haruvi

Pertemuan tak sengaja Luna dengan Aran waktu itu ternyata mengarahkan mereka ke pertemuan berikutnya.

Sore itu, Aran mengantarkan Luna menggunakan mobil yang sudah dititipkannya di stasiun sedari dua hari lalu. Sepuluh menit setelah mobil meninggalkan stasiun benar-benar tak ada obrolan yang berarti diantara keduanya. Luna merasa awkward karena lelaki di sampingnya itu memergoki dirinya sehabis menangis.

Dua sejoli itu tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Netra mereka menerawang keluar jendela, menikmati hiruk pikuk kota Surabaya memang disajikan untuk mereka. Sepertinya tak hanya Luna yang merasa awkward, aura dingin Aran semakin menguar dan menyebabkan suasana ini semakin kikuk.

“Ehem…” Tiba-tiba terdengar deheman dari kursi supir yang tak lain dan tak bukan adalah suara Aran.

“Tadi… Lo nangis bukan gara-gara kelilipan kan?”

“Eh? Ya?” Luna sok-sokan tidak mendengar jelas pertanyaan Aran.

Damn! Kenapa harus itu sih yang dibahas?, gerutu Luna dalam hati.

Lo nangis kan tadi, Na?” Lelaki itu mengulang kembali pertanyaannya.

“Ah… Iya,” jawab Luna singkat.

Mind to tell me why?”

“Ehm… No,i guess.” Gadis bersurai hitam itu semakin tinggi membangun benteng pertahananannya.

Ah yea.. I see… “ Aran segera memutuskan keinginannya untuk menggali lebih dalam. Karena si empu bahkan sudah menutup pintunya sebelum ia disambut masuk.

Sorry…,” ujar gadis itu lirih, merasa sedikit bersalah.

No, no. That’s fine. Cuma mikir aja kalo gue bisa ngelakuin sesuatu buat bikin lo feeling better a lil bit.” Lelaki itu menoleh sedikit ke Luna ketika mengatakannya. Dan walaupun sekilas, ujung mata Luna menangkap sudut bibir Aran yang kemudian membentuk senyuman tipis itu.

Jantungnya ternyata masih memberi respon yang sama untuk senyuman bahkan ketika sudah sekian lama mereka tak bertatap muka. Degup jantung tak karuan masih ia rasakan sama persis ketika ia mencuri pandang pada Aran semasa SMA.

God, why did You do this to me?, my effort all this time seems useless right now. Kembali gadis itu memprotes Tuhan dalam hati tentunya.

Sudah hampir….

“Lima tahun ya?” sahut Aran tiba-tiba.

“HAH?!” Gadis itu tak sengaja menaikkan volume suaranya. Karena kata-kata spontan Aran yang seakan membaca isi pikirannya. Lelaki di belakang kemudi sopir itu sedikit terlonjak kaget dengan respon Luna.

“Eh sorry sorry…” Aran menggeleng cepat.

“Gak ada yang salah, Na. Jangan minta maaf terus. Malah gue yang gak enak kalo gitu.”

O-okay,

Lo ngapain sih, Lun. Ya ampun. Dan kini gadis itu beralih sebal dengan dirinya sendiri. Dia mulai kehilangan kontrol dirinya yang selama ini ia bangun. Topeng yang selalu ia pakai, entah mengapa ketika ia bersama dengan Aran seakan terlepas begitu saja.

Percakapan itu tak lagi berlanjut, tepat ketika ia memberikan jawaban awkward pada Aran ternyata mereka telah sampai di depan rumah Oma Luna. Aran menurunkan barang-barang Luna dari bagasi ketika seorang lelaki paruh baya mendekatinya.

“Barang-barangnya neng Luna ya?” tanya lelaki itu.

“Iya Pak,” jawab Aran sopan.

“Sini, biar saya saja yang bawa. Kamu masuk saja, Nak. Sudah ditunggu Oma sama neng Luna di ruang tamu,” ujar lelaki yang ternyata adalah sopir pribadi Oma Luna.

“Gak apa-apa, Pak. Biar saya bantu,” sahut Aran keukeuh

Uwis tah, Nak. Manut ae. Iki uwis tugasku,” (Sudah lah, Nak. Nurut saja. Ini sudah tugasku) kata bapak itu sembari tersenyum ramah pada Aran.

Mendengar hal itu Aran segera undur diri masuk ke dalam rumah. Dan benar saja disana Luna dan Omanya sudah duduk menunggunya. Lengkap dengan minuman dan makanan ringan yang tersaji di meja ruang tamu itu.

Oma Luna dikenal pribadi yang sangat ramah dengan orang baru. Jadi walaupun baru pertama kali bertemu dengan Oma, Aran merasa nyaman-nyaman saja mengobrol berbagai topik dengan beliau. Dari hal penting seperti alamat rumah Aran, tempat dia bekerja sekarang sampai hal yang tidak bermutu pun dibahas tentang kapan pertama kali Aran bertemu Luna, alasan mengapa Aran mau berteman dengan cucunya yang sangat pendiam itu.

Ya, hal-hal sepele bagi mereka tapi sukses membuat pipi Luna memanas. Gadis itu tentu tidak banyak menanggapi, terlalu malu lebih tepatnya. Benar kata orang ketika lawan bicara kita menyenangkan, waktu mengobrol yang lama takkan terasa. Setengah kaget Aran memandang keluar jendela yang kini sudah menampakkan langit malamnya. Baru saja ia selesai berpamitan, tiba-tiba….

Ting! Ting!

Suara notifikasi dari ponsel Aran dan Luna terdengar bersamaan. Keduanya mendongakkan kepalanya dan netra mereka bertemu.

“Notif grup alumni?” tanya Aran kemudian. Gadis bersurai hitam itu mengangguk mengiyakan. Keduanya kembali menunduk mengecek apa isi pesanbroadcast yang dikirimkan ke grup whatsapp alumni SMA Naruna.

HEYOOO GAESS! WASSUP ?! Semoga semuanya masih diberikan kesehatan dan keselamatan selalu dimanapun kalian berada Aamiin. Dalam rangka Anniversary SMA Naruna ke – XII ini, kami selaku Event Organizer alumni mengajak kalian untuk ikut memeriahkan acara rutin kita yakni “CAMPING BERSAMA AKHIR TAHUN” dan guest tahun ini jatuh kepada …. Jeng jeng jeng jeng

“KELAS XII A ANGKATAN TAHUN 2012”

This event will be held : At : Romantic Camp Batu Malang Date/Time : Minggu, 21 November 2020 What to bring : Perlengkapan pribadi (set camp disiapkan panitia)

WE’LL SEE YOU THERE! DON’T DARE YOU MISS IT!!

“Ada apa, Nduk?” tanya Oma yang sedari ternyata mengamati keduanya.

“Oh, ini Oma, ada undangan reuni SMA Naruna,” jawab Luna.

“Wah pas banget itu, pas kamu disini, Nduk.”

“Tapi Oma… “

Lapo maneh to? Mumpung Luna ndhek kene, lho(Kenapa lagi? Mumpung Luna lagi disini, lho). Iya to, Nak Aran?” Oma melirik mengode kepada Aran untuk segera mengiyakan.

“I-iya, Na.” Aran yang menangkap lirikan Oma sedikit gagap menanggapi kode dadakan tadi. “Tahun-tahun kemarin lo juga belum pernah ikut acara beginian kan?”

“Iya, sih” Setengah hati Luna menjawab pertanyaan Aran.

“Lagian tahun ini kan spesial, Na. Angkatan kita yang bakal jadi guestnya. Sayang banget kalo dilewatin gitu aja.” Lelaki itu mulai melancarkan aksi membujuknya.

Ya malah gara-gara itu gue tambah males ikut, elah. Gadis itu lagi-lagi menggerutu sendiri dalam hati.

“Udah ikut aja, Ndhuk. Nak Aran juga ikut, kan?”

