sweettynsaltt

Ting ... Ting ... Ting ...

Asa seketika menegakkan posisi duduknya begitu mendengar suara ketukan mangkuk yang menjadi ciri khas pedagang bakso itu. Ia bangkit dari atas kasur, berjalan cepat menuju ke arah jendela dan menyibak gordennya guna memastikan jika tebakannya benar.

“Kan bener tukang bakso,” Asa tersenyum cerah, ia buka lebih lebar lagi jendela kamarnya yang langsung menghadap ke jalanan di depan rumahnya. “MASSSS BAKSOOO!!!”

Atap gerobak berwarna coklat itu berhenti tepat di depan rumah Asa, ia langsung bergegas keluar dari kamar dan berlari ke arah dapur untuk mengambil mangkuk. Pergerakannya cepat sekali, mungkin salah satu efek dari perutnya yang sudah sedari tadi minta diisi. Tahu-tahu pagar rumah sudah tergeser hingga gesekan roda-rodanya terdengar begitu nyaring, senyumnya merekah kembali, mangkuknya ia taruh dengan sedikit bantingan hingga menimbulkan bunyi tuk pada papan panjang di sisi gerobak.

“Mas, bakso. Jangan pake sayuran, banyakin bawang gorengnya ya!”

“Mau bakso urat atau telor?”

Asa seketika tertegun dan sontak menatap wajah penjual bakso yang kini sibuk menaruh bumbu-bumbu pada mangkuknya. Satu langkah mundur ia ambil, bola matanya bergerak dari bawah sampai atas memperhatikan si penjual dengan kelopak matanya yang mengerjap lambat.

“Mau bakso urat atau bakso telor, Dek?” Ulang si penjual, wajahnya kini menatap Asa yang tiba-tiba kehilangan suaranya. “Dek?”

“A..anu telor aja Mas,” Asa terkekeh kikuk, memperhatikan si penjual yang kini ganti mengambil bakso-bakso yang berada di dalam dandang. “Ada tetelannya gak Mas? kalo ada mau juga.”

“Hmm, ada.”

'Sialan ini tukang bakso kenapa cakep gini buset dah.' Batin Asa di dalam hati, ia perhatikan kembali wajah si penjual dengan seksama. Rahangnya tegas, sorot matanya tajam, kulitnya bersih, tanpa kumis, dan tidak adanya kain lap keringat yang menggantung di leher, benar-benar berbeda dengan Mas Yanto penjual bakso yang biasanya lewat di depan rumahnya itu.

“Mas, baru pertama kali lewat sini ya?” Tanya Asa basa-basi.

“Iya.”

“Oh pantesan baru keliatan, soalnya yang biasa lewat sini Mas Yanto. Eh, Mas kenal juga gak sama Mas Yanto?” Tanya Asa lagi, ia memang agak sedikit cerewet. “Siapa tau sepangkalan bareng hehehe.”

“Engga.”

Kepala Asa mengangguk tipis. Agak sedikit tengsin juga ketika mendengar jawaban dari si penjual yang terkesan jutek itu. “Oh dikirain tau.” Sahutnya dengan nada yang lebih pelan.

Dua bakso terakhir masuk ke dalam mangkuk, dandang ditutup kembali, si penjual menoleh ke arah Asa lagi. “Mau pake sambel sama saos apa gimana, Dek?”

“Gak usah Mas, bening aja. Saya lebih suka bening soalnya hehehe.” Asa terkekeh kembali, ia mengambil uang yang berada di kantong celana pendeknya. “Jadi berapa, Mas?”

“Lima belas ribu.”

“Hah?” Asa membeo, sedikit kaget mendengar nominal harga yang dipatok, membuat si penjual langsung memperhatikannya dengan alis mengkerut. “Eh maaf, maaf, Mas. Soalnya saya biasa beli sepuluh ribu.”

Asa rogoh kembali kantung celananya, mengambil uang pecahan dua ribuan dengan seribuan sebelum menyerahkannya kepada si penjual. “Ini Mas, lima belas ribu pas. Makasih ya, Mas.”

Uang dan mangkuk berpindah posisi, senyum tipis namun singkat dari si penjual bisa Asa tangap jelas dengan matanya.

“Makasih banyak juga ya, Dek.”

Setelah itu Asa buru-buru masuk ke dalam rumah guna menaruh terlebih dahulu mangkuknya yang terasa panas di atas meja teras. Kakinya berjinjit, menatap kembali si penjual bakso dari balik pagar rumahnya lalu memperhatikan sekeliling.

“Gak ada kamera, berarti beneran tukang bakso dia.” Gumamnya pelan. “Tapi masa secakep itu sih? Apa jangan-jangan dia anak orang kaya yang lagi dibohongin bapaknya buat ngu-Eh!”

Asa buru-buru menundukan tubuhnya begitu si penjual bakso melihat ke arahnya, dengan tergesa meraih kembali mangkuknya lalu masuk ke dalam rumah. Pintu ditutup dengan sedikit bantingan, ia mengintip kembali dari jendela hingga gerobak coklat itu perlahan pergi dari depan rumahnya. Tubuhnya berbalik, kepalanya menunduk menatap bakso yang berada di dalam mangkuk. Asa ambil satu tarikan nafas panjang lalu sebelah tangannya menyentuh dada sebelah kiri.

“Anjir kok gua deg-degkan gini sih!”

Ini agak explicit jadi be wise aja yaa


Natha menunduk sekilas, tersenyum ramah pada beberapa pegawai yang berpapasan dengannya. Satu tangannya membawa sebuah paperbag yang berisi salad buah sebagai sebuah cemilan yang sempat ia tawarkan pada Harvey tadi.

Kakinya melangkah menyusuri koridor lantai lima di mana ruangan Harvey berada. Ekspresi wajahnya berubah antusias ketika mendapati sekertaris Harvey sudah melambaikan tangannya seraya menyunggingkan senyum lebar.

“Mas Natha!!”

Sabrina, sekertaris Harvey dengan kemeja berwarna peach itu langsung berlari kecil ke arah Natha hingga suara heels stilettonya menggema di lorong, lalu memberikan satu pelukan pada Natha dengan cengiran lebarnya.

“Mas Natha apa kabar? Tumben ke sini, disuruh Pak Harvey ya? Malvin mana, Mas? Kok gak di ajak?” Tanya Sabrina.

Natha menyentil dahi gadis itu pelan. “Kalo nanya satu-satu, jangan keroyokan.”

“Hehehe,” Sabrina terkekeh kikuk, “Maaf Mas soalnya lama gak ngeliat Mas Natha, jadi bawaannya excited sendiri.”

“Kabar gua baik, emang sengaja mau ke sini, liat-liat yang seger. Anak intern ada yang dari luar ya gua denger-denger?” Ucapan Natha memelan di akhir kalimat, hampir berbisik. “Di ruangan mana mereka? Apa beda gedung?”

Sabrina seketika berdecak, “Mas, saya aduin Pak Harvey kayaknya enak nih.”

“Yaelah, lo palingan demen juga kan kalo ngeliat yang bening-bening.” Natha bersungut sebal. “Btw, tumben muka lo cerah banget, dapet bonus ya?”

“Hehehe iya, Mas. Lemburan kemaren baru dikasih bonusnya sama Bapak.” Sabrina terkekeh kembali. Ia kemudian melirik ke arah paperbag yang dibawa Natha. “Bawa apa tuh, Mas?”

Natha tersenyum tipis. “Salad buah, lo mau?”

“Eh, engga, Mas. Nanya aja saya, soalnya kepo tumbenan banget ke sini bawa tentengan.” Sahut Sabrina sambil menggeleng seraya terkekeh kembali. “Udah masuk sana, Mas. Pasti ditungguin sama Bapak banget.”

Natha mendengus geli, ia mengambil satu box salad buah dari dalam paperbag lalu memberikannya pada Sabrina. “Nih ambil, gua beli tiga takutnya gak abis juga. Dah ya, gua mau ketemu manusia ngeselin dulu.”

“Mas, butuh kaca gak?” Tanya Sabrina dengan wajah polosnya, lalu ia buru-buru menghindar ketika Natha akan menyentil dahinya kembali. “Bercanda, Mas. Udah masuk sana, biar saya yang jaga di depan pintu.”

Tawa Natha mengalun, ia kemudian menepuk pundak Sabrina sekilas sebelum berjalan mendekat ke depan sebuah pintu hitam dengan kusen yang berwarna silver gelap itu. Pintu diketuknya, kepalanya menyembul terlebih dahulu dari balik pintu sebelum masuk ke dalam ruangan.

Perpaduan aroma amber dengan sandalwood menyambutnya ketika Natha sudah berada di dalam ruangan milik suaminya itu, dengusannya kembali tercipta ketika saat ia mendapati Harvey menatap ke arahnya seraya tersenyum tipis. Natha berjalan mendekat, menaruh paperbagnya serta ponselnya di atas meja kerja Harvey sebelum berjalan mendekat ke sisi suaminya itu.

“Sibuk banget ya lo? Kusut banget mukanya.”

Harvey tertawa pelan, tangannya langsung terulur meraih pinggang Natha ketika suami cantiknya itu medekat. Wajahnya ia benamkan pada perut Natha seraya memeluk pinggangnya dengan kedua tangan. Helaan nafas beratnya terhembus di sana.

Natha menunduk, satu tangannya bergerak mengusap rambut tebal Harvey yang mulai memanjang. Membiarkan suaminya itu mengambil nafas sejenak setelah seharian dicekik oleh pekerjaannya. “Everythings alright, kan?”

“Don't worry.” Sahut Harvey singkat. Ia menjauhkan wajahnya jari perut Natha lalu mendongak agar bisa menatap rupa lelaki cantik di hadapannya itu. “Lo wangi banget, balik dulu ke toko buat mandi apa gimana?”

Natha langsung mengedus aroma tubuhnya sendiri. “Hah engga kok, abis dari studio langsung ke sini. Mampir doang tadi di toko buah buat beli salad.”

“But you always smell good, baby.”

“Buaya banget dih.” Natha menepuk dahi Harvey pelan, menatap ke arah suaminya selama beberapa saat sebelum tiba-tiba tertawa kecil. “Lo kalo lagi kayak gini mirip banget sama Malvin ya, manjanya sama.”

Tawa pelan Harvey mengalun kembali, ia melepas rengkuhannya pada pinggang Natha lalu bangkit dari posisi duduknya. Natha seketika mengambil satu langkah mundur begitu Harvey berdiri tepat di hadapannya, ia bersandar pada pinggiran meja dengan Harvey yang mulai bergerak mengukung tubuh Natha dengan kedua tangannya yang bertumpu di sisi meja.

“Kalo udah kayak gini, masih sama?” Tanya Harvey dengan sebelah alisnya yang terakhat.

“Wow, calm down, dude.” Natha terkekeh, ia taruh kedua telapak tanngannya di dada Harvey yang terlapisi kemeja abu-abu. “Pintu gak dikunci, jangan macem-macem.”

“Gak akan ada yang berani masuk kalo lo di sini, Nath. Sabrina udah tau jobdesk tambahannya kalo lo ada di sini.” Harvey mencuri satu ciuman dari bibir Natha. “I wanna see the black rose.”

Seringai jahil Natha tercipta, satu tangannya naik guna mengelus pipi Harvey dengan seduktif. “Tebak dulu dimana tempatnya.”

“Punggung?”

“No.”

Harvey memperhatikan Natha dari atas sampai bawah. “Hip?”

“No.”

“Chest?”

Natha menggeleng. “No.”

“Arms? Belly? Neck? Shoulder? Rib? Behind your ear?”

“Wrong.” Tawa Natha kembali menguar melihat ekspresi bingung yang ditunjukan oleh Harvey. “Guess it again!! C'mon!!”

“Front or back?”

“Depends on your pov,” Senyum jahil Natha mengembang kembali. “It's only you and me who can see it.”

Harvey menatap bola mata cantik yang berkilat jahil itu dengan intens, tapi tangannya bergerak menyusuri sisi tubuh Natha, dari rusuk, pinggang, pinggul, hingga menyentuh pahanya. Wajahnya Harvey majukan hingga bibirnya tepat berada di samping telinga Natha.

“Don't you dare to put it on your inner thigh, Natha.” Suara baritone Harvey berbisik pelan, membuat Natha seketika bergidik karena nafas Harvey tepat mengenai bagian bawah telinganya.

“Wanna see it?” Tantang Natha begitu jawaban yang diberikan oleh Harvey benar adanya. Tangannya bergerak meraih tangan Harvey lalu lebih mengarahkannya ke bagian paha dalam. “It's here.”

“Fuck, babe.” Harvey menjauhkan wajahnya, “May I open your legs right now?”

“Mau ngapain?”

“Tadi lo nawarin mau liat apa engga,” Harvey menyeringai tipis. “Gua mau liat. Sekarang. Secantik apa bunga mawar yang ada di tubuh lo.”

Gantian Natha yang mencuri satu ciuman dari bibir Harvey sebelum mendorong tubuh suaminya itu menjauh. Ia terkekeh geli, lalu meraih paperbag yang dibawanya tadi. “Lo gak mau makan salad buah dulu? Udah gua beli nih.”

“Nath.”

Natha menatap Harvey selama beberapa saat, sebelum akhirnya mendorong kembali paperbag yang sudah dipegangnya, kepalanya memberikan gestur agar Harvey mengunci pintu. “The door, please.”

Seringai di wajah Harvey tercipta kembali walaupun begitu tipis, ia kemudian berjalan ke arah pintu ruangannya dan menguncinya. Begitu berbalik, ia sudah dapati Natha duduk di atas meja kerjanya dengan menopang tubuhnya menggunakan kedua tangan. Dengusan geli Natha kembali keluar, Harvey berjalan mendekat kembali ke arah suami cantiknya itu seraya menggulung lengan kemejanya hingga sebatas siku.

“No sex. Only see it. Understands?” Peringat Natha ketika Harvey sudah berdiri di hadapannya kembali.

Senyum simpul Harvey merekah, ia mengulurkan satu tangannya untuk menarik wajah Natha mendekat lalu menciumnya tepat di bibir. Ia bergerak lamban, menyentuh dengan penuh kasih pada masing-masing belahan bibir Natha, mengecup dan melumatnya hati-hati bak sedang mencium porcelain rawan rapuh.

“Harvey,” Natha berbisik ditengah gencarnya bibir Harvey memberikan afeksi, menghentikan pergerakan sebelah tangan Harvey yang mulai menyelinap masuk ke dalam sweater coklat yang dipakainya. “No.”

“I know, sayang. I only love to touch you when I kiss you.” Harvey menjauhkan wajahnya seraya terkekeh pelan, menangkup sebelah wajah Natha dengan telapak tangannya. Melirik ke arah bawah sekilas sebelum kembali menatap manik mata bulat serupa biji leci itu. “May I?”

Natha mengangguk tipis. “Go ahead.”

Harvey mengambil setengah langkah mundur, ia lepas kancing jeans hitam yang dipakai Natha terlebih dahulu sebelum kedua tangannya berada di masing-masing sisi pinggang Natha. Satu kecupan Harvey berikan pada bibir suami cantiknya kembali sebelum menarik celananya turun hingga terlepas dari kaki Natha.

Telapak tangan Harvey yang hangat langsung menyentuh permukaan paha Natha yang sudah tidak terlapisi sehelai benang pun. Membelainya dengan perlahan. Senyumnya merekah ketika melihat Natha yang menahan rasa geli akibat ulahnya itu.

“So fuckin' pretty hot.” Puji Harvey ketika memperhatikan Natha dari ujung kaki hingga ujung kepala kembali. Ia kemudian menaruh kedua tangannya dibelakang lutut Natha, mengangkat kedua kakinya ke atas meja, lalu seringai di wajah cantik itu membuat ia bergerak menjauhkan kedua lutut Natha.

Sebuah mawar hitam dengan tiga helai daun nampak di matanya.

Harvey terdiam selama beberapa saat, menatap paha dalam Natha dengan seksama sebelum kepalanya menggeleng takjub. “You're the baddest bitch I ever seen, baby. My one and only.”

“How about another you've seen before?”

“Of course, far away below you.”

“I'll take it as an honor then,” Natha terkekeh pelan. “What do you think about my rose? Isn't it great?”

Tangan Harvey bergerak mengelus paha Natha hingga hampir menyentuh tattoo mawar hitam yang baru saja berada di sana itu. Matanya menatap begitu lekat, sebelum pandangannya terangat menatap ke arah Natha kembali. “Wonderful. I really love it.”

Natha tersenyum tipis. Benar-benar sesuai dengan dugaannya kalau Harvey pasti sangat menyukai tattoo barunya itu.

“May I kiss your rose?” Tanya Harvey tanpa basa basi.

