 'kan sudah bilang orang tuaku enggak setuju,” gerutunya, menoleh pada Jungwon yang menunjukkan daging yang ditusuknya dengan garpu dan diangkat di hadapannya, ia mengangguk sekilas sebelum kemudian Jungwon memotong-motong daging tersebut di dalam piring Sunoo, “kalau ditanya mau apa enggak, gue juga mau.”

“Mau ini enggak?” tanya Jungwon, kali ini menunjuk pada sayuran yang tadi disiapkan Jongseong—yang tidak pernah ia cicipi sebelumnya.

“Pahit?” tanyanya.

Jungwon terkekeh dan menggeleng, “enggak, kamu cicip punyaku dulu deh habis ini,” ujarnya seraya menyendok sayur tersebut ke dalam piringnya sendiri.

“Sebelum lupa—” Sunghoon berujar seraya mengunyah makanan di dalam mulutnya, mengambil atensi Sunoo kembali, ia menelan makanannya sebelum berujar, “—kemarin lo ditanyain lagi sama koor prodi,” ujarnya pada Sunoo.

“Lagi?” Jungwon menyahut, baru terhubung dengan percakapan yang terjadi di meja makan setelah selesai dengan agenda memenuhi piring makanan Sunoo, “kamu sering ditanyain soal apa?”

“Jadi dosen itu,” jawabnya pada Jungwon dan beralih pada Sunghoon sembari menyendok makanannya. “Bukannya katanya mau ada pembukaan penerimaan? Semacam itu, deh. Kenapa kok gue ditanyain lagi?” tanyanya.

“Mereka masih mau lo kayaknya, katanya kalau udah berapa lama ngajar nanti bisa dibiayain buat sekolah lagi, tapi ya harus balik ke kampus sih,” ujarnya.

Sunoo berdengung sebelum kemudian menoleh pada Jungwon yang menyentuh siku kirinya dan mengusapnya pelan. Hanya ada sebuah anggukan kecil dari yang lebih muda sebelum ia mengarahkan sendok berisi sayuran yang dimaksudkan tadi ke arah mulut Sunoo. Yang lebih tua mengunyah sayur tersebut sebelum menoleh pada Sunghoon dan berujar dengan mulut penuh, “gue pikir-pikir lagi dulu, ya.”


Sunoo tidak bisa mengingat kapan terakhir kali ia berada dalam situasi dimana rumahnya bisa seramai ini.

Piring-piring sisa makan malam masih berada di atas meja, sementara toples berisikan kue yang sudah disediakannya—maupun yang dibawakan oleh Heeseung tadi—sudah terbuka dan sesekali diambil oleh orang-orang yang sibuk bercengkrama di sana.

Beberapa dari mereka duduk di atas sofa, sementara beberapa lagi—termasuk Sunoo—masih duduk di karpet dan bersandar pada kaki sofa. Jungwon yang duduk di sebelahnya, tetapi di atas sofa sedang sibuk saling melempar candaan dengan yang lain, menimbulkan gelegar tawa dari mereka semua yang ada di sana.

Mereka saling bergurau seperti sudah mengenal satu sama lain lebih dari sepuluh tahun lamanya. Sesekali menertawakan Sunghoon dan Jongseong yang saling beradu argumen—Sunoo tersenyum, tahu bahwa sebenarnya mereka berdua saling bersyukur bisa melihat satu sama lain sekarang.

Meskipun Sunoo tidak banyak ikut melempar gurau karena itu banyak dilakukan oleh Riki, Jungwon, dan Jaeyun—ia tetap terlibat dalam setiap percakapan dan senda gurau tersebut. Sesekali tangan Jungwon akan berlari ke tengkuknya dan mengusapnya lembut, membuatnya mendongak ke arah Jungwon sementara yang lebih muda akan sedikit menunduk dan melempar senyum padanya. Ia mengangkat satu alisnya yang membuat Sunoo tersenyum dan mengangguk sekilas padanya.

“Kita kayaknya harus siap-siap jas buat datang ke nikahan Sunghoon sama Jongseong.”

“Hei?! Sembarangan!” jerit Sunghoon dan disusul dengan omelan Jongseong yang tidak terima mendengar kalimat tersebut meluncur dari Jaeyun.

Hal ini sebabkan Sunoo kembali menoleh kepada orang-orang yang ada di sana dan tertawa serta ikut menimpali, “asik, habis itu Kak Sunghoon bisa buka klinik berdua sama suami, romantis banget deh,” ledeknya.

*“Sunoo not you too?!” jerit Sunghoon dan Jongseong bersamaan sebelum saling menatap pada satu sama lain.

“Berhenti ngikutin gue!”

“Lo yang berhenti kali?”

