sweettynsaltt

🕊

Musik diputar dalam volume kencang, lampu berwarna-warni berpendar menghiasi gelapnya ruangan. Gelak tawa serta obrolan dengan suara kencang menjadi hal yang lazim di sana. Botol-botol alkohol berjejer di etalase dengan begitu cantik, sebagian tersebar pada meja-meja bulat.

Di sebuah meja, dua orang wanita duduk dengan jari yang mengapit sebatang rokok. Penampilannya masih begitu formal, dengan rok span dan kemeja khas kantoran. Rambut yang tadinya ditata rapih kini terlihat berantakan.

“Archie udah lo suruh ke sini?”

Wanita dengan mata kucing itu menoleh, menatap temannya sekilas sebelum menghisap rokoknya kembali dan menghembuskan asapnya perlahan. “Udah, tapi tau kemana belum sampe-sampe.”

“Kak!”

“Panjang umur.”

Archie berjalan terlebih dahulu mendekat ke arah meja dimana kakaknya berada. Abigail dan Nanda mengikutinya dari belakang. “Cardigan yang abu-abu gak ada, jadi gua bawain yang dongker aja.” Ucap Archie sambil menyerahkan cardigan knitt berwarna biru gelap itu pada Athena. “Long time no see, kak Prima.”

Prima tertawa mendengar sapaan Archie, ia kemudian mengarahkan rokoknya ke arah adik teman kantornya itu. “Ambil aja kalo mau.”

“Gampang, kak.” Archie tersenyum lebar, lalu mendudukan dirinya tepat disamping Athena. Abigail dan Nanda mengikutinya, membuat sofa yang diperuntukan untuk 4 orang itu terihat padat. “Gua mau ikut turun, boleh gak?”

“Asal jangan sampe mabok. Nanti susah pulangnya.” Athena kemudian menatap Abigail dan Nanda bergantian. “Kalian gak usah malu-malu gitu. Biasanya juga malu-maluin”

“Engga malu kak, cuman salting aja ngeliat cewe cantik.” Tutur Abigail jujur, membuat Athena dan Prima sontak tertawa.

Heterosexuality was never an option.” Prima terkekeh. “Mana cewe lo yang cantik? Gak diajak?” Tanyanya kemudian.

“Eh?” Abigail tersentak, lalu ia tertawa. “Belum dapet, doain aja.”

Archie diam-diam memperhatikan raut wajah Nanda yang tengah mengerutkan dahinya mendengar ucapan Abigail. Disenggolnya paha Nanda, membuat laki-laki pecinta kucing itu menatap ke arahnya. “Gak usah mikirin hal-hal yang gak perlu dipikirin, di sini buat seneng-seneng.”

Nanda terkekeh, ia kemudian mengambil bungkus rokoknya yang berada di kantung striped-jeans miliknya. “Siapa juga yang lagi mikir, sok tau lo.”

Archie hanya mendengus, ia kemudian meraih salah satu botol yang berada di atas meja, menuangkannya dengan hati-hati pada gelas berkaki panjang hingga terisi setengah. Didekatkannya bibir gelas pada ujung hidung bangirnya, menghirup aroma alkohol yang dipadukan oleh manisnya berry sebelum menegaknya habis dalam satu tarikan nafas.

“Jangan banyak-banyak.” Athena memperingati Archie yang kembali menuang penuh isi botol pada gelas. “Nan, Gel, minum lah, jangan diem aja.”

“Bigel gak diem aja itu kak, matanya jalan-jalan.” Sahut Nanda sambil terkekeh, melirik ke arah Abigail yang langsung mencubit pinggangnya. “Apa? Bener kan!”

“Yaudah diem sih, anjing.” Sungut Abigail sebal.

“ARE YOU READY GUYS?!!”

Suara DJ yang menggema kencang melalu speaker membuat seluruh muda mudi yang berada di sana bersorak riuh. Sebagian dari mereka mulai bangkit dari duduk dan berjalan menuju bagian tengah ruangan, tidak terkecuali Archie dan kedua temannya. Sementara Athena dan Prima tetap duduk tenang di sofa dan hanya sebelah tangan mereka yang memegang gelas terangkat tinggi.

“Kak, ayo!” Ajak Archie ketika menyadari jika Athena masih terduduk di posisinya. “Katanya suntuk.”

“Gua nyusul, lo duluan aja!” Sahut Athena. “Mau nyari ikan dulu!”

Archie berdecih melihat tingkah kakaknya itu, tidak ambil pusing dengan sikap Athena yang kerap kali mencari teman bersenang-senang. Selagi kakaknya itu tahu batas dan bisa menjaga diri, Archie akan mendukung apapun yang membuat Athena bahagia.

Tangan Archie kemudian merangkul pundak Nanda dan sebelah tangannya digandeng oleh Abigail. Mereka masuk ke dalam kerumunan, lagu milik Daddy Yankee yang berjudul Gasolina menjadi pembuka mereka untuk mengerakan tubuh mengikuti alunan lagu.

Volume musik semakin dikencangkan, lampu berbentuk bulat yang berada di atas kerumunan berkilauan, sorak-sorak semakin riuh terdengar. Archie berulang kali menarik belakang kaos yang dipakai Nanda, karena sahabatnya itu memang sering kali menghilang tiba-tiba jika sudah berada ditengah kerumunan. Asik sendiri. Berbeda dengan Abigail yang tetap berada di sisinya namun berulang kali bersiul menggoda pengunjung lainnya.

Mi gata no para ‘e janguear porque, a ella le gusta la gasolina

Dame màs gasolina!!

Archie menikmati bagaimana tubuhnya menjadi ringan dan bergerak lincah mengikuti irama. Tertawa ketika mengikuti gerakan Abigail yang bergerak ke kanan dan ke kiri seperti sedang senam, senyumnya merekah semakin lebar hingga tawanya menguar ketika Nanda melakukan freestyle tepat dihadapannya.

Namun ketika Archie tak sengaja menatap ke arah lain, di ujung kerumunan yang bersebrangan dengannya, matanya bersinggungan dengan sepasang manik yang ia tahu betul siapa pemiliknya. Raut wajahnya yang terlihat kaget dengan cepat berubah, senyum tipis yang tersungging berubah menjadi seringai tipis.

Oliver di sana.

Mereka tetap terlihat asik dengan irama musik yang berdendang, tapi mata mereka sesekali saling bertatapan ditengah temaramnya ruangan dan riuhnya pengunjung club yang mulai menggila. Berbicara melalui tatapan mata yang hanya dipahami oleh keduanya.

Oliver tentu menunggu waktu yang pas untuk mendekat ke arah Archie secara diam-diam ditengah teman-temannya yang mengelilinginya. Begitu juga Archie yang melakukan hal yang sama.

Begitu lagu berganti, dan keadaan semakin riuh, Archie dengan perlahan mengambil beberapa langkah mundur agak tidak membuat kedua temannya itu curiga. Menjauh dari Nanda yang sudah asik sendiri dan Abigail yang sudah menemukan teman bersenang-senangnya malam ini.

Posisinya semakin masuk ke tengah kerumunan, Archie menoleh ke arah Oliver yang masih tetap dalam posisinya. Senyum tipis terlempar, sorot matanya mengatakan agar Oliver mendekat ke arahnya sebelum akhirnya padangannya beralih menatap ke arah depan.

Gasolina itu sukses membuat seluruh muda-mudi menggila. Kerumunan semakin memadat. Bahkan Athena yang tadi masih berdiam diri duduk di sofa kini sudah masuk ke dalam kerumunan. Archie bahkan sudah tidak bisa melihat dengan jelas dimana kedua sahabatnya itu berada.

Dipertengahan lagu, Archie bisa merasakan dengan jelas aura panas seseorang dari arah belakang tubuhnya. Ia melirik dari ujung mata, lalu mendengus ketika menyadari jika Oliver sudah keluar dari kerumunan teman-temannya dan kini berdiri tepat dibelakangnya.

Oliver menundukan kepalanya, bibirnya tepat berada di sisi telinga Archie. “I'm glad you're here.” Bisiknya. “Padahal tadinya gua mau ajak lo ke sini, tapi ternyata lo udah di sini duluan.”

Senyum merekah lebar ditengah cukup sulitnya Archie menahan geli karena hembusan nafas Oliver yang tepat mengenai daun telinganya. “So, what would we do?” Katanya sambil balas berbisik. “Lo ngajak gua ke sini buat apa emangnya?”

Kepalanya terangkat, kekehan Oliver mengalun pelan bersamaan dengan bola matanya yang menatap Archie dari bawah sampai atas. Lalu kembali mendekatkan wajahnya disamping telinga Archie. “Do something fun? Anything you want.

Anything I want?” Archie mengulangi perkataan Oliver, ia berbalik, menatap lelaki itu dari bawah sampai atas seperti apa yang sudah Oliver lalukan. All in black. Atensinya jatuh pada sepasang anting silver yang Oliver pakai. Membuat lelaki itu jauh terlihat lebih menarik. Lalu bola matanya bergulir menatap kalung dengan bandul gembok yang tepat berada di hadapannya.

I'm just curious how it would feel if this necklace dangled in front of my face.

Wanna try?

Tawaran itu seketika membuat Archie menaikan sebelah alisnya dengan mata yang menatap dalam sepasang manik dihadapannya. Sejenak ia melirik ke arah tangannya yang ditarik untuk mengisi ruang kosong antara jari-jari Oliver.

“Gak terlalu cepet?”

“Apanya?”

“Kita.”

“Bukannya lebih cepet bakalan lebih menantang?”

Seringai tipis di wajah Oliver tercipta, memperhatikan wajah Archie yang begitu kecil dengan mata bulatnya yang besar dengan rambut blondenya yang dibiarkan memangjang. Persis seperti boneka. Begitu menawan.

Namun keterdiaman Archie membuat Oliver langsung mengambil kesimpulan jika lelaki cantik itu menolak. Ia kira Archie adalah lawan yang seimbang, mengingat sebagaimana ketika ia berusaha memancing, maka Archie akan turut melemparkan kailnya.

Alright then,

Senangnya hanya bertahan beberapa detik saja. Raut wajah Oliver seketika berubah saat Archie membuka suaranya kembali, terlebih saat menyadari jika Archie menyeringai kecil padanya.

But not today. Gua balik sama kakak gua soalnya abis ini.” Sambung Archie setelahnya, ia tertawa karena merasa lucu dengan raut yang Oliver tunjukan. “She's so pretty, wanna know her?

Nah, you're pretty tho. Mungkin lain waktu?”

Archie terkekeh kecil, genggamannya pada jari-jari Oliver mengerat. Menyadari jika tangannya yang berukuran seperti laki-laki pada umumnya menjadi lebih kecil ketika berada dalam lingkupan tangan Oliver. Namun tidak hanya tangannya, proporsi tubuhnya pun menjadi ikut mengecil ketika ia berada di sisi lelaki Februari ini.

This man is so huge, and Archie feels so tiny when around him.

“Oliver,”

Yes, pretty boy.”

Seperti ada jutaan kupu-kupu yang menggelitik perutnya. Tapi Archie masih tetap bisa memegang kendali, hal seperti ini sudah pernah ia rasakan sebelumnya jauh sebelum bertemu Oliver.

“Gak jadi,” Kekehan Archie keluar bersamaan dengan matanya yang menyipit seperti bulan sabit. “Kita mau di sini aja atau mundur agak kebelakang?”

Oliver menatap sekeliling, posisi mereka jauh dari kerumunan teman-temannya maupun teman-teman Archie. “Di sini aja, gapapa.”

“Okidoki.”

“Coba bilang lagi.”

Archie mendengus geli. “Okidoki.”

Genggaman tangan terlepas ketika Archie memutar tubuhnya ke arah semula. Tawa renyah Oliver terdengar setelahnya, ia mengusap rambut Archie dengan gemas sebelum kembali ikut menggerakan tubuhnya mengikuti alunan musik seperti apa yang Archie dan muda-mudi lainnya lakukan. Ia tetap mengambil posisi tepat dibelakang Archie agar secara tidak langsung turut melindunginya.

Mereka bergoyang, meloncat seraya bersorak penuh kesenangan ketika beat musik semakin membuat mereka tidak bisa mengontrol pergerakan tubuh. Oliver semakin merapatkan jarak di antara mereka sebelum kembali mendekatkan wajahnya pada sisi wajah Archie.

Did you love a waist grab?

“Ha?” Archie mengerutkan keningnya, tidak mendengar perkataan Oliver ditengah riuhnya kerumunan. “Lo bilang apa? Kencengan sedikit!”

Tapi bukannya mengulangi perkataannya, Oliver langsung melingkarkan sebelah tangannya di pinggang ramping Archie. Tubuh yang lebih kecil darinya itu berjengit kaget, Oliver kira Archie akan protes denhan tindakannya namun setelahnya, ia justru dapati tangan Archie yang menarik tangannya agar lebih erat melingkar di sana.

Keduanya tahu betul, apa yang tengah dilakukan merupakan sebuah permulaan yang cukup berbahaya untuk hubungan mereka kedepannya.

Tapi baik Archie maupun Oliver sama-sama tidak peduli. Mereka akan tetap melemparkan kail pada satu sama lain sampai salah satunya tersangkut untuk membuktikan siapa pemenang yang sebenarnya.


Jalanan begitu lenggang, dua orang masih terjaga sedangkan dua orang lainnya sudah terkapar di jok belakang. Tidak ada suara yang terdengar dari dalam mobil kecuali suara seorang penyiar radio yang masih begitu semangat padahal waktu sudah menunjukan pukul setengah tiga dini hari.

“Chie,”

Archie melirik sekilas ke arah kakaknya yang sudah mengedipkan kelopak mata dengan sayu. “Apa?”

“Tadi siapa?” Tanya Athena, ia menatap ke arah adiknya yang berada di balik kemudi. “Cowo yang joget sama lo. Jangan dikira gua gak liat.”

“Oliver. Temen satu kampus, tapi beda jurusan. Dulu pas ospek kelompoknya sebelah-sebelahan makanya jadi kenal.” Jawab Archie jujur.

“Baru deket? Kok gua baru liat?”

“Ya gitu,” Archie mendengus geli. “Baru deket akhir-akhir ini gara-gara Nanda tuh, lupa bawa e-toll, dia yang nolongin minjemin e-tollnya. Kenapa emang?”

Nothing, cuman nanya aja.”

Tapi jangan dikira Archie tidak peka dengan gelagat kakaknya yang terlihat sedikit berbeda itu ketika menanyai soal Oliver. “Kenapa? Kalo lo gak suka gua deket sama dia, ngomong dari sekarang aja, kak.”

“Siapa juga yang gak suka.” Athena mencebik, “Orang gua cuman nanya doang. Udah ah nyetir yang bener, gua udah pengen tidur nih ngantuk.”

“Lah terus mereka?” Archie melirik Nanda dan Abigail dari kaca tengah mobil. “Gak dianterin pulang?”

“Besok pagi aja, lagian besok hari minggu kan? Mereka juga gak akan dicariin sama ortunya karena tau pasti sama lo.”

“Hehehe, iya sih.”

🕊

Archie merapihkan penampilannya sekali lagi pada kaca besar di lobby apartemen. Senyum tipisnya tersungging. Menatap kembali pada sandwich yang hanya ia bungkus dengan plastik wrap di dalam tas yang ia bawa.

Satu pesan masuk ke dalam ponselnya. Itu dari Oliver. Archie bergegas keluar dari lobby dan mendapati sebuah mobil produksi Jerman berwarna hitam sudah terparkir di sisi jalan depan bangunan. Tangannya melambai dengan cengiran lebar di wajah, suara klakson menyambutnya bersamaan dengan jendela sisi penumpang yang terbuka.

“Archie!”

“Hai!”

Archie menyapa ketika ia sudah berada di sisi mobil, belum sempat ia menarik handle pintu, Oliver sudah lebih dulu membukakannya dari dalam. Senyum Archie merekah kembali. Ia masuk ke dalam mobil, menaruh tasnya di dekat kaki, lalu memakai sabuk pengamannya terlebih dahulu.

You’re so fresh.” Puji Oliver ketika melihat penampilan Archie yang dibalut kaos lengan panjang berwarna putih dipadukan dengan skinny jeans hitam dan sepatu kets bercorak putih-merah muda. Rambut blondenya dibiarkan turun menutupi dahi. Tampan sekaligus cantik disaat yang bersamaan. “Kalo gua puji cantik, keberatan gak?”

Archie menggeleng seraya terkekeh. “Engga kok. Kakak gua juga sering bilang gua cantik.”

Senyum merekah lebar di wajah Oliver hingga lesung pipinya terlihat begitu jelas. “Jalan sekarang?”

“Yup.”

Rem tangan ditarik, persneling dimasukan. Sein kanan dihidupkan terlebih dahulu sebelum Oliver kembali menginjak pedal gas dengan perlahan. Mobil hitam itu kembali masuk pada ruas jalan yang cukup padat, alunan musik yang mendendangkan lagu milik dhruv berjudul double take menemani keduanya.

“Oh iya! Ini sandwichnya!” Archie merogoh tas yang dibawanya, mengambil sebuah sandwich yang terlihat cukup besar karena isiannya yang banyak. Ia menoleh ke arah Oliver yang memfokuskan pandangannya pada jalanan. “Mau lo makan sekarang atau nanti aja kalo udah sampe kampus?”

Oliver terkekeh. “Pas udah sampe kampus aja, kalo sekarang kan gua lagi nyetir.”

Kepala Archie mengangguk tipis, bahunya naik sekilas. “Ya kalo mau sekarang gapapa, gua suapin.” Ucapnya pelan seraya memasukan kembali sandwich itu ke dalam tasnya.

Bola mata Oliver melirik Archie dari ujung mata, seringainya merekah tipis. “Oh kalo gitu, boleh deh.”

Tawa Archie mengalun renyah, ia meraih kembali sandwich yang baru saja beberapa detik masuk ke dalam tas. Plastik warp bening dibukanya setengah, lalu mengarahkannya tepat di depan mulut Oliver. Cengirannya melebar kembali ketika Oliver mengambil satu gigitan besar.

How?

Oliver mengangguk, mengunyah sandwich yang berada di mulutnya beberapa kali. “Enak—Oh damn, this is so good, Archie.”

“Iya lah, siapa dulu dong yang bikin, Archie!” Sahut Archie bangga, merasa senang jika seseorang memuji hasil tangannya meskipun hanya untuk sebuah sandwich. Ia mengarahkan kembali sandwich yang dipegangnya ke depan mulut Oliver ketika lelaki itu sudah selesai mengunyah. “Tapi tadi gua lupa ngasih saos ke dalem mayonya, semoga ga bikin enek ya.”

“Ini udah pas.” Oliver menyahut singkat dengan senyum tipis. “I wish I could eat this sandwich forever.

Sebelah alis Archie terangkat. “Forever is a strong word, by the way, hahaha. But no problem, kalo lo mau lagi nanti bisa gua bikinin.”

Oliver tertawa. “Just kidding, gua gak mau ngerepotin lo setiap hari.”

“It’s oke, gua seneng kok direpotin.” Archie terkekeh, “Eh lo inget ga, waktu kita ospek dulu pernah dapet sandwich juga buat sarapan?”

“Yang sandwichnya asem itu kan?”

“Iya!” Archie berdecak, “Sejak itu gua belajar bikin sandwich yang enak, biar pandangan gua ke sandwich ini tetep jadi makanan buat sarapan yang ya … gak jelekbanget lah.”

“Jadi inget temen lo si Nanda pernah muntah gara-gara sandwich waktu ospek terus kena ke Saga.”

“Ya itu tuh awal mula mereka pada sensi satu sama lain!” Tawa Archie mengema kembali. “Temen lo sih ngeselin, Nanda kan udah minta maaf tapi bukannya dimaafin malah ngajak berantem.”

Oliver terkekeh. “Saga emang sumbu pendek, agak ngeselin juga orangnya.”

Archie menghela nafas, mengarahkan pandangannya ke arah depan tapi sebelah tangannya tetap menyuapi Oliver. “Dulu tuh gugus kita sebelah-sebelahan ya, iya gak sih? Terus Rachel apa Yordan yang ngajak kenalan duluan sampe kita pada kenal.”

“Rachel, dia kenalan sama Abigail duluan.” Oliver kembali melirik Archie dari ujung matanya. “Terus kita juga kenalan. Lo dulu diem banget, jadi gua segan mau ngeakrabin diri.”

“Hahaha, gak diem kok. Masih malu aja dulu.”

“Sekarang?”

Archie menoleh, “Udah lebih percaya diri.”

Senyum Oliver terkulum dalam. “Coba dulu kita satu gugus.”

“Kenapa tuh emangnya?” Tanya Archie penasaran.

“Ya mungkin kita bisa lebih akrab dari dulu.”

Halus sekali..

“Yaudah sekarang juga udah lebih akrab kan?” Kekehannya mengalun kembali. Archie tentu tahu jelas dimana titik Oliver melempar umpannya. “Kita abis ospek waktu itu gak ada tukeran kontak juga, fakultas lo sama fakultas gua lumayan jauh, ujung ke ujung, ketemu sesekali di perpus juga cuman say hi doang kan. Ditambah Nanda sensi banget sama Saga jadi kita kayak keliatan musuhan semua.”

“Kalo Saga sama Nanda akrab, kita paling bisa hangout bareng rame-rame.”

“Yah tapi lo ngelupain kalau Nanda juga naksir Yordan, mana mau tuh bocah kebakaran jenggot ngeliat Yordan dilendotin pacarnya kalo kita hangout bareng.”

Oliver tertawa, menatap manik mata Archie sekilas. “Ya kalo gitu kita aja yang akrab.”

Tidak ada sahutan selama beberapa saat. Archie mendengus, seringai tipis hadir di wajah tanpa Oliver ketahui. “Boleh. Tapi gua takut Nanda sensi kalo kita akrab soalnya lo kan temen deketnya Saga. Ditambah anak kampus juga ngiranya lo pacaran sama Rachel, nanti gua dibilang yang engga-engga lagi.”

Easy, Archie.” Oliver menatap kembali manik mata Archie, kali ini lebih dalam. “We both know how to play along, right?

Kedua alisnya terangkat, Archie balas menatap Oliver cukup lama sebelum kekehannya mengalun. Ia mengangguk, lalu kembali menyuapi Oliver dengan sandwich buatannya.

