Perpaduan semburat warna oranye dengan birunya langit membuat momen sore itu bak sebuah lukisan pelukis tersohor. Sajian pemandangan senja nan indah yang benar-benar memanjakan mata setiap orang yang melihatnya. Ya, mata mereka, dan Raja bukanlah salah satunya.
Raja, seorang pemuda yang serba bisa. Tak ada satupun hal yang tak bisa dilakukannya. Lelaki yang selalu menjadi top idaman bagi semua wanita di kampusnya. Murid kebanggaan yang selalu dielu-elukan oleh para dosen di manapun mereka berada. Satu-satunya lelaki yang patut menyandang predikat mahasiswa paling bertatenta. Setiap hari selalu ada sisi kampus yang menggaungkan namanya.
Memang benar kata pepatah ‘tak ada yang abadi di dunia’. Begitu pun dengan semua anugerah yang dititipkan Tuhan pada Raja. Semua hal yang dimilikinya itu satu persatu sirna, sejak pertemuannya dengan Ratu. Berawal dari pertemuan itu lah, kehidupan Raja berubah hampir 180 derajat.
“Puspus, ayo sini, turun.” Seorang gadis berkuncir kuda dengan payung di tangan kirinya sedang membujuk kucing kecil yang berada di atas dahan pohon yang cukup tinggi.
“Ayo, Puspus. Kamu pasti bisa. Pelan-pelan, nanti Ratu tangkap.”
Kembali gadis itu membujuk si kucing untuk turun. Tapi, kucing yang dipanggil Puspus itu bahkan tak sedikit pun memberikan respon. Entah karena Puspus takut atau ia memang sudah nyaman berada di sana. Tak ada pergerakan dari Puspus, walaupun kini sekarang tubuhnya sudah basah kuyup karena hujan yang cukup deras saat itu.
Ratu sudah hampir putus asa.
Selama satu jam sudah ia berdiri di sana dan merayu Puspus untuk turun dari pohon itu. Ia menyesal karena meninggalkan Puspus sendirian di taman saat dia pergi ke toko grosir. Biasanya Puspus akan selalu mengikuti perintahnya, tapi entah kenapa kali ini ia malah tertarik dengan pohon di dekat taman.
Langit sudah mulai gelap, dan Puspus masih saja betah nangkring di dahan pohon itu. Beberapa kali Ratu mencoba memberanikan diri untuk memanjat, tapi ketakutannya pada ketinggian membuatnya urung untuk melanjutkan langkahnya. Kombinasi hujan dan angin membuat suasana saat itu semakin mencekam. Di taman ini hanya tersisa dia sendiri.
Rasa putus asanya semakin menjadi, Ratu berakhir duduk jongkok di bawah pohon itu. Gadis itu membiarkan beberapa ranting pohon menimpanya. Ia mulai terisak karena merasa tak berdaya. Bahkan untuk menyelamatkan seekor kucing pun ia tak bisa.
“Hei! Kamu tidak apa-apa?”
Ratu terperanjat ketika ada seseorang yang menepuk pelan pundaknya. Netranya menangkap sosok lelaki dengan jaket hitam sedang membungkuk menatapnya.
“Oh, maaf. Aku tidak bermaksud mengagetkanmu.”
“Tidak apa-apa,” jawab Ratu sembari bangkit dari duduknya.
“Hari sudah malam. Tidak baik untuk seorang wanita berada di luar sendirian,” ujar lelaki itu seketika memberi petuah.
“Aku tahu. Tapi aku tak bisa meninggalkan Puspus sendiri di sana.”
Ratu mengatakannya dengan nada sangat pasrah. Ia tak mungkin memberi tahu rumah. Malah yang ada dia akan kena marah, karena ketahuan keluar rumah diam-diam. Jadi, dia memutuskan untuk menunggu sampai entah kapan. Agar dia tidak mendapatkan dobel kemarahan dari orang rumah.
“Puspus?” tanya lelaki tadi. Dalam hatinya ia mulai menebak ....
