fluctuius

i leave my thoughts here.

Hari ini Sunoo mendapati kalau bicara itu ternyata tidak semudah itu.

Rutinitas akhir pekan mereka kali ini lebih sibuk sebab mereka harus menyeret kasur Jungwon keluar dari kamarnya menuju halaman belakang untuk bercengkrama dengan sinar matahari yang untungnya terik.

Sunoo mendapati dirinya bolak-balik membuka dan menutup bilah bibirnya semenjak ia membantu Jungwon mengangkut kasur tersebut keluar dari kamar yang lebih muda. Namun, Sunoo kembali mendapati dirinya menelan seluruh kalimat yang sudah disusun dengan baik di dalam kepalanya.

Aku sebenarnya juga enggak bisa tidur.

Kamu enggak bisa tidur apakah karena enggak berada di kamar yang sama dengan aku?

Dan puluhan kalimat lain yang ia telan mentah-mentah sebelum diucapkan satu kata pun kepada yang sekarang sedang memangkas rumput di halaman belakang mereka.

“Kamu bisa kena heatstroke kalau kelamaan di bawah sinar matahari.”

Alih-alih, malah kalimat itu yang keluar dari mulutnya, buat Jungwon yang sedang berjongkok menoleh ke belakang, tempat Sunoo duduk di tepi pelataran belakang rumah mereka. Sunoo dilarang untuk ikut serta memotong rumput dengan alasan matahari sedang terik dan Jungwon ingin berkeringat lebih banyak yang katanya siapa tahu bisa membantunya tidur nyenyak malam ini.

“Kamu juga bisa kena heatstroke kalau kelamaan menemani aku di sini, mending kamu masuk duluan.”

“Muka kamu merah banget,” ujar Sunoo, mengindahkan perkataan Jungwon, kemudian beranjak menuju gudang kecil di halaman belakang.

Jungwon memperhatikan gerak-gerik yang lebih tua mulai dari ia beranjak berdiri—tidak. Bahkan, semenjak mereka mulai menyeret kasurnya keluar dari kamar pun Jungwon sudah memperhatikan dan menyadari bahwa yang lebih tua jelas punya sesuatu yang ingin dikatakan padanya. Namun, Jungwon membiarkan dan tidak memaksa, sebab ia paham Sunoo akan bicara sendiri nantinya apabila ia sudah yakin untuk berbicara dengannya.

Kali ini ia memperhatikan bagaimana Sunoo sekarang sudah berjalan ke arahnya dengan sebuah topi untuk berkebun di tangannya. Jungwon kemudian berdiri ketika Sunoo sudah berada di dekatnya.

“Te—”

Sunoo selalu menjadi seseorang yang tidak bisa ditebak olehnya. Yang tadinya ia pikir Sunoo hanya akan memberikan topi tersebut padanya, pria tersebut ternyata mengangkat kedua tangannya untuk memakaikan topi tersebut langsung ke kepala Jungwon yang berdiri berhadapan dengannya. Sunoo mungkin tidak menyadarinya, tetapi Jungwon jelas sudah bergidik ketika permukaan kulit mereka bergesekan sepersekian detik ketika tangan Jungwon bergerak untuk mengambil topi tersebut dan tangan Sunoo bergerak mengudara—dan itu sudah lebih dari cukup untuk membuat Jungwon sadar bahwa jarak mereka sangat dekat sekarang.

“—rima kasih,” tuntasnya dengan sebuah bisikan.

Senyuman yang terulas di bibir Sunoo jelas bisa dilihatnya dari jarak sedekat ini. Tanpa sadar—mungkin refleks, tangan kirinya terangkat untuk memegangi ujung baju Sunoo dan diremat pelan ketika kedua tangan Sunoo yang mengudara sibuk menyesuaikan topi tersebut dengan ukuran kepala Jungwon.

“Nah, sudah.”

Ia tersenyum puas ketika pekerjaannya selesai dan kedua tangannya kembali diturunkan ke sisi tubuhnya. Ketika ia sedikit melirik ke atas untuk melihat hasil pekerjaannya—baru disadarinya bahwa panas tubuh Jungwon melingkupi tubuhnya sebab jarak keduanya begitu dekat, juga bagaimana Jungwon yang sudah teduh dengan topi tersebut kini sedikit menunduk untuk menatapnya.

“Terima kasih,” ujar Jungwon pelan, meneduhi wajah Sunoo dengan brim dari topinya.

Dan dari kalimat sederhana itu, Sunoo lagi-lagi bisa menelan dua kata tersebut yang berhembus pelan sapa kedua bilah bibirnya—membuatnya meremang di tempatnya.

Yang kalau Sunoo bergerak maju sedikit saja—

“A—aku masuk dulu. Buatkan minuman dingin.”

Kakinya melangkah mundur sekali, kemudian menyadari bahwa langkahnya tertahan ketika Jungwon masih setia meremat ujung bajunya.

“Jungwon—” Ia memanggil, pada yang masih sedikit merunduk untuk menatapnya lekat.

Dengan satu panggilan perlahan tersebut, atmosfir yang tadinya memerangkap mereka runtuh dalam sekejap mata. Membuat Jungwon buru-buru melepaskan Sunoo yang berderap masuk ke dalam rumah—lengkap dengan wajahnya yang merah merona sebelum berbalik.

—yang tidak mungkin terjadi, sebab ia sadar sepenuhnya bahwa tidak seharusnya ia membiarkan yang lain menggantungkan harapan begitu saja.

“Kamu yakin mau minum kopi jam segini?”

Sunoo yang tadinya sedang mengecek persediaan kebutuhan dapur mereka, mengerutkan kening khawatir ketika Jungwon keluar dari kamarnya dan berkata ia ingin membuat kopi. Yang sekarang jadinya ia berdiri tidak jauh di belakang Jungwon, tepat di bawah rak persediaan mereka memperhatikan punggung Jungwon yang sibuk dengan mesin kopi di depannya.

Jungwon menoleh dari balik pundaknya dan mengangguk, “iya, aku agak ngantuk.”

Kening yang lebih tua semakin berkerut khawatir, “tidur, dong kalau ngantuk. Bukan malah minum kopi.”

“Aku ada kerjaan yang mau dicek, jadi kayaknya agak begadang.”

Sunoo mengangguk-angguk, menaikkan satu alisnya ketika Jungwon berbalik untuk menghadap ke arahnya.

“Gula cairnya dimana, ya?”

