I'm Not The Only One
Alena Aku dah coba buat gak jatuh cinta lagi. Tapi kenapa kamu dateng di saat yang tepat gini sih, Lan. Pas aku sama Radit lagi gak sayang-sayangnya.
Nolan Tuhan emang ngirim aku buat jadi supermanmu Lena :)
Alena Dih pede bener.
Nolan Gak usah disangkal. Itu fakta. Seneng kan kamu ada aku disini.
Alena Iya, sih. Beruntung banget aku punya kamu yang bisa selalu ada gini. Gak kayak Radit.
Nolan Lagian kamu betah banget sama si Radit. Gak mau sama aku aja?
Alena Aku udah bilang, kan. Aku tuh mau. Cuma... gak mungkin kalo ngelepasnya tiba-tiba. Nanti Radit curiga.
Nolan Iya juga ya. Aku juga masih sayang sih mau ngelepas status sahabat dia.
Alena Ya kan. Makanya kita pelan-pelan aja. Jujur, aku udah nyaman sama kamu, Lan.
Nolan Aku juga. Dan kamu gak bakal aku lepas gitu aja, Lena.
Deg!
Keputusanku menyadap ponsel kekasihku sepertinya memang keputusan yang tepat. Aku sudah merasakan beberapa kejanggalan sejak sebulan terakhir ini. Sikap Alena berubah. Dia tak lagi sering menanyakan keadaanku. Sepertinya sikap posesifnya berkurang karena aku sering protes tentang itu.
Tapi semakin kesini sikapnya menjadi semakin aneh menurutku. Gadisku itu sudah jarang bermanja-manja denganku. Bahkan terakhir kita bertemu dia bahkan tampak enggan menunjukkan hubungan kita di depan publik.
Semua keanehan yang akhirnya memaksaku menggunakan cara yang sudah lama tak pernah kupakai. Hack. Aku tahu betul akan resikonya. Jauh-jauh hari aku mencoba mempersiapkan semuanya. Tak lupa juga kukuatkan mental dan hatiku. Karena menurutku dua poin itu adalah yang terpenting dan harus ada jika ingin menyadap barang milik orang terkasihmu.
Tentu aku tak mengharapkan hal yang buruk yang akan kutemukan. Tak ada yang menginginkan itu. Namun instingku selalu mengatakan untuk bersiap menhadapi skenario yang terburuk.
Dan ya, semua persiapan mentalku tak sia-sia. Karena sebuah kenyataan yang kutemukan itu benar-benar membuatku seperti berdiri di tepian jurang. Mungkin aku akan sekalian melompat ke dasar jurang itu jika saja aku tak melakukan persiapan matang dari awal.
Kenyataan yang kudapatkan hari ini adalah fakta yang paling menyakitkan yang pernah kudapatkan. Sebuah fakta yang bagiku masih tak bisa dinalar. Bahkan untukku, seorang Radit yang selalu mengandalkan logika hal ini masih saja tak wajar. Pacarku dan sahabat baikku bermain api tepat di belakangku.
Kukira skenario seperti itu hanya ada di sinetron-sinetron televisi Indonesia. Tapi tak kusangka semua ini terjadi tepat di depan mataku.
Aku menutup aplikasi sadapku. Mataku menerawang kosong ke layar laptop. Beragam perasaan berkecamuk di hatiku saat ini. Pikiran satu dengan yang lain saling bertabrakan di kepalaku.
Apakah semua ini salahku? Karena aku terlalu cuek? Karena aku kurang perhatian dengan Alena? Apakah karena itu? Kenapa dengan mudahnya dia mengkhianati hubungan yang sudah kita pertahankan selama empat tahun kita?
Ting!
Layar ponselku menyala. Menunjukkan sebuah notifikasi dari Alena.
Alena Hon, udah makan siang?
