sweettynsaltt

Mobil abu-abu itu terparkir tepat di samping motor Deva dengan kaca spionnya yang pecah. Evan keluar dari dalam mobil dengan wajah datar, nyaris menyentuh ekspresi tidak ramah pada siapapun yang melihatnya.

Pintu mobil tertutup lumayan kencang, kakinya yang jenjang melangkah menuju ke dalam klinik, bertanya sebentar pada resepsionis dan langsung diarahkan menuju ruangan ugd. Beruntung klinik saat itu sedang sepi, hanya ada beberapa orang yang mungkin sedang mengantri kontrol pada dokter.

Begitu kakinya menapaki lantai ugd, mata tajam Evan mengedar, dan berhenti tepat dimana Deva berada. Tanpa menunggu lama, ia mendekat, membuat Rayyan yang duduk menghadap ke arahnya langsung mendadak terdiam.

Menyadari hawa tidak mengenakan dibelakang tubuhnya, Deva mau tidak mau menoleh, ia mendapati Evan berdiri tidak jauh dari bangsalnya dengan ekspresi datar dan kedua tangannya yang terlipat di depan dada.

“Khem.” Rayyan berdehem pelan, membenarkan posisi duduknya lalu tersenyum kikuk ke arah Evan. “Cepet amat Van udah nyampe.”

Ucapan Rayyan barusan tidak dihiraukan oleh Evan, lelaki itu masih menatap lurus ke arah Deva yang kini sunggingkan satu cengiran khasnya, dengan ringisan pelan yang keluar dari bibirnya.

Paham dengan situasi yang mendadak canggung, Rayyan langsung pergi dari sana dengan dalih ingin merokok sebentar di depan.

Kaki Evan melangkah mendekat, ia tepat berdiri di hadapan Deva sambil memperhatikan sahabatnya itu dari ujung kaki hingga ujung kepala.

Deva lagi-lagi meringis, “Gak sengaja nyerempet.”

“Hm.” Ketua Hima itu hanya berdehem pelan. “Administrasi udah di bayar?”

“Belum.” Kepala Deva menggeleng, bola mata bulatnya menatap ke arah Evan dengan kelopak yang mengedip lambat. “Marah ya?”

“Lo pikir aja sendiri.” Sahut Evan ketus. “Apa aja yang luka?”

“Cuman kaki doang sih keseleo, sama ini, ini, ini.” Kata Deva sambil menunjuk sikut, punggung tangan, dan lututnya yang tergores.

“Ini apa?” Tangan Evan terulur menyentuh pelipis Deva yang memerah. “Di cium aspal?”

“Hehehe.” Deva terkekeh, “Iya sama ini juga. Tapi gapapa kok, gak parah ini kan.”

Evan tidak menyahut, ia malah melepas jaket denimnya lalu menyampirkannya di pundak Deva. “Yaudah pulang.”

“Lu jangan marah dulu tapi.”

“Ini gak sekali-duakali, Devara.” Ujar Evan dengan nada datar. “Gak puas?”

“Ya kan gua juga gak tau kalo bakalan nyerempet lagi.” Sahut Deva cemberut. “Musibah mana ada yang tau sih.”

“Hm. Bisa jalan?”

“Kaki gua keseleo ngomong-ngomong.” Gantian Deva yang menyahut dengan nada ketus. Ia menunjuk pergelangan kakinya. “Tuh, bengkak.”

“Yaudah sebentar, gua bayar dulu terus kita pulang.”

Evan dengan cepat berlalu dari hadapan Deva menuju tempat administrasi, membuat Deva hanya membuang nafasnya berat lalu mengambil ponselnya untuk menelfon Rayyan yang pergi keluar tadi.

Nada sambung ketiga, suara Rayyan menyahut dari balik telfon.

“Bantuin gua, Evan kayaknya marah.”

'Salah lu sendiri kan hahahaha.'

“Cepet balik lagi kesini.”

'Bawel ah, bentar masih tinggal setengah batang.'

“Ck.” Decakan pelan Deva keluarkan sebelum mematikan sambungan telfon, helaan nafas berat kembali ia hembuskan lalu kedua tangannya mengusap wajahnya. “Susah emang punya temen overprotektif.”

Suara tepakan antara lantai teras dengan sol sepatu Deva terdengar cukup nyaring, tidak lama, kepalanya menyembul dari balik pintu dengan senyumnya yang merekah lebar.

“Selamat sore rakyatkuu!!”

Suaranya menggema, membuat seluruh orang yang berada di dalam sekre menoleh padanya. Tidak terkecuali Evan dan Zhifa yang terlihat duduk berdekatan itu.

Sepatunya Deva lepas, ia kemudian melangkah masuk dengan berlari kecil menuju ke arah Evan berada, dan Evan otomatis ikut tersenyum lebar lalu menepuk lantai di sisi kirinya yang kosong.

“Sumrigah banget lu, Dev.” Kata Arghi sambil mengelap helm barunya.

“Iya dong.” Sahut Deva semangat, tasnya ia lepas lalu ditaruhnya tepat di samping kakinya. Deva kemudian menoleh pada Evan lalu mengulurkan tangannya. “Mana es krimnya?”

Evan mengacak rambut Deva sekilas sebelum meraih kantong plastik yang berisi pesanan Deva itu. “Cair kayaknya, tapi engga tau sih, buka aja.”

“Yah gua kelamaan ya?” Kata Deva dengan nada sedih, ia kemudian tidak sengaja bertatap mata dengan Zhifa yang duduk tidak jauh dari Evan itu. “Eh mbak Zhif, tumben nangkring di sekre.”

Zhifa terkekeh, “Iya, lagi pengen aja gua.”

“Kagak sekalian konsul masalah dana ke kahim? kan kita mau evaluasi bulanan ntar.”

Senyum di wajah Deva tetap merekah, tapi bagi yang menyadari, ada sindiran di dalam ucapan Deva barusan. Meningat sebelumnya ia pernah cekcok dengan Zhifa terkait dana himpunan.

“Oh udah tadi,” Zhifa tersenyum. Matanya kemudian berganti menatap Evan yang nyatanya kini memfokuskan pandangannya ke arah Deva. “Iya kan, Van?”

Evan menoleh sekilas lalu mengangguk. “Iya.”

“Bagus deh kalo gitu.” Deva menganggukan kepalanya pelan. Lalu meraih satu es krim dari dalam kantong plastik, membukannya dengan cepat. “Ah, untung kagak cair.”

“Keselek kalo lo makannya kaya gitu, Dev.” Tegur Evan ketika melihat Deva memasukan setengah es krim ke dalam mulutnya. “Pelan-pelan, gak akan ada yang minta.”

“Eh mau dong, Devvvvv!!!”

Suara Rayyan yang baru masuk ke dalam sekre mengalun kencang. Ia langsung berlari ke arah Deva dan merebut es krim yang di pegang Deva.

“Thanks, bestie.” Katanya sambil tersenyum lebar dan menggoyang-goyangkan stick es krim tepat di depan wajah Deva. Kemudian berjalan mendekat ke arah Jave yang tertidur pulas di sudut ruangan.

Deva menoleh ke arah Evan dengan wajah datar, pipinya mengembung dengan alis yang mengkerut. Membuat Evan langsung terkekeh dan mencubit sebelah pipi Deva sekilas.

“Masih ada satu lagi.” Evan raih satu buah es krim yang masih berada di dalam kantong plastik, membukanya, lalu memberikannya pada Deva. “Nah.”

“Gwak muwngkwin gwak awda yanb..” Deva telah terlebih dahulu es krim yang berada di dalam mulutnya, lalu mengambil es krim yang Evan berikan. “..minta.”

“Beli lagi nanti.” Sahut Evan dengan nada tenang. Ia kemudian malah memperhatikan Deva yang sibuk mengigiti kepingan coklat yang berada di atas es krim itu. “Enak?”

Deva mengangguk, senyumnya kembali merekah. Membuat Evan juga ikut tersenyum tipis lalu pandangannya beralih ke layar ponselnya.

Mata Deva kemudian ikut beralih, tidak sengaja kembali berpapasan dengan Zhifa yang melihat ke arah dirinya dengan Evan. Tapi Deva hanya menaikan bahunya acuh lalu kembali memakan es krim miliknya itu.

Pandangannya ia alihkan, menatap teman-temannya yang berada di sekre secara bergantian. Rata-rata mereka sedang tertidur, ataupun sibuk dengan ponsel masing-masing. Maklum, selain tempat untuk berkumpul, sekre juga bisa menjadi tempat mereka mengistirahatkan tubuh sejenak sehabis seharian bergelut dengan materi-materi kuliah.

Tubuh Deva tiba-tiba tersentak pelan begitu Evan menaruh sebelah tangannya dibagian paha Deva yang dekat dengan lutut, matanya menatap tangan Evan sebelum berganti menatap sang empu.

Tapi Evan terlihat acuh, masih terihat fokus pada ponselnya dengan alis yang sesekali berkerut. Bahunya Deva kembali naikan acuh, kemudian melanjutkan kegiatannya yang masih memakan es krimnya yang tinggal setengah itu.

“Eh gua cabut ya.” Suara Zhifa menggema diantara kekosongan ruang tengah sekre, membuat beberapa dari mereka yang masih tersadar menatap kompak ke arah Zhifa.

“Mau kemana, Zhif?” Tanya Sandra yang baru saja bangun dari tidurnya itu. “Balik?”

“Iya, ada urusan soalnya.”

“Oh yaudah hati-hati ya.” Sahut Sandra lalu membenarkan letak bantal kecil miliknya, dan kembali tertidur.

Deva menatap Zhifa yang sudah bersiap akan pergi itu. “Gak ntaran aja Zhif baliknya.”

“Pengennya gitu, cuman gua ada urusan. Gerah juga sih pengen mandi.” Kata Zhifa sambil menyampirkan totebagnya di pundak. “Duluan ya gua.”

“Tiati, Zhif.” Kata Arghi, setelah Zhifa berlalu ia kemudian menatap Deva yang juga menatapnya lalu tertawa. “Perasaan hari ini kagak gerah-gerah amat dah.”

“Yaelah lu, gerahnya beda.” Celetuk Rayyan sambil membenarkan posisinya menjadi terlungkup. Matanya masih sibuk menatap ponsel. “Gerah yang lain.”

“Ngomongin apa dah?” Tanya Deva bingung. “Kalo dia emang mau mandi gara-gara gerah yaudah, kenapa lu pada malah kek netizen.”

“Yehh, bego lu mah, Dev.” Kata Arghi sambil terkikik.

“Emang sialan ya lu,” Deva lempar gumpalan sampah bekas bungkus es krim itu ke arah Arghi, tepat mengenai pipinya. “Strike.”

“Anyink, songong lu, Devara.” Sahut Arghi sambil membuang gumpalan sampah itu ke sembarang arah, lalu lanjut mengelapi helm barunya yang sudah mengkilap itu.

Deva tertawa, namun tawanya perlahan memelan seirama dengan usapan telapak tangan Evan pada lututnya. Ia kembali tatap Evan yang masih menundukan pandangannya ke arah ponsel yang sedang dipegangnya.

Sadar di tatap oleh Deva, Evan angkat wajahnya lalu menatap wajah sahabatnya itu agak lama sebelum kembali tersenyum tipis.

“Mau dengerin wanderlust?” Tanyanya.

Deva terdiam sejenak sebelum menangguk. “Mau.”

Evan kemudian merogoh kantung hoodienya dan mengeluarkan earphone miliknya. Ia pakaikan sebelah earphone sisi sebelah kiri pada telinga kanan Deva, lalu memakaikan sisi sebelahnya lagi pada telinganya sendiri.

“Lagu ontario lagi booming tau akhir-akhir ini.”

“Iya?”

Deva kembali mengangguk. “Rame dipake di tiktok.”

“Baru tau gua, bagus lah.”

Evan kemudian mengutak-atik ponselnya sebentar lalu tidak lama intro dari Ontario mulai mengalun. Ia tatap lagi bola mata bulat Deva yang serupa dengan biji leci itu kemudian tersenyum tipis.

Sebelah tangan Evan tiba-tiba terulur menuju wajah Deva, membuat Deva sedikit memundurkan wajahnya lalu matanya terpejam begitu Evan mengambil sesuatu dari bawah matanya.

“Bulu mata lo jatoh lagi.” Kata Evan pelan.

Kelopak mata Deva kembali terbuka, “Kayaknya sering banget ya bulu mata gua copot.”

“Tapi malah makin tebel.” Evan memperhatikan helaian bulu mata Deva sambil mendekatkan wajahnya. “Makin lentik juga.”

“Yah kalo itu mah udah dari sananya.” Kekeh Deva, ia kemudian mendorong wajah Evan menjauh. “Jangan deket-deket ah.”

Evan terkekeh, “Kenapa emang? Kan mau ngeliatin bulu mata lo doang.”

“Ya gak boleh.” Deva berdecih pelan, lalu memasukan ujung cone es krim yang katanya menjadi bagian ternikmat itu ke dalam mulutnya dalam sekali hap.

Tangan Evan kemudian kembali mengusak-usak kepala Deva dengan gemas. Tanpa menyadari ada dua orang yang sedari tadi memperhatikan tingkah mereka dengan ekspresi tidak habis pikir.

Arghi dan Rayyan kemudian saling bertatapan dengan alis yang kompak mengkerut dan mulut yang terbuka.

“Gua gak paham lagi.” Kata Arghi pelan. “Kayaknya gua harus cepet-cepet mesen tiket ke neptunus.”

“DEMI TUHAN LU BERDUA MENDING JADIAN AJA DAH!”

Suara Rayyan yang menggelegar sontak membuat seluruh orang yang berada di sekre tersentak kaget, apalagi Jave yang memang kebetulan tidur dekat dengan Rayyan itu.

Kepalan tangan Rayyan meninju lantai dengan gemas, lalu kembali fokus pada ponselnya seperti tidak terjadi apa-apa.

Evan dan Deva kompak bertatapan dengan wajah bingung.

“Kenapa dah?”

Evan menggeleng. “Kerasukan kali.”

“KALIAN BERDUA YANG KERASUKAN BANGSAT!”