Sunoo tertawa lagi menyaksikan betapa cepatnya percakapan tersebut kemudian terjadi, timpalan-timpalan lainnya dari Heeseung dan Riki yang sibuk tertawa, juga Jaeyun yang tidak berhenti menggoda sepasang mantan kekasih tersebut.

Sunoo menoleh lagi pada Jungwon ketika yang lebih muda kini turut bergabung duduk tepat di sebelah kirinya.

“Mau kue?” tanya Sunoo seraya menuding pada kue kering di hadapannya.

Jungwon menggeleng seraya mengambil tangan kiri Sunoo dan menggenggam jemarinya perlahan sebelum menjalankan jemarinya perlahan di sepanjang lengan bawah yang lebih tua.

“Are you happy?”

Semua tawa dan percakapan yang ditukar tadi menghilang dan hanya terdengar seperti tengah diredam ke dalam air di pendengaran Sunoo sekarang ketika pertanyaan tersebut mengudara.

Rasanya seperti ada satu lagi tangan yang terulur ke balik pintu yang sudah membuka tersebut. Sekarang, pilihannya hanyalah apakah ia akan menyingkirkan kembali tangan tersebut dan menutup rapat kembali pintunya—atau menerima uluran tangan tersebut.

Sunoo tersenyum padanya.

“Senang. Senang sekali.”

“How about we decorate the house?”

Sunoo yang baru saja meraih beberapa macam bungkus bumbu dari rak swalayan menoleh pada Jungwon yang berdiri di sisi kanan troli, memainkan pinggiran troli dengan kedua tangannya.

“Tiba-tiba?” tanyanya heran, seraya menaruh beberapa bungkus tersebut ke dalam troli belanja mereka. “Jangan-jangan kamu daritadi diam dan kelihatan kayak mau ngomong karena mau ngomong soal ini?” tudingnya, menatap Jungwon dengan satu alis yang naik.

Senyuman yang menampakkan deret gigi yang lebih muda menuai tawa geli dari Sunoo. Semenjak pria tersebut jatuh sakit beberapa minggu yang lalu, banyak sekali sisi-sisi baru darinya yang kadang mengingatkan Sunoo bahwa pria tersebut memang lebih muda darinya. Sebab, pada banyak okasi, Jungwon seringkali bersikap lebih dewasa darinya, buat Sunoo kadang lupa pada fakta tersebut.

“Supaya meriah,” ujar Jungwon masih tersenyum nyengir, buat Sunoo mengulum senyumnya, “aku mau makan malam ini jadi pesta kecil yang mengesankan buat kamu.”

Kalimat itu membuat Sunoo menatapnya terkejut, membuat Jungwon tersenyum lembut padanya.

“Just figuring out, you never had any of these things while you always love christmas,” ujar Jungwon berjalan mendekat ke arah Sunoo dan mengambil tempat di sampingnya, “i want you too love christmas even more by this.” Tangan kanannya diletakkan pada pendorong troli sementara tangan kirinya berlari naik untuk mengusap tengkuk belakang Sunoo perlahan sebelum diturunkan dan meraih tangan kanan Sunoo untuk dibawa ke dalam genggam dan menyeretnya untuk mendorong troli bersama.

“You don't have to do that.” Sunoo menyamakan langkahnya yang sempat tertinggal kendati tangannya telah berada dalam genggam Jungwon, “you already did a lot for me already.”

“I want you to enjoy your life that you don't have before.”

Ini.

Hal-hal seperti ini yang buat Sunoo selalu merasa bahwa Jungwon lebih dewasa darinya.

Pada awalnya, dari berbagai macam makanan-makanan yang diperkenalkannya ataupun aktivitas-aktivitas dan kebiasaan baru—Sunoo pikir semua itu hanya karena Jungwon miliki lebih banyak pengalaman, lebih banyak kebebasan, juga banyak petualangan yang sudah dilaluinya dalam hidup. Sehingga ketika Sunoo diajaknya meniti satu-persatu menjejaki rumput dengan kaki telanjang, maka pria tersebut selalu mengutamakan semua yang bersangkutan dengannya.

“I want you to be happy.”

Akan tetapi, semakin pernikahan mereka berjalan lebih jauh, Sunoo menyadari bahwa pria ini bisa lakukan apapun untuk memastikan bumi dapat bekerja sesuai yang diinginkannya—dan itu dilakukan untuknya.

“But you don't have do everything like this. I can't give you back everything you already did for me.”

Sebab, sampai hari ini pun Sunoo masih berpikir bahwa seluruh cinta dan kebaikan Jungwon hanya akan berujung pada sesuatu yang tidak memberikan dirinya apapun sebagai timbal balik. Sunoo tidak punya apapun yang berharga yang mampu ia berikan kepada Jungwon sama seperti apa yang pria itu selalu berikan untuknya.

