gumongjae

Pernikahan Seokmin dan Jaehyun berjalan dengan sederhana. Tidak melakukan pesta besar-besaran seperti apa yang diinginkan oleh kedua ibu dari mereka, pesta pernikahan mereka berjalan dengan sangat sederhana.

No sex

No skinship

Hanya dua itu peraturan yang mereka terapkan sebelum mereka maju ke pelaminan. Mereka berdua setuju, toh mereka menikah hanya untuk memenuhi permintaan kedua orang tua mereka. Seperti apa yang mereka ikrarkan sebelum memutuskan untuk menikah, mereka anggap pernikahan ini menjadi ajang mencari teman untuk tinggal.

Tidak lebih.

Karena pada dasarnya bahkan sejak pertama kali Seokmin dan Jaehyun bertemu, mereka sangat cocok untuk menjadi teman. Ya hanya sebatas itu karena getaran tidak tercipta di antara mereka.

Atau belum?

Yang pasti, mereka berdua sepakat untuk tidak melakukan hubungan yang lebih intens seperti pasangan menikah lakukan.

“Deka..”

Jaehyun menghembuskan napasnya saat melihat Seokmin yang sudah tepar tertidur. Setelah menggelengkan kepalanya, Jaehyun beralih ke sisi ranjang kamar Seokmin dan langsung membaringkan tubuhnya di samping Seokmin, menutup matanya dan menyusul Seokmin untuk masuk ke dunia mimpi.

Ya.

Malam pertama mereka sebagai sepasang suami dihabiskan dengan tidur.

Tak ada yang protes dan mengeluh, karena memang ini batas yang mereka gariskan.

Menurut informasi dari Yudha, Jean bekerja di perpustakaan besar kampus mereka. Jadi Jonathan saat ini membawa langkah nya menuju perpustakaan besar yang berada di pusat kampus mereka.

Setelah mengisi buku tamu, Jonathan mulai mengedarkan pandangannya memindai semua sudut yang ada di perpustakaan itu. Melihat semua laki-laki yang berperawakan seperti Jean dengan jelas. Berharap itu adalah Jean yang sedang dicarinya.

“Ah.. jangan-jangan hari ini dia nggak masuk.”

Jonathan bergumam di setiap langkahnya sambil terus melangkah menelusuri perpustakaan yang lumayan luas itu. Langkah nya terhenti ketika matanya menangkap sesosok pria dengan hoodie abu-abu sedang memijak tangga kecil menyusun buku yang letaknya tinggi.

“Ketemu..”

Ya. Itu Jean.

Dengan langkah cepat Jonathan menghampiri Jean yang sekarang masih berkonsentrasi menyusun buku di rak atas. Jonathan sudah berada di samping Jean, namun lelaki berkulit putih itu sama sekali tidak menyadari keberadaannya.

“Jean?” dan akhirnya Jonathan memanggilnya.

Jean yang tadinya sedang mendongak melihat deretan kode di buku rak atas itu menurunkan pandangannya melihat siapa orang yang memangilnya. Mata Jean membulat saat dia mendapati Jonathan yang sekarang ada di bawahnya, saking terkejutnya pijakan Jean yang tadi kokoh sekarang goyah.

“Eh, eh hati-hati!”

Dan...

Bruk

Jean sudah pasrah apabila dia akan terjatuh di lantai yang keras setelah kehilangan pijakan di tangga tadi. Dia sudah memejamkan matanya erat bersiap untuk menahan sakit. Namun setelah beberapa detik berlalu dia tidak merasakan rasa sakit apapun. Dia malah merasakan ada satu tangan yang menjadi bantalan di kepalanya.

“Lo nggak apa-apa?”

Mata Jean terkejut saat dia melihat Jonathan lah orang yang menangkapnya hingga dia tidak terjatuh dari tangga. Dengan cepat Jean mendorong tubuh Jonathan dan berdiri dari duduknya.

“M-maaf.. Gue nggak sengaja,” ucap Jean gugup. “Lo mau nanyain gue lagi soal muka pembunuh itu? Maaf.. gue bener-bener nggak inget.” Jean mulai membereskan buku-buku yang terjatuh di sana ke troli, bersiap untuk pergi meninggalkan Jonathan. “Gue permisi..”

