Are We Fated To Meet Again 3
Pertemuan tak sengaja Luna dengan Aran waktu itu ternyata mengarahkan mereka ke pertemuan berikutnya.
Sore itu, Aran mengantarkan Luna menggunakan mobil yang sudah dititipkannya di stasiun sedari dua hari lalu. Sepuluh menit setelah mobil meninggalkan stasiun benar-benar tak ada obrolan yang berarti diantara keduanya. Luna merasa awkward karena lelaki di sampingnya itu memergoki dirinya sehabis menangis.
Dua sejoli itu tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Netra mereka menerawang keluar jendela, menikmati hiruk pikuk kota Surabaya memang disajikan untuk mereka. Sepertinya tak hanya Luna yang merasa awkward, aura dingin Aran semakin menguar dan menyebabkan suasana ini semakin kikuk.
“Ehem…” Tiba-tiba terdengar deheman dari kursi supir yang tak lain dan tak bukan adalah suara Aran.
“Tadi… Lo nangis bukan gara-gara kelilipan kan?”
“Eh? Ya?” Luna sok-sokan tidak mendengar jelas pertanyaan Aran.
Damn! Kenapa harus itu sih yang dibahas?, gerutu Luna dalam hati.
“Lo nangis kan tadi, Na?” Lelaki itu mengulang kembali pertanyaannya.
“Ah… Iya,” jawab Luna singkat.
“Mind to tell me why?”
“Ehm… No,i guess.” Gadis bersurai hitam itu semakin tinggi membangun benteng pertahananannya.
“Ah yea.. I see… “ Aran segera memutuskan keinginannya untuk menggali lebih dalam. Karena si empu bahkan sudah menutup pintunya sebelum ia disambut masuk.
“Sorry…,” ujar gadis itu lirih, merasa sedikit bersalah.
“No, no. That’s fine. Cuma mikir aja kalo gue bisa ngelakuin sesuatu buat bikin lo feeling better a lil bit.” Lelaki itu menoleh sedikit ke Luna ketika mengatakannya. Dan walaupun sekilas, ujung mata Luna menangkap sudut bibir Aran yang kemudian membentuk senyuman tipis itu.
Jantungnya ternyata masih memberi respon yang sama untuk senyuman bahkan ketika sudah sekian lama mereka tak bertatap muka. Degup jantung tak karuan masih ia rasakan sama persis ketika ia mencuri pandang pada Aran semasa SMA.
God, why did You do this to me?, my effort all this time seems useless right now. Kembali gadis itu memprotes Tuhan dalam hati tentunya.
Sudah hampir….
“Lima tahun ya?” sahut Aran tiba-tiba.
“HAH?!” Gadis itu tak sengaja menaikkan volume suaranya. Karena kata-kata spontan Aran yang seakan membaca isi pikirannya. Lelaki di belakang kemudi sopir itu sedikit terlonjak kaget dengan respon Luna.
“Eh sorry sorry…” Aran menggeleng cepat.
“Gak ada yang salah, Na. Jangan minta maaf terus. Malah gue yang gak enak kalo gitu.”
“O-okay,”
Lo ngapain sih, Lun. Ya ampun. Dan kini gadis itu beralih sebal dengan dirinya sendiri. Dia mulai kehilangan kontrol dirinya yang selama ini ia bangun. Topeng yang selalu ia pakai, entah mengapa ketika ia bersama dengan Aran seakan terlepas begitu saja.
Percakapan itu tak lagi berlanjut, tepat ketika ia memberikan jawaban awkward pada Aran ternyata mereka telah sampai di depan rumah Oma Luna. Aran menurunkan barang-barang Luna dari bagasi ketika seorang lelaki paruh baya mendekatinya.
“Barang-barangnya neng Luna ya?” tanya lelaki itu.
“Iya Pak,” jawab Aran sopan.
“Sini, biar saya saja yang bawa. Kamu masuk saja, Nak. Sudah ditunggu Oma sama neng Luna di ruang tamu,” ujar lelaki yang ternyata adalah sopir pribadi Oma Luna.
“Gak apa-apa, Pak. Biar saya bantu,” sahut Aran keukeuh
“Uwis tah, Nak. Manut ae. Iki uwis tugasku,” (Sudah lah, Nak. Nurut saja. Ini sudah tugasku) kata bapak itu sembari tersenyum ramah pada Aran.
Mendengar hal itu Aran segera undur diri masuk ke dalam rumah. Dan benar saja disana Luna dan Omanya sudah duduk menunggunya. Lengkap dengan minuman dan makanan ringan yang tersaji di meja ruang tamu itu.
Oma Luna dikenal pribadi yang sangat ramah dengan orang baru. Jadi walaupun baru pertama kali bertemu dengan Oma, Aran merasa nyaman-nyaman saja mengobrol berbagai topik dengan beliau. Dari hal penting seperti alamat rumah Aran, tempat dia bekerja sekarang sampai hal yang tidak bermutu pun dibahas tentang kapan pertama kali Aran bertemu Luna, alasan mengapa Aran mau berteman dengan cucunya yang sangat pendiam itu.
