sweettynsaltt

Stir mobil berputar ke arah kiri, Harvey menolehkan kepalanya mencari keberadaan bengkel yang Natha maksud. Begitu menemukan apa yang dicari, lampu sen kiri menyala, mobil hitam itu menepi di sebrang jalan tepat di depan bengkel.

Harvey mendengus geli begitu melihat Natha yang kini sedang asik duduk di depan tukang rujak buah, terlalu sibuk mentap ke arah potongan buah segar tanpa menyadari jika Harvey kini sudah berada di sebrang jalan.

Mesin mobil dimatikan, Harvey menolehkan kepalanya ke belakang sebelum membuka pintu mobil. Begitu keadaan cukup aman, ia baru keluar dari mobil dan menolehkan kembali kepalanya ke kanan dan ke kiri sebelum menyebrang. Kakinya kemudian berjalan mendekat ke arah Natha yang belum sama sekali menyadari keberadaannya.

“Natha.”

Plastik mika yang berisi potongan buah-buahan itu hampir saja terjatuh jika Natha tidak memiliki refleks yang bagus. Kepalanya mendongkak, menatap ke arah Harvey yang sudah berdiri di sisinya dengan pipi yang menggembung.

“Mau ini?” Tawarnya pada Harvey dengan wajah polos, seakan-akan melupakan kejadian marah-marahnya dengan Harvey. “Enak.”

Potongan buah mangga masuk ke dalam mulutnya. Natha berdehem pelan untuk menghindari rasa gugupnya akibat tatapan Harvey yang begitu datar. Mengabaikan hawa-hawa tidak mengenakan yang menguar dari tubuh Harvey.

'Ini orang kayaknya marah sama gua deh' batin Natha.

Harvey tersenyum singkat, kepalanya menggeleng tipis. “Thanks. Mobil lo apanya yang rusak?”

“Gatau, belum di cek sama mekaniknya.” Natha menolehkan kepalanya sekilas ke arah bengkel. “Masih rame, tapi kayaknya kena alternatornya deh. Pas mogok tadi bau karet kebakar.”

“Udah bilang sekalian diservis?” Tanya Harvey lagi, ia menggeser tubuhnya sedikit ke depan Natha agar Natha tidak langsung berhadapan dengan jalanan yang sedang ramai. Natha menggelengkan kepalanya. “Bilang sekalian. Minta cek semua komponen biar dipakenya enak.”

“Nanti dulu, mau abisin ini.” Natha menunjuk rujaknya yang masih sisa setengah. “Lama gak ya kira-kira?”

“Mau pulang dulu aja?” Tawar Harvey. “Kalo emang gak memungkinkan selesai malem ini, besok pagi diambil.”

“Terus gua ke toko gimana besok?” Tanya Natha, kepalanya menunduk karena pegal. Terlalu lama menatap wajah Harvey yang berada di atasnya. “Mana harus pagi-pagi soalnya banyak pesenan.”

“Gua anter.” Sahut Harvey singkat. “Get up, Natha.”

“Hah?”

“Get up. Tell the mechanic you'll pick up your car tomorrow.”

“Belum abis, sabar sih!”

“Natha.”

Natha berdecak, Harvey ini benar-benar keras kepala. Ia kemudian bangkit dari duduknya dengan wajah masam, mika yang berisi rujak buah itu ia tutup terlebih dahulu.

Namun sebelum kakinya melangkah, sebelah tangan Harvey terulur dan membenarkan posisi kaos v-neck yang digunakan Natha agar tidak terlalu mengekspos dadanya. Natha sedikit tertegun tapi ia tidak mengucapkan sepatah katapun. Begitu Harvey menarik tangannya kembali, barulah Natha melangkahkan kakinya ke arah bengkel.

Tidak butuh waktu lama untuk Harvey menunggu Natha berbincang dengan mekanik. Kaki Natha menghentak-hentak setiap langkahnya, mungkin masih merasa kesal. Ia kemudian berdiri di hadapan Harvey masih dengan wajah masam.

Belum sempat ia membuka mulut, Harvey langsung meraih sebelah tangannya. Menggenggamnya erat hingga Natha tiba-tiba panik sendiri.

“Mau ngapain?”

“Pulang.” Kata Harvey sambil menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, bersiap untuk menyebrang.

“Bentar! rujaknya belum dibayar!”

Harvey menoleh sekilas ke arah Natha yang kini meringis. Tanpa melepas genggamannya, Harvey mendekat ke arah penjual buah, mengeluarkan selembar uang pecahan limapuluh ribu lalu memberikannya pada pedagang rujak.

“Sebentar mas, kembaliannya.”

“Gapapa pak, gak usah. Buat bapak aja.” Harvey tersenyum ke arah pedagang buah, ia kemudian langsung menarik Natha begitu jalan dirasa aman untuk menyebrang.

Natha berulang kali mencoba melepaskan genggaman tangan Harvey namun sepertinya sia-sia. Harvey tidak membiarkan tangannya untuk lepas, membuat Natha langsung di serang rasa takut.

“Harvey! Lepas!” Katanya berusaha galak. Namun begitu Harvey menoleh singkat ke arahnya, Natha langsung menelan ludahnya gugup. “M-maksudnya jangan kenceng-kenceng megangnya! Sakit!”

Genggaman tangannya sedikit Harvey kendurkan. Begitu ia sampai di sisi mobil bagian penumpang, pintu mobil langsung dibukanya, genggaman tangan mereka terlepas.

“Masuk, Nath.”

Natha mendengus jengkel. “Bawel.”

Gerutuan kecil masih saja keluar dari bibir Natha, bahkan ketika Harvey sudah duduk dikursi kemudi. Mesin mobil kembali menyala, sen sebelah kanan mengedip, begitu jalanan sudah cukup lenggang baru Harvey memutar balik mobilnya dan berjalan pulang.

Selama perjalanan yang memakan waktu hanya 10 menit, Harvey dan Natha sama-sama terdiam. Atmosfer di dalam mobil berubah menjadi tidak mengenakan. Baik Natha maupun Harvey seakan-akan mengibarkan bendera perang tak kasat mata.

Kali ini pintu gerbang rumah di buka oleh asisten rumah tangga baru, seorang ibu-ibu yang mungkin berada di usia kepala empat. Mungkin belum sempat pulang tepat waktu karena ini hari pertamannya bekerja.

Begitu mobil sudah berhenti di garasi, Natha langsung membuka pintu mobil, namun tidak bisa terbuka karena Harvey masih menguncinya.

“Buka pintunya.” Kata Natha dengan nada jutek. “Harvey!”

Harvey menoleh ke arah Natha, sorot matanya menatap tajam Natha yang masih saja berusaha membuka pintu. “Pintu mobil gua bisa rusak kalo terus lo gituin.”

“Ya makanya buka!” Sentak Natha, “Kenapa sih elah, jangan ngeselin deh.”

“Ada kaca di atas kepala lo.” Suara Harvey mengalun datar. “Lain kali, kalo emang mau pake derek, kabarin. Jangan bikin orang khawatir.”

Sebelah alis Natha naik, alisnya mengkerut. “Inget kita cuman temen.”

“Bukan masalah temen atau apa,” Harvey hadapkan tubuhnya ke arah Natha. “Kalo lo kenapa-kenapa dijalan, yang ditanya duluan sama orangtua kita pasti gua, Natha, yang tanggung jawab pasti gua.”

Natha terdiam, ia alihkan pandangannya ke arah lain yang penting tidak menatap ke arah Harvey. Tangannya yang masih memegang handle pintu perlahan di lepasnya.

“Jangan karena kita emang sepakat buat jadi temen lo bisa seenaknya, Natha Dimitri.” Harvey membuang nafasnya berat, “Lo juga harus sadar sama sikap lo, sama kelakuan lo. Gua gak pernah pengen lo dapet musibah atau hal buruk apapun itu, tapi kalo semisalkan lo lagi gak beruntung gimana? Akhirnya gua juga yang harus tanggung jawab karena gimana pun gua suami lo.”

Kepala Natha menunduk, mulutnya tiba-tiba kelu. Giginya bergemeletuk, ujung kukunya bertemu dengan ujung kuku lainnya. Masih bingung harus mejawab ucapan Harvey dengan apa.

“Liat gua.”

Nada suara Harvey mengalun seperti perintah, tapi Natha tak kunjung menolehkan kepalanya. Membuat tangan Harvey terulur untuk menjepit dagu Natha, lalu menariknya agar Natha menatap ke arahnya.

“Paham, Natha?” Tanya Harvey. “Paham sama apa yang gua omongin barusan?”

Kepala Natha kemudian mengangguk tipis. “Sorry.”

“Paham, gak?”

“Paham.”

“Goodboy.” Harvey melepas dua jarinya di dagu Natha. “Semoga rasa paham lo bertahan seterusnya, gak cuman saat ini aja.”

“Bisa buka pintunya gak?” Tanya Natha, mengabaikan ucapan Harvey barusan. “Harvey.”

“Beg me.”

Alis Natha langsung menukik tajam, namun ia akhirnya menghela nafasnya berat. “Please, Harvey.”

Harvey kemudian membuka kunci mobil dengan pandangan yang tetap menatap ke arah bola mata Natha. Begitu kunci berbunyi, Natha langsung membuang pandangannya. Ia membuka handle pintu dan keluar dari dalam mobil.

Raut wajahnya langsung berubah masam begitu ia sudah tidak lagi berada di dalam mobil, kakinya menghentak di setiap langkah. Membuat Harvey yang sama sekali tidak melepas pandangannya pada Natha kemudian terkekeh geli.

“SHOOT!!”

Mereka bersorak, suara dentingan gelas beradu. Cairan berwarna merah pekat turun dalam satu kali tegukan. Setelahnya Natha menaruh kembali gelas kecil yang berada ditangannya itu, menunggu Ellio yang memegang botol untuk mengisinya kembali.

Rokok di asbak terangkat, gulungan nikotin itu kembali terselip diantara belahan bibir Natha, asap membumbung tipis kemudian.

“Aaaaa!” Natha berteriak sambil membuang asap rokoknya, ia kemudian tertawa dengan rona kemerahan dipipinya yang terlihat samar-samar. “Gilaa, lama banget kita gak kesini”

Ellio terekekeh, ia menaruh kembali botol berwarna hitam itu ke atas meja setelah mengisi gelasnya penuh. “Baru juga seminggu, belum sebulan.”

“Wajib turun!” Deon mengerlingkan matanya ke arah Natha dan Ellio secara bergantian. Jarinya kemudian menunjuk ke arah Natha. “Lo apalagi, wajib banget!”

“Turun gua.” Cairan di gelas kecil itu kembali Natha teguk, entah untuk keberapa kalinya. “Tambah lagi, El!”

Ellio dengan senang hati menurut, menuangkan kembali isi botol hitam itu sampai tumpah-tumpah mengotori tangan. Keduanya kemudian bersulang, Natha menyandarkan tubuhnya pada punggung sofa begitu gelasnya sudah kosong kembali.

Malam semakin larut, namun suasana di dalam sini semakin meriah. Lampu-lampu berwarna-warni itu menghiasi setiap penjuru, menari seirama dengan ritme musik yang berputar. Gelak tawa serta obrolan-obrolan dengan suara kencang menjadi hal yang biasa terjadi.

Muda-mudi berbaur satu sama lain, tidak peduli dengan apapun selain berusaha melepas stress masing-masing yang mereka alami selama seminggu ini. Botol-botol berserakan di atas meja, aroma alkohol bercampur asap rokok memenuhi ruangan.

Begitu intro musik yang familiar menggema, Deon langsung menarik tangan Natha dan Ellio untuk bergabung di dance floor, mereka bertiga kemudian tertawa. Natha mulai menggerakan pinggulnya tipis-tipis dengan sebelah tangannya yang tetap membawa gelas berisi minuman alhokol itu.

Pusat ruangan yang tadinya masih lumayan sepi, kini dipadati oleh puluhan muda-mudi yang sudah mencapai tingkat tinggi mereka. Tubuh bergoyang, kaki meloncat, serta senyuman di wajah merekah begitu lebar. Teriakan-teriakan kesenangan membuktikan betapa 'gila'nya mereka sekarang.

GDFR dari Florida dengan remix dari seorang DJ di atas panggung menjadi backsound mereka meliukkan tubuh. Natha mulai menggerakan tubuhnya seirama dengan ritme musik yang berputar, ia berhadap-hadapan dengan Deon dan Ellio yang juga ikut menari.