Natha terdiam selama beberapa detik sebelum semakin melebarkan kedua kakinya. Bibir bawahnya ia gigit dengan sorot mata yang begitu seduktif menatap Harvey. “Yeah, that's your rose too. You don't need to ask.”

Telapak tangan Harvey kembali bergerak, membelai paha Natha dari ujung lutut hingga menyentuh pangkal. Ia kemudian bersimpuh, membuat wajahnya tepat berada di depan paha Natha yang terbuka. Dua kecupan pada ujung lutut si cantik Harvey berikan sebelum ia mendongak untuk menatap kembali ke arah setengah hidupnya itu.

“You know Natha, I never down my knees to anyone but you,” Bibir Harvey mendekat ke arah paha putih itu lalu mengecupnya sekilas. “I've lowered all my pride.”

“As you should.” Natha mengulurkan satu tangannya guna meraih helaian rambut tebal Harvey untuk digenggamnya.

Harvey mendengus geli, ia dekatkan kembali bibirnya pada ujung lutut Natha, memberikan kecupan-kecupan seringan kapas yang perlahan bergerak menuju paha dalam, membuat cengkraman Natha pada rambutnya mengerat guna menahan rasa geli. Sebelah tangannya mengelus permukaan kulit paha Natha yang satunya, sesekali memberikan rematan hingga suami cantiknya itu menahan nafas.

“Akh! Vey!” Natha terpekik dan refleks menutup pahanya ketika Harvey dengan sengaja mengigit kecil permukaan kulitnya, membuat kepala Harvey otomatis terjepit di antara kedua pahanya itu. “Jangan digigit!”

Ucapan Natha barusan justru Harvey balas dengan mencium tepat pada bagian sisi tattoo mawar hitam itu berulang kali, tangannya yang berada disebelah paha Natha bergerak meraih pinggang suami cantiknya itu dan menariknya semakin mendekat ke sisi meja. Kaki Natha terbuka semakin lebar, satu tangannya yang menopang tubuh hampir saja limbung dengan gerakan yang tiba-tiba Harvey lakukan itu, remasan jari-jarinya pada rambut tebal sang suami turut mengerat.

“Harvey, no, no, ahh,” Natha meringis ketika Harvey berikan satu tanda kepemilikan dengan warna merah pekat disamping tatto barunya itu. “Harvey!” Sentak Natha.

Harvey menjauhkan wajahnya dari sana seraya tertawa puas, menatap wajah Natha yang sudah memerah dengan alis yang menukik tajam tak terima dengan apa yang dilakukannya barusan. Ia bangkit dari posisi bersimpuhnya, menarik kedua kaki Natha untuk melingkar di sisi pinggang.

“I'm just marking what's mine.” Tutur Harvey pelan, ia dekatkan ujung hidungnya dengan ujung hidung Natha, menggeseknya selama beberapa detik. “Cantik, Nath. Cantik banget.”

Natha berdecak jengkel, menghindar ketika Harvey hendak ganti mencium bibirnya. “Gak, gua bete. Gausah cium gua, anjing.”

Tak habis akal, Harvey justru memberikan kecupan-kecupannya diseluruh permukaan wajah suami cantiknya itu. “Natha, Natha, Natha, Natha.”

“Harveyyyy!! Stoppp!!” Natha mendorong pundak Harvey agar suaminya itu berhenti menciumi wajahnya. “Gua-nya jangan diciumin terus!”

Belum sempat mengomel kembali, bola mata Natha langsung membulat kaget ketika dengan satu gerakan cepat Harvey mendorong tubuhnya hingga ia terlentang di atas meja, kedua tangannya berada di atas kepala dengan satu tangan Harvey yang mencengkram pergelangannya.

“How about this?” Tanya Harvey jahil. “Are you like it?”

“Lo diliat-liat emang makin gila ya,” Sahut Natha jengkel. Tidak habis pikir dengan tingkah Harvey yang terkadang menguji kesabarannya yang setipis kulit tahu itu. “Lepasin! Gua mau pake celana lagi, ruangan lo dingin banget kayak kutub utara!”

Sebelah alis Harvey terangkat, “Is that a signal to make it hot?”

“Shut the fuck up!”

Tawa Harvey mengalun kembali, ia kemudian merunduk, mendekatkan wajahnya dengan wajah Natha seraya menatap lurus ke dalam manik mata bulat itu. Terdiam selama beberapa saat sambil memandang wajah satu sama lain.

“The black rose, mysterious and striking.” Bisik Harvey lirih, “Why you're always obsessed with death, baby? After the flowers of death, now you had something that represent death again.”

“Black roses do not always represent death, Harvey. They are known to represent rebirth, optimism, and hope too. If my higanbana are symbolize death, final goodbyes, abandonment, and bad luck; I must have something to balance it so I chose the black rose.” Natha tersenyum sekilas, mengangkat wajahnya sedikit guna mencium bibir Harvey. “I saw you as a black rose, Tanjung. Lagian lo sendiri kan yang milih buat warnanya, yaa walaupun sebenernya gua juga tetep bakalan milih buat pake black kalo lo milih yang red, ternyata kita emang satu pilihan.”

“You always have something to amaze me, Natha,” Harvey melepas cengkramannya pada kedua pergelangan tangan Natha. “I really have no regrets for lowering my pride for you.”

“Glad to know that. So... Mau makan salad buahnya gak?”

Pertanyaan Natha membuat tawa Harvey mengalun kembali, ia menuntun Natha untuk bangkit dari posisinya dan memakaikan kembali jeans hitam yang tergeletak di lantai itu pada suami cantiknya. Satu ciuman panjang Harvey berikan tepat di kening Natha.

“I love you, and I always do.”

“Yeah I kn-”

Drttt Drttt

Keduanya sontak menoleh ke arah ponsel Natha yang menampilkan panggilan dari Mama Tanjung, dengan cepat Natha meraihnya, alisnya mengernyit ketika suara tangis malvin yang begitu lantang langsung keluar dari speaker ponselnya.

“Ma? Kenapa?”

'Natha, bisa jemput Mama gak? Mama kelepasan ngebentak Malvin, soalnya dia abis ngegigit tangan cucunya temen Mama sampe biru, tolong ke sini ya, Nath. Malvin gak mau tenang, mama ngerasa bersalah banget.'

“Natha ke sana sekarang juga, Ma. Mama kirimin alamatnya, oke?”

'Mama kirim sekarang juga, ditunggu ya, Nath.'

“Oke, Ma.”

Natha menjauhkan ponselnya dari telinga setelah sambungan telfon terputus, ia menatap ke arah Harvey yang terdiam dengan ekspresi cemas seraya menggelengkan kepalanya tak habis pikir, kedua tangannya juga ikut tersampir di pinggang.

“Gak Daddy, gak anaknya, emang hobi banget ngegigit orang!”

“Stirnya belokin!”

“Jangan terlalu dalem injek gas-nya, Dev!”

“TUHAN TOLONGGG!!!”

“Stirnya belokin ke kanan! Deva itu got di depan mata lo!”

“Jaga jarak! Jangan rem ngedadak!”

“TOLONG!! GUA GAK MAU MATI SEKARANG!”

“Awas!!”

Ckitttt! Bugh!!

“BISA DIEM GAK SIH?!”

Teriakan Deva barusan sukses membungkam mulut ketiga orang lainnya yang berada di dalam mobil. Dadanya naik turun dengan nafas yang menderu, alisnya menukik tajam, menatap bergantian ke arah Evan, Rayyan, serta Daffin.

Entah mengapa, sentakan Deva barusan langsung membuat ketiganya terdiam. Evan meringis, melirik ke arah Rayyan dan Daffin yang masih mematung di tempat. Awalnya hanya Evan yang menemani Deva untuk belajar mengendarai mobil, namun entah kebetulan atau apa Evan tak sengaja melihat Rayyan dan Daffin sedang mengantri membeli jajanan di pinggir jalan. Tanpa berpikir panjang, ketua HIMA itu langsung menarik tangan Rayyan serta Daffin agar turun serta duduk di kursi belakang mobil.

Setidaknya, Evan tidak akan melakukan senam jantung sendirian.

“Kalo kalian heboh terus gimana gua mau konsentrasi! Tenang kenapa sih! Kalo nyebur got juga yang nyebur kan mobilnya!” Omel Deva. Ia menatap sinis ke arah Evan yang baru saja akan membuka suara namun urung karena melihat ekspresi wajah Deva. “Gua ganti mobilnya kalo lecet!”

“Ay, gak gitu maksud-”

Brumm!!

“AAAA!!!”

Brukk!!

“Hehehe,” Deva terkekeh, cengirannya melebar ketika sukses membuat Evan terjembab ke depan, dan Rayyan serta Daffin menabrak jok belakang kursi bagian depan. “Santai oke? Santai, anggep aja lagi naik wahana di dufan.”

“GIMANA MAU SANTAI!” Daffin menyentak dengan nafasnya yang menderu. “Van udah dong, Van. Gua mau balik ngantri cimol bojot lagi, tolong banget.”

“Dev sumpah mending lo buka kuncinya sekarang biar gua bisa berhenti buat senam jantung!” Rayyan membuang nafasnya berat, ia membanting tubuhnya ke punggung jok sambil memijit pelipisnya begitu dramatis.

Brumm!!

Daffin langsung meraih sabuk pengaman, memasangnya secepat mungkin lalu kedua tangannya meraih handle yang menggantung di atas kepala. Mulutnya komat kamit merapalkan doa ketika Deva malah menginjak pedal gas kembali.

Evan yang melihat ekspresi ketakutan dari wajah Daffin seketika merasa bersalah karena sudah menyeret dua sahabat Deva itu. Ia hela nafas panjangnya sebelum beralih untuk menatap Deva kembali.

“Dev, udah ya? Besok lagi kalo mau belajar nyetir. Sekarang biar gua yang nyetir terus kita pulang,” Ucap Evan penuh kehati-hatian. “Udah sore juga, bentar lagi mau magrib. Dilanjut besok aja.”

“Yaudah gua aja yang bawa balik sampe ke kosan.” Sahut Deva enteng.

“JANGAN!” / “GAK!”

Deva menoleh kembali ke arah Rayyan serta Daffin, alisnya menukik lagi, ekspresi wajahnya berubah masam. “Apa sih! Gausah heboh dong!”

Evan mengambil satu tarikan nafas panjang, dengan senyum kikuknya, ia menyentuh tangan Deva lalu mengelusnya dengan perlahan. “Ay, biar gua aja ya? Abis ini beli tejus deh, terserah mau beli berapa yang penting sekarang udahan dulu, oke?”

Ekspresi wajah Deva semakin merengut masam, kepalanya menggeleng, membuat Evan lagi-lagi membuang nafasnya berat.

“Yaudah oke lo yang bawa sampe kosan. Tapi pelan-pelan, ikutin instruksi gua.”

Daffin menoleh ke arah Evan dengan tatapan protes. “Vann!”

“Lo berdua kalo turun di sini gapapa? Kejauhan gak sama tempat cimol bojot tadi?” Tanya Evan.

Rayyan dengan cepat menoyor kepala Evan dari belakang. “LAGIAN SIAPA SURUH NGAJAK GUA SAMA DAFFIN, HAH?! BUKA KUNCINYA! GUA TURUN SEKARANG!”

“GAK! LO GAK BOLEH TURUN!” Deva menyahut dengan cepat, pedal gas ia tekan sedikit lebih dalam. “INI BAKALAN JADI PENGALAMAN PALING LUAR BIASA JADI LO SEMUA HARUS TETEP NEMENIN GUA!”

“BERHENTI TERIAK-TERIAK, ANJING! LO GAK TAU GUA UDAH MAU PINGSAN!”

Chaos.

Evan menutup kedua telinganya ketika mendengar teriakan Deva, Rayyan, dan Daffin yang begitu memekakkan telinga. Salah. Langkah yang ia ambil dengan mengajak Rayyan dan Daffin benar-benar salah.

Kedua tangan Evan bergerak naik turun, “Tenang semuanya, tenang.”

“GEUS KOS KIEU AING DISURUH TENANG?! REK TENANG TI MANA ANYINK! CIMOL BOJOT AINGGG!!” (Udah kayak gini gua disuruh tenang?! Mau tenang darimana, anjing! Cimol bojot gua!!“)

Gantian kepala Daffin yang Rayyan toyor hingga sang empu terjedot jendela. “Stop mikirin cimol bojot, bangsat!”

Daffin yang tak terima langusng balik menoyor kepala Rayyan. “Kepala gua kejedot, anjing!”

“Woy! Udah!” Evan dari jok depan berusaha memisahkan Rayyan dan Daffin yang malah sibuk bergelut dan menoyor kepala satu sama lain itu. “Aduh kenapa lo berdua yang malah berantem!”

Sedangkan Deva malah bersiul dan tetap melajukan mobil milik Evan itu dengan perlahan dan hati-hati, benar-benar tidak memperdulikan pergelutan yang berada di jok belakang. Ujung telunjuknya mengetuk-ngetuk stir, melirik sekilas Evan yang mulai kewalahan memisahkan dua sahabat rempongnya itu.

Lampu sein dinyakalan, stir diputar ke arah kiri, Deva melirik ujung depan mobil lalu kaca spion sebelah kiri. Bibirnya secara tak sadar maju beberapa senti lalu bersorak kecil ketika ia berhasil membelokkan mobil yang dikendarainya. Evan masih saja sibuk memisahkan Rayyan dan Daffin yang kini saling menjambak rambut dan menyikut satu sama lain.

“Anjing! Jangan pernah tangan kotor lo nyentuh idung paripurna gua!”

“Mata gua lo colok ya, monyet!”

“Ray! Daf! Astagaa!”

“Dudududu.” Deva bersiul kembali, kekacauan di jok belakang justru malah membuat ide isengnya kembali muncul. Pedal gas ditekan agak dalam kembali, kecepatan mobil meningkat, seringai tipis Deva tercipta di wajahnya. “Hehehe.”

Evan yang masih berusaha memisahkan Rayyan dan Daffin itu benar-benar tidak menaruh atensinya sama sekali pada Deva. Tidak menyadari jika ekspresi wajah Deva sudah seperti seseorang yang sedang merencanakan hal buruk.

Sebenarnya ini bukan kali pertama Deva belajar mengendarai mobil, ia sudah pernah melakukannya sebelumnya dengan Mama-nya. Jadi bisa dianggap Deva juga sudah mulai mahir namun terkadang masih kagok ketika memindahkan persneling mobil. Maklum, Mama nya mengajarinya mengendarai mobil menggunakan mobil matic, sedangkan mobil Evan menggunakan manual.

Seringai di wajah Deva tertarik semakin atas ketika berbelok pada jalanan yang lebih sepi. Kecepatan mobil meningkat, ia pindahkan persneling menjadi gigi tiga, alisnya menukik, menatap jalanan lenggang di hadapannya bak landasan pacu.

Brumm!!

“DEVARA!!!”

“Hahahaha!” Deva tertawa jahat, ia melirik ke arah Evan yang langsung membenarkan posisi duduknya dan mencengram handle pintu serta ujung jok. “It's show time!”

Pergelutan Rayyan dan Daffin di kursi belakang terhenti, mereka berdua kompak langsung memasang sabuk pengaman kembali dan mencengkram erat handle yang berada di atas.

“Dev, Deva, lo jangan bercanda, Dev!”

“Devara aing adukeun sia ka Indung sia, Dev! Kalakuan sia jiga jurig!” (“Devara gua aduin lo ke Mama lo, Dev! Kelakuan lo kayak setan!”)

Rayyan menoleh ke arah Daffin. “Stop ngomong bahasa sunda! Gua gak ngerti!”

“Sayang, no. Jangan. Bahaya, Dev.”

Namun ucapan ketiga orang itu tak Deva hiraukan, senyum diwajahnya merekah lebar. Ia menoleh ke arah Evan kembali, jari-jarinya semakin erat mencengkram stir mobil, lalu tanpa aba-aba ia injak pedal gas hingga mobil abu-abu itu seketika melesat cepat.

“Devaraaaaa!!!”

Ketiga orang yang menjadi penumpang itu seketika memejamkan matanya, benar-benar sudah memasrahkan apapun yang terjadi pada detik berikutnya sebelum-

Ckitttt! Bugh!! Kriettt!!

Mobil berhenti tepat di belakang sebuah mobil yang terparkir di pinggir jalan. Deva tersenyum puas, ekspresi wajahnya terlihat begitu bahagia.

“Nah udah! Tuh cimol bojot! Sana kalo mau beli!”

Rayyan dan Daffin sontak membuka kelopak mata mereka, menoleh ke arah sisi kiri dimana penjual cimol mematung menatap ke arah mobil mereka dengan sutil yang menggantung di udara.

