haruvi

Alena Aku dah coba buat gak jatuh cinta lagi. Tapi kenapa kamu dateng di saat yang tepat gini sih, Lan. Pas aku sama Radit lagi gak sayang-sayangnya.

Nolan Tuhan emang ngirim aku buat jadi supermanmu Lena :)

Alena Dih pede bener.

Nolan Gak usah disangkal. Itu fakta. Seneng kan kamu ada aku disini.

Alena Iya, sih. Beruntung banget aku punya kamu yang bisa selalu ada gini. Gak kayak Radit.

Nolan Lagian kamu betah banget sama si Radit. Gak mau sama aku aja?

Alena Aku udah bilang, kan. Aku tuh mau. Cuma... gak mungkin kalo ngelepasnya tiba-tiba. Nanti Radit curiga.

Nolan Iya juga ya. Aku juga masih sayang sih mau ngelepas status sahabat dia.

Alena Ya kan. Makanya kita pelan-pelan aja. Jujur, aku udah nyaman sama kamu, Lan.

Nolan Aku juga. Dan kamu gak bakal aku lepas gitu aja, Lena.

Deg!

Keputusanku menyadap ponsel kekasihku sepertinya memang keputusan yang tepat. Aku sudah merasakan beberapa kejanggalan sejak sebulan terakhir ini. Sikap Alena berubah. Dia tak lagi sering menanyakan keadaanku. Sepertinya sikap posesifnya berkurang karena aku sering protes tentang itu.

Tapi semakin kesini sikapnya menjadi semakin aneh menurutku. Gadisku itu sudah jarang bermanja-manja denganku. Bahkan terakhir kita bertemu dia bahkan tampak enggan menunjukkan hubungan kita di depan publik.

Semua keanehan yang akhirnya memaksaku menggunakan cara yang sudah lama tak pernah kupakai. Hack. Aku tahu betul akan resikonya. Jauh-jauh hari aku mencoba mempersiapkan semuanya. Tak lupa juga kukuatkan mental dan hatiku. Karena menurutku dua poin itu adalah yang terpenting dan harus ada jika ingin menyadap barang milik orang terkasihmu.

Tentu aku tak mengharapkan hal yang buruk yang akan kutemukan. Tak ada yang menginginkan itu. Namun instingku selalu mengatakan untuk bersiap menhadapi skenario yang terburuk.

Dan ya, semua persiapan mentalku tak sia-sia. Karena sebuah kenyataan yang kutemukan itu benar-benar membuatku seperti berdiri di tepian jurang. Mungkin aku akan sekalian melompat ke dasar jurang itu jika saja aku tak melakukan persiapan matang dari awal.

Kenyataan yang kudapatkan hari ini adalah fakta yang paling menyakitkan yang pernah kudapatkan. Sebuah fakta yang bagiku masih tak bisa dinalar. Bahkan untukku, seorang Radit yang selalu mengandalkan logika hal ini masih saja tak wajar. Pacarku dan sahabat baikku bermain api tepat di belakangku.

Kukira skenario seperti itu hanya ada di sinetron-sinetron televisi Indonesia. Tapi tak kusangka semua ini terjadi tepat di depan mataku.

Aku menutup aplikasi sadapku. Mataku menerawang kosong ke layar laptop. Beragam perasaan berkecamuk di hatiku saat ini. Pikiran satu dengan yang lain saling bertabrakan di kepalaku.

Apakah semua ini salahku? Karena aku terlalu cuek? Karena aku kurang perhatian dengan Alena? Apakah karena itu? Kenapa dengan mudahnya dia mengkhianati hubungan yang sudah kita pertahankan selama empat tahun kita?

Ting!

Layar ponselku menyala. Menunjukkan sebuah notifikasi dari Alena.

Alena Hon, udah makan siang?

Alena Maaf, mau ngabarin. Aku gak bisa jalan sore ini. Mama tiba-tiba nyuruh aku jagain ponakan di rumah. Maaf ya, lain kali janji deh jadi jalan. Love you

Bullshit! Kulempar malas ponselku ke kasur. Entah sudah keberapa kalinya dia menolak ajakanku. Akhir-akhir ini Nolan, sahabat yang ternyata bermain api dengan kekasihku itu juga kompak menolak ajakan nongkrong bareng rutin kita. Sekarang sudah jelas benang merah dari semua itu. Mereka berdua bersekongkol membohongiku. Tak perlu kujelaskan mengapa, bahkan untuk membayangkannya hari ini rasanya tak sanggup.

Pikiranku masih tak karuan. Apa yang akan kulakukan setelah ini? Bagaimana aku harus bersikap dengan Alena? Bisakah aku bersikap biasa dengan Nolan setelah mengetahui semuanya?

Aku beranjak dari tempat dudukku. Melangkahkan kaki malas menuju dapur.

I need to calm down before i can take the next step. Bukan hal yang mudah untuk mengambil langkah. Bukan sesuatu yang tepat juga jika aku memutuskan semuanya di saat kepala dan hatiku panas seperti sekarang ini. Setidaknya aku perlu menenangkan diriku sendiri. Untuk saat ini, sepertinya itulah tindakan yang paling tepat kulakukan.

Kusesap perlahan kopi hitam yang baru saja kubuat. Sesapan demi sesapan mengantarkanku pada memori ketika rasa sayangku pada Alena bermula.

“Sakit gak, Dit?” Wajah gadis itu terlihat gelisah. Tangannya masih mengusap pelan luka di wajahku dengan Betadine. Ia melakukannya dengan sangat hati-hati. Seolah-olah lelaki di depannya ini adalah sebuah gelas kaca yang rawan pecah.

Waktu itu aku dan Alena masih kelas tiga SMA. Pertama kali bertemu dengannya, ketika kulihat beberapa anak laki-laki menggodanya saat pulang sekolah. Dan hari itu berakhir dengan aku yang berkelahi dengan mereka karena mereka sama-sama tak mau kalah.

Alena memaksaku mampir ke rumahnya yang ternyata tak jauh dari tempat dia dibully. Dengan cekatan ia mengambil kotak P3K miliknya dan segera menyuruhku untuk duduk diam membiarkannya mengobatiku.

Di ruang tamu itu, adalah pertama kalinya seorang Radit terpesona dengan Alena hanya karena melihat ketelatenan gadis itu merawat lukanya. Klise memang, terkadang aku geli sendiri jika mengingat hal itu.

Keberanianku baru terkumpul ketika kita wisuda. Setelah sesi foto wisuda berakhir, aku nekat menggaet lengan Alena dan menyeret paksa gadis itu menjauh dari kerumunan.

Radit, kamu ngapain sih?” tanya gadis itu kesal.

Aku mau ngomong, Len.”

Ya, ngomong aja kenapa. Gak usah main seret-seret gini. Sakit tau!”

Aku mendadak diam ketika Alena merespon seperti itu. Tak bisa kusembunyikan raut sedihku, karena sepertinya akan kuurungkan lagi niat menyatakan perasaanku.

Tiba-tiba aku merasakan sebuah tangan halus menggenggam tanganku. Kepalaku yang sedari tadi menunduk memandang sekilas genggaman itu dan segera mendongakkan kepalaku.

Kulihat disana Alena dengan senyum termanis yang tak pernah kulihat sebelumnya.

Maaf, aku kebawa emosi. Radit mau ngomong apa?”

Nada dan intonasinya melembut. Membuat keberanianku ini kembali terkumpul. Dan berakhir aku menyatakan perasaan padanya, sekaligus menawarkan tentang sebuah hubungan untuk kedepannya.

Benar-benar sebuah momen yang takkan cukup dijabarkan dengan kata-kata. Ketika kulihat Alena mengangguk pelan yang menjadi sebuah tanda persetujuan darinya. Hampir saja aku melompat kegirangan, jika saja gadis yang resmi menjadi pacarku itu tak menahan lenganku. Wajah sumringah Alena menambah lengkap kebahagiaanku hari itu.

Bagiku Alena adalah gadis yang berbeda dari gadis kebanyakan. Dia sebenarnya bisa menjadi tipe pribadi yang gampang disukai jika dia ingin. Tapi Alena memilih untuk menarik dirinya dari iming-iming ingar bingar sebuah kepopuleran. Paras cantik dengan surai hitamnya tak jarang memikat banyak lelaki. Namun tak ada yang berani mendekatinya karena Alena terlalu misterius kata mereka Tapi tidak di mataku, karena aku sudah pernah melihat sisi lain dari gadis itu.

Sebuah keberuntungan mutlak ketika Alena bersedia menjadi kekasihku. Kala itu ia memang belum tumbuh rasa sayang di hati gadis itu. Tapi dia memberi kesempatan padaku dan mengatakan ingin mencoba membuka hatinya.

Aku ingin belajar mencintai, Dit. Jadi tolong ajari aku, ya.”

Itu yang dia ucapkan beberapa menit setelah menerimaku. Permintaan tuan putri tentu saja tidak mungkin aku menolaknya. Dan setelahnya kita belajar bersama. Apa arti mencintai, apa arti menghargai dan saling memahami dalam sebuah hubungan.

Kuakui bukan hal yang mudah untuk kami. Bagiku semua itu adalah sebuah prestasi yang patut dibanggakan. Siapa yang tak bangga? Ketika sebuah hubungan yang benar-benar dirintis dari nol besar bisa bertahan selama empat tahun lamanya.

Sampai sebulan yang lalu, ketika aku benar-benar sibuk karena pekerjaan kantorku yang tak bisa ditinggalkan. Gadis itu mulai posesif menanyakan kegiatanku setiap jeda setengah jam. Yang mana hal itu sangat membuatku tidak nyaman. Pernah sekali Alena kubentak via telepon karena bagiku itu sangat mengganggu konsentrasi. Dan setelahnya barulah keanehan-keanehan dari sikapnya mulai muncul.

Aku masih tak menyangka dengan semua yang terjadi sepagi tadi. Hati dan pikiran ini masih tak ingin percaya lebih tepatnya.

Haruskah aku melepaskan gadis yang masih sangat kucintai itu? Akankah aku menyesal setelah melakukannya? Ya, walaupun diri ini sudah merasa sangat kecewa namun hati ini sepertinya masih saja sama. Aku terlalu sayang Alena. Gadis itu sudah seperti pasokan oksigen yang harus kuhirup setiap harinya. Dapatkah aku bertahan hidup tanpanya?

Kembali pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi otakku. Pertanyaan yang entah siapa bisa menjawabnya. Pandanganku kembali kosong.

Kucoba untuk memejamkan mata dan mengatur kembali nafasku. Membiarkan diri ini merasakan perjalanan masuknya oksigen hingga memenuhi ruang paruku. Mencoba menikmati aliran udara yang keluar pelan dari mulutku. Kulakukan teknik meditasi itu beberapa kali, berharap agar pikiranku bisa kembali jernih setelah melakukannya. Kubiarkan angin siang hari itu membuaiku manja. Berharap ia bisa mengantarku ke alam mimpi. Tapi sepertinya nihil.

Perlahan kubuka kelopak mataku. Sepertinya aku sudah menemukan jawaban dari semua pertanyaan itu. Kurasa keputusan inilah yang paling tepat. Aku memang tak tahu apakah ini keputusan terbaik atau malah sebaliknya. Tapi setidaknya aku yakin akan satu hal. Keputusan ini adalah yang terbaik untuk diriku. Sempat meragu selama beberapa detik sebelum akhirnya aku benar-benar memantapkan hati ini.

Segera kuraih ponselku untuk mengetikkan beberapa kata untuk membalas pesan Alena tadi.

Radit Alena sayang, i think we need a break

SENT!

E.N.D

BAAAM!!

Aku merasakan tubuhku menabrak sesuatu. Dan setelah itu aku tak ingat apa-apa. Semuanya seketika gelap.


“Apakah itu satu-satunya alternatif, Dok?”

“ ... “

Oh, itu suara Ibu. Kudengar sayup-sayup suara ibu mengobrol dengan seseorang.

Siapa? Ah tunggu, dimana aku?

Kurasakan kepalaku sangat pening. Bahkan untuk membuka mata saja saat ini sangat berat kulakukan. Aku mencoba menggerakkan jemariku. Mengumpulkan seluruh kekuatanku untuk mengucapkan satu dua patah kata.

“B-bu...,” panggilku lirih tanpa tenaga. Ibu yang sepertinya menyadari aktivitasku segera berbalik ke arahku.

“Sudah sadar, Dek?” tanya Ibuku. Jelas terdengar nada cemas darinya.

“Yang dirasain Adek sekarang gimana?”

“Pusing,” jawabku singkat. Jujur, kepalaku masih sangat pening. Hingga aku sendiri masih belum paham sepenuhnya kenapa aku bisa berbaring di ranjang rumah sakit ini.

“Ibu panggil Dokter sebentar ya.” Ternyata Ibu tak sendiri. Kakak perempuanku mendekat ketika Ibu sudah meninggalkan ruangan.

“Aku kenapa, Kak?” tanyaku ketika dia sudah memposisikan di samping ranjangku.

“Kamu gak inget, Dek?” Kepalaku menggeleng singkat, karena memang masih tak ada satupun ingatan tentang kenapa aku bisa sampai disini.

Dan Kakak menceritakan detail semua kejadiannya. Aku kecelakaan. Tabrakan antara motorku dan sebuah mobil pick-up yang menyebabkan aku sudah mendapat lima jahitan di kepalaku. Pantas saja kepala ini pening dari tadi. Dan naasnya, aku masih tak bisa merasakan kaki kananku. Lebih tepatnya aku tak bisa menggerakkannya. Ada retak di bagian mata kaki yang mengharuskan sedikit pemotongan di bagian itu, itu keterangan terakhir dari Dokter.

Rasa hati ini hancur, ketika mendengar hal itu. Impianku menjadi seorang perawat kandas sudah. Tak pernah terbayangkan dalam benakku aku akan menjadi pincang.

Kepeninganku semakin bertambah mendengar itu. Bohong jika diri ini ikhlas dengan semuanya. Jika boleh memilih aku takkan melakukan amputasi itu. Tapi itu hal yang mustahil, it’s do or die. Yang berarti aku harus tetap melakukannya atau kondisi ini akan bertambah buruk.