Apakah cewek ini bisa melihat ‘mereka’?
“Ah, itu Puspus,” sahut Ratu sambil menunjuk ke arah Puspus berada.
Sang lelaki hampir tidak mau melihat ke atas mengikuti arah telunjuk Ratu. Pikirannya sudah bercabang kemana-mana. Tapi sejurus kemudian ia mendengar suara kucing dari atas sana.
Oh, kucing ternyata, lelaki itu membatin.
“Aku tak mungkin pulang tanpanya. Bisa-bisa aku diamuk orang rumah, soalnya Puspus kucing kesayangan mereka.”
“Oh, begitu rupanya. Pegang ini, aku akan mencoba membantu Puspus turun,” ujar lelaki itu sambil memberikan payung yang dipegangnya pada Ratu.
“Benarkah? Terima kasih sebelumnya.” Ratu sampai menunduk karena merasa sangat bersyukur dipertemukan lelaki asing yang baik padanya.
“It’s okay. Tunggu, ya.”
Lelaki itu mencoba naik pohon perlahan. Ia sangat lincah menaiki satu persatu dahan pohon. Sampai ia mencapai dahan pohon dimana Puspus berada. Beruntung Puspus bukan kucing yang agresif, dia diam saja ketika tangan lelaki itu berusaha meraihnya.
Ratu sangat lega melihat Puspus sudah berada dalam gendongan lelaki itu. Tinggal satu dahan lagi sebelum mereka sampai ke tanah. Namun naas, tiba-tiba ada sebuah ranting pohon patah yang menimpa mata lelaki itu. Pegangannya pada pohon seketika lepas, dan terjatuh.
Ratu berteriak ketika melihat insiden itu. Ia segera menghampiri mereka. Puspus yang langsung berlari ke arahnya segera ia peluk untuk menghangatkannya.
“Gosh! Kamu baik-baik saja?” tanyanya setengah berteriak. Tak ada jawaban dari lelaki itu. Ia masih diam sambil memegangi mata kirinya. Ratu panik karena lelaki itu tak meresponnya dan ia semakin panik ketika melihat ada lelehan cairan merah dari mata lelaki yang menolongnya.
“Ya ampun! Matamu berdarah! Ayo kita ke rumah sakit dulu!”
Ratu segera menarik lengan lelaki tadi secara paksa. Segera ia memesan taksi online untuk mengantarkan mereka ke rumah sakit terdekat. Mau tak mau kali ini ia harus menghubungi keluarganya. Hal ini sudah bukan sesuatu yang bisa ia atasi seorang diri.
Puspus akhirnya ia titipkan di Vet dekat sekitar rumah sakit, karena tak mungkin ia membawanya serta. Ratu mondar-mandir di depan ruang pemeriksaan. Hatinya sangat gelisah. Saat ini ia harus bersiap menerima kenyataan terburuk. Ia sudah pasrah dengan hukuman apa yang akan ia terima dari Papa dan Mamanya karena masalah ini.
“Ratu!” Telinganya menangkap suara familiar. Sebuah suara bariton yang lebih terdengar seperti sirine peringatan bagi telinga Ratu.
Plak!
Sebuah tamparan menjadi sambutan kedatangan Papa dan Mama.
“Kamu ini benar-benar anak tak berguna! Cuma bisa nyusahin saja!”
Kini giliran Mama yang sudah mengangkat tangannya bersiap memberi tamparan kedua, namun sebuah tangan lain mencegahnya.
“Om, Tante, mohon sikapnya untuk dikondisikan. Tidakkah kalian malu banyak pasang mata yang menyaksikan di sini?”
Ratu segera mendongakkan kepala mendengar suara yang dikenalnya.
“Sudah selesai? Bagaimana? Apa kata dokter tadi?” Perhatian Ratu langsung tertuju sepenuhnya pada sang lelaki.
“Aku hanya perlu beristirahat beberapa hari untuk memulihkan luka ini. Bukan luka yang besar. Tenang saja,” jelasnya kemudian.
