⚜
Gelas bertemu dengan gelas, menciptakan suara dentingan yang beradu dengan gelak tawa serta sorak-sorak kemenangan yang menggema. Asap-asap rokok terlepas, aroma alkohol menguar begitu kuat bercampur padu dalam udara club yang panas.
Disalah satu meja dengan sudut paling strategis, Natha memutar-mutar gelasnya dengan ekspresi bosan. Pikirannya terisi penuh. Mengingat kembali perdebatan konyolnya dengan kedua orangtuanya ketika mereka mengatakan akan menjodohkan Natha dengan anak salah satu rekan bisnis mereka.
Oh hell, jaman sudah modern tapi kenapa pemikiran orangtuanya masih begitu kolot? Umur Natha belum mencapai 30, well, ia dua tahun lagi memang menginjak 30 tapi apakah harus ia diburu-buru menikah seperti ini? Kan tidak.
Terlebih kembarannya—Nasha pun tidak pernah disinggung soal pernikahan padahal sudah menjalin asmara begitu lama dengan pacarnya itu. Natha terkadang merasa iri pada Nasha karena, bukankah seharusnya gadis itu yang harus diburu-buru untuk segera menikah?
“Yaudah sih, Nath, terima aja. Siapa tau yang dijodohin sama lo anak tunggal kaya raya.” Deon menaikan bahunya acuh, tersenyum kala salah satu wanita malam mengelus pipinya begitu mendayu. “At least, lo gak usah repot-repot nyari orang buat nikah sama lo nantinya.”
“Lo tau tipe gua kayak apa kan, De?” Tanya Natha. Hembusan nafas beratnya terlepas, gelas yang berada ditangannya ia pindah tempatnya ke atas meja. “I mean, bitch, I'm still young and the arranged marriage is not my style. It's too old, dude.”
“Lo bisa bilang itu karena lo belum ngeliat orangnya.” Gantian Ellio yang menyahut. Lelaki itu meraih sisa risol yang masih—oke, membawa risol ke dalam club emang sudah kewajiban Ellio karena ia berdagang risol—tersisa satu buah di atas meja. “Fifty-fifty. Pilihannya cuman dua, you'll get a hot daddy or an old man with his old money.”
“Natha pasti berharap opsi yang pertama sih. But gak menutup kemungkinan antara hot mommy atau gadis polos yang nurut banget sama ortunya. We don't know the gender, right?” Deon tergelak, suara kekehannya terdengar begitu menjengkelkan di telinga Natha. “Tapi udah lah, gak usah terlalu dipikirin. Liat dulu bentukannya kayak apa nanti, sekarang mending kita party.”
Bungkus rokok diraih, satu batang gulungan nikotin itu keluar dari dalam box dan langsung terselip dibelahan bibir Natha. Salah satu wanita yang berada disisinya dengan cepat meraih pematik lalu menyalakannya, asap kecil kemudian membumbung bercampur dengan udara di dalam club. Sudut bibir Natha tertarik sekilas, “Thanks, Ivy.”
“Mau minum lagi, bos?” Tawar wanita bernama Ivy itu seraya mengisi ulang gelas Natha hingga penuh.
Natha mengangguk tipis, ia biarkan Ivy bergelayut manja dilengan kanannya sebagai ucapan terima kasih. Ujung rokok diketuk pada pinggiran asbak, mata Natha kembali menatap kedua sahabatnya itu secara bergantian. “Turun gak?”
Deon serta Ellio kompak mengalihkan pandangannya. “Mau sekarang?” Tanya Deon.
“Gua pusing banget, goyang tipis-tipis kayaknya bisa ngilangin stress gua.” Sahut Natha sambil terkekeh. “Lo turun gak, El?”
“Gua tunggu di sini aja deh. Lagi males.” Ellio membuang nafasnya gusar. Kepalanya menoleh menatap sekeliling dnegan hati-hati, ia condongkan tubuhnya lebih dekat ke arah meja seraya menatap Deon dan Natha secara bergantian. “Pstt.. di sini boleh nitip jualan risol gak sih?”
“ELLLL!!!”
Natha dan Deon menyahut kompak, kelopak mata mereka melebar, tatapan tak percaya melayang pada lelaki yang kini menggaruk tengkuknya kikuk itu.