Lagi-lagi suara Rayyan membuat keduanya tersentak, oh jangankan Evan dan Deva, teman-temannya pun yang tertidur kembali tersentak dengan wajah yang mengkerut bingung.

Namun Rayyan kembali berlagak seolah-olah tidak terjadi apa-apa barusan. Matanya menatap layar ponselnya yang sedang menampilkan adegan drama itu.

“Kenapa sih?!” Tanya Jave kesal. “Suara lu kaya kaleng rombeng, mending diem dah anjir, ganggu aja.”

Sebuah jaket melayang kemudian menutupi wajah Jave yang kemudian disusul dengan gerutuan kesal.

Evan kembali menoleh, menatap Deva dengan raut bingung. “Kenapa?”

“Kagak tau.” Deva menggeleng, “Kerasukan reog kali.”

“Oh.”

Mereka berdua kembali fokus pada dunia masing-masing, tanpa menyadari Arghi yang mengigit kepalan tangannya gemas seraya menatap mereka berdua dengan pandangan dongkol.

Puntung rokok terbuang diatas aspal, asap berhembus menyatu pada udara pagi buta yang terasa dingin. Deva gunakan ujung sendalnya untuk menginjak sisa rokoknya yang masih sedikit membara hingga mati sepenuhnya.

Wajahnya terlukis masam, entah kenapa. Membuat Evan yang sedari tadi mencuri pandang ke arah Deva akhirnya membuang nafas berat seraya mengeser posisinya lebih mendekat.

“Kenapa?” Tanya Evan pelan. Pandangannya menatap lurus ke arah jalanan yang lenggang.

Deva menoleh singkat, lalu mendesah dengan nafas berat. “Gapapa.”

“Mau balik?” Tanya Evan lagi, matanya melirik pada jam tangan yang menunjukan pukul setengah dua. “Sebentar lagi pagi.”

Tarikan nafas panjang Deva ambil sebelum membuangnya dengan mulut yang mendesis. Ia menoleh, menatap Evan yang masih menghabiskan setengah batang rokoknya dengan ekspresi tenang.

“Lu... capek gak sih?”

Evan hembuskan pelan asap yang berada di dalam mulutnya, menoleh pada Deva yang menatapnya. “Tentang apa?”

“Temenan sama gua.” Sahut Deva cepat. “Kalo capek, gapapa Van. Lu bisa istirahat.”

Ucapan Deva membuat Evan berdecak pelan, batang rokok yang terselip diantara dua jarinya langsung ia buang ke atas aspal, menginjaknya kuat hingga terlihat hampir menyatu dengan aspal.

“Ayo balik.” Katanya, tanpa menoleh kembali ke arah Deva.

Remote key ditekan, membuat suara kunci mobil yang terbuka terdengar begitu nyaring ditengah keheningan Ibu kota yang malam ini lebih sunyi dari biasanya.

Deva ikuti kemana arah pergerakan Evan, menatap sahabatnya yang kini mulai beranjak dari posisinya dan berjalan menuju ke arah mobil. Hingga Evan masuk pun, Deva masih terdiam di tempat, pandangannya beralih, menatap kedap-kedip lampu jalanan yang rusak.

Ada yang mengganjal di hatinya sejak chat terakhirnya dengan Zhifa tadi. Karena bukan sekali dua kali gadis itu menanyai keberadaan Evan padanya. Asumsi jika Zhifa menyukai Evan yang saat ini masih sibuk berlalu-lalang di dalam pikirannya.

“Devara.”

Suara Evan menyentak Deva dalam lamunannya, wajahnya ia angkat, menatap Evan yang menatap lurus ke arahnya dari balik kaca mobil. Satu nafas panjang Deva hembuskan sebelum beranjak dari posisinya.

Tangan Deva terulur, meraih kenop pintu mobil lalu membukanya. Tubuhnya ia banting ke atas jok lalu kembali menutup pintu mobil, punggungnya bersandar, ia ambil ponselnya dari kantung celana lalu menaruhnya pada bagian atas dashboard.

“Deva.”

“Hm.”

“Apa lagi?”

“Apanya yang apa?”

“Biasain kalo lagi diajak ngomong itu natap lawan bicaranya, Deva. Tau manner sama attitude kan?”

Pertanyaannya sederhana, namun nada suara Evan yang kelewat datar membuat Deva langsung menolehkan wajahnya. Menatap Evan yang juga menatap ke arahnya.

“Apa?” Tanya Deva pelan. “Gua ngantuk, Van. Ayo balik.”

Evan tidak bergeming, matanya menatap lurus ke arah mata bulat Deva yang seperti biji leci. Membuat atmosfer diantara keduanya mendadak dingin.

“Lo kenapa sih, Dev?” Tanya Evan pada akhirnya.

Alis Deva mengeryit bingung. “Kenapa apanya? Gua gak kenapa-kenapa.”

“Gak bisa langsung to the point?” Tanya Evan lagi. “Gua bukan peramal dev yang bisa nebak-nebak apa isi kepala lo sekarang.”

“Gua gak ada nyuruh lu buat nebak apa yang ada dipikiran gua kan?” Tanya Deva balik. “Udah ayo balik, gua ngantuk.”

“Terserah, Dev.”

Deva tidak menyahut, ia sandarkan punggungnya pada punggung jok lalu sebelah tangannya ia gunakan untuk menutupi kedua matanya.

Nafasnya Deva ambil dengan berat. Ia mengerti kemana arah pembicaraan Evan sebenarnya, hanya saja Deva tidak punya energi lagi untuk berdebat terkait perasaannya yang akhir-akhir ini sering tidak karuan.

Mobil abu-abu itu melenggang dengan kecepatan yang lumayan tinggi. Jarum panah pada speedometer hampir menuju angka 90, melesat cepat menembus lenggangnya jalanan di pagi buta.

“Gua belum mau mati, gak usah ajak gua buat mati sekarang.”

Suara Deva mengalun pelan, hampir berbisik. Evan tidak menghiraukannya, emosinya mendadak naik saat mendengar perkataan Deva di awal tadi.

Sahabatnya itu, hanya pura-pura atau memang bodoh sih?

“Adhitama.”

Suara gesekan ban dengan aspal terdengar nyaring, Deva hampir saja terjembab ke depan kalau kakinya tidak langsung menahan bobot tubuhnya sediri.

Kepalanya menoleh, alisnya menukik dengan dahi yang mengkerut menatap bingung ke arah Evan yang hanya terdiam dengan pandangan lurus.

“Lu kenapa sih, njing?” Suara Deva terdengar menyentak.

“Bukannya gua ya yang harusnya nanya kaya gitu sama lo?” Evan terkekeh sinis, kepalanya menoleh ke arah Deva dengan ekspresi datar. “Semua gak akan jadi rumit Dev kalo lo mau jujur sama perasaan lo sendiri.”

“Perasaan apa? Gua gak ngerasa bohong buat perasaan gua sendiri.” Elak Deva.

“Oh ya?” Sebelah alis Evan terangkat naik. “Kalo kayak gini, apa lo masih bisa bohong?”

“Kayak giman-”

Ucapan Deva terhenti ketika Evan dengan cepat menarik tengkuknya, mempertemukan bibir mereka dalam satu lumatan penuh emosi.

“Lep...ash!!!” Deva berusaha menjauhkan wajah Evan yang berada tepat di depan wajahnya, kedua tangannya ikut bergerak berusaha mendorong Evan menjauh.

Namun pergerakan Evan lebih cepat, ia kunci kedua tangan Deva hanya dengan sebelah tangannya. Emosinya meluap, harus dengan cara apa lagi agar manusia bodoh di hadapannya ini jujur dengan perasaannya sendiri?

“Evan lep..pasin gua, bang..sat!!”

Deva memberontak, berusaha melepas seluruh kendali Evan pada tubuhnya sekarang. Matanya terpejam, menahan panas di pelupuk matanya sendiri agar tidak menangis.

“Evan!!”

”....”

”....”

“Dev?”

“Devara!!”

“Hahhhhh.”

Deva kembali membuka matanya, terduduk di atas kasur sambil meraup oksigen dengan rakus seperti orang yang baru saja selesai melakukan marathon.

“Deva, lo kenapa?” Tanya Evan dengan ekspesi panik. “Denger gua kan?”

Kepala Deva menoleh, menatap Evan masih dengan raut paniknya yang begitu terlihat jelas. “Lu kenapa disini anjir?!”

“Hah?” Evan membeo, “Kan gua bilang mau nginep, ya gua disini lah.”

“Hah?” Gantian Deva yang membeo. “Bu..bukannya tadi kita di jalan-”

“Ck.” Evan berdecak pelan. “Ngigo lagi kan.”

Deva menggelengkan kepalanya berulang kali, matanya mengerjap cepat sambil berusaha menarik seluruh kesadarannya. Begitu tangan Evan terulur hendak menyentuk pundaknya, Deva langsung menepisnya dengan cepat.

“Jangan pegang gua!”

Evan seketika terdiam, namun tidak lama ia akhirnya terkekeh sambil menggelengkan kepalanya tidak habis pikir.

“Makanya, kalo disuruh baca doa tuh, baca doa. Bukan malah nonton orang bikin kastil di tengah hutan pake tanah sama bambu!”

Suara kekehan Evan masih mengalun, ia bangkit dari posisinya untuk mengambilkan segelas air mineral pada Deva yang masih terlihat sedikit shock.

“Nih minum,” Tangan Evan yang memegang gelas terulur. “Buruan, gua mau tidur lagi.”

Deva terdiam beberapa saat sambil menatap wajah Evan, lalu perlahan tangannya meraih gelas yang berada di tangan Evan, meneguk hingga tandas seperti orang yang berada di tengah gurun.

Begitu Deva mengulurkan gelasnya kembali, Evan langsung mengambilnya, menaruhnya balik ke atas meja kecil yang tepat berada di bawah kakinya.

“Tidur lagi, Dev.” Evan merebahkan tubuhnya kembali, menyamankan posisi di atas kasur deva yang tidak terlalu besar itu. Tapi cukup untuk menampung dua orang. “Tidur.”

Tubuh Deva tertarik kebelakang karena Evan menarik kaus yang dipakainya. Membuat Deva kembali terlentang dengan mata yang masih mengerjap mencari kesadarannya.

Mimpi tadi, terasa begitu nyata.

“Merem.” Pandangan Deva menggelap, telapak tangan Evan menutup kedua matanya. “Jangan kaya orang linglung.”

“Van.”

“Hm.”

Dengan perlahan, Deva menyingkirkan telapak tangan Evan yang menutupi kedua matanya. Kepalanya menoleh, menatap Evan yang sudah memejamkan matanya kembali.

“Tadi... pas sebelum nyampe kosan kita ngapain?” Tanya Deva pelan.

Evan membuang nafasnya, mengeser sedikit posisinya ke arah pinggir kasur. “Ngapain? Ya nongkrong aja kaya biasa.”

“Kita ke jembatan gak sih?” Tanya Deva lagi.

Dahi Evan langsung mengeryit, kelopak matanya kembali terbuka, wajahnya menoleh ke arah Deva yang berada di sampingnya. “Jembatan? Ngaco.”

“Gua ngerasa kita abis duduk dijembatan, itu sepi banget, abis itu kita kaya ribut, terus-”

Ctak.

“Aduh!”

Deva otomatis langsung memegang dahinya yang baru saja di sentil oleh Evan. Setelah itu tubuhnya di dorong membalik menghadap tembok.

“Tidur, gak usah ngomong aneh-aneh.” Kata Evan pelan, sebelah tangannya menahan punggung Deva agar Deva tidak berbalik. “Lo kalo udah ngigo suka ngaco.”

“Ish!” Deva berdecih, ia raih guling kesayangannya yang Deva pakaikan sarung guling bermotif spongebob itu. Memeluknya erat.

Sebelah tangan Evan yang tadi menahan punggung Deva beranjak naik, tersampir di atas kepala Deva lalu menepuk-nepuknya pelan.

“Ngapain di pat-pat?” Tanya Deva bingung.

“Biar cepet tidur.” Sahut Evan singkat. “Baca doa.”

“Bawel lu.”

“Setan dasar.”

“Apa?!”

Evan dengan cepat menahan kepala Deva agar tidak berbalik. Ia dorong pelan kepala sahabatnya itu lalu kembali menepuk-nepuk pucuk kepala Deva.

“Tidur, Dev. Astaga.”

Deva menggerung pelan, bibirnya bergerak seperti orang marah-marah namun tanpa suara, kembali memeluk erat gulingnya lalu menatap lurus pada tembok yang tepat berada di hadapan wajahnya itu.

Pikirannya lari entah kemana, kelopak matanya mengedip lambat namun masih enggan untuk menutup kembali. Merasakan telapak tangan Evan yang masih menepuk-nepuk pelan pucuk kepalanya itu.

Rasanya nyaman sekali, persis seperti rasa yang pernah ia rasakan dulu sebelum akhirnya berputar 360 derajat. Berubah terlalu cepat hingga meninggalkan bekas yang masih menjadi alasan Deva membangun benteng tingginya.

Tepukan Evan dikepalanya memelan, begitu terhenti, Deva tolehkan kepalanya ke arah belakang, menatap Evan yang kembali tertidur dengan nafasnya yang berhembus teratur.

Deva tatap wajah sahabatnya itu cukup lama, memperhatikan detail pahatan sempurna milik Evan yang terlihat begitu damai dalam tidurnya.

“Van.” Bisik Deva pelan, walaupun ia tahu Evan tidak akan menjawabnya. “Semoga ya.”

Lalu helaan nafas berat Deva keluarkan, sebelum kembali membalikan wajahnya menghadap tembok. Menutup kedua kelopak matanya dan kembali tertidur.

For everyone who ask why Niko always down his knee to Ezra....

Senyum tipisnya terulas, mata dengan pupil kecoklatan itu menatap seseorang yang sibuk berceloteh dengan kakinya yang mengayun-ayun di atas kap mobil. Terlalu sibuk memperhatikan sampai lupa pada ice cream yang dipegangnya itu mulai meleleh.

“Niko! Netes tuh.”