“Lo paham banget kayaknya kalo gua suka ‘main’.”

Oliver mendengus geli. “Keliatan, Chie.”

“Oh ya?” Pupil mata Archie membesar penasaran. “Seberapa jelas?”

“Sejelas keakraban kita sekarang.”

Archie tertawa renyah.

🕊

“Abis gua tanya gitu, gua kasih tau kan gua siapa, eh bocahnya malah ngeledekin gua katanya 'sedih banget sih lo, desparate banget ya nyari pacar sampe main anon di tele' YA GUA EMOSI DONG, CHI!”

Archie menganggukan kepalanya, pundak Nanda diusapnya berkali-kali berusaha memberikan ketenangan pada sahabatnya yang tengah memegang kendali kemudi mobil. Takut jika Nanda tiba-tiba kehilangan kontrol dan justru malah membuat celaka keduanya.

“Gua bales aja, 'ya apa bedanya sama lo'. Abis dari situ kita debat dong, saling ledek, gua gondok banget asli! Rasanya pengen banget nginjek leher si Saga sampe patah! Apalagi pas dia ngeledek kalo gua naksir pacar orang, lah emangnya salah gua naksir Yordan? Toh gua juga gak ganggu hubungan dia sama pacarnya.”

“Yaudah, besok-besok gak usah main anon di tele lagi.” Archie menyahut dengan nada begitu lembut, tapi raut wajahnya terlihat panik saat menyadari bahwa speedometer melebihi batas kecepatan. “Sekarang tenangin diri lo, gak usah ngebut-ngebut KARENA GUA GAK MAU MATI KONYOL! PELANIN MOBILNYA ANJING!”

Sentakan Archie langsung membuat Nanda menginjak dalam pedal rem, ban berdecit nyaring, mobil suv abu-abu itu turun kecepatan dengan begitu signifikan hingga membuat beberapa mobil yang berada di belakang langsung memberikan klakson panjangnya. Seorang bapak-bapak membuka kaca mobil dan meneriaki keduanya seraya menyalip dengan cepat.

“Hehehe, sorry.” Nanda meringis dengan cengiran lebarnya, menatap Archie yang masih terlihat shock di bangku penumpang. “Gua bawanya pelan-pelan deh.”

“Sinting lo.” Archie membuang nafasnya kasar, kepalanya menggeleng, masih sempat menoyor kepala Nanda karena kesal. “Ambil kiri aja deh, atau gak gua yang bawa sini!”

“Eitss!! Gak usah, gua gak akan marah-marah lagi kok, hehehe.” Stir mobil langsung dipengang dengan erat. Menyerahkan kendali kemudi pada Archie sama saja seperti menyerahkan nyawa sepenuhnya pada laki-laki berambut coklat itu. “Mending lo chat Bigel deh, udah selesai ngalis belum.”

Ponsel yang berada di kantung celana diraihnya, Archie mengirimkan beberapa pesan pada Abigail untuk memastikan jika gadis itu sudah selesai bersolek. Tidak butuh waktu lama untuk mendapatkan sebuah balasan yang disertai foto selfie gadis itu sambil memamerkan alisnya yang sudah terukir apik.

“Udah kelar, katanya suruh cepetan keburu bokapnya pulang.” Ponselnya Archie masukan kembali ke dalam kantung celana, ia menoleh pada Nanda ketika gerbang toll sudah mulai nampak dari kejauhan. “E-toll lo ada isinya kan? Jangan sampe kayak yang udah-udah.”

“Ada kok, yaelah tenang aja. Kemaren kan gua pake cuman buat berangkat sama balik ngampus doang.” Nanda menyahut dengan bangga, ia meraih kartu E-toll yang terselip pada sunvisor lalu menggoyang-goyangkannya di hadapan wajah Archie. “Kali ini, gak akan keabisan.”

Archie hanya memutar bola matanya dan mengangguk.

Laju mobil semakin memelan ketika mendekati gerbang toll. Nanda bersiul seraya mengetuk-ngetuk telunjuknya di atas stir, melirik Archie yang tengah mengigit kukunya itu. Dengan cepat ia menepis tangan Archie agar tidak mengigiti kuku lagi. “Tangan lo! Jangan suka gigitin kuku! Jorok!”

Archie tersentak, ia kemudian terkekeh dan menurunkan tangannya. “Refleks, gak bisa gua kalo gak gigitin kuku.”

Tiba giliran mobil mereka yang harus mengetap kartu di gardu. Nanda sudah begitu percaya diri, jendela mobil diturunkan dan tangannya terulur guna menempelkan kartu. Seketika bulatan berwarna merah terpampang di layar depan. Tulisan 'saldo kurang' berada tepat di bawahnya.

Keduanya sontak menoleh menatap satu sama lain, Nanda meringis sedangkan Archie langsung mendengus kesal. “Udah gua bilang kan, Nan! Astaga!” Archie berdecak. “Pake kartu lain!”

“Gua gak bawa kartu lagi, Chi!” Raut wajah Nanda berubah sedih, sekaligus panik karena mobil yang tepat dibelakang mereka membunyikan klakson. “Lo ada bawa e-toll gak? Atau apa kek yang bisa dipake buat nge-tap.”

Archie meraih dompetnya, menarik sebuah kartu dari dalam sana lalu memberikannya pada Nanda. “Nih coba dulu, gua gak tau saldonya masih ada apa engga soalnya terakhir dipake Kak Thena.”

Kartu diganti, Nanda melirik ke arah mobil belakang yang dari kaca spion tengah ketika lampu jauhnya mengedip dua kali memberikan kode kalau mereka harus cepat karena antrian mulai memanjang. “Mobil belakang kayak tai banget dah. Sabar dikit kek.” Gerutu Nanda kesal.

Namun tetap saja, bulatan berwarna merah dengan tulisan saldo kurang itu kembali muncul di layar. Archie langsung menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri mencari keberadaan petugas toll, tapi nihil, bapak-bapak yang biasanya menggunakan rombi berwarna oranye tidak telihat di sana.

“Chi, minjem mobil belak-”

“Makanya, Nan! Gua kan udah sering bilang cek dulu saldo e-toll kalo mau kemana-mana tuh.”

“Ya kan gua gak tau saldonya kurang? Orang kemaren terakhir gua isi seratus kok.”

“Lo isi seratus tuh kapan?”

“Lima hari yang lalu sih, abis itu sempet dipake bokap gua.”

“Ck,” Archie berdecak, handle pintu ditariknya dan ia keluar dari dalam mobil guna mencari pinjaman kartu. “Tunggu bentar.”

Pasalnya, ini bukan sekali duakali ia keluar bersama Nanda dan sahabatnya itu kehabisan isi kartu toll lalu ia lah yang harus turun mencari pinjaman. Karena walaupun begitu, Archie juga masih tahu diri sebab Nanda sudah menjemputnya dan tidak menyuruhnya untuk membawa mobil.

Langkahnya mendekat ke arah sebuah mobil sedan berwarna hitam yang sedari tadi begitu bawel menyuruh mereka untuk maju karena antrian yang memanjang.

Dengan wajah yang dibuat nelangsa, Archie mendekat ke sisi pengemudi, namun belum sampai ia berdiri dan mengetuk jendela untuk meminta tolong, kaca hitam itu turun dan menunjukan wajah yang tidak asing untuknya.

“Keabisan e-toll ya?”

Archie membulatkan matanya. “Oliver?”

“Archie! Hai!”

“Loh? Rachel?”

Gadis dengan poni yang menutupi dahi itu tersenyum lebar seraya melambaikan tangan. “Pasti lagi jalan sama Nanda ya?”

“Kok tau?” Tanya Archie heran.

“Lo keabisan e-toll soalnya.”

Archie meringis, tidak tahu jika kebiasaan jelek Nanda akan sampai juga pada mahasiswa fakultas sebelah. Arah pandangnya beralih menatap Oliver yang sudah menyodorkan sebuah kartu ke arahnya.

“Nih, pake aja dulu.” Oliver tersenyum manis, “Antriannya udah panjang tuh.” Lanjut Oliver sambil melirik deretan mobil yang berada dibelakang mobilnya.

“Thanks,” Archie meraih kartu pemberian Oliver, “Nanti di depan berhenti dulu ya, biar gua balikin kartunya.”

“Terus nanti kalian keluar toll gimana? Udah bawa dulu aja.”

Archie terlihat gelisah, lalu ia dengan cepat meraih ponselnya. “Bagi nomor lo deh, nanti biar kalo mau balikin kartu gampang.”

Oliver terkekeh lalu menyebutkan nomor ponselnya. “Coba di misscall.”

Ikon telfon di tekannya, ponsel yang berada di kantung celana Oliver berdering. Archie sunggingkan senyum lebarnya sebelum kembali mengucapkan terima kasih. “Thanks ya! Gua balikin besok soalnya gua ada kelas juga. Rachel, gua duluan ya!”

“Hahaha, iya. Lain kali di cek dulu kartunya Ci biar ga keabisan lagi.” Ledek Rachel, lalu ia melambaikan tangannya lagi pada Archie.

“Nanda emang batu sih. Thanks sekali lagi ya, Ver.” Ucap Archie sambil menepuk pundak Oliver beberapa kali sebelum berlari masuk kembali ke dalam mobil. Kartu berwarna hitam itu langsung ia berikan pada Nanda. “Nih coba.”

“Lama amat dah.”

“Diem lo, gak usah banyak protes,” Archie memakai sabuk pengamannya kembali. “Mobil belakang ternyata Oliver sama Rachel.”

Bulatan hijau akhirnya menyala dari layar gardu. Palang terbuka. Nanda mengeryitkan dahinya. “Oliver sama Rachel yang konco kentelnya si Saga?”

Anggukan diberikan sebagai jawaban.

“Anjing, pantesan sama ngeselinnya.”

Pundak Nanda ditepuknya kencang. “Heh! Gitu-gitu mereka udah bantuin kita. Tuh lo balikin besok kartunya ke Oliver, nanti gua yang ngechat dia, barusan gua minta nomernya juga.”

“Kenapa gak lo aja?” Nanda tunjukan cengiran lebarnya ketika mendapati raut protes Archie. “Sekalian, Chi. Kan tadi lo yang minjemin. Gua males kalo pas balikin kartunya malah ketemu Saga, atau Yordan yang lagi dilendotin pacarnya. Tenang! Nanti sama besok makan lo gua yang bayar.”

“Cih, uang emang segalanya.” Gerutu Archie, tapi ia tiba-tiba tersenyum lebar. “Deal, besok makan gua lo yang nanggung.”

Nanda memutar bola matanya, ketika mobil sedan hitam memberikan klakson kembali dan menyalip, ia melirik Archie sekilas dan menekan klakson sebagai balasan. “Berdua doang tuh orang?”

“Iya,”

“Lo tau gak sih? Katanya Oliver sama Rachel pacaran, cuman mereka backstreet gitu lah.” Ucap Nanda menyulut sumbu pergibahan dengan topik obrolan mahasiswi fakultas mereka setiap harinya. “Gengnya si Dara kemaren kan pada gibahin mereka tuh di kantin.”

“Oh ya?” Raut wajah Archie berubah antusias. “Tapi emang sih, gua pernah ketemu Oliver beberapa kali lagi berdua sama Rachel di kampus. Tapi gua gak tau kalo mereka emang pacaran.”

“Masih katanya, gak tau pacaran beneran apa engga.”

“Lah kata lo tadi mereka pacaran tapi backstreet, gimana sih!”

“Kan gua bilang 'katanya', belom tentu bener!”

Archie berdecak. “Tapi Rachel gua liat-liat juga deket sama Saga, sering ngeliatin story instagramnya dia upload berdua mulu sama Saga.”

“Rachel macarin dua-duanya kali.” Sahut Nanda asal, “Ya kan mereka berempat sama Yordan kan satu geng.”

“Ya berarti belum tentu juga Rachel pacaran sama Oliver.”

“Iya kali-bentar, kenapa kita jadi ngobrolin geng nyebelin itu?” Tanya Nanda bingung.

“Lah lo yang mulai duluan, aneh.”

“Eh iya?” Nanda tertawa, “Dah ah, jangan ngomongin mereka. Makin kesel aja gua sama si Saga nanti.”

Archie terkekeh, lalu ia menyeringai tipis. “Hati-hati, benci sama cinta tuh beda tipis.”

“IDIH NAJIS!”

Sore itu, langit kota Michigan terlihat begitu kelabu.

Angin berhembus kencang, rintik hujan sempat turun beberapa saat lalu hingga udara semakin terasa begitu dingin. Pelataran dipenuhi oleh daun-daun kering yang berguguran, bahkan jalanan terlihat begitu sepi akibat cuaca yang tidak bersahabat.

Ezio bersandar pada salah satu pilar besar yang berada di halaman belakang mansion milik keluarga Dalton, pandangannya mengarah lurus pada sebuah kolam ikan yang hiasan air mancurnya dibiarkan mati. Kedua tangannya terlipat di depan dada, termenung sendirian setelah Jonah dan Darel meninggalkannya karena mereka mempunyai 'urusan' penting—dengan kata lain, bercinta.

Kepalanya penuh sesak dengan ribuan tanda tanya setelah apa yang dilaluinya hari kemarin. Ezio benar-benar membutuhkan jawaban namun situasinya seakan-akan menyuruhnya untuk berhenti mencari, ia terlalu berbesar kepala ketika merasa jika menemukan sedikit warna baru saat kepergiannya bersama dengan Jeff kemarin, karena nyatanya, ia tetap saja selalu dirundung rasa kebingungan karena lelaki itu.

Punggungnya kemudian merosot, terduduk di atas undakan tangga, satu helaan nafasnya berhembus berat dan panjang. Fokusnya teralih ketika ada seekor kupu-kupu yang hinggap di ujung sepatu kets usangnya, senyum tipis mengembang, sejak dulu Ezio memang menyukai kupu-kupu dan berharap memiliki rumah dengan pekarangan yang penuh oleh bunga serta kupu-kupu.

“So beautiful.”

Perkataan dengan suara bariton rendah itu sukses membuat Ezio berjengit kaget, kepalanya menoleh ke belakang dan mendapati Jeff sudah berdiri di sana dengan wajah pucatnya. Ia benar-benar tidak menyadari kedatangan lelaki itu sebelumnya karena langkah Jeff yang begitu senyap. Mata mereka bertemu selama beberapa saat sebelum Ezio memutus kontaknya.

“It's so cold, Zio. Kenapa gak masuk?”

“Kalo udah tau dingin, kenapa lo malah keluar?”

Jeff mendengus geli, ia mendudukan diri pada undakan tangga teratas seraya menatap lurus ke arah kolam. Ia tidak langsung menjawab pertanyaan Ezio barusan, membuat keheningan menyelimuti keduanya selama beberapa saat. Rasanya sedikit canggung mengingat moment terakhir mereka sebelum insiden penyekapan itu terjadi.

“Cold ... always reminds me something,” Jeff membuka suaranya kembali. “Something that keeping me to stay eventhough I never have another days again.”

Ludahnya tertelan begitu berat, Ezio mengedipkan kelopak matanya begitu cepat selama beberapa saat. “What?”

“You.”

Lalu tawa remeh mengalun seketika. “Shut the fuck up.”

Mereka kembali terdiam di tengah udara yang semakin dingin, dengan rintikan hujan yang mulai turun membasahi tanah. Tudung hoodie dinaikkan, Ezio menekuk kedua kakinya agar tetap berada dibawah naungan kanopi teras belakang, membuat kupu-kupu yang bertengger di ujung sepatunya terbang berpindah ke atas kepalanya.

Sorot matanya begitu lekat. Jeff menatap punggung Ezio dalam diam, bahkan hanya dari gerak geriknya saja pun Jeff paham jika lelaki yang lebih pendek darinya itu memendam banyak sekali tanda tanya yang berada di dalam pikirannya. Menumpuk semakin banyak sebelum akhirnya tiba diwaktunya untuk meledak mencari jawaban.

“Zio,” Jeff memanggilnya kembali, satu helaan nafasnya berhembus sebelum ia kembali melanjutkan perkataannya. “Do you still remember the song that playing the night we meet?”

Ezio taruh dagunya pada lipatan tangannya yang berada di atas lutut, kepalanya menggeleng pelan. “No, but I remember every song I have heard since you left.”

Jeff juga tahu mungkin basa basinya tetap akan membuat obrolan mereka kembali pada rasa sakit yang mencekik, dan akan selalu seperti itu jika ia tidak memberikan jawaban yang Ezio inginkan. Helaan nafas berat berhembus, kali ini mereka kompak melakukannya.

Hening kembali menyapa, lebih lama dari sebelumnya hingga rintikan hujan mulai turun semakin lebat, hingga keheningan mereka kini diisi oleh suara air yang jatuh menyentuh atap. Tanpa mereka sadari, dari salah satu jendela lantai dua yang berada dibangunan sayap kanan, Jonah dan Darel menatap keduanya seraya membuang nafas lelah. Lalu tak berapa lama Darel membalik badan dan menghilang begitu cepat dari sana.

“I'm not that peddlers, Zio.”

Ezio sontak mengerutkan alisnya, tapi ia tetap terdiam menunggu Jeff kembali melanjutkan perkatannya. Berusaha tidak bereaksi apa-apa ketika lelaki itu mungkin akan memberikan semua jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang berada di kepalanya.

“I'm not the peddlers that do you think for all this time.”

“So who are you?” Tanya Ezio begitu pelan.

Senyum tipis Jeff merekah sekilas, begitu cepat seperti kilatan cahaya petir yang mulai bermunculan. “I work for a big cartel in Colombia, La Casta, almost 4 years. Sorry I didn't tell you about this earlier.”

Kali ini Ezio tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya, ia menolehkan kepalanya sekilas ke arah Jeff yang masih setia menatapnya itu. Tapi mulutnya tidak memberikan jawaban apapun, hanya raut wajahnya saja yang berbicara.

“I made them lost 3,5 million dollars, and Vodka—one of my friend, got caught by DAE in that night too.”

Bola mata Ezio semakin melebar. “What the ... fuck.”

“Mungkin lo sekarang paham kenapa gua harus pergi ninggalin lo terus-terusan,” Jeff menundukan pandangannya, menatap undakan anak tangga selama beberapa saat sebelum kembali menatap Ezio. “La Casta bukan kartel kecil, mereka ada dimana-mana, Zio. Salah satu pemasok narkoba terbesar di Amerika latin. Kegagalan gua malem itu, seharusnya udah bikin lo cuman bisa ngeliat pusara gua sekarang.”

Jari-jarinya meremat kain celana jeans miliknya, Ezio mengeraskan rahang, wajahnya masih setia tertunduk dengan pandangan yang tiba-tiba memburam.

“Loving me must be so fucking hard, and I'm so fucking sorry, little rose.”

Satu tarikan nafas yang begitu berat teraih, Ezio akhirnya menolehkan kepalanya, tatapan mereka bertemu, ludahnya tertelan susah. “Tell me.”

Kerutan di kening Jeff terlihat, “What?”

“Tell me about that night.” Ulang Ezio, sorot matanya begitu menuntut. “Please.”

Jeff tersenyum kembali, ia menepuk-nepuk sisi tubuhnya mengisyaratkan Ezio agar berpindah posisi. Tapi gelengan kecil yang Ezio berikan sebagai jawaban hanya membuat Jeff menghela nafasnya, ia memutus kontak mata mereka, menatap lurus ke arah kolam kembali.

“About that night—“

“ZI!!”

Suara lantang itu menyentak keduanya. Darel berjalan setengah berlari mendekat ke arah Jeff dan Ezio yang terduduk di undakan tangga, tangannya memegang ponsel, meringis ketika menyadari ia datang di waktu yang kurang tepat.

“Mr. Collins nyariin lo, dia udah beberapa kali telfon ke nomer lo tapi gak aktif.” Jelas Darel lalu menyerahkan ponselnya pada Ezio. “Dia mau ngobrolin sesuatu.”

Raut wajah bingung Ezio terlihat begitu jelas, dengan ragu ia meraih ponsel Darel lalu berdiri dari posisi duduknya, dan sedikit menjauh dari tempat Jeff berada. Bagaimana pun Jeff berada di tim lawan yang selama ini menjadi musuh Schatten dalam dunia balap liar.

Begitu Ezio menjauh, Jeff meraih ponselnya yang berada di dalam kantung celana. Membaca kembali sebuah pesan yang masuk beberapa saat lalu, sorot matanya menajam, buku-buku jarinya mengepal kuat dan hampir menghancurkan ponselnya sendiri. Bagaimana pun ia tidak akan membiarkan La Casta menyentuh Ezio satu senti pun.

Jeff tahu persis, ia terjebak kali ini. Pergi meninggalkan Ezio sama saja menyerahkan kelemahannya pada kartel besar itu, pun kalau ia tetap bersama dengan Ezio, tidak menutup kemungkinan kalau La Casta turut menyeret mawar kecilnya ke dalam masalah yang ditimbulkannya. Tidak ada jalan keluar. Jeff termenung dalam rasa putus asanya.

Satu-satunya cara adalah dengan menghadapi La Casta itu sendiri. Tapi Jeff benar-benar tidak bisa menjanjikan apakah ia akan tetap kembali pada Ezio atau tidak.

Terlalu banyak pertimbangan, ia sendiri tidak peduli jika dirinya mati di tangan La Casta detik ini juga. Tapi Ezio, ia tidak bisa meninggalkannya begitu saja. Jeff tetap hidup untuk mawar kecilnya itu, tetap pulang meskipun tubuhnya penuh dengan luka. Mengerti betul jika Ezio juga membutuhkannya, begitupun sebaliknya.

Mungkin ia bisa saja pergi jauh, meninggalkan benua Amerika dan memulai kehidupan baru diantah berantah, tapi La Casta tidak segampang itu melepas seseorang yang sudah membuat kekacauan pada bisnisnya. Kartel besar itu pasti akan mencarinya bahkan hingga lubang semut sekalipun. Bersembunyi di dalam mansion keluarga Dalton hanya memperlambat operasi mereka untuk menangkapnya.

Tapi satu yang menjadi tanda tanya besar dalam kepala Jeff hingga saat ini, siapa yang membocorkan informasi pada DAE jika ia melakukan transaksinya malam itu? La Casta tergolong kartel yang begitu pintar bersembunyi, berkamuflase seperti bunglon, bergerak licin seperti seekor belut di dalam lumpur, dan orang-orang awam bahkan aparat pun tidak bisa menebak siapa saja anggota mereka.

