gumongjae

Minho mengerutkan keningnya saat dia melihat ada mobil hitam terparkir di depan kosan Jaehyun. Pintu kamar Jaehyun terbuka, perlahan Minho mendekat untuk masuk, namun suara teriakan tertahan menghentikan langkah Minho.

“Aku udah berusaha Pa.”

Sayup-sayup suara Jaehyun terdengar.

“Aku tau aku lemah di ips, dari dulu aku turutin Papa buat masuk meskipun pengetahuan aku nol besar di sini. Aku lagi berusaha.”

“Berusaha apa? Papa denger nilai UTS akuntansi kamu jeblok? Kamu harus ngulang itu tahun depan?”

“Enggak Pa. Masih ada UAS, aku pastiin nilai aku bisa naik.”

“Jangan malu-maluin Papa kamu. Jangan kaya Mama kamu.”

Jaehyun terlihat menghela napasnya.

“Oke, aku ngerti. Sekarang Papa bisa pulang? Ada temen aku mau belajar buat uas.”

Langkah Minho terhenti saat matanya bertemu dengan Jaehyun. Detik itu juga Minho merasakan kalau dia tidak boleh melepas Jaehyun sendiri.

“Kak.. napa bengong deh?”

“Ah..Enggak ini, listrik kontrakan gue katanya bunyi. Abis tokennya.”

Minho langsung menyimpan kembali ponselnya di saku saat Jaehyun memanggilnya. Sekarang mereka berdua sedang berada di sebuah taman dengan pemandangan anak muda sedang bermain sepeda atau yang lainnya.

Minho dan Jaehyun duduk di bangku taman itu dengan masing-masing satu gelas teh botol.

“Sampe bengong gitu abis token listrik. Aneh lo.”

Minho tersenyum melihat Jaehyun yang kini kembali mengalihkan pandangannya melihat orang-orang.

“Jelek lo kabur-kaburan kaya kemaren,” ucap Minho mengalihkan perhatian dari Jaehyun, “bales kek chat gue, ntar kalo lu kenapa-napa gue yang tanggung jawab Oneng!” lanjut Minho sambil menoyor kelapa Jaehyun.

“Siapa elu? Kenapa harus lu yang tanggung jawab?” Jaehyun menatap sinis kepada Minho.

“Lo itu anak didik gue, lo kabur karena stres nggak bisa kerjain akuntansi kan? Terus nanti yang ditanya siapa kalo bukan gue? Akhirnya nyusahin lagi gue lu.” Minho berucap panjang lebar.

Hening mengambil alih mereka berdua. Jaehyun menyimpan botol minumannya menatap lurus ke depan.

“Gue kayaknya harus bener-bener ngulang deh taun depan. Bego banget gue Kak..” ucap Jaehyun putus asa.

Minho tidak suka melihat Jaehyun seperti ini.

“Jangan ngaco. Nggak ada murid gue yang harus ngulang lagi taun depan kalo udah gue tutor,” ucap Minho, tak sadar dia langsung mengusap rambut Jaehyun.

“Ahh ngapain pegang-pegan?! Jadi berantakan kan rambut gue?!”

“Lo tenang aja. Sampe uas gue bakalan tutorin lo, lo nggak bakalan ngulang akuntansi taun depan”

Jaehyun menatap Minho bingung.

“Beneran?”

“Iya. Beneran, tenang aja nanti uas lo lolos dah.”

Satu guratan senyum muncul di wajah Jaehyun.

“Yaudah kalo gitu. Hehe..”

“Ketawa lu!!”

Minho lagi-lagi mengacak rambut Jaehyun, namun kali ini lebih brutal daripada yang tadi, menyebabkan Jaehyun membalas dendam dengan menjambak rambut Minho.

Ya seperti ini lah mereka.

Baru juga akur, sudah baku hantam lagi.

“Monyong mulu lu, udah nih minum dulu kopinya.”

Minho dan Jaehyun sekarang sedang berada di cafe milik temannya Minho. Sudah sektar hampir 3 jam yang lalu mereka belajar akuntansi, dan saat ini Jaehyun sedang meminta waktu untuk istrahat.

Otaknya mendidih melihat deretan angka dengan rupiah itu.

Ya.

Tak terasa sudah satu bulan Minho menjadi tutor akuntansi untuk Jaehyun. Entah ini kebetulan atau kesialan, semester sekarang yang harus mengikuti program tutor dari Minho hanya Jaehyun seorang.

Biasanya banyak, tapi anehnya tahun ini hanya Jaehyun yang tidak lolos pre test dari dosen akuntansi itu.

Alhasil selama sebulan atau mungkin nanti sampai Jaehyun benar-benar memenuh standar untuk belajar mata kuliah akuntansi, Minho akan terus menjadi tutornya.

Awalnya mereka sangat tidak tenang saat sesi tutor, namun lama kelamaan sesi belajar mereka bisa kondusif. Mungkin karena Minho juga seorang pro dalam tutor mentutor, dan juga karena Jaehyun yang serius ingin belajar.

“Gue mual anjir, Kak,” ucap Jaehyun sambil meneguk kopi di depannya. “Ngitung duit tapi kagak ada bentukannya, sumpah bikin pening aja!”

Minho tertawa melihat Jaehyun yang sekarang sudah menyimpan kepalanya di meja.

“Lo tuh kenapa masuk FEB sih? Gue denger lo pernah ikut olim biologi kan? Terus kenapa malah belok ke FEB?” sejujurnya sudah sejak lama Minho penasaran dengan ini.

Belum ada jawaban dari Jaehyun, hanya ada helaan napas yang keluar.

“Salah jurusan lu, ngerti nggak?”