“It's going down for real!!”

Natha semakin menggerkan tubuhnya tidak terkontrol, hingga berulang kali menabrak pengunjung lain yang berada di sana. Tangannya yang memegang gelas ia angkat tinggi-tinggi, membuat perutnya yang sudah terekspos karena croptop yang ia gunakan itu semakin terlihat.

Pinggulnya bergoyang seirama dengan bahunya yang kini saling senggol-menyenggol dengan Ellio. Wajahnya semakin merah, rambutnya yang tadi tertata rapih kini terlihat berantakan. Tawa Natha menguat begitu lepas, kesadarannya mulai terambil alih oleh banyaknya alkohol yang masuk ke dalam tubuh.

Kakinya ikut meloncat begitu Deon merangkul pundaknya. Mengakibatkan sisa cairan yang berada di dalam gelasnya tumpah ruah mengotori lantai. Natha tidak peduli, ia tetap menggerakan tubuhnya seperti tidak ada beban di pundak.

Tanpa menyadari ada sepasang mata dengan sorot tajam yang memperhatikannya sedari tadi.

Harvey disana. Ia berada di salah satu meja paling pojok ruangan, yang mana memberikan akses lebih mudah untuk melihat ke segala penjuru. Tangannya menggoyangkan gelas yang berada digenggamannya, membuat cairan berwarna putih itu ikut bergoyang.

Kepalanya menoleh begitu bahunya di senggol oleh Juna. “Biasa aja kali ngeliatinnya.”

Dengusan pelan Harvey berikan sebagai respon. Punggungnya bersandar pada punggung sofa. Satu seringai tipis muncul di wajah Harvey, ia dengan tenang menonton Natha yang semakin terlihat liar di sana.

Selain cantik, Natha juga terlihat begitu seksi. Croptop serta skinny jeans yang membalut tubuh membuat setiap lekuk terlihat begitu jelas. Pinggulnya bergerak dengan lihai, seringai di wajah Harvey semakin jelas terlihat.

Bibir gelas ia dekatkan pada bibirnya, menyesap rasa pahit dan panas yang membakar tenggorokan selagi matanya masih fokus memperhatikan Natha. Ia kemudian melirik ke arah Eric dan Juna yang sibuk dengan kegiatannya masing-masing.

“Turun gak?” Tanyanya pada Juna.

Juna menoleh, ia taruh gelasnya di atas meja sebelum terkekeh pelan. “Kenapa lo? Tumben banget. Panas ya ngeliat suami lo disana?”

Harvey berdecih, ia kembali mendengus dan menuangkan cairan dari dalam botol pada gelasnya lagi. Matanya tetap memperhatikan Natha yang mulai di himpit oleh dua penggunjung lain. “He's so wild.”

“Kan udah gua bilang,” Juna tertawa. “Yang galak biasanya emang liar kalo udah kaya gini.”

Cairan itu kembali Harvey telan dalam satu tegukan. Tanpa di duga, ia bangkit dari duduknya, membuat atensi Juna dan Eric yang sedang asik bercengkrama dengan gadis-gadis itu menatap ke arahnya.

“Turun lo?” Tanya Eric.

Kepala Harvey mengangguk, ia kemudian mengambil satu langkah awalnya untuk mendekat ke arah Natha. Eric dan Juna saling berpandangan, kemudian mereka tertawa.

“Gerah pasti.”

Bahu Eric naik sekilas. “Gak mungkin gak gerah.”

Kaki jenjang Harvey melangkah santai, seringai masih setia menghias wajahnya. Begitu sampai pada dance floor, ia tersenyum memberi kode ke arah dua pemuda yang menghimpit Natha agar menyingkir. Tanpa membuang-buang waktu, Harvey langsung memposisikan tubuhnya tepat di belakang Natha tanpa lelaki cantik itu sadari.

Pergerakan Harvey begitu cepat, tau-tau kedua tangannya sudah melingkari tubuh Natha dari belakang. Natha berjengit kaget, ia menghentikan gerakan tubuhnya dengan kepala yang langsung menoleh ke samping.

Wajah Harvey lah yang pertama kali direfleksi oleh retinanya, membuat dahi Natha mengkerut bingung.

“Harvey?”

“Keep going, baby doll.”

Harvey berbisik lirih tepat di telinga Natha dengan suata beratnya. Beruntungnya Harvey saat ini karena Natha dalam pengaruh alkohol, jadi tubuh di dalam rengkuhannya ini kembali bergoyang mengikuti irama musik.

Tubuh keduanya saling bergesekan begitu panas. Kedua tangan Harvey masih setia melingkari perut Natha yang terekspos, agar tidak terlalu jadi tontonan oleh mata-mata lapar lainnya. Kepalanya ia tumpu pada pundak Natha, ujung hidungnya menyentuh kulit leher Natha yang begitu lembut. Ikut menggoyangkan tubuhnya serimana dengan pergerakan Natha.

Deon dan Ellio yang sebelumnya tidak menyadari kehadiran Harvey kini membulatkan matanya terkejut. Mereka saling bertatapan dengan mulut yang terbuka, melihat bagaimana intimnya pergerakan Harvey dan Natha di depan mereka sekarang.

Namun tidak lama, Deon serta Ellio kembali bergerak mengikuti irama. Keduanya meloncat-loncat ketika irama musik mencapai klimaksnya.

Ditengah suasana yang semakin pecah, Natha membalikan tubuhnya menghadap ke arah Harvey. Mata sayunya menatap ke dalam bola mata Harvey yang tegas, ia terkekeh pelan, lalu kedua tangannya secara tidak sadar naik untuk bertumpu pada dua pundak Harvey.

Seringai di wajah Harvey kembali tercipta. Masing-masing tangannya merengkuh pinggul Natha yang tetap bergoyang tipis itu, kepalanya ia dekatkan, dahi bertemu dengan dahi.

“So pretty.” Bisik Harvey. “Fuckin' pretty.”

Natha kembali terkekeh, lalu lama kelamaan suara kekehannya menjadi tawa renyah. Kakinya lalu mengambil satu langkah kecil, membuat tubuhnya dengan Harvey kini menempel tanpa jarak.

“Yeah?”

Harvey berdehem singkat dengan kepalanya yang mengangguk. Satu tangannya berpindah posisi, menyentuh tengkuk Natha dan mengusapnya pelan.

Kedua mata Natha kembali menyipit, wajahnya semakin memerah efek dari banyaknya alkohol yang masuk. Ia berada di ambang kesenangannya, dan Harvey tidak ingin melewatkan satu kesempatan berharga.

“Harvey mau tau gak,” Kelopak mata Natha mengerjap, ia terkekeh kembali. “Harvey ganteng, badan Harvey, ughh, Natha boleh gak bobo sama Harvey? Mau dipeluk, hik.”

Harvey menahan tawanya, ia hanya tersenyum mendengar perkataan Natha. Sosok di hadapannya ini sangat berbeda ketika dalam keadaan sadar dan dalam keadaan pengaruh alkohol. 180 derajat berbeda. Harvey seperti tidak melihat sisi garang Natha yang biasa ia temui.

Gantian sebelah tangan Natha yang berubah posisi, menyentuh leher Harvey hingga turun menuju dada dengan ujung telunjuknya yang bergerak menggoda. Matanya kemudian mengerling nakal dengan bibir bawahnya yang ia gigit begitu sensual, pinggulnya bergerak tipis menggesek bagian depan tubuh keduanya.

“Harvey, Harvey mau Natha cium gak?”

Pertanyaan Natha sukses membuat Harvey kembali terkekeh. Melihat respon yang Harvey berikan, Natha langsung merubah ekspresi wajahnya menjadi cemberut.

“Kok ketawa? Gak mau Natha cium ya?”

“You want to kiss me?”

Natha mengangguk, bibir bawahnya maju beberapa senti dengan sudutnya yang sedikit turun. Bola mata bulatnya berkilauan terkena cahaya lampu di dalam club, persis seperti kucing kecil.

“Then,” Harvey menggeser sedikit posisi kepalanya, bibirnya tepat berada di samping telinga Natha. “Kiss me, kitten.”

Dengan begitu, tidak menunggu waktu lama untuk kedua belah bibir itu bertemu. Natha yang bergerak terlebih dahulu, mencumbu bibir Harvey secara acak hingga sang empu terkekeh di sela-sela ciuman.

Tangannya yang berada di pinggul Natha, bergerak mengusap permukaan kulit itu perlahan. Seperti dugaannya, kulit Natha begitu halus. Harvey merasa seperti menyentuh kapas lembut yang cepat rapuh.

Harvey biarkan Natha yang mengambil kendali. Kedua mata mereka tetap terbuka dan saling tatap dalam jarak yang begitu dekat, membuat dunia disekitar mereka seakan memudar.

Lalu tanpa di duga, Natha melompat ke dalam pelukan Harvey tanpa melepas ciuman mereka. Kedua kakinya melingkari pinggang Harvey dengan erat, seirama dengan tangannya yang memeluk leher Harvey tak kalah eratnya.

Harvey gunakan kedua tangannya untuk menopang tubuh Natha. Untuk seukuran lelaki, Natha tergolong cukup ringan. Walaupun tubuhnya kecil, tapi Harvey bisa rasakan bongkahan padat yang begitu sintal kini berada tepat pada dua telapak tangannya.

Bibir Natha bergerak begitu berantakan, kesadarannya benar-benar diambil alih. Matanya yang sayu dan pipi kemerahan membuat wajahnya terlihat begitu menggoda dan terkesan polos secara bersamaan. Harvey benar-benar menyukai sisi Natha yang satu ini.

Setelah dirasa puas, Natha menjauhkan bibirnya. Membuat untaian benang saliva memanjang dari bibirnya dan bibir Harvey. Ia mengecup pipi Harvey sekilas hingga meninggalkan jejak, lalu terkekeh kembali.

“Udah?” Tanya Harvey lembut.

Natha sandarkan kepalanya pada pundak Harvey, kemudian mengangguk tipis. Wajahnya ia benamkan pada ceruk leher Harvey, menghirup wangi khas Harvey yang sejujurnya sukses membuat Natha bertekuk lutut saat pertama kali ia mencium wanginya.

“Ngantuk.” Gumam Natha.

Sebelah alis Harvey naik. “Ya, baby?”

“Ngantuk, Natha mau bobo.”

Kalau boleh Harvey tertawa, mungkin ia sudah tertawa lepas. Bagaimana bisa Natha yang tadi bergerak lincah dan begitu liar di atas dance floor tiba-tiba terserang kantuk setelah mencumbu bibirnya.

“Wanna go home?” Tanya Harvey lagi, dan Natha langsung merespon dengan anggukan. “Yaudah, ayo pulang.”

Dengan begitu, Harvey membawa Natha menjauhi area tengah club dan meninggalkan dua teman Natha yang masih menggila disana.

Kaki jenjangnya melangkah perlahan dengan Natha yang berada di dalam gendongannya. Ia mendekat kembali ke arah meja yang ia tempati sebelumnya.

Tepuk tangan serta sorak kemenangan dari Juna serta Eric menyambutnya begitu Harvey sudah berada di meja miliknya. Seringainya mengembang kembali begitu mendapati wajah tertidur Natha yang lucu seperti bayi.

Harvey kemudian memberikan kode pada Juna agar lelaki itu melemparkan jaket kulitnya yang berada di sofa. Juna yang langsung mengerti dengan cepat melemparkan jaket itu dan di tangkap tepat oleh Harvey.

Punggung Natha yang setengah terekspos ia tutupi jaket terlebih dahulu. Natha meleguh, ia semakin menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Harvey, kedua tangannya memeluk pundak Harvey tidak terlalu kuat.

“Once time Harvey said 'punya gua', he really means it. Really.”

“Well,” Harvey membenarkan letak Natha yang sedikit turun, bibirnya mengecup pipi Natha sekilas. Senyum bangga terlukis di wajahnya. “I said what I said.”

“Kabarin Bunda ya kalo udah sampe!”

Natha tersenyum lebar, ia mengangguk lalu melambaikan tangannya ke arah Bunda dan juga keluarganya yang lain, serta teman-temannya yang turut melambaikan tangan melepas kepergiannya dengan Harvey.