Operasiku sudah dijadwalkan esok hari. Malam ini, aku benar-benar pasrah. Menyerahkan semuanya pada Yang Kuasa.

Aku harus merelakan mimpiku menjadi seorang perawat, pikirku malam itu. Kulihat ibu setia menemani di sampingku. Tepatnya di kakiku. Tangan beliau tak melepasnya barang sedikitpun. Samar kudengar Ibu merapalkan sesuatu, yang kutahu itu adalah surat Al-Fatihah. Tak henti kulihat Ibu merapalkannya, meniup kedua telapak tangannya dan kemudian mengusapkan pada bagian kakiku yang besok akan dioperasi.

Aku terenyuh melihatnya. Sepertinya Ibu tahu persis apa yang ada di hatiku. Beliau tahu betul bagaimana ambisiku tentang mimpiku menjadi seorang perawat. Itulah mengapa Ibu masih berharap akan ada sebuah keajaiban untuk operasi besok. Malam itu aku menemani Ibu dalam diam. Merapalkan doa yang sama. Mengharapkan adanya sebuah keajaiban dan harapan untuk impianku.


Giliran operasiku tiba. Aku sudah berganti baju khusus untuk operasi. Ranjangku didorong masuk menuju ruang operasi. Kulihat sekilas banyak orang yang menungguku di luar ruangan. Entah dengan melihat kehadiran mereka, rasa takut ini sedikit terkikis.

Masih banyak yang peduli denganku, pikirku.

Masuk ke ruangan operasi, diri ini sudah sepenuhnya pasrah. Menyerahkan semua keputusan terbaik pada Yang Maha Mempunyai Kehidupan.

Apapun yang terjadi nanti, itu adalah skenario terbaik dariNya.

Kalimat itu yang berulang-ulang kurapalkan sebelum proses pembiusan dimulai. Dan setelahnya kesadaranku mulai hilang, lalu gelap.

Aku mengerjapkan mataku. Kulihat atap biru laut dan suara-suara riuh di sekitarku. Sepertinya aku sudah kembali ke bangsal umum.

“Bu, Adek dah bangun!” Kudengar lengkingan suara Kakak memanggil Ibu. Kulihat Ibu mendekat tergesa seperti ingin menyampaikan sesuatu.

“Alhamdulillah...” ujar Ibu sambil mengelus pelan rambutku. Aku masih belum bisa merespon, karena sepertinya efek dari pembiusan tadi belum sepenuhnya hilang.

“Alhamdulillah, Dek,” Ibu kembali memanjatkan syukur.

Apakah sebegitu senangnya Ibu karena aku sadar dari operasi ? Ini bukan pertama kalinya aku menjalani operasi, Bu, monologku dalam hati.

“Alhamdulillah, Dek. Kaki Adek gak jadi di amputasi. Cuma dipasang pen dan bisa dilepas.” Ibu mengatakannya sambil berkaca-kaca. Aku yang mendengarnya tak kuasa membendung air mata. Mataku basah mendengar perkataan Ibu.

Tak ada yang mustahil jika kita percaya. Kuasa Tuhan itu ada, Keajaiban itu nyata.

BRAK!

Tiga lelaki berwajah sangar tiba-tiba mendobrak pintu gubuk reot Lenna.

“Mana bajingan itu?!” teriak lelaki pertama.

“Jangan berani-beraninya kalian sembunyikan pembual itu!” Teriakan lelaki kedua tak kalah kencangnya.

“Cepat katakan! Dimana dia?”

Di ruangan itu, terlihat seorang wanita paruh baya sedang meringkuk di pojokan memeluk erat kedua belah hatinya. 

“Kau bisu, ya?! Ku bilang cepat katakan dimana suamimu itu!” Kini lelaki dengan perawakan paling besar berdiri menatap nanar Lenna.

“Dia sudah pergi,” jawabnya singkat tanpa ekspresi yang berarti. Ia makin mengeratkan pelukannya pada kedua putrinya. Dua pelitanya yang tak tahu apa-apa itu sudah menangis tanpa suara sedari tadi Papanya meninggalkan mereka. Kini mereka terlalu takut untuk bersuara lebih tepatnya.

“Jangan bohong! Baru saja kulacak ponselnya! Beberapa menit yang lalu dia masih disini!”  Tak ada jawaban dari mulut si wanita. Ia tahu tak akan ada gunanya ia menjawab mereka. Mereka akan berakhir mengobrak-abrik rumahnya seperti biasanya.

PRANG!

PYARR!

Dan benar saja, suara barang-barang pecah mulai terdengar setelah itu. Lenna berusaha menutup rapat pendengaran anaknya agar mereka tak lagi mendengar suara-suara itu. Wanita itu masih bertahan di posisinya, ia merasa posisi inilah yang paling aman untuk situasi sekarang ini.

“HAH! Percuma! Dia tak ada dimana-mana!” ujar salah satu dari mereka yang muncul setelah menggeledah rumah Lenna. Wanita itu tahu mereka sangat geram. Terlihat dari otot dan rahang yang mengeras sejak mereka pertama masuk tadi.

“Ayo pergi, Bos!”

“Hei, jalang! Siapkan uangnya minggu depan! Atau jangan harap kalian masih bisa tinggal di rumah ini!” ancam lelaki yang dipanggil Bos sebelum ia kembali membanting keras pintu rumah itu.

BRAKK!

Pintu gubuk reot itu kembali tertutup. Lenna akhirnya bisa menghembuskan napas lega. Segera ia mengecek kondisi kedua belah hatinya.

Ah untunglah mereka masih bernapas, batin Lenna dalam hati. Pasalnya ia merasa ia memeluk mereka terlalu erat, sampai ia sendiri takut kedua putrinya itu kesusahan bernapas.

Tiba-tiba Rara, si sulung mengulas senyum tipis termanisnya ketika manik hitam itu bersitatap dengan mata ibunya. Ada gelanyar nyeri bercampur haru ketika Lenna melihatnya. Ia tahu pelitanya itu sedang meyakinkan bahwa mereka baik-baik saja. Tanpa Lenna sadari satu bulir air mata lolos dari kelopak matanya. Kini tangan mungil Rere, Si Bungsu yang menghapus pelan jejak air mata itu.

Lenna kembali mengulas senyum dalam diam.

Aku harus kuat. Aku gak boleh lemah. Ada anak-anak yang menungguku jadi Ibu yang bisa mereka andalkan kelak. Masih ada masa depan yang ingin mereka wujudkan, monolognya dalam hati.

Wanita itu beranjak perlahan dari posisinya. Mendudukkan kedua putrinya pelan di sofa ruang tamu. Ia mulai membereskan semua kekacauan yang disebabkan algojo-algojo tadi.

Tak ada waktu untuk bersedih meratapi kepergian lelaki sialan yang selama ini ia panggil suami. Lelaki tak bertanggungjawab itu memang pergi tanpa membawa harta darinya gubuknya ini. Tapi ia juga tak membawa serta semua hutang dari hasil judinya. Hari itu adalah awal dari ekstra penderitaan Lenna.

Ia masih bersyukur, suaminya tak membawa serta kedua putrinya. Karena Lenna bahkan takkan bisa membayangkan jika ia hidup tanpa pelitanya.

“Ma....” Si bungsu menarik pelan ujung baju Lenna yang sedang menyapu serpihan pecahan kaca tadi dari pinggiran sofa.

“Iya, Sayang?,” jawabnya sembari menghentikan aktivitasnya. Ia berjongkok menyejajarkan tubuhnya dengan tinggi sofa.

“Hm?” Lenna bertanya ulang pada putri bungsunya itu. Karena tak ada jawaban darinya.

“Laper, Ma,” ujarnya sangat lirih. Gadis mungil itu mengatakannya seolah ia sedang mengakui sebuah kesalahan besar. Lenna paham. Anak-anaknya tahu mereka sedang kesusahan. Sehingga untuk meminta sesuatu pun rasanya pasti sangat susah. Satu hal yang Lenna sesali sekaligus ia syukuri. Kedua putrinya dewasa lebih dini, namun di sisi lain mereka tak bisa menikmati masa kecil mereka seperti anak-anak kebanyakan.

“Adik mau susu?” tawar Si Sulung tiba-tiba yang kemudian dijawab anggukan pelan dari Rere.

“Biar Rara yang buat, Ma. Masih ada sisa susu setengah kaleng kan di dapur?”

“Iya, Nduk sepertinya.” jawab Lenna sambil masih meneruskan kegiatannya menyapu sisa serpihan kaca tadi. “Sebentar ya, Nduk. Tunggu Mama selesai nyapu ini.”

Rara mendengar perintah ibunya. Ia kembali duduk di sofa memangku Rere sampai Lenna memberi isyarat padanya.

Sisa hari itu mereka bertiga habiskan dengan duduk bersama di teras rumah. Rere sudah tertidur pulas dalam timangan bundanya.

Kini tersisa Lenna dan Rere. Ibu dan putrinya itu tenggelam dalam pikiran mereka masing-masing. Mencoba menikmati indahnya pemandangan langit yang disajikan oleh Tuhan sore itu. Sejenak berusaha melupakan semua yang terjadi pada mereka sepanjang hari tadi. Entah apa yang akan mereka lakukan esok hari untuk bertahan hidup.

Pasti ada jalan keluarnya. Pasti, batin Lenna. Ia mengelus pelan rambut ikal putri sulungnya itu.

Setidaknya, Tuhan masih berbaik hati padaku. Karena Dia tak mengambil serta dua malaikat ini dari hidupku.

Ma... Mau pergi makan sama Aya gak?”

Segera kutekan tombol hapus di ponselku.

Ma, udah makan belum? Aya beliin ya. Mama mau makan apa?

Tap Tap Tap

Kembali kuhapus lagi ketikan itu. Ketika bayangan Mama membalas dengan muka masam tiba-tiba melintas di kepalaku.

Hah, entah sampai kapan hubunganku dengan beliau akan terus seperti ini, batinku dalam hati. Kurebahkan malas tubuhku di sofa. Mataku menerawang ke atap biru apartemenku. Mengingat kembali momen-momen bersama Mama yang bisa dibilang tak pernah ada manis-manisnya.

Aku tahu sikap dingin Mama padaku bukan tanpa alasan. Karena itu sudah menjadi rahasia umum di keluarga kami.

Aya adalah anak yang tak diinginkan kehadirannya.

Miris bukan? Namun memang begitulah faktanya. Entah sudah berapa kali Mama mengatakan itu tepat di depan wajahku. Tapi kau tahu? Sesakit apapun hatiku mendengar kalimat itu, aku takkan pernah bisa menaruh dendam pada beliau.

Ini sudah semacam kutukan yang melekat pada diri ini. Kutukan yang kubawa semenjak seorang Aya pertama kali membuka mata mengenal dunia ini. Hingga dua puluh delapan tahun aku mengenal asam manis getirnya dunia. Satu hal itu masih menjadi momen manis dan getirku di saat yang sama.

Akhir minggu ini jadwalku berkunjung ke rumah Mama. Rasa senang karena akhirnya aku bisa bertemu Mama setelah sebulan lamanya dan rasa was-was akan perlakuan apa yang nanti akan kuterima selalu campur aduk menjadi satu.

Bisa melihat wajah sosok yang melahirkanku ke dunia ini selalu menjadi momen yang membuat hati ini terenyuh entah kenapa. Walaupun tak jarang senyum tulusku hanya berbalas raut muka masam Mama. Tapi entah kenapa aku tetap mensyukurinya. Haha aneh, bukan?

‘Unconditional Love’ adalah perumpamaan yang sangat tepat tentang bagaimana caraku mencintai Mama. Sosok wanita tua itu akan selalu menjadi cinta pertama dan prioritas utama dalam hidupku.

Kuakui cara mencintaiku memang tidak biasa. Pernah suatu hari temanku bertanya, karena saking herannya dia dengan caraku ini.

“Apa alasan Aya masih sayang sama Mama? Padahal Mama sendiri gak pernah nunjukin kalo beliau sayang sama Aya,” katanya dengan nada sedikit kesal.

“Karena Mama gak punya siapa-siapa,” jawabku singkat dengan ulasan senyum tipis di bibirku. “Cuma ada adek yang serumah sama beliau. Kakak-kakak sekarang bahkan gak ada yang bener-bener peduli sama Mama. Mereka cuma jenguk Mama kalo ada maunya aja.”

“Huft. Aku kadang meragukanmu Ay. Temenku satu ini kayaknya jelmaan malaikat yang jatuh dari surga.”

“Hush ngawur. Tapi bisa jadi sih. Soalnya kadang aku ngerasa punya sayap gitu di punggung belakangku.”

“Yah elah, malah beneran terbang nih anak satu.” Obrolan singkat namun agak berat itu kuakhiri dengan ber-hehe ria. Ya, she had no one.

Mama sayang banget sama semua anak-anaknya, tak terkecuali aku. Tak pernah aku memiliki pikiran ‘Mama gak sayang aku. Mama benci aku’. Karena aku tahu Mama sebenarnya sayang sama aku. Hanya cara Mama mengekspresikannya padaku saja yang sedikit berbeda dengan anak Mama lainnya. I know deep inside her heart, she loved me.


Hari yang kutunggu-tunggu akhirnya tiba. Pagi-pagi sekali aku sudah bersiap dengan scoopy dan helm bogoku. Hati dan tubuh ini selalu saja tergesa jika memikirkan pertemuanku dengan Mama. Aku selalu tak sabar ingin mengucapkan satu kata ini walaupun tak pernah sampai hari ini bisa benar-benar terucap dari bibirku. Tapi hari ini sudah kutekadkan aku harus menyampaikannya ke Mama bagaimanapun caranya.

Dari kejauhan terlihat wanita favoritku itu sedang menjemur beberapa pakaian di teras. Aktivitasnya terhenti ketika netranya melihat anak gadisnya ini memarkirkan motor di halaman samping rumah.

“Ma... ,” sapaku sembari meraih tangan beliau untuk kucium. “Masuk, adik ada di dalam,” sahut Mama tanpa ada ekspresi yang berarti di wajah beliau.

Aku kesini buat ketemu Mama, Ma, monologku dalam hati. Aku tetap berusaha memasang topeng anak manisku di depan Mama. Bibirku tak bisa untuk tak tersenyum, walau hati ini perih.

