✿
Kabut tebal serta rintik gerimis menyambut mereka begitu sampai di villa yang sudah mereka pesan via online sebelumnya. Hamparan pepohonan tinggi serta kebun teh menjadi pemandangan yang begitu menyejukan mata, ditambah suara gemercik air dari sebuah kali kecil yang berada di bawah villa membuat suasana pegunungan begitu terasa.
Mobil diparkir tepat di bawah pohon rambutan sisi villa, mereka keluar satu per satu dari dalam mobil sambil membawa barang masing-masing. Tidak lupa menurunkan perlengkapan malam tahun baru seperti jagung, terompet, dan petasan yang berada di bagasi belakang.
Seorang penjaga villa menghampiri, menyambut mereka dan menuntun mereka masuk ke dalam villa. Bangunannya bertingkat dua, seluruhnya disusun menggunakan kayu-kayu jati berkualitas tinggi, dengan bagian bawah khusus sebagai area dapur, meja makan, satu kamar mandi kecil, dan teras.
Sedangkan pada bagian atas terdiri dari tiga kamar tidur, dua kamar mandi, dan ruang tengah yang dilengkapi fasilitas karoke serta sofa-sofa panjang untuk bersantai. Ada balkon kecil di masing-masing kamar dan sebuah koridor yang menjadi penghubung di bagian luar, dihalamannya terdapat sebuah kolam ikan dengan air mancur buatan berukuran sedang.
Kunci villa diserah terima, penjaga villa pamit setelah memberikan infomasi terkait fasilitas villa yang akan mereka dapatkan. Mereka berkeliling secara bergerombol mengecek lantai bawah serta lantai atas seraya membawa barang-barang untuk ditaruh ke dalam kamar.
“Gua tidur disini aja deh sama Jave, gak terlalu dingin soalnya.” Rayyan mendudukan dirinya di sisi kasur setelah menaruh tasnya di atas kursi kecil yang berada di dalam kamar, pandangannya mengedar, memperhatikan tiap sudut sebelum akhirnya menatap ke arah Jave. “Gimana? Mau disini aja gak?”
Jave menganggukan kepalanya, “Yaudah disini aja, biar kamar utama ditempatin sama Evan atau Arghi.”
“Eh engga, engga.” Sandra menyahut cepat, kepalanya menggeleng hingga kuncirannya ikut bergerak seirama. “Gua tidur di kamar yang ada double single bed aja, ogah banget tidur satu kasur sama Arghi, yang ada besok pagi gua udah di lantai gara-gara ditendang.”
“Emang lo kira gua gasing apa,” Sahut Arghi tak terima, ia menyentil belakang kepala Sandra. “Yaudah ayo bawa tas lo, kita ke kamar.”
Mendengar ucapan Arghi, Evan refleks berdehem seraya mengulum bibirnya, pandangannya langsung teralih ke arah lain.
“Napa lu ketawa-ketawa?” Tanya Arghi sebal.
Evan menggeleng, “Engga.”
Sandra berbalik, mencubit tangan Evan sambil mencebikan bibir. Namun ia seketika mengeryit ketika menyadari jika ada yang kurang dari mereka saat ini. “Bentar, Deva kemana?”
Pertanyaannya sukses membuat Evan berbalik ke arah belakang, tersentak karena tidak mendapati Deva yang sedari tadi mengekorinya. Ia keluar dari dalam kamar diikuti yang lainnya hingga menimbulkan bunyi bug-bug-bug pada lantai Villa yang terbuat dari kayu.
“Devara!”
“Dibawaaaahhh!”
Mereka berlima sontak berjejer di pagar koridor luar dan menatap ke arah bawah, mendapati Deva yang sedang berjongkok di sisi kolam sambil memperlihatkan kodok yang berada di tangannya.
“Liat! Lucu gak?”
“Aduh,” Rayyan membuang nafasnya berat, “Gua kira dia kenapa-kenapa anjir, soalnya ini villa kagak ramah buat Deva yang bentar-bentar nyusruk.”
“Dep hati-hati yang lo pegang kodok buduk, nanti kalo kena pipisnya lo bisa buta!”
“Hah emang iya?” Tanya Sandra yang langsung menoleh ke arah Arghi, lalu ia menatap Deva kembali. “Ih buang, Dev! Jorok banget mainan kodok!”
“Sekali mendayung, dua orang bego terlampaui.” Kekeh Arghi sambil berbisik jahil. Ia tentu saja bisa melihat yang kodok yang sedang Deva pegang bukanlah kodok beracun seperti kodok buduk.
Jave mendekat ke arah Evan lalu menepuk pundaknya. “Lo mending duluan ke bawah aja deh ngeliatin Deva, nanti kita turun juga buat nyiapin bakaran sama makan.”
