sweettynsaltt

Deva merogoh kantong celananya, mengeluarkan kunci kosan dari sana. Kenop pintu berputar, pintu terbuka. Kakinya melangkah masuk terlebih dahulu di ikuti Evan di belakangnya.

Jaket denimnya Evan lepas, ia sangkutkan pada gantungan baju berdiri yang tepat berada di samping pintu. Menyisakan kaus hitam polos dengan celana chino pendek selutut.

Setelah pergi makan bersama, mereka memutuskan untuk langsung pulang ke kosan Deva. Ada beberapa tugas yang harus Deva kerjakan, dan itu harus ia kumpulkan esok hari.

Sedangkan Evan yang kebetulan sudah menyelesaikan semua tugasnya, memilih untuk mampir sebentar di kosan Deva, dari pada suntuk berdiam diri di kosannya sendiri.

Gitar yang menyender di samping meja belajar Evan ambil, ia kemudian mendudukan diri di atas karpet yang berada tepat di samping kasur Deva. Punggungnya menyandar pada tembok, kakinya terlipat dengan gitar yang berada di pangkuannya.

Sedangkan Deva, ia mengganti celananya terlebih dahulu di kamar mandi sebelum mendudukan diri tepat di depan meja belajarnya. Tangannya terulur, membuka laptop, lalu memencet tombol power.

“KGD aja?” Tanya Evan.

Deva mengangguk. “Iya tinggal yang KGD, yang PKN mah udah gua.”

Evan berikan deheman singkat sebagai jawaban. Jari-jarinya ia letakkan pada finger board, matanya terpejam sejenak sebelum jari-jarinya bergerak memetik senar gitar.

“Kayak kenal.” Kata Deva lalu terkekeh pelan.

“Apa emang?”

“Purple.”

Satu garis tipis tertarik di wajah Evan, membuat lesung pipinya terlihat. “Iya.”

Pandangannya mengarah lurus, tepat pada Deva yang duduk membelakanginya. Evan petik senar gitar dengan perlahan, membuat melodi dari Purple menjadi lebih lambat.

Deva fokuskan pikirannya pada tugas yang berada tepat di depan mata, walaupun dengan susah payah karena Evan mulai menyanyikan lirik bait per bait. Membuat mulut Deva gatal sekali ingin ikut bernyanyi bersama.

Jadi selagi mengerjakan tugas, Deva hanya menggerakan kepalanya pelan mengikuti irama, membiarkan suara rendah Evan mengalun memenuhi penjuru kamar kostnya.

Sebenarnya, ini menjadi satu keberuntungan untuk Deva karena Evan tidak pernah menunjukan bakat menyanyinya pada siapapun, kecuali dirinya.

Entah Deva juga tidak tahu kenapa Evan hanya akan bernyanyi jika bersama dengannya. Deva pernah tanya alasannya, tapi Evan hanya menyahut dengan satu senyuman tipis, lalu kepalanya menggeleng. Jadi Deva biarkan itu menjadi jawaban yang Evan simpan sendiri, dan Deva pun tidak pernah bertanya lagi tentang alasannya.

I wish that I could stay here all my life.

Just you and I sitting under purple skies.

Suara Deva akhirnya ikut mengalun, membuat Evan menatap lekat padanya dengan sorot teduh. Satu senyum tipis kembali terulas.

Let's go to that place where I took you last summer on top of the hill.

When the path was golden as it let to the ocean, quiet and still.

Suara mereka saling sahut menyahut menyambung lirik, melantunkan bait demi bait, dan pada akhirnya Deva menyerah, ia putar badannya untuk berhadap-hadapan dengan Evan.

By the lighthouse on the hill we opened a door to a different world.

Leaving everything behind.

Evan agak lambatkan petikan senarnya, matanya masih menatap lurus pada Deva yang tersenyum. Nafas keduanya terambil dengan bersamaan, sebelum kedua mulut itu kembali terbuka.

Just you and I, open up your eyes.

Satu bait lirik itu mereka nyanyikan bersama, petikan senar mulai Evan cepatkan kembali. Membuat mereka akhirnya tersenyum lebar, kembali menyanyikan bait lirik selanjutnya dengan bersamaan.

I wish that I could stay here all my life.

Just you and I sitting under purple skies.


“Mau balik sekarang apa nanti, Van?” Tanya Deva, kepalanya menoleh sekilas pada Evan yang tidur terlentang di sebelahnya.

Evan tidak langsung menyahut, ia lirik jam tangannya sekilas. “Bentar lagi.”

“Hmm, gua ngantuk soalnya.” Sahut Deva dengan kekehan pelan. “Eh tapi gak maksud ngusir, cuman takutnya gua ketiduran.”

“Yaudah tidur aja.”

“Kagak enak lah anjir masa ada tamu, tuan rumahnya tidur.”

“Biasanya juga gitu.”

“Iya sih.”

Evan tolehkan kepalanya menghadap kiri, menatap Deva dengan matanya yang mulai mengedip lambat. Ia tatap lama wajah Deva yang menghadap lurus pada langit-langit sebelum sebelah tangannya terulur, membuat Deva tersentak begitu Evan mengambil sesuatu dari bawah matanya.

“Eh!”

“Bulu mata lo copot.”

Deva menatap satu helai bulu matanya yang terjapit di antara telunjuk dan jempol Evan. “Oalah, kirain apaan.”

“Beda.”

“Apanya yang beda?” Tanya Deva bingung.

Evan tatap sebentar bulu mata itu sebelum membuangnya ke arah samping. “Lentik banget.”

Desisan pelan Deva keluarkan, sebelah tangannya kemudian menepuk paha Evan. “Ngomong yang jelas kek kali-kali ah.”

“Emangnya gak jelas?”

“Banget.” Seru Deva dengan nada suaranya yang berubah kesal. “Kenapa sih kalo sama gua lu ngomongnya suka kagak jelas? Udah tau otak gua suka lemot.”

Evan terkekeh. “Lucu soalnya.”

“Lucu? Apanya?”

“Respon lo.”

Deva tujukan pandangannya ke arah Evan, menatap sahabatnya itu dengan dahi yang berkerut, ia tepuk kembali paha Evan. “Ish!”

“Ah!” Evan terpekik pelan, merasakan tepukan Deva yang cukup kuat pada pahanya. “Sakit, Dev.”

“Makanya jangan ngeselin.”

“Kan emang gini.”

Ekspresi wajah Deva berubah cemberut, posisinya juga ia ubah menjadi miring, mengadap sepenuhnya pada Evan yang kembali menatap langit-langit kamar kostnya.

“Evan.”

“Apa?”

“Evan.”

Evan tolehkan lagi kepalanya, menatap Deva. “Kenapa, Deva?”

“Bisa jangan ngeselin gak?”

“Hahaha.” Tawa Evan mengalun pelan. “Enggak.”

Deva tatap lama Evan dengan sorot tajamnya, lalu selang beberapa lama tangannya yang tadi menepuk paha Evan berganti mencubit pinggang Evan.

“Ah!”

“Lu ngeselin banget tau gak.” Kata Deva dengan nada datar.

Evan meringis sebentar sebelum ikut menatap bola mata Deva dengan sorot lurus. Terdiam selama beberapa saat sampai Deva di buat gelisah sendiri karena tatapannya.

“Evan!”

Tidak ada sahutan dari Evan, ia masih terdiam menatap Deva.

“Evan, gak lucu dih!”

Masih tanpa mengucapkan satu kata pun, Evan majukan wajahnya hingga Deva mengerjapkan matanya cepat. Kepalanya ikut mundur ketika wajah Evan semakin maju, tangannya langsung naik dan berada tepat di depan dadanya, siap-siap mendorong Evan.

“Evan minggir!”

Kepala Deva menyentuh tembok, sudah tidak ada space lagi untuk kepalanya bergerak mundur, sedangkan Evan semakin memajukan wajahnya.

“Evan jangan main-main ya lu sama gua.” Ancam Deva.

Tapi Evan menganggap itu hanya angin lalu, wajahnya semakin mendekat, membuat Deva memejamkan matanya dengan wajah panik.

Evan terdiam, bibirnya kemudian terkulum menahan tawa memperhatikan Deva, Iseng, ia tiup wajah Deva sebelum dengan cepat bangkit dari posisi tidurannya.

“Anjing!”

“Hahaha.”

Jaket yang tergantung Evan ambil dengan cepat, ia membuka pintu kamar kost Deva dan langsung berlari menuju luar. Meninggalkan Deva dengan wajahnya yang berubah merah padam.

“Tidur, Dev!” Seru Evan dari luar, di susul tawanya yang bisa Deva dengar dengan jelas.

“Awas ya lu, Evan!”

“Hahahaha.”

La lune berputar dengan volume rendah.

Jendela mobil terbuka sedikit pada sisi kanan dan kiri, meloloskan asap rokok yang di hembus Deva untuk berbaur dengan angin malam. Di sebelahnya, Evan masih terdiam dengan fokus pandangan pada jalan.

“Ganti.” Kata Evan tiba-tiba.

Deva yang sedari tadi terdiam menoleh ke arah Evan. “Hah? Ganti apa?”

“Rokok.”

Mata Deva menatap batang rokok yang terjapit di antara dua jarinya, kemudian menggeleng. “Enggak, masih yang lama.”

“Ohh.” Evan mengangguk kecil. “Wanginya agak beda.”

“Emang iya? Perasaan masih sama aja wanginya.” Sahut Deva dengan alis mengkerut, kemudian ia hisap lagi rokoknya yang tinggal setengah itu. “Rasanya juga masih sama.”

Evan malah terkekeh, “Biar lo ngomong aja sebenernya.”

Arah pandang Deva kembali tertuju pada Evan. “Maksudnya?”

“Enggak.” Sahut Evan sambil menggeleng. “Enak gini kan.”

“Apanya?”

“Dengerin wanderlust.”

Deva terdiam sesaat sebelum kepalanya mengangguk kecil. Satu hisapan kembali ia sedot, asap kembali membumbung kecil dan langsung terhempas terkena angin malam.

“Jadi agak... yeah, tenang.”

Satu senyuman tipis Evan sunggingkan, sebelah tangannya kemudian menekan tombol volume yang berada di tengah stir mobil, membuat La Lune mengalun lebih kencang dari sebelumnya.

“Van.”

“Hmm.”

Deva tolehkan lagi pandangannya, menatap figur wajah Evan dari samping. Lalu dengan cepat ia alihkan lagi pandangannya.

“Enggak jadi.”

“Kenapa, Deva?” Tanya Evan dengan nada tenangnya.

Kekehan Deva mengalun tanpa suara. “Gapapa.”

“Aneh.”

Deva sedikit tersentak, tapi kemudian tawanya menguar dengan sebelah tangannya yang menepuk pundak Evan. Membuat Evan menoleh ke arahnya sekilas lalu tersenyum lebar.

“Kenapa ketawa?” Tanya Evan lagi.

“Enggak, gapapa.” Gelengan pelan Deva keluarkan. “Ini mau sampe mana kita dengerin wanderlust?”

Bukannya menjawab, Evan malah bertanya balik. “Maunya sampe mana?”

“Kagak tau sih.”

“Yaudah.”

Mereka berdua terdiam, menikmati alunan La Lune yang kini telah mencapai pertengahan lagu. Jalanan mulai terlihat lenggang, Deva lirik jam pada layar ponselnya jam hampir meninjukan pukul dua belas malam.

Rasanya lebih tenang. Deva akhirnya menyetujui bahwa wanderlust memang cocok di pakai saat perjalanan jauh, tapi mereka mungkin tidak berjalan terlalu jauh, karena Evan sedari tadi hanya memutar-mutar sekitaran kota yang mulai menyepi.

“Van.” Panggil Deva lagi.