Tak ingin sekalipun aku menunjukkan bahwa aku ini anak lemah. Mama berjuang untukku menjadi Aya yang kuat. Dan aku tak ingin mengecewakan Mama.

Kakiku melangkah mengekor di belakang Mama. Di detik berikutnya, entah kenapa tiba-tiba tubuh ini seperti kehilangan kontrol pemiliknya. Langkahku semakin cepat dan menubruk keras punggung Mama.

“Kamu apa-apaan sih, Ay?!” Saat itu aku menghiraukan semuanya. Aku tak menghiraukan teriakan Mama. Bahkan pelukanku semakin erat ketika Mama berusaha melepaskannya.

Aku benar-benar harus mengatakannya.

“Ma, Aya sayang banget Mama. Makasih udah ngenalin Aya ke dunia.”

(n.) the act of loving the one who loves you ; a love returned in full

Today, two years ago...

Hari ini Ravn, cowok paling populer di kampusnya mengajaknya ketemuan di taman kota.

“Untuk keperluan tugas kelompok,” katanya di telepon saat itu. Dia dan Ravn bukanlah teman dekat. Bagi Rosa bisa mengobrol dengan lelaki itu adalah sebuah keberuntungan yang amat langka. Pasalnya gadis itu tidak seperti gadis kebanyakan. Rosa lebih suka menyendiri dan tenggelam dalam buku-buku bacaan yang selalu ia bawa kemanapun ia pergi. The Introvert Girl.

Tak pernah ia terbayang akan satu kelompok dengan Ravn. Suatu kebetulan yang dalam hati sangat ia syukuri, karena akhirnya setidaknya Ravn tahu bahwa ia ada di dunia ini.

Siapa yang tidak kenal dengan lelaki itu? Seorang murid teladan dengan sejuta talentanya. Selalu menjadi murid favorit semua dosen. Ketua BEM yang aktif di segala bidang. Belum lagi dengan kehumble-annya. Ravn selalu bersikap baik kepada semua orang, tak memandang siapa orang itu. Ia memperlakukannya sama. Definisi ‘Perfect Prince’ tak bisa lepas dari seorang Ravn. Hanya itu sebutan yang paling cocok untuknya.

Dengan kepopulerannya, hampir setiap minggu ia mendapatkan confession dari banyak wanita. Tidak hanya satu atau dua wanita yang menyatakan cinta padanya. Dalam seminggu mungkin ada dua puluh wanita yang mengutarakan perasaannya pada Ravn. Entah itu dalam bentuk surat ataupun pengakuan langsung. Dan Ravn dengan senang hati meladeni mereka, walaupun sampai sekarang tak ada satupun yang berhasil memikat hati sang pangeran.

Bohong, jika Rosa tak tertarik dengan Ravn. Diam-diam gadis itu juga menaruh hati padanya sejak pertama kali matanya bertemu dengan mata teduh Ravn. Tapi bahkan untuk menuliskan rangkaian kata untuk pujaannya itu ia tak sanggup. Bahkan hanya membayangkan Ravn akan membaca tulisannya pipi gadis itu sudah memanas. Jadi niatan untuk melakukan itu selalu saja ia urungkan. Tapi rasa yang ada di hatinya tak pernah padam. Diam-diam mengamati Ravn dari kejauhan sudah lebih dari cukup bagi Rosa.

Sampai hari itu ketika dosen mereka membagi acak tugas kelompok dan akhirnya Ravn pertama kalinya satu kelompok dengannya. Rasa hati yang menggebu sampai perut yang tiba-tiba mulas ia rasakan saat itu. Pasalnya ia merasakan ada tatapan-tatapan tajam yang ditujukan ke arahnya. Ya, tak mungkin ada yang tak iri dengannya.

“Ih, kok bisa dia sih yang kepilih?”

“Gadis cupu gitu disandingin sama Ravn gak ada cocok-cocoknya.”

“Kasian Ravn bisa sekelompok sama dia.”

Dan cibiran-cibiran bernada sejenis yang masih saja ia dengar sampai jam kuliah berakhir. Rosa paham dan sudah biasa dengan perlakuan seperti itu. Bahkan sejak ia SMP, perlakuan yang sama sudah ia dapatkan karena pribadinya yang terlalu tertutup. Namun seiring bertambahnya usia, ia semakin bersikap masa bodoh dengan semuanya. Seperti sekarang ini.

Gadis itu sudah bersiap menenteng tasnya ketika ia menangkap sosok Ravn melangkah mendekat ke arahnya.

”Hai, Ros. Udah mau pulang?” tanya Ravn santai.

“I-iya. Gimana?” Rosa menjawab gagap. Pasalnya ini adalah kali pertama ia mengobrol dengan crushnya.

“Oh, sorry. Gue mau minta waktu bentar boleh gak nih?”

“Iya gak apa-apa, Ravn.”

“Soal tugas kelompok tadi. Gue boleh minta kontak lo gak? Biar kita diskusinya lebih enak aja. Tapi kalo lo gak nyaman kita bisa bahas tugasnya tiap jam kuliah. Gimana? Gue gak maksa sih,” jelas Ravn to-the-point.

Rosa masih terdiam. Tubuhnya berusaha menormalkan segala reaksi berlebihan yang mungkin bisa terlihat oleh Ravn.

“Ros? Are you okay?” ujar lelaki itu sembari menyejajarkan matanya dengan mara Rosa.

“O-Oh okay, Ravn. I’m fine with that.”

“Great! Nomer hape lo, Ros?”

“Huh?”

“Nomer hapenya, tuan putrii. Katanya mau ngasih tadi,” ujar Ravn dengan jemarinya yang sudah siap mengetik nomer.

“Oh iya, bentar,” sahut Rosa tersadar dari kecengohannya. Gadis itu merogoh sakunya mengeluarkan ponsel pribadinya.

“Lo gak apal nomer lo sendiri?”

“I-iya. I’m bad at memorizing number,” timpalnya singkat. “085xxxxxxxxx. Itu nomerku.”

“Oke, saved. Aku misscall ya.”

Ting! Ting! Ting!

Bunyi notifikasi dari ponsel Rosa menerima panggilan masuk dari Ravn.

“Itu nomer gue. Jangan lupa save ya!”

“Oke, Ravn,” jawab Rosa singkat.

“Ya udah kalo gitu. Gue duluan, Ros. Bye!” Ravn melambai singkat pada Rosa.

Dan sejak saat itu, mereka sering komunikasi by Whatsapp. Bukan bahasan yang neko-neko hanya topik tentang tugas mereka. Bahkan komunikasi mereka masih berlanjut sampai tugas yang diberikan dosen telah mereka selesaikan dengan mendapatkan nilai tertinggi di kelasnya.

Ravn tak jarang menunjukkan kedekatan mereka. Entah menghampiri Rosa yang sedang duduk sendiri membaca di perpustakaan. Atau hanya sekedar menyapa gadis yang suka duduk di samping jendela itu saat ia akan pulang.

Tak jarang ia dengar bisik-bisik jahat dari orang di sekitarnya. Tapi Rosa benar-benar sudah tak ingin mengurusi hal semacam itu. Anggapan dari dirinyalah yang terpenting. Itu prinsip yang sampai sekarang Rosa coba untuk selalu ia terapkan setiap harinya.

Gadis itu juga tak mau berharap lebih. Ia berusaha memenej hati dan perasaannya setiap kali ia mendapat semua perlakuan itu dari Ravn. Walaupun hati kecilnya tak mungkin berbohong, terkadang ia merasa di spesialkan oleh lelaki itu. Ia tak membiarkan perasaan itu berlangsung lama, karena setiap perasaan itu datang ia selalu dengan cepat menepisnya. Ia tak mau membiarkan dirinya berharap lebih.

Berbeda dengan Ravn. Ini pertama kalinya ia benar-benar merasa nyaman dengan seseorang, terlebih dia perempuan. Rosa tidak seperti gadis kebanyakan, ia berbeda. Begitu pikirnya.

Lelaki itu memandang Rosa dengan tatapan yang berbeda. Pada awalnya ia juga sempat berpikir akan susah bergaul dengan gadis itu. Tapi ternyata anggapannya salah total. Gadis pendiam itu akan berubah menjadi partner berbincang yang asyik jika kau sudah mengenalnya. Rosa selalu bisa nyambung dengan semua topik yang mereka angkat. Tak jarang gadis itu mengusulkan topik dan mereka tenggelam berdiskusi di dalamnya. Mungkin karena Rosa yang memiliki pandangan luas tentang apapun. Salah satu kepribadian yang Ravn sukai tentang gadis pendiam yang diam-diam kini telah menggelitik hatinya.

Rasa nyaman itu perlahan berubah menjadi rasa ingin memiliki tanpa Ravn sadari. Ia tak ingin orang lain menemukan berlian yang telah ia temukan terlebih dahulu. Diam-diam tanpa Rosa sadari, Ravn selalu mengamati semua aktivitasnya. Kemana Rosa pergi, apa saja yang gadis lakukan. Bahkan sekarang Ravn juga tahu apa yang Rosa sukai dan apa yang Rosa benci.

Entah kenapa akhir-akhir ini pikirannya penuh dengan bayangan gadis itu. Bagaimana dia tenggelam dalam dunia ketika membaca. Senyum tipis yang sebenarnya sangat manis ketika ia menemukan sesuatu yang lucu pada bacaannya. Cara Rosa menyibakkan rambut ketika ada helai yang jatuh pada wajahnya. Diam-diam Ravn selalu terkesima dengan semua hal kecil yang Rosa lakukan. Ia benar-benar tak ingin ada orang lain yang menyadarinya.

Hingga di suatu hari Minggu, Ravn mengajak Rosa menonton bioskop.

‘Gak ada temen yang cocok sama genre ini selain lo, Ros’ begitu kilahnya.

Padahal Rosa sudah berkali-kali menolak dengan alasan ia tidak biasa dengan suasana bioskop. Tapi melihat wajah memelas Ravn, siapa yang akan tahan untuk tidak mengiyakannya.

Akhirnya disinilah mereka, duduk sampingan di kursi gedung bioskop. Menikmati sebuah film dokumenter tentang sebuah kota di Jepang sana. Baru setengah jam film itu diputar ketika Rosa merasakan ada yang menyentuh punggung tangannya.

“Ros, udahan yuk.”

“Eh? Kenap—” Belum selesai gadis itu dengan kalimatnya. Tangannya sudah digeret pelan oleh Ravn. Mau tak mau gadis itu hanya bisa mengikuti dari belakang. Sesampainya di luar bioskop, Ravn melangkahkan kaki ke sebuah cafe di mall itu. Mencari spot yang kosong lalu duduk disana.

“Kenapa,Ravn? Filmnya jelek ya?”

Lelaki itu menggeleng, tidak mengiyakan.

“Gue sebenernya mau ngomong sama lo, Ros.”

“Iya? Terus?”

“Gue kira di bioskop tadi bakal jadi momen yang pas. Tapi malah terkesan horor suasananya,” sahut Ravn dengan sedikit nada kecewa.

“Ya udah, gak apa-apa. Mau ngomong apa emangnya? Tumben banget kudu kesini dulu”

“Soalnya yang gue omongin beda dari yang obrolan kita biasanya, Ros.”

“Hm ?”

Ravn menelan ludahnya sendiri. Matanya menatap intens gadis di depannya itu. Ia mencoba mengatur napasnya.

“What’s wrong, Ravn?”

“Ros … Lo … Mau gak jadi pacar gue?”

“Hah?” Rosa yakin ia kali ini salah dengar.

“Ehem … Kamu mau gak jadi pacar aku, Ros?” Gadis itu terdiam. Otaknya masih mencoba menganalisis apa yang ada di otak Ravn saat ini.

“Did i hear it wrong? Did you just… confessed to me, Ravn?”

“No, you didn’t hear it wrong. But yes, i confessing to you right now. So …?”

“Huh? W- what?”

“Your answer, Rosa.”

“Okay. W-wait, Ravn. Am i dreaming?”

“Gosh! No, you are not, Sweetie. Should i do something like pecking maybe, so that you can fully awake?”

“W-WHAT?! No! Kamu ngapain sih? Jangan ngadi-ngadi deh. Lagi di tempat umum kita tuh, Ravn.”

“Oke, jadi?”

“Mm… Yes ? If you’re fine with this nerd girl, Ravn.”

“Of course. I’m really fine with this cutie. That’s why i choose you, Rosa,” ujarnya sambil melemparkan senyum manis pada gadis di depannya itu.

“So, it’s official, right? You are mine from now on, Rosa.”

Tak ada yang bisa menggambarkan rasa yang ada di hati Rosa saat itu. Masih saja seperti mimpi ketika seseorang yang telah lama ia kagumi dari kejauhan sekarang ini menyatakan bahwa ia memiliki perasaan yang sama sepertinya.

Bahkan Rosa tak pernah terang-terangan mengungkapkan rasa kagum dan sukanya pada Ravn. Ia hanya dan selalu memendamnya dalam hati.Tak pernah terlintas di pikirannya cintanya akan terbalas. Dan sekarang ini ia menyandang status sebagai pacar mas crush, yang bahkan dulu ia tak pernah berani membayangkannya. Ah sungguh lucu cara kerja dunia ini.

— ⚘ ⚘ ⚘ —

Hari ini, tepat dua tahun setelah Ravn dan Rosa menjalin hubungan pacaran. Kini mereka sudah tidak menyandang status mahasiswa lagi, tapi menjadi employee yang bekerja di perusahaan mereka masing-masing.

Namun akhir-akhir ini Ravn bisa dibilang sangat jarang memiliki waktu untuk Rosa. Sebenarnya ia sudah menjelaskan alasannya, bahwa perusahaannya akan menggelar event akhir tahun dan mewajibkan semua staff untuk lembur mempersiapkannya. Rosa mencoba untuk memahami, tapi rasa kesepian itu selalu menghantui.

Tak jarang pikiran-pikiran liar seperti, Apa Ravn sudah bosan dan muak denganku? Apakah Ravn terganggu dengan semua spam whatsapp-ku? Bagaimana jika semua itu hanya alasan ia mencari wanita lain karena sudah bosan dengannya? Dan pikiran-pikiran negatif lainnya setia memenuhi otak Rosa.

