haruvi

Hiding from the rain and snow Trying to forget, but i won’t let go

“Aku benci diriku sendiri, Za.”

Reza hanya bisa menghela napas melihat kondisi karibnya yang malam ini benar-benar tak layak disebut wanita.

“Kamu paling tahu ‘kan, Za. Aku tuh benci patah hati. Patah hati bikin aku nggak tahu diri, kayak sekarang ini. Aku berubah jadi Sofia yang nggak tahu malu, karena aku menghamba hadirnya, lagi.” Sofia mulai meracau. Gadis itu mabuk berat.

“Asa saja nggak akan membuatnya kembali, Sof.” Reza menyahut mencoba memahamkan.

“Aku tahu. Aku tahu, Za. Tapi siapa sih yang bisa ngatur perasaan di hati, Za? Nggak ada!” Intonasi Sofia meninggi.

“Sssh! Iya, Sof, iya. Sekarang duduk dulu ya.” Reza berusaha menenangkan dan mempersuasi Sofia untuk kembali duduk di kursi.

Gadis itu kini meletakkan kepalanya di atas meja. Kembali Reza memberi tatapan iba.

*Jika bukan karena lelaki bang*** itu, mungkin Sofa takkan sekacau ini*, Reza membatin.

“Sof, kita pulang yuk. Kamu udah mabuk berat nih.”

Tak ada jawaban dari Sofia. Bahunya yang bergerak naik turun teratur menandakan dia sudah tidur. Reza segera membereskan meja mereka. Baru saja ia bersiap menggendong Sofia di punggungnya ketika sebuah suara familiar seketika menghentikannya.

“Biar gue aja yang anter Sofia, Za.”

Reza memberikan tatapan tajam pada si pemilik suara.

“Emangnya lo siapa? Sofia jalan bareng gue. Gue yang bakal nganterin dia pulang.”

“Gue udah ngontak bokap Sofia, dan bilang kalo gue yang bakal nganterin dia balik.”

“Ck. Lo masih aja pede ya, padahal kalian udah putus.”

“Gue nggak bilang iya. Gue nggak setuju. Di mata gue, Sofia masih pacar gue, Za.”

“Cih. Tukang selingkuh kayak lo nggak pantes buat Sofia.”

“Semua ini cuma salah paham. Sofia langsung ambil kesimpulan, dan nggak ngizinin gue buat njelasin semuanya.”

“Gue nggak percaya sama tukang tipu kayak lo, Dit.”

Aditya menghela napas, ia berusaha mengatur napas agar emosinya tidak makin tersulut karena omongan Reza.

“Terserah lo mau mikir gimana, Za. Besok gue rencana mau jelasin semuanya di depan bokap-nyokapnya Sofia. Gue bakal buktiin kalo gue serius sama Sofia.”

Aditya segera menghampiri tempat duduk Sofia.

“Sof, kita pulang ya.” Tak ada jawaban dari Sofia. Gadis itu benar-benar sudah kehilangan kesadaran.

Ketika Aditya sudah siap akan menggendong Sofia di punggungnya, Reza menarik kencang ujung bajunya. Aditya menengok ke belakang, dan memberikan tatapan tajam pada Reza.

“Reza, she’s mine.”

Genggaman Reza pada ujung baju Aditya langsung terlepas mendengar kalimat itu. Hatinya tertohok karena kembali tersadar akan satu hal, ia harus menggali tempat yang lebih dalam untuk memendam perasaannya.

Hiding from the rain and snow Trying to forget, but i won’t let go

“Aku benci diriku sendiri, Za.”

Reza hanya bisa menghela napas melihat kondisi karibnya yang malam ini benar-benar tak layak disebut wanita.

“Kamu paling tahu ‘kan, Za. Aku tuh benci patah hati. Patah hati bikin aku nggak tahu diri, kayak sekarang ini. Aku berubah jadi Sofia yang nggak tahu malu, karena aku menghamba hadirnya, lagi.” Sofia mulai meracau. Gadis itu mabuk berat.

“Asa saja nggak akan membuatnya kembali, Sof.” Reza menyahut mencoba memahamkan.

“Aku tahu. Aku tahu, Za. Tapi siapa sih yang bisa ngatur perasaan di hati, Za? Nggak ada!” Intonasi Sofia meninggi.

“Sssh! Iya, Sof, iya. Sekarang duduk dulu ya.” Reza berusaha menenangkan dan mempersuasi Sofia untuk kembali duduk di kursi.

Gadis itu kini meletakkan kepalanya di atas meja. Kembali Reza memberi tatapan iba.

*Jika bukan karena lelaki bang*** itu, mungkin Sofa takkan sekacau ini*, Reza membatin.

“Sof, kita pulang yuk. Kamu udah mabuk berat nih.”

Tak ada jawaban dari Sofia. Bahunya yang bergerak naik turun teratur menandakan dia sudah tidur. Reza segera membereskan meja mereka. Baru saja ia bersiap menggendong Sofia di punggungnya ketika sebuah suara familiar seketika menghentikannya.

“Biar gue aja yang anter Sofia, Za.”

Reza memberikan tatapan tajam pada si pemilik suara.

“Emangnya lo siapa? Sofia jalan bareng gue. Gue yang bakal nganterin dia pulang.”

“Gue udah ngontak bokap Sofia, dan bilang kalo gue yang bakal nganterin dia balik.”

“Ck. Lo masih aja pede ya, padahal kalian udah putus.”

“Gue nggak bilang iya. Gue nggak setuju. Di mata gue, Sofia masih pacar gue, Za.”

“Cih. Tukang selingkuh kayak lo nggak pantes buat Sofia.”

“Semua ini cuma salah paham. Sofia langsung ambil kesimpulan, dan nggak ngizinin gue buat njelasin semuanya.”

“Gue nggak percaya sama tukang tipu kayak lo, Dit.”

Aditya menghela napas, ia berusaha mengatur napas agar emosinya tidak makin tersulut karena omongan Reza.

“Terserah lo mau mikir gimana, Za. Besok gue rencana mau jelasin semuanya di depan bokap-nyokapnya Sofia. Gue bakal buktiin kalo gue serius sama Sofia.”

Aditya segera menghampiri tempat duduk Sofia.

“Sof, kita pulang ya.” Tak ada jawaban dari Sofia. Gadis itu benar-benar sudah kehilangan kesadaran.

Ketika Aditya sudah siap akan menggendong Sofia di punggungnya, Reza menarik kencang ujung bajunya. Aditya menengok ke belakang, dan memberikan tatapan tajam pada Reza.

“Reza, she’s mine.”

Genggaman Reza pada ujung baju Aditya langsung terlepas mendengar kalimat itu. Hatinya tertohok karena ia kembali tersadar akan satu hal, ia harus menggali tempat yang lebih dalam untuk memendam perasaannya.

Ruangan serba putih ini pernah menjadi ruangan sangat Pandu benci. Bau ruangannya saja sudah membuat bulu kuduknya berdiri. Namun, semuanya berubah ketika gadis yang ia sukai menjadi praktisi di sini. Dokter Wendy, sejak teman wanitanya itu memilih jalannya untuk menjadi dokter gigi, semua opini tentang dunia gigi bak dijungkirbalikkan dalam sehari.

“Udah dibilangin jangan makan yang alot-alot dulu, tetep aja ngeyel,” gerutu Wendy sembari menuliskan resep untuk keluhan temannya itu.

“Heh, Wen. Siapa sih yang betah enggak makan daging pas idul kurban gini?”

“Ada. Nih gue bukti nyatanya.”

“Yaaa kalo lo mah beda kasus, Wen. Ada alergi daging. Gue yang manusia normal bakal beda lagi ceritanya.”

“Susah emang, kalo ngomong sama orang yang dari orok udah ngeyelan.” Layangan protes itu hanya ditanggapi diam oleh Pandu. Takkan ada selesainya jika ia meladeni omelan gadis itu.

“Dah, nih. Beli di apotek sendiri,” ujar Wendy sambil menyerahkan sebuah kertas resep berisikan beberapa obat untuk ditebus.

Pandu mengamati sebentar kertas yang ada di tangannya, “tumben enggak ada si amril enggak ada, Wen.”

“Gigi lho masih alus, Pan. Toh, keluhanmu cuma gigi oglek. Si amril enggak perlu keluar.”

“Yaaah.”

“Kok ‘yah’? Kayak kecewa banget enggak ketemu amril.” Dahi Wendy seketika membentuk banyak lipatan, heran mendapat respon tak puas dari pasiennya satu itu.

“Ya kan, biasanya abis di-polish pake amril ini gigi gue bertambah-tambah kilaunya,” ujar Pandu dengan pedenya. Wendy hanya memutar bola matanya ke belakang menanggapinya.

“Udah buru pulang sana. Jangan lupa pesenan gue! Bolu gulung stroberi spesial dari Toko Bekeri kudu ada di rumah pas gue pulang praktik nanti.”

“Siap, Bu Dokter cantik!” sahut Pandu sambil bersiap beranjak pergi, “makasih ya, Wen.”

“Ya ya, hati-hati di jalan, Pan.” Pandu melayangkan gestur tangan OK.

***

Ruangan dengan penerangan redup dan samar-samar itu sudah sepi. Seorang bartender muda sedang membereskan meja, lalu dilanjutkan dengan mengelap telaten gelas-gelas yang terlihat mengilap setelah dicuci.

“Ehem. Mau gue bantu, Pet?” Suara wanita yang sangat familiar di telinganya itu membuat Peter seketika menghentikan aktivitasnya.

“O-oh, Wen. Ngagetin aja lo. Awas lho jadi jelangkung.”

“Dih, bukannya ditawarin apa gitu malah dicela.” Wendy bersungut mendapat sambutan di luar ekspetasinya.

“Haha. Lah lagian lo dateng-dateng tanpa suara gitu.”

“Gue udah nyapa ya, Pet. Elonya aja yang keasyikan mainan gelas kaca,” kilah Wendy tak mau kallah.

“Maaf ya, Tuan Putri. Gelas kaca ini terlalu menawan untuk diduakan,” ujar Pandu seraya melemparkan senyum yang tak pernah tak menawan di mata Wendy. Selalu ia rasakan gemuruh dalam dada ketika lelaki itu melakukannya.

“Mau minum apa, Wen?” tawar Peter yang sudah bersiap dengan perkakas meraciknya.

“Um-oh, enggak dulu deh, Pet.” Gagap Wendy menjawab Peter, dalam hatinya ia berharap semoga lelaki di depannya itu tak menyadari bahwa dirinya sempat terpesona dengan senyumnya.

“Boleh enggak sih gue request panggilan lain? Berasa jadi piaraan yang dipanggil majikan tahu enggak, Wen.”

“Yaelah. Itu ‘kan emang nama lo, Pet. Perasaan selama ini lo fine-fine aja deh, kenapa tiba-tiba—”

“Gue beneran tanya, nih. Boleh enggak request panggilan?” rengek Peter dengan wajah memelasnya.

“Mm boleh aja sih. Tapi, enggak seru kalo gue kasih cuma-cuma.”

“I’ll do anything for ya, My Princess.”

Wendy berpikir sejenak. Sebenarnya ia sudah lama memikirkan ide ini, hanya saja ia menunggu waktu yang tepat untuk mengutarakannya pada sang bartender.

“Gue minta dibuatin satu menu minuman khusus buat gue, Pet. Special request, harus ada bahan dari biji anggur di cocktail pesenan gue ini. Pokoknya buat cocktail ini jadi khas gue. Kalo nanti menu ini berhasil impress gue, gue bakal ngelakuin apapun yang lo minta. Termasuk ganti panggilan sesuka lo.” Giliran Peter yang manggut-manggut setelah ia mendengar jabaran tantangan gadis didepannya itu.

“Gimana, Pet? Jangan bilang lo bakal mundur sebelum berperang.”

“Enggak lah. Bukan tipe gue banget ngaku kalah sebelum mencoba. Oke! Deal. Kasih waktu gue sebulan buat ini,” kilah Peter secepat kilat.

Senyuman puas langsung tergambar di wajah Wendy. Akhirnya salah satu harapannya akan segera terwujud tahun ini.

“Oke. Deal!” Dua insan itu berjabat tangan tanda mereka sepakat tentang taruhan yang ditetapkan. Namun, tak lama dua tangan itu bertautan, Wendy segera melepasnya paksa. Gadis itu sibuk merogoh tasnya mencari benda yang beberapa detik tadi menimbulkan getaran.

“Oh, Halo,” ucapnya langsung ketika akhirnya ia berhasil membuat ponselnya diam.

[Rumah lo gelap,Wen. Si bolu gulung gue titipin ke pak satpam ya. Doa aja, semoga si bapak lagi enggak kelaperan.]

“Enggak bakal. Satpam gue tuh tepercaya, ya. Dia udah gabung klub anti comot-comot. Jadi tenang aja.”

[Lo lagi dimana ,sih? Udah hampir jam 10 malem ,lho. Enggak baik cewek pulang malem-malem.]

“Tenang, nanti katanya Peter mau nganterin. Ya kan, Pet?” Peter yang tidak tahu apa-apa hanya bisa mengernyitkan dahi mendengar penuturan dadakan Wendy.

“Oalah, lagi kunjungan rutin ternyata.”

“Enggak, Pan. Tadi abis dari toko kelontong, terus lihat bar masih nyala. Ya udah sekalian mampir, deh.”

“Siapa, sih?” Peter yang sedari tadi tak terlalu menyimak ternyata penasaran juga.

“Si Pandu.” Lelaki itu hanya ber-oh mendengarnya.

[Ya udah, gue mau lanjut balik rumah. Hati-hati nanti sama Peter, Wen.]

“Sama Peter mah dijamin aman, Pan. Sama lo tuh yang gue kudu hati-hati.”

[Hah? Cowok berhati malaikat kayak gue tuh nggak bakalan punya niat jahat, Wen.]

“Malaikat apaan? Malaikat jadi-jadian iya. Udah sana, katanya mau pulang.”

[Iya, ini lagi pamitan sama pak satpam, Wendy.]

“Btw, lo juga hati-hati pulangnya. Jangan lupa tengok jok samping. Kali aja ada yang tiba-tiba nemenin.”

[Gue enggak denger lo ngomong apa, Wen. Bye!]

Pandu paling tak suka diingatkan akan ketakutannya akan itu. Dia benci mengakui kalau dia memang takut hantu.

***

Di bawah temaram lampu pijar, terlihat sosok lelaki muda yang sedang membolak-balik sebuah album lawas yang baru saja ia ambil dari laci meja kerjanya. Membiarkan diri sedikit bernostalgia tentang skenario dirinya dan dua sahabatnya. Netranya terhenti pada satu halaman album. Di sana terpajang foto mereka bertiga ketika merayakan pesta kelulusan dengan mengadakan camping di rooftop apartemennya. Suatu momen, di mana ia mengetahui sebuah fakta. Bahwa teman wanitanya ternyata sudah menautkan tambatan hati bukan pada dirinya.

Pandu menyaksikan sendiri bagaimana Wendy memberikan tatapan memuja pada Peter. Manik hitamnya menangkap sebuah senyum yang lebih merekah ketika Wendy melakukan interaksi dengan karibnya. Tak ada yang tahu, ketika dua sejoli itu asyik dengan dunia mereka, ada sudut hati lainnya yang menahan sakit tiada terkira. Malam itu Pandu hancur, sebuah harapan yang selalu ia yakini dengan teguh seketika runtuh. Harapan jika suatu saat Wendy akan membalasnya semakin fana adanya.

Lalu, hari ini asa itu seakan terhempas begitu saja tanpa aba-aba. Hari ini, Pandu harus merelakan seluruh pasokan ego yang dimilikinya. Satu pesan yang baru saja masuk ke gawainya, menjadi kode bahwa sesegera mungkin ia harus melenyapkan perasaannya.

[Pan, cuma mau ngasih tahu lo dulu. Menu baru yang lagi gue bikin ini rencana gue kasih nama Wendy.]

[Hah? Wendy, Wendy temen kita?]

[Iyalah, emang sapa lagi. Ah, sama satu lagi. Pas launching menu-menu baru besok, gue mau nembak Wendy, Pan]

Jemari Pandu mendadak berhenti ketika membaca pesan itu, ia tak segera membalasnya.

[Lo dateng ‘kan? Dateng lah, gue butuh support lo, Pan. Misal nanti gue ditolak minimal enggak kelihatan melas banget.]

[Teori absurd ._. Iya, gue bakal dateng.]

[Thanks, Dude! You’re da best.]

Pandu bersyukur, ia mendapatkan kabar itu via WhatsApp bukan langsung bertatap muka dengan Peter. Karena ia sendiri ragu bisa menyembunyikan seluruh emosinya. Ia yakin mata elang Peter pasti akan langsung menebak tepat reaksinya, lalu mungkin setelah itu akan ada sesuatu yang timbul di antara mereka. Pandu benar-benar tak menginginkannya. Dia tak mau tali persahabatan itu sirna. Cukup dirinya yang merasakan sakitnya, jangan Wendy ataupun Peter, Ya, cukup dirinya saja

[1234 kata]

Perpaduan semburat warna oranye dengan birunya langit membuat momen sore itu bak sebuah lukisan pelukis tersohor. Sajian pemandangan senja nan indah yang benar-benar memanjakan mata setiap orang yang melihatnya. Ya, mata mereka, dan Raja bukanlah salah satunya.

