Pukul 2 Pagi.
Haechan yang baru saja datang pukul setengah dua belas malam hanya bisa menggeleng melihat sebagian dari membernya sudah layu tertidur kalah oleh alkohol. Mereka ini tidak pernah berubah, kalau ada kumpul-kumpul pasti selalu berakhir dengan tepar.
Saat ia datang hanya ada Mark dan Jeno yang masih prima.
Dan sekarang, Jeno pergi untuk terlelap, meninggalkan Haechan dan Mark berdua dalam keheningan.
“Kak Mark..”
“Ya?”
Mark dan Haechan duduk bersebelahan, di balkon apartemen Jisung yang lumayan menampilkan pemandangan indah di hadapannya. Mereka pindah ke sini beberapa lalu, untuk mencari angin kata Haechan. Padahal alasan sebenarnya adalah dia mau mengajak Mark untuk menjauh dari ruang tengah yang sudah menjadi lautan manusia yang teler.
Dia tidak ingin para member mendengar pembicaraannya.
“Gue mau ngomong sesuatu sama lo,” ucap Haechan.
Kali ini tak ada keraguan. Dia sudah bulat. Daripada kembali berlari, dia ingin membuat garis finish dia sendiri.
“Eh.. sebelum lo ngomong, gue mau nunjukin sesuatu dulu sama lo.” Mark merogoh jaketnya dan mengeluarkan ponsel nya. Jari jemari Mark dengan lincah menyentuk benda metalik itu, sampai saat dia berhenti dan menyerahkan benda metalik itu kepada Haechan.
Haechan menerimanya dengan tanya. Alisnya berkerut saat dia melihat apa yang terpampang di layar ponsel itu.
“Menurut lo, dia keliatan baik nggak?” Mark bertanya kepada Haechan.
Satu anggukan keluar dari kepala Haechan, “keliatan cantik, tapi kalau baik gue nggak bisa bilang. Orang gue nggak tau dan kenal dia,” setelah berucap Haechan kemudian mengalihkan matanya menatap Mark.
“Anak-anak juga bilang gitu.. Emang cantik dia.”
Haechan menyimpan ponsel Mark setelah mendapatkan jawaban yang agak menggantung dari Mark. Anak-anak? Apakah Mark juga memperlihatkan foto ini kepada anggota yang lainnya? Kalau iya, kenapa harus Mark menunjukan foto ini kepada anggota yang lainnya?
“Anak-anak?”
“Mmmh, sebelum lo dateng tadi gue udah nunjukin ke anak-anak. Dia Herin, calon istri gue. Tiga bulan lagi kita bakalan nikah.”
Haechan terdiam.
Perkataan-perkataan Mark selanjutnya yang bercerita bagaimana cara dia dan sang calon bertemu tidak terdengar oleh Haechan. Rasanya ada berton-ton beban yang secara tiba-tiba menghantam Haechan, menutup erat pendengaran Haechan sampai saat Mark menyentuh pundaknya pelan.
“Chan? Are you okay? lo dengerin gue kan?”
Haechan terhenyak.
Hatinya terkoyak.
Dia terhempas, lagi.
“Ahh iya Kak..” jawab Haechan dengan gagap. Rasa panas yang tadi hanya bergulir di hati Haechan mulai mengeluarkan uap nya dan membuat mata Haechan merah menahan tangis.
Dia ingin menangis sekarang juga.
Garis finishnya sudah tiada.
“Selamat Kak Mark..”
Haechan memalingkan wajahnya. Perih. Semua terasa perih dan tidak adil.
“Kak.. gue bilang gue mau ngomong sesuatu kan sama lo?”
Haechan tidak mau menanggung perih itu sendiri. Dia ingin lancang sebentar dan membagikan sedikit perih nya kepada Mark.
“Gue cinta sama lo Kak,” mata merah Haechan menatap lurus kepada Mark. Ada gerakan terkejut beberapa detik setelah itu. “Bukan cinta kaya yang Kak Mark bilang beberapa tahun yang lalu. Cinta gue ke lo, bukan cinta yang kayak gitu.”
Pandangan Haechan mulai memburam saat tumpukan air mata menggenangi jelaganya.
“Gue cinta sama lo sebagai Mark Lee. Gue cinta sama lo sebagai Lee Minhyung. Gue.. gue cinta sama lo Kak..”
Haechan menundukkan kepalanya setelah mengucap kalimat itu. Kalimat yang selalu ada di tenggorokannya namun tidak pernah tersampaikan sejah bertahun-tahun yang lalu. Kalimat yang akhirnya menuntun dia untuk membuat sendiri garis finish nya.
“Haechan...” panggilan Mark sangat lirih membuat Haechan semakin merasa perih.
“Gue tau ini nggak mungkin. Maaf kalau seandainya gue ngungkapin hal ini di saat yang enggak tepat,” Haechan menjeda kalimatnya, “tapi gue nggak punya pilihan lain. Gue nggak nyesel buat ungkapin ini ke lo.”
“Lo tau Si Keren yang gue ceritain di Twitter? Itu semua lo. Gue lagi cerita tentang lo Kak,” hembusan napas berat kembali jatuh di hadapan Haechan berbarengan dengan bulir air matanya. Lama kelamaan buliran itu mulai berubah menjadi isakkan. Isakkan perih yang selama ini Haechan tahan untuk keluarkan.
Isakan yang seolah menyerukan betapa lelah nya dia selama ini. Berlari tanpa tau akhirnya. Dan disaat dia sudah menemukan akhirnya, akhir itu menjadi mimpi buruk untuk nya.
“Maafin gue..”
Haechan mengusap kasar wajahnya. Menyibak rambut hitamnya dengan terburu.
“Kenapa minta maaf? Lo nggak salah. Gue yang salah.” Gue yang ngotot buat terus berlari dan ngejar garis finish, berharap liat lo yang buka tangan lebar buat meluk gue. Gue yang salah.
Setelah itu Haechan mengulas senyum pahitnya.
“Sorry udah bikin canggung. Tapi gue nggak akan nyesel udah ungkapin ini ke lo.” Haechan lalu berdiri. “Sukses ya sama Herin? Gue harap kalian jadi pasangan yang diberkati oleh Tuhan.”
“Gue pulang dulu Kak, bilang ke anak-anak kalo gue besok pagi ada jadwal.”
Setelah mengucapkan kalimat itu tanpa menunggu jawaban dari Mark, Haechan berbalik meninggalkan Mark. Ia membereskan barangnya yang ada di ruang tengah dan berjalan lurus ke pintu lalu keluar dari apartemen Jisung.
Kisah nya sudah selesai.
Tapi luka dan rasa sakitnya baru dimulai.
Haechan sudah menyelesaikan lari marathonnya.