Mobil hitam dengan hiasan bunga di bagian depan kap itu perlahan melaju, Natha terus memandang Bunda sampai mobil yang ia tumpangi berbelok di tikungan. Setelahnya, nafas terhela berat. Natha menyandarkan punggungnya pada punggung jok lalu melirik sekilas ke arah Harvey yang kini sedang menyetir itu.

Kepalanya bersandar pada sebelah tangannya yang bertumpu di sisi jendela. Langit sudah berubah gelap, pesta pernikahan mereka sudah selesai setengah jam yang lalu. Ia dan Harvey memutuskan langsung pulang ke rumah baru mereka.

Lupakan tentang bulan madu dan segala hal romantis lainnya. Esok pagi, Natha dan Harvey harus kembali bekerja. Tawaran orangtua mereka tentang hari libur, kompak mereka tolak. Lagi pula, siapa yang mau berbulan madu jika tidak ada rasa sama sekali?

“Kata Nasha nanti ada dua kamar utama di lantai atas, lo tidur di kamar lo sendiri, gua tidur di kamar gua sendiri.”

Harvey berdehem singkat sebagai jawaban, pandangannya masih fokus pada jalanan. Jas-nya sudah ia lepas, ditaruh pada jok belakang dan menyisakan kemeja putih dengan lengannya yang tergulung hingga siku, serta dua kancing atas yang terbuka. Berbeda dengan Natha yang masih memakai setelannya lengkap.

Mata Natha menatap tangan Harvey yang memegang stir mobil, ada cincin yang sama dengan miliknya terpasang di jari manis tangan kanan Harvey. Lalu Natha melirik miliknya kembali, nafasnya terhela panjang.

Mereka benar-benar sudah menikah.

Keduanya sama-sama tidak menyangka akan mengubah status mereka dalam sekejap waktu. Secepat membalik telapak tangan. Perjodohan konyol itu kini membuat mereka terjebak pada lingkaran yang entah akan bagaimana ke depannya nanti.

Malam semakin larut, perjalanan mereka menempuh waktu selama lebih dari satu jam setengah untuk sampai di rumah baru. Tidak terlalu jauh dari ibukota sebenarnya. Rumah kali ini sengaja di pilihkan oleh para Ibu karena Natha dari dulu ingin sekali tinggal di daerah dekat perbukitan. Dingin katanya, tidak seperti rumah keluarganya yang berada dekat dengan pantai.

Harvey menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Setelah masuk beberapa meter dari gerbang, mereka di hadapkan pada dua jalur yang berlawanan arah, tidak ada petunjuk, membuat Harvey kembali mengambil ponselnya untuk melihat rute.

“Ambil kanan kali,” Kata Natha sambil ikut menolehkan kepalanya. Ia sedikit bergidik ngeri ketika mereka berhenti tepat jalanan yang kanan kirinya terdapat pohon-pohon besar. “Jangan lama-lama berhenti disini.”

Kepala Harvey menoleh pada Natha. “Kenapa? Lo takut?”

“Apaan sih! Sok tau lu!” Sahut Natha agak sewot. “Gua cuman pengen cepet-cepet tidur.”

Kedua bahu Harvey naik sekilas, ia menaruh ponselnya kembali di kantung celana lalu mulai kembali menginjak gas. Stir mobil diputar ke kanan, seperti instruksi Natha sebelumnya. Membuat Natha langsung menoleh ke arahnya dengan wajah bingung.

“Beneran ke kanan?”

“Kayaknya.”

Natha mendengus mendengar respon yang Harvey berikan, matanya memperhatikan keadaan sekeliling jalan. Rumah-rumah besar bergaya eropa serta jepang menjadi mayoritas utama. Pohon-pohon rimbun tertanam sepanjang jalan, membuat Natha bisa membayangkan jika di siang hari tempat ini cukup teduh untuk dilewati.

Stir berputar, mobil hitam itu kemudian berbelok ke arah kiri. Harvey memelankan laju mobilnya dengan pandangan yang mengarah ke kiri jalan. Tidak lama, pedal rem diinjak sepenuhnya, mobil kemudian berhenti tepat di sebuat rumah bergaya mediteranian dengan halamannya yang cukup luas. Ada mobil putih yang sudah terparkir di garasi, yang mana Harvey tahu jika itu mobil milik Natha.

“Kayak mobil gua.” Gumam Natha ketika melihat sebuah mobil putih yang cukup familiar di matanya. “Lah? Itu emang mobil gua!”

“Turun. Buka gerbang.”

“Nyuruh gua lo?” Tanya Natha dengan nada jutek. “Kuncinya aja gak ada di gua.”

Harvey kemudian merogoh kantung celananya, sebuah kunci keluar dari sana. Ia ambil sebelah tangan Natha lalu menaruh kunci itu di telapak tangannya. “Nih, buka sana.”

Natha berdecak jengkel, ia baru saja akan protes namun kata-kata yang akan keluar dari mulutnya mendadak tersangkut di ujung lidah ketika mendapati tatapan datar Harvey. Mau tidak mau ia yang akan membukakan pintu gerbang itu.

Kepalanya menoleh terlebih dahulu ke arah belakang mobil, cukup gelap. Membuat Harvey yang memperhatikan Natha mendengus geli.

“Takut kan lo.”

Natha menoleh dengan alisnya yang menukik. “Dih, siapa juga yang takut!”

Setelahnya, Natha menarik tuas, pintu mobil terbuka dan ia langsung keluar dari dalam mobil. Harvey bisa dengan jelas melihat kepala Natha yang berulang kali menoleh ke arah kanan dan kiri, ia lagi-lagi mendengus geli. Pedal gas ditekan kembali begitu Natha sudah membukakan gerbang rumah baru mereka itu.

Belum sempat Harvey keluar dari dalam mobil, Natha langsung berlari menuju pintu masuk rumah, membiarkan gerbang yang masih terbuka lebar itu.

“Gerbangnya gak lo tutup lagi?” Tanya Harvey seraya keluar dari dalam mobil, menatap bingung ke arah Natha yang terkesan buru-buru membua kunci pintu itu.

Natha menoleh sekilas, “Lo aja yang tutup, kan tadi gua udah buka.”

Harvey tidak ambil pusing, ia kemudian berjalan untuk menutup gerbang kembali. Begitu ia berbalik, alisnya mengkerut mendapati Natha yang masih berdiri di depan pintu dengan keadaan pintu yang sudah terbuka, namun keadaan di dalam rumah gelap total.

“Katanya tadi pengen buru-buru tidur, kenapa masih diem disini?” Tanya Harvey sambil mendekat ke arah Natha.

“Lo masuk duluan, nyalain semua lampu.” Titah Natha.

“Lo takut gelap, kan?”

“Gausah banyak bacot bisa gak?”

Kekehan pelan Harvey membuat Natha memukul pundak suami barunya itu. Namun bukannya masuk terlebih dahulu, Harvey malah mengulurkan tangannya, membuat Natha menaikan sebelah alisnya.

“Apa?”

“Pegangan. Kita masuk bareng-bareng.”

“Gak! Gak mau!” Natha menggeleng cepat, “Lo masuk duluan, nyalain lampunya.”

“Hahaha, gak nyangka ya. Natha yang galak kaya gini ternyata takut gelap.”

“Lo ngomong sekali lagi gua gak akan segan-segan nonjok lo.”

Harvey menaikan bahunya acuh, tidak ambil pusing dengan ancaman Natha barusan. “Beneran gak mau masuk bareng aja? Liat tuh, di luar juga sama gelapnya.”

Matanya memperhatikan keadaan sekitar rumah. Tidak terlalu gelap sebenarnya, masih ada lampu-lampu yang menyala dari lampu taman rumah serta bias cahaya lampu rumah tetangga. Namun tetap saja tidak mengurangi hawa menyeramkan yang Natha rasakan.

“Salah pilih perumahan nih!” Gerutunya.

“Jadi masuk gak?” Tanya Harvey. “Kalo gak gua masuk sendiri.”

Decakan pelan Natha keluarkan, ia menatap wajah serta tangan Harvey yang masih terulur secara bergantian. Tidak lama, tangannya perlahan meraih tangan Harvey dan mengenggamnya. Natha pejamkan matanya ketika Harvey mulai melangkah masuk ke dalam rumah, tidak lupa untuk menutup pintu rumah terlebih dahulu, dan menguncinya.

Butuh waktu beberapa menit untuk Harvey menerka-nerka dimana tempat saklar lampu berada. Bergitu didapatnya, ia langsung menekan semua saklar dan ruangan seketika berubah terang.

Natha membuka matanya, ia menghela nafasnya lega. Matanya menatap sekeliling, memperhatikan tiap inci sudut rumah barunya ini. Tidak terlalu buruk, walaupun rasanya masih sangat asing.

Genggaman tangannya baru saja akan Natha lepas sebelum Harvey lebih dulu menahannya, membuat Natha langsung menatap dengan sorot protes ke arah Harvey. Tapi sebelum ia bersuara, Harvey dengan cepat membuka suaranya kembali.

“Lo mau langsung tidur, kan? Lantai atas masih gelap. Ayo langsung ke atas aja, gua juga mau istirahat.”

Dengan begitu, Natha kembali mengekori langkah Harvey dari samping dengan kedua tangan mereka yang saling mengenggam.

Setelah memastikan seluruh lampu menyala, terutama lampu kamar yang akan ditempati oleh Natha. Hanya ucapan terima kasih yang Natha berikan sebelum keduanya masuk ke dalam kamar masing-masing. Baik Harvey maupun Natha langsung membersihkan tubuh dan merilekskan otot setelah hampir seharian sibuk dengan pesta pernikahan.

Natha terduduk di pinggir kasur, ia mengusak-usak rambut basahnya dengan handuk. Melirik jam digital yang berada di meja kecil samping kasur, hampir pukul satu pagi. Tubuhnya yang masih terbalut bathrobe itu langsung mendekat ke arah walk in closet, tersenyum begitu ia melihat baju-bajunya sudah berada di sana.

Mungkin nanti ia harus berterima kasih pada Nasha yang memiliki andil besar dalam 'terpisahnya' barang-barang miliknya dengan milik Harvey. Tentu saja orangtua mereka tidak tahu bahwa anak mereka tidak akan berada di satu kamar yang sama.

Sebuah kaos oversize dengan celana pendek setengah paha, Natha ambil. Itu kombinasi andalannya ketika ingin tidur. Ia mengganti pakaiannya dengan cepat begitu rasa pegal dikakinya semakin menjadi. Tubuhnya ia banting ke atas kasur, menimbulkan bunyi buff pelan.

Natha baru saja akan menyambut alam mimpi sebelum perutnya tiba-tiba berbunyi, matanya terbuka kembali. Langit-langit kamar ditatapnya selama beberapa saat sebelum ia berdecak sebal. Kalau sudah seperti ini, ia akan susah tidur karena perutnya dalam keadaan minta diisi.

“Yailah, kenapa sih pake segala laper lagi.”

Mengingat jika hal terakhir yang masuk ke dalam lambungnya adalah sebuah potongan kue begitu kecil serta semangkuk zuppa soup sore tadi. Natha mau tidak mau harus mengganjal perutnya sampai matahari menjemput.

Kakinya kemudian turun dari atas kasur, ia menimbang-nimbang haruskan turun ke bawah dan memasak mie instan atau melanjutkan tidurnya. Karena mungkin, lampu di lantai bawah sudah Harvey matikan kembali.

Namun laparnya kali ini menang, Natha berjalan ke arah pintu kamar dan membukanya. Lampu utama sudah berganti dengan lampu-lampu kecil berwarna kuning hangat. Matanya menatap pintu kamar Harvey yang tepat berada di depan pintu kamarnya sesaat sebelum melanjutkan langkahnya turun ke lantai bawah.

Tapi kakinya tiba-tiba berhenti tepat di ujung tangga, benar saja, lantai bawah sudah dalam keadaan gelap kembali. Natha langsung putar balik, bulu kuduknya seketika meremang. Ia berhenti tepat di depan pintu kamar dengan wajah bingung.

“Panggil, enggak, panggil, enggak.” Ulangnya sambil berbisik. “Dahlah, panggil aja.”

Lalu ia dengan ragu-ragu mengangkat tangannya, terdiam sebentar sebelum mengetuk pintu kamar Harvey. Satu ketuk, dua ketuk, pintu tak kunjung terbuka, tidak ada jawaban juga dari dalam kamar.