Raja, seorang pemuda yang serba bisa. Tak ada satupun hal yang tak bisa dilakukannya. Lelaki yang selalu menjadi top idaman bagi semua wanita di kampusnya. Murid kebanggaan yang selalu dielu-elukan oleh para dosen di manapun mereka berada. Satu-satunya lelaki yang patut menyandang predikat mahasiswa paling bertalenta. Setiap hari selalu ada sisi kampus yang menggaungkan namanya.

Memang benar kata pepatah ‘tak ada yang abadi di dunia’. Begitu pun dengan semua anugerah yang dititipkan Tuhan pada Raja. Semua hal yang dimilikinya itu satu persatu sirna, sejak pertemuannya dengan Ratu. Berawal dari pertemuan itu lah, kehidupan Raja berubah hampir 180 derajat.


“Puspus, ayo sini, turun.” Seorang gadis berkuncir kuda dengan payung di tangan kirinya sedang membujuk kucing kecil yang berada di atas dahan pohon yang cukup tinggi.

“Ayo, Puspus. Kamu pasti bisa. Pelan-pelan, nanti Ratu tangkap.”

Kembali gadis itu membujuk si kucing untuk turun. Tapi, kucing yang dipanggil Puspus itu bahkan tak sedikit pun memberikan respon. Entah karena Puspus takut atau ia memang sudah nyaman berada di sana. Tak ada pergerakan dari Puspus, walaupun kini sekarang tubuhnya sudah basah kuyup karena hujan yang cukup deras saat itu. Ratu sudah hampir putus asa.

Selama satu jam sudah ia berdiri di sana dan merayu Puspus untuk turun dari pohon itu. Ia menyesal karena meninggalkan Puspus sendirian di taman saat dia pergi ke toko grosir. Biasanya Puspus akan selalu mengikuti perintahnya, tapi entah kenapa kali ini ia malah tertarik dengan pohon di dekat taman.

Langit sudah mulai gelap, dan Puspus masih saja betah nangkring di dahan pohon itu. Beberapa kali Ratu mencoba memberanikan diri untuk memanjat, tapi ketakutannya pada ketinggian membuatnya urung untuk melanjutkan langkahnya. Kombinasi hujan dan angin membuat suasana saat itu semakin mencekam. Di taman ini hanya tersisa dia sendiri.

Rasa putus asanya semakin menjadi, Ratu berakhir duduk jongkok di bawah pohon itu. Gadis itu membiarkan beberapa ranting pohon menimpanya. Ia mulai terisak karena merasa tak berdaya. Bahkan untuk menyelamatkan seekor kucing pun ia tak bisa.

“Hei! Kamu tidak apa-apa?”

Ratu terperanjat ketika ada seseorang yang menepuk pelan pundaknya. Netranya menangkap sosok lelaki dengan jaket hitam sedang membungkuk menatapnya.

“Oh, maaf. Aku tidak bermaksud mengagetkanmu.”

“Tidak apa-apa,” jawab Ratu sembari bangkit dari duduknya.

“Hari sudah malam. Tidak baik untuk seorang wanita berada di luar sendirian,” ujar lelaki itu seketika memberi petuah.

“Aku tahu. Tapi aku tak bisa meninggalkan Puspus sendiri di sana.”

Ratu mengatakannya dengan nada sangat pasrah. Ia tak mungkin memberi tahu rumah. Malah yang ada dia akan kena marah, karena ketahuan keluar rumah diam-diam. Jadi, dia memutuskan untuk menunggu sampai entah kapan. Agar dia tidak mendapatkan dobel kemarahan dari orang rumah.

“Puspus?” tanya lelaki tadi. Dalam hatinya ia mulai menebak ....

Apakah cewek ini bisa melihat ‘mereka’?

“Ah, itu Puspus,” sahut Ratu sambil menunjuk ke arah Puspus berada.

Sang lelaki hampir tidak mau melihat ke atas mengikuti arah telunjuk Ratu. Pikirannya sudah bercabang kemana-mana. Tapi sejurus kemudian ia mendengar suara kucing dari atas sana.

Oh, kucing ternyata, lelaki itu membatin.

“Aku tak mungkin pulang tanpanya. Bisa-bisa aku diamuk orang rumah, soalnya Puspus kucing kesayangan mereka.”

“Oh, begitu rupanya. Pegang ini, aku akan mencoba membantu Puspus turun,” ujar lelaki itu sambil memberikan payung yang dipegangnya pada Ratu.

“Benarkah? Terima kasih sebelumnya.” Ratu sampai menunduk karena merasa sangat bersyukur dipertemukan lelaki asing yang baik padanya.

It’s okay. Tunggu, ya.”

Lelaki itu mencoba naik pohon perlahan. Ia sangat lincah menaiki satu persatu dahan pohon. Sampai ia mencapai dahan pohon dimana Puspus berada. Beruntung Puspus bukan kucing yang agresif, dia diam saja ketika tangan lelaki itu berusaha meraihnya.

Ratu sangat lega melihat Puspus sudah berada dalam gendongan lelaki itu. Tinggal satu dahan lagi sebelum mereka sampai ke tanah. Namun naas, tiba-tiba ada sebuah ranting pohon patah yang menimpa mata lelaki itu. Pegangannya pada pohon seketika lepas, dan terjatuh. Ratu berteriak ketika melihat insiden itu. Ia segera menghampiri mereka. Puspus yang langsung berlari ke arahnya segera ia peluk untuk menghangatkannya.

Gosh! Kamu baik-baik saja?” tanyanya setengah berteriak. Tak ada jawaban dari lelaki itu. Ia masih diam sambil memegangi mata kanannya. Ratu panik karena lelaki itu tak meresponnya dan ia semakin panik ketika melihat ada lelehan cairan merah dari mata lelaki yang menolongnya.

“Ya ampun! Matamu berdarah! Ayo kita ke rumah sakit dulu!” Ratu segera menarik lengan lelaki tadi secara paksa. Segera ia memesan taksi online untuk mengantarkan mereka ke rumah sakit terdekat. Mau tak mau kali ini ia harus menghubungi keluarganya. Hal ini sudah bukan sesuatu yang bisa ia atasi seorang diri.

Puspus akhirnya ia titipkan di Vet dekat sekitar rumah sakit, karena tak mungkin ia membawanya serta. Ratu mondar-mandir di depan ruang pemeriksaan. Hatinya sangat gelisah. Saat ini ia harus bersiap menerima kenyataan terburuk. Ia sudah pasrah dengan hukuman apa yang akan ia terima dari Papa dan Mamanya karena masalah ini.

“Ratu!” Telinganya menangkap suara familiar. Sebuah suara bariton yang lebih terdengar seperti sirine peringatan bagi telinga Ratu.

Plak!

Sebuah tamparan menjadi sambutan kedatangan Papa dan Mama. “Kamu ini benar-benar anak tak berguna! Cuma bisa nyusahin saja!”

Kini giliran Mama yang sudah mengangkat tangannya bersiap memberi tamparan kedua, namun sebuah tangan lain mencegahnya.

“Om, Tante, mohon sikapnya untuk dikondisikan. Tidakkah kalian malu banyak pasang mata yang menyaksikan di sini?”

Ratu segera mendongakkan kepala mendengar suara yang dikenalnya.

“Sudah selesai? Bagaimana? Apa kata dokter tadi?” Perhatian Ratu langsung tertuju sepenuhnya pada sang lelaki.

“Aku hanya perlu beristirahat beberapa hari untuk memulihkan luka ini. Bukan luka yang besar. Tenang saja,” jelasnya kemudian.

“Tapi—.”

“Tak usah khawatir. Aku tidak apa-apa.” Sang lelaki menepuk pelan pundak Ratu berusaha meyakinkan.

“Biarkan kami membayar biaya pengobatannya. Bagaimana pun ini kesalahan anak sialan ini!” Papa Ratu mengatakannya sembari menunjuk pada Ratu.

“Baiklah, saya terima bantuannya. Terima kasih, tapi saya mohon perbaiki sikap anda pada anak anda. Tak seharusnya orang tua bersikap seperti itu.”

“Diam saja kau, anak muda! Siapa kamu berani berpetuah saat kamu bahkan tak tahu apa-apa!”

Raja hanya bisa menghela napas. Ia sangat malas berdebat untuk saat ini.

“Saya pamit dulu kalau begitu. Permisi, Om, Tante.”

“Hei, tunggu! Namamu—.”

“Raja. Namaku Raja,” potong Raja sebelum Ratu menyelesaikan pertanyaannya.

Sejak saat itu, Ratu diam-diam memperhatikan Raja dari kejauhan. Ternyata mereka kuliah di kampus yang sama. Di sela-sela kuliah selalu ia sempatkan untuk mengecek kondisi Raja. Mata gadis itu selalu awas, tak sedikitpun gerak-gerik Raja lepas dari jangkauan pandangannya.

Selama itu pun Ratu juga menyadari, bahwa kehidupan Raja lama-kelamaan berubah. Gadis itu mengamati semua perubahan itu dan semuanya gara-gara luka di mata kirinya.

Prestasi Raja menurun karena ia tidak bisa maksimal dalam mengikuti pelajaran di kampus. Ekstrakurikuler yang selama ini menyumbang poin banyak pada prestasi Raja, tak lagi ia ikuti karena keterbatasannya bergerak dengan satu mata. Kharisma Raja juga jauh berkurang karena dengannya mengenakan eye-patch menyebabkan semua orang menganggapnya cacat. Seorang Raja kini sudah tak lagi menjadi Raja bagi semuanya. Predikat Raja yang sempurna seolah dicopot paksa darinya.

Ada beberapa kali Ratu memergoki Raja dengan wajah murungnya. Entah itu di kantin atau ketika Raja sendirian di pojokan perpustakaan. Sebuah ekspresi yang selalu sukses menambah rasa bersalah ketika Ratu melihatnya.

Berulang kali Ratu ingin menyapa Raja. Namun ia selalu urung, ketika hati kecilnya berkata ....

Semua ini terjadi gara-gara kamu. Kamu masih punya muka menemuinya? Plis sadar diri, Ratu!

Tak ada hari yang terlewat tanpa rasa bersalah yang menggelayutinya. Gadis itu sudah tak tahu lagi bagaimana ia bisa menolong Raja.


Uhuk! Uhuk!

Ratu segera meraih saputangan di dekatnya, lalu segera menutup mulut dengan itu agar suara batuknya tak terdengar sampai ke luar ruangan. Bercak merah kembali menodai saputangan yang sebelumnya sudah ada beberapa noda merah yang sudah mengering di sana.

Dengan tubuh lemahnya, Ratu berjalan menuju wastafel dan mencuci kain itu kemudian menyampirkannya di dekat jendela. Sudah beberapa bulan ini, ia memutuskan untuk tinggal di kos dekat kampusnya. Menurutnya ini adalah pilihan terbaik baginya, berpisah dengan orang rumah yang selama ini hanya bisa menjadi racun di kehidupannya. Toh, memang Papa dan Mamanya tak pernah menginginkannya berada di rumah itu. Namun, siapa sangka dengan ia mengambil satu keputusan itu ada ujian berat yang harus ia lalui setelahnya.

Dengan memutuskan untuk hidup sebagai independent-woman, Ratu harus siap menghidupi dirinya sendiri. Ia harus bekerja untuk membiayai hidupnya sehari-hari. Ratu masih bersyukur karena kedua orang tuanya masih mau membiayai kuliahnya. Setidaknya bebannya bisa teringankan karena itu.

Ujian untuk Ratu tak hanya sampai di situ. Satu bulan terakhir ini ia sering sekali izin dari kegiatan kampus karena kondisinya yang tidak sehat. Beberapa kali Ratu pingsan saat kegiatan kampus. Beberapa waktu pula Ratu harus dibawa ke rumah sakit karena ia mimisan terus-menerus. Lalu setelah menjalani beberapa pemeriksaan, dokter memvonis Ratu menderita Leukimia akut.

Sebuah fakta yang menghantam mental Ratu saat itu membuat imunitasnya kian menurun. Semua beban itu ia tanggung sendiri, tak mungkin ia memberitahukan keluarganya.

Toh, mereka juga takkan mempedulikannya, pikirnya saat keinginan untuk memberi kabar orang rumah begitu menggebu.

Kondisi Ratu yang kian lemah dan hanya mendapat pengobatan seadanya membuatnya memutuskan untuk mengambil istirahat dari kuliah. Tapi terkadang ia masih memaksakan diri untuk berangkat ke kampus. Bukan untuk masuk kelasnya, namun untuk melihat wajah Raja. Seseorang yang selama ini ia amati dari kejauhan itu, ternyata diam-diam sudah bersemayam di salah satu relung hatinya.

Hatinya seketika tercerahkan ketika ia melihat senyum Raja. Walaupun saat itu wajah murung Raja masih beberapa kali tertangkap netranya. Tapi saat ini ia bisa simpulkan, Raja perlahan bisa menerima kondisinya saat ini. Walaupun begitu, keinginan Ratu untuk menolong Raja masih sebesar dulu. Ia ingin mengembalikan kehidupan Raja seperti sebelumnya.


“Kamu yakin dengan keputusanmu ini, Ratu?”

“Saya sudah merencanakan ini sejak lama, Dok. Keputusan saya sudah bulat.”

“Tapi kamu perlu tanda tangan persetujuan dari pihak keluargamu, Nak,” ujar dokter tadi masih mencoba merayu Ratu untuk tidak melakukan tindakan ini.

“Bisakah saya meminta Dokter saja yang menandatanginya, sebagai wali saya?”

“Tapi Ratu—.”

“Mereka takkan peduli bahkan jika saya mati sekalipun, Dok. Jadi, saya mohon. Bantu saya mewujudkan mimpi terakhir saya” pinta Ratu dengan wajah memelasnya.

“Baiklah, Ratu. Saya sudah tak bisa apa-apa ketika kamu sudah se-keukeuh itu.”

Ratu tersenyum lega melihat sang dokter akhirnya bersedia membantunya mewujudkan keinginannya.

“Isi form ini dulu ya,” ujar dokter cantik tadi sambil menyerahkan sebuah kertas bertuliskan Surat Pernyataan Persetujuan Donor Organ.

“Baik, Dok.”

“Kamu tidak menyesal melakukan ini, Ratu? Kamu masih terlalu muda untuk melakukan semua ini.”

“Saya yakin, Dok. Setidaknya, walaupun eksistensi saya di dunia ini tidak diakui, saya masih bisa berguna untuk orang lain di kemudian hari.”

“Hatimu begitu mulia, Ratu. Kenapa takdir begitu kejam kepadamu,”ujar dokter cantik itu sambil mengelus pelan pucuk kepala Ratu.

“Tidak, Dok. Saya masih bukan apa-apa dibandingkan dengan Dokter. Dokter yang sudah mau membantu saya secara cuma-cuma, itu adalah tingkat kemuliaan hati yang tak mungkin saya capai.”

Dokter cantik itu tak menanggapi. Ia sudah sering terkesan dengan kata-kata bijak anak itu. Tapi kali ini, kalimat yang keluar dari mulut Ratu malah terasa semakin menyayat hati.

Kenapa takdir begitu kejam terhadap gadis kecil ini?


“Raja! Ada yang ingin bertemu denganmu,” seru teman Raja dari balik jeruji lapangan basket lapangan kampusnya.

“Oh, ya. Siapa?” Yang ditanya hanya mengangkat bahu tanda ia tak tahu.

“Dimana?” tanya Raja kemudian setelah ia mengganti bajunya.

“Di depan gerbang kampus. Sepertinya orang penting.”

“Oke. Thanks, infonya, Bro.”

Raja segera menuju ke tempat yang dimaksud temannya tadi. Dari kejauhan terlihat sosok perempuan dengan tampilannya yang sangat elegan.

Sepertinya memang orang penting, Raja membatin.

“Permisi?”

“Kamu ...,”

“Saya Raja.”

“Oh, ya.”

“Maaf, tapi ada keperluan apa ya? Kalau saya boleh tahu?”

“Ah. Saya hanya ingin menyampaikan amanah dari seseorang.”

“Amanah?” tanya Raja kebingungan.

“Ini untuk kamu, Raja,” ujar perempuan itu sambil menyodorkan dua buah kertas pada Raja.

“Saya sudah mencantumkan kontak saya di dalamnya. Hubungi saya setelah kamu membaca dua surat itu. Kalau begitu, saya permisi dulu.”

Raja hanya mengangguk megiyakan sambil menerima surat-surat itu dengan segala keheranannya. Ia memutuskan untuk membuka surat itu di rumah. Segera ia memasukkan dua surat itu ke dalam tas dan bergegas menuju rumahnya.

Tanpa membersihkan tubuhnya, Raja merogoh tasnya dan mengambil dua surat tadi. Ia benar-benar tak sabar apa isi kertas yang diberikan perempuan cantik tadi.

Ia membuka lipatan kertas pertama. Matanya langsung membelalak melihat judul kertas itu, 'Surat Pernyataan Persetujuan Donor Organ’. Lalu secepat kilat ia segera mengambil kertas lainnya.

Sebuah amplop berwarna lilac, perlahan tangannya membuka segel amplop itu. Genderang hatinya tiba-tiba menderu. Keringat dingin keluar dari tubuhnya. Tangannya menarik pelan kertas berwarna krem yang ada di dalamnya.

Terlihat beberapa bekas usapan bercak merah di beberapa bagian. Tulisan yang tak begitu rapi tapi masih bisa terbaca itu menunjukkan sang penulis susah payah menulisnya.