Ezra menunjuk ke arah ice cream cone yang Niko pegang, hasil bujuk rayu Ezra yang tadi merengek ingin membeli ice cream namun alhasil Niko juga yang akan menghabiskan sisanya.

“Eh iya,” Niko tersentak, dengan cepat ia mengambil beberapa lembar tisu dalam mobil. Kemudian mengelap permukaan tangannya yang terkena tetesan ice cream. “Untung lo bilang, babe.”

“Bengong mulu sih, mikirin apaan emang?” Tanya Ezra dengan mata bulatnya yang menatap lurus pada Niko. “Kerjaan?”

Niko mengangkat wajahnya, tersenyum tipis pada Ezra lalu mencubit pipi kemerahan itu dengan gemas. “Enggak, lagian lagi sama lo ngapain mikirin kerjaan.”

“Heleh,” Ezra menunjukan ekspresi meledeknya. “Eh, gua laper tau.”

“Mau makan?” Tanya Niko. “Tapi tadi abis ngemil banyak kan.”

“Ya itu kan ngemil, bukan makan.” Sanggah Ezra sambil merapatkan jaket Niko yang dipakainya. “Dah yuk cabut, mulai dingin disini.”

Melihat Ezra yang hendak turun dari atas kap mobil dengan cara melompat, membuat Niko refleks membuang ice cream yang dipegangnya lalu kedua tangannya memegang sisi tubuh Ezra dengan ringisan kecil keluar dari bibirnya.

“ES KRIMNYA KENAPA DI BUANG NIKO!”

Bukannya berterima kasih, Ezra langsung menyentak Niko yang kini terkejut dengan suara Ezra yang melengking. Kekehan pelan mengalun setelahnya.

“Lo lagian, asal lompat gitu aja. Bikin kaget.” Ucap Niko lalu mengusak-usak rambut Ezra yang sudah terlihat berantakan akibat angin laut. “Jangan kaya gitu lagi ah.”

“Lebay banget dih.” Sahut Ezra jutek, “Sayang tau es krimnya jadi kebuang gitu aja.”

Niko berikan satu kecupan di pipi Ezra yang terasa dingin itu. “Maaf, sayang.”

“Gak boleh buang-buang makanan tau Nik, even itu cuman es krim ataupun satu butir permen.”

“Kan gak sengaja, babe.”

“Hhhhh.” Ezra menghela nafasnya pendek. “Yaudah ayo cabut, gua mau makan pecel lele, takut keburu tutup nanti.”

“Pecel lele di tempat biasa?” Tanya Niko lagi.

Ezra mengangguk, “Iya lah, disitu sambelnya enak. Yang di tempat lo rekomendasiin waktu itu sambelnya kurang nampar.”

“Sini gua tampar,” Kata Niko sambil terkekeh.

Satu alis Ezra naik. “Spank?”

“Babe.” Niko langsung memasang ekspresi datarnya. “Jangan mancing ya.”

“Lah siapa yang mancing, tuh bapak-bapak disono noh yang lagi mancing.” Kata Ezra sambil menunjuk gerombolan bapak-bapak yang terduduk di pinggir karang dengan kail di tangan.

Satu kecupan Niko berikan di bibir Ezra yang terbuka, setelah itu kedua tangannya menangkup sisi wajah Ezra dan memberikan banyak kecupan di permukaan wajah yang lebih kecil.

Ezra dengan susah payah menyingkirkan wajah Niko yang masih begitu dekat dengannya itu. “Tempat umum anjir, yang iya aja kenapa sih.”

“Gamau nge-remake.”

Pertanyaan Niko sontak membuat dahi Ezra berkerut. “Remake apaan?”

“Dulu, di sini. Lupa emangnya?”

Sel-sel di otak Ezra bekerja dengan cepat, dahinya semakin mengkerut dengan alis yang menukik. Mengingat-ingat kembali hal apa yang pernah dilakukannya bersama Niko di tempat ini.

“Gua gak inget apa-apa.” Ucap Ezra pada akhirnya setelah berdiam diri cukup lama.

Gema tawa yang mengalun pelan keluar dari mulut Niko, “Beneran lupa?”

“Apa sih emangnya?”

“Gelato..” Bisik Niko. “And cotton candy.”

“Gelato? Cotton candy?” Ulang Ezra dengan wajah bingung. Namun seketika matanya yang sudah bulat itu semakin membulat. “Heh!”

“Ah,” Niko tersentak begitu Ezra mencubit perutnya dengan tiba-tiba. “Pretty.”

“Ck,ck,ck, otak lu ya emang, Nicholas.” Ezra berdecak dengan kedua tangannya yang bersedekap di depan dada. “Tadi siang kita baru aja abis ngewe, okay?”

“Ya kan cuman bilang doang, cantik.” Niko lagi-lagi terkekeh. “Bukan maksudnya mau ngajak lagi.”

Ezra tidak menyahut, namun bibirnya bergerak membuat gestur meledek Niko.

“Emangnya gak mau?” Tanya Niko.

“Ya mau, tapi jangan sekarang. Gua laper, please.”

“Yaudah iya, ayo makan.”

Niko ambil sebelah tangan Ezra lalu menariknya menuju pintu penumpang, ia bukakan pintu mobil terlebih dahulu sebelum sebelah tangannya refleks ia taruh di atas kepala Ezra ketika Ezra masuk ke dalam mobil.

Satu senyum tipis Ezra terulas. “Thanks, babe.”

Niko balas senyum itu dengan senyum lebarnya hingga kedua lesung pipinya terlihat, sebelum menutup kembali pintu mobil dan berjalan ke sisi sebelahnya.

Tidak berapa lama, suara mesin mobil menderung. Niko baru saja hendak beranjak memakaikan Ezra seatbelt namun kekasihnya itu lebih dulu menarik seatbelt Niko dan memasangkannya. Membuat Niko memberikan satu kecupan tipis di pelipis Ezra.

“Gantian.” Sahut Ezra sambil terkekeh.

Niko kembali tersenyum, menatap wajah Ezra yang tetap terlihat begitu mengagumkan, bahkan di dalam ruang gelap yang hanya terbias cahaya samar lampu yang berjejer di sisi pantai.

“Ra,”

“Hm?” Ezra menoleh kembali, bulu matanya mengedip lambat. “Kenapa?”

Lalu Niko membalasnya dengan gelengan kecil. “Gapapa, lo cantik banget.”

Reason number one, his beauty really makes him insane..

Ezra is the only one person after his mom who takes all the beauty in this world, dan Niko tidak memungkiri, jika ia jatuh untuk pertama kali pada Ezra berkat sosoknya yang sanggup memukau Niko di hari pertama pertemuan mereka di Crematology saat itu.

That's why Niko always calling Ezra with 'pretty' petname. Karena Ezra memang cantik, boneka porselen cantik yang hanya miliknya.

“Niko!”

Suara Ezra menyentak Niko dari lamunanya, kelopak matanya langsung mengedip cepat. “Eh, kenapa?”

“Bengong lagi kan.” Sahut Ezra dengan bibir bawahnya yang mendadak maju, “Kenapa sih bengong mulu dah perasaan, ada yang dipikirin? Kalo mau cerita, cerita aja. I'm always listening kok.”

“Enggak, sayang.” Satu tangan Niko terulur untuk mengusak-usak rambut Ezra gemas. “Tapi gua kepikiran satu hal sih.”

“Apa?”

“Lo kenapa cantik banget sih, Ra? Pake pelet ya?”

“Yeee ngaco.” Ezra memukul lengan atas Niko, “Udah ah buruan, laper tau.”

Niko tertawa, “Iya, iya, ayo makan.”

Setelahnya, rem tangan di tarik. Mobil putih itu perlahan melenggang meninggalkan area pantai, berjalan dengan kecepatan sedang di tengah sepinya lalu lintas malam ini.

“Tapi, Nik.”

“Kenapa?”

“Gua emang pake pelet sih.”

“Ikan lele atau ikan bawal?”

Setelah itu, Ezra dorong bahu Niko sekilas. “Enggak gitu konsepnya anjir.”

“Hahahaha.”

Reason number two is, Ezra always gave him a bunch of happiness since he comes to Niko's life...

Niko belum pernah merasa sebahagia ini bersama seseorang yang bukan dari keluarganya sendiri. Bahkan dari semua mantan-mantannya dan Aca sekalipun, tidak ada yang pernah ada yang bisa membuat Niko merasa seperti orang yang jatuh cinta setiap detiknya.

Tapi Ezra, bahkan hanya dengan suara kekehannya yang lucu itu berhasil membuat jantung Niko berdebar tidak menentu, walaupun ia sudah sering sekali mendengar suara kekehan Ezra itu.

Ah, disaat-saat seperti ini, Niko menyesali kenapa ia begitu bodoh bertahan dengan Aca selama itu. Seharusnya ia bisa lebih cepat bertemu dengan Ezra agar dunia miliknya kembali sebagaimana seharusnya.

Jika dahulu Niko yang terus merangkul, kini ia rasakan pundaknya juga sama-sama di rangkul oleh seseorang.

Ezra memang terkadang menyebalkan di waktu-waktu tertentu, merengek, marah-marah, ataupun sikap jahilnya yang seperti anak kecil. Namun Niko juga tidak memungkiri sebegitu hebatnya Ezra berada di sisinya, merangkul pundaknya, memberikan usapan lembut di punggungnya ketika Niko merasa titihan langkahnya terasa berat.

Seperti yang pernah Niko bilang sebelumnya, dia tidak pernah merasa sejatuh ini dengan seseorang.

Dan Niko berharap, ia akan jatuh berulang-ulang pada sosok yang sama.

But, there's only one thing that makes Niko always falling for Ezra again and again...

“Niko,”

“Hm.”

“Nikooo,”

Niko angkat wajahnya, menatap ekspresi wajah Ezra yang tiba-tiba berubah sedih.

“Kenapa, sayang?”

Ezra terdiam beberapa saat sebelum tangannya ia celupkan ke dalam kobokan air lalu mengelapnya dengan tissue, tidak lupa menyemprotkan beberapa semprot handsanitizer lalu kembali menatap Niko.

“Makannya belum selesai, Ra.” Tutur Niko dengan ekspresi bingung. “Kenapa gak di abisin?”

“Gua keluar dulu ya, sebentar, sebentar banget, nanti balik lagi.”

“Mau kemana?” Tanya Niko bingung, gantian ia yang membersihkan tangannya dengan cepat. Namun ketika ia hendak meraih handsanitizer, Ezra lebih dulu mengambilnya. “Ra,”

“Abisin makanannya, gua bentar kok keluar, nanti lanjut makan lagi seriusan.”

Ezra baru saja hendak berdiri namun sebelah tangan Niko menahan pergerakannya. “Mau kemana, sayang?”

“Sebentar, sebentar aja. Gak lebih dari lima menit kok.”

“Gua ikut.”

“Enggak, lo disini aja, jagain tempat.” Ezra menyela cepat, “Bentar doang, oke?”

Setelah itu, Niko bisa lihat dengan kedua matanya Ezra yang terburu-buru keluar dari dalam kedai dan kembali bersama dua orang anak kecil yang terlihat lusuh.

Seulas senyum tipis kembali muncul.

“Nah, kalian duduk disini ya sama Kak Niko, biar Kakak pesenin makan buat kalian dulu, okay?”

Niko bisa lihat kedua anak itu mengangguk patuh, binar-binar rasa senang begitu terpancar di kedua mata mereka saat Ezra mengusak-usak rambut mereka secara bergantian.

Lalu pandangan Ezra beralih ke arah Niko. “Nik, gapapa kan?”

“Gapapa, cantik.” Sahut Niko dengan nada bangga. “Pesenin yang banyak, biar mereka makannya juga kenyang, oke?”

Ezra mengangguk, senyum lebarnya terulas hingga kedua matanya menyipit lucu. Begitu Ezra pergi untuk memesan makanan tambahan, pandangan Niko beralih ke arah dua anak kecil yang duduk tepat di hadapannya itu.

“Hai, nama kalian siapa?”

Mereka berdua terdiam cukup lama, saling berpandangan satu sama lain dengan sorot takut sebelum suara Niko kembali mengalun dengan lembut.

“Gapapa, jangan takut. Kakak gak gigit kok,” Niko terkekeh, “Nanti makan yang banyak ya, harus diabisin makanannya kalo enggak nanti Kakak yang itu ngomel.”

“Tapi Kakaknya baik,” Cicit salah satu anak sambil melirik ke arah Ezra yang masih berdiri agak jauh dari mereka.

“Iya, Kak Ezra emang baik, tapi cerewet.”

“Cerewet kaya Ibu pas marah-marah ya?” Ucap salah satu anak pada anak lain yang duduk di sampingnya.

“Enggak tau.”

“Ibu kalian emang suka marah-marah?” Sela Niko, membuat keduanya kembali menatap Niko lagi.

Lalu kepala mereka mengangguk kompak.

“Iya, Kak. Ibu suka marah kalo kita pulangnya cuman bawa rongsokannya sedikit, terus besoknya kita pasti gak dikasih makan sama Ibu.”

Niko tidak menyahut, ia hanya ulas kembali satu senyum tipis yang kalau diperhatikan begitu miris.

“Yaudah, kalo gitu disini harus makan yang banyak ya?”

Dan mereka kembali mengangguk kompak, membuat sebelah tangan Niko terulur lalu mengusak-ngusak rambut keduanya bergantian.

“Ih, jangan dipegang Kak, rambut kita bau, banyak debunya. Nanti tangan Kakak kotor.”

“Eh, jangan bilang kaya gitu.” Sela Ezra yang baru saja menghampiri mereka kembali. “Gapapa, Kak Niko ngusap-ngusap rambut kalian soalnya kalian lucu, gak bikin kotor kok.”

Kedua anak itu kembali berpandangan ke arah satu sama lain sebelum akhirnya lagi-lagi mengangguk kompak.

“Ah iya, Kakak lupa nanya nama kalian siapa.” Ezra terkekeh pelan, “Boleh Kakak tau nama kalian gak?”

“Boleh Kak,” Sahut salah satunya dengan nada antusias. “Aku Kiran, yang ini Dipta.”