“Aku enggak butuh itu,” tawa Jungwon sembari membelokkan troli mereka menuju bagian makanan beku.

“Aku mau kamu hidup untuk hidupmu sendiri, this is your first life too, like me.”

Akan tetapi, ini juga pertama kalinya ada seseorang yang berulang kali mengulurkan tangannya untuk membuka pintu yang ditutupnya rapat selama ini. Meskipun ia sudah berulang kali pula coba dorong jauh tangan tersebut, agar ia bisa tetap berada di balik pintu tersebut‎—meringkuk dalam hidupnya yang tidak akan pernah cukup untuk mengisi bagian hidup orang lain.

“Now you live with me, i'll make sure you live your life the happiest ever.”

Sunoo menoleh dan tersenyum pada Jungwon sebelum mengangguk.

“Sure, let's do that.”

“Kamu selalu cuci kaki setiap mau tidur?”

Sunoo yang sedang mengeringkan kakinya di depan pintu kamar mandi kamar Jungwon—sekarang Jungwon senang memanggilnya sebagai kamar mereka berdua—menoleh pada Jungwon yang sudah meringkuk lebih dulu di dalam selimut.

“Iya,” jawabnya seraya berjalan mendekat sebelum ikut naik ke atas kasur, “biar enggak berasa kotor aja sebenarnya.”

Jungwon mengangguk-angguk, tangannya terangkat untuk membetulkan letak selimut bagian Sunoo agar menutup tubuhnya menyentuh hingga tepat di bawah dagunya. Kemudian memperhatikan lekat-lekat setiap inci bagian wajahnya, yang tentu saja menarik atensi Sunoo.

“Ada sisa pasta gigi kah di mukaku?”

Kali ini Jungwon tertawa, “enggak, i'm just looking,” ujarnya.

Sunoo berjengit terkejut ketika di dalam selimut tangan Jungwon mampu menemukan tangannya yang sudah terulur sedikit untuk digenggam oleh yang lebih muda. Namun, keterkejutan itu tidak berlangsung lama, Sunoo tersenyum lembut ke arah Jungwon yang sudah lebih dahulu tersenyum ke arahnya.

Kasur yang ada di kamar mereka sedikit lebih kecil jika dibandikan dengan kasur yang ada di kamar Sunoo di rumah neneknya. Sehingga, jarak yang masih tercipta di antara mereka menjadi lebih kecil dibanding seelumnya, membuat Sunoo dan Jungwon tidak perlu mengulurkan tangan mereka terlalu banyak.

“Jungwon,” panggil Sunoo perlahan, ketika Jungwon menggumamkan hmmm pendek sebagai jawaban karena kantuk sudah mulai menguasainya, baru Sunoo melanjutkan, “jangan sakit lagi, ya....” Yang lebih tua menggigit bibir bawahnya sebentar sebelum melanjutkan, “it pains me too lihat kamu sakit, jangan sungkan buat minta sesuatu sama aku. Apapun itu.”

Dengan susah payah, sebab ia tengah berbaring menyamping, Jungwon mengangguk, “kamu juga, ya. Kamu selalu bisa bilang soal apapun ke aku.” Jungwon berdeham sebentar, “let's tell each other about anything after this, should we?”

Hening yang menenangkan mengisi atmosfir mereka, deru nafas yang tenang dari Jungwon terdengar mengisi ruangan mereka. Sunoo memperhatikan bagaimana kedua kelopak mata tersebut sedang mati-matian menahan kantuk agar ia bisa mengobrol lebih banyak lagi dengan Sunoo saat ini. Sementara Sunoo sedang berusaha memproses permintaan sederhana dari suaminya tersebut.

Benar. Mereka adalah sepasang suami, lalu mengapa hal tersebut terasa sulit untuk Sunoo?

Sunoo menghela nafas perlahan. Berusaha mengolah maksud dari permintaan Jungwon yang masih mati-matian menahan kantuknya. Sebab, semakin ia mencoba menangkap maksudnya, maka yang bisa Sunoo dapat sebagai jawaban di dalam kepalanya adalah—bahwa Jungwon sedang membuat ruang untuk ia ambil tempat di dalam hidupnya.

And it wasn't supposed to be like that.

Sunoo pikir, mungkin sekarang ia tengah hanyut dan menganggap dalam beberapa saat di dalam kepalanya bahwa ia adalah orang yang pantas untuk mengisi ruang tersebut.

When he's not the right person.

“Go to sleep, Jungwon,” bisiknya.