To: Raja, my beloved hero

Hai, Raja. Aku yakin, kamu tidak ingat denganku. Tapi asal kau tahu, sejak saat pertama kita bertemu malam itu, bayangmu tak pernah pergi dalam hidupmu.

Maaf ....

Andai saja saat itu kamu tidak menolong Puspus malam itu, mungkin kamu masih bisa memiliki kehidupan sempurnamu. Maaf, Raja. Karena telah membuat hidupmu sengsara setelah bertemu denganku.

Tapi, Raja .... Di sisi lain, aku juga berterimakasih padamu. Aku sangat, sangat bersyukur Tuhan memberikan skenario pertemuan ini kita. Karena setelah itu aku tahu, masih ada yang peduli denganku.

Terima kasih, telah membelaku di rumah sakit saat itu. Kau mungkin takkan tahu betapa senangnya aku ketika kamu berani mengatakan semua itu pada Papa-Mama.

Raja .... Rasa bersalah itu masih tetap ada walaupun kamu mengatakan kamu tidak apa-apa. Tapi wajah murungmu itu sudah mewakili semuanya. Aku tahu kamu rindu semua masa dengan kemilaumu di dalamnya. Aku ingin mengembalikan kilau itu padamu.

Aku berharap, dengan kilau yang kuberikan padamu ini bisa mengembalikan kembali kehidupan sempurna seorang Raja.

Raja .... Nama kita Raja dan Ratu, tapi ternyata tak mengizinkan kita untuk bersama.

Berbahagialah, Raja. Aku selalu mendoakanmu dari manapun kuberada.

Your secret admirer, Ratu

Perpaduan semburat warna oranye dengan birunya langit membuat momen sore itu bak sebuah lukisan pelukis tersohor. Sajian pemandangan senja nan indah yang benar-benar memanjakan mata setiap orang yang melihatnya. Ya, mata mereka, dan Raja bukanlah salah satunya.

Raja, seorang pemuda yang serba bisa. Tak ada satupun hal yang tak bisa dilakukannya. Lelaki yang selalu menjadi top idaman bagi semua wanita di kampusnya. Murid kebanggaan yang selalu dielu-elukan oleh para dosen di manapun mereka berada. Satu-satunya lelaki yang patut menyandang predikat mahasiswa paling bertatenta. Setiap hari selalu ada sisi kampus yang menggaungkan namanya.

Memang benar kata pepatah ‘tak ada yang abadi di dunia’. Begitu pun dengan semua anugerah yang dititipkan Tuhan pada Raja. Semua hal yang dimilikinya itu satu persatu sirna, sejak pertemuannya dengan Ratu. Berawal dari pertemuan itu lah, kehidupan Raja berubah hampir 180 derajat.


“Puspus, ayo sini, turun.” Seorang gadis berkuncir kuda dengan payung di tangan kirinya sedang membujuk kucing kecil yang berada di atas dahan pohon yang cukup tinggi.

“Ayo, Puspus. Kamu pasti bisa. Pelan-pelan, nanti Ratu tangkap.”

Kembali gadis itu membujuk si kucing untuk turun. Tapi, kucing yang dipanggil Puspus itu bahkan tak sedikit pun memberikan respon. Entah karena Puspus takut atau ia memang sudah nyaman berada di sana. Tak ada pergerakan dari Puspus, walaupun kini sekarang tubuhnya sudah basah kuyup karena hujan yang cukup deras saat itu. Ratu sudah hampir putus asa.

Selama satu jam sudah ia berdiri di sana dan merayu Puspus untuk turun dari pohon itu. Ia menyesal karena meninggalkan Puspus sendirian di taman saat dia pergi ke toko grosir. Biasanya Puspus akan selalu mengikuti perintahnya, tapi entah kenapa kali ini ia malah tertarik dengan pohon di dekat taman.

Langit sudah mulai gelap, dan Puspus masih saja betah nangkring di dahan pohon itu. Beberapa kali Ratu mencoba memberanikan diri untuk memanjat, tapi ketakutannya pada ketinggian membuatnya urung untuk melanjutkan langkahnya. Kombinasi hujan dan angin membuat suasana saat itu semakin mencekam. Di taman ini hanya tersisa dia sendiri.

Rasa putus asanya semakin menjadi, Ratu berakhir duduk jongkok di bawah pohon itu. Gadis itu membiarkan beberapa ranting pohon menimpanya. Ia mulai terisak karena merasa tak berdaya. Bahkan untuk menyelamatkan seekor kucing pun ia tak bisa.

“Hei! Kamu tidak apa-apa?”

Ratu terperanjat ketika ada seseorang yang menepuk pelan pundaknya. Netranya menangkap sosok lelaki dengan jaket hitam sedang membungkuk menatapnya.

“Oh, maaf. Aku tidak bermaksud mengagetkanmu.”

“Tidak apa-apa,” jawab Ratu sembari bangkit dari duduknya.

“Hari sudah malam. Tidak baik untuk seorang wanita berada di luar sendirian,” ujar lelaki itu seketika memberi petuah.

“Aku tahu. Tapi aku tak bisa meninggalkan Puspus sendiri di sana.”

Ratu mengatakannya dengan nada sangat pasrah. Ia tak mungkin memberi tahu rumah. Malah yang ada dia akan kena marah, karena ketahuan keluar rumah diam-diam. Jadi, dia memutuskan untuk menunggu sampai entah kapan. Agar dia tidak mendapatkan dobel kemarahan dari orang rumah.

“Puspus?” tanya lelaki tadi. Dalam hatinya ia mulai menebak ....

Apakah cewek ini bisa melihat ‘mereka’?

“Ah, itu Puspus,” sahut Ratu sambil menunjuk ke arah Puspus berada.

Sang lelaki hampir tidak mau melihat ke atas mengikuti arah telunjuk Ratu. Pikirannya sudah bercabang kemana-mana. Tapi sejurus kemudian ia mendengar suara kucing dari atas sana.

Oh, kucing ternyata, lelaki itu membatin.

“Aku tak mungkin pulang tanpanya. Bisa-bisa aku diamuk orang rumah, soalnya Puspus kucing kesayangan mereka.”

“Oh, begitu rupanya. Pegang ini, aku akan mencoba membantu Puspus turun,” ujar lelaki itu sambil memberikan payung yang dipegangnya pada Ratu.

“Benarkah? Terima kasih sebelumnya.” Ratu sampai menunduk karena merasa sangat bersyukur dipertemukan lelaki asing yang baik padanya.

It’s okay. Tunggu, ya.”

Lelaki itu mencoba naik pohon perlahan. Ia sangat lincah menaiki satu persatu dahan pohon. Sampai ia mencapai dahan pohon dimana Puspus berada. Beruntung Puspus bukan kucing yang agresif, dia diam saja ketika tangan lelaki itu berusaha meraihnya.

Ratu sangat lega melihat Puspus sudah berada dalam gendongan lelaki itu. Tinggal satu dahan lagi sebelum mereka sampai ke tanah. Namun naas, tiba-tiba ada sebuah ranting pohon patah yang menimpa mata lelaki itu. Pegangannya pada pohon seketika lepas, dan terjatuh. Ratu berteriak ketika melihat insiden itu. Ia segera menghampiri mereka. Puspus yang langsung berlari ke arahnya segera ia peluk untuk menghangatkannya.

Gosh! Kamu baik-baik saja?” tanyanya setengah berteriak. Tak ada jawaban dari lelaki itu. Ia masih diam sambil memegangi mata kirinya. Ratu panik karena lelaki itu tak meresponnya dan ia semakin panik ketika melihat ada lelehan cairan merah dari mata lelaki yang menolongnya.

“Ya ampun! Matamu berdarah! Ayo kita ke rumah sakit dulu!” Ratu segera menarik lengan lelaki tadi secara paksa. Segera ia memesan taksi online untuk mengantarkan mereka ke rumah sakit terdekat. Mau tak mau kali ini ia harus menghubungi keluarganya. Hal ini sudah bukan sesuatu yang bisa ia atasi seorang diri.

Puspus akhirnya ia titipkan di Vet dekat sekitar rumah sakit, karena tak mungkin ia membawanya serta. Ratu mondar-mandir di depan ruang pemeriksaan. Hatinya sangat gelisah. Saat ini ia harus bersiap menerima kenyataan terburuk. Ia sudah pasrah dengan hukuman apa yang akan ia terima dari Papa dan Mamanya karena masalah ini.

“Ratu!” Telinganya menangkap suara familiar. Sebuah suara bariton yang lebih terdengar seperti sirine peringatan bagi telinga Ratu.

Plak!

Sebuah tamparan menjadi sambutan kedatangan Papa dan Mama. “Kamu ini benar-benar anak tak berguna! Cuma bisa nyusahin saja!”

Kini giliran Mama yang sudah mengangkat tangannya bersiap memberi tamparan kedua, namun sebuah tangan lain mencegahnya.

“Om, Tante, mohon sikapnya untuk dikondisikan. Tidakkah kalian malu banyak pasang mata yang menyaksikan di sini?”

Ratu segera mendongakkan kepala mendengar suara yang dikenalnya.

“Sudah selesai? Bagaimana? Apa kata dokter tadi?” Perhatian Ratu langsung tertuju sepenuhnya pada sang lelaki.

“Aku hanya perlu beristirahat beberapa hari untuk memulihkan luka ini. Bukan luka yang besar. Tenang saja,” jelasnya kemudian.

“Tapi—.”

“Tak usah khawatir. Aku tidak apa-apa.” Sang lelaki menepuk pelan pundak Ratu berusaha meyakinkan.

“Biarkan kami membayar biaya pengobatannya. Bagaimana pun ini kesalahan anak sialan ini!” Papa Ratu mengatakannya sembari menunjuk pada Ratu.

“Baiklah, saya terima bantuannya. Terima kasih, tapi saya mohon perbaiki sikap anda pada anak anda. Tak seharusnya orang tua bersikap seperti itu.”

“Diam saja kau, anak muda! Siapa kamu berani berpetuah saat kamu bahkan tak tahu apa-apa!”

Raja hanya bisa menghela napas. Ia sangat malas berdebat untuk saat ini.

“Saya pamit dulu kalau begitu. Permisi, Om, Tante.”

“Hei, tunggu! Namamu—.”

“Raja. Namaku Raja,” potong Raja sebelum Ratu menyelesaikan pertanyaannya.

Sejak saat itu, Ratu diam-diam memperhatikan Raja dari kejauhan. Ternyata mereka kuliah di kampus yang sama. Di sela-sela kuliah selalu ia sempatkan untuk mengecek kondisi Raja. Mata gadis itu selalu awas, tak sedikitpun gerak-gerik Raja lepas dari jangkauan pandangannya.

Selama itu pun Ratu juga menyadari, bahwa kehidupan Raja lama-kelamaan berubah. Gadis itu mengamati semua perubahan itu dan semuanya gara-gara luka di mata kirinya.

Prestasi Raja menurun karena ia tidak bisa maksimal dalam mengikuti pelajaran di kampus. Ekstrakurikuler yang selama ini menyumbang poin banyak pada prestasi Raja, tak lagi ia ikuti karena keterbatasannya bergerak dengan satu mata. Kharisma Raja juga jauh berkurang karena dengannya mengenakan eye-patch menyebabkan semua orang menganggapnya cacat. Seorang Raja kini sudah tak lagi menjadi Raja bagi semuanya. Predikat Raja yang sempurna seolah dicopot paksa darinya.

Ada beberapa kali Ratu memergoki Raja dengan wajah murungnya. Entah itu di kantin atau ketika Raja sendirian di pojokan perpustakaan. Sebuah ekspresi yang selalu sukses menambah rasa bersalah ketika Ratu melihatnya.

Berulang kali Ratu ingin menyapa Raja. Namun ia selalu urung, ketika hati kecilnya berkata ....

Semua ini terjadi gara-gara kamu. Kamu masih punya muka menemuinya? Plis sadar diri, Ratu!

Tak ada hari yang terlewat tanpa rasa bersalah yang menggelayutinya. Gadis itu sudah tak tahu lagi bagaimana ia bisa menolong Raja.


Uhuk! Uhuk!

Ratu segera meraih saputangan di dekatnya, lalu segera menutup mulut dengan itu agar suara batuknya tak terdengar sampai ke luar ruangan. Bercak merah kembali menodai saputangan yang sebelumnya sudah ada beberapa noda merah yang sudah mengering di sana.

Dengan tubuh lemahnya, Ratu berjalan menuju wastafel dan mencuci kain itu kemudian menyampirkannya di dekat jendela. Sudah beberapa bulan ini, ia memutuskan untuk tinggal di kos dekat kampusnya. Menurutnya ini adalah pilihan terbaik baginya, berpisah dengan orang rumah yang selama ini hanya bisa menjadi racun di kehidupannya. Toh, memang Papa dan Mamanya tak pernah menginginkannya berada di rumah itu. Namun, siapa sangka dengan ia mengambil satu keputusan itu ada ujian berat yang harus ia lalui setelahnya.

Dengan memutuskan untuk hidup sebagai independent-woman, Ratu harus siap menghidupi dirinya sendiri. Ia harus bekerja untuk membiayai hidupnya sehari-hari. Ratu masih bersyukur karena kedua orang tuanya masih mau membiayai kuliahnya. Setidaknya bebannya bisa teringankan karena itu.

Ujian untuk Ratu tak hanya sampai di situ. Satu bulan terakhir ini ia sering sekali izin dari kegiatan kampus karena kondisinya yang tidak sehat. Beberapa kali Ratu pingsan saat kegiatan kampus. Beberapa waktu pula Ratu harus dibawa ke rumah sakit karena ia mimisan terus-menerus. Lalu setelah menjalani beberapa pemeriksaan, dokter memvonis Ratu menderita Leukimia akut.

Sebuah fakta yang menghantam mental Ratu saat itu membuat imunitasnya kian menurun. Semua beban itu ia tanggung sendiri, tak mungkin ia memberitahukan keluarganya.

Toh, mereka juga takkan mempedulikannya, pikirnya saat keinginan untuk memberi kabar orang rumah begitu menggebu.

Kondisi Ratu yang kian lemah dan hanya mendapat pengobatan seadanya membuatnya memutuskan untuk mengambil istirahat dari kuliah. Tapi terkadang ia masih memaksakan diri untuk berangkat ke kampus. Bukan untuk masuk kelasnya, namun untuk melihat wajah Raja. Seseorang yang selama ini ia amati dari kejauhan itu, ternyata diam-diam sudah bersemayam di salah satu relung hatinya.

Hatinya seketika tercerahkan ketika ia melihat senyum Raja. Walaupun saat itu wajah murung Raja masih beberapa kali tertangkap netranya. Tapi saat ini ia bisa simpulkan, Raja perlahan bisa menerima kondisinya saat ini. Walaupun begitu, keinginan Ratu untuk menolong Raja masih sebesar dulu. Ia ingin mengembalikan kehidupan Raja seperti sebelumnya.


“Kamu yakin dengan keputusanmu ini, Ratu?”

“Saya sudah merencanakan ini sejak lama, Dok. Keputusan saya sudah bulat.”

“Tapi kamu perlu tanda tangan persetujuan dari pihak keluargamu, Nak,” ujar dokter tadi masih mencoba merayu Ratu untuk tidak melakukan tindakan ini.

“Bisakah saya meminta Dokter saja yang menandatanginya, sebagai wali saya?”

“Tapi Ratu—.”

“Mereka takkan peduli bahkan jika saya mati sekalipun, Dok. Jadi, saya mohon. Bantu saya mewujudkan mimpi terakhir saya” pinta Ratu dengan wajah memelasnya.

“Baiklah, Ratu. Saya sudah tak bisa apa-apa ketika kamu sudah se-keukeuh itu.”

Ratu tersenyum lega melihat sang dokter akhirnya bersedia membantunya mewujudkan keinginannya.

“Isi form ini dulu ya,” ujar dokter cantik tadi sambil menyerahkan sebuah kertas bertuliskan Surat Pernyataan Persetujuan Donor Organ.

“Baik, Dok.”

“Kamu tidak menyesal melakukan ini, Ratu? Kamu masih terlalu muda untuk melakukan semua ini.”

“Saya yakin, Dok. Setidaknya, walaupun eksistensi saya di dunia ini tidak diakui, saya masih bisa berguna untuk orang lain di kemudian hari.”

“Hatimu begitu mulia, Ratu. Kenapa takdir begitu kejam kepadamu,”ujar dokter cantik itu sambil mengelus pelan pucuk kepala Ratu.

“Tidak, Dok. Saya masih bukan apa-apa dibandingkan dengan Dokter. Dokter yang sudah mau membantu saya secara cuma-cuma, itu adalah tingkat kemuliaan hati yang tak mungkin saya capai.”

Dokter cantik itu tak menanggapi. Ia sudah sering terkesan dengan kata-kata bijak anak itu. Tapi kali ini, kalimat yang keluar dari mulut Ratu malah terasa semakin menyayat hati.

Kenapa takdir begitu kejam terhadap gadis kecil ini?


“Raja! Ada yang ingin bertemu denganmu,” seru teman Raja dari balik jeruji lapangan basket lapangan kampusnya.

“Oh, ya. Siapa?” Yang ditanya hanya mengangkat bahu tanda ia tak tahu.

“Dimana?” tanya Raja kemudian setelah ia mengganti bajunya.