“Tunggu Jean.. gue ke sini buat minta maaf sama lo.”

Ucapan dari Jonathan membuat langkah Jean berhenti. Melihat Jean yang sudah menghentikan langkah nya, Jonathan pun maju menghampiri Jean.

“Gue.. mau minta maaf soal kejadian kemarin. Maaf kalo gue lancang. Maafin gue..”

“Iya. Nggak apa-apa,” balas Jean. “K-kalau gitu, gue pergi dulu..”

“Tunggu Jean!”

Lengan Jean ditahan oleh Jonathan sehingga mereka kini berdiri berhadapan. Terlihat wajah takut mendominasi wajah Jean. Jean takut Jonathan akan mengajaknya ke kafe itu lagi.

“Gue.. boleh minta nomor hp lo nggak?” ucap Jonathan.

Jonathan benar-benar sudah membulatkan tekad nya. Tekad mendekati Jean kemudian membujuk Jean untuk melakukan terapi supaya dia mengingat kembali wajah pembunuh kakaknya. Jonathan akan melakukan segala cara untuk itu.

“Gue mau ngajak lo buat jadi audience seminar gue nanti. Jadi, boleh nggak minta nomor hp lo?”

Dirgantara dengan cepat melepas helm nya dan masuk ke pagar kosan Jean. Saat dia melihat sosok Jonathan yang tengah berdiri di depan kosan Jean, tanpa basa-basi dia langsung melayangkan pukulannya di pipi kanan Jonathan sampai Jonathan terhuyung ke belakang.

“ANJING LO!!”

Melihat Jonathan yang limpung, Dirgantara langsung menghampirinya dan menarik kerah Jonathan. Dia bersiap untuk melayangkan lagi satu pukulan kepada Jonathan namun pukulan itu terhenti oleh tangan Jonathan.

“LO APA-APAAN SIH ANJING?!! LO SIAPA?!!”

“DIRGA!!”

Teriakan dari Chita menginterupsi tensi panas yang terjadi di luar kosan Jean. Dengan cepat Chita menarik Dirga dari depan Jonathan. “Lo jangan emosi dulu dong Ga!”

“Gimana gue emosi, dia lakuin hal goblok ke Jeha?” Dirga menatap Jonathan nyalang. “Lo ngapain Jeha sampai dia pingsan gitu?! Anjing ya lo..” Dirgantara ingin melangkah maju untuk kembali beradu tinju dengan Jonathan, tapi Chita menariknya dengan kuat.

“Udah Ga.. Jeha di dalem, mending lo liat dia,” mendengar kata “Jeha” membuat hati panas Dirgantara jadi luluh. Satu tarikan nafas besar keluar dari mulut Dirgantara.

“Gue peringatin lo Jonathan, kalo lo sekali-kalinya bikin Jeha kaya gini, gue bakalan jadi orang pertama yang bakalan gebukin lo,” ucap Dirgantara

Setelah mengucapkan itu Dirgantara masuk ke dalam kosan Jean disusul oleh Chita yang langsung menutup pintu kosan Jean, meninggalkan Jonathan yang hanya bisa terdiam.

Jean tidak tau kenapa dia menuruti Jonathan untuk pergi bersamanya, padahal dari awal dia masuk ke dalam mobil hitam Jonathan, tangannya sudah berkeringat tak karuan.

Satu belokan lagi maka Jean dan Jonathan akan sampai ke kafe di mana kejadian mengerikan itu terjadi. Tangan Jean bergetar saat matanya menangkap garis kuning yang mengelilingi kafe itu.

Tidak. Bayangan akan malam mengerikan itu langsung menyerbu memorinya.

“Turun.”

Suara Jonathan yang sudah ada di samping nya sambil membuka pintu mobilnya menyadarkan Jean. Mata Jean bergetar menangkap pintu masuk yang semakin dekat.

“Ayo, ikut gue. Gue yakin lo pasti inget wajah pembunuh itu.”