“Gue tau. Gue tau salah jurusan..”

“Ya terus kenapa lu malah masuk FEB, kan jadinya lo gue bego-begoin karena nggak bisa misahin mana biaya sama mana beban,” Minho menjeda ucapannya, “ibaratnya kalo lo masuk ke biologi lo udah paling pinter lah di situ.”

Jaehyun mengusap kasar rambutnya.

“Yang bayarin kuliah papa gue, papa gue nyuruh gue buat masuk manajemen bisnis, dan gue harus nurut,” ucap Jaehyun sedikit frustasi.

Napas berat lagi-lagi keluar dari Jaehyun sebelum dia membereskan barangnya. “Hari ini udah dulu ya Kak, gue beneran pening nih.”

Melihat Jaehyun yang yang dengan cepat membereskan barangnya dibarengi dengan kerutan tidak enak, Minho pun ikut berdiri dari tempatnya.

“Lo pulang naik apa?” tanya Minho

“Gue palingan gojek lah, nggak bawa motor hari ini.”

“Dah diem, gue anter sekalian pulang. Kosan Putra kan lo?”

“Lah, ngapain?”

“Udah jangan banyak tanya. Anggep aja ini reward buat lo.”

Reward.. orang kuis gue jeblok.”

“Cepetan!!!”

“Iye. Nggak sabaran banget nih om om.”

Malam itu, untuk pertama kalinya, Minho melihat ada sesuatu yang beda dari Jehyun. Bukan Jaehyun si maba yang sering jambak menjambak, bukan Jaehyun yang bego sekali akuntansi. Tapi hanya Jaehyun yang sedang kalang kabut akan jati dirinya

Dan untuk alasan itu, tidak tau kenapa, Minho sangat ingin membuat Jaehyun bangkit dan tersenyum.

Masa orientasi universitas SM hari ini berakhir.

Tiga hari seperti neraka bagi Jaehyun.

Tidak terhitung berapa kali dia mengumpati Minho yang dengan kekanakannya memojokkan dia ini itu. Dimuai hukuman yang ia dapat karena tidak memakai papan nama dengan karton lilac sampai dengan suruhan untuk membagikan logistik kepada semua kelas.

Rasa-rasanya Jaehyun akan meledak hanya dengan melihat dua alis tebal milik Minho yang naik turun mengejeknya dengan sangat kekanakan.

“Jaehyun.”

Jaehyun memutar matanya saat suara itu kembali memanggilnya. Sumpah demi Tuhan dia ingin segera menyelesaikan acara mos sialan ini dan menjauh dari orang yang sedang tersenyum konyol di seberang sana.

“Kenapa?” jawab Jaehyun ketus. Dia yang tadinya duduk paling belakang di barisan gugus nya maju karena panggilan dari Minho. Pikirannya sudah melayang, tugas konyol apalagi yang akan Minho berikan kepadanya?

Minho tersenyum melihat ekspresi Jaehyun yang sekarang sedang mengerut. Tiga hari ini Minho selalu terhibur melihat wajah Jaehyun yang seperti itu.

“Malah nyengir. Dasar Om-Om Prik!” Jaehyun yang tidak mendapatkan jawaban apa-apa dari Minho lalu berbalik ingin menuju ke barisan paling belakang menjauh dari Minho. Namun belum setengah jalan dia kembali ke tempatnya, Minho kembali memanggilnya.

“Eh eh mau ke mana lo? Sini dulu.. duduk sini,” hembusan napas berat kembali Jaehyun menghampiri Minho, wajah kusutnya sama sekali tidak bisa disembunyikan. Membuat Minho semakin bersemangat untuk menggodanya.

“Kenapa?”

“Duduk di depan dong. Lo kan ketua gugus, harus duduk di depan.”

“Hubungannya apa anjir, ketua gugus sama duduk di depan?”

“Udah nurut aja. Kalo di depan lo bisa dengan jelas kan liat yang lagi promo nya?”

Perkataan Minho menohok Jaehyun. Sebenarnya sedartadi dia menyimpan perhatian lebih kepada UKM yang ditampilkan. Karena sejak pertama masuk ke kampus ini Jaehyun sudah ingin masuk ke salah satu UKM yang menjadi andalan di kampus ini.

Tapi gara-gara Minho dia malas duduk di depan.

“Udah jangan banyak mikir,” Minho menarik Jaehyun untuk duduk di sampingnya, “duduk sini.”

Jaehyun terpaksa duduk di samping Minho. Baik lah tak apa, untuk kali ini dia mencoba untuk menahan rasa kesalnya dan duduk manis di samping Minho. Karena sayup-sayup penampilan UKM sasarannya sudah terdengar, dan Jaehyun ingin sekali melihat penampilan dari UKM itu secara dekat.

Senyum jahil muncul di wajah Minho saat Jaehyun duduk manis di sampingnya.

Bentar lagi pasti dipanggil nih bocah prik

“Baiklah UKM yang terakhir akan promosi adalah UKM musik,” sayup-sayup suara dari pembawa acara terdengar ketika beberapa orang dari UKM musik masuk membawa alat musik mereka.

Jaehyun tersenyum. Ya dia sangat ingin masuk ke UKM itu.

Berikutnya dua penampilan spesial ditampilkan oleh UKM musik. Mendapatkan tepuk tangan merah dari semua penjuru ruangan termasuk Jaehyun.

“Heh.. Siap-siap ya..”

Perhatian Jaehyun yang awalnya terfokus kepada panggung di depannya teralihkan oleh senggolan dari Minho yang tiba-tiba menyuruhnya untuk siap-siap.