Gadis itu sudah pasrah akan kemana arah hubungan ini. Ia mengatakan pada dirinya ia siap dengan semua akhir yang mungkin bisa saja terjadi. Karena seorang Ravn tetaplah seorang Ravn. Pesonanya masih saja tak surut bahkan di perusahaan tempat ia bekerja sekarang ini. Tak jarang Rosa dibuat minder karena banyaknya wanita-wanita cantik di sekitar Ravn.

Berbeda dengan gadis itu, Ravn malah sering memamerkan Rosa dengan bangga ketika beberapa kali Rosa mengantarkan bekal makan siang untuknya. Satu sikap yang tak pernah berubah dari Ravn. Dan sikap itu akan selalu menjadi sifat favorit Rosa dari seorang Ravn.

— ⚘ ⚘ ⚘ —

Ting!

Sebuah notifikasi muncul di layar ponsel Rosa.

Hon

Hon, kamu ada waktu nggak sore ini?

Sebuah pesan singkat dari Ravn. Tumben, batinnya.

Rosa

Aku free, Ravn. Gimana?

Hon

OK! Siap-siap ya. Aku otw apartemenmu sekarang.

Rosa

OK ^^

Segera gadis itu bersiap. Entah kenapa ia sangat bersemangat mendapat kabar itu. Pasalnya memang akhir-akhir ini mereka bisa dibilang tak pernah bertatap muka. Jadi mendengar kabar bahwa Ravn bisa menemuinya merupakan suatu yang sangat ditunggu-tunggu olehnya.

Selesai mandi, gadis itu mengenakan pakaian casualnya, memberikan sedikit touch-up pada wajahnya, tak lupa menyamber topi baret kesukaannya. Rosa memang bukan tipe gadis yang suka ribet. Mottonya ‘Make It As Simple As Possible’. Dan disinilah dia, sudah duduk manis di sofa menunggu jemputan pangerannya.

Ting Tong!

Nice timing, batin gadis itu.

Ravn datang bahkan sebelum menit kelima ia mendudukkan pantatnya di sofa. Ia beranjak dari tempat duduknya. Melangkah menuju pintu untuk menyambut pujaan hatinya itu.

Ceklek!

Baru saja gadis itu akan membuka mulut untuk menyambut Ravn. Lelaki itu sudah langsung menghamburkan dirinya memeluk erat gadisnya tanpa aba-aba. Lelaki itu menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Rosa. Mendusel lama disana.

“R-Ravn?”

“Hm.”

Will you stop doing that, Babe?”

Whyy? You don’t like it? Are you not missing me anymore, Hon?”

No! I miss you. I miss you so bad, Ravn. Cuma ….”

“Cuma apa? Jangan bilang kamu ada lelaki serep selama aku gak ada.”

“Ah, c’mon. Bisa-bisanya mikir gitu ih.”

“Trus kenapa gak mau dipeluk hm?”

“Dipeluknya gak papa. Cuma aku geli kalo kamu ndusel disitu, Ravn.”

“Ish. Bilang kek dari tadi.”

“Kamu yang motong mulu…”

“Ya dah, aku ulangin ya peluknya.”

“Iya iya. Peluk sepuasnya sini.”

“Aku kangen akut sama kamu, Ros. Aku kangen badanmu. Aku kangen wanginya kamu. Kangen semuanya yang berbau kamu.”

“Bucin emang gitu ya.”

“Ye, dulu siapa duluan yang bucin hm? Jangan sok amnesia”

“Iyain aja biar cepet. Mau masuk dulu, Ravn?”

Nope. Kita langsung cabut aja. Keburu telat nanti.”

“Hm? Emang mau ada acara?”

“Mm … Liat aja nanti. Yuk!”

— ⚘ ⚘ ⚘ —

Aya

Nan, kutunggu di gerbang depan kayak biasa ya. Buru. Aku mau ngajak kamu ke suatu tempat :)

Jinan

Roger that, My Queen!

Pipi Aya seketika memanas hanya karena balasan singkat dari Jinan. Gadis itu langsung mengipas-kipaskan tangannya berharap wajah merahnya segera padam. Tak lucu jika Jinan memergokinya wajahnya memerah, lagi. Sudah terlalu sering lelaki itu menggodanya dan mungkin sekarang sudah menjadi salah satu hobi favorit Jinan. Menggoda satu-satunya gadisnya. Masih sibuk dengan menenangkan degup jantungnya, tiba-tiba Aya merasakan seseorang menggaet cepat lengannya.

“Eh—” Gadis itu tak menyelesaikan kalimatnya ketika melihat siapa yang menggaetnya.

“Lepas, Nan. Jangan disini,” ujar Aya lirih sembari berusaha melepas tangan Jinan yang masih setia bertengger di lengannya.

“Kenapa, sih? Kamu malu jalan sampingan sama aku?” tanyanya sambil menggembungkan pipinya. Bertingkah layaknya anak kecil yang ngambek.

Ah c’mon, Boy. Should you do this to me? I’m weak with cute things, yet you do that in front of my face. Monolog Aya dalam hati.

“B-bukan gitu, ih! You know exactly the reason, my genius Kim Jinhwan. Jangan berlagak bego gitu, deh.”

“Hei, Hon.Kamu bilang aku jenius, terus satu milidetik setelahnya kamu ngatain aku bego. Jadi yang bener yang mana?” Aya terdiam mendapat pertanyaan itu.

Aku yang bego kayaknya, batin gadis itu dalam hati. Tak mungkin ia mengatakannya keras-keras. Ia belum siap menerima godaan lain dari pacar imutnya itu.

“Tau, ah. Buru lepas dulu. Gandengan lagi nanti kalau dah agak jauhan dari gerbang kampus,”

“Iya deh iya, Tuan Putri. Sana jalan duluan, ntar aku nyusul,” ujar Jinan mengakhiri perdebatan ringan itu.

Aya perlahan mulai melangkah menjauh. Alasan gadis itu tak mau memperlihatkan kedekatan mereka tak lain dan tak bukan karena mereka merahasiakannya. Ya, hubungan ini hanya mereka yang tahu. Kesepakatan yang mereka ambil karena status yang disandang oleh Kim Jinhwan. The Most Popular Guy in Campus.

Terlalu beresiko jika banyak orang yang tau, Nan, kata Aya suatu hari.

Yang hanya ditanggapi dengusan kesal dari Jinan kala itu. Padahal lelaki itu fine-fine saja dengan semua itu, bahkan dia bisa dibilang ia yang seringkali ngebet mengekspos hubungannya dengan Aya.

Biar aku bisa leluasa ngeklaim kalo kamu tuh cuma milik aku, Ay.

Salah satu alasan yang kapan hari pernah Jinan kemukakan padanya. Dan tentunya sukses membuat Aya diam tak berkutik dengan pipi panasnya. Namun alasan itu tak juga bisa mengalahkan kekhawatirannya. Aya takut sesuatu yang buruk akan terjadi pada lelakinya itu. Bahkan untuk membayangkan kekasihnya ini tersakiti barang sedikit pun ia tak sanggup.

Hubungan Aya – Jinan adalah hubungan romansa remaja pada umumnya. Teman jadi cinta. Mereka yang hanya tetangga sebelah pada awalnya, masuk ke sekolah yang sama dan tumbuh-tumbuhlah benih-benih cinta.

Mengutip perkataan dari Dave Matthews Band,

Lelaki dan perempuan bisa jadi sahabat. Tetapi di satu titik, mereka akan jatuh cinta pada satu sama lain. Mungkin sementara, mungkin di waktu yang tidak tepat, mungkin terlambat, atau mungkin selamanya.

Dan berakhirlah mereka di hubungan seperti sekarang ini.

Terhitung sudah dua tahun sejak mereka mensahkan hubungan mereka. Satu momen ter-akwkard bagi mereka. Ketika akhirnya Jinan berani mengutarakan perasaannya lebih dulu.


Waktu itu mereka masih duduk di bangku SMA, tepat sehari setelah pengumuman ujian akhir dan kini mereka tinggal menunggu pelaksanaan wisuda. Jinan malam itu diundang ke rumah Aya untuk syukuran kecil-kecilan.

Dan setelah makan malam mereka memutuskan untuk jalan-jalan santai ke taman dekat perumahan. Malam itu malam minggu, jadi suasana masih lumayan ramai. Banyak terlihat pasangan dari pemuda-pemudi sampai kakek-nenek disana. Berkunjung ke taman di malam minggu memang selalu menawarkan dua pilihan, antara memanjakan mata atau mungkin bikin mata tambah sepet karena status jomblo yang melihat.

Mereka sedang duduk di ayunan taman ketika tiba-tiba Jinan menggenggam tangan kiri Aya dan kemudian ia masukkan ke saku jaketnya. Gadis bersurai hitam itu sontak kaget dan langsung akan menarik tangannya. Tapi genggaman tangan Jinan kian erat. Ia menatap Jinan heran. Sorot matanya meminta penjelasan.

“Bentar aja, Ay. Biarin kayak gini dulu. Aku mau ngomong sesuatu. Biarin aku dapet kekuatan dari pegang tangan kamu,” ujar Jinan kala itu. Aya akhirnya membiarkan teman lelakinya itu menggenggam tangannya.

Hening. Tak ada obrolan di antara keduanya. Pandangan mereka lurus kedepan. Masih berpura-pura menikmati pemandangan taman Sabtu malam yang perlahan mulai sepi. Mereka masih tenggelam dengan pikirannya masing-masing. Namun keheningan itu hanya tampak dari luarnya saja. Hangat dari genggaman tangan keduanya perlahan merambat ke jantung mereka. Yang menyebabkan degup jantung kedua insan itu semakin tak beraturan.

“Ehem….” Terdengar dehaman dari lelaki berhoodie di sebelah Aya.

“Aya…”

“Hm?”

“Aku mau jujur sama kamu.” Aya masih mencoba menerka-nerka apa pengakuan Jinan. Pasalnya selama ini tak ada yang ia tak tahu dari teman kecilnya ini.

“Something happened, Nan?”

“Eh? No...No. Bukan begitu.”

“Lalu ? Apa sih yang pengen kamu akuin? Kamu sekarang gitu ya. Sejak kapan kita main rahasia-rahasiaan gini hm?

“I told ya, it’s not like that, Aya,” ujar Jinan pelan berusaha memahamkan.

“Just tell me, then,” sahut gadis itu tak sabaran.

“Gak segampang itu, Ay buat ngomongin ini.”

“Ya udah, kalo gitu kita pulang aja. Omongin besok kalo kamu dah siap aja. Ayo pulang, Nan. Dah malem.”

Gadis itu bersiap beranjak dari posisinya. Melepas paksa genggaman tangan Jinan. Jujur ia setengah merajuk saat itu. Karena ia saja baru mengetahui bahwa teman terdekatnya merahasiakan sesuatu darinya.

Aya baru akan melangkahkan kaki setelah ia membalikkan badannya, ketika ia merasakan tubuhnya ditarik kedalam pelukan Jinan.

“N-nan?” Tubuh Aya membeku mendapat perlakuan itu Ia bahkan tak sanggup menoleh ke arah Jinan. Itu pertama kalinya Jinan memeluknya. Tapi gadis itu bahkan tak ada niatan untuk menepisnya. Entah kenapa ia malah merasa nyaman dalam pelukan itu.

Kembali hanya ada hening diantara mereka. Semilir angin malam menambah suasana kala itu kian dingin. Tapi semua itu tak berpengaruh untuk hati kedua anak manusia itu. Ayq bisa merasakan degup jantung Jinan di punggungnya. Yang ia sendiri yakin tak jauh beda dengan jantungnya yang kini sudah bak genderang perang.

Tiba – tiba ia merasakan ada hembusan hangat di telinga kanannya. Jinan membisikkan sesuatu yang bahkan ia sendiri tak pernah membayangkan kalimat itu terucap dari bibir teman kecilnya itu.

“Aya, i love you. Please be mine.”

And that’s how their new page begin.


Ya siapa sangka mereka memiliki perasaan lebih untuk keduanya. Dari yang biasanya hanya memendam kebaperan mereka masing-masing, kini mereka bisa dengan leluasa mengekspresikan perasaannya. Ah bukan di sembarang tempat tentunya, hanya pada saat mereka berdua saja.

Aya selalu khawatir kehadirannya akan berpengaruh pada popularitas Jinan. Siapa dia jika disandingkan dengan seorang Kim Jinhwan. Ia hanya seorang nerd, gadis cupu berkaca mata, si kutu buku. Panggilan-panggilan kolega kampus untuknya itu hanya akan menyusahkan Jinan kedepannya. Selalu itu yang ada dipikiran Aya.

“Tada!” Gadis itu berdiri di depan sebuah cafe lucu tapi estetik. Sebuah cafe langka yang ingin ia pamerkan pertama kali pada kekasihnya.

As expected from my darling. You know me best, Babe” ucap Jinan sambil mengacungkan kedua jempolnya dan mendapat balasan senyum manis Aya.

Ugh, my babe is too sweet, lelaki itu diam membatin.

“Ayo, buru! Aku udah pesen spot favorit kamu.” Geretan tangan Aya segera menyadarkan Jinan dari lamunannya. Ia segera mengikuti langkah Aya masuk ke dalam cafe.

Gadis itu ternyata sudah memilihkan spot di pinggir jendela. Karena mereka takkan pernah kehabisan topik obrolan. Mereka bisa lebih berlama-lama sembari membicarakan apa saja yang terlihat di luar jendela, papar Jinan suatu hari. Dan kini spot itu sepertinya sudah menjadi spot favorit mereka.

Tak ada sepuluh menit mereka menunggu, waitress sudah mengantarkan pesanan mereka. Jinan dengan milktea-nya, Aya dengan greentea dan strawberry shortcake-nya.

“Beneran gak mau icip?” tanya Aya ketika ia memasukkan suapan pertama kue itu ke mulutnya.

“Gak. Masih kenyang. Tadi abis ditraktir sepuasnya sama Abin di kantin,” ujar Jinan sambil menikmati milktea-nya.

