Semuanya terasa seperti mimpi ketika demam menyerang.
Setidaknya, itu benar-benar terjadi pada Jungwon—yang entah sejak pukul berapa sudah terbaring lemah di atas kasurnya sendiri, dengan pengalaman nol besar mengurus diri sendiri ketika sakit. Diantarkan dengan rasa sakit yang sudah merayapi tubuhnya semenjak sore dan semakin parah dengan beranjaknya pergantian hari, tidak hanya tubuhnya yang terasa dibakar, tetapi perutnya ikut antarkan gelenyar sakit yang tidak nyaman. Namun, pada akhirnya Jungwon dapat terlelap hanya untuk rasa sakit tersebut menerpa di dalam tidur.
Sialan, lah.
Yang kemudian ia tidak benar-benar tahu apa yang terjadi, tetapi dalam kabut ingatannya hanyalah suara ketukan beberapa kali di pintu kamarnya sebelum kamarnya—yang tidak pernah dikunci—dibuka dan namanya dipanggil perlahan.
“Jungwon?”
Ah. Suara itu.
Sehingga kemudian yang diingatnya pula, ia membuka kedua matanya susah payah dan berusaha untuk bangun dari posisinya yang meringkuk di dalam selimutnya, tetapi ia bisa ingat dengan jelas rentetan namanya yang dipanggil dengan nada khawatir juga telapak tangan yang terasa dingin menyapa keningnya.
“Astaga—”
Nada panik itu yang didengarnya ketika kemudian yang bisa ia rasakan adalah tubuhnya dibopong dan dipaksa berdiri—yang mana cukup sulit sebab rasa perih di perutnya menjadi-jadi, buat ia bisa mendengar Sunoo bertanya dengan panik dan khawatir.
“Perutnya sakit juga? Astaga Tuhan, Jungwon—” Jungwon bisa merasakan bagaimana jari-jari Sunoo melingkupi miliknya dan tangannya yang lain membantunya mempertahankan postur tubuh, “—tahan sebentar sampai ke mobil. Kita ke rumah sakit sekarang.”
Ingatannya berhenti di sana ketika kemudian ia membuka matanya perlahan dan cahaya matahari menelisik masuk mencapa indra penglihatannya melalui sisi-sisi gorden yang tidak menutup jendela kamar dengan sempurna. Jungwon menarik tubuhnya untuk duduk bersandar, tidak sepenuhnya mampu duduk sebab kasurnya belum dibetulkan letaknya.
Ini bukan kamarnya.
Akan tetapi, Jungwon tidak bodoh untuk mengetahui dimana ia berada sekarang. Rumah sakit. Jelas. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah dimana suaminya?
Pertanyaan tersebut terjawab ketika didengarnya pintu kamar yang membuka dan langsung menampilkan eksistensi Sunoo yang membawa dua buah tas jinjing di tangannya—berisi kebutuhannya, Jungwon tebak—yang kemudian kedua netra mereka saling tatap sebelum kemudian Jungwon memejamkan matanya erat, siap untuk mendengarkan segala ceramah yang biasa ia dapatkan setiap kali dirinya lalai dengan kesehatannya.
“Kamu sudah bangun. Gimana rasanya sekarang? Jauh lebih enak? Perutnya masih sakit?”
Alih-alih omelan yang menuding ke arahnya, yang didapatinya ketika ia membuka netranya lagi adalah Sunoo yang berjalan ke arahnya dan meletakkan tas tersebut di dalam lemari dekat kasurnya sebelum menarik kursi dan duduk tepat di sebelah ranjangnya.
“Enggak terlalu, sih....”
“Nanti dokternya datang visite, kayaknya sih around setelah makan siang, tapi tadi di IGD katanya kamu bisa jadi radang usus. Terus kamu disarankan rawat inap, jadi di sini deh kamu,” ujar Sunoo, kali ini keningnya mengerut khawatir. “Sama katanya kamu dehidrasi, itu aku enggak terlalu mengerti,” tambahnya lagi.
“I'll be fine.”
“Kamu juga bilang begitu setiap kali aku tanya, Jungwon,” ujar cepat menghela nafasnya, “terus sekarang kamu harus rawat inap—” Ia mulai mengomel seraya menurunkan pembatas sisi ranjang, “—fine darimananya, sih, itu,” ujarnya melirih di ujung kalimat.