“Sebentar, gua naro tas dulu ke kamar.” Evan berbalik, meraih dua tas yang masih berada di kamar yang akan ditempati oleh Jave dan Rayyan sebelum berjalan ke arah kamar utama.
Tasnya dan tas Deva ia taruh di atas kasur, ia lepas hoodienya terlebih dahulu sebelum keluar dari kamar dan berjalan menuju lantai bawah. Evan tersenyum tipis ketika mendapati Deva yang masih asik berbicara dengan nada anak-anak pada kodok yang berada ditangannya, tidak menyadari kedatangan Evan sama sekali.
“Gerimis, ay.” Kata Evan sambil mendudukan dirinya di undakan tangga tertaras yang berada dipinggir pondasi bangunan villa, ia merogoh kantung celana jeansnya guna mengambil kotak rokok dan korek. “Jangan lama-lama, kabutnya udah tebel, dingin.”
“Bawel!” Sahut Deva sambil merengut, ia menaruh kodoknya pada batu yang berada di sisi kolam, lalu telunjuknya mengelus-elus permukaan punggung kodok yang agak licin dan berlendir itu. Kepalanya menoleh ke arah Evan, “Kodoknya boleh dibawa pulang gak?”
Evan menggeleng, “Nanti keluarganya sedih kalo dia lo bawa pulang, takutnya dia tulang punggung keluarga.”
“Iya juga ya,” Deva memperhatikan kodok itu kembali, tersentak ketika kodok yang sedang ia usap punggungnya itu malah meloncat menjauh. “Eh! Jangan jauh-jauh loncatnya!”
Tawa kecil Evan menguar ketika mendapati Deva yang sibuk mengejar-ngejar kodok, satu batang rokok diraihnya dari dalam kotak, menyelipkannya terlebih dahulu di belahan bibir sebelum menyalakan pematik. Pandangannya mengedar, memperhatikan pemandangan perbukitan yang tidak terlalu terlihat jelas karena kabut yang sudah mulai menebal.
Setelah itu, fokusnya terkunci pada Deva yang masih heboh sendiri dengan teman barunya itu. Ponsel di kantung celana Evan raih, aplikasi kamera pada ponsel dibukanya, dan tombol bulat yang berada di bawah layar ditekan untuk memotret Deva sebanyak beberapa kali, lalu kemudian merekam tingkah Deva yang makin heboh mengejar-ngejar kodok.
“Dev, udah ayo masuk. Bentar lagi magrib.”
Deva mendudukan dirinya terlebih dahulu di atas rumput, dadanya kembang kempis meraih oksigen karena agak melelahkan juga mengejar-ngejar kodok yang sudah tak mau lagi dipegangnya itu. “Bentar istirahat dulu, cape ngejar kodok.”
“Lagian udah tau dia gak mau dipegang lagi masih aja dikejar-kejar,” Kata Evan seraya bangkit dari duduknya dan mematikan rokoknya yang masih setengah batang. Ia berjalan mendekat ke arah Deva, lalu jongkok di sisi pacarnya itu. “Sini tangannya.”
“Ngapain?” Tanya Deva bingung, tapi dia tetap mengulurkan kedua tangannya pada Evan.
Sapu tangan pada kantung belakang celana Evan raih, lalu mengelap kedua tangan Deva yang sedikit kotor akibat memegang kodok dan batu sisi kolam yang basah. Membuat Deva hanya mendengus dan memperhatikan Evan yang begitu telaten mengelap tangannya.
“Udah, abis ini dicuci lagi di dalem pake sabun. Ayo masuk.” Sapu tangannya Evan taruh kembali pada kantong belakang, lalu menarik kedua tangan Deva agar pacarnya itu segera berdiri karena gerimis juga sudah mulai lebat.
“Berhenti ngejailin gua, Arghi! Lo gak bisa diem banget!”
“Marah-marah mulu lo San, cepet tua nanti.”
Sandra dan Arghi turun dari tangga dalam ruangan bersamaan dengan Evan dan Deva yang masuk ke dalam area dapur, mereka saling sibuk sikut menyikut dengan Arghi yang membawa jagung, dan Sandra yang membawa plastik berisi sosis dan bakso.
“Ribut mulu lo berdua, jodoh baru tau rasa.” Celetuk Deva sambil berjalan ke arah washtafel.
“Dih? Jodoh sama Arghi? Ogah banget mending ngebucinin Han Sohee daripada jodoh sama Arghi.” Sahut Sandra sambil menaruh sosis dan bakso yang berada di dalam plastik ke dalam kulkas. “Duh Han Sohee kenapa cakep banget jadi pengen macarin.”
“Ga boleh gitu, San. Nanti lo beneran hidup sama gua gimana?' Tanya Arghi jahil. “Kita membangun rumah tangga bareng, pagi hari lo ngejemur terus gua duduk di teras sambil ngopi ngeliatin anak-anak kita lagi pada main latto-”
Tuk!