“Yakin? Enak banget lho ini, Nan. Jarang-jarang aku nemu strawberry shortcake yang gak eneg gini,” cerocos Aya sambil masih mengunyah.

“Aku kalo makan apapun trus sambil liat kamu gak ada eneg-enegnya kok, Ay. Malah adanya ketagihan pengen liatin terus.”

“Uhuk… uhuk.” Aya tersedak mendengar serangan dadakan dari Jinan. Walaupun ia tak jarang mendengar pujian nonstop dari mulut lelaki itu tapi tetap saja tubuhnya bereaksi sama.

“Eh, pelan-pelan dong makannya. Gak bakal kurebut juga, Ay,” ujar Jinan sambil menyodorkan minuman Aya.

“Ih, sok-sokan bego ya. Kayak gak tahu aja aku kesedak kayak gini gara-gara siapa,” timpal Aya kesal.

“Hehe, lagian udah dua tahun masih tetep gitu aja reaksinya kalo digombalin. Kukira kan kamu bakal kebal, Ay.”

“Kebal apaan. Emangnya virus? Main kebal-kebalan gitu.” Aya tak habis pikir kenapa lelaki di seberangnya itu sangat senang melihatnya salah tingkah seperti sekarang ini.

Tangan Aya mengambil tissue untuk membersihkan mulutnya dari sisa cake tadi. Tiba-tiba tangan Jinan memegangnya. Gadis itu kembali terheran-heran. Dahinya mengkerut melihat tingkah lelaki di depannya itu.

Kesambet apa sih nih anak satu, batinnya.

“Biar aku aja, Ay,” ujar Jinan sambil menatap intens matanya.

“Hah? Mmb— ” Kalimat Aya tertahan karena tanpa aba-aba Jinan sudah menyapukan tisu ke mulutnya.

“Nah, gitu kan tambah cantik.” Jinan sengaja mengusapkan tisunya lumayan keras. Tak hanya sisa cake yang hilang dari bibir Aya, tapi juga lipstiknya.

“Apaan sih, Nan?” Gadis itu kembali tersipu. Hari itu ia memang sengaja memoles lipstik yang warnanya lumayan mencolok. Dalam rangka menguji kepekaan kekasihnya itu. Tak disangka Jinan akan menyadarinya secepat itu.

“Kamu tuh udah cantik natural, apa adanya. Gak usah pake make up tebel-tebel gitu. Nanti aku malah gak bisa bedain kamu sama badut yang disana itu, Hon,” godanya sambil menunjuk ke luar jendela. Dimana ada maskot badut yang sedang membagikan balon gratis.

“Iya iya, bawel. Ini pertama kali juga nyobain lipstik menor gini, sayang kan kalo gak dicoba,” elak Aya asal-asalan.

“Ini pertama dan terakhir ya. Aku pokoknya gak mau liat kamu pake make up tebel. Nanti kalo banyak yang kepincut, akunya yang berabe,”

“Ih jangan ngadi-ngadi. Mana ada yang kepincut sama cewek cupu macem aku.”

“Lha ini nyatanya ada. Yang lagi duduk di depanmu.” Aya diam tak menanggapi. Sampai sekarang pun rasanya masih mustahil ia bisa berpacaran dengan Jinan.

“Aneh emang kamu tuh. Kenapa juga mau sama aku yang gak ada apa-apanya ini.”

Ya, tak ada satu detikpun Aya tak memikirkan hal itu. Bersanding dengan seorang Jinan pernah menjadi hal yang ia pikir takkan pernah terjadi di dunia ini.

“Eh, eh mulutnya ya Sekali lagi aku denger kamu bilang gitu, aku bakal kasih kamu kiss di tempat lho, Ay.”

“Hush! Ngawur!”

I won’t let these little things slipped out from your mouth ever again, Aya,” ujar Jinan sambil menarik tangan gadis itu dan menggenggamnya.

I’m in love with you, just the way you are, I love Aya and all these little things.”

Even if you love yourself, i know you’ll never love yourself as much as i love you.

But still, i want you to.” Tangan Jinan masih mengelus pelan punggung tangan Aya seolah mencoba kembali meyakinkan gadis itu bahwa ia berhak menjadi diri sendiri dan berhak untuk dicintai.

Hati Aya terenyuh, matanya tiba-tiba menghangat. Tapi ia tak membiarkan airnya jatuh. Hanya senyum yang terkembang di wajah manisnya. Dalam hati ia tak henti-hentinya merapalkan kalimat syukurnya.

Tuhan, terima kasih telah mengirimkan salah satu malaikat-Mu padaku.

E.N D

Diana

Woong, kutunggu di gerbang depan kayak biasa ya. Buru. Aku mau ngajak kamu ke suatu tempat :)

Woong

Roger that, My Queen!

Pipi Diana seketika memanas hanya karena balasan singkat dari Hwanwoong. Gadis itu langsung mengipas-kipaskan tangannya berharap wajah merahnya segera padam. Tak lucu jika Hwanwoong memergokinya wajahnya memerah lagi. Sudah terlalu sering lelaki itu menggodanya dan mungkin sekarang sudah menjadi salah satu hobi favorit Hwanwoong. Menggoda satu-satunya gadisnya. Masih sibuk dengan menenangkan degup jantungnya, tiba-tiba Diana merasakan seseorang menggaet cepat lengannya.

“Eh—” Gadis itu tak menyelesaikan kalimatnya ketika melihat siapa yang menggaetnya.

“Lepas, Woong. Jangan disini,” ujar Diana lirih sembari berusaha melepas tangan Hwanwoong yang setia masih bertengger di lengannya.

“Kenapa, sih? Kamu malu jalan sampingan sama aku?” tanyanya sambil menggembungkan pipinya. Bertingkah layaknya anak kecil yang ngambek.

Ah c’mon, Boy. Should you do this to me? I’m weak with cute things, yet you do that in front of my face. Monolog Diana dalam hati.

“B-bukan gitu, ih! You know exactly the reason, my genius Hwanwoong. Jangan berlagak bego gitu, deh.”

“Hei, Hon.Kamu bilang aku jenius, terus satu milidetik setelahnya kamu ngatain aku bego. Jadi yang bener yang mana?” Diana terdiam mendapat pertanyaan itu.

Aku yang bego kayaknya, batin gadis itu dalam hati. Tak mungkin ia mengatakannya keras-keras. Ia belum siap menerima godaan lain dari pacar imutnya itu.

“Tau, ah. Buru lepas dulu. Gandengan lagi nanti kalau dah agak jauhan dari gerbang kampus,”

“Iya deh iya, Tuan Putri. Sana jalan duluan, ntar aku nyusul,” ujar Hwanwoong mengakhiri perdebatan ringan itu.

Diana perlahan mulai melangkah menjauh. Alasan gadis itu tak mau memperlihatkan kedekatan mereka tak lain dan tak bukan karena mereka merahasiakannya. Ya, hubungan ini hanya mereka yang tahu. Kesepakatan yang mereka ambil karena status yang disandang oleh Hwanwoong. The Most Popular Guy in Campus.

Terlalu beresiko jika banyak orang yang tau, Woong, kata Diana suatu hari.

Yang hanya ditanggapi desahan kesal dari Hwanwoong kala itu. Padahal lelaki itu fine-fine saja dengan semua itu, bahkan dia bisa dibilang ia yang seringkali ngebet mengekspos hubungannya dengan Diana.

Biar aku bisa leluasa ngeklaim kalo kamu tuh cuma milik aku, Di.

Salah satu alasan yang kapan hari pernah Hwanwoong kemukakan padanya. Dan tentunya sukses membuat Diana diam tak berkutik dengan pipi panasnya. Namun alasan itu tak juga bisa mengalahkan kekhawatirannya. Diana takut sesuatu yang buruk akan terjadi pada lelakinya itu. Bahkan untuk membayangkan kekasihnya ini tersakiti barang sedikit pun ia tak sanggup.

Hubungan Diana dan Hwanwoong adalah hubungan romansa remaja pada umumnya. Teman jadi cinta. Mereka yang hanya tetangga sebelah pada awalnya, masuk ke sekolah yang sama dan tumbuh-tumbuhlah benih-benih cinta.

Mengutip perkataan dari Dave Matthews Band,

Lelaki dan perempuan bisa jadi sahabat. Tetapi di satu titik, mereka akan jatuh cinta pada satu sama lain. Mungkin sementara, mungkin di waktu yang tidak tepat, mungkin terlambat, atau mungkin selamanya.

Dan berakhirlah mereka di hubungan seperti sekarang ini.

Terhitung sudah dua tahun sejak mereka mensahkan hubungan mereka. Satu momen ter-akwkard bagi mereka. Ketika akhirnya Hwanwoong berani mengutarakan perasaannya lebih dulu.


Waktu itu mereka masih duduk di bangku SMA, tepat sehari setelah pengumuman ujian akhir dan kini mereka tinggal menunggu pelaksanaan wisuda. Hwanwoong malam itu diundang ke rumah Diana untuk syukuran kecil-kecilan.

Dan setelah makan malam mereka memutuskan untuk jalan-jalan santai ke taman dekat perumahan. Malam itu malam minggu, jadi suasana masih lumayan ramai. Banyak terlihat pasangan dari pemuda-pemudi sampai kakek-nenek disana. Berkunjung ke taman di malam minggu memang selalu menawarkan dua pilihan, antara memanjakan mata atau mungkin bikin mata tambah sepet karena jomblonya kita.

Mereka sedang duduk di ayunan taman ketika tiba-tiba Hwanwoong menggenggam tangan kiri Diana dan ia masukkan ke saku jaketnya. Gadis bersurai hitam itu sontak kaget dan langsung akan menarik tangannya. Tapi genggaman tangan Hwanwoong kian erat. Ia menatap Hwanwoong heran. Sorot matanya meminta penjelasan.

“Bentar aja, Di. Biarin kayak gini dulu. Aku mau ngomong sesuatu. Biarin aku dapet kekuatan dari pegang tangan kamu,” ujar Hwanwoong. Diana akhirnya membiarkan teman lelakinya itu menggenggam tangannya.

Hening. Tak ada obrolan di antara keduanya. Pandangan mereka lurus kedepan. Masih berpura-pura menikmati pemandangan taman Sabtu malam yang perlahan mulai sepi. Mereka masih tenggelam dengan pikirannya masing-masing. Namun keheningan itu hanya tampak dari luarnya saja. Hangat dari genggaman tangan keduanya perlahan merambat ke jantung mereka. Yang menyebabkan degup jantung kedua insan itu semakin tak beraturan.

“Ehem….” Terdangar dehaman dari lelaki berhoodie di sebelah Diana.

“Diana…”

“Hm?”

“Aku mau jujur sama kamu.” Diana masih mencoba menerka-nerka apa pengakuan Hwanwoong. Pasalnya selama ini tak ada yang ia tak tahu dari teman kecilnya ini.

“Something happened, Woong?”

“Eh? No...No. Bukan begitu.”

“Lalu ? Apa sih yang pengen kamu akuin? Kamu sekarang gitu ya. Sejak kapan kita main rahasia-rahasiaan gini hm?

“I told ya, it’s not like that, Diana,” ujar Hwanwoong pelan mencoba memahamkan.

“Just tell me, then,” sahut gadis itu tak sabaran.

“Gak segampang itu, Di buat ngomongin ini.”

“Ya udah, kalo gitu kita pulang aja. Omongin besok kalo kamu dah siap aja. Ayo pulang, Woong. Dah malem.”

Gadis itu bersiap beranjak dari posisinya. Melepas paksa genggaman tangan Hwanwoong. Jujur ia setengah merajuk saat itu. Karena ia saja baru mengetahui bahwa teman terdekatnya merahasiakan sesuatu darinya.

Diana baru akan melangkahkan kaki setelah ia membalikkan badannya, ketika ia merasakan tubuhnya ditarik kedalam pelukan Hwanwoong.

“Wo-Woong?” Tubuh Diana membeku mendapat perlakuan itu Ia bahkan tak sanggup menoleh ke arah Hwanwoong. Itu pertama kalinya Hwanwoong memeluknya. Tapi gadis itu tak ada niatan untuk menepisnya. Entah kenapa ia malah merasa nyaman dalam pelukan itu.

Kembali hanya ada hening diantara mereka. Semilir angin malam menambah suasana kala itu kian dingin. Tapi semua itu tak berpengaruh untuk hati kedua anak manusia itu. Diana bisa merasakan degup jantung Hwanwoong di punggungnya. Yang ia sendiri yakin tak jauh beda dengan jantungnya yang kini sudah bak genderang perang.

Tiba – tiba ia merasakan ada hembusan hangat di telinga kanannya. Hwanwoong membisikkan sesuatu yang bahkan ia sendiri tak pernah membayangkan kalimat itu terucap dari bibir teman kecilnya itu.

“Diana, i love you. Please be mine.”

And that’s how their new page begin.


Ya siapa sangka mereka memiliki perasaan lebih untuk keduanya. Dari yang biasanya hanya memendam kebaperan mereka masing-masing, kini mereka bisa dengan leluasa mengekspresikan perasaannya. Ah bukan di sembarang tempat tentunya, hanya pada saat mereka berdua saja.

Diana selalu khawatir kehadirannya akan berpengaruh pada popularitas Hwanwoong. Siapa dia jika disandingkan dengan Hwanwoong. Ia hanya seorang nerd, gadis cupu berkaca mata, si kutu buku. Panggilan-panggilan kolega kampus untuknya itu hanya akan menyusahkan Hwanwoong kedepannya. Selalu itu yang ada dipikiran Diana.

“Tada!” Gadis itu berdiri di depan sebuah cafe lucu tapi estetik. Sebuah cafe langka yang ingin ia pamerkan pertama kali pada kekasihnya.

As expected from my darling. You know me best, Babe” ucap Hwanwoong sambil mengacungkan kedua jempolnya dan mendapat balasan senyum manis Diana.

Ugh, my babe is too sweet, lelaki itu diam membatin.

“Ayo, buru! Aku udah pesen spot favorit kamu.” Geretan tangan Diana segera menyadarkan Hwanwoong dari lamunannya. Ia segera mengikuti langkah Diana masuk ke dalam cafe.