Dua tahun pelariannya, Jeff bahkan masih tidak bisa menjawab pertanyaan yang terus menerus menari di dalam kepalanya itu, meskipun ia sudah begitu dalam menggali infomasi hingga tubuhnya dipenuhi banyak luka.

Setidaknya, ia harus tahu dalang dibalik penyergapan malam di mana ia melakukan transaksi besar itu. Setidaknya, ia harus memiliki pembelaan untuk dirinya sendiri sebelum menghadap petinggi La Casta. Setidaknya, ia harus tetap hidup dan menjalani kehidupan normal seperti pasangan lainnya bersama dengan Ezio, tanpa dihantui oleh bayang-bayang La Casta di dalam hidupnya lagi.

Suara derap langkah membuyarkan lamunannya. Jeff menoleh, menatap Ezio yang mendekat kembali dengan wajah masam. “What's wrong?” Tanyanya begitu Ezio menduduki lagi undakan tangga tempatnya semula.

Ezio menggeleng, tersenyum kecut sebelum menghela napas panjang. “I got fired.”

“What?!”

“I know this thing will happen.”

“Got fired from Schatten?”

“Absolutely not, dumbass. I got fired from that fuckin' minimarket.”

Bibirnya terkulum ke dalam, matanya menatap Ezio prihatin. Bahkan Jeff tahu dibalik senyumnya tadi, Ezio mungkin tengah mati-matian menahan dinding pertahanannya agar tidak hancur berkeping-keping. Kekasihnya menderita karena ulahnya, dan tidak ada hal yang lebih memuakkan dari mengetahui fakta tentang itu.

“I know my performance is getting lower, but c'mon, gua bahkan belum kepikiran buat cari kerjaan apa lagi setelah ini. Duit dari hasil ngejual barang lo waktu itu pun gak mungkin bisa ngebiayain gua seumur hidup.” Helaan napas berhembus gusar, Ezio tahu jika lambat laun ia akan dipecat dari minimarket tempatnya berkerja selama ini karena seringnya ia absen tanpa keterangan yang jelas. “Gua gak bisa ngandelin Mr. Collins terus, gak setiap waktu gua turun ke arena, gak setiap waktu gua menang.”

Diam-diam Jeff bergerak mendekat ke arah Ezio. Begitu tenang seperti hembusan angin dingin hingga Ezio tidak menyadarinya, tangannya terulur, merengkuh tubuh itu dari belakang dengan begitu hangat.

Ezio tidak menolak. Kali ini ia membiarkan bagaimana Jeff merengkuhnya, memberikan ketenangan ditengah kehidupannya yang semakin memburuk. Kedua kelopak matanya terpenjam nyaman, ia sandarkan seluruh bobot tubuhnya pada Jeff.

“Just cry, if you want too.” Bisik pelan Jeff tepat disamping telinga Ezio.

Sebuah kekehan mengalun halus. “Being raised by cold eyes taught me to not cry.”

Mungkin kelihatannya mereka seperti sepasang kekasih yang begitu romantis, menghabiskan waktu dengan berpelukan di tengah derasnya hujan yang turun. Namun pada nyatanya, mereka adalah dua manusia yang sama-sama hancur, dan berusaha untuk menyembuhkan satu sama lain.

“Hellen,”

Kepalan jari-jarinya seketika menguat. Hellen. Panggilan yang sudah lama sekali tidak Ezio dengar dari Jeff, begitu lama sampai ia sendiri lupa kapan terakhir lelaki itu memanggil dengan nama belakangnya. Panggilan yang mampu melunakkan kerasanya hati Ezio dengan begitu mudah, panggilan yang mengingatkan Ezio kembali pada masa-masa di mana keduanya baru saja menjalin kasih.

“Ya,”

“What makes you believe that I'll still comeback?”

Ezio terdiam sesaat, lalu kelopak matanya terbuka ketika ia menemukan jawabannya. “You didn't say goodbye, and the part of me believes that means you're coming back.”

Tudung hoodie diturunkan, pipi kemerahan itu diusap begitu lembut, sebelum akhirnya wajah Ezio diangkat dan ditarik menghadap ke belakang.

Tidak satupun dari keduanya mengerti ciuman apa yang tengah mereka lakukan saat ini. Dingin bibir Jeff menyentuh halus ranum Ezio yang terlihat pucat, tidak ada lumatan, hanya sekedar menempelkan belahan bibir dengan ujung hidung yang menggesek lembut pipi satu sama lain.

Jeff menjauhkan wajahnya, menatap sepasang manik bulat Ezio begitu dalam. “If one day, I already say goodbye to you, gua cuman pengen lo tetep percaya sama apa yang lo bilang barusan.”

“Why would you say that?”

“Because anything can be happen, Hellen. We both didn't know the future we hold.”

Benar. Bahkan mereka berdua pun tidak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, waktu di masa depan tidak pernah bisa diprediksi. Tidak menyangkal kemungkinan jika nanti akan ada saatnya Ezio tidak lagi mempercayai ucapannya sendiri, dan Jeff akhirya berhenti untuk pulang.

“Can we just live the moment we had right now?” Kali ini Ezio meminta dengan sorot matanya yang penuh pengharapan serta rasa putus asa. Sejujurnya ia ingin sekali menyerah, ini terlalu melelahkan. Tapi sosok dihadapannya yang kembali memberikan satu kecupan manis dibibir menjadi alasannya bertahan. “Gua gak peduli kalo lo mau pergi lagi setelah ini, tapi gua mohon, stop talking about the future.”

Dahi yang tertutupi helaian rambut itu diciumnya begitu lama, dan Jeff mengangguk setuju dengan permintaan Ezio.


DAE atau Drug Enforcement Administration merupakan lembaga federal di bawah Departemen Kehakiman Amerika Serikat yang bertugas memerangi penyeludupan dan penyalahgunaan narkoba di AS, memiliki tanggung jawab penuh untuk mengoordinasikan dan melaksanakan penyelidikan narkoba baik di dalam negeri walupun internasional.

“Did Papa text you, Dad?”

Malvin menolehkan kepalanya sekilas ke arah Harvey yang fokus menatap layar laptop di depannya. Jari-jari mereka sibuk menari di atas joystick dengan memasang ekspresi wajah yang begitu serius.

“Yeah, but don't worry. Papa gak akan curiga.” Sahut Harvey, alisnya menukik ketika tokoh karakter yang dimainkan Malvin melakukan perlawanan. “Did he ask you?”

“U'huh,” Malvin meringis ketika Harvey mulai membalas perlawanannya tadi. “I said I'm on my class.”

“As you should.”

“Tapi kalo Papa curiga gimana?” Tanya Malvin lagi, agak was-was karena mengingat wali kelasnya sedikit bawel ketika ada muridnya yang tidak masuk kelas tanpa keterangan. “Cuman takut Mrs. Adira ngechat Papa. She's a litte bit noisy.”

“Yaudah paling Papa ngomel,” Jawab Harvey santai seraya terkekeh. “Lagian kamu juga baru bolos sekali.”

Malvin meringis, “Iya sih. Tapi kalo Papa marah, it's your fault ya, Dad. Aku cuman ngikut usul Daddy aja.”

“Ya tapi kamu juga ngeiyain. Jadi gak sepenuhnya salah Daddy.” Harvey menolehkan kepalanya sekilas ke arah Malvin yang langsung memasang ekspresi merengut. “Chill, boy. Ngadepin Papamu yang marah it's not that hard.”

Malvin menaruh joysticknya di atas meja ketika layar sudah menampilkan tulisan 'Win' dengan ia sebagai pemenang. Punggungnya ia sandarkan pada punggung sofa, “Dad, do you wanna know something?”

Harvey turut menaruh joysticknya terlebih dahulu sebelum sebelah tangannya bergerak meraih minuman kaleng. “Hm?”

“Honesly, aku bolos bukan karena pusing sekolah tapi karena berantem sama Hazel.” Malvin menghela nafasnya panjang. “I don't know why he always gets mad at me for something that 'it's not a big deal'. I mean like, aku selalu keliatan salah di matanya bahkan ketika aku berbuat baik sama dia.”

Tawa Harvey menggema, pungungnya bersandar pada sofa sebelum membuka kaleng minumannya. “Being kind doesn't mean the world will always be kind to you, Malv.”

“But why?” Nada suara Malvin terdengar seperti protes. “You said that gives and takes in life really exist, right?”

“Not all give-and-take work in the same way. Sometimes, they come from the other way.” Harvey meneguk minumannya terlebih dahulu, membuat cairan soda membasahi tenggorokannya yang agak kering. “You always give your kindness to Hazel, but did you do it for someone else too?”

“Well,” Malvin menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal, “Sometimes I realize that I'm being so mean, but just for people who annoyed me and Hazel. Selebihnya aku temenan baik sama yang lain.”

Harvey menatap Malvin tanpa mengatakan apapun, namun sebelah alisnya terangkat bersamaan dengan kedua sudut bibirnya yang melengkung tipis. Membuat Malvin menatapnya dengan tatapan bingung selama beberapa saat sebelum akhirnya memejamkan matanya seraya mengangguk.

“I got it,” Ucapnya pelan. Malvin menselonjorkan kakinya dengan tatapan yang mengarah ke depan, jatuh pada sebuah figura besar yang berada menggantung tepat dibelakang meja kerja Harvey. Figura berisi potret formal dirinya, Harvey, dan Natha. “I got it, Dad.”

“Understand how that way works?”

“Yeah.” Malvin mengangguk, “It's mean that I can't beat someone who did mess with me and Hazel?”

“No. Pembelaan diri itu juga perlu kalo mereka udah keterlaluan. But rather than beat them back, you can choose to leave and don't serve them.” Harvey tersenyum tipis hingga lesung pipinya terlihat begitu jelas, ia menaruh kaleng minumannya di atas meja terlebih dahulu sebelum bangkit dari posisinya, letak jas kantornya Harvey benarkan terlebih dahulu. “Daddy tau orang-orang seperti apa yang selalu ganggu kamu ataupun Hazel. Semakin kamu ladenin, semakin seneng mereka.”

“Iya sih,”

Harvey melangkahkan kakinya ke arah meja kerjanya guna mengambil sekotak rokok dan pematiknya. Bungkus rokok terbuka, satu batang lintingan nikotin tercabut dari sana. “Just give them your silent treatment.”

“Huh?” Malvin mengeryit bingung. “Maksudnya?”

Lintingan nikotin itu terselip di antara bibir Harvey, pematik dinyalakan, asap tipis membumbung menyatu dengan udara ruangan. Harvey sandarkan tubuhnya pada pinggiran meja lalu menatap ke arah putranya itu. “Like I've said before, just leave and don't serve them. Lama kelamaan mereka bakalan ngerasa gak guna gangguin kamu ataupun Hazel karena kamu gak ngasih respon apa yang mereka mau.”

“Like that?” Malvin membuang nafasnya kembali. “But I don't know it gonna works or not.”

“You haven't tried it.”

Malvin terdiam, memikirkan ucapan Harvey yang ada betulnya. Selama ini ia terlalu sibuk meladeni teman-temannya yang sering kali menganggunya dan Hazel, dimana justru selalu berakhir dengan bertengkarnya ia dan Hazel.

“But, Dad, can I ask you one more thing again?” Tanya Malvin, intonasi suaranya agak memelan.

Harvey menganggukan kepalanya, menghisap kembali rokoknya seraya menatap lurus ke arah Malvin. “Go on.”

“You know that Hazel almost has a similar personality to Papa, How do you deal with that? I mean with Papa.”

Tawa Harvey menggema kembali. “You grow up so fast, Malv. I still remember when you were grumpy just because a sunflower.”

“C'mon, Dad.” Bola mata Malvin berputar malas.

Pandangannya teralih, Harvey menghisap rokoknya dalam satu tarikan nafas panjang lalu membuangnya perlahan melalui belahan bibirnya yang terbuka kecil. Ujung rokok diketuknya pada pinggiran asbak yang berada di atas meja kerjanya.

“Play with him.”

“Huh?”

“Play with him,” Ulang Harvey seraya menoleh kembali ke arah Malvin. Seringainya mengembang sekilas. “It's gonna be rude but give him your silent treatment too.”

“Hold on, hold on,” Alis Malvin semakin mengeryit, ia menegakkan posisi duduknya. “Dad, don't tell me you did that thing to Papa too?”

Bibir Harvey terkulum beberapa detik sebelum tawanya menggema kembali. “I do.”

“What the heck.”

Harvey mengambil satu tarikan nafas panjangnya, mengingat kembali bagaimana awal-awal pernikahannya dengan Natha.

“Your Papa is the most stubborn person I've ever met, Malv. The rebels. He does everything he wants to do without seeing the consequence, and I almost lost him because of his stubbornness too.” Harvey menghisap rokoknya kembali lalu membuang asapnya dengan cepat. “Papamu anti sama kata 'diatur', tipe orang yang kalau di larang, justru malah semakin berani. At first, I always get mad at his attitude, but then I realize if I poured fire with fire too, it never turns it into an ice”

“So you give him your silent treatment?”

“Ya.” Harvey terkekeh, “Tarik ulur dalam hubungan itu perlu, Malv. To make it more fun, and more challenging. Love is a game, that's why you should play with it.”

“I didn't expect that I see your red flags for real right now,” Mata Malvin memincing ketika ia menatap Harvey. “You always wrapped with the green things.”

“Perfection never exist, little guy. Everybody has their red inside their green, or vice versa. But depends on how big or small that thing.” Bahu Harvey naik sekilas, “Daddy selalu kasih Papamu silent treatment kalau dia bener-bener gak bisa dibilangin lagi, and it always works. Orang kayak Papamu kalo gak digituin, lama sadarnya, Malv. Just like you.”

“What?! No, no. I'm not.” Protes Malvin seketika. “Aku cuman gak suka kalo Daddy ngatur aku secara berlebihan.”

“The same thing that Natha always said to me.” Harvey memasang ekspresi meledeknya ke arah Malvin sebelum menghisap rokoknya kembali. “You both are the same. You, Hazel, and Papa.”

Malvin baru saja akan melayangkan protesnya soal ucapan Harvey barusan, namun bibirnya mendadak terkulum kembali ketika menyadari jika apa yang diucapkan Harvey ada benarnya. “But I'm not that similar to Papa.”

Harvey mengangguk. “Bedanya cuman kalo Papamu berisik, sedangkan kamu sama Hazel lebih pendiem. Terutama Hazel yang emang gak pernah banyak omong, sama kayak Juna.”

“So aku harus kasih silent treatment juga sama Hazel?”

“Kalau kamu mau ya ... just do it.” Harvey mematikan rokoknya, posisi berdirinya ia tegakkan kembali. “But be aware of it, and choose the right timing. Jangan tiba-tiba kamu kasih Hazel silent treatment ketika dia gak ngelakuin apapun. The most hurtful thing that someone doing is giving others their silent treatment.”

“Cause you'll let them die slowly.” Sambung Malvin.

Harvey berhedem singkat, lalu tiba-tiba arah pandangannya tertuju pada pintu masuk ruang kerjanya. “Papa is here.”

“What?!” Malvin seketika langsung menolehkan kepalanya ke arah pintu ruang kerja Harvey, lalu ia membuang nafasnya gusar. “You're a liar, Dad. Papa is not here. How did you know?”

“Instinct.” Sahut Harvey singkat. “But let's see. One ... Two ... Three.”

Brak!

“Malvin Tanjunggg!!!”

Malvin langsung terlonjak dari tempatnya duduk karena Natha benar-benar berdiri di ambang pintu sambil menatap tajam ke arah dirinya. Kepalanya langsung menoleh bergantian ke arah Harvey dan Natha dengan ekspresi panik. Sedangkan Harvey hanya bisa tertawa seraya melipat kedua tangannya di depan dada.

“Hello, baby.” Sapanya pada Natha.

“Pinter banget kalian berdua ya, sekongkol kayak gini.” Natha menaruh kedua tangannya di pinggang, menatap Malvin dan Harvey secara bergantian. Lalu ia dengan cepat berjalan mendekat ke arah Malvin yang semakin terlihat panik. “I'm on my class, I'm on my class, my ass!”

“Pa, trust me, this is Daddy's plan! Not me!” Kata Malvin sambil menggelengkan kepalanya. “Aku cuman ngeiyain usul Daddy aja, beneran!”

“Kamu kira Papa bakalan percaya?” Natha semakin mendekat ke arah Malvin yang sudah mengkerut di tempat. “Mrs. Adira sampe kasih tau Papa kalo kamu bolos ya, Malv!”

Malvin langsung menunjuk-nunjuk heboh ke arah Harvey. “It's daddy's fault!! Not me!!”

“Kamu sama Daddymu emang sama aja!”

“Pa, Pa, calm down, oke? Inhale, exha—PAAAA!!!”

“JANGAN LARI KAMU, MALVIN!”

Harvey hanya bisa tertawa melihat Malvin yang langsung bangkit dan berlari menjauh dari Natha saat suami cantiknya itu hendak menjewer telinga putra mereka. Keduanya berlari memutari meja kerja Harvey seperti dua orang kanak-kanak yang sedang bermain.

“Papa bakalan ngasih kamu homeschooling kalo masih bandel kayak gitu!”

“Nooo!! Nanti aku gak bisa ketemu Hazel!”

“Hazel biar Papa jodohin sama yang lain!”

“PAPAAAA!! DAD PLEASE HELP ME!!”

Tawa Harvey menggema semakin kencang, pupil matanya merefleksi secara bergantian sosok Natha dan Malvin yang masih berputar-putar mengitari meja kerjanya. Melihat putranya yang mulai terengah, Harvey ulurkan sebelah tangannya guna menangkap tubuh Natha agar berhenti mengejar-ngejar Malvin.

“You're really a little brat!”

Malvin yang bersandar pada rak susun dibelakang meja kerja Harvey dengan cepat mengambil cermin yang berada di sana dan mengarahkannya pada Natha. Ia tertawa kecil ditengah tarikan nafasnya yang menderu.

“You see your reflection, Papa.” Tuturnya sambil memasang ekspresi meledek.

“Calm down, Nath. Malvin juga baru bolos sekali.”

Natha langsung menolehkan kepalanya ke arah Harvey dan memberikan satu sentilan di dahinya. “Ini juga, mana katanya nganterin Malvin sampe sekolah tau-taunya malah bawa dia ke sini!”

Harvey terkekeh, ia taruh kedua tangannya di pinggang Natha seraya menatap mata bulat yang masih terlihat kesal itu. “Sorry, baby. Malvin said that he need take a break from school because doing arguing again with Hazel. So I brought him here.”

Arah pandang Natha menatap kembali ke arah Malvin yang memperhatikannya. “Berantem lagi kamu sama Hazel?”

Kepala Malvin mengangguk pelan seraya meringis.

“Why?”

Bola mata Malvin bergerak gelisah, “Ya gitu, aku abis ngebelain Hazel dari orang-orang yang ngegangguin dia. Papa tau sendiri Hazel gimana kan? Honestly, dia cuman kesel aja sih soalnya aku main tangan—tapi kan aku udah kesel, Pa! Ya abis itu aku bujuk Hazel biar dia gak ngambek, salahku juga sih refleks nepok pantat dia waktu dia lagi ngomel.”

Kini gantian Harvey yang langsung menolehkan kepalanya ke arah Malvin dengan dahinya yang mengkerut, membuat remaja berusia 15 tahun itu langsung memasang senyum kikuk.

“That's beyond my control! I swear!” Malvin langsung membuat simbol peace dengan kedua jarinya, mulai merasa sedikit takut ketika tatapan kedua orangtuanya itu berubah tajam. “Oke I'm so sorry, Pa, Dad.”

Harvey membuang nafasnya berat. “Jadi alasan kamu bolos sekolah itu sebenernya karena berantem sama Hazel atau takut ketemu Hazel karena kamu abis nepok pantat dia?”

“Dua-duanya, hehehe.”

“Udah minta maaf sama Hazel?” Gantian Natha yang bertanya.

Malvin mengangguk, “Udah. Aku bahkan sampe telfon Uncle Deon buat minta bantuannya tapi dia cuman ketawa-ketawa.”

“Juna?”

“Daddy tau sendiri aku agak segan sama Uncle Juna,” Malvin memasang ekspresi memelas. “Apalagi kalo udah soal Hazel.”

Natha berdecak, “Papa gak mau tau, sore nanti kita ke rumah mereka. Kamu minta maaf langsung sama Hazel di depan Uncle Juna sama Uncle Deon. Paham?”

“Iya.”

“Lain kali jangan kayak gitu lagi, Malv. Papa gak suka.” Sambung Natha kemudian.

Malvin hanya bisa menganggukkan kepalanya, “So sorry, Pa.”

“Clear, kan?” Tanya Harvey, menatap bergantian ke arah Malvin dan Natha sebelum taruh fokusnya pada suami cantiknya itu. “It's okay, baby. Udah jangan marah lagi sama Malvin.”

“Gua gak marah soal dia yang bolos, Vey. Toh waktu sekolah juga gua sering bolos. Gua cuman kesel kenapa kalian berdua kompak ngebohongin gua, padahal tinggal bilang yang sebenernya aja.” Tutur Natha.

Pinggang ramping itu Harvey usap perlahan. “Iya maaf, sayang.”

“Awas aja kalo kalian berdua bohong lagi!” Ucap Natha memperingati, menatap Malvin dan Harvey secara bergantian.

“Gak akan lagi kok, Pa. Itu yang terakhir,” Malvin kembali memasang simbol peace dengan kedua jarinya. “Tapi gak janji.” Lanjutnya sambil berbisik pelan agar Natha tidak mendengar.

Harvey tersenyum kecil, usapannya pada pinggang Natha menjadi lebih intens. “Lo mau ke toko hari ini?”

“Ada stok supply yang masuk, jadi gua harus ngecek,” Natha membuang nafasnya berat, ekspersi wajahnya sedikit berubah cemberut. “Sebenernya bisa nyuruh salah satu pegawai sih, cuman gua udah semingguan ini kan gak ke toko.”

Satu kecupan Harvey curi dari bibir yang mengkerut lucu itu. “Yaudah nanti aja sekalian jalan ke rumah Juna.”

“Terus ngapain gua di sini?”

“Lo maunya ngapain?”

Natha melirik sekilas ke arah Malvin yang masih memperhatikan ia dan Harvey. “Malvin is here. Don't you dare.” Bisiknya pelan.