Bola mata Evan membulat kaget. Bukan, bukan karena Deva sudah sukses memakirkan mobilnya dengan selamat namun karena mendapati motor milik Daffin yang sudah tergeletak di aspal dengan posisi menyamping tepat di hadapan mobilnya itu.

“Dev.” Panggil Evan pelan, ia menoleh ke arah Deva yang masih tersenyum senang. “Coba liat ke depan, ay.”

Deva seketika sedikit memajukan posisi duduknya, bola matanya ikut membulat, kemudian ringisan pelan keluar dari bibirnya. Ia menoleh ke arah Evan lalu ke arah Daffin yang memasang ekspresi bingung. Kunci mobil dibukanya. “Opss... hehehe, gak keliatan, sorry.”

Daffin mengeryitkan alisnya bingung, ia menatap ke arah depan dan belakang mobil secara bergantian sebelum akhirnya ia ikut membulatkan kedua matanya. Dengan cepat ia membuka pintu mobil, keluar dari dalam sana dan berjalan ke arah depan mobil, jari-jarinya seketika mengepal lalu menatap Deva nyalang.

“DEVARA ABIANDRAAAA!!! MOTOR GUA KENAPA LO TABRAK!!!!”

“So, wanna talk?”

Harvey merengkuh tubuh Natha yang berdiri di sisi pagar pembatas balkon, menaruh kedua tangannya bersebelahan dengan tangan Natha yang menggenggam besi pagar. Dagunya ia sampirkan pada pundak suami cantiknya itu, membuat aroma Natha yang begitu khas menyeruak masuk ke dalam paru-parunya.

Angin berhembus seirama dengan helaan nafas berat yang Natha keluarkan. Kepalanya menunduk, matanya menatap tangannya dan tangan Harvey yang bersebelahan, tersenyum kecil ketika melihat cincin pernikahan mereka berdua yang berkilau terpantul cahaya lampu balkon.

'Udah sejauh ini ternyata.' Natha membatin seraya sedikit mengingat kembali ketika masa-masa awal cincin mereka terpasang di jari masing-masing.

“Nath.”

“Gua cuman lagi kepikiran Malvin aja.”

“Kenapa?”

Natha mengangkat wajahnya, melirik Harvey dari ujung mata selama beberapa saat sebelum kembali mengarahkan pandangannya ke arah depan. “Remember when I said society never lets us breathe in the night after our first dinner?”

“Someone said something bad to you about Malvin, hm?” Tanya Harvey langsung pada intinya. Mengerti betul jika dunia pun tidak sepenuhnya bisa menerima jalan yang mereka pilih. “Who?”

“It's not bad, but just a little bit triggered for me.” Natha tertawa sedih.

Gantian Harvey yang membuang nafasnya berat, ia tegapkan kembali posisi berdirinya, sebelum membalik tubuh Natha menghadap ke arahnya dan kedua tangannya kembali mengukung tubuh Natha. Bola matanya yang tajam memperhatikan air muka suami cantiknya yang lebih terlihat murung. Wajahnya sejenak maju, memberikan satu kecupan di bibir Natha, tersenyum tipis ketika Natha juga sunggingkan senyum tipis padanya.

“Just tell me, sayang.”

Natha alihkan pandangannya ke arah lain, enggan menatap ke arah manik mata suaminya itu. Kedua sikunya ganti bertumpu pada besi sisi pagar pembatas. “Setelah gua nganter lo ke bandara kemaren, gua bawa Malvin ke toko, karena Nasha juga gak bisa jagain dan Bunda juga lagi sibuk di kebun-”

“Kenapa gak titip ke Mama?”

“Lo pikun ya? Mama kan lagi ikut sama Papa ke Kalimantan.” Sahut Natha sebal. “Udah nyela, pikun lagi.” Misuhnya.

Harvey tertawa kecil. “I rather see you mad than gloomy like this, Nath. I really don't like it.”

Dengusan kesal Natha keluarkan, ia meninju perut Harvey sekali sebelum kembali melanjutkan ceritanya setelah Harvey mengecup pipinya sebagai balasan.

“Ada salah satu customer, seumuran Bunda tapi kayaknya lebih tua beberapa tahun. Dia dateng buat mesen karangan bunga soalnya anaknya nikah, tapi dia gak bisa dateng karena suaminya ngelarang buat dateng.” Natha menatap ke arah Harvey sekilas. “Anaknya sama kayak kita.”

Harvey menganggukan kepalanya. Menyelipkan rambut Natha yang mulai memanjang kebelakang telinga.

“Dia bilang dia sedih gak bisa ngeliat anaknya nikah. Tapi dia juga gak bisa berbuat banyak soalnya suaminya masih nentang apa yang anaknya pilih, disitu gua langsung mikir kalau ternyata kita beruntung banget ya punya orangtua kayak Bunda Ayah, Mama Papa, yang tetep nerima kita apa adanya.” Senyum Natha merekah sekilas. “Terus dia cerita lagi, katanya anaknya mau ngadopsi bayi. Persis sama apa yang kita lakuin. Cuman dia masih belum setuju kalau anaknya itu mau ngadopsi.”

“Ibu itu mikir jauh ke depan, kalau anaknya ngadopsi bayi, dimana tanggungan itu bakalan dibawa anaknya sampai mati nanti, dia kasian sama bayi yang bakalan di adopsi. Karena anak itu nantinya hidup dengan dua Ayah, tanpa Ibu, dan dunia pun gak selamanya baik buat orang-orang kayak kita.” Helaan nafas berat terhembus kembali. “Gua cuman takut dunia gak memperlakukan Malvin dengan baik karena dia punya dua Ayah.”

Sorot mata Harvey meneduh, satu tangannya bergerak menyentuh pinggang Natha dan mengelusnya perlahan. Memberikan ketenangan.

“Gua takut, Vey. Gimana pun yang bawa hidup Malvin masuk ke hidup kita kan, kita sendiri. Gua gak peduli kalo orang-orang benci sama gua, persetan sama itu semua, tapi gua gak bisa kalo Malvin harus dibenci sama orang-orang kalau tau dia tumbuh tanpa adanya sosok Ibu sama sekali. Gua gak tau dunia bakalan memperlakukan dia kayak apa nanti.” Dari balik pundak Harvey, Natha memperhatikan Malvin yang tertidur pulas di atas kasur. “Gua takut kalau nantinya, Malvin malah kecewa sama kita.”

Tubuh dihadapannya seketika Harvey rengkuh, diberikan satu pelukan penenang di tengah berisiknya isi kepala Natha sekarang tentang anak mereka. Mengerti jika dunia tidak akan pernah selamanya baik pada siapapun.

“We can against the world for him, Nath. We can be the strongest barricade for Malvin if the world didn't treat him as well as we treated him. We can. As long as we hold each other.” Harvey berbisik tepat di telinga suami cantiknya itu. “Malvin juga nantinya pasti bakalan paham ketika dia mulai beranjak dewasa tentang dunia kita. Kita bisa ngasih pemahaman sedari sekarang kalau kita juga bisa jadi sosok Ayah sekaligus Ibu buat dia. Seenggaknya, Malvin gak akan kekurangan kasih sayang sama sekali.”

“What if Malvin still can't accept us?”

“Nath, listen.” Harvey melepas rengkuhannya, ganti menangkup wajah Natha dengan kedua telapak tangannya yang hangat. “Stop thinking about all the bad things that may never happen. Trust me, Malvin will accept us as a home when he already understands it.”

Kelopak mata Natha terpejam sejenak, menghela nafasnya panjang sebelum kembali menatap manik mata yang berada tepat dihadapannya itu.

“Dunia emang gak akan selamanya baik sama kita, Natha. But I always believe in him, I always believe in us. Whatever will happens, we have each other. Even the carbon must have a big pressure to make it change into a diamond, Baby.”

Senyum diwajah Harvey merekah kembali, sorotnya masuk ke dalam kedua bola mata Natha yang bulat seperti biji leci.

“Just close your ears and eyes to anything that makes you hurt. Don't let anyone brings you to hit a rock bottom. Understand?”

Natha menganggukan kepalanya. Kedua tangannya ganti bergerak merengkuh tubuh Harvey, menyandarkan kepalanya pada dada bidang suaminya itu. “Gua kepikiran buat ngasih Malvin homescholing sampe dia SMA nanti, biar gak ada yang ngebully dia kenapa dia punya dua ayah.”

“How about his social life kalo lo mau masukin dia ke homeschooling nanti, Nath? Please don't be selfish if it is just because of your fear. Gimana pun Malvin juga butuh kehidupan sosial meskipun mungkin nanti gak akan semulus yang lainnya.”

Harvey mengecup pelipis Natha dua kali. Satu tangannya masuk ke dalam piyama satin yang dipakai Natha, mengelus pinggangnya dengan perlahan.

“The most important is, gimana hadirnya sosok kita waktu Malvin lagi di fase down-nya. Gimana kita bisa jadi sosok yang selalu ngerengkuh dia ketika dunia lagi gak baik sama dia. Just it. Dan kalo emang mau masukin dia ke homeschooling, just in his pre-school, selebihnya biarin dia nempuh pendidikan kayak kebanyakan anak-anak lainnya. Mau gimana pun kita ngelindungin Malvin, dunia pasti punya celah buat ngasih sedikit rasa sakit biar Malvin bisa jadi lebih kuat.”

Natha terdiam. Memikirkan semua perkataan Harvey yang benar adanya. Merasa menyesal karena telah membiarkan pemikiran buruk tentang hidup Malvin nantinya memenuhi kepalanya. Hal buruk pasti akan terjadi, bahkan jalan toll yang mulus pun pasti punya satu atau dua lubang sebagai rintangan untuk pengendara yang melewatinya.

“Sorry.”

“You don't need to say sorry, Babe. Itu hal yang wajar.”

Rengkuhannya terlepas, Natha sedikit mendongak guna menatap wajah Harvey kembali. Kedua tangannya naik, merengkuh kedua sisi wajah Harvey lalu menariknya, mencium tepat pada bibir suaminya itu selama beberapa saat.

“Thanks,” Ucap Natha begitu ia menjauhkan wajahnya. “A lot.”

Harvey tersenyum kembali, lebih lebar dari sebelumnya, membuat lesung pipinya begitu tercetak jelas di wajah. Satu tangannya ia gunakan untuk mengusap pucuk kepala Natha sayang. “Wanna make something that will make your mood better?”

“Mie rebus?”

“You will get it, c'mon!”

Gantian Natha yang tersenyum lebar, ia berjalan masuk terlebih dahulu ke dalam kamar lalu diikuti Harvey dibelakangnya. Pintu balkon berserta gordennya ditutup terlebih dahulu, Natha mendekat ke arah Malvin dan membenarkan letak selimut anaknya itu, mencium kening Malvin agak lama sebelum beranjak keluar dari dalam kamar dengan Harvey yang sudah menunggu di ambang pintu.

“Lampu lantai bawah lo nyalain dulu.” Kata Natha begitu ia sudah berada di depan anak tangga.

Harvey justru malah mengulurkan sebelah tangannya. “Ayo turun aja, kan sama gua.”

Natha meraih uluran tangan Harvey tanpa banyak protes, dan mulai mengikuti langkah suaminya itu dengan hati-hati ketika menuruni tangga. Rasa takut akan gelap belum hilang sepenuhnya, Natha masih sering merasa panik ketika masuk ke dalam ruangan tanpa cahaya.

Lampu pada area dapur dinyalakan terlebih dahulu, Harvey menuntun Natha untuk menduduki salah satu kursi dibalik meja counter. Mencium tengkuk suami cantiknya itu tepat dimana tatto higanbananya berada.

“Flowers of death.” Bisik Harvey pelan, membuat Natha hanya terkekeh geli. Ia kemudian berjalan menuju ke arah rak penyimpanan atas dan membuka pintunya. “So, kita punya rasa soto, ayam bawang, kari-”

“Ayam bawang!” Sahut Natha cepat. “Pake sawi sama telor setengah mateng.”

Harvey tertawa kecil, ia meraih dua bungkus mie instan lalu berbalik menghadap ke arah Natha. “Dua cukup?”

“Lo gak makan juga?”

“Tiga kalau gitu.” Harvey ambil kembali satu bungkus mie dari dalam rak. Lalu menutup pintunya kembali. “Mau dibarengin aja atau gimana?”

“Barengin aja. Satu tempat berdua.”

“Alright, pretty.”

Natha menghela nafasnya panjang seraya menopang dagunya dengan satu tangan. Matanya memperhatikan Harvey yang kini berkutat mempersiapkan mie rebus untuknya itu. Senyum diwajahnya merekah kembali, tidak lebar, namun begitu tulus terlihat.

“Harvey.”

“Ya, sayang.”

Harvey yang sedang mengisi air dengan panci kecil itu berbalik, menatap Natha kembali. Membuat senyum di wajah Natha merekah semakin lebar, terkekeh ketika mengingat bagaimana keras kepalanya ia menolak perjodohan kedua orangtuanya dulu.

“Thank you for loving me.”

“Thank you for letting me to loving you.”

Bola mata Ezio menatap lurus pada Jeff yang masih terdiam sejak keberangkatan mereka yang entah kemana tujuannya itu. Pikirannya berkecamuk, sesuatu menghantui Ezio saat ini, ucapan Darel dipesan singkatnya membuat Ezio benar-benar berada diambang ketakutannya kembali. Ia merasa de javu dengan apa yang Jeff lakukan padanya, persis ketika Jeff akan pergi dalam pelarian panjangnya.

Roda-roda mobil jeep produksi salah satu perusahaan Jepang itu berputar dengan kecepatan sedang. Kaca jendela dibuka dikedua sisi, membuat hembusan angin malam begitu kuat menerpa wajah, dan rambut berkibar seirama dengan pergerakan angin. Hanya suara lantunan musik yang disetel dengan volume rendah untuk mengisi kekosongan yang ada, baik Ezio maupun Jeff memilih untuk larut dalam pikiran masing-masing.

Mobil bergerak menjauh dari pusat kota Detroit, berjalan ke arah barat menuju kota kecil Lansing. Jeff juga sebenarnya tidak tahu kemana ia akan membawa Ezio kali ini, yang ada dipikirannya hanyalah pergi jauh, menarik nafas dari hiruk pikuk Detroit yang mencekiknya begitu kuat. Ah sebenarnya tidak hanya Detroit, seluruh bagian dari Michigan juga mencekiknya, membuatnya harus pintar-pintar bersembunyi, berpindah dari suatu tempat ke tempat lain agar orang-orang yang berada disekelilingnya tidak turut terlibat dengan apa yang sudah diperbuatnya di hari-hari lalu.

Tentu semua hal terjadi dengan sebuah alasan.

Jeff melirik Ezio dari ujung matanya, berusaha tidak memperdulikannya tapi ia gagal. Pada akhirnya sebelah tangannya terulur, menyentuh pipi Ezio yang terasa dingin lalu mengelusnya sekilas dengan ibu jari sebelum ia menarik tangannya kembali. Volume musik sedikit lebih dikencangkan, jari-jarinya yang berada di atas stir mengentuk-ngetuk seirama dengan ritme musik yang berputar.

“Kali ini, berapa lama?”

Ezio memecah keheningan yang ada. Isi kepalanya begitu menuntut untuk bertanya dan mendapatkan jawaban. Ia tidak bisa berusaha untuk tidak peduli dengan perlakuan Jeff yang tidak seperti biasanya.

“Apa?”

“Berapa lama lo bakalan pergi?”

“I’m not going anywhere, Ezio.”

“Liar.”

Jeff tersenyum tipis. Tidak menyahuti lagi perkataan Ezio karena ia pun tidak tahu hari esok akan membawanya kemana. Ia hanya ingin menikmati waktu selagi ia masih memiliki kesempatan untuk melihat paras lelaki cantik disampingnya itu.

“Jeff.” Suara Ezio sarat akan permohonan. “Gua lebih milik lo nyiksa gua secara fisik daripada harus kayak gini.”

“Kayak gimana?” Jeff menolehkan kepalanya sekilas. Dahinya mengkerut, ia benar-benar tidak ingin terlibat perdebatan apapun dengan Ezio saat ini. “Stop talking a nonsense. I’m not going anywhere.”

Jari-jari Ezio seketika mengepal menahan kekesalannya yang tiba-tiba melesat naik. “Dulu lo juga bilang kayak gitu, tapi nyatanya apa? Lo pergi!”

“Stop, Ezio Hellen. Gua gak mau debat apapun sama lo saat ini.”

“Lo jahat.”

Jeff mendengus remeh, “Lo tau gua jahat, tapi kenapa lo masih mohon-mohon buat gua pulang?”

Ezio seketika terdiam. Jari-jarinya mengepal semakin erat dan rahangnya turut mengeras, sorot matanya menatap nyalang ke arah Jeff yang hanya memasang ekspresi datar. Ia akhirnya membuang muka, menatap ke arah jalan seraya mengambil satu tarikan nafas panjangnya.