Ya, hal-hal sepele bagi mereka tapi sukses membuat pipi Luna memanas. Gadis itu tentu tidak banyak menanggapi, terlalu malu lebih tepatnya. Benar kata orang ketika lawan bicara kita menyenangkan, waktu mengobrol yang lama takkan terasa. Setengah kaget Aran memandang keluar jendela yang kini sudah menampakkan langit malamnya. Baru saja ia selesai berpamitan, tiba-tiba….
Ting! Ting!
Suara notifikasi dari ponsel Aran dan Luna terdengar bersamaan. Keduanya mendongakkan kepalanya dan netra mereka bertemu.
“Notif grup alumni?” tanya Aran kemudian. Gadis bersurai hitam itu mengangguk mengiyakan. Keduanya kembali menunduk mengecek apa isi pesanbroadcast yang dikirimkan ke grup whatsapp alumni SMA Naruna.
HEYOOO GAESS! WASSUP ?! Semoga semuanya masih diberikan kesehatan dan keselamatan selalu dimanapun kalian berada Aamiin. Dalam rangka Anniversary SMA Naruna ke – XII ini, kami selaku Event Organizer alumni mengajak kalian untuk ikut memeriahkan acara rutin kita yakni “CAMPING BERSAMA AKHIR TAHUN” dan guest tahun ini jatuh kepada …. Jeng jeng jeng jeng
“KELAS XII A ANGKATAN TAHUN 2012”
This event will be held : At : Romantic Camp Batu Malang Date/Time : Minggu, 21 November 2020 What to bring : Perlengkapan pribadi (set camp disiapkan panitia)
WE’LL SEE YOU THERE! DON’T DARE YOU MISS IT!!
“Ada apa, Nduk?” tanya Oma yang sedari ternyata mengamati keduanya.
“Oh, ini Oma, ada undangan reuni SMA Naruna,” jawab Luna.
“Wah pas banget itu, pas kamu disini, Nduk.”
“Tapi Oma… “
“Lapo maneh to? Mumpung Luna ndhek kene, lho(Kenapa lagi? Mumpung Luna lagi disini, lho). Iya to, Nak Aran?” Oma melirik mengode kepada Aran untuk segera mengiyakan.
“I-iya, Na.” Aran yang menangkap lirikan Oma sedikit gagap menanggapi kode dadakan tadi. “Tahun-tahun kemarin lo juga belum pernah ikut acara beginian kan?”
“Iya, sih” Setengah hati Luna menjawab pertanyaan Aran.
“Lagian tahun ini kan spesial, Na. Angkatan kita yang bakal jadi guestnya. Sayang banget kalo dilewatin gitu aja.” Lelaki itu mulai melancarkan aksi membujuknya.
Ya malah gara-gara itu gue tambah males ikut, elah. Gadis itu lagi-lagi menggerutu sendiri dalam hati.
“Udah ikut aja, Ndhuk. Nak Aran juga ikut, kan?”
“Iya, Oma. Kalo Aran mah usahakan gak absen setiap tahunnya kalo bisa hehe.”
“Nah tuh. Kamu lho Ndhuk, cuma sekali ini kayak berat banget gitu. Mumpung ini bisa ngepas waktunya masa mau dilepas gitu aja kesempatanya.” Sepertinya Oma dan Aran sudah menjadi komplotan paling serasi untuk memojokkan Luna malam itu.
“Ya udah deh,” jawab Luna sedikit lesu. Gadis itu pasrah, ia sedang ada di posisi malas berdebat dan kini ia sudah benar-benar terpojok. Berbanding terbalik dengan Oma dan Aran yang sekarang ini sedang menyunggingkan senyum puas kemenangan mereka.
“Oke, kalo gitu Aran ijin pamit dulu ya, Oma,” pamit lelaki muda itu pada Oma Luna.
“Hati-hati di jalan, Nak Aran,” sahut Oma dengan seulas senyum hangatnya.
“See you on Saturday, Na. Gue jemput,” ucap Aran yang ketika akan masuk mobilnya.
“Eh? Gak us….“ Belum sempat Luna menyelesaikan kalimatnya ketika Aran sudah memotong dengan kalimat pernyataannya.
“Gue gak nerima penolakan ya, Na. Titik. Gue jemput besok Sabtu. See ya! gue pulang dulu, Na.” Luna masih berdiri di tempatnya ketika mobil Aran sudah melaju menjauh darinya. Gadis itu masih saja *speechless *dengan semua timing yang Tuhan rencanakan padanya. Juga dengan semua kebetulan ini.
I can’t imagine what will happen next. What are You planning, God?!
“Honest feelings and bad timing make the most painful combination”
t.b.c