Jonathan menarik tangan Jean guna mempercepat langkah mereka, sementara tenggorokan Jean sudah kering saat mereka masuk ke dalam kafe itu. Tubuh nya mulai bergetar saat dia melihat garis tubuh yang tercetak di lantai kafe.

“Di sini tempat Kakak gue dibunuh.”

Semua ucapan yang Jonathan ucapkan mendadak lewat tak terdengar oleh Jean. Ingatan soal dia yang melihat mayat tergeletak di depannya, ingatan soal dia dicekik sampai hampir kehilangan nafasnya muncul, dan ingatan perkelahian yang membuat dia tak berdaya semuanya muncul serentak menyerang memori Jean.

Tangan Jean yang bergetar memegang dadanya. Dengan rakus dia menghirup udara dengan mulutnya, namun nihil. Semua oksigen yang dia hirup serasa hampa, dia sesak setengah mati.

Detik kemudian Jean bersimpuh. Mendudukan dirinya sambil menunduk menahan sesak.

“J-jean? L-lo kenapa??”

Jonathan menggoyangkan bahu Jean yang sudah bergetar. Dia terkejut dengan reaksi Jean.

“Jean?!!”

Jean ambruk di depan pola garis putih tempat dia menemukan kejadian yang paling mengerikan di hidupnya.

Pukul 2 Pagi.

Haechan yang baru saja datang pukul setengah dua belas malam hanya bisa menggeleng melihat sebagian dari membernya sudah layu tertidur kalah oleh alkohol. Mereka ini tidak pernah berubah, kalau ada kumpul-kumpul pasti selalu berakhir dengan tepar.

Saat ia datang hanya ada Mark dan Jeno yang masih prima.

Dan sekarang, Jeno pergi untuk terlelap, meninggalkan Haechan dan Mark berdua dalam keheningan.

“Kak Mark..”

“Ya?”

Mark dan Haechan duduk bersebelahan, di balkon apartemen Jisung yang lumayan menampilkan pemandangan indah di hadapannya. Mereka pindah ke sini beberapa lalu, untuk mencari angin kata Haechan. Padahal alasan sebenarnya adalah dia mau mengajak Mark untuk menjauh dari ruang tengah yang sudah menjadi lautan manusia yang teler.

Dia tidak ingin para member mendengar pembicaraannya.

“Gue mau ngomong sesuatu sama lo,” ucap Haechan.

Kali ini tak ada keraguan. Dia sudah bulat. Daripada kembali berlari, dia ingin membuat garis finish dia sendiri.

“Eh.. sebelum lo ngomong, gue mau nunjukin sesuatu dulu sama lo.” Mark merogoh jaketnya dan mengeluarkan ponsel nya. Jari jemari Mark dengan lincah menyentuk benda metalik itu, sampai saat dia berhenti dan menyerahkan benda metalik itu kepada Haechan.

Haechan menerimanya dengan tanya. Alisnya berkerut saat dia melihat apa yang terpampang di layar ponsel itu.

“Menurut lo, dia keliatan baik nggak?” Mark bertanya kepada Haechan.

Satu anggukan keluar dari kepala Haechan, “keliatan cantik, tapi kalau baik gue nggak bisa bilang. Orang gue nggak tau dan kenal dia,” setelah berucap Haechan kemudian mengalihkan matanya menatap Mark.

“Anak-anak juga bilang gitu.. Emang cantik dia.”

Haechan menyimpan ponsel Mark setelah mendapatkan jawaban yang agak menggantung dari Mark. Anak-anak? Apakah Mark juga memperlihatkan foto ini kepada anggota yang lainnya? Kalau iya, kenapa harus Mark menunjukan foto ini kepada anggota yang lainnya?

“Anak-anak?”

“Mmmh, sebelum lo dateng tadi gue udah nunjukin ke anak-anak. Dia Herin, calon istri gue. Tiga bulan lagi kita bakalan nikah.”

Haechan terdiam.

Perkataan-perkataan Mark selanjutnya yang bercerita bagaimana cara dia dan sang calon bertemu tidak terdengar oleh Haechan. Rasanya ada berton-ton beban yang secara tiba-tiba menghantam Haechan, menutup erat pendengaran Haechan sampai saat Mark menyentuh pundaknya pelan.