Sunoo mengerjap sebentar sebelum berujar, “oh! Di sini—” Ia kemudian berbalik untuk membuka rak yang tergantung di dinding dapur, membukanya, dan meraih bungkusan kecil berisi gula cair yang digunakan untuk membuat kopi, setelah berhasil mengambil satu ia berbalik lagi seraya berujar, “—kemarin aku jadikan sa—”

Ucapannya menggantung ketika disadarinya tubuh Jungwon—yang entah sejak kapan—hampir menempel pada tubuhnya. Membuat Sunoo terhimpit di antara counter dapur juga Jungwon yang tangannya terangkat ingin meraih rak tersebut.

“—tu,” bisiknya.

Posisi ini jelas canggung untuk keduanya. Jungwon yang tidak menyangka Sunoo akan berbalik secepat itu dan Sunoo yang tidak mendengar langkah kaki yang diseret Jungwon mendekat ke arahnya. Namun, dari jarak sedekat ini, Sunoo bisa merasakan hela nafas Jungwon yang menerpa wajahnya, menggelitik kulitnya yang langsung merinding ketika sarafnya menerima rangsang tersebut.

Akan tetapi, yang menjadi perhatian Sunoo selanjutnya adalah kantung mata yang semakin besar dan menghitam di dua buah mata serupa kucing tersebut.

“Kamu betulan tidur cukup enggak, sih?” bisiknya lirih sementara tangannya yang tidak memegangi gula cair terangkat untuk singkirkan anak rambut yang jatuh, “look at these eyebags...,” ujarnya lagi seraya menyentuh bagian bawah mata Jungwon dengan punggung jarinya.

Yang selanjutnya Jungwon lakukan buat Sunoo tersentak di tempatnya dan menyadari bahwa wajah mereka berjarak sangat dekat saat ini—jemarinya yang tadi menyentuh baguan bawah mata Jungwon ditangkap dan dibawa ke dalam sebuah genggaman lembut oleh Jungwon sebelum diturunkan ke sisi tubuh mereka perlahan. Tanpa melepaskan genggaman tersebut.

“You don't have to worry about me.”

Ujaran itu diucapkan dalam sebuah bisikan oleh Jungwon—menggantung pada atmosfir yang ada di sekitar mereka dan memerangkap setiap frasa yang dihembuskan tepat di depan kedua bilah bibir Sunoo. Yang kalau—kalau Jungwon bergerak maju sedikit saja mungkin mereka—

Jungwon berani sumpah Sunoo begitu memabukkan sekarang.

“K—kamu—” Sunoo mengucap dengan terbata, menurunkan tensi atmosfir mereka yang hampir renggut nafasnya beberapa detik yang lalu, “—mau ditemani enggak? Kerjanya?”

Jungwon mengerjap sebelum mengambil langkah mundur dan menarik nafas kuat-kuat untuk hirup oksigen yang sempat hilang dari pernapasannya.

“Boleh, kalau kamu enggak mengantuk.”

Sunoo mengangguk dan mengulurkan gula cair yang tadi diambilnya, yang kemudian diterima Jungwon di atas telapak tangannya yang bebas—tidak menggenggam jemari Sunoo yang masih belum dilepaskannya.

—atau mungkin, lupakan saja.

Kali pertama Kim Sunoo diajaknya untuk menyicipi makanan yang paling sering ia santap, maka itu adalah pertama kalinya Jungwon menyadari bahwa banyak sekali perbedaan di antara mereka.

“Kamu mau apa?”

Pertanyaan tersebut sebetulnya sederhana, siapapun bisa menjawab hal tersebut dengan mudah, apalagi bila daftar menu sudah disajikan di depan matanya. Namun, Jungwon menyadari bahwa Sunoo bukanlah bagian dari siapapun yang itu.

“Boleh enggak kalau disamain sama kamu aja...?”

Pada akhirnya, mereka duduk di satu meja pada tempat makan tersebut, berhadapan, dengan dua buah piring berisikan nasi dan lauk yang sudah dipesan Jungwon untuk mereka. Sementara Jungwon sudah bergerak untuk menyantap makanannya, maka Sunoo bergeming diam di tempatnya dengan tangan yang masih basah sebab baru saja dicuci pada wastafel seadanya di pojok ruangan.

Jungwon memperhatikan bagaimana dengan perlahan Sunoo akhirnya mengikuti gerak-geriknya—menggeser sedikit piring kecil berisi sambal, kemudian merobek daging ayam di dalam piringnya perlahan. Tubuhnya bergidik pelan ketika panas dari ayam yang baru saja digoreng menyentuh jari-jarinya dan menjalar ke tubuhnya sebagai refleks kejut.

Jungwon tidak mengerti kenapa, tetapi kedua tangannya terulur untuk jangkau ayam milik Sunoo sebelum perlahan ia robek serat-serat daging ayam tersebut. Kemudian ia disisihkan pada bagian lain agar Sunoo dapat melanjutkan makanannya terlebih dahulu.

“Terima kasih...,” cicit Sunoo pelan ketika Jungwon selesai.

“Ini tempat makan favoritku dari jaman kuliah,” ujar Jungwon, sembari kali ini ia merobek-robek serat daging ayam miliknya sendiri, “teman-temanku dulu suka banget sama sambalnya, tapi aku enggak terlalu bisa makan pedas, jadi kamu bisa coba sendiri,” tambahnya lagi seraya menuding dengan telunjuknya yang dinaikkan pada piring kecil yang sempat dipinggirkan oleh Sunoo tadinya.

Ragu. Jungwon bisa lihat kilat ragu di kedua netra hazelnut milik Sunoo. Namun, ia tidak mengatakan apa-apa selain mengambil sedikit sambal tersebut menggunakan daging ayam miliknya, kemudian disuapkan ke dalam mulutnya sendiri bersama dengan nasi yang disusul dengan daun kemangi.

Netranya bersitatap dengan milik Sunoo yang mengerjap beberapa kali memperhatikannya, sehingga sembari mengunyah makanannya, Jungwon naikkan satu alisnya sembari mengendik sedikit ke arah piring makan Sunoo, mengisyaratkan agar pria tersebut juga bisa melakukan yang sama dengannya.

“Kemanginya bisa makan enggak?” tanya Jungwon ketika makanannya sudah ditelan.

“Aku enggak pernah makan kemangi, sih....”