“Iya, Oma. Kalo Aran mah usahakan gak absen setiap tahunnya kalo bisa hehe.”

“Nah tuh. Kamu lho Ndhuk, cuma sekali ini kayak berat banget gitu. Mumpung ini bisa ngepas waktunya masa mau dilepas gitu aja kesempatanya.” Sepertinya Oma dan Aran sudah menjadi komplotan paling serasi untuk memojokkan Luna malam itu.

“Ya udah deh,” jawab Luna sedikit lesu. Gadis itu pasrah, ia sedang ada di posisi malas berdebat dan kini ia sudah benar-benar terpojok. Berbanding terbalik dengan Oma dan Aran yang sekarang ini sedang menyunggingkan senyum puas kemenangan mereka.

“Oke, kalo gitu Aran ijin pamit dulu ya, Oma,” pamit lelaki muda itu pada Oma Luna.

“Hati-hati di jalan, Nak Aran,” sahut Oma dengan seulas senyum hangatnya.

See you on Saturday, Na. Gue jemput,” ucap Aran yang ketika akan masuk mobilnya.

“Eh? Gak us….“ Belum sempat Luna menyelesaikan kalimatnya ketika Aran sudah memotong dengan kalimat pernyataannya.

Gue gak nerima penolakan ya, Na. Titik. Gue jemput besok Sabtu. See ya! gue pulang dulu, Na.” Luna masih berdiri di tempatnya ketika mobil Aran sudah melaju menjauh darinya. Gadis itu masih saja *speechless *dengan semua timing yang Tuhan rencanakan padanya. Juga dengan semua kebetulan ini.

I can’t imagine what will happen next. What are You planning, God?!

“Honest feelings and bad timing make the most painful combination”

t.b.c

Aran menatap lurus gadis bertopi didepannya. Tangannya mengunci tubuh mungil Luna agar tidak pergi. Mata mereka bertemu ada api rindu yang diam-diam kembali membara jauh di dalamnya.

“A-apa?” Luna bertanya gagap pada sosok lelaki di depannya.

Gue yakin gue gak salah inget. Lo Luna kan?” Gadis itu menelan ludah. Aran masih mengingatnya.

“Iya, nama gue Luna. Kenapa emangnya?”

Lo beneran lupa sama gue, Na?”

“Emang kita udah pernah saling kenal?” Gadis itu baik menelan pil pahit ketika ia mengatakannya.

Ada jeda setelah Luna menanyakan hal itu. Keduanya sama-sama terdiam.

“Oke, fine. Mungkin gue salah orang.” Aran akhirnya melepaskan kuncian tangannya pada gadis di depannya. Luna masih menundukkan kepalanya, ia masih belum berani menatap balik cinta pertamanya itu. Ia berbohong padanya.

Sorry,udah ganggu waktu lo.” Terdengar nada kecewa ketika Aran mengatakannya.

“Oke,” jawab gadis bertopi itu singkat. Ia segera membalikkan badan dan melanjutkan langkah kakinya yang sempat tertunda tadi. Mencoba menormalkan reaksi tubuhnya, tapi gagal. Netra gadis itu sudah memerah panas. Ia segera mempercepat langkahnya ketika telapak kakinya sudah menapak lantai stasiun. Sigap matanya mencari kamar mandi. Air matanya sudah tak bisa dibendung lagi. Luka hatinya kembali terbuka dan kali ini ada taburan garam yang menambah luka itu semakin perih.

Ia segera merangsek ke salah satu toilet. Luna menangis dalam diam, tak ada suara dalam tangisnya. Yang menandakan perihnya memang sudah tak tertahan lagi. Niatannya kembali ke Surabaya bukan untuk membuka luka itu lagi. Tapi kenapa Tuhan menakdirkan pertemuan ini padanya. Bisakah waktu berpihak padanya setidaknya sekali saja untuk saat ini? Ia hanya ingin bersenang-senang dengan jatah liburan yang sangat ditunggunya ini.


“Eh ada foto jatoh nih! Woi, punya siapa nih?” Salah satu murid cowok kelas berteriak menanyakan kepemilikan foto tak bertuan itu.

“Mana-mana?” Anak-anak lain ribut menimpali.

“Wiiih foto cewek bro?” kata Desta sengaja memanasi keadaan kelas.

“Woi mana? sini kasih liat gue dong.” Seketika murid-murid cowok di kelas XII A riuh karena sebuah foto yang masih belum ditemukan pemiliknya itu.

“Ah gue kira cantik. Ternyata biasa aja. Gak ada manis-manisnya gitu”

“Yah, penonton kecewa.” Beberapa murid cowok mulai mundur karena ternyata fotonya tidak sesuai ekspektasi mereka.

“Eh, bentar deh. Ada tulisan di belakangnya, Bro!” Desta masih saja belum menyerah membuat kelas XII A panas.

“Love, Aran. Aran?”

“Aran? Arannya kelas kita?”

“Si pangeran es?” Kerumunan itu kembali membesar karena sebuah nama murid populer disebut. Kali ini murid cewek juga sudah mulai melirik-lirik penasaran.

“Woi Ran, Aran! Ada yang secret admirer lho lagi nih” Desta melangkah mendekati sang pemilik nama. Cowok yang duduk di pojokan itu masih bergeming. Ia tak beranjak dari tempat duduk favoritnya, di dekat jendela. Masih menikmati buku bacaan di tangannya dengan earphone yang nangkring di telinganya. Aran sengaja menghiraukan semua itu. Ia terlalu malas mengurusi hal yang bukan urusannya.

“Woi Pangeran!” Desta yang sedari tadi gembar-gembor mencopot paksa earphone Aran.

“Apaan sih, Des?!” Aran bersungut melihat kelakuan teman kelasnya itu.

“Liat ini bentar,deh. Ada nama lo di foto cewek yang gue temuin tadi.” Akhirnya Aran melirik sekilas ke foto yang ditunjukkan Desta padanya.

“So what?” Cowok itu menjawab acuh.

“Yaelah, kali aja lo tau kan nih cewek sapa. Mau gue balikin ke empunya nih lho” jawab Desta mulai kesal dengan sikap dingin si pangeran kelas.

“Gue gak kenal. Bukan tipe cewek yang pengen gue kenal juga.” Aran menjawab sekenanya dan setelahnya kembali sibuk dengan kegiatan membacanya.

“Ah iya ya, gue lupa. Standar lo kan tingkat dewa, mana ada seorang Aran bakal ngelirik cewek buluk kayak di foto ini,” ujar Desta sembari menyingkir dari hadapan cowok dingin itu.

“Woi, buat yang ngerasa punya foto nih foto. Gue taruh di laci meja depan kalo lo mau ambil.” Akhirnya Desta menyudahi drama singkatnya di istirahat siang itu. Tak ada yang tahu ada gadis yang sedang berusaha bersikap senormal mungkin. Menahan semua reaksi tubuh yang memungkinkan terlihat oleh teman-teman sekelasnya.

Ya, foto itu adalah milik Luna. Foto asli dirinya sebelum dia memutuskan untuk merombak semua penampilannya demi masuk ke SMA Naruna. Foto yang selama ini dia simpan di jurnal pribadinya.

Sebagai pengingat bahwa dia pernah mengalami masa-masa bullying karena tampilannya saat itu. Dan juga sebagai pengingat bahwa ia berhasil melewati fase itu. Dan bisa sampai titik ini adalah suatu kebanggaan tersendiri bagi seorang Luna . Setidaknya di SMA Naruna ini ia benar-benar tak ingin merasakannya lagi. Oleh karenanya, ia mencoba menahan semuanya.

Hatinya bertambah sakit mendengar respon dari crushnya, Aran. Entah kapan Luna menuliskan nama Aran di belakang foto itu, ia sendiri pun tak ingat. Gadis itu hanya mengingat bahwa Aran menyita hampir seluruh perhatiannya sedari momen cowok itu menolongnya. Luna benar-benar tak bisa melepas pandangannya dari cowok arogan itu. Apalagi mereka berada di kelas yang sama. Setiap ada kesempatan Luna selalu mencuri pandang pada cinta pertamanya itu. Selalu penasaran dengan semua aktivitas yang dilakukan seorang Aran.