“Anjing! Mata gua, Sandra!”
Arghi mengaduh sambil memegang sebelah matanya yang baru saja terkena lemparan sebuah es batu kecil. Membuat Sandra, Deva, dan Evan kompak tertawa.
“Berhenti ngehalu, njing! Mual gua dengernya.” Ucap Sandra sambil mendengus.
Evan yang duduk di kursi meja makan hanya bisa menggelengkan kepalanya tak habis pikir, “Kalo kalian jodoh gua bagian ketawa paling kenceng.”
Satu buah jagung terlempar ke arah Evan, dengan refleks ia langsung menangkapnya. Pelakunya? Tentu saja Arghi. Siapa lagi yang membawa jagung sedari tadi selain dia.
“Kalo kayak gini mah ogah juga jodoh sama cewek psikopat kayak Sandra.” Dumel Arghi kesal, matanya masih terasa berdenyut. “Bentar, sosis sama baksonya ngapa lo masukin kulkas? Kan mau ditusukkin, aneh!”
“Oiya!” Sandra refleks menepuk dahinya, ia membuka pintu kulkas kembali lalu mengeluarkan plastik merah itu dari dalam freezer. “Lo sih ngajak gua ngomong mulu! Jadi ga fokus kan!”
“Ko salah gua sih, njing.” Sahut Arghi tak terima.
Deva menyandarkan tubuhnya pada meja kabinet dapur, kedua tangannya terlipat di depan dada seraya memperhatikan Arghi dan Sandra. “Kayaknya kalo lo terus sama Sandra gini, bakalan cepet move on-nya deh, Ghi.”
Ucapan Deva barusan membuat Evan langsung berdehem pelan, ia melirik ke arah Arghi lalu menatap Deva dengan sebelah alisnya yang terangkat.
Sandra buru-buru membuka suaranya lagi, suasana mendadak canggung seketika. “Eh Jave sama Rayyan belom dipanggil turun, panggil mereka, Dev. Suara lo kan kenceng.”
“RAY-Eh itu mereka turun!” Tunjuk Deva ke arah Rayyan yang masih menuruni tangga bersama dengan Jave. “Mana tusukkannya? Biar cepet nusukkinnya rame-rame aja, terus Arghi bagian ngupasin kulit jagungnya.”
Deva mendekat terlebih dahulu ke arah Sandra guna mengambil satu pack tusukan, lalu berjalan ke arah meja makan dan menarik kursi tepat di sisi Evan. Ia sedikit merunduk, mengecup sekilas pipi ketua himpunan itu lalu baru mendudukan dirinya di atas kursi.
Sebelah tangan Evan seketika terulur dibawah meja, menyentuh paha Deva seraya memperhatikan pacarnya yang sedang membuka plastik pembungkus tusukan. Deva tidak mengatakan apapun lagi karena sejujurnya, ia refleks berbicara soal itu tadi.
Rayyan dan Jave duduk berhadapan dengan Evan dan Deva, sedangkan Sandra duduk di samping kiri Deva dan Arghi duduk agak menjauh dari meja karena harus mengupasi kulit jagung.
“Eh, video call grup dong sama anak BPH biar rame!” Usul Rayyan, tanpa babibu ia langsung mengambil ponsel Jave dan membuat panggilan grup. Ponsel ditaruh diatas meja dengan posisi bersandar pada vas bunga.
Namun setelah menunggu beberapa saat tidak ada satu pun yang menjawab panggilan, membuat Rayyan langsung meraih ponsel Jave dan mematikannya penuh emosi. “Anjir sementang pada liburan sombong-sombong banget, tai.”
“Ya lo udah tau mau pada taun baruan sama keluarganya malah di video call.” Celetuk Sandra.
“Enak ya orang-orang pada tahun baruan sama keluarga.” Arghi yang sedari tadi terdiam membuka suaranya kembali. “Beda ama gua yang keluarganya mencar kayak tim sar.”
“Tos dulu dong!” Sandra langsung mengangkat tangannya dan melakukan tos bersama Arghi. “Papa gua di mana, Mama gua di mana, gua di mana. Yah, namanya juga idup.”
“Mending mencar daripada bapaknya udah jadi singkong.” Timpal Deva.
Seketika semua orang memejamkan matanya, meringis mendengar ucapan Deva barusan. Jave buru-buru mengulurkan tangannya seperti meraba sesuatu di atas meja dengan kelopak mata yang masih terpejam.
“Gelap woy! Nyalain dong lampunya!”
Rayyan dengan cepat menoyor kepala Jave. “Tolol!”
“Ay,” Evan mengelus permukaan paha Deva dari bawah meja.