“Ya kan cuman nanya.” Ellio terkekeh.
“Aduh udah deh gua gak ngerti banget sama jalan pikiran lo.” Natha membuang nafasnya berat. “Bisa-bisanya mau nitip risol ke club.”
“Ya siapa tau gitu. Eh Nath, kalo bisa lo request ke bonyok lo buat nyari calon yang punya club, biar gua bisa nitip dagangan.” Kedua alis Ellio naik sebanyak beberapa kali.
Natha mendengus, ia menoleh ke arah Deon. “Turun sekarang De, gua bisa gila lama-lama.”
Bersamaan dengan itu, intro musik yang diawali dengan suara terompet menggema. Natha bersorak, ia bangkit dari posisi duduknya lalu membuang rokok yang baru ia hisap beberapa kali itu sebelum meraih satu botol whiskey yang berada di atas meja. Sebelah tangannya langsung di tarik oleh Deon agar segera bergabung dengan muda-mudi lainnya di lantai dansa.
Melihat kedua temannya mulai bergoyang, Ellio terdiam sejenak sebelum akhirnya ia berteriak, berlari menuju Natha serta Deon dan bergabung bersama mereka berdua. Meninggalkan para wanita malam yang sempat Deon book dengan harga mahal untuk menemani mereka.
Persetan dengan wanita, lagi pula ketiganya pun tidak tertarik dengan wanita.
Worth it dari Fifty Harmony dengan remix dari seorang DJ di atas panggung mengantar Natha menuju titik kesenangannya. Ia bergoyang, meloncat-loncat, meliukan tubuhnya seirama dengan musik, dengan tangannya yang masih setia memegang botol whiskey.
“FUCK MARRIAGE!! I RATHER TO BE ALONE 'TILL I DIE!!” Teriak Natha, ia mendekatkan ujung botol pada bibirnya, meneguk cairan berwarna keemasan dengan kadar alkohol tinggi itu.
Natha semakin menggerakan tubuhnya tidak terkontrol, tangannya yang memegang botol ia angkat tinggi-tinggi, membuat perut ratanya semakin terekspos karena ia hanya menggunakan croptop. Tawanya lepas, tidak ingin memikirkan tentang perjodohan konyol yang kedua orangtuanya rencanakan itu.
Pinggulnya bergoyang seirama dengan bahunya yang kini saling senggol-menyenggol dengan Ellio. Wajahnya semakin merah, rambutnya yang tadi tertata rapih kini terlihat berantakan. Tawa Natha menguat begitu lepas, kesadarannya mulai terambil alih oleh banyaknya alkohol yang masuk ke dalam tubuh.
Botol yang tadi masih terisi penuh itu kini hanya menyisakan sedikit cairan di dalamnya. Natha mencapai titik tertinggi kesenangannya, ia sempoyongan, bunyi hik sesekali keluar dari mulutnya.
Namun seperti menaiki sebuah rollercoaster, kesenangannya tidak bertahan lama. Ponsel di saku jeans bergetar, Natha seketika menghentikan pergerakannya dengan alis mengeryit. Ponselnya ia raih, sedikit memicingkan matanya guna melihat siapa yang berani-beraninya menganggu kesenangannya saat ini.
“Shit.” Natha mengumpat kembali begitu ia dapati nama Nasha tetera di sana. Tombol merah ia tekan, lalu kembali memasukan ponselnya ke dalam kantung.
Diujung sana, Nasha tidak menyerah untuk menghubungi kembarannya. Gadis itu sebenarnya tidak peduli dengan apa yang dilakukan Natha sekarang, tapi Nasha sudah cukup muak mendengar Ibunya berulang kali menanyakan keberadaan Natha ketika terbangun dari tidurnya.
Kesabaran Natha memang tipis, terlebih ia dalam pengaruh alkohol sekarang. Jadi begitu ponselnya berdering untuk kesekian kalinya, Natha kembali mengumpat marah, ia mundur beberapa langkah, kemudian dengan cepat meraih ponselnya.
“Apa sih, njing! Gua lagi di club.” Ucap Natha setengah berteriak.
“Pulang, bangsat! Bunda nanyain lo terus, gua muak ditanyain mulu. Balik sekarang!” Nasha menyahut dengan intonasi suara tak kalah tinggi. “Balik sekarang atau lo gua seret pulang!”
