➳
For everyone who ask why Niko always down his knee to Ezra....
Senyum tipisnya terulas, mata dengan pupil kecoklatan itu menatap seseorang yang sibuk berceloteh dengan kakinya yang mengayun-ayun di atas kap mobil. Terlalu sibuk memperhatikan sampai lupa pada ice cream yang dipegangnya itu mulai meleleh.
“Niko! Netes tuh.”
Ezra menunjuk ke arah ice cream cone yang Niko pegang, hasil bujuk rayu Ezra yang tadi merengek ingin membeli ice cream namun alhasil Niko juga yang akan menghabiskan sisanya.
“Eh iya,” Niko tersentak, dengan cepat ia mengambil beberapa lembar tisu dalam mobil. Kemudian mengelap permukaan tangannya yang terkena tetesan ice cream. “Untung lo bilang, babe.”
“Bengong mulu sih, mikirin apaan emang?” Tanya Ezra dengan mata bulatnya yang menatap lurus pada Niko. “Kerjaan?”
Niko mengangkat wajahnya, tersenyum tipis pada Ezra lalu mencubit pipi kemerahan itu dengan gemas. “Enggak, lagian lagi sama lo ngapain mikirin kerjaan.”
“Heleh,” Ezra menunjukan ekspresi meledeknya. “Eh, gua laper tau.”
“Mau makan?” Tanya Niko. “Tapi tadi abis ngemil banyak kan.”
“Ya itu kan ngemil, bukan makan.” Sanggah Ezra sambil merapatkan jaket Niko yang dipakainya. “Dah yuk cabut, mulai dingin disini.”
Melihat Ezra yang hendak turun dari atas kap mobil dengan cara melompat, membuat Niko refleks membuang ice cream yang dipegangnya lalu kedua tangannya memegang sisi tubuh Ezra dengan ringisan kecil keluar dari bibirnya.
“ES KRIMNYA KENAPA DI BUANG NIKO!”
Bukannya berterima kasih, Ezra langsung menyentak Niko yang kini terkejut dengan suara Ezra yang melengking. Kekehan pelan mengalun setelahnya.
“Lo lagian, asal lompat gitu aja. Bikin kaget.” Ucap Niko lalu mengusak-usak rambut Ezra yang sudah terlihat berantakan akibat angin laut. “Jangan kaya gitu lagi ah.”
“Lebay banget dih.” Sahut Ezra jutek, “Sayang tau es krimnya jadi kebuang gitu aja.”
Niko berikan satu kecupan di pipi Ezra yang terasa dingin itu. “Maaf, sayang.”
“Gak boleh buang-buang makanan tau Nik, even itu cuman es krim ataupun satu butir permen.”
“Kan gak sengaja, babe.”
“Hhhhh.” Ezra menghela nafasnya pendek. “Yaudah ayo cabut, gua mau makan pecel lele, takut keburu tutup nanti.”
“Pecel lele di tempat biasa?” Tanya Niko lagi.
Ezra mengangguk, “Iya lah, disitu sambelnya enak. Yang di tempat lo rekomendasiin waktu itu sambelnya kurang nampar.”
“Sini gua tampar,” Kata Niko sambil terkekeh.
Satu alis Ezra naik. “Spank?”
“Babe.” Niko langsung memasang ekspresi datarnya. “Jangan mancing ya.”
“Lah siapa yang mancing, tuh bapak-bapak disono noh yang lagi mancing.” Kata Ezra sambil menunjuk gerombolan bapak-bapak yang terduduk di pinggir karang dengan kail di tangan.
Satu kecupan Niko berikan di bibir Ezra yang terbuka, setelah itu kedua tangannya menangkup sisi wajah Ezra dan memberikan banyak kecupan di permukaan wajah yang lebih kecil.
Ezra dengan susah payah menyingkirkan wajah Niko yang masih begitu dekat dengannya itu. “Tempat umum anjir, yang iya aja kenapa sih.”
“Gamau nge-remake.”
Pertanyaan Niko sontak membuat dahi Ezra berkerut. “Remake apaan?”
“Dulu, di sini. Lupa emangnya?”
Sel-sel di otak Ezra bekerja dengan cepat, dahinya semakin mengkerut dengan alis yang menukik. Mengingat-ingat kembali hal apa yang pernah dilakukannya bersama Niko di tempat ini.
“Gua gak inget apa-apa.” Ucap Ezra pada akhirnya setelah berdiam diri cukup lama.
Gema tawa yang mengalun pelan keluar dari mulut Niko, “Beneran lupa?”
“Apa sih emangnya?”
“Gelato..” Bisik Niko. “And cotton candy.”