“Apaan sih, gak jelas banget lo,” Jaehyun bersungut. Namun beberapa detik setelah Jaehyun mengalihkan pandangannya dari Minho, suara dari pembawa acara membuat matanya membulat.

“Yang terakhir penampilan khusus dari MABA paling terkenal di FEB. Dia katanya mau nyanyi nih, Jeong Jaehyun!! Ayo naik ke panggung!!”

Serempak setelah panggilan itu mengumandang, beratus-ratus mulut menyerukan nama Jaehyun untuk segera naik ke panggung. Jaehyun mengerti situasinya, dengan cepat dia kembali berbalik menatap Minho yang sekarang tengah tersenyum kegirangan.

“Naik cepet, tunggu apalagi?” ucap Minho dengan kekeuhan terhannya.

“Anjing lo.”

P R O L O G

Di sebuah rumah tua asri nan sederhana yang hanya dihuni oleh seorang kakek, tahun 2050.

Selamat pagi, ahh tidak ini sudah sedikit terlambat untuk mengatakan selamat pagi. Selamat siang, ahh ini juga kurang tepat, terlalu awal untuk mengatakan selamat siang.

Kalau begitu, aku akan mulai dengan kata, selamat datang.

Selamat datang di ceritaku, cerita yang sebenarnya tidak terlalu berarti dan memiliki makna mendalam bagi orang lain, tetapi segalanya untuk ku. Cerita yang nantinya akan aku bagikan kembali kepada penerus yang akan mewarisi sedikit atau bahkan banyak rupaku. Cerita yang nantinya menjadi pengingat bahwa aku pernah bahagia. Cerita yang selalu menjadi tanda bahwa aku telah berjuang. Cerita yang sangat ingin aku rasakan kembali, namun mustahil untuk di realisasikan.

Cerita yang luar biasa.

Sorot tenang matahari yang setiap harinya selalu menemaniku kembali terpancar dengan indahnya, ditemani suara denting jarum jam yang sudah menjadi temanku semenjak beberapa tahun lalu.

Sejak api yang ada di hatiku padam, sejak Sang Maha Kuasa perlahan mengikis anugerah – anugerah yang Dia berikan kepada diriku perlahan. Sejak hal yang sering orang bilang sebagai guru paling berharga sudah terkumpul penuh di pikiran, hati, dan diriku.

Mungkin aku harus berterima kasih kepada jam dinding, yang selama ini sudah sudi menjadi sahabat terdekatku dan menjalankan tugasnya untuk tetap berdenting menemaniku dalam damai. Selain dia yang sudah tidak lagi melakukan tugas itu. Ahh tidak, dia bukan tidak ingin, tapi dia tidak bisa.

Ini sudah terencana, terencana bahkan sebelum aku dapat bisa menyimpan memori setiap detik di ingatanku.

Aku tidak bisa marah, tidak juga punya hak untuk marah, menjerit, meminta rencana Tuhan yang bahkan sekaliber malaikat pun tidak mampu untuk mengubahnya. Aku harus menerimannya, toh aku sudah banyak menyimpan bejuta-juta detik kenangan bersamanya di sini.

Itu sudah lebih dari cukup.

Tangan ringkihku tanpa sadar membuka kotak yang sudah menemaniku sejak lama. Memilah, kemudian tersenyum sesaat, melihat benda yang mungkin sudah lama sekali tersimpan.

Benda itu terlihat masih segar, ahh tidak daripada menyebutnya masih segar, benda itu terlihat masih baru, apakah mungkin karena benda itu terbuat dari bahan yang tidak bisa layu? Namun, setelah benda itu menyapa indera perabaku, aku baru sadar kalau warna merah yang berpuluh-puluh tahun sudah menjadi warna dari benda itu memudar.

“Ahh benar juga, ini sudah sangat lama.”

Satu lagi hembusan napas berat keluar dari tenggorokanku. Mungkin keputusanku untuk membuka kotak itu di siang bolong adalah keputusan yang kurang bijak.

Kotak itu seperti kotak pandora yang memiliki arti mendalam untukku. Membawa jiwa dan ingatanku untuk menjelajah kembali ke masa lalu. Masa–masa penuh api, masa di mana seluruh inderaku masih bisa ku gunakan dengan sempurnanya, tanpa terkecuali, masa–masa di mana aku tidak kenal takut, masa–masa di mana aku dengan percaya dirinya mendeklarasikan kalau aku adalah yang terbaik, masa-masa yang paling aku rindukan.

Kesadaranku mulai kembali saat aku merasakan benda berwarna merah itu menghilang dari tanganku. Mengalihkan pandanganku ke bawah, aku melihat benda berwarna merah itu tergeletak begitu saja. Ahh lagi-lagi Tuhan perlahan mengikis nikmat yang Dia berikan.

Aku pun terduduk, mencoba meraih benda itu, mungkin kalau kalian mencoba menjual benda ini ke suatu tempat lelang, kalian akan ditertawakan. Ahh tidak, jangan kan ke tempat lelang, ke pasar loak saja aku jamin kalian akan menerima tatapan aneh dari orang-orang di sana. Benda ini tidak bernilai, maksudku, benda ini bahkan tidak bisa ditukar dengan satu butir gula-gula yang selalu ada di setiap warung-warung kecil. Benda ini sangat payah. Tapi memiliki makna mendalam dan peran penting dalam cerita berhargaku ini.

Aku pun berdiri, masih menggenggam benda berwarna merah itu, menatap jendela rumah sederhanaku, menarik nafas dalam dan menutup mataku...

.

.

.

.

.

Tahun 2002

“Je!!! Jepara!!”