“Namanya bagus banget,” Puji Ezra. “Nah, Dipta sama Kiran kalo makananya udah dateng, di makan ya. Jangan sungkan sama Kakak, anggep aja Kak Ezra sama Kak Niko ini Kakak kalian, oke?”

“Boleh kak?” Tanya Kiran dengan suara pelan.

Ezra tersenyum. “Boleh, sayang. Tapi makanannya diabisin ya? Pokoknya harus kenyang baru nanti Kakak anter pulang. Oke?”

“Dianter pulang?” Ulang Dipta. “Naik apa kak?”

“Naik mobilnya Kak Niko, mau kan?”

“Naik mobil?” Gantian Kiran yang mengulang, nadanya benar-benar antusias. “Naik mobil?!”

Ezra mengangguk, “Iya naik mobil, mau kan?”

“Mau, Kak!!” Sahut mereka kompak, membuat senyum di wajah Ezra dan Niko kembali tersungging lebar. “Kita enggak pernah naik mobil bagus soalnya.”

“Oke, dianter pulang naik mobil tapi janji dulu sama Kakak,” Ezra condongkan tubuhnya ke arah depan. “Mau gak janji dulu?”

“Janji apa, Kak?” Tanya Dipta.

“Janji ya, kalo udah malem kayak gini jangan keluar, harus dirumah. Di luar kayak gini serem, banyak orang yang belum tentu baik ke kalian. Udah gitu banyak kendaraan yang ngebut, pokoknya kalian harus di rumah. Jangan kemana-mana.”

“Tapi... nanti Ibu marah, Kak.” Sahut Kiran dengan nada pelan. “Ibu suka marah kalo karungnya belum penuh pas kita pulang.”

Ezra terdiam, ia menoleh menatap Niko yang juga menatapnya. Satu anggukan dari kekasihnya itu menjadi instruksi tersirat untuk Ezra.

“Ibu kalian gak akan marah lagi kok.” Sahut Ezra dengan nada riang, “Kakak janji.”

“Gimana caranya, Kak?”

Ezra pandang kedua anak kecil itu secara bergantian sebelum satu senyum tipisnya terulas begitu syahdu.


Punggung Niko bersandar pada headbed kasur, matanya memperhatikan Ezra yang bersandar di dadanya dengan pandangannya yang fokus menatap layar ponsel, bermain game.

“Pretty,”

“Hm.”

“Dipta sama Kiran, beneran mau lo sekolahin?”

Pergerakan jari Ezra terhenti, ia mendongkak menatap wajah Niko yang berada di atasnya. “Ya beneran lah, ngapain harus bohong.”

“Tanggung jawabnya gede loh, sayang.” Kata Niko sambil mengusap rambut Ezra kebelakang, “Bukan sehari dua hari.”

“Ya terus kenapa?” Tanya Ezra. “Selagi gua masih bisa bantu, kenapa enggak.”

“Tapi kan-”

“Ya terserah lo sih Nik, mau ikut bantuin mereka atau enggak. Kan gua gak maksa lo.” Sela Ezra dengan nada suaranya yang sedikit berubah. “Selagi gua masih merasa diri gua lebih dari cukup, kenapa harus bilang enggak buat nolong orang lain.”

“Jangan marah, orang belum selesai ngomong kok.” Sahut Niko sambil mengecup pucuk kepala Ezra.

“Ya lu udah bilang 'tapi kan' sama aja kaya ngeraguin usaha gua buat nolong mereka. Gimana gua gak langsung kesel.”

Ezra mendengus, ia baru saja hendak mengangkat kepalanya dari dada Niko sebelum Niko yang lebih dulu menahan pergerakannya.

“Enggak gitu, cantik.” Tutur Niko dengan nada lembut, “Gua gak ada maksud buat ngeraguin usaha lo buat mereka, enggak sama sekali, gua malah seneng kalo lo ngebantu orang lain. Tapi Ezra, sayangku, lo yakin mau ngambil tanggung jawab segede itu?”

“Gua balik tanya sama lu, kenapa harus gak yakin?” Pupil hitam itu menatap kedua mata Niko dengan satu tatapan lurus. “Nolong orang itu, gak boleh ada kata ragu, Nik. Sekali nurani lu bilang lu mau nolong orang lain, ya lu harus yakin buat nolong mereka. Terserah mereka mau nerima atau enggak nantinya, yang penting lu udah niat sungguh-sungguh buat nolong.”

Niko tersenyum tipis, kembali mencium pucuk kepala Ezra lebih lama dari sebelumnya. Lalu berganti mencium pipi putih Ezra secara bergantian.

“Ra,”

“Apa?”

“Mau tau gak alesan gua jatoh banget sama lo?”

Ezra terdiam beberapa saat sebelum menyahutnya dengan deheman pelan.

“Other than because of your beauty, I'm so in love with your personality too.”

“Kenapa gitu?”

“Kenapa, ya? Gak tau. Kayak, I'm searching for person like your for a long time then I really have one.”

“Emangnya Aca gak kayak gua? Perasaan lu dulu betah-betah aja tuh tiga tahun sama dia.” Ucap Ezra dengan nada meledek. “Tiga tahun lohh, itu dipake nyicil motor mah lunas kali.”

“Sayang,” Sudut bibir Niko melengkung ke bawah. “Jangan bawa-bawa dia ah.”

“Hahaha,” Ezra tertawa renyah, “Ih apa kabar ya dia, sejak balik ke Amerika udah gak ada kabarnya lagi.”

“Gak usah mikirin dia ah, gua gak suka.” Kata Niko sambil meraih ponsel yang Ezra genggam lalu mematikannya dan menaruhnya di atas nakas. “Orang jahat jangan di inget-inget.”

“Lah, perasaan lu yang jahat deh.”

“Jahat? Jahat dimananya?”

Ezra raih sebelah tangan Niko lalu memainkan jari-jarinya. “Inget gak, yang kata pertama kali gua ketemu Aca? Disitu dia nyium lu di depan mata gua persis, persis banget anjing, tapi lu malah diem aja kayak orang bego.”

“Yahh, masih dendam ya ini kayaknya?” Tanya Niko, lalu ia menggesekan ujung hidungnya di pipi Ezra. “Tapi kan sekarang yang nyium dan dicium cuman lo, gak ada yang lain.”

“Mulut buayanya kagak berubah ye.” Ezra terkekeh, “Top banget dah, pantes bisa banget jebol pertahanan gua.”

“Lagian siapa suruh binal banget.”

“Apa-apaan lu! Kata siapa gua binal. Ngada-ngada aja.” Protes Ezra sambil mencubit-cubit kulit punggung tangan Niko. “Lu nya aja yang lemah.”

“Yaudah iya, toh itu masa lalu. Sekarang intinya lo punya gua, gua punya lo. Case closed.”

“Dih posesif banget,” Ledek Ezra sambil memeletkan lidahnya.

“Harus posesif,” Sahut Niko tegas, kembali mengecupi permukaan wajah Ezra. “Soalnya gua punya tunangan kelewat cantik, banyak yang naksir, jadi harus pasang pengaman ketat.”

“Ck, bisa udahan kagak sih nyiumin muka gua, ini iler lu dimana-mana tau.” Protes Ezra sambil mengusap wajahnya di dada Niko. “Gua ngantuk, jam berapa ini?”

“Setengah satu.” Sahut Niko, masih tetap memberikan kecupan-kecupan tipis di pucuk kepala dan pelipis Ezra. “Ra,”

“Apa lagi, Nicholas?”

Niko terkekeh sesaat, sebelum menatap mata Ezra yang mulai terlihat sayu. “I know you know this, but I just really needed to tell you. I love you, a lot, ah no, more than a lot.”

Sebelah tangan Ezra terulur, mengusap pipi Niko perlahan. “Well, you already know that I did the same thing, right?”

“Yeah, baby.” Niko tersenyum, “I really know it. Sleep tight pretty doll, I adore you.”

Ezra's personality is more than enough to make Niko always down his knee for him. Really. He have been searching someone who make his heart feels flutters all the time and then he found it on Ezra. That's why Niko always take Ezra's wish like his command.

Niko, really loves him. More than a lot.

Deva baru saja keluar dari kamar mandi sebelum pintu kosannya di ketuk oleh seseorang dari luar. Alisnya seketika mengeryit, ia taruh terlebih dahulu handuk yang sebelumnya ia gunakan itu di gantungan kecil samping pintu kamar mandi.

“Siapa?” Sahut Deva dari dalam.

Tidak ada sahutan, namum pintu kosannya masih terus saja di ketuk oleh seseorang. Satu tarikan nafas Deva ambil, lalu membuangnya dengan sedikit kasar.

Moodnya semakin memburuk, Deva sengaja mengunci pintu kosannya agar teman-temannya tidak tiba-tiba muncul di balik sana. Terlalu malas untuk bertemu orang lain ketika suasana hatinya sedang jelek seperti ini.

“Mas, Pak, Mba, Bu, kalo dari gojek tolong taro aja di depan pintu ya. Makasih.”

Bukannya tidak tahu manner, tapi Deva benar-benar dalam keadaan mood yang tidak ingin di ganggu oleh orang lain. Jendela serta gorden kosannya pun ia tutup rapat, jadi ia tidak mengetahui dengan jelas siapa orang yang mengetuk pintu kosannya itu.

Sesaat suara ketukan terhenti, Deva menghela nafasnya lalu naik ke atas kasur. Baru saja akan menyamankan posisi, pintu kosannya kembali di ketuk, kini agak lebih kuat dari sebelumnya.

Mata Deva terpenjam sesaat dengan helaan nafas kasar yang kembali berhembus, ia terduduk sebentar di pinggir kasur sebelum beranjak berdiri untuk membuka pintu.

“Siapa sih anjing! kagak tau gua lagi badmood apa.” Gerutu Deva.

Ekspresi wajahnya ia ubah sedatar mungkin, tangannya terulur memegang kunci, memutarnya ke arah kanan hingga terdengar bunyi klik sebelum tuas pintu ia tekan ke bawah.

“Udah dibilang, ditaro aja di dep-”

Ucapannya seketika terhenti begitu Evan langsung mendorong pintu agar terbuka lebih lebar. Membuat mata bulat Deva melotot kaget dengan alis yang tiba-tiba menukik tajam.

“Ngapain sih lo! Pulang sana, gua gak mau ketemu siapa-siapa!”

Evan tatap bola mata bulat itu dengan sorot teduh. “Dev.”

“Balik Van, gua mau istirahat. Please.”

Tangannya Deva gunakan untuk mendorong tubuh Evan keluar dari dalam kamar kosannya. Tapi dengan cepat Evan raih kedua pergelangan tangan Deva lalu mengenggamnya.

“Apa lagi sih, Van? Apa lagi?” Tanya Deva dengan intonasi suara yang naik satu oktaf. “Lepasin tangan gua.”

“Lo kenapa sih, Dev?” Tanya Evan bingung. “Seharian ini uring-uringan sampe Rayyan bilang ke gua kalo lo marah-marah sama hal sepele. Kenapa?”

“Gua gak tau!” Sentak Deva. “Mending lu pulang sana, gua lagi gak mau ketemu siapa-siapa.”

Evan tatap tajam bola mata bulat di hadapannya. “Lo marah gua semalem main gak ngajak lo?”

Satu alis Deva terangkat naik. “Marah? Buat apaan gua marah sama hal kaya gitu?”

“Terus kenapa, Deva?” Tanya Evan lagi, “Lo gak akan badmood sampe segininya kalo cuman masalah sepele.”

Deva mendengus. “Gua gak tau! Jangan tanya lagi, dan please, mending lu balik sana.”

“Gua gak akan balik kalo lo gak cerita.”

Mata bulat itu menatap nyalang pupil coklat di hadapannya, lalu Deva berusaha melepas cekalan tangan Evan di kedua pergelangan tangannya.

“Lepasin!”

“Enggak.”

“Evan!” Deva menyentak, rasa kesalnya menyentuh di titik paling tinggi. Bola mata bulat itu yang tadi tersorot kesal perlahan berkaca-kaca. “Please, balik.”

“Kenapa?” Nada suara Evan memelan. “Maaf. Maaf kalo gua ada salah sama lo, Dev.”

Kepala Deva menggeleng tipis. “Lo gak salah, mood gua yang salah.”

“Deva.”

“Balik, Van.”

Dua pupil berbeda warna itu saling menatap untuk beberapa saat sebelum Evan yang lebih dulu menghela nafasnya berat. Ia kendurkan cekalannya pada pergelangan tangan Deva lalu satu ibu jarinya mengelus permukaan punggung tangan Deva.

“Dev.”

“Ck,” Deva berdecak, ia alihkan pandangannya ke arah lain. Sebisa mungkin tidak kembali menatap pupil kecoklatan di hadapannya itu. “Balik.”

“Gua gak akan balik sebelum lo bilang lo kenapa.” Evan kukuh bertanya, berusaha melakukan kontak dengan pupil hitam di hadapannya yang justru sibuk mencari celah. “Devara.”

“Gua gak tau gua kenapa, and please, stop asking me with that stupid question!”

Evan sebetulnya tahu kenapa mood Deva turun pada tingkat paling buruk sekarang, Evan paham betul kenapa sahabatnya itu begitu emosional hari ini. Namun Evan memilih untuk diam sebelum Deva yang mengutarakannya terlebih dahulu.

“Deva.” Panggil Evan lagi, intonasinya lebih lembut dari sebelumnya. “Dev.”

Deva ambil nafasnya panjang dengan mata terpejam, sebelum kembali menatap Evan. “Shut up! Udah pulang sana, gua mau tidur.”

“Ck, kenapa sih, Dev?” Tanya Evan lagi. “Kalo lo gak suka gua main gak sama lo, bilang. Jangan malah uring-uringan kaya gini dan bikin orang lain ikutan bete gara-gara lo.”

Emosi Deva yang tadinya sudah agak mereda kembali naik, matanya kembali menatap nyalang mata Evan di hadapannya. Dengan cepat ia menyentak kedua tangan Evan yang masih memegang tangannya itu.

“Udah gua bilang kan, gua juga gak tau gua kenapa! Kalo emang mood gua bikin orang lain ikut bete, yaudah lu balik sana! Ngapain repot-repot dateng kesini cuman buat bikin mood lu sendiri bete gara-gara gua?” Ucap Deva cepat. “Cabut sana, njing!”