Jungwon yang mendengar jawaban dengan nada lirih tersebut hanya melemparkan senyuman sebelum berujar, “rasanya pahit, kalau mau sih kamu coba dulu gigit sedikit. Tangannya yang tidak digunakan untuk menyuapkan makanan ke dalam mulutnya sendiri diulurkan untuk potong sedikit daun kemangi tersebut dan diarahkan tepat di depan bibir Sunoo, buat Sunoo menatapnya ragu. Namun, Jungwon sudah lebih dahulu memberikannya tatapan meyakinkan, masih menunggu dengan tangan yang terangkat di udara, juga tubuh yang sedikit dicondongkan kedepan.

Perubahan ekspresi pada wajah Sunoo yang kemudian membuat Jungwon mengulum senyumnya seraya menadahkan tangannya di bawah dagu yang lebih tua ketika daun tersebut akhirnya masuk ke dalam mulut Sunoo dan dikunyah perlahan. Wajah yang mengerut terutama pada bagian kening tersebut kemudian berangsur kembali seperti semula, meskipun lidahnya masih beberapa kali mencoba mengecap rasa pahit yang masih tertinggal di rongga mulutnya.

“Enggak suka, ya?” tanya Jungwon seraya menyodorkan tisu untuk Sunoo.

Anggukan adalah jawaban yang didapatnya, “pahit banget, kalau dimakan pakai nasi kayak kamu tadi masih sepahit itu?”

“Enggak terlalu,” jawab Jungwon, “tapi tadi aku minta kamu coba duluan biar tau kamu suka apa enggak, takutnya kalau suapan pertama makannya langsung pakai kemangi, nanti kamu jadi enggak suka,” tuturnya, kali ini mendorong piring Sunoo semakin mendekat ke arah empunya setelah tangannya terulur untuk singkirkan daun kemangi dari dalam sana.

“Coba sekarang kamu coba makan nasi sama ayamnya.”

Jungwon menunggu dan ia rasa semuanya sepadan ketika kepala yang awalnya tertunduk sembari perlahan mengunyah suapan pertamanya itu terangkat lagi dengan pipi yang penuh mengunyah makanannya dengan kedua netra hazelnut yang berbinar menyenangkan menatap miliknya.

(Biarlah Kim Sunoo tidak tahu faktanya, bahwa di kali pertama Yang Jungwon mengenalkannya pada dunia baru, pria itu berusaha beri impresi yang baik untuk dapatkan reaksi yang tahu-tahu ternyata begitu menggelitik rongga perutnya.)


Kali selanjutnya Kim Sunoo diajaknya untuk menyicipi makanan baru yang lain adalah setelah ia menjanjikan pada yang lebih tua bahwa ia akan mengenalkan sambal ati yang sama enaknya dengan yang dimasak oleh orang tuanya di kunjungan terakhir mereka ke rumah kedua orang tuanya—dan Jungwon mendapati bahwa Kim Sunoo bukan seperti orang kebanyakan.

Ketika orang-orang akan mencoba menu yang terlihat baru bagi mereka, maka Sunoo memilih menu sederhana yang sudah biasa ia makan sehari-harinya.

“Enggak mau yang lain?”

“Itu aja, goes well with sambal ati, kalau memang sesuai yang kamu bilang, ya,” senyumnya yang setelah itu diangguki oleh Jungwon sebelum yang lebih muda kembali untuk menyebutkan pesanannya.

Keduanya duduk berhadapan ketika makanan yang dipesan tiba di atas meja mereka. Setelah mengucapkan selamat makan kepada satu sama lain, baru kemudian masing-masing dari mereka menyuapkan satu sendok pertama dan dikunyah perlahan.

“Suka?” tanya Jungwon, memperhatikan bagaimana Sunoo memiliki kebiasaan bahwa ia akan menatap Jungwon dengan binar bahagia di kedua netra hazelnutnya serta kepala yang digoyangkan perlahan ke kiri dan kanan bergantian.

Kim Sunoo mungkin tidak sadar, tetapi menurut Jungwon, ia begitu ekspresif dengan gerik tubuhnya.

Anggukan antusias adalah jawaban yang selalu diterima oleh Jungwon setiap kali ia bertanya apakah Sunoo menyukai makanannya. Kemudian Jungwon mengulas senyum sebelum beranjak dari tempat duduknya, menimbulkan tatapan bertanya-tanya dari yang masih sibuk mengunyah makanannya sendiri. Jungwon kembali dengan sebuah sendok baru, kemudian menyendok makanan miliknya sendiri dan disodorkan ke depan bibir Sunoo yang menatapnya bingung.

“Mau coba enggak?”

Maka selanjutnya Sunoo membuka bilah bibirnya dan membiarkan makanan tersebut masuk ke dalam mulutnya, satu telapak tangannya diangkat untuk menutupi bibir yang di dalam rongga mulutnya sedang sibuk mengunyah makanan dan berkenalan dengan rasa baru yang belum pernah dicobanya.

Senyuman yang muncul kendati mulutnya masih sibuk mengunyah makanan serta hadirnya kembali binar yang menyenangkan di kedua netra hazelnut terang yang tidak pernah bosan dipandanginya itu sukses buat Jungwon merasakan kembali gelenyar menyenangkan yang rayapi setiap saraf tubuhnya bahkan pada okasi-okasi lainnya.

“Suka?”

“Suka!”

Jungwon ambil seperempat porsi miliknya untuk diletakkan di atas piring milik Kim Sunoo, sebab ia ingin Sunoo bisa menyicipi makanan-makanan paling enak di dunia ini, juga agar binar tersebut tetap berada di sana sepanjang sisa hari.

(Biarlah Kim Sunoo tidak tahu faktanya, bahwa pada hari itu Yang Jungwon sengaja memesan menu yang berbeda agar ia bisa mengenalkan hal-hal baru padanya, yang kemudian menjadi sebuah kebiasaan di okasi-okasi selanjutnya.)


Kali selanjutnya untuk yang kesekian kalinya, Jungwon menyadari bahwa bukan tentang makanan yang menjadi pemicu senyum cerah pada Kim Sunoo, tetapi tentang bagaimana seporsi makanan tersebut mampu ditangkapnya menjadi sebuah kebaikan hangat—yang sebelumnya tidak pernah ia dapat di dalam hidupnya.

(“Kamu senang enggak?”

“Senang. Senang sekali.”*

“Alright then, itu yang penting.”)

Padahal, kehidupan di dalam tubuh Kim Sunoo bahkan belum capai trimester kedua.

Akan tetapi, Yang Jungwon selalu temukan cara agar eksistensi si dede biji apel itu seakan-akan telah hadir untuk mengerti tentang dunia.

“Kamu mau apaaa? Dede biji apel juga mau apaaa?”