Suara yang sangat tidak asing menyapa pendengaranku, aku pun membuka mataku untuk memastikan apakah suara yang aku simpulkan pemiliknya di pikiranku itu memang benar dia.

Menolehkan kepalaku ke sumber suara, retina mata ku mengembang, melihat sesuatu hal yang ajaib. Seolah tidak percaya dengan apa yang ku lihat, aku mengerjapkan mataku berkali–kali, ahh tunggu, aku tidak memakai kacamata tuaku. Dan tunggu... aku pun mengalihkan pandanganku kepada pakaian yang aku pakai. Mungkinkah ini terjadi?

Sang pemilik suara yang sedari tadi memanggil manggil namaku akhirnya sampai di hadapanku. INI LUAR BIASA!!! sudah berapa puluh tahun aku tidak melihatnya? seminggu lalu aku bahkan mendapat kabar dari salah satu buah cintanya dengan suaminya, kalau dia sedang dirawat di salah satu rumah sakit dan lusa aku berencana untuk kembali lagi bertemu dengannya.

Tapi apa sekarang?

Dia dengan napas yang memburu berada tepat di hadapanku, sehat wal'afiat, memakai baju seragam SMA yang sama denganku, dengan rambut bergaya klimis khas pada jamannya, dan dengan bau parfum menyengat yang memang selalu disemprotkan setiap harinya. Dulu..

Tapi, kenapa sekarang dia di sini ? ahh tidak kenapa aku juga di sini ? dan, kenapa aku mengenakan seragam SMA dengan tas sekolah ku yang selalu aku pakai, dan jaket hitam yang tidak lepas aku pakai. Dulu.. saat aku masih mempunyai mimpi.

“Heyy.. Kok diam aja sih? cepat kita sudah terlambat!!!”

Tepukan kasar menyapa bahuku membuat aku kembali tersadar atas apa yang telah terjadi, tersadar dari lamunanku, tersadar kalau ini bukan sekedar mimpi seorang kakek tua di siang bolong, tersadar kalau ini nyata.

“Ahh—iya .. ayo!! berangkat..”

Menaikan sedikit posisi tas slempang kesayanganku, dulu ke sisi bahu kananku, dengan ragu aku mengikuti langkah gadis yang selalu menemani hari hari remaja ku dulu. Benar, ini adalah jalan itu. Jalan yang selalu ku lewati, jalan yang mempunyai titik akhir sebuah gedung tempat berkumpulnya remaja yang haus akan ilmu, haus akan pengetahuan, haus akan pertemanan, dan haus akan penasaran. Aku selalu menyukai jalan menuju tempat itu, jalan ini mungkin tidak bisa dibilang jalan utama, tidak bisa juga dibilang sebagai jalan sempit, hanya jalan biasa, tapi memiliki arti yang tidak biasa bagi ku. Dulu.

Sekolah SMA ku berada di tengah kota, lebih tepatnya berada di pinggir alun–alun kota. Mungkin kalian akan mem-bayangkan kalau alun – alun kota itu adalah tempat yang sangat ramai dan kurang cocok untuk menjadi lokasi berdirinya sebuah instansi pendidikan, kalian salah. SMA ku ini memiliki aura kedamaian yang tidak bisa kalian temui di SMA SMA lain, dulu.

Mungkin saat kalian mendengar kata alun–alun, otak kalian akan langsung mulai berpikir kalau itu adalah tempat yang ramai, banyak orang, dan sama sekali jauh dari kata damai. Kalian salah. Kalau seandainya kalian berpikiran seperti itu. Kalian hanya melihat alun–alun itu di saat masa jayanya saja, kalian hanya melihat alun–alun pada saat klimaksnya saja, kalian belum melihat alun–alun di saat masanya perlahan menurun dan menjauhi puncak klimaks.

Alun–alun di kota kami akan menjadi tempat yang paling sepi dan damai setiap kali hari bercetak warna hitam di kalender, alun–alun di kota kami akan mengalami masa klimaks-nya saat hari itu adalah hari di mana tanggal bercetak merah di kalender terjadi. Dan aku sangat menyukai alun–alun saat dia tidak sedang berada pada masa kejayaannya. Dulu, ahh bahkan sampai sekarang.

Otakku terlalu sibuk berkutat dengan kenanganku dengan alun–alun yang letaknya percis berada di seberang sekolah ku sehingga aku tidak menyadari kalau aku dan laki-laki dengan parfum menyengat yang bahkan dari jarak satu setengah meter bisa tercium bau nya sudah sampai di depan gerbang sekolah yang tidak terlalu tinggi, ahh ini cukup tinggi untuk menghentikan aksi melompat dari gerbang yang sedang ngetren terjadi di sekolah ku, dulu.

“Je... kamu mau diam di situ terus, atau mau ikut aku masuk??”

Sesaat aku masih terkagum dengan apa yang ku lihat di depanku saat ini. Plang yang bertuliskan nama sekolah yang dulu sangat aku sukai terpampang jelas. Bukankah tahun lalu aku mendapatkan berita kalau sekolah ini akan digusur karena sudah terlalu tua, dan ingin dibangun ulang? apakah ini masuk akal? plang bertuliskan sekolahku masih terlihat sangat kokoh, gerbang dan tembok yang memisahkan antara gedung sekolah dengan dunia luar juga terlihat masih sangat kokoh, bahkan aku selalu berpikiran kalau hanya gempa besar yang bisa meruntuhkan gerbang ini, dulu.