Dengan begitu, kedua kelopak mata Jungwon yang sudah menyerah akhirnya menutup perlahan dan Jungwon perlahan mulai larut ke dalam dunia kapuk bersama dengan pertanyaan yang belum terjawab dengan eksplisit oleh Sunoo.

Because he doesn't worth for someone's else life and that space should be filled by someone that worth of Jungwon's kindness and love.

Semuanya terasa seperti mimpi ketika demam menyerang.

Setidaknya, itu benar-benar terjadi pada Jungwon—yang entah sejak pukul berapa sudah terbaring lemah di atas kasurnya sendiri, dengan pengalaman nol besar mengurus diri sendiri ketika sakit. Diantarkan dengan rasa sakit yang sudah merayapi tubuhnya semenjak sore dan semakin parah dengan beranjaknya pergantian hari, tidak hanya tubuhnya yang terasa dibakar, tetapi perutnya ikut antarkan gelenyar sakit yang tidak nyaman. Namun, pada akhirnya Jungwon dapat terlelap hanya untuk rasa sakit tersebut menerpa di dalam tidur.

Sialan, lah.

Yang kemudian ia tidak benar-benar tahu apa yang terjadi, tetapi dalam kabut ingatannya hanyalah suara ketukan beberapa kali di pintu kamarnya sebelum kamarnya—yang tidak pernah dikunci—dibuka dan namanya dipanggil perlahan.

“Jungwon?”

Ah. Suara itu.

Sehingga kemudian yang diingatnya pula, ia membuka kedua matanya susah payah dan berusaha untuk bangun dari posisinya yang meringkuk di dalam selimutnya, tetapi ia bisa ingat dengan jelas rentetan namanya yang dipanggil dengan nada khawatir juga telapak tangan yang terasa dingin menyapa keningnya.

“Astaga—”

Nada panik itu yang didengarnya ketika kemudian yang bisa ia rasakan adalah tubuhnya dibopong dan dipaksa berdiri—yang mana cukup sulit sebab rasa perih di perutnya menjadi-jadi, buat ia bisa mendengar Sunoo bertanya dengan panik dan khawatir.

“Perutnya sakit juga? Astaga Tuhan, Jungwon—” Jungwon bisa merasakan bagaimana jari-jari Sunoo melingkupi miliknya dan tangannya yang lain membantunya mempertahankan postur tubuh, “—tahan sebentar sampai ke mobil. Kita ke rumah sakit sekarang.”

Ingatannya berhenti di sana ketika kemudian ia membuka matanya perlahan dan cahaya matahari menelisik masuk mencapa indra penglihatannya melalui sisi-sisi gorden yang tidak menutup jendela kamar dengan sempurna. Jungwon menarik tubuhnya untuk duduk bersandar, tidak sepenuhnya mampu duduk sebab kasurnya belum dibetulkan letaknya.

Ini bukan kamarnya.

Akan tetapi, Jungwon tidak bodoh untuk mengetahui dimana ia berada sekarang. Rumah sakit. Jelas. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah dimana suaminya?

Pertanyaan tersebut terjawab ketika didengarnya pintu kamar yang membuka dan langsung menampilkan eksistensi Sunoo yang membawa dua buah tas jinjing di tangannya—berisi kebutuhannya, Jungwon tebak—yang kemudian kedua netra mereka saling tatap sebelum kemudian Jungwon memejamkan matanya erat, siap untuk mendengarkan segala ceramah yang biasa ia dapatkan setiap kali dirinya lalai dengan kesehatannya.

“Kamu sudah bangun. Gimana rasanya sekarang? Jauh lebih enak? Perutnya masih sakit?”

Alih-alih omelan yang menuding ke arahnya, yang didapatinya ketika ia membuka netranya lagi adalah Sunoo yang berjalan ke arahnya dan meletakkan tas tersebut di dalam lemari dekat kasurnya sebelum menarik kursi dan duduk tepat di sebelah ranjangnya.

“Enggak terlalu, sih....”

“Nanti dokternya datang visite, kayaknya sih around setelah makan siang, tapi tadi di IGD katanya kamu bisa jadi radang usus. Terus kamu disarankan rawat inap, jadi di sini deh kamu,” ujar Sunoo, kali ini keningnya mengerut khawatir. “Sama katanya kamu dehidrasi, itu aku enggak terlalu mengerti,” tambahnya lagi.

“I'll be fine.”

“Kamu juga bilang begitu setiap kali aku tanya, Jungwon,” ujar cepat menghela nafasnya, “terus sekarang kamu harus rawat inap—” Ia mulai mengomel seraya menurunkan pembatas sisi ranjang, “—fine darimananya, sih, itu,” ujarnya melirih di ujung kalimat.