“Di depan gerbang kampus. Sepertinya orang penting.”

“Oke. Thanks, infonya, Bro.”

Raja segera menuju ke tempat yang dimaksud temannya tadi. Dari kejauhan terlihat sosok perempuan dengan tampilannya yang sangat elegan.

Sepertinya memang orang penting, Raja membatin.

“Permisi?”

“Kamu ...,”

“Saya Raja.”

“Oh, ya.”

“Maaf, tapi ada keperluan apa ya? Kalau saya boleh tahu?”

“Ah. Saya hanya ingin menyampaikan amanah dari seseorang.”

“Amanah?” tanya Raja kebingungan.

“Ini untuk kamu, Raja,” ujar perempuan itu sambil menyodorkan dua buah kertas pada Raja.

“Saya sudah mencantumkan kontak saya di dalamnya. Hubungi saya setelah kamu membaca dua surat itu. Kalau begitu, saya permisi dulu.”

Raja hanya mengangguk megiyakan sambil menerima surat-surat itu dengan segala keheranannya. Ia memutuskan untuk membuka surat itu di rumah. Segera ia memasukkan dua surat itu ke dalam tas dan bergegas menuju rumahnya.

Tanpa membersihkan tubuhnya, Raja merogoh tasnya dan mengambil dua surat tadi. Ia benar-benar tak sabar apa isi kertas yang diberikan perempuan cantik tadi.

Ia membuka lipatan kertas pertama. Matanya langsung membelalak melihat judul kertas itu, 'Surat Pernyataan Persetujuan Donor Organ’. Lalu secepat kilat ia segera mengambil kertas lainnya.

Sebuah amplop berwarna lilac, perlahan tangannya membuka segel amplop itu. Genderang hatinya tiba-tiba menderu. Keringat dingin keluar dari tubuhnya. Tangannya menarik pelan kertas berwarna krem yang ada di dalamnya.

Terlihat beberapa bekas usapan bercak merah di beberapa bagian. Tulisan yang tak begitu rapi tapi masih bisa terbaca itu menunjukkan sang penulis susah payah menulisnya.

> To: Raja, my beloved hero

> Hai, Raja. Aku yakin, kamu tidak ingat denganku. Tapi asal kau tahu, sejak saat pertama kita bertemu malam itu, bayangmu tak pernah pergi dalam hidupmu.

> Maaf ....

> Andai saja saat itu kamu tidak menolong Puspus malam itu, mungkin kamu masih bisa memiliki kehidupan sempurnamu. Maaf, Raja. Karena telah membuat hidupmu sengsara setelah bertemu denganku.

> Tapi, Raja .... > Di sisi lain, aku juga berterimakasih padamu. Aku sangat, sangat bersyukur Tuhan memberikan skenario pertemuan ini kita. Karena setelah itu aku tahu, masih ada yang peduli denganku.

> Terima kasih, telah membelaku di rumah sakit saat itu. Kau mungkin takkan tahu betapa senangnya aku ketika kamu berani mengatakan semua itu pada Papa-Mama.

> Raja .... > Rasa bersalah itu masih tetap ada walaupun kamu mengatakan kamu tidak apa-apa. Tapi wajah murungmu itu sudah mewakili semuanya. Aku tahu kamu rindu semua masa dengan kemilaumu di dalamnya. Aku ingin mengembalikan kilau itu padamu.

> Aku berharap, dengan kilau yang kuberikan padamu ini bisa mengembalikan kembali kehidupan sempurna seorang Raja.

> Raja .... > Nama kita Raja dan Ratu, tapi ternyata tak mengizinkan kita untuk bersama.

> Berbahagialah, Raja. Aku selalu mendoakanmu dari manapun kuberada.

> Your secret admirer, > Ratu

Perpaduan semburat warna oranye dengan birunya langit membuat momen sore itu bak sebuah lukisan pelukis tersohor. Sajian pemandangan senja nan indah yang benar-benar memanjakan mata setiap orang yang melihatnya. Ya, mata mereka, dan Raja bukanlah salah satunya.

Raja, seorang pemuda yang serba bisa. Tak ada satupun hal yang tak bisa dilakukannya. Lelaki yang selalu menjadi top idaman bagi semua wanita di kampusnya. Murid kebanggaan yang selalu dielu-elukan oleh para dosen di manapun mereka berada. Satu-satunya lelaki yang patut menyandang predikat mahasiswa paling bertatenta. Setiap hari selalu ada sisi kampus yang menggaungkan namanya.

Memang benar kata pepatah ‘tak ada yang abadi di dunia’. Begitu pun dengan semua anugerah yang dititipkan Tuhan pada Raja. Semua hal yang dimilikinya itu satu persatu sirna, sejak pertemuannya dengan Ratu. Berawal dari pertemuan itu lah, kehidupan Raja berubah hampir 180 derajat.


“Puspus, ayo sini, turun.” Seorang gadis berkuncir kuda dengan payung di tangan kirinya sedang membujuk kucing kecil yang berada di atas dahan pohon yang cukup tinggi.

“Ayo, Puspus. Kamu pasti bisa. Pelan-pelan, nanti Ratu tangkap.”

Kembali gadis itu membujuk si kucing untuk turun. Tapi, kucing yang dipanggil Puspus itu bahkan tak sedikit pun memberikan respon. Entah karena Puspus takut atau ia memang sudah nyaman berada di sana. Tak ada pergerakan dari Puspus, walaupun kini sekarang tubuhnya sudah basah kuyup karena hujan yang cukup deras saat itu. Ratu sudah hampir putus asa.

Selama satu jam sudah ia berdiri di sana dan merayu Puspus untuk turun dari pohon itu. Ia menyesal karena meninggalkan Puspus sendirian di taman saat dia pergi ke toko grosir. Biasanya Puspus akan selalu mengikuti perintahnya, tapi entah kenapa kali ini ia malah tertarik dengan pohon di dekat taman.

Langit sudah mulai gelap, dan Puspus masih saja betah nangkring di dahan pohon itu. Beberapa kali Ratu mencoba memberanikan diri untuk memanjat, tapi ketakutannya pada ketinggian membuatnya urung untuk melanjutkan langkahnya. Kombinasi hujan dan angin membuat suasana saat itu semakin mencekam. Di taman ini hanya tersisa dia sendiri.

Rasa putus asanya semakin menjadi, Ratu berakhir duduk jongkok di bawah pohon itu. Gadis itu membiarkan beberapa ranting pohon menimpanya. Ia mulai terisak karena merasa tak berdaya. Bahkan untuk menyelamatkan seekor kucing pun ia tak bisa.

“Hei! Kamu tidak apa-apa?”

Ratu terperanjat ketika ada seseorang yang menepuk pelan pundaknya. Netranya menangkap sosok lelaki dengan jaket hitam sedang membungkuk menatapnya.

“Oh, maaf. Aku tidak bermaksud mengagetkanmu.”

“Tidak apa-apa,” jawab Ratu sembari bangkit dari duduknya.

“Hari sudah malam. Tidak baik untuk seorang wanita berada di luar sendirian,” ujar lelaki itu seketika memberi petuah.

“Aku tahu. Tapi aku tak bisa meninggalkan Puspus sendiri di sana.”

Ratu mengatakannya dengan nada sangat pasrah. Ia tak mungkin memberi tahu rumah. Malah yang ada dia akan kena marah, karena ketahuan keluar rumah diam-diam. Jadi, dia memutuskan untuk menunggu sampai entah kapan. Agar dia tidak mendapatkan dobel kemarahan dari orang rumah.

“Puspus?” tanya lelaki tadi. Dalam hatinya ia mulai menebak ....

Apakah cewek ini bisa melihat ‘mereka’?

“Ah, itu Puspus,” sahut Ratu sambil menunjuk ke arah Puspus berada.

Sang lelaki hampir tidak mau melihat ke atas mengikuti arah telunjuk Ratu. Pikirannya sudah bercabang kemana-mana. Tapi sejurus kemudian ia mendengar suara kucing dari atas sana.

Oh, kucing ternyata, lelaki itu membatin.

“Aku tak mungkin pulang tanpanya. Bisa-bisa aku diamuk orang rumah, soalnya Puspus kucing kesayangan mereka.”

“Oh, begitu rupanya. Pegang ini, aku akan mencoba membantu Puspus turun,” ujar lelaki itu sambil memberikan payung yang dipegangnya pada Ratu.

“Benarkah? Terima kasih sebelumnya.” Ratu sampai menunduk karena merasa sangat bersyukur dipertemukan lelaki asing yang baik padanya.

It’s okay. Tunggu, ya.”

Lelaki itu mencoba naik pohon perlahan. Ia sangat lincah menaiki satu persatu dahan pohon. Sampai ia mencapai dahan pohon dimana Puspus berada. Beruntung Puspus bukan kucing yang agresif, dia diam saja ketika tangan lelaki itu berusaha meraihnya.

Ratu sangat lega melihat Puspus sudah berada dalam gendongan lelaki itu. Tinggal satu dahan lagi sebelum mereka sampai ke tanah. Namun naas, tiba-tiba ada sebuah ranting pohon patah yang menimpa mata lelaki itu. Pegangannya pada pohon seketika lepas, dan terjatuh. Ratu berteriak ketika melihat insiden itu. Ia segera menghampiri mereka. Puspus yang langsung berlari ke arahnya segera ia peluk untuk menghangatkannya.

Gosh! Kamu baik-baik saja?” tanyanya setengah berteriak. Tak ada jawaban dari lelaki itu. Ia masih diam sambil memegangi mata kirinya. Ratu panik karena lelaki itu tak meresponnya dan ia semakin panik ketika melihat ada lelehan cairan merah dari mata lelaki yang menolongnya.

“Ya ampun! Matamu berdarah! Ayo kita ke rumah sakit dulu!” Ratu segera menarik lengan lelaki tadi secara paksa. Segera ia memesan taksi online untuk mengantarkan mereka ke rumah sakit terdekat. Mau tak mau kali ini ia harus menghubungi keluarganya. Hal ini sudah bukan sesuatu yang bisa ia atasi seorang diri.

Puspus akhirnya ia titipkan di Vet dekat sekitar rumah sakit, karena tak mungkin ia membawanya serta. Ratu mondar-mandir di depan ruang pemeriksaan. Hatinya sangat gelisah. Saat ini ia harus bersiap menerima kenyataan terburuk. Ia sudah pasrah dengan hukuman apa yang akan ia terima dari Papa dan Mamanya karena masalah ini.

“Ratu!” Telinganya menangkap suara familiar. Sebuah suara bariton yang lebih terdengar seperti sirine peringatan bagi telinga Ratu.

Plak!

Sebuah tamparan menjadi sambutan kedatangan Papa dan Mama. “Kamu ini benar-benar anak tak berguna! Cuma bisa nyusahin saja!”

Kini giliran Mama yang sudah mengangkat tangannya bersiap memberi tamparan kedua, namun sebuah tangan lain mencegahnya.

“Om, Tante, mohon sikapnya untuk dikondisikan. Tidakkah kalian malu banyak pasang mata yang menyaksikan di sini?”

Ratu segera mendongakkan kepala mendengar suara yang dikenalnya.

“Sudah selesai? Bagaimana? Apa kata dokter tadi?” Perhatian Ratu langsung tertuju sepenuhnya pada sang lelaki.

“Aku hanya perlu beristirahat beberapa hari untuk memulihkan luka ini. Bukan luka yang besar. Tenang saja,” jelasnya kemudian.

“Tapi—.”

“Tak usah khawatir. Aku tidak apa-apa.” Sang lelaki menepuk pelan pundak Ratu berusaha meyakinkan.

“Biarkan kami membayar biaya pengobatannya. Bagaimana pun ini kesalahan anak sialan ini!” Papa Ratu mengatakannya sembari menunjuk pada Ratu.

“Baiklah, saya terima bantuannya. Terima kasih, tapi saya mohon perbaiki sikap anda pada anak anda. Tak seharusnya orang tua bersikap seperti itu.”

“Diam saja kau, anak muda! Siapa kamu berani berpetuah saat kamu bahkan tak tahu apa-apa!”

Raja hanya bisa menghela napas. Ia sangat malas berdebat untuk saat ini.

“Saya pamit dulu kalau begitu. Permisi, Om, Tante.”

“Hei, tunggu! Namamu—.”

“Raja. Namaku Raja,” potong Raja sebelum Ratu menyelesaikan pertanyaannya.

Sejak saat itu, Ratu diam-diam memperhatikan Raja dari kejauhan. Ternyata mereka kuliah di kampus yang sama. Di sela-sela kuliah selalu ia sempatkan untuk mengecek kondisi Raja. Mata gadis itu selalu awas, tak sedikitpun gerak-gerik Raja lepas dari jangkauan pandangannya.

Selama itu pun Ratu juga menyadari, bahwa kehidupan Raja lama-kelamaan berubah. Gadis itu mengamati semua perubahan itu dan semuanya gara-gara luka di mata kirinya.

Prestasi Raja menurun karena ia tidak bisa maksimal dalam mengikuti pelajaran di kampus. Ekstrakurikuler yang selama ini menyumbang poin banyak pada prestasi Raja, tak lagi ia ikuti karena keterbatasannya bergerak dengan satu mata. Kharisma Raja juga jauh berkurang karena dengannya mengenakan eye-patch menyebabkan semua orang menganggapnya cacat. Seorang Raja kini sudah tak lagi menjadi Raja bagi semuanya. Predikat Raja yang sempurna seolah dicopot paksa darinya.

Ada beberapa kali Ratu memergoki Raja dengan wajah murungnya. Entah itu di kantin atau ketika Raja sendirian di pojokan perpustakaan. Sebuah ekspresi yang selalu sukses menambah rasa bersalah ketika Ratu melihatnya.

Berulang kali Ratu ingin menyapa Raja. Namun ia selalu urung, ketika hati kecilnya berkata ....

Semua ini terjadi gara-gara kamu. Kamu masih punya muka menemuinya? Plis sadar diri, Ratu!

Tak ada hari yang terlewat tanpa rasa bersalah yang menggelayutinya. Gadis itu sudah tak tahu lagi bagaimana ia bisa menolong Raja.


Uhuk! Uhuk!

Ratu segera meraih saputangan di dekatnya, lalu segera menutup mulut dengan itu agar suara batuknya tak terdengar sampai ke luar ruangan. Bercak merah kembali menodai saputangan yang sebelumnya sudah ada beberapa noda merah yang sudah mengering di sana.

Dengan tubuh lemahnya, Ratu berjalan menuju wastafel dan mencuci kain itu kemudian menyampirkannya di dekat jendela. Sudah beberapa bulan ini, ia memutuskan untuk tinggal di kos dekat kampusnya. Menurutnya ini adalah pilihan terbaik baginya, berpisah dengan orang rumah yang selama ini hanya bisa menjadi racun di kehidupannya. Toh, memang Papa dan Mamanya tak pernah menginginkannya berada di rumah itu. Namun, siapa sangka dengan ia mengambil satu keputusan itu ada ujian berat yang harus ia lalui setelahnya.

Dengan memutuskan untuk hidup sebagai independent-woman, Ratu harus siap menghidupi dirinya sendiri. Ia harus bekerja untuk membiayai hidupnya sehari-hari. Ratu masih bersyukur karena kedua orang tuanya masih mau membiayai kuliahnya. Setidaknya bebannya bisa teringankan karena itu.

Ujian untuk Ratu tak hanya sampai di situ. Satu bulan terakhir ini ia sering sekali izin dari kegiatan kampus karena kondisinya yang tidak sehat. Beberapa kali Ratu pingsan saat kegiatan kampus. Beberapa waktu pula Ratu harus dibawa ke rumah sakit karena ia mimisan terus-menerus. Lalu setelah menjalani beberapa pemeriksaan, dokter memvonis Ratu menderita Leukimia akut.

Sebuah fakta yang menghantam mental Ratu saat itu membuat imunitasnya kian menurun. Semua beban itu ia tanggung sendiri, tak mungkin ia memberitahukan keluarganya.

Toh, mereka juga takkan mempedulikannya, pikirnya saat keinginan untuk memberi kabar orang rumah begitu menggebu.

Kondisi Ratu yang kian lemah dan hanya mendapat pengobatan seadanya membuatnya memutuskan untuk mengambil istirahat dari kuliah. Tapi terkadang ia masih memaksakan diri untuk berangkat ke kampus. Bukan untuk masuk kelasnya, namun untuk melihat wajah Raja. Seseorang yang selama ini ia amati dari kejauhan itu, ternyata diam-diam sudah bersemayam di salah satu relung hatinya.

Hatinya seketika tercerahkan ketika ia melihat senyum Raja. Walaupun saat itu wajah murung Raja masih beberapa kali tertangkap netranya. Tapi saat ini ia bisa simpulkan, Raja perlahan bisa menerima kondisinya saat ini. Walaupun begitu, keinginan Ratu untuk menolong Raja masih sebesar dulu. Ia ingin mengembalikan kehidupan Raja seperti sebelumnya.


“Kamu yakin dengan keputusanmu ini, Ratu?”

“Saya sudah merencanakan ini sejak lama, Dok. Keputusan saya sudah bulat.”

“Tapi kamu perlu tanda tangan persetujuan dari pihak keluargamu, Nak,” ujar dokter tadi masih mencoba merayu Ratu untuk tidak melakukan tindakan ini.

“Bisakah saya meminta Dokter saja yang menandatanginya, sebagai wali saya?”