Gadis itu ternyata sudah memilihkan spot di pinggir jendela. Karena mereka takkan pernah kehabisan topik obrolan. Mereka bisa lebih berlama-lama sembari membicarakan apa saja yang terlihat di luar jendela, papar Hwanwoong suatu hari. Dan kini spot itu sepertinya sudah menjadi spot favorit mereka.

Tak ada sepuluh menit mereka menunggu, waitress sudah mengantarkan pesanan mereka. Hwanwoong dengan milktea-nya, Diana dengan greentea dan strawberry shortcake-nya.

“Beneran gak mau icip?” tanya Diana ketika ia memasukkan suapan pertama kue itu ke mulutnya.

“Gak. Masih kenyang. Tadi abis ditraktir sepuasnya sama Bang Ravn di kantin,” ujar Hwanwoong sambil menikmati milktea-nya.

“Yakin? Enak banget lho ini, Woong. Jarang-jarang aku nemu strawberry shortcake yang gak eneg gini,” cerocos Diana sambil masih mengunyah.

“Aku kalo makan apapun trus sambil liat kamu gak ada eneg-enegnya kok, Di. Malah adanya ketagihan pengen liatin terus.”

“Uhuk… uhuk.” Diana tersedak mendengar serangan dadakan dari Hwanwoong. Walaupun ia tak jarang mendengar pujian nonstop dari mulut lelaki itu tapi tetap saja tubuhnya bereaksi sama.

“Eh, pelan-pelan dong makannya. Gak bakal kurebut juga, Di,” ujar Hwanwoong sambil menyodorkan minuman Diana.

“Ih, sok-sokan bego ya. Kayak gak tahu aja aku kesedak kayak gini gara-gara siapa,” timpal Diana kesal.

“Hehe, lagian udah dua tahun masih tetep gitu aja reaksinya kalo digombalin. Kukira kan kamu bakal kebal, Di.”

“Kebal apaan. Emangnya virus? Main kebal-kebalan gitu.” Diana tak habis pikir kenapa lelaki di seberangnya itu sangat senang melihatnya salah tingkah seperti sekarang ini.

Tangan Diana mengambil tissue untuk membersihkan mulutnya dari sisa cake tadi. Tiba-tiba tangan Hwanwoong memegangnya. Gadis itu kembali terheran-heran.

Kesambet apa sih nih anak satu, batinnya.

“Biar aku aja, Di,” ujar Hwanwoong sambil menatap intens matanya.

“Hah? Mmb— ” Kalimat Diana tertahan karena tanpa aba-aba Hwanwoong sudah menyapukan tisu ke mulutnya.

“Nah, gitu kan tambah cantik.” Hwanwoong sengaja mengusapkan tisunya lumayan keras. Tak hanya sisa cake yang hilang dari bibir Diana, tapi juga lipstiknya.

“Apaan sih, Woong?” Gadis itu kembali tersipu. Hari itu ia memang sengaja memoles lipstik yang warnanya lumayan mencolok. Dalam rangka menguji kepekaan kekasihnya itu. Tak disangka Hwanwoong akan menyadarinya secepat itu.

“Kamu tuh udah cantik natural, apa adanya. Gak usah pake make up tebel-tebel gitu. Nanti aku malah gak bisa bedain kamu sama badut yang disana itu, Hon,” godanya sambil menunjuk ke luar jendela. Dimana ada maskot badut yang sedang membagikan balon gratis.

“Iya iya, bawel. Ini pertama kali juga nyobain lipstik menor gini, sayang kan kalo gak dicoba,” elak Diana asal-asalan.

“Ini pertama dan terakhir ya. Aku pokoknya gak mau liat kamu pake make up tebel. Nanti kalo banyak yang kepincut, akunya yang berabe,”

“Ih jangan ngadi-ngadi. Mana ada yang kepincut sama cewek cupu macem aku.”

“Lha ini nyatanya ada. Yang lagi duduk di depanmu.” Diana diam tak menanggapi. Sampai sekarang pun rasanya masih mustahil ia bisa berpacaran dengan Hwanwoong.

“Aneh emang kamu tuh. Kenapa juga mau sama aku yang gak ada apa-apanya ini.” Ya, tak ada satu detikpun Diana tak memikirkan hal itu. Bersanding dengan seorang Hwanwoong pernah menjadi hal yang ia pikir takkan pernah terjadi di dunia ini.

“Eh, eh mulutnya ya Sekali lagi aku denger kamu bilang gitu, aku bakal kasih kamu kiss di tempat lho, Di.”

“Hush! Ngawur!”

I won’t let these little things slipped out from your mouth ever again, Diana.” Hwanwoong menarik tangan gadis itu dan menggenggamnya.

I’m in love with you, just the way you are, I love Diana and all these little things.”

Even if you love yourself, i know you’ll never love yourself as much as i love you.

But still, i want you to.” Tangan Hwanwoong masih mengelus pelan punggung tangan Diana seolah mencoba kembali meyakinkan gadis itu bahwa ia berhak menjadi diri sendiri dan berhak untuk dicintai.

Hati Diana terenyuh, matanya tiba-tiba menghangat. Tapi ia tak membiarkan airnya jatuh. Hanya senyum yang terkembang di wajah manisnya. Dalam hati ia tak henti-hentinya merapalkan kalimat syukurnya.

Tuhan, terima kasih telah mengirimkan salah satu malaikat-Mu padaku.

E.N D

Ceklek!

Tap… Tap… Tap

“Kak Hanuuung! Sion come back hooome!”

Kudengar teriakan pulang khas dari orang terkasihku. Tanganku segera meraba-raba sesuatu di samping tempat tidurku. Mencari satu-satunya benda yang setia kemanapun aku pergi, tongkat putihku. Aku beranjak dari posisiku, melangkah perlahan menuju sumber suara itu.

Tuk!

Suara benturan tongkatku dengan pintu kamar. Segera kuraba permukaan pintu itu sampai kutemukan kenop dan memutarnya.

Baru saja tubuh ini membalikkan badan setelah menutup pintu ketika kurasakan serudukan yang tak lain dan tak bukan berasal dari adik kesayanganku ini, Sion.

“Wah… Wah… Wah, kayaknya ada yang bikin seneng ya hari ini,” kataku sambil mencoba menstabilkan tubuhku yang oleng karena serudukan Sion tadi. Dia masih terdiam, tangannya masih melingkar erat di perutku.

“Sion?” Lama dia terdiam, menimbulkan keresahan sendiri di hatiku. Kuelus pelan rambutnya, sepertinya tebakanku tadi salah.

What's happening, dear?” Masih belum ada jawaban darinya. Hanya pelukan tangannya di perutku yang kian mengerat. Menandakan sepertinya dia sedang tidak baik-baik saja.

“Duduk dulu yuk,” ajakku sembari mengarahkan tongkat putihku menuju sofa ruang tengah.

Sebenarnya aku sudah hafal semua titik di rumah ini. Tapi dengan posisi Sion yang tak mau melepaskan pelukannya di perutku saat ini membuatku berusaha lebih keras berjalan ke sofa yang hanya berjarak sekitar lima langkah dari tempatku berdiri tadi.

Setelah sampai di sofa posisi Sion kini berubah. Anak manis itu mengistirahatkan kepalanya di pahaku.

“Sion kenapa?” tanyaku ulang sembari mengelus-elus rambut halusnya. Kembali belum kudapatkan jawaban dari bibirnya.

“Mau minum coklat panas kesukaan Sion dulu? Kakak buatin bentar,” ujarku sambil mengambil bantal sebagai pengganti pahaku. Baru saja aku akan menggeser kepala Sion. Namun segera kuurungkan ketika akhirnya mulut mungil itu mengeluarkan suara.

“Gak usah, Kak. Sekarang aku cuma butuh Kak Hanung disini.” Suaranya lemas, aku yakin pasti terjadi sesuatu di kampusnya. Dan tentu bukan hal yang baik jika dia sudah selemas itu.

Aku tahu adikku ini bukan cowok yang lemah, dia adalah orang terkuat yang pernah aku tahu. Walaupun tak jarang kupergoki suara tangisan tertahan di pojokan kamarnya. Tapi dia tak pernah mengeluhkannya padaku. Dan akupun tak akan memaksa. Karena aku yakin dia tahu betul kapasitas dirinya. Aku juga yakin dia tahu kapan ia harus bersandar padaku.

Masih kulanjutkan elusan tangan di rambutnya. Berharap dengan itu dia sedikit tenang. Mencoba membuat Sion merasa senyaman mungkin. Tanpa suara, tanpa kata. Kita berdua menikmati momen itu dalam keheningan. Tenggelam dalam pikiran masing-masing.

“Kak….” Akhirnya dia bersuara, batinku.

“Hmm?”

“Aku mau cerita,” ujarnya lirih.

Okay. I'm all ear, Sionie,” tanggapku selanjutnya. Ada jeda beberapa menit setelah terakhir aku menanggapinya.

So…?” tanyaku lagi, karena lelaki muda tak kunjung melanjutkan perkataannya.

“Aku…Dibully… Lagi, di kampus,” katanya setelah kulihat ia menghela napas beberapa kali sebelum mengatakannya.

“Hah? Lagi? Sion pernah kena bullying sebelum ini?” tanyaku sedikit kaget. Pasalnya adikku ini tak pernah menceritakan apapun berbau bullying sebelumnya padaku.

“Iya, Kak. Dulu pertama pas Sion di semester awal kuliah hehe,” ujarnya tenang. Tak tahu jika kakaknya ini sedang merasakan perasaan bersalah karena fakta yang ia sembunyikan itu.

“Kenapa Sion gak cerita?,” tanyaku dengan sedikit nada kecewa.

“Karena waktu itu aku masih bisa handle, Kak. So, It's okay. I'm fine kok, Kak.”

“Ya tapi kan─”

“I'm okay, Kak Hanung. Gak apa-apa, udah aku lewatin juga kan. I'm successfully through that phase, Kak” ujarnya sambil menangkupkan kedua tangannya di pipiku.. Usahanya untuk meyakinkan kakaknya ini.

Aku masih terdiam. Merenungkan perjuangan Sion seorang diri menghadapi beratnya masa awal-awal kuliah ditambah tekanan dari bullying yang ia dapat.

But for this time i'm not really okay, Kak. Aku butuh Kak Hanung buat nyublimin anxiety-ku. Jadi… Masih mau bantu aku?” Perkataan Sion segera membuyarkan lamunanku.

Oke Hanung, sekarang saatnya kamu memerankan peranmu sebagai Kakak yang baik, batinku pada diriku sendiri.

“Ehem….” Aku berdehem mencoba menjernihkan suaraku. Dan juga agar Sion tak menyadari bahwa Kakaknya ini hampir saja menangis mengingat ketidakberdayaannya sebagai seorang Kakak.

“Siapa nih yang berani bully anak sebaik Sionku, hm?” Sepertinya kebiasaanku memanjakannya sudah mendarah daging dalam diriku. Bahkan ketika kusadari betul bahwa adik kecilku ini sudah semakin beranjak dewasa.

“Ketua band aku, Kak. Namanya Yuna,” sahutnya kemudian.

“Itu band yang dari semester awal Sion gabung itu kan?” ujarku memastikan.

“Iya, Kak. Band Z'nain4.”

“Terus? Kok Sion bisa dibully kenapa? Kayaknya kamu pernah cerita kalau mereka tuh temen deket kamu, Dek.” Kembali aku bertanya padanya perlahan.

“Justru itu, Kak. Ternyata yang kuanggap temen deket, malah mereka juga yang diem-diem nusuk aku dari belakang.” Kudengar intonasi suaranya agak meninggi, menandakan bahwa dia sangat kesal saat ini.

“Sion diapain sama mereka?” tanyaku lagi.

“Mereka bilang suara Sion gak masuk ke musik mereka. Suara Sion beginilah, begitulah. Aku dipojokin, Kak. Katanya mereka juga udah nemu penggantiku, tanpa sepengetahuanku.”

“Loh kok gitu? Apa mereka pernah bilang atau negur Sion sebelumnya?”

“Gak ada, Kak. Mereka tuh diem-diem bae. Makanya aku gedeg banget. Gak ada warning sebelumnya dan tiba-tiba langsung loncat ke keputusan ini,” ceritanya tanpa jeda. Kembali kuelus-elus rambutnya, mencoba menenangkan singa kecil ini.

“Tau gak Kak, kenapa aku bisa ngerasa sesakit ini?”

Aku menggeleng.

“Kenapa?”

“Ada satu orang dari personel band yang dia dekeet banget sama aku. Aku manggil dia, Kak Myo. Itu panggilan sayang aku ke dia. Dia udah kuanggap kakak sendiri, Kak. Karena Kak Myo tuh emang paling bisa ngemong di Z'nain4,” cerocos Sion.

Ia diam mengambil jeda. Dan tiba-tiba dia mengambil bantal di sampingku. Lalu memosisikannya tepat disamping pahaku.

What's he doing right now?, aku membantin heran.

“Takut paha Kak Hanung nanti mati rasa hehe,” ucapnya kemudian.

“Ih, kayak kepalamu beratnya lima ton aja, Dek.” Sion hanya berhehe ria mendengarnya.

“Oh ya, sampe mana tadi, Kak?”

“Dasar Buyut! Kamu ini masih muda kenapa udah pikun gini sih, Sion sayang,” kataku sambil meraba letak pipinya untuk kucubit ringan.

“Ya maaf, otakku lagi rada tumpul gara-gara kejadian ini. Kak Hanung kan tahu sendiri parahnya mood swing-ku kayak gimana.”

Okay okay, i got it.” Aku tahu Sion sudah hampir kumat ketika dia sudah mewanti-wanti seperti ini.

Dan aku tak mau menjadi seseorang yang membuat 'sakit'nya makin menjadi. Sepanjang percakapan ini aku benar-benar berusaha untuk tidak menyinggung perasaannya.

“Sampe katingmu yang namanya mirip merek motor itu, Dek,” lanjutku.

“Ih kudu banget nginget-ingetnya merek motor, Kak,” Aku yakin Sion sudah menggembungkan pipinya kesal saat ini. Karena sekarang ini pahaku sudah menjadi korban gigitannya.

“Aww… Kebiasaannya nggak ilang-ilang ya kamu.”

“Ajarannya siapa coba?”