Evan menyahut dengan gumaman pelan. Laju mobil sedikit ia perlambat, kepalanya menoleh ke arah Deva sekilas sebelum kembali terfokus pada jalanan.

“Bilang aja, Dev.”

Kekehan kembali Deva keluarkan, ia menoleh pada Evan dengan sorot mata setengah mengantuk.

“Gua gak tau mau bilangnya gimana tapi, thanks ya.”

“Buat?”

“Wanderlust.”

Satu senyuman tipis tertarik, “Anytime.”

“Gua ngantuk sebenernya.”

“Yaudah tidur.”

Deva arahkan tangannya yang masih memegang batang rokok yang tinggal setengah. “Mau ngelanjut gak?”

Evan menoleh kembali, tanpa mengucap sepatah kata ia ambil batang rokok yang di pegang Deva dengan sebelah tangan. Lalu ia bergantian menyedot batang nikotin sisa Deva itu dengan satu tarikan nafas.

Asap kecil kembali berhembus, kali ini keluar dari sisi jendela yang berbeda.

“Masih sama.” Komentar Evan.

Deva yang sudah mengantuk itu hanya berdecak pelan. “Kan udah gua bilang.”

“Tidur aja, Dev.”

“Ini masih lama mau muternya?” Tanya Deva.

Evan mengendikkan bahunya sekilas. “Sampe lo tidur.”

“Yeh udah kaya bayi aja gua.” Deva terkekeh. “Tapi kalo udah sampe kosan gua, bangunin ya?”

Kepala Evan mengangguk kecil. “Iya.”

Deva kemudian menyamankan posisi tidurnya, tuas jok tertarik, ia mundurkan beberapa senti untuk mencari posisi yang nyaman. Kemudian kedua kakinya naik, menekuk seperti janin di dalam kandungan dengan tangan yang bersidekap di depan dada.

“Mau pake ac aja gak?” Tanya Evan.

“Boleh.”

Lalu kaca jendela bergerak naik, menutup akses angin malam untuk masuk ke dalam mobil. Berganti dengan hawa dingin yang keluar dari beberapa spot di sana.

“Van.” Deva kembali memanggil, kali ini dengan kedua matanya yang sudah terpejam.

“Kenapa, Deva?”

Satu senyum kecil terulas di wajah Deva. “Makasih ya, lo udah baik banget sama gua.”

Hening. Evan butuh beberapa detik sebelum menyahut ucapan Deva dengan lesung pipinya yang terlihat sempurna.

“Anytime.”


Mobil putih itu berhenti tepat di sisi kosan Deva yang memang sengaja di pakai untuk area parkir mobil para penghuni kosan. Rem tangan di tarik, mesin kemudian di matikan.

Evan lepas seatbelt yang ia gunakan terlebih dahulu sebelum menoleh ke arah Deva yang sedang mendengkur kecil, mulutnya sedikit terbuka, kelopak matanya menutup sempurna hingga Evan bisa melihat helaian bulu matanya yang hitam lentik.

Tangan Evan terulur, menyentuh lengan atas Deva dengan satu usapan pelan. “Dev, udah sampe.”

Deva tidak langsung terbangun, jadi Evan usap kembali lengan atas itu sebelum akhirnya sang empu tersentak kaget.

“Ngh.. eh? Oh, udah sampe ya.” Kata Deva dengan suara seraknya.

“Iya.”

Tubuhnya mengulet, Deva turunkan kedua kakinya lalu melepas sealtbelt yang ia pakai. Terdiam beberapa saat untuk mengumpulkan jiwanya agar sadar sepenuhnya, matanya mengerjap cepat.

“Jam berapa, Van?”

Evan melihat pergelangan tangannya sejenak. “Jam satu kurang.”

“Buset,” Deva tersentak. “Lama juga muter-muternya.”

“Ngelepas stress.” Evan terkekeh kecil. “Ah, tadi hape lo bunyi.”

“Eh iya?”

Deva langusung bergerak untuk meraih ponselnya yang berada di atas dashboard, menekan sisi ponsel sekilas lalu ia jauhkan layar ponselnya karena cahaya mendadak yang mengenai pupil matanya.

“Dari Ray,” Gumam Deva pelan, ia baca pesan dari salah satu temannya itu, alisnya kemudian mengkerut. “Lah anjir.”

“Kenapa?”

Pandangan Deva beralih, “Kunci kosan gua ke bawa sama Ray.”

“Mau ngambil?”

“Bentar gua telfon Ray dulu, takutnya dia udah tidur. Ini chatnya dari setengah jam lalu soalnya.”

Mata Evan memperhatikan Deva yang sedang sibuk dengan ponselnya itu. Bibirnya berdecak berulang kali saat Rayyan tidak menjawab panggilan telfonnya.

“Tidur ya?” Tanya Evan.

Ekspresi Deva berubah memelas, “Kayaknya. Duh gimana ya, kagak enak gua bangunin Babeh buat minta kunci serepnya.”

“Tidur di gua aja.”

“Hah?”

“Tidur di kosan gua.” Ulang Evan, “Besok ngampus siang kan?”

“Iya sih.” Deva mengangguk. “Tapi gapapa emang?”

“Ya emang?”

“Kagak sih, hehehe.” Deva menggaruk pipinya yang tidak gatal. “Yaudah gua numpang kosan lu dulu aja, Van.”

Deheman pelan Evan berikan sebagai jawaban. Mesin mobil kembali menyala, rem tangan di turunkan, pedal gas kembali di tekan. Evan putar stir mobil beberapa derajat lalu mobil putih itu kembali berjalan.

“Kayaknya besok gua duplikat kunci lagi aja dah.”

“Ngapain?”

“Ya takutnya kejadian kaya gini lagi.” Sahut Deva pelan.

“Gapapa.”

“Hah?”

“Gapapa, masih ada kosan gua.”

Keheningan kembali menghiasi mereka berdua selama beberapa detik, sebelum Deva menepuk pundak Evan dengan cengirannya yang melebar.

“My best friend!!”

Evan hanya tersenyum tipis sebagai balasan.

Rayyan menekan klakson berulang kali ketika sampai di depan gerbang sekre, membuat Deva menepuk-nepuk pundaknya seraya tertawa. Lalu ia turun dari motor Rayyan dan berjalan masuk, di ikuti Rayyan di belakangnya.

“Bang Deva.” Sapa salah satu adik tingkatnya, Hisyam.

Deva menepuk pundak Hisyam sekilas, “Udah rame di dalem?”

“Belom bang,” Hisyam menggeleng. “Baru ada beberapa doang sih. Eh tapi Bang Evan udah dateng, nanyain Abang tadi.”

“Lah? Naek apa dia kesini?” Tanya Deva bingung, pasalnya ia tidak melihat motor Evan terparkir. “Itu juga di depan mobil hrv siapa dah? Ngalangin parkir aja.”

Hisyam terkekeh, “Punya Bang Evan kayaknya, soalnya tadi dia turun dari mobil itu.”

Deva terdiam, namun tidak berselang lama karena Rayyan menyenggol pundaknya dari belakang.

“Udeh ayo masuk.”

Ketika Deva masuk, belum terlalu ramai anak-anak Hima yang datang. Hanya beberapa orang karena masih lima belas menit lagi sebelum rapat di mulai, karena mereka biasanya datang lima menit atau tepat waktu saat rapat akan di mulai.

“Dep, sini, Dep.” Sandra menepuk-nepuk space kosong di sampingnya. Menyuruh Deva untuk duduk tepat di sebelahnya.

Namun sebelum Deva melangkah, matanya tidak sengaja bersinggungan dengan Evan yang memang sedari Deva masuk memperhatikan dirinya. Deva ulas satu senyum lebar lalu tetap mendekat ke arah Sandra.

“Pada kemana dah? Kok belum pada dateng?” Tanya Deva.

Sandra menggeleng, “Kagak tau anjir, biarin aja ntar gua yang catetin siapa yang telat. Denda, denda dah tuh.”

“Hahaha, padahal itu jobdesknya Jape.” Sahut Deva sambil tertawa kecil.

“Ni juga Si Jape, kemana kali.” Dumel Sandra, Ia kemudian menoleh ke arah Evan. “Jape kemana dah, Van?”

Evan mengggeleng, “Gak tau.”

Mata Deva memperhatikan ekspresi wajah Evan yang agak lain dari biasanya. Keningnya mengkerut tipis dengan alis yang terlalu menunik, tidak seramah biasanya walaupun Evan memang kerap kali memasang wajah datar.

Deva menoleh ke arah Sandra, lalu mendekat ke arah kuping gadis itu, berbisik entah apa di sana. Hanya di dapati kepala Sandra yang mengangguk-angguk seraya terkekeh pelan.

“Yaudah sana. Dasar biji!” Ledek Sandra dengan suara pelan.

Cengiran di wajah Deva melebar, ia kemudian mengeser posisi duduknya ke arah Evan, setelah itu mecondongkan wajahnay sedikit untuk melihat wajah Evan.

“Psttt... Psttt...”

“Gua bukan kucing.” Sahut Evan singkat.

Deva menegakkan posisi duduknya, lalu memukul paha Evan pelan. “Kenapa lu?”

Evan menoleh sekilas, “Enggak.”

“Aneh.”

“Apanya?”

“Lu aneh.”

Evan memilih untuk tidak menyahut, ia ikut menegakkan posisi duduknya lalu malah membalas sapaan adik-adik tingkatnya yang baru saja masuk ke dalam sekre.

Mengabaikan Deva yang menatapnya dengan sorot bingung. Kesal, Deva tepuk lagi paha Evan, kini agak kuat hingga Evan menoleh ke arahnya dengan alis yang semakin menukik.

“Kenapa?”

“Lu yang kenapa.” Sahut Deva jutek. “Evan.”

Satu helaan nafas Evan keluarkan terlebih dahulu. “Apa, Deva?”

“Ck,” Deva berdecak pelan, wajahnya merengut. Ia geser lagi posisi duduknya kembali mendekat ke arah Sandra.

Namun sebelum tubuhnya tergeser beberapa senti, sebelah tangan Evan dengan cepat mengcengkram bagian belakang kaos Deva. Membuat Deva kembali menoleh ke arah Evan dengan wajah cemberutnya.

“Di sini aja.” Ucap Evan cepat.

“Gamau.”

“Kenapa?”

“Lu aneh banget anjir.”

Evan tersenyum tipis. Tipis sekali sampai tidak ada yang menyadari bahwa ia tersenyum. “Enggak.”

“Iya!”

“Enggak, Deva.”

Gantian Deva yang tidak menyahut, pandangannya ia tundukan, menatap lantai putih yang tidak terlalu bersih karena banyak coretan tipe-x di sana.

“Aneh.” Ucap Deva sekali lagi.

Mereka berdua terlalu sibuk dengan dunia masing-masing, sampai tidak menyadari bahwa Rayyan dan Sandra saling melempar pandangan satu sama lain setelah melihat tingkah keduanya. Bibir mereka terkulum menahan tawa.


“Kalau begitu, kita akhiri rapat pada malam ini. Terimakasih untuk rekan-rekan yang sudah menyempatkan waktunya untuk hadir, selamat malam, dan hati-hati di jalan.”

Para anggota hima mulai membubarkan diri, berpamitan pada satu sama lain, tidak terkecuali Rayyan yang mendekat ke arah Deva yang masih sibuk membereskan catatan hasil rapat itu.

“Dep, balik sama gua apa gimana?” Tanya Rayyan.

Deva mendongkak, menatap Rayyan yang berdiri tepat di depannya. “Bentar masih beresin catetan dulu.”

Rayyan kemudian melirik ke arah Evan yang berada tepat di Deva, ia kemudian mendengus geli. “Van, gua balik duluan ya.”

Kepala Evan mendongkak. “Eh iya, hati-hati Ray baliknya.”