“Tapi Ratu—.”

“Mereka takkan peduli bahkan jika saya mati sekalipun, Dok. Jadi, saya mohon. Bantu saya mewujudkan mimpi terakhir saya” pinta Ratu dengan wajah memelasnya.

“Baiklah, Ratu. Saya sudah tak bisa apa-apa ketika kamu sudah se-keukeuh itu.”

Ratu tersenyum lega melihat sang dokter akhirnya bersedia membantunya mewujudkan keinginannya.

“Isi form ini dulu ya,” ujar dokter cantik tadi sambil menyerahkan sebuah kertas bertuliskan Surat Pernyataan Persetujuan Donor Organ.

“Baik, Dok.”

“Kamu tidak menyesal melakukan ini, Ratu? Kamu masih terlalu muda untuk melakukan semua ini.”

“Saya yakin, Dok. Setidaknya, walaupun eksistensi saya di dunia ini tidak diakui, saya masih bisa berguna untuk orang lain di kemudian hari.”

“Hatimu begitu mulia, Ratu. Kenapa takdir begitu kejam kepadamu,”ujar dokter cantik itu sambil mengelus pelan pucuk kepala Ratu.

“Tidak, Dok. Saya masih bukan apa-apa dibandingkan dengan Dokter. Dokter yang sudah mau membantu saya secara cuma-cuma, itu adalah tingkat kemuliaan hati yang tak mungkin saya capai.”

Dokter cantik itu tak menanggapi. Ia sudah sering terkesan dengan kata-kata bijak anak itu. Tapi kali ini, kalimat yang keluar dari mulut Ratu malah terasa semakin menyayat hati.

Kenapa takdir begitu kejam terhadap gadis kecil ini?


“Raja! Ada yang ingin bertemu denganmu,” seru teman Raja dari balik jeruji lapangan basket lapangan kampusnya.

“Oh, ya. Siapa?” Yang ditanya hanya mengangkat bahu tanda ia tak tahu.

“Dimana?” tanya Raja kemudian setelah ia mengganti bajunya.

“Di depan gerbang kampus. Sepertinya orang penting.”

“Oke. Thanks, infonya, Bro.”

Raja segera menuju ke tempat yang dimaksud temannya tadi. Dari kejauhan terlihat sosok perempuan dengan tampilannya yang sangat elegan.

Sepertinya memang orang penting, Raja membatin.

“Permisi?”

“Kamu ...,”

“Saya Raja.”

“Oh, ya.”

“Maaf, tapi ada keperluan apa ya? Kalau saya boleh tahu?”

“Ah. Saya hanya ingin menyampaikan amanah dari seseorang.”

“Amanah?” tanya Raja kebingungan.

“Ini untuk kamu, Raja,” ujar perempuan itu sambil menyodorkan dua buah kertas pada Raja.

“Saya sudah mencantumkan kontak saya di dalamnya. Hubungi saya setelah kamu membaca dua surat itu. Kalau begitu, saya permisi dulu.”

Raja hanya mengangguk megiyakan sambil menerima surat-surat itu dengan segala keheranannya. Ia memutuskan untuk membuka surat itu di rumah. Segera ia memasukkan dua surat itu ke dalam tas dan bergegas menuju rumahnya.

Tanpa membersihkan tubuhnya, Raja merogoh tasnya dan mengambil dua surat tadi. Ia benar-benar tak sabar apa isi kertas yang diberikan perempuan cantik tadi.

Ia membuka lipatan kertas pertama. Matanya langsung membelalak melihat judul kertas itu, 'Surat Pernyataan Persetujuan Donor Organ’. Lalu secepat kilat ia segera mengambil kertas lainnya.

Sebuah amplop berwarna lilac, perlahan tangannya membuka segel amplop itu. Genderang hatinya tiba-tiba menderu. Keringat dingin keluar dari tubuhnya. Tangannya menarik pelan kertas berwarna krem yang ada di dalamnya.

Terlihat beberapa bekas usapan bercak merah di beberapa bagian. Tulisan yang tak begitu rapi tapi masih bisa terbaca itu menunjukkan sang penulis susah payah menulisnya.

>To: Raja, my beloved hero

>Hai, Raja. Aku yakin, kamu tidak ingat denganku. Tapi asal kau tahu, sejak saat pertama kita bertemu malam itu, bayangmu tak pernah pergi dalam hidupmu.

>Maaf ....

>Andai saja saat itu kamu tidak menolong Puspus malam itu, mungkin kamu masih bisa memiliki kehidupan sempurnamu. Maaf, Raja. Karena telah membuat hidupmu sengsara setelah bertemu denganku.

>Tapi, Raja .... >Di sisi lain, aku juga berterimakasih padamu. Aku sangat, sangat bersyukur Tuhan memberikan skenario pertemuan ini kita. Karena setelah itu aku tahu, masih ada yang peduli denganku.

>Terima kasih, telah membelaku di rumah sakit saat itu. Kau mungkin takkan tahu betapa senangnya aku ketika kamu berani mengatakan semua itu pada Papa-Mama.

>>Raja .... >Rasa bersalah itu masih tetap ada walaupun kamu mengatakan kamu tidak apa-apa. Tapi wajah murungmu itu sudah mewakili semuanya. Aku tahu kamu rindu semua masa dengan kemilaumu di dalamnya. Aku ingin mengembalikan kilau itu padamu.

>Aku berharap, dengan kilau yang kuberikan padamu ini bisa mengembalikan kembali kehidupan sempurna seorang Raja.

>Raja .... >Nama kita Raja dan Ratu, tapi ternyata tak mengizinkan kita untuk bersama.

>Berbahagialah, Raja. Aku selalu mendoakanmu dari manapun kuberada.

>Your secret admirer, >Ratu

Perpaduan semburat warna oranye dengan birunya langit membuat momen sore itu bak sebuah lukisan pelukis tersohor. Sajian pemandangan senja nan indah yang benar-benar memanjakan mata setiap orang yang melihatnya. Ya, mata mereka, dan Raja bukanlah salah satunya.

Raja, seorang pemuda yang serba bisa. Tak ada satupun hal yang tak bisa dilakukannya. Lelaki yang selalu menjadi top idaman bagi semua wanita di kampusnya. Murid kebanggaan yang selalu dielu-elukan oleh para dosen di manapun mereka berada. Satu-satunya lelaki yang patut menyandang predikat mahasiswa paling bertatenta. Setiap hari selalu ada sisi kampus yang menggaungkan namanya.

Memang benar kata pepatah ‘tak ada yang abadi di dunia’. Begitu pun dengan semua anugerah yang dititipkan Tuhan pada Raja. Semua hal yang dimilikinya itu satu persatu sirna, sejak pertemuannya dengan Ratu. Berawal dari pertemuan itu lah, kehidupan Raja berubah hampir 180 derajat.


“Puspus, ayo sini, turun.” Seorang gadis berkuncir kuda dengan payung di tangan kirinya sedang membujuk kucing kecil yang berada di atas dahan pohon yang cukup tinggi.

“Ayo, Puspus. Kamu pasti bisa. Pelan-pelan, nanti Ratu tangkap.”

Kembali gadis itu membujuk si kucing untuk turun. Tapi, kucing yang dipanggil Puspus itu bahkan tak sedikit pun memberikan respon. Entah karena Puspus takut atau ia memang sudah nyaman berada di sana. Tak ada pergerakan dari Puspus, walaupun kini sekarang tubuhnya sudah basah kuyup karena hujan yang cukup deras saat itu. Ratu sudah hampir putus asa.

Selama satu jam sudah ia berdiri di sana dan merayu Puspus untuk turun dari pohon itu. Ia menyesal karena meninggalkan Puspus sendirian di taman saat dia pergi ke toko grosir. Biasanya Puspus akan selalu mengikuti perintahnya, tapi entah kenapa kali ini ia malah tertarik dengan pohon di dekat taman.

Langit sudah mulai gelap, dan Puspus masih saja betah nangkring di dahan pohon itu. Beberapa kali Ratu mencoba memberanikan diri untuk memanjat, tapi ketakutannya pada ketinggian membuatnya urung untuk melanjutkan langkahnya. Kombinasi hujan dan angin membuat suasana saat itu semakin mencekam. Di taman ini hanya tersisa dia sendiri.

Rasa putus asanya semakin menjadi, Ratu berakhir duduk jongkok di bawah pohon itu. Gadis itu membiarkan beberapa ranting pohon menimpanya. Ia mulai terisak karena merasa tak berdaya. Bahkan untuk menyelamatkan seekor kucing pun ia tak bisa.

“Hei! Kamu tidak apa-apa?”

Ratu terperanjat ketika ada seseorang yang menepuk pelan pundaknya. Netranya menangkap sosok lelaki dengan jaket hitam sedang membungkuk menatapnya.

“Oh, maaf. Aku tidak bermaksud mengagetkanmu.”

“Tidak apa-apa,” jawab Ratu sembari bangkit dari duduknya.

“Hari sudah malam. Tidak baik untuk seorang wanita berada di luar sendirian,” ujar lelaki itu seketika memberi petuah.

“Aku tahu. Tapi aku tak bisa meninggalkan Puspus sendiri di sana.”

Ratu mengatakannya dengan nada sangat pasrah. Ia tak mungkin memberi tahu rumah. Malah yang ada dia akan kena marah, karena ketahuan keluar rumah diam-diam. Jadi, dia memutuskan untuk menunggu sampai entah kapan. Agar dia tidak mendapatkan dobel kemarahan dari orang rumah.

“Puspus?” tanya lelaki tadi. Dalam hatinya ia mulai menebak ....

Apakah cewek ini bisa melihat ‘mereka’?

“Ah, itu Puspus,” sahut Ratu sambil menunjuk ke arah Puspus berada.

Sang lelaki hampir tidak mau melihat ke atas mengikuti arah telunjuk Ratu. Pikirannya sudah bercabang kemana-mana. Tapi sejurus kemudian ia mendengar suara kucing dari atas sana.

Oh, kucing ternyata, lelaki itu membatin.

“Aku tak mungkin pulang tanpanya. Bisa-bisa aku diamuk orang rumah, soalnya Puspus kucing kesayangan mereka.”

“Oh, begitu rupanya. Pegang ini, aku akan mencoba membantu Puspus turun,” ujar lelaki itu sambil memberikan payung yang dipegangnya pada Ratu.

“Benarkah? Terima kasih sebelumnya.” Ratu sampai menunduk karena merasa sangat bersyukur dipertemukan lelaki asing yang baik padanya.

It’s okay. Tunggu, ya.”

Lelaki itu mencoba naik pohon perlahan. Ia sangat lincah menaiki satu persatu dahan pohon. Sampai ia mencapai dahan pohon dimana Puspus berada. Beruntung Puspus bukan kucing yang agresif, dia diam saja ketika tangan lelaki itu berusaha meraihnya.

Ratu sangat lega melihat Puspus sudah berada dalam gendongan lelaki itu. Tinggal satu dahan lagi sebelum mereka sampai ke tanah. Namun naas, tiba-tiba ada sebuah ranting pohon patah yang menimpa mata lelaki itu. Pegangannya pada pohon seketika lepas, dan terjatuh. Ratu berteriak ketika melihat insiden itu. Ia segera menghampiri mereka. Puspus yang langsung berlari ke arahnya segera ia peluk untuk menghangatkannya.

Gosh! Kamu baik-baik saja?” tanyanya setengah berteriak. Tak ada jawaban dari lelaki itu. Ia masih diam sambil memegangi mata kirinya. Ratu panik karena lelaki itu tak meresponnya dan ia semakin panik ketika melihat ada lelehan cairan merah dari mata lelaki yang menolongnya.

“Ya ampun! Matamu berdarah! Ayo kita ke rumah sakit dulu!” Ratu segera menarik lengan lelaki tadi secara paksa. Segera ia memesan taksi online untuk mengantarkan mereka ke rumah sakit terdekat. Mau tak mau kali ini ia harus menghubungi keluarganya. Hal ini sudah bukan sesuatu yang bisa ia atasi seorang diri.

Puspus akhirnya ia titipkan di Vet dekat sekitar rumah sakit, karena tak mungkin ia membawanya serta. Ratu mondar-mandir di depan ruang pemeriksaan. Hatinya sangat gelisah. Saat ini ia harus bersiap menerima kenyataan terburuk. Ia sudah pasrah dengan hukuman apa yang akan ia terima dari Papa dan Mamanya karena masalah ini.

“Ratu!” Telinganya menangkap suara familiar. Sebuah suara bariton yang lebih terdengar seperti sirine peringatan bagi telinga Ratu.

Plak!

Sebuah tamparan menjadi sambutan kedatangan Papa dan Mama. “Kamu ini benar-benar anak tak berguna! Cuma bisa nyusahin saja!”

Kini giliran Mama yang sudah mengangkat tangannya bersiap memberi tamparan kedua, namun sebuah tangan lain mencegahnya.

“Om, Tante, mohon sikapnya untuk dikondisikan. Tidakkah kalian malu banyak pasang mata yang menyaksikan di sini?”

Ratu segera mendongakkan kepala mendengar suara yang dikenalnya.

“Sudah selesai? Bagaimana? Apa kata dokter tadi?” Perhatian Ratu langsung tertuju sepenuhnya pada sang lelaki.

“Aku hanya perlu beristirahat beberapa hari untuk memulihkan luka ini. Bukan luka yang besar. Tenang saja,” jelasnya kemudian.

“Tapi—.”

“Tak usah khawatir. Aku tidak apa-apa.” Sang lelaki menepuk pelan pundak Ratu berusaha meyakinkan.

“Biarkan kami membayar biaya pengobatannya. Bagaimana pun ini kesalahan anak sialan ini!” Papa Ratu mengatakannya sembari menunjuk pada Ratu.

“Baiklah, saya terima bantuannya. Terima kasih, tapi saya mohon perbaiki sikap anda pada anak anda. Tak seharusnya orang tua bersikap seperti itu.”

“Diam saja kau, anak muda! Siapa kamu berani berpetuah saat kamu bahkan tak tahu apa-apa!”

Raja hanya bisa menghela napas. Ia sangat malas berdebat untuk saat ini.

“Saya pamit dulu kalau begitu. Permisi, Om, Tante.”

“Hei, tunggu! Namamu—.”

“Raja. Namaku Raja,” potong Raja sebelum Ratu menyelesaikan pertanyaannya.

Sejak saat itu, Ratu diam-diam memperhatikan Raja dari kejauhan. Ternyata mereka kuliah di kampus yang sama. Di sela-sela kuliah selalu ia sempatkan untuk mengecek kondisi Raja. Mata gadis itu selalu awas, tak sedikitpun gerak-gerik Raja lepas dari jangkauan pandangannya.

Selama itu pun Ratu juga menyadari, bahwa kehidupan Raja lama-kelamaan berubah. Gadis itu mengamati semua perubahan itu dan semuanya gara-gara luka di mata kirinya.

Prestasi Raja menurun karena ia tidak bisa maksimal dalam mengikuti pelajaran di kampus. Ekstrakurikuler yang selama ini menyumbang poin banyak pada prestasi Raja, tak lagi ia ikuti karena keterbatasannya bergerak dengan satu mata. Kharisma Raja juga jauh berkurang karena dengannya mengenakan eye-patch menyebabkan semua orang menganggapnya cacat. Seorang Raja kini sudah tak lagi menjadi Raja bagi semuanya. Predikat Raja yang sempurna seolah dicopot paksa darinya.

Ada beberapa kali Ratu memergoki Raja dengan wajah murungnya. Entah itu di kantin atau ketika Raja sendirian di pojokan perpustakaan. Sebuah ekspresi yang selalu sukses menambah rasa bersalah ketika Ratu melihatnya.

Berulang kali Ratu ingin menyapa Raja. Namun ia selalu urung, ketika hati kecilnya berkata ....

Semua ini terjadi gara-gara kamu. Kamu masih punya muka menemuinya? Plis sadar diri, Ratu!

Tak ada hari yang terlewat tanpa rasa bersalah yang menggelayutinya. Gadis itu sudah tak tahu lagi bagaimana ia bisa menolong Raja.


Uhuk! Uhuk!

Ratu segera meraih saputangan di dekatnya, lalu segera menutup mulut dengan itu agar suara batuknya tak terdengar sampai ke luar ruangan. Bercak merah kembali menodai saputangan yang sebelumnya sudah ada beberapa noda merah yang sudah mengering di sana.

Dengan tubuh lemahnya, Ratu berjalan menuju wastafel dan mencuci kain itu kemudian menyampirkannya di dekat jendela. Sudah beberapa bulan ini, ia memutuskan untuk tinggal di kos dekat kampusnya. Menurutnya ini adalah pilihan terbaik baginya, berpisah dengan orang rumah yang selama ini hanya bisa menjadi racun di kehidupannya. Toh, memang Papa dan Mamanya tak pernah menginginkannya berada di rumah itu. Namun, siapa sangka dengan ia mengambil satu keputusan itu ada ujian berat yang harus ia lalui setelahnya.

Dengan memutuskan untuk hidup sebagai independent-woman, Ratu harus siap menghidupi dirinya sendiri. Ia harus bekerja untuk membiayai hidupnya sehari-hari. Ratu masih bersyukur karena kedua orang tuanya masih mau membiayai kuliahnya. Setidaknya bebannya bisa teringankan karena itu.