Luna tahu Aran bukanlah seorang murid biasa yang bisa ia dekati. Sudah bejibun murid cewek yang menyatakan cinta padanya. Hampir setiap minggu tak pernah ada yang absen untuk melakukan pernyataan cinta itu. Tapi Luna tahu diri, dia juga tak punya cukup nyali untuk melakukannya. Mereka yang menaruh hati dan menyatakan perasaan pada Aran adalah jajaran para gadis populer dengan paras cantik dan manis mereka. Apalah arti seorang Luna dibanding mereka.

Nyalinya makin menciut mengetahui salah satu mantan Aran yang memang memiliki paras yang tidak bisa dibilang biasa dan prestasi yang tidak abal-abal. Ada yang mengatakan mereka adalah pasangan legendaris SMA Naruna yang tak mungkin terpisahkan. Tapi si cewek memutuskan untuk pindah sekolah ikut keluarganya yang ditugaskan ke luar kota, akhirnya hubungan mereka kandas setelah itu. Bahkan sampai sekarang tak sedikit murid yang mengharapkan mereka untuk kembali menjadi pasangan. Saking serasinya kedua sejoli itu.


Luna menghembuskan napas untuk kesekian kalinya. Dia mencoba mengatur perlahan tempo napasnya kembali ke normal. Entah kenapa satu kenangan itu, yang mungkin bagi orang lain biasa saja, tapi tidak bisa biasa untuknya. Satu hari itu kelam itu ia bak mendapatkan dua luka sekaligus. Mungkin orang lain akan menganggap Luna terlalu berlebihan, terlalu mendramatisir keadaan. Tapi memang begitulah Luna, seorang gadis yang sangat rapuh berbalut topeng kuat yang ia ciptakan sendiri untuk menghadapi kerasnya dunia.

Setelah mengusap sisa-sisa air matanya ia menuju wastafel kamar mandi untuk merapikan penampilannya. Gadis itu kembali memakai topinya, tapi kali ini ia sedikit merendahkannya.Tak ingin ada orang lain yang memergoki ia habis menumpahkan air matanya. Ia benci terlihat lemah di depan orang lain, siapapun itu.

Bruk!

Kepala Luna menabrak seseorang. Ia memang sengaja berjalan sambil terus menundukkan kepalanya saat itu.

“Ah maaf, saya tidak sengaja. Maaf” ujar Luna tanpa memandang siapa yang ditabraknya. Gadis bertopi itu ingin cepat-cepat melanjutkan langkah kakinya. Sebelum lengannya ditahan oleh seseorang.

“Luna..,”

Shit! That voice, Aran, umpat Luna dalam hati. Gadis itu masih bergeming, tak bergerak dari posisi berdirinya saat ini.

“Na, are you okay?” Luna masih bingung bagaimana harus bereaksi. Satu-satunya orang yang ia ingin hindari sedari dia keluar toilet umum tadi malah sekarang sedang menahan lengannya.

I-i’m okay. Can you let my hand go?” jawab Luna masih tanpa melirik Aran. Kepalanya masih saja menunduk. Tak berani mendongak mengarah pada sang penanya.

“Bohong,” ujar Aran.

N-no, i’m not” Gadis itu masih saja tergagap menjawab lelaki pujaannya itu.

Just show me your face then.” Tak mungkin dia menunjukkan wajahnya saat ini pada Aran. Luna malah semakin menarik topinya untuk menutupi akses Aran menjelajahi wajahnya.

“Look at me, Luna!” Tiba-tiba kedua tangan Aran sudah menangkup pipi chubby Luna. Gadis yang mendapat serangan dadakan itu hanya bisa mendelik kaget dengan tingkah Aran saat ini.

“Huft. As expected. You’re crying. Still crybaby, huh?” Cowok itu mengatakannya dengan nada sedikit menggoda.

“Ih, apa-apaan?!” Luna segera menepis tangan Aran.

“Jadi, ini beneran Luna temen gue SMA kan?” tanya Aran puas.

“Oh ya, cuma temen ya,” monolog gadis itu dalam hati. Ada satu bagian yang nyeri ketika mendengar kata ‘temen’ langsung dari bibir Aran.

“Iya. Sorry, gue baru inget muka lo,” ujar Luna setenang mungkin.

Really? I don’t think so.” Kini Aran mulai memojokkan dirinya.

“Terus kenapa lo nangis?”

“Oh, cuma kelilipan aja kok tadi.” Tatapan Aran saat ini kian menyelidik. “Mm… Gue boleh duluan, Ran? Mau ada urusan di rumah Oma,” ujar Luna sekenanya, ia hanya ingin segera berpaling dari makhluk satu ini.

“Gak,” jawab Aran singkat.

“Hah? Maksudnya?”

Gue bukan tipe yang mau ngebiarin cewek abis nangis jalan sendiri. Gue anter sampe rumah Oma.” Aran mengatakannya enteng. Tangannya kembali menggandeng lengan Luna.

“Eh, eh gak usah, Ran. Gue bisa sendiri, gak usah repot-repot,” jawab Luna yang dengan terpaksa kini mengikuti langkah Aran.

“Udah diem. Gue gak suka penolakan ya. Ini sekalian gue balik ke rumah juga, jadi gak ngerepotin.”

Kini Luna kembali pasrah mengikuti tarikan paksa tangan Aran.

“He’s still the same,” batin Luna. Sudut bibirnya tertarik naik membuat lengkung senyum samar karena tindakan Aran satu itu.

I try to teach my heart not to want things it can’t have – Alice Walker -

t.b.c

Who says men can't cry. Who says men can't be hurt. That's all bulshit! In fact, I'm here again crying over her leave.

Tsk! What's with the atmosphere tonight? The piercing cold air, the calm ripples of the lake, all of this seemed to force me back into that painful moment.


“We can't go on like this,” said that girl on that night. She said she wanted to say something important and I had to meet her. And finally we end up sitting on this lakeside bench.

She gave pause to her words. It's certainly not a light-hearted chat. I didn't respond immediately. Actually I know where this conversation is headed. I know it's hard not only for her, but for us.

I sighed heavily before finally responding.

“Then, what do you want?” I said, trying to say it as calmly as possible. Even though there's a storm inside my heart, but i tried my best not to show it in front of her. I tightened my jaw, holding back all the emotions that might explode at any time.

I saw her tears start to welled up in her eyelids. Ah shit! I cursed in silence. I failed, my promise to not to make that girl cry again, i just broke it so easily.

She took a deep breath, preparing to continue her words.

“Looks like we need time for each of us” She took another pause, it seemed very hard for her to take this choice. “It's enough, Van. We need to stop it, right here right now.” That girl slowly stands still, wordless as if trying to convince herself that what she did was right.

She turned towards me without looking at me. And said a sacred sentence that i didn't really want to hear on that night.

“Thank you for everything, Van. I really enjoyed our time these past 2 years.” She said it in a low voice, as if holding back her tears that would break out maybe in a matter of seconds. That girl left me alone on that bench. Without waiting for my response or either my answer. It's okay, I understand she won't be able to hold her cries any longer than that.

Now i'm alone here, accompanied by the breeze of the night and the silence of the lake. There is no sound other than the rustling friction of the leaves of the trees. I think God of nature really understood me that night. They let me reflect on what just happened. The wind, the trees and the silence of the lake seemed to enjoy the show that had just been presented to them.

They become a witness to the fool Yovan. Who let the girl go without any effort to defend her. Why would I be that stupid? Even my hand that wanted to hold it, my tongue that I wanted to move to answer it suddenly didn't work. They won't listen to my orders that night.


Until tonight, exactly one year after her leave, that moment was one of my greatest regrets. I didn't dare to call her after that painful night. I don't even dare ask her close friend about how she's doing. Yeah, i'm that coward.