“Hehehe, santai guys, bercanda aja gua.” Deva terkekeh, ia kemudian meraih beberapa sosis lalu menusuknya dengan tusukan bambu. “Udah berdamai sama keadaan soalnya.”
“Ganti topik, ganti topik,” Sandra membuat tanda X dengan kedua tangannya. “Bahas apaan ya yang seru, lagi kagak ada bahan buat gibah sih.”
“Kata siapa?” Rayyan menyeringai, membuat Jave seketika membuang nafasnya berat. “Pasti lo semua tau Oliver kan?”
“Bangsat!” Arghi seketika membanting kulit jagung masuk ke dalam kantong plastik, “Itu bocah minjem duit gua bilangnya karena sakit taunya dipake judi anjir! Mana kagak dibalik-balikin itu 500 rebu gua.”
“Kemaren baru aja kegerebek polisi di kosannya.”
“HAH?!”
“Ngobat juga soalnya,” Kedua bahu Rayyan naik sekilas, tangannya masih sibuk menusuk-nusuk bakso. “Di fakultas sebelah rame banget, cuman langsung redam gosipnya gara-gara anak bem mereka minta pada suruh diem.”
“Dih pantes aja gua kalo ketemu dia bocahnya rada keliatan ngefly.” Sandra mencebik, “Mana kadang ngang ngong ngang ngong ga jelas kalo diajak ngomong.”
“Lo sering ketemu dia, San?” Tanya Deva kepo.
Sandra mengangguk. “Sering main ke kosan soalnya. Tapi bukan ngapelin gua ya, dia ngapelin anak sebelah kamar gua, gak tau namanya siapa soalnya gak pernah interaksi.”
“Wibu ya?” Gantian Jave yang bertanya.
“Napa jadi nyambung ke wibu?” Arghi yang menggemari animasi Jepang itu sedikit tersinggung dengan ucapan Jave. “Emangnya semua orang introvert itu wibu? Lo liat noh Evan, dia malah penggemarnya ngerokok abis ngewe sama lagu-lagu ngantuk.”
“Lagu-lagu ngantuk,” Rayyan seketika tertawa. “Lebih cocoknya lagu galau sih.”
“Sok tau lo! Gak semuanya lagu galau ya!” Sahut Deva tak terima.
“Tapi kan emang semuanya lagu galau, ay.” Celetuk Evan.
Rayyan langsung mengulum bibir menahan tawa, sedangkan Deva seketika menepuk paha Evan dengan alis yang mengkerut.
“Duh beneran deh ini kalo Daffin, Mada, Elang, sama Zhifa ngikut pasti bakalan lebih rame,” Sanda membuang nafasnya berat, “Soalnya tahun baru tahun depan pasti udah pada sibuk magang, ngurus skripsi, sama lengser.”
“Nikmatin aja yang ada sekarang, gak usah mikirin tahun depan gimana,” Arghi menaruh kulit jagung terakhir ke dalam plastik sebelum menggeret kursinya mendekat ke arah meja, ganti menusuki jagung dengan stick kayu kecil. “Toh kita ngumpul kayak gini kan bisa kapan aja.”
“Iya sih.”
“Nih kalo udah selesai ditusukkin masukin ke kulkas bawah aja, jangan freezer. Biar gak beku pas mau dibakar nanti,” Rayyan merapihkan sosis serta bakso yang berada di dalam keranjang kecil itu. “Arengnya nanti boleh kan minta sama Akang yang jaga villa tadi?”
“Boleh. Dia yang nawarin tadi.” Sahut Evan sambil menganggukan kepalanya tipis. “Nanti biar gua ambil.”
“Eh abis ini pada nonton film mau gak? Biar gak gabut-gabut banget nunggu tengah malem,” Usul Jave. “Gua ada rekomendasi film horror bagus.”
“Apa? The Exorcism of Emily rose?” Tanya Deva, “Gua udah nonton waktu itu sama Evan. Dia sampe beser mulu gara-gara ketakutan.”
“Sstttt, jangan ember.” Kata Evan sambil menggelengkan kepala seraya mengelus paha Deva kembali.
Jave menggeleng, ia menyipitkan kedua matanya lalu berbisik pelan. “Rewatch misteri Bondowoso tahun 2000.”
“GAKK!!” / “JANGAN!!”
“Masa kecil gua beneran kena trauma sama itu film, dan gua gak mau nonton lagi.” Protes Arghi, “Sampe sekarang gua masih inget scene dimana orang-orang diserang banyak kunti.”
“Dulu nobar film itu padahal ramean tapi gua tetep gak bisa tidur tenang selama seminggu,” Tambah Rayyan. “Mana Ibu gua ngomel mulu gara-gara gua ngompol terus akibat ketakutan.”
“Eh udah deh mending jangan horror, nyari yang aman-aman aja.” Usul Sandra, “Mending nonton film bokep sekalian daripada nonton horror ditempat begini, serius.”