“Devara!”

“Apa?!” Deva menyahut dengan nada yang menyentak. “Kalo lu pikir gua badmood gara-gara semalem lu main gak sama gua, lu salah Van. Gua gak sebocah itu buat marah sama hal-hal sepele kaya gitu, lagian emangnya gua siapa yang berhak marah kalo lu main sama yang lain tanpa ngajak gua? Gua cuman temen lu! Gua tau posisi gua gimana.”

Evan terdiam, matanya masih setia menatap Deva yang nafasnya kini memburu. Bola mata bulat itu semakin berkaca-kaca, menunjukan bahwa Deva benar-benar dalam suasana hati yang buruk saat ini.

Lalu kedua tangan Deva mendorong tubuh Evan untuk menyingkir dari pintu kosannya. Evan sempat terhuyung, namun ia dengan cepat meraih kembali keseimbangannya dan menarik Deva untuk ia peluk.

Deva seketika memberontak, berusaha melepas kedua tangan Evan yang menahan tubuhnya itu.

“Lepasin, njing!”

“Enggak!”

“Lepasin gua, Evan!”

“Gua bilang enggak, ya enggak!”

“Anjing!”

Deva masih berusaha melepas pelukan yang Evan berikan. Pelupuk matanya sudah basah, ia berusaha mati-matian untuk tidak menangis di hadapan Evan sekarang.

“Dev, udah! Kenapa sih?!” Tanya Evan untuk kesekian kalinya. “Maaf, Dev. Maaf.”

“Ck.” Deva kembali berdecak jengkel dengan hatinya yang bergemuruh. Satu tangannya mengepal dan memukul punggung Evan agak kuat.

Evan memilih untuk diam, bertahan pada posisinya mengukung Deva di dalam pelukannya itu. Hingga perlahan, ia rasakan tubuh di hadapannya ini melemas, kepala Deva bersandar sepenuhnya di pundaknya sekarang.

Punggung Deva di elusnya dengan gerakan konstan hingga Evan rasakan jika Deva mulai lebih tenang dari sebelumnya. Perlahan, Evan dorong tubuh Deva ke depan agar ia bisa melangkah masuk ke dalam kamar kosan si sekertaris hima itu.

Satu kakinya Evan gunakan untuk mendorong pintu agar menutup, masih dengan Deva yang setia berada di pelukannya saat ini. Walaupun sudah tidak seemosional tadi, Evan masih bisa merasakan jika nafas Deva masih sedikit memburu.

“Devara.” Panggil Evan pelan. “Udah, ya.”

Deva tidak menyahut, ia membenamkan wajahnya di pundak Evan sebelum Evan rasakan tubuh di pelukannya ini sedikit bergetar.

“Capek sendiri jadinya kalo marah-marah gak jelas kaya tadi, kan?”

Punggung itu masih setia Evan elus dengan telapak tangannya yang hangat. Ia rasakan kepala Deva mengangguk pelan, membuat satu senyum tipisnya mengembang di wajah.

“Ssshhh, udah, udah. Jangan nangis.”

“Gua bete banget, Van.” Sahut Deva dengan suaranya yang teredam.

“Iya, gua tau.”

“Gua gak tau kenapa gua bisa badmood kaya gini, bahkan diri gua sendiri aja gua gak tau. Itu yang bikin gua tambah bete.”

Evan mengangguk tipis. “Iya, gapapa. Mungkin emosi lo emang lagi gak stabil. Gapapa, Dev.”

“Maaf ya, Van.”

“Ssstttt, iya, udah jangan nangis lagi.”

Perlahan, Evan lepas pelukannya. Membuat wajah Deva yang basah bisa terlihat jelas di kedua matanya saat ini.

Kedua tangannya terulur, mengusap pipi Deva yang memerah dengan gerakan lembut. Sorot matanya terpancar teduh, senyum tipisnya kembali terlukis.

“Mau keluar gak? Beli apa gitu biar mood lo baikan. Mau, ya?”

Deva terdiam beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk tipis. Membuat senyum Evan mengembang lebih lebar dari sebelumnya. Ah, hari ini Evan punya satu catatan penting untuk hari-harinya ke depan nanti.

'Deva itu kalo cemburu, uring-uringannya kayak ngajak orang sekabupaten buat ikutan kesel.'

Arghi mendekat, menepuk pundak Evan yang sedang memasukan binder serta alat tulisnya ke dalam tas. Membuat Evan menoleh sekilas lalu menutup resleting tasnya.

“Lo mau ke sekre?” Tanya Arghi.

Evan mengangguk. “Lo ke sana gak?”

“Kagak. Gua mau nganterin tuh temen lu satu, benerin kamera.” Sahut Arghi sambil menunjuk Jave yang menyengir lebar.

Jave bangkit dari posisi duduknya, mendekat ke arah Evan dan Arghi yang menatapnya. “Eh Van, ntar kalo ketemu Rayyan di sekre bilangin jaket gua gantung aja di tempat biasa, ntar gua ambil pas mau balik.”

“Jiah, kenapa gak lu aja yang bilang langsung ke Rayyan? Pake segala Evan yang suruh bilang.” Goda Arghi, sebelah sudut bibirnya naik dengan ekspresi wajah meledek.

Evan mendengus geli. “Iya.”

“Ck,” Bahu Arghi di dorong pelan oleh Jave. “Gausah bacot dah lu, dah ayo temenin gua benerin kamera, keburu tutup tempatnya.”

“Bawel lu anyink.” Sahut Arghi. “Eh kita berdua duluan ye, Van.”

“Yo, hati-hati.”

Setelah Arghi dan Jave keluar lebih dahulu dari dalam kelas, Evan melirik jam tangannya sekilas sebelum bergegas untuk menuju sekre yang letaknya tidak terlalu jauh dari kampus itu.

Hanya perlu di tempuh dengan lima belas menit berjalan kaki dari gerbang kampus, dan masuk ke salah satu gang di pinggir jalan, sekre tempat mereka biasa berkumpul itu sudah terlihat. Sebuah rumah petak yang tidak terlalu besar namun memiliki ruang tengah yang memadai untuk mereka berkumpul itu.

Mobilnya masih Evan tinggal di parkiran kampus, terlalu malas untuk memakirkan mobilnya di garasi Sekre, toh mungkin ia juga tidak akan lama berada di sana.

Evan dorong pagar berwarna hitam dengan cat-nya yang mulai memudar itu, suara mencekit dari gesekan roda pagar dengan bantalannya terdengar begitu nyaring. Maklum, sekre yang mereka tempati memang rumah lama yang disewakan oleh pemiliknya.

Pandangan Evan langsung tertuju pada motor vario hitam yang terlihat ada sedikit lecet di bagian body depan. Setelah itu Evan hanya membuang nafasnya berat dan melangkah menuju pintu sekre.

Sepatunya ia lepas terlebih dahulu, di taruh di samping sepasang sepatu berwarna abu-abu dengan garis pink tua yang terletak tepat di samping pintu masuk. Itu sepatu Deva.

Begitu kakinya melangkah masuk, hal pertama yang di lihat Evan adalah Deva yang sedang sibuk sendiri memasangkan plester ke jari-jarinya yang terlihat memerah. Mata Evan mengedar, menyadari hanya ada Deva sendiri yang berada di sini.

Deva mendongkak, bibirnya masih sibuk meniup-niup jarinya yang terasa perih, setelah itu ia kembali memfokuskan pandangannya pada jari-jarinya.

Evan mendekat, menatuh tasnya di dekat tas Deva lalu mendudukan diri tepat di depan si sekertaris hima itu. Pupil hitamnya menatap lekat selama beberapa detik sebelum tangannya mengambil alih plester yang Deva pegang.

“Udah gua bil-”

“Udah dibilang itu salah abang-abangnya! Bukan gua.”

Belum Evan selesai berbicara, Deva langsung menyelanya dengan alis yang berkerut. Menatap Evan dengan wajah kesal lalu mendengus jengkel, sudah tahu jika ia akan mendapatkan semburan dari ketua hima itu.

Evan kembali buang nafasnya berat. “Iya yaudah, salah ciloknya.”

“Hhhh.” Deva menggerung, “Ah! Pelan-pelan anjir, perih.”

“Lebay.” Sahut Evan sambil memasangkan plester berwarna coklat itu ke kelingking Deva yang lecet. Sedikit menekannya sampai Deva memberikan satu pukulan di pundak Evan.

“Udah ah sini gua pasang sendiri, sama lu mah malah tambah perih.”

“Ssstt, diem.”

Deva yang baru saja akan mengambil kembali plester di tangan Evan, langsung terdiam begitu Evan mengangkat wajahnya sambil memasang ekspresi datar. Mata tajam itu menatap lurus kedua matanya yang mengedip lambat.

Helaan nafas gusar langsung keluar dari mulut Deva saat ia mengalihkan pandangannya ke arah lain, membiarkan Evan memakaikan plester pada dua jarinya yang terdapat goresan memanjang bekas berciuman dengan aspal jalan.

“Mikirin apa emang?” Tanya Evan.

Deva membeo. “Hah?”

“Di jalan mikirin apa, sampe gak fokus.” Ulang Evan, jari-jarinya dengan telaten memasangkan plester pada jari Deva yang terluka, setelah selesai ia elus dengan cepat plester yang menempel pada jari-jari Deva itu.

Kepala Deva menggeleng. “Gua lagi gak bengong, serius dah. Cuman tadi tuh ih anjir, gua kan mau nyalip angkot nih udah diliat juga depan angkot tuh kosong dan cuman ada abang-abang cilok yang jalan di pinggir. Pas gua nyalip ya kan gua agak ngebut dong, eh itu abang-abang malah ngebelokin gerobaknya ke kanan, ya nyerempet lah. Gua keilangan keseimbangan dan jederr jatoh deh.”

Evan seketika terkekeh, selama Deva berbicara tadi ia fokuskan pandangannya ke wajah Deva yang merengut kesal. Bibirnya mengerucut dengan alis yang menukik.

“Terus pas gua jatoh, si abangnya malah bilang 'mas gapapa?', gapapa pale luuu gua jatoh ini bang, kagak liat apa.” Lanjut Deva. “Sumpah gua pengen marah-marah cuman kagak sempet waktunya udah mepet kelas.”

“Lain kali hati-hati makanya.” Sahut Evan sambil melepas pegangannya pada tangan Deva. “Untung yang lecet cuman tangan.”

“Apaan! Itu motor gua lecet juga tau.” Kata Deva dengan bibir bawahnya yang bergerak maju. “Padahal si kiki baru gua cuci, tapi malah nyerempet abang cilok.”

“Dibilang suruh ngabarin gua kalo mau berangkat, malah dibilang bawel.”

Evan geser posisi duduknya menjadi di sebelah Deva. Punggungnya ia sandarkan pada tembok dengan kakinya yang ia luruskan.

“Emang kalo gua ngabarin lu bisa nyelametin gua gitu dari abang cilok?”

“Ya enggak tau sih.”

“Kagak jelas.”

Deva mendengus kembali, matanya berganti menatap jari-jarinya yang terhias plester. Lalu kembali menatap Evan yang kini sedang sibuk dengan ponselnya itu.

“Arghi sama Jave kemana?” Tanya Deva. “Tumben gak ke sini.”

“Tukang kamera.”

“Hah?”

Evan mengangkat wajahnya sekilas, “Pergi ke tukang kamera, benerin kamera.”

“Ohhh.” Kepala Deva mengangguk, ia kemudian menggeser posisinya ke arah belakang, ikut menyandarkan punggungnya pada tembok, melirik sekilas layar ponsel Evan yang menampilkan timeline twitter.

“Daffin sama Rayyan kemana?” Gantian Evan yang bertanya.

Bahu Deva naik sekilas. “Kagak tau, tadi sih bilangnya Daffin mau nganterin Sandra. Kalo Rayyan tau dah, kelas kelar langsung ngibrit gatau kemana, paling kayaknya juga nanti ke sini dia.”

Evan balas ucapan Deva dengan deheman singkat. Ia ambil earphone yang berada di saku hoodienya, mencolok ujungnya terlebih dahulu ke ponsel lalu memakai sebelah earphone di telinga kanannya. Sebelahnya lagi, ia pasangkan pada telinga kiri Deva.

Jarinya bergerak mengeser layar ponsel ke bawah, mencari lagu yang cocok untuk di dengarkan saat ini. Pilihannya terhenti pada lagu yang pernah ia nyanyikan bersama dengan Deva di kosan saat itu.

Purple, milik Hollow Coves. Begitu intro terdengar, Deva menoleh pada Evan, lalu kembali mendengus.

“Lo kayaknya suka banget lagu ini ya?” Tanya Deva.

Evan mengangguk. “Ya.”

“Enaknya sih sambil gitaran.”

“Gak ada gitarnya.”

“Ya iya tau.” Deva tepuk paha Evan sekilas. “Kan gua bilang 'enaknya'.”

“Iya.”

Mereka berdua kemudian terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing hingga pertengahan lagu. Evan pejamkan matanya, kepalanya menempel pada tembok belakang dengan kedua tangan yang terlipat di depan dada.

Sedangkan Deva masih sibuk mengeser-geser layar ponselnya, bibirnya sesekali mengerucut dengan alis yang mengkerut. Satu helaan nafas panjang Deva ambil setelahnya, membuat Evan membuka matanya sejenak lalu memejamkannya lagi.

“Jangan ngehela nafas terus.”

Deva menoleh, “Dih suka-suka gua lah.”

“Cepet mati nanti.”

Suara tepukan telapak tangan Deva dengan paha Evan kembali terdengar lumayan nyaring, membuat Evan membuka matanya terkejut lalu menatap Deva yang wajahnya kembali merengut.

“Apa?” Tanya Evan, satu alisnya naik.

“Sembarangan banget itu mulut kalo ngomong.” Dumel Deva, “Ntar kalo gua beneran mati, lu sedih.”

“Engga.” Evan menyahut singkat.

“Enggi.” Ulang Deva, mengikuti ucapan Evan barusan dengan nada meledek. “Tai.”