Kali ini Jungwon tertawa, kemudian meringis ketika merasakan rasa nyeri mulai bergelanyar di perutnya— buat Sunoo mengerutkan keningnya khawatir, “jangan aneh-aneh dulu, ah! Kamu diam dulu, nanti makin sakit!” ujarnya panik seraya menggeser kursinya untuk mendekat ke arah ranjang Jungwon kemudian ikut menyentuh perut Jungwon yang masih ditutupi selimut.

“Sakit banget enggak?” tanyanya khawatir.

Jungwon tersenyum dan menggeleng, “enggak, cuman karena tadi ketawa aja kayaknya,” ujarnya memberikan reasuransi pada Sunoo.”

Kemudian tangannya meraih jemari Sunoo yang ada di atas selimutnya dan dibawa ke dalam sebuah genggaman, “aku pinjam tangannya sebentar, ya?” pintanya lembut pada Sunoo—yang dijawab dengan anggukan dan kepala yang lebih tua diletakkan di sisi ranjang dengan wajah yang menghadap pada Jungwon sementara jari-jarinya diremat perlahan oleh yang lebih muda.

“Kata dokter juga kamu bisa jadi kelelahan, aku bilang kamu kesulitan tidur akhir-akhir ini,” ujarnya lirih, memperhatikan wajah Jungwon inci demi inci sebelum menghela nafasnya, “you look so pale, it's concerning.”

Jungwon tersenyum dan mengusap punggung tangan yang ada di genggamannya, “namanya juga sakit, 'kan?” ujarnya, “aku diminta bed rest kah?”

Sunoo mengangguk susah payah dengan posisinya sekarang, “berarti kamu mengajukan cuti sakit?” tanya Sunoo.

“Iya,” jawab Jungwon, “nanti mungkin harus minta keterangan sakit,” ujarnya lagi.

Sunoo hanya menjawab dengan dengung sebelum kemudian keduanya jatuh dalam hening yang menenangkan. Ia masih sibuk memperhatikan wajah Jungwon, terutama pada bagian sekitar matanya, membuatnya menghela nafas berat. Jungwon, pada saat beginipun, masih bisa tersenyum padanya sembari jari-jarinya memainkan milik Sunoo yang masih ada di atas perutnya.

“Aku betulan enggak papa,” ujar Jungwon lagi, tangannya yang bebas bergerak sentuh kening Sunoo yang tidak berhenti mengerut sedari tadi dan mengusapnya lembut menggunakan ibu jarinya, “stop worrying about me,” ujarnya.

“Only weird people who don't get worried about his husband yang harus bed rest,” gerutunya pelan, membuat Jungwon tertawa pelan—cukup hati-hati sebab takut menyakiti dirinya sendiri lagi dan membuat Sunoo lebih khawatir dari yang sekarang.

“Actually—” Sunoo memulai, “i have something to say.”

“You can always tell me anything.”

Sunoo mengangguk pada reasuransi yang diberikan oleh Jungwon, mungkin itu dikatakan oleh yang lebih muda karena ia terlihat ragu. Mungkin juga karena Jungwon memang selalu sebaik itu padanya.

“Aku—” Sunoo memulai, menelan salivanya susah payah, “—sebenarnya aku juga kesulitan tidur beberapa hari belakangan, tapi enggak separah kamu.... Aku enggak biasa terlalu capek, jadi capek sedikit aku bisa tidur and i've been trying to tired myself dengan baca jurnal dan sebagainya, tapi kayaknya kamu enggak bisa kayak gitu, that's why you got it worst than me.”

Jungwon mendengarkan dengan atentif sementara Sunoo kemudian menarik tubuhnya untuk kembali duduk, tetapi dengan tubuh yang condong ke depan dan bagian dadanya menempel pada sisi ranjang sementara tangannya yang lain turut ditarik Jungwon ke dalam genggamannya.

“Awalnya aku juga enggak begitu mengerti, tapi aku coba bicara sama Kak Jake dan Kak Sunghoon untuk dibantu—” Kali ini Sunoo meragu. Ia menggigiti bibir bawahnya sebelum membuka dan menutup bilah bibirnya bergantian. “—aku enggak tahu apakah penyebab punyamu sama seperti aku atau enggak, tapi—”

Should i say it? Or should i not?

“Hey, easy there, tarik nafasnya, Sunoo,” ujar Jungwon pelan seraya jari-jari tangannya sibuk mengusap punggung tangan Sunoo dan memainkan jari-jari yang lebih tua untuk menenangkannya, “take your time.”

Sunoo menarik nafasnya dan menghela nafasnya perlahan kemudian melanjutkan, “—tapi Kak Jake dan Kak Sunghoon bilang..., kayaknya aku enggak bisa tidur because you're not there with me....” Ia melarikan pandangannya, tidak berani menatap Jungwon yang kini sudah menatapnya lurus.

