“For love, huh?”
Tubuh Serenata serta-merta berjengit terkejut ketika ia baru membuka pagar rumahnya, tetapi sudah disambut dengan seseorang yang duduk dengan nyaman di teras rumah, memeluk kedua kakinya yang ditekuk ke dalam dadanya.
“Astaga, Juwan!”
Gusar, ia melirik pada jam yang melingkar di tangannya.
14 Februari 2025 — 09.23 PM
“Dari kapan kamu di sini?”
“Siang?” ujarnya, mengendikkan pundaknya, “enggak lihat jam,” ujarnya.
Serenata berdecak tidak suka sebelum menuntun sepeda motornya masuk ke dalam pekarangan rumah dan diparkirkan dengan benar, kemudian buru-buru membuka pintu rumah dan menyeret Juwan yang masih duduk diam di teras.
“Kedinginan, 'kan,” gerutunya, ketika merasakan bahwa tubuh Juwan sedikit menggigil, “sudah tahu enggak tahan dingin, tadi 'kan hujan, ngide banget pakai kaos setipis ini,” tambahnya, mendudukkan Juwan di atas sofa ruang tengah sementara kakinya berderap sibuk menuju salah satu ruangan—kamarnya sendiri.
Juwan memperhatikan segala gerak-gerik yang lebih tua—yang konyolnya, ternyata sudah berkali-kali (bahkan, mungkin miliaran kali) ia lihat dalam setiap kesempatannya, buat Juwan meringis ketika merasakan sakit kepala itu kembali mendera kepalanya.
“Kenapa?” tanya Serenata, buru-buru menghampiri Juwan ketika yang lebih muda meringis dengan kening yang berkerut. “Pusing kah? Tadi malam tidurnya enggak nyenyak?” tanyanya dengan pertanyaan yang merentet, tangannya sendiri sibuk menyelimuti tubuh Juwan menggunakan selimut yang dibawanya dari kamar, kemudian meletakkan punggung tangannya di kening Juwan kemudian berbisik pelan hampir tidak terdengar seakan ia tengah bicara dengan dirinya sendiri, enggak panas, kok yang disusul dengan hela napas lega.
“Kamu capek enggak sih, begini terus, Seren?”
Awalnya, Serenata menatapnya bingung, lengkap dengan kerutan di keningnya, tetapi dalam sekon berikutnya ekspresi pada wajah Serenata mengendur sembari ia mengambil tempat di sofa yang terletak diagonal dari sofa tempat Juwan duduk sekarang.
“Oh, kamu sudah baca bukunya, ya?”
“Kamu capek enggak sih?” ulang Juwan, berdecak pelan ketika yang lebih tua kembali melakukan kebiasaan untuk mengabaikan topik pembicaraan sebelumnya.
Serenata menarik kedua kakinya naik untuk dilipat agar ia dapat duduk bersila seraya menatap lurus ke arah Juwan. Sikapnya tenang, tanpa ada panik sedikitpun berkilau di kedua netra hazelnut yang empat belas hari belakangan selalu terlihat seperti itu di mata Juwan. Yang buat Juwan berpikir bahwa pria yang meminta dipanggil Seren ini bisa saja tidak sama dengan apa yang diceritakan oleh Jeremy beberapa jam yang lalu.
“Kenapa aku harus capek, memangnya?”
Pasif-Agresif.
“Kamu tuh—”
Tawa Serenata pecah seraya ia menggelengkan kepalanya, buat Juwan menghentikan kalimatnya untuk memperhatikan bagaimana tawa itu kemudian mereda perlahan.
”Always silly Juwan,” ujarnya, tersenyum seraya mengucapkannya, “jawabannya enggak, dong. Enggak ada alasan buat capek,” jawabnya pada akhirnya.
Juwan mengeratkan selimut yang melingkupi tubuhnya, “kenapa?” tanyanya rilih.
“Soalnya, Juwan dulu berkorban lebih banyak buat kita,” ujarnya.
Baru kali ini Juwan melihat binar yang berbeda dari kedua hazelnut tersebut. Biasanya, kedua netra itu akan menatapnya lembut dan teduh, sembari sesekali pancarkan binar paling semangat yang konstan terus-menerus berada di sana. Kali ini—rasanya berbeda, Juwan bisa dengan mudah memetakan bagaimana tatapan teduh itu berangsur berubah menjadi tatapan yang terlihat sendu, yang kalau Juwan harus jelaskan secara harfiah, maka kesedihan memang betul berada di sana.