“Ck, bacot ah.” Natha meraih sebuah tiang ketika ia hampir saja limbung. “Gua balik sekarang.”
Ponsel dimasukan kembali, kelopak mata Natha mengerjap cepat guna meraih fokusnya. Ia menatap Deon serta Ellio yang masih sibuk bergoyang, tidak sadar jika Natha sudah mundur dari lingkaran kesenangan itu.
Botol whiskey yang sudah kosong itu Natha taruh disembarang meja. Kepalanya menggeleng, ia menepuk-nepuk pipinya sendiri agar tetap dalam kesadarannya, berjalan sempoyongan menuju arah pintu keluar.
Natha membutuhkan waktu hampir lima belas menit lamanya untuk sampai di area parkir basement. Kelopak matanya mengedip semakin lambat, tangannya bertumpu pada tembok selagi kakinya melangkah. Begitu linglung mencari keberadaan mobilnya sendiri, ia kembali berdecak jengkel, meraih remote key yang berada di kantung belakang lalu menekannya sekali.
Kekehannya mengalun ketika menyadari jika civic hitam kesayangannya hanya berjarak beberapa mobil dari tempatnya berdiri. Natha kembali melangkah, lebih sempoyongan dari sebelumnya karena kesadarannya yang semakin menipis.
Akibat itu juga, Natha justru tidak berjalan menuju ke arah mobilnya. Ia malah berjalan ke arah mobil yang posisinya bersebelahan dengan mobilnya itu. Pintu dibuka, ia masuk ke dalam mobil dibagian kursi penumpang, tidak sadar sama sekali jika ada seorang lelaki di kursi pengemudi yang menatap tajam ke arah dirinya.
Posisi duduknya Natha benarkan, kelopak matanya yang sayu mengerjap cepat. “Loh stirnya kok gak ada? BANGSAT KOK MOBIL GUA GAK ADA STIRNYA!!!” Kata Natha panik.
“Stupid.”
Sahutan itu seketika membuat Natha menoleh, matanya melotot. “Shit! Who the fuck are you? Get out of my car!”
“Your car?” Lelaki itu menaikan sebelah alisnya. “This is my car, slut. You get the wrong car.”
“Oh?” Natha membeo, ia menatap dashboard dengan linglung. “This is not my car?”
Lelaki itu—Harvey, berdecak mendengar celotehan Natha. Posisi duduknya ia miringkan, satu tangannya ia taruh di atas stir, mata tajamnya memperhatikan Natha yang begitu linglung karena pengaruh alkohol.
Harvey mendengus geli, kepalanya menggeleng kecil karena tidak menyangka jika pertemuan pertama mereka harus terjadi di basement parkiran club, karena seharusnya mereka akan bertemu pada makan malam keluarga nanti.
“Natha Dimitri, right?” Harvey menyeringai begitu Natha kembali menoleh dan menatap dirinya dengan alis mengernyit.
“You know my name?” Tanya Natha, ia condongkan tubuhnya ke arah Harvey guna menatap wajah lelaki itu lebih dekat. “Did we know each other?”
Harvey mengangguk. “Yeah, but actually we should meet at the dinner.”
“The dinner? What's dinner?” Tanya Natha lagi, sebelah tangannya terangkat, menyentuh wajah Harvey. “Dude, you have so fuckin' handsome face—can I sit on it?”
“Ah,” Tawa Harvey mengalun, ia gulung terlebih dahulu lengan kemejanya hingga sebatas siku. Setelahnya ia kembali menatap wajah Natha, tidak menyangka jika Natha akan begitu frontalnya pada pertemuan pertama mereka. “For now, you can't. But you can sit on my face after we married.”
“Who's gonna married?” Bola mata Natha bergulir, menatap pahatan wajah Harvey lalu berhenti tepat pada bibir. Sama sekali tidak fokus dengan ucapannya maupun ucapan Harvey. “Your lips are so plump.” Bisiknya lirih seraya mengelus permukaan bibir Harvey. “I wanna try it too.”
Harvey tahu, meladeni seseorang yang sedang diselimuti pengaruh alkohol hanya membuang-buang waktunya. Tapi yang berada di hadapannya kali ini Natha, Natha Dimitri, sosok yang dipilih orangtuanya untuk menjadi pendamping hidupnya kelak.