I don't know why the urge to call her is getting stronger tonight. I'm heading for the nearest pay phone. Of course I don't dare call her with my personal number. I hesitantly pressed my ex's cell phone number, which I even memorized outside my head. The dial tone was heard from across the street. Right now i can't describe how my heart is doing. Shock, happy at the same time because she didn't change her cell phone number.

Tuut.. Tuut..

There's still no answer from the other side. I surrendered, well i didn't expect more from this. I was trying to hang up on that phone, when suddenly there was a woman's voice from across.

“Hello?” Ah that's her voice. My girl's voice that I miss so much. I didn't respond because this heart suddenly hurt. Remembering that the girl on that phone is not her girl anymore.

“Hello? Who's there?” Enough, Van. You really won't be able to answer that. The other part of me tells me that. And I ended my phone that night. I let the handle hang, i'm just too weak to get it back in place.

I'll move my foot back towards the lake bench. At least there's a quiet lake there that accompanies me. I took out my phone and opened the notes app. I don't know why I want to write something down for tonight.

How do i describe this? This is like a timeline Of the moments from we were in love In the end, there's just sad ending

Suddenly a theory passed through my head. Ah, is this how God punishes me? Is this how He warns me that everything in the world doesn't always have to match my expectations?

If anyone saw me like this, tonight they wouldn't have any thought, they wouldn't even believe it even if I told them about it myself. Because in their eyes there is only one Yovan, a young CEO with a great career. They don't know that this Yovan can also be a sad man just because of a fragile woman. Maybe only the silent of this lake will believe, because he witnessed everything.

° Sekuel : I Can't Let You Go °


¬ Sion [ as Doya's lil bro] POV ¬

Tatapannya kosong, pandangannya masih mengarah pada tempat yang sama. Tangga tempat ia terakhir kali melihat dua orang terkasihnya berpelukan.

Sudah berbagai macam cara kulakukan untuk mengalihkannya. Dari sentuhan lembut pada bahu sampai tepukan keras pada punggung tak kunjung juga menyadarkannya. Semua usahaku nihil, Doya akan seperti ini sampai nanti malam menjelang. Seperti biasanya.

Jangan berpikiran ini pertama kalinya ia seperti ini sehingga semua usahaku tadi gagal. Tidak, ini sudah kejadian ke berapa puluh kalinya. Sampai aku tak ingat kapan pertama kali itu terjadi.


Doya adalah satu-satunya abang yang paling kusayang. Kakak sekaligus orang tuaku. Aku sudah yatim piatu sedari lahir. Papaku mengalami kecelakaan kerja ketika aku masih berumur delapan bulan dalam kandungan Mama. Dan Mama... Ah sepertinya akulah penyebab Mama tiada. Mama meninggalkanku dan Doya tepat setelah beliau mengantarku ke dunia. Kata Doya, Mama sempat tersenyum ketika beliau mendengar tangisan pertamaku. Tapi setelah itu Mama tak lagi membuka matanya.

Ah iya, tentang aku yang selalu menyalahkan diriku ketika mengingat bahwa akulah penyebab Mama meninggal. Seorang Doya yang kalem akan berubah menjadi emak-emak bawel yang bolak-balik mengatakan...

“Awas saja kalau kamu bilang seperti itu lagi! Sudah kubilang berapa kali bahwa itu bukan salahmu. Mama juga pasti tidak akan suka jika kau berkata seperti itu.”

“Ingat! Kamu adalah anugerah dan hadiah terbaik yang kami tunggu. Mama tersenyum setelah mendengar tangisanmu, itu bukti bahwa beliau bersyukur telah melahirkanmu.”

Dan ocehan sejenisnya bisa kudengar seharian penuh, jika aku kembali membahas topik itu. Dia akan menjadi Emak Doya sampai aku benar-benar berhenti menyalahkan diriku. Dasar emak.

Aku dan Doya hanya terpaut dua tahun. Itulah sebabnya aku jarang memanggilnya abang. Tapi walaupun kami hanya selisih dua tahun, kepribadian kami sangat berbeda. Doya menjadi sangat dewasa karena tuntutan hidup, sedangkan aku masih saja sangat kekanakan di umurku yang menuju kepala dua. Itu karena kebiasaan Doya yang selalu memanjakanku kapanpun dimanapun.

Dalam ingatanku tak pernah sekalipun Doya memarahiku. Setiap kali aku melakukan kesalahan, ia selalu memiliki cara tersendiri untuk menegurku.

“Sion, nanti malam habis kuliah ada waktu? Kita makan di luar yuk.” Jika Doya sudah menawarkan ajakan itu, aku otomatis mengintrospeksi diri kesalahan apa kali ini yang sudah kubuat.

Walaupun nantinya takkan kutemui Doya yang membentakku. Sepertinya itu mustahil terjadi. Tapi tetap saja statusku bersalah. Nantinya ia akan membicarakan perlahan tentang kesalahanku tanpa membuat aku tersinggung. He's the best brother indeed.

Lelaki itu tahu betul hatiku sangat sensitif semenjak aku tahu fakta tentang penyebab Mama meninggal. Dan sampai saat ini hanya Doyalah yang benar-benar mengerti diriku luar dalam.

Bahkan ketika Doya memutuskan untuk berkeluarga. Ada sekitar satu minggu lebih baru dia akhirnya berani mengutarakannya padaku. Ya karena tadi, aku terlalu sensitif tentang apapun. Tapi saat itu aku jauh lebih bisa mengerti dan paham tentang keadaan, mungkin karena faktor usia.

Aku senang melihat Doya bahagia. Aku tak ingin menjadi penghalang kebahagiaan orang terkasihku. Doya sudah cukup menderita selama ini karenaku dan kini saatnya aku mengangkat sedikit bebannya.

Kukira aku akan kehilangan Doya sepenuhnya ketika ia memiliki dambaan hati sebagai pelengkap hidupnya, namun ternyata tidak. Doya mengatakan akan membawaku serta ke rumah barunya. Tentu pada awalnya aku menolak, takut aku akan mengganggu waktu bersama mereka.

Tapi Doya keukeuh pada keputusannya. Dan sampai akhirnya aku mengusulkan jalan tengah, menyewa rumah kecil di sekitar rumah baru mereka. Untungnya Doya tak keberatan dengan itu, begitupun dengan Kak Lynn, istrinya.

Sungguh aku tak menyangka aku akan merasakan kebahagiaan seperti ini. Kehangatan memiliki keluarga utuh bisa kurasakan ketika Kak Lynn berada di tengah kami.

Tak salah Doya memilih Kak Lynn sebagai pendamping hidupnya. Cantik, pintar memasak, rajin, akrab dengan anak kecil. Deskripsi wanita idaman semuanya ada dalam diri Kak Lynn. Bukannya aku iri, namun justru aku bersyukur karena Doya tak salah pilih.

Kebahagiaan keluarga kecil ini makin lengkap dengan kelahiran Nathan, jagoan kecil kami. Akhirnya aku punya teman main lagi, batinku.

Semenjak Nathan lahir, aku memutuskan pindah sementara ke rumah Doya. Bukan karena apa-apa, tapi Kak Lynn memang masih belum percaya untuk memperkerjakan orang asing di rumahnya. Sampai sekarang pun semua pekerjaan rumah digarap sendiri oleh Kak Lynn, karena ia tidak menyewa ART.

Dan akhirnya aku memutuskan tinggal disana sementara waktu untuk membantu Kak Lynn mengurus Nathan. Walaupun sebenarnya aku juga tak tahu-menahu bab mengurus anak. Tapi seiring berjalannya waktu Kak Lynn dengan telaten mengajariku. Sampai akhirnya aku terbiasa menjadi baby sitter Nathan ketika Kak Lynn harus mengurus kerjaan rumah.