Tidak ini tidak masuk di akal, beberapa jam lalu aku masih berada di kediamanku, istanaku bersama dia, istana impian kami, ditemani jam dinding usang yang selalu jadi teman berbincangku dan cahaya hangat matahari yang perlahan menggantikan tugas dia untuk memberikan aku sedikit kehangatan. Tapi sekarang apa yang terjadi? Di mana kacamata tua nan usang yang selalu aku pakai? Di mana baju rajut yang tadi aku pakai? dan di mana benda merah itu ?

Kenapa aku malah mengenakan baju yang sempat menjadi tamengku untuk pergi dengan percaya diri ke mana saja aku berangkat dulu? dan.. kenapa aku merasakan kembali anugerah anugerah yang Tuhan berikan dengan sempurna?

Bel sekolah berbunyi.

Aku sedikit mengesampingkan kekacauan yang mungkin hanya aku yang merasakan ini sesaat, karena melihat wajah kesal dari sahabatku muncul. Aku pun melangkahkan kaki ku menuju ke dalam gedung, melewati batas tembok dan gerbang untuk melihat ke dunia luar.

Ya... Tidak ada salahnya untuk mengikuti permainan tidak masuk akal yang mungkin diciptakan oleh takdir, mungkin Tuhan mendengar do'a sang kakek tua di siang bolong tadi dan dengan cepatnya Ia mengabulkan do'a seorang kakek tua itu.

Dengan kumpulan keberanianku yang tadi sempat tercecer karena keadaan, aku melangkahkan kakiku mendekati sumber parfum yang selalu jadi ciri khas dia selama ini, dan menghembuskan nafas dalam.

“Ayoo Sean.. aku tidak sabar bertemu dengannya, sudah ber tahun-tahun kah ?”

Kalimat itu mantap keluar dari mulutku, dengan gerakan merangkul bahu Sean, sahabatku, aku membenarkan letak jaket hitamku. Sean sempat bingung dengan apa yang aku katakan tadi, tapi masa bodoh.

Aku akan gunakan kesempatan ini dengan baik, dan kembali bertemu dengan nya.

Mahaka Gideon, cinta pertamaku.

Sebenarnya Seokmin tidak mau berangkat ke luar untuk saat ini, karena demi Tuhan dia masih khawatir dengan keadaan Jaehyun.

Sudah dari sabtu Jaehyun demam. Kalau kata pencarian di situs portal itu bisa karena keadaan Jaehyun yang memiliki tekanan darah rendah.

Dan parahnya malam kemarin Seokmin sangat bersemangat. Berakhir Jaehyun yang sama sekali tidak bisa berdiri dari kasur mereka seharian.

“Aku udah rada enakan. Mas jangan seenaknya lewatin tawaran loh. Ini bazar di cfd tahunan, udah sana pergi.”

Itu yang diucapkan Jaehyun saat tadi pagi Seokmin mogok tidak mau pergi dari rumah mereka.

Rencana awal mereka minggu ini awalnya menghadiri bazar di mana toko roti Seokmin membuka stand. Tapi apa daya semuanya harus batal karena Jaehyun sakit.

Hari sabtu kemarin bahkan Jaehyun tidak bisa keluar dari kamar mereka. Itu lah yang membuat Seokmin tak tega meninggalkan Jaehyun sendirian di rumah.

“Harusnya pas itu gue sekali aja,” hembusan napas keluar setelah kalimat itu terlontar di mulut Seokmin.

Sedikit banyak dia merasa bersalah atas sakitnya Jaehyun. Kegiatan panas yang mereka lakukan pada sabtu malam memang sangat luar biasa.

Baru kali ini dia melihat Jaehyun sakit sampai tidak bisa melakukan apapun. Dia sangat tidak menyukai keadaan di mana Jaehyun sakit.

Dia tidak rela melihat Jaehyun kesakitan seperti itu.

“Dino. Ini udah jam 4 gue pulang duluan ya. Lo bisa kan beberes sendiri?” Seokmin berdiri menghampiri satu-satu nya karyawan yang bekerja di toko rotinya.

“Bisa Bang.”

“Yaudah, kalo gitu gue duluan ya,” langkah Seokmin berhenti saat dia melihat ada dua potong roti kopi yang tersisa di nampan stand mereka.

Jaehyun sangat menyukai roti ini.

Seokmin pun membawa tiga buah roti kopi itu.

“Gue balik ya No.”

“Yo Bang, hati-hati.”


Seokmin tau, dia tau kalau dia sudah jatuh untuk Jaehyun. Seokmin tau kalau sebenarnya Jaehyun sudah masuk ke hatinya bahkan sebelum dia sadar sudah membuka.

Tapi Seokmin baru sadar saat ini.

Saat pikirannya dipenuhi oleh Jaehyun.

Jaehyun nggak bakalan kenapa-kenapa kan?

Jaehyun bisa kan ke kamar mandinya?

Jaehyun udah makan apa belum?

Dan seterusnya.

Rasanya dia hampir gila memikirkan Jaehyun.

Semua rasa menggelikan yang muncul di perut Seokmin pun akhirnya terasa nyata saat dia melihat sosok Jaehyun yang kini sedang duduk manis di depan rumah mereka, tersenyum begitu indah sampai-sampai Seokmin lupa untuk mengucap salam.

“Kok udah— Eh.. Mas..”

Perkataan Jaehyun terpotong saat Seokmin dengan tiba-tiba memeluk nya dengan erat. Sangat erat sampai-sampai Jaehyun kesulitan untuk bernapas.

“Engap, Mas.. Ini kekencengan meluknya,” ucap Jaehyun susah payah.

“Ah.. Maaf maaf. Kamu udah sembuh Je? Kok udah di luar aja? Masih pusing nggak?”

Seokmin melepas pelukan mereka, tangannya langsung menempel di kening Jaehyun. Satu napas lega keluar saat dia merasakan kalau Jaehyun sudah tidak demam.

