P R O L O G
Di sebuah rumah tua asri nan sederhana yang hanya dihuni oleh seorang kakek, tahun 2050.
Selamat pagi, ahh tidak ini sudah sedikit terlambat untuk mengatakan selamat pagi. Selamat siang, ahh ini juga kurang tepat, terlalu awal untuk mengatakan selamat siang.
Kalau begitu, aku akan mulai dengan kata, selamat datang.
Selamat datang di ceritaku, cerita yang sebenarnya tidak terlalu berarti dan memiliki makna mendalam bagi orang lain, tetapi segalanya untuk ku.
Cerita yang nantinya akan aku bagikan kembali kepada penerus yang akan mewarisi sedikit atau bahkan banyak rupaku. Cerita yang nantinya menjadi pengingat bahwa aku pernah bahagia. Cerita yang selalu menjadi tanda bahwa aku telah berjuang. Cerita yang sangat ingin aku rasakan kembali, namun mustahil untuk di realisasikan.
Cerita yang luar biasa.
Sorot tenang matahari yang setiap harinya selalu menemaniku kembali terpancar dengan indahnya, ditemani suara denting jarum jam yang sudah menjadi temanku semenjak beberapa tahun lalu.
Sejak api yang ada di hatiku padam, sejak Sang Maha Kuasa perlahan mengikis anugerah – anugerah yang Dia berikan kepada diriku perlahan. Sejak hal yang sering orang bilang sebagai guru paling berharga sudah terkumpul penuh di pikiran, hati, dan diriku.
Mungkin aku harus berterima kasih kepada jam dinding, yang selama ini sudah sudi menjadi sahabat terdekatku dan menjalankan tugasnya untuk tetap berdenting menemaniku dalam damai. Selain dia yang sudah tidak lagi melakukan tugas itu. Ahh tidak, dia bukan tidak ingin, tapi dia tidak bisa.
Ini sudah terencana, terencana bahkan sebelum aku dapat bisa menyimpan memori setiap detik di ingatanku.
Aku tidak bisa marah, tidak juga punya hak untuk marah, menjerit, meminta rencana Tuhan yang bahkan sekaliber malaikat pun tidak mampu untuk mengubahnya. Aku harus menerimannya, toh aku sudah banyak menyimpan bejuta-juta detik kenangan bersamanya di sini.
Itu sudah lebih dari cukup.
Tangan ringkihku tanpa sadar membuka kotak yang sudah menemaniku sejak lama. Memilah, kemudian tersenyum sesaat, melihat benda yang mungkin sudah lama sekali tersimpan.
Benda itu terlihat masih segar, ahh tidak daripada menyebutnya masih segar, benda itu terlihat masih baru, apakah mungkin karena benda itu terbuat dari bahan yang tidak bisa layu? Namun, setelah benda itu menyapa indera perabaku, aku baru sadar kalau warna merah yang berpuluh-puluh tahun sudah menjadi warna dari benda itu memudar.
“Ahh benar juga, ini sudah sangat lama.”
Satu lagi hembusan napas berat keluar dari tenggorokanku. Mungkin keputusanku untuk membuka kotak itu di siang bolong adalah keputusan yang kurang bijak.
Kotak itu seperti kotak pandora yang memiliki arti mendalam untukku. Membawa jiwa dan ingatanku untuk menjelajah kembali ke masa lalu. Masa–masa penuh api, masa di mana seluruh inderaku masih bisa ku gunakan dengan sempurnanya, tanpa terkecuali, masa–masa di mana aku tidak kenal takut, masa–masa di mana aku dengan percaya dirinya mendeklarasikan kalau aku adalah yang terbaik, masa-masa yang paling aku rindukan.
Kesadaranku mulai kembali saat aku merasakan benda berwarna merah itu menghilang dari tanganku. Mengalihkan pandanganku ke bawah, aku melihat benda berwarna merah itu tergeletak begitu saja. Ahh lagi-lagi Tuhan perlahan mengikis nikmat yang Dia berikan.
Aku pun terduduk, mencoba meraih benda itu, mungkin kalau kalian mencoba menjual benda ini ke suatu tempat lelang, kalian akan ditertawakan. Ahh tidak, jangan kan ke tempat lelang, ke pasar loak saja aku jamin kalian akan menerima tatapan aneh dari orang-orang di sana.