Nathan, benar-benar kloningan Doya. Tak ada hal yang ia tak bisa. Dari segi keelokan wajah, prestasi bahkan sifat pun ia sangat mirip dengan Daddy-nya. Dan aku sebagai omnya juga sangat bangga akan hal itu.

Oh ya, aku kembali ke rumah kecilku ketika Nathan sudah masuk SD. Karena tugas kuliahku semakin kejam dan Nathan juga sudah bisa mandiri, akhirnya kembali ke tempat awalku menjadi keputusan terbaik saat itu.

Semuanya baik-baik saja, bahkan semuanya makin sempurna karena Doya naik jabatan di kantornya. Tapi tentu ada konsekuensi yang diambil, Doya menjadi sering pulang malam karena lembur kerjaan.

Beberapa kali Kak Lynn mengeluhkannya padaku dan aku hanya bisa menenangkannya mengatakan bahwa ini semua hanya bertahan sementara di awal-awal saja. Nathan pun mengeluhkan hal yang sama, dan lagi aku mengalihkannya dengan mengajaknya bermain apapun yang bisa dimainkan kita berdua.

Seminggu itu, Kak Lynn sering mengeluh tak enak badan. Aku menyuruhnya untuk tidak terlalu terforsir dan perbanyak istirahat. Tapi sepertinya Kak Lynn tak mengindahkannya.

“Masih kuat kok, gak apa-apa.” Selalu begitu jawabnya.

Ya semuanya memang masih bisa dibilang baik-baik saja. Hingga malam itu. Malam paling kelabu bagiku dan juga Doya.

Tak ada firasat apapun. Tapi entah kenapa waktu itu aku memutuskan untuk pulang lebih awal. Sore hari aku berpamitan dengan Kak Lynn dan Nathan kembali ke rumah kecilku. Sepertinya karena aku terlalu terforsir dengan kegiatan kuliah hari itu, karenanya aku ingin beristirahat lebih awal. Namun tak kusangka keputusanku saat itu bukanlah keputusan yang tepat.

Jam delapan malam aku sudah tertidur. Ponsel ku setel di DND mode. Memang itu kebiasaanku ketika tidur, aku tak ingin diganggu.

Aku benar-benar terlelap dalam tidur dan masih terbuai dalam mimpi indah. Sampai suara teriakan kencang yang kukenal membuatku seketika terperanjat bangun. Itu teriakan Doya. Aku langsung mengecek ponsel di sebelahku, masih jam sepuluh malam. Mataku terbelalak ketika melihat notifikasi ponsel. Ada sepuluh panggilan tak terjawab dari Kak Lynn. Tanpa babibu, aku langsung berpakaian dan setengah berlari menuju rumah Doya.

Kulihat sudah banyak orang berkerumun di depan rumahnya. Hatiku yang sedari tadi sudah merasa resah, kini bertambah tak enak melihat keramaian itu.

“Permisi, permisi,” kataku lirih sambil menyibak kerumunan orang-orang. Mereka yang menyadari kehadiranku segera membuka jalan untukku.

“Yang sabar ya, Dek.” Samar kudengar ada beberapa orang mengucapkan kalimat itu. Ada apa, batinku.

Kurasakan ada juga seseorang yang mengelus punggungku. Hati ini semakin tak karuan mendapatkan semua perlakuan itu.

Sampai akhirnya aku tahu arti semuanya, ketika kaki ini akan melangkah masuk ke ruang tamu rumah Doya. Kukerjapkan mataku berkali-kali hanya untuk memastikan pemandangan di depanku ini bukan ilusi. Dan ternyata itu memang bukan ilusi, semua ini benar-benar nyata.

Di depan mataku, Kak Lynn dan Nathan berpelukan bersimbah darah di bawah tangga. Itu Kak Lynn dan Nathan yang sama, yang tadi sore masih melambaikan tangan dengan senyuman mereka ketika mengantar kepulanganku tadi.

Aku masih tak percaya, kembali ku kerjapkan mataku. Sampai berulang kali aku menguceknya. Tapi sama saja, ini semua nyata. Pandanganku beralih ke Doya, dia sudah tak sadarkan diri. Beberapa orang masih berusaha menyadarkannya, tapi dia sepertinya sudah benar-benar pingsan.

Dan aku? Kakiku seketika lemas, beberapa orang berusaha menyanggaku ketika tubuh ini limbung ke belakang. Hatiku hancur. Malam itu benar-benar menjadi malam paling kelam bagiku dan Doya.


Sudah tiga tahun sejak kepergian Kak Lynn dan Nathan. Namun memori itu masih melekat seperti baru kemarin malam terjadi. Tentu bukan hanya aku yang merasakan pedih ini. Doya pasti merasakan luka yang lebih perih dari ini. Lelaki itu berubah drastis semenjak kehilangan dua pelita hatinya.

Tak lagi kutemui Doya yang murah senyum, Doya yang selalu memanjakan adik kesayangannya ini. Doya-ku hilang bersama dengan kepergian Kak Lynn dan Nathan.

Luka itu terlalu dalam untuk disembuhkan. Dalam satu bulan, selalu ada waktu dimana Doya akan tiba-tiba diam tanpa sebab ketika melihat satu spot itu. Dibawah tangga, tempat dia menemukan jasad kedua terkasihnya. Pandangannya seketika kosong, dia benar-benar diam mematung di tempat ia berdiri. Bahkan dia juga tak sadar ketika aku dalam diam menuntun dan mendudukkanya ke sofa.

Kini rengkuhanku sekalipun tak lagi sanggup menghangatkan hati Doya. Rumah ini bagai kuburan. Tak ada percakapan hangat di dalamnya. Kami berpura-pura sibuk dengan kegiatan masing-masing. Doya yang berusaha baik-baik saja dengan menenggelamkan diri dalam pekerjaannya dan aku dengan kesibukan kuliahku.

Tiga tahun lamanya kami seperti itu. Dan jujur, bukan itu yang kumau. Aku dan Doya 'sakit', kami butuh disembuhkan. Beberapa kali aku mengajak Doya ke Psikiater untuk sekedar berkonsultasi. Tapi selalu saja ditolaknya dengan berbagai alasan. Bahkan sekarang tak jarang aku mendapat respon bentakan darinya.

“Kamu tuh ngomong apa sih?! Aku ini tidak apa-apa. Kamu pikir aku gila hah?!”

“Sion bisa ngerti gak?! Aku ini sudah sibuk dengan kerjaan kantor, aku gak sempat menuruti hal konyolmu itu.”

Ah jika sudah seperti itu, aku hanya bisa diam. Tak berani melawan. Sion yang manja kini juga sirna. Sekarang giliranku menjadi seseorang yang mengerti dan memahami Doya.

Sebenarnya aku hanya lelah dengan semua ini. Aku rindu dengan Doya-ku yang dulu. Yang selalu meluangkan waktunya hanya untuk sekedar mendengarkan cerita absurdku. Yang selalu menemaniku di Sabtu sore, duduk bersama di halaman belakang rumah bertemankan secangkir kopi dan berdiskusi ringan tentang apapun.

Aku rindu sosok Doya yang kini telah pergi. Aku rindu sosok abangku yang entah kapan dia akan kembali.

Aku merindukannya, walau tubuhnya ada disini disampingku. Aku merindukannya walau dia saat ini bersamaku. Dia ada tapi juga tak ada di waktu yang sama.

Same prayer every day, filled with tears I can’t reach you Please come back home Come back to our familiar path

I don’t want to be left alone Do you think about me? I miss you A spot remain empty without you

This silence is getting deeper It gets more cloudy every day

Please come back home There's so much thing i wanna say to you

-e . n . d-

Cekrek!

Suara shutter kamera terdengar di depan Luna. Seorang pria di depannya tiba-tiba mengambil gambarnya.

“Eh?” Luna kaget ketika dia menggeser pintu gerbong kereta malah disambut dengan sesi pemotretan kilat.

“Ah sorry, ekspresi lo lucu banget sih. Sayang kalo gak diabadiin hehe'' jelas si pemuda singkat.