Natha membuang nafasnya berat, Harvey kemungkinan sudah tertidur. Jadi ia beranjak dari posisinya dan masuk kembali ke dalam kamarnya.

Namun, belum sempat Natha masuk, suara kenop pintu terdengar. Kepalanya seketika menoleh ke arah belakang, mendapati kepala Harvey menyembul dari balik pintu.

“Apa?” Tanya Harvey.

Natha meringis. “Gua laper.”

“Terus?”

“Temenin ke bawah. Lampunya udah lo matiin semua.”

Harvey memutar bola matanya malas, Natha yang melihat itu buru-buru melanjutkan ucapannya. “Kalo gak mau, gausah. Tidur aja sana, sorry udah ganggu.”

“Yaudah, yaudah. Ayo.”

“Gausah, gak jadi.”

Sebelah alis Harvey terangkat begitu mendengar suara perut Natha. “Yakin gak jadi?”

Natha berdecak. “Yaudah ayo temenin.”

Pintu kamar Harvey terbuka lebih lebar, Natha hampir saja tersedak ludahnya sendiri begitu melihat penampilan Harvey.

Bagaimana tidak, tubuh Harvey hanya terbalut celana training abu-abu dengan keadaan tanpa atasan. Membuat Natha bisa melihat dengan jelas tubuh proposionalnya. Ada enam pack otot di perut Harvey, serta happy trail-nya yang memanjang dari pusar hingga menghilang di balik celana.

Jangan lupakan tato tribal hitam yang menghiasi dari dada kiri hingga setengah lengan atasnya itu.

“Ayo jadi gak? Malah bengong.”

Kelopak mata Natha mengerjap cepat, ia meraih uluran tangan Harvey dan mulai mengikuti langkahnya kembali dari belakang. Menuruni tangga dengan hati-hati sampai pada area dapur.

Begitu lampu menyala, Natha langsung melepas genggaman tangannya. “Lo kalo mau tidur lagi, naik aja.”

“Nanti lampunya siapa yang matiin? Gua tunggu disini.”

Harvey mengambil posisi menduduki salah satu kursi dibalik meja counter. Natha menaikan bahunya acuh, ia kemudian langsung membuka pintu kulkas, tidak banyak bahan makanan yang ada.

Nafasnya terhela kembali, Natha tutup pintu kulkas tanpa mengambil apapun dari dalam sana. Ia kemudian berpindah, membuka rak penyimpanan atas dan mendapati bungkusan mie instan yang tertata rapih disana.

“Lo mau mie rebus gak?” Tanya Natha sambil menoleh ke arah Harvey. “Mumpung gua lagi baik nih.”

Harvey mendengus geli. “Gak, gak usah. Lo aja yang makan.”

“Yaudah.”

Natha mengambil dua bungkus mie sekaligus, setelah itu mengambil panci dan merebus air. Selagi menunggu, ia mengetuk-ngetukan ujung jarinya sambil bersenandung pelan. Tidak menghiraukan tatapan Harvey yang mengarah padanya sedari tadi.

“Flowers of death.”

Tubuh Natha berbalik, matanya menatap ke arah Harvey dengan ekspresi wajah bingung. “Lo ngomong sesuatu?”

“Tatto lo, higabana, kan?”

Tangan Natha refleks menyentuh bagian tengkuk bawahnya, tempat dimana tattonya berada. “Lo tau?”

“Kaos lo nerawang, by the way.”

“Ooh. Iya ini higabana.”

Natha menggukan kepalanya, ia berbalik kembali. Setelah itu, bibir bawahnya ia gigit pelan dengan matanya yang terpejam.

'Anjir lupa banget kalo ini kaos tipis!' Batinnya heboh.

“Bagus.”

“Apa?”

“Tattonya.”

“Thanks.”

Bungkus mie instan Natha buka cepat ketika air di panci mulai mendidih, ia memasukan mienya dan membuang sisa sampah pada tong sampah di sudut dapur.

“We can be friends, maybe.”

Natha menoleh kembali. “Hm?”

“You and I. At least, we can be friends.” Harvey merubah posisi duduknya, sebelah tangannya menopang dagu. “If you want.”

“That's not too bad.” Natha menyahut sambil menganggukan kepalanya. “We're pretend to be couple only infront of our parents, kan?”

“Ya.”

Mie di dalam panci Natha aduk-aduk menggunakan garpu, kemudian ia mematikan kompor kembali ketika mie sudah dalam keadaan setengah matang.

“Emang itu udah mateng?” Tanya Harvey.

Natha mengangkat panci lalu meniriskan setengah air mie-nya di atas wastafel. “Gak suka mie terlalu mateng.”

Harvey menganggukan kepalanya. “Ooh.”

Mie kemudian berpindah ke dalam mangkuk, Natha menaruh panci kotor ke dalam wastafel cucian piring, berniat mencucinya nanti setelah makan.

Asap tipis membumbung dari arah mangkuk, Natha membawanya begitu hati-hati sampai di meja counter. Kursi yang berada tepat di sebelah Harvey ia tarik, lalu mendudukan dirinya di sana.

Tidak ada percakapan lagi setelahnya, membuat keheningan menyelimuti mereka berdua. Natha begitu tenang menikmati mie rebus miliknya sedangkan Harvey hanya memperhatikan Natha sedari tadi.

“Nath.” Panggil Harvey pelan.

Natha menoleh dengan pipinya yang mengembung. “Hm?”

“About the rules,” Ucapan Harvey terjeda sesaat. “Enaknya gimana?”

Mulut Natha kemudian mengunyah mie-nya terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan Harvey. “Gampang aja sih.”

“Gampangnya?”

“Ya kalo tadi lo bilang kita bisa jadi temen, kayaknya lo juga tau kan batas-batasan sebagai temen gimana?” Tanya Natha balik. “Lo ya lo, gua ya gua. Hidup masing-masing aja.”

“Then, the four months?” Tanya Harvey lagi.

Pergerakan Natha yang sedang menyendokan mie mendadak terhenti, kepalanya menoleh ke arah Harvey. “Masih gua pikirin. Kalo lo punya ide gimana caranya kita cerai dengan alasan logis ke orangtua kita, sharing aja.”

“Yakin mau cerai?” Kata Harvey cepat.

“Hah?” Natha membeo dengan dahi yang mengkerut. “Lo ngomong apa tadi?”

“Enggak, enggak.” Kepala Harvey menggeleng, lalu ia terkekeh pelan. “Iya, nanti coba gua pikirin juga gimana caranya.”

Natha menganggukan kepalanya, ia kembali memasukan mie ke dalam mulut lalu mengunyahnya dalam diam. Mie rebus tengah malam memang yang terbaik. Sedangkan Harvey masih setia menopang dagu, kepalanya tetap menoleh ke arah Natha sambil memperhatikan si galak menghabiskan mie-nya.

Cantik. Harvey akui jika Natha tidak kalah cantik dengan kembarannya, atau mungkin malah lebih cantik. Mata bulat, hidung bangir, kulit mulus, bibir tipis, dan ditambah garis rahangnya yang tegas membuat Natha seperti pahatan sempurna.

Matanya begerak dari ujung kepala hingga ujung kaki, lalu sebaliknya. Sampai berhenti kembali di wajah Natha yang begitu lucu dengan pipi mengembungnya.

“Nath,” Panggil Harvey pelan. “Lo punya pacar?”

Natha langsung menoleh ke arah Harvey dengan mie yang masih mengantung, sebelah alisnya naik dengan ekspresi bingung. Buru-buru ia mengigit mie-nya kemudian menggeleng.

“Enggak, gua gak punya pacar.” Sahut Natha cuek. “Kenapa? Lo punya?”

“Enggak juga.” Senyum tipis Harvey mengembang. “Gua kira lo punya, cuman belum dikenalin aja ke orangtua lo makanya lo nolak banget dijodohin.”

Natha terkekeh kecil. Membuat Harvey sedikit tertegun, karena biasanya Natha selalu memasang wajah galak padanya itu. Melihat kedua mata bulat itu menyipit merupakan hal yang pertama kali Harvey lihat.

“Gua gak mau berkomitmen sama siapa-siapa, Vey.” Kuah mie Natha tatap dengan tangan yang mengaduk-aduknya menggunakan sendok. “Gua nolak perjodohan ini emang pure karena gua gak mau punya komitmen sama siapa-siapa. Hidup sendiri aja udah ribet, gimana hidup sama orang lain.”

Harvey berdehem pelan dengan kepalanya yang mengangguk mendengar penjelasan Natha. Begitu Natha menoleh kembali ke arahnya, kedua alis Harvey terangkat.

“Kalo lo, kenapa?”

“Gak punya waktu buat ngurus hal kaya gitu.” Sahut Harvey cepat. Ia terkekeh. “Bener kata lo, hidup sendiri aja udah ribet, gimana hidup sama orang lain.”

Keduanya kompak mendengus geli, terdiam beberapa saat sebelum menyadari sesuatu. Kepala Harvey dan Natha kompak menoleh ke arah satu sama lain kembali.

“Lah?” Kata mereka kompak.

Natha tergelak, suara tawanya menguar. “Bego lo!”

“Secara gak langsung kita udah hidup sama orang lain gak sih?” Ucap Harvey sambil membenarkan posisi duduknya, kepalanya sudah tidak tertopang lagi. “Gua sama lo...”

“Ya walaupun tinggal satu rumah, kan kita udah sepakat buat temenan. Jadi gak bisa diitung hidup sama orang lain, ya gak?” Sela Natha cepat.

“Kayaknya.”

Setelah itu, keduanya kembali terdiam. Natha menghabiskan mie-nya dengan cepat, begitu habis, ia langsung turun dari kursi dan mencuci panci serta mangkuk kotornya. Tidak enak juga membuat Harvey menunggu dirinya terlalu lama.

“Lo naik duluan aja, biar gua matiin lampu dulu.” Kata Harvey sambil turun dari kursinya.

“Gapapa?”

“Emangnya kenapa?”

“Yaudah.” Sahut Natha sambil menaikan bahunya sekilas. “Gua naik duluan ya. Thanks, Harvey.”

Harvey mengangguk, ia menunggu sampai Natha masuk ke dalam kamarnya. Begitu suara pintu tertutup, ia langsung berjalan dan mematikan lampu lantai bawah sebelum masuk kembali ke kamar.

Pesta pernikahan seharusnya dipenuhi dengan rasa bahagia, dan sepasang pengantin yang tidak berhenti menebarkan senyum pada satu sama lain. Tapi itu hanya sebagian. Sebagiannya lagi, mungkin berdoa jika hari seperti ini tidak pernah ada dan terjadi.

Natha mungkin menjadi salah satu dari sebagian yang berdoa. Ia benar-benar menikah dengan Harvey saat ini. Lelaki itu berstatus suaminya sekarang.

Pesta miliknya memang tidak terlalu meriah. Dirangkai cukup sederhana namun tetap terlihat indah. Tamu undangan pun tidak banyak, hanya keluarga dekat dan teman-teman akrabnya saja yang diundang. Tidak lebih dari 30 orang yang hadir.

Tuxedo putihnya masih melekat, ia menyendokan zuppa soup ke dalam mulutnya tanpa energi. Matanya menatap kosong ke arah deburan ombak pantai yang mengulung-gulung. Masih tidak menyangka jika dua jam lalu ia baru saja bersumpah sehidup semati dengan seseorang yang kini masih sibuk bercengkrama dengan Bundanya itu.

“Nath.”

Nasha mendudukan dirinya tepat di samping Natha, dress putihnya berkibar terkena angin pantai. Kepalanya menoleh, menatap Natha yang masih terdiam dan tidak menghiraukan panggilannya barusan. Nasha kemudian tersenyum tipis, ia taruh tangannya di pundak Natha.

“Masih berat, ya?” Tanya Nasha, ia harus menunggu beberapa saat untuk mendapati respon Natha yang hanya menganggukan kepalanya. “Gapapa, nanti terbiasa.”

“Sha.” Natha menelan sisa soup terakhirnya dengan berat, nafasnya terhela kembali. “Gua beneran udah nikah, ya?”

Nasha terkekeh. “Iya. Noh suami lu disana, lagi ngobrol sama Bunda, Akrab banget keliatannya.”