“Engga salah lagi maksudnya.” Evan terkekeh, sebelah tangannya kemudian mengusak rambut Deva gemas. “Udah diem, gua mau tidur.”

“Kebo lu.” Ledek Deva lagi, “Tapi iya sih, gua juga ngantuk, padahal semalem udah tidur cepet. Apa efek gara-gara diserempet abang cilok ya?”

“Nyerempet.” Koreksi Evan. “Bukan diserempet.”

“KAN SALAH ABANG-ABANGNYA!”

“Sttttt.” Jari-jari Evan dengan cepat mencomot bibir Deva hingga sang empu langsung terdiam seketika. “Jangan teriak-teriak.”

Deva tepis jari-jari Evan yang berada di mulutnya, lalu kembali menepuk paha Evan sebelum bibirnya maju seperti bibir bebek.

“Gausa di comot bisa gak sih, bau tau tangan lu.”

“Iya tadi abis megang tai kucing soalnya.”

“Hah?!” Mata Deva yang bulat seketika melotot. “IH NAJIS BANGET CUIHHH!!!”

Deva langsung mengusap-ngusap bibirnya dengan kedua tangannya secara bergantian, menatap Evan yang sedang terkekeh itu dengan ekspresi jengkel.

“Jorok!”

“Gampang di culik emang.”

“Ck!” Deva tepuk lagi paha Evan, lebih pelan dari sebelumnya. “Udah ah lu, iseng mulu jadi manusia.”

“Ya masa jadi monyet?”

“Cocok sih.”

Gantian Evan yang kini mencubit pipi Deva hingga Deva meringis. Namun Evan dengan cepat melepas cubitannya dan mengusap pipi Deva sekilas.

“Rewel banget.” Kata Evan sambil menoyor pelan kepala Deva. “Mau makan apa?”

“Hah?” Deva membeo kembali. “Gua ngantuk, bukan laper.”

“Dasar bayi.” Evan acak-acak kembali rambut Deva. Lalu ia menarik sebelah pundak Deva ke bawah hingga Deva merebahkan kepalanya di atas paha Evan. “Tidur, jangan rewel.”

“Ah ntar kebablasan sampe malem kalo tidur.” Sahut Deva sambil berusaha bangkit, namun Evan lebih cepat menahan pergerakan Deva. “Vannn.”

“Udah tidur, nanti gua bangunin kalo udah mau magrib.”

“Yang bener?”

“Kapan emangnya gua pernah bohong sama lo?”

“Waktu itu pernah.”

“Kapan?”

“Yang kata lu bilangnya mau beliin gua bakso, tapi lu malah beli mie ayam.”

Jawaban Deva refleks membuat Evan meraup wajah Deva dengan kelima jarinya. “Gua udah bilang, baksonya abis.”

“Ya sama aja.” Deva menaikan bahunya acuh, ia raih ponselnya kembali yang tadi sempat ia letakan di lantai. “Jam empat lewat seperempat, oke masih cukup buat tidur.”

“Padahal katanya tidur dibawah jam 3 sore itu gak boleh.”

“Mitos dari mana itu?”

Evan tatap bola mata bulat yang berada di bawahnya. “Gatau, ngarang.”

“Dih kagak jelas,” Deva mendengus. Ia menggerakan tubuhnya hingga menemukan posisi yang pas untuk tidur. “Shhh badan gua pegel-pegel abis jatoh tadi.”

“Yaudah makanya tidur.” Kata Evan sambil menutup kedua mata Deva dengan telapak tangannya. “Tidur.”

“Bawel lu akhh.” Tangan Evan yang menutupi matanya Deva singkirkan. “Gedein dong volumenya.”

Evan berbisik pelan. “Pantes budek.”

Mata Deva yang tertutup seketika terbuka kembali. “Ngomong apa lu barusan?!”

“Engga.”

Evan kemudian sedikit membesarkan volume lagu, matanya memperhatikan Deva yang kini sudah kembali memejamkan mata namun bibirnya masih bergerak random, seperti seseorang yang sedang melakukan olahraga wajah.

“Diem.”

“Gua kagak ngomong dah perasaan.”

“Bibirnya diem.”

Deva kembali membuka matanya, menatap Evan sinis kemudian menutupnya kembali. “Komentar mulu lu kaya netizen.”

“Diem atau gua cium.”

Ucapan Evan barusan seketika membuat mereka berdua kompak tersentak diam. Evan mengerjapkan matanya lambat, merutuki kalimat yang seharusnya tidak ia lontarkan. Sedangkan Deva langsung berusaha mengalihkan rasa canggung yang tiba-tiba menyerang dengan kekehan pelan.

“Cium aja kalo berani.” Ujar Deva dengan nada meledek. “Tapi lu mana mungkin berani.”

“Ya.”

Evan lebih memilih menyahut singkat, ia rasakan panas pada wajah serta daun telinganya. Pandangannya ia buang ke arah lain, tidak lagi menatap Deva yang kini berusaha tertidur dengan jantung yang mendadak bertalu-talu seperti tabuhan drum.

Oke, ini awkward.

Tarikan nafas panjang Evan ambil, lalu membuangnya dengan perlahan. Ia menyibak rambutnya kebelakang kemudian berganti mengusap wajahnya.

Just you and I sitting under purple skies

Oh lagu sialan, seharusnya Evan tidak memutar lagu ini tadi. Otaknya malah membuat cuplikan-cuplikan imajinasi menyebalkan yang entah kapan akan terjadi pada dirinya itu.

Satu lagi tarikan nafas panjang Evan ambil. Ia turut memejamkan matanya, menyandarkan kepalanya kembali pada tembok, terhanyut pada pikirannya sendiri hingga lagu berganti.

Ketika lagu sudah berganti untuk ke empat kalinya, Evan kembali membuka kelopak mata, pandangannya yang luruh perlahan berubah ke bawah menatap Deva yang kini sudah tertidur dengan mulutnya yang sedikit terbuka.

Lama sekali Evan pandangi wajah sahabatnya itu, sebelum akhirnya ia perlahan merunduk, persetan, hanya tinggal beberapa senti lagi sebelum bibirnya menyentuh pipi putih dengan gradasi kemerahan akibat cuaca panas milik Deva.

“Kata siapa gua gak berani nyium lo?” Bisik Evan pelan.

Lalu bibirnya mengecup permukaan pipi Deva dengan perlahan, matanya kemudian terpejam, bertahan selama beberapa detik dengan posisi itu tanpa menyadari ada dua orang yang menatapnya dengan ekspresi kaget di depan pintu sekre.

“Astagaaa, Evannnnnn!!”

Rayyan dan Daffin kompak menggelengkan kepalanya tidak habis pikir.

Pintu sekre terdorong pelan, Evan melepas sepatunya terlebih dahulu sebelum berjalan masuk. Satu tangannya membawa almamater serta tejus milik Deva.

Kakinya mendekat, ia melangkah sepelan mungkin agar tidak mengusik Deva yang sedang tertidur di pojok ruangan. Kedua telinganya tersumpal earphone, kepalanya menyender pada meja kecil yang berada di sana dengan posisi miring.

Evan taruh tas serta almamaternya terlebih dahulu, sebelum melangkah lebih dekat ke arah Deva. Ia kemudian jongkok tepat di hadapan Deva, menatap wajah tenang Deva sesaat sebelum satu tangannya bergerak melepas sebelah earphone yang dipakai Deva.

Deva otomatis tersentak kaget, tubuhnya seketika berubah posisi menjadi tegak. Matanya terbuka dengan kelopaknya yang mengedip cepat.

“Hngg.”

“Ini tejusnya.” Kata Evan sambil mengulurkan tejus yang sedari tadi ia pegang. “Ngantuk banget?”

Kekehan Deva mengalun pelan, ia ambil uluran tejus yang Evan berikan. “Lumayan.”

“Mau langsung pulang aja? Biar bisa tidur di kosan.” Tawar Evan.

Satu tangan Evan yang tadi ia gunakan untuk menggenggam tejus, berganti jadi mengusap bagian bawah mata Deva sekilas untuk mengambil bulu mata yang terjatuh.

“Bulu mata lo kayaknya sering banget lepas ya.”

“Gatau dah, kayaknya emang lagi masa pergantian bulu mata yang baru kali.” Sahut Deva sambil terkekeh lagi, ia kemudian menyedot tejus yang berada digenggamannya.

“Sekarang?” Tanya Evan.

Alis Deva langsung bertaut bingung. “Apanya?”

“Baliknya.”

“Oh yaudah ayo.”

Deva lepas terlebih dahulu sebelah earphonenya yang masih menempel, kemudian menaruhnya di tas.

Tangannya meraih tangan Evan yang terulur, setelah ia tepuk-tepuk dulu bagian belakang tubuhnya sebelum mengambil tas miliknya.

“Dev.”

“Kenapa?” Tanya Deva, menatap Evan yang menatapnya dengan kedua alisnya yang sedikit menukik. “Van?”

“Pusing gak?” Evan malah balik bertanya. “Muka lo agak pucet.”

“Ah masa iya?” Deva buru-buru mengambil ponselnya, berkaca dengan kamera depan. “Enggak ah, kagak pucet ini.”

“Pucet.” Kata Evan lagi, ia kemudian mengambil tas yang masih Deva pegang itu. “Sini gua yang bawa.”

“Ih gua kagak kenapa-kenapa anjir, apaan dah.”

Deva berusaha mengambil tasnya kembali, tapi Evan langsung menatapnya dengan tajam, membuat Deva hanya bisa mendengus kesal dengan bibir bawahnya yang sedikit maju.

“Kalo gak lo tunggu sini aja, biar gua yang ambil mobil.”

Evan ambil tas serta almamaternya, menyampirkannya pada sebelah bahu kemudian berjalan cepat menuju pintu. Memakai sepatunya kembali lalu menoleh ke atah Deva yang berada di belakangnya.

“Tunggu di sini. Gak usah protes.”

Bibir Deva mencebik kesal. “Yaudah iya, sono ambil mobilnya.”

Satu tangan Evan terulur, mengusak tatanan rambut Deva sekilas. Membuat Deva hanya menatapnya dengan wajah yang merengut lucu.

“Tunggu sebentar.”

“Iya.”

Pandangan Deva menatap ke arah Evan yang mulai berjalan, alisnya tiba-tiba mengeryit. Begitu Evan sudah tidak terlihat oleh matanya, Deva baru menyadari sesuatu.

“Lah kalo gitu ngapain tas nya dia bawa anjir?” Tanya Deva bingung. “Bego.”


“Kalo apa lpj dikerjain nanti aja.”

“Iya.”

“Jangan begadang.”

“Iya.”

“Kalo ada apa-apa langsung bilang ke gua.”

“Ck,” Deva berdecak pelan, kepalanya menoleh ke arah Evan yang masih fokus pada jalanan. “Iya bawel.”

“Serius, Dev.” Evan lirik sekilas Deva yang berada di sampingnya. “Jangan iya-iya aja.”

“Iya, Evannnnn.”

Tanpa diduga, sebelah tangan Deva meraih sebelah tangan Evan yang berada di persneling, lalu menempelkannya pada dahinya sendiri.

“Nah gak kenapa-kenapa kan gua? Panas aja engga badan gua.” Kata Deva lalu melepaskan tangan Evan kembali.

“Emang gak panas, tapi muka lo pucet.” Ucap Evan sambil kembali melirik Deva sekilas. “Jangan sakit.”

Deva membanting punggungnya ke punggung jok, dua jarinya memijat pelipis ketika kepalanya tiba-tiba berdenyut.

“Nah kan, baru aja gua bilang.”

“Van.” Nada suara Deva mengalun datar. “Gua gak kenapa-kenapa, dan please, jangan bawel. Gua malah pusing ngedengernya anjir.”

Melihat Deva yang mulai kesal, hingga meninju udara saking kesalnya, membuat Evan terkekeh pelan. Sebelah tangannya kembali terulur, mengusak kepala Deva sekilas sebelum kembali pada posisi semula.

“Iya.”

Helaan nafas berat Deva keluarkan. “Nepi dulu sebentar.”

“Ngapain?”

Jari Deva menunjuk satu kedai yang menjual minuman. “Mau beli itu.”

Arah pandang Evan mengikuti kemana telunjuk Deva mengarah, ia kemudian langsung menyalakan sen kiri, memelankan laju mobilnya lalu berhenti tepat di samping kedai minuman.

“Tadi abis minum tejus.”

“Tapi yang ini ada bobbanya.”

Evan menoleh ke arah Deva, lalu menunjuk kedua mata Deva yang bulat. “Ini udah ada.”

“Stop it.” Deva menyingkirkan tangan Evan yang berada di depan wajahnya. “Lo mau gak?”

“Turun sendiri atau gua temenin?”

Sebelah alis Deva naik, “Sendiri aja lah, ngapain di temenin emang mau pipis.”

Evan tertawa pelan mendengar jawaban Deva. “Yaudah, apa aja yang penting bukan matcha.”

“Cuman orang aneh yang gak suka matcha.” Sahut Deva sambil melepas seatbelt yang dipakainya. “Bentar, dompet gua, gua taro mana ya?”

“Ck,”

Gantian Evan yang berdecak pelan, ia langsung mengambil dompetnya yang ia taruh di center tunnel, mengambil satu lembar uang lima puluh ribu lalu memberikannya pada Deva.

“Nih, pake ini aja.” Katanya sambil menyerahkan uangnya pada Deva.

“Eh serius, Van. Dompet gua kemana dah.”

Deva meraba-raba seluruh kantong yang berada dipakaiannya, “Gak ada, Van.”

“Di tas coba.”

Tas yang tersimpan di jok belakang langsung Deva raih, ia buka semua bagian tasnya. Nafasnya mendesah lega begitu melihat dompetnya yang terselip di sana.

“Astaga, gua kira ilang.” Deva dekap dompetnya di depan dada. “Mati gua kalo ini ilang.”

“Jadi beli gak?” Tanya Evan.

Deva taruh lagi tasnya di jok belakang, kemudian menyimpan dompetnya di kantong celana. Tangannya dengan cepat meraih uang yang terjapit di antara telunjuk dan ibu jari Evan.

“Jadi dong, yakali kagak jadi.”