“O-oh. Sorry juga, gue mau lewat,” ujar Luna sambil melirik celah pintu gerbong.

“Oh okay. Sorry sorry. Silakan.” Pemuda itu berkata kikuk sambil menggeser badannya memberikan celah untuk Luna lewat.

Aneh, batin Luna. Ia segera melanjutkan perjalanannya ke gerbong makanan. Suara perutnya bakal makin keras kalau tidak segera ia isi. Dia masih punya malu.

Selesai menerima pesanannya ia menuju kursi kosong yang menghadap jendela. Perjalanan ini terlalu membosankan. Satu-satunya pengalihannya adalah menikmati pemandangan di luar kereta.

Baru mendapat gigitan keduanya, tiba-tiba seseorang menjejerinya. Luna mendongak dan disana ia melihat pria dengan kamera tadi telah duduk di sampingnya.

“Hai,” sapa pria itu. Luna memandang sekilas. Good looking juga, batinnya. Segera ia menggelengkan kepalanya menyetop imajinasinya.

“Oh hai'' Luna menjawab sapaan pemuda itu agak kikuk setelah ia mengkhayalkan sesuatu tentangnya. Tentang kalau dia mungkin bakal jadi pacarnya suatu hari.

“Ternyata lo kesini, gue kira tadi ke kamar mandi. Gara-gara liat ekspresi lo kayak tadi”

Shit! Apa maksudnya, umpat Luna dalam hati.

“Bercanda! Serius amat nanggepinnya,” ujar si cowok cepat sambil tersenyum geli melihat perubahan drastis di raut muka Luna.

“Bodo amat “, Luna kembali membatin. Ia sedang tak begitu mood menanggapi candaan. Apalagi dari orang 'yang tak dikenalnya' itu.

Suara gesekan roda kereta dengan rel menemani kesunyian dua insan yang 'tak saling kenal' itu. Mereka asyik dengan kegiatan mereka masing-masing. Luna dengan makanannya dan Aran tentu dengan kameranya.

Tak jarang Aran mencuri-curi pandang cewek di sebelahnya itu.

“Dia beneran lupa nih sama gue?” Tanyanya sendiri dalam hati. “Fuck it! Bisa-bisanya cowok paling ganteng seantero Jakarta bisa dilupain gitu aja.” Lagi-lagi Aran masih ngedumel sendiri.

“Masa iya sih dia yang kudu ngingetin dan nyapa duluan. Harga diri gue mau ditaruh mana.” Pria itu masih saja berdebat dengan dirinya sendiri.

Aran masih pura-pura sibuk dengan kameranya ketika menyadari gadis di sebelahnya mulai membereskan sisa makanannya dan bersiap pergi.

“Gue balik duluan,” ujar Luna pada pria di sampingnya. Walau ia tahu sebenarnya itu tidak perlu. Tanpa menunggu jawaban gadis itu melangkah menuju pintu gerbong. Sekarang dia sudah berdiri selangkah di depan pintu dan akan menggeser pintu sebelum tangan kekar itu mengunci tubuhnya.

Kepala gadis itu menengok ke belakang dan seketika pandangannya bertemu dengan pemilik mata bermanik hitam yang sekarang berdiri hampir tak berjarak tepat di belakangnya.

Ada gemuruh hati yang mendadak ramai kembali setelah sedari tadi Luna berusaha susah payah menenangkannya. Gadis bertopi itu bukannya lupa. Tapi memang ia lupa sejenak ketika awal mereka bertemu tadi. Karena Luna tidak benar-benar memperhatikan wajah si 'pencuri' fotonya tadi. Sampai cowok tadi menjejerinya. Gadis itu sampai menahan napas ketika kemudian ia sadar siapa cowok itu. Namun ia berusaha setenang mungkin, sebiasa mungkin ketika cinta pertamanya itu menyapanya. Ya, dia Aran. Cinta pertama Luna sewaktu SMA.


Dari kejauhan terlihat gadis bersurai hitam berlari tergesa ke arah gerbang SMA Naruna yang hampir ditutup. Beruntung pak satpam yang berjaga sedang berbaik hati. Ia menunggu Luna sampai ia masuk gerbang sekolah baru kemudian menutupnya.

“Tarik napas dulu, neng” ujar satpam itu, melihat Luna yang masih tersengal-sengal. “Murid baru ya?” tanya satpam itu lagi.

“Hehe iya pak” jawab gadis itu setelah ia akhirnya berhasil mengatur napasnya. Luna mengangggukkan kepalanya pada pak satpam tanda ia berpamitan masuk ke gedung sekolah.

Bangunan SMA Naruna yang lumayan besar, cukup membuat gadis itu bingung mencari kelas barunya. Sehari sebelumnya memang ia sudah kesini untuk mendapat arahan tentang bangunan sekolah, aturan di dalamnya dan hal-hal sejenisnya. Namun Luna bukanlah super woman yang bisa langsung ingat semuanya dalam sekali waktu.

Ia menyusuri lorong bangunan lantai satu, mengamati satu persatu palang nama di atas pintu. Mencari tulisan kelas XII A yang ditunjukkan wali kelasnya kemarin. Tapi entah tak kunjung ia temukan. Apakah Luna yang salah mengingat? Atau memang dia lupa dimana tempatnya? Gadis itu juga bingung.

Dia masih berjalan sampai ujung lorong hingga ia menemukan bangku di belokan lorong itu. Ia butuh mengistirahatkan kakinya barang sebentar. Rasanya kakinya kini sudah tak bertulang, lemas sekali setelah ia berlari dari rumahnya. Persetan dengan abangnya yang tak mau mengantarnya tadi, alhasil dia harus berlari karena sudah kesiangan. Gadis itu mendengus kesal mengingat alasan kenapa dia terlambat di hari pertamanya ini.

Luna mengedarkan pandangannya ke kanan dan kiri lorong. Masih tak ada siapapun selain dirinya. Ia kembali melangkah menyusuri lorong bangunan itu. Dan matanya menangkap sosok siswa laki-laki keluar dari kamar mandi. Ada perasaan lega setelah melihatnya, ia tak sadar kakinya mulai berlari mendekati sosok itu. Baru saja Luna akan menyapanya ketika ia tak sengaja menginjak tali sepatunya sendiri dan sukses membuat gadis itu terjerembab tepat di depan murid laki-laki tadi.

“Aw...” Luna mengaduh. Jatuhnya kali ini cukup keras sampai membuat lututnya tergores berdarah. Gadis itu kini duduk meniup-niup lukanya tadi.

“Shit!Kenapa harus hari ini sih?!” umpat Luna ketika melihat darah segar mulai mengalir dari lukanya tadi. Memang itu hanya luka gores, tapi segala bentuk luka benar-benar ingin Luna hindari. Karena dia memiliki penyakit Hemofilia.

Ia segera duduk bersandar ke tembok. Mengobrak-abrik isi tasnya, mencari kotak P3K yang biasa dibawanya. Tapi nihil, ia tak menemukannya. Mendesah lumayan keras. Ia kembali mengumpat lirih. Luna bahkan tidak tahu bahwa sedari tadi ada sosok yang sedang mengamati gerak-geriknya. Cowok bernetra hitam itu kini melangkah mendekati Luna. Kemudian berjongkok tepat di depan gadis itu.

“Need help?” tanya cowok itu. Luna mendongak dan kini matanya bertemu dengan pemilik netra bermanik hitam di depannya.

“Shit! Gue lupa ada dia!” Umpatan ketiga Luna, tentu kali ini masih dalam hati. “Eh iya?” Gadis itu merespon gagap.

“Itu luka lo. Tambah banyak darahnya,” kata cowok itu dengan mata yang melirik ke arah luka Luna. Sempat ragu-ragu gadis itu ingin mengiyakan. Tapi jika ia paksa berjalan sendiri, bisa-bisa lukanya ini tiga minggu baru benar-benar pulih.