“Lah, lah, ntar dulu anjir. Bentar doang ini beresinnya.” Sela Deva cepat.

“Lu balik ama Evan aja udah.” Rayyan menolehkan kepalaya ke belakang, “Eh San, lo balik sama siapa?”

Sandra yang baru saja akan melangkahkan kakinya ke luar itu kembali menoleh. “Sendiri lah.”

“Naek apaan?”

“Jalan kaki, kan kosan gua deket ini.”

Wajah Rayyan langsung berubah sumrigah. “Balik ama gua aja ayok, gua anter ampe depan pintu kost.”

“Lah terus gua?” Protes Deva.

“Lu balik ama Evan gua kata juga. Dah byee!!”

Rayyan langsung melangkahkan kakinya cepat menyusul Sandra. Membuat Deva bersorak dengan wajah sebalnya, tapi setelah itu ia menoleh ke arah Evan yang masih setia duduk di sampingnya itu sambil bermain ponsel.

“Lu bawa mobil?”

“Hm.”

“Woy dua sejoli, kagak mau balik lu bedua?” Tanya Jave yang baru saja keluar dari kamar mandi sekre.

Deva yang pertama kali menoleh, di ikuti oleh Evan setelahnya.

“Bentar, masih nunggu Deva nyelesain catetannya.” Sahut Evan cepat.

Jave terkekeh, “Cailahhh.”

“Lu mau balik, Jav?” Tanya Evan.

“Ya iya,” Jave mengangguk, matanya kemudian mengedar mencari keberadaan Arghi. “Lah si argot kemana?”

“Tadi langsung keluar duluan dia.”

“Bah, agak ada taik-taiknya itu manusia satu. Di tinggalnya pula awak.” Kata Jave lalu langsung berlari keluar dari sekre.

Evan hanya terkekeh pelan, ia kembali menoleh ke arah Deva yang masik sibuk merapihkan catatannya. “Di lanjut di kosan aja.”

“Enggak,” Deva menggeleng, “Kalo di kosan ntar gua malah mager.”

“Yaudah.”

“Bang Evan sama Bang Deva kagak balik?” Tanya Hisyam.

Evan tersenyum, “Bentar, masih nungguin Deva.”

Hisyam hanya mengangguk paham. “Eh Bang Dev, nanti kalo udah fix proposalnya kasih ke gua ya, biar gua aja yang print.”

Kepala Deva terangkat, lalu mengacungkan jempolnya ke arah Hisyam. “Oke, ntar sampe kosan gua kirim. Soalnya kayaknya udah fix, tinggal di periksa ulang ntar takutnya ada yang typo.”

“Oke Bang, kalo gitu gua balik duluan ya.” Kata Hisyam sambil mengulas senyum.

Evan dan Deva kompak mengangguk. “Hati-hati.”

Setelah itu, keadaan sekre yang tadinya ramai mulai berangsur sepi. Di dalam sekre hanya tersisa Evan dan Deva, sedangkan di bagian depan sekre masih ada beberapa anggota Hima yang masih mengobrol di atas motor masing-masing.

“Di lanjut nanti, kemaleman.”

“Ck yaudah iya.” Deva mengambil tutup pulpen yang tergeletak tepat di samping kakinya, setelah itu menutup pulpen serta buku yang ada di pangkuannya. “Eh iya!”

“Apa?”

Deva menatap pupil hitam Evan. “Itu di depan mobil lu? Kata Hisyam begitu.”

“Ya.” Evan mengangguk.

“Lu kapan ngambilnya dah? Kan rumah lu jauh anjir.”

Evan tidak langsung menyahut, ia masukan ponselnya ke dalam kantong celana. Lalu berdiri terlebih dahulu.

“Barusan.”

“Barusan kapan?” Ulang Deva.

“Balik ngapus langsung ngambil.”

“Gila,” Deva berdecak, namun tetap menyambut uluran tangan Evan untuk membantunya berdiri. “Balik ngampus banget?”

Lagi-lagi Evan mengangguk. “Iya. Terus langsung kesini.”

Deva menunjukan raut wajah tidak percayanya seraya menggeleng. “Sumpah, lu ngabisin waktu tiga jam bolak balik cuman buat ngambil mobil?”

“Ya gapapa.” Sahut Evan enteng, “Biar dengerin wanderlust.”

Satu pukulan pelan Deva berikan di lengan atas Evan. “Orang gila. Kan gua cuman bilang waktu itu lagunya enak di pake jalan jauh.”

“Biar bisa.”

“Hah?” Alis Deva mengerut mendengar ucapan Evan. “Biar bisa apa?”

“Dengerin sambil jalan jauh.” Evan tersenyum tipis. “Gak di begal juga.”

Deva terdiam, menatap Evan yang juga menatapnya. Berdecak tidak habis pikir di dalam hati dengan kelakuan Evan yang terkadang di luar akal pikirnya.

“Lu... aneh.”

Evan terkekeh, “Makasih.”

“Pesenan nih, pesenan.”

Deva membuka sepatunya terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam sekre. Kedatangannya langsung di sambut oleh teman-temannya yang tadi ikut nitip minta di belikan tejus, es susu, serta gorengan.

“Thank you, Dev.”

“Devaa maaciw yaa.” Sandra tersenyum lebar seraya mencubit pipi Deva.

“Gorengan gua mana?”

Deva menyerahkan satu plastik gorengan yang ia pegang pada Elang. “Nih.”

“Oke, thanks bro.”

“Rayy!! Nih tejus sekte sesat lu.” Kata Deva sambil berjalan ke arah Rayyan yang duduk membelakanginya.

Rayyan menoleh, lalu membuka earphone yang di pakainya. “Hehehe, thanks, dep.”

Setelah memberikan tejus milik Rayyan, Deva langsung mendekat ke arah Evan yang tertidur di pojok ruangan. Kepalanya ia tutup dengan kemeja miliknya, serta kedua telinganya yang tersumpal earphone putih seperti biasa.

Iseng, Deva arahkan goodday milik Evan ke arah pipi Evan, sukses membuat ketua hima itu langsung tersentak kaget.

“Eh.”

“Nih gooddaynya.”

Evan bangun dari posisinya, mengambil uluran minuman miliknya dari Deva. “Makasih.”

“Mau balik sekarang apa nanti?” Tanya Deva.

“Terserah.” Sahut Evan singkat, “Kalo mau sekarang, ayo. Kalo mau nanti, yaudah.”

“Yaudah ntar aja deh, lagian masih jam segini juga.”

Evan hanya menganggukan kepalanya sebagai jawaban. Ia sandarkan punggungnya pada tembok di belakang, kakinya menyilang, matanya menatap satu per satu teman-teman satu organisasinya lalu menoleh ke arah Deva.

“Mau denger sesuatu gak?”

Deva menoleh, “Apa?”

Tangan Evan bergerak untuk melepas satu earphone yang di pakainya lalu memasangkannya pada telinga Deva.

“Anchor?”

Evan mengangguk. “Enak.”

“Iya.”

“Eh gua cabut duluan ya bro.” Arghi bangun dari posisi duduknya, “Malem rapat gak, Van?”

“Lusa aja, sekalian buat bahas acara seminar.” Sahut Evan.

“Mau kemana, Ghi?” Tanya Sandra.

Arghi menoleh lalu menaik turunkan alisnya. “Biasa, ketemuan.”

“Ama yang mana lagi nih?” Goda Elang seraya mengunyah gorengannya. “Kemaren sama anak bio, sekarang?”

“Ck, ada lah bro.” Arghi terkekeh, “Dah gua cabut duluan ye.”

“Yooo.” Sahut mereka kompak.

Deva kemudian menatap Sandra yang duduk persis di depan kipas. “Zhifa kemana, San? Tumben gak mampir sekre.”

“Gatau, tadi kelar kelas langsung balik dia.” Sahut Sandra.

Rayyan menoleh ke arah Deva. “Eh bukannya Daffin juga tadi langsung balik?”

“Eh iya, baru inget gua Daffin kagak ada.” Deva menepuk paha Evan yang berada di sampingnya.

“Keluar kali mereka.” Celetuk Mada yang sedari tadi sibuk dengan laptopnya. “Jalan gitu, jalan.”

Reflek Elang langsung melempar cabe yang di pegangnya ke arah Mada. “Yehh sok tau lu.”

“Dih kenapa lu? Kok sewot?”

Sandra tertawa renyah. “Demen ya lu ama Zhifa, Lang?”

“Apaan kagak anjir.” Elak Elang.

“Dia gak demen sama Zhifa, demennya sama Daffin.” Celetuk Evan yang dari tadi terdiam melihat teman-temannya.

“Hah?!”

Elang langsung menggelengkan kepalanya. “Fitnah anjir!! Evan bangsat lu.”

“Ciee ilah langsung merah itu muka.” Goda Sandra.

“Gak usah denial, Lang. Bapak lu noh, nonton.” Sahut Rayyan, lalu mereka semua kompak tertawa.

Elang memasang wajah masamnya. “Evan lu dengerin anjir.”

“Dari hasil riset membuktikan, ucapan seorang Evan Adhitama tidak pernah melenceng.” Gantian Mada yang menggoda Elang.

Satu biji cabai terlempar lagi ke arah Mada. “Risat, riset, otak lu sini gua riset.”

“Yaelah, Lang. Kalo enggak bener mah gak usah emosi.” Kata Deva sambil menahan tawanya.

Elang langsung menghabiskan setengah potong gorengannya dalam sekali suapan. “Ah au ah, capek mas bram.”

Mereka hanya tertawa setelahnya.


Evan menusuk-nusuk pipi Deva yang tertidur di pundaknya. “Dev, bangun. Ayo balik.”

Keadaan sekre sekarang hanya di huni oleh mereka berdua. Maklum, jam sudah hampir menunjukan pukul setengah enam sore, teman-teman mereka yang lain sudah pulang terlebih dahulu.

“Devara.”

Merasa terusik, Deva menggerung pelan lalu perlahan kelopak matanya terbuka dengan sorot mengantuk. “Eh pada kemana?”

“Udah balik.” Sahut Evan. “Ayo balik, keburu magrib.”

Deva mengangguk, ia melepas earphone milik Evan yang masih menyakut di telinganya. Memberikannya pada Evan lalu mengambil tasnya yang terletak agak jauh dari posisinya duduk.

“Lo bawa.”

“Hah? Bawa apa?” Ulang Deva.

Evan bangkit dari posisi duduknya, lalu mengulurkan tangannya pada Deva. “Kunci sekre.”

“Oh, oke.” Sahut Deva sambil menerima uluran tangan Evan untuk membantunya berdiri. “Eh baliknya mampir dulu yuk, mau kagak?”

“Kemana?”

“Angkringan, pengen sate kulit. Sekalian nyari makan biar gua kagak keluar kost lagi.”

Evan mengangguk, “Yaudah.”


Setelah menghabiskan waktu hampir satu setengah jam untuk membeli angkringan dan makan, mereka akhirnya tiba di kosan Deva sekitar pukul tujuh lewat dua puluh.

Motor Evan ia hentikan tepat di depan gerbang kosan Deva. Di belakangnya, Deva turun dari motor seraya melepas helm yang ia pakai.

“Mampir dulu kagak?”

“Enggak.” Evan menyahut singkat. “Proposal acara seminar tolong di cicil, Dev. Biar masuk ke mahasiswaannya juga cepet.”

Deva mengangguk. “Iya ntar gua kerjain.”

“Yaudah, gua balik.”

Satu tepukan Evan rasakan di pundaknya. “Hati-hati.”

“Iya.”

Setelah itu Evan menoleh sekilas ke arah Deva sebelum kembali memacu motornya, dan Deva masuk ke dalam kosannya setelah Evan dan motor hitam miliknya itu sudah menghilang di balik gang.