Sunoo jelas tidak bisa mengatakan ini dengan gamblang. Sebab, bagaimana seseorang bisa miliki hati yang begitu baik dan cinta yang begitu banyak, tetapi terima-terima saja harus hidup bersamanya yang bahkan.... Bahkan tidak sepenuhnya pantas untuk seseorang.

And he's about to take advantage over that kindness. How could he be normal about this?

Yang tidak disangkanya adalah sebuah tawa yang meluncur dari belah bibir Jungwon sekarang. Sebenarnya, Sunoo tidak peduli apabila alasannya memalukan dan terkesan membuatnya terlihat manja, sebab semuanya telah tenggelam dengan kekhawatirannya tentang apa yang akan Jungwon lakukan—hidup bersama dengannya hampir enam bulan lamanya membuat Sunoo kadang khawatir apabila pria yang berstatus sebagai suaminya tersebut mau melakukan apa saja untuk memastikan ia tetap hidup dengan nyaman.

Sunoo, jelas saja, tidak mau bergantung terlalu banyak pada seseorang yang terjebak untuk hidup bersamanya.

“Sunoo—” Ia berusaha menghabiskan tawanya, “Oh God, seharusnya—” Tawanya mereda perlahan, “—kalau tahu kamu juga sama, aku akan bilang lebih dulu daripada kamu.”

Sunoo mengerjapkan kedua matanya dan kembali menoleh pada Jungwon, ia membalas tatapan lurus suaminya tersebut, berusaha mengerti kalimat yang diucapkan Jungwon.

“Alasanku enggak bisa tidur juga karena you're not around,” kekeh Jungwon, “kayaknya, aku terbiasa tidur sama kamu, lihat muka kamu sebelum tidur, and waking up seeing your face first,” tawanya sembari meremat jari-jari Sunoo dengan lembut, “dan megang tanganmu gini juga,” finalnya masih dengan tawa di ujung kalimatnya.

“And i definitely got it worst.”

Kali ini giliran Jungwon yang mengerutkan keningnya khawatir ketika air wajah Sunoo yang berubah dalam hitungan detik. Pria tersebut menatapnya dengan sendu dengan bibir yang sedikit melengkung bentuk kurva terbalik.

“Hey, hey— Kenapa?” tanyanya.

“Kalau—” Sunoo menarik nafasnya, “—andai aku sadarnya lebih cepat, kamu enggak harus kesulitan tidur berhari-hari lamanya sampai sakit begini....” Ia kembali berujar, “kamu sadarnya sudah lama.... Tapi pasti enggak enak buat ngomong ke aku, sedangkan aku menjalani hari kayak enggak ada apa-apa, i'm torturing you....”

“Jungwon sakit karena aku....”

Jungwon memperhatikan bagaimana kedua netra itu menatapnya dengan kilat rasa bersalah, membuatnya terhenyak di tempatnya.

Ia buru-buru mengusap lembut punggung tangan Sunoo, merambat naik hingga ke lengan bawahnya. Usapan tersebut bersifat untuk menenangkan sementara ia menggeleng dan mulai bicara.

“None of this are your fault, sweetcheeks,” ujar Jungwon, mengangkat satu tangannya yang tidak dipasangi infus. “Ini cuman karena kita yang enggak ngomong ke satu sama lain,” ujar Jungwon seraya menangkup sisi wajah Sunoo dengan satu tangannya.

“Please don't blame yourself,” pinta Jungwon dengan lembut, “we'll work on this later, okay?” bujuknya.

“Okay.”

Because, it takes two to tango.

“Pare-nya pahit banget, ya?”

Jungwon tertawa pelan sembari membersihkan telapak tangannya yang baru saja menerima lepehan pare dari Sunoo setelah menyuapkan sayuran pahit tersebut ke dalam mulut suaminya.

“Kamu masih bisa nelan kemangi, tapi kalau ini benar-benar enggak suka ya?” tanyanya lagi seraya menyodorkan segelas air putih kepada Sunoo yang menerimanya dan buru-buru menenggaknya.

“Pahit banget....” Sunoo mengeluh seraya masih berupaya mengecap sisa rasa pahit yang tertinggal di dalam mulutnya, “maaf ya, jadi ngelepeh di tangan kamu....”

Jungwon menggeleng sembari tersenyum, “enggak papa,” ujarnya, tangannya bergerak untuk mengambil pare di dalam sterofoam milik Sunoo menggunakan sendoknya untuk dipindahkan ke miliknya sebelum kemudian memasukkan dua buah siomaynya ke dalam sterofoam Sunoo tanpa pria itu memperhatikan.