“Bukan Kak Hanung pastinya.”

“Hiiih.. Amnesia ya, Anda? Siapa dulu yang bikin kesepakatan suruh pilih cubit atau gigit kalau kita lagi sebel, heh?”

“Mm… Siapa ya? Bukan aku sih kayaknya,” jawabku sengaja menggodanya.

Walaupun sebenarnya aku masih ingat betul, akulah yang memutuskan itu. Keputusan yang aku dan Sion sepakati untuk mengalihkan keinginan kita buat self-harm. Mencubit atau menggigit apapun di dekat kita.

Lucu menurutku. Entah kenapa dulu aku dan Sion memilih metode itu untuk pengalihan. Walaupun simpel tapi setidaknya metode itu benar-benar efektif buat kita.

Dan karena kesepakatan itu juga, aku berakhir dengan mengoleksi beragam model squishy yang kini entah sudah berapa puluh macam teronggok di kamarku.

Berbeda dengan Sion, dia memang hobi makan. Jadi, jika tidak menemukan seseorang di dekatnya yang bisa dijadikan korban, dia akan ngacir ke warung terdekat membeli makanan yang bisa ia gigit sepuasnya.

“Ehem… Lanjut?” tanyaku pada Sion.

“Iyalah lanjut. Kak Hanung emang mau digantungin gitu?”

“Gak. Tau sendiri aku paling gak suka digantungin. Buruan lanjut!”

“Jadi, aku dah anggap Kak Myo tuh kakakku di kampus. Sampe tahap aku bener-bener kasih kepercayaan ke dia. Tapi, ternyata cuma aku yang nganggep gitu. Kak Myo, emang baik banget ke semua orang sih.”

“Mm… Adik kesayangan Kak Hanung kok sekarang jadi baperan ya?”

“A-Aww!” Pahaku kembali menjadi korban gigitan Sion untuk kedua kalinya.

“Ish. Really hate to admit this. Iya, emang aku baperan sekarang!” Kini tanganku mencari letak pipi Sion untuk memastikan sesuatu. Dan benar saja, pipinya sudah menggembung bak ikan buntal.

“Ah nggak jadi lanjut aja ceritanya. Kak Hanung godain mulu,” ujarnya sambil ingin beranjak dari posisi tidurnya.

“Eyyyy. Gak, gak boleh gitu,” jawabku sembari menahan Sion dengan tanganku agar ia tidak jadi bangun. “Kalau cerita tuh harus full, gak boleh setengah-setengah.”

“Ya habisnya─.”

“Udah udah. Yuk, lanjut yuk Sion ceritanya,” kataku mencoba mengalihkan. Akhirnya anak itu menurut dan kembali ke posisi rebahannya.

“Terus yang bikin aku sakit hati banget-banget tuh. Karena Kak Myo juga ikutan mojokin aku. Dia bilang mereka tetep keep aku walaupun performaku gak bagus. Dia juga bilang selama ini tuh mereka masih keep aku di band mereka karena mereka gak sampe hati buat ngomong. *Like what the─.”

” Ssshhhh… Sion mau misuh ya,” cegahku sambil menutup seluruh mulutnya dengan satu tanganku.

” … “

” Hah? Apa? Sion bilang apa?” tanyaku sengaja tanpa membuka bungkamanku.

” ... “

“Udah, sekarang Sion diem dulu. Udah kelar kan ceritanya? Sekarang giliran Kak Hanung yang ngomong ya.”

“Kakak tahu band itu berarti banget buat Sion. Tapi kalau lingkungan di dalamnya udah gak bisa kasih kenyamanan, kenapa harus dipertahanin, Dek?”

“Yang terpenting sekarang tuh gak cuma lakuin apa yang kamu seneng, tapi juga yang kamu nyaman ngelakuin hal itu.”

“Kalo sesuatu itu kamu suka tapi di satu sisi malah kamu gak nyaman sama itu, just let it go, Dude.”

“Sion deserves much more better than this. Remember that.” Ku akhiri nasihatku dengan membuka bungkamanku.

“Iya, Kak iya. Kak Hanung emang gak pernah salah kalau soal kasih petuah,” tanggapnya.

Yes, i am,” ujarku pede. “Feel better already, bruh?”

Moodku udah baikan sedari aku gigit Kak Hanung tadi kok hehe,”

“Hih, dasar. Tahu gitu gak usah susah-susah sok bijak deh aku.”

“Tapi kalo gak sok bijak kayak tadi, aku gak yakin bisa ambil pelajaran dari kejadian ini, Kak hehe. Makasih ya,” ujarnya sambil mengubah posisinya memeluk perutku.

Tanganku kembali melakukan aktivitas favoritku, mengelus-elus rambut Sion.

“Kak Hanung…” Tiba-tiba anak itu memanggilku lirih di tengah-tengah duselannya.

“Iya, Sion?” Aku yakin dia mengucapkan sesuatu setelah memanggilku, tapi aku tak menangkap jelas apa yang dia katakan.

Sion berubah posisi lagi, sekarang ini kepalanya kembali berada di pangkuanku. Tanganku meraba kepalanya. Dia kini sedang menghadap ke atas.

“Kak…”

“Hmm?”

“Sion sayang Kak Hanung,” ucapnya jelas.

Aku seketika menghentikan kegiatanku mengelus rambut Sion. Entah kenapa hatiku seketika terenyuh mendengar kalimat sakral itu. Mataku mendadak panas karena terharu. Satu bulir air mata berhasil lolos dari benteng pertahanan kelopak mataku.

“Yah, Kak Hanung kok nangis?” Sion kini sudah beralih ke posisi duduk. Dan setelahnya kurasakan sapuan tisu di pipiku.

“Kok nangis sih, Kak? Ntar kalo ikutan mewek gimana?”

“Jangan dong. Kakak nangis bukan gara-gara sedih kok,” jawabku.

“Lah, terus?”

“Kamu tahu gak, Sion? Ini pertama kalinya kamu bilang sayang ke Kakak,” jelasku singkat. Ya, anak itu memang tak pernah mengatakan hal seperti itu. Bahkan kepada mendiang orang tua kita.

Cringe, Kak, katanya suatu hari.

I know, maaf baru bisa kesampaian bilang ke Kakak sekarang,” katanya pelan. Ada nada menyesal ketika Sion mengatakannya.

Tanganku menggapai-gapai mencari keberadaan Sion. Tiba-tiba kurasakan ada yang menangkap gapaian tanganku.

“Aku disini, Kak,” ujar Sion sambil mengarahkan tanganku ke pipinya.

Segera kudekap erat orang terkasihku itu, meluapkan segenap rasa sayangku padanya yang kini kian membuncah.

Satu-satunya harta paling berharga yang kupunya. Yang takkan pernah sudi kutukar dengan apapun.

Sion adalah harta karunku, yang takkan pernah bisa tergantikan oleh apapun di dunia ini.

I love you too, Sion. I love you so much, my baby.”

If you found a person, even if it's just one person That will appreciate you That will respond to you, even it's just a little thing you did That will listen to whatever ranting you said That she said that she trust you Although they did only one of them above Then you must treasure them, don't ever let'em go Don't you ever let their hand go Because they're your precious treasure that you found So, give your best to keep it :)

─NAZ.

E. N. D

Ceklek!

Tap… Tap… Tap

“Kak Hanuuung! Sion come back hooome!”

Kudengar teriakan pulang khas dari orang terkasihku. Tanganku segera meraba-raba sesuatu di samping tempat tidurku. Mencari satu-satunya benda yang setia kemanapun aku pergi, tongkat putihku. Aku beranjak dari posisiku, melangkah perlahan menuju sumber suara itu.

Tuk!

Suara benturan tongkatku dengan pintu kamar. Segera kuraba permukaan pintu itu sampai kutemukan kenop dan memutarnya.

Baru saja tubuh ini membalikkan badan setelah menutup pintu ketika kurasakan serudukan yang tak lain dan tak bukan berasal dari adik kesayanganku ini, Sion.

“Wah… Wah… Wah, kayaknya ada yang bikin seneng ya hari ini,” kataku sambil mencoba menstabilkan tubuhku yang oleng karena serudukan Sion tadi. Dia masih terdiam, tangannya masih melingkar erat di perutku.

“Sion?” Lama dia terdiam, menimbulkan keresahan sendiri di hatiku. Kuelus pelan rambutnya, sepertinya tebakanku tadi salah.

What's happening, dear?” Masih belum ada jawaban darinya. Hanya pelukan tangannya di perutku yang kian mengerat. Menandakan sepertinya dia sedang tidak baik-baik saja.

“Duduk dulu yuk,” ajakku sembari mengarahkan tongkat putihku menuju sofa ruang tengah. Sebenarnya aku sudah hafal semua titik di rumah ini. Tapi dengan posisi Sion yang tak mau melepaskan pelukannya di perutku saat ini membuatku berusaha lebih keras berjalan ke sofa yang hanya berjarak sekitar lima langkah dari tempatku berdiri tadi.

Setelah sampai di sofa posisi Sion kini berubah. Anak manis itu mengistirahatkan kepalanya di pahaku.

“Sion kenapa?” tanyaku ulang sembari mengelus-elus rambut halusnya. Kembali belum kudapatkan jawaban dari bibirnya.

“Mau minum coklat panas kesukaan Sion dulu? Kakak buatin sebentar,” ujarku sambil mengambil bantal sebagai pengganti pahaku. Baru saja aku akan menggeser kepala Sion. Namun segera kuurungkan ketika akhirnya mulut mungil itu mengeluarkan suara.

“Gak usah, Kak. Sekarang aku cuma butuh Kak Hanung disini.” Suaranya lemas, aku yakin pasti terjadi sesuatu di kampusnya. Dan tentu bukan hal yang baik jika dia sudah selemas itu.

Aku tahu adikku ini bukan cowok yang lemah, dia adalah orang terkuat yang pernah aku tahu. Walaupun tak jarang kupergoki suara tangisan tertahan di pojokan kamarnya. Tapi dia tak pernah mengeluhkannya padaku. Dan akupun tak akan memaksa. Karena aku yakin dia tahu betul kapasitas dirinya. Aku juga yakin dia tahu kapan ia harus bersandar padaku.

Masih kulanjutkan elusan tangan di rambutnya. Berharap dengan itu dia sedikit tenang. Mencoba membuat Sion merasa senyaman mungkin. Tanpa suara, tanpa kata. Kita berdua menikmati momen itu dalam keheningan. Tenggelam dalam pikiran masing-masing.

“Kak….” Akhirnya dia bersuara, batinku.

“Hmm?”

“Aku mau cerita,” ujarnya lirih.

Okay. I'm all ear, Sionie,” tanggapku selanjutnya. Ada jeda beberapa menit setelah terakhir aku menanggapinya.

So…?” tanyaku lagi, karena lelaki muda tak kunjung melanjutkan perkataannya.

“Aku…Dibully… Lagi, di kampus,” katanya setelah kulihat ia menghela napas beberapa kali sebelum mengatakannya.

“Hah? Lagi? Sion pernah kena bullying sebelum ini?” tanyaku sedikit kaget. Pasalnya adikku ini tak pernah menceritakan apapun berbau bullying sebelumnya padaku.

“Iya, Kak. Dulu pertama pas Sion di semester awal kuliah hehe,” ujarnya tenang. Tak tahu jika kakaknya ini sedang merasakan perasaan bersalah karena fakta yang ia sembunyikan itu.

“Kenapa Sion gak cerita?,” tanyaku dengan sedikit nada kecewa.

“Karena waktu itu aku masih bisa handle, Kak. So, It's okay. I'm fine kok, Kak.”

“Ya tapi kan….”

“I'm okay, Kak Hanung. Gak apa-apa, udah aku lewatin juga kan. I'm successfully through that phase, Kak” ujarnya sambil memegang pipiku mencoba meyakinkan.

Aku masih terdiam. Merenungkan perjuangan Sion menghadapi beratnya masa awal-awal kuliah ditambah tekanan dari bullying yang ia dapat.

“But for this time i'm not really okay, Kak. Aku butuh Kak Hanung buat nyublimin anxiety-ku. Jadi… Masih mau bantu aku?” Perkataan Sion itu segera menyadarkanku.

Oke Hanung, sekarang saatnya kamu memerankan peranmu sebagai Kakak yang baik, batinku pada diriku sendiri.

“Ehem….” Aku berdehem mencoba menjernihkan suaraku. Dan juga agar Sion tak menyadari bahwa Kakaknya ini hampir saja menangis mengingat ketidakberdayaannya sebagai seorang Kakak.

“Siapa nih yang berani bully anak sebaik Sionku, hm?” Sepertinya kebiasaanku memanjakannya sudah mendarah daging dalam diriku. Bahkan ketika kusadari betul bahwa adik kecilku ini sudah semakin beranjak dewasa.

“Ketua band aku, Kak. Namanya Yuna,” sahutnya kemudian.

“Itu band yang dari semester awal Sion gabung itu kan?” ujarku memastikan.

“Iya, Kak. Band Z'nain4.”

“Terus? Kok Sion bisa dibully kenapa? Kayaknya kamu pernah cerita kalau mereka tuh temen deket kamu, Dek.” Kembali aku bertanya padanya perlahan.

“Justru itu, Kak. Ternyata yang kuanggap temen deket, malah mereka juga yang diem-diem nusuk aku dari belakang.” Kudengar intonasi suaranya agak meninggi, menandakan bahwa dia sangat kesal saat ini.

“Sion diapain sama mereka?” tanyaku lagi.

“Mereka bilang suara Sion gak masuk ke musik mereka. Suara Sion beginilah, begitulah. Aku dipojokin, Kak. Katanya mereka juga udah nemu penggantiku, tanpa sepengetahuanku.”

“Loh kok gitu? Apa mereka pernah bilang atau negur Sion sebelumnya?”

“Gak ada, Kak. Mereka tuh”diem-diem bae. Makanya aku gedeg banget. Gak ada warning sebelumnya dan tiba-tiba langsung loncat ke keputusan ini,” ceritanya tanpa jeda. Kembali kuelus-elus rambutnya, mencoba menenangkan singa kecil ini.

“Tau gak kak kenapa aku bisa sesakit hati ini?”

Aku menggeleng.

“Kenapa?”