Kalimat tersebut tidak pernah abstain, sekalipun, di setiap waktunya. Apabila Jungwon miliki waktu senggang, yang pertama kali dilakukannya adalah mengecek keadaan Sunoo yang tengah ambil jatah work from home-nya untuk menganalisa hasil laboratorium tempatnya bekerja—sebab terlalu berisiko untuknya berada di sekeliling bahan-bahan medis untuk sekarang.

Yang lucunya adalah, Sunoo tidak memiliki keinginan apapun—dari yang paling sederhana sampai yang paling menyulitkan. Seakan-akan, hadirnya si biji apel di dalam perutnya sekarang seperti tengah bertoleransi dengannya untuk tidak menyulitkan papi unyil-nya juga ayah meong-nya.

Akan tetapi, meskipun Sunoo akan menolak berkali-kali semua tawaran Jungwon. Pria yang membuka pintu rumah dengan bajunya yang sudah kusut di sana-sini itu—tetap akan memberikannya cengiran paling lebar, yang masih sama seperti tujuh tahun yang lalu, sembari menenteng entah apa lagi yang berhasil ia bawakan pulang untuk mereka.

“Tadi aku lihat bakery baru buka, jadi aku belikan kamu cheese cake.”

“Dede biji apel tuh 'kan di dalam perut kamu ya, selera makanannya pasti kayak kamu, ini aku beliin eskrim mint choco, tapi jangan langsung dihabiskan.”

“Sabun mandi kamu yang sekarang masih enak enggak baunya menurut kamu? Mau ganti aja? Siapa tau ngurangin mual-mual kamu.”

“Tadi break aku lagi cek online shop terus ketemu maternity pillow, sudah aku checkout satu buat kamu, yaaa.”

Tujuh tahun yang lalu pun, Yang Jungwon juga sama antusiasnya dalam menyatakan cintanya pada Kim Sunoo dengan caranya sendiri.

“Ayah meong pulaaaang!”

Rumah mereka yang memang sederhana, sangat cukup untuk dihuni oleh mereka berdua, jelas menimbulkan gema suara Jungwon yang baru membuka pintu rumah itu menguar hingga ke setiap sudut rumah. Sontak hal tersebut buat Sunoo yang sedang mengupas buah di dapur menyeret langkahnya untuk menyambut yang baru pulang tersebut.

“Haaaaaai, ayah!”

Tujuh tahun lalu pun, Yang Jungwon juga sama salah tingkahnya setiap kali perbuatan tengilnya berbalik ke arahnya sendiri.

“Sumpah. Masih degdegan banget kalau dipanggil begitu.”

Sunoo tertawa ketika mendengar jawaban itu, membuat Jungwon menarik satu sudut bibirnya naik untuk menguntai senyuman di wajahnya.

“Aku bawa kwetiaunya sesuai request!” senandungnya seraya berjalan mendekati Sunoo.

Satu tangannya terulur, membuat Sunoo bergeming bingung sebab tangan yang diulurkan kosong melompong dan kantung plastik berisikan makanan yang dimaksud berada di satu tangan yang lain. Akan tetapi, baru setelahnya Sunoo paham ketika gagang pisau di tangannya sudah beralih dadi genggamannya.

“Pisaunya, sayang. Kamu bisa kenapa-napa kalau kemana-mana bawa pisau kayak gini.”

“Itu pisau buah, kok.”

“Tetap bahaya, sayang.” Ia kemudian berjalan menuju dapur bersisian dengan Sunoo yang masih memegangi buah pir di satu tangan lainnya, “aku siapin ini dulu, habis itu kita makan ya.”

“Aku barusan mau makan buah dulu,” protes Sunoo ketika buah di tangannya diambil oleh Jungwon dan diletakkan di atas piring sebelum disimpan ke dalam kulkas.

“Habis makan, yaaa. Nanti sekalian aku kupaskan apel juga.”

Tujuh tahun lalu pun, Yang Jungwon selalu punya caranya sendiri untuk menyayangi Kim Sunoo dalam setiap halnya.

Kantung kresek berisikan dua buah styrofoam sebagai kemasan kwetiau mereka—diletakkan di atas meja makan, sementara ia mengitari meja makan untuk mencapai Sunoo yang berada di sisi lain meja makan.

Ia mencium Sunoo dengan kilat dan sebelum Sunoo mampu lontarkan protes, ia terlebih dahulu menunduk untuk menyejajarkan wajahnya dengan perut Sunoo.

“Halooo, biji apel. Hari ini Ayah mau kenalin kamu kwetiau yang dulu sering Ayah makan sama Papi, semoga kamu suka ya, supaya nanti kalau biji apel sudah gede, kita bisa makan bertiga.”

Padahal, kehidupan di dalam tubuh Kim Sunoo bahkan belum capai trimester kedua.

Akan tetapi, Sunoo yakin betul, entitas yang hadir di antara mereka berdua ini, juga akan menemukan tempatnya di dunia, sebab Yang Jungwon selalu punya cara untuk mencintainya.

Nomor tiga.

Kalau Jungwon bisa menobatkan hari paling bahagia dalam hidupnya, maka nomor satu adalah ketika ia pertama kali bertemu Kim Sunoo di sebuah acara fakultasnya dan nomor dua adalah ketika Kim Sunoo mengatakan iya kepada ajakannya untuk menikah—dan pada akhirnya berjalan menujunya di altar.

Maka, yang sekarang adalah nomor tiga.

Nomor tiga adalah ketika ia menoleh dan melihat Kim Sunoo sedang mengangguk-angguk dengan wajah luar biasa antusias dan bahagia, seraya ia menggenggam kuat jemari-jemari milik Kim Sunoo. Ketika kepala suaminya itu ditelengkan dan ada tawa yang meluncur juga ucapan lihat, anak kamu kecil banget kepada Jungwon, maka hari ini sukses Jungwon nobatkan sebagai nomor tiga hari paling bahagia di hidupnya.

Apabila Jungwon yang sekarang bisa kembali ke masa lalu dan bercerita pada Jungwon usia dua puluh tahun, bahwa di tujuh tahun yang akan datang, ia akan duduk dibalik kemudi mobil dengan satu tangan mengendalikan roda tersebut dan satu lagi guna menggenggam tangan Kim Sunoo yang duduk di kursi penumpang—baru saja membelokkan setirnya keluar dari pekarangan rumah sakit, sembari mengantongi hasil pemeriksaan bahwa akan hadir entitas lain di antara mereka—sebagai bentuk cinta yang mana Jungwon tahu akan begitu hebat bertahan setelah banyaknya badai sebelumnya. Maka, mungkin Jungwon usia dua puluh, yang hobinya nongkrong bersama teman-teman fakultasnya itu, hanya akan tertawa dan menganggap bahwa apa yang dirinya katakan dari tujuh tahun yang akan datang—sekarang—hanyalah sebuah lelucon belaka.