“Iya, gua tau.” Matanya melirik sekilas ke arah Harvey, lalu menatap jarinya yang kini terhias cincin berwarna silver dengan permata kecil di atasnya. “Nikah itu, kita seumur hidup selamanya sama orang itu ya? Atau boleh gak sih kita berhenti di tengah jalan kalo akhirnya gak cocok?”

“Kalau orang lain yang saling cinta sih bakalan berharap dia selamanya sama orang itu.” Arah pandang Nasha ikut menatap kemana Natha mengarah. “Tapi kan rencana Tuhan gak ada yang tau. Siapa tau nanti lu sama Harvey akhirnya saling jatuh cinta, ya gak?”

“Hahaha, sesuatu yang dipaksain gak akan berjalan mulus, Sha.” Natha tertawa miris.

Nasha menoleh, menatap saudara kembarnya dengan tatapan teduh. Tangannya terulur, merangkul pundak Natha lalu menggoyangkannya pelan. “Lo kuat, Nath. Makasih banyak udah bikin Ayah sama Bunda bangga. Pulang ke gua kalo kaki lu mulai goyah nanti, gapapa. Pintu kamar gua selalu terbuka buat lu.”

“Kalo dipikir-pikir, sedih ya.” Natha terkekeh pelan, ia menoleh ke arah Nasha dengan matanya yang menyipit. “Nanti kalo gua balik kepagian, gua harus buka gerbang sendiri. Gak lo lagi yang bukain.”

“Makanya jangan pulang pagi terus.” Kekehan Nasha mengalun pelan, ia usap-usap pundak Natha dengan senyum tipisnya yang merekah. “Walaupun hasil dijodohin, tapi Harvey sekarang suami lu. Kalian harus saling ngehargain satu sama lain. Hidup udah bukan buat masing-masing lagi sekarang. Lu punya Harvey, Harvey pun punya lu.”

Hening. Natha tidak menyahut, ia menatap wajah Nasha yang hampir serupa dengan wajahnya itu. Tidak lama, ia alihkan kembali wajahnya lurus ke arah depan. “Bilangin Ayah sama Bunda ya, jangan terlalu berharap banyak sama gua. Takutnya gua gak bisa wujudin harapan mereka.”

“Seenggaknya, lu udah bikin mereka bahagia sekarang.” Rangkulannya Nasha lepas, ia ubah posisinya menghadap ke arah Natha. Sebelah tangannya kembali terulur untuk menggenggam tangan Natha, ibu jarinya mengelus lembut permukaan punggung tangan Natha. “Gua tau apa yang lu rasain, Nath. Campur aduk. Gua pun kalo jadi lu pasti bingung harus apa.”

“But, life must go on. Suka atau enggak, nyatanya nanti kita bakalan ngeliat kebelakang dan sadar kalo akhirnya kita bisa ngelewatin itu semua.” Lanjutnya.

Natha tidak membalas, ia terdiam sesaat sebelum menarik tubuh Nasha untuk ia peluk. Natha tidak punya siapa-siapa lagi untuknya bersandar selain saudara kembarnya itu. Nasha terkadang memang menyebalkan akut, tapi gadis itu juga yang Natha cari ketika kakinya mulai lelah berjalan.

“Gila, sesedih ini ternyata rasanya.” Natha kembali terkekeh. “Dari dalem perut Bunda barengan mulu terus sekarang gua harus pisah rumah sama lo, aneh banget rasanya. Padahal kemaren-kemaren gua empet banget ngeliat muka beler lo.”

Nasha tidak membalas, ia hanya terkekeh pelan lalu tersenyum seraya mengusap punggung Natha. Matanya kemudian mendapati Harvey yang menatap ke arah mereka berdua, lalu kepala Nasha mengangguk tipis ke arah Harvey.

“Udah ah, malah jadi mellow gini sih.” Ucap Nasha seraya melepas pelukan Natha. “Mending dari pada duduk di sini, lu gabung deh sama temen-temen lu. Itu Deon udah gak tertolong lagi.”

Kepala Natha langsung menoleh ke arah teman-temannya yang berkumpul di satu meja yang sama dengan teman-teman Harvey. Nafasnya kembali terhela berat ketika melihat Deon yang kini terang-terangan menggoda Juna yang hanya tertawa merespon tingkah Deon. Kucing birahi satu itu memang terkadang meresahkan.

“Sha, sumpah gua udah gak ada tenaga lagi. Itu tolong bilangin Deon, please, demi Tuhan kayaknya gua bentar lagi resign jadi temen dia.”

Pelipisnya Natha pijit perlahan, tidak habis pikir dengan tingkah Deon yang sering membuatnya sakit kepala. Nasha tertawa, ia kemudian pamit dan meninggalkan Natha sendiri. Gadis itu menepuk pundak Harvey sekilas ketika ia lewat di depan saudara ipar barunya itu. Memberikan kode ke arah Harvey agar menemani Natha yang masih terdiam di tempatnya.

“Harvey, ke Natha dulu ya, Bun.”

Bunda tersenyum, lalu menepuk pundak Harvey sekilas. “Iya sana. Gapapa, maklumin aja ya kalo Natha masih kayak gitu.”

Harvey mengangguk, ia taruh gelas minumannya di meja terdekat. Kaki jenjangnya kemudian berjalan mendekat ke arah Natha yang masih berdiam diri di tempatnya. Semilir angin pantai membawa aroma tubuh Harvey sampai pada hidung Natha, ia menoleh ke belakang sekilas, lalu mendengus pelan.

“Ngapain disini?” Tanya Harvey, ia berdiri tepat disamping Natha. Kedua tangannya masuk ke dalam kantong celana kainnya, pandangannya juga ia arahkan pada gulungan ombak di pantai.

Natha kembali mendengus. “Ya lo bisa liat kan gua lagi ngapain? Gak usah basa basi.”

Harvey tidak menyahut, ia kemudian menyentuh pundak Natha sekilas. “Get up, Natha.”

“Ck, ngapain sih?” Natha menoleh dengan wajah kesal, kepalanya mendongkak menatap wajah Harvey namun ia langsung mengalihkan pandangannya lagi.

'Sialan, kenapa gua baru sadar kalo dia ganteng banget' Gerutu Natha dalam hati.

Kepala Harvey menunduk, menatap Natha yang kini sedang menekan-nekan ujung kukunya dengan ujung kukunya yang lain. Lalu ia mendengus geli. “Kalo disuruh bangun, ya bangun. Gak usah nanya macem-macem.”

Tubuhnya ia bawa berdiri, Natha menghentak kakinya sekali ke atas rumput gajah dibawahnya. Kepalanya sedikit mendongkak, menatap ke dalam bola mata Harvey yang terlihat kecoklatan akibat paparan sinar matahari sore.

“Nih udah! Terus mau ngapain?!” Tanya Natha galak.

Pandangan Harvey memperhatikan Natha dari ujung kepala hingga ujung rambut. Ia kemudian merogoh kantung jas hitamnya dan mengeluarkan selembar sapu tangan dari dalam sana.

“Ck,” Harvey berdecak pelan sambil mengelap bibir Natha yang sedikit belepotan sisa cream zuppa soup, lalu mengelap noda yang menempel di jas putih Natha. “Kalo lagi makan itu diperhatiin, Natha. Lo harus sempurna di acara lo sendiri.”

Natha seketika terdiam, bola matanya sedikit membulat ketika tangan Harvey tiba-tiba terulur untuk menepuk pantatnya yang kotor akibat duduk tanpa alas. Menyadari Natha yang hanya terdiam, Harvey masukan kembali sapu tangannya ke dalam kantung jas lalu menatap bola mata bulat milik suami barunya itu.

“Kaya gini, cantik.”

Perkataan Harvey membuat Natha kembali meraih kesadarannya, kelopak matanya mengerjap cepat lalu alisnya kembali mengkerut kesal. Ia kemudian mendorong dada Harvey sekilas. “Gak usah sok perhatian!”

Setelahnya, Natha langsung berlalu dari hadapan Harvey dengan wajahnya yang tiba-tiba memanas. Harvey terkekeh, pandangannya mengikuti kemana arah Natha pergi, menuju ke arah meja teman-temannya yang masih bercengkrama. Harvey terkekeh pelan, lalu ikut bergabung pada meja yang sama. Tidak menghiraukan Natha yang masih bersikap jutek padanya itu.

Lalu ketika matahari perlahan mulai menghilang di bawah garis cakrawala, Nasha tiba-tiba berdiri di atas panggung kecil yang berada di sisi tebing, senyumnya merekah, ia menatap Natha dan Harvey secara bergantian sebelum ia memanggil dua insan itu untuk turut naik ke atas panggung.

Seperti dugaan, Natha menolak. Kepalanya menggeleng, ia berusaha bertahan pada posisi duduknya ketika Deon dan Ellio menarik tangannya untuk berdiri. Butuh waktu beberapa menit lamanya untuk meluluhkan sikap keras kepala Natha, ia akhirnya berjalan menuju ke arah panggung dengan Harvey yang mengekor di belakangnya.

Seluruh pasang mata menaruh atensinya pada si 'pengantin baru'. Mereka terduduk dengan khidmat di kursi masing-masing, menyambut sesi terakhir pada pesta. Langit berubah oranye, burung-burung yang bergerombol pulang ke peraduan menjadi latar yang begitu cantik.

Terkecuali Eric yang kini sudah bersimpuh dibelakang lensa kamera, bersiap membidik moment Harvey dan Natha bersama langit sore. Nasha bertugas menjadi pengarah, ia posisikan tubuh Natha dengan Harvey saling berhadapan.

“Sha.” Natha memanggil saudaranya itu dengan nada protes ketika Nasha menyuruhnya untuk mengalungkan kedua tangan pada leher Harvey, dan Harvey menaruh ke dua tangannya pada pinggang Natha.

Namun Nasha hanya mengangguk, membuat Natha kemudian menatap Ayah dan Bunda yang kini tersenyum ke arahnya. Setelah itu menatap wajah Harvey yang berada di depannya dengan jarak yang cukup dekat.

“Just do it, Nath. Biar cepet selesai.”

Natha berdecak, ia mengerutkan alisnya sambil memasang wajah protes. Namun ekspresi wajahnya perlahan melunak ketika merasakan tatapan Harvey berubah. Ia kemudian dengan ragu mengangkat tangannya untuk mengalung di leher Harvey.

Sangat berbeda dengan Harvey yang langsung merengkuh pinggang Natha hingga sang empu berjengit kaget. Natha terlihat kikuk, bola matanya melihat ke segala arah dengan kedua tangannya yang mulai sempurna melingkar di leher Harvey.

Nasha bersorak pelan begitu mereka berdua sudah dalam posisi pas. Ia memberikan kode pada Eric untuk mengambil foto, shutter kamera berbunyi, kilatan flash menyala sekilas, lalu Eric tersenyum dan mengacungkan jempolnya.

Setelahnya, Nasha tidak memberikan instruksi apapun lagi, membuat Natha berpikir jika mereka berdua hanya akan berfoto dengan satu pose saja. Namun ketika Natha hendak melepas kalungannya, Harvey tiba-tiba menahan pergerakannya dan menarik tubuh Natha lebih mendekat ke arahnya dengan satu tarikan.

Mata seluruh hadirin yang berada di sana membulat dengan kompak begitu melihat pergerakan yang Harvey lakukan. Nasha pun dibuat terdiam dengan mulutnya yang sedikit terbuka.

“Vey, sesi fotonya udah selesai!” Bisik Natha panik.

“Sebentar.”

Lalu tanpa Natha duga, Harvey memajukan wajahnya dengan cepat. Sebelah tangannya naik untuk menahan kepala Natha agar berada diposisinya. Semua orang terpekik kaget, Eric dengan cepat menekan tombol kameranya berulang-ulang kali secepat yang ia bisa.

Bola mata Natha membulat kaget, tubuhnya tiba-tiba mematung. Bibir Harvey begitu lembut menyentuh bibirnya, kelopak mata Harvey perlahan terpejam seiring dengan pergerakan bibirnya yang melumat tipis bibir bawah Natha.

Tepuk tangan bergemuruh, Natha dapatkan kembali kesadarannya. Ia ingin sekali memberontak, mendorong tubuh Harvey menjauh. Namun nyatanya, ia hanya bisa mengcengkram kerah belakang tuxedo yang dipakai suami barunya itu.