“Malv,” Harvey menolehkan kembali kepalanya ke arah Malvin, “Jam 11 Daddy ada meeting sama departemen HRGA, mau coba?”

“Maksudnya aku yang wakilin Daddy lagi?” Tanya Malvin balik, langsung dibalas anggukan oleh Harvey. “Bahan meetingnya gimana?”

“Ada di Sabrina, nanti minta temenin dia aja.”

Malvin memganggukan kepalanya seraya bangkit dari posisi duduk, “Tapi gapapa aku pake seragam sekolah gini?”

“Bulan lalu waktu meeting sama finance malah kamu pake seragam olahraga.”

“Yaudah aku ke Mba Sabrina kalo gitu,” Malvin tunjukan cengirannya, “Tapi boleh kan aku ajak Mba Sabrina dulu ke kafetaria bawah?”

Natha langsung mendelikkan matanya. “Ngapain? Jangan genit!”

“Ya bahas bahan meetingnya, Pa. Tenang, aku setia kok sama Hazel.” Malvin terkekeh. “Gak kayak Daddy pas muda dulu.”

Harvey hanya bisa mendengus geli sambil menggelengkan kepalanya. Tak habis pikir dengan tingkah Malvin yang kadang terlihat menyebalkan, kadang pula mendadak seperti seorang lelaki dengan pemikiran yang begitu matang.

“Take your time, Pa, Dad. Aku mau pacaran dulu sama Mba Sabrina.” Tutur Malvin seraya mengambil beberapa cemilan yang berada di atas meja, matanya mengedip jahil ke arah Natha dan Harvey. “Just get a room sebelum ada yang tiba-tiba masuk.”

“Malvin.”

“Kidding, Pa. Bye!”

Begitu Malvin keluar dari ruang kerjanya, Harvey kembali terkekeh geli. Rasanya baru kemarin putranya itu merengek sambil membawa dot, tapi sekarang sudah tumbuh sebesar itu.

“Still can't imagine if Malvin will go to College next year. I mean my little baby grow up so fast.” Natha menghela nafas, ia menatap wajah Harvey yang tepat berada dihadapannya itu. “He's still fifteen but his brain older is than him.”

“But he will be sixteen next year, Babe. I'm so proud that we had him, the grace of God.” Sahut Harvey pelan, senyumnya tersungging kembali saat memperhatikan wajah Natha. Sebelah tangannya naik, menyelipkan helaian rambut Natha yang mulai memanjang ke belakang telinga. “Nath.”

“Bawel lo.”

Natha menangkup wajah Harvey dengan kedua telapak tangannya, bibirnya bergerak maju untuk mencium bibir suaminya itu. Tidak menyadari jika Malvin masuk kembali ke dalam ruangan sambil meringis kikuk.

“I said, get a room please.”

Mereka berdua kompak menjauhkan wajah masing-masing dan menatap Malvin yang sunggingkan cengiran lebar. “Malv!”

“I forget to bring my phone, hehehe.” Malvin mengambil ponselnya yang masih tergeletak di samping laptop lalu menggoyang-goyangkannya, ekspresi wajahnya begitu meledek terlebih ketika ia mengedipkan sebelah kelopak matanya. “Don't forget to lock the door, Dad. Have fun!”

Malvin menutup kembali pintu ruang kerja Harvey dengan masih menyunggingkan cengirannya, bahkan ketika ia berbalik dan mengadap ke arah tempat dimana Sabrina berada, cengirannya justru mengembang semakin lebar.

“Mba, ayo!” Ajak Malvin, ia mendekat ke arah Sabrina yang masih membereskan beberapa dokumen. “Beneran bisa ditunda kan meetingnya?”

“Bisa sih,” Sabrina mengiris seraya mengangkat wajah dan menatap layar komputernya. “Tapi harus dengan persetujuan Pak Harvey.”

“Udah gampang, nanti aku yang ngomong sama kepala departemen. Lagian juga cuman meeting lanjutan kemaren.” Ekspresi wajah Malvin terlihat begitu tengil, penerus tunggal perusahaan Breckbelt itu memang acap kali menggoda Sabrina. “Abis makan siang juga bisa.”

“Tapi kalo Bapak marah Mba gak ikutan ya,” Sabrina bangkit dari posisi duduknya, menatap ke arah pintu ruangan Harvey sekilas. “Kamu yang tanggung jawab.”

Malvin tersenyum lebar lalu menggandeng lengan Sabrina, mengedipkan kembali sebelah kelopak matanya. “Gampang!”

“Don't close your eyes, okay?”

Ezio menatap wajah pucat yang berada dihadapannya, semilir dinginnya angin yang menerpa tubuhnya sudah tak ia hiraukan. Sebelah tangannya menekan kembali bagian dimana timah panas itu bersarang pada tubuh Jeff yang ia sumpal dengan kaosnya sendiri. Ezio mengikuti semua instruksi yang Darel berikan tadi.

Senyum tipis Jeff mengembang, matanya tak lepas memperhatikan wajah Ezio sedari tadi. “Little rose,”

“No, no, no. Don't call me like that.” Ezio langsung menyela cepat, bola matanya bergerak gelisah karena Darel tidak kunjung tiba sedangkan darah terus merembes dari luka tembak. “Just shut up, don't talk anything until Darel's come.”

Kepala Ezio terangkat lalu menoleh ke kanan dan ke kiri secara bergantian, berharap Darel segera memunculkan batang hidungnya sebelum Jeff mati kehabisan darah. Setidaknya kalaupun Jeff mati, lelaki itu harus mati ditangannya, bukan karena sebuah peluru yang bersarang ditubuhnya.

“Zio, listen.” Jeff kembali membuka suaranya, tidak menghiraukan ucapan Ezio yang menyuruhnya untuk tetap diam. “I'm so sorry, really.”

Ezio menggeleng seraya berdecak jengkel. “Can you just please shut up?”

“After this, if you want to leave me ... just do it. I ever ask you to stay.”

“Shut up!” Sentak Ezio marah. “I've been said that dont talk about anything! Are you deaf?!”

“I'm a disaster, right?” Jeff tertawa kecil, satu tangannya terangkat meraih wajah Ezio yang terasa dingin. “You had so much pain because of me.”

“J,” Intonasi suara Ezio lebih memelan, menatap Jeff dengan sorot matanya yang penuh permohonan. “Gua gak mau denger apapun dari lo untuk saat ini, please. Nanti. Tunggu sampe Darel dateng.”

“Kenapa? Lo takut gua mati?” Tanya Jeff, nada suaranya terdengar begitu jenaka seperti sedang bertanya pada seorang anak kecil. Pipi yang terlihat kemerahan karena dinginnya cuaca itu ia usap perlahan dengan ibu jarinya. “Gua gak akan mati, Zio. Kalaupun itu terjadi, mungkin lo udah ngelepas gua sepenuhnya.”

Kesal, Ezio tampar sebelah pipi Jeff sekali hingga sang empu memekik. “I said shut the fuck up! Close your lips and shut your tongue!”

Jeff mendengus geli seraya meraba pipinya yang terasa panas akibat tamparan Ezio barusan. Matanya menatap ekspresi wajah Ezio yang terlihat begitu marah selama beberapa saat sebelum akhirnya ia turuti permintaan Ezio. Jeff tidak lagi membuka suaranya, membiarkan suara deru angin di pesisir Danau Saint Clair serta hembusan nafas keduanya yang menjadi pengisi keheningan yang ada.

Sebelah tangan Ezio berganti untuk menekan kaosnya yang ia jadikan kain penyumbat luka tembak Jeff karena terasa kebas, menatap sesaat tangannya yang terkena bercak noda darah sebelum akhirnya mengalihkan kembali fokusnya ke arah lain.

Jeff yang menyadari itu meraih sebelah tangan Ezio, mengusap bekas darahnya yang berada ditangan si mawar kecil itu dengan perlahan. Membuat Ezio menaruh kembali atensinya padanya, senyum tipis Jeff mengembang kembali, ia angkat tangan Ezio lalu berikan sebuah kecupan di punggung tangannya.

Tidak berselang lama, sebuah lampu mobil tersorot seirama dengan suara derungannya yang perlahan mendekat. Ezio langsung menarik sebelah tangannya yang berada digenggam oleh Jeff lalu sedikit menegakkan posisi duduknya, ia lambaikan tangannya begitu menyadari jika mobil itu merupakan mobil Jonah.

Darel keluar terlebih dahulu dari dalam mobil seraya membawa sebuah kotak yang berisi perlengkapan medis. Ia turut bersimpuh di sebelah Ezio lalu menatap sahabatnya selama beberapa detik lalu menggelengkan kepalanya tidak habis pikir.

“Lo bisa tiduran?” Tanya Darel pada Jeff yang langsung dibalas anggukan oleh lelaki itu. “Zi, tolong buka kaosnya Jeff dulu. Kita cabut pelurunya sekarang sebelum darahnya semakin banyak yang keluar.”

Ezio terlihat bingung, ia masih ragu-ragu melepas kaus yang menyumpal luka Jeff sebelum Darel dengan cepat menarik tangannya. Membuat luka tembak yang menganga itu terlihat jelas di depan mata. Kelopak matanya terpejam sejenak, pusing langsung menyerang kepalanya ketika melihat banyaknya darah yang keluar dari sana.

“Ah engga, jangan dibuka,” Darel langsung menghentikan pergerakan tangan Ezio yang hendak membuka kaos Jeff begitu menyadari jika darah yang keluar menjadi lebih banyak ketika Jeff bergerak. “Kita sobek aja kaosnya.”

Jonah mendekat dan langsung membantu Ezio untuk membaringkan Jeff dengan posisi telungkup, sedangkan Darel langsung memakai sarung lateknya dikedua tangan. Sebotol alkohol teraih dari dalam kotak medis yang Darel bawa, lelaki itu memeriksa terlebih dahulu luka tembak di bahu Jeff.

“You're so lucky karena pelurunya gak nembus terlalu dalem.” Ucap Darel seraya memperhatikan luka tembak Jeff lalu merobek kaos yang dipakainya. Tutup pada botol alkohol terbuka, Ezio dan Jonah kompak memundurkan satu langkahnya agar Darel lebih bisa leluasa. “Oh God, I'm study med not for doing this shit!”

“Akh!”

Teriakan kesakitan Jeff terdengar ketika Darel menuangkan cairan alkohol pada lukanya. Jari-jarinya bergetar, wajahnya yang sudah pucat terlihat semakin pias. Membuat Ezio yang melihat itu langsung kembali mendekat ke arah Jeff dari sisi yang satunya, meraih tangan bergetar itu untuk ia genggam.

“Tahan sebentar,” Darel membersihkan terlebih dahulu darah yang mengering di sekitar luka, sebelum berganti meraih klem. “Jo, help me to put the lights on.”

Jonah meraih senter yang berada di dalam kotak medis, menyalakannya lalu mengarahkan cahaya senter tepat pada luka Jeff. Ia mengangkat kepalanya untuk mengecek keadaan sekitar agar tetap dalam posisi aman untuk melakukan sebuah operasi dadakan di sebuah dermaga kecil ini.

“Jeff,” Suara Ezio lembut memanggil, membuat Jeff langsung menolehkan kepalanya dan menatap lelaki cantik yang terlihat begitu khawatir. “Please don't close your eyes.”

Jeff mendengus kembali seraya menganggukan kepalanya lemah, tanpa menjawab ucapan Ezio barusan ia lebih eratkan kembali genggaman tangannya, terlebih ketika ujung klem milik Darel mulai bergerak perlahan menarik peluru yang bersarang di bahunya itu. Tubuhnya berjengit, nafasnya seketika tertahan saat merasakan peluru itu mulai keluar.

“Hold on,” Bisik Darel dengan tubuhnya yang sedikit merunduk, matanya memincing karena merasa jika sisa bagian peluru yang masih bersarang sedikit terasa susah untuk dicabut. “Tahan, oke?”

“Fuck!”

Jeff berteriak kuat ketika peluru yang bersarang dipundaknya itu tercabut, nafasnya terengah dengan kelopak mata yang terasa semakin memberat. Genggaman tangannya pada tangan Ezio melemah hingga membuat Ezio yang lebih mengeratkan tangannya. Ia menatap wajah Jeff dan Darel secara bergantian dengan ekspresi gelisah.

“It's that okay, Rel?” Tanyanya cepat.

Darel mengangguk, bola matanya memperhatikan peluru yang terjepit diujung klep sebelum menatap Jonah dan Ezio secara bergantian. “Mau dibuang aja atau mau dijadiin liontin kalung?” Tanyanya bercanda. Peluru itu kemudian dimasukan ke dalam sebuah plastik klip berukuran sedang lalu diserahkannya pada Ezio, “Simpen. Buat kenang-kenangan.”

Setelah plastik klip berpindah tangan, Darel dengan cepat menjait luka Jeff dengan cekatan. Walaupun sedikit dibumbui rasa kesal karena tingkah Jeff yang berulang kali menyakiti sahabatnya. Jonah dan Ezio kompak memperhatikannya seperti dua orang kanak-kanak dengan rasa keingintahuan yang tinggi saat memperhatikan sang Ibu sedang membuat makan malam.

Sepuluh menit kemudian luka tembak itu sudah rapih tertutupi oleh kain kasa, helaan nafas lega terhembus begitu kompak. Ezio menunduk kembali, memperhatikan Jeff yang menatapnya dengan tatapan sayu. Senyum tipisnya terulas, tanpa mengucapkan apapun ia bantu angkat tubuh Jeff bersama dengan Jonah untuk segera pergi dari sana sebelum mereka berempat tertangkap basah oleh warga sekitar, atau lebih buruknya mungkin polisi setempat.


“Gua gak akan nuntut penjelasan apapun sama lo sekarang, mending lo langsung istirahat. Anggep aja ini rumah lo sendiri.” Ucap Darel sambil melirik ke arah Jonah yang berdiri di sampingnya.

Jonah menganggukan kepalanya, “If you need something, just call me or Darel one right away.”

“Thank you, guys. Gua hutang budi sama kalian berdua.” Ezio tersenyum tipis seraya menganggukan kepalanya, ia memperhatikan Darel dan Jonah sampai menghilang ditikungan lorong rumah, sebelum akhirnya berbalik dan menutup pintu kamar.

Satu helaan nafasnya yang begitu berat terhembus, matanya menatap lurus Jeff yang tertidur di atas kasur dengan posisi menyamping itu. Setelah pergi dari dermaga, mereka memang memutuskan untuk langsung pergi ke rumah Jonah karena itu merupakan satu-satunya tempat yang aman untuk Ezio dan Jeff sekarang. Lagipula, siapa juga yang akan menembus lingkungan mansion milik seorang walikota dengan penjagaan ketat disetiap sudut pagarnya?

Kaki Ezio melangkah mendekat ke arah ranjang sebelum akhirnya bersimpuh di sisi ranjang, memperhatikan wajah tenang Jeff ketika tertidur. Pikirannya seketika berkecamuk, rasa sesak menghimpit dadanya hingga tarikan nafasnya memberat dari detik ke detik.

Ribuan pertanyaan hadir di dalam benaknya. Siapa itu Gin? Siapa itu Bourbon atau William? Siapa itu La Casta? Apa yang sudah dilakukan Jeff diluar sana sehingga terlihat seperti seorang buronan?

Ah, atau mungkin memang benar-benar seorang buronan.

Ezio menyesali pilihannya untuk mengikuti match malam ini, menyesali pikirannya yang begitu sempit ketika Jeff tiba-tiba memilih untuk pergi meninggalkannya hingga membuatnya begitu emosi, dan justru malah memberikan akhir yang sama sekali tak pernah ia duga. Ezio seharusnya paham jika kepergian Jeff pasti karena lelaki itu punya maksud tertentu.

Masih teringat begitu jelas bagaimana mobilnya yang sedang melaju begitu cepat tersalip dari sebelah kiri oleh William, lalu suara decitan ban dan aspal jalan yang terdengar begitu nyaring ketika ia harus mengerem mendadak saat William justru memutar balik mobilnya dan menghalangi mobil Ezio. Semua berjalan begitu cepat. Bagaimana William memecah kaca jendelanya dengan satu hantaman kuat dan menyeret Ezio keluar dari sana.

Lelaki berkulit tan itu memaksa Ezio untuk masuk ke dalam mobilnya, membuat Ezio langsung melawan namun ia kalah telak ketika William memukul tengkuknya kuat hingga ia hampir kehilangan kesadarannya. Bahkan saat William mengikat kedua tangan dan kakinya serta menutup mulutnya menggunakan lakban pun Ezio tidak bisa berbuat apapun, tenaganya mendadak melemah dan ia berakhir berada di dalam sebuah bengkel kumuh yang sudah tak layak huni itu.

William terus mengoceh menggunakan bahasa spanyol yang sama sekali tidak ia mengerti, yang ia tahu hanyalah lelaki itu berulang kali menyebutkan nama 'Jeff' dan 'La Casta' seperti sebuah mantra. Matanya selalu melotot ketika melihat ke arahnya dengan jari-jarinya yang terus bergerak seperti sedang mengetik. Ekspresi wajahnya pun juga berubah begitu cepat, membuat Ezio berpikir jika William mungkin mengalami gangguan mental.

Walaupun William tidak melakukan hal-hal yang melukai dirinya, namun melihat bagaimana lelaki itu bertingkah membuat Ezio was-was karena takut jika William bertindak diluar kendali dan malah melukai dirinya tanpa sebab. Telebih ia tidak bisa menghubungi siapapun dengan posisinya yang terikat seperti itu.

Beruntungnya ia karena mungkin Jonah atau salah satu anggota Tim Dalton langsung memberitahu Jeff tentang dirinya ketika ia mendadak menghilang ditengah match. Membuat 'mantan' kekasihnya itu datang dikala ia sudah benar-benar muak mendengar William terus-terusan mengoceh seperti burung beo.

Ezio sendiri tidak mengerti kenapa Jeff bisa begitu dengan mudah menemukan lokasi dimana dia ditawan oleh William. Tapi satu yang pasti, Ezio yakin jika ini ada sangkut pautnya dengan La Casta dan bengkel ini.

Lalu setelahnya waktu seperti bergulir begitu cepat, Ezio hanya bisa termenung seperti orang bodoh ketika Jeff dan William beradu argumen yang lagi-lagi menggunakan bahasa Spanyol. Hanya ada beberapa hal yang bisa ia tangkap karena keduanya sempat menggunakan bahasa yang ia mengerti.

Berakhir dengan kedua lelaki itu yang saling meninju wajah satu sama lain, berkelahi seperti dua orang Alpha yang memperebutkan wilayah kekuasaan, sebelum sebuah timah panas melesat mengenai pundak Jeff saat ia dan Jeff hendak keluar dari dalam bengkel saat William kalah telak.

Itu pertama kalinya Ezio berada pada tingkat paling tinggi diambang ketakutannya. Bagaimana tubuh Jeff ambruk mengenai dirinya dengan darah segar yang langsung mengalir dari balik tubuhnya, membuat Ezio tidak lagi bisa berpikir jernih dan langsung meraih pistol yang selalu berada dibalik pakaian 'mantan' kekasihnya itu dan melayangkan dua peluru panas pada perut dan paha William sebagai timbal balik.

Bahkan saat melihat Jeff tertembak di depan matanya langsung pun hampir membuat Ezio menggila, bagaimana jika lelaki itu benar-benar pergi meninggalkannya dan tidak akan pulang kembali? Ezio mungkin akan terlihat seperti mayat hidup yang bertahan hanya untuk menunggu kapan ajal akan menjemputnya.

Cintanya pada Jeff lebih dari apa yang sekedar ada dibayangan. Ia sudah terjatuh, terperangkap, dan sulit sekali untuk menemukan jalan keluar.

Satu helaan nafas beratnya kembali terhembus, Ezio menundukan kepalanya dengan kedua tangan yang terlipat di sisi kasur. Menaruh dahinya di atas tangan dengan pandangan yang menatap pada lantai marmer yang berada di bawah, lagi-lagi ia menghela nafas, kelopak matanya terpejam saat perasaannya semakin berkecamuk.

Sesuatu terasa seperti menghimpit dadanya, tidak mengerti kenapa jalan ceritanya terlihat begitu menyedihkan. Kepalanya terangkat kembali, menatap wajah Jeff yang masih terlihat pucat karena banyaknya darah yang keluar tadi. Wajah yang terlihat begitu damai dan hangat ketika kelopak matanya terpejam, membuat Ezio tidak bisa membayangkan jika Jeff benar-benar tidak kembali lagi padanya.

Ezio menunduk kembali, matanya tiba-tiba terasa begitu panas saat menatap wajah Jeff begitu lekat selama beberapa waktu. Nafasnya berubah menderu, sama sekali tidak menyadari jika air matanya menetes jatuh pada lantai marmer yang berkilau itu. Ezio butuh sesuatu untuk melepaskan seluruh rasa sesaknya.

“Don't cry, baby.”

Suara baritone dengan intonasi pelan itu langsung membuat Ezio menegakkan kepalanya, bola matanya membulat menatap Jeff yang tersenyum tipis ke arahnya dengan kelopak mata yang mengedip lambat. Terhenyak ketika sebelah tangan Jeff langsung terangkat untuk mengusap air mata yang membasahi pipinya.

“I don't like to see my little rose crying.”

“No, no. I'm not.” Ezio langsung mengusap kedua matanya cepat menggunakan punggung tangannya. “Mata gua cuman perih.”

“Lo gak pinter bohong, Zi.” Sahut Jeff seraya tertawa kecil, walaupun masih terdengar lemah. “Naik ke sini.”

Alis Ezio mengeryit, “Huh?”

Jeff menggeser posisinya, walaupun begitu perlahan karena rasa nyeri langsung menyerang titik dimana lukanya berada. Ia meringis, membuang nafas leganya begitu merasa jika bagian kasur sudah cukup untuk ditempati Ezio.

“Naik. Tidur di samping gua.”

Ezio awalnya hanya terdiam, namun ketika Jeff menepuk-nepuk sisi kasur yang kosong ia akhirnya mulai beranjak naik ke atas sana. Membaringkan tubuhnya tepat disebelah Jeff lalu kepalanya menoleh ke arah kiri, menatap wajah lelaki itu dalam diam.