“Fifty Shades?”
“GASSSSS!!”
Mereka berkumpul di ruang tengah, fokus pandangan mereka kompak menatap ke arah layar televisi yang sedang menampilkan adegan film itu. Dua orang duduk di atas sofa, dan empat lainnya duduk di atas karpet dengan punggung yang bersandar pada bagian bawah sofa.
Evan mendudukan dirinya tepat di bawah Deva, dan membiarkan jari-jari pacarnya itu bermain dengan rambutnya yang tebal. Salah satu kebiasaan baru Deva ketika menonton film bersamanya adalah memainkan rambut. Sesekali ia mendongak, mengecek Deva ketika jari-jari pacarnya itu berhenti cukup lama, takut Deva tiba-tiba jatuh tertidur.
'...I'm sorry, I know it's not good timing.'
'I had plans for us, I wanted to give you the world. Do you really think that I'm ready to be a father?'
'No! I don't. And I'm not ready to be a mother either, but we'll just figure it out.'
'Am not ready to figure it out.'
“JANCOKKK CHRISTIAN JANCOKKK!!”
Bantal sofa terbang mengenai wajah Arghi yang sedang tiduran di atas karpet. Ia seketika tersentak dan melempar kembali bantal yang mengenai wajahnya ke arah Sandra.
“Kalem!”
Sandra meringis, “Sorry, gua kesel soalnya.”
“Tolol ya si Christian, dia yang ngeluarin dia yang kagak mau tanggung jawab,” Komentar Rayyan sambil mendesis kesal. “Emangnya yang diharepin selain dapet enak sama bayi dari ngewe apaan anjir? Tv plasma? Kulkas dua pintu?”
“Jatohnya doorprize dong, babe.” Sahut Jave. “Eh tapi seru ya kalo di dunia ini ngewe dapet hadiah kayak begitu, bayangin Ray kita abis begituan terus ta-daaa!! Besok pagi dapet sepeda lipet!”
“Otak lo rada-rada!” Rayyan menoyor kepala Jave pelan.
Ditengah obrolan teman-temannya yang sibuk mengomentari adegan film, Evan menyadari jika Deva tidak mengeluarkan suara sama sekali, jadi ia mendongak, dan seketika mendapati wajah mengantuk Deva dengan kelopak matanya yang berkedip berat.
“Ay, ngantuk?” Tanyanya, satu tangan Evan meraih sebelah tangan Deva untuk ia genggam. “Mau tidur dulu? Nanti pas mau tengah malem gua bangunin.”
Deva menggeleng, ia masih bisa sunggingkan senyum tipis lalu mendorong wajah Evan agar menatap layar televisi kembali. Tapi Evan kembali menoleh ke arahnya, dan bangkit dari posisi duduk.
“San, geseran sedikit gua mau duduk.” Katanya pada Sandra.
Sandra langsung menggeser posisi duduknya, ia menempati satu sofa panjang sendirian dengan kaki yang berselonjor seraya mengecek jam dari layar ponsel. “Duh masih lama banget dah tengah malem, masa dari tadi baru jam setengah 9 sih, keburu ngantuk.”
“Nyelesain film ini dulu deh baru abis itu kita gitaran atau main kartu biar ga ngantuk, atau langsung mulai bakar-bakar aja.” Sahut Rayyan sambil membenarkan letak bantal yang berada dibelakang punggungnya. Ia tak sengaja menoleh ke arah Deva, “Yah, Depa jam segini udah ngantuk aja.”
“Engga, siapa yang ngantuk.” Sahut Deva cepat, ia menggeleng namun dari raut wajahnya pun semua orang tahu jika ia sedang menahan kantuknya.
Evan menghela nafas, ia duduk tepat di sebelah Deva lalu meraih kepala pacarnya itu agar tiduran di atas pahanya. Awalnya Deva menolak, namun akhirnya ia tetap merebahkan kepalanya di atas paha Evan dengan kaki yang berselonjor di atas sofa.
Suasana hening kembali, mereka fokus mengikuti alur film yang sedang diputar dan sesekali celetukan kesal atau pekikan kecil dari mereka terdengar. Terlebih sorakan turut menggema kompak saat adegan film mulai memanas.
Satu tangan Evan bergerak mengelus kepala Deva, ia tahu jika sekertaris hima itu sudah jatuh tertidur karena deru nafasnya yang begitu tenang dan teratur. Biasanya Deva kuat sekali begadang, namun dikarenakan malam sebelumnya pacarnya itu hanya tidur kurang dari lima jam dan tidak tertidur lagi sampai tadi, hal itu mungkin membuat kantuk Deva menyerang lebih cepat dari biasanya.