“Sudah aku pindahin parenya, kamu makan siomay sama tahunya aja,” tutur Jungwon, mengangguk ketika Sunoo kembali berujar terima kasih.

Jungwon lebih dahulu menyuapkan siomay miliknya ke dalam mulut, sebelum memperhatikan Sunoo melakukan hal yang sama.

Dan ini adalah bagian favoritnya pada setiap okasi makan bersama mereka adalah memperhatikan perubahan ekpresi Sunoo.

Sebab, semuanya terasa sepadan dan menyenangkan.


“Jadi karena kemarin mainannya Jia yang ketinggalan jadi penyelamat buat pasien anak itu, kamu kepikiran nambahin perintilan mainan anak di klinik?”

“Iya, would be nice and helpful, anak-anak juga jadinya enggak takut kalau ke klinik.”

Sisa-sisa sampah makanan dibiarkan berada di atas meja sementara Jungwon duduk di atas sofa dengan segelas kopi yang baru dibuatnya tadi. Sunoo duduk tepat di sebelahnya, tetapi di atas karpet lantai dan bersandar pada kaki sofa dengan tablet di atas pangkuannya yang menunjukkan beberapa desain interior klinik gigi yang ditunjukkannya pada Jungwon.

“Terus? Jadinya kamu mau taruh mainannya di mana? Kalau di dalam ruang praktek apa enggak terlalu penuh?”

Sunoo menjawab dengan dengung bingung sebelum membuka aplikasi untuk mencatat secara digital dan menuliskan beberapa hal di sana, “mungkin—” Ia mulai menjawab, “beberapa ditaruh di ruang tunggu, tapi enggak banyak, toh klinik aku enggak ada spesialis dokter gigi anaknya, jadi enggak banyak pasien anak yang datang—” ceritanya, menuliskan beberapa hal yang tidak dapat Jungwon lihat dari tempatnya duduk.

“Nanti di dalam ruangan, cuman mainan-mainan kecil aja, kayak mobil-mobilan kecil atau boneka.” Sunoo kembali mencatat apa yang ia jelaskan pada Jungwon kemudian sedikit mendongak untuk menatap yang lebih muda—lebih dahulu sudah mencondongkan tubuhnya ke arah Sunoo untuk melihat ke arah tabletnya.

“Gimana? Berlebihan enggak ya? Terlalu rame?” ujarnya dengan nada khawatir dan mulai menggigit bibir bawahnya, “takutnya malah jadi sesak,” tambahnya lagi.

Sedari tadi ia tengah membicarakan untuk menambahkan beberapa peralatan tambahan—seperti aksesoris, tetapi dengan fungsi tentu saja, berupa mainan anak-anak. Sebab beberapa hari yang lalu, ketika ia tengah menangani pasien anak yang baru pertama kali datang ke sana, mainan Jia yang tertinggal di klinik membantunya untuk mengambil alih perhatian sang anak selama ia melakukan pemeriksaan.

“Do whatever that makes you happy, Sunoo.”

Dengan kalimat itu, Sunoo tersenyum lebar sebelum kemudian kembali pada beberapa laman website yang memberikannya beberapa contoh desain interior klinik anak. Ia tidak akan menyulap kliniknya sepenuhnya menjadi seperti klinik anak kebanyakan, tetapi hanya mengambil beberapa inspirasi yang mungkin membantu.

“Ah iya—” Ia mendongak lagi, menatap Jungwon yang masih merunduk, “—kamu terakhir ke dokter gigi kapan?”

Jungwon menimang-nimang sebentar, berusaha mengingat sebelum menjawab, “terakhir kayaknya sebelum kita nikah deh. Harusnya, ya.”

Sebenarnya, ia juga tidak tahu kenapa, tetapi Sunoo bisa rasakan perutnya digelitik hangat dengan jawaban tersebut.

“Kalau gitu, bulan Januari aku cek kamu yaaa,” ujarnya kemudian kali ini sibuk dengan spreadsheet yang dibukanya, menambahkan nama Jungwon ke dalam daftar pasien di bulan Januari. “No need to go to other dentist, kecuali aku lagi enggak bisa,” tambahnya lagi.

Jungwon yang mengintip dari samping kepala Sunoo berdecak kagum melihat betapa terorganisirnya segala hal yang berhubungan dengan pekerjaannya.

“Kamu ngatur itu semua sendirian?”

Sunoo tertawa dan menggeleng, “enggak, dong. Itu dibantu sama Kak Jake, Kak Sunghoon, sama Mba Gowon,” jawabnya, menoleh untuk melihat ke arah Jungwon yang wajahnya tepat berada di sebelah kepalanya, sebab pria tersebut merunduk untuk dapat melihat isi tablet tersebut dengan leluasa. “Mau lihat?” tanyanya.