Sambil meringis, Jeff menarik tubuh Ezio lebih mendekat ke arahnya. Meraih kepala kekasihnya itu untuk ia taruh tepat di depan dadanya, membuat Ezio lagi-lagi menghela nafas dengan ekspresi bingung yang terlihat begitu jelas di wajahnya.

“Hellen, my poor little rose.” Suara Jeff mengalun seperti hembusan angin. “There's something I can't tell you but it's more than you know.”

Ezio seketika mengerti, wajahnya terangkat sedikit guna mencari kedua mata Jeff yang sama sekali tidak bisa ia baca. “Your love, right?”

Jeff tersenyum kembali dengan kepalanya yang menunduk guna menatap balik ke dalam bola mata Ezio. Tangannya bergerak naik agar jari-jarinya bisa mengusap rambut Ezio dengan perlahan, tak lama, wajahnya bergerak maju, bibirnya mencium tepat dahi Ezio tanpa mengucapkan apapun lagi.

Detik itu juga, Ezio refleks memejamkan kelopak matanya. Seluruh rasa sesaknya mendadak hilang hingga akhirnya ia bisa bernafas dengan lega, Ezio rasakan dirinya telah pulang.

Pulang pada rumah di mana seharusnya ia berada.

Brak

Sebuah kaca jendela mobil yang terparkir di sisi jalanan yang sepi hancur ketika Jeff memukulnya menggunakan sebuah batu hingga alarmnya seketika menyala. Dengan cepat ia membuka kuncinya dari lubang yang baru saja ia buat itu dan membuka pintu mobil, mengutak-atik sebentar pada bagian lubang kunci menggunakan sebuah besi kecil hingga menimbukan bunyi 'tek' pelan dari sana.

Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri secara berulang dengan panik, bergegas memasukan persneling dan menginjak gas begitu seorang pria tua keluar dari dalam rumah sambil berteriak dengan membawa sebuah tongkat baseball. Pikirannya kalut, Ezio tidak boleh tersentuh satu inchi pun oleh orang-orang tempat bekerjanya di Colombia dulu.

Jeff tau, La Casta tidak akan mudah melepasnya setelah apa yang ia perbuat dengan organisasi kotor itu. Kegagalannya pada sebuah tanggung jawab berupa 30kg heroin dan 10kg sabu senilai 3,5 juta dollar yang akan di jual pada pasar gelap membuatnya harus berpindah dari tempat ke tempat agar lolos dari kejaran orang-orang La Casta. Alasan terkuatnya sampai saat ini mengapa ia harus terus-terusan meninggalkan Ezio.

Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, berputar balik pun tidak akan mengubah apapun.

Ia pergi berbulan-bulan jauh dari Ezio hanya karena tak ingin anak buah La Casta datang dan menjadikan Ezio tumbal agar ia memunculkan batang hidungnya kembali pada mereka. Berharap kepergiannya membuat La Casta berspekulasi jika ia sudah mati.

Tapi Jeff seharusnya tahu, La Casta tetap lah La Casta. Mereka akan mencari bahkan ke dalam jurang paling dasar untuk membuktikan bahwa apa yang mereka cari telah benar-benar lenyap.

Semua rasa sakit yang Ezio rasakan padanya Jeff tahu betul seperti apa rasanya. Ia sengaja bermain dengan perasaan Ezio agar lelaki cantik itu menyerah dan jika suatu saat nanti ia tertangkap, Ezio tidak akan merasakan rasa sakit yang teramat dalam akibat kepergiannya yang tidak akan pernah ada kata pulang kembali.

Namun perkiraannya salah, Ezio bahkan selalu setia menunggu kepulangannya, dan bodohnya ia kini, ia jadikan Ezio sebagai alasannya untuk tetap hidup. Jeff gantungkan Ezio pada ketidakjelasan akan bagaimana hubungan mereka kedepannya nanti. No wind in their sails, the future that they hold is so unclear.

Tentu Ezio tidak mengetahui betul kenapa alasan ia berpindah dan pergi sesuka hati, yang Ezio tau hanyalah ia bekerja sebagai peddlers 'kemarin sore' untuk menyambung hidup, dengan menggunakan kedok sebagai salah satu racer terbaik dari Tim Dalton.

Jeff terlalu banyak memberikan kertas kosong pada Ezio yang tidak punya banyak pensil warna.

Ezio selalu menuntutnya untuk menjelaskan semua hal, tapi Jeff bukan sosok yang akan dengan gamblang bercerita bagaimana jalan hidupnya bahkan pada orang terdekatnya sekalipun. Mereka hanya perlu tahu di bagian luar, tidak untuk dibagian dalam di mana jatuh bangunnya berada.

Mobil melesat begitu cepat pada jalanan yang sepi, sebuah tempat di sudut kota Detroit menjadi tujuan utamanya setelah Farel memberitahu jika Ezio tidak kembali pada lokasi di mana dimulainya match malam ini. Salah satu anak buah La Casta sukses mendapatkan Ezio berkat kebodohannya.

Mulutnya berulang kali mengumpat, ekspresinya begitu marah akan dirinya sendiri. Kecepatan mobil sudah tidak dipikirkannya lagi, karena yang ada pikirkan saat ini adalah Ezio. Mereka mungkin tak akan sampai hati membunuh kekasihnya itu, tapi bukan tidak mungkin mereka akan mengorek segala informasi dari Ezio tentang dirinya dan jika La Casta tidak mendapatkan apa yang mereka mau, maka bisa dipastikan jika ia akan mendapati Ezio terkapar di lantai dengan lebam disekujur tubuh.

Stir mobil berbelok ke arah kanan, satu-satunya tujuan Jeff saat ini adalah sebuah bengkel tua terbengkalai di kawasan Grosse Pointe Farms. Bengkel yang Jeff tahu pernah menjadi tempat dimana La Casta pernah menjadikannya sebuah tempat singgah sementara selama melakukan transaksi di kota Detroit.

Tidak ada yang tahu tempat itu kecuali dirinya, dan orang-orang La Casta lainnya.

Roda-roda mobil berputar berpacu dengan waktu, ponselnya yang berulang kali bergetar sudah tidak dihiraukannya lagi. Paling-paling Jonah yang sibuk mengomel seperti nenek-nenek dan menyumpahi kebodohan yang telah dilakukannya. Ia harus tiba secepat mungkin sebelum orang itu menyentuh Ezio dengan tangannya yang kotor.

Suara decitan antara ban mobil dan aspal terdengar nyaring ketika Jeff membelokan stirnya kembali masuk ke dalam kawasan Lake Shore Road. Kurang dari 2 kilometer lagi ia akan menjumpai bengkel tua tempatnya bertemu dengan orang-orang La Casta dulu.

Beberapa saat kemudian, laju mobil diperlambat. Jeff menghentikan mobilnya tiga ratus meter dari bengkel agar kedatangannya tidak disadari oleh orang-orang yang berada di dalam sana. Ia berjalan mengendap, merayap melalui sisi-sisi rumah penduduk lainnya hingga Jeff akhirnya tiba tepat di bagian belakang bengkel tua yang terlihat sudah tidak layak pakai itu.

Matanya yang tajam mengedar, memperhatikan situasi terlebih dahulu sebelum ia melangkahkan kakinya semakin mendekat. Bola matanya memincing lalu seketika membulat ketika menatap lebih jelas ke dalam jendela besar, mendapati Ezio yang terduduk di atas sofa usang dengan mulutnya yang dilakban serta kedua tangannya yang diikat kebelakang. Tepat dihadapan Ezio, sosok lelaki berpostur tubuh tinggi berdiri membelakangingnya.

Jeff tidak tahu ada berapa orang yang berada di dalam sana. Mungkin satu orang, atau mungkin lebih dari itu. Ia ambil satu tarikan nafas panjang, meraba bagian belakang tubuhnya untuk memastikan benda yang selalu ia bawa kemana pun itu masih setia berada dibalik kaus yang ia pakai. Tubuhnya bersiap, ia tarik nafasnya kembali sebelum meloncat keluar dari balik semak-semak.

Kakinya berlari menuju ke arah pintu belakang, tangannya menyambar balok kayu yang berada dipelataran halaman sebelum sebelah kakinya melayang, mendorong pintu rapuh itu hingga copot dari engselnya.

“A loser was come. Long time no see, Harrisson.”

“Bourbon?!”

“Hello, Gin.”

Kelopak mata Jeff mengedip dengan cepat, ekspresi wajahnya yang terkejut melihat mantan rekan kerjanya itu seketika berubah mengeras. Tidak menyangka jika ia akan bertemu dengan sosok lelaki ini lagi. “What the fuck are you doing here?!”

“What am I doing here?” Seseorang yang Jeff panggil Bourbon itu melangkahkan kakinya mendekat, membuat Jeff langsung memundurkan langkahnya. “Nothing, I just wanna see my brother and maybe,” Kepalanya menoleh ke arah Ezio. “His pretty boyfriend too.”

“Don't you dare to touch him,” Kata Jeff memperingati, tidak ada kesan ramah sama sekali dari dirinya. Jari-jarinya lebih erat menggenggam balok kayu ketika kakinya kembali mengambil langkah maju. “What do you want, Will?!”

“Calm down,” Bourbon yang bernama asli William itu tertawa renyah, “Why are you so mad?”

“It's not time to play.” Sahut Jeff penuh penekanan, rahangnya mengeras ketika menyadari jika Ezio menatapnya dengan mata sembab. “If you come here to catch me and bring me back to La Casta, all of that would be wasted.”

“Ah, really?” William menyeringai, “Honestly, I wanna offer you something, Gin. Not for La Casta, just for us.”

Lalu tiba-tiba percakapan di antara mereka berubah menggunakan bahasa yang tak bisa Ezio pahami. Namun dari kata perkata yang terlontar dari mulut keduanya, Ezio bisa tahu jika mereka menggunakan bahasa Spanyol untuk berdebat tentang sesuatu.

Selama beberapa menit, hanya ekspresi wajah lah yang bisa Ezio baca dari keduanya. Bagaimana ekspresi wajah Jeff semakin mengeras dan terlihat remeh menatap William yang sepertinya sedang meyakinkan Jeff terkait hal penting. Ezio tidak tahu sejak kapan 'mantan' kekasihnya itu bisa lancar berbahasa Spanyol dengan aksen yang serupa dengan orang Spanyol asli.

“Los dos somos marginados, Gin. Confía en mí, si lo hacemos, La Casta estará al borde del colapso.”

“Qué mentiroso.” Jeff berdecih remeh, “Do you think I will believe in you, Bourbon? No. Sé quiénes sois, imbéciles.”

“Yo se que diras eso, por eso ... ” William memundurkan langkahnya untuk mendekat ke arah Ezio, satu tangannya yang sedari tadi bersembunyi dibelakang tubuh tiba-tiba mengarahkan sebuah pistol yang tepat mengarah pada dahi Ezio. “I brought him.”

Detik itu juga, Jeff langsung bergerak maju dan melayangkan pukulan baloknya pada tubuh William yang seketika oleng. Peluru terlepas melayang ke arah lain dengan suara lontarannya memecah keheningan malam, membuat Ezio langsung mengangkat kedua tangannya yang terikat untuk menutupi kepala.

Balok kayu itu melayang selama beberapa kali mengenai tubuh William yang turut melakukan perlawanan. Keduanya merupakan dua petarung hebat untuk La Casta sebelumnya, dengan gerakan yang sama-sama gesit dan begitu cepat menaklukkan lawan. Pukulan dibalas dengan pukulan, kaki melayang mengenai wajah satu sama lain, baik keduanya terlihat begitu kuat untuk menumbangkan satu sama lain.

Ezio yang melihatnya langsung berusaha mencari sesuatu yang bisa dipakainya untuk membuka ikatan tali yang melilit pergelangan tangannya. Sebrengsek apapun Jeff, ia tidak bisa melihat orang yang dicintainya harus kembali babak belur dihadapan matanya langsung. Jadi begitu menemukan paku yang menonjol dari sebuah kerangka lemari, Ezio turun dari atas sofa dengan posisi terduduk karena kedua kakinya juga terikat, beringsut mendekat ke arah kerangka lemari dengan cara mengesot.

“I've been said to you that I'm not going to La Casta ever again! My time was over with that shit!”

Jeff menggeram marah, satu tinjuan kuat ia berikan pada rahang kiri William yang mana langsung dibalas oleh mantan rekan kerjanya itu dengan hal yang sama, membuat tubuhnya mundur beberapa langkah dan dengan cepat kembali melayangkan pukulannya.

Sebelah tangan William berputar kebelakang dengan sebelah tangan Jeff yang mengapit lehernya. Ia terengah, mengakui jika kemampuan bela diri Jeff memang berada di level atasnya walaupun mereka berdua sama-sama petarung hebat La Casta. Pergerakan Jeff yang begitu gesit seperti belut membuatnya berulang kali kehilangan fokus.

“You still make me jealous with your amazing skill, Gin.” Ucap William dengan nafas tertahan akibat tangan Jeff yang semakin menekan lehernya, terkekeh sesaat sebelum dengan cepat mendorong sikunya kebelakang dan menghantam perut Jeff cukup kuat, membuatnya terlepas dari cengkraman Jeff dan membalik posisi mereka. “But, why should I jealous with someone who will meet his 'ending' soon?”

Ezio yang tidak melepas fokus pandangannya itu semakin gelisah, terlebih ketika Jeff tersungkur dan William menekan dadanya menggunakan sebelah kaki. Tangannya semakin cepat menggesek permukaan tali dengan paku, berusaha berpacu dengan waktu ketika William kembali mengeluarkan pistolnya dan kini ganti mengarahkanya tepat ke arah dahi Jeff.

“I cant believe that La Casta's favorite son now under my knees,” Suara tawa William mengalun begitu menyebalkan, ia semakin menekan kakinya di atas dada Jeff. “I talk nicely but your answer is so pissed me off, Gin. Making my grudges I've buried come back up quickly, and now I realize that I should have killed you since the first time we met!”

“Akh!”

Jeff terpekik ketika dadanya terasa semakin terhimpit, ia sudah tidak punya tenaga lagi untuk melawan karena William kini sudah lebih dari William yang terakhir kali dilihatnya.

Palang peluncur yang berada di ibu jarinya William tekan perlahan, senyum liciknya mengembang menatap ke arah Jeff yang terengah. Sebentar lagi, sosok yang sejak hari pertamanya bergabung dengan La Casta selalu membuatnya dibanding-bandingkan oleh petinggi La Casta akan mati ditangannya.

“Get off your hands!”

Bruk!

Sebuah kursi melayang menghantam tubuh William hingga kayu-kayu penyusunnya hancur berhamburan. Ezio menatap nyalang ke arah lelaki yang kini jatuh tengkurap tak bergerak di atas lantai, ia kemudian dengan cepat menarik tangan Jeff agar lelaki itu segera berdiri.

“Keluar dari sini sekarang, Zio!” Tutur Jeff sambil mendorong punggung Ezio agar segera keluar dari bengkel tua ini sebelum William meraih kesadarannya kembali.

Namun tanpa mereka sadari, William tidak sepenuhnya kehilangan kesadaran. Tangannya yang masih memegang pistol bergerak mengarahkannya pada punggung Jeff yang hampir saja tiba di ambang pintu.

Dor!

Peluru terlontar tepat mengenai pundak Jeff yang baru saja melangkahkan satu kakinya keluar dari area bengkel. Membuat Ezio langsung membalikan tubuhnya dengan mata yang membulat terkejut, terlebih ketika tubuh Jeff langsung limbung ke arahnya.

“Jeff!!”

Ezio yang tidak siap menahan tubuh 'mantan' kekasihnya itu membuat mereka berdua kompak ambruk ke atas paving block yang berlumut. Ekspresi terkejut, khawatir, dan marah terlihat jelas wajah Ezio. Tanpa menunggu lama, ia raih pistol yang berada dibelakang tubuh Jeff lalu masuk kembali ke dalam bengkel.

Dor! Dor!

Dua buah peluru langsung melesat cepat mengenai perut dan paha William, membuat lelaki itu langsung kehilangan seluruh kesadarannya detik itu juga. Ezio berbalik kembali, mendekat ke arah Jeff yang terlihat begitu kesakitan lalu bersimpuh disebelahnya.

“Jeff, please, please, please,” Ezio dengan panik mengangkat tubuh Jeff dan menyandarkannya pada tubuhnya. “Tahan, kita harus pergi dari sini dulu!”

Darah yang mengucur dari balik kaus yang dipakainya tidak Jeff hiraukan, ia menatap wajah Ezio lalu terkekeh dengan nafasnya yang terengah. “I'm so sorry, baby.”

Ezio berdecak, sebelah tangannya menekan tepat bagian dimana peluru panas itu bersarang di tubuh Jeff hingga membuat rintihan kesakitan lelaki itu terdengar begitu pilu. Ia kemudian menaruh sebelah tangan Jeff dipundaknya lalu mengangkat tubuh lelaki itu agar segera pergi dari sana.

“Lo bawa mobil?” Tanya Ezio cepat.

“Di sana.” Sahut Jeff sambil mengangkat wajahnya lurus ke arah pertigaan jalan tempatnya memakirkan mobil.

Tanpa mengucapkan apapun lagi, Ezio membopong tubuh Jeff dengan langkah cepat menuju tempat dimana mobil yang Jeff bawa berada. Mereka masih di kawasan ramai penduduk, dan suara tembakan barusan bukan tidak mungkin akan menimbulkan rasa penasaran warga sekitar.

Ditengah langkahnya, Ezio sempatkan untuk menatap wajah Jeff yang alisnya mengeryit menahan sakit. Rahang Ezio mengeras, ia lebih mempercepat lagi langkahnya sebelum warga sekitar atau polisi menemukan mereka.

“I hate you so much.”

Jeff menoleh, senyum tipisnya mengembang. “As you should.”

Kali ini Asa sudah bersiap.

Ia berdiri di belakang jendela dengan sebuah mangkuk yang berada di tangannya. Sebelah kakinya terangkat, menggaruk kakinya yang sebelah lagi karena terasa gatal, matanya berharap-harap cemas menatap ke arah ujung gang menunggu sebuah gerobak coklat muncul dari sana.

“Kok lama ya,” Asa berdecak, tangannya bergerak menggaruk pantatnya yang ikutan gatal. Sial, kenapa badannya malah gatal-gatal begini sih saat akan berjumpa dengan mas bakso tampan itu. “Perasaan tadi pagi udah mandi kok.”

Ditengah sibuknya menggaruk bagian badannya yang gatal, tanpa Asa sadari sebuah gerobak yang sedari tadi ditunggunya itu mulai menampakan diri di ujung gang. Suara ketukan garpu dengan pinggiran mangkok yang begitu khas kemudian menyentak Asa, bola matanya membulat dan ekspresi wajahnya berubah sumrigah.

“Itu dia!”

Asa merapihkan terlebih dahulu pakaiannya dan bercermin melalui sebuah kaca besar yang berada di dinding ruang tamu. Ia berhedem beberapa kali, mengatur ekspresi wajahnya agar tidak terlalu terlihat antusias, ia masih sedikit tengsin menghadapi sikap mas bakso yang cuek itu.

Gerobak coklat itu perlahan semakin mendekat ke arah rumah Asa. Sebelah tangan Asa sudah bersiap digagang pintu, menunggu timing yang pas sebelum ia menekannya ke bawah. Bola matanya bergerak mengikuti kemana arah atap gerobak berjalan, bibirnya terbuka siap menghintung mundur.

“Satu,”

Ting! Ting! Ting!

“Dua,”

Ting! Ting! Ting!

“Tiga!”

Krek!

“MASSSS!! BAKSO!!!”

Gerobak berhenti tepat di depan gerbang rumah, Asa langsung bergegas keluar bahkan tanpa memakai sendalnya sama sekali. Senyum di wajahnya melebar begitu menatap wajah Mas-mas penjual yang tetap saja terlihat datar itu, kakinya melangkah mendekat, tanpa aba-aba langsung menaruh mangkoknya di kayu panjang sisi gerobak seperti biasa.

“Mas, baksonya yang kayak biasa ya!” Ucap Asa penuh semangat.

“Iya.”

Sahutan dengan nada malas itu membuat Asa langsung merubah ekspresi wajahnya yang tadi terlihat antusias, menjadi biasa saja. Di dalam hati ingin sekali meninju wajah Mas bakso karena langsung membuat moodnya turun drastis.

Kenapa sih sikapnya seperti itu? Padahal kan Asa hanya ingin mencoba untuk akrab.

“Bakso telor ya mas, jangan pake sayuran, banyakin-”

“Saya tau.” Sahut Mas bakso menyela ucapan Asa.

“Oke.” Sudut bibir Asa seketika tertekuk ke bawah, ia ambil satu langkah mundur. Namun matanya tetap memperhatikan pergerakan Mas bakso yang sedang memasukan bumbu-bumbu ke dalam mangkoknya itu, bola matanya bergulir lebih ke arah atas sedikit, menatap wajah Mas bakso yang terlihat tidak ramah itu.

'Minta gak ya, minta gak ya, tapi nanti kalo dia gak ngasih lagi gimana?'

Asa sibuk bergelut dengan dirinya sendiri di dalam hati, masih ragu-ragu untuk meminta nomor ponsel si penjual bakso ini karena saat pertama kali Asa memintanya, Mas bakso ini malah mengatakan jika ia tidak memiliki ponsel.

Tentu saja Asa tidak percaya. Lagian, siapa juga yang tidak memiliki ponsel di zaman serba canggih seperti sekarang? Kecuali jika memang Mas bakso ini merupakan seorang traveler dari zaman kolonial dulu, baru Asa percaya.

“Mas,” Asa memanggil pelan, agak ragu-ragu. “Boleh minta nomor telfonnya gak?”

Mas bakso yang sedang menyiduk bakso dari dalam dandang menggunakan irus itu menoleh sebentar ke arah Asa, ia mendengus geli. “Buat apa?”

“Ya buat nanya kalo Mas jualan apa engga, biar Asa gak nungguin kalo emangnya Mas gak jualan.” Jawab Asa gamblang. “Boleh gak Mas? Kemaren waktu Bu RT minta nomor telfon Mas-nya langsung dikasih, masa Asa engga, malah dijutekin lagi kemaren.”

“Yaudah catet.”

“Hah?”

Mas bakso hentikan pergerakannya sesat, wajahnya menoleh ke arah Asa yang memasang ekspresi cengo. “Mau nomor telfon saya kan? Catet, 0813-”

“Mas! Bentar! Asa ambil hp dulu di dalem!”