“I never asked you to stay, right?” Suara Jeff memecah keheningan kembali.

“Tapi lo selalu bilang kalo gua alasan lo buat pulang.”

Jeff terkekeh kecil, kembali melirik Ezio dari ujung matanya. “I did. But did I ever ask you to stay?”

“Kalaupun gua pergi, lo pasti gak akan ngebiarin gua pergi.”

“Karena lo tempat gua pulang, Zio. But once again, did I ever ask you to stay?”

Ezio lagi-lagi kehilangan kata-katanya. Ia terdiam dengan hari-harinya yang kini mencengkram erat ujung hoodie yang ia pakai, berusaha tidak meledak detik itu juga dan mencekik Jeff dengan penuh rasa kesal. Jeff benar, lelaki itu tidak pernah meminta Ezio untuk tinggal, ia lah yang begitu sukarela menjadikan dirinya sebagai ‘tempat pulang’ oleh seorang bajingan seperti Jeff.

Hening kembali menyelimuti keduanya, namun kini atmostfer di antara mereka lebih terasa dingin, baik Ezio maupun Jeff memilih untuk mengantupkan bibir rapat-rapat. Jalanan yang begitu lenggang membuat roda-roda mobil yang mereka kendarai begitu mulus berputar di atas aspal, sedikit demi sedikit mendekat ke arah pusat kota kecil Lansing. Tapi Jeff mungkin tidak menaruh tujuannya pada kota ini, ia hanya berhenti sejenak untuk mengisi bahan bakar sebelum kembali melanjutkan perjalanan mereka menuju ke arah kota kecil Grand Rapids.

Selama itu juga Ezio tidak mengatakan apapun lagi, tetap diam di atas jok penumpang seperti sebuah patung, hanya dadanya saja yang bergerak naik turun seirama dengan tarikan nafasnya. Bahkan ketika Jeff melempar sekotak rokok padanya pun Ezio tidak bergeming, hanya menatap kotak rokok yang berada dipangkuannya sesaat sebelum kembali mengarahkan pandangannya lurus ke depan.

Jeff kembali menoleh sekilas ke arah Ezio, ia hela panjang hembusan nafasnya. “Gua udah bilang sama lo sejak awal, Zi. This is the consequence. Lo seharusnya paham kenapa gua gak bisa selalu ada disamping lo.”

“Gak bisa ya lo berhenti?” Ezio menoleh, menatap rupa lelaki itu dari samping. “Gak bisa ya lo berhenti dan ngejalanin hidup normal?”

“It’s too late to turn back.”

“Why?”

“Ezio, listen.” Jeff sedikit pelakan laju kendaraannya, volume musik dikecilkan, ia menatap wajah Ezio sekilas. “I left because I want to protect you.”

“Protect me?” Ezio mendengus remeh mendengar ucapan yang baru saja Jeff katakan itu. “Protect me from what?! From what, Jeff?! You left me, when I was down on my knee, you leave me alone, leave me when I need you so fucking bad!”

“That’s the only way they don’t kill you!”

Satu tamparan imajiner terasa menampar wajah Ezio detik itu juga. Membuat suasana dingin yang sudah menyelimuti mereka berdua berubah menjadi terasa menegangkan.

“Who?” Tanya Ezio hampir berbisik, kelopak matanya mengerjap lambat menatap ekspresi wajah Jeff yang mengeras. “Who are they? What are you doing for almost two years of missing, Jeff?”

Jeff tidak menyahut. Stir mobil dicengkramnya kuat-kuat. Tarikan nafasnya terasa begitu berat. Pening terasa dikepalanya saat Ezio terus saja menuntut penjelasan ketika ia sendiri tidak bisa menjelaskannya pada Ezio untuk saat ini. Menjelaskan kegagalannya yang justu akan membawa Ezio pada jurang rasa frustasinya.

“Jeff.”

“Can you just enjoy the time you have with me, Zio? I asked your fucking manager for us to have some time together, to have fun. Not to engage in stupid arguments like this!”

“Stupid arguments?” Ekspresi wajah Ezio berubah drastis, tak habis pikir ketika Jeff mengatakan ini hanyalah sebuah perdebatan bodoh. “Lo bilang ini perdebatan bodoh sedangkan gua hampir gila nunggu lo selama ini?! Gua nunggu lo tanpa kejelasan apapun and you said this is just a stupid argument?! Lo brengsek, Jeff!”

“Shut the fuck up!”

Suara Jeff menggema memehuni penjuru mobil, emosinya terlepas, ekspresi wajahnya terlihat begitu marah. Muak dengan semua pertanyaan yang Ezio berikan.

Tapi Ezio tak gentar, ia tetap menatap wajah Jeff dengan buku-buku jarinya yang memutih karena terlalu erat ia kepal. “Gua cuman minta kejelasan. It’s too hard to tell me what happens, Jeff?”

“You shouldn’t be asking about that.” Jeff melirik Ezio sekilas dari ujung matanya kembali, intonasi suaranya begitu datar. “Just enjoy the time, Zio. Whatever I’ve done in the almost last two years, it’s not your business. I’m already by your side again right now, isn’t that enough?”

“That’s not enough.” Ezio menekan setiap kata yang keluar dari mulutnya, satu tarikan nafas dalam ia raih. “Not really enough when everyone especially you told me to just enjoy the time that I have with you. What if I didn’t? Bahkan nikmatin waktu sama lo sekarang pun gak ngejamin kalo lo gak bakalan pergi lagi, kan?”

“Just stop, Zio. Stop.”

Ezio menelan ludahnya terlebih dahulu, mengambil jeda.

“Did you love me?”

Pertanyaan yang begitu sarat akan nada keputusasaan itu membuat Jeff berdecak, ia menoleh kembali ke arah Ezio yang kini menatapnya tanpa ekspresi apapun. Satu tarikan nafas dalam serta helaan berat Jeff raih terlebih dahulu. Menetralkan emosinya yang sempat memuncak sesaat itu.

“More than you know.” Jawabnya singkat.

Ezio tersenyum miris, bahkan untuk pertanyaan seperti itu pun Jeff tak pernah memberikan jawaban yang pasti. Punggungnya ia sandarkan kembali pada punggung jok, menghela nafas lelahnya untuk kesekian kali, terdiam seraya menekan semua emosinya dalam-dalam.

Hening menyelimuti untuk kesekian kalinya. Di dalam benaknya, Ezio menyadari jika orang lain yang menghadapi segala tindak tanduk Jeff selama ini pasti akan memilih untuk pergi sejak awal. Tapi Ezio tidak bisa melakukannya, ia terjatuh, terperangkap, dan sulit untuk keluar. Jeff memang tidak memintanya untuk tinggal, Ezio bisa saja pergi, namun Jeff juga tak akan membiarkannya pergi begitu saja.

Bagaimana pun, Ezio sudah habiskan lebih dari seribu harinya bersama dengan Jeff. Jatuh bangun bersama sebelum akhirnya Jeff pergi dengan tiba-tiba. Ezio tahu konsekuensinya jika ia hidup bersama dengan seorang yang hidupnya bergelut dengan transaksi-transaksi terlarang seperti narkoba, tahu jika Jeff sering kali meninggalkannya karena untuk melindunginya dari orang-orang berbahaya yang datang dari hidup Jeff. Tapi sampai kapan? Sampai kapan ia harus berada dalam situasi seperti ini?

Darel mungkin sudah berulang kali mengatakan untuk pergi, berulang kali mengatakan jika ini adalah konsekuensi yang memang harus Ezio terima. Namun seharusnya Darel tahu, menasehati orang yang sudah jatuh cinta terlalu dalam adalah sebuah hal yang paling tak berguna.

Ketika radio pada tip mobil memutarkan salah satu lagu dari seorang penyanyi terkenal, senyum Ezio merekah tiba-tiba begitu menyadari jika seluruh penggalan lirik pada lagu yang sedang berputar benar-benar menginterpretasikan dirinya. Senyumnya bukan senyum bahagia, hanya sebuah senyum tipis yang terlihat begitu miris.

“You know, Selena Gomez was right,” Suara Ezio kembali mengalun, begitu pelan. “There’s a million reasons why I should give you up, but the heart wants what is wants.”


Setelah menempuh hampir empat jam perjalanan, Jeff akhirnya memberhentikan mobil yang dikendarainya tepat di pinggiran danau Michigan, pada daerah Wabanigo Township yang tidak terlalu jauh dari kota kecil Whiteball. Mesin mobil dimatikan, rem tangan ditarik, ia menoleh ke arah Ezio yang kini tertidur pulas, mungkin sudah lelah berdebat dengannya untuk menuntut hal-hal yang ingin sekali Ezio ketahui.

Sebelah tangannya terulur, merapihkan rambut Ezio yang memanjang menutupi dahi. Menatap wajah damai Ezio ketika tertidur membuat senyumnya merekah tipis, pipi kemerahan itu ia usap begitu pelan, takut membangunkan Ezio dari lelapnya. Satu helaan nafas berat lagi-lagi terhembus, menyadari ketika ia tak punya banyak waktu lagi untuk menatap wajah Ezio hingga tahun-tahun berikutnya.

Kepergiannya bukan tanpa alasan.

Apa yang telah ia ambil lebih dari sekedar mengoper obat-obatan terlarang dari tangan ke tangan. Jeff sudah di atas itu. Pekerjaannya sudah masuk pada ranah lintas negara. Lebih beresiko, lebih penuh tantangan yang mana jika ia gagal, bukan lagi jeruji besi yang akan ia temui. Sekalipun ia memutar balik stir kehidupannya, itu tidak akan membuat Jeff lolos begitu saja atas kegagalan yang sudah ia lakukan.

Orang-orang tidak ada yang mengetahui akan hal itu, bahkan Ezio sekalipun. Mereka hanya tahu jika Jeff merupakan salah satu racer dari tim Dalton, dan seorang drugs dealer kemarin sore yang masih perlu bersembunyi dari tempat ke tempat untuk menghindari kejaran polisi.

“My poor mother begged for a sheep, but raised a wolf, Zio.” Bisik Jeff begitu pelan, ibu jarinya bergerak menyentuh hidung bangir Ezio dan perlahan turun menuju belahan bibirnya. “I want so badly to protect you from the world because I know all too well how bad it can be, and this is the only way.”

Sebelah tangan Jeff bergerak menuju belakang leher Ezio, mengubah posisi kepalanya agar wajah Ezio menghadap tepat ke arah Jeff. Sorot matanya yang tajam memperhatikan setiap inchi wajah Ezio, wajah yang menjadi alasannya untuk tetap hidup dan pulang. Dengan perlahan, tangannya menarik kepala Ezio bersamaan dengan wajahnya yang juga perlahan bergerak maju.

Sebuah ciuman Jeff berikan pada Ezio yang masih tertidur. Tidak peduli jika Ezio perlahan mulai meraih kesadarannya, ia tetap mengerakan bibirnya mengecup berulang kali belahan ranum milik Ezio. Ketika mata bertemu dengan mata, dunia terasa berhenti sesaat. Hanya sesaat. Sebelum akhirnya Jeff menjauhkan sedikit wajahnya, hanya beberapa senti, karena deru nafas mereka masih mengenai satu sama lain.

“If I told you about the darkness inside of me, would you still look at me like I’m the sun, Hellen?”

Kelopak mata Ezio bergerak lambat, dalam keheningan yang terjadi, ia temukan satu garis warna pada sorot mata Jeff yang menatap lekat ke arahnya.

Mobil berhenti tepat di garasi belakang rumah. Mesin dimatikan, Jeff melirik sekilas ke arah jok penumpang lalu bergerak keluar dari dalam mobil terlebih dahulu, meninggalkan Ezio yang masih terdiam dengan ekspresi datarnya dibalik hoodie coklat susunya.

Helaan nafas berat terhembus, wajah terangkat, manik mata bulat milik Ezio menatap punggung Jeff yang sedang membuka pintu rumah-entah rumah siapa. Sial beribu sial. Tangannya bergerak meninju udara kosong, match kali ini benar-benar diluar perkiraannya. Ezio seharusnya tau jika lelaki itu tidak akan pernah membiarkannya pergi dengan cara apapun, sedangkan Jeff sendiri malah datang dan pergi begitu sesuka hati.

Butuh waktu selama lima menit untuk akhirnya Ezio keluar dari dalam mobil, menutup pintunya dengan sedikit bantingan. Kepalanya menoleh ke arah sekeliling, begitu sepi, membuat bulu kuduknya sedikit merinding ketika angin malam seperti berbisik tepat di telinganya.

Kakinya perlahan melangkah mendekati bangunan tua yang terlihat kurang terawat itu, memperhatikan setiap sudutnya yang banyak terdapat sulur laba-laba, serta daun-daun kering yang memenuhi pelataran belakang, ditambah kurangnya penerangan di dalam rumah membuat Ezio merasakan suasana horror walaupun halloween masih akan berlangsung beberapa minggu lagi.

Aroma debu serta hawa lembab menyambut Ezio ketika kakinya mulai melangkah masuk. Tidak banyak barang-barang yang ada di rumah ini, sepertinya memang sebuah bangunan hunian yang sengaja ditinggalkan pemiliknya begitu saja. Ingin sekali bertanya pads Jeff perihal rumah siapa yang merka masuki saat ini namun Ezio masih terlalu malas mengeluarkan energinya hanya untuk sekedar berbicara dengan lelaki itu.

“Take this!”

Sebuah minuman kaleng melayang ke arah Ezio ketika ia baru saja memasuki area dapur untuk sekedar melihat-lihat. Tangannya dengan cepat menangkap minuman kaleng yang dilemparkan oleh Jeff itu, bola matanya menatap Jeff yang berdiri di depan kulkas sambil menegak minuman kalengnya.

“Rasanya agak aneh.” Jeff mengeryit, memperhatikan tanggal kadaluarsa dalam kemasan. “Oh, udah kadaluarsa ternyata.” Tawanya mengalun renyah.

“Ini rumah siapa?” Tanya Ezio pada akhirnya, berhasil mengesampingkan egonya sendiri.

Jeff mengangkat wajahnya, mendengus geli seraya menutup kembali pintu kulkas. “I dont know. I just pick a random house for us to sleep in tonight.”

“Are you crazy?” Ekspresi wajah Ezio berubah dengan cepat, tak habis pikir dengan tingkah mantan pacarnya itu. “I had my flat for us sleep in tonight.”

Jeff menaruh terlebih dahulu kaleng minumannya setelah menenggaknya habis. Ia berjalan mendekat ke arah Ezio, senyumnya mengembang semakin lebar, lesung pipinya terlihat begitu jelas. “You never allow me to come to your flat, Zio. Are you forget it?”

Tak ada sahutan, Ezio malah membuang muka, memutus kontak mata keduanya. Kaleng minuman yang masih ia pegang ditaruhnya pada meja makan yang tepat berada di sampingnya. Jeff hanya memperhatikannya dengan senyum kecil, sebelah tangannya terulur guna membuka tudung hoodie yang dipakai Ezio, lalu jarinya bergerak menyelipkan anak rambut Ezio yang memanjang ke belakang telinga.

“You still pretty, Zio. Still. Always.” Bisik Jeff pelan. “I'm so dissapointed with myself for not being able to see this beautiful face for almost two years, dan gua selalu berharap punya cukup waktu buat ngeliat muka cantik lo.”

Ezio kembali menolehkan kepalanya, menatap ke dalam manik mata Jeff yang sama sekali tidak pernah bisa ia baca, bahkan sejak pertama kali mereka berjumpa. Jeff bagaikan sebuah buku kosong yang harus Ezio tebak disetiap lembarannya. Menyenangkan, namun juga menyakitkan secara bersamaan.

“You left.” Lirih Ezio, ia menatap tangan Jeff yang menangkup wajahnya sekilas sebelum kembali memperhatikan pahatan tegas di hadapannya. Mereka terdiam selama beberapa menit. Namun dengan tiba-tiba kelopak mata Ezio mengedip cepat, ia menyingkirkan tangan Jeff yang masih setia berada di wajahnya. Tubuhnya berbalik lalu berjalan keluar dari area dapur. “Cmon, we have to find a bed, you wanna fuck me for your gift, right?”

“Zio.”

Panggilan itu tak Ezio hiraukan, ia hampir saja larut dalam suasana dan melupakan semua emosinya yang sudah ia pendam selama hampir dua tahun ini pada mantan pacarnya itu.

“I'm not the good guy remember?”

Perkataan Jeff sukses membuat Ezio menghentikan langkahnya. Ia terdiam diantara perbatasan dapur dan lorong rumah, telinganya dapat mendengar dengan jelas setiap langkah yang Jeff ambil untuk mendekat kembali ke arahnya.