“Gelato? Cotton candy?” Ulang Ezra dengan wajah bingung. Namun seketika matanya yang sudah bulat itu semakin membulat. “Heh!”
“Ah,” Niko tersentak begitu Ezra mencubit perutnya dengan tiba-tiba. “Pretty.”
“Ck,ck,ck, otak lu ya emang, Nicholas.” Ezra berdecak dengan kedua tangannya yang bersedekap di depan dada. “Tadi siang kita baru aja abis ngewe, okay?”
“Ya kan cuman bilang doang, cantik.” Niko lagi-lagi terkekeh. “Bukan maksudnya mau ngajak lagi.”
Ezra tidak menyahut, namun bibirnya bergerak membuat gestur meledek Niko.
“Emangnya gak mau?” Tanya Niko.
“Ya mau, tapi jangan sekarang. Gua laper, please.”
“Yaudah iya, ayo makan.”
Niko ambil sebelah tangan Ezra lalu menariknya menuju pintu penumpang, ia bukakan pintu mobil terlebih dahulu sebelum sebelah tangannya refleks ia taruh di atas kepala Ezra ketika Ezra masuk ke dalam mobil.
Satu senyum tipis Ezra terulas. “Thanks, babe.”
Niko balas senyum itu dengan senyum lebarnya hingga kedua lesung pipinya terlihat, sebelum menutup kembali pintu mobil dan berjalan ke sisi sebelahnya.
Tidak berapa lama, suara mesin mobil menderung. Niko baru saja hendak beranjak memakaikan Ezra seatbelt namun kekasihnya itu lebih dulu menarik seatbelt Niko dan memasangkannya. Membuat Niko memberikan satu kecupan tipis di pelipis Ezra.
“Gantian.” Sahut Ezra sambil terkekeh.
Niko kembali tersenyum, menatap wajah Ezra yang tetap terlihat begitu mengagumkan, bahkan di dalam ruang gelap yang hanya terbias cahaya samar lampu yang berjejer di sisi pantai.
“Ra,”
“Hm?” Ezra menoleh kembali, bulu matanya mengedip lambat. “Kenapa?”
Lalu Niko membalasnya dengan gelengan kecil. “Gapapa, lo cantik banget.”
Reason number one, his beauty really makes him insane..
Ezra is the only one person after his mom who takes all the beauty in this world, dan Niko tidak memungkiri, jika ia jatuh untuk pertama kali pada Ezra berkat sosoknya yang sanggup memukau Niko di hari pertama pertemuan mereka di Crematology saat itu.
That's why Niko always calling Ezra with 'pretty' petname. Karena Ezra memang cantik, boneka porselen cantik yang hanya miliknya.
“Niko!”
Suara Ezra menyentak Niko dari lamunanya, kelopak matanya langsung mengedip cepat. “Eh, kenapa?”
“Bengong lagi kan.” Sahut Ezra dengan bibir bawahnya yang mendadak maju, “Kenapa sih bengong mulu dah perasaan, ada yang dipikirin? Kalo mau cerita, cerita aja. I'm always listening kok.”
“Enggak, sayang.” Satu tangan Niko terulur untuk mengusak-usak rambut Ezra gemas. “Tapi gua kepikiran satu hal sih.”
“Apa?”
“Lo kenapa cantik banget sih, Ra? Pake pelet ya?”
“Yeee ngaco.” Ezra memukul lengan atas Niko, “Udah ah buruan, laper tau.”
Niko tertawa, “Iya, iya, ayo makan.”
Setelahnya, rem tangan di tarik. Mobil putih itu perlahan melenggang meninggalkan area pantai, berjalan dengan kecepatan sedang di tengah sepinya lalu lintas malam ini.
“Tapi, Nik.”
“Kenapa?”
“Gua emang pake pelet sih.”
“Ikan lele atau ikan bawal?”
Setelah itu, Ezra dorong bahu Niko sekilas. “Enggak gitu konsepnya anjir.”
“Hahahaha.”
Reason number two is, Ezra always gave him a bunch of happiness since he comes to Niko's life...
Niko belum pernah merasa sebahagia ini bersama seseorang yang bukan dari keluarganya sendiri. Bahkan dari semua mantan-mantannya dan Aca sekalipun, tidak ada yang pernah ada yang bisa membuat Niko merasa seperti orang yang jatuh cinta setiap detiknya.
Tapi Ezra, bahkan hanya dengan suara kekehannya yang lucu itu berhasil membuat jantung Niko berdebar tidak menentu, walaupun ia sudah sering sekali mendengar suara kekehan Ezra itu.