Asa langsung berlari masuk ke dalam rumahnya, tidak peduli dengan rasa berdenyut pada bahunya karena sempat menabrak besi pagar, membuat Mas bakso yang memperhatikannya hanya menggelengkan kepala tidak habis pikir dengan tingkah Asa yang begitu aktif. Tidak sampai setengah menit, Asa sudah muncul kembali dari dalam rumah sambil menggenggam ponselnya.

“Berapa-hahh... berapa nomornya, Mas?” Tanya Asa dengan nafas yang menderu.

Mas bakso tersenyum tipis, tipis sekali sampai Asa tidak sadar jika ia tersenyum. Bibirnya kemudian bergerak melantunkan angka per angka agar Asa bisa mencatatnya tanpa terlewat.

“Ini kontaknya mau dinamain apa, Mas?” Tanya Asa lagi, “Nama Mas siapa?”

“Ruli.”

“Hah? Nuri?” Sahut Asa agak bolot, tidak mendengar jelas ucapan Mas bakso karena suaranya yang pelan. “Kok namanya kayak nama burung?”

Mas bakso alias Ruli langsung menoleh ke arah Asa dengan alis yang mengeryit, ia masukan terlebih dahulu sendokan terakhir bakso ke dalam mangkuk. “Ruli. R, U, L, I. Ruli.”

“Oh Ruli,” Asa terkekeh, ia kemudian menyimpan nomor kontak Ruli dengan nama 'Mas Ruli'. “Oke, nanti Asa chat ya, Mas.”

Ruli mengangguk tipis, ia menggeser mangkuk yang berada di papan kayu ke arah Asa. “Totalnya 20 ribu.”

“Perasaan kemaren masih 15, Mas. Kok sekarang malah jadi 20 ribu?” Protes Asa.

“Besok saya ganti nomor.”

Ucapan Ruli barusan langsung membuat Asa gelagapan, “Eh iya, iya. Yaudah 20 ribu deh.” Katanya sambil merogoh kantung celana pendek yang dipakainya, Asa kemudian menyerahkan selembar uang dengan nominal 20 ribu dengan wajah merengut, agak sedikit tak ikhlas karena harganya harus naik mendadak.

Mangkok berpindah, Asa mengucapkan terima kasih terlebih dahulu sebelum masuk kembali ke dalam rumah. Namun langkahnya harus terhenti ketika Ruli memanggil dirinya.

“Dek,”

Asa menoleh, “Kenapa, Mas?”

“Namanya siapa?” Tanya Ruli, tangannya sudah bersiap dipegangan gerobak guna mendorong gerobak coklatnya kembali.

“Asa,” Sudut bibirnya mengembang tipis. “Abyasa Nizar.”

Ruli menganggukan kepalanya, tanpa mengatakan apapun lagi ia mulai mendorong gerobak dagangannya kembali.

Sedangkan Asa tidak langsung masuk ke dalam rumah, ia memperhatikan Ruli dengan gerobak coklatnya sampai berbelok di tikungan gang sebelah. Bibirnya perlahan terkulum, lalu ia tiba-tiba melompat sambil bersorak.

“Yes! Relasi pertukangdagangan nambah lagi!”

Pedal gas diinjak dalam ketika persneling dalam keadaan netral, membuat derungan mesin terdengar memenuhi penjuru parkiran basement. Tuas pintu ditarik, Natha keluar dari dalam civic putih kesayangannya yang ia parkir tepat di samping mobil Harvey. Bagian atas pintu mobilnya di dorong, menumbukan bunyi 'buk' pelan ketika pintunya tertutup.

Natha melihat pantulan dirinya terlebih dahulu dari kaca mobilnya, menyisir rambutnya kebelakang dengan ruas jari, seringainya merekah, ia rapihkan kembali hoodie yang dipakainya untuk menutupi sesuatu yang pasti akan membuat Harvey kesal.

Kakinya kemudian melangkah menuju pintu masuk, daun pintu kaca itu langsung ditarik mundur oleh dua orang security bersamaan dengan senyum Natha yang mengembang tipis, tak lupa untuk mengucapkan terimakasih terlebih dahulu sebelum melangkah masuk.

Hingar bingar suara musik dengan volume kencang serta ramainya pengunjung yang datang menyambut Natha saat itu juga, dengusan gelinya keluar ketika mendapati punggung Harvey di meja lantai atas. Namun Natha tidak langsung melangkahkan kakinya ke sana, ia malah berjalan ke arah kiri, menemui salah satu barista.

“One bobby burns, Noel. Lo tau harus dianter ke mana kan?” Kata Natha sambil tersenyum kecil.

Seorang barista dengan name tag 'Noel' itu mengangguk, “Siap, Boss.”

“Sarah di mana?” Tanya Natha lagi.

“Kayaknya lagi dipanggil ke atas, Boss. Dari tadi dia di sini, cuman abis itu ngilang.”

Natha mengangguk kecil, “Oke, thanks.”

Kakinya kemudian melangkah kembali, berjalan menjauh dari meja bar seraya memperhatikan Harvey dari ujung matanya. Terlihat asik sekali berbincang dengan entah siapa itu sampai-sampai tidak menyadari kehadiran Natha, karena biasanya insting kuat Harvey akan selalu tahu jika Natha menginjakan kakinya di sini.

Pintu lift terbuka, Natha masuk ke dalam box besi yang akan mengantarkannya ke lantai dua. Sudah tak sabar melihat bagaimana rupa sosok yang katanya mantan suaminya itu, mungkin lebih cantik atau... jauh di bawah dirinya? Natha hanya bisa mendengus geli kembali.

Ia keluar dari dalam lift dan langsung melangkahkan kakinya berjalan ke arah meja yang ditempati Harvey, namun tidak benar-benar sampai di sana karena suara cempreng Sarah sudah memanggilnya terlebih dahulu.

Seringai Natha mengembang tipis.

“Nath!”

“Sarah!”

Harvey yang sibuk berbincang dengan dua orang wanita dihadapannya seketika menghentikan ucapannya, ia langsung menoleh ke arah kanan dan mendapati Natha yang berdiri tidak jauh darinya. Keningnya mengeryit, memperhatikan Natha yang sedang mengobrol sesuatu dengan Sarah itu dari atas sampai bawah.

Aneh. Tumben sekali Natha memakai jeans dan hoodie oversize, yang Harvey tahu itu merupakan hoodie miliknya.

“Shit!”

Namun Harvey seketika refleks mengumpat saat Natha dengan entengnya membuka hoodie yang ia pakai, dan menunjukan sebuah croptop hitam transparan bermotif bunga-bunga yang hanya sampai di bawah dadanya itu.

“Harvey, what's wrong?” Tanya salah satu wanita di hadapannya dengan raut bingung, ia ikuti kemana arah pandang Harvey sejenak. “You know that guy?”

Mengabaikan pertanyaan barusan, Harvey justru bangkit dari posisi duduknya dan menatap lurus ke arah Natha yang seakan-akan tidak menyadari keberadaannya itu. “Natha!”

Natha menoleh, ia pura-pura menunjukan ekspresi terkejut, namun setelahnya malah melambaikan tangan ke arah Harvey dengan senyum yang mengembang lebar. “Hai!”

Satu tepukan Natha berikan di pundak Sarah seraya mengedipkan sebelah matanya, membuat Sarah langsung mengangguk sambil tertawa kecil dan menujukan kedua ibu jarinya. Setelahnya wanita itu berlalu dan Natha berjalan mendekat menghampiri Harvey.

“Nath,” Harvey malah berdecak ketika Natha malah tersenyum manis kepadanya, ia menarik pinggang Natha ketika suami cantiknya itu sudah berada dekat darinya. Sebelah tangannya menarik kain croptop Natha di bagian belakang, bibirnya mendekat ke arah telinga Natha. “You know what you'll get when you wear this in public, babe.”

“Oh sorry,” Natha menujukan ekspresi sedihnya yang dibuat-buat, “I forget about that.”

“Harvey?”

Atensi keduanya seketika berubah ke arah dua wanita yang menatap mereka dengan tatapan bingung. Harvey berdehem singkat, ia menatap ke arah dua teman wanitanya dan Natha secara bergantian.

“This is my husband, Natha.” Kata Harvey sambil menatap Natha selama beberapa saat sebelum menatap kedua temannya itu lagi. “Nath, this is Sharon and Mia, my college friends from Massachusetts.”

“Oh Hi Sharon,” Natha langsung mengulurkan tangannya ke arah wanita dengan dress biru penuh kerlipan yang menganggu mata. “Natha Dimitri, nice to meet you.”

“Ah, nice to meet you too, Natha.” Sharon menerima uluran tangan Natha dengan tersenyum manis, membuat Natha langsung tahu jika bukan wanita ini yang dimaksud oleh Sarah. “You're so pretty.”

“You're so pretty too,” Natha mengedipkan sebelah matanya ke arah Sharon yang langsung tersenyum malu. Pandangannya kemudian beralih ke arah wanita yang memakai dress merah menyala senada dengan warna lipstick yang digunakannya, membuat Natha langsung bergumam jika sosok yang beberapa saat lalu menatapnya dari atas sampai bawah itu lah yang dimaksud oleh Sarah. “Hi, Mia. Nice to meet you. I'm Natha Dimitri.”

“Oh hello, Natha. I'm Mia.”

Wanita itu mengulurkan tangannya membalas Natha, namun hanya beberapa detik karena ia langsung menarik tangannya kembali. Senyum diwajahnya merekah tipis, namun dari garis-garisnya pun Natha bisa tau jika itu adalah senyum palsu penuh rasa iri.

Setelahnya, Harvey mempersilahkan kedua wanita itu untuk duduk kembali dan menarik kursi disebelahnya untuk Natha duduk. Mengerti jika kehadiran Natha disini mungkin salah satu laporan yang Sarah berikan, Harvey tertawa kecil di dalam hati menyadari kebodohannya, tahu betul jika mungkin ia secara tak langsung menyulut percikan api di dalam Natha.

“Tadi gua ke sini buat ngecek stock, tapi gak sengaja malah ketemu mereka.” Jelas Harvey pada Natha yang duduk di sampingnya itu. “Jadi gua ajak ngobrol sebentar, lama gak ketemu juga soalnya.”

Natha menganggukan kepalanya, “I see.”

“Sorry but, Natha,” Sharon tersenyum kikuk menatap ke arah Natha. “I'm so curious what shade do you use on your lips? It looks so glossy and you know, makes your lips look expensive.”

Tawa kecil Natha seketika menguar mendengar penuturan Sharon yang blak-blakan itu. “I don't use one. It's... my natural lips just look like this.”

“Ah really?” Ekspresi wajah Sharon berubah kaget. “Wow, you might have good treatment with your lips.”

“I don't do treatment too,” Natha tertawa lagi, ia melirik Harvey dari ujung matanya sekilas sebelum agak mencondongkan tubuhnya ke arah Sharon dan memelankan intonasi suaranya. “If you wanna know the tips, ask someone beside me. He really know how to do.”

“Nahhh,” Shanon langsung memasang ekspresi wajah menggoda dengan turut mengibaskan tangannya. “Something fishy in here.”

Harvey diam-diam tersenyum kecil menyadari cepatnya Natha berbaur dengan salah satu lamanya itu, namun ia juga menyadari jika Mia sedari tadi hanya menjadi penonton dengan ekspresi wajahnya yang terlihat aneh.

Dari sejak kuliah dulu, ia memang tahu jika Mia menyimpan perasaan lebih padanya, namun mereka tidak pernah menjalin hubungan lebih dari sekedar teman walaupun pernah begitu dekat.

“I always think that Harvey is a good kisser. Am I right?” Goda Shanon pada Natha.

Mereka tertawa mendengar ucapan Shanon barusan. Kepala Natha mengangguk mengiyakan. “Yeah-”

“He is.” Sela Mia cepat, berusaha ikut berbaur dengan obrolan antara Shanon dan Natha.

Gotcha!

Natha langsung menatap ke arah Mia yang masih tertawa kecil setelah menyela ucapannya barusan, sebuah tangan Natha rasakan merayap pada pinggangnya yang terbuka, ia menoleh ke arah Harvey sekilas sebelum sunggingkan senyum lebarnya pada Mia.

“Wow, I didn't know that you know it too, Mia.” Natha tertawa renyah, ia kemudian taruh seluruh atensinya pada wanita itu. “I bet you're really close with Harvey, right?”

Mia tersenyum manis, ia menoleh ke arah Harvey seraya dengan sebelah tangannya yang terulur menyentuh paha Harvey. “Well, you know, Harvey is the most wanted boy in college before, who wouldn't be attracted to him? No one, Natha. And I'm so glad that we can really close to each other. Don't you think so, Harvey?”

Harvey hanya bisa berdehem singkat seraya tersenyum tipis, ia melirik ke arah Natha yang terlihat begitu tenang ketika Mia menyentuh pahanya. Menunggu respon seperti apa yang akan Natha berikan berikutnya.

Namun tanpa Harvey tahu, Natha justru mendesis kesal di dalam hati melihat tingkah wanita itu, tapi sebisa mungkin masih tunjukan ekspresi ramah walaupun rasanya ia ingin sekali menepis tangan yang menyentuh paha suaminya menggunakan garpu tanah.

Seseorang menyentuh miliknya tanpa izin di depan matanya langsung.

Sepertinya Natha tidak bisa berada terlalu lama dengan situasi ini karena ia mungkin akan kehilangan kontrol pada dirinya sendiri, kesabarannya begitu tipis, dan mungkin juga akan membuat Mia pulang dalam keadaan kacau balau jika ia belama-lama di sini.

“Are you in the same major as Harvey, or else?” Tanya Natha berbasa-basi.

“Oh no,” Mia menggeleng, merasa senang karena mungkin Natha tidak mempermasalahkan jika ia sengaja menyentuh Harvey seperti itu. “Harvey is in business school and I'm in mathematics. We meet in the same club and also lived on the same street. That's why I can be close to him.”

“Ah I see,” Natha mengangguk, walaupun sebenarnya ia tak peduli dengan setiap ucapan yang keluar dari mulut Mia. “I think Harvey would love to be around you too, cause well, you pretty, smart, and really talk active.”

“Aw, thank you sweetheart.” Mia menarik tangannya dari paha Harvey walaupun ia tetap sambil mengelusnya, sorot matanya yang dibuat-buat lugu itu sukses menambah kadar kekesalan Natha.

Matanya tak berhenti memperhatikan setiap ekspresi wajah Mia, Natha mendengus remeh ketika wanita itu kembali menatapnya, bola matanya bergerak menatap Mia dari atas sampai bawah. “And this is will be your greatest night to meet with Harvey again after a long time. Do you guys wanna go hangout after this? Dinner or something like that maybe?”

“So you would let Harvey go with us?” Tanya Shanon, agak sedikit merasa aneh dengan sikap yang ditunjukan oleh Natha.

Ramah, namun juga terlihat tidak ramah secara bersamaan. Karena Natha sempat tunjukan seulas senyum dengan bibirnya terkulum ke dalam, salah satu bahasa tubuh ketika seseorang sedang menahan emosi negatif di dalam dirinya.

Masalahnya, Shanon juga langsung merasa tak enak hati pada Natha ketika Mia menyentuh paha Harvey seperti tadi, walaupun keduanya dulu merupakan teman yang begitu dekat, dan juga atmosfer di antara mereka berempat seketika berubah agak panas. Mia benar-benar terlihat seperti sedang menggoda Harvey secara terang-terangan langsung di depan si pemilik.

“Why not?” Tanpa menatap ke arah Harvey, Natha ulurkan satu tangannya untuk mengelus paha suaminya itu seperti apa yang Mia lakukan tadi. “I can recommend some of the best places to eat around here, or maybe if Mia needs room to release her slutty desire, I can give it too.”

“Watch your words, baby,” Harvey berbisik, dahinya mengkerut menatap Natha yang justru malah tersenyum lebar ke arahnya. Kepala Harvey menggeleng tipis, “Gak sopan.”

Bahu Natha naik sekilas, tangannya naik untuk mengelus pipi Harvey. “Oh really? Sorry I'm just trying to treat your friend as well as I can, and maybe...” Pandangan Natha teralih ke arah Mia, ia berdecih sinis. “Prove that you're not wrong about the other bitches who are far away below me.”

Setelah itu Natha menurunkan tangannya dan melepas kasar rangkulan Harvey dipinggangnya. Ia menatap Shanon dan Mia kembali sambil tersenyum tipis, “It's really really fun to meet all of you guys, but I don't have enough time right now because I have to meet someone before Harvey's son needs me to lull him to sleep.”

“Siapa?” Tanya Harvey cepat. “Lo mau ketemu siapa?”

Natha menoleh kembali ke arah suaminya itu. “My ex's.”

“Don't you dare-”

“Ah! That's mine!” Sela Natha cepat ketika salah seorang pelayan berjalan mendekat ke arah meja mereka dengan membawa minuman yang Natha pesan di bawah tadi, tak peduli jika Harvey menatapnya tajam karena ia menyela ucapan suaminya itu barusan. Tangannya kemudian terulur meraih minumannya begitu gelasnya terangkat dari nampan, “Thank you so much, Ryan.”

“Anytime, boss.”

“Maybe we can meet again at another time, Shanon, Mia.” Kata Natha lagi, ia taruh gelasnya terlebih dahulu di atas meja sebelum mencondongkan tubuhnya kembali ke arah Shanon, matanya melirik Mia sekilas. “You're a nice person, Shanon. But I'm so sad that why do you want to be friends with someone that really brave to touch someone's 'property' in front of the owner? I'm afraid that one day she will touch yours too. Be aware of the slut things, pretty.”

“What?! What do you mean?” Mia langsung memekik tak terima dengan ucapan Natha, karena ia tahu betul jika perkataan itu ditujukan untuknya. Tapi Natha hanya tertawa remeh melihat responnya itu.

“Sayang, just be nice please,” Ucap Harvey memperingati. Ia menatap ke arah Mia yang masih mengerjap tak percaya mendengar ucapan Natha barusan. “You're so rude.”

“I don't care, I said what the fact said.” Natha mengibaskan tangannya seraya terkekeh, dengan cepat bangkit dari posisi duduknya. “Oke, time it's up and my friend already come. So if you wanna talk to me again, just join in there.”

Telunjuk Natha menunjuk ke arah meja yang berada paling ujung, dimana sudah ada seorang lelaki dan Sarah yang duduk di sana, dan mata mereka bertiga mengikuti kemana arah telunjuk Natha pergi.

“Pulangnya sendiri-sendiri aja, gua bawa mobil kok.” Kata Natha pada Harvey yang menatapnya tajam, ia merunduk untuk mencium bibir Harvey sekilas. “Have fun, peach!”

“Nath,” Sebelum Natha melangkahkan kakinya pergi, Harvey lebih dulu menahan pergelangan tangan suami cantiknya itu. “Kita pulang sekarang.”

“Loh kenapa? Masih ada Mia sama Shanon, gak enak kalo lo buru-buru pulang. Kalian kan baru ketemu lagi sekarang.” Tutur Natha sambil kembali menatap Shanon dan Mia secara bergantian. “Lanjutin aja ngobrolnya, kan asik bisa ketemu sama 'mantan', ya gak?”

“Nath, c'mon, don't be like this,” Harvey membuang nafasnya berat. “I'm so sorry that didn't tell you earlier about them.”

“Gak usah minta maaf, basi.” Dengusan Natha keluar, ia menarik tangannya dari genggaman Harvey. “Udah ah, gua mau ketemu mantan gua juga. Biar adil. Kasian orangnya udah nungguin, keburu Bunda nelfon gara-gara Malvin bangun.”

Harvey hanya bisa bedecak jengkel, ia mengikuti kemana arah Natha pergi dan mengepalkan buku-buku jarinya begitu Natha langsung menyapa akrab seorang lelaki yang baru pertama kali ia lihat itu. Sial, Natha benar-benar menguji kesabarannya.


Tentu apa yang diucapkan Natha tadi hanyalah bualan belaka. Ia tidak benar-benar bertemu dengan mantannya karena ini salah satu rencana balas dendamnya pada Harvey. Ia sangat berterimakasih pada Sarah yang kini berbalik mengkhianati boss-nya dan malah bersekutu dengannya.

Natha bisa melihat dengan jelas bagaimana gusarnya Harvey ketika orang suruhannya ini bertindak seakan-akan sangat akrab dengannya. Bahkan Natha tak sungkan untuk bersulang, menyenderkan tubuhnya, atau membiarkan orang suruhannya ini merangkul dirinya.

It's really fun to see how frustrated Harvey in there. Lagi pula, siapa suruh membuat Natha cemburu.

Ia menunggu mau sampai kapan Harvey meladeni satu temannya dan seorang ular di sana. Natha bahkan diam-diam tertawa ketika Harvey malah meminta maaf atas apa yang dilakukannya pada kedua teman kampusnya itu, terlebih saat Mia berulang kali menoleh ke arahnya dengan ekspresi kesal dan terlihat protes pada Harvey.

“That girl's really a fucking moron,” Komentar Sarah. “I hate the way she acts like that, ewhhh.”

Natha seketika tergelak. “Jangan terlalu jujur, Sar. Biarin aja mau sampe mana dia kayak gitu sama Harvey. Gua liatin.”

“Mereka bangun, boss.” Sarah menepuk paha Natha agar atensi bossnya itu berpindah. “The reunion was over, wahhh, so quickly.”

Bola mata Natha bergulir, menatap ke arah meja tempat Harvey berada, dan benar saja, Sharon dan Mia sudah bangkit dari posisi duduknya dengan ekspresi wajah yang begitu kontras. Shanon dengan raut tak enak hatinya, dan Mia yang merengut masam, tak tahu dengan apa yang Harvey katakan sehingga Mia pergi seperti orang yang sedang diliputi emosi.

“Well,” Natha ganti menatap orang suruhannya kembali. “Fee lo nanti di transfer sama Sarah, thanks a lot udah mau bantu gua. Gua mau cabut dulu ke toilet, kebelet pipis.”

“Just wear diapers like Malvin, boss. It's really easy to take a pee everywhere.” Ledek Sarah yang langsung dibalas oleh sentilan Natha di dahinya.