Jaehyun tersenyum melihat sikap Seokmin. Dia jadi teringat sudah dua hari dia melewatkan pertanyaan rutinnya kepada Seokmin.

“Mas..” masih dalam pelukan Seokmin, Jaehyun membuka suaranya. Kembali membuka peruntungan untuk bertanya, “hari ini.. udah cint—–”

Namun lagi-lagi perkataan Jaehyun terputus oleh tindakan Seokmin yang kini bukan hanya memeluknya namun membungkam mulutnya dengan lembut.

Ya..

Seokmin mencium Jaehyun.

Ciuman itu bertahan cukup lama sampai saat Seokmin membuat jarak antara mereka. Mata mereka kembali bersatu penuh binar.

“Aku cinta sama kamu Jae. Mas cinta sama kamu Jaehyun.”

Dan kasih telah secara resmi masuk ke dalam hubungan Seokmin dan Jaehyun.

“Dah kenyang makannya?”

Jaehyun hanya menganggukan kepalanya saat Seokmin duduk di depannya sambil menyimpan satu cola di hadapannya.

Dengan cepat Jaehyun menghabiskannya. Masakan Seokmin memang tidak pernah gagal untuk perutnya. Terlalu sukses sampai bisa meluruhkan rasa gugupnya sejak pagi.

“Mau mandi dulu?” Seokmin bertanya lagi kepada Jaehyun.

Satu anggukan lagi-lagi Jaehyun keluarkan. “Mas emang udah mandi?”

“Udah, tinggal kamu gih mandi. Aku tunggu ya di kamar,” ucap Seokmin.

Guratan merah muda keluar dari pipi Jaehyun , guratan itu langsung terlihat oleh Seokmin.

“Jangan malu, makin gemes Mas mu ini loh sama kamu,” setelah mengucapkan itu Seokmin langsung menyugar rambut Jaehyun lembut dan langsung berdiri pergi menuju kamar, meninggalkan Jaehyun yang sudah memerah malu.


“Sini, duduk.”

Jantung Jaehyun berdetak sangat kencang saat dia melihat Seokmin yang sudah duduk menunggunya di ranjang mereka.

Sudah lebih dari satu tahun mereka tidur berdua di ranjang ini, tapi kenapa hari ini rasanya berbeda.

“Pake sabun baru ya?”

“Mhh.. Itu Mas sengaja taro kah di kamar mandi?” Seokmin mengangguk menjawab pertanyaan dari Jaehyun.

“Sini Je deketan.”

Jaehyun menghembuskan napasnya saat Seokmin memeluk tubuhnya. Tak bisa dipungkiri semua sikap Seokmin saat ini membuat hati Jaehyun meleleh.

Perlakuan Seokmin sangat lembut membuat Jaehyun terbuai.

Pelukan mereka terlepas, mata mereka bertukar menyalurkan rasa yang entah sudah ada sejak kapan.

Satu elusan di pipi kanan Jaehyun membuat Jaehyun menutup matanya. Detik selanjutnya, helaan napas Seokmin mulai terasa di pipi Jaehyun, dua belah bibir mereka bersatu.

“Aku cinta sama kamu Mas,” ucap Jaehyun lembut saat ciuman mereka terlepas. “Mas udah cinta sama aku belum?”

Seokmin menjawab pertanyaan Jaehyun dengan senyuman, selanjutnya dia kembali membawa Jaehyun untuk terbuai menyatukan dua benda lembut yang perlahan menjadi candu bagi dirinya.

Malam itu, Seokmin dan Jaehyun menyatukan semuanya. Rasa dan raga mereka berdua di usia pernikahan mereka yang sudah lebih dari satu tahun.

Acara belanja bulanan sekaligus hunting Jaehyun dan Seokmin awalnya berjalan dengan sangat lancar. Setelah berbelanja bahan makanan dan menyimpannya di tempat penyimpanan Jaehyun dan Seokmin meluncur menuju ke IKEA untuk mencari meja yang Jaehyun inginkan.

Sekali tiga uang, Seokmin sambil mencari bantal baru untuk mereka. Karena akhir-akhir ini Jaehyun selalu menggerutu sakit leher saat bangun tidur, dan Seokmin rasa sudah saatnya dia mendapatkan bantal yang lebih bagus daripada kepunyaan mereka.

Namun akhir dari hari menyenangkan mereka sama sekali tidak terduga.

Saat Jaehyun dan Seokmin sedang memasukan belanjaan mereka ke bagasi mobil, ada satu suara menyapa Seokmin dengan nada kaget bercampur riang. Jaehyun masih ingat bagaimana kagetnya Seokmin saat sesosok pria dengan pakaian yang sekali lihat berasal dari merek ternama menghampiri mereka.

Tidak banyak kalimat yang Jaehyun ingat saat laki-laki itu menghampiri Seokmin. Hanya sekelebat kalimat yang Jaehyun ingat yang dilontarkan oleh lak-laki itu.

“Oh ini ya suaminya. Seneng deh gue, lo akhirnya bisa nemu pengganti gue. Akhirnya sukses juga lo move on dari gue Deka.”

Kalau saja Jaehyun sedang tidak membereskan barang belanjaan mereka, sudah Jaehyun gebuki kepala orang itu.

“Yang tadi itu mantan gue, Mingyu.”

Jaehyun mengalihkan kepalanya menatap Seokmin yang sekarang sedang sibuk mengocek teh nya. Mereka sudah sampai dan sekarang mereka tengah duduk di ruang tivi, membiarkan suara televisi itu mengisi kesunyian mereka.