Alena Maaf, mau ngabarin. Aku gak bisa jalan sore ini. Mama tiba-tiba nyuruh aku jagain ponakan di rumah. Maaf ya, lain kali janji deh jadi jalan. Love you
Bullshit! Kulempar malas ponselku ke kasur. Entah sudah keberapa kalinya dia menolak ajakanku. Akhir-akhir ini Nolan, sahabat yang ternyata bermain api dengan kekasihku itu juga kompak menolak ajakan nongkrong bareng rutin kita. Sekarang sudah jelas benang merah dari semua itu. Mereka berdua bersekongkol membohongiku. Tak perlu kujelaskan mengapa, bahkan untuk membayangkannya hari ini rasanya tak sanggup.
Pikiranku masih tak karuan. Apa yang akan kulakukan setelah ini? Bagaimana aku harus bersikap dengan Alena? Bisakah aku bersikap biasa dengan Nolan setelah mengetahui semuanya?
Aku beranjak dari tempat dudukku. Melangkahkan kaki malas menuju dapur.
I need to calm down before i can take the next step. Bukan hal yang mudah untuk mengambil langkah. Bukan sesuatu yang tepat juga jika aku memutuskan semuanya di saat kepala dan hatiku panas seperti sekarang ini. Setidaknya aku perlu menenangkan diriku sendiri. Untuk saat ini, sepertinya itulah tindakan yang paling tepat kulakukan.
Kusesap perlahan kopi hitam yang baru saja kubuat. Sesapan demi sesapan mengantarkanku pada memori ketika rasa sayangku pada Alena bermula.
“Sakit gak, Dit?” Wajah gadis itu terlihat gelisah. Tangannya masih mengusap pelan luka di wajahku dengan Betadine. Ia melakukannya dengan sangat hati-hati. Seolah-olah lelaki di depannya ini adalah sebuah gelas kaca yang rawan pecah.
Waktu itu aku dan Alena masih kelas tiga SMA. Pertama kali bertemu dengannya, ketika kulihat beberapa anak laki-laki menggodanya saat pulang sekolah. Dan hari itu berakhir dengan aku yang berkelahi dengan mereka karena mereka sama-sama tak mau kalah.
Alena memaksaku mampir ke rumahnya yang ternyata tak jauh dari tempat dia dibully. Dengan cekatan ia mengambil kotak P3K miliknya dan segera menyuruhku untuk duduk diam membiarkannya mengobatiku.
Di ruang tamu itu, adalah pertama kalinya seorang Radit terpesona dengan Alena hanya karena melihat ketelatenan gadis itu merawat lukanya. Klise memang, terkadang aku geli sendiri jika mengingat hal itu.
Keberanianku baru terkumpul ketika kita wisuda. Setelah sesi foto wisuda berakhir, aku nekat menggaet lengan Alena dan menyeret paksa gadis itu menjauh dari kerumunan.
“Radit, kamu ngapain sih?” tanya gadis itu kesal.
“Aku mau ngomong, Len.”
“Ya, ngomong aja kenapa. Gak usah main seret-seret gini. Sakit tau!”
Aku mendadak diam ketika Alena merespon seperti itu. Tak bisa kusembunyikan raut sedihku, karena sepertinya akan kuurungkan lagi niat menyatakan perasaanku.
Tiba-tiba aku merasakan sebuah tangan halus menggenggam tanganku. Kepalaku yang sedari tadi menunduk memandang sekilas genggaman itu dan segera mendongakkan kepalaku.
Kulihat disana Alena dengan senyum termanis yang tak pernah kulihat sebelumnya.
“Maaf, aku kebawa emosi. Radit mau ngomong apa?”
Nada dan intonasinya melembut. Membuat keberanianku ini kembali terkumpul. Dan berakhir aku menyatakan perasaan padanya, sekaligus menawarkan tentang sebuah hubungan untuk kedepannya.
Benar-benar sebuah momen yang takkan cukup dijabarkan dengan kata-kata. Ketika kulihat Alena mengangguk pelan yang menjadi sebuah tanda persetujuan darinya. Hampir saja aku melompat kegirangan, jika saja gadis yang resmi menjadi pacarku itu tak menahan lenganku. Wajah sumringah Alena menambah lengkap kebahagiaanku hari itu.