Natha kemudian melangkahkan kakinya cepat menuju ke arah toilet, ia memang benar-benar ingin membuang isi kantung kemihnya karena terlalu banyak menegak minum setelah pergi dari meja Harvey. Perasaannya ketika cemburu Natha akui memang agak sedikit merepotkan dirinya sendiri.

Pintu bilik toilet di dorong, Natha masuk ke dalam salah satu bilik dan menuntaskan terlebih dahulu pembuangan kantung kemihnya. Bibirnya refleks bersiul pelan, kepalanya menatap ke arah langit-langit toilet selama beberapa saat sebelum tertawa geli mengingat ekspresi-ekspresi Harvey tadi.

Ia keluar dari dalam bilik seraya membenarkan letak celana jeansnya, tidak menyadari jika Harvey menunggu dirinya dengan berdiri tepat dibelakang pintu masuk toilet.

“Are you done with your game show, Natha?” Tanya Harvey dengan nada datar.

Natha menoleh, menatap ke arah suaminya yang kini memasukan kedua tangannya ke dalam kantung celana, pandangannya lurus pada Natha dengan sebelah alis yang terangkat. Lagi-lagi Natha mendengus geli, ia berjalan mendekat ke arah washtafel untuk mencuci tangan.

“Not yet. Just waiting for the next episode.” Sahut Natha santai, menghentikan sejenak pergerakannya dan menatap Harvey kembali. “You know, I'm so curious who's next. It will be he or her? Oh my God, that's a lot of people.”

“Are you jealous right now?” Tanya Harvey.

“Jealous? Nah, I just loved to play.” Natha matikan terlebih dahulu keran yang menyala lalu mengibaskan jari-jarinya seraya menatap pantulan dirinya di dalam cermin. “Why should I be jealous of someone that far away below me? Ck, ck, ck, ck, gak sebanding, Vey.”

Harvey mendengus geli, ia tegakkan posisi berdirinya yang bersandar pada pintu toilet, kakinya kemudian melangkah mendekat ke arah Natha lalu merengkuh tubuh suami cantiknya itu dari belakang. Membuat Natha yang sedang mengelap tangannya dengan tissue mendadak kembali menatap pantulan di dalam cermin.

“You are jealous, baby.” Bisik Harvey tepat di bawah telinga Natha, lalu memberikan satu kecupan di perpotongan lehernya. “Mia it's not my ex. She was only just my closest friend before.”

“Really close sampe dia aja tau kalo lo seorang good kisser,” Sarkas Natha. “Why are you always surrounded by a fucking bitch like her?”

“I dont know,” Tangan Harvey bergerak mengelus permukaan perut Natha yang terekspos. “I just think that it's so fun to play with them. Knowing they're want me so bad to be their world after I gave them my fake attention and see their reaction, makes me feel so satisfied.”

“Hell ya, Mia pasti nangis denger omongan lo ini karena lo cuman ngasih harapan palsu ke dia.” Natha tertawa renyah, namun tak berselang lama ekspresi wajahnya berubah datar. “But you should know that I really dont like if somebody else touched my own property.”

“Me too,” Harvey mengangkat wajahnya, menatap Natha dari dalam pantulan cermin. “Apalagi ngeliat lo sengaja nyender bahkan ngebiarin orang lain nyentuh lo, I dont really like it, Nath.”

“I think we're equal right now,” Seringai tipis Natha tercipta. “Gua juga gak suka gimana Mia sengaja nyentuh paha lo dan berpikir kalo gua santai aja sama tingkah dia. Untung gua buru-buru pergi dan gak sampe harus ngasih tangannya pelajaran pake garpu tanah.”

Harvey bergerak memutar tubuh Natha agar menghadap ke arahnya, satu tangannya meraih tangan Natha agar menyentuh tepat dimana Mia meninggalkan jejak tangannya tadi. “My body is yours, Natha. I'm so sorry to let anyone else touch it.”

“You know, Harvey,” Natha mengelus paha Harvey dengan ujung jarinya, pandangan mereka bertemu. “Gua sebenernya bukan tipe orang yang cemburuan. If you wanna play with them, just play with them. I'm realize that my hubby is a ex player, or still a player?”

Harvey tertawa kecil.

“Gua gak akan pernah mohon-mohon sama lo buat stay sama gua, lo mau selingkuh? Silahkan. Lo mau pergi? Silahkan.” Seringai Natha merekah tipis, “But just remember, maybe you can find another fish in the sea, tapi lo gak akan nemu yang kayak gua lagi. Gua sadar value gua dimana, dan bukan level gua harus bersaing sama mereka.”

Terdengar begitu narsis, tapi Harvey akui setiap perkataan yang Natha ucapkan sukses membuatnya bangga setengah mati pada suami cantiknya. Ketika yang lain justu memohon padanya untuk tetap tinggal, Natha malah melakukan yang sebaliknya.

“You will find the 80% in me but not the 20%, because perfection is never exist, right? But if you left your 80% to find 20%, I'm so sorry for you,” Ekspresi wajah Natha terlihat meledek, ia kemudian meniup wajah Harvey dengan iseng. “You'll lost the almost perfect one.”

“This is the reason why I've lowered all my pride and down my knee for you, Natha.” Ucap Harvey bangga, “I love your self-confident. Really.”

“I know, peach.” Natha mendengus geli, “Gua cuman gak suka kalo ada yang nyentuh punya gua tanpa izin, mau sedeket apapun itu. Besok kalo ada yang kayak gitu lagi dan lo gak ngomong sama gua, gua bakalan beneran dateng bawa garpu tanah atau mungkin lebih parah.”

“Alright, babe.” Kekehan Harvey mengalun pelan, ia dekatkan wajahnya dengan wajah Natha hingga ujung hidung mereka hanya berjarak beberapa senti. Sebelah tangannya merambat naik, mengelus dari perut hingga berhenti di bagian dada. “Dan kalo besok lo pake baju kayak gini lagi, gua gak akan segan-segan nyeret lo pulang detik itu juga.”

“Why?” Protes Natha, “Ini croptop baru yang belinya harus nunggu sebulan, dan berantem dulu karena rebutan sama Deon. Jadi gak afdol rasanya kalo gak dipamerin.”

“You know the rules, baby.” Nada suara Harvey terdengar lebih tegas. “You can wear whatever you want to wear but not a croptop.”

Natha mendengus, tangannya yang mengelus paha Harvey merambat naik dan menyentuh sesuatu yang masih tertidur di balik celana kainnya dengan seduktif. “Why? Did you horny seeing me wearing this?”

“Do you want to play it here?” Tantang Harvey, ia merengkuh pinggang Natha agar jarak di antara mereka semakin menipis. “Trying a public sex.”

Kelopak mata Natha mengerjap lambat, ia menatap Harvey dengan ekspresi menggoda saat tangannya mengelus naik turun pada tempat yang sama. Bibirnya bergerak maju untuk mengecup bibir Harvey. “Yeah, I want to do it here but-”

“Akh! Nath!”

”-I'm still mad at you.”

Tubuh Harvey terdorong mundur setelah Natha berikan satu cengkraman kuat yang mengakibatkan rasa ngilu pada bagian depannya. Ia menatap ke arah suami cantiknya dengan ekspresi kesakitan, tapi Natha hanya tunjukan wajah marahnya lalu mendesis jengkel.

“Dont play with a fire.” Ucap Natha sinis sebelum membuka kunci pintu toilet dan keluar dari dalam sana. Namun sebelum menutup pintunya kembali, Natha sempatkan acungkan jari tengahnya pada suaminya itu. “Fuck you, asshole!”

Harvey meringis, menatap kepergian Natha seraya masih memegang kejantanannya yang berdenyut ngilu. Tapi tak berselang lama ia terkekeh bersamaan dengan kepalanya yang menggeleng tidak habis pikir oleh tingkah Natha ketika sedang cemburu itu.

Kabut tebal serta rintik gerimis menyambut mereka begitu sampai di villa yang sudah mereka pesan via online sebelumnya. Hamparan pepohonan tinggi serta kebun teh menjadi pemandangan yang begitu menyejukan mata, ditambah suara gemercik air dari sebuah kali kecil yang berada di bawah villa membuat suasana pegunungan begitu terasa.

Mobil diparkir tepat di bawah pohon rambutan sisi villa, mereka keluar satu per satu dari dalam mobil sambil membawa barang masing-masing. Tidak lupa menurunkan perlengkapan malam tahun baru seperti jagung, terompet, dan petasan yang berada di bagasi belakang.

Seorang penjaga villa menghampiri, menyambut mereka dan menuntun mereka masuk ke dalam villa. Bangunannya bertingkat dua, seluruhnya disusun menggunakan kayu-kayu jati berkualitas tinggi, dengan bagian bawah khusus sebagai area dapur, meja makan, satu kamar mandi kecil, dan teras.

Sedangkan pada bagian atas terdiri dari tiga kamar tidur, dua kamar mandi, dan ruang tengah yang dilengkapi fasilitas karoke serta sofa-sofa panjang untuk bersantai. Ada balkon kecil di masing-masing kamar dan sebuah koridor yang menjadi penghubung di bagian luar, dihalamannya terdapat sebuah kolam ikan dengan air mancur buatan berukuran sedang.

Kunci villa diserah terima, penjaga villa pamit setelah memberikan infomasi terkait fasilitas villa yang akan mereka dapatkan. Mereka berkeliling secara bergerombol mengecek lantai bawah serta lantai atas seraya membawa barang-barang untuk ditaruh ke dalam kamar.

“Gua tidur disini aja deh sama Jave, gak terlalu dingin soalnya.” Rayyan mendudukan dirinya di sisi kasur setelah menaruh tasnya di atas kursi kecil yang berada di dalam kamar, pandangannya mengedar, memperhatikan tiap sudut sebelum akhirnya menatap ke arah Jave. “Gimana? Mau disini aja gak?”

Jave menganggukan kepalanya, “Yaudah disini aja, biar kamar utama ditempatin sama Evan atau Arghi.”

“Eh engga, engga.” Sandra menyahut cepat, kepalanya menggeleng hingga kuncirannya ikut bergerak seirama. “Gua tidur di kamar yang ada double single bed aja, ogah banget tidur satu kasur sama Arghi, yang ada besok pagi gua udah di lantai gara-gara ditendang.”

“Emang lo kira gua gasing apa,” Sahut Arghi tak terima, ia menyentil belakang kepala Sandra. “Yaudah ayo bawa tas lo, kita ke kamar.”

Mendengar ucapan Arghi, Evan refleks berdehem seraya mengulum bibirnya, pandangannya langsung teralih ke arah lain.

“Napa lu ketawa-ketawa?” Tanya Arghi sebal.

Evan menggeleng, “Engga.”

Sandra berbalik, mencubit tangan Evan sambil mencebikan bibir. Namun ia seketika mengeryit ketika menyadari jika ada yang kurang dari mereka saat ini. “Bentar, Deva kemana?”

Pertanyaannya sukses membuat Evan berbalik ke arah belakang, tersentak karena tidak mendapati Deva yang sedari tadi mengekorinya. Ia keluar dari dalam kamar diikuti yang lainnya hingga menimbulkan bunyi bug-bug-bug pada lantai Villa yang terbuat dari kayu.

“Devara!”

“Dibawaaaahhh!”

Mereka berlima sontak berjejer di pagar koridor luar dan menatap ke arah bawah, mendapati Deva yang sedang berjongkok di sisi kolam sambil memperlihatkan kodok yang berada di tangannya.

“Liat! Lucu gak?”

“Aduh,” Rayyan membuang nafasnya berat, “Gua kira dia kenapa-kenapa anjir, soalnya ini villa kagak ramah buat Deva yang bentar-bentar nyusruk.”

“Dep hati-hati yang lo pegang kodok buduk, nanti kalo kena pipisnya lo bisa buta!”

“Hah emang iya?” Tanya Sandra yang langsung menoleh ke arah Arghi, lalu ia menatap Deva kembali. “Ih buang, Dev! Jorok banget mainan kodok!”

“Sekali mendayung, dua orang bego terlampaui.” Kekeh Arghi sambil berbisik jahil. Ia tentu saja bisa melihat yang kodok yang sedang Deva pegang bukanlah kodok beracun seperti kodok buduk.

Jave mendekat ke arah Evan lalu menepuk pundaknya. “Lo mending duluan ke bawah aja deh ngeliatin Deva, nanti kita turun juga buat nyiapin bakaran sama makan.”

“Sebentar, gua naro tas dulu ke kamar.” Evan berbalik, meraih dua tas yang masih berada di kamar yang akan ditempati oleh Jave dan Rayyan sebelum berjalan ke arah kamar utama.

Tasnya dan tas Deva ia taruh di atas kasur, ia lepas hoodienya terlebih dahulu sebelum keluar dari kamar dan berjalan menuju lantai bawah. Evan tersenyum tipis ketika mendapati Deva yang masih asik berbicara dengan nada anak-anak pada kodok yang berada ditangannya, tidak menyadari kedatangan Evan sama sekali.

“Gerimis, ay.” Kata Evan sambil mendudukan dirinya di undakan tangga tertaras yang berada dipinggir pondasi bangunan villa, ia merogoh kantung celana jeansnya guna mengambil kotak rokok dan korek. “Jangan lama-lama, kabutnya udah tebel, dingin.”

“Bawel!” Sahut Deva sambil merengut, ia menaruh kodoknya pada batu yang berada di sisi kolam, lalu telunjuknya mengelus-elus permukaan punggung kodok yang agak licin dan berlendir itu. Kepalanya menoleh ke arah Evan, “Kodoknya boleh dibawa pulang gak?”

Evan menggeleng, “Nanti keluarganya sedih kalo dia lo bawa pulang, takutnya dia tulang punggung keluarga.”

“Iya juga ya,” Deva memperhatikan kodok itu kembali, tersentak ketika kodok yang sedang ia usap punggungnya itu malah meloncat menjauh. “Eh! Jangan jauh-jauh loncatnya!”

Tawa kecil Evan menguar ketika mendapati Deva yang sibuk mengejar-ngejar kodok, satu batang rokok diraihnya dari dalam kotak, menyelipkannya terlebih dahulu di belahan bibir sebelum menyalakan pematik. Pandangannya mengedar, memperhatikan pemandangan perbukitan yang tidak terlalu terlihat jelas karena kabut yang sudah mulai menebal.

Setelah itu, fokusnya terkunci pada Deva yang masih heboh sendiri dengan teman barunya itu. Ponsel di kantung celana Evan raih, aplikasi kamera pada ponsel dibukanya, dan tombol bulat yang berada di bawah layar ditekan untuk memotret Deva sebanyak beberapa kali, lalu kemudian merekam tingkah Deva yang makin heboh mengejar-ngejar kodok.

“Dev, udah ayo masuk. Bentar lagi magrib.”

Deva mendudukan dirinya terlebih dahulu di atas rumput, dadanya kembang kempis meraih oksigen karena agak melelahkan juga mengejar-ngejar kodok yang sudah tak mau lagi dipegangnya itu. “Bentar istirahat dulu, cape ngejar kodok.”

“Lagian udah tau dia gak mau dipegang lagi masih aja dikejar-kejar,” Kata Evan seraya bangkit dari duduknya dan mematikan rokoknya yang masih setengah batang. Ia berjalan mendekat ke arah Deva, lalu jongkok di sisi pacarnya itu. “Sini tangannya.”

“Ngapain?” Tanya Deva bingung, tapi dia tetap mengulurkan kedua tangannya pada Evan.

Sapu tangan pada kantung belakang celana Evan raih, lalu mengelap kedua tangan Deva yang sedikit kotor akibat memegang kodok dan batu sisi kolam yang basah. Membuat Deva hanya mendengus dan memperhatikan Evan yang begitu telaten mengelap tangannya.

“Udah, abis ini dicuci lagi di dalem pake sabun. Ayo masuk.” Sapu tangannya Evan taruh kembali pada kantong belakang, lalu menarik kedua tangan Deva agar pacarnya itu segera berdiri karena gerimis juga sudah mulai lebat.

“Berhenti ngejailin gua, Arghi! Lo gak bisa diem banget!”

“Marah-marah mulu lo San, cepet tua nanti.”

Sandra dan Arghi turun dari tangga dalam ruangan bersamaan dengan Evan dan Deva yang masuk ke dalam area dapur, mereka saling sibuk sikut menyikut dengan Arghi yang membawa jagung, dan Sandra yang membawa plastik berisi sosis dan bakso.

“Ribut mulu lo berdua, jodoh baru tau rasa.” Celetuk Deva sambil berjalan ke arah washtafel.

“Dih? Jodoh sama Arghi? Ogah banget mending ngebucinin Han Sohee daripada jodoh sama Arghi.” Sahut Sandra sambil menaruh sosis dan bakso yang berada di dalam plastik ke dalam kulkas. “Duh Han Sohee kenapa cakep banget jadi pengen macarin.”

“Ga boleh gitu, San. Nanti lo beneran hidup sama gua gimana?' Tanya Arghi jahil. “Kita membangun rumah tangga bareng, pagi hari lo ngejemur terus gua duduk di teras sambil ngopi ngeliatin anak-anak kita lagi pada main latto-”

Tuk!

“Anjing! Mata gua, Sandra!”

Arghi mengaduh sambil memegang sebelah matanya yang baru saja terkena lemparan sebuah es batu kecil. Membuat Sandra, Deva, dan Evan kompak tertawa.

“Berhenti ngehalu, njing! Mual gua dengernya.” Ucap Sandra sambil mendengus.

Evan yang duduk di kursi meja makan hanya bisa menggelengkan kepalanya tak habis pikir, “Kalo kalian jodoh gua bagian ketawa paling kenceng.”

Satu buah jagung terlempar ke arah Evan, dengan refleks ia langsung menangkapnya. Pelakunya? Tentu saja Arghi. Siapa lagi yang membawa jagung sedari tadi selain dia.

“Kalo kayak gini mah ogah juga jodoh sama cewek psikopat kayak Sandra.” Dumel Arghi kesal, matanya masih terasa berdenyut. “Bentar, sosis sama baksonya ngapa lo masukin kulkas? Kan mau ditusukkin, aneh!”

“Oiya!” Sandra refleks menepuk dahinya, ia membuka pintu kulkas kembali lalu mengeluarkan plastik merah itu dari dalam freezer. “Lo sih ngajak gua ngomong mulu! Jadi ga fokus kan!”

“Ko salah gua sih, njing.” Sahut Arghi tak terima.

Deva menyandarkan tubuhnya pada meja kabinet dapur, kedua tangannya terlipat di depan dada seraya memperhatikan Arghi dan Sandra. “Kayaknya kalo lo terus sama Sandra gini, bakalan cepet move on-nya deh, Ghi.”

Ucapan Deva barusan membuat Evan langsung berdehem pelan, ia melirik ke arah Arghi lalu menatap Deva dengan sebelah alisnya yang terangkat.

Sandra buru-buru membuka suaranya lagi, suasana mendadak canggung seketika. “Eh Jave sama Rayyan belom dipanggil turun, panggil mereka, Dev. Suara lo kan kenceng.”

“RAY-Eh itu mereka turun!” Tunjuk Deva ke arah Rayyan yang masih menuruni tangga bersama dengan Jave. “Mana tusukkannya? Biar cepet nusukkinnya rame-rame aja, terus Arghi bagian ngupasin kulit jagungnya.”

Deva mendekat terlebih dahulu ke arah Sandra guna mengambil satu pack tusukan, lalu berjalan ke arah meja makan dan menarik kursi tepat di sisi Evan. Ia sedikit merunduk, mengecup sekilas pipi ketua himpunan itu lalu baru mendudukan dirinya di atas kursi.

Sebelah tangan Evan seketika terulur dibawah meja, menyentuh paha Deva seraya memperhatikan pacarnya yang sedang membuka plastik pembungkus tusukan. Deva tidak mengatakan apapun lagi karena sejujurnya, ia refleks berbicara soal itu tadi.

Rayyan dan Jave duduk berhadapan dengan Evan dan Deva, sedangkan Sandra duduk di samping kiri Deva dan Arghi duduk agak menjauh dari meja karena harus mengupasi kulit jagung.

“Eh, video call grup dong sama anak BPH biar rame!” Usul Rayyan, tanpa babibu ia langsung mengambil ponsel Jave dan membuat panggilan grup. Ponsel ditaruh diatas meja dengan posisi bersandar pada vas bunga.

Namun setelah menunggu beberapa saat tidak ada satu pun yang menjawab panggilan, membuat Rayyan langsung meraih ponsel Jave dan mematikannya penuh emosi. “Anjir sementang pada liburan sombong-sombong banget, tai.”

“Ya lo udah tau mau pada taun baruan sama keluarganya malah di video call.” Celetuk Sandra.

“Enak ya orang-orang pada tahun baruan sama keluarga.” Arghi yang sedari tadi terdiam membuka suaranya kembali. “Beda ama gua yang keluarganya mencar kayak tim sar.”

“Tos dulu dong!” Sandra langsung mengangkat tangannya dan melakukan tos bersama Arghi. “Papa gua di mana, Mama gua di mana, gua di mana. Yah, namanya juga idup.”

“Mending mencar daripada bapaknya udah jadi singkong.” Timpal Deva.

Seketika semua orang memejamkan matanya, meringis mendengar ucapan Deva barusan. Jave buru-buru mengulurkan tangannya seperti meraba sesuatu di atas meja dengan kelopak mata yang masih terpejam.

“Gelap woy! Nyalain dong lampunya!”

Rayyan dengan cepat menoyor kepala Jave. “Tolol!”

“Ay,” Evan mengelus permukaan paha Deva dari bawah meja.

“Hehehe, santai guys, bercanda aja gua.” Deva terkekeh, ia kemudian meraih beberapa sosis lalu menusuknya dengan tusukan bambu. “Udah berdamai sama keadaan soalnya.”

“Ganti topik, ganti topik,” Sandra membuat tanda X dengan kedua tangannya. “Bahas apaan ya yang seru, lagi kagak ada bahan buat gibah sih.”

“Kata siapa?” Rayyan menyeringai, membuat Jave seketika membuang nafasnya berat. “Pasti lo semua tau Oliver kan?”

“Bangsat!” Arghi seketika membanting kulit jagung masuk ke dalam kantong plastik, “Itu bocah minjem duit gua bilangnya karena sakit taunya dipake judi anjir! Mana kagak dibalik-balikin itu 500 rebu gua.”

“Kemaren baru aja kegerebek polisi di kosannya.”

“HAH?!”