Suara grasak-grusuk terdengar dari balik pagar kost, lalu suara gerbang terbuka menyusul setelahnya.

“Anjing, kenapa sih elah dadakan gini.” Misuh Deva sambil membenarkan posisi sepatunya.

Evan hanya menatap Deva sebentar lalu menurunkan footstep motornya. “Udah buruan.”

“Gua belom mandi beneran, Van.” Kata Deva sambil memakai helmnya, lalu naik ke jok belakang motor Evan.

Tidak ada sahutan dari Evan, ia hanya diam sambil kembali menyalakan mesin motornya. Membuat Deva langsung mengambil ancang-ancang mencengkram erat bagian belakang tas Evan.

Dan benar saja, setelah itu Evan langsung memacu motornya dengan kecepatan lumayan tinggi. Hampir membuat Deva terjungkal kalau tidak berpegangan.

“Pelan-pelan anjir!! Gua masih mau idup, Evannnn!!” Dumel Deva kesal.

Di balik helmnya, Evan hanya terkekeh tanpa suara. Seru sekali menjahili temannya yang cerewet itu.

“Eh tapi serius ngapain di kita di suruh ke kampus sih?” Tanya Deva dengan suara agak tinggi, takut Evan tidak mendengar karena berpacu dengan suara angin.

“Gatau.”

“Hah? Lu ngomong apaan?” Ulang Deva sambil mendekatkan kepalanya ke arah Evan.

“Gatau.”

“Ngomong apa sih anjir!! yang jelas kek.”

Evan membuang nafasnya berat, “Gatau Devaaa.”

“Oh gatau.” Deva hanya manggut-manggut setelahnya. “Ya kalo gak tau ngapain harus ke kampus coba.”

“Di suruh Pak Robi.”

“Hah? Gak kedengeran, Van.”

“Di suruh Pak Robiii.” Ulang Evan dengan nada suara agak tinggi.

“Ngapain emang Pak Robi?”

“Gatau.”

“Hah?”

Evan memilih tidak menyahut. Berbicara dengan Deva di atas motor memang sanggup membuat emosinya naik.

“Anjir gua nanya malah di kacangin.” Gerutu Deva agak pelan, tapi Evan tetap bisa mendengarnya.

“Lo budek.”

“Hah?”

Lalu Evan memilih tidak bersuara sampai mereka tiba di parkiran kampus.


Evan dan Deva keluar dari ruang kemahasiswaan dengan ekspresi wajah yang berbeda jauh. Evan setia dengan wajah datarnya sedangkan Deva dengan wajah masamnya.

“Gua kira mau ngapain, anjinggg. Taunya duh, sabar Deva, sabar, orang sabar di traktir Evan bakso di kantin.”

Pandangan Evan langsung menoleh ke arah Deva. “Apa-apaan.”

“Lu barusan ngomong mau neraktir gua bakso kan.”

“Kapan?”

“Barusan, dih pikunan dasar.” Kata Deva sambil memasang ekspresi meledek. “Ayo traktir gua.”

Evan mendengus. “Gak mau.”

“Kok gitu? Kan udah janji.”

“Mana ada.”

Deva berdecak pelan, “Bodo amat, pokoknya traktir gua bakso.”

“Bawel ah.” Evan menyahut singkat.

Mereka berdua berjalan menuju arah kantin fakultas. Sesekali menyahuti sapaan adik tingkat yang kebetulan berpapasan dengan mereka.

Yah maklum, Evan dan Deva memang cukup populer di kalangan mahasiswa-mahasiswi kampus karena mereka ketua serta sekertaris himpunan jurusan.

“Woy!”

Begitu sesampainya di kantin, ada Arghi yang langsung menyapa mereka. Pemuda blasteran Indonesia dengan Jepang itu langsung memasang wajah sumrigahnya ketika melihat Evan dan Deva.

“Ngapain tuh Pak Robi?” Tanya Arghi.

Deva membuang nafasnya berat, lalu mendudukan dirinya tepat di depan Arghi. “Cuman ngasih tau mau ngadain rapat evaluasi akhir bulan ini,. Ck, padahal tinggal di kasih tau lewat grup juga bisa.”

“Hahaha, gua kira ada apaan.” Sahut Arghi sebelum kembali menghisap rokoknya. “Eh Van, tugas well logging lu, udah?”

“Udah.” Kata Evan sambil mengangguk. “Nanti gua kirim.”

Arghi kembali tersenyum senang, “Nah gitu dong.”

“Lu ngapain di sini, Ghi? Bukannya kalian kagak ada kelas ya hari ini?” Tanya Deva.

“Laper gua, gabut juga di kosan. Makanya mending ke kampus aja, mayan cuci mata.”

“Apa yang mau lo pake buat cuci mata? Jurusan kita ceweknya cuman 10 biji.” Celetuk Evan.

“Ya kan jurusan lain banyak.”

“Yehh, emang buaya dah lu.” Sahut Deva.

Arghi hanya terkekeh, lalu ekspresinya berubah bingung waktu Evan kembali berdiri dari posisi duduknya. Membuat Deva yang berada di sebelah Evan juga ikut menoleh.

“Mesen makan, kasian ada yang perutnya keroncongan.”

Ucapan Evan langsung membuat Arghi menoleh ke arah Deva. “Ck, ck ck.”

“Apaan, perut gua kagak keroncongan ya.” Kata Deva tidak terima. “Perut lu itu mah.”

Evan hanya melengos, menyentil dahi Deva pelan sebelum pergi untuk memesan makanan. Tidak berapa lama, Evan kembali dengan dua mangkuk bakso, langsung di berikannya pada Deva yang masih merengut.

“Noh makan. Gak usah masang muka jelek kaya gitu.”

Deva langsung hadiahi pukulan pelan di lengan atas Evan. “Gua cakep ya! Tapi, oke. Makasih sob.”

“Ini gua kagak di pesenin sekalian?” Tanya Arghi dengan wajah jahilnya.

“Lo gak ngomong.”

“Iya dah iya.” Arghi tergelak, lalu ganti menatap Deva yang sedang mengaduk-aduk baksonya itu. “Lu ada kelas hari ini, Dev?”

Deva mengangguk. “Ada. Satu kelas doang tapi ntar jam set 2.”

“Panas-panas mah enaknya ngadem di kosan, ini ngampus.”

“Pengennya, tapi jatah absen gua udah abis.”

“Makanya jangan suka ketiduran kalo siang-siang. Udah tau ada kelas.” Sahut Evan.

Pundak Deva langsung menyenggol pundak Evan. “Gak usah protes kalo lu ikutan tidur ama gua.”

Mata Arghi langsung melotot. “Hah? Gimana-gimana?”

“Evan kan suka ke kosan gua kalo gak ada kelas, ngadem katanya mah, eh malah suka ke bablasan tidur juga.” Sahut Deva acuh tak acuh, lalu memilih fokus untuk memakan baksonya.

Membuat Arghi langsung menatap Evan dengan bibir terkulum menahan tawa.

“Nikoooo!!”

Pintu apartemen menjeblak terbuka, setelahnya muncul sosok Ezra yang sedang berlari mendekat ke arah Niko. Senyumnya mengembang lebar, sebelah tangannya memegang lembaran skripsinya yang baru saja di tanda tangan itu.

“Baby.”

Niko menyambut dengan gembira, kedua tangannya langsung terulur meraih tubuh Ezra yang mendekat, lalu mengangkatnya ke udara dengan posisi berpelukan.

Tubuh Ezra berputar, tawanya menguar memenuhi penjuru apartement, membuat Niko senantiasa mengembangkan senyum lebarnya juga.

“Skripsi gua di acc, Niko.” Nada suaranya mengalun antusias, “Woy skripsi gua di acc!! Gua sidanggg!!”

“Congratulations, cantik.” Beberapa kecupan Niko berikan di wajah bahagia itu. Ia turunkan Ezra dari gendongannya lalu mencium keningnya singkat. “So proud of you.”

Kaki Ezra berjingkrak senang. “Tau gitu dari kemaren kita ngewe sebelum gua bimbingan.”

“Heh!” Niko menyentil pelan dahi Ezra. “Gak gitu juga dong, sayang.”

“Ya abis lu liat, langsung di acc anjir tanpa di tanya-tanya lagi.”

“Iya?”

Ezra mengangguk. “Sumpah.”

Satu tangan Niko kemudian mengusak-usak gemas tatanan rambut Ezra, matanya menatap teduh pada sepasang mata bulat yang masih memancarkan sinar gembiranya.

“Kalo gitu,”

“Kalo gitu apa?” Tanya Ezra penasaran begitu Niko menggantungkan kalimatnya.

“Kalo gitu, abis sidang kita liburan. Mau gak?”

Kelopak mata Ezra mengedip cepat. “Liburan? kemana?”

Niko menyunggingkan senyum tipisnya. Ia mengambil terlebih dahulu ponselnya yang berada di atas meja lalu kembali mendekat ke arah Ezra. Mengutak atik sebentar ponselnya sebelum menyerahkan ponselnya pada Ezra.

Mata Ezra menyipit, lalu kemudian membulat kaget. “Hah? Serius?”

Niko mengangguk mantap. “Serius. Udah gua pikirin dari jauh-jauh hari, kalo lo sidang mau gua kasih kado liburan ke Jepang.”

“Niko, lu serius?” Tanya Ezra sekali lagi. “Kalo iya gua lulus sidang, kalo enggak?”

“Pasti lulus, Ra. Lo pasti bisa kok.” Sahut Niko, tangannya terulur untuk menyibak rambut Ezra kebelakang. “Lagian, amit-amitnya lo gak lulus juga, tetep gua ajak liburan ke Jepang. Tapi jangan sampe gak lulus, harus lulus.”

Ezra terdiam, menatap wajah Niko cukup lama sebelum kembali menubruk tubih tinggi itu dengan pelukannya. Ia sembunyikan wajahnya di dada Niko, ia peluk erat-erat seseorang yang selalu menomorsatukan kebahagiaannya itu.

Ia tidak pernah merasa seberuntung ini, tidak pernah merasa di cintai begitu dalamnya oleh orang lain selain keluarganya sendiri, tidak pernah tahu hubungan main-main yang di jalaninya dulu akan berakhir seindah ini.

“Niko, makasih banyak ya. Maaf kalo gua masih banyak kurangnya.”

Niko cium pucuk kepala Ezra cukup lama, tangannya mengelus belakang kepala Ezra seraya membalas pelukan yang lebih kecil. Hatinya ikut gembira, melihat senyum lebar Ezra yang selalu membuat ritme jantungnya meningkat setiap saat.

“You're enough, pretty. I promise.”

Suara pintu apartemen yang terbuka membuat Niko menolehkan kepalanya ke arah belakang, beberapa detik setelahnya Ezra muncul dengan wajah lesunya.

“Ra.”

Panggilan Niko barusan tidak Ezra gubris, kakinya berjalan tertaih menuju Niko, tas yang menggantung di punggung ia taruh dulu di atas sofa. Lalu ikut mendudukan diri di atas karpet, tepat di samping Niko.

Kepalanya bersandar pada pundak Niko, yang mana langsung Niko berikan kecupan singkat di pelipisnya. Mata Ezra menatap lurus pada layar laptop Niko yang menampilkan ppt sidang yang belum sepenuhnya jadi itu.

Niko yang paham kemana arah pandangan Ezra, langsung menutup layar laptopnya. Membuat Ezra menatap bingung ke arahnya.

“Kenapa di tutup?” Tanya Ezra pelan.

Niko tersenyum tipis. “Gapapa.”

Satu tangan Niko meraih sebelah tangan Ezra, menggenggamnya erat dengan jompolnya yang mengusap perlahan punggung tangan halus itu.

“You did well, baby. That's okay.” Bisik Niko, mencium kembali pelipis Ezra lembut.