Tubuhnya yang kaku tiba-tiba melemas, Natha bisa rasakan kedua kakinya yang mulai tidak kuat menopang bobot tubuhnya sendiri. Kelopak matanya ikut terpejam. Bibir itu masih bergerak, halus sekali. Membuat mereka benar-benar terlihat seperti dua orang yang saling mencintai, padahal nyatanya tidak.

Eric dan beberapa teman mereka bedua menjadi orang-orang yang paling sibuk mengabadikan moment. Semua lensa kamera mengarah pada mereka berdua. Langit semakin berubah oranye, matahari sudah tinggal seperempat bagian sebelum menghilang sepenuhnya dan berganti tugas dengan bintang-bintang.

Harvey menjauhkan bibirnya, ia menatap ke arah mata Natha dengan tatapan yang tidak bisa Natha baca sama sekali. Lalu wajah Harvey berpindah posisi, bibirnya berada tepat di sebelah telinga Natha.

“At least, wear your mask infront of them fo a while.” Bisiknya. “Just like I do.”

Natha menelan ludahnya gugup, ia mengangguk tipis sebagai jawaban. Kepalanya kemudian menoleh ke arah Ayah dan Bunda yang kini tersenyum begitu lebar ke arahnya. Bunda menyeka ujung matanya yang basah, Natha balas dengan senyuman tipisnya.

Matanya kembali menatap ke arah Harvey, mereka terdiam sesaat dengan saling bertatapan sebelum Harvey yang bergerak lebih dulu melepas rengkuhannya. Tubuh Natha ia bawa untuk berubah posisi menjadi menghadap ke arah kamera, setelah itu memberikan kode pada Natha untuk merangkul lengannya.

Sebelah tangan Natha kemudian terselip diantara tangan dan tubuh Harvey. Senyum keduanya merekah, kepalanya Natha bawa untuk bersandar pada pundak Harvey. Eric tekan kembali tombol kamera berkali-kali, begitupun dengan Deon dan Ellio yang sudah berada di sisi Eric untuk mengambil gambar keduanya.

“Nath.”

“Hm.”

“Goodjob.”

Natha melirik sekilas wajah Harvey lalu kembali tersenyum lebar ke arah kamera. “As long as they happy.”

“Yeah.. as long as they happy.”

Gemuruh guntur mulai menggema, angin mulai berhembus dingin. Langit malam yang seharusnya dihiasi gemerlap bintang kini terutup awan tebal. Natha terduduk di gazebo halaman belakang rumahnya, dengan Harvey yang berdiri membelakanginya di pinggir kolam.

Kedua orangtua mereka benar-benar memberikan waktu untuk mereka berdua mengenal satu sama lain. Perkenalan awal. Itu pun dengan sedikit paksaan karena Natha yang terus-terusan merengek menolak ide gila kedua orangtuanya.

Lampu taman berpendar kuning, refleksinya jatuh pada air kolam di mana Harvey bisa melihat tipis bayangannya dari atas. Natha membuang nafasnya berat untuk kesekian kalinya, pelipisnya mendadak pening, ia tatap kembali punggung Harvey yang masih berdiam diri sejak mereka menginjakan kaki ke halaman belakang.

“Fuck,” Umpat Natha pelan, hampir seperti bisikan. “Aneh banget dunia.”

Harvey diam-diam mendengus geli, ia bisa mendengar jelas umpatan Natha barusan karena keadaan yang benar-benar sepi. Perlahan, ia membalikan tubuhnya. Kedua tangannya masuk ke dalam kantung celana kainnya, dengan lengan kemeja yang digulung sampai siku. Mata tajamnya menatap Natha yang kini menundukan kepalanya itu.

“So, how's Natha Dimitri?” Tanyanya dengan nada tenang. Suara maskulinnya menyentuh gendang telingan Natha, membuat sang empu mengangkat wajahnya. “Iya atau enggak?”

“Fuck you!” Desis Natha, “Lo bahkan belum tanggung jawab sama kejadian kemaren, tiba-tiba manggil gua 'mba', dan sekarang lo dateng ke rumah gua buat ngajak nikah? Gila kali.”

Natha mendengus, ia masih menatap Harvey dengan tatapan galaknya. Tapi Harvey hanya merespon dengan kekehan, kakinya maju dua langkah mendekat ke arah Natha. “Besok kita ke bengkel. Fix your car, and let me know the answer.”

“Gamau!”

“See?” Sebelah alis Harvey terangkat begitu mendengar jawaban Natha. “Gua udah berbaik hati mau tanggung jawab tapi lo sendiri yang nolak. Ah ya, gua kesini gak buat ngajak lo nikah tapi orangtua kita yang berniat ngejodohin kita. Tolong garis bawahi.”

“Kenapa harus gua sih?” Protes Natha, manik matanya menatap ke dalam pupil coklat di hadapannya. Nafasnya terhela berat. “Maksud gua, banyak cewe di luar sana yang bisa lo jadiin tameng buat nolak perjodohan ini, atau mungkin yang pengen banget sama lo. With your wealth, your perfect..” Mata Natha memperhatikan Harvey dari ujung kaki hingga kembali menatap matanya. “You can easily get one of them.”

Harvey tidak menjawab, ia memperhatikan wajah Natha yang terlihat begitu frustasi beberapa saat sebelum tertawa pelan. Kakinya melangkah semakin dekat, membuat Natha langsung menegakkan posisi duduknya dan refleks memundurkan posisinya beberapa senti.

“Natha, Natha,” Harvey lagi-lagi mendengus geli. “Don't you realize that you just praised me?”

'Oh shit!' Natha kembali mengumpat di dalam hati.

Menyadari gelagat Natha yang mendadak kikuk, Harvey kembali mengambil satu langkah maju. Membuat ia dan Natha hanya berjarak kurang dari satu meter. “Emangnya ada alasan gua harus nolak lo?”

“We're both same, and society never let us breath.” Natha menyahut pelan. “Even though our parents give us their permission.”

“Fuck society, Natha.” Harvey berdecak, “Gak ada alasan yang kuat buat lo nolak ini? More than your stupid opinion.”

“Gua tanya balik sama lo, apa alasan lo nerima perjodohan konyol kayak gini? Please Harvey, we're on millennials era and this shit is too age.” Natha kembali membuang nafasnya berat, tidak habis pikir dengan Harvey yang ternyata sangat menyebalkan. “We're still under 30 and marriage is too early to think about. Ayolah, gua juga tau lo masih mau sibuk karir, masih mau hangout sama temen-temen lo, atau have fun with a lot of girls out there.”

“Is that your first impression of me, Natha?” Bukannya menjawab pertanyaan Natha barusan, Harvey malah bertanya balik. “Well, thanks.”

Natha berdecak jengkel. “Mau lo apa sih?”

“Lo.”

“Harvey, gua gak lagi bercanda.” Natha tiba-tiba menelan ludahnya berat ketika Harvey kembali mengambil satu langkah maju. Sorot matanya masih berusaha ia pertahankan segalak mungkin.

“Emangnya ada yang ngajak lo bercanda?”

Kedua tangan Natha refleks mengepal ketika rasa kesalnya sudah mencapai ujung, wajah itu ingin sekali ia beri pukulan secara cuma-cuma. Natha terdiam, membuat keheningan seketika menyelimuti mereka kembali.

Harvey ambil satu langkahnya lagi, membuat jaraknya dengan Natha hanya terisa satu langkah saja. “Gua cuman gak pengen mereka kecewa, Natha.”

“Mereka nerima gua aja, gua udah bersyukur. Terus kalo gua bertahan sama sikap egois gua dan gak mau nerima perjodohan ini, apa sama aja jatohnya kayak gua gak tau diri?” Jelas Harvey. “Mereka cuman punya gua, Nath. Sebisa mungkin apa yang mereka pengen gua turutin, walaupun itu berat buat gua.”

Natha kembali menelan ludahnya berat, konsentrasinya mendadak terpecah. Kepalanya sedikit menunduk ketika wangi tubuh Harvey begitu menusuk ke saluran pernafasannya, membuat Natha merasa tercekat. Kelopak matanya mengedip lambat, hawa panas seketika terasa menyelimutinya ketika tatapan Harvey seakan-akan mengulitinya perlahan.

Sial, lelaki ini begitu dominan.

“Kalo lo emang gak mau nerima perjodohan ini, it's okay. Gua gak akan ambil pusing tentang itu. Tapi orangtua lo?” Tanya Harvey. “Mereka mungkin udah naruh sedikit harapannya sama rencana ini, gak ada yang tau.”

Sebelah tangan Harvey tiba-tiba terulur, belum sempat Natha menghindar, kedua jarinya sudah terlebih dahulu menjepit ujung dagu Natha. Kepala Natha dibawa mendongkak, wajah Harvey mendekat beberapa senti hingga dua manik mata itu saling tatap dengan jarak dekat. “So, gua tunggu jawaban lo.”

Harvey melepas sentuhannya, lalu mengambil langkah mundur. Tanpa menunggu jawaban dari Natha, ia melangkahkan kakinya menjauhi area gazebo tempat di mana Natha masih terdiam dengan pikirannya yang mendadak kosong.

Ucapan Harvey seakan-akan beradu dengan perkataan Nasha ketika saudaranya itu mengetahui tentang orientasi Natha. Melilit seperti kabel kusut di dalam pikirannya. Perkataan Harvey kembali terngiang di kepala. Setelah dipikir-pikir pun, lelaki itu ada benarnya juga.

Kedua orangtuanya sudah begitu lapang ketika mengetahui jika Natha lain dari yang lain. Mereka mungkin kecewa berat padanya, namun di sisi lain pun mereka hanya bisa menerima keputusan Natha, dan tidak menutup kemungkinan mereka akan kecewa kembali jika Natha menolak perjodohan ini.

'Ayah sama Bunda udah tua, Nath. Mereka cuman pengen yang terbaik buat kita dan ngeliat kita bahagia. Seenggaknya, kalo lo gak bisa ngebanggain mereka, tolong jangan ngecewain mereka juga.'

Natha mengepalkan tangannya kuat, bibir dalamnya ia gigit, matanya terpejam rapat. Lalu tarikan nafas panjang ia ambil, hembusannya terasa begitu berat ketika Natha turut membuka kelopak matanya kembali.

“4 bulan.” Suara Natha mengalun pelan, ia menolehkan kepalanya ke arah Harvey yang juga menghentikan langkahnya ketika mendengar suara Natha. “Gua terima perjodohan ini, tapi cuman selama 4 bulan. Setelahnya kita pikirin lagi gimana. Tapi dengan satu syarat, with the rules.”

Mendengar ucapan Natha, seringai tipis menghiasi wajah Harvey. Tidak lama, ia pun terkekeh. Kepalanya kembali menoleh ke arah Natha yang kini menatap ke arahnya.

“So, the answer is yes?” Tanyanya.

Natha mengangguk. “Ya.”

“Do you wanna know something, Natha?” Tanya Harvey, sebelah alisnya kembali naik. “I had my first dream about you last night. I don't remember exactly. But the whole time I was dreaming,” Kalimatnya terjeda sesaat, Harvey tersenyum tipis. “I knew you were mine, doll.”

Setelah itu, Harvey kembali melanjutkan langkahnya dan masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Natha seorang diri terdiam di gazebp. Perlahan kedua tangan Natha kembali mengepal, ekspresi wajahnya berubah sangat datar.

“Screw you, Harvey.” Desisnya penuh rasa jengkel.

Natha melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah. Kepalanya berulang kali menggeleng, dan sesekali ia menampar pipinya sendiri. Hembusan nafas berat terlepas, ia merasa dejavu ketika melihat mobil hitam asing yang terparkir di halaman rumahnya itu.

Mirip dengan mobil yang menabraknya tempo hari.

“Yaelah Nath, mobil kaya gitu mah banyak. Bukan itu orang doang yang punya.” Monolog Natha sambil berusaha mengusir rasa gelisahnya. “Lagian gua juga banget ketemu lagi sama itu orang, amit-amit dah.”

Kakinya melangkah menuruni tangga rumah, area dapur dan ruang makan di rumahnya memang terletak lebih rendah dari lantai utama. Natha berhenti sejenak di depan pajangan kaca, merapihkan sedikit rambutnya dan penampilannya. Satu tarikan nafas ia ambil sebelum kembali melanjutkan langkahnya.