“Ngobat juga soalnya,” Kedua bahu Rayyan naik sekilas, tangannya masih sibuk menusuk-nusuk bakso. “Di fakultas sebelah rame banget, cuman langsung redam gosipnya gara-gara anak bem mereka minta pada suruh diem.”

“Dih pantes aja gua kalo ketemu dia bocahnya rada keliatan ngefly.” Sandra mencebik, “Mana kadang ngang ngong ngang ngong ga jelas kalo diajak ngomong.”

“Lo sering ketemu dia, San?” Tanya Deva kepo.

Sandra mengangguk. “Sering main ke kosan soalnya. Tapi bukan ngapelin gua ya, dia ngapelin anak sebelah kamar gua, gak tau namanya siapa soalnya gak pernah interaksi.”

“Wibu ya?” Gantian Jave yang bertanya.

“Napa jadi nyambung ke wibu?” Arghi yang menggemari animasi Jepang itu sedikit tersinggung dengan ucapan Jave. “Emangnya semua orang introvert itu wibu? Lo liat noh Evan, dia malah penggemarnya ngerokok abis ngewe sama lagu-lagu ngantuk.”

“Lagu-lagu ngantuk,” Rayyan seketika tertawa. “Lebih cocoknya lagu galau sih.”

“Sok tau lo! Gak semuanya lagu galau ya!” Sahut Deva tak terima.

“Tapi kan emang semuanya lagu galau, ay.” Celetuk Evan.

Rayyan langsung mengulum bibir menahan tawa, sedangkan Deva seketika menepuk paha Evan dengan alis yang mengkerut.

“Duh beneran deh ini kalo Daffin, Mada, Elang, sama Zhifa ngikut pasti bakalan lebih rame,” Sanda membuang nafasnya berat, “Soalnya tahun baru tahun depan pasti udah pada sibuk magang, ngurus skripsi, sama lengser.”

“Nikmatin aja yang ada sekarang, gak usah mikirin tahun depan gimana,” Arghi menaruh kulit jagung terakhir ke dalam plastik sebelum menggeret kursinya mendekat ke arah meja, ganti menusuki jagung dengan stick kayu kecil. “Toh kita ngumpul kayak gini kan bisa kapan aja.”

“Iya sih.”

“Nih kalo udah selesai ditusukkin masukin ke kulkas bawah aja, jangan freezer. Biar gak beku pas mau dibakar nanti,” Rayyan merapihkan sosis serta bakso yang berada di dalam keranjang kecil itu. “Arengnya nanti boleh kan minta sama Akang yang jaga villa tadi?”

“Boleh. Dia yang nawarin tadi.” Sahut Evan sambil menganggukan kepalanya tipis. “Nanti biar gua ambil.”

“Eh abis ini pada nonton film mau gak? Biar gak gabut-gabut banget nunggu tengah malem,” Usul Jave. “Gua ada rekomendasi film horror bagus.”

“Apa? The Exorcism of Emily rose?” Tanya Deva, “Gua udah nonton waktu itu sama Evan. Dia sampe beser mulu gara-gara ketakutan.”

“Sstttt, jangan ember.” Kata Evan sambil menggelengkan kepala seraya mengelus paha Deva kembali.

Jave menggeleng, ia menyipitkan kedua matanya lalu berbisik pelan. “Rewatch misteri Bondowoso tahun 2000.”

“GAKK!!” / “JANGAN!!”

“Masa kecil gua beneran kena trauma sama itu film, dan gua gak mau nonton lagi.” Protes Arghi, “Sampe sekarang gua masih inget scene dimana orang-orang diserang banyak kunti.”

“Dulu nobar film itu padahal ramean tapi gua tetep gak bisa tidur tenang selama seminggu,” Tambah Rayyan. “Mana Ibu gua ngomel mulu gara-gara gua ngompol terus akibat ketakutan.”

“Eh udah deh mending jangan horror, nyari yang aman-aman aja.” Usul Sandra, “Mending nonton film bokep sekalian daripada nonton horror ditempat begini, serius.”

“Fifty Shades?”

“GASSSSS!!”


Mereka berkumpul di ruang tengah, fokus pandangan mereka kompak menatap ke arah layar televisi yang sedang menampilkan adegan film itu. Dua orang duduk di atas sofa, dan empat lainnya duduk di atas karpet dengan punggung yang bersandar pada bagian bawah sofa.

Evan mendudukan dirinya tepat di bawah Deva, dan membiarkan jari-jari pacarnya itu bermain dengan rambutnya yang tebal. Salah satu kebiasaan baru Deva ketika menonton film bersamanya adalah memainkan rambut. Sesekali ia mendongak, mengecek Deva ketika jari-jari pacarnya itu berhenti cukup lama, takut Deva tiba-tiba jatuh tertidur.

'...I'm sorry, I know it's not good timing.' 'I had plans for us, I wanted to give you the world. Do you really think that I'm ready to be a father?' 'No! I don't. And I'm not ready to be a mother either, but we'll just figure it out.' 'Am not ready to figure it out.'

“JANCOKKK CHRISTIAN JANCOKKK!!”

Bantal sofa terbang mengenai wajah Arghi yang sedang tiduran di atas karpet. Ia seketika tersentak dan melempar kembali bantal yang mengenai wajahnya ke arah Sandra.

“Kalem!”

Sandra meringis, “Sorry, gua kesel soalnya.”

“Tolol ya si Christian, dia yang ngeluarin dia yang kagak mau tanggung jawab,” Komentar Rayyan sambil mendesis kesal. “Emangnya yang diharepin selain dapet enak sama bayi dari ngewe apaan anjir? Tv plasma? Kulkas dua pintu?”

“Jatohnya doorprize dong, babe.” Sahut Jave. “Eh tapi seru ya kalo di dunia ini ngewe dapet hadiah kayak begitu, bayangin Ray kita abis begituan terus ta-daaa!! Besok pagi dapet sepeda lipet!”

“Otak lo rada-rada!” Rayyan menoyor kepala Jave pelan.

Ditengah obrolan teman-temannya yang sibuk mengomentari adegan film, Evan menyadari jika Deva tidak mengeluarkan suara sama sekali, jadi ia mendongak, dan seketika mendapati wajah mengantuk Deva dengan kelopak matanya yang berkedip berat.

“Ay, ngantuk?” Tanyanya, satu tangan Evan meraih sebelah tangan Deva untuk ia genggam. “Mau tidur dulu? Nanti pas mau tengah malem gua bangunin.”

Deva menggeleng, ia masih bisa sunggingkan senyum tipis lalu mendorong wajah Evan agar menatap layar televisi kembali. Tapi Evan kembali menoleh ke arahnya, dan bangkit dari posisi duduk.

“San, geseran sedikit gua mau duduk.” Katanya pada Sandra.

Sandra langsung menggeser posisi duduknya, ia menempati satu sofa panjang sendirian dengan kaki yang berselonjor seraya mengecek jam dari layar ponsel. “Duh masih lama banget dah tengah malem, masa dari tadi baru jam setengah 9 sih, keburu ngantuk.”

“Nyelesain film ini dulu deh baru abis itu kita gitaran atau main kartu biar ga ngantuk, atau langsung mulai bakar-bakar aja.” Sahut Rayyan sambil membenarkan letak bantal yang berada dibelakang punggungnya. Ia tak sengaja menoleh ke arah Deva, “Yah, Depa jam segini udah ngantuk aja.”

“Engga, siapa yang ngantuk.” Sahut Deva cepat, ia menggeleng namun dari raut wajahnya pun semua orang tahu jika ia sedang menahan kantuknya.

Evan menghela nafas, ia duduk tepat di sebelah Deva lalu meraih kepala pacarnya itu agar tiduran di atas pahanya. Awalnya Deva menolak, namun akhirnya ia tetap merebahkan kepalanya di atas paha Evan dengan kaki yang berselonjor di atas sofa.

Suasana hening kembali, mereka fokus mengikuti alur film yang sedang diputar dan sesekali celetukan kesal atau pekikan kecil dari mereka terdengar. Terlebih sorakan turut menggema kompak saat adegan film mulai memanas.

Satu tangan Evan bergerak mengelus kepala Deva, ia tahu jika sekertaris hima itu sudah jatuh tertidur karena deru nafasnya yang begitu tenang dan teratur. Biasanya Deva kuat sekali begadang, namun dikarenakan malam sebelumnya pacarnya itu hanya tidur kurang dari lima jam dan tidak tertidur lagi sampai tadi, hal itu mungkin membuat kantuk Deva menyerang lebih cepat dari biasanya.

Evan menunduk, senyumnya terulas tipis saat menatap wajah Deva yang tertidur. Tangannya turun mengusap pipi Deva selama beberapa saat sebelum kembali mengelus kepalanya dengan perlahan. Ia meruduk sekilas untuk mencium pipi putih dengan rona kemerahan yang samar itu.

“Cantik.” Bisiknya pelan.


“Apinya jangan gede-gede!”

“SOSISNYA GOSONG ITU WOY!”

“Arghi jangan kentut mulu! Bau!”

“Duh anjir bara arengnya terbang ke kaki gua! Ngipasnya pelan-pelan napa, Dep!”

Jam sudah menunjukan pukul hampir pukul sebelas malam, kurang sepuluh menit lagi. Mereka kini sibuk membakar sosis, bakso, dan jagung yang akan menjadi teman menyambut detik-detik pergantian tahun di sisi villa, dekat dengan kolam ikan tempat dimana Deva sorenya bermain dengan kodok itu.

Jave kebagian tugas untuk membalik-balik sosis beserta jagung bersama dengan Deva dan Rayyan yang bertugas mengipasi bara areng agar tetap menyala. Sandra yang membuat minuman, gadis itu dengan semangat menggetoki es batu hingga menjadi bagian-bagian kecil. Lalu Arghi kini sibuk menyusun posisi kembang api agar tidak goyah saat mereka menyalakannya nanti, sedangkan Evan kebagian sebagai pengatur musik seraya bermain gitar agar suasana lebih hidup.

Para pengunjung villa lainnya pun sudah mulai membuat acara mereka sendiri-sendiri di halaman samping villa. Ada yang juga sibuk bakar-bakar, karaoke bersama, ada mulai menyalakan kembang api, bahkan menari-nari mengitari api unggun kecil yang dibuat. Membuat suasana di komplek Villa menjelang tengah malam menjadi semakin riuh.

“Lo pada tuh punya resolusi gak sih di tahun baru ini?” Tanya Rayyan sambil tetap mengipasi bara arang. “Gua bingung orang-orang pada update status resolusi mereka, sedangkan gua kagak tau mau ngapain.”

“Resolusi gua sih simpel, new year new me aja lah.” Sahut Arghi. “Gak usah ribet-ribet, takut kagak bisa ke wujud kan malu ya.”

“Emm apa ya,” Sandra yang membawa teko berisi fanta itu mendekat ke arah meja kecil yang ditaruh tepat di sisi bagian bakar-bakar. “Semoga di tahun baru ini gua gak banyak beban aja sih, ya walaupun ujung-ujungnya bakalan tetap gua jalanin itu beban walau sambil nangis-nangis.”

“Itu mah lo-nya aja yang cengeng.” Celetuk Arghi yang langsung dibalas dengan lemparan es batu kembali oleh Sandra.

“Lo ada resolusi gak, yang?” Tanya Rayyan pada Jave.

Jave menaikan bahunya sekilas. “Bingung mau resolusi gimana, gua cuman berharap bisa lebih baik aja sih, dan hubungan kita makin awet.” Katanya sambil mengedip genit ke arah Rayyan.

Ganti Rayyan menoleh ke arah Deva. “Dep?”

“Cuman berharap gua bisa lebih baik aja dari sebelumnya, kita makin kompak, sehat dan sejahtera selalu, apa lagi ya bingung,” Deva terkekeh pelan. Ia kemudian melirik ke arah Evan sekilas dari ujung matanya. “Tahun ini gua udah beruntung banget karena akhirnya ada yang bisa ngulurin tangannya ke gua buat sembuh dari trauma hati yang ada, walaupun caranya rada tolol sampe harus dibantu orang lain buat nyusun rencana-rencana konyol. Semoga awet aja sampe akhir nanti.”

“Sorry, Dev.”

Deva langsung menoleh cepat ke arah Arghi. “Santai, udah lewat juga kok.”

“Van, gimana? Ada resolusi gak lo?”

Evan menghentikan permainan gitarnya, ia menatap ke arah Rayyan lalu tak lama pandangannya beralih ke arah Deva. Senyumnya mengembang tipis.

“New year, new happiness.” Katanya singkat.

“Udah gitu doang?” Tanya Rayyan lagi.

Kepala Evan mengangguk, lalu ia kembali melanjutkan permainan gitarnya. Membuat Rayyan menggeleng dan menatap ke arah Deva.

“Kuat ya lo sama orang kayak Evan, kalo gua kayaknya udah darah tinggi mulu tiap waktu.”

Deva terkekeh pelan. “Gua juga sebenernya kadang kesel kalo dia udah cuek, aneh, gak jelas, apalagi kadang gua lemot ya mahamin dia ngomong apa. Tapi Evan aslinya lembut kok, perhatian juga. Di depan orang banyak aja dia berlagak cool, dibelakang mah masih demen ngerengek juga kayak bocah.”

“Keliatan sih,” Sandra ikut menimbrung obrolan. “Gua seneng banget Dev waktu lo berdua akhirnya naik tingkat dari sebates sahabatan doang. Gua tau dari awal lo emang nyimpen rasa sama Evan cuman denial lo aja tuh yang segede gunung Everest.”

“Mana ada!” Protes Deva. “Gua tuh cuman butuh meyakinkan diri aja.”

“Taiiii,” Rayyan berdecih jengkel. “Denial berbalut meyakinkan diri sampe kabur pulang ke rumah.”

“Diem!”

Satu buah sosis mentah masuk ke dalam mulut Rayyan hingga membuatnya terbatuk-batuk, berakhir dengan ganti mendorong Deva sampai tejungkal dari kursi kecilnya.

“Stress ya lo!”

“Sebenernya nih ya, menurut pandangan gua,” Jave turut memberi komentar. “Evan sama Deva tuh sama. Anehnya, kelakuannya, frekuensinya, randomnya tuh sama. Cuman karena Deva berisik kayak toa tukang tahu bulat dan Evan pendiem macem kerupuk melempem, makanya keliatan bertolak belakang.”

Sandra tergelak. “Berarti bukan pasangan Yin and Yang dong.”

“WOY! Coba liat sini!”

Mereka semua kompak menoleh ke arah Arghi ketika mendengar seruannya. Bola mata mereka langsung membulat saat mendapati sebuah petasan hajatan yang menggantung berderet di ranting paling bawah pohon mangga depan villa. Serta deretan petasan kembang api yang sudah di susun secara horizontal di atas tanah dengan batu sebagai pengganjalnya.

“Arghi! Gila ya lo beneran mau ngidupin petasan hajatan!”

“Biarin sih, San. Kan biar anti mainstream.” Sahut Arghi bangga.

“Eh yang ada kita di demo massa kalo nyalain petasan begitu!” Protes Rayyan, “Copot, Ghi! Lo aneh-aneh aja dah kelakuan.”

“Ghi, gak usah macem-macem.” Komentar Evan.

“Yaelah mereka juga bakalan pada suka kok! Percaya sama gua.” Ucap Arghi meyakinkan teman-temannya.

“Udah sih biarin aja, kalo kita di demo juga tumbalin aja si Arghi.” Deva mendecih pelan. “Tapi iya sih, biar seru nyalain petasan begitu.”

“Devaraaa.” Ucap Rayyan dan Sandra secara bersamaan, membuat Deva hanya terkekeh pelan.

Mereka kemudian lanjut bercengkrama sambil sesekali menyuruh Arghi untuk mencopot rentetan petasan yang menggantung di pohon itu. Sosis, bakso, dan jagung sudah selesai mereka bakar, dan kini tinggal menunggu hitungan menit menuju pergantian tahun sambil mendudukan diri di undakan tangga yang berada di pinggir pondasi villa, dengan mulut yang sibuk mengunyah bakaran tadi.

“Sosisnya masih mau lagi?” Tanya Evan pada Deva yang kini sedang menggerogoti jagung bakar itu.

Deva menggeleng. “Engga. Udah kenyang.”

“Yaudah.” Sosis bakar yang berada ditangannya Evan taruh kembali ke atas piring. Ia mengambil beberapa lembar tissue sebelum mendudukan dirinya kembali, tangannya terulur meraih dagu Deva dan mengelap sekitaran bibir pacarnya yang belepotan kulit jagung yang gosong. “Minum air putih, jangan fanta lagi.”

“Segelas lagi boleh?”

“Engga.”

“Ugh,” Deva merengut, ia membuang bongol jagung pada plastik sampah yang berada di depannya. “Belum kembung kok.”

Evan menggeleng. “Nanti idungnya gak enak, ay.”

“Lagian kenapa sih gak nyeduh tejus aja, kan enakan tejus,” Sungut Deva sebal. “Ngide segala minumnya fanta.”

“Sstt, gak usah protes. Besok beli tejus.” Evan mencomot sekilas bibir Deva yang maju beberapa senti itu. “Sini lap dulu tangannya, berminyak itu.”

Kedua tangan Deva dibersihkan menggunakan tissue basah oleh Evan. Tingkahnya yang memberikan perhatian kecil pada Deva itu tak luput dari mata Sandra karena ia tepat duduk di samping Deva.

“Enak ya kalo punya pacar, diperhatiin terus.” Ucapnya sambil menghela nafas.

“Yaudah ayo pacaran.”

Sandra seketika menoleh ke arah Arghi dan mendorong wajah pemuda itu menjauh. “Gausah mimpi! Gua lebih demen tete, bukan titit.”

“Titit gua gede kok, kita trial dulu aja. Kalo nyaman ya perpanjang, kalo engga ya di unsubscribe.”

“Cowo gila!” Sungut Sandra kembali.

“Ehh ayo siap-siap lima menit lagi ganti tahun!”

Rayyan bangkit dari duduknya dan mengambil tiga terompet yang berada di meja dapur, memberikannya terlebih dahulu pada Deva dan Sandra sebelum meniup-niup terompetnya sebanyak dua kali untuk mengetes. Sedangkan Arghi, Jave, dan Evan kini berada dekat dengan kembang api untuk menyulut sumbunya secara bersamaan dalam hitungan mundur detik-detik pergantian tahun.

“10... 9... 8... 7... 6...”

Ketiganya langsung berlari menjauh ketika hitugan akan mencapai angka lima dan sumbu kembang api sudah terbakar. Evan merangkul pundak Deva yang sudah bersiap meniupkan terompet itu, senyum di wajahnya merekah lebar ketika melihat betapa lucunya Deva dengan ujung terompet berbentuk naga yang terselip dibelahan bibirnya.

“5... 4... 3... 2... 1...”

Siuuuu~ Duar!

“HAPPY NEW YEARRR!! WOHOOOO!!!”

Suara gemuruh kembang api yang meledak di udara saling bersahut-sahutan dengan suara terompet. Langit malam seketika berubah begitu cantik dihiasi beragam warna dari ledakan kembang api, bersamaan dengan banyaknya untaian doa yang turut terbang ke langit berharap tahun yang akan datang akan lebih baik dari sebelumnya.

Mereka bersorak, berseru dengan wajah bahagia melihat banyaknya kembang api yang menghiasi langit saling bersahut-sahutan. Banyak diantara mereka turut merekam moment pergantian tahun dengan merekamnya menggunakan kamera ponsel, Rayyan dan Jave bahkan melakukan 'new year kiss' seraya berselfie menggunakan kamera polaroid.

Rengkuhannya pada pundak Deva lebih Evan eratkan hingga tubuh pacarnya itu menempel tanpa celah. Jika tahun lalu ia hanya bisa merangkul Deva, kini Evan bisa turut memberikan satu di pelipis Deva yang masih menatap riuhnya kembang api. Tahun baru, kebahagiaan baru.

“Happy new year, Abiandra.”

Deva menoleh begitu Evan berbisik tepat di telinganya. Seulas senyum di wajah Deva mengembang, ia melepas ujung terompetnya terlebih dahulu sebelum bergerak mencium pipi Evan selama beberapa saat.

“Happy new year too, Adhitama.”

Bibir mereka bertemu selama beberapa detik.

“Let's going through this year together.”

“I do.”

Evan rangkul pundak Deva kembali, menatap lagi ke arah kembang api yang masih menyala riuh dengan wajah yang sama-sama berseri.

Tanpa mereka sadari, satu senyum kecil terulas di wajah cantik Sandra. Gadis itu turut merasakan hatinya yang menghangat ketika melihat teman-teman dekatnya sudah menemukan kebahagiaan masing-masing, satu hembusan nafas berat terlepas, yah walaupun tidak dipungkiri ia juga ingin merasakan bagaimana senangnya merayakan tahun baru bersama seseorang yang istimewa.

“Gak usah ngelamun, kesurupan ntar lo.”

Sandra tersentak ketika sebuah jaket tersampir di pundaknya, ia menoleh ke arah Arghi yang masih memandang letupan kembang api. Dengusan gelinya keluar, senyumnya lagi-lagi merekah. “Thanks, Ghi.”

Arghi hanya berikan anggukan tipis sebagai jawaban.

Beberapa menit kemudian riuh letupan kembang api perlahan mulai berkurang seiring dengan sorak-sorak yang mereda. Langit menyepi kembali, gerombolan orang-orang yang melihat kembang api pun sudah mulai membubarkan diri.

“Duh beneran deh tahun depan BPH harus full team buat ngerayain tahun baru,“Ucap Sandra sambil membenarkan letak jaket yang Arghi berikan padanya. “Biar makin rame.”

“Gimana kalo satu himpunan aja? Kita sewa villa yang lebih gede.” Usul Rayyan.

“Yang ada nanti Arghi bersatu sama Hisyam, makin gila nanti kembang api yang-”

“TUTUP KUPINGGG!!!”

Arghi berteriak menjauh dari petasan renteng yang baru saja ia nyalakan sumbunya sambil menutup kedua telinga. Sontak mereka langsung panik berhamburan menjauh dari dekat pohon mangga yang menjadi tempat tergantungnya petasan itu.

“BANGSAT ARGHIII!!!”

DOR! DOR! DOR! DOR! DOR! DOR!

Wiuu~ Wiuu~ Wiuu~ Wiuu~

Alarm beberapa mobil seketika menyala dengan begitu kompak.