Ujian untuk Ratu tak hanya sampai di situ. Satu bulan terakhir ini ia sering sekali izin dari kegiatan kampus karena kondisinya yang tidak sehat. Beberapa kali Ratu pingsan saat kegiatan kampus. Beberapa waktu pula Ratu harus dibawa ke rumah sakit karena ia mimisan terus-menerus. Lalu setelah menjalani beberapa pemeriksaan, dokter memvonis Ratu menderita Leukimia akut.

Sebuah fakta yang menghantam mental Ratu saat itu membuat imunitasnya kian menurun. Semua beban itu ia tanggung sendiri, tak mungkin ia memberitahukan keluarganya.

Toh, mereka juga takkan mempedulikannya, pikirnya saat keinginan untuk memberi kabar orang rumah begitu menggebu.

Kondisi Ratu yang kian lemah dan hanya mendapat pengobatan seadanya membuatnya memutuskan untuk mengambil istirahat dari kuliah. Tapi terkadang ia masih memaksakan diri untuk berangkat ke kampus. Bukan untuk masuk kelasnya, namun untuk melihat wajah Raja. Seseorang yang selama ini ia amati dari kejauhan itu, ternyata diam-diam sudah bersemayam di salah satu relung hatinya.

Hatinya seketika tercerahkan ketika ia melihat senyum Raja. Walaupun saat itu wajah murung Raja masih beberapa kali tertangkap netranya. Tapi saat ini ia bisa simpulkan, Raja perlahan bisa menerima kondisinya saat ini. Walaupun begitu, keinginan Ratu untuk menolong Raja masih sebesar dulu. Ia ingin mengembalikan kehidupan Raja seperti sebelumnya.


“Kamu yakin dengan keputusanmu ini, Ratu?”

“Saya sudah merencanakan ini sejak lama, Dok. Keputusan saya sudah bulat.”

“Tapi kamu perlu tanda tangan persetujuan dari pihak keluargamu, Nak,” ujar dokter tadi masih mencoba merayu Ratu untuk tidak melakukan tindakan ini.

“Bisakah saya meminta Dokter saja yang menandatanginya, sebagai wali saya?”

“Tapi Ratu—.”

“Mereka takkan peduli bahkan jika saya mati sekalipun, Dok. Jadi, saya mohon. Bantu saya mewujudkan mimpi terakhir saya” pinta Ratu dengan wajah memelasnya.

“Baiklah, Ratu. Saya sudah tak bisa apa-apa ketika kamu sudah se-keukeuh itu.”

Ratu tersenyum lega melihat sang dokter akhirnya bersedia membantunya mewujudkan keinginannya.

“Isi form ini dulu ya,” ujar dokter cantik tadi sambil menyerahkan sebuah kertas bertuliskan Surat Pernyataan Persetujuan Donor Organ.

“Baik, Dok.”

“Kamu tidak menyesal melakukan ini, Ratu? Kamu masih terlalu muda untuk melakukan semua ini.”

“Saya yakin, Dok. Setidaknya, walaupun eksistensi saya di dunia ini tidak diakui, saya masih bisa berguna untuk orang lain di kemudian hari.”

“Hatimu begitu mulia, Ratu. Kenapa takdir begitu kejam kepadamu,”ujar dokter cantik itu sambil mengelus pelan pucuk kepala Ratu.

“Tidak, Dok. Saya masih bukan apa-apa dibandingkan dengan Dokter. Dokter yang sudah mau membantu saya secara cuma-cuma, itu adalah tingkat kemuliaan hati yang tak mungkin saya capai.”

Dokter cantik itu tak menanggapi. Ia sudah sering terkesan dengan kata-kata bijak anak itu. Tapi kali ini, kalimat yang keluar dari mulut Ratu malah terasa semakin menyayat hati.

Kenapa takdir begitu kejam terhadap gadis kecil ini?


“Raja! Ada yang ingin bertemu denganmu,” seru teman Raja dari balik jeruji lapangan basket lapangan kampusnya.

“Oh, ya. Siapa?” Yang ditanya hanya mengangkat bahu tanda ia tak tahu.

“Dimana?” tanya Raja kemudian setelah ia mengganti bajunya.

“Di depan gerbang kampus. Sepertinya orang penting.”

“Oke. Thanks, infonya, Bro.”

Raja segera menuju ke tempat yang dimaksud temannya tadi. Dari kejauhan terlihat sosok perempuan dengan tampilannya yang sangat elegan.

Sepertinya memang orang penting, Raja membatin.

“Permisi?”

“Kamu ...,”

“Saya Raja.”

“Oh, ya.”

“Maaf, tapi ada keperluan apa ya? Kalau saya boleh tahu?”

“Ah. Saya hanya ingin menyampaikan amanah dari seseorang.”

“Amanah?” tanya Raja kebingungan.

“Ini untuk kamu, Raja,” ujar perempuan itu sambil menyodorkan dua buah kertas pada Raja.

“Saya sudah mencantumkan kontak saya di dalamnya. Hubungi saya setelah kamu membaca dua surat itu. Kalau begitu, saya permisi dulu.”

Raja hanya mengangguk megiyakan sambil menerima surat-surat itu dengan segala keheranannya. Ia memutuskan untuk membuka surat itu di rumah. Segera ia memasukkan dua surat itu ke dalam tas dan bergegas menuju rumahnya.

Tanpa membersihkan tubuhnya, Raja merogoh tasnya dan mengambil dua surat tadi. Ia benar-benar tak sabar apa isi kertas yang diberikan perempuan cantik tadi.

Ia membuka lipatan kertas pertama. Matanya langsung membelalak melihat judul kertas itu, 'Surat Pernyataan Persetujuan Donor Organ’. Lalu secepat kilat ia segera mengambil kertas lainnya.

Sebuah amplop berwarna lilac, perlahan tangannya membuka segel amplop itu. Genderang hatinya tiba-tiba menderu. Keringat dingin keluar dari tubuhnya. Tangannya menarik pelan kertas berwarna krem yang ada di dalamnya.

Terlihat beberapa bekas usapan bercak merah di beberapa bagian. Tulisan yang tak begitu rapi tapi masih bisa terbaca itu menunjukkan sang penulis susah payah menulisnya.

>To: Raja, my beloved hero

>Hai, Raja. Aku yakin, kamu tidak ingat denganku. Tapi asal kau tahu, sejak saat pertama kita bertemu malam itu, bayangmu tak pernah pergi dalam hidupmu.

>Maaf ....

>Andai saja saat itu kamu tidak menolong Puspus malam itu, mungkin kamu masih bisa memiliki kehidupan sempurnamu. Maaf, Raja. Karena telah membuat hidupmu sengsara setelah bertemu denganku.

>Tapi, Raja .... >Di sisi lain, aku juga berterimakasih padamu. Aku sangat, sangat bersyukur Tuhan memberikan skenario pertemuan ini kita. Karena setelah itu aku tahu, masih ada yang peduli denganku.

>Terima kasih, telah membelaku di rumah sakit saat itu. Kau mungkin takkan tahu betapa senangnya aku ketika kamu berani mengatakan semua itu pada Papa-Mama.

>Raja .... >Rasa bersalah itu masih tetap ada walaupun kamu mengatakan kamu tidak apa-apa. Tapi wajah murungmu itu sudah mewakili semuanya. Aku tahu kamu rindu semua masa dengan kemilaumu di dalamnya. Aku ingin mengembalikan kilau itu padamu.

>Aku berharap, dengan kilau yang kuberikan padamu ini bisa mengembalikan kembali kehidupan sempurna seorang Raja.

>Raja .... >Nama kita Raja dan Ratu, tapi ternyata tak mengizinkan kita untuk bersama.

>Berbahagialah, Raja. Aku selalu mendoakanmu dari manapun kuberada.

>Your secret admirer, >Ratu

Perpaduan semburat warna oranye dengan birunya langit membuat momen sore itu bak sebuah lukisan pelukis tersohor. Sajian pemandangan senja nan indah yang benar-benar memanjakan mata setiap orang yang melihatnya. Ya, mata mereka, dan Raja bukanlah salah satunya.

Raja, seorang pemuda yang serba bisa. Tak ada satupun hal yang tak bisa dilakukannya. Lelaki yang selalu menjadi top idaman bagi semua wanita di kampusnya. Murid kebanggaan yang selalu dielu-elukan oleh para dosen di manapun mereka berada. Satu-satunya lelaki yang patut menyandang predikat mahasiswa paling bertatenta. Setiap hari selalu ada sisi kampus yang menggaungkan namanya.

Memang benar kata pepatah ‘tak ada yang abadi di dunia’. Begitu pun dengan semua anugerah yang dititipkan Tuhan pada Raja. Semua hal yang dimilikinya itu satu persatu sirna, sejak pertemuannya dengan Ratu. Berawal dari pertemuan itu lah, kehidupan Raja berubah hampir 180 derajat.


“Puspus, ayo sini, turun.” Seorang gadis berkuncir kuda dengan payung di tangan kirinya sedang membujuk kucing kecil yang berada di atas dahan pohon yang cukup tinggi.

“Ayo, Puspus. Kamu pasti bisa. Pelan-pelan, nanti Ratu tangkap.”

Kembali gadis itu membujuk si kucing untuk turun. Tapi, kucing yang dipanggil Puspus itu bahkan tak sedikit pun memberikan respon. Entah karena Puspus takut atau ia memang sudah nyaman berada di sana. Tak ada pergerakan dari Puspus, walaupun kini sekarang tubuhnya sudah basah kuyup karena hujan yang cukup deras saat itu. Ratu sudah hampir putus asa.

Selama satu jam sudah ia berdiri di sana dan merayu Puspus untuk turun dari pohon itu. Ia menyesal karena meninggalkan Puspus sendirian di taman saat dia pergi ke toko grosir. Biasanya Puspus akan selalu mengikuti perintahnya, tapi entah kenapa kali ini ia malah tertarik dengan pohon di dekat taman.

Langit sudah mulai gelap, dan Puspus masih saja betah nangkring di dahan pohon itu. Beberapa kali Ratu mencoba memberanikan diri untuk memanjat, tapi ketakutannya pada ketinggian membuatnya urung untuk melanjutkan langkahnya. Kombinasi hujan dan angin membuat suasana saat itu semakin mencekam. Di taman ini hanya tersisa dia sendiri.

Rasa putus asanya semakin menjadi, Ratu berakhir duduk jongkok di bawah pohon itu. Gadis itu membiarkan beberapa ranting pohon menimpanya. Ia mulai terisak karena merasa tak berdaya. Bahkan untuk menyelamatkan seekor kucing pun ia tak bisa.

“Hei! Kamu tidak apa-apa?”

Ratu terperanjat ketika ada seseorang yang menepuk pelan pundaknya. Netranya menangkap sosok lelaki dengan jaket hitam sedang membungkuk menatapnya.

“Oh, maaf. Aku tidak bermaksud mengagetkanmu.”

“Tidak apa-apa,” jawab Ratu sembari bangkit dari duduknya.

“Hari sudah malam. Tidak baik untuk seorang wanita berada di luar sendirian,” ujar lelaki itu seketika memberi petuah.

“Aku tahu. Tapi aku tak bisa meninggalkan Puspus sendiri di sana.”

Ratu mengatakannya dengan nada sangat pasrah. Ia tak mungkin memberi tahu rumah. Malah yang ada dia akan kena marah, karena ketahuan keluar rumah diam-diam. Jadi, dia memutuskan untuk menunggu sampai entah kapan. Agar dia tidak mendapatkan dobel kemarahan dari orang rumah.

“Puspus?” tanya lelaki tadi. Dalam hatinya ia mulai menebak ....

Apakah cewek ini bisa melihat ‘mereka’?

“Ah, itu Puspus,” sahut Ratu sambil menunjuk ke arah Puspus berada.

Sang lelaki hampir tidak mau melihat ke atas mengikuti arah telunjuk Ratu. Pikirannya sudah bercabang kemana-mana. Tapi sejurus kemudian ia mendengar suara kucing dari atas sana.

Oh, kucing ternyata, lelaki itu membatin.

“Aku tak mungkin pulang tanpanya. Bisa-bisa aku diamuk orang rumah, soalnya Puspus kucing kesayangan mereka.”

“Oh, begitu rupanya. Pegang ini, aku akan mencoba membantu Puspus turun,” ujar lelaki itu sambil memberikan payung yang dipegangnya pada Ratu.

“Benarkah? Terima kasih sebelumnya.” Ratu sampai menunduk karena merasa sangat bersyukur dipertemukan lelaki asing yang baik padanya.

It’s okay. Tunggu, ya.”

Lelaki itu mencoba naik pohon perlahan. Ia sangat lincah menaiki satu persatu dahan pohon. Sampai ia mencapai dahan pohon dimana Puspus berada. Beruntung Puspus bukan kucing yang agresif, dia diam saja ketika tangan lelaki itu berusaha meraihnya.

Ratu sangat lega melihat Puspus sudah berada dalam gendongan lelaki itu. Tinggal satu dahan lagi sebelum mereka sampai ke tanah. Namun naas, tiba-tiba ada sebuah ranting pohon patah yang menimpa mata lelaki itu. Pegangannya pada pohon seketika lepas, dan terjatuh. Ratu berteriak ketika melihat insiden itu. Ia segera menghampiri mereka. Puspus yang langsung berlari ke arahnya segera ia peluk untuk menghangatkannya.

Gosh! Kamu baik-baik saja?” tanyanya setengah berteriak. Tak ada jawaban dari lelaki itu. Ia masih diam sambil memegangi mata kirinya. Ratu panik karena lelaki itu tak meresponnya dan ia semakin panik ketika melihat ada lelehan cairan merah dari mata lelaki yang menolongnya.

“Ya ampun! Matamu berdarah! Ayo kita ke rumah sakit dulu!” Ratu segera menarik lengan lelaki tadi secara paksa. Segera ia memesan taksi online untuk mengantarkan mereka ke rumah sakit terdekat. Mau tak mau kali ini ia harus menghubungi keluarganya. Hal ini sudah bukan sesuatu yang bisa ia atasi seorang diri.

Puspus akhirnya ia titipkan di Vet dekat sekitar rumah sakit, karena tak mungkin ia membawanya serta. Ratu mondar-mandir di depan ruang pemeriksaan. Hatinya sangat gelisah. Saat ini ia harus bersiap menerima kenyataan terburuk. Ia sudah pasrah dengan hukuman apa yang akan ia terima dari Papa dan Mamanya karena masalah ini.

“Ratu!” Telinganya menangkap suara familiar. Sebuah suara bariton yang lebih terdengar seperti sirine peringatan bagi telinga Ratu.

Plak!

Sebuah tamparan menjadi sambutan kedatangan Papa dan Mama. “Kamu ini benar-benar anak tak berguna! Cuma bisa nyusahin saja!”

Kini giliran Mama yang sudah mengangkat tangannya bersiap memberi tamparan kedua, namun sebuah tangan lain mencegahnya.

“Om, Tante, mohon sikapnya untuk dikondisikan. Tidakkah kalian malu banyak pasang mata yang menyaksikan di sini?”

Ratu segera mendongakkan kepala mendengar suara yang dikenalnya.

“Sudah selesai? Bagaimana? Apa kata dokter tadi?” Perhatian Ratu langsung tertuju sepenuhnya pada sang lelaki.

“Aku hanya perlu beristirahat beberapa hari untuk memulihkan luka ini. Bukan luka yang besar. Tenang saja,” jelasnya kemudian.

“Tapi—.”

“Tak usah khawatir. Aku tidak apa-apa.” Sang lelaki menepuk pelan pundak Ratu berusaha meyakinkan.

“Biarkan kami membayar biaya pengobatannya. Bagaimana pun ini kesalahan anak sialan ini!” Papa Ratu mengatakannya sembari menunjuk pada Ratu.

“Baiklah, saya terima bantuannya. Terima kasih, tapi saya mohon perbaiki sikap anda pada anak anda. Tak seharusnya orang tua bersikap seperti itu.”

“Diam saja kau, anak muda! Siapa kamu berani berpetuah saat kamu bahkan tak tahu apa-apa!”

Raja hanya bisa menghela napas. Ia sangat malas berdebat untuk saat ini.

“Saya pamit dulu kalau begitu. Permisi, Om, Tante.”

“Hei, tunggu! Namamu—.”

“Raja. Namaku Raja,” potong Raja sebelum Ratu menyelesaikan pertanyaannya.

Sejak saat itu, Ratu diam-diam memperhatikan Raja dari kejauhan. Ternyata mereka kuliah di kampus yang sama. Di sela-sela kuliah selalu ia sempatkan untuk mengecek kondisi Raja. Mata gadis itu selalu awas, tak sedikitpun gerak-gerik Raja lepas dari jangkauan pandangannya.

Selama itu pun Ratu juga menyadari, bahwa kehidupan Raja lama-kelamaan berubah. Gadis itu mengamati semua perubahan itu dan semuanya gara-gara luka di mata kirinya.

Prestasi Raja menurun karena ia tidak bisa maksimal dalam mengikuti pelajaran di kampus. Ekstrakurikuler yang selama ini menyumbang poin banyak pada prestasi Raja, tak lagi ia ikuti karena keterbatasannya bergerak dengan satu mata. Kharisma Raja juga jauh berkurang karena dengannya mengenakan eye-patch menyebabkan semua orang menganggapnya cacat. Seorang Raja kini sudah tak lagi menjadi Raja bagi semuanya. Predikat Raja yang sempurna seolah dicopot paksa darinya.