Dengan satu anggukan dari Jungwon, maka Sunoo mengubah sedikit posisi tubuhnya agar sedikit menyerong ke arah kanan—tempat Jungwon berada—kemudian menggeser tabletnya dan memastikan agar Jungwon bisa melihatnya dengan nyaman.

“Ini daftar jadwal pasien yang sudah buat appointment,” tunjuknya pada salah satu sheet yang menunjukkan tanggal, waktu, dan nama pasien. Kemudian jemarinya bergerak lincah untuk mengganti pada sheet lainnya, “kalau ini daftar pasien yang fiks datang untuk perawatan dan perawatannya apa—sama total bayarnya juga dan obat yang diresepkan apa,” jelasnya lagi.

Sunoo larut dalam penjelasannya terhadap hal-hal yang berhubungan dengan administrasi dan pencatatan dari kliniknya—hingga ia tidak menyadari bahwa yang diajak bicara sudah hilang fokusnya sedari tadi. Memperhatikan Sunoo membicarakan hal-hal yang membuatnya bersemangat selalu menjadi pemandangan paling menyenangkan bagi Jungwon dalam beberapa bulan belakangan. Ia mampu tersenyum lebar dan memamerkan dua ceruk di pipinya hanya dengan mendengarkan dan memperhatikan setiap perubahan ekspresi yang dibuat Sunoo setiap kali suaminya tersebut sudah mulai mengoceh tentang hal-hal yang kebanyakan tidak dimengertinya.

Akan tetapi, Jungwon selalu berusaha untuk mengerti setelahnya.

Yang tanpa Jungwon sadari, terkadang, di saat-saat seperti ini otaknya tidak bekerja dengan kesadaran penuh. Sebab, mana ia sadar kalau tangannya sudah bergerak sendirinya untuk singkirkan anak rambut yang jatuh di kening Sunoo dengan perlahan sembari tidak memutus barang sedetikpun tatapnya pada yang lebih tua.

Akan tetapi, jelas gerakan kecil dari Jungwon tersebut ambil atensi suaminya, buat Sunoo menoleh ke arahnya sembari berujar, “maaf aku kebanyakan ngomong, ya—” Kemudian menahan nafas ketika wajah Jungwon hanya berjarak beberapa senti dari wajahnya, kalau Sunoo bergerak satu senti saja mungkin hidungnya sudah bersentuhan dengan ujung hidung bangir milik Jungwon.

Atensinya berubah lagi ketika disadarinya kedua kantung mata yang menghitam itu masih ada di sana—yang artinya Jungwon jelas belum pulih dan bisa saja masih mengalami kesulitan untuk tidur.

Jarinya naik untuk sentuh kantung mata tersebut sementara Jungwon tersenyum dengan perlakuan tersebut. “Kamu capek banget kelihatannya,” lirih Sunoo, berbisik pelan sebab Jungwon berada sangat dekat dengannya.

“Dan kamu selalu kelihatan cantik kalau seperti ini.”

Sunoo membuka bilah bibirnya kemudian menutupnya lagi. Kehabisan kata untuk diucap ketika ia mendengar setiap kata yang baru saja diucapkan Jungwon dalam sebuah bisik langsung di depan kedua bilah bibirnya. Yang kemudian Sunoo kembali menahan nafasnya ketika dirasanya ujung hidung Jungwon menyentuh ujung hidungnya—dan matanya kemudian memejam erat, entah mengantisipasi apa yang terjadi.

“J—Jungwon—”

Dengan itu, ia bisa merasakan rasa sesak yang menarik seluruh oksigen dari jalur nafasnya kembali ketika Jungwon menghela nafasnya pelan tepat di depan bilah bibirnya. Ia membuka kembali matanya dan bisa melihat Jungwon tersenyum dengan cara paling lembut padanya—mengirimkannya sinyal yang diolah menjadi denyut menyenangkan yang antarkan gelenyar pada setiap inci tubuhnya.

Ia menarik nafas tertahan ketika Jungwon menjawil hidungnya dengan ujung hidung miliknya sendiri dua kali—mengusakkan hidung keduanya sebelum menarik mundur tubuhnya ke posisi semula, meninggalkan Sunoo yang memeluk erat tabletnya seraya menggigiti bibir bawahnya setelah memalingkan wajah ke arah lain.

Sementara, Jungwon sendiri mengais oksigen sebanyak-banyaknya sembari mengepalkan kedua tangan di sisi tubuhnya. Berusaha mengusir segala macam pikiran dan rencana yang bisa saja ia lakukan dari dalam kepalanya sekarang.

Mungkin, lain kali.