“Tapi—.”
“Tak usah khawatir. Aku tidak apa-apa.” Sang lelaki menepuk pelan pundak Ratu berusaha meyakinkan.
“Biarkan kami membayar biaya pengobatannya. Bagaimana pun ini kesalahan anak sialan ini!” Papa Ratu mengatakannya sembari menunjuk pada Ratu.
“Baiklah, saya terima bantuannya. Terima kasih, tapi saya mohon perbaiki sikap anda pada anak anda. Tak seharusnya orang tua bersikap seperti itu.”
“Diam saja kau, anak muda! Siapa kamu berani berpetuah saat kamu bahkan tak tahu apa-apa!”
Raja hanya bisa menghela napas. Ia sangat malas berdebat untuk saat ini.
“Saya pamit dulu kalau begitu. Permisi, Om, Tante.”
“Hei, tunggu! Namamu—.”
“Raja. Namaku Raja,” potong Raja sebelum Ratu menyelesaikan pertanyaannya.
Sejak saat itu, Ratu diam-diam memperhatikan Raja dari kejauhan. Ternyata mereka kuliah di kampus yang sama. Di sela-sela kuliah selalu ia sempatkan untuk mengecek kondisi Raja. Mata gadis itu selalu awas, tak sedikitpun gerak-gerik Raja lepas dari jangkauan pandangannya.
Selama itu pun Ratu juga menyadari, bahwa kehidupan Raja lama-kelamaan berubah. Gadis itu mengamati semua perubahan itu dan semuanya gara-gara luka di mata kirinya.
Prestasi Raja menurun karena ia tidak bisa maksimal dalam mengikuti pelajaran di kampus. Ekstrakurikuler yang selama ini menyumbang poin banyak pada prestasi Raja, tak lagi ia ikuti karena keterbatasannya bergerak dengan satu mata. Kharisma Raja juga jauh berkurang karena dengannya mengenakan eye-patch menyebabkan semua orang menganggapnya cacat. Seorang Raja kini sudah tak lagi menjadi Raja bagi semuanya. Predikat Raja yang sempurna seolah dicopot paksa darinya.
Ada beberapa kali Ratu memergoki Raja dengan wajah murungnya. Entah itu di kantin atau ketika Raja sendirian di pojokan perpustakaan. Sebuah ekspresi yang selalu sukses menambah rasa bersalah ketika Ratu melihatnya.
Berulang kali Ratu ingin menyapa Raja. Namun ia selalu urung, ketika hati kecilnya berkata ....
Semua ini terjadi gara-gara kamu. Kamu masih punya muka menemuinya? Plis sadar diri, Ratu!
Tak ada hari yang terlewat tanpa rasa bersalah yang menggelayutinya. Gadis itu sudah tak tahu lagi bagaimana ia bisa menolong Raja.
Uhuk! Uhuk!
Ratu segera meraih saputangan di dekatnya, lalu segera menutup mulut dengan itu agar suara batuknya tak terdengar sampai ke luar ruangan. Bercak merah kembali menodai saputangan yang sebelumnya sudah ada beberapa noda merah yang sudah mengering di sana.
Dengan tubuh lemahnya, Ratu berjalan menuju wastafel dan mencuci kain itu kemudian menyampirkannya di dekat jendela. Sudah beberapa bulan ini, ia memutuskan untuk tinggal di kos dekat kampusnya. Menurutnya ini adalah pilihan terbaik baginya, berpisah dengan orang rumah yang selama ini hanya bisa menjadi racun di kehidupannya. Toh, memang Papa dan Mamanya tak pernah menginginkannya berada di rumah itu. Namun, siapa sangka dengan ia mengambil satu keputusan itu ada ujian berat yang harus ia lalui setelahnya.
Dengan memutuskan untuk hidup sebagai independent-woman, Ratu harus siap menghidupi dirinya sendiri. Ia harus bekerja untuk membiayai hidupnya sehari-hari. Ratu masih bersyukur karena kedua orang tuanya masih mau membiayai kuliahnya. Setidaknya bebannya bisa teringankan karena itu.