Maka, berapa banyak emosi lainnya yang Serenata pendam di dalam sana.
“Kalau cuman baca buku dan tanya Kak Jeremy, sih, Juwan enggak bakal tahu seberapa banyak dulu Juwan berkorban demi hubungan kita,” tutur Serenata, kali ini menarik tubuhnya mundur untuk bersandar sepenuhnya pada sandaran sofa, kepalanya disandarkan dengan nyaman seraya ditolehkan untuk menatap Juwan sepenuhnya, “Juwan yang sekarang juga enggak bakal ingat, seberapa kerasnya Juwan dulu berusaha supaya apa yang kita punya enggak hancur berantakan.”
“Terus—”
“Masalahnya ada di aku,” ujar Serenata, kali ini menarik kedua kakinya untuk dipeluk ke dalam dada, ”it is that hard for me, to say what you want to hear,” ujarnya lagi, kali ini lekuk senyum itu berubah menjadi lebih sendu.
“Kenapa sulit?”
Serenata mendengus geli sebelum menjawab, “aku juga enggak pernah tahu jawabannya.” Kemudian ia menatap Juwan tepat di kedua obsidiannya, buat Juwan terpaku di tempatnya sementara Serenata kembali melanjutkan, “itu masalahnya, aku enggak pernah tahu jawabannya, kemudian kamu selalu menjadi Juwan yang baik hati dan berusaha mengerti, tapi pada akhirnya kamu tetap enggak bisa mengerti, jadi kita akan berputar lagi ke titik yang sama dan kamu akan bertanya lagi kenapa sesulit itu untuk aku bilang cinta ke kamu.”
Juwan masih mendengarkan dengan seksama, sehingga Serenata tersenyum dan melanjutkan.
“Dan lagi-lagi aku enggak pernah bisa menemukan kata-kata untuk bilang bahwa aku cinta kamu dan aku enggak pernah bisa temukan waktu yang tepat untuk akhirnya bilang bahwa aku cinta kamu.”
Senyuman Serenata masih dengan notasi yang sama, yang buat Juwan bergerak tidak nyaman di tempat duduknya.
“Jadi, lagi-lagi, Juwan bakalan selalu paham lagi, Juwan bakalan selalu coba untuk mengerti. Lagi-lagi, aku enggak melakukan apapun yang berarti. Sampai Juwan akhirnya capek dan semua yang Juwan simpan di dalam hati Juwan meledak. Aku bikin Juwan sedih, sampai Juwan enggak punya ruang untuk bernapas dan akhirnya—” Serenata ketuk pelan pelipis miliknya sendiri, “—aku sendiri yang buat Juwan kehilangan hampir separuh memori Juwan selama ini,” jelasnya.
”Is it hard for you?”
Kali ini, senyuman luntur dari wajah Serenata seraya kedua netranya mengerjap cepat untuk memproses pertanyaan yang dilontarkan oleh Juwan.
“Wah, kalau ditanya soal itu, kamu pengennya aku jujur atau sugarcoating sedikit?”
“Jujur,” tandas Juwan dengan tegas, tatap kedua hazelnut tersebut seperti ia tengah coba mengerti bagaimana perasaan yang, “kalau lagi-lagi aku bakalan lupa soal semua ini, seenggaknya aku pengen tau tentang semuanya tanpa ada yang ditutup-tutupi.”
Serenata membuka bilah bibirnya sebelum kemudian dikatupkan kembali—berulang kali begitu hingga ia bisa temukan suaranya kembali dan menjawab, “susah, awal-awalnya. Daripada susah, aku lebih merasa khawatir, sih. Soal Juwan. Soalnya, enggak mudah buat kehilangan memori, meskipun sistemnya pilih-pilih, ya, tapi kita juga enggak pernah bawa Juwan ke ahlinya, tapi seenggaknya Juwan dijaga sama banyak orang yang sayang sama Juwan juga setiap harinya. Jadi, aku enggak begitu khawatir lagi, seterusnya semua jadi terasa lebih mudah buat aku.”
“Jangan soal aku,” ucap Juwan, “berhenti ngomong soal aku. Aku tanya soal kamu, Seren.”