Benda ini tidak bernilai, maksudku, benda ini bahkan tidak bisa ditukar dengan satu butir gula-gula yang selalu ada di setiap warung-warung kecil. Benda ini sangat payah. Tapi memiliki makna mendalam dan peran penting dalam cerita berhargaku ini.
Aku pun berdiri, masih menggenggam benda berwarna merah itu, menatap jendela rumah sederhanaku, menarik nafas dalam dan menutup mataku...
.
.
.
.
.
Tahun 2002
“Je!!! Jepara!!”
Suara yang sangat tidak asing menyapa pendengaranku, aku pun membuka mataku untuk memastikan apakah suara yang aku simpulkan pemiliknya di pikiranku itu memang benar dia.
Menolehkan kepalaku ke sumber suara, retina mata ku mengembang, melihat sesuatu hal yang ajaib. Seolah tidak percaya dengan apa yang ku lihat, aku mengerjapkan mataku berkali–kali, ahh tunggu, aku tidak memakai kacamata tuaku. Dan tunggu... aku pun mengalihkan pandanganku kepada pakaian yang aku pakai.
Mungkinkah ini terjadi?
Sang pemilik suara yang sedari tadi memanggil manggil namaku akhirnya sampai di hadapanku. INI LUAR BIASA!!! sudah berapa puluh tahun aku tidak melihatnya? seminggu lalu aku bahkan mendapat kabar dari salah satu buah cintanya dengan suaminya, kalau dia sedang dirawat di salah satu rumah sakit dan lusa aku berencana untuk kembali lagi bertemu dengannya.
Tapi apa sekarang?
Dia dengan napas yang memburu berada tepat di hadapanku, sehat wal'afiat, memakai baju seragam SMA yang sama denganku, dengan rambut bergaya klimis khas pada jamannya, dan dengan bau parfum menyengat yang memang selalu disemprotkan setiap harinya. Dulu..
Tapi, kenapa sekarang dia di sini ? ahh tidak kenapa aku juga di sini ? dan, kenapa aku mengenakan seragam SMA dengan tas sekolah ku yang selalu aku pakai, dan jaket hitam yang tidak lepas aku pakai. Dulu.. saat aku masih mempunyai mimpi.
“Heyy.. Kok diam aja sih? cepat kita sudah terlambat!!!”
Tepukan kasar menyapa bahuku membuat aku kembali tersadar atas apa yang telah terjadi, tersadar dari lamunanku, tersadar kalau ini bukan sekedar mimpi seorang kakek tua di siang bolong, tersadar kalau ini nyata.
“Ahh—iya .. ayo!! berangkat..”
Menaikan sedikit posisi tas slempang kesayanganku, dulu ke sisi bahu kananku, dengan ragu aku mengikuti langkah gadis yang selalu menemani hari hari remaja ku dulu. Benar, ini adalah jalan itu.
Jalan yang selalu ku lewati, jalan yang mempunyai titik akhir sebuah gedung tempat berkumpulnya remaja yang haus akan ilmu, haus akan pengetahuan, haus akan pertemanan, dan haus akan penasaran. Aku selalu menyukai jalan menuju tempat itu, jalan ini mungkin tidak bisa dibilang jalan utama, tidak bisa juga dibilang sebagai jalan sempit, hanya jalan biasa, tapi memiliki arti yang tidak biasa bagi ku. Dulu.
Sekolah SMA ku berada di tengah kota, lebih tepatnya berada di pinggir alun–alun kota. Mungkin kalian akan mem-bayangkan kalau alun – alun kota itu adalah tempat yang sangat ramai dan kurang cocok untuk menjadi lokasi berdirinya sebuah instansi pendidikan, kalian salah. SMA ku ini memiliki aura kedamaian yang tidak bisa kalian temui di SMA SMA lain, dulu.