Ujian untuk Ratu tak hanya sampai di situ. Satu bulan terakhir ini ia sering sekali izin dari kegiatan kampus karena kondisinya yang tidak sehat. Beberapa kali Ratu pingsan saat kegiatan kampus. Beberapa waktu pula Ratu harus dibawa ke rumah sakit karena ia mimisan terus-menerus. Lalu setelah menjalani beberapa pemeriksaan, dokter memvonis Ratu menderita Leukimia akut.
Sebuah fakta yang menghantam mental Ratu saat itu membuat imunitasnya kian menurun. Semua beban itu ia tanggung sendiri, tak mungkin ia memberitahukan keluarganya.
Toh, mereka juga takkan mempedulikannya, pikirnya saat keinginan untuk memberi kabar orang rumah begitu menggebu.
Kondisi Ratu yang kian lemah dan hanya mendapat pengobatan seadanya membuatnya memutuskan untuk mengambil istirahat dari kuliah. Tapi terkadang ia masih memaksakan diri untuk berangkat ke kampus. Bukan untuk masuk kelasnya, namun untuk melihat wajah Raja. Seseorang yang selama ini ia amati dari kejauhan itu, ternyata diam-diam sudah bersemayam di salah satu relung hatinya.
Hatinya seketika tercerahkan ketika ia melihat senyum Raja. Walaupun saat itu wajah murung Raja masih beberapa kali tertangkap netranya. Tapi saat ini ia bisa simpulkan, Raja perlahan bisa menerima kondisinya saat ini. Walaupun begitu, keinginan Ratu untuk menolong Raja masih sebesar dulu. Ia ingin mengembalikan kehidupan Raja seperti sebelumnya.
“Kamu yakin dengan keputusanmu ini, Ratu?”
“Saya sudah merencanakan ini sejak lama, Dok. Keputusan saya sudah bulat.”
“Tapi kamu perlu tanda tangan persetujuan dari pihak keluargamu, Nak,” ujar dokter tadi masih mencoba merayu Ratu untuk tidak melakukan tindakan ini.
“Bisakah saya meminta Dokter saja yang menandatanginya, sebagai wali saya?”
“Tapi Ratu—.”
“Mereka takkan peduli bahkan jika saya mati sekalipun, Dok. Jadi, saya mohon. Bantu saya mewujudkan mimpi terakhir saya” pinta Ratu dengan wajah memelasnya.
“Baiklah, Ratu. Saya sudah tak bisa apa-apa ketika kamu sudah se-keukeuh itu.”
Ratu tersenyum lega melihat sang dokter akhirnya bersedia membantunya mewujudkan keinginannya.
“Isi form ini dulu ya,” ujar dokter cantik tadi sambil menyerahkan sebuah kertas bertuliskan Surat Pernyataan Persetujuan Donor Organ.
“Baik, Dok.”
“Kamu tidak menyesal melakukan ini, Ratu? Kamu masih terlalu muda untuk melakukan semua ini.”
“Saya yakin, Dok. Setidaknya, walaupun eksistensi saya di dunia ini tidak diakui, saya masih bisa berguna untuk orang lain di kemudian hari.”
“Hatimu begitu mulia, Ratu. Kenapa takdir begitu kejam kepadamu,”ujar dokter cantik itu sambil mengelus pelan pucuk kepala Ratu.
“Tidak, Dok. Saya masih bukan apa-apa dibandingkan dengan Dokter. Dokter yang sudah mau membantu saya secara cuma-cuma, itu adalah tingkat kemuliaan hati yang tak mungkin saya capai.”
Dokter cantik itu tak menanggapi. Ia sudah sering terkesan dengan kata-kata bijak anak itu. Tapi kali ini, kalimat yang keluar dari mulut Ratu malah terasa semakin menyayat hati.
Kenapa takdir begitu kejam terhadap gadis kecil ini?
“Raja! Ada yang ingin bertemu denganmu,” seru teman Raja dari balik jeruji lapangan basket lapangan kampusnya.
