✿
Deva merogoh kantong celananya, mengeluarkan kunci kosan dari sana. Kenop pintu berputar, pintu terbuka. Kakinya melangkah masuk terlebih dahulu di ikuti Evan di belakangnya.
Jaket denimnya Evan lepas, ia sangkutkan pada gantungan baju berdiri yang tepat berada di samping pintu. Menyisakan kaus hitam polos dengan celana chino pendek selutut.
Setelah pergi makan bersama, mereka memutuskan untuk langsung pulang ke kosan Deva. Ada beberapa tugas yang harus Deva kerjakan, dan itu harus ia kumpulkan esok hari.
Sedangkan Evan yang kebetulan sudah menyelesaikan semua tugasnya, memilih untuk mampir sebentar di kosan Deva, dari pada suntuk berdiam diri di kosannya sendiri.
Gitar yang menyender di samping meja belajar Evan ambil, ia kemudian mendudukan diri di atas karpet yang berada tepat di samping kasur Deva. Punggungnya menyandar pada tembok, kakinya terlipat dengan gitar yang berada di pangkuannya.
Sedangkan Deva, ia mengganti celananya terlebih dahulu di kamar mandi sebelum mendudukan diri tepat di depan meja belajarnya. Tangannya terulur, membuka laptop, lalu memencet tombol power.
“KGD aja?” Tanya Evan.
Deva mengangguk. “Iya tinggal yang KGD, yang PKN mah udah gua.”
Evan berikan deheman singkat sebagai jawaban. Jari-jarinya ia letakkan pada finger board, matanya terpejam sejenak sebelum jari-jarinya bergerak memetik senar gitar.
“Kayak kenal.” Kata Deva lalu terkekeh pelan.
“Apa emang?”
“Purple.”
Satu garis tipis tertarik di wajah Evan, membuat lesung pipinya terlihat. “Iya.”
Pandangannya mengarah lurus, tepat pada Deva yang duduk membelakanginya. Evan petik senar gitar dengan perlahan, membuat melodi dari Purple menjadi lebih lambat.
Deva fokuskan pikirannya pada tugas yang berada tepat di depan mata, walaupun dengan susah payah karena Evan mulai menyanyikan lirik bait per bait. Membuat mulut Deva gatal sekali ingin ikut bernyanyi bersama.
Jadi selagi mengerjakan tugas, Deva hanya menggerakan kepalanya pelan mengikuti irama, membiarkan suara rendah Evan mengalun memenuhi penjuru kamar kostnya.
Sebenarnya, ini menjadi satu keberuntungan untuk Deva karena Evan tidak pernah menunjukan bakat menyanyinya pada siapapun, kecuali dirinya.
Entah Deva juga tidak tahu kenapa Evan hanya akan bernyanyi jika bersama dengannya. Deva pernah tanya alasannya, tapi Evan hanya menyahut dengan satu senyuman tipis, lalu kepalanya menggeleng. Jadi Deva biarkan itu menjadi jawaban yang Evan simpan sendiri, dan Deva pun tidak pernah bertanya lagi tentang alasannya.
“I wish that I could stay here all my life.“
“Just you and I sitting under purple skies.“
Suara Deva akhirnya ikut mengalun, membuat Evan menatap lekat padanya dengan sorot teduh. Satu senyum tipis kembali terulas.
“Let's go to that place where I took you last summer on top of the hill.“
“When the path was golden as it let to the ocean, quiet and still.“
Suara mereka saling sahut menyahut menyambung lirik, melantunkan bait demi bait, dan pada akhirnya Deva menyerah, ia putar badannya untuk berhadap-hadapan dengan Evan.
“By the lighthouse on the hill we opened a door to a different world.“
“Leaving everything behind.“
Evan agak lambatkan petikan senarnya, matanya masih menatap lurus pada Deva yang tersenyum. Nafas keduanya terambil dengan bersamaan, sebelum kedua mulut itu kembali terbuka.
“Just you and I, open up your eyes.“
Satu bait lirik itu mereka nyanyikan bersama, petikan senar mulai Evan cepatkan kembali. Membuat mereka akhirnya tersenyum lebar, kembali menyanyikan bait lirik selanjutnya dengan bersamaan.
“I wish that I could stay here all my life.“
“Just you and I sitting under purple skies.“
“Mau balik sekarang apa nanti, Van?” Tanya Deva, kepalanya menoleh sekilas pada Evan yang tidur terlentang di sebelahnya.