Well, Harvey merasa sedikit tak enak hati pada sang Ibu karana sejujurnya, ia pun sempat menolak perjodohan ini. Namun ketika ditunjukan bagaimana rupa sosok calon pendamping hidupnya, tidak ada kata 'tidak' dalam kamus hidup Harvey saat itu.
“My mom has a good taste.” Bisik Harvey lirih, menatap wajah Natha yang begitu cantik walaupun dia seorang lelaki. “Natha.”
“Ya?” Nada suara Natha berubah seperti kanak-kanak, senyumnya merekah lebar, kemudian tertawa kecil. “You know—hey, what's your name?”
“Harvey. Harvey Tanjung.”
“Yeah, Harvey.” Natha menjauhkan tangannya dari wajah Harvey, kelopak matanya terpejam ketika menyandarkan punggungnya kembali pada punggung jok. “Lo mau tau gak—hik, lo mau tau gak orang paling kolot di dunia ini siapa?”
“Hm? Siapa?” Harvey menyeringai, begitu siap meladeni ocehan mabuk Natha.
Hembusan nafas berat terhela. Natha kemudian menoleh ke arah Harvey, lalu dengan tiba-tiba menarik kerah kemeja hitam lelaki itu sehingga wajah mereka hanya berjarak kurang dari lima belas senti. “My parents.”
“Why?”
“Mereka mau ngejodohin gua, damn it! You should know how frustated I am right now, Harvey! I'm gonna married with—I dont know who the fuck that person is!” Natha melepas kerah kemeja Harvey dengan sedikit tekanan. Ia tiba-tiba merasa begitu kesal. “The world must be kidding me.”
Harvey terdiam selama beberapa saat sebelum sebelah tangannya terulur, meraih wajah Natha agar menatap kembali padanya. “Hey, Natha.”
“Hm?”
“You said you wanna sit on my face and kiss my lips, right?” Sorot Harvey menatap wajah Natha begitu intens. “So, terima perjodohannya.”
“Tapi gua gak mau, anjing!” Natha merengut, ekspresi wajahnya berubah masam. “I'm still young, Harvey. I dont—hik have enough time for that shit.”
Harvey menjepit dagu Natha dengan kedua jarinya, ia bawa lebih dekat lagi paras cantik itu. “You should, Natha.” bisiknya menuntut.
“What if I didn't?” Tanya Natha, ia menggeser posisi duduknya hingga ke pinggir agar bisa mengalungkan kedua tangannya di leher Harvey. “If it's you, well, mungkin gua masih bisa pertimbangkan.”
Harvey mendengus geli, astaga, ia tidak menyangka jika meladeni Natha akan sebegini menyenangkannya. “You really a stupid slut, Nath.”
Bukannya marah, mendengar perkataan Harvey barusan malah membuat Natha tertawa. Sebelah alisnya terangkat, menatap Harvey dengan wajah yang ia buat begitu polos. “That's I am, dude. Thank you so much for praising me.”
Mereka berdua terdiam setelahnya, saling menatap wajah satu sama lain dengan jarak dekat. Natha mengigit bibir bawahnya, matanya mengerling, semburat kemerahan pada pipinya menambah kadar keindahan pada parasnya yang begitu cantik. Kesadarannya hanya tersisa beberapa persen lagi, ia terlena akan sorot tajam yang diberikan oleh Harvey. Terlebih aura lelaki itu yang begitu dominan, seakan mencekik Natha agar tunduk dengan apapun perintah yang keluar dari mulut Harvey.
Harvey kembali menyeringai, ibu jarinya yang masih mengapit dagu Natha ia turunkan, dan secara refleks bibir Natha turut terbuka. Ia bisa mencium aroma alkohol yang begitu kuat, bercampur dengan aroma manis dari tubuh Natha yang seperti perpaduan antara anggur dan kayu aras. Kuat, namun lembut secara bersamaan.
Ini mungkin akan terlihat begitu gila untuk dua orang yang baru saja bertemu pertama kalinya beberapa menit lalu tapi—
Harvey dengan cepat menarik tengkuk Natha, mencium bibir yang sukses membuat ia tidak bisa menahan dirinya sendiri. Persetan dengan segalanya, Harvey hanya ingin merasakan bagaimana nikmatnya bibir itu sejak sang Ibu pertama kali menunjukan foto Natha.