Ada beberapa kali Ratu memergoki Raja dengan wajah murungnya. Entah itu di kantin atau ketika Raja sendirian di pojokan perpustakaan. Sebuah ekspresi yang selalu sukses menambah rasa bersalah ketika Ratu melihatnya.

Berulang kali Ratu ingin menyapa Raja. Namun ia selalu urung, ketika hati kecilnya berkata ....

Semua ini terjadi gara-gara kamu. Kamu masih punya muka menemuinya? Plis sadar diri, Ratu!

Tak ada hari yang terlewat tanpa rasa bersalah yang menggelayutinya. Gadis itu sudah tak tahu lagi bagaimana ia bisa menolong Raja.


Uhuk! Uhuk!

Ratu segera meraih saputangan di dekatnya, lalu segera menutup mulut dengan itu agar suara batuknya tak terdengar sampai ke luar ruangan. Bercak merah kembali menodai saputangan yang sebelumnya sudah ada beberapa noda merah yang sudah mengering di sana.

Dengan tubuh lemahnya, Ratu berjalan menuju wastafel dan mencuci kain itu kemudian menyampirkannya di dekat jendela. Sudah beberapa bulan ini, ia memutuskan untuk tinggal di kos dekat kampusnya. Menurutnya ini adalah pilihan terbaik baginya, berpisah dengan orang rumah yang selama ini hanya bisa menjadi racun di kehidupannya. Toh, memang Papa dan Mamanya tak pernah menginginkannya berada di rumah itu. Namun, siapa sangka dengan ia mengambil satu keputusan itu ada ujian berat yang harus ia lalui setelahnya.

Dengan memutuskan untuk hidup sebagai independent-woman, Ratu harus siap menghidupi dirinya sendiri. Ia harus bekerja untuk membiayai hidupnya sehari-hari. Ratu masih bersyukur karena kedua orang tuanya masih mau membiayai kuliahnya. Setidaknya bebannya bisa teringankan karena itu.

Ujian untuk Ratu tak hanya sampai di situ. Satu bulan terakhir ini ia sering sekali izin dari kegiatan kampus karena kondisinya yang tidak sehat. Beberapa kali Ratu pingsan saat kegiatan kampus. Beberapa waktu pula Ratu harus dibawa ke rumah sakit karena ia mimisan terus-menerus. Lalu setelah menjalani beberapa pemeriksaan, dokter memvonis Ratu menderita Leukimia akut.

Sebuah fakta yang menghantam mental Ratu saat itu membuat imunitasnya kian menurun. Semua beban itu ia tanggung sendiri, tak mungkin ia memberitahukan keluarganya.

Toh, mereka juga takkan mempedulikannya, pikirnya saat keinginan untuk memberi kabar orang rumah begitu menggebu.

Kondisi Ratu yang kian lemah dan hanya mendapat pengobatan seadanya membuatnya memutuskan untuk mengambil istirahat dari kuliah. Tapi terkadang ia masih memaksakan diri untuk berangkat ke kampus. Bukan untuk masuk kelasnya, namun untuk melihat wajah Raja. Seseorang yang selama ini ia amati dari kejauhan itu, ternyata diam-diam sudah bersemayam di salah satu relung hatinya.

Hatinya seketika tercerahkan ketika ia melihat senyum Raja. Walaupun saat itu wajah murung Raja masih beberapa kali tertangkap netranya. Tapi saat ini ia bisa simpulkan, Raja perlahan bisa menerima kondisinya saat ini. Walaupun begitu, keinginan Ratu untuk menolong Raja masih sebesar dulu. Ia ingin mengembalikan kehidupan Raja seperti sebelumnya.


“Kamu yakin dengan keputusanmu ini, Ratu?”

“Saya sudah merencanakan ini sejak lama, Dok. Keputusan saya sudah bulat.”

“Tapi kamu perlu tanda tangan persetujuan dari pihak keluargamu, Nak,” ujar dokter tadi masih mencoba merayu Ratu untuk tidak melakukan tindakan ini.

“Bisakah saya meminta Dokter saja yang menandatanginya, sebagai wali saya?”

“Tapi Ratu—.”

“Mereka takkan peduli bahkan jika saya mati sekalipun, Dok. Jadi, saya mohon. Bantu saya mewujudkan mimpi terakhir saya” pinta Ratu dengan wajah memelasnya.

“Baiklah, Ratu. Saya sudah tak bisa apa-apa ketika kamu sudah se-keukeuh itu.”

Ratu tersenyum lega melihat sang dokter akhirnya bersedia membantunya mewujudkan keinginannya.

“Isi form ini dulu ya,” ujar dokter cantik tadi sambil menyerahkan sebuah kertas bertuliskan Surat Pernyataan Persetujuan Donor Organ.

“Baik, Dok.”

“Kamu tidak menyesal melakukan ini, Ratu? Kamu masih terlalu muda untuk melakukan semua ini.”

“Saya yakin, Dok. Setidaknya, walaupun eksistensi saya di dunia ini tidak diakui, saya masih bisa berguna untuk orang lain di kemudian hari.”

“Hatimu begitu mulia, Ratu. Kenapa takdir begitu kejam kepadamu,”ujar dokter cantik itu sambil mengelus pelan pucuk kepala Ratu.

“Tidak, Dok. Saya masih bukan apa-apa dibandingkan dengan Dokter. Dokter yang sudah mau membantu saya secara cuma-cuma, itu adalah tingkat kemuliaan hati yang tak mungkin saya capai.”

Dokter cantik itu tak menanggapi. Ia sudah sering terkesan dengan kata-kata bijak anak itu. Tapi kali ini, kalimat yang keluar dari mulut Ratu malah terasa semakin menyayat hati.

Kenapa takdir begitu kejam terhadap gadis kecil ini?


“Raja! Ada yang ingin bertemu denganmu,” seru teman Raja dari balik jeruji lapangan basket lapangan kampusnya.

“Oh, ya. Siapa?” Yang ditanya hanya mengangkat bahu tanda ia tak tahu.

“Dimana?” tanya Raja kemudian setelah ia mengganti bajunya.

“Di depan gerbang kampus. Sepertinya orang penting.”

“Oke. Thanks, infonya, Bro.”

Raja segera menuju ke tempat yang dimaksud temannya tadi. Dari kejauhan terlihat sosok perempuan dengan tampilannya yang sangat elegan.

Sepertinya memang orang penting, Raja membatin.

“Permisi?”

“Kamu ...,”

“Saya Raja.”

“Oh, ya.”

“Maaf, tapi ada keperluan apa ya? Kalau saya boleh tahu?”

“Ah. Saya hanya ingin menyampaikan amanah dari seseorang.”

“Amanah?” tanya Raja kebingungan.

“Ini untuk kamu, Raja,” ujar perempuan itu sambil menyodorkan dua buah kertas pada Raja.

“Saya sudah mencantumkan kontak saya di dalamnya. Hubungi saya setelah kamu membaca dua surat itu. Kalau begitu, saya permisi dulu.”

Raja hanya mengangguk megiyakan sambil menerima surat-surat itu dengan segala keheranannya. Ia memutuskan untuk membuka surat itu di rumah. Segera ia memasukkan dua surat itu ke dalam tas dan bergegas menuju rumahnya.

Tanpa membersihkan tubuhnya, Raja merogoh tasnya dan mengambil dua surat tadi. Ia benar-benar tak sabar apa isi kertas yang diberikan perempuan cantik tadi.

Ia membuka lipatan kertas pertama. Matanya langsung membelalak melihat judul kertas itu, 'Surat Pernyataan Persetujuan Donor Organ’. Lalu secepat kilat ia segera mengambil kertas lainnya.

Sebuah amplop berwarna lilac, perlahan tangannya membuka segel amplop itu. Genderang hatinya tiba-tiba menderu. Keringat dingin keluar dari tubuhnya. Tangannya menarik pelan kertas berwarna krem yang ada di dalamnya.

Terlihat beberapa bekas usapan bercak merah di beberapa bagian. Tulisan yang tak begitu rapi tapi masih bisa terbaca itu menunjukkan sang penulis susah payah menulisnya.

*To: Raja, my beloved hero Hai, Raja. Aku yakin, kamu tidak ingat denganku. Tapi asal kau tahu, sejak saat pertama kita bertemu malam itu, bayangmu tak pernah pergi dalam hidupmu.

Maaf ....

Andai saja saat itu kamu tidak menolong Puspus malam itu, mungkin kamu masih bisa memiliki kehidupan sempurnamu. Maaf, Raja. Karena telah membuat hidupmu sengsara setelah bertemu denganku.

Tapi, Raja ....

Di sisi lain, aku juga berterimakasih padamu. Aku sangat, sangat bersyukur Tuhan memberikan skenario pertemuan ini kita. Karena setelah itu aku tahu, masih ada yang peduli denganku.

Terima kasih, telah membelaku di rumah sakit saat itu. Kau mungkin takkan tahu betapa senangnya aku ketika kamu berani mengatakan semua itu pada Papa-Mama.

Raja .... Rasa bersalah itu masih tetap ada walaupun kamu mengatakan kamu tidak apa-apa. Tapi wajah murungmu itu sudah mewakili semuanya. Aku tahu kamu rindu semua masa dengan kemilaumu di dalamnya. Aku ingin mengembalikan kilau itu padamu.

Aku berharap, dengan kilau yang kuberikan padamu ini bisa mengembalikan kembali kehidupan sempurna seorang Raja.

Raja .... Nama kita Raja dan Ratu, tapi ternyata tak mengizinkan kita untuk bersama.

Berbahagialah, Raja. Aku selalu mendoakanmu dari manapun kuberada.

Yours secret admirer, Ratu*

Tok ….

Tok ….

Tok ….

Sudah hampir lima menit dan ketukan di pintu itu masih terdengar. Ketukan lemah tak bertenaga yang berjeda satu detik di tiap ketukannya.

Tok tok ….

Tok tok ….

Tok tok ….

Kini ketukan itu berganti pola. Namun, jeda di antara ketukan masih sama. Adanya jeda yang menambah suasana malam itu semakin mencekam.

Tok tok tok ….

Tok tok tok ….

Tok tok tok ….

Kembali ketukan itu berganti pola. Namun kini, ketukan itu berangsur samar dan kemudian menghilang.

“Nan, Keenan. Udah ilang tuh suaranya.”

Sian berbisik sembari mengintip dari balik selimut yang sejak tadi ia gunakan untuk menutupinya seluruh badannya.

“Eh udah tiga kali beneran kan ya?” tanya Keenan memastikan.

“Udah sih kata kupingku.”

“Cek gih, Nan,” perintah Sian yang masih tak beranjak dari posisi tidurnya.

“Ih ogah! Lo aja. Gue gak mau ambil resiko ya.”

“Ah ya juga. Ntar lo pingsan, gue ikutan berabe,” Sian mencoba untuk berpikir jernih, sebelum akhirnya ia berkata, “Ya udah, kita lanjut tidur aja kalo gitu.”

“Nah, ide brilian.” Keenan langsung menyetujui usulan karibnya itu. Sekarang jam satu dini hari, dan keputusan itu memang paling tepat untuk dilakukan oleh mereka saat ini.


“Kok lo gak percaya kita sih, Bang?” protes Keenan pada Raven, pemilik kos Hepi Fam.

No evidence means hoax. Gue butuh bukti, Nan. Dan buat gue, penjelasan kalian tuh nggak ada yang masuk di akal,” tolak Raven untuk kesekian kalinya.

“Ya ampun, Bang. Kita tuh udah coba berbagai cara buat ngerekam kejadian itu. Tapi mesti berakhir pagi harinya semua rekaman itu hilang.”

“Ini lagi hmmm. Lo kenapa ikut-ikutan ngeyel gini sih, Yan? Nggak biasanya lo kayak gini. Heran gue.”

“Yaaa karena gue ada di sana pas kejadian, Bang. Lo lupa apa gimana sih? Gue kan sekamar sama Keenan, Bang Raven.”

“Oh, iya ya. Dah ah. Gue mau berangkat kerja. Bisa telat gue kelamaan dengerin ocehan absurd kalian.”

Ini sudah ketiga kalinya Raven mendapat laporan dari Keenan dan Sian tentang kejadian janggal di kos-kosannya. Laporan-laporan serupa tanpa bukti yang nyata. Bagi seorang Raven yang selalu berpatok pada data, hal seperti itu sangat sulit untuk dipercaya.


Krieeet ....

Krieeet ....

“Sian ….”

“Iya, gue denger,” jawab Sian yang sudah tahu maksud Keenan memanggilnya.

“Tapi malam ini beda ya, Yan?”

Sian tak menjawab, dia hanya makin merapatkan dirinya ke tubuh Keenan. Dua lelaki muda itu meringkuk di pojokan kamar mereka. Suara yang mereka dengar malam itu berbeda dari tiga malam sebelumnya.

Setiap malam Jumat tiba, biasanya mereka akan mendengar ketukan-ketukan di pintu kamar mereka. Tapi malam ini, bukan ketukan melainkan suara cakaran yang mereka dengar dari luar sana. Suara kuku tajam yang bergesekan dengan pintu kayu. Ketakutan Keenan dan Sian semakin bertambah. Malam ini mereka rasakan lebih mencekam dari malam-malam sebelumnya.


“Heh, kalian kalo kesel sama gue gak gini juga dong caranya. Gue yang rugi kalo gini,” omel Raven pagi itu. Dia kaget setengah mati melihat ada banyak bekas cakaran di pintu kos kamar Keenan dan Sian.

“Kalo sekarang ini gue bilang itu bukan kerjaan gue atau Keenan, lo bakal percaya nggak, Bang?” Sian bertanya dengan sedikit kesal.

“Bukan kita yang ngelakuin itu, Bang. Ngapain coba kalo dipikir? Nggak ada untungnya di kita. Malah adanya bakal nyusahin, karena kudu keluar cuan buat benerin ini pintu,” jelas Keenan berusaha tenang untuk tidak tersulut emosi.

Raven hanya bisa diam. Otaknya sedang mencerna semua kejadian yang terjadi di kosnya akhir-akhir ini. Pasalnya selama empat tahun dia mengelola kos ini, tak ada hal aneh yang terjadi. Baru setelah Keenan dan Sian, teman kuliahnya itu menempati kamar 13, laporan demi laporan di luar nalar tak absen ia dapatkan setiap minggunya.

Apakah 'mereka' benar-benar ada? Raven membatin.

“Kalo Bang Raven masih nggak percaya dan nggak mau nurutin permintaan kita buat ngedatengin orang pinter buat ngebersihin kos lo, gue sama Keenan bakal fix pindah sebelum malam Jumat minggu ini.” Sian melenggang pergi setelah mengatakan ancamannya itu.

“Sori, Bang. Tapi itu udah keputusan bulet gue sama Sian. Kita nggak mau ambil resiko yang kita sendiri nggak tau bakal gimana nantinya,” ujar Keenan mencoba memahamkan sebelum ia menyusul Sian meninggalkan pemilik kos muda itu tercenung seorang diri.


Siang itu Keenan dan Sian mendapatkan tugas mengaransemen ulang lagu dari dosen musik mereka. Mereka meminta bantuan Yudha, kakak tingkat yang terkenal mahir di bidang musik untuk mengajari mereka. Karena ini akhir bulan dan mereka sama-sama belum mendapatkan jatah pesangon dari orang tua, akhirnya mereka memutuskan untuk mengerjakan tugas di kos Hepi Fam.

Rencananya mereka akan mengerjakan di balkon kamar. Ya, setiap kamar di Hepi Fam memiliki sebuah balkon untuk bersantai. Tapi mereka berakhir mengerjakannya di ruang tengah karena permintaan Yudha yang tiba-tiba.

“Uhm … Sian, Keenan, kita ngerjain di sini aja gimana?” ujar Yudha ketika mereka sampai di ruang tengah. Sian yang sudah mengeluarkan kunci kamar dan bersiap membuka pintu berhenti melakukan aktivitasnya.

Yudha ternyata sudah menghentikan langkahnya sedari tadi. Ia tertinggal jauh di belakang ketika Sian dan Keenan sudah berada di depan pintu kamar. Mereka segera berbalik menghampiri Yudha yang tak beranjak dari tempatnya berdiri.

“Eh? Kenapa, Bang? Enakan di balkon kamar Bang kalo ngerjain tugas. Di sini panas.” tanya Keenan. Yaang ditanya masih diam tak merespon.

“Lo kenapa deh, Bang? Sakit? Muka lo pucet banget sumpah. Yuk istirahat di kamar dulu aja,” ujar Sian khawatir sambil menarik lengan Yudhan.

“Gue … eng-nggak apa-apa. Udah, kita ngerjain di sini aja ya. Atau mau di angkringan depan juga nggak apa-apa. Asal jangan di kamar plis.”

“Hm oke deh. Kita manut aja kalo gitu. Asal Bang Yudha nyaman aja.” Sian dan Keenan akhirnya hanya bisa setuju mengiyakan.


Dan di sinilah mereka sekarang, mengerjakan tugas di angkringan dengan ditemani kopi dan mendoan.

“Bang, jujur deh. Tadi lo kenapa?” Sian yang masih khawatir dengan Yudha akhirnya mengeluarkan uneg-unegnya.

“Lo beneran nggak sakit kan, Bang? Gue merasa berdosa nih ngerepotin orang sakit,” sambung Keenan yang tak kalah khawatirnya.