“Chan? Are you okay? lo dengerin gue kan?”

Haechan terhenyak.

Hatinya terkoyak.

Dia terhempas, lagi.

“Ahh iya Kak..” jawab Haechan dengan gagap. Rasa panas yang tadi hanya bergulir di hati Haechan mulai mengeluarkan uap nya dan membuat mata Haechan merah menahan tangis.

Dia ingin menangis sekarang juga.

Garis finishnya sudah tiada.

“Selamat Kak Mark..”

Haechan memalingkan wajahnya. Perih. Semua terasa perih dan tidak adil.

“Kak.. gue bilang gue mau ngomong sesuatu kan sama lo?”

Haechan tidak mau menanggung perih itu sendiri. Dia ingin lancang sebentar dan membagikan sedikit perih nya kepada Mark.

“Gue cinta sama lo Kak,” mata merah Haechan menatap lurus kepada Mark. Ada gerakan terkejut beberapa detik setelah itu. “Bukan cinta kaya yang Kak Mark bilang beberapa tahun yang lalu. Cinta gue ke lo, bukan cinta yang kayak gitu.”

Pandangan Haechan mulai memburam saat tumpukan air mata menggenangi jelaganya.

“Gue cinta sama lo sebagai Mark Lee. Gue cinta sama lo sebagai Lee Minhyung. Gue.. gue cinta sama lo Kak..”

Haechan menundukkan kepalanya setelah mengucap kalimat itu. Kalimat yang selalu ada di tenggorokannya namun tidak pernah tersampaikan sejah bertahun-tahun yang lalu. Kalimat yang akhirnya menuntun dia untuk membuat sendiri garis finish nya.

“Haechan...” panggilan Mark sangat lirih membuat Haechan semakin merasa perih.

“Gue tau ini nggak mungkin. Maaf kalau seandainya gue ngungkapin hal ini di saat yang enggak tepat,” Haechan menjeda kalimatnya, “tapi gue nggak punya pilihan lain. Gue nggak nyesel buat ungkapin ini ke lo.”

“Lo tau Si Keren yang gue ceritain di Twitter? Itu semua lo. Gue lagi cerita tentang lo Kak,” hembusan napas berat kembali jatuh di hadapan Haechan berbarengan dengan bulir air matanya. Lama kelamaan buliran itu mulai berubah menjadi isakkan. Isakkan perih yang selama ini Haechan tahan untuk keluarkan.

Isakan yang seolah menyerukan betapa lelah nya dia selama ini. Berlari tanpa tau akhirnya. Dan disaat dia sudah menemukan akhirnya, akhir itu menjadi mimpi buruk untuk nya.

“Maafin gue..”

Haechan mengusap kasar wajahnya. Menyibak rambut hitamnya dengan terburu.

“Kenapa minta maaf? Lo nggak salah. Gue yang salah.” Gue yang ngotot buat terus berlari dan ngejar garis finish, berharap liat lo yang buka tangan lebar buat meluk gue. Gue yang salah.

Setelah itu Haechan mengulas senyum pahitnya.

Sorry udah bikin canggung. Tapi gue nggak akan nyesel udah ungkapin ini ke lo.” Haechan lalu berdiri. “Sukses ya sama Herin? Gue harap kalian jadi pasangan yang diberkati oleh Tuhan.”

“Gue pulang dulu Kak, bilang ke anak-anak kalo gue besok pagi ada jadwal.”

Setelah mengucapkan kalimat itu tanpa menunggu jawaban dari Mark, Haechan berbalik meninggalkan Mark. Ia membereskan barangnya yang ada di ruang tengah dan berjalan lurus ke pintu lalu keluar dari apartemen Jisung.

Kisah nya sudah selesai.

Tapi luka dan rasa sakitnya baru dimulai.

Haechan sudah menyelesaikan lari marathonnya.

Haechan menelan ludah nya berkali-kali.

Dia sangat gugup hari ini. Karena setelah memikirkan berbagai konsekuensi kalau dia akan menyesal, Haechan memutuskan untuk berani. Berani menjunjung garis finish nya sendiri.