Kali ini Jungwon tertawa, kemudian meringis ketika merasakan rasa nyeri mulai bergelanyar di perutnya— buat Sunoo mengerutkan keningnya khawatir, “jangan aneh-aneh dulu, ah! Kamu diam dulu, nanti makin sakit!” ujarnya panik seraya menggeser kursinya untuk mendekat ke arah ranjang Jungwon kemudian ikut menyentuh perut Jungwon yang masih ditutupi selimut.
“Sakit banget enggak?” tanyanya khawatir.
Jungwon tersenyum dan menggeleng, “enggak, cuman karena tadi ketawa aja kayaknya,” ujarnya memberikan reasuransi pada Sunoo.”
Kemudian tangannya meraih jemari Sunoo yang ada di atas selimutnya dan dibawa ke dalam sebuah genggaman, “aku pinjam tangannya sebentar, ya?” pintanya lembut pada Sunoo—yang dijawab dengan anggukan dan kepala yang lebih tua diletakkan di sisi ranjang dengan wajah yang menghadap pada Jungwon sementara jari-jarinya diremat perlahan oleh yang lebih muda.
“Kata dokter juga kamu bisa jadi kelelahan, aku bilang kamu kesulitan tidur akhir-akhir ini,” ujarnya lirih, memperhatikan wajah Jungwon inci demi inci sebelum menghela nafasnya, “you look so pale, it's concerning.”
Jungwon tersenyum dan mengusap punggung tangan yang ada di genggamannya, “namanya juga sakit, 'kan?” ujarnya, “aku diminta bed rest kah?”
Sunoo mengangguk susah payah dengan posisinya sekarang, “berarti kamu mengajukan cuti sakit?” tanya Sunoo.
“Iya,” jawab Jungwon, “nanti mungkin harus minta keterangan sakit,” ujarnya lagi.
Sunoo hanya menjawab dengan dengung sebelum kemudian keduanya jatuh dalam hening yang menenangkan. Ia masih sibuk memperhatikan wajah Jungwon, terutama pada bagian sekitar matanya, membuatnya menghela nafas berat. Jungwon, pada saat beginipun, masih bisa tersenyum padanya sembari jari-jarinya memainkan milik Sunoo yang masih ada di atas perutnya.
“Aku betulan enggak papa,” ujar Jungwon lagi, tangannya yang bebas bergerak sentuh kening Sunoo yang tidak berhenti mengerut sedari tadi dan mengusapnya lembut menggunakan ibu jarinya, “stop worrying about me,” ujarnya.
“Only weird people who don't get worried about his husband yang harus bed rest,” gerutunya pelan, membuat Jungwon tertawa pelan—cukup hati-hati sebab takut menyakiti dirinya sendiri lagi dan membuat Sunoo lebih khawatir dari yang sekarang.
“Actually—” Sunoo memulai, “i have something to say.”
“You can always tell me anything.”
Sunoo mengangguk pada reasuransi yang diberikan oleh Jungwon, mungkin itu dikatakan oleh yang lebih muda karena ia terlihat ragu. Mungkin juga karena Jungwon memang selalu sebaik itu padanya.
“Aku—” Sunoo memulai, menelan salivanya susah payah, “—sebenarnya aku juga kesulitan tidur beberapa hari belakangan, tapi enggak separah kamu.... Aku enggak biasa terlalu capek, jadi capek sedikit aku bisa tidur and i've been trying to tired myself dengan baca jurnal dan sebagainya, tapi kayaknya kamu enggak bisa kayak gitu, that's why you got it worst than me.”
Jungwon mendengarkan dengan atentif sementara Sunoo kemudian menarik tubuhnya untuk kembali duduk, tetapi dengan tubuh yang condong ke depan dan bagian dadanya menempel pada sisi ranjang sementara tangannya yang lain turut ditarik Jungwon ke dalam genggamannya.
“Awalnya aku juga enggak begitu mengerti, tapi aku coba bicara sama Kak Jake dan Kak Sunghoon untuk dibantu—” Kali ini Sunoo meragu. Ia menggigiti bibir bawahnya sebelum membuka dan menutup bilah bibirnya bergantian. “—aku enggak tahu apakah penyebab punyamu sama seperti aku atau enggak, tapi—”
Should i say it? Or should i not?