“Gue nggak sakit kok, cuma ….”

“Cuma ?” potong Sian tak sabar.

“Tadi, gue liat sesuatu di depan kamar kalian ….”

Suasana mendadak hening. Mereka bertiga langsung sibuk dengan pikirannya masing-masing.

“Lo … bisa liat, Bang?” tanya Keenan memecah keheningan di antara mereka.

“Padahal asumsi gue lo tuh salah satu senior paling penakut, Bang,” tukas Sian membeberkan fakta yang selama ini selalu menggaung di seantero kampus.

“Yaaa emang sih. Gue akuin kalo gue tuh emang penakut. Tapi gue juga nggak bisa protes ke Tuhan yang udah ngasih kemampuan ini ke gue, kan?” Yudha mendesah pasrah. Bukan inginnya memiliki kemampuan bisa melihat ‘mereka’, tapi ia sebagai hamba bisa apa.

“Karena gue penakut, makanya tiap kali liat ‘mereka’ gue cuma bisa diem. Kayak tadi.”

“Oke. Jadi lo mendadak pucet gitu gara-gara ketakutan liat sesuatu di depan kamar kita?” Yudha mengangguk mengiyakan.

“Lo liat apa Bang btw?” tanya Keenan masih penasaran.

“Ada mbak K. Lagi duduk di samping pintu kamar kalian. Dia duduk sambil nekuk lutut gitu, tangannya ditaruh di atas lutut. Kepalanya nunduk, rambut panjangnya sampai kaki. Terus ….”

“Udah ah udah! Detil amat sih Bang ngejelasinnya. Merinding mendadak nih gue.” Keenan langsung memotong penjelasan Yudha, bulu kuduknya seketika berdiri mendengar pemaparan Yudha tentang sosok itu.

“Kita kayaknya bener-bener kudu pindah sih, Nan, kalo gini ceritanya,” simpul Sian memantapkan hatinya. Perasaannya semakin tidak enak setelah mendengar penuturan Yudha.


Akhirnya setelah berunding cukup sengit, Raven membiarkan mereka berdua untuk pindah. Tapi ia tidak bisa begitu saja melepas mereka. Raven masih mengizinkan Sian dan Keenan untuk tetap tinggal tanpa membayar biaya selama seminggu sampai mereka mendapat tempat tinggal baru.

Barang-barang sudah dicicil diberesi. Tinggal beberapa pakaian dan perkakas yang digunakan sehari-hari. Mereka sudah mendapat kos baru, namun baru bisa mulai ditempati minggu depan. Jadi, mau tak mau mereka harus bertahan di kos Hepi Fam sampai kos baru mereka ready.

Jujur, ada keresahan dalam hati mereka berdua. Karena jika minggu depan mereka baru bisa pindah, itu berarti mereka akan melewati malam Jumat di kos ini. Dan entah apa lagi yang akan terjadi. Rasa was-was mereka semakin menjadi ketika Kamis petang sudah menghampiri.

Pintu kamar Sian dan Keenan sudah tertutup sejak Magrib. Ditemani balutan selimut, mereka sudah memojokkan diri di sudut kamar. Mengambil spot paling jauh dari pintu kamar. Baru ketika Sian akan angkat bicara tentang kejadian tadi, tiba-tiba terdengar sebuah gedoran keras dari pintu.

Sian bergegas akan membukanya sebelum akhirnya Keenan menarik paksa kembali tangannya menahannya untuk pergi.

“HEH! Lo gila?!”

“Bisa aja itu, Bang Raven, Nan?”

“Mikir pake otak, Yan. Ngapain Bang Raven gedor-gedor pintu malem-malem gini.”

“Tapi, Nan ….”

“Lo mau ngecek? Silakan! Tapi lewat jendela aja. Itu pun kalo lo mau, gue sih ogah.”

Sejujurnya Sian takut tapi di waktu yang sama ia juga penasaran. Entah kenapa malam ini, rasa penasaran itu jauh lebih besar dan bisa mengalahkan ketakutannya. Ia akhirnya melepaskan genggaman tangan Keenan dan melangkah perlahan mendekati jendela. Keenan hanya bisa pasrah melihat teman kamarnya itu bertindak nekat, melakukan hal yang tak biasanya.

Ketika Sian sudah ada selangkah di depan jendela, gedoran itu tiba-tiba berhenti. Tangan Sian saat itu sudah gemetaran, namun ia tetap memberanikan diri menyibak perlahan gorden jendela. Dan saat itulah, jantungnya berpacu sangat kencang, kakinya seketika lemas ketika netranya menangkap sosok hitam besar dengan mata berwarna merah menyala sedang menatapnya nanar. Lalu sebelum Sian hilang kesadaran terdengar suara melengking memekakkan telinga yang disusul sebuah peringatan....

“OJO DO NING KENE!!!”

Dunia ini penuh dengan misteri. Terlalu banyak misteri sehingga terkadang menjadikan hidup serasa terus dihantui. Ada dunia di luar sana yang menunggu ditemukan oleh pasang mata manusia. Salah satunya adalah dunia yang memerangkap Aradia karena manik hitamnya tak sengaja melihatnya.

Aradia adalah seorang putri dari keluarga bangsawan tersohor di wilayahnya. Seorang gadis muda yang bisa melakukan segala hal. Dia adalah sosok yang menjadi panutan bagi para putri lainnya. Julukan 'The Perfect Princess' telah ia sandang di umurnya yang baru genap 18 tahun tepatnya bulan ini.

Kecantikan, kecerdasan, kemolekan tubuh menjadi satu paket dalam diri Aradia. Pujian demi pujian selalu ia dengar di setiap jamuan. Aradia adalah seorang putri tanpa cela. Kebanggaan yang selalu dielu-elukan oleh keluarganya.

Ya, itulah yang tampak dari luar. Tapi tak ada yang tahu apa yang sebenarnya dirasakan oleh sosok Aradia. Semua anggapan kehidupan sempurna itu, ternyata memiliki arti lain bagi Aradia. Ia menganggap semua itu adalah siksaan baginya.

Aradia dipaksa menjadi sosok sempurna itu. Semua kesempurnaan itu sebenarnya fana. Sosok Aradia 'The Perfect Princess' hanyalah sebuah topeng yang selalu ia kenakan di luar kamarnya.

Ketika ia sendiri, ia baru akan bisa menjadi sosok asli dirinya. Bukan tanpa alasan, tapi karena di dalam kamarnya ada sebuah rahasia. Sebuah dunia dimana hanya Aradia seorang yang bisa mengaksesnya.


“Hai, Dia. Akhirnya kamu datang juga. Kami sudah menunggumu sejak tadi,” sambut Xion, lelaki termuda di sana.

“Maaf, maaf. Tadi ada kelas tambahan setelah pesta dari Madam Bella. Jadi, mau tak mau aku harus menurutinya.”

“Pasti sangat melelahkan, harus menjalani hari-hari penuh aturan itu.” Pemuda bernama Hwanwoong kini yang menanggapinya.

“Ya begitulah, Woong. Sepertinya memang takdirku digariskan seperti itu.”

Mereka bertiga kini sudah duduk di meja jamuan. Berbagai makanan lezat sudah terhidang di sana.

“Ah, iya. Yang lain kemana?” tanya Aradia setelah sadar, hanya ada Xion dan Hwanwoong di depannya.

“Mereka sedang menyiapkan hadiahmu, Dia. Aku jamin kamu akan terkesima dengan hadiah kami.”

“Kamu tahu, Xion? Kalau kamu yang bilang seperti itu, malah aku semakin meragu.”

“Haha. Tapi aku bisa jamin ini bukan bualan Xion, Dia. Aku sendiri sangat yakin kamu akan benar-benar terkesima dengan hadiah ini.”

“Hm, baiklah. Mungkin kali ini aku hanya akan mengiyakan saja.”

“Ayo cicipi dulu hidangannya sembari menunggu. Aku dan Xion berusaha membuat hidangan terlezat untuk hari spesial Putri Aradia ini,” tawar Hwanwoong dengan wajah bangganya.

“Selamat ulang tahun ya, Dia,” celetuk Xion tanpa aba-aba.

“Xion! Kita sudah sepakat untuk mengatakannya bersama-sama, bukan? Kenapa —–.”

“Oops. Maaf, aku lupa.”

“Dasar! Jangan sampai kamu merusak rencana lainnya ya.”

Aradia hanya mengulas senyum tipis melihat dua lelaki muda di depannya ini berargumen.

“Terima kasih, ya. Aku sangat bersyukur bisa menemukan kalian di sini.”

Kedua lelaki muda tadi beralih menatap Aradia.

“Tak perlu berterima kasih. Kami hanya ingin membalas kebaikan Rosa, nenekmu.”

“Benar, malah kami yang berterima kasih. Karena kehadiran Rosa dan kamu. Karena adanya kalian bisa memberi warna lain di kehidupan dunia ini.”

Baru saja mereka bertiga ingin melanjutkan suasana haru itu, ketika sebuah suara lain menyapa Aradia.

“Oh, hai Araaa! Kau sudah datang rupanya.” Itu suara Keonhee, pemuda yang terkenal paling banyak bicara.

“Kenapa kamu masih saja memanggilnya Ara, Lee Keonhee?! Itu akan membingungkan Aradia, kau tahu?”

“Ara gadis cerdas, dia tidak akan bingung. Bilang saja kalau kamu yang bingung, Woong.”

“Ish!”

“Ara sudah lama?” tanya Keonhee dengan nada yang sudah berubah menjadi sangat ramah.

“Mm lumayan. Tapi tak terasa lama karena ada Xion dan Woong yang menemaniku mengobrol di sini.”

“Syukurlah, jika hadirnya mereka tak mengganggumu.” Perkataan itu sontak mendapatkan tatapan tajam dari dua lelaki termuda tadi.

“Okeee! Sekarang aku harus melakukan tugasku. Aku akan menutup mata Ara dengan kain hitam ini sebelum Ara melihat hadiahnya. May i, Princess?”

“Silakan, Keonhee. I trust you.”

Lalu setelahnya, hanya hitam yang menjadi satu-satunya warna di penglihatannya.

“Oke, Bros! Bring him in!” seru Keonhee kepada para pembawa hadiah.

“Uwaaah!” Seruan langsung dari Hwanwoong membuat Aradia mengerutkan dahi.

“Wow! Sangat well-prepared. Tapi jujur, aku sangat menyukainya.”

Kerutan di keningnya bertambah banyak ketika mendengar susulan reaksi heboh dari Xion.

“Mm … jadi kapan aku boleh membuka kain hitam ini?” tanya Aradia yang semakin tidak sabar setelah mendengar reaksi dua lelaki muda tadi.

“Oke, Tuan Putri. Aku yakin kamu pasti sudah tidak sabar. Hadiahmu sekarang sudah ada tepat di depanmu, My Princess, “ sahut Keonhee sambil melepaskan perlahan kain hitam yang menghalangi pandangan Aradia.

Kelopak matanya terbuka perlahan. Ia mengerjapkan matanya berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk. Dan setelah ia berhasil membuka mata sepenuhnya, matanya semakin membelalak lebar melihat apa yang kini ada tepat hanya satu langkah di depannya.

Aradia reflek melangkah mundur karena posisinya terlalu dekat. Tapi alih-alih berhasil mundur, dia malah hampir jatuh karena menginjak gaunnya sendiri. Andai lelaki berparas malaikat di depannya itu tak langsung memeluk pinggang Aradia, mungkin dia sudah terjengkang jatuh ke belakang.

Are you okay, My Love?”

“O-o-okay. I'm fine.” Gagap Aradia menjawab pertanyaan lelaki tampan itu. Genderang hati yang sudah ramai karena menebak hadiah apa yang akan didapatnya semakin bertalu setelah melihat hadiah itu sudah ada di depannya.

“Ehem. Kubilang juga apa. Berterima kasihlah padaku karena mengusulkan Youngjo untuk hadiah ulang tahun Aradia,” ujar Seoho sang pencetus ide.

“Ya, lihatlah. Dia sepertinya sangat menyukainya.” Bahkan Leedo yang biasanya diam saat ini ikut merespon mengiyakannya.

Apakah terlihat sekali bahwa aku senang dengan hadiahku ini? Aradia membatin.

Tapi memang ia sangat suka dengan hadiah ini. Tak ada hadiah ulang tahun yang lebih berarti daripada kehadiran orang yang kau kasihi.

“Aku tahu aku terlalu mempesona hari ini, Dia. Tapi, sepertinya sekarang kita harus segera duduk agar bisa merayakan pestamu.”

“Ih, dasar!” sahut Aradia kesal sambil memukul pelan dada bidang kekasihnya itu. Lelaki itu hanya menanggapi dengan tawa kecilnya, lalu segera menawarkan lengan untuk menuntun Aradia ke meja perjamuan.

Kini mereka berenam sudah ada di meja jamuan. Menyantap hidangan-hidangan lezat dengan diselingi gurauan dan cerita-cerita ringan. Harapan-harapan baik juga terlontar untuk Aradia. Hanya ulasan senyum yang selalu menghiasi wajah cantik Aradia ketika ia di sana.


Selesai acara jamuan itu, Aradia menghabiskan waktu berdua bersama Youngjo di balkon mansion. Kepala gadis itu menyandar santai di bahu Youngjo. Dua insan muda itu sedang menikmati dalam diam pemandangan kebun mawar dengan kerlap-kerlip cahaya kunang-kunang sebagai hiasannya.

Tiba-tiba genggaman tangan Aradia mengerat.

“Ada apa, Dia? Sepertinya di hari spesialmu pun kamu tak bisa tenang,” tebak Youngjo yang langsung peka akan perubahan bahasa tubuh kekasihnya itu.

“Ya, ingar bingar pesta di kerajaanku tadi malah menambah beban dalam hatiku, Youngjo.”

“Hm, kenapa? Bukankah di sana seorang Aradia pasti mendapat luapan pujian dan beragam hadiah?”

“Memang benar. Tapi semua pujian itu terlalu banyak dan hanya membuatku muak. Dan ditambah satu hal ini yang benar-benar menambah kemuakanku akan dunia itu.”

“Kenapa?”

“Di pesta tadi, Raja mengumumkan sayembara mencari Putra Mahkota.”

Hening. Hanya ada angin yang menelusup di tengah-tengah mereka. Tanpa penjelasan panjang pun dua insan muda itu tahu artinya.

“Kamu tak bisa menolaknya, bukan?” Akhirnya suara Youngjo berhasil memecah keheningan itu.

“Aku akan langsung menolaknya kalau saja aku bisa, Jo.” Genggaman tangannya pada tangan Youngjo semakin mengerat.

“Sepertinya perpisahan kita lebih cepat dari yang kuduga ya,” ujar Youngjo sambil mengulas senyum getir.

Aradia langsung mengubah posisi menjadi berhadapan dengan Youngjo.

“Youngjo … tapi aku tak ingin meninggalkan dunia ini. Aku tak yakin aku bisa kuat berpisah dengan kalian, dengan kamu….”

“Tapi tinggal di sini selamanya itu tidak mungkin, Dia. Dan itu tidak ada dalam pilihan. Kau tahu benar akan semua itu, Aradia.”

“Tidak! Bagiku dunia ini, eksistensi kalian, semua ini nyata.”

Youngjo mengelus pelan rambut gadisnya itu. Ia kembali berusaha mengulas senyum, kali ini ia mencoba tersenyum tulus memahami.

“Tugas dunia ini, tugas kami adalah mengajarimu arti kebahagiaan sejati. Aku yakin dengan bertemu seorang putra mahkota akan membuat hidupmu lebih bahagia, Dia.”

“Aku tak yakin, Youngjo. Aku takut.”

“Percayalah pada ketetapan Tuhan, Dia. Kamu sendiri tahu, kami akan selalu ada di dunia ini menyambutmu. Jika saja suatu saat kamu bisa kembali ke sini.”

Aradia diam tak menanggapi. Karena semua yang dikatakan Youngjo adalah kenyataan sebenarnya.

“Ok. It's time to go, Dear. Aku tak ingin melepasmu dengan wajah masammu itu. Gimme a tightest hug and your sweetest smile, Princess, “ ujar Youngjo sambil merentangkan kedua tangannya.

Aradia menurutinya, ia masuk ke dalam pelukan Youngjo. Memberikan pelukan tereratnya sebelum akhirnya ia mendongakkan kepala dan sedikit berjinjit untuk memberikan kecupan singkat di bibir Youngjo.

“Kim Youngjo, I love you.”

Netra gadis itu masih sempat menangkap senyum manis Youngjo, dan gerakan mulutnya yang mengucapkan 'i love you too, Aradia'. Lalu setelahnya, seberkas cahaya putih menyilaukan matanya memaksa kedua kelopaknya untuk terpejam.


Suara kicauan burung berhasil mengusik tidur sang Putri. Masih berat rasanya netra Aradia terbuka. Ia sebenarnya masih enggan untuk bangun dari bunga tidurnya. Ia tak ingin ditampar kenyataan, bahwa setelah perayaan ke-18 usianya dirinya harus merelakan dunia lainnya. Sebuah dunia yang selama ini menyelematkannya mulai hari ini harus dilepasnya.

Ya, terhitung dari pagi pertama di umurnya yang ke-18 ini, seorang Aradia harus bisa berdiri di atas kakinya sendiri. Memperjuangkan kebahagiannya seorang diri seperti yang sudah diajarkan ke-6 kesatria di dunia lainnya.