“Mm.. Boleh?”

“Iya, buruan. Ruang UKS gak jauh kok dari sini,” sahut cowok itu yang sudah memosisikan tubuhnya bersiap untuk menggendong Luna di punggungnya. Gadis itu susah payah bangkit dan masih ragu-ragu ketika sudah siap naik ke punggung cowok itu.

“T-tapi gue berat” ujarnya kemudian sebelum benar-benar naik ke punggung si cowok.

“Belum seberat besi beton, kan? It's okay. Buruan, tuh liat darah lo makin banyak.” Bergegas Luna naik ke punggung cowok tadi setelah ia melihat lukanya sekilas. Setengah berlari, cowok tadi menggendong Luna di punggungnya menuju ruang UKS.

Sesampainya di disana, perawat UKS langsung memberikan perawatan pertama pada lukanya. Luna juga memberi tahu perawat tersebut jika ia mengidap penyakit Hemofilia. Mengetahui hal itu perawat tadi segera mengecek persediaan obat dan bernafas lega menemukan obat yang dicarinya. Ia kemudian memberikannya pada Luna.

“Untung aku masih menyetok obat ini. Kukira sudah takkan ku keluarkan lagi. Aku sendiri lupa kapan terakhir merawat pasien Hemofilia,” jelasnya sambil menyerahkan obat dan air minum pada Luna.

Luna yang mendengarnya hanya ber-hehe. Sudah biasa ia mendengar penjelasan seperti itu. Di sekolah barunya ini mungkin hanya dia yang mengidap penyakit langka ini. Tanpa babibu ia segera meminum obat yang diberikan padanya tadi. Bisa berabe jika ia tak segera meminumnya. Luna mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Namun tak ia temukan apa yang ia cari. Ya murid cowok tadi langsung keluar setelah menanyakan beberapa hal padanya.

Ceklek!

Pandangan Luna langsung tertuju pada suara pintu UKS yang terbuka. Terlihat disana sosok lelaki tampan tadi. Jujur gadis itu tadi sempat berpikir, apakah sosok didepannya itu malaikat? Ia akui ketampanan lelaki yang kini duduk disampingnya itu memang di atas rata-rata. Cowok itu melangkah mendekat ke arahnya.

“Gue dah bilang ke wali kelas lo. Katanya lo bisa mulai masuk besok,” ujar lelaki itu. Selama luka Luna diobati tadi, dia memang pergi meninggalkan gadis itu sendiri.

“Ah ternyata ia bertanya tadi untuk ini.” Luna membatin.

“Oh oke, makasih,” sahut Luna ketika ia sadar cowok itu telah membantunya lagi.

“Iya. Ya udah, gue cabut dulu. Cepet sembuh,” kata lelaki itu sambil membalikkan badannya bersiap untuk pergi. Sebelum ia menghentikan langkahnya tepat ketika ia sudah memegang gagang pintu UKS.

“Eh, tunggu! Nama lo... ” tanya Luna sedikit berteriak.

“Aran. Aran Destra.” Lelaki tampan itu menghilang di balik pintu setelah ia mengucapkan namanya.

“Aran... Nama yang tampan.” Bibir gadis bersurai hitam itu membentuk lengkungan sempurna ketika mengucapkan lirih nama pahlawannya itu.

– t.b.c -

Cekrek!

Suara shutter kamera terdengar di depan Luna. Seorang pria di depannya tiba-tiba mengambil gambarnya.

“ Eh?” Luna kaget ketika dia menggeser pintu gerbong kereta malah disambut dengan sesi pemotretan kilat.

“Ah sorry, ekspresi lo lucu banget sih. Sayang kalo gak diabadiin hehe'' jelas si pemuda singkat.

“O-oh. Sorry juga, gue mau lewat,” ujar Luna sambil melirik celah pintu gerbong.

“Oh okay. Sorry sorry. Silakan.” Pemuda itu berkata kikuk sambil menggeser badannya memberikan celah untuk Luna lewat.

Aneh, batin Luna. Ia segera melanjutkan perjalanannya ke gerbong makanan. Suara perutnya bakal makin keras kalau tidak segera ia isi. Dia masih punya malu.

Selesai menerima pesanannya ia menuju kursi kosong yang menghadap jendela. Perjalanan ini terlalu membosankan. Satu-satunya pengalihannya adalah menikmati pemandangan di luar kereta.

Baru mendapat gigitan keduanya, tiba-tiba seseorang menjejerinya. Luna mendongak dan disana ia melihat pria dengan kamera tadi telah duduk di sampingnya.

“Hai,” sapa pria itu. Luna memandang sekilas. Good looking juga, batinnya. Segera ia menggelengkan kepalanya menyetop imajinasinya.

“Oh hai'' Luna menjawab sapaan pemuda itu agak kikuk setelah ia mengkhayalkan sesuatu tentangnya. Tentang kalau dia mungkin bakal jadi pacarnya suatu hari.

“Ternyata lo kesini, gue kira tadi ke kamar mandi. Gara-gara liat ekspresi lo kayak tadi”

Shit! Apa maksudnya, umpat Luna dalam hati.

“Bercanda! Serius amat nanggepinnya,” ujar si cowok cepat sambil tersenyum geli melihat perubahan drastis di raut muka Luna.

“Bodo amat “, Luna kembali membatin. Ia sedang tak begitu mood menanggapi candaan. Apalagi dari orang 'yang tak dikenalnya' itu.

Suara gesekan roda kereta dengan rel menemani kesunyian dua insan yang 'tak saling kenal' itu. Mereka asyik dengan kegiatan mereka masing-masing. Luna dengan makanannya dan Aran tentu dengan kameranya.

Tak jarang Aran mencuri-curi pandang cewek di sebelahnya itu.

“Dia beneran lupa nih sama gue?” Tanyanya sendiri dalam hati. “F*ck it! Bisa-bisanya cowok paling ganteng seantero Jakarta bisa dilupain gitu aja.” Lagi-lagi Aran masih ngedumel sendiri.

“Masa iya sih dia yang kudu ngingetin dan nyapa duluan. Harga diri gue mau ditaruh mana.” Pria itu masih saja berdebat dengan dirinya sendiri.

Aran masih pura-pura sibuk dengan kameranya ketika menyadari gadis di sebelahnya mulai membereskan sisa makanannya dan bersiap pergi.

“Gue balik duluan,” ujar Luna pada pria di sampingnya. Walau ia tahu sebenarnya itu tidak perlu. Tanpa menunggu jawaban gadis itu melangkah menuju pintu gerbong. Sekarang dia sudah berdiri selangkah di depan pintu dan akan menggeser pintu sebelum tangan kekar itu mengunci tubuhnya.

Kepala gadis itu menengok ke belakang dan seketika pandangannya bertemu dengan pemilik mata bermanik hitam yang sekarang berdiri hampir tak berjarak tepat di belakangnya.

Ada gemuruh hati yang mendadak ramai kembali setelah sedari tadi Luna berusaha susah payah menenangkannya. Gadis bertopi itu bukannya lupa. Tapi memang ia lupa sejenak ketika awal mereka bertemu tadi. Karena Luna tidak benar-benar memperhatikan wajah si 'pencuri' fotonya tadi. Sampai cowok tadi menjejerinya. Gadis itu sampai menahan napas ketika kemudian ia sadar siapa cowok itu. Namun ia berusaha setenang mungkin, sebiasa mungkin ketika cinta pertamanya itu menyapanya. Ya, dia Aran. Cinta pertama Luna sewaktu SMA.


Dari kejauhan terlihat gadis bersurai hitam berlari tergesa ke arah gerbang SMA Naruna yang hampir ditutup. Beruntung pak satpam yang berjaga sedang berbaik hati. Ia menunggu Luna sampai ia masuk gerbang sekolah baru kemudian menutupnya.

“Tarik napas dulu, neng” ujar satpam itu, melihat Luna yang masih tersengal-sengal. “Murid baru ya?” tanya satpam itu lagi.