Mungkin saat kalian mendengar kata alun–alun, otak kalian akan langsung mulai berpikir kalau itu adalah tempat yang ramai, banyak orang, dan sama sekali jauh dari kata damai. Kalian salah. Kalau seandainya kalian berpikiran seperti itu. Kalian hanya melihat alun–alun itu di saat masa jayanya saja, kalian hanya melihat alun–alun pada saat klimaksnya saja, kalian belum melihat alun–alun di saat masanya perlahan menurun dan menjauhi puncak klimaks.
Alun–alun di kota kami akan menjadi tempat yang paling sepi dan damai setiap kali hari bercetak warna hitam di kalender, alun–alun di kota kami akan mengalami masa klimaks-nya saat hari itu adalah hari di mana tanggal bercetak merah di kalender terjadi. Dan aku sangat menyukai alun–alun saat dia tidak sedang berada pada masa kejayaannya. Dulu, ahh bahkan sampai sekarang.
Otakku terlalu sibuk berkutat dengan kenanganku dengan alun–alun yang letaknya percis berada di seberang sekolah ku sehingga aku tidak menyadari kalau aku dan laki-laki dengan parfum menyengat yang bahkan dari jarak satu setengah meter bisa tercium bau nya sudah sampai di depan gerbang sekolah yang tidak terlalu tinggi, ahh ini cukup tinggi untuk menghentikan aksi melompat dari gerbang yang sedang ngetren terjadi di sekolah ku, dulu.
“Je... kamu mau diam di situ terus, atau mau ikut aku masuk??”
Sesaat aku masih terkagum dengan apa yang ku lihat di depanku saat ini. Plang yang bertuliskan nama sekolah yang dulu sangat aku sukai terpampang jelas. Bukankah tahun lalu aku mendapatkan berita kalau sekolah ini akan digusur karena sudah terlalu tua, dan ingin dibangun ulang? apakah ini masuk akal? plang bertuliskan sekolahku masih terlihat sangat kokoh, gerbang dan tembok yang memisahkan antara gedung sekolah dengan dunia luar juga terlihat masih sangat kokoh, bahkan aku selalu berpikiran kalau hanya gempa besar yang bisa meruntuhkan gerbang ini, dulu.
Tidak ini tidak masuk di akal, beberapa jam lalu aku masih berada di kediamanku, istanaku bersama dia, istana impian kami, ditemani jam dinding usang yang selalu jadi teman berbincangku dan cahaya hangat matahari yang perlahan menggantikan tugas dia untuk memberikan aku sedikit kehangatan. Tapi sekarang apa yang terjadi? Di mana kacamata tua nan usang yang selalu aku pakai? Di mana baju rajut yang tadi aku pakai? dan di mana benda merah itu ?
Kenapa aku malah mengenakan baju yang sempat menjadi tamengku untuk pergi dengan percaya diri ke mana saja aku berangkat dulu? dan.. kenapa aku merasakan kembali anugerah anugerah yang Tuhan berikan dengan sempurna?
Bel sekolah berbunyi.
Aku sedikit mengesampingkan kekacauan yang mungkin hanya aku yang merasakan ini sesaat, karena melihat wajah kesal dari sahabatku muncul. Aku pun melangkahkan kaki ku menuju ke dalam gedung, melewati batas tembok dan gerbang untuk melihat ke dunia luar.
Ya... Tidak ada salahnya untuk mengikuti permainan tidak masuk akal yang mungkin diciptakan oleh takdir, mungkin Tuhan mendengar do'a sang kakek tua di siang bolong tadi dan dengan cepatnya Ia mengabulkan do'a seorang kakek tua itu.
Dengan kumpulan keberanianku yang tadi sempat tercecer karena keadaan, aku melangkahkan kakiku mendekati sumber parfum yang selalu jadi ciri khas dia selama ini, dan menghembuskan nafas dalam.
“Ayoo Sean.. aku tidak sabar bertemu dengannya, sudah ber tahun-tahun kah ?”
Kalimat itu mantap keluar dari mulutku, dengan gerakan merangkul bahu Sean, sahabatku, aku membenarkan letak jaket hitamku. Sean sempat bingung dengan apa yang aku katakan tadi, tapi masa bodoh.
Aku akan gunakan kesempatan ini dengan baik, dan kembali bertemu dengan nya.
Mahaka Gideon, cinta pertamaku.