Bagiku Alena adalah gadis yang berbeda dari gadis kebanyakan. Dia sebenarnya bisa menjadi tipe pribadi yang gampang disukai jika dia ingin. Tapi Alena memilih untuk menarik dirinya dari iming-iming ingar bingar sebuah kepopuleran. Paras cantik dengan surai hitamnya tak jarang memikat banyak lelaki. Namun tak ada yang berani mendekatinya karena Alena terlalu misterius kata mereka Tapi tidak di mataku, karena aku sudah pernah melihat sisi lain dari gadis itu.
Sebuah keberuntungan mutlak ketika Alena bersedia menjadi kekasihku. Kala itu ia memang belum tumbuh rasa sayang di hati gadis itu. Tapi dia memberi kesempatan padaku dan mengatakan ingin mencoba membuka hatinya.
“Aku ingin belajar mencintai, Dit. Jadi tolong ajari aku, ya.”
Itu yang dia ucapkan beberapa menit setelah menerimaku. Permintaan tuan putri tentu saja tidak mungkin aku menolaknya. Dan setelahnya kita belajar bersama. Apa arti mencintai, apa arti menghargai dan saling memahami dalam sebuah hubungan.
Kuakui bukan hal yang mudah untuk kami. Bagiku semua itu adalah sebuah prestasi yang patut dibanggakan. Siapa yang tak bangga? Ketika sebuah hubungan yang benar-benar dirintis dari nol besar bisa bertahan selama empat tahun lamanya.
Sampai sebulan yang lalu, ketika aku benar-benar sibuk karena pekerjaan kantorku yang tak bisa ditinggalkan. Gadis itu mulai posesif menanyakan kegiatanku setiap jeda setengah jam. Yang mana hal itu sangat membuatku tidak nyaman. Pernah sekali Alena kubentak via telepon karena bagiku itu sangat mengganggu konsentrasi. Dan setelahnya barulah keanehan-keanehan dari sikapnya mulai muncul.
Aku masih tak menyangka dengan semua yang terjadi sepagi tadi. Hati dan pikiran ini masih tak ingin percaya lebih tepatnya.
Haruskah aku melepaskan gadis yang masih sangat kucintai itu? Akankah aku menyesal setelah melakukannya? Ya, walaupun diri ini sudah merasa sangat kecewa namun hati ini sepertinya masih saja sama. Aku terlalu sayang Alena. Gadis itu sudah seperti pasokan oksigen yang harus kuhirup setiap harinya. Dapatkah aku bertahan hidup tanpanya?
Kembali pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi otakku. Pertanyaan yang entah siapa bisa menjawabnya. Pandanganku kembali kosong.
Kucoba untuk memejamkan mata dan mengatur kembali nafasku. Membiarkan diri ini merasakan perjalanan masuknya oksigen hingga memenuhi ruang paruku. Mencoba menikmati aliran udara yang keluar pelan dari mulutku. Kulakukan teknik meditasi itu beberapa kali, berharap agar pikiranku bisa kembali jernih setelah melakukannya. Kubiarkan angin siang hari itu membuaiku manja. Berharap ia bisa mengantarku ke alam mimpi. Tapi sepertinya nihil.
Perlahan kubuka kelopak mataku. Sepertinya aku sudah menemukan jawaban dari semua pertanyaan itu. Kurasa keputusan inilah yang paling tepat. Aku memang tak tahu apakah ini keputusan terbaik atau malah sebaliknya. Tapi setidaknya aku yakin akan satu hal. Keputusan ini adalah yang terbaik untuk diriku. Sempat meragu selama beberapa detik sebelum akhirnya aku benar-benar memantapkan hati ini.
Segera kuraih ponselku untuk mengetikkan beberapa kata untuk membalas pesan Alena tadi.
Radit Alena sayang, i think we need a break
SENT!
E.N.D