Besok Mark akan pulang ke Kanada, kalau dia sampai melepaskan kesempatan untuk melakukan pengakuan cinta kepada Mark, dia pasti akan menyesal.

Dia tau Mark akan kembali ke Korea kapan saja. Tapi entahlah, dia rasa dia harus melakukannya.

“Udah nunggu lama, Chan?”

Haechan mengangkat kepalanya, melihat Mark yang masuk ke dorm. Setelah itu satu usapan di kepala Haechan dapatkan.

Kebiasaan Mark yang tidak banyak orang tahu.

Setelah semua member Dream memutuskan jalan untuk masa depan mereka, dorm hanya ditempati oleh Jisung. Karena Renjun beberapa hari lagi juga akan pergi ke China. Dan hari ini, kebetulan Jisung sedang tidak ada di dorm, jadi Haechan memilih tempat ini untuk membuka semua rasa yang tersimpan untuk Mark.

Packing nya udah Kak?”

“Ya, sebagian udah dikirim. Besok cuma bawa koper baju aja.”

Hening. Entah kenapa obrolan yang biasa mengalir dengan lancar kala mereka bersama menjadi mampet. Rasanya sudah beberapa kali Haechan mencari kalimat lain yang tepat untuk dikeluarkan, tapi semua itu hanya sampai di tenggorokannya.

“Katanya mau ada yang lo omongin?” akhirnya Mark yang memecah keheningan. Membuat Haechan gagap tak karuan.

Melihat Mark yang menatapnya penuh tanya, semua tekad yang sudah Haechan susah payah untuk bangun mendadak runtuh. Berbagai ketakutan akan kemungkinan kalau dia mengucap kalimat pengakuan serentak menyerbu pikiran Haechan.

Bagaimana kalau Mark merasa aneh atau bahkan jijik saat dia mengucapkan itu?

Mark besok akan pergi. Kesempatan Haechan untuk bertegur sapa dengan Mark menjadi mengikis karena jarak.

Bagaimana kalau Mark malah berpaling dan memutus segala macam cara mereka untuk bertegur sapa selepas Haechan menyuarakan isi hati nya?

Sumpah Demi Tuhan.

Kekhawatiran yang sudah lebih dari sepuluh tahun terjadi, hari ini semakin terasa. Saat Mark akan pergi.

“Haechan..”

Melihat Haechan yang enggan membuka mulutnya meskipun Mark meminta. Mark mengambil kemudi dalam percakapan mereka.

“Kalau lo mikir gue nggak bakalan balik lagi ke Korea, kalau lo takut gue bakalan pergi, jangan khawatir. Gue bakalan balik. Ada kalian yang jadi alasan gue buat balik.” Mark mengakhiri kalimat nya dengan usapan di rambut Haechan, “jadi jangan over thingking! kita bisa masih bisa komunikasi kan?”

“Gue sayang sama lo, sama Jisung, sama Jeno, sama Jaemin, sama Chenle, sama Renjun. Kalian semua udah kaya adek gue sendiri. Ahh kalian emang adek gue. Jadi nggak mungkin lah gue pergi ninggalin kalian semua.”

Tangan Haechan mengepal. Senyum pahit pun tergurat.

Adik

Ungkapan sayang Mark kepadanya dari dulu memang sebatas itu. Tapi Haechan tidak pernah tau kalau sampai sekarang, rasa sayang Mark kepadanya tidak pernah lebih dari itu.

Tekad Haechan pudar terbang bersama hembusan napasnya.

Bukan hari ini.

Bukan kali ini.

Haechan masih belum berhasil menemukan garis finish yang dia inginkan.

Semua peluh, keluh, dan kesah yang selama ini berjatuhan sepanjang jalan dia berlari masih belum cukup untuk menemukan garis finish itu.

Atau mungkin tidak akan pernah cukup?

Entahlah. Haechan hanya bisa berpasrah dan berserah untuk kali ini. Biarkan Tuhan yang membawa dia ke garis finish itu. Entah bagaimana caranya, Haechan akan menerima itu. Karena jujur, dia juga sudah lelah.

Marathon tanpa akhir ini membuatnya tak berdaya.

Jadi detik ini, Haechan akan beristirahat untuk berlari.