Satu hembusan nafas berat Ezra hembuskan, kepalanya menunduk, menatap tangan mereka yang bertaut. Berdengung pelan menjawab ucapan Niko barusan.

Kaki Niko yang menyila ia luruskan, kemudian sebelah tangannya menepuk pahanya sendiri. Membuat Ezra menoleh ke arahnya dengan mata bulatnya yang tersorot sedih.

Setelah menatap Niko sepersekian detik, Ezra menurut. Ia kemudian bergerak untuk duduk di pangkuan Niko, menyandarkan kembali kepalanya di pundak Niko, menyembunyikan kepalanya di ceruk leher kekasihnya itu.

Tangan Niko langsung bergerak mengusap-usap pelan punggung Ezra, berusaha memberikan ketenangan pada si mungil yang sedang murung itu. Bibirnya tidak tinggal diam, ikut mengecupi pundak Ezra berulang kali.

Mereka bertahan di posisi itu dalam beberapa menit. Terdiam membiarkan suara air mengalir dari aquarium Niko menjadi backsound di antara keduanya.

Sejak pacaran, Ezra memang senang sekali duduk di pangkuan Niko hanya untuk sekedar menyandarkan kepalanya pada pundak kokoh itu. Menikmati aroma tubuh masing-masing yang memberikan ketenangan pada satu sama lain.

Niko tidak keberatan, ia senantiasa akan menyambut. Terkadang, ia lah yang bergerak duluan menyuruh Ezra untuk duduk di pangkuannya, seperti tadi.

“Jadi beli rokoknya?” Tanya Niko kemudian.

Ezra menggeleng pelan, “Enggak, bingung soalnya mau milih yang mana.”

Niko berhedem pelan. “You've never smoke before, baby. Jangan paksain buat ngerokok kalo emang gak terbiasa.”

“Pengen ngikut bocahan aja. Mereka juga lagi pada stress skripsi jadi pada ngerokok, Tara juga jadi ngerokok tau.”

“Ya tapi kan lo gak pernah ngerokok sebelumnya.” Sahut Niko lembut. “Lo waktu itu nyobain rokok gua satu isep aja batuk-batuk. Jadi jangan ya, sayang.”

Ezra terdiam, lalu kemudian kepalanya mengangguk. Membuat Niko mengulas satu senyum tipis, ikut menyandarkan dagunya pada pundak Ezra.

“Tadi banyak yang di revisi?”

“Enggak terlalu banyak sih, cuman kaya gua udah ngikutin apa kata dosbing gua tapi beliau bilang harus di lebih detail-in lagi. Tau gitu kenapa gak ngomong dari awal coba.” Nada suara Ezra mengalun kesal.

Niko usap-usap lagi punggung sempit itu. “Itu tandanya beliau mau lo mahamin tiap inci skripsi lo, sayang. Kan udah gua bilang, tujuannya pasti baik, biar lo paham betul apa yang lo ambil, biar sidang nanti lo juga gak kesusahan buat ngejawab pertanyaan penguji.”

“Tapi kan gua juga pengen cepet-cepet sidang, Niko.” Kata Ezra dengan rengekan pelan, “Ngeliat yang lain udah pada sidang tuh bikin gua insecure.”

“Gak boleh insecure ah,” Niko menyela cepat. “Everyone have their own time, baby. Gapapa lama pas bimbingan, kalo nanti pas sidang lo cepet dan dapet nilai memuaskan.”

Satu hembusan nafas berat Ezra keluarkan sekali lagi. “Iya sih.”

“Wisuda lo kan juga masih lama, bisa kok ke kejar.” Lanjut Niko, menarik pinggul Ezra agar tubuh di pangkuannya itu semakin merapat.

“Mau makan cemilan gak? Tadi gua abis beli banyak stock cemilan buat lo.”

“Nanti aja deh,” Ezra menggeleng pelan. “Gak nafsu makan apa-apa. Mau peluk aja.”

“Ini kan udah di peluk, sayang.” Niko terkekeh, satu tangannya naik untuk mengusap-usap belakang kepala Ezra. “You did well, baby. You did well.”

Ezra ulas satu senyum tipisnya, mengeratkan kalungannya pada leher Niko. “Thank you.”

Mereka berdua kembali terdiam. Niko senderkan punggungnya pada bagian bawah sofa, menyamankan posisinya agar Ezra juga merasa nyaman.

Sekelebat ucapan Tara semalam melintas di pikiraannya. Niko menimbang-nimbang haruskah ia membicarakannya pada Ezra sekarang atau nanti saja.

Tapi Niko putuskan untuk membicarakannya dengan Ezra sekarang. Setidaknya, Ezra harus tahu kalau ia adalah segalanya untuk Niko.

“Ra.”

“Hmm?”

“Gua mau nanya sesuatu boleh gak?”

Alis Ezra mengerut, “Mau nanya apa?”

“Lo cerita apa aja sama Tara?” Tanya Niko lebih hati-hati, takut merusak mood Ezra yang memang belum sepenuhnya membaik itu.

Ezra menjauhkan wajahnya, menatap Niko dengan ekspresi bingung. “Cerita apa? Gua gak ada cerita apa-apa sama Tara.”

Niko tersenyum tipis. “Sayang, kita udah janji kan buat se-transparan itu ke satu sama lain? Kenapa gak mau cerita?”

Mengerti arah ucapan Niko, buru-buru Ezra peluk kembali leher kekasihnya itu. Menyembunyikan wajahnya ke tempat yang sama.

“Kan udah gua bilang, jangan di bahas chat gua yang salkir waktu itu.” Sahut Ezra pelan. “Itu cuman overthinking gua biasa kok, gak ada maksud apa-apa.”

“Tapi ovethinking lo itu malah nambah beban pikiran lo, Ra.”

“Maaf.”

Gantian Niko yang menghembuskan nafas beratnya. “You worth it, baby. You deserve everything on this world even my whole life too.”

“No, dont say that.” Ezra menggerung pelan.

“Ezra, listen.” Niko dorong pundak Ezra, mencoba menatap mata bulat yang mengedip lambat itu. “Lo pantes sama gua, Ra. Lo lebih dari pantes buat ada di samping gua sekarang.”

“Tapi gua banyak ngeluhnya, Niko. Gua ngerasa gua banyak bikin lo repot setelah kita pacaran. Gua.... kaya gak pantes aja.”

Niko menggeleng tegas. “Enggak. Kata siapa? Siapa yang bilang lo gak pantes buat gua?”

Kepala Ezra tertunduk, enggan menatap pupil kecoklatan di hadapannya itu. “Maaf.”

“I promised myself to treat you with my best, Ra. Jadi jangan pernah sekali pun nganggep diri lo itu malah nyusahin gua selama ini.” Nada suara Niko mengaluh tegas, menandakan kalau ia benar-benar serius dengan ucapannya sekarang.

“Kita emang baru beberapa bulan, tapi lo harus tau,” Niko ambil nafasnya sejenak. “You're probably the best thing that will ever happen to me, and I hope you keep happening to me for a really long time, sayang.”

“I just feel I'm not deserve you at all.” Ezra menyahut sambil berbisik. “Gua bahkan sampe mikir, ya pantes aja Aca dulu gak bisa lepas sama lu, kalo lu emang sesempurna itu buat di milikin.”

“Enggak, pretty. Lo salah.” Niko menggeleng pelan. “Gua masih banyak kurangnya, gua juga masih banyak ngeluhnya sama lo, gua gak sesempurna apa yang ada di pikiran lo sekarang.”

“But-”

“Dengerin gua dulu.” Niko menyela dengan cepat. “Gua bisa ada di posisi sekarang juga berkat lo, Ra. Inget waktu gua bilang gua gak akan bisa handle kuliah gua sama bantuin papa di perusahaan? Lo yang semangatin gua, lo yang selalu ngeyakinin kalo gua bisa. Inget waktu gua panik sama sempro gua waktu itu, siapa yang selalu ada di samping gua, nyemangatin gua kalo bukan lo?”

Niko angkat dagu Ezra yang tertunduk, menatap teduh sosok yang sedang tidak percaya diri itu.

“All the small things you gave to me take a big effect without you knowing it, baby. Seharusnya gua yang bilang lo sesempurna itu buat di milikin, you help me to get out from my toxic relationship and being my antidote. Dan lo masih bilang kalo lo gak pantes buat gua?”

Ezra lagi-lagi tidak menyahut. Setengah hatinya mengiyakan ucapan Niko, namun setengahnya lagi masih menentangnya.

“You know,” Niko buka lagi suaranya, mengecup bibir Ezra sekilas lalu tersenyum tipis. “I've never loved someone this much before. I'm so into you, Ezra.”

“You're liar.” Ezra bergumam.

“No, baby.” Pipi putih yang terlihat kemerahan itu Niko usap pelan. “Lo bisa tanya Jo atau Naka gimana gua ngetreat mantan-mantan gua dulu. Gua gak pernah sejatoh ini seseorang, Ra. Cuman sama lo.”

Lengkungan di bibir Ezra semakin tertarik ke bawah, membuat Niko memberikan beberapa kecupan di seluruh bagian wajah Ezra itu.

“Gua sayang banget sama lo, Ezra.”

“Diem.”

“You deserve me, and I deserve you. We're meant for each other. Case closed.”

“Maaf ya, Nik. Gua bener-bener minta maaf sama pikiran jelek gua.”

Niko kembali menggeleng. “No, don't say that. Lo gak salah apa-apa, sayang. Punya rasa kaya gitu wajar, gua pun juga kadang ngerasa gitu sama lo. Tapi balik lagi, we're like a puzzle piece, we're complete each other half.”

Tangan Niko bergerak mendorong punggung Ezra kedepan, membuat Ezra kembali memeluknya. Niko ikut sembunyikan wajahnya di perpotongan leher Ezra, menghirup aroma manis bercampur cotton lembut yang menjadi candunya itu.

“I love you.” Ezra berbisik pelan.

“I love you more.”

“Jadwal sidang lo, udah keluar?” Tanya Ezra.

Niko mengangguk, “Udah, seminggu lagi gua sidang.”

“Seharusnya gua ngesupport lu ya, tapi gua malah childish kaya gini.”

“It's okay, baby. It's okay.” Niko elus kembali punggung Ezra, lalu sebelah tangannya menyelusup masuk ke dalam kemeja yang Ezra pakai, mengelus kulis halus itu secara langsung.

“Mau kado apa nanti?” Tanya Ezra lagi, “Yang masuk akal tapi, jangan kaya kemaren pas abis sempro.”

“Hahaha.” Niko menjauhkan wajahnya lalu tertawa. “Itu masuk akal kok.”

“Pala lu masuk akal,” Ezra bersungut sebal. “Mana yang dulu bilang gak suka public sex? Mana?”

Lagi-lagi Niko tertawa. “Ya kan pengen sesuatu yang baru.”

“Untung aja kita gak ke gep orang.” Kata Ezra masih mendumel pelan. “Bisa abis kita kalo ada orang yang ngeliat.”

“Tapi pengen lagi gak sih? Kan memacu adrenalin.”

Ucapan Niko sukses di hadiahi pukulan di punggung oleh Ezra, tidak lupa juga Ezra gigit kecil leher Niko sampai sang empu terpekik kaget.

“Iya sayang, iya. Gak lagi deh.” Niko mengaduh kemudian terdiam beberapa saat. “Gua kayaknya gak mau kado apa-apa, Ra. Cukup lo ada di samping gua aja udah ngebuktiin how lucky I am to have you, and I think that's enough.”

“Gombal banget.”

“Bener kok.”

“Nye, nye, nye.” Ledek Ezra, lalu ia tersenyum setelahnya. “Niko, makasih banyak ya, maaf kalo gua masih banyak kurangnya.”