“Tau. Orang tadi dia ngomongnya kenceng banget. Beneran belom move on lo?” Jaehyun menatap Seokmin sinis.

“Mmmh dibilang belum sih ya udah, dibilang udah ya gitulah..” Jaehyun berdecih mendengar jawaban dari Seokmin.

“Itu belum move on namanya! Lemah banget sih lo, masa gitu doang susah.”

Seokmin tersenyum melihat Jaehyun yang sedaritadi bersungut. Gemas sekali pikirnya. Satu pikiran terlintas di benak Seokmin saat melihat Jaehyun yang masih memanjukan bibirnya.

“Lo cemburu ya sama Mingyu?” pertanyaan Seokmin langsung ditanggapi heboh oleh Jaehyun.

“MAKSUD LO?”

“Ya lo daritadi cemberuuut aja, ngomel-ngomel setelah ketemu Mingyu. Padahal sebelumnya lo biasa aja tuh,” jelas Seokmin.

Jaehyun menghembuskan nafasnya. Tidak ada gunanya juga dia berbohong.

“Iya. Gue cemburu. Ngeliat lo ketemu lagi sama mantan lo dengan ekspresi lo kayak tadi. Kaya yang kaget, kagum, ahh pokoknya gitu pas liat dia. Gue takut lo malah balik ngejar dia!” ucap Jaehyun panjang lebar. Menghasilkan senyum jenaka di bibir Seokmin.

“Lo beneran suka ya sama gue Je?”

Seokmin sama sekali tidak percaya dengan apa yang dia lihat dan dengar. Seokmin pikir pernyataan suka Jaehyun bulan lalu itu hanya gurauan belaka, tapi melihat Jaehyun sekarang dia jadi berpikir kalau apa yang dirasakan Jaehyun itu valid.

“IYA LAH! NGAPAIN JUGA GUE BOHONG!!”

“Tapi gimana dong Je, gue masih bingung. Gue nggak tau udah suka sama lo apa belum,” ucap Seokmin.

Mendengar pernyataan dari Seokmin membuat Jaehyun memutar matanya. Memangnya dia setidak menarik itu ya di mata Seokmin?

“Yaudah kalo gitu, mulai sekarang gue bakalan buat lo jadi suka sama gue. Gue bakalan tanyain lo setiap hari lo udah suka sama gue atau belum sampai lo akhirnya suka sama gue.”

Jaehyun bertekad untuk maju. Toh mereka sudah terikat, dia percaya diri bisa melakukan ini.

“Gue cinta sama lo Deka. Dan gue yakin lo juga bisa bales itu. Gue yakin pelan-pelan kita bisa jadi pasangan yang normal dengan kasih di tengah kita.”

Tidak ada jawaban keluar dari mulut Seokmin saat Jaehyun mengucap itu padanya. Hanya ada senyum manis dan usapan lembut Seokmin daratkan di rambut lembut Jaehyun.

“Gue nggak sabar nunggu hari itu datang Je.”

Setelah mengucap itu Seokmin langsung berlalu pergi meninggalkan Jaehyun yang terkaget dengan ucapannya.

Jadi..

Seokmin juga menginginkan itu? Pernikahan dengan kasih di tengah mereka?

Dua lekuk manis di pipi Jaehyun muncul dengan indah saat dia merasakan tidak ada penolakan sama sekali dari Seokmin.

Jaehyun tidak sabar menanti hari itu datang.

Terhitung sudah satu tahun usia pernikahan Seokmin dan Jaehyun.

Tidak ada yang istimewa terjadi. Mereka melewati hari-hari mereka layaknya seorang teman karena mereka memang mempunyai keselarasan dalam kesenangan.

Film, dokumentari, kamera, makan, dan jalan-jalan.

Seokmin dan Jaehyun sangat menyukai hal-hal itu.

Bahkan mereka selalu mempunyai jadwal untuk melakukan itu semua berdua. Seperti dua orang teman yang sedang melakukan kesenangan mereka.

Mungkin yang berbeda hanya cincin yang tersemat di jari manis mereka.

Semua berjalan dengan lancar sampai-sampai mereka bahkan tidak menyadari usia pernikahan mereka sudah menginjak satu tahun. Dan satu tahun itu ternyata berdampak banyak bagi Jaehyun.

“Gara-gara Deka gue jadi nggak bisa nggak sarapan.”

“Gue sekarang kalo nggak lembur jam sembilan malem udah tidur, biasanya boro-boro.”

“Terus gue sekarang jadi biasa ngegym meskipun banyak orang.”

“Makan malem! Dulu gue biasa skip aja makan malem karena suka kecapean terus malah langsung tidur. Lah sekarang malah nggak bisa tidur kalo belom makan malem.”

Ya.

Semua kebiasaan buruk Jaehyun perlahan membaik karena Seokmin yang setiap harinya perlahan membawanya kepada perubahan yang lebih baik itu.

Jaehyun sadar. Dia sangat sadar dengan dampak apa yang Seokmin berikan kepada hidupnya. Dan Jaehyun sangat bersyukur untuk itu.

Seperti sekarang.

“Jaehyun...”

Kepala Jaehyun yang sedaritadi masih berfokus kepada laptop yang dia simpan di meja ruang tamu sedikit terangkat saat Seokmin memanggilnya. Hanya sebatas mengangkat, tak menjawab pertanyaan Seokmin, ia lalu kembali menggerakan jarinya lincah kepada laptop yang sepertinya bekerja tak ada hentinya sejak pagi tadi.

“Jam sebelas loh ini Je. Tidur.” Seokmin yang sebenarnya sudah sedaritadi bertualang di alam mimpi kini menghampiri Jaehyun yang masih duduk melantai dengan berbagai berkas di sampingnya. “Yok..”