Nyatanya, di sinilah Jungwon sekarang, tidak ada hentinya tersenyum setiap kali Kim Sunoo terkikik geli dengan fakta bahwa anak mereka baru sebesar biji-bijian apel.

Kecil.

Mungil.

Namun, kehadirannya jelas bisa membuat kedua hati mereka menghangat di sepanjang perjalanan pulang.

Apabila Jungwon yang sekarang bisa kembali ke masa lalu dan bercerita pada Jungwon usia dua puluh tahun, bahwa di tujuh tahun yang akan datang, ia akan menobatkan hari ini sebagai hari paling membahagiakan nomor tiga di dalam hidupnya. Maka, Jungwon dua puluh tahun akan tertawa dan bertanya memangnya nomor satu dan duanya apa? Kemudian Jungwon dua puluh tujuh tahun akan menjawab sejujurnya.

Apabila Jungwon yang sekarang bisa kembali ke masa lalu dan bercerita pada Jungwon usia dua puluh tahun, bahwa di tujuh tahun yang akan datang, ia akan mengatakan bahwa hidup bersama dengan Kim Sunoo—dan hadirnya si biji apel di dalam perutnya sekarang itu, adalah hadiah paling istimewa di alam semesta ini untuknya.

Maka, Jungwon dua puluh tahun akan bertanya, kalau Jungwon dua puluh tujuh tahun bisa mengulang waktu, apakah ia akan tetap mengikuti bagaimana hidupnya berjalan semestinya?

“Lima minggu! Sudah lima minggu! Kecil sekaliiiii, tapi sukses bikin kelimpungan, belum apa-apa sudah persis kayak kamu, Jungwon!”

(Maka Jungwon dua puluh tujuh tahun akan menjawab, apabila ia bisa memutar balik waktu, maka ia akan jatuh cinta terus-menerus pada Kim Sunoo.)

31 Januari 2026 — 11.50 PM

Sepuluh menit menuju tanggal 1 pada Bulan Februari.

Februari selalu menjadi bulan yang spesial bagi Serenata.

Terlepas dari ia belajar untuk menyayangi dan mengharagi setiap waktu yang hadir di dalam hidupya, bulan Februari miliki waktu dan tempat yang khusus baginya, sebab bulan ini akan menjadi titik balik lain dalam hidupnya.

Bulan Februari menurut Jiwa Serenata tidak pernah terasa biasa saja—setidaknya semenjak beberapa tahun lalu ketika seseorang mendobrak masuk hidupnya dan membuatnya selalu menantikan empat belas hari paling berharga dalam hidupnya.

Serenata habiskan hampir 23 tahun hidupnya mencintai seseorang sebegitu hebatnya dalam kesendirian—tentu ia akan terus menunggu hadirnya empat belas hari spesial di bulan Februari ini, dimana cinta yang dibawanya kembali akan kembali disambut dengan sebaik-baiknya dan sehangat-hangatnya.

Itu yang sebabkan Serenata selalu berekpektasi baik terhadap bulan ini. Toh, memang pada akhirnya bulan ini akan selalu bawa banyak kebaikan untuknya. Akan ada banyak memori-memori yang kembali dibentuk untuk ia simpan dalam memonya sendiri. Menjadi catatan untuk hari-hari selanjutnya ketika ia akan kembali mencintai dalam kesendiriannya. Jadi, tentu saja Serenata akan menyambut bulan ini dengan sukacita, bukan?

Bulan Februari itu selalu spesial bagi Serenata.


31 Januari 2026 — 11.51 PM

Atau mungkin, mulai sekarang—Serenata bisa pertimbangkan bahwa akan ada orang lain yang sematkan kata spesial untuk Bulan Februari.


31 Januari 2026 — 11.55 PM

Dan kali ini, Serenata tidak keberatan untuk selalu menemukan dirinya jatuh cinta berulang kali di dalam ruang dan waktu yang mereka punya. Sebab, ia tahu bahwa kali ini, cinta itu akan kembali sama hangatnya dalam empat belas hari tersebut.

Serenata tidak keberatan untuk mencari seribu cara menyatakan cintanya.

Sebab kali ini, ia akan terus menemukan caranya—agar ia dapat terus menyayangi cintanya, sebaik-baiknya, dan sedalam-dalamnya.

“For love, huh?”

Tubuh Serenata serta-merta berjengit terkejut ketika ia baru membuka pagar rumahnya, tetapi sudah disambut dengan seseorang yang duduk dengan nyaman di teras rumah, memeluk kedua kakinya yang ditekuk ke dalam dadanya.

“Astaga, Juwan!”

Gusar, ia melirik pada jam yang melingkar di tangannya.

14 Februari 2025 — 09.23 PM

“Dari kapan kamu di sini?”

“Siang?” ujarnya, mengendikkan pundaknya, “enggak lihat jam,” ujarnya.

Serenata berdecak tidak suka sebelum menuntun sepeda motornya masuk ke dalam pekarangan rumah dan diparkirkan dengan benar, kemudian buru-buru membuka pintu rumah dan menyeret Juwan yang masih duduk diam di teras.

“Kedinginan, 'kan,” gerutunya, ketika merasakan bahwa tubuh Juwan sedikit menggigil, “sudah tahu enggak tahan dingin, tadi 'kan hujan, ngide banget pakai kaos setipis ini,” tambahnya, mendudukkan Juwan di atas sofa ruang tengah sementara kakinya berderap sibuk menuju salah satu ruangan—kamarnya sendiri.

Juwan memperhatikan segala gerak-gerik yang lebih tua—yang konyolnya, ternyata sudah berkali-kali (bahkan, mungkin miliaran kali) ia lihat dalam setiap kesempatannya, buat Juwan meringis ketika merasakan sakit kepala itu kembali mendera kepalanya.

“Kenapa?” tanya Serenata, buru-buru menghampiri Juwan ketika yang lebih muda meringis dengan kening yang berkerut. “Pusing kah? Tadi malam tidurnya enggak nyenyak?” tanyanya dengan pertanyaan yang merentet, tangannya sendiri sibuk menyelimuti tubuh Juwan menggunakan selimut yang dibawanya dari kamar, kemudian meletakkan punggung tangannya di kening Juwan kemudian berbisik pelan hampir tidak terdengar seakan ia tengah bicara dengan dirinya sendiri, enggak panas, kok yang disusul dengan hela napas lega.