“Ada satu orang dari personel band yang dia deket banget sama aku. Aku manggil dia, Kak Myo. Panggilan sayang aku ke dia. Dia udah aku anggep kakak sendiri, Kak. Karena Kak Myo tuh emang paling bisa ngemong di Z'nain4,” cerocos Sion.

Ia mengambil jeda. Dan tiba-tiba dia mengambil bantal di sampingku. Lalu memosisikannya tepat disamping pahaku.

What's he doing right now?, aku membantin heran.

“Takut paha Kak Hanung nanti mati rasa hehe,” ucapnya kemudian.

“Ih kayak kepalamu beratnya lima ton aja, Dek.” Sion hanya berhehe ria mendengarnya.

“Oh ya, sampe mana tadi, Kak?”

“Dasar. Kamu ini masih muda kenapa udah pikun gini sih, Sion sayang,” kataku sambil meraba letak pipinya untuk kucubit ringan.

“Ya maaf, otakku lagi rada tumpul gara-gara kejadian ini. Kak Hanung kan tahu sendiri parahnya mood swing-ku kayak gimana.”

Okay okay, i got it.” Aku tahu Sion sudah hampir kumat. Dan aku tak mau menjadi seseorang yang membuat 'sakit'nya makin menjadi. Sepanjang percakapan ini aku benar-benar berusaha untuk tidak menyinggung perasaannya.

“Sampai katingmu yang namanya mirip merek motor itu, Dek,”

“Ih kudu banget nginget-ingetnya merek motor, Kak,” Aku yakin Sion sudah menggembungkan pipinya kesal saat ini. Karena sekarang ini pahaku sudah menjadi korban gigitannya.

“Aww… Kebiasaannya gak ilang-ilang ya kamu.”

“Ajarannya siapa coba?”

“Bukan Kak Hanung pastinya.”

“Hiiih.. Amnesia ya, Anda? Siapa dulu yang bikin kesepakatan suruh pilih cubit atau gigit kalau kita lagi sebel heh?”

“Mm… Siapa ya? Bukan aku sih kayaknya,” jawabku sengaja menggodanya.

Walaupun sebenarnya aku masih ingat betul, akulah yang memutuskan itu. Keputusan yang aku dan Sion sepakati untuk mengalihkan keinginan kita buat self-harm. Mencubit atau menggigit apapun di dekat kita.

Lucu menurutku. Entah kenapa dulu aku dan Sion memilih metode itu untuk pengalihan. Walaupun simpel tapi setidaknya metode itu benar-benar efektif buat kita.

Dan karena kesepakatan itu juga, aku berakhir dengan mengoleksi beragam model squishy yang kini entah sudah berapa puluh macam teronggok di kamarku.

Berbeda dengan Sion, dia memang hobi makan. Jadi, jika tidak menemukan seseorang di dekatnya yang bisa dijadikan korban, dia akan ngacir ke warung terdekat membeli makanan yang bisa ia gigit sepuasnya.

“Ehem… Lanjut?” tanyaku pada Sion.

“Iyalah lanjut. Kak Hanung emang mau digantungin gitu?”

“Gak. Tau sendiri aku paling gak suka digantungin. Buruan lanjut!”

“Jadi, aku dah anggap Kak Myo tuh kakakku di kampus. Sampai tahap aku bener-bener kasih kepercayaan ke dia. Tapi, ternyata cuma aku yang nganggep gitu. Kak Myo, emang baik banget ke semua orang sih.”

“Mm… Adik kesayangan Kak Hanung kok sekarang jadi baperan ya?”

“A-Aww!” Pahaku kembali menjadi korban gigitan Sion untuk kedua kalinya.

“Ish. Really hate to admit this. Iya emang aku baperan sekarang!” Kini tanganku mencari letak pipi Sion untuk memastikan sesuatu. Dan benar saja, pipinya sudah menggembung bak ikan buntal.

“Ah nggak jadi lanjut aja ceritanya. Kak Hanung godain mulu,” ujarnya sambil ingin beranjak dari posisi tidurnya.

“Eyyyy. Gak, gak boleh gitu,” jawabku sembari menahan Sion dengan tanganku agar ia tidak jadi bangun. “Kalau cerita tuh harus full, gak boleh setengah-setengah.”

“Ya habisnya─.”

“Udah udah. Yuk, lanjut yuk Sion ceritanya,” kataku mencoba mengalihkan. Akhirnya anak itu menurut dan kembali ke posisi rebahannya.

“Terus yang bikin aku sakit hati banget-banget tuh. Karena Kak Myo juga ikutan mojokin aku. Dia bilang mereka tetep keep aku walaupun performaku gak bagus. Dia juga bilang selama ini tuh mereka masih keep aku di band mereka karena mereka gak sampe hati buat ngomong. *Like what the─.”

” Ssshhhh… Sion mau misuh ya,” cegahku sambil menutup seluruh mulutnya.

” … “

” Hah? Apa? Sion bilang apa?” tanyaku sengaja tanpa membuka bungkamanku.

“Udah kan ceritanya? Sekarang giliran Kak Hanung yang ngomong ya.”

“Kakak tahu band itu berarti banget buat Sion. Tapi kalau lingkungan di dalamnya udah gak bisa kasih kenyamanan, kenapa harus dipertahanin, Dek?”

“Yang terpenting sekarang tuh gak cuma lakuin apa yang kamu seneng, tapi juga yang kamu nyaman ngelakuin hal itu.”

“Kalo sesuatu itu kamu suka tapi di satu sisi malah kamu gak nyaman sama itu, just let it go, Dude.”

“Sion deserves much more better than this. Remember that.” Ku akhiri nasihatku dengan membuka bungkamanku.

“Iya, Kak iya. Kak Hanung emang gak pernah salah kalau soal kasih petuah,” tanggapnya.

Yes, i am,” ujarku pede. “Feel better already, huh?”

Moodku udah baikan sedari aku gigit Kak Hanung tadi kok hehe,”

“Hih, dasar. Tahu gitu gak usah susah-susah sok bijak deh aku.”

“Tapi kalo gak sok bijak kayak tadi, aku gak yakin bisa ambil pelajaran dari kejadian ini, Kak hehe. Makasih ya,” ujarnya sambil mengubah posisinya memeluk perutku.

Tanganku kembali melakukan aktivitas favoritku, mengelus-elus rambut Sion.

“Kak Hanung…” Tiba-tiba anak itu memanggilku lirih di tengah-tengah duselannya.

“Iya, Sion?” Aku yakin dia mengucapkan sesuatu setelah memanggilku, tapi aku tak menangkap jelas apa yang dia katakan.

Sion berubah posisi lagi, sekarang ini kepalanya kembali berada di pangkuanku. Tanganku meraba kepalanya. Dia kini sedang menghadap ke atas.

“Kak…”

“Hmm?”

“Sion sayang Kak Hanung,” ucapnya jelas.

Aku seketika menghentikan kegiatanku mengelus rambut Sion. Entah kenapa hatiku seketika terenyuh mendengar kalimat sakral itu. Mataku mendadak panas karena terharu. Satu bulir air mata berhasil lolos dari benteng pertahanan kelopak mataku.

“Yah, Kak Hanung kok nangis?” Sion kini sudah beralih ke posisi duduk. Dan setelahnya kurasakan sapuan tisu di pipiku.

“Kok nangis sih, Kak? Ntar kalo ikutan mewek gimana?”

“Jangan dong. Kakak nangis bukan gara-gara sedih kok,” jawabku.

“Lah, terus?”

“Kamu tahu gak, Sion? Ini pertama kalinya kamu bilang sayang ke Kakak,” jelasku singkat. Ya, anak itu memang tak pernah mengatakan hal seperti itu. Bahkan kepada mendiang orang tua kita.

I know, maaf baru bisa kesampaian bilang ke Kakak sekarang,” katanya pelan. Ada nada menyesal ketika Sion mengatakannya.

Tanganku menggapai-gapai mencari keberadaan Sion. Tiba-tiba kurasakan ada yang menangkap gapaian tanganku.

“Aku disini, Kak,” ujar Sion sambil mengarahkan tanganku ke pipinya.

Segera kudekap erat orang terkasihku itu, meluapkan segenap rasa sayangku padanya yang kini kian membuncah. Satu-satunya harta paling berharga yang kupunya. Yang takkan pernah tergantikan oleh apapun di dunia ini.

I love you too, Sion. I love you so much, my baby.”

If you found a person, even if it's just one person That will appreciate you That will respond to you, even it's just a little thing you did That will listen to whatever ranting you said That she said that she trust you Although they did only one of them above Then you must treasure them, don't ever let'em go Don't you ever let their hand go Because they're your precious treasure that you found

─NAZ.

E. N. D

BRAK!

Pintu kamarnya terbuka paksa. Dilihatnya Sasha berdiri di depannya lengkap dengan tas besar di tangannya. Eva memandang tas besar tanpa ekspresi. Kini matanya beralih ke arah ibunya.

“Ada apa?” tanya gadis itu masih dengan ekspresi datarnya.

“Eva... Nak, Ibu sudah tak kuat.” Sasha mengambil jeda mengusap air mata yang masih saja mengalir deras. “Kamu tahu sendiri Ibu benci pemabuk. Ibu gak kuat sama bau alkohol.”

“Lalu?” Suara gadis itu sangat tenang saat menanyakan hal itu.

Ibunya diam sejenak, ia menghembuskan nafasnya kasar.

“Maaf, Ibu pergi Eva. Jaga diri kamu baik-baik, Nak.” Tak ada tanggapan lagi dari Eva. Ia menyaksikan pintu kamarnya kembali tertutup. Perih, sakit, dadanya makin nyeri mendengar teriakan-teriakan dari luar kamarnya.

“MAU KEMANA KAMU?!”

“LEPAS! BIARKAN AKU PERGI! AKU SUDAH MUAK DENGAN SEMUA INI!”

“BERHENTI! ATAU KAMU AKAN MENERIMA PUKULANMU LAGI!”

“PUKUL SAJA, AKU TAK PEDULI. AKU AKAN BERTERIAK SEKENCANG-KENCANGNYA AGAR SEMUA TETANGGA DATANG KEMARI. KUBILANG LEPAS!”

Terdengar suara langkah kaki yang kian menjauh.

BAAM!!

Ibunya benar-benar pergi meninggalkannya. Dia bilang dia tak tahan dengan semua ini. Lalu, bagaimana dengan dirinya? Kenapa dia tidak menanyakannya? Kenapa dia tidak mengajaknya serta?

“Aku juga sakit, Bu. Gak cuma Ibu. Tapi kenapa Ibu bisa seegois ini?” racau gadis itu lemas di sela-sela deraian air matanya yang kini sudah tak bisa lagi dibendung. Eva membenamkan wajahnya pada bantal, meredam teriakannya sendiri. Ia tak suka ada orang lain memandangnya lemah. Gadis itu tak suka menunjukkan kelemahannya pada siapapun, kecuali satu orang.

Seseorang yang bahkan belum pernah ia temui di dunia ini. Dia yang hanya Eva tahu lewat dunia mayanya. Tapi dialah yang sangat mengerti Eva sampai saat ini. Ia adalah satu-satunya orang yang Eva percaya. Karena semua luka, semua kelemahan Eva, semua tentangnya ia beberkan kepadanya.

Segera gadis itu bangkit duduk menyalakan laptop pribadinya. Satu kebiasaan yang selalu ia lakukan ketika ia merasa seperti sekarang ini. Ia membuka laman surelnya. Jemarinya mulai lincah mengetikkan sesuatu.

To : ursavior@gmail.com Subject : I GAVE UP

Sam, aku capek. Ibuku udah ninggalin aku. Ayah semakin hari semakin parah. Dia udah depresi berat karena kehilangan pekerjaannya. Aku capek, Sam.

Tak harus menunggu lama. Eva mendapatkan notifikasi balasan dari Sam, sahabat virtualnya.

From : ursavior@gmail.com To : bestgirl@gmail.com Subject : PLZ STAY STRONG FOR U, FOR ME

Hai Eva, mesti capek ya. Biar kutebak, pasti kamu abis nangis ya, atau masih nangis? Gak apa-apa, buat rehat dulu aja. Tapi jangan nyerah, oke. Aku tahu kok, Evaku gadis yang kuat. Jadi tetep kuat ya, buat Eva buat aku juga :)

Gadis itu tersenyum membaca balasan Sam. Tapi itu belum cukup mengenyahkan nyeri di hatinya. Kembali jemari lentik gadis itu menari diatas keyboard laptopnya. Kali ini ia merasa benar-benar berada di ujung jurang yang bisa jatuh kapan saja ada orang yang mendorongnya. Sehingga ia memutuskan untuk mengatakan ini pada Sam.

To : ursavior@gmail.com Subject : CAN WE MET, SAM?

I feel like i’m at the edge of cliff, Sam. Can you take me to another world? A place far far away from here. I need to escape from this shit things in order to survive.

Sent!

Eva menghembuskan nafas setelah ia mengirimkan surel itu pada Sam. Ia tahu ia terlalu berharap lebih pada Sam. Tapi untuk sekarang ini, sepertinnya hanya hal itu yang bisa ia lakukan untuk menyelamatkan dirinya. Beberapa menit sudah berlalu sejak gadis itu memencet tombol enter untuk mengirimkan pesannya pada Sam. Hatinya mulai gundah, Eva semakin merasa tak tenang.

Aku salah ya? Gak seharusnya aku bilang gitu ke dia ya?, ia bermonolog dalam hati menanyakan tindakannya tadi. Masih belum ada jawaban dari Sam. Tak biasanya Sam seperti ini, ia pasti akan membalas pesannya paling lama sepuluh menit setelah pesannya terkirim. Tapi ini sudah hampir setengah jam dan masih belum ada notifikasi masuk di laptopnya.

Apakah dia sudah tidur? Atau dia marah karena aku menanyakan hal itu? Dia pernah mengatakan bahwa kita tak bisa bertemu. Apakah dia benar-benar marah karena hal ini? Tapi dia tak pernah mengatakan alasan jelasnya, mengapa kita tak bisa bertemu. Salahkah aku meminta hal ini padanya?

Monolog Eva semakin menjadi, overthinkingnya semakin parah.