“Maaf, Natha telat tad-” Ucapannya terhenti begitu ia mendapati meja makan rumahnya sudah terisi oleh tamu yang Ayahnya maksud pagi tadi. Seluruh pasang mata menatap ke arahnya, bola mata Natha membulat, dahinya turut mengerutt ketika menyadari sosok lelaki yang menabrak mobilnya tempo hari berada disana. “Lo kan yang-”

“Ah itu Natha,” Bunda tersenyum ke arah keluarga Tanjung, kemudian menatap Natha yang masih berdiam diri. “Nath, sini. Ada Om Tanjung sama Tante Tanjung, ayo langsung gabung makan.”

Natha menatap Bundanya dengan ekspresi shock. “Bun?”

Bunda memberikan gestur tangannya dari bawah meja, menyuruh Natha untuk segera mendekat dan menduduki kursinya. Natha tiba-tiba kehilangan fokusnya, ia menatap kedua orangtuanya, Om dan Tante Tanjung, serta lelaki yang masih menatap dirinya dengan sebelah alisnya yang terangkat itu.

Melihat kembarannya yang malah berdiam diri seperti patung, Nasha langsung bergegas memundurkan kursinya, membungkuk sekilas ke arah keluarga Tanjung sebelum berjalan mendekati Natha. “Nath, woy, malah bengong.”

“Sha, itu cowo yang nabrak mobil gua kemaren.” Sahut Natha dengan nada datar. Membuat Nasha berdecak lalu meraih sebelah tangan Natha, “Udah ayo duduk, gak sopan kalo lu diem aja disini.”

Tangan Natha ditarik oleh Nasha sampai ia berdiri tepat dibelakang kursinya. Nasha menarik kursi milik Natha lalu menyentuh pundak kembarannya itu agar duduk di kursi miliknya, yang mana berhadap-hadapan langsung dengan anak tunggal keluarga Tanjung itu.

“Natha sekarang beda banget ya, malah cantik kaya Nasha.” Tante Tanjung terkekeh, membuat Natha mengerjapkan matanya meraih kesadarannya kembali. “Masih inget sama Tante gak, Nath?”

“Masih, Tan, Om.” Cengiran kikuknya tersungging, ia menatap Tante dan Om Tanjung bergantian, lalu sekilas menatap anak mereka yang terlihat acuh itu. “Maaf Natha telat tadi agak macet dijalan.”

“Gapapa, sayang.” Tante Tanjung tersenyum tipis. “Ah iya kenalin, ini Harvey, anak tante. Kamu mungkin baru ngeliat karena dia juga baru pulang ke Indo kemaren.”

Natha menatap Harvey yang kini tersenyum tipis ke arahnya. Ekspresi wajahnya langsung berubah datar, tidak membalas senyuman yang Harvey berikan. Alisnya kembali mengkerut dengan sorot mata yang berubah tajam.

'Kan bener, sial lagi gua' Batin Natha dongkol di dalam hati.

Natha menoleh ke arah Nasha ketika kembarannya itu mencolek pahanya di bawah meja. Kepala Nasha menggeleng tipis, membuat Natha langsung mengerti isyarat yang gadis itu berikan. Natha berdehem pelan lalu kembali menatap Harvey, tersenyum singkat lalu ia alihkan lagi pandangannya ke arah lain.

“Natha.” Kepalanya langsung menoleh, menatap sang Ayah yang tadi berhedem singkat. “Ada yang mau kita omongin sama kamu.”

Ritme jantung Natha mendadak meningkat. Ia takut-takut menatap keempat orangtua itu secara bergantian. “Kenapa, Yah?”

“Jadi gini, maaf kalo sebelumnya kesannya kayak dadakan banget. Tapi, kamu mau gak lebih kenal deket sama Harvey?”

Pertanyaan itu membuat tanda tanya besar di kepala Natha, ia memasang ekspresi bingung menatap Ayah. “Maksudnya gimana?”

“Jadi gini-”

“Sorry, Dim. Biar lebih enak kayaknya aku aja yang jelasin, ya?” Tante Tanjung menyela ucapan Ayah dengan senyumnya yang melebar kembali, ia menatap ke arah Natha yang masih menampilkan ekspresi yang sama. “Natha,” Panggilnya lembut.

Dahi Natha mengkerut, ia menatap ragu ke arah Tante Tanjung. “Iya, Tan?”

“Kamu udah punya pacar?” Pertanyaan itu langsung membuat Natha menyimpulkan satu kesimpulan. Ia melirik sekilas ke arah Harvey yang masih tenang mengabiskan makanannya. “Kalo masih dan kalo kamu gak keberatan, kebetulan Tante mau ngedeketin kamu sama Harvey.”

“Maaf Tante,” Natha tersenyum kikuk. “Kenapa harus sama Natha? Kenapa gak sama Nasha aja? Kan disini yang cewe itu Nasha.” Tanyanya to the point.

Natha menoleh ke arah Nasha, menatap kembarannya yang kini terkekeh itu. Tanpa suara, Nasha mengangkat tangan kanannya dan menunjuk cincin yang melingkar di jari manisnya, membuat Natha secara spontan berdecak pelan.

“Kayaknya gak perlu Tante jawab ya, Nath.” Tante Tanjung lagi-lagi tersenyum tipis, membuat Natha menatap kembali ke arah wanita yang mungkin seusia Bundanya itu. “Nasha kan udah ada tunangan, jadi gak mungkin dong sama Nasha. Iya gak, Sha?”

Nasha menganggukan kepalanya. “Iya, Tante.”

“Tapi kan Natha cowo, Tan. Harvey juga cowo.” Intonasi suara Natha memelan di akhir kalimat. “Apa gak.. aneh?”

Tante Tanjung menggeleng. “Enggak, sayang. Kita tau kok kalian lebih spesial dari yang lain, jadi Tante pikir ini kesempatan yang bagus buat kalian berdua lebih deket satu sama lain. Iya kan, Ran?”

Tangan Bunda terulur untuk mengusap bagian belakang kepala Natha, membuat Natha menatap sang Ibu dengan wajah protesnya. “Bun?”

“Natha mau gak?” Bukannya menjawab protes Natha, Bunda malah balik bertanya dengan senyum manisnya. Membuat Natha langsung mengigit bibir dalamnya kuat. “Kalo Natha mau, nanti kita kasih waktu dulu buat saling kenal satu sama lain. Kalo hasilnya baik, nanti langsung nentuin tanggal.”

Natha dan Harvey sontak tersedak ludahnya sendiri. Mata Natha langsung membulat, kepalanya menggeleng dengan wajah protesnya yang ia berikan pada Bunda. “Tanggal apa, Bun?” Nada suaranya naik satu oktaf.

Bunda menatap Natha dan Harvey secara bergantian. “Tahun ini Harvey udah 29 tahun, kamu juga udah mau 28. Kalian berdua belum ada ngenalin ke kita pacar atau siapapun itu. Jadi setelah Bunda sama Ayah dan tentu aja Om sama Tante Tanjung ngobrol bareng, kami berempat mutusin buat ngejodohin kalian.”

“Hah?!” Natha terpekik kaget mendengar ucapan Bunda. Kepalanya kemudian menggeleng. “Enggak, enggak. Ini bercanda doang kan, Bun? Ayolah, Natha belum tua-tua amat, masih ada waktu buat nyari jodoh, Bun.”

“Ya dari pada kamu susah-susah nyari jodoh, kenapa gak sama Harvey aja?” Tanya Ayah, ia menatap Natha yang masih memasang wajah shock. “Udah ada di depan mata, tinggal bilang mau, and ta-daaaa!! Kamu udah ketemu jodoh kamu. Lagian apa gak makin susah nyari jodoh yang sama-sama cowo?”

“Ayahhh.” Gantian Natha menatap Ayah dengan wajah protesnya. Tidak habis pikir dengan ucapan Ayahnya barusan. “Ck, ayolah.”

“Natha gak mau karena masih mau main ya? Masih mau sibuk di karir?”

Pertanyaan dari Om Tanjung membuat atensi Natha berpindah pada pria itu. Sudut bibirnya tertekuk ke bawah, kepalanya kemudian mengangguk tipis. Membuat Om Tanjung langsung tersenyum lebar.

“Gapapa, Natha. Harvey juga masih sering main kok sama temen-temennya, masih sibuk juga di karir. Tapi setelah kami pikir-pikir, kayaknya kalian juga bisa kan main bareng? Hangout bareng? Atau ke club bareng? Sama-sama bisa ngedukung karir satu sama lain juga. Jadi, gak ada salahnya kan buat ngejalin hubungan lebih dari sekedar teman kan, Dim?”

Natha bisa melihat Om Tanjung menoleh ke arah Ayahnya dah tersenyum. Ayah langsung menepuk pundak Om Tanjung lalu membalas senyumannya lebih lebar. “Iya, kan enak nih kalo jadi besan. Ayah kalo gabut ada temennya. Iya kan, Tan?”

Om Tanjung mengangguk. “Kita gak akan buru-buru kok, santai aja. Kenalan dulu, atau mungkin abis ini mau langsung ngobrol-ngobrol juga boleh.”

Natha tidak menyahut, ia masih tidak habis pikir dengan jalan pikir empat orang yang berada di hadapannya sekarang. Ia kembali menoleh ke arah Harvey yang masih terdiam, lelaki itu bahkan tidak mengucapkan sepatahkatapun, seakan-akan memang setuju dengan rencana keempat orangtua mereka.

“Gapapa, terima aja.” Nasha berbisik pelan di sebelah Natha. “Udah cakep, kaya lagi. Kapan lagi lu dapet jackpot kaya gitu?”

“Tapi yang iya aja sih, Sha.” Natha balas berbisik, ia menoleh menatap saudaranya itu. “Gak ada angin gak ada ujan tiba-tiba ngejodohin gua sama itu orang,” Matanya kembali melirik sekilas ke arah Harvey. “Gila, dunia aneh banget. Asal lo tau, dia yang nabrak bumper mobil gua kemaren!”

“Udah terima aja, percaya sama gua.” Nasha mencoba meyakinkan. “Seengaknya, jangan bikin Bunda sama Ayah kecewa. Mereka pasti tau yang terbaik buat anak-anaknya. Dicoba dulu aja, kalo emang nanti lo gak cocok sama Harvey, yaudah, tinggal tolak ni perjodohan, tapi kalo udah terlanjur nikah ya tinggal cerai.”

“Sumpah, gua gak ngerti sama jalan pikir lo.” Dumel Natha ketika mendengar ucapan Nasha. “Kalo cerai nanti apa gak bikin mereka tambah kecewa?”

Nasha menepuk pundak saudaranya itu. “Lu belum coba. Dari pada lu jadi bujank lapuk, gua akhir tahun udah mau nikah masa lu masih ngejomblo aja?”

“Sialan.” Desis Natha sebal. “Gak gua tetep gak mau.”

“Hah? Apa? Mau langsung nikah aja?” Nasha meninggikan suaranya, membuat Natha langsung kelabakan di tempat. Seluruh atensi perpusat padanya, ia menggelengkan kepalanya dengan tangannya yang membuat gestur tidak.

“Bangsat! Bisa diem gak sih lu.” Balas Natha sambil berbisik pada Nasha yang kini malah terkikik. “Sha, anjir lah!”

“Oh mau langsung nikah aja, Nath?” Tanya Tante Tanjung, Natha kembali menatap wanita itu lalu menggeleng. “Enggak Tan, bukan gitu.”

“Ya gapapa kalo mau langsung nikah, bukannya seru ya kalo pacarannya setelah nikah? Mau ngapa-ngapain juga udah sah.” Tante Tanjung tertawa kecil, diikuti Bunda, Ayah, dan Om Tanjung setelahnya.

'Salah udah ini mah, salah' Batin Natha nelangsa.

Bunda menyentuh pundak Natha. “Bunda sama Ayah ikut gimana Natha aja, mau pendekatan dulu boleh, mau langsung nikah juga boleh.”

“Enggak Bun, enggak gitu. Itu mah tadi Nasha yang ngomong.” Elak Natha, ia menatap Bunda dengan ekspresi memelas. “Bun, ayolah. Natha belum siap.”

“Kalo maunya Natha gitu, Harvey ikut aja.”

Kepala Natha langsung menoleh ke arah Harvey, matanya yang bulat semakin membulat. Keempat orangtua tersenyum, terutama Nasha yang kini menepuk-nepuk punggung Natha dengan senyumnya yang merekah.

“Lo mending diem aja deh!” Sahut Natha jengkel.