Pintu mobil kemudian terbuka, Deva turun dari sana lalu menutup kembali pintu mobil dengan sedikit bantingan. Membuat Evan hanya membuang nafasnya dengan kepalanya yang menggeleng melihat tingkah Deva.

“Untung sayang.”

Deva yang turun terlebih dahulu dari mobil, lalu diikuti Evan setelahnya. Matanya menatap parkiran kampus yang masih lumayan sepi, maklum, jam masih menunjukan pukul tujuh kurang. Masih cukup lama dari jadwal acara dimulai.

“Mada udah dateng.” Kata Deva begitu matanya menatap mobil merah metalik yang terparkir tidak jauh dari posisi mobil Evan.

Evan ikuti arah pandang Deva sejenak sebelum merapihkan kembali almamater yang dipakainya.

“Ayo.” Sahut Evan sambil mencolek telinga Deva.

Langkah keduanya terayun seirama, berjalan menuju gedung aula yang akan menjadi tempat seminar nanti.

“Nanti sebelum peserta seminar masuk, tolong diregist ulang. Sama tanyain aplikasinya udah ke instal atau belum.” Kata Evan.

Deva menganggukan kepalanya patuh. “Iya.”

“Kalo enggak, nanti Hisyam aja yang bagian nanyain. Lo fokus buat regist aja.” Sambung Evan lagi.

“Iya pak kahim, paham gua.” Bola mata Deva berputar malas. “Eh bentar, hape gua di mana?”

Langkah keduanya otomatis terhenti, Evan menatap Deva yang sibuk meraba kantong almamater serta kantong jeans hitamnya.

“Ketinggalan di mobil gak?” Tanya Evan.

Satu tangan Deva refleks menepuk dahinya sendiri. “Kayaknya iya.”

Evan hanya membuang nafasnya berat, ia meraih remote key lalu menekannya. Membuat Deva mengeluarkan cengiran lebarnya sebelum berlari menuju mobil.

Mata Evan tak lepas memperhatikan pergerakan Deva, sampai sahabatnya itu kembali berada tepat di sebelahnya. Sebelah tangannya menggenggam ponselnya dengan senyumnya yang merekah.

“Dimana?” Tanya Evan lagi.

“Center tunnel.” Jawab Deva, lalu memasukan ponselnya ke kantong almamaternya. “Dah ayo.”

Sebelah tangan Evan terulur dengan cepat mengusak rambut Deva sekilas, sebelum memasukannya ke dalam kantong jeansnya. Kakinya kembali melangkah, diikuti Deva di sebelahnya.

Sesampainya mereka di gedung aula, keduanya langsung disambut oleh Mada serta Elang yang sudah berada di sana lebih dahulu.

“Rajin banget lu berdua udah dateng.” Kata Deva sambil menaruh tasnya dimeja regist yang terletak tepat di depan pintu masuk.

“Kita ngambil snack kalo lu lupa.” Sahut Elang sambil mengunyah gorengan bakwannya itu.

“Eh iya, snack buat peserta, aman?” Tanya Evan.

Mada mengarahkan dua jempolnya. “Aman. Tapi masih di mobil sih, belom dibawa ke sini. Tapi gua cuman bawa 100 snack, sisanya biar anak danus yang ambil.”

“Yaudah gapapa.” Tanya Evan lagi. “Total 200 snack pas kan?”

“Iya. Eh tapi si ibu yang jualan snack tadi ngasih bonus, lumayan lah ya buat jadi snack kita ntar.” Jawab Mada.

“Banyak emang dikasihnya?” Gantian Deva yang bertanya.

“Sepelastik sih, sebenernya gak cukup buat semua panitia. Paling kita berempat aja ya gak?” Kata Elang sambil menatap Evan serta Mada bergantian.

“Yah tau gitu kenapa kagak dibawa aja kesini, kita makan duluan.” Sahut Deva lagi.

Evan otomatis menatap Deva dengan satu alisnya terangkat. “Ketopraknya gak kenyang emang?”

“Buat cemilan elah.” Deva sunggingkan cengirannya kembali. “Gak enak kalo abis makan gak ngemil kan.”

“Pantes cepet....”

“Cepet apa?” Deva pukul pelan tangan Evan yang berada di sebelahnya. “Ayo ngomong.”

Evan terkekeh dengan kepalanya yang menggeleng pelan. Membuat Deva hanya mendengus setelahnya, sebelah tangannya kemudian menarik kursi yang sudah sepaket disediakan dengan meja itu, lalu mendudukan dirinya di sana.

Mada serta Elang yang melihat tingkah keduanya hanya mendengus, saling melempar tatapan sama lain sebelum memilih untuk bersikap biasa saja.

Sepuluh menit kemudian, anggota hima yang lain mulai berdatangan dengan ekspresi wajah yang beragam. Ada yang bersemangat, ada pula yang masih memasang raut wajah mengantuk.

“Weh mandi kagak lu, ghi?” Tanya Deva begitu Arghi datang.

Arghi menggeleng, menarik kursi di sebelah Deva yang kebetulan masih kosong. “Kagak. Ngantuk gua anjir, males banget mandi jadinya.”

“Pantes.”

“Pantes apaan?” Tanya Arghi.

Deva terkekeh, “Pantes kucel.”

Pukul setengah delapan pagi, seluruh anggota hima sudah berada di area aula.

Evan kumpulkan seluruh anggotanya terlebih dahulu, memberikan briefing sebentar sebelum mereka semua menjalankan tugas masing-masing.

Para anggota hima mulai berpencar, ada yang sibuk menurunkan snack dari mobil, ada yang mengecek kembali sound system serta proyektor, ada pula yang kembali merapihkan kursi-kursi agar terlihat semakin rapih.

Deva yang kebagian bertugas di depan pintu masuk aula mulai membuka laptopnya, di sebelahnya, Hisyam juga sudah bersiap dengan pulpen serta kertas untuk berjaga-jaga.

Sedangkan Evan kebagian untuk menjemput pembicara di stasiun kereta, bersama dengan Jave. Sedangkan Daffin bertugas untuk membackup Evan mengecek seluruh hal sebelum acara berlangsung.

“Dev, ntar kalo ada peserta yang aplikasinya belom ke instal suruh ambil bangku paling belakang dulu ya, biar gua sama bocahan bantuin ngeinstalin dulu.”

Deva mengangguk paham pada Rayyan, mengacungkan kedua jempolnya yang langsung di balas tepukan ringan dipundaknya oleh Rayyan.

“Itu box snack masih tinggal sepuluh lagi di mobil, tolong diambil ya.”

“Sound system udah oke, mic udah oke.”

“Eh snack buat pembicara sama staff kampus dipisahin.”

“Woy yang belom bayar kas, bayar coyy!!”

“Peserta udah ada yang dateng tuh, tadi gua ketemu di parkiran.”

“Evan sama Jave masih jemput pembicara apa gimana?”

“Deva sama Hisyam standby.”

“Terminal buat ngecharge laptop udah gua check satu-satu, aman semua.”

“Eh ac kagak nyala satu nih, yang hapenya Xiaomi siapa? Remotnya kagak ada soalnya.”

Suara-suara mereka saling bersahutan, seiring dengan para peserta seminar yang mulai berdatangan.

Deva memasang senyum manisnya, mendata kembali peserta-peserta yang sudah datang dan tercantum namanya pada daftar peserta.

“Semua oke?” Kata Daffin dengan mic yang berada digenggamannya.

“Oke!” Sahut seluruh anggota Hima kompak.

Pukul delapan tepat, Evan serta Jave datang dengan dua pembicara yang akan mengisi seminar kali ini. Beberapa staff kampus yang menjadi perwakilan pun sudah berada di dalam aula.

“Peserta aman?” Tanya Evan begitu ia mendekat ke arah Deva.

“Van, itu banyak peserta yang belom instal aplikasinya, ada juga yang aplikasinya gak bisa dibuka ternyata.”

“Nyampe setengah gak?”

“Sampe.”

Setelah itu Evan langsung buru-buru mendekat ke arah Rayyan yang sedang membantu salah satu peserta.

“Ray, udah semua belum di instalin?”

Rayyan mengggeleng. “Belum, Van. Agak lama ternyata nginstal yang versi sekarang.”

“Siapa aja yang belum?” Tanya Evan lagi.

“Itu tiga orang yang mepet tembok belom ke pegang sama sekali, tolong bantuin, Van.”

Evan langsung bergerak cepat, membantu beberapa peserta yang memang kebanyakan adik tingkatnya itu. Anggota hima yang lain pun melakukan hal yang sama, dikarenakan jumlah perkiraan peserta yang siap memulai seminar ternyata masih belum sepenuhnya aman.

“Van, ini kayaknya bakalan ngaret dah.” Kata Mada sambil mendekat ke arah Evan.

“Gapapa, yang penting aplikasinya ke instal semua buat peserta. Tolong bilangin Daffin buat ngomong sama pembicara kalo kita agak ngundur, Mad.”

“Oke.”

Anggota hima yang tugasnya sudah selesai ikut membantu para peserta karena tidak menyangka akan banyak sekali yang belum menginstal aplikasi, entah yang alasannya tidak sempat, atau laptop mereka yang tidak mau me-run aplikasinya.

Padahal sudah dari awal pendaftaran seminar, mereka semua di wajibkan untuk menginstal aplikasi penunjang seminar sebelum mengikuti acara, namun masih ada saja yang membandel.

Seminar baru bisa dimulai setengah jam kemudian. Di mulai dengan sambutan-sambutan dari staff kampus serta Evan sendiri. Setelahnya mereka mengikuti seminar yang bertema edukasi ini dengan khusyuk.

Deva tolehkan kepalanya, menatap Evan yang duduk di sampingnya. Satu tangannya terulur, menyentuh telapak tangan Evan yang berada di atas meja.

Membuat Evan langsung menoleh ke arahnya. Senyum Deva tersungging tipis.

“Everythings alright.”

“Thank you.”


Acara selesai pada pukul duabelas siang, tepat pada jam makan siang sesuai rundown yang mereka susun sebelumnya. Walaupun diawal acara tadi sempat terlambat setengah jam.

Setelah seluruh peserta sudah meninggalkan area aula, Evan kumpulkan kembali seluruh anggota hima untuk melakukan evaluasi acara hari ini serta sebelum kembali membereskan barang-barang yang digunakan untuk seminar kali ini.

Mereka berkumpul, membentuk lingkaran sesuai dengan divisi masing-masing. Satu per satu menyebutkan jobdesknya pada acara kali ini, lancar atau tidaknya tugas mereka.

Lalu setelah evaluasi selesai, mereka mulai membereskan barang-barang yang sempat digunakan. Mengembalikannya pada tempat semula, tidak ketinggalan juga beberapa sisa snack yang masih ada mereka bagi rata,

Evan mendekat ke arah Deva yang terduduk di pojok ruangan bersama Rayyan serta Daffin. Pipi Deva mengembung, gigitnya sibuk mengunyah lemper yang baru ia makan setengah itu.

“Kalian gak ada kelas kan abis ini?” Tanya Evan.

“Kagak, kenapa emangnya Van?” Jawab Daffin.

Kepala Evan menggeleng, “Gapapa, nanya doang.”

“Lu kelas emangnya?” Tanya Rayyan.

“Iya.” Evan mengangguk pelan, ia mendudukan dirinya di samping Daffin lalu mengeluarkan kunci mobil yang berada dikantong celananya. “Bawa aja nih.”

“Eh.” Deva terlonjak begitu kunci mobil mendarat tepat dipangkuannya, kepalanya menoleh ke arah Evan dengan raut bingung. “Kok dikasih ke gua?”

“Buat lo balik.” Sahut Evan singkat. “Gua kelas kan.”

“Ntar lu baliknya?” Tanya Deva lagi.

“Lo jemput lah.”

Deva berdecak, ia lempar lagi kunci mobil itu ke arah Evan. “Gak ah, gua nebeng Rayyan aja.”

“Lah tapi gua ama Daffin kan, Dev.” Sela Rayyan.

Kepala Deva menoleh kek arah Rayyan, “Lu kagak bawa motor?”

“Kagak.” Rayyan menggeleng, “Masa lu kagak liat gua tadi pagi dateng ama Daffin.”

“Oh lupa gua.”

“Pikunan sih lu.” Sahut Daffin sambil tertawa, ia mengambil kunci mobil yang tadi dilembar Deva. “Nih bawa aja, lumayan kagak usah ngeluarin duit buat bayar gojek kan lu.”

Mereka bertiga terkekeh begitu melihat ekspresi wajah Deva yang masam. Lemper digenggamannya ia habiskan dalam satu suapan.

“Yaudah iya.” Jawabnya sambil mengunyah lemper.

Evan melirik jam tangannya, hampir menunjukan pukul satu siang. Kelasnya di mulai pukul satu lewat lima belas.

“Van, oy! Ayo kelas.” Seru Arghi dengan kepalanya yang menyembul dari baik pintu.

“Yo!”

Evan bangkit dari posisinya, menatap sekilas ke arah Deva sebelum berpamitan pada ketiganya.

Selepas Evan pergi, Rayyan serta Daffin kompak menoleh ke arah Deva yang kini mengambil risol dari snack box miliknya. Membuat Deva menatap Rayyan serta Daffin segara bergantian.

“Apa anjir?” Tanya Deva bingung.

Rayyan dekatkan wajahnya ke arah Deva, menatap manik mata hitam bulat itu dengan intens. Lalu tiba-tiba, satu sentilan mendarat di dahi Deva.

“Ah! Kenapa sih kagak jelas amat.” Deva menggerutu kesal. Di samping sebelahnya lagi, Daffin cuman menggelengkan kepalanya tidak habis pikir.

“Lu tuh beneran gak peka apa pura-pura bego sih, Dev?” Tanya Rayyan dengan nada pelan setengah kesal.

“Maksudnya?” Deva malah balik bertanya.

“Evan.”

“Kenapa Evan?”

“Ck ah, tai lah.” Rayyan menjauhkan wajahnya kembali lalu mendumal kesal melihat raut polos yang Deva berikan. “Lu tuh gak ngerasa apa kalo dispesialin sama Evan?”

“Hah?” Deva membeo. “Dispesialin gimana? Kan sikap dia ke gua sama aja kaya ke lu-lu pada.”