“Sayang, yang paling cantik, my prettiest doll.” Nada suara Niko mengalun rendah. “Damn, I'm so in love with you, baby.”

“Aaahhhh.”

Ezra merengek begitu tangan Niko mengelus punggungnya dari atas sampai bawah, sekaligus memberikan satu ciuman seringan kapas pada lehernya.

Kakinya yang lurus, Niko tekuk. Membuat tubuh Ezra merapat padanya tanpa cela, ia berikan satu ciuman pada bibir yang selalu membuatnya candu itu. Menyalurkan luapan perasaannya di sana.

Ciumannya begitu lembut, bibir Niko bergerak perlahan mengulum bagian bawah bibir Ezra. Penuh ke hati-hatian, bak sedang menyentuh porselen rawan rusak.

Hembusan nafas menerpa wajah masing-masing, Ezra rasakan berat hatinya yang perlahan meringan seiring dengan bibir mereka yang bertaut dari detik ke detik.

“Nikoo.”

Ezra memanggil dengan suaranya yang teredam, membuat Niko menyudahi ciuman mereka lalu mengusap bibir bawah Ezra dengan jempolnya.

“Hmm.”

“Nanti malem aja pas mau tidur.”

“Kenapa gak sekarang?”

Ezra cemberut, “Mau revisian dulu.”

Niko tergelak, ia mengusak ujung hidungnya dengan ujung hidung bangir Ezra. Satu kecupan singkat ia berikan lagi pada bibir manis itu.

“Yaudah ayo kalo mau revisian, gua temenin. Sekalian gua lanjut ngerjain ppt, gapapa kan?”

“Ya gapapa lah, emangnya kenapa?”

Satu senyuman tipis terulas kembali, “That's my baby.”

Ezra berdiri di tepat di depan pintu kedatangan. Matanya melirik ke kanan dan ke kiri secara bergantian, mencari sosok Niko yang belum nampak batang hidungnya sama sekali.

“Ck, perasaan pesawatnya udah landing dari tadi.” Gumamnya pelan, melirik jam tangannya sekilas lalu kembali mencari keberadaan Niko.

Kepalanya menengok ke kanan dan ke kiri lagi, matanya bergerak acak sesekali menyipit. Masih berusaha mencari Niko yang entah bersembunyi dimana itu.

Tanpa sadar seseorang di belakangnya sedari tadi memperhatikan gerak gerik Ezra dengan bibir yang terkulum, menahan tawa. Menggelengkan kepalanya dengan bibir yang berdecak pelan, lalu kakinya berjalan mendekat ke arah Ezra yang seperti anak hilang.

“Nyari siapa sih, cantik?”

“Eh anjing!”

Tubuh Ezra tersentak pelan begitu seseorang menyentuh area tengkuknya, dengan cepat tubuhnya berbalik, dan raut wajah kagetnya seketika berganti dengan ekspresi kesal.

“Nicholas!”

Niko tersenyum seraya menarik pipi Ezra sekilas, “Mulutnya, babe. Ini tempat umum.”

“Lu ish!” Ezra bersungut kesal, “Di cariin juga dari tadi.”

“Hehehe.” Niko terkekeh, sebelah tangannya kemudian bergerak untuk merangkul pundak Ezra, dengan sekilas kepalanya mendekat ke arah leher Ezra lalu tersenyum tipis. “Ganti parfum ya?”

Ezra menggeleng, “Enggak kok. Tapi tadi emang abis di lendotin Tara, makanya mungkin nyampur baunya. Tau sendiri itu bocah kalo make parfum suka di semprotin satu botol.”

Suara tawa Niko mengalun, lalu kepalanya kembali mendekat ke arah Ezra dan berbisik pelan di telinganya. “I miss you.”

“Yaelah, kayak kagak ketemu setaun aja dah lu.” Ezra terkekeh, “But yeah, I miss you too.”

Niko tersenyum tipis, mengacak rambut Ezra sekilas sebelum mereka berdua jalan beriringan menuju parkiran mobil.


Niko keluar dari kamar mandi dengan keadaan yang lebih segar, rambutnya yang basah ia keringkan menggunakan handuk. Matanya menatap Ezra yang terduduk tenang di atas sofa sambil mengutak-atik ponselnya.

“Ra.” panggilnya pelan.

Ezra tidak menoleh, hanya berhedem singkat menjawab panggilan Niko barusan. Sukses membuat Niko mengeryitkan alisnya bingung dengan sikap Ezra yang jadi agak pendiam.

“Ezra.”

“Apa?” Jawab Ezra pelan, lagi-lagi tidak menoleh ke arah Niko.

Satu hembusan nafas berat Niko keluarkan, ia taruh dulu handuk basahnya di jemuran sebelum mendekat ke arah Ezra, mendudukan diri tepat di samping pacarnya itu.

Kepalanya melongo, ikut memperhatikan layar ponsel Ezra yang menampilkan snapgram teman-temannya yang rata-rata sudah selesai sidang skripsi itu.

Dengan perlahan, Niko ambil ponsel yang di genggam Ezra lalu menaruhnya di atas meja. Membuat Ezra menatap bingung ke arahnya.

“Kenapa sih?”

“Jangan di liat lagi.” Kata Niko tegas, “Kalo ngeliat mereka malah bikin lo down, lebih baik jangan di liat.”

Bibir Ezra langsung melengkung ke bawah, “Nikooo.”

Tatapan Niko berubah teduh, ia tangkup kedua pipi Ezra lalu mengecup bibirnya singkat. “Sayang.”

Melihat Ezra yang masih saja cemberut, Niko dengan cepat membawa tubuh yang lebih kecil darinya itu untuk duduk di pangkuannya, yang mana otomatis membuat Ezra langsung menyenderkan kepalanya di pundak Niko.

“Semalem kan gua udah bilang, kalo lo percaya sama diri sendiri lo pasti bisa, yaudah, tanem rasa percaya diri lo itu di dalem hati. Gua tau kok, sedih emang ngeliat temen-temen yang lain udah di tahap selesai sidang sedangkan kita sendiri masih pusing bimbingan.”

Punggung sempit itu Niko usap perlahan, “Tapi coba ambil sisi positifnya, lo susah dapet acc dosbing karena beliau mau lo mahamin betul sama isi skripsi lo, biar waktu sidang nanti, lo bisa lebih santai buat ngadepin penguji.”

“Tapi kan gua juga pengen cepet-cepet sidang, Nik.” Cicit Ezra dengan suaranya yang teredam. “Pengen kayak lu yang gampang banget skripsian, dosbing lu juga ngebimbingnya enak, apalagi lu sekarang tinggal nunggu jadwal sidang doang.”

Niko tersenyum tipis, kembali mengingat pesan curhat Ezra yang tidak sengaja terkirim padanya itu. Satu hembusan nafas pelan Niko keluarkan, bibirnya kemudian mengecupi pundak Ezra yang sedikit terbuka.

“Everyone have their own time, baby.” Katanya sambil berbisik, “Yang penting lo percaya kalo diri lo bisa, that's it! Believe in yourself first and step by step you'll pass it.”

“Tapi kalo gua tetep gak bisa gimana?”

“Gak ada yang gak bisa, sayang.” Niko kecup kembali bahu Ezra, “Lo cuman harus nyoba, lebih semangat lagi usahanya, lebih kencengin lagi doanya.”

“Gua cuman takut gak bisa wisuda tahun ini, Niko.” Ezra merengek, mengeratkan pelukannya pada leher Niko. “Kayak udah mikir, gua bakalan ngecewain Bunda sama Ayah pasti.”

Usapan Niko di punggung Ezra bergerak agak cepat, “Sssttt jangan ngomong gitu ah. Wisuda lo masih 2 bulan lagi, pasti bisa kok ke kejar.”

“Kalo tetep gak bisa gimana?”

“Ezra, dengerin gua.” Niko lepas pelukannya lalu menangkup pipi Ezra dengan kedua tanganya. “Kalo di pikiran lo cuman bilang, gua gak bisa, gua gak bisa, sama aja lo gak ngesupport diri lo sendiri, lo gak percaya sama diri lo sendiri. Kalo kayak gitu terus yang ada lo malah down, sayang.”

Kepala Ezra tertunduk lesu, “Maaf.”

“No, don't say that, pretty.” Niko usap permukaan pipi Ezra dengan jempolnya. “Gua gak bermaksud buat marahin lo, gak sama sekali. Cuman, kalo di mindset lo isinya kayak gitu terus, yang ada nanti lo malah stress. Apa gak makin kehambat nantinya?”

Ezra terdiam, mencerna ucapan Niko yang benar adanya. Terlalu banyak kata 'kalau tidak bisa' yang hadir di pikirannya sepanjang hari, membayangkan kemungkinan terburuk yang malah membuatnya stress padahal belum tentu kenyataannya akan sama.

“Jadi mulai sekarang, ilangin mindset lo yang kaya gitu. Kalo capek, yang harus lo lakuin cuman ambil nafas sejenak sebelum lanjut buat ngambil langkah lagi.”

“Niko.”

“Apa, cantik?”

Kedua bola mata Ezra menatap bola mata Niko dengan tatapan teduh, lalu kedua tangannya naik, ikut menangkup pipi Niko sebelum bibirnya bergerak maju mencium bibir di hadapannya.

“Thank you.” Kata Ezra selepas ia menarik bibirnya mundur, “Maaf ya kalo gua banyak ngeluhnya.”

“It's okay, baby.” Niko lagi-lagi tersenyum tipis, “Asal lo ngeluhnya ke gua, asal lo pulangnya ke gua, gapapa. Gua bakalan tetep setia ngedengerin setiap keluh kesah lo.”

Sudut bibir Ezra tertarik ke atas, mengulas satu senyum manisnya yang berhasil membuat ritme jantung Niko seketika naik.

Kedua tangan Niko bergerak turun, menaruhnya di masing-masing sisi pinggang Ezra lalu menarik pinggul Ezra agar semakin merapat ke arahnya.

“Ra, mau denger sesuatu gak?” Tanya Niko.

“Hmm, apa?”

“Kalo gak bisa lari, ya jalan. Kalo gak bisa jalan, ya merangkak. Asal jangan berhenti.”

Ezra terkekeh, “Quotes nyolong dari mana itu?”

“Nguping sama penumpang samping gua pas di pesawat tadi, hehehe.”

Dengusan pelan Ezra keluarkan, ia menatap mata Niko cukup lama sebelum kembali mengecup bibir plump itu.

“Thank you, Niko.”

“Anytime, pretty.”

Ezra peluk lagi tubuh yang sudah lima hari tidak di jumpanya itu. Merasakan tarikan nafasnya meringan karena ucapan-ucapan Niko barusan.

“Niko.”

“Kenapa, sayang?”

“Honesly, I miss you going inside me.”

Niko tergelak, “Mau sekarang?”

“Emmm.” Ezra terdiam sesaat, menimbang-nimbang kembali ajakannya. “Besok aja deh tapi.”

“Kenapa gak sekarang aja?” Tanya Niko, tangannya menyelusup masuk ke dalam kaos yang di pakai Ezra, mengelus permukaan kulitnya perlahan.

“Mau cuddle aja boleh gak? sampe ti- ah! Jangan di toel anyink!” Ezra mendadak bersungut sebal ketika telunjuk Niko menyentuh tonjolan kecil di dadanya.

Niko hanya mengeluarkan cengirannya. “Hehehe.”

“Mau cuddle aja sampe tidur, ya?” Pinta Ezra.

“Tapi masih sore gini, Ra, masa mau tidur?”

Ezra cemberut, “Ngantuk gua, capek tau nunggu dosen dari pagi tadi.”

Suara tawa pelan mengalun dari bibir Niko. “Iya sayang, iya. Ayo.”