“I'm the selfish one. I take what I want, I do what I want. I don't do the right thing, little rose. You should already know that.” Tubuh Jeff berdiri tepat dibelakang Ezio, tangannya menarik sebelah pundak yang lebih pendek agar dirinya bisa melihat rupa cantik itu kembali. Senyum diwajahnya pudar, berganti dengan ekspresi datar dan sorot mata yang begitu tajam. “You should know what it's like to be in a relationship with a peddler. With a drugs dealer.”

“I know.” Ezio menyahut cepat. Kepalanya sedikit mendongak untuk kembali menatap kedua bola mata Jeff. “And that's my fault.”

Senyum di wajah Jeff kembali mengembang. Kali ini bukan senyum manis, namun senyum yang begitu sirat akan keremehan. “You know but you still want me to always be by your side.”

“That's why I said it's my fault!” Intonasi suara Ezio meninggi. Jari-jarinya mengepal menahan emosi, ingin sekali meninju wajah dihadapannya hingga babak belur seperti tempo lalu. “You're the greatest risk I've ever taken.” Lanjutnya dengan intonasi lebih pelan.

Sebelah tangan Jeff bergerak menangkup kembali sisi wajah Ezio. Ia memajukan wajahnya hingga hidungnya dan hidung Ezio hanya berjarak beberapa senti, senyum remeh berganti dengan seringai tipis. “I wanna take my gift. Take off all your clothes.”

Ezio mengambil satu langkah mundur, rahangnya mengeras dengan sorot mata yang berubah tajam, tapi kedua tangannya dengan cepat melepas hoodie coklat susu yang ia pakai berserta kaus putih kebesaran yang ia jadikan sebagai dalaman. Tak melepas kontak matanya pada Jeff hingga tubuhnya sudah telanjang bulat, tidak menyisakan satu pun kain menempel untuk menutupi kulit putihnya.

Sebelah alis Jeff terangkat, ia memutus kontak mata, memperhatikan Ezio dari ujung kaki hingga ujung kepala. Tawanya mengalun pelan sebelum kedua tangannya mengangkat tubuh Ezio untuk masuk kembali ke dalam dapur dan mendudukannya di atas meja makan. Bergerak melepas jaket kulit miliknya sebelum meraup bibir Ezio yang sejak awal pertemuan selalu membuat Jeff tak tahan untuk tidak memakannya.

Kedua tangannya Ezio gunakan untuk menahan bobot tubuh, jari-jarinya mengepal di atas meja, dan kelopak matanya tetap terbuka bahkan ketika Jeff mulai bergerak begitu kasar mengulum bibirnya. Tak ada respon yang Ezio berikan atas semua perlakuan Jeff, ia terdiam, seperti sebuah manekin. Membiarkan jari-jari Jeff membelai paha dalamnya hingga naik menuju pinggang.

Tubuh Ezio perlahan dibawa untuk berbaring di atas meja, Jeff gunakan kedua tangannya untuk menopang tubuh, mengukung yang lebih kecil di bawah kuasanya. Bibirnya yang tadi bergerak kasar perlahan melembut, terasa seperti begitu hati-hati menyentuh belahan ranum yang lama tak dijumpainya itu.

Nyatanya, sekeras apapun Ezio berusaha untuk tidak kembali pada rengkuhan Jeff, ia akan selalu kembali lagi dan lagi. Tak peduli sebanyak apa kata-kata makian serta rasa amarahnya pada Jeff, pada akhirnya ia tetap membiarkan lelaki itu bersorak di atas kemenangannya. Ezio tahu ia bodoh, bahkan mungkin lebih dari itu. Ia memang sudah buta, dan rasa denialnya hanya sebuah omong kosong belaka.

He doesn't care If he fall in love with a devil, as long as that devil will love him the way he loves hell.

Suara kecupan menggema di ruangan yang begitu sepi ketika Jeff menjauhkan wajahnya. Ia bangkit guna melepas kaus hitam yang terdapat sedikit titik-titik noda kotor, membuat dada bidang serta enam pack ototnya terlihat jelas dihadapan Ezio. Namun baru saja ia akan merunduk kembali, suara Ezio tiba-tiba menghentikan pergerakannya.

“Stop.” Ezio gunakan kedua tangannya guna menahan tubuh Jeff. Matanya menatap lurus pada satu titik di tubuh lelaki itu dengan alis yang mengkerut bingung, pada sebuah garis yang memanjang di dada bagian kanan.

Ezio bangkit dari posisinya, terduduk di atas meja makan dengan pandangannya yang berulang kali melihat ke arah manik mata Jeff serta bekas luka goresan di dadanya secara bergantian. Ekspresi wajahnya begitu menuntut akan penjelasan walaupun tidak ada satu pun kata-kata yang terlontar. Jeff yang paham akan itu hanya tersenyum tipis, meraih sebelah tangan Ezio lalu menaruhnya di atas bekas luka miliknya.

“What happen to you?” Tanya Ezio bingung.

“Nothing.”

“Jeff.” Ezio menelan ludahnya, kepalanya menggeleng. Perasaannya mengatakan jika ada sesuatu yang tidak beres selama pelarian Jeff itu. “This is a fucking big scars, I never see it before. What happen to you?”

“Can you just cover it with your pretty hands, Zio? Pretend that you didn't see it.” Intonasi suara Jeff mengalun begitu datar. Seakan-akan tak ingin Ezio tahu cerita dibalik lukanya itu. “Lo seharusnya juga tau kalo apa yang gua lakuin selama ini itu berbahaya, dan ini salah satu resikonya.”

Rahang Ezio kembali mengeras, benci sekali jika ia harus mencari corak garis dalam sebuah lembaran kertas kosong kembali. “Gak bisa ya lo kasih tau gua kemana lo pergi selama hampir dua tahun ini?”

Jeff hanya memberikan seulas senyum tipisnya. Ia jauhkan tangan Ezio dari dadanya kemudian berbalik, meraih kembali pakaian Ezio yang tergeletak di atas lantai kotor. Menyerahkannya kembali pada sang pemilik. “Pake baju lo. Kita cari kasur buat tidur.”

“Jeff!” Protes Ezio. “Why?” Tanyanya menuntut.

Namun Jeff tidak menyahut, ia lebih memilih mengabaikan pertanyaan Ezio dan memungut pakaiannya sendiri lalu memakai kembali kaos yang baru saja ia buka. Matanya kembali menatap ke arah Ezio selama beberapa saat sebelum helaan nafas beratnya berhembus, pakaian milik Ezio ia ambil alih, lalu memakaikannya kembali pada tubuh yang lebih kecil darinya itu.

Begitu Ezio sudah selesai memakai pakaiannya kembali, Jeff bergerak merapihkan rambut Ezio yang berantakan, diberikannya satu kecupan singkat pada bibir Ezio sebelum menarik tangannya untuk keluar dari area dapur. Benar-benar mengabaikan ekspresi Ezio yang begitu menuntut untuk mengetahui hal apa yang membuat luka itu terjadi, karena selama ini, ia tak pernah gagal, tak pernah mendapatkan satu luka sebesar ini selama perjalanannya.

“Jeff.” Ezio memanggil kembali, membuat langkah keduanya di tangga rumah terhenti. “Please?”

“You better not know what's going on behind my scars, Zio.”

“But I'm your boyfriend.”

Sebelah alis Jeff seketika terangkat mendengar ucapan Ezio. Ia tertawa kembali, renyah sekali. “My boyfriend? I thought we're over since you said that I can't call you babe again.”

Ezio seketika menghempaskan tangan Jeff yang mengenggam tangannya. Benar-benar tidak mengerti kenapa ia berada di situasi yang membuatnya begitu frustasi. Tapi pada akhirnya, Ezio berhasil menekan emosinya. Jeff benar, ia bukan lagi pacarnya. Mereka berdua sudah menjadi mantan kekasih. Seharusnya Ezio tahu batasannya agar tidak begitu menuntut penjelasan Jeff atas luka yang didapatnya.

“Fine. I never ask you again about that.” Ucapnya final.

Jeff tersenyum kembali, ia mengusak rambut Ezio sekilas. “Goodboy.”

Setelahnya, mereka habiskan malam untuk berada di bawah satu selimut yang sama hingga pagi menyambut. Tak ada hal lain yang mereka lakukan selain berpelukan di tengah dinginnya udara, bahkan untuk sekedar mengobrol pun tidak. Mengerti jika yang mereka butuhkan saat ini hanyalah sebuah pelukan hangat setelah ratusan hari lamanya tak berjumpa.

Dan Ezio kembali terbangun seperti biasanya, tanpa kehadiran Jeff yang memeluknya sepanjang malam. Ditinggalkan sendirian di dalam bangunan rumah tua dengan camaro merah metalik yang masih terparkir di halaman belakang.

Woodward Avenue. Sebuah jalan utama sepanjang 27 mil atau setara dengan 43 kilometer yang menghubungkan dua wilayah antara pusat kota Detroit dengan Pontiac menjadi jalanan yang kerap kali digunakan untuk ajang balapan liar ketika malam menyambut.

Gerombolan remaja hingga dewasa yang memiliki keranjingan terhadap balapan berkumpul di sisi jalan, mobil-mobil yang sudah di modifikasi baik dari segi mesin maupun body turut berjejer disana. Gelak tawa, derungan mesin, asap-asap rokok, serta sorak-sorak para gadis berpakaian seksi menjadi hal yang biasa yang terlihat ketika waktu sudah berada hampir dipertengahan malam.

Angin berhembus kencang, daun-daun berterbangan memenuhi pelataran rumah dan jalanan disekitarnya. Ditengah hiruk pikuk kebisingan, Ezio masih terdiam dengan tubuhnya yang bersandar pada sisi plymouth barracuda keluaran tahun 1970, mobil yang akan menjadi kawannya pada ajang match kali ini. Kedua tangannya terlipat di depan dada, kepalanya menunduk, menatap ujung sepatu kets-nya yang sudah usang. Beberapa meter di hadapannya, gerombolan dari tim lawan sedang mempersiapkan sebuah camaro ZL1 sebagai lawan tanding sekaligus reward pada malam ini.

Mr. Collins tak berbohong jika Ezio harus turun pertama kalinya setelah sekian lama dalam ajang match dengan tim lain dimana Jeff yang menghilang hampir dua tahun lamanya itu menjadi lawannya. Entah rencana siapa yang membuat dirinya dengan mantan pacarnya itu harus berada dalam satu pertandingan yang sama, bisa jadi memang Jeff yang merencanakan, atau yang lainnya. Tapi yang jelas, mau tidak mau Ezio harus memenangkan pertandingan malam ini.

Tidak akan ia biarkan lelaki yang meninggalkannya begitu saja itu harus bersorak di atas kemenangannya, dan membuat Ezio harus kembali pada mantan pacarnya itu.

“You okay?”

Ezio mengangkat wajahnya, menoleh ketika Max menepuk pundaknya. Ia mendengus seraya menganggukan kepala. “Don't worry.”

Max menatap Ezio selama beberapa saat sebelum mengalihkan pandangannya ke arah depan, menatap tim lawan yang sudah mempersiapkan diri untuk turun ke jalanan. Ia melirik ke arah Alden yang masih mengutak atik mesin mobil guna memberikan performa maksimalnya untuk kemenangan malam ini.

Pluit berbunyi. Seluruh orang yang berada disana langsung mengarahkan atensinya pada seorang gadis yang membawa bendera merah yang sudah berada di tengah jalanan yang sepi. Pertanda jika pertandingan akan segera dimulai. Pundak Ezio ditepuk kembali oleh Max. Pemuda berdarah kanada itu mengisyaratkan Ezio untuk segera masuk ke dalam mobil ketika Alden sudah selesai dengan tugasnya.

Pintu mobil terbuka lalu tertutup kembali. Ezio sudah duduk dibalik kemudi. Kepalanya menoleh ke arah di mana mantan pacarnya berada, mata bertemu dengan mata, seringai di wajah Jeff begitu jelas terlihat dimatanya. Ezio dengan cepat membuang muka, ia mendesis kesal. Walaupun tidak memungkiri jika seringai menyebalkan itu juga ia rindukan keberadaannya.

“Keep under 9000 rpm, pistonnya bakalan kebakar setelah 60 kilometer pertama kalo lo di atas 9000 rpm. Jangan pake NOS kalo lo gak mau mati malem ini.” Alden berdiri di samping pintu mobil. Ia merunduk, menatap Ezio yang menganggukan kepalanya. Sebelah tangan Alden beberapa kali menepuk sisi pintu mobil, senyum tipisnya mengembang sekilas. “Good luck, Zi.”

Ezio menarik nafasnya panjang, kedua tangannya berada di atas stir. Persneling dimasukan, ujung kakinya dengan perlahan menginjak pedal gas dan membuat roda-roda mobil mulai berputar, berjalan menuju ke arah jalan raya yang lenggang. Orang-orang yang berada di pinggir jalan mulai bersorak ketika camaro merah metalik itu sudah berada tepat di sisi mobil Ezio. Ia kembali melirik Jeff dari ujung matanya sekilas, lalu matanya menatap lurus ke arah jalanan.

Derungan mesin mobil menggema, sorak-sorak penonton di sisi jalan mulai riuh. Gadis pembawa bendera menyeringai ke arah Ezio dan Jeff secara bergantian, sebelah tangannya terangkat, bendera berkibar terhembus angin. Pegangan Ezio pada stir mengerat, kakinya sudah bersiap di atas pedal.

“Ready?”

Brumm!! Brumm!!

Di balik hoodie coklat susu miliknya, peluh membasahi pelipis Ezio. Jantungnya mendadak bertalu, kembali melirik Jeff dari ujung matanya. Ia harus menang malam ini. Bagaimana pun caranya Ezio harus menang. Plymouth dan camaro memang tidak sebanding, menggunakan NOS dalam pertandingan jarak pendek merupakan satu hal yang terlarang. Mobil Ezio bisa saja meledak. Tapi jika itu dapat membuat Ezio menang dalam pertandingan malam ini dan ia bisa menikmati hari-harinya yang sudah terbiasa tanpa adanya kehadiran Jeff, just fuck it.

“Ready! 3… 2… 1… Go!”

Dua mobil langsung melesat dengan cepat, pedal gas di tekan hampir menyentuh batas maksimal. Jarum pada speedometer bergerak hingga diangka 180 kilometer per jam, sedangkan tachometer bergerak naik begitu cepat hingga mencapai angka 7000 rpm. Posisi kedua mobil masih sejajar, tidak ada yang memimpin.

Namun ekspresi yang ditunjukan oleh dua pengemudi itu bergitu berbeda. Jeff masih terlihat begitu santai, melirik Ezio dengan ekspresi remehnya. Sedangkan Ezio mulai terlihat gusar karena bagaimana pun, camaro itu bisa saja menyalip plymouth miliknya dengan begitu mudah.

Stir mobil berputar cepat, suara deritan ban dengan aspal jalan terdengar nyaring ditengah sepinya malam. Jalanan yang lebar berubah menjadi lebih kecil, masuk dalam kawasan Quarton Road sepanjang 3,5 kilometer. Kali ini Ezio mulai memimpin, bola matanya berulang kali melirik ke arah tachometer dengan was-was, mobil Jeff hanya berjarak beberapa meter dibelakangnya, camaro merah itu seakan-akan meledeknya saat ini. Terlihat bagaimana usilnya Jeff berulang kali mengedipkan lampu dim dan membuat pantulannya begitu silau pada kaca spion mobil.

Mobil berbelok kembali pada kawasan Lasher Road yang lebih lebar dari jalan sebelumnya. Kali ini Jeff mulai terlihat berusaha menyalip, namun tidak bisa dengan mudah karena Ezio juga berusaha menghalangi camaro merah itu agar tidak bisa mendahuluinya. Jika Jeff berbelok ke kiri, maka Ezio dengan cepat menggeser posisi mobilnya ke arah kiri. Begitupun jika Jeff akan menyalip dari sebelah kanan, maka Ezio juga langsung membanting stirnya ke arah kanan.

Jarak keduanya hampir kurang dari satu meter, bumper depan dan bumper belakang nyaris saja menempel. Stir mobil yang dikendalikan Ezio bergerak lincah, benar-benar tidak memberikan celah untuk Jeff menyalip.

Sedangkan Jeff sendiri malah tertawa melihat Ezio yang begitu penuh ambisi ingin memenangkan balapan kali ini. Senyumnya merekah, kaki sebelah kirinya menekan pedal rem, laju kecepatan camaro itu melambat, perlahan mulai tertinggal di belakang.

Ezio tentu saja menyadarinya. Ia melirik Jeff sekilas dari kaca spion tengah, dahinya mengkerut bingung, tidak mengerti kenapa Jeff tiba-tiba malah melambatkan laju mobilnya dan seakan-akan membiarkan Ezio menang untuk malam ini. Hal itu membuat konsentrasi Ezio hampir saja pecah, perasaan khawatir seketika muncul di dalam hatinya karena seharusnya lelaki itu bisa saja memenangkan balapan jika tidak ada sesuatu yang tiba-tiba terjadi dibelakang sana.