Sedangkan Natha? Tentu saja tidak menolak. Ia malah mengeratkan kalungannya pada leher Harvey, tak peduli jika yang ia cium ini adalah orang asing yang baru saja akan menorehkan cerita bersama dengannya nanti. Beruntungnya Harvey karena Natha kini dalam pengaruh alkohol, jadi ia tidak terkena makian serta omelan Natha yang begitu memekakkan telinga.
Tubuh Natha semakin merangsak maju, Harvey dengan cepat meraih pinggulnya, menarik Natha agar berpindah posisi menjadi duduk di atas pangkuannya. Membuat mereka semakin larut memperdalam ciuman. Lidah saling membelit, gigitan dibalas gigitan, saliva mereka bercampur satu sama lain.
Setengah dua pagi, diparkiran basement, dua orang anak adam saling mencumbu satu sama lain dalam sebuah mobil hitam yang atmosfernya kini kian memanas.
Natha gunakan satu tangannya untuk meremat rambut Harvey ketika lelaki itu mengulum bibir bawahnya kuat, satunya lagi bergeriliya mengelus permukaan dada bidang Harvey hingga bergerak semakin turun.
Kedua tangan Harvey tersampir di pinggang Natha, mengelus permukaan kulitnya yang lembut. Tubuh Natha terasa begitu pas dalam rengkuhannya, ia menyeringai dalam ciuman. Juna dan Eric benar, Harvey akan mendapat jackpot jika Ibunya lah yang memilih sendiri bakal calon menantunya itu.
Pergerakan tangan Natha semakin nakal, mengelus permukaan otot perut Harvey yang begitu terasa ditelapak tangannya. Ia bergerak semakin bawah, menyeringai ketika menyentuh area paling terlarang untuk disentuh oleh orang asing yang baru pertama kali bertemu.
“Dude,” Natha menjauhkan bibirnya, membuat untaian saliva memanjang dari bibirnya dan bibir Harvey. Tangannya mengelus kembali gundukan yang berada tepat di depan tempatnya duduk itu. “You really have a big dick. That's awesome! I wanna ride it.”
Harvey tertawa, ia menarik pinggul Natha agar tubuh mereka lebih menempel. “Natha.”
“Ya?”
“Natha Tanjung. Sounds better.”
Alis Natha seketika bertaut, matanya yang sayu berusaha meraih fokus. “Tanjung? Who's Tanjung?”
“Me.” Harvey berbisik tepat di depan bibir Natha. “I'm the Tanjung, Natha. The one and only person who will put a ring on your finger. Soon, you'll scream that name when you begging me to get harder.”
“Oh wow!” Natha terpekik lucu, ia bertepuk tangan seperti seorang kanak-kanak yang mendapatkan pujian dari sang Ibu. “Really? When? Right now?”
“I said soon, baby bitch. Not now.” Harvey berdecih sebelum mengecup belahan bibir yang terlihat membengkak akibat ulahnya itu. Satu tangan Harvey bergerak menyelipkan rambut Natha pada belakang telinganya. “You're so fuckin pretty, Dimitri. A son of Aprodhite.”
Natha tersenyum, menatap wajah Harvey selama beberapa saat sebelum ia menyandarkan kepalanya pada pundak lelaki itu. “Harvey.”
“Yes, doll.” Sahut Harvey dengan suaranya yang dalam. “You need something?”
“Gua ngantuk.” Kelopak mata Natha bergerak semakin lambat, pandangannya memburam. “May I sleep in your arms? The world so cruel to me, Harvey, and I need someone to cheer me up. Gua gak mau dijodohin, gua gak mau nikah, tapi orangtua gua maksa gua buat nikah. Fuck, kenapa mereka gak maksa Nasha aja sih? Kenapa harus gua? Harvey, please help me.”
Rengekan Natha yang begitu hiperbolis membuat Harvey mendengus geli, ia mengelus punggung Natha dengan satu tangannya. Natha meminta bantuan dirinya agar tidak dijodohkan? Tentu saja Harvey tidak akan bisa membantunya.
“Tapi kalo nikahnya sama lo, gua mau.” Natha terkekeh, suara hik keluar kembali dari mulutnya. “I mean yeah, you're really the type of a hot dominant I've been searching for. How old are you?”