Evan tidak langsung menyahut, ia lirik jam tangannya sekilas. “Bentar lagi.”
“Hmm, gua ngantuk soalnya.” Sahut Deva dengan kekehan pelan. “Eh tapi gak maksud ngusir, cuman takutnya gua ketiduran.”
“Yaudah tidur aja.”
“Kagak enak lah anjir masa ada tamu, tuan rumahnya tidur.”
“Biasanya juga gitu.”
“Iya sih.”
Evan tolehkan kepalanya menghadap kiri, menatap Deva dengan matanya yang mulai mengedip lambat. Ia tatap lama wajah Deva yang menghadap lurus pada langit-langit sebelum sebelah tangannya terulur, membuat Deva tersentak begitu Evan mengambil sesuatu dari bawah matanya.
“Eh!”
“Bulu mata lo copot.”
Deva menatap satu helai bulu matanya yang terjapit di antara telunjuk dan jempol Evan. “Oalah, kirain apaan.”
“Beda.”
“Apanya yang beda?” Tanya Deva bingung.
Evan tatap sebentar bulu mata itu sebelum membuangnya ke arah samping. “Lentik banget.”
Desisan pelan Deva keluarkan, sebelah tangannya kemudian menepuk paha Evan. “Ngomong yang jelas kek kali-kali ah.”
“Emangnya gak jelas?”
“Banget.” Seru Deva dengan nada suaranya yang berubah kesal. “Kenapa sih kalo sama gua lu ngomongnya suka kagak jelas? Udah tau otak gua suka lemot.”
Evan terkekeh. “Lucu soalnya.”
“Lucu? Apanya?”
“Respon lo.”
Deva tujukan pandangannya ke arah Evan, menatap sahabatnya itu dengan dahi yang berkerut, ia tepuk kembali paha Evan. “Ish!”
“Ah!” Evan terpekik pelan, merasakan tepukan Deva yang cukup kuat pada pahanya. “Sakit, Dev.”
“Makanya jangan ngeselin.”
“Kan emang gini.”
Ekspresi wajah Deva berubah cemberut, posisinya juga ia ubah menjadi miring, mengadap sepenuhnya pada Evan yang kembali menatap langit-langit kamar kostnya.
“Evan.”
“Apa?”
“Evan.”
Evan tolehkan lagi kepalanya, menatap Deva. “Kenapa, Deva?”
“Bisa jangan ngeselin gak?”
“Hahaha.” Tawa Evan mengalun pelan. “Enggak.”
Deva tatap lama Evan dengan sorot tajamnya, lalu selang beberapa lama tangannya yang tadi menepuk paha Evan berganti mencubit pinggang Evan.
“Ah!”
“Lu ngeselin banget tau gak.” Kata Deva dengan nada datar.
Evan meringis sebentar sebelum ikut menatap bola mata Deva dengan sorot lurus. Terdiam selama beberapa saat sampai Deva di buat gelisah sendiri karena tatapannya.
“Evan!”
Tidak ada sahutan dari Evan, ia masih terdiam menatap Deva.
“Evan, gak lucu dih!”
Masih tanpa mengucapkan satu kata pun, Evan majukan wajahnya hingga Deva mengerjapkan matanya cepat. Kepalanya ikut mundur ketika wajah Evan semakin maju, tangannya langsung naik dan berada tepat di depan dadanya, siap-siap mendorong Evan.
“Evan minggir!”
Kepala Deva menyentuh tembok, sudah tidak ada space lagi untuk kepalanya bergerak mundur, sedangkan Evan semakin memajukan wajahnya.
“Evan jangan main-main ya lu sama gua.” Ancam Deva.
Tapi Evan menganggap itu hanya angin lalu, wajahnya semakin mendekat, membuat Deva memejamkan matanya dengan wajah panik.
Evan terdiam, bibirnya kemudian terkulum menahan tawa memperhatikan Deva, Iseng, ia tiup wajah Deva sebelum dengan cepat bangkit dari posisi tidurannya.
“Anjing!”
“Hahaha.”
Jaket yang tergantung Evan ambil dengan cepat, ia membuka pintu kamar kost Deva dan langsung berlari menuju luar. Meninggalkan Deva dengan wajahnya yang berubah merah padam.
“Tidur, Dev!” Seru Evan dari luar, di susul tawanya yang bisa Deva dengar dengan jelas.
“Awas ya lu, Evan!”
“Hahahaha.”