Tapi persetan dengan itu semua, Ezio buang jauh-jauh perasaan khawatirnya. Matanya kembali fokus pada jalanan, stir berputar kembali, berbelok ke arah kiri memasuki kawasan W-Maple Road. Ezio sudah tersenyum senang ketika menyadari jika dirinya lah yang akan memenangkan pink slip kali ini.

Namun seharusnya Ezio tahu, ia sudah bertahun-tahun dengan Jeff tapi tidak pernah ingat jika lelaki itu juga licik. Stir mobil terbanting ke arah kanan, Ezio hampir saja kehilangan kendalinya ketika camaro merah itu keluar dari sebuah jalanan kecil, menyalip mobilnya begitu cepat.

“Fuck!” Ezio mengumpat marah, ia dengan cepat memutar kembali stir mobilnya, menyusul Jeff yang sudah lebih dulu berada di depan. Tuas persneling berpindah posisi, mobil tua itu masuk ke dalam gigi terakhir, pedal gas ditekan habis, membuat jarum pada speedometer berada di atas angka 200 kilometer per jam, dan tachometer nyaris menyentuh angka 9000 rpm.

Ezio dibuat kalang kabut seketika, matanya melirik ke arah depan dan jarum pada tachometer berulang kali. Tabung biru pada bagian tengah antara jok pengemudi dan penumpang bagian depan seakan-akan memanggil Ezio untuk memutar tuasnya. Decakan kesal ia keluarkan, cengramannya pada stir mobil lebih mengerat hingga membuat buku-buku jarinya memutih. Mobil berbelok lagi ke arah kiri dan sudah memasuki kawasan Woodward Avenue kembali, garis finish berada di depan mata tapi Ezio masih berusaha menyusul Jeff yang melesat di depannya itu.

Ringisan Ezio terdengar bergitu tercekik, ia sudah menyentuh angka 9000 rpm. Garis finish tinggal beberapa meter di depan dan mobilnya sudah berada tepat di belakang mobil Jeff, stir kembali diputar ke arah kanan, berusaha menyalip, membuat sorak-sorak penonton mulai terdengar samar-samar ditelinganya.

Sedikit lagi, sebentar lagi, nyaris.

Plymouth barracuda dengan kemampuan mesin setara dengan 425 tenaga kuda itu tiba-tiba kehilangan kecepatannya begitu drastis. Piston meledak kurang dari sepuluh meter dari garis finish. Membuat camaro ZL1 itu menjadi pemenangnya dalam match malam ini. Sorak-sorak menggema menyambut si merah yang baru saja melesat melewati garis. Tim lawan bersorak, sedangkan Schatten harus membuang nafasnya berat dengan ekspresi kecewa yang begitu terlihat di wajah.

Mobil tua itu terhenti, Ezio terdiam dengan kepalanya yang ia taruh pada stir mobil. Rahangnya mengeras, menahan emosinya yang bergejolak. Ingin sekali berteriak marah saat mengingat perkataan Jeff pada pesan yang dikirimkannya minggu lalu. Kekalahannya kali ini akan membawa Ezio kembali dalam rengkuhan mantan pacarnya itu.

Di depan sana, di tengah riuh sorakan kemenangan yang digaungkan untuk si pemenang, Jeff keluar dari dalam mobil dengan ekspresi sumringah. Senyumnya mengembang, pundaknya langsung di rangkul oleh orang-orang satu tim-nya, namun matanya tetap fokus menatap Ezio yang tertunduk di balik kemudi.

Senyum kemenangannya perlahan-lahan berganti menjadi satu seringai tipis.

“Malvin mau pinjem hp Daddy, boleh?”

Keheningan yang menyelimuti suasana di dalam mobil itu akhirnya menghilang. Harvey menolehkan kepalanya sekilas ke arah Malvin yang masih melipat tangannya di depan dada dengan ekspresi sebalnya yang masih begitu terlihat. Mata bulat serupa milik Natha itu menatap lurus ke arahnya.

“Buat apa?”

“Mau bilang ke Papa kalo Daddy telat jemput Malvin.”

Harvey menoleh kembali, bibirnya terkulum menahan tawa melihat Malvin yang merajuk. Sebelah tangannya turun dari stir mobil, mengambil ponselnya yang tersimpan di dalam kantung celana kain. Benda pipih berwarna hitam itu kemudian ia serahkan pada anak semata wayangnya itu.

“Kalo gak diangkat Papa, telfon lagi nanti kalo udah sampe rumah.”

“I know.” Sahut Malvin ketus.

Jari-jari kecil Malvin bergerak cepat mencari kontak sang Papa di dalam ponsel Daddy-nya itu. Nama Natha Tanjung berada di barisan paling atas, karena Harvey memang menyematkan kontak suaminya pada bagian paling atas agar ketika Malvin ingin menghubungi Papa-nya seperti saat ini, anak itu bisa dengan cepat menemukannya.

Ponsel yang masih telihat cukup besar di kedua telapak tangan Malvin yang kecil membuatnya harus menaruh ponsel sang Daddy pada pahanya, telunjuknya bergerak menekan ikon kamera, membuat panggilan video.

Hanya membutuhkan waktu beberapa detik saja sebelum wajah Natha memenuhi layar ponsel. Ekspresi wajah Malvin seketika berubah antusias, aura-aura suram yang melingkupi tubuhnya sejak Harvey menjemputnya di sekolah itu seketika sirna.

“Papaaa!”

“Hei, boy! Papa masih kerja, sayang. What's wrong? Kamu kenapa masih pake seragam?”

“Ya, Pa. Itu masalahnya.” Malvin kembali merengut, melirik Harvey dengan ujung matanya sekilas. “Daddy telat jemput Malvin, dua jam!” Dua jari Malvin terangkat ke arah kamera ponsel. “Miss udah telfon Papa tapi kata Miss gak Papa angkat. Jadi Miss tanya ke Malvin buat nomor Daddy biar Miss bisa bilang Daddy, untung Malvin inget nomor Daddy. Sekarang Malvin baru di jemput Daddy makanya Malvin masih pake seragam.”

“Ya, biar nanti Papa yang ngomong sama Daddy, oke?”

Harvey yang masih berkonsentrasi dalam menyetir itu tiba-tiba meringis pelan. Matanya sekilas melirik kembali ke arah Malvin yang sedang mengangguk mengiyakan perkataan Natha.

“Tapi Papa jangan marahin Daddy, ya? Malvin cuman kesel sama Daddy soalnya Malvin tunggu lama di Sekolah. Dua jam, Papa! Malvin bosen temen-temen Malvin udah pulang semua tapi Malvin belum ada yang jemput! Kasian juga sama Miss soalnya Miss harus tunggu Malvin di jemput biar Miss bisa pulang.”

Di ujung sana, Natha menganggukan kepalanya. Tersenyum tipis ke arah Malvin yang bibirnya yang refleks maju beberapa senti ketika sedang bercerita itu.

“Nanti biar Papa yang minta maaf sama Miss.”

Malvin menganggukan kepalanya semangat, membuat rambutnya bergerak seirama dengan pergerakan kepalanya itu. “Tadi juga Malvin udah minta maaf sama Miss, udah bilang thank you juga sama Miss. Daddy juga.”

“Goodboy! Nanti Papa kasih peluk kalo Papa udah pulang. Malv, kalo udah sampe rumah nanti minta tolong ke Daddy ya buat gantiin seragam kamu. Bilang juga ke Daddy kalo ambil baju diangkat, oke? Diangkat, bukan ditarik.”

Suara Natha sedikit membesar dari speaker ponsel. Harvey tahu betul jika suami cantiknya itu sedang menyindir dirinya.

“Oke Papa!” Malvin menganggukan kepalanya kembali. Mata bulatnya memperhatikan Natha yang sedang mengobrol dengan seseorang di ujung sana. “Papa sibuk ya? Papa udah makan?” Tanyanya.

Wajah Natha menghadap kembali ke arah kamera, gantian ia yang mengangguk. “Iya sayang, Papa masih agak sibuk. Papa udah makan tadi, Malvin nanti makan sama Daddy, ya? Bilang ke Daddy, Malvin mau makan apa.”

Malvin menolehkan kepalanya ke arah Harvey. “Papa tanya mau makan apa Daddy?”

“Malvin maunya makan apa?” Tanya Harvey balik.

Kanak-kanak yang baru memasuki kelas satu sekolah dasar itu telihat berpikir, suara 'mmm' terdengar darinya. Kedua kaki Malvin yang menggantung juga bergerak naik turun ketika ia sedang berpikir.

“Subway?” Malvin melihat bergantian ke arah Natha dan Harvey.

“Noo.” Natha menyahut protes. “Malvin udah makan subway kemarin. Jangan sering-sering. Papa boleh minta tolong arahin kameranya ke Daddy, Malv? Papa mau ngomong sebentar sama Daddy.”

Malvin dengan cepat mengarahkan layar ponsel ke arah Harvey sehingga Natha bisa melihat suaminya. “Udah, Papa.”

“Thank you.” Ekspresi wajah Natha seketika berubah datar begitu menatap Harvey dari ujung sana. “We need to talk later, Harvey.”

“I know, Babe. Sorry.” Harvey menatap sekilas ke layar ponsel.

“Seinget gua masih ada beberapa bahan makanan di kulkas, nanti tolong buatin Malvin makan. I give you access to use my kitchen. Dont mess it. Dont burn it. Understand? Atau minta tolong Bibi buat masakin sesuatu.”

“May I just order something to eat, Babe?”

“No.” Natha menyahut tegas. “Malvin masih dalam masa pertumbuhan, jangan keseringan dikasih makanan fastfood. Ah, atau bikinin Malvin kimbab, dia semalem minta buat dibikinin itu tapi tadi pagi gua gak sempet bikinin.”

Harvey menganggukan kepalanya. “Ya, nanti gua coba buat bikin.”

“Oke, thanks. Hati-hati nyetirnya. Malvin?”

“Ya Papa?” Layar kamera kembali mengarah ke wajah Malvin.

“Nanti sampe rumah Daddy bikinin Malvin kimbab buat makan. Selama nunggu Daddy selesai, Malvin mandi ya? Udah pinter mandi sendiri kan?”

Malvin mengangguk semangat. “Udah, Papa!”

“Goodboy. Kalo gitu Papa tutup telfonnya ya? Nanti Papa kabarin lagi waktu mau pulang.”

“Oke, Papa. Papa hati-hati ya! Jangan capek! Love you, Papa!”

Malvin bergerak memajukan bibirnya ke arah layar, membuat Natha terkekeh gemas lalu membalas dengan sebuah kiss bye. Sambungan telfon terputus, benda pipih itu terulur kembali ke arah Harvey.

“Thank you, Daddy.”

Sebelah tangan Harvey bergerak mengambil ponselnya, ia tersenyum tipis, memasukan kembali benda pipih itu ke dalam kantung celananya sebelum bergerak mengusak rambut Malvin. Membuat Malvin memperhatikannya begitu seksama.

“Dad.”

“Ya?”

“Gak mau kimbab. Maunya subway.”

“Hm?” Laju kecepatan sedikit Harvey pelambat, Harvey menoleh sekilas ke arah anaknya itu. “Kata Papa jangan keseringan makan subway. Kan kemaren juga udah makan subway.”

“Maunya subway!” Malvin tiba-tiba merengek, ia menaruh kedua tangannya di sebelah paha Harvey. “Ya, Dad? Kalo Daddy mau beliin Malvin subway, Malvin gak marah lagi sama Daddy.”

“Tapi kata Papa gak boleh.”

“Please?” Ekspresi wajah Malvin terlihat memohon. “Mau subway aja, Daddy. Ya, ya, ya? Daddy jangan bilang Papa, nanti Malvin juga gak akan bilang Papa. Kita kerja sama biar Papa gak tau.”

Ekspresi yang ditunjukan Malvin seketika mengingatkan Harvey akan Natha yang selalu memasang wajah memelas jika keinginannya tidak dituruti. Persis seperti anak kucing. Apalagi ketika Harvey sengaja bergerak lamban saat mereka sedang-

-oh maaf, aku lupa kalau disini ada anak kecil.

“Sekali ini aja, oke? Setelahnya gak ada subway sampai bulan depan. Deal?”

Malvin menganggukan kepalanya dengan semangat. “Deal!”

Sebelah tangan terulur guna menutup jendela ketika angin musim gugur berhembus begitu dingin. Ezio masih terduduk di depan komputernya, satu kakinya terangkat, wajahnya terlihat kumal karena terakhir ia mandi adalah dua hari yang lalu. Ponsel yang tergeletak di samping gelas kopinya masih menampilkan ruang obrolannya dengan Darel. Melirik tak minat pada jam analog kecil yang sudah kusam dan dihiasi sulur laba-laba, sudah pukul enam dan ia masih mengumpulkan niat untuk membersihkan diri walaupun jam kerjanya akan dimulai sebentar lagi.

Kursor bergerak menutup halaman pencarian, komputer dimatikan, dan Ezio turun dari atas kursi seraya melepas kaosnya lalu melemparkannya pada sudut ruangan. Bergabung bersama tumpukan pakaian kotor yang belum sempat ia cuci selama seminggu kebelakang. Ia masuk ke dalam kamar mandi, menyalakan keran, dan berjengit ketika dinginnya air menyentuh kulit.

Ditengah guyuran air shower yang begitu kecil, Ezio termenung, mengingat kembali pesan yang dikirimkan Darel beberapa saat lalu. Ezio sebenarnya tidak peduli, lelaki itu memang kerap datang dan pergi sesuka hati. Datang padanya selama beberapa hari lalu pergi meninggalkan dirinya selama berminggu-minggu. Tidak mengherankan karena Ezio memang menaruh hati pada seorang peddlers yang kerap kali menjadi buronan polisi.

Tapi itu dulu, sebelum akhirnya lelaki itu pergi hampir lebih dari minggu-minggu yang biasanya. Hingga kini memasuki hampir dua tahun tanpa kabar apapun, akhirnya Ezio kembali mendengar jika mantan pacarnya itu sudah kembali ke Michigan. Sebenarnya bukan mantan pacar karena tidak adanya kata putus dari bibir keduanya. Namun kepergian lelaki itu selama hampir dua tahun lamanya membuat Ezio berspekulasi jika mereka memang sudah berpisah.

Keran diputar, air dari bolongan shower berhenti mengalir. Ezio meraih handuknya terlebih dahulu sebelum keluar dari dalam kamar mandi, mengeringkan tubuhnya, dan dengan cepat memakai seragam pegawai minimarket tempatnya berkerja. Menghiraukan rasa lapar yang menyerang lambungnya karena ia memang belum sempat memakan apapun sejak pagi kecuali meminum kopi yang masih tersisa setengah gelas di meja.

Ponsel diraih dan dimasukan ke dalam saku. Ezio mengambil mantelnya yang berada di belakang pintu dan kunci mobil yang mengantung disebelahnya. Berpamitan terlebih dahulu pada ikan-ikan yang berada di kolam sebelum keluar dari tempat tinggalnya yang berupa flat murah di kawasan Palmer Park.

Musim gugur kali ini tepat memperingati tujuh tahunnya Ezio tinggal di Michigan. Lari begitu jauh dari rumah ketika kedua orangtuanya resmi bercerai. Selama beberapa bulan ia hidup sendiri, sebelum akhirnya bertemu dengan Alden, Darel, dan Max dari ajang balapan liar yang sempat ia ikuti ketika tak tahu lagi apa yang harus dilakukannya saat uang di rekeningnya menipis. Kebetulan, ia memang memiliki track record yang bagus ketika masih tinggal di kampung halamannya.

Suara langkah kakinya menggema ketika menapaki anak tangga. Mantelnya lebih ia rapatkan lagi ketika keluar dari gedung flat tempatnya tinggal. Angin kembali berhembus, daun-daun ikut terbang seirama arah pergerakan angin. Ezio dengan cepat berjalan menuju sebuah toyota saluna yang terparkir tepat di bawah pohon sisi jalan, mobil tua pertama yang ia dapati sebagai reward setelah dua kali menang dalam ajang balapan liar.

Sebuah kertas yang terselip di antara wiper diraih. Ezio mengeryit bingung, hanya mendapati sebuah angka yang sepertinya nomor ponsel itu. Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, sepi, tidak menemukan siapapun kecuali mobil yang baru saja berbelok di tikungan depan. Kertas itu ditatapnya selama beberapa detik sebelum berubah menjadi gumpalan dan terlempar ke sembarang arah.