“Tanggung, Ka. Besok ini laporan harus selesai, dan besok gue harus berangkat pagi.” Jaehyun menjawab dengan mata yang sama sekali tidak lepas dari layar laptopnya.

Helaan berat keluar dari mulut Seokmin. “Besok pasti masih ada waktu, gue yakin. Ini cuma lo nya aja yang nggak tenang. Yok tidur dulu, lo keliatan cape kayak gitu gimana bisa ngerjain laporan dengan bener?” bujuk Seokmin sekali lagi.

Kini Jaehyun yang menghela nafasnya berat.

“Tapi gue nggak belom ngantuk. Gue cape, tapi belom ngantuk,” adu Jaehyun dengan nada memelasnya.

“Mau gue bikinin teh anget? Biar lo rileks?” tanya Seokmin. Selanjutnya mulut Seokmin tersenyum saat anggukan menjadi jawaban Jaehyun atas pertanyaannya tadi.

“Yaudah kalo gitu. Lo matiin laptopnya, terus masuk kamar. Gue ke dapur dulu bikin teh anget buat lo.”

Setelah mengucapkan itu Seokmin bangkit dari duduknya, meninggalkan Jaehyun dengan senyuman yang tergurat di wajah lelahnya. “Makasih Mas Seokmin!!!”

“Ya.. cepet masuk kamar.”

Jaehyun rasa, dia sangat beruntung sekali mendapatkan teman hidup seperti Seokmin. Ya, meskipun cinta tidak datang meramaikan hari mereka.

Atau belum?

Ah baik Seokmin dan Jaehyun tidak tau soal itu.

Terhitung sudah satu tahun usia pernikahan Seokmin dan Jaehyun.

Tidak ada yang istimewa terjadi. Mereka melewati hari-hari mereka layaknya seorang teman karena mereka memang mempunyai keselarasan dalam kesenangan.

Film, dokumentari, kamera, makan, dan jalan-jalan.

Seokmin dan Jaehyun sangat menyukai hal-hal itu.

Bahkan mereka selalu mempunyai jadwal untuk melakukan itu semua berdua. Seperti dua orang teman yang sedang melakukan kesenangan mereka.

Mungkin yang berbeda hanya cincin yang tersemat di jari manis mereka.

Semua berjalan dengan lancar sampai-sampai mereka bahkan tidak menyadari usia pernikahan mereka sudah menginjak satu tahun. Dan satu tahun itu ternyata berdampak banyak bagi Jaehyun.

“Gara-gara Deka gue jadi nggak bisa nggak sarapan.”

“Gue sekarang kalo nggak lembur jam sembilan malem udah tidur, biasanya boro-boro.”

“Terus gue sekarang jadi biasa ngegym meskipun banyak orang.”

“Makan malem! Dulu gue biasa skip aja makan malem karena suka kecapean terus malah langsung tidur. Lah sekarang malah nggak bisa tidur kalo belom makan malem.”

Ya.

Semua kebiasaan buruk Jaehyun perlahan membaik karena Seokmin yang setiap harinya perlahan membawanya kepada perubahan yang lebih baik itu.

Jaehyun sadar. Dia sangat sadar dengan dampak apa yang Seokmin berikan kepada hidupnya. Dan Jaehyun sangat bersyukur untuk itu.

Seperti sekarang.

“Jaehyun...”

Kepala Jaehyun yang sedaritadi masih berfokus kepada laptop yang dia simpan di meja ruang tamu sedikit terangkat saat Seokmin memanggilnya. Hanya sebatas mengangkat, tak menjawab pertanyaan Seokmin, ia lalu kembali menggerakan jarinya lincah kepada laptop yang sepertinya bekerja tak ada hentinya sejak pagi tadi.

“Jam sebelas loh ini Je. Tidur.” Seokmin yang sebenarnya sudah sedaritadi bertualang di alam mimpi kini menghampiri Jaehyun yang masih duduk melantai dengan berbagai berkas di sampingnya. “Yok..”

“Tanggung, Ka. Besok ini laporan harus selesai, dan besok gue harus berangkat pagi.” Jaehyun menjawab dengan mata yang sama sekali tidak lepas dari layar laptopnya.

Helaan berat keluar dari mulut Seokmin. “Besok pasti masih ada waktu, gue yakin. Ini cuma lo nya aja yang nggak tenang. Yok tidur dulu, lo keliatan cape kayak gitu gimana bisa ngerjain laporan dengan bener?” bujuk Seokmin sekali lagi.

Kini Jaehyun yang menghela nafasnya berat.

“Tapi gue nggak belom ngantuk. Gue cape, tapi belom ngantuk,” adu Jaehyun dengan nada memelasnya.

“Mau gue bikinin teh anget? Biar lo rileks?” tanya Seokmin. Selanjutnya mulut Seokmin tersenyum saat anggukan menjadi jawaban Jaehyun atas pertanyaannya tadi.

“Yaudah kalo gitu. Lo matiin laptopnya, terus masuk kamar. Gue ke dapur dulu bikin teh anget buat lo.”

Setelah mengucapkan itu Seokmin bangkit dari duduknya, meninggalkan Jaehyun dengan senyuman yang tergurat di wajah lelahnya. “Makasih Mas Seokmin!!!”

“Ya.. cepet masuk kamar.”

Jaehyun rasa, dia sangat beruntung sekali mendapatkan teman hidup seperti Seokmin. Ya, meskipun cinta tidak datang meramaikan hari mereka.

Atau belum?

Ah baik Seokmin dan Jaehyun tidak tau soal itu.