Hanya untuk saat ini.

“Makasih Kak Mark. Lo juga udah kaya kakak gue sendiri. Makasih udah mimpin gue sama anak-anak Dream sampai sekarang. You did very well, take a rest, and I love you my awesome brother...”

Konser di Seoul sudah berakhir.

Semua berjalan meriah, penuh suka cita dan air mata.

Tak terasa perjalanan mereka sudah menginjak tahun ke 10. Dan itu yang membuat pelupuk mata mereka penuh oleh air mata.

Ini bukan yang terakhir.

Mereka janjikan itu.

“Kak Mark jadi repot. Padahal anak-anak lagi wrap up party,” Haechan berucap sambil menoleh ke arah kemudi. Di sana ada Mark yang memegang kemudi, membelah jalanan malam Kota Seoul.

“Anak-anak juga pasti ngerti kok. Lagian kalo gue ikut makan-makan, siapa yang nganter lo? Manajer semua ikut minum.”

Mark membelokan setir mobil nya memasuki satu wilayah perumahan yang cukup elit. Mobil yang sedang dikerdarai oleh Mark dan Haechan menuju ke apartemen Haechan. Apartemen yang sudah sekitar tiga tahun Haechan tempati setelah ia keluar dari asrama.

“Paman sama Bibi Lee ada?” Haechan menggeleng menjawab pertanyaan Mark. “Adek gue besok ada tes, jadi gue suruh pulang aja. Lagian kaki gue udah enakan ini.”

Mark mengangguk kemudian menghentikan mobil nya. Mengambil kruk yang digunakan Haechan untuk membantu nya berjalan. Mark menyimpan tangan Haechan di pundak nya, kemudian dia memegang pinggang Haechan.

“Hati-hati..”

“Iya..”

Mereka berdua pun berjalan perlahan masuk ke dalam gedung apartemen.


“Nggak ngantuk lo?”

Sapaan Mark membuat Haechan menoleh. Sedetik kemudian dia merasakan kasur nya bergerak karena tekanan yang diberikan Mark saat dia ikut duduk di samping Haechan.

“Susah. Rasanya ada yang ganjel,”

Mark menghembuskan napasnya. Dia tau Haechan pasti merasa “sayang” karena dia tidak bisa mengikuti konser mereka yang ke-7 secara maksimal. Haechan hanya bisa mengikuti konser untuk beberapa lagu saja itu juga dengan keadaan duduk.

“Sini. Tidur..”

Mark menggeser duduknya mendekat kepada Haechan. Membawa kepala Haechan untuk berbaring di kepalanya. Dan Haechan tanpa perlawanan akhirnya membaringkan kepalanya di paha Mark. Detik berikutnya tangan Mark sudah menyisir rambut Haechan.

Posisi kesukaan mereka.

“Jangan terlalu dipikrin, lo bisa tampil di konser ke 8.. ke 9.. atau 10 sama kita,” usapan demi usapan Mark berikan kepada Haechan untuk menenangkan laki-laki yang ada di pangkuannya itu.

Sejak pertama Haechan jatuh dan terluka, Mark sudah seperti suster bagi Haechan. Tidak terhitung berapa kali Haechan mendapat pesan dari Mark untuk sekedar mengingatkan makan atau minum obat. Dan selama itu, setiap hari Mark selalu menyempatkan untuk menjenguk Haechan di apartemennya.

Khawatir

Begitu ucapnya.

You did well today, Donghyuck..

Haechan yang sudah setengah tertidur mengulas senyumannya saat mendengar Mark memanggil nama aslinya. Rasanya semua kehangatan yang ada di bumi ini berkumpul mengelilinginya saat Mark menyebutnya dengan nama itu.

Beberapa saat kemudian, dengan senyuman Haechan masuk ke dunia mimpi. Dengan usapan lembut Mark di rambutnya.

Jangan salahkan Haechan kalau dia semakin terbang dan percaya diri. Karena semua perilaku Mark tidak pernah gagal membuat dia melayang melupakan daratan.

Haechan melihat garis finish nya. Dan dia akan segera berlari untuk menggapai garis finish itu.

“Sini..”