“Beda tolol.” Daffin yang dari tadi menahan diri untuk tidak menoyor kepala Deva, akhirnya melepaskan kekesalannya. “Jangan denial, Dev. Nanti lu yang ribet sendiri.”

Deva tidak menyahut, ia hanya menatap bingung kedua temannya yang memasang ekspresi masam.

“Gua gak denial apa-apa tuh. Lagian, wajar aja gak sih Evan ke gitu sama gua, ya karena gua sahabat deket dia? Mungkin di mata lu berlebihan tapi gua anggep itu biasa aja sih.”

Rayyan serta Daffin saling melempar pandang sebelum mereka berdua mengunyel-unyel Deva dengan gemasnya.

“Tolol!” Teriak mereka kompak.

“Gak pada jelas banget dah.”

Deva menggerutu pelan, bibirnya mengerucut dengan dahinya yang berkerut. Ponselnya ia taruh kembali ke atas kasur dengan sedikit lemparan.

Jari-jari Evan yang sedari tadi bergerak memetik senar terhenti, ia mengangkat wajahnya dan menatap Deva yang sedang memasang raut masam.

“Kenapa?”

“Tau dah, pada aneh banget.” Sahut Deva cepat, ia kemudian kembali fokus pada layar laptopnya, bermain game.

“Aneh kenapa?” Tanya Evan lagi.

“Kan tadi Si Sandra bilang pada mau kesini, terus gak jadi karena ada lu. Ya kan emang kenapa kalo ada lu coba?”

Evan terdiam, tidak menyahut ucapan Deva barusan. Membuat Deva kembali melanjutkan ucapannya.

“Terus tiba-tiba Si Ray bilang, lu ini bego beneran apa pura-pura bego. Lah gua kagak ngerti dia bilang begitu dalem konteks apaan.” Deva tarik nafasnya sebentar. “Ya gua bilang aja, aneh lu pada sama kek Evan.”

Satu alis Evan terangkat. “Kok gua?”

“Ya kan lu suka aneh.” Sahut Deva sambil menolehkan kepalanya sekilas ke arah Evan. “Eh terus gua bilang lagi, jadi kesini kagak, lah mereka pada jawab bete.”

Deheman pelan Evan berikan sebagai jawaban. Otaknya langsung mengerti kemana arah pembicaraan Ray dari cerita Deva, tapi lagi-lagi Evan memilih untuk tidak menyahut.

Senar gitar kembali ia petik, lantunan chord dari Call Me When You Land mengalun, membuat Deva dengan otomatis mengecilkan volume game yang sedang dimainkannya.

Mereka berdua terdiam, sibuk dengan kegiatan masing-masing selama beberapa menit sebelum suara pelan Deva memanggil Evan.

“Van.”

“Hmm.”

“Gua mau tanya sesuatu deh.” Alis Deva mengeryit begitu tembakannya meleset, kedua tangannya dengan lincah menggerakan mouse serta keyboard. “Aduh!”

“Tanya aja.” Sahut Evan masih dengan lantunan gitarnya.

Deva lirik pantulan Evan yang duduk di belakangnya sekilas. “Lu kenapa jadi demen banget lagu galau dah?”

“Galau?” Evan membeo. “Enggak.”

“Maksudnya kan, awal-awal selera musik lu gak gini.” Jelas Deva. “Dulu bukannya lu demen apa tuh, yang ada rokok sama ngewenya.”

“Cigarettes after sex.”

“Nah iya itu.” Kepala Deva reflek mengangguk, fokusnya masih mengarah pada layar laptop. “Tapi sekarang malah demen dengerin hollow coves sama antek-anteknya.”

Evan terkekeh, ia hentikan permainan gitarnya lalu menatap Deva sepenuhnya.

“Gatau.”

“Hah?”

“Kalo gua tanya kenapa nama playlistnya Wanderlust, lu jawab apa?”

Pergerakan tangan Deva seketika terhenti, dahinya mengeryit lalu tidak lama kepalanya ikut menggeleng.

“Gatau. Kayak, ya cocok aja gak sih dinamain Wanderlust?”

“See,” Evan tersenyum tipis. “Gak semua hal ada jawabannya kan?”

“Iya sih.” Deva berdengung pelan. “Tapi aneh aja gitu.”

“Gak ada yang aneh, Deva.” Suara tenang Evan mengalun lebih pelan. “Tapi lo seneng kan?”

“Sama?”

“Lagu yang gua recommend.”

Kepala Deva mengangguk pelan. “Ya kalo gak seneng, gak akan sampe gua bikinin playlist.”

Deheman pelan kembali Evan keluarkan, ia menggeser posisinya lebih mendekat ke arah Deva, membaringkan tubuhnya di atas karpet dengan pinggiran kasur sebagai bantalan.

“Lo laper gak?” Tanya Evan lagi.

Deva mendesis pelan sebelum menjawab, ia tertembak lagi. “Lumayan, tapi belom laper-laper banget.”

“Makan yuk.”

“Kalo makan geprek lagi gua kagak mau ah, bosen anjir tiap hari geprek.”

“Maunya apa?”

“Nggggg.” Deva berpikir sejenak, “Apa gitu terserah selain geprek.”

Evan menganggukan kepalanya. Ia ambil ponselnya yang berada di saku celana, langsung membuka aplikasi gofood. “Yaudah.”

“Yaudah apa?”

“Ricebowl mau?”

“Ricebowl?” Gantain Deva yang membeo. “Boleh, tapi sejujurnya gua pengen makan yang manis-manis.”

“Lo udah manis.” Sahut Evan sambil berbisik.

Alis Deva kembali mengeryit. “Hah? Lu ngomong apaan barusan?”

“Enggak.” Gelengan pelan Evan keluarkan, “Ricebowl sama chatime, mau?”

Kepala Deva langsung mengangguk semangat. “Mau. Pesen dari gofood?”

“Iya. Mau keluar kan lo sibuk main game.”

“Nyindir apa gimana itu?”

Evan terkekeh, “Ya kalo merasa sih, gapapa.”

“Yee sialan.”

Deva menoleh sekilas ke arah Evan, lalu mencubit lengan atas Evan dengan cepat. Membuat Evan kembali terkekeh lalu sebelah tangannya bergerak menyentuh pinggang Deva.

“Ngapain lu peg- hahahahaha Evan!”

Tubuh Deva terlonjak begitu Evan menggerakan jarinya dengan cepat di area pinggang. Tawanya seketika menguar, memenuhi kamar kostnya hingga terdengar ke luar.

“Evan ah anjir! Hahahahaha!”

Evan ubah posisinya menjadi terduduk, jari-jarinya masih bergerak cepat menggelitik pinggang Deva. Tawa pelan ikut menguar darinya.

Kedua tangan Deva berusaha menjauhkan sebelah tangan Evan yang masih menggelitiki pinggangnya. Sial, tangan Evan yang sebelah lagi malah menahan pergerakannya hingga Deva tidak bisa bergerak kemana-mana.

“Hahahaha! Evan udah anjir ah! Hahaha nanti gua ngompol.”

“Jorok.” Sahut Evan cepat sebelum ia kembali tertawa.

“Ya makanya udah.” Deva merengek, wajahnya meringis menahan rasa geli yang menjalar di sekitar pinggangnya. “Evan ih!”

Melihat wajah Deva yang memerah, Evan hentikan pergerakan jarinya di pinggang Deva. Satu pukulan mendatar tepat di atas paha Evan setelah ia jauhkan kedua tangannya dari tubuh Deva.

“Ah! Sakit, Dev.”

“Biarin!” Wajah Deva menunjukan ekspresi merengut. “Iseng banget dah lagian.”

“Hehehe.” Evan terkekeh, memamerkan deretan giginya serta dua lesung pipinya yang manis. “Gua gabut.”

“Yaudah gitaran lagi aja.”

“Lo gak nyanyi.”

Deva tatap balik mata Evan yang menatap ke arahnya. “Kenapa gua harus ikutan nyanyi?”

“Suara lo bagus.” Evan mengendikkan bahunya sekilas, “Jadi cocok.”

“Hah? Cocok gimana?”

“Ck.” Evan berdecak pelan sebelum kembali merebahkan tubuhnya, ia ambil ponselnya yang berada di sebelahnya persis. “Udah main game lagi aja.”

“Ih apaan sih, Van. Lu kagak jelas banget dah.”

Deva merengut, ia membenarkan posisi duduknya lalu kembali berbalik untuk menghadap ke layar laptop.

Helaan nafas berat Evan keluarkan, usahanya, mungkin harus lebih keras lagi.

Pintu kamar kosan Deva, Evan dorong pelan. Kepalanya yang lebih dahulu menyembul dari sela-sela pintu, kemudian diikuti badannya yang perlahan melangkah masuk.

Matanya menatap Deva yang sedang memejamkan matanya dengan posisi duduk, menyender pada tembok. Wajahnya masih terlihat agak pucat.

“Dev.” Panggil Evan pelan.

Deva yang sebenarnya sudah tahu kalau Evan datang itu hanya berdehem pelan sebagai jawaban. Ia membuka matanya dengan perlahan, menatap Evan yang mendekat ke arahnya.

“Pusing banget?” Tanya Evan, dengan tangan yang meletakkan bungkus bubur di atas meja belajar Deva.

“Udah gak terlalu sih.” Deva menyahut dengan suara pelan. “Bawa apa itu?”

“Bubur.”

Jaketnya Evan lepas, ia taruh di atas karpet lalu mendudukan diri di pinggiran kasur. Menatap Deva dengan sorot khawatirnya.

“Deva.”

“Apa?”

Hembusan nafas berat Evan keluarkan. Sebelah tangannya terulur, menyentuh kaki Deva yang terletak persis di sampingnya, memijatnya pelan.

“Kenapa gak tidur coba?” Tanya Evan lagi.

Deva buka kelopak matanya perlahan, menatap Evan yang sedang menatapnya. Ia terkekeh pelan.

“Gatau, ga bisa tidur gua semalem.”

“Perasaan pas gua chat lu bilang mau tidur.”

“Hehehe.” Lagi-lagi Deva terkekeh. “Boong.”

Evan berdecak pelan. “Jangan gitu.”

“Kenapa?”

“Jangan bikin gua khawatir, Deva.”

Deva terdiam sejenak, menyadari nada suara Evan yang lebih serius dari biasanya. Namun selang beberapa detik, tawanya mengalun renyah.

“Apa sii ah, jangan lebay dah lu.”

Dengusan pelan Evan keluarkan, tangannya yang tadi memijat kaki Deva ia hentikan, di ganti oleh usapan pelan di pergelangan kakinya.

“Lo udah makan?”

“Belum sih.”

“Kebiasaan.”

Deva tegakkan posisi duduknya, menatap Evan yang kini mengambil bungkusan bubur yang tadi dibawanya.

“Jam segini lu beli bubur di mana dah?” Tanya Deva bingung. Pasalnya ini masih tergolong siang walaupun jam sudah menunjukan pukul tiga sore.

“Depan apotek.”

“Aturan lu bawa seblak aja. Lebih mantep.”

Evan menoleh sekilas ke arah Deva. “Maag iya.”

Kedua tangan Evan bergerak membuka bungkusan bubur dengan cepat. Ia ambil terlebih dahulu sendok milik Deva dan satu gelas air minum sebelum kembali mendekat ke arah sahabatnya itu.

“Gak ada daun bawangnya.” Komentar Deva begitu Evan membuka wadah bubur.

“Bukannya lo gak suka daun bawang?”

“Ya itu maksudnya. Bisa gak ada daun bawangnya.”

Satu senyum tipis Evan ukir di wajah. “Apa sih yang gua gak tau.”

“Hah?” Deva menyahut bolot.

“Lo udah minum obat belum?”

Kedua alis Deva berkerut bingung. “Bukannya lu udah nanya tadi di chat?”

“Buat mastiin aja.”

Evan bersihkan terlebih dahulu sendok yang akan digunakan menggunakan tissur, setelah itu ia ambil sedikit bubur dan memberikannya pada Deva.

“Mangap.”

Deva tergelak, “Tangan gua masih bisa anjir buat nyendok sendiri. Sini sendoknya.”

“Mangap.” Ulang Evan.

Mau tidak mau Deva membuka mulutnya, menerima suapan yang Evan berikan sambil merengut lucu.

“Goodboy.” Kata Evan sambil tersenyum tipis.

Deva hanya membalasnya dengan ekspresi wajah meledek, membuat Evan hanya terkekeh pelan lalu kembali menyendokkan bubur yang berada dipangkuannya.

“Sini ah gua makan sendiri aja.” Ucap Deva sambil meraih sendok yang berada digenggaman Evan. “Kalo enggak gua gak mau makan.”

“Ngancem aja bisanya.” Sahut Evan sambil menyerahkan sendok yang ia pegang beserta wadah bubur. “Abisin.”

“Gua pengen geprek deh.”

“Abisin, Deva.”

“Ck iyaaa, bawel banget dah lu.”

Evan sunggingkan kembali satu senyum kemenangannya, ia ubah posisinya jadi merapat pada tembok dan menyenderkan punggungnya di sana.

Matanya tidak lepas mentap Deva yang mulai menyendoki buburnya sendiri, raut wajahnya masih sedikit cemberut, membuat Evan terdiam menahan gejolak aneh yang tiba-tiba melanda dirinya.

“Deva.”

“Awpa?” Sahut Deva dengan mulut yang masih penuh.

Kekehan Evan mengalun pelan. “Lucu.”

“Awpanyah yawng luchu?”

“Lo.”

Wajah Deva seketika berubah datar, ia taruh sendok yang di pegangnya lalu mengambil boneka kelinci kecil berwarna pink, kemudian melemparkannya ke arah Evan.

“Jawngan bawchot.”

“Telen dulu, baru ngomong.” Ledek Evan.

Deva menelan bubur yang berada di dalam mulutnya dengan cepat, lalu sebelah kakinya ia gerakan untuk menyenggol kaki Evan.

“Bisa diem gak?”

“Muka lo kok merah, Dev?”

“DIEM!”

Setelah itu, suara tawa Evan keluar memenuhi penjuru kamar.