“Kamu capek enggak sih, begini terus, Seren?”

Awalnya, Serenata menatapnya bingung, lengkap dengan kerutan di keningnya, tetapi dalam sekon berikutnya ekspresi pada wajah Serenata mengendur sembari ia mengambil tempat di sofa yang terletak diagonal dari sofa tempat Juwan duduk sekarang.

“Oh, kamu sudah baca bukunya, ya?”

“Kamu capek enggak sih?” ulang Juwan, berdecak pelan ketika yang lebih tua kembali melakukan kebiasaan untuk mengabaikan topik pembicaraan sebelumnya.

Serenata menarik kedua kakinya naik untuk dilipat agar ia dapat duduk bersila seraya menatap lurus ke arah Juwan. Sikapnya tenang, tanpa ada panik sedikitpun berkilau di kedua netra hazelnut yang empat belas hari belakangan selalu terlihat seperti itu di mata Juwan. Yang buat Juwan berpikir bahwa pria yang meminta dipanggil Seren ini bisa saja tidak sama dengan apa yang diceritakan oleh Jeremy beberapa jam yang lalu.

“Kenapa aku harus capek, memangnya?”

Pasif-Agresif.

“Kamu tuh—”

Tawa Serenata pecah seraya ia menggelengkan kepalanya, buat Juwan menghentikan kalimatnya untuk memperhatikan bagaimana tawa itu kemudian mereda perlahan.

”Always silly Juwan,” ujarnya, tersenyum seraya mengucapkannya, “jawabannya enggak, dong. Enggak ada alasan buat capek,” jawabnya pada akhirnya.

Juwan mengeratkan selimut yang melingkupi tubuhnya, “kenapa?” tanyanya rilih.

“Soalnya, Juwan dulu berkorban lebih banyak buat kita,” ujarnya.

Baru kali ini Juwan melihat binar yang berbeda dari kedua hazelnut tersebut. Biasanya, kedua netra itu akan menatapnya lembut dan teduh, sembari sesekali pancarkan binar paling semangat yang konstan terus-menerus berada di sana. Kali ini—rasanya berbeda, Juwan bisa dengan mudah memetakan bagaimana tatapan teduh itu berangsur berubah menjadi tatapan yang terlihat sendu, yang kalau Juwan harus jelaskan secara harfiah, maka kesedihan memang betul berada di sana.

Maka, berapa banyak emosi lainnya yang Serenata pendam di dalam sana.

“Kalau cuman baca buku dan tanya Kak Jeremy, sih, Juwan enggak bakal tahu seberapa banyak dulu Juwan berkorban demi hubungan kita,” tutur Serenata, kali ini menarik tubuhnya mundur untuk bersandar sepenuhnya pada sandaran sofa, kepalanya disandarkan dengan nyaman seraya ditolehkan untuk menatap Juwan sepenuhnya, “Juwan yang sekarang juga enggak bakal ingat, seberapa kerasnya Juwan dulu berusaha supaya apa yang kita punya enggak hancur berantakan.”

“Terus—”

“Masalahnya ada di aku,” ujar Serenata, kali ini menarik kedua kakinya untuk dipeluk ke dalam dada, ”it is that hard for me, to say what you want to hear,” ujarnya lagi, kali ini lekuk senyum itu berubah menjadi lebih sendu.

“Kenapa sulit?”

Serenata mendengus geli sebelum menjawab, “aku juga enggak pernah tahu jawabannya.” Kemudian ia menatap Juwan tepat di kedua obsidiannya, buat Juwan terpaku di tempatnya sementara Serenata kembali melanjutkan, “itu masalahnya, aku enggak pernah tahu jawabannya, kemudian kamu selalu menjadi Juwan yang baik hati dan berusaha mengerti, tapi pada akhirnya kamu tetap enggak bisa mengerti, jadi kita akan berputar lagi ke titik yang sama dan kamu akan bertanya lagi kenapa sesulit itu untuk aku bilang cinta ke kamu.”

Juwan masih mendengarkan dengan seksama, sehingga Serenata tersenyum dan melanjutkan.

“Dan lagi-lagi aku enggak pernah bisa menemukan kata-kata untuk bilang bahwa aku cinta kamu dan aku enggak pernah bisa temukan waktu yang tepat untuk akhirnya bilang bahwa aku cinta kamu.”

Senyuman Serenata masih dengan notasi yang sama, yang buat Juwan bergerak tidak nyaman di tempat duduknya.

“Jadi, lagi-lagi, Juwan bakalan selalu paham lagi, Juwan bakalan selalu coba untuk mengerti. Lagi-lagi, aku enggak melakukan apapun yang berarti. Sampai Juwan akhirnya capek dan semua yang Juwan simpan di dalam hati Juwan meledak. Aku bikin Juwan sedih, sampai Juwan enggak punya ruang untuk bernapas dan akhirnya—” Serenata ketuk pelan pelipis miliknya sendiri, “—aku sendiri yang buat Juwan kehilangan hampir separuh memori Juwan selama ini,” jelasnya.

”Is it hard for you?”

Kali ini, senyuman luntur dari wajah Serenata seraya kedua netranya mengerjap cepat untuk memproses pertanyaan yang dilontarkan oleh Juwan.

“Wah, kalau ditanya soal itu, kamu pengennya aku jujur atau sugarcoating sedikit?”

“Jujur,” tandas Juwan dengan tegas, tatap kedua hazelnut tersebut seperti ia tengah coba mengerti bagaimana perasaan yang, “kalau lagi-lagi aku bakalan lupa soal semua ini, seenggaknya aku pengen tau tentang semuanya tanpa ada yang ditutup-tutupi.”

Serenata membuka bilah bibirnya sebelum kemudian dikatupkan kembali—berulang kali begitu hingga ia bisa temukan suaranya kembali dan menjawab, “susah, awal-awalnya. Daripada susah, aku lebih merasa khawatir, sih. Soal Juwan. Soalnya, enggak mudah buat kehilangan memori, meskipun sistemnya pilih-pilih, ya, tapi kita juga enggak pernah bawa Juwan ke ahlinya, tapi seenggaknya Juwan dijaga sama banyak orang yang sayang sama Juwan juga setiap harinya. Jadi, aku enggak begitu khawatir lagi, seterusnya semua jadi terasa lebih mudah buat aku.”