“Hehe iya pak” jawab gadis itu setelah ia akhirnya berhasil mengatur napasnya. Luna mengangggukkan kepalanya pada pak satpam tanda ia berpamitan masuk ke gedung sekolah.

Bangunan SMA Naruna yang lumayan besar, cukup membuat gadis itu bingung mencari kelas barunya. Sehari sebelumnya memang ia sudah kesini untuk mendapat arahan tentang bangunan sekolah, aturan di dalamnya dan hal-hal sejenisnya. Namun Luna bukanlah super woman yang bisa langsung ingat semuanya dalam sekali waktu.

Ia menyusuri lorong bangunan lantai satu, mengamati satu persatu palang nama di atas pintu. Mencari tulisan kelas XII A yang ditunjukkan wali kelasnya kemarin. Tapi entah tak kunjung ia temukan. Apakah Luna yang salah mengingat? Atau memang dia lupa dimana tempatnya? Gadis itu juga bingung.

Dia masih berjalan sampai ujung lorong hingga ia menemukan bangku di belokan lorong itu. Ia butuh mengistirahatkan kakinya barang sebentar. Rasanya kakinya kini sudah tak bertulang, lemas sekali setelah ia berlari dari rumahnya. Persetan dengan abangnya yang tak mau mengantarnya tadi, alhasil dia harus berlari karena sudah kesiangan. Gadis itu mendengus kesal mengingat alasan kenapa dia terlambat di hari pertamanya ini.

Luna mengedarkan pandangannya ke kanan dan kiri lorong. Masih tak ada siapapun selain dirinya. Ia kembali melangkah menyusuri lorong bangunan itu. Dan matanya menangkap sosok siswa laki-laki keluar dari kamar mandi. Ada perasaan lega setelah melihatnya, ia tak sadar kakinya mulai berlari mendekati sosok itu. Baru saja Luna akan menyapanya ketika ia tak sengaja menginjak tali sepatunya sendiri dan sukses membuat gadis itu terjerembab tepat di depan murid laki-laki tadi.

“Aw...” Luna mengaduh. Jatuhnya kali ini cukup keras sampai membuat lututnya tergores berdarah. Gadis itu kini duduk meniup-niup lukanya tadi.

“Shit! Kenapa harus hari ini sih?!” umpat Luna ketika melihat darah segar mulai mengalir dari lukanya tadi. Memang itu hanya luka gores, tapi segala bentuk luka benar-benar ingin Luna hindari. Karena dia memiliki penyakit Hemofilia.

Ia segera duduk bersandar ke tembok. Mengobrak-abrik isi tasnya, mencari kotak P3K yang biasa dibawanya. Tapi nihil, ia tak menemukannya. Mendesah lumayan keras. Ia kembali mengumpat lirih. Luna bahkan tidak tahu bahwa sedari tadi ada sosok yang sedang mengamati gerak-geriknya. Cowok bernetra hitam itu kini melangkah mendekati Luna. Kemudian berjongkok tepat di depan gadis itu.

“Need help?” tanya cowok itu. Luna mendongak dan kini matanya bertemu dengan pemilik netra bermanik hitam di depannya.

“Shit! Gue lupa ada dia!” Umpatan ketiga Luna, tentu kali ini masih dalam hati. “Eh iya?” Gadis itu merespon gagap.

“Itu luka lo. Tambah banyak darahnya,” kata cowok itu dengan mata yang melirik ke arah luka Luna. Sempat ragu-ragu gadis itu ingin mengiyakan. Tapi jika ia paksa berjalan sendiri, bisa-bisa lukanya ini tiga minggu baru benar-benar pulih.

“Mm.. Boleh?”

“Iya, buruan. Ruang UKS gak jauh kok dari sini,” sahut cowok itu yang sudah memosisikan tubuhnya bersiap untuk menggendong Luna di punggungnya. Gadis itu susah payah bangkit dan masih ragu-ragu ketika sudah siap naik ke punggung cowok itu.

“T-tapi gue berat” ujarnya kemudian sebelum benar-benar naik ke punggung si cowok.

“Belum seberat besi beton, kan? It's okay. Buruan, tuh liat darah lo makin banyak.” Bergegas Luna naik ke punggung cowok tadi setelah ia melihat lukanya sekilas. Setengah berlari, cowok tadi menggendong Luna di punggungnya menuju ruang UKS.

Sesampainya di disana, perawat UKS langsung memberikan perawatan pertama pada lukanya. Luna juga memberi tahu perawat tersebut jika ia mengidap penyakit Hemofilia. Mengetahui hal itu perawat tadi segera mengecek persediaan obat dan bernafas lega menemukan obat yang dicarinya. Ia kemudian memberikannya pada Luna.

“Untung aku masih menyetok obat ini. Kukira sudah takkan ku keluarkan lagi. Aku sendiri lupa kapan terakhir merawat pasien Hemofilia,” jelasnya sambil menyerahkan obat dan air minum pada Luna.

Luna yang mendengarnya hanya ber-hehe. Sudah biasa ia mendengar penjelasan seperti itu. Di sekolah barunya ini mungkin hanya dia yang mengidap penyakit langka ini. Tanpa babibu ia segera meminum obat yang diberikan padanya tadi. Bisa berabe jika ia tak segera meminumnya. Luna mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Namun tak ia temukan apa yang ia cari. Ya murid cowok tadi langsung keluar setelah menanyakan beberapa hal padanya.

Ceklek!

Pandangan Luna langsung tertuju pada suara pintu UKS yang terbuka. Terlihat disana sosok lelaki tampan tadi. Jujur gadis itu tadi sempat berpikir, apakah sosok didepannya itu malaikat? Ia akui ketampanan lelaki yang kini duduk disampingnya itu memang di atas rata-rata. Cowok itu melangkah mendekat ke arahnya.

“Gue dah bilang ke wali kelas lo. Katanya lo bisa mulai masuk besok,” ujar lelaki itu. Selama luka Luna diobati tadi, dia memang pergi meninggalkan gadis itu sendiri.

“Ah ternyata ia bertanya tadi untuk ini.” Luna membatin.

“Oh oke, makasih,” sahut Luna ketika ia sadar cowok itu telah membantunya lagi.

“Iya. Ya udah, gue cabut dulu. Cepet sembuh,” kata lelaki itu sambil membalikkan badannya bersiap untuk pergi. Sebelum ia menghentikan langkahnya tepat ketika ia sudah memegang gagang pintu UKS.

“Eh, tunggu! Nama lo... ” tanya Luna sedikit berteriak.

“Aran. Aran Destra.” Lelaki tampan itu menghilang di balik pintu setelah ia mengucapkan namanya.

“Aran... Nama yang tampan.” Bibir gadis bersurai hitam itu membentuk lengkungan sempurna ketika mengucapkan lirih nama pahlawannya itu.

– t.b.c -

“Y/n bangun! Udah mau jam 8 ini! Kamu ada kelas pagi, lho” Rutinitas pagi Ravn. Membangunkan adik tersayangnya itu.

“Hmm? Bentar ah, Ravn. Lima menit lagi.” Si empu suara malah semakin merapatkan selimutnya. Jawaban yang sama hampir setiap hari. Dan jika Ravn tidak memaksanya, y/n sudah pasti ia akan terlambat kuliah setiap harinya.

Segera lelaki muda itu mendekati kasur y/n. Menarik sedikit selimut sampai terlihat wajah tidur y/n. Ia mendekatkan bibirnya ke telinga kanan y/n dan membisikkan sesuatu.

“Y/n, wake up or I'll kiss you, ” goda Ravn. Ia yakin sebentar lagi adiknya ini langsung masuk kamar mandi. Cara ini selalu ampuh membuat adiknya itu seketika sadar penuh.

“Minggir! Aku mau mandi.” See? Rencananya sukses sesuai harapan. Ravn tersenyum geli sembari meminggirkan tubuhnya memberi jalan untuk y/n.