Kemudian Niko bawa tubuhnya untuk bangkit dari sofa, dengan Ezra yang masih setia memeluknya, menempel persis seperti bayi koala pada induknya.

“Ciumannya juga jangan lupa.” bisik Ezra pelan di telinga Niko.

Niko mengangguk seraya tersenyum, “Of course, baby.”

Lalu pintu kamar tertutup dengan sedikit bantingan.

Ezra terkekeh begitu suara bell apartemennya berbunyi, dengan tergesa ia taruh buah apel yang baru saja di gigitnya setengah itu, lalu berjalan menuju pintu apartemennya.

Wajah datar Niko lah yang pertama kali menyambut, membuat Ezra mengulum bibirnya menahan tawa.

“Hai.”

“Emang bener-bener ya.”

“Apa?” Tanya Ezra seraya terkikik, “Kenapa emangnya?”

“Ezra.”

Nada suara Niko mengalun rendah, lalu tanpa di duga ia angkat tubuh Ezra dan menggendongnya bak memanggul beras. Membuat Ezra terpekik dan berusaha turun dari gendongan Niko.

“Diem, jangan bergerak.” Kata Niko, lalu berjalan menuju ke arah sofa tempat Ezra duduk tadi, dan menurunkan tubuh Ezra di sana.

Matanya menatap Ezra dengan pandangan tajam, yang mana bukannya membuat Ezra takut, tapi malah terkekeh.

“Apa sii? Kenapa?”

“Itu beneran?”

“Apa?”

“Daffa nembak lo?”

Ezra mengendikan bahunya sekilas, “Ya ngapain bohong, gak ada untungnya.”

“Terus lo terima?”

Seringai tipis langsung muncul di surut bibir Ezra. “Di terima gak yaaa.”

Niko ikut mendudukan dirinya di samping Ezra, membuat Ezra menoleh ke arahnya dengan tatapan bingung. Namun dengan cepat tubuhnya berpindah tempat menjadi di atas pangkuan Niko.

“Kebiasaan!” Pekik Ezra kesal.

Sorot mata Niko menatap teduh dua pasang pupil hitam di hadapannya. “Ezra.”

“Apa?”

“Di terima atau enggak?” Tanya Niko lagi.

“Maunya gua jawab apa?” Bukannya menjawab, Ezra malah bertanya balik dengan ekspresi menggodanya. “Kalo gua jawab iya, kenapa? kalo gua jawab enggak, juga kenapa?”

“Don't tease me, babe.”

“Hahaha.” Ezra tergelak, matanya menyipit begitu mulutnya terbuka lebar mengeluarkan tawa. Lalu ketika tawanya berhenti, ia tatap mata Niko dengan sorot teduhnya.

“Gua jawab, iya.” Katanya pelan.

Niko terdiam, kedua alisnya seketika menukik. Melayangkan ekspresi wajah tidak sukanya yang begitu ketara. Membuat Ezra menahan tawanya mati-matian.

“Pretty, c'mon. Beneran lo jawab iya?”

Ezra mengangguk. “Maaf ya, Niko.”

Satu hembusan nafas berat terhembus, Niko pejamkan matanya lalu dengan perlahan menurunkan Ezra dari pangkuannya.

“Yaudah, mau gimana lagi.” Kata Niko dengan suara pelannya. “Congrats, ya.”

Ezra terdiam beberapa saat sambil memperhatikan Niko yang terlihat begitu frustasi, bibirnya kembali terkulum, lalu dengan cepat meraih wajah Niko dan mengecup bibirnya.

“Bercanda, Niko.” Ucap Ezra sambil terkekeh. “Gak gua jawab iya kok.”

Gantian Niko yang terdiam, menatap Ezra yang kini menyunggingkan senyum manisnya. Merasakan jempol Ezra yang mengelus permukaan pipinya dengan perlahan itu.

Tanpa di duga, Niko angkat lagi tubuh yang lebih kecil itu untuk duduk di pangkuannya kembali. Dengan cepat menyambar bibir ranum itu, menarik pinggang Ezra agar tubuhnya semakin menempel ke arahnya.

Ezra dengan senang hati menyambut bibir Niko, kedua tangannya bergerak untuk memeluk leher Niko, memperdalam ciuman mereka.

Bibir Niko bergerak melumat bibir bawah Ezra dengan perlahan, begitu lembut, seakan-akan yang di kecupnya ini adalah sebuah guci porselen rawan rusak, yang bisa retak hanya dengan sentuhan kecil.

Secara bersamaan, dua hati menghangat. Melebur menjadi satu dari detik ke detik, mengutarakan rasa sayang yang tanpa di ucap dengan kata-kata pun, bisa mereka pahami dengan baik.

Keduanya tersenyum di sela-sela ciuman. Begitu nafas memendek, Niko jauhkan wajahnya, jempolnya bergerak mengusap bibir bawah Ezra yang setengah bengkak itu.

“Ra.”

“Hmm.” Ezra berdehem pelan, kembali mendekatkan wajahnya lalu menempelkan dahinya dengan dahi Niko. “Kenapa?”

“Makasih banyak ya.” Niko tersenyum tipis, “Makasih karena lo udah hadir di hidup gua walaupun kisah awal kita cuman buat sekedar main-main. Tapi, tanpa sadar kita berdua ngelangar rules paling inti dalam sebuah hubungan fwb. Gua bersyukur karena lo gak nolak gua waktu itu.”

Ezra tersenyum tipis, sebelah tangannya bergerak untuk kembali mengelus pipi Niko. Satu kecupan ia berikan di atas bibir Niko.

“Ezra, makasih banyak karena udah jadi antidote ketika gua ada di ambang rasa sakit. Lo bikin gua sadar kalo apa yang selama ini gua jalanin emang seharusnya gua udahin dari awal.”

Kepala Ezra mengangguk, ia tidak menyahut karena membiarkan Niko menyelesaikan ucapannya dulu.

“Maaf karena gua pernah nyakitin lo, gua bahkan gak berusaha buat ngehindar atau apapun itu. Maaf malah ngebuat mata lo ngeliat hal yang gak seharusnya lo liat.”

“It's okay, itu udah berlalu, Nik.”

Niko kembali terdiam, menatap Ezra dengan sorot teduhnya. Sekali lagi, ia kecup bibir yang berada di hadapannya itu.

“Ezra, my pretty little doll, yang paling cantik, yang paling baik.” Niko ambil nafasnya sejenak. “Ra, gua sayang banget sama lo.”

Ezra terkekeh pelan, matanya mengerjap dengan cepat begitu rasa panas menguar dari sana. Lalu dengan cepat memeluk kembali leher Niko dan menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Niko.

Membuat Niko tersenyum, satu tangannya naik untuk mengelus punggung Ezra dengan perlahan.

“Gua bakalan berusaha ngasih yang terbaik buat lo apapun itu, I'll treat you with my best, tapi sebagai gantinya, jangan pernah pergi dari sisi gua ya, Ra.”

“Iya.” Kepala Ezra kembali mengangguk pelan, “Lo juga.”

“Kita gak akan tau bakalan gimana nanti ke depannya, tapi lo pasti tau dalam setiap hubungan, gak akan selamanya di hadepin sama jalanan lurus tanpa lubang. Pasti bakalan ada satu atau dua lubang yang ngeganggu mulusnya sebuah jalan.”

Niko menarik nafasnya kembali. “Tapi gua harap, dengan adanya lubang-lubang kecil itu lah yang bikin hubungan kita tetep jalan. Tolong tegur gua kalo gua bikin salah sama lo ya, Ra.”

“Iya, Niko.”

“Mulai saat ini, gua bakalan bilang apapun yang gua rasain ke lo, gua bakalan se-transparan itu. Ezra, lo mau kan jadi tempat gua pulang?”

Ezra menjauhkan kepalanya dari ceruk leher Niko, menampilkan matanya yang berkaca-kaca lalu kembali mengangguk mantap.

“Kalo gua gak mau gimana?” Tanya Ezra.

Niko tersenyum. “Gapapa, gua masih punya banyak waktu buat ngejar rumah gua buat pulang.”

Kekehan pelan Ezra keluarkan, dia peluk kembali Niko, menyandarkan kembali kepalanya di pundak kokoh itu. Ezra tarik nafasnya lalu menghembuskannya dengan satu senyum di wajah.

“Welcome home, Nicholas.”

Niko tersenyum, gemuruh rasa bahagia menyambar hatinya yang paling dalam. Bibirnya kemudian berbisik pelan di telinga Ezra.

“Ezra, I love you.”

“I love you too, Niko.”

Mereka berlima melirik satu sama lain dengan ekspresi wajah menahan tawa.

“Sumpah ini kita harus ngapain anjir kalo dia dateng?” Tanya Naka sambil tertawa, kemudian menghembuskan asap rokoknya ke udara.

Jonathan menggaruk-garuk pelipisnya bingung, “Harus ekting begimane ini?”

Niko dan Ezra sontak tertawa. Mereka berdua memang sengaja mengajak Jonathan serta Naka ke apartemen Niko sore itu. Tadinya mereka juga mengajak Tara, tapi sahabat Ezra yang satu itu tidak bisa ikut karena harus mengantar Ibunya pergi.

“Diem aja gapapa, cukup liatin terus aja kalo dia di sini nanti.” Sahut Niko, kemudian melirik sekilas ke arah Ezra yang duduk di sampingnya. “Inget apa yang gua bilang?”

Ezra mengangguk paham, “Yes, Sir.”

“Eh tapi serius dah, Nik. Gua masih bingung harus ngapain ntar.” Kata Jonathan, mengambil satu batang rokok lalu menyulutnya. “Maksudnya diem aja kagak ngomong apa-apa?”

Niko mengangguk. “Ya kalo lu mau ngobrol juga gapapa, kagak ada yang ngelarang.”

“Berarti kita kek mau nyidang si Aca ya jatohnya.” Sahut Naka, menatap bergantian ketiga temannya itu.

Ezra hanya tersenyum, menoleh ke arah Niko yang sama-sama tersenyum. “Well.. kalo lu nganggepnya gitu sih, emang bener. Agak jahat cuman ini idenya Niko biar Aca kagak ngeganggu lagi.”

“Oh oke gua paham.” Jonathan menganggukan kepalanya pelan, “Sip, nanti gua ekting jadi cowo cool diem-diem menghanyutkan yang punya slogan 'tatapanmu, membunuhku'.”

Satu gumpalan tissue bekas langsung mengenai wajah Jonathan, pelakunya siapa lagi kalo bukan Naka.

“Kebanyakan nonton sinetron lu anjir.”

“Yaudah sih lu protes aja, gua ini yang nonton, ngapa lu yang repot.”

“Udah ih lu berdua kenapa malah berantem,” Sela Ezra cepat. “Eh tapi gua punya ide deh.”

“Apa tuh?”

Ezra tersenyum, kemudian memberi gestur agar ketiga orang itu mendekat ke arahnya.


Suara bel apartemen membuat Ezra yang tadinya berfokus pada layar tivi langsung mengalihkan pandangannya, begitu pula Jonathan serta Naka yang tadinya sibuk bermain ps.

“Dateng tuh dateng.” Kata Naka sambil berbisik heboh.

“Lo aja yang buka, Zra. Niko lama banget anjir boker doang.” Sahut Jonathan sambil mendumel pelan.

Ezra terkekeh, lalu ia bangkit dari posisi duduknya. Berjalan cepat ke arah pintu apartemen, menintip sebentar dari lubang kecil yang ada di pintu, lalu ia mengambil nafasnya dalam.

Tangannya terulur, membuka gagang pintu dengan perlahan.

“Nik- eh, Ezra?” Suara Aca yang tadinya terdengar antusias, berubah. Ekspresi wajahnya juga langsung berubah bingung.

Ezra tersenyum, “Hai Aca, ayo langsung masuk aja. Niko lagi di kamar mandi tadi.”