“Jangan soal aku,” ucap Juwan, “berhenti ngomong soal aku. Aku tanya soal kamu, Seren.”

“Susah itu pasti ada, Juwan.” Serenata akhirnya menjawab, tanpa senyuman meninggalkan wajahnya, “bulan-bulan pertama apalagi, aku masih sering coba minta tolong ke semua orang—Tara atau Kak Jeremy paling sering, buat sesekali mention soal aku ke kamu, bahkan Tara sering omongin tentang aku setiap hari ke kamu, tapi kamu enggak pernah bisa ingat lebih jauh soal aku besoknya. Semuanya susah, Juwan, pada awalnya, setelah aku berdamai sama kenyataan kalau memang kamu enggak bakal pernah ingat sama kamu, yasudah aku akhirnya merasa mungkin memang aku harus melewati hal kayak gini.”

Serenata terkekeh kemudian berujar lagi, “aku bahkan bersikeras meminta semua orang buat panggil aku sebagai Seren, siapa tahu kalau semua orang di sekitarmu biasa menyebut namaku terus-terusan kamu akan mulai terbiasa dan ingat tentang aku.”

“Kapan kamu akan berhenti?” tanya Juwan.

“Enggak bakal pernah berhenti,” jawab Serenata lugas, tatap kedua obsidian milik Juwan dengan penuh keyakinan, “mau sampai semua orang bosan pun, aku akan kembali lagi untuk Juwan, aku bisa lewati rutinitas itu miliaran kali buat Juwan.”

“Bahkan ketika aku enggak punya tanda-tanda kalau aku akan ingat kamu setelah empat belas hari?”

“Bahkan ketika itu terjadi.”

“Kalau aku pada akhirnya jatuh cinta ke orang lain?”

Serenata tersenyum lagi, yang begitu tulus sampai-sampai Juwan berusaha korek semua pahamnya mengapa bisa ada seseorang yang berlapang dada atas semua hal yang terjadi pada dirinya.

“Kalau begitu, artinya sudah waktunya aku berhenti,” ujarnya lagi, “karena kalau waktu itu sampai, artinya Juwan sudah punya seseorang yang bisa sayang sama Juwan jauh lebih besar dari sayangku ke Juwan, dan itu enggak apa. Aku akan kembali sendiri dan sayang sama Juwan dari jauh, tapi kali ini tanpa kembali di setiap bulan Februari untuk Juwan.”

“Seren,” panggil Juwan pelan, buat Serenata menaikkan kedua alisnya sebagai jawaban, “selama ini apa kamu kesepian?”

Yang kalau pertanyaan-pertanyaan sebelumnya Juwan rasa sudah bisa Serenata jawab semudah ia menjawab pertanyaan-pertanyaan umum, maka untuk pertanyaan ini Juwan dapati Serenata benar-benar kehilangan kata-kata. Seperti, pertanyaan ini bukan sesuatu yang bisa ditebak oleh Serenata untuk ia dengar.

“Iya,” ujarnya, “setiap empat belas hari itu datang lagi, aku akan jadi orang paling bahagia di dunia ini, Juwan, karena pada akhirnya aku enggak akan sayang sama kamu sendirian lagi, aku akan bersama dengan Juwan yang tetaplah Juwan di mataku. Kemudian, empat belas hari itu selesai dan aku—”

Dan Serenata harus menarik dirinya menjauh sejauh mungkin, meringkuk sendirian dalam cintanya yang tiba-tiba tergelincir jatuh dari tangannya, membuatnya tersesat sendirian di dalam ruang dan waktu yang ia ciptakan sendiri setiap tahunnya.

“—aku akan menyayangi Juwan dari jauh lagi, sebelum kembali ke bulan Februari punya Juwan.”

14 Februari 2025 — 10.44 PM

Selimut yang tadinya membungkus tubuh Juwan disingkirkan oleh sang empu nama yang kemudian Juwan berjalan mendekat ke tempat Serenata duduk dengan nyaman menatap Juwan.

Juwan membuka mulutnya, “Bagaimana Juwan—” Serenata menatap Juwan dengan tatapan paling lembut yang pernah Juwan dapatkan darinya, “Juwannya kamu—”

“Kamu juga tetap Juwannya aku. Enggak peduli setelah ini kamu akan kehilangan memorimu lagi, kamu tetap Juwan buat aku.”

Juwan mengatupkan kedua bilah bibirnya sebelum kembali berujar, “bagaimana caranya Juwan yang kamu tahu untuk mencintai kamu?”

Kali ini, Serenata tersenyum lagi, kali ini seperti sedang mengingat-ingat dan netranya berbinar menatap Juwan yang kini sudah duduk tepat di sampingnya.

“Juwan selalu menyayangi dengan seluruh hatinya,” ujarnya tersenyum, tangannya terulur untuk rapikan poni Juwan yang berantakan, “dengan penuh hangat, rasanya seperti aku selalu pulang ke tempat paling nyaman di dunia.”

Hening adalah yang kemudian mengisi atmosfir di antara keduanya, sebelum pertanyaan terakhir diudarakan oleh Juwan.

”And do you still love him?”

Serenata tersenyum mendengar pertanyaan itu.

”Let’s get you home, Juwan.”


Serenata mendapati kenyataan bahwa ia tidak pernah mengalami hari seperti ini, sebab ia akan selalu sengaja biarkan Juwan mengetahui semuanya di penghujung hari—yang kemudian ia akan biarkan semuanya kembali ke titik awal, agar Juwan tidak terluka lebih banyak lagi.

Yang kemudian, Serenata akan kembali sendirian menyeret hatinya untuk kembali mencintai di bulan Februari selanjutnya—sendirian.

Hari seperti ini, tidak pernah ada bagi Serenata—hari dimana seakan ia tengah mengantar Juwan untuk pergi ke dalam hidupnya yang lain. Hidupnya tanpa Jiwa Serenata di dalamnya.

Sehingga ketika Juwan turun dari jok belakang sepeda motornya dan akan beranjak untuk berjalan menjauh ke balik pagar indekosnya, Serenata dapati dirinya raih lengan baju Juwan, sebabkan Juwan menoleh terkejut, begitu pula dengan dirinya yang baru menyadari apa yang dilakukannya.

“Maaf—” Serenata melepaskan cengkramannya pada lengan baju Juwan dan menarik tangannya kembali ke sisi tubuhnya, “—maaf,” lirihnya, dengan suara yang tercekat di ujung tenggorokannya, netra hazelnutnya berlarian ke sana-ke mari tanpa mau melihat langsung ke obsidian milik Juwan, “biasanya—biasanya, kita enggak pernah punya waktu seperti ini, hari terakhir aku enggak pernah mengobrol sama kamu, jadi rasanya—aneh.”