“Susah itu pasti ada, Juwan.” Serenata akhirnya menjawab, tanpa senyuman meninggalkan wajahnya, “bulan-bulan pertama apalagi, aku masih sering coba minta tolong ke semua orang—Tara atau Kak Jeremy paling sering, buat sesekali mention soal aku ke kamu, bahkan Tara sering omongin tentang aku setiap hari ke kamu, tapi kamu enggak pernah bisa ingat lebih jauh soal aku besoknya. Semuanya susah, Juwan, pada awalnya, setelah aku berdamai sama kenyataan kalau memang kamu enggak bakal pernah ingat sama kamu, yasudah aku akhirnya merasa mungkin memang aku harus melewati hal kayak gini.”
Serenata terkekeh kemudian berujar lagi, “aku bahkan bersikeras meminta semua orang buat panggil aku sebagai Seren, siapa tahu kalau semua orang di sekitarmu biasa menyebut namaku terus-terusan kamu akan mulai terbiasa dan ingat tentang aku.”
“Kapan kamu akan berhenti?” tanya Juwan.
“Enggak bakal pernah berhenti,” jawab Serenata lugas, tatap kedua obsidian milik Juwan dengan penuh keyakinan, “mau sampai semua orang bosan pun, aku akan kembali lagi untuk Juwan, aku bisa lewati rutinitas itu miliaran kali buat Juwan.”
“Bahkan ketika aku enggak punya tanda-tanda kalau aku akan ingat kamu setelah empat belas hari?”
“Bahkan ketika itu terjadi.”
“Kalau aku pada akhirnya jatuh cinta ke orang lain?”
Serenata tersenyum lagi, yang begitu tulus sampai-sampai Juwan berusaha korek semua pahamnya mengapa bisa ada seseorang yang berlapang dada atas semua hal yang terjadi pada dirinya.
“Kalau begitu, artinya sudah waktunya aku berhenti,” ujarnya lagi, “karena kalau waktu itu sampai, artinya Juwan sudah punya seseorang yang bisa sayang sama Juwan jauh lebih besar dari sayangku ke Juwan, dan itu enggak apa. Aku akan kembali sendiri dan sayang sama Juwan dari jauh, tapi kali ini tanpa kembali di setiap bulan Februari untuk Juwan.”
“Seren,” panggil Juwan pelan, buat Serenata menaikkan kedua alisnya sebagai jawaban, “selama ini apa kamu kesepian?”
Yang kalau pertanyaan-pertanyaan sebelumnya Juwan rasa sudah bisa Serenata jawab semudah ia menjawab pertanyaan-pertanyaan umum, maka untuk pertanyaan ini Juwan dapati Serenata benar-benar kehilangan kata-kata. Seperti, pertanyaan ini bukan sesuatu yang bisa ditebak oleh Serenata untuk ia dengar.
“Iya,” ujarnya, “setiap empat belas hari itu datang lagi, aku akan jadi orang paling bahagia di dunia ini, Juwan, karena pada akhirnya aku enggak akan sayang sama kamu sendirian lagi, aku akan bersama dengan Juwan yang tetaplah Juwan di mataku. Kemudian, empat belas hari itu selesai dan aku—”
Dan Serenata harus menarik dirinya menjauh sejauh mungkin, meringkuk sendirian dalam cintanya yang tiba-tiba tergelincir jatuh dari tangannya, membuatnya tersesat sendirian di dalam ruang dan waktu yang ia ciptakan sendiri setiap tahunnya.
“—aku akan menyayangi Juwan dari jauh lagi, sebelum kembali ke bulan Februari punya Juwan.”
14 Februari 2025 — 10.44 PM
Selimut yang tadinya membungkus tubuh Juwan disingkirkan oleh sang empu nama yang kemudian Juwan berjalan mendekat ke tempat Serenata duduk dengan nyaman menatap Juwan.
Juwan membuka mulutnya, “Bagaimana Juwan—” Serenata menatap Juwan dengan tatapan paling lembut yang pernah Juwan dapatkan darinya, “Juwannya kamu—”
“Kamu juga tetap Juwannya aku. Enggak peduli setelah ini kamu akan kehilangan memorimu lagi, kamu tetap Juwan buat aku.”
Juwan mengatupkan kedua bilah bibirnya sebelum kembali berujar, “bagaimana caranya Juwan yang kamu tahu untuk mencintai kamu?”
Kali ini, Serenata tersenyum lagi, kali ini seperti sedang mengingat-ingat dan netranya berbinar menatap Juwan yang kini sudah duduk tepat di sampingnya.