Evan menunduk, senyumnya terulas tipis saat menatap wajah Deva yang tertidur. Tangannya turun mengusap pipi Deva selama beberapa saat sebelum kembali mengelus kepalanya dengan perlahan. Ia meruduk sekilas untuk mencium pipi putih dengan rona kemerahan yang samar itu.
“Cantik.” Bisiknya pelan.
“Apinya jangan gede-gede!”
“SOSISNYA GOSONG ITU WOY!”
“Arghi jangan kentut mulu! Bau!”
“Duh anjir bara arengnya terbang ke kaki gua! Ngipasnya pelan-pelan napa, Dep!”
Jam sudah menunjukan pukul hampir pukul sebelas malam, kurang sepuluh menit lagi. Mereka kini sibuk membakar sosis, bakso, dan jagung yang akan menjadi teman menyambut detik-detik pergantian tahun di sisi villa, dekat dengan kolam ikan tempat dimana Deva sorenya bermain dengan kodok itu.
Jave kebagian tugas untuk membalik-balik sosis beserta jagung bersama dengan Deva dan Rayyan yang bertugas mengipasi bara areng agar tetap menyala. Sandra yang membuat minuman, gadis itu dengan semangat menggetoki es batu hingga menjadi bagian-bagian kecil. Lalu Arghi kini sibuk menyusun posisi kembang api agar tidak goyah saat mereka menyalakannya nanti, sedangkan Evan kebagian sebagai pengatur musik seraya bermain gitar agar suasana lebih hidup.
Para pengunjung villa lainnya pun sudah mulai membuat acara mereka sendiri-sendiri di halaman samping villa. Ada yang juga sibuk bakar-bakar, karaoke bersama, ada mulai menyalakan kembang api, bahkan menari-nari mengitari api unggun kecil yang dibuat. Membuat suasana di komplek Villa menjelang tengah malam menjadi semakin riuh.
“Lo pada tuh punya resolusi gak sih di tahun baru ini?” Tanya Rayyan sambil tetap mengipasi bara arang. “Gua bingung orang-orang pada update status resolusi mereka, sedangkan gua kagak tau mau ngapain.”
“Resolusi gua sih simpel, new year new me aja lah.” Sahut Arghi. “Gak usah ribet-ribet, takut kagak bisa ke wujud kan malu ya.”
“Emm apa ya,” Sandra yang membawa teko berisi fanta itu mendekat ke arah meja kecil yang ditaruh tepat di sisi bagian bakar-bakar. “Semoga di tahun baru ini gua gak banyak beban aja sih, ya walaupun ujung-ujungnya bakalan tetap gua jalanin itu beban walau sambil nangis-nangis.”
“Itu mah lo-nya aja yang cengeng.” Celetuk Arghi yang langsung dibalas dengan lemparan es batu kembali oleh Sandra.
“Lo ada resolusi gak, yang?” Tanya Rayyan pada Jave.
Jave menaikan bahunya sekilas. “Bingung mau resolusi gimana, gua cuman berharap bisa lebih baik aja sih, dan hubungan kita makin awet.” Katanya sambil mengedip genit ke arah Rayyan.
Ganti Rayyan menoleh ke arah Deva. “Dep?”
“Cuman berharap gua bisa lebih baik aja dari sebelumnya, kita makin kompak, sehat dan sejahtera selalu, apa lagi ya bingung,” Deva terkekeh pelan. Ia kemudian melirik ke arah Evan sekilas dari ujung matanya. “Tahun ini gua udah beruntung banget karena akhirnya ada yang bisa ngulurin tangannya ke gua buat sembuh dari trauma hati yang ada, walaupun caranya rada tolol sampe harus dibantu orang lain buat nyusun rencana-rencana konyol. Semoga awet aja sampe akhir nanti.”
“Sorry, Dev.”
Deva langsung menoleh cepat ke arah Arghi. “Santai, udah lewat juga kok.”
“Van, gimana? Ada resolusi gak lo?”
Evan menghentikan permainan gitarnya, ia menatap ke arah Rayyan lalu tak lama pandangannya beralih ke arah Deva. Senyumnya mengembang tipis.
“New year, new happiness.” Katanya singkat.
“Udah gitu doang?” Tanya Rayyan lagi.
Kepala Evan mengangguk, lalu ia kembali melanjutkan permainan gitarnya. Membuat Rayyan menggeleng dan menatap ke arah Deva.
“Kuat ya lo sama orang kayak Evan, kalo gua kayaknya udah darah tinggi mulu tiap waktu.”
Deva terkekeh pelan. “Gua juga sebenernya kadang kesel kalo dia udah cuek, aneh, gak jelas, apalagi kadang gua lemot ya mahamin dia ngomong apa. Tapi Evan aslinya lembut kok, perhatian juga. Di depan orang banyak aja dia berlagak cool, dibelakang mah masih demen ngerengek juga kayak bocah.”