“Twenty-nine.”
“Wow, still young.” Natha menganggukan kepalanya tipis. “Did you have a girlfriend? Or wife? Or a child?”
“I dont have one.” Harvey dekatkan bibirnya pada telinga Natha. “But I have you, Natha.”
“That's great.” Natha terkekeh kembali, tapi nada suaranya begitu lirih.
Perlahan, Natha hanyut dalam buaian yang Harvey berikan. Kelopak matanya terpejam, ia tersenyum tipis sebelum akhirnya benar-benar kehilangan kesadarannya.
Begitu matahari sudah berada di atas kepala, Natha baru terbangun dari tidurnya. Kepalanya pening luar biasa, kelopak matanya terbuka secara perlahan guna membiaskan cahaya yang masuk ke dalam retina. Mengernyit bingung ketika mendapati Nasha sudah berdiri di ujung kasur, gadis itu melipat tangannya di depan dada, menatap Natha penuh sangsi.
“Good job, Natha. Seharusnya Bunda gak usah repot-repot ngebujuk lo buat nerima perjodohan.”
“Hah?” Natha membeo, ia menatap bingung ke arah sekeliling. Seingatnya, ia berada di parkiran basement sebelum kesadarannya terenggut, lalu kenapa tiba-tiba ia sudah berada di kamarnya sendiri?
“Bingung ya kenapa bisa di rumah?” Nada suara Nasha terdengar begitu sinis. “Calon suami lo yang bawa lo ke rumah.”
“Calon suami? Gila ya lo! Calon suami dari mana coba.” Natha memegang kepalanya yang tiba-tiba berdenyut. “Gua tetep gak akan terima perjodohan itu ya, Sha. Terserah mau Ayah Bunda maksa gua kayak gimana, gua gak akan terima!”
Nasha berdecak, ia dengan cepat berjalan menuju sisi Natha, lalu menoyor kepala kembarannya itu. “Tolol! Gak mungkin lo bisa nolak karena Bunda udah liat sendiri lo dianter pulang sama Harvey!”
“Harvey? Siapa Harvey?” Tanya Natha bingung. Ia tak mengingat apapun setelah ia tiba di parkiran basement pagi buta tadi. Seingatnya ia hanya jatuh tertidur, di dalam rengkuhan yang entah siapa itu.
“Harvey Tanjung. Calon suami lo.”
Harvey Tanjung....
Natha seketika merasa tak asing dengan nama itu, pusing dikepalanya semakin menjadi ketika berusaha mengingat hal bodoh apa yang ia lakukan setelah tiba di basement. Yang ia ingat hanya dia berjalan masuk ke dalam mobil, ada sosok lelaki disebelahnya, lalu mereka berciuman. Natha benar-benar tak bisa mengingat rupa dengan siapa ia bercumbu semalam.
“Who the fuck Harvey Tanjung is?” Bisik Natha frustasi.
Natha membuang nafasnya berat untuk kesekian kalinya, pelipisnya mendadak pening, ia tatap kembali punggung Harvey yang masih berdiam diri sejak mereka menginjakan kaki ke halaman belakang, setelah acara makan malam keluarga mereka.
“Fuck,” Umpat Natha pelan, hampir seperti bisikan. “Aneh banget dunia.”
Harvey diam-diam mendengus geli, ia bisa mendengar jelas umpatan Natha barusan karena keadaan yang benar-benar sepi. Perlahan, ia membalikan tubuhnya. Kedua tangannya masuk ke dalam kantung celana kainnya, dengan lengan kemeja yang digulung sampai siku. Mata tajamnya menatap Natha yang kini menundukan kepalanya itu.
“So, gimana Natha Dimitri?” Tanyanya dengan nada tenang. Suara maskulinnya menyentuh gendang telingan Natha, membuat sang empu mengangkat wajahnya. “Iya atau engga?”
“Fuck you!” Umpat Natha jengkel, kepalanya mendongkak, menatap Harvey dengan tatapan kesal. “Jangan karena kita ciuman tadi malem gua bakalan terima perjodohan ini. Gak! Sampe kapan pun gua gak akan terima!”