“Aneh banget, rasanya, kayak aku lagi mengantar kamu buat pergi, aku tahu kamu bakal pergi ke mana, dan aku bakal kembali sendiri lagi, Juwan. Tapi rasanya aneh banget buat sekarang. Rasanya kayak jantungku lagi diremat dengan cengkraman yang paling kuat. Aku enggak bisa napas. Aneh banget, Juwan.”

“Seren.”

Ketika Serenata angkat kepalanya untuk menatap ke arah Juwan dan mengunci netra mereka berdua, yang bisa Serenata lihat adalah hangat bertahun-tahun lalu. Hangat yang tidak pernah bosan untuk terus menyambutnya kembali ke dalam sebuah peluk paling nyaman untuk Serenata berlari ke dalamnya.

Ketika Serenata angkat kepalanya untuk menatap ke arah Juwan dan mengunci netra mereka berdua, yang bisa Serenata lihat adalah cinta bertahun-tahun lalu. Cinta yang pernah berkali-kali ia toreh luka ke dalamnya, tetapi tidak pernah bosan untuk terus menyayanginya dengan kasih sayang paling baik di dunia agar Serenata bisa senantiasa bersemayam dengan nyaman di sana.

Ketika Serenata angkat kepalanya untuk menatap ke arah Juwan dan mengunci netra mereka berdua, yang bisa Jiwa Serenata lihat adalah Juwantya Mahardika. Juwantya Mahardika yang bertahun-tahun lalu pertama kali mengajarkannya tentang cinta dan bagaimana hal tersebut bisa terbentuk melalui ruang dan waktu. Juwantya Mahardika yang kali ini kembali hadir dan rentangkan kedua tangannya dengan lebar, seolah ingin sambut Jiwa Serenata yang selama ini meringkuk sendirian dalam cintanya yang tidak pernah habis sebagai bahan bakar usahanya untuk bawa kembali cintanya pada ingatan yang nyata.

Maka, Jiwa Serenata hapus semua ragunya dan berlari masuk ke dalam dekap yang sudah menunggunya dengan hangat dan ia biarkan dirinya melebur seakan-akan dekap itulah satu-satunya tempat untuknya mengadu.

14 Februari 2025 — 11.24

(“I love you. Always and forever.”)

Jiwa Serenata bukanlah seperti remaja kebanyakan, yang akan mabuk cinta ketika dihampiri oleh satu.

Sebab, Mahardika Juwantya menghampirinya selembut angin musim panas menerpa kedua kaki kecilnya ketika ia baru lahir.

Sebab, apabila sebelum separuh memorinya raib, Mahardika Juwantya temukan cintanya pada alunan melodi dalam rupa Jiwa Serenata. Maka, Jiwa Serenata temukan cintanya pada bagaimana ia menambatkan seluruh inspirasinya, hidupnya, juga musiknya pada Mahardika Juwantya.

Sehingga, ketika Jiwa Serenata akan buat musik paling megah di dunia, ia akan belajar dari paling dasar. Meniti satu-persatu tentang setiap kebiasaan yang dimiliki oleh cintanya, kemudian perlahan mengulik pada semua hal tersebut untuk dipelajari lebih dalam tentang serta-mertanya.

Maka ketika suatu hari cintanya itu datang dalam rupa Mahardika Juwantya yang kenakan pelindung kepala kuning dan bantu dirinya kancingkan pengaman pada pelindung kepalanya, maka Jiwa Serenata kemudian belajar untuk kenakan miliknya sendiri, agar selanjutnya ia yang bisa ingatkan cintanya untuk mengancing pelindung kepalanya setiap mereka pergi.

Jiwa Serenata juga belajar untuk bersikap lebih tenang ketika pesanan bubur Mahardika Juwantya datang dengan tidak tepat—berpotensi sebabkan cintanya perlu tenggak obat alergi bermenit-menit kemudian. Sehingga dari sikap tenang tersebut, ada tangan yang terulur dengan sendok yang sisihkan kacang-kacang tersebut sebelum ditelan masuk ke dalam mulutnya sendiri. Sebab, Jiwa Serenata ingin agar cintanya selalu dalam keadaan sehat.

Jiwa Serenata juga belajar—betulan belajar secara harfiah—lebih banyak tentang lukisan, pelukis, dan setiap alirannya. Agar ketika cintanya kembali menyetir membelok ke arah galeri seni, maka ia sanggup untuk ceritakan berjuta-juta cerita tentang arti lukisan-lukisan yang buat cintanya senantiasa mendengarkan dengan kedua matanya yang berbinar.

Jiwa Serenata juga belajar dalam berbagai cara dalam mencintai. Bahkan, sekecil untuk mendengarkan rasa penasaran cintanya terhadap musik favoritnya ataupun sekecil memilih rasa es krim untuk tingkatkan suasana hati cintanya tersebut.

Jiwa Serenata belajar banyak hal dalam mencintai seseorang dengan sepatutnya.

Akan tetapi, Jiwa Serenata tetaplah bukan anak SMA biasa yang akan dengan mudah terbuai dalam cintanya yang begitu dalam, sehingga seringkali ia tarik rem tersebut agar dirinya tidak terlanjur menabrak apapun yang tidak seharusnya ditabrak.

Akan tetapi pula, Jiwa Serenata lupa untuk belajar, bahwa cinta bukan hanya dari bagaimana angin musim panas itu terpa kedua kakinya yang bertelanjang tabrak air tepi danau ketika piknik akhir pekan itu dilakukan untuk puluhan kalinya.

Jiwa Serenata lupa untuk belajar, bahwa cinta yang bertahan di musim dingin juga perlu direngkuh dalam kalimat-kalimat sayang untuk memastikan perapian cinta itu tetap menyala dengan hangat.

Maka, ruang dan waktu yang seharusnya tercipta dalam empat belas hari cinta itu, gagal untuk pertahankan cinta kalian.

“Say you love me.”

“Of course. Of course, i do.”

Maka kepada pertanyaan itu Jiwa Serenata menjawab dengan getar pada suaranya.

Ketika seribu pertanyaan bising yang dikonklusi menjadi satu di dalam kepalamu itu akhirnya terjawab, bukan lega yang kamu rasa.

Jiwa Serenata sadari bahwa kamu sedang mencoba cari-cari api kebohongan yang bermain di netra hazelnutnya.

“Say it then.”