Ezio masuk ke dalam mobil, memanaskan mesinnya terlebih dahulu sebelum roda-rodanya bergerak pada jalanan aspal yang ditutupi oleh dedaunan berwarna oranye kecoklatan. Hanya membutuhkan waktu kurang lebih sepuluh menit untuk sampai di tempat kerjanya yang berada di kawasan Hilton road, pada sebuah minimarket kecil yang buka hingga pukul tiga pagi.

Mobilnya ia parkir terlebih dahulu pada sisi bangunan minimarket yang terdapat sebuah gang buntu. Ezio keluar dari dalam mobil, masuk melalui pintu belakang dan langsung mendapati salah satu temannya hendak keluar, mungkin jadwal shiftnya sudah selesai.

“Oh, udah dateng.” Fin menyapa ketika Ezio baru saja membuka mantelnya. “Gua baru aja mau nelfon lo, Zi.”

Ezio terkekeh, melirik pergelangan tangannya yang dihiasi jam tangan. “Sorry gua telat.”

“No problem. Nanti lo shift bareng Carol ya, dia dateng agak maleman, paling jam sembilan dia dateng.”

“Loh? Tumben cewe dikasih jadwal shift malem?” Tanya Ezio bingung. Ia merapihkan kembali nametag yang berada di sisi kiri dadanya, berkaca sebentar guna melihat penampilannya. “Dia yang minta apa gimana?”

Fin memakai jaket kulitnya terlebih dahulu, kepalanya mengangguk. “Iya. Tapi dia cuman sampe jam 12 aja.”

“Oke.” Ezio menganggukan kepalanya, menepuk pundak Fin sekilas sebelum berjalan menuju ke arah meja kasir.

Toko begitu sepi selama beberapa malam terakhir, tak lebih dari sepuluh pembeli yang datang di rentang waktu pada jam delapan hingga toko tutup. Mungkin efek dari dinginnya udara malam membuat orang-orang enggan keluar dari selimut mereka. Satu pengunjung datang tak lama setelahnya, dengan setelan hitam dari atas sampai bawah hingga topi dan maskernya pun berwarna hitam. Ezio memperhatikannya sekilas, lalu memilih untuk tidak peduli.

Tangannya dengan cekatan menyusun kembali rokok-rokok yang terlihat berantakan pada etalase. Ezio berbalik ketika kaca pada etalase memantukan sosok pengunjung yang baru saja masuk tadi, senyum di wajahnya mengembang, sedikit tertegun ketika hidungnya mencium bau yang familiar. Matanya menatap pada sosok lelaki tinggi dengan wajah menunduk di hadapannya sekilas, sebelum mengedikkan bahunya, tangannya bergerak meraih barang belanjaan lelaki itu untuk ia scan.

“Totalnya enam dolar.”

Dua lembar uang dengan pecahan lima dolar dan satu dolar terulur bersamaan dengan kantung belanja. Ezio langsung memasukan uangnya ke dalam laci kasir, kepalanya terangkat kembali menatap pelanggan yang masih berdiam diri tepat di hadapannya itu.

“Maaf ada yang bisa dibantu lagi?”

Wajah mendongak, satu tangan bergerak membuka masker. Dua pasang mata dengan pupil berbeda warna itu saling menatap, salah satunya membulat kaget, kaki mundur satu langkah ke belakang.

“You still hot as fuck, Zio.”

Suara baritone itu membuat rahang Ezio mengeras, sorot matanya berubah tajam, ekspresi marah terpancar di wajah, dan dengan satu gerakan cepat, ia menarik kerah hoodie lalu kepalan tangannya sukses menghantam wajah Jeff hingga tersungkur ke belakang.

Ezio tak memberikan satu waktu pun pada Jeff untuk melawan-atau bisa dibilang, Jeff pun memang tidak melawan sama sekali. Membiarkan Ezio meluapkan seluruh emosinya. Ezio begitu marah, pukulannya mengarah tepat pada wajah mantan kekasihnya selama beberapa kali sebelum akhirnya menyeret lelaki itu untuk keluar dari dalam minimarket. Nafasnya menderu, menatap Jeff yang tergeletak di trotoar, tak peduli jika para pengemudi yang lewat atau orang lain melihat ke arah keduanya.

“Jangan pernah lo munculin muka lo di hadapan gua lagi!” Ezio mendesis, ia meludah tepat ke sisi tubuh Jeff lalu membalik tubuhnya dan masuk kembali ke dalam toko.

Jeff mendengus, mengelap ujung bibirnya yang terdapat bercak darah. Matanya menatap ke arah Ezio yang berada di dalam toko selama beberapa saat sebelum akhirnya bangkit dan pergi dari sana.

Gelas bertemu dengan gelas, menciptakan suara dentingan yang beradu dengan gelak tawa serta sorak-sorak kemenangan yang menggema. Asap-asap rokok terlepas, aroma alkohol menguar begitu kuat bercampur padu dalam udara club yang panas.

Disalah satu meja dengan sudut paling strategis, Natha memutar-mutar gelasnya dengan ekspresi bosan. Pikirannya terisi penuh. Mengingat kembali perdebatan konyolnya dengan kedua orangtuanya ketika mereka mengatakan akan menjodohkan Natha dengan anak salah satu rekan bisnis mereka.

Oh hell, jaman sudah modern tapi kenapa pemikiran orangtuanya masih begitu kolot? Umur Natha belum mencapai 30, well, ia dua tahun lagi memang menginjak 30 tapi apakah harus ia diburu-buru menikah seperti ini? Kan tidak.

Terlebih kembarannya—Nasha pun tidak pernah disinggung soal pernikahan padahal sudah menjalin asmara begitu lama dengan pacarnya itu. Natha terkadang merasa iri pada Nasha karena, bukankah seharusnya gadis itu yang harus diburu-buru untuk segera menikah?

“Yaudah sih, Nath, terima aja. Siapa tau yang dijodohin sama lo anak tunggal kaya raya.” Deon menaikan bahunya acuh, tersenyum kala salah satu wanita malam mengelus pipinya begitu mendayu. “At least, lo gak usah repot-repot nyari orang buat nikah sama lo nantinya.”

“Lo tau tipe gua kayak apa kan, De?” Tanya Natha. Hembusan nafas beratnya terlepas, gelas yang berada ditangannya ia pindah tempatnya ke atas meja. “I mean, bitch, I'm still young and the arranged marriage is not my style. It's too old, dude.”

“Lo bisa bilang itu karena lo belum ngeliat orangnya.” Gantian Ellio yang menyahut. Lelaki itu meraih sisa risol yang masih—oke, membawa risol ke dalam club emang sudah kewajiban Ellio karena ia berdagang risol—tersisa satu buah di atas meja. “Fifty-fifty. Pilihannya cuman dua, you'll get a hot daddy or an old man with his old money.”

“Natha pasti berharap opsi yang pertama sih. But gak menutup kemungkinan antara hot mommy atau gadis polos yang nurut banget sama ortunya. We don't know the gender, right?” Deon tergelak, suara kekehannya terdengar begitu menjengkelkan di telinga Natha. “Tapi udah lah, gak usah terlalu dipikirin. Liat dulu bentukannya kayak apa nanti, sekarang mending kita party.”

Bungkus rokok diraih, satu batang gulungan nikotin itu keluar dari dalam box dan langsung terselip dibelahan bibir Natha. Salah satu wanita yang berada disisinya dengan cepat meraih pematik lalu menyalakannya, asap kecil kemudian membumbung bercampur dengan udara di dalam club. Sudut bibir Natha tertarik sekilas, “Thanks, Ivy.”

“Mau minum lagi, bos?” Tawar wanita bernama Ivy itu seraya mengisi ulang gelas Natha hingga penuh.

Natha mengangguk tipis, ia biarkan Ivy bergelayut manja dilengan kanannya sebagai ucapan terima kasih. Ujung rokok diketuk pada pinggiran asbak, mata Natha kembali menatap kedua sahabatnya itu secara bergantian. “Turun gak?”

Deon serta Ellio kompak mengalihkan pandangannya. “Mau sekarang?” Tanya Deon.

“Gua pusing banget, goyang tipis-tipis kayaknya bisa ngilangin stress gua.” Sahut Natha sambil terkekeh. “Lo turun gak, El?”

“Gua tunggu di sini aja deh. Lagi males.” Ellio membuang nafasnya gusar. Kepalanya menoleh menatap sekeliling dnegan hati-hati, ia condongkan tubuhnya lebih dekat ke arah meja seraya menatap Deon dan Natha secara bergantian. “Pstt.. di sini boleh nitip jualan risol gak sih?”

“ELLLL!!!”

Natha dan Deon menyahut kompak, kelopak mata mereka melebar, tatapan tak percaya melayang pada lelaki yang kini menggaruk tengkuknya kikuk itu.

“Ya kan cuman nanya.” Ellio terkekeh.

“Aduh udah deh gua gak ngerti banget sama jalan pikiran lo.” Natha membuang nafasnya berat. “Bisa-bisanya mau nitip risol ke club.”

“Ya siapa tau gitu. Eh Nath, kalo bisa lo request ke bonyok lo buat nyari calon yang punya club, biar gua bisa nitip dagangan.” Kedua alis Ellio naik sebanyak beberapa kali.

Natha mendengus, ia menoleh ke arah Deon. “Turun sekarang De, gua bisa gila lama-lama.”

Bersamaan dengan itu, intro musik yang diawali dengan suara terompet menggema. Natha bersorak, ia bangkit dari posisi duduknya lalu membuang rokok yang baru ia hisap beberapa kali itu sebelum meraih satu botol whiskey yang berada di atas meja. Sebelah tangannya langsung di tarik oleh Deon agar segera bergabung dengan muda-mudi lainnya di lantai dansa.

Melihat kedua temannya mulai bergoyang, Ellio terdiam sejenak sebelum akhirnya ia berteriak, berlari menuju Natha serta Deon dan bergabung bersama mereka berdua. Meninggalkan para wanita malam yang sempat Deon book dengan harga mahal untuk menemani mereka.

Persetan dengan wanita, lagi pula ketiganya pun tidak tertarik dengan wanita.

Worth it dari Fifty Harmony dengan remix dari seorang DJ di atas panggung mengantar Natha menuju titik kesenangannya. Ia bergoyang, meloncat-loncat, meliukan tubuhnya seirama dengan musik, dengan tangannya yang masih setia memegang botol whiskey.

“FUCK MARRIAGE!! I RATHER TO BE ALONE 'TILL I DIE!!” Teriak Natha, ia mendekatkan ujung botol pada bibirnya, meneguk cairan berwarna keemasan dengan kadar alkohol tinggi itu.

Natha semakin menggerakan tubuhnya tidak terkontrol, tangannya yang memegang botol ia angkat tinggi-tinggi, membuat perut ratanya semakin terekspos karena ia hanya menggunakan croptop. Tawanya lepas, tidak ingin memikirkan tentang perjodohan konyol yang kedua orangtuanya rencanakan itu.

Pinggulnya bergoyang seirama dengan bahunya yang kini saling senggol-menyenggol dengan Ellio. Wajahnya semakin merah, rambutnya yang tadi tertata rapih kini terlihat berantakan. Tawa Natha menguat begitu lepas, kesadarannya mulai terambil alih oleh banyaknya alkohol yang masuk ke dalam tubuh.

Botol yang tadi masih terisi penuh itu kini hanya menyisakan sedikit cairan di dalamnya. Natha mencapai titik tertinggi kesenangannya, ia sempoyongan, bunyi hik sesekali keluar dari mulutnya.

Namun seperti menaiki sebuah rollercoaster, kesenangannya tidak bertahan lama. Ponsel di saku jeans bergetar, Natha seketika menghentikan pergerakannya dengan alis mengeryit. Ponselnya ia raih, sedikit memicingkan matanya guna melihat siapa yang berani-beraninya menganggu kesenangannya saat ini.

“Shit.” Natha mengumpat kembali begitu ia dapati nama Nasha tetera di sana. Tombol merah ia tekan, lalu kembali memasukan ponselnya ke dalam kantung.

Diujung sana, Nasha tidak menyerah untuk menghubungi kembarannya. Gadis itu sebenarnya tidak peduli dengan apa yang dilakukan Natha sekarang, tapi Nasha sudah cukup muak mendengar Ibunya berulang kali menanyakan keberadaan Natha ketika terbangun dari tidurnya.

Kesabaran Natha memang tipis, terlebih ia dalam pengaruh alkohol sekarang. Jadi begitu ponselnya berdering untuk kesekian kalinya, Natha kembali mengumpat marah, ia mundur beberapa langkah, kemudian dengan cepat meraih ponselnya.

“Apa sih, njing! Gua lagi di club.” Ucap Natha setengah berteriak.

“Pulang, bangsat! Bunda nanyain lo terus, gua muak ditanyain mulu. Balik sekarang!” Nasha menyahut dengan intonasi suara tak kalah tinggi. “Balik sekarang atau lo gua seret pulang!”

“Ck, bacot ah.” Natha meraih sebuah tiang ketika ia hampir saja limbung. “Gua balik sekarang.”

Ponsel dimasukan kembali, kelopak mata Natha mengerjap cepat guna meraih fokusnya. Ia menatap Deon serta Ellio yang masih sibuk bergoyang, tidak sadar jika Natha sudah mundur dari lingkaran kesenangan itu.

Botol whiskey yang sudah kosong itu Natha taruh disembarang meja. Kepalanya menggeleng, ia menepuk-nepuk pipinya sendiri agar tetap dalam kesadarannya, berjalan sempoyongan menuju arah pintu keluar.

Natha membutuhkan waktu hampir lima belas menit lamanya untuk sampai di area parkir basement. Kelopak matanya mengedip semakin lambat, tangannya bertumpu pada tembok selagi kakinya melangkah. Begitu linglung mencari keberadaan mobilnya sendiri, ia kembali berdecak jengkel, meraih remote key yang berada di kantung belakang lalu menekannya sekali.

Kekehannya mengalun ketika menyadari jika civic hitam kesayangannya hanya berjarak beberapa mobil dari tempatnya berdiri. Natha kembali melangkah, lebih sempoyongan dari sebelumnya karena kesadarannya yang semakin menipis.

Akibat itu juga, Natha justru tidak berjalan menuju ke arah mobilnya. Ia malah berjalan ke arah mobil yang posisinya bersebelahan dengan mobilnya itu. Pintu dibuka, ia masuk ke dalam mobil dibagian kursi penumpang, tidak sadar sama sekali jika ada seorang lelaki di kursi pengemudi yang menatap tajam ke arah dirinya.

Posisi duduknya Natha benarkan, kelopak matanya yang sayu mengerjap cepat. “Loh stirnya kok gak ada? BANGSAT KOK MOBIL GUA GAK ADA STIRNYA!!!” Kata Natha panik.

“Stupid.”

Sahutan itu seketika membuat Natha menoleh, matanya melotot. “Shit! Who the fuck are you? Get out of my car!”

“Your car?” Lelaki itu menaikan sebelah alisnya. “This is my car, slut. You get the wrong car.”

“Oh?” Natha membeo, ia menatap dashboard dengan linglung. “This is not my car?”

Lelaki itu—Harvey, berdecak mendengar celotehan Natha. Posisi duduknya ia miringkan, satu tangannya ia taruh di atas stir, mata tajamnya memperhatikan Natha yang begitu linglung karena pengaruh alkohol.

Harvey mendengus geli, kepalanya menggeleng kecil karena tidak menyangka jika pertemuan pertama mereka harus terjadi di basement parkiran club, karena seharusnya mereka akan bertemu pada makan malam keluarga nanti.

“Natha Dimitri, right?” Harvey menyeringai begitu Natha kembali menoleh dan menatap dirinya dengan alis mengernyit.

“You know my name?” Tanya Natha, ia condongkan tubuhnya ke arah Harvey guna menatap wajah lelaki itu lebih dekat. “Did we know each other?”

Harvey mengangguk. “Yeah, but actually we should meet at the dinner.”

“The dinner? What's dinner?” Tanya Natha lagi, sebelah tangannya terangkat, menyentuh wajah Harvey. “Dude, you have so fuckin' handsome face—can I sit on it?”

“Ah,” Tawa Harvey mengalun, ia gulung terlebih dahulu lengan kemejanya hingga sebatas siku. Setelahnya ia kembali menatap wajah Natha, tidak menyangka jika Natha akan begitu frontalnya pada pertemuan pertama mereka. “For now, you can't. But you can sit on my face after we married.”

“Who's gonna married?” Bola mata Natha bergulir, menatap pahatan wajah Harvey lalu berhenti tepat pada bibir. Sama sekali tidak fokus dengan ucapannya maupun ucapan Harvey. “Your lips are so plump.” Bisiknya lirih seraya mengelus permukaan bibir Harvey. “I wanna try it too.”