Ah, disaat-saat seperti ini, Niko menyesali kenapa ia begitu bodoh bertahan dengan Aca selama itu. Seharusnya ia bisa lebih cepat bertemu dengan Ezra agar dunia miliknya kembali sebagaimana seharusnya.
Jika dahulu Niko yang terus merangkul, kini ia rasakan pundaknya juga sama-sama di rangkul oleh seseorang.
Ezra memang terkadang menyebalkan di waktu-waktu tertentu, merengek, marah-marah, ataupun sikap jahilnya yang seperti anak kecil. Namun Niko juga tidak memungkiri sebegitu hebatnya Ezra berada di sisinya, merangkul pundaknya, memberikan usapan lembut di punggungnya ketika Niko merasa titihan langkahnya terasa berat.
Seperti yang pernah Niko bilang sebelumnya, dia tidak pernah merasa sejatuh ini dengan seseorang.
Dan Niko berharap, ia akan jatuh berulang-ulang pada sosok yang sama.
But, there's only one thing that makes Niko always falling for Ezra again and again...
“Niko,”
“Hm.”
“Nikooo,”
Niko angkat wajahnya, menatap ekspresi wajah Ezra yang tiba-tiba berubah sedih.
“Kenapa, sayang?”
Ezra terdiam beberapa saat sebelum tangannya ia celupkan ke dalam kobokan air lalu mengelapnya dengan tissue, tidak lupa menyemprotkan beberapa semprot handsanitizer lalu kembali menatap Niko.
“Makannya belum selesai, Ra.” Tutur Niko dengan ekspresi bingung. “Kenapa gak di abisin?”
“Gua keluar dulu ya, sebentar, sebentar banget, nanti balik lagi.”
“Mau kemana?” Tanya Niko bingung, gantian ia yang membersihkan tangannya dengan cepat. Namun ketika ia hendak meraih handsanitizer, Ezra lebih dulu mengambilnya. “Ra,”
“Abisin makanannya, gua bentar kok keluar, nanti lanjut makan lagi seriusan.”
Ezra baru saja hendak berdiri namun sebelah tangan Niko menahan pergerakannya. “Mau kemana, sayang?”
“Sebentar, sebentar aja. Gak lebih dari lima menit kok.”
“Gua ikut.”
“Enggak, lo disini aja, jagain tempat.” Ezra menyela cepat, “Bentar doang, oke?”
Setelah itu, Niko bisa lihat dengan kedua matanya Ezra yang terburu-buru keluar dari dalam kedai dan kembali bersama dua orang anak kecil yang terlihat lusuh.
Seulas senyum tipis kembali muncul.
“Nah, kalian duduk disini ya sama Kak Niko, biar Kakak pesenin makan buat kalian dulu, okay?”
Niko bisa lihat kedua anak itu mengangguk patuh, binar-binar rasa senang begitu terpancar di kedua mata mereka saat Ezra mengusak-usak rambut mereka secara bergantian.
Lalu pandangan Ezra beralih ke arah Niko. “Nik, gapapa kan?”
“Gapapa, cantik.” Sahut Niko dengan nada bangga. “Pesenin yang banyak, biar mereka makannya juga kenyang, oke?”
Ezra mengangguk, senyum lebarnya terulas hingga kedua matanya menyipit lucu. Begitu Ezra pergi untuk memesan makanan tambahan, pandangan Niko beralih ke arah dua anak kecil yang duduk tepat di hadapannya itu.
“Hai, nama kalian siapa?”
Mereka berdua terdiam cukup lama, saling berpandangan satu sama lain dengan sorot takut sebelum suara Niko kembali mengalun dengan lembut.
“Gapapa, jangan takut. Kakak gak gigit kok,” Niko terkekeh, “Nanti makan yang banyak ya, harus diabisin makanannya kalo enggak nanti Kakak yang itu ngomel.”
“Tapi Kakaknya baik,” Cicit salah satu anak sambil melirik ke arah Ezra yang masih berdiri agak jauh dari mereka.
“Iya, Kak Ezra emang baik, tapi cerewet.”
“Cerewet kaya Ibu pas marah-marah ya?” Ucap salah satu anak pada anak lain yang duduk di sampingnya.
“Enggak tau.”
“Ibu kalian emang suka marah-marah?” Sela Niko, membuat keduanya kembali menatap Niko lagi.
Lalu kepala mereka mengangguk kompak.
“Iya, Kak. Ibu suka marah kalo kita pulangnya cuman bawa rongsokannya sedikit, terus besoknya kita pasti gak dikasih makan sama Ibu.”
Niko tidak menyahut, ia hanya ulas kembali satu senyum tipis yang kalau diperhatikan begitu miris.