“Oh, ya. Siapa?” Yang ditanya hanya mengangkat bahu tanda ia tak tahu.
“Dimana?” tanya Raja kemudian setelah ia mengganti bajunya.
“Di depan gerbang kampus. Sepertinya orang penting.”
“Oke. Thanks, infonya, Bro.”
Raja segera menuju ke tempat yang dimaksud temannya tadi. Dari kejauhan terlihat sosok perempuan dengan tampilannya yang sangat elegan.
Sepertinya memang orang penting, Raja membatin.
“Permisi?”
“Kamu ...,”
“Saya Raja.”
“Oh, ya.”
“Maaf, tapi ada keperluan apa ya? Kalau saya boleh tahu?”
“Ah. Saya hanya ingin menyampaikan amanah dari seseorang.”
“Amanah?” tanya Raja kebingungan.
“Ini untuk kamu, Raja,” ujar perempuan itu sambil menyodorkan dua buah kertas pada Raja.
“Saya sudah mencantumkan kontak saya di dalamnya. Hubungi saya setelah kamu membaca dua surat itu. Kalau begitu, saya permisi dulu.”
Raja hanya mengangguk megiyakan sambil menerima surat-surat itu dengan segala keheranannya. Ia memutuskan untuk membuka surat itu di rumah. Segera ia memasukkan dua surat itu ke dalam tas dan bergegas menuju rumahnya.
Tanpa membersihkan tubuhnya, Raja merogoh tasnya dan mengambil dua surat tadi. Ia benar-benar tak sabar apa isi kertas yang diberikan perempuan cantik tadi.
Ia membuka lipatan kertas pertama. Matanya langsung membelalak melihat judul kertas itu, 'Surat Pernyataan Persetujuan Donor Organ’. Lalu secepat kilat ia segera mengambil kertas lainnya.
Sebuah amplop berwarna lilac, perlahan tangannya membuka segel amplop itu. Genderang hatinya tiba-tiba menderu. Keringat dingin keluar dari tubuhnya. Tangannya menarik pelan kertas berwarna krem yang ada di dalamnya.
Terlihat beberapa bekas usapan bercak merah di beberapa bagian. Tulisan yang tak begitu rapi tapi masih bisa terbaca itu menunjukkan sang penulis susah payah menulisnya.
> To: Raja, my beloved hero
> Hai, Raja. Aku yakin, kamu tidak ingat denganku. Tapi asal kau tahu, sejak saat pertama kita bertemu malam itu, bayangmu tak pernah pergi dalam hidupmu.
> Maaf ....
> Andai saja saat itu kamu tidak menolong Puspus malam itu, mungkin kamu masih bisa memiliki kehidupan sempurnamu. Maaf, Raja. Karena telah membuat hidupmu sengsara setelah bertemu denganku.
> Tapi, Raja ....
> Di sisi lain, aku juga berterimakasih padamu. Aku sangat, sangat bersyukur Tuhan memberikan skenario pertemuan ini kita. Karena setelah itu aku tahu, masih ada yang peduli denganku.
> Terima kasih, telah membelaku di rumah sakit saat itu. Kau mungkin takkan tahu betapa senangnya aku ketika kamu berani mengatakan semua itu pada Papa-Mama.
> Raja ....
> Rasa bersalah itu masih tetap ada walaupun kamu mengatakan kamu tidak apa-apa. Tapi wajah murungmu itu sudah mewakili semuanya. Aku tahu kamu rindu semua masa dengan kemilaumu di dalamnya. Aku ingin mengembalikan kilau itu padamu.
> Aku berharap, dengan kilau yang kuberikan padamu ini bisa mengembalikan kembali kehidupan sempurna seorang Raja.
> Raja ....
> Nama kita Raja dan Ratu, tapi ternyata tak mengizinkan kita untuk bersama.
> Berbahagialah, Raja. Aku selalu mendoakanmu dari manapun kuberada.
> Your secret admirer,
> Ratu