“Keliatan sih,” Sandra ikut menimbrung obrolan. “Gua seneng banget Dev waktu lo berdua akhirnya naik tingkat dari sebates sahabatan doang. Gua tau dari awal lo emang nyimpen rasa sama Evan cuman denial lo aja tuh yang segede gunung Everest.”
“Mana ada!” Protes Deva. “Gua tuh cuman butuh meyakinkan diri aja.”
“Taiiii,” Rayyan berdecih jengkel. “Denial berbalut meyakinkan diri sampe kabur pulang ke rumah.”
“Diem!”
Satu buah sosis mentah masuk ke dalam mulut Rayyan hingga membuatnya terbatuk-batuk, berakhir dengan ganti mendorong Deva sampai tejungkal dari kursi kecilnya.
“Stress ya lo!”
“Sebenernya nih ya, menurut pandangan gua,” Jave turut memberi komentar. “Evan sama Deva tuh sama. Anehnya, kelakuannya, frekuensinya, randomnya tuh sama. Cuman karena Deva berisik kayak toa tukang tahu bulat dan Evan pendiem macem kerupuk melempem, makanya keliatan bertolak belakang.”
Sandra tergelak. “Berarti bukan pasangan Yin and Yang dong.”
“WOY! Coba liat sini!”
Mereka semua kompak menoleh ke arah Arghi ketika mendengar seruannya. Bola mata mereka langsung membulat saat mendapati sebuah petasan hajatan yang menggantung berderet di ranting paling bawah pohon mangga depan villa. Serta deretan petasan kembang api yang sudah di susun secara horizontal di atas tanah dengan batu sebagai pengganjalnya.
“Arghi! Gila ya lo beneran mau ngidupin petasan hajatan!”
“Biarin sih, San. Kan biar anti mainstream.” Sahut Arghi bangga.
“Eh yang ada kita di demo massa kalo nyalain petasan begitu!” Protes Rayyan, “Copot, Ghi! Lo aneh-aneh aja dah kelakuan.”
“Ghi, gak usah macem-macem.” Komentar Evan.
“Yaelah mereka juga bakalan pada suka kok! Percaya sama gua.” Ucap Arghi meyakinkan teman-temannya.
“Udah sih biarin aja, kalo kita di demo juga tumbalin aja si Arghi.” Deva mendecih pelan. “Tapi iya sih, biar seru nyalain petasan begitu.”
“Devaraaa.” Ucap Rayyan dan Sandra secara bersamaan, membuat Deva hanya terkekeh pelan.
Mereka kemudian lanjut bercengkrama sambil sesekali menyuruh Arghi untuk mencopot rentetan petasan yang menggantung di pohon itu. Sosis, bakso, dan jagung sudah selesai mereka bakar, dan kini tinggal menunggu hitungan menit menuju pergantian tahun sambil mendudukan diri di undakan tangga yang berada di pinggir pondasi villa, dengan mulut yang sibuk mengunyah bakaran tadi.
“Sosisnya masih mau lagi?” Tanya Evan pada Deva yang kini sedang menggerogoti jagung bakar itu.
Deva menggeleng. “Engga. Udah kenyang.”
“Yaudah.” Sosis bakar yang berada ditangannya Evan taruh kembali ke atas piring. Ia mengambil beberapa lembar tissue sebelum mendudukan dirinya kembali, tangannya terulur meraih dagu Deva dan mengelap sekitaran bibir pacarnya yang belepotan kulit jagung yang gosong. “Minum air putih, jangan fanta lagi.”
“Segelas lagi boleh?”
“Engga.”
“Ugh,” Deva merengut, ia membuang bongol jagung pada plastik sampah yang berada di depannya. “Belum kembung kok.”
Evan menggeleng. “Nanti idungnya gak enak, ay.”
“Lagian kenapa sih gak nyeduh tejus aja, kan enakan tejus,” Sungut Deva sebal. “Ngide segala minumnya fanta.”
“Sstt, gak usah protes. Besok beli tejus.” Evan mencomot sekilas bibir Deva yang maju beberapa senti itu. “Sini lap dulu tangannya, berminyak itu.”
Kedua tangan Deva dibersihkan menggunakan tissue basah oleh Evan. Tingkahnya yang memberikan perhatian kecil pada Deva itu tak luput dari mata Sandra karena ia tepat duduk di samping Deva.
“Enak ya kalo punya pacar, diperhatiin terus.” Ucapnya sambil menghela nafas.
“Yaudah ayo pacaran.”
Sandra seketika menoleh ke arah Arghi dan mendorong wajah pemuda itu menjauh. “Gausah mimpi! Gua lebih demen tete, bukan titit.”
“Titit gua gede kok, kita trial dulu aja. Kalo nyaman ya perpanjang, kalo engga ya di unsubscribe.”