Haechan datang dan langsung mendudukan dirinya di samping Mark. Kepalanya masih pusing efek meminum bir karena tantangan member Dream saat sore tadi.

Dengan perlahan, Haechan menyimpan kepalanya di paha Mark. Senyum tipis keluar dari mulutnya saat dia merasakan usapan-usapan kecil yang berasal dari rambutnya.

Ya. Mark sedang mengusap rambutnya.

“Masih pusing lo? Emang tadi sore minum berapa banyak sih?” Mark berbicara sambil tak lepas untuk menyisir rambut kecoklatan Haechan perlahan. Ini sudah jadi kebiasaannya.

Setelah bertahun-tahun berada di samping Haechan, ternyata Mark juga bisa berubah menjadi seseorang penyuka skinship. Ah ralat, bukan hanya penyuka skinship, tapi penyuka skinship dengan Haechan.

“Nggak tau. Nggak inget gue,” Haechan berbicara sambil memejamkan matanya. Rasanya dia mengantuk kembali saat usapan-usapan dari Mark dengan konstan menyapa nya.

Selanjutnya hanya ada obrolan sepele yang keluar. Seperti besok kalau sudah sampai Seoul akan melakukan apa. Apa menu sarapan nanti sebelum pulang, atau obrolan yang lainnya.

“Kak...”

Haechan berbicara. Masih dengan posisi dia berbaring di paha Mark.

“Gue sayang banget sama lo...”

Hening.

Ucapan Haechan berbuah hening. Tidak ada jawaban dari Mark, hanya ada helaan napas yang keluar.

“Gue juga sayang sama lo, sayang sama member Dream lain.”

Sekarang giliran Haechan yang tidak bisa mengeluarkan katanya. Merasa sesak tak tertahan, Haechan pun bangkit dari tidurnya.

Selalu seperti ini.

Marathon yang Haechan kira sudah dekat dengan garis akhir, kembali memanjang saat Mark membalas ucapannya. Garis finish itu kembali memudar di hadapan Haechan.

Haechan masih harus berlari menjemput itu.

Tidak pernah Haechan bayangkan kalau di tengah marathon nya dia akan tersenyum karena sang garis finish memberinya berbagai berkas cahaya.

Haechan sangat mensyukuri hal itu.

Terhitung sudah lebih dari satu tahun semenjak insidern “stay away” hubungan Haechan dan Mark semakin lengket.

Entah karena Haechan yang selalu pantang menyerah, atau karena Mark yang sudah perlahan membuka celah nya kepada Haechan. Atau mungkin karena keduanya? Yang penting sekarang ini, lari marathon yang Haechan jalani tidak seberat dulu.

Karena Mark sudah mulai sedikit membuka celah untuk semua afeksi yang dia berikan.

“Bagus Kak..”

Mark mengangguk mengiyakan ucapan Haechan. Sedaritadi suara instrumen musik terdengar di pengeras suara yang sengaja Haechan bawa itu. Instrumen musik yang menjadi projek musik pertama Mark, ditemani Jaehyun.

“Coba deh pas bagian melodinya lo yang nyanyiin,” ucapan Mark membuat Haechan berkerut. Apakah Mark serius menyuruhnya untuk mengisi bagian melodi di lagu itu?

“Gue?” ucap Haechan sambil menunjuk dirinya sendiri.

“Iya. Kata Kak Jae suara lo kalo digabungin sama tone rap gue cocok. Coba Chan, nyanyiin lirik yang lo buat.”

Haechan melirik buku yang berisi jejeran kalimat yang sudah lebih dari satu minggu ini dia tulis. Sempat ada rasa malu dan tidak percaya diri saat dia mulai kembali membaca kata demi kata yang menuyusun potongan lirik itu.

Tapi saat dia mengangkat kepalanya dan netra nya bertumbrukan dengan netra milik Mark, satu anggukan yakin dia gerakan.

“Okay, gue coba ya..”

Tak menunggu waktu lama, Mark mulai menekan tombol putar dari layar ponsel nya. Alunan instrumen mulai terdengar memenuhi pendengaran mereka. Mark membuka mulutnya, menyanyikan bagian rap nya dengan percaya diri.