“Yaudah, kalo gitu disini harus makan yang banyak ya?”
Dan mereka kembali mengangguk kompak, membuat sebelah tangan Niko terulur lalu mengusak-ngusak rambut keduanya bergantian.
“Ih, jangan dipegang Kak, rambut kita bau, banyak debunya. Nanti tangan Kakak kotor.”
“Eh, jangan bilang kaya gitu.” Sela Ezra yang baru saja menghampiri mereka kembali. “Gapapa, Kak Niko ngusap-ngusap rambut kalian soalnya kalian lucu, gak bikin kotor kok.”
Kedua anak itu kembali berpandangan ke arah satu sama lain sebelum akhirnya lagi-lagi mengangguk kompak.
“Ah iya, Kakak lupa nanya nama kalian siapa.” Ezra terkekeh pelan, “Boleh Kakak tau nama kalian gak?”
“Boleh Kak,” Sahut salah satunya dengan nada antusias. “Aku Kiran, yang ini Dipta.”
“Namanya bagus banget,” Puji Ezra. “Nah, Dipta sama Kiran kalo makananya udah dateng, di makan ya. Jangan sungkan sama Kakak, anggep aja Kak Ezra sama Kak Niko ini Kakak kalian, oke?”
“Boleh kak?” Tanya Kiran dengan suara pelan.
Ezra tersenyum. “Boleh, sayang. Tapi makanannya diabisin ya? Pokoknya harus kenyang baru nanti Kakak anter pulang. Oke?”
“Dianter pulang?” Ulang Dipta. “Naik apa kak?”
“Naik mobilnya Kak Niko, mau kan?”
“Naik mobil?” Gantian Kiran yang mengulang, nadanya benar-benar antusias. “Naik mobil?!”
Ezra mengangguk, “Iya naik mobil, mau kan?”
“Mau, Kak!!” Sahut mereka kompak, membuat senyum di wajah Ezra dan Niko kembali tersungging lebar. “Kita enggak pernah naik mobil bagus soalnya.”
“Oke, dianter pulang naik mobil tapi janji dulu sama Kakak,” Ezra condongkan tubuhnya ke arah depan. “Mau gak janji dulu?”
“Janji apa, Kak?” Tanya Dipta.
“Janji ya, kalo udah malem kayak gini jangan keluar, harus dirumah. Di luar kayak gini serem, banyak orang yang belum tentu baik ke kalian. Udah gitu banyak kendaraan yang ngebut, pokoknya kalian harus di rumah. Jangan kemana-mana.”
“Tapi... nanti Ibu marah, Kak.” Sahut Kiran dengan nada pelan. “Ibu suka marah kalo karungnya belum penuh pas kita pulang.”
Ezra terdiam, ia menoleh menatap Niko yang juga menatapnya. Satu anggukan dari kekasihnya itu menjadi instruksi tersirat untuk Ezra.
“Ibu kalian gak akan marah lagi kok.” Sahut Ezra dengan nada riang, “Kakak janji.”
“Gimana caranya, Kak?”
Ezra pandang kedua anak kecil itu secara bergantian sebelum satu senyum tipisnya terulas begitu syahdu.
Punggung Niko bersandar pada headbed kasur, matanya memperhatikan Ezra yang bersandar di dadanya dengan pandangannya yang fokus menatap layar ponsel, bermain game.
“Pretty,”
“Hm.”
“Dipta sama Kiran, beneran mau lo sekolahin?”
Pergerakan jari Ezra terhenti, ia mendongkak menatap wajah Niko yang berada di atasnya. “Ya beneran lah, ngapain harus bohong.”
“Tanggung jawabnya gede loh, sayang.” Kata Niko sambil mengusap rambut Ezra kebelakang, “Bukan sehari dua hari.”
“Ya terus kenapa?” Tanya Ezra. “Selagi gua masih bisa bantu, kenapa enggak.”
“Tapi kan-”
“Ya terserah lo sih Nik, mau ikut bantuin mereka atau enggak. Kan gua gak maksa lo.” Sela Ezra dengan nada suaranya yang sedikit berubah. “Selagi gua masih merasa diri gua lebih dari cukup, kenapa harus bilang enggak buat nolong orang lain.”
“Jangan marah, orang belum selesai ngomong kok.” Sahut Niko sambil mengecup pucuk kepala Ezra.
“Ya lu udah bilang 'tapi kan' sama aja kaya ngeraguin usaha gua buat nolong mereka. Gimana gua gak langsung kesel.”
Ezra mendengus, ia baru saja hendak mengangkat kepalanya dari dada Niko sebelum Niko yang lebih dulu menahan pergerakannya.