“Hey, easy there, tarik nafasnya, Sunoo,” ujar Jungwon pelan seraya jari-jari tangannya sibuk mengusap punggung tangan Sunoo dan memainkan jari-jari yang lebih tua untuk menenangkannya, “take your time.”
Sunoo menarik nafasnya dan menghela nafasnya perlahan kemudian melanjutkan, “—tapi Kak Jake dan Kak Sunghoon bilang..., kayaknya aku enggak bisa tidur because you're not there with me....” Ia melarikan pandangannya, tidak berani menatap Jungwon yang kini sudah menatapnya lurus.
Sunoo jelas tidak bisa mengatakan ini dengan gamblang. Sebab, bagaimana seseorang bisa miliki hati yang begitu baik dan cinta yang begitu banyak, tetapi terima-terima saja harus hidup bersamanya yang bahkan.... Bahkan tidak sepenuhnya pantas untuk seseorang.
And he's about to take advantage over that kindness. How could he be normal about this?
Yang tidak disangkanya adalah sebuah tawa yang meluncur dari belah bibir Jungwon sekarang. Sebenarnya, Sunoo tidak peduli apabila alasannya memalukan dan terkesan membuatnya terlihat manja, sebab semuanya telah tenggelam dengan kekhawatirannya tentang apa yang akan Jungwon lakukan—hidup bersama dengannya hampir enam bulan lamanya membuat Sunoo kadang khawatir apabila pria yang berstatus sebagai suaminya tersebut mau melakukan apa saja untuk memastikan ia tetap hidup dengan nyaman.
Sunoo, jelas saja, tidak mau bergantung terlalu banyak pada seseorang yang terjebak untuk hidup bersamanya.
“Sunoo—” Ia berusaha menghabiskan tawanya, “Oh God, seharusnya—” Tawanya mereda perlahan, “—kalau tahu kamu juga sama, aku akan bilang lebih dulu daripada kamu.”
Sunoo mengerjapkan kedua matanya dan kembali menoleh pada Jungwon, ia membalas tatapan lurus suaminya tersebut, berusaha mengerti kalimat yang diucapkan Jungwon.
“Alasanku enggak bisa tidur juga karena you're not around,” kekeh Jungwon, “kayaknya, aku terbiasa tidur sama kamu, lihat muka kamu sebelum tidur, and waking up seeing your face first,” tawanya sembari meremat jari-jari Sunoo dengan lembut, “dan megang tanganmu gini juga,” finalnya masih dengan tawa di ujung kalimatnya.
“And i definitely got it worst.”
Kali ini giliran Jungwon yang mengerutkan keningnya khawatir ketika air wajah Sunoo yang berubah dalam hitungan detik. Pria tersebut menatapnya dengan sendu dengan bibir yang sedikit melengkung bentuk kurva terbalik.
“Hey, hey— Kenapa?” tanyanya.
“Kalau—” Sunoo menarik nafasnya, “—andai aku sadarnya lebih cepat, kamu enggak harus kesulitan tidur berhari-hari lamanya sampai sakit begini....” Ia kembali berujar, “kamu sadarnya sudah lama.... Tapi pasti enggak enak buat ngomong ke aku, sedangkan aku menjalani hari kayak enggak ada apa-apa, i'm torturing you....”
“Jungwon sakit karena aku....”
Jungwon memperhatikan bagaimana kedua netra itu menatapnya dengan kilat rasa bersalah, membuatnya terhenyak di tempatnya.
Ia buru-buru mengusap lembut punggung tangan Sunoo, merambat naik hingga ke lengan bawahnya. Usapan tersebut bersifat untuk menenangkan sementara ia menggeleng dan mulai bicara.
“None of this are your fault, sweetcheeks,” ujar Jungwon, mengangkat satu tangannya yang tidak dipasangi infus. “Ini cuman karena kita yang enggak ngomong ke satu sama lain,” ujar Jungwon seraya menangkup sisi wajah Sunoo dengan satu tangannya.
“Please don't blame yourself,” pinta Jungwon dengan lembut, “we'll work on this later, okay?” bujuknya.
“Okay.”
Because, it takes two to tango.