“Cowo gila!” Sungut Sandra kembali.
“Ehh ayo siap-siap lima menit lagi ganti tahun!”
Rayyan bangkit dari duduknya dan mengambil tiga terompet yang berada di meja dapur, memberikannya terlebih dahulu pada Deva dan Sandra sebelum meniup-niup terompetnya sebanyak dua kali untuk mengetes. Sedangkan Arghi, Jave, dan Evan kini berada dekat dengan kembang api untuk menyulut sumbunya secara bersamaan dalam hitungan mundur detik-detik pergantian tahun.
“10... 9... 8... 7... 6...”
Ketiganya langsung berlari menjauh ketika hitugan akan mencapai angka lima dan sumbu kembang api sudah terbakar. Evan merangkul pundak Deva yang sudah bersiap meniupkan terompet itu, senyum di wajahnya merekah lebar ketika melihat betapa lucunya Deva dengan ujung terompet berbentuk naga yang terselip dibelahan bibirnya.
“5... 4... 3... 2... 1...”
Siuuuu~ Duar!
“HAPPY NEW YEARRR!! WOHOOOO!!!”
Suara gemuruh kembang api yang meledak di udara saling bersahut-sahutan dengan suara terompet. Langit malam seketika berubah begitu cantik dihiasi beragam warna dari ledakan kembang api, bersamaan dengan banyaknya untaian doa yang turut terbang ke langit berharap tahun yang akan datang akan lebih baik dari sebelumnya.
Mereka bersorak, berseru dengan wajah bahagia melihat banyaknya kembang api yang menghiasi langit saling bersahut-sahutan. Banyak diantara mereka turut merekam moment pergantian tahun dengan merekamnya menggunakan kamera ponsel, Rayyan dan Jave bahkan melakukan 'new year kiss' seraya berselfie menggunakan kamera polaroid.
Rengkuhannya pada pundak Deva lebih Evan eratkan hingga tubuh pacarnya itu menempel tanpa celah. Jika tahun lalu ia hanya bisa merangkul Deva, kini Evan bisa turut memberikan satu di pelipis Deva yang masih menatap riuhnya kembang api. Tahun baru, kebahagiaan baru.
“Happy new year, Abiandra.”
Deva menoleh begitu Evan berbisik tepat di telinganya. Seulas senyum di wajah Deva mengembang, ia melepas ujung terompetnya terlebih dahulu sebelum bergerak mencium pipi Evan selama beberapa saat.
“Happy new year too, Adhitama.”
Bibir mereka bertemu selama beberapa detik.
“Let's going through this year together.”
“I do.”
Evan rangkul pundak Deva kembali, menatap lagi ke arah kembang api yang masih menyala riuh dengan wajah yang sama-sama berseri.
Tanpa mereka sadari, satu senyum kecil terulas di wajah cantik Sandra. Gadis itu turut merasakan hatinya yang menghangat ketika melihat teman-teman dekatnya sudah menemukan kebahagiaan masing-masing, satu hembusan nafas berat terlepas, yah walaupun tidak dipungkiri ia juga ingin merasakan bagaimana senangnya merayakan tahun baru bersama seseorang yang istimewa.
“Gak usah ngelamun, kesurupan ntar lo.”
Sandra tersentak ketika sebuah jaket tersampir di pundaknya, ia menoleh ke arah Arghi yang masih memandang letupan kembang api. Dengusan gelinya keluar, senyumnya lagi-lagi merekah. “Thanks, Ghi.”
Arghi hanya berikan anggukan tipis sebagai jawaban.
Beberapa menit kemudian riuh letupan kembang api perlahan mulai berkurang seiring dengan sorak-sorak yang mereda. Langit menyepi kembali, gerombolan orang-orang yang melihat kembang api pun sudah mulai membubarkan diri.
“Duh beneran deh tahun depan BPH harus full team buat ngerayain tahun baru,“Ucap Sandra sambil membenarkan letak jaket yang Arghi berikan padanya. “Biar makin rame.”
“Gimana kalo satu himpunan aja? Kita sewa villa yang lebih gede.” Usul Rayyan.
“Yang ada nanti Arghi bersatu sama Hisyam, makin gila nanti kembang api yang-”
“TUTUP KUPINGGG!!!”
Arghi berteriak menjauh dari petasan renteng yang baru saja ia nyalakan sumbunya sambil menutup kedua telinga. Sontak mereka langsung panik berhamburan menjauh dari dekat pohon mangga yang menjadi tempat tergantungnya petasan itu.
“BANGSAT ARGHIII!!!”
DOR! DOR! DOR! DOR! DOR! DOR!
Wiuu~ Wiuu~ Wiuu~ Wiuu~
Alarm beberapa mobil seketika menyala dengan begitu kompak.