“Enggak gitu, cantik.” Tutur Niko dengan nada lembut, “Gua gak ada maksud buat ngeraguin usaha lo buat mereka, enggak sama sekali, gua malah seneng kalo lo ngebantu orang lain. Tapi Ezra, sayangku, lo yakin mau ngambil tanggung jawab segede itu?”
“Gua balik tanya sama lu, kenapa harus gak yakin?” Pupil hitam itu menatap kedua mata Niko dengan satu tatapan lurus. “Nolong orang itu, gak boleh ada kata ragu, Nik. Sekali nurani lu bilang lu mau nolong orang lain, ya lu harus yakin buat nolong mereka. Terserah mereka mau nerima atau enggak nantinya, yang penting lu udah niat sungguh-sungguh buat nolong.”
Niko tersenyum tipis, kembali mencium pucuk kepala Ezra lebih lama dari sebelumnya. Lalu berganti mencium pipi putih Ezra secara bergantian.
“Ra,”
“Apa?”
“Mau tau gak alesan gua jatoh banget sama lo?”
Ezra terdiam beberapa saat sebelum menyahutnya dengan deheman pelan.
“Other than because of your beauty, I'm so in love with your personality too.”
“Kenapa gitu?”
“Kenapa, ya? Gak tau. Kayak, I'm searching for person like your for a long time then I really have one.”
“Emangnya Aca gak kayak gua? Perasaan lu dulu betah-betah aja tuh tiga tahun sama dia.” Ucap Ezra dengan nada meledek. “Tiga tahun lohh, itu dipake nyicil motor mah lunas kali.”
“Sayang,” Sudut bibir Niko melengkung ke bawah. “Jangan bawa-bawa dia ah.”
“Hahaha,” Ezra tertawa renyah, “Ih apa kabar ya dia, sejak balik ke Amerika udah gak ada kabarnya lagi.”
“Gak usah mikirin dia ah, gua gak suka.” Kata Niko sambil meraih ponsel yang Ezra genggam lalu mematikannya dan menaruhnya di atas nakas. “Orang jahat jangan di inget-inget.”
“Lah, perasaan lu yang jahat deh.”
“Jahat? Jahat dimananya?”
Ezra raih sebelah tangan Niko lalu memainkan jari-jarinya. “Inget gak, yang kata pertama kali gua ketemu Aca? Disitu dia nyium lu di depan mata gua persis, persis banget anjing, tapi lu malah diem aja kayak orang bego.”
“Yahh, masih dendam ya ini kayaknya?” Tanya Niko, lalu ia menggesekan ujung hidungnya di pipi Ezra. “Tapi kan sekarang yang nyium dan dicium cuman lo, gak ada yang lain.”
“Mulut buayanya kagak berubah ye.” Ezra terkekeh, “Top banget dah, pantes bisa banget jebol pertahanan gua.”
“Lagian siapa suruh binal banget.”
“Apa-apaan lu! Kata siapa gua binal. Ngada-ngada aja.” Protes Ezra sambil mencubit-cubit kulit punggung tangan Niko. “Lu nya aja yang lemah.”
“Yaudah iya, toh itu masa lalu. Sekarang intinya lo punya gua, gua punya lo. Case closed.”
“Dih posesif banget,” Ledek Ezra sambil memeletkan lidahnya.
“Harus posesif,” Sahut Niko tegas, kembali mengecupi permukaan wajah Ezra. “Soalnya gua punya tunangan kelewat cantik, banyak yang naksir, jadi harus pasang pengaman ketat.”
“Ck, bisa udahan kagak sih nyiumin muka gua, ini iler lu dimana-mana tau.” Protes Ezra sambil mengusap wajahnya di dada Niko. “Gua ngantuk, jam berapa ini?”
“Setengah satu.” Sahut Niko, masih tetap memberikan kecupan-kecupan tipis di pucuk kepala dan pelipis Ezra. “Ra,”
“Apa lagi, Nicholas?”
Niko terkekeh sesaat, sebelum menatap mata Ezra yang mulai terlihat sayu. “I know you know this, but I just really needed to tell you. I love you, a lot, ah no, more than a lot.”
Sebelah tangan Ezra terulur, mengusap pipi Niko perlahan. “Well, you already know that I did the same thing, right?”
“Yeah, baby.” Niko tersenyum, “I really know it. Sleep tight pretty doll, I adore you.”
Ezra's personality is more than enough to make Niko always down his knee for him. Really. He have been searching someone who make his heart feels flutters all the time and then he found it on Ezra. That's why Niko always take Ezra's wish like his command.
Niko, really loves him. More than a lot.