Aca terdiam beberapa saat, kemudian tersenyum lebar. Lalu kemudian masuk ke dalam apartemen Niko dengan mengekori Ezra dari belakang.

“Zra.”

Kepala Ezra menoleh, “Iya, kenapa?”

“Itu anu, lo emang lagi di sini atau gimana?” Tanya Aca.

“Iya emang lagi disini, sama Jonathan sama Naka juga. Biasa, tanding ps.” Sahut Ezra sambil tersenyum tipis. “Gapapa kan, Ca? Gua sama yang lain gak akan nguping kok.”

Aca mengangguk patah-patah, “Iya gapapa kok. Btw, makasih banyak ra, Zra. Berkat lo akhirnya Niko mau ketemu sama gua.”

“Hahaha, iya selow aja, Ca. Kan kita temen.” Sahut Ezra seraya memamerkan cengirannya, “Duduk dulu aja, Ca. Gua mau balik maen sama bocahan ya.”

“Oh iya, Zra. Makasih banyak ya.”

Ezra hanya mengangguk singkat, lalu kembali mendekat ke arah Jonathan serta Naka yang masih sibuk bermain ps itu. Mendudukan diri tepat di antara mereka berdua, dan berlagak heboh memperhatikan permainan Jonathan dan Naka.

Aca sendiri langsung mendudukan dirinya di sofa apartemen Niko, yang tata letaknya sengaja di rubah, lebih agak menjauh dari tempat sebelumnya.

Mata Aca memperhatikan ketiga orang yang masih sibuk dengan dunianya itu, memperhatikan bagaimana Ezra yang begitu akrab dengan Jonathan dan Naka. Berbeda sekali dengannya yang masih agak canggung dengan dua sahabat Niko itu walaupun sudah mengenal sejak SMA.

Suara kenop pintu yang terbuka membuat Aca sedikit membulatkan matanya, langsung menatap ke arah Niko yang baru saja keluar dari kamar mandi.

“Niko.” Panggilnya cukup kencang.

Tapi Niko menghiraukannya, sama sekali tidak menoleh ke arah Aca dan langsung berjalan mendekat ke arah tiga temannya. Mengobrolkan sesuatu yang entah apa itu hingga Niko tersenyum lebar.

Dan Aca bisa melihat dengan jelas bagaimana tangan Niko mengusak-usak rambut Ezra dengan gemas. Membuat sesuatu di dalam hatinya tercubit sakit.

Lalu ekspresi Niko berubah drastis begitu menoleh ke arah Aca. Wajah serta tatapan datarnya sukses membuat Aca yang tadinya akan kembali memanggilnya itu hanya menyunggingkan senyum canggung.

“Niko.”

Niko tidak menyahut, hanya berjalan ke arah Aca lalu mendudukan diri di sofa tepat di depan Aca yang memunggungi ketiga temannya itu. Ah ralat, dua teman serta pemilik hatinya itu.

“Gua gak punya banyak waktu, cepet omongin apa yang mau lo omongin, Ca.” Kata Niko dengan nada suara yang juga sama datarnya. “Ah tapi sebelum itu, boleh kan gua nanya sesuatu sama lo?”

Aca menelan ludahnya gugup, “Mau tanya apa?”

“Dari mana lo dapet nomor Ezra?” Tanya Niko dengan nada suara yang agak mengintimidasi, “Seinget gua, gua ataupun temen gua yang lain gak pernah ngasih nomor Ezra ke lo.”

“Itu...” Bola mata Aca bergerak gelisah. “Waktu itu aku ambil dari hape kamu, maaf kalo aku lancang. Aku cuman pengen punya nomor Ezra kayak aku punya nomor temen-temen kamu yang lain.”

Jawaban Aca sukses membuat jari-jari Niko terkepal, ia kemudian membuang nafasnya gusar.

“Kayaknya gua udah sering bilang ke lo buat gak buka hape gua tanpa seizin gua deh, Ca.”

Aca langsung memasang ekspresi memelasnya. “Maaf, Nik.”

“Udah lupain. Sekarang cepet lo mau bilang apa.” Kata Niko sambil menatap tajam Aca dengan kedua matanya. “To the point, gua gak suka yang bertele-tele.”

Gadis itu mengambil nafasnya terlebih dahulu sebelum kembali membuka suara.

“Niko, I'm really sorry for all the things I did to you. Aku minta maaf atas semua perbuatanku selama ini, aku nyesel banget udah segitu jahatnya sama kamu. Aku tau aku salah banget di sini, aku main sama yang lain di belakang kamu, aku... khilaf.”

Niko tidak menyahut, hanya diam menatap Aca yang matanya mulai berkaca-kaca.

“Tapi aku janji, aku gak akan ngulangin semua perbuatanku itu, Niko. Aku bakalan jadi orang yang lebih baik lagi, aku bakalan mutus semua kontak sama orang-orang yang pernah berhubungan sama aku di belakang kamu. Aku bakalan lebih berusaha buat ngontrol emosiku, tapi tolong, aku gak mau putus sama kamu, Nik.”

Aca menyeka air matanya yang terjatuh. “Mama udah nampar aku kenceng banget kemaren, dan itu bikin aku sadar kalo selama ini aku salah banget sama apa yang udah aku ambil.”

Niko memejamkan matanya sejenak. Membiarkan Aca yang mulai menangis di tempatnya, satu hembusan nafas berat ia keluarkan, lalu kembali menatap ke arah Aca.

“Gua udah maafin semua hal yang lo bilang ke-khilafan lo itu. Tapi sorry, Ca,” Niko jeda ucapannya sejenak. “Gua udah gak bisa balik lagi sama lo, dua tahun udah cukup bikin gua muak harus selalu pura-pura di depan lo.”

Isakan Aca mulai terdengar kencang, membuat ketiga orang yang duduk berderet di depan tivi itu mulai saling berbisik dan melirik satu sama lain.

“Niko, aku bener-bener minta maaf. Aku janji gak akan ngulain semua kesalahanku ke depannya nanti.”

“Gua udah maafin lo, Ca. Tapi maaf, kalo buat balik ke lo lagi, gua udah gak bisa.”

“Niko,” Aca mengambil nafasnya di sela-sela tangisnya. “Aku mohon, aku bakalan berubah.”

Hembusan nafas berat kembali keluar dari mulut Niko. “Ca, bagus kalo lo merasa kalo lo salah dan mau buat berubah. Tapi gua minta maaf, gua bener-bener gak bisa balik lagi ke lo.”

“Tapi kenapa?” Tanya Aca bingung, menyeka air matanya sekali lagi. “Tapi kenapa, Niko? Aku bahkan udah mencoba buat lebih baik dari sebelumnya.”

“Ca-”

“Woy hape siapa tuh bunyi.”

Suara Jonathan langsung membuat mereka berdua menoleh ke arah depan tivi. Dimana tiga orang manusia sedang heboh mencari asal suara ponsel yang berbunyi.

“Hape gua mati, hape lu kali, Zra.” Kata Naka sambil menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri.

“Apaan hape gua ini lagi gua pegang. Lu kali, Jo.”

“Hape gua nada deringnya gak gitu anjir.”

Niko terkekeh melihat ke tiga orang itu. “Ezra,”

Mendengar Niko memanggil namanya, Ezra sontak menoleh. “Apa? Hape kamu yang bunyi ya, Nik?”

Kepala Niko mengangguk, “Iya, di kamar. Tolong ambilin bisa kan?”

“Oke bentar.”

“Ye ngomong dong dari tadi, Nik. Udah heboh aja kita, ya kan, Nak?”

Naka mengangguk. “Yoi, dah ayo lanjut lagi.”

Naka hanya terkekeh, melirik sekilas ke arah Aca yang kedua matanya bergerak mengikuti pergerakan Ezra yang begitu santai masuk ke dalam kamar Niko.

Ezra keluar dari kamar Niko dengan membawa ponsel berwarna hitam itu, kemudian berjalan mendekat ke arah Niko.

“Siapa, Ra?”

“Mama.” Sahut Ezra, sambil menyerahkan ponsel Niko. “Angkat dulu ini.”

Niko menggeleng, “Kamu aja yang angkat, bilangin Mama aku masih ada urusan gitu.”

“Gapapa emangnya?”

“Gapapa, sayang. Angkat aja.” Kata Niko sambil tersenyum.

Ezra kemudian mengangguk paham, mengangkat telfon lalu berjalan menjauh dari ruang tengah. Ia terlihat begitu antusias ketika berbicara pada seseorang di ujung telfon sana.

Membuat Jonathan serta Naka diam-diam melakukan high five sambil terkekeh, melirik kompak ke arah Aca lalu kembali melanjutkan permainan.

Niko tolehkan kembali pandangannya ke arah Aca yang terdiam, satu senyum tipis terulas di wajahnya.

“Kayaknya, tanpa gua kasih tau kenapa, lo juga paham kan, Ca?” Tanya Niko.

Aca mengerjapkan matanya berulang kali, mulutnya terasa kelu sekarang. Bahkan ia menyahut dengan ucapan yang terputus-putus.

“Kamu... s-sama Ezra...”

Niko mengangguk. “Maaf ya, Ca. Hati gua udah di genggam sama sosok terbaik yang paling pantes buat gua curahin semua kasih sayang gua.”

“Nik-”

“Niko!”

Kepala Niko menoleh kembali ke arah belakang, menatap Ezra yang menaruh kembali ponselnya di atas meja. “Kenapa, cantik?”

“Mama bilang besok mau kesini.”

“Oh ya?”

“Iya.” Ezra mengangguk, lalu matanya sekilas menatap Aca yang juga menatapnya.

Lagi-lagi Niko tersenyum teduh. “Yaudah berarti aku besok jemput kamu selesai kampus ya?”

“Oke.” Ezra tersenyum, kemudian pandangannya beralih ke arah Aca, satu senyuman lebih lebar tersungging, kemudian berucap tanpa suara. “Sorry, Ca.”

Ezra kembali berbaur dengan Jonathan dan Naka yang kini heboh meledeknya.

“Cailah mau ketemu camer nih.” Naka menaik turunkan alisnya menggoda. Sengaja mengeraskan suaranya agar Aca ikut mendengar.

Jonathan menepuk pundak Ezra sekilas. “Yaiya lah, manggilnya aja udah Mama, bukan Tante lagi. Ia gak, Zra?”

Ezra hanya tertawa sebagai jawaban.

Niko tolehkan lagi pandangannya ke arah Aca. “Kayaknya, udah gak ada yang mau lo omongin lagi kan, Ca?”

Gadis itu tidak menyahut, hanya menatap Niko dengan sorot terlukanya.

“Semoga janji lo yang mau jadi pribadi lebih baik bener-bener lo lakuin ya, Ca.” Niko tersenyum tipis. “Dan gua minta maaf kalo mungkin sehabis ini, gua bener-bener gak bisa kontak ataupun ketemu sama lo lagi.”

Aca masih terdiam dengan air matanya yang masih mengalir. “Niko.”

“Udah ya, Ca? Jangan ganggu gua lagi ataupun Ezra, ataupun temen-temen gua yang lain. Gua harap lo bisa nemuin yang lebih baik lagi dari gua nantinya.” Lanjut Niko.

Tanpa sepatah kata pun, Aca bangkit dari posisinya. Langsung berjalan menuju pintu apartemen dengan tergesa, hanya terdengar suara isak tangisnya, lalu suara debuman kencang dari pintu menandakan bahwa gadis itu sudah benar-benar pergi.

“WOOO MINGGAT LU SONO JANGAN BALIK LAGI!!” Seru Naka sambil melakukan highfive dengan Jonathan dan Ezra.

“BYE-BYE ACA!! WELCOME EZRA!!”

Mereka semua tertawa setelahnya.