Harvey tahu, meladeni seseorang yang sedang diselimuti pengaruh alkohol hanya membuang-buang waktunya. Tapi yang berada di hadapannya kali ini Natha, Natha Dimitri, sosok yang dipilih orangtuanya untuk menjadi pendamping hidupnya kelak.

Well, Harvey merasa sedikit tak enak hati pada sang Ibu karana sejujurnya, ia pun sempat menolak perjodohan ini. Namun ketika ditunjukan bagaimana rupa sosok calon pendamping hidupnya, tidak ada kata 'tidak' dalam kamus hidup Harvey saat itu.

“My mom has a good taste.” Bisik Harvey lirih, menatap wajah Natha yang begitu cantik walaupun dia seorang lelaki. “Natha.”

“Ya?” Nada suara Natha berubah seperti kanak-kanak, senyumnya merekah lebar, kemudian tertawa kecil. “You know—hey, what's your name?”

“Harvey. Harvey Tanjung.”

“Yeah, Harvey.” Natha menjauhkan tangannya dari wajah Harvey, kelopak matanya terpejam ketika menyandarkan punggungnya kembali pada punggung jok. “Lo mau tau gak—hik, lo mau tau gak orang paling kolot di dunia ini siapa?”

“Hm? Siapa?” Harvey menyeringai, begitu siap meladeni ocehan mabuk Natha.

Hembusan nafas berat terhela. Natha kemudian menoleh ke arah Harvey, lalu dengan tiba-tiba menarik kerah kemeja hitam lelaki itu sehingga wajah mereka hanya berjarak kurang dari lima belas senti. “My parents.”

“Why?”

“Mereka mau ngejodohin gua, damn it! You should know how frustated I am right now, Harvey! I'm gonna married with—I dont know who the fuck that person is!” Natha melepas kerah kemeja Harvey dengan sedikit tekanan. Ia tiba-tiba merasa begitu kesal. “The world must be kidding me.”

Harvey terdiam selama beberapa saat sebelum sebelah tangannya terulur, meraih wajah Natha agar menatap kembali padanya. “Hey, Natha.”

“Hm?”

“You said you wanna sit on my face and kiss my lips, right?” Sorot Harvey menatap wajah Natha begitu intens. “So, terima perjodohannya.”

“Tapi gua gak mau, anjing!” Natha merengut, ekspresi wajahnya berubah masam. “I'm still young, Harvey. I dont—hik have enough time for that shit.”

Harvey menjepit dagu Natha dengan kedua jarinya, ia bawa lebih dekat lagi paras cantik itu. “You should, Natha.” bisiknya menuntut.

“What if I didn't?” Tanya Natha, ia menggeser posisi duduknya hingga ke pinggir agar bisa mengalungkan kedua tangannya di leher Harvey. “If it's you, well, mungkin gua masih bisa pertimbangkan.”

Harvey mendengus geli, astaga, ia tidak menyangka jika meladeni Natha akan sebegini menyenangkannya. “You really a stupid slut, Nath.”

Bukannya marah, mendengar perkataan Harvey barusan malah membuat Natha tertawa. Sebelah alisnya terangkat, menatap Harvey dengan wajah yang ia buat begitu polos. “That's I am, dude. Thank you so much for praising me.”

Mereka berdua terdiam setelahnya, saling menatap wajah satu sama lain dengan jarak dekat. Natha mengigit bibir bawahnya, matanya mengerling, semburat kemerahan pada pipinya menambah kadar keindahan pada parasnya yang begitu cantik. Kesadarannya hanya tersisa beberapa persen lagi, ia terlena akan sorot tajam yang diberikan oleh Harvey. Terlebih aura lelaki itu yang begitu dominan, seakan mencekik Natha agar tunduk dengan apapun perintah yang keluar dari mulut Harvey.

Harvey kembali menyeringai, ibu jarinya yang masih mengapit dagu Natha ia turunkan, dan secara refleks bibir Natha turut terbuka. Ia bisa mencium aroma alkohol yang begitu kuat, bercampur dengan aroma manis dari tubuh Natha yang seperti perpaduan antara anggur dan kayu aras. Kuat, namun lembut secara bersamaan.

Ini mungkin akan terlihat begitu gila untuk dua orang yang baru saja bertemu pertama kalinya beberapa menit lalu tapi—

Harvey dengan cepat menarik tengkuk Natha, mencium bibir yang sukses membuat ia tidak bisa menahan dirinya sendiri. Persetan dengan segalanya, Harvey hanya ingin merasakan bagaimana nikmatnya bibir itu sejak sang Ibu pertama kali menunjukan foto Natha.

Sedangkan Natha? Tentu saja tidak menolak. Ia malah mengeratkan kalungannya pada leher Harvey, tak peduli jika yang ia cium ini adalah orang asing yang baru saja akan menorehkan cerita bersama dengannya nanti. Beruntungnya Harvey karena Natha kini dalam pengaruh alkohol, jadi ia tidak terkena makian serta omelan Natha yang begitu memekakkan telinga.

Tubuh Natha semakin merangsak maju, Harvey dengan cepat meraih pinggulnya, menarik Natha agar berpindah posisi menjadi duduk di atas pangkuannya. Membuat mereka semakin larut memperdalam ciuman. Lidah saling membelit, gigitan dibalas gigitan, saliva mereka bercampur satu sama lain.

Setengah dua pagi, diparkiran basement, dua orang anak adam saling mencumbu satu sama lain dalam sebuah mobil hitam yang atmosfernya kini kian memanas.

Natha gunakan satu tangannya untuk meremat rambut Harvey ketika lelaki itu mengulum bibir bawahnya kuat, satunya lagi bergeriliya mengelus permukaan dada bidang Harvey hingga bergerak semakin turun.

Kedua tangan Harvey tersampir di pinggang Natha, mengelus permukaan kulitnya yang lembut. Tubuh Natha terasa begitu pas dalam rengkuhannya, ia menyeringai dalam ciuman. Juna dan Eric benar, Harvey akan mendapat jackpot jika Ibunya lah yang memilih sendiri bakal calon menantunya itu.

Pergerakan tangan Natha semakin nakal, mengelus permukaan otot perut Harvey yang begitu terasa ditelapak tangannya. Ia bergerak semakin bawah, menyeringai ketika menyentuh area paling terlarang untuk disentuh oleh orang asing yang baru pertama kali bertemu.

“Dude,” Natha menjauhkan bibirnya, membuat untaian saliva memanjang dari bibirnya dan bibir Harvey. Tangannya mengelus kembali gundukan yang berada tepat di depan tempatnya duduk itu. “You really have a big dick. That's awesome! I wanna ride it.”

Harvey tertawa, ia menarik pinggul Natha agar tubuh mereka lebih menempel. “Natha.”

“Ya?”

“Natha Tanjung. Sounds better.”

Alis Natha seketika bertaut, matanya yang sayu berusaha meraih fokus. “Tanjung? Who's Tanjung?”

“Me.” Harvey berbisik tepat di depan bibir Natha. “I'm the Tanjung, Natha. The one and only person who will put a ring on your finger. Soon, you'll scream that name when you begging me to get harder.”

“Oh wow!” Natha terpekik lucu, ia bertepuk tangan seperti seorang kanak-kanak yang mendapatkan pujian dari sang Ibu. “Really? When? Right now?”

“I said soon, baby bitch. Not now.” Harvey berdecih sebelum mengecup belahan bibir yang terlihat membengkak akibat ulahnya itu. Satu tangan Harvey bergerak menyelipkan rambut Natha pada belakang telinganya. “You're so fuckin pretty, Dimitri. A son of Aprodhite.”

Natha tersenyum, menatap wajah Harvey selama beberapa saat sebelum ia menyandarkan kepalanya pada pundak lelaki itu. “Harvey.”

“Yes, doll.” Sahut Harvey dengan suaranya yang dalam. “You need something?”

“Gua ngantuk.” Kelopak mata Natha bergerak semakin lambat, pandangannya memburam. “May I sleep in your arms? The world so cruel to me, Harvey, and I need someone to cheer me up. Gua gak mau dijodohin, gua gak mau nikah, tapi orangtua gua maksa gua buat nikah. Fuck, kenapa mereka gak maksa Nasha aja sih? Kenapa harus gua? Harvey, please help me.”

Rengekan Natha yang begitu hiperbolis membuat Harvey mendengus geli, ia mengelus punggung Natha dengan satu tangannya. Natha meminta bantuan dirinya agar tidak dijodohkan? Tentu saja Harvey tidak akan bisa membantunya.

“Tapi kalo nikahnya sama lo, gua mau.” Natha terkekeh, suara hik keluar kembali dari mulutnya. “I mean yeah, you're really the type of a hot dominant I've been searching for. How old are you?”

“Twenty-nine.”

“Wow, still young.” Natha menganggukan kepalanya tipis. “Did you have a girlfriend? Or wife? Or a child?”

“I dont have one.” Harvey dekatkan bibirnya pada telinga Natha. “But I have you, Natha.”

“That's great.” Natha terkekeh kembali, tapi nada suaranya begitu lirih.

Perlahan, Natha hanyut dalam buaian yang Harvey berikan. Kelopak matanya terpejam, ia tersenyum tipis sebelum akhirnya benar-benar kehilangan kesadarannya.

Begitu matahari sudah berada di atas kepala, Natha baru terbangun dari tidurnya. Kepalanya pening luar biasa, kelopak matanya terbuka secara perlahan guna membiaskan cahaya yang masuk ke dalam retina. Mengernyit bingung ketika mendapati Nasha sudah berdiri di ujung kasur, gadis itu melipat tangannya di depan dada, menatap Natha penuh sangsi.

“Good job, Natha. Seharusnya Bunda gak usah repot-repot ngebujuk lo buat nerima perjodohan.”

“Hah?” Natha membeo, ia menatap bingung ke arah sekeliling. Seingatnya, ia berada di parkiran basement sebelum kesadarannya terenggut, lalu kenapa tiba-tiba ia sudah berada di kamarnya sendiri?

“Bingung ya kenapa bisa di rumah?” Nada suara Nasha terdengar begitu sinis. “Calon suami lo yang bawa lo ke rumah.”

“Calon suami? Gila ya lo! Calon suami dari mana coba.” Natha memegang kepalanya yang tiba-tiba berdenyut. “Gua tetep gak akan terima perjodohan itu ya, Sha. Terserah mau Ayah Bunda maksa gua kayak gimana, gua gak akan terima!”

Nasha berdecak, ia dengan cepat berjalan menuju sisi Natha, lalu menoyor kepala kembarannya itu. “Tolol! Gak mungkin lo bisa nolak karena Bunda udah liat sendiri lo dianter pulang sama Harvey!”

“Harvey? Siapa Harvey?” Tanya Natha bingung. Ia tak mengingat apapun setelah ia tiba di parkiran basement pagi buta tadi. Seingatnya ia hanya jatuh tertidur, di dalam rengkuhan yang entah siapa itu.

“Harvey Tanjung. Calon suami lo.”

Harvey Tanjung....

Natha seketika merasa tak asing dengan nama itu, pusing dikepalanya semakin menjadi ketika berusaha mengingat hal bodoh apa yang ia lakukan setelah tiba di basement. Yang ia ingat hanya dia berjalan masuk ke dalam mobil, ada sosok lelaki disebelahnya, lalu mereka berciuman. Natha benar-benar tak bisa mengingat rupa dengan siapa ia bercumbu semalam.

“Who the fuck Harvey Tanjung is?” Bisik Natha frustasi.


Natha membuang nafasnya berat untuk kesekian kalinya, pelipisnya mendadak pening, ia tatap kembali punggung Harvey yang masih berdiam diri sejak mereka menginjakan kaki ke halaman belakang, setelah acara makan malam keluarga mereka.

“Fuck,” Umpat Natha pelan, hampir seperti bisikan. “Aneh banget dunia.”

Harvey diam-diam mendengus geli, ia bisa mendengar jelas umpatan Natha barusan karena keadaan yang benar-benar sepi. Perlahan, ia membalikan tubuhnya. Kedua tangannya masuk ke dalam kantung celana kainnya, dengan lengan kemeja yang digulung sampai siku. Mata tajamnya menatap Natha yang kini menundukan kepalanya itu.

“So, gimana Natha Dimitri?” Tanyanya dengan nada tenang. Suara maskulinnya menyentuh gendang telingan Natha, membuat sang empu mengangkat wajahnya. “Iya atau engga?”

“Fuck you!” Umpat Natha jengkel, kepalanya mendongkak, menatap Harvey dengan tatapan kesal. “Jangan karena kita ciuman tadi malem gua bakalan terima perjodohan ini. Gak! Sampe kapan pun gua gak akan terima!”

Harvey menaikan sebelah alisnya, lalu tertawa. Kakinya maju dua langkah mendekat ke arah Natha. “You said you wanna sit on my face and ride my dick. So, can you just say yes, baby doll? And I'll give you what you want.”

“Gua mabok!” Natha menyahut galak. “Cuman orang tolol yang nganggep omongan orang mabok itu serius! Dan lo orang tololnya!”

Lagi-lagi Harvey tertawa. “Natha, Natha, bukannya omongan orang mabok itu omongan paling jujur?”

Natha dibuat terdiam seketika.

Harvey yang melihat Natha terdiam itu kembali mengambil beberapa langkah maju. Membuat Natha seketika menegakkan tubuhnya dan langsung memundurkan posisi duduknya.

Ah, Harvey kini berpikir betapa berbedanya Natha ketika dalam pengaruh alkohol dan dalam keadaan sepenuhnya sadar. Seperti dua kepribadian yang berbeda. Natha yang mabuk begitu lucu, polos, dan penurut. Sangat berbeda dengan Natha yang berada dihadapannya sekarang, begitu keras kepala, denial, dan sibuk mengumpati Harvey sedari tadi.

“Your eyes can't lie to me, baby.” Bisik Harvey penuh penekanan, menatap tajam Natha yang mendadak terlihat seperti kelinci percobaan yang ketakutan namun masih mencoba telihat galak. Satu tangannya terulur, dua jarinya mengapit kuat dagu Natha agar lelaki cantik itu tetap mendongak ke arahnya. “I want a needy sub riding my thigh, seeing how pathetic he looks while moaning my name and telling me to fuck him. And I just want you to do that.”

“But I'm not.” Natha masih berusaha menolak. Mengabaikan tatapan Harvey yang seakan-akan sedang mengulitinya itu, Natha melepas cengkraman Harvey pada dagunya. “I dont want this, Harvey. We're in millenials era and that shit is just too old, and the most important thing is, I dont like you, asshole!”

“Oh really? Maybe you should say that without looking like you want me nine-inches deep inside of you.” Harvey mendengus remeh, ia merundukkan tubuhnya hingga Natha dengan refleks terpojok, kedua tangan Natha langsung menopang tubuh. “But that's okay, gua bisa bikin lo suka sama gua.”

“Mau lo apa sih, Vey?” Tanya Natha, tak habis pikir dengan Harvey yang benar-benar menuntut, tidak terbantahkan. “Sekali gua bilang gak akan nerima perjodohan ini, ya eng—akh!”

Ucapan Natha terhenti ketika Harvey dengan cepat mencengkram lehernya, ia menatap lelaki yang berada dihadapannya dengan sorot nyalang. Kedua tangannya berusaha melepas cengkraman Harvey, namun terlihat sia-sia karena semakin ia berusaha, semakin erat juga tangan itu mencengkramnya.

“Lo harus tau kalo gua gak suka sama pembangkang, Natha.” Desis Harvey, ia semakin merunduk, sebelah lututnya bertumpu pada bagian ujung gazebo diantara kaki Natha yang terbuka. “And I know you're just being a brat just because you want to be choked.”

Natha terdiam kembali, ia menatap wajah Harvey yang berada tepat di depan wajahnya. Tak lama, Natha mendengus, lalu salah satu sudut bibirnya tertarik.

Sial, Harvey begitu cepat menemukan topeng aslinya.

Kerah kemeja ditarik, suara debuman pada papan kayu gazebo terdengar cukup kencang ketika Natha membalik posisi tubuh mereka berdua. Harvey kini terlentang di atas gazebo, sedangkan Natha menduduki lelaki itu tepat di atas perutnya. Tawa remeh Harvey mengalun, tidak menyangka dengan pergerakan Natha yang begitu tiba-tiba.

Cengkramannya mengerat kembali, membuat Natha terlihat benar-benar tercekik, wajahnya memerah dengan nafas yang menderu. Tapi Natha tak peduli, ia justru malah menyeringai kembali. Merasa senang dengan perlakuan yang Harvey berikan.

“Yeah, Harvey. I'm the sub who talks shit until your dick slams me so hard.” Bisik Natha, sebelah tangannya terulur guna mencengkram leher Harvey sama dengan apa yang lelaki itu lakukan. “But I'm not lying if you're really an asshole.”

“Thanks, pretty. I'll take it as a honour.”