Ahh.. Kak Mark kapan sih nggak keren?

Tatapan penuh puja dari Haechan mengiringi kata tiap kata yang keluar dari mulut Mark.

Satu kontak mata Haechan terima.

Ah ini gilirannya!

Dengan tenang Haechan pun membuka mulutnya mulai mengeluarkan suara indah nya dengan senyuman. Oh tidak.. Mark juga membalas senyuman itu, lirik yang sebenarnya sama sekali tidak menggambarkan kebahagiaan itu justru membawa gerombolan kupu-kupu yang berada di perut Haechan.

Ini sangat manis.

Haechan sangat menyukai ini.

Mark, musik, menyanyi.

Semua yang ia cintai bersatu.

Haechan sangat bahagia sampai-sampai dia ingin menghentikan waktu dan selamanya menikmati ini berdua. Bersama Mark tentunya.

“Jangan diem aja dong lo, kan jadi aneh gini..”

Suara Mark memecah hening di antara mereka. Bukan sembarang hening, hening itu tercipta karena katerkejutan Haechan dengan sikap Mark yang baru saja ditunjukan. Untuk yang pertama kali nya sejak mereka mengenal, Mark mengajak Haechan untuk “bermain”.

Haechan tidak tau sikap Mark ini di disebabkan oleh perilaku Haechan yang akhiri-akhir ini mulai menjaga jaraknya dengan Mark. Karena terhitung sudah lebih dari dua minggu Haechan mulai mengerem sikap lengket nya kepada Mark.

Tentu itu semua terpaksa.

Mana mungkin seorang Haechan akan sukarela menjauh dari Mark?

Dan janji nya untuk tetap mendekat kepada Mark di balik kamera nyatanya tidak berjalan. Karena rasa penasaran yang membuat dia membuka halaman dan tagar yang memprotes dia untuk menjauh dari kesayangannya, Haechan menjadi ciut.

Haechan juga manusia. Dicaci maki seperti itu sedikit banyak menggores hatinya.

Sejak saat itu, Haechan mulai menjaga jarak dengan Mark. Tidak terlalu menjauh, hanya sebatas dia tidak menggandeng atau memeluk Mark? Tidak mengajak Mark untuk makan berdua. Tidak merecoki Mark yang sedang memetik gitar kesayangannya di kamar.

Mungkin itu yang membuat Mark membuat langkah seperti kata Jaehyun tadi.

“Belakangan ini aneh. Aneh banget tau nggak.” Mark kembali membuka pembicarannya saat Haechan selesai dengan ramyun nya.

Sebelum masuk ke dalam percakapan hening, Mark memang mengajak Haechan untuk mengecap “masakannya” tadi. Entah lah, rasanya benar kalau mengajak Haechan makan sebelum berbicara.

“Aneh kenapa?”

“Jangan pura -pura nggak tau deh. Lo tau kan gue lagi ngebahas apa.” Mark berucap sambil memancarkan aura kesal nya.

Mark sangat menggemaskan.

Haechan yang melihat Mark seperti memohon tadi tak kuasa untuk tidak melukis senyumnya. Baru kali ini dia melihat sisi Mark yang ini. Dan itu membuat Haechan bahagia.

Tapi memang segala sesuatu yang berhubungan dengan Mark itu selalu berhasil membuat Haechan bahagia dan tersenyum.

“Jangan kaya gitu lagi. Gue nggak risih sama lo. Nggak lagi risih,” Mark berucap sambil menghindari pandangan dari Haechan. “Rasanya aneh nggak ada lo yang ngerecokin gue, apalagi kalau lagi di kamar berdua.”

Haechan mendekatkan tubuh nya kepada Mark yang sekarang terkaget dengan gerakan tiba-tiba Haechan. “Kenapa? Semua fans nya Kak Mark pada nyuruh aku tuh buat jauhin Kak Mark.”

“Jangan peduliin mereka. Mereka nggak tau apa-apa,” balas Mark cepat.

“Dan gue udah punya cara buat alihin perhatian mereka. Jadi mulai sekarang, lo boleh balik ricuhin gue. Karena gue udah nggak risih lagi sama lo.”