“Juwan selalu menyayangi dengan seluruh hatinya,” ujarnya tersenyum, tangannya terulur untuk rapikan poni Juwan yang berantakan, “dengan penuh hangat, rasanya seperti aku selalu pulang ke tempat paling nyaman di dunia.”
Hening adalah yang kemudian mengisi atmosfir di antara keduanya, sebelum pertanyaan terakhir diudarakan oleh Juwan.
”And do you still love him?”
Serenata tersenyum mendengar pertanyaan itu.
”Let’s get you home, Juwan.”
Serenata mendapati kenyataan bahwa ia tidak pernah mengalami hari seperti ini, sebab ia akan selalu sengaja biarkan Juwan mengetahui semuanya di penghujung hari—yang kemudian ia akan biarkan semuanya kembali ke titik awal, agar Juwan tidak terluka lebih banyak lagi.
Yang kemudian, Serenata akan kembali sendirian menyeret hatinya untuk kembali mencintai di bulan Februari selanjutnya—sendirian.
Hari seperti ini, tidak pernah ada bagi Serenata—hari dimana seakan ia tengah mengantar Juwan untuk pergi ke dalam hidupnya yang lain. Hidupnya tanpa Jiwa Serenata di dalamnya.
Sehingga ketika Juwan turun dari jok belakang sepeda motornya dan akan beranjak untuk berjalan menjauh ke balik pagar indekosnya, Serenata dapati dirinya raih lengan baju Juwan, sebabkan Juwan menoleh terkejut, begitu pula dengan dirinya yang baru menyadari apa yang dilakukannya.
“Maaf—” Serenata melepaskan cengkramannya pada lengan baju Juwan dan menarik tangannya kembali ke sisi tubuhnya, “—maaf,” lirihnya, dengan suara yang tercekat di ujung tenggorokannya, netra hazelnutnya berlarian ke sana-ke mari tanpa mau melihat langsung ke obsidian milik Juwan, “biasanya—biasanya, kita enggak pernah punya waktu seperti ini, hari terakhir aku enggak pernah mengobrol sama kamu, jadi rasanya—aneh.”
“Aneh banget, rasanya, kayak aku lagi mengantar kamu buat pergi, aku tahu kamu bakal pergi ke mana, dan aku bakal kembali sendiri lagi, Juwan. Tapi rasanya aneh banget buat sekarang. Rasanya kayak jantungku lagi diremat dengan cengkraman yang paling kuat. Aku enggak bisa napas. Aneh banget, Juwan.”
“Seren.”
Ketika Serenata angkat kepalanya untuk menatap ke arah Juwan dan mengunci netra mereka berdua, yang bisa Serenata lihat adalah hangat bertahun-tahun lalu. Hangat yang tidak pernah bosan untuk terus menyambutnya kembali ke dalam sebuah peluk paling nyaman untuk Serenata berlari ke dalamnya.
Ketika Serenata angkat kepalanya untuk menatap ke arah Juwan dan mengunci netra mereka berdua, yang bisa Serenata lihat adalah cinta bertahun-tahun lalu. Cinta yang pernah berkali-kali ia toreh luka ke dalamnya, tetapi tidak pernah bosan untuk terus menyayanginya dengan kasih sayang paling baik di dunia agar Serenata bisa senantiasa bersemayam dengan nyaman di sana.
Ketika Serenata angkat kepalanya untuk menatap ke arah Juwan dan mengunci netra mereka berdua, yang bisa Jiwa Serenata lihat adalah Juwantya Mahardika. Juwantya Mahardika yang bertahun-tahun lalu pertama kali mengajarkannya tentang cinta dan bagaimana hal tersebut bisa terbentuk melalui ruang dan waktu. Juwantya Mahardika yang kali ini kembali hadir dan rentangkan kedua tangannya dengan lebar, seolah ingin sambut Jiwa Serenata yang selama ini meringkuk sendirian dalam cintanya yang tidak pernah habis sebagai bahan bakar usahanya untuk bawa kembali cintanya pada ingatan yang nyata.
Maka, Jiwa Serenata hapus semua ragunya dan berlari masuk ke dalam dekap yang sudah menunggunya dengan hangat dan ia biarkan dirinya melebur seakan-akan dekap itulah satu-satunya tempat untuknya mengadu.
14 Februari 2025 — 11.24
(“I love you. Always and forever.”)