Harvey menaikan sebelah alisnya, lalu tertawa. Kakinya maju dua langkah mendekat ke arah Natha. “You said you wanna sit on my face and ride my dick. So, can you just say yes, baby doll? And I'll give you what you want.”
“Gua mabok!” Natha menyahut galak. “Cuman orang tolol yang nganggep omongan orang mabok itu serius! Dan lo orang tololnya!”
Lagi-lagi Harvey tertawa. “Natha, Natha, bukannya omongan orang mabok itu omongan paling jujur?”
Natha dibuat terdiam seketika.
Harvey yang melihat Natha terdiam itu kembali mengambil beberapa langkah maju. Membuat Natha seketika menegakkan tubuhnya dan langsung memundurkan posisi duduknya.
Ah, Harvey kini berpikir betapa berbedanya Natha ketika dalam pengaruh alkohol dan dalam keadaan sepenuhnya sadar. Seperti dua kepribadian yang berbeda. Natha yang mabuk begitu lucu, polos, dan penurut. Sangat berbeda dengan Natha yang berada dihadapannya sekarang, begitu keras kepala, denial, dan sibuk mengumpati Harvey sedari tadi.
“Your eyes can't lie to me, baby.” Bisik Harvey penuh penekanan, menatap tajam Natha yang mendadak terlihat seperti kelinci percobaan yang ketakutan namun masih mencoba telihat galak. Satu tangannya terulur, dua jarinya mengapit kuat dagu Natha agar lelaki cantik itu tetap mendongak ke arahnya. “I want a needy sub riding my thigh, seeing how pathetic he looks while moaning my name and telling me to fuck him. And I just want you to do that.”
“But I'm not.” Natha masih berusaha menolak. Mengabaikan tatapan Harvey yang seakan-akan sedang mengulitinya itu, Natha melepas cengkraman Harvey pada dagunya. “I dont want this, Harvey. We're in millenials era and that shit is just too old, and the most important thing is, I dont like you, asshole!”
“Oh really? Maybe you should say that without looking like you want me nine-inches deep inside of you.” Harvey mendengus remeh, ia merundukkan tubuhnya hingga Natha dengan refleks terpojok, kedua tangan Natha langsung menopang tubuh. “But that's okay, gua bisa bikin lo suka sama gua.”
“Mau lo apa sih, Vey?” Tanya Natha, tak habis pikir dengan Harvey yang benar-benar menuntut, tidak terbantahkan. “Sekali gua bilang gak akan nerima perjodohan ini, ya eng—akh!”
Ucapan Natha terhenti ketika Harvey dengan cepat mencengkram lehernya, ia menatap lelaki yang berada dihadapannya dengan sorot nyalang. Kedua tangannya berusaha melepas cengkraman Harvey, namun terlihat sia-sia karena semakin ia berusaha, semakin erat juga tangan itu mencengkramnya.
“Lo harus tau kalo gua gak suka sama pembangkang, Natha.” Desis Harvey, ia semakin merunduk, sebelah lututnya bertumpu pada bagian ujung gazebo diantara kaki Natha yang terbuka. “And I know you're just being a brat just because you want to be choked.”
Natha terdiam kembali, ia menatap wajah Harvey yang berada tepat di depan wajahnya. Tak lama, Natha mendengus, lalu salah satu sudut bibirnya tertarik.
Sial, Harvey begitu cepat menemukan topeng aslinya.
Kerah kemeja ditarik, suara debuman pada papan kayu gazebo terdengar cukup kencang ketika Natha membalik posisi tubuh mereka berdua. Harvey kini terlentang di atas gazebo, sedangkan Natha menduduki lelaki itu tepat di atas perutnya. Tawa remeh Harvey mengalun, tidak menyangka dengan pergerakan Natha yang begitu tiba-tiba.
Cengkramannya mengerat kembali, membuat Natha terlihat benar-benar tercekik, wajahnya memerah dengan nafas yang menderu. Tapi Natha tak peduli, ia justru malah menyeringai kembali. Merasa senang dengan perlakuan yang Harvey berikan.
“Yeah, Harvey. I'm the sub who talks shit until your dick slams me so hard.” Bisik Natha, sebelah tangannya terulur guna mencengkram leher Harvey sama dengan apa yang lelaki itu lakukan. “But I'm not lying if you're really an asshole.”
“Thanks, pretty. I'll take it as a honour.”