“Natha,” Suara Ayah memanggil dengan nada tegas, membuat nyali Natha langsung ciut seketika. “Yang sopan, Nak.”

“Maaf.” Intonasi Natha memelan. Ia menatap kembali ke arah Harvey yang kini tersenyum, tangan Natha yang berada di bawah meja refleks mengepal. Senyumnya terangkat sekilas lalu bola matanya berputar kesal.

“Jadi gimana? Natha mau gak?” Tanya Tante Tanjung lagi, membuat pundak Natha seketika turun. Matanya menatap nyonya besar keluarga Tanjung itu dengan wajah melas, Tante Tanjung tertawa. “Mau ya? Harvey baik kok, anaknya gak pernah macem-macem.”

Natha sebenarnya ingin sekali menggeleng, berteriak mengatakan 'tidak' dengan lantang. Tapi tatapan Ayah yang mengarah padanya membuat Natha hanya bisa berdiam diri. Gila, Natha merasa kesialan dalam hidupnya berkumpul menjadi satu malam ini.

“Kita biarin mereka ngobrol berdua dulu aja kali ya abis ini? Biar lebih enak nanti ngebahas kedepannya.” Om Tanjung kembali tersenyum manis ke arah Natha, membuat Natha mau tidak mau membalas senyumannya. Ia kemudian menoleh ke arah anak semata wayangnya itu. “Gimana, Vey? Oke gak?”

Harvey angkat sudut bibirnya tipis, kepalanya kemudian mengangguk. “Harvey ikut aja apa kata Papa.”

Semua orang di meja makan tersenyum gembira, kecuali Natha yang kini menatap Harvey dengan tatapan sinisnya.

Sorak-sorak kesenangan menggema. Lampu bola kristal berkilauan ditengah dengan lampu-lampu sorot berbagai warna ikut berputar. Gelas bertemu dengan gelas, gelak tawa memenuhi penjuru ruangan. Asap rokok bertebaran, aroma alkohol menguar begitu kuat.

Disalah satu meja dengan sudut paling strategis, Natha memutar-mutar gelas minumannya dengan wajah bosan. Bola matanya berputar malas ketika Deon mulai menggila di lantai dansa sana, meliuk-liukan tubuhnya seperti cacing kepanasan. Lalu pandangannya berpindah, melirik Ellio yang sudah mengarungi alam mimpi di sofa panjang yang mereka duduki, tidak peduli dengan suara bising dari speaker besar di panggung utama yang bisa membuat gendang telinga berdengung.

Hembusan nafas beratnya terlepas, gelas yang berada di tangannya ia pindah tempatkan ke atas meja. Bungkus rokok diraih, satu batang gulungan nikotin itu keluar dari dalam box dan langsung terselip di belahan bibir. Pematik dinyalakan, asap kecil kemudian membumbung bercampur dengan udara di dalam club.

“Ck, udah setengah tiga aja dah.” Natha menggerutu pelan begitu layar ponselnya menunjukan angka dua dan duapuluh enam di tampilan waktu. Punggungnya bersandar pada sofa, satu tangannya terulur untuk menggoyangkan pundak Ellio. “El, balik gak? Udah mau pagi nih.”

“Emm? Oh iya heeh, nanti aja, duluan, masih bungkusin risol, hehehe.” Ellio menyahut dengan kesadarannya yang entah dimana, lalu kembali menyamankan posisi tidurnya, membuat Natha lagi-lagi berdecak.

“Gua cabut duluan ya kalo gitu, lo balik sama Deon aja.” Ponsel di meja ia masukan ke dalam kantong, ujung rokok ia ketuk pada pinggiran asbak, matanya kembali menatap ke arah Deon yang semakin tidak tertolong itu. Kepalanya menggeleng, Natha mendengus geli. “That bitch.”

Natha berdiri dari posisinya, ia menatap Ellio sekilas sebelum merapihkan pakaiannya yang sedikit berantakan. Rokok masih setia terselip di belahan bibirnya, ia kemudian melakukan kontak mata dengan Deon yang masih berjoget heboh di sana, jarinya menujuk ke arah pintu keluar. Paham dengan isyarat yang Natha berikan, Deon hanya menganggukan kepalanya lalu kembali berjoget ria dengan gelak tawa yang menggema.

Kaki Natha melangkah menuju pintu keluar, ia menyapa sesaat seorang bartender yang kebetulan sudah hafal dengannya itu. Maklum, Natha memang kerap pergi ke club ketika akhir pekan, atau terkadang ketika pikirannya sedang kusut.

Tidak membutuhkan waktu lama untuk Natha sampai di area parkir. Remot key ditekan, lampu mobil putih itu mengedip dua kali. Pintu kemudi terbuka, Natha buang terlebih dahulu rokoknya yang masih setengah batang itu, menginjaknya dengan ujung sepatu hingga bara apinya padam. Setelahnya, ia langsung masuk ke dalam mobil dan bersiap untuk pulang.

Suara derungan mesin menggema di basement yang sepi, Natha taruh dompet serta ponselnya di jok penumpang terlebih dahulu, setelah itu pedal gas mulai di tekan perlahan. Sebelah tangannya memutar perlahan stir mobil, namun belum sepenuhnya mobil putih itu keluar dari barisan parkir, Natha tiba-tiba menginjak pedal rem kuat ketika suara klakson panjang menggema.

Suara dug lumayan kencang terdengar jelas di telinga Natha. Sebuah mobil hitam metalik dengan tiba-tiba muncul dan menyenggol bagian depan mobilnya. Rem tangan kembali di tarik, kedua alis Natha sudah menukik dengan ekspesi wajahnya yang kesal. Pintu mobil kembali dibuka, Natha keluar dari dalam mobil dengan tergesa dan langsung melihat bagian depan mobilnya.

“Woy!” Suaranya mengalun dengan nada protes, kepalanya menoleh ke arah mobil hitam dengan pengemudinya yang masih berdiam diri di dalam mobil itu. Kesal, Natha pukul bagian kap mobil itu sekali. “Keluar lo!”

Tidak perlu waktu lama untuk Natha melihat sesosok lelaki dengan pakaian serba hitam keluar dari dalam mobil. Perawakannya lebih tinggi dari Natha, mungkin selisih beberapa senti.

“Sorry gua tadi gak-”

“Punya mata gak sih lo.” Natha menyela dengan nada jengkel, “Gak liat mobil gua mau keluar? Main srobot aja, dikira jalan punya nenek lo kali.”

Ekspresi wajah lelaki itu seketika berubah. “Maaf?”

Natha menunjuk bagian depan mobilnya dengan tatapannya yang masih mengarah ke lelaki itu. Wajahnya merengut masam, sebelah tangannya berkancak pinggang dengan ujung kakinya mengetuk-ngetuk lantai basement. “Liat ga?”

Tatapan lelaki itu mengikuti arah telunjuk Natha, memperhatikan bumper depan mobil yang sedikit penyok. “Sorry, gua gak sengaja. Lagi ngelamun tadi jadi gak engeh kalo ada mobil keluar.”

Natha tidak menyahut, ia masih menatap lelaki itu dengan ekspresi kesal. Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, lelaki itu kembali menuju ke arah mobilnya, hampir saja Natha mengomel jika lelaki itu tidak kembali. Kali ini ditangan lelaki itu terdapat sebuah dompet.

“Civic ya?” Tanya lelaki itu, ia membuka dompetnya dan mengambil beberapa lembar uang dari dalam sana. “Sekal lagi sorry, gua beneran gak sengaja.” Katanya sambil menyerahkan uang yang ia pegang pada Natha.

Sebelah alis Natha naik. Matanya menatap uang dan wajah lelaki itu bergantian. “Maksudnya apa nih?”

“Ganti rugi?” Wajah lelaki itu terlihat bingung dengan respon yang diberikan Natha. “Apa lagi emangnya?”

“Lo kira semuanya bisa selesai gitu aja setelah lo ganti rugi?” Tanya Natha, nada suaranya begitu menyebalkan.

Lelaki itu menghembuskan nafasnya berat, matanya terpejam sesaat. “Gua kan tadi udah minta maaf, terus sekarang gua kasih ganti rugi lo gak mau. Terus maunya gimana, Mba?”

“Mba?” Ulang Natha, ekspresi wajahnya semakin kesal. “Mba mata lo! Gua cowo sialan!”

Air muka lelaki itu berubah terkejut, ia mengerjapkan matanya berulang kali lalu memperhatikan Natha dari bawah sampai atas. “Sorry, gua kira lo cewe.” Ucapnya dengan nada pelan.

“Ck,” Natha berdecak kesal, “Ambil duit lo, gua gak butuh. Mending sekarang lo mundurin mobil lo biar gua bisa keluar, paham?”

Natha langsung membalikan badannya, ia masuk kembali ke dalam mobil dan menutup pintu mobil dengan sedikit bantingan. Klason ditekan, lelaki itu kemudian dengan tergesa kembali masuk ke dalam mobilnya dan memundurkan sedikit posisi mobil.

Sekiranya sudah ada jarak yang cukup aman untuk mobil Natha keluar, ia langsung menginjak pedal gasnya. Tidak lupa untuk menurunkan kaca mobil dan mengacungkan jari tengahnya dengan wajah kesal.

Disisi lain, lelaki itu hanya berdecak pelan seraya menggelengkan kepalanya tidak habis pikir dengan tingkah Natha barusan. “Gila, baru kali ini gua nemuin orang kaya gitu.”

“Yah, gak usah heran, Vey. Banyak yang begitu mah disini. Belum aja lu ketemu ibu-ibu yang ngidupin sen kanan tapi beloknya ke kiri.”

Kepalanya menoleh ke arah kiri, menatap temannya yang terkekeh melihat kejadian barusan. “Ajaib.”

“Weh.” Lelaki itu merasakan pundaknya di tepuk dari belakang. “Maklum aja, cewe emang suka kaya gitu.”

“He's boy, by the way.”

“Hah?!”

Dua orang yang berada di dalam mobil itu memasang ekspresi kaget. Mereka saling menatap wajah satu sama lain dengan mulut yang terbuka.

“Bangsat, gua kira cewe!”

“Pantes rata.”

Bahu lelaki itu naik sekilas, lalu tertawa. “Gua kira juga tadi cewe, ternyata cowo.”

“Cantik tapi.” Gumam salah satu temannya yang duduk di jok belakang. “Tipe lo bukan tuh, Vey? Yang kaya begitu.”

Lelaki itu tertawa, “Hampir. Tapi sayang, bad attitude.”

“Oh iya, gua liat tadi dia nge-fuck ke lo.”

Gelak tawa memenuhi penjuru. Mobil hitam itu kembali melaju dengan kecepatan pelan hingga keluar dari area parkir. Sudut bibir lelaki itu naik sebelah ketika kembali mengingat wajah pengemudi yang ia tabrak mobilnya tadi.

Well, he's so damn pretty-hot.

Klakson ditekan dua kali, rem ditarik dengan gas yang diputar secara bersamaan. Deva menyunggingkan cengirannya bergitu Evan keluar dari dalam kamar kos miliknya. Ekspresinya datar menatap tingkah Deva yang sedang dalam mode full batterai itu.

“Awas, gua aja yang bawa.” Kata Evan sambil menggeser posisi Deva dari atas motor, membuat Deva merengut masam ke arahnya. Lengan atasnya ditepuk sekali oleh Deva. “Lu kalo bawa motor kaya mau ngajak ketemu Tuhan, Dev. Mending gua aja yang bawa.”

“Lebay.” Cibir Deva, namun kemudian ia tetap menggeser posisinya hingga berada di bagian belakang jok. Stang motor diambil alih, Evan naik ke atas motor lalu menurunkan footstep untuk pijakan kaki Deva. “Lu juga kalo bawa mobil udah kaya orang kesetanan.”

“Masa?” Tanya Evan, ia mengatur posisi spion bagian kiri hingga menampilkan refleksi wajah Deva disana. Mata mereka bertemu, Evan kemudian mendengus geli. “Cantik banget, padahal cuman mau rapat doang.”

Kepala Evan refleks Deva dorong pelan, ia menyamankan posisi duduknya lalu mendekatkan kepalanya ke arah pundak kiri Evan. “Gausah ngomong macem-macem, mau gua pukul?”

“Apa sih gak jelas.” Sahut Evan sambil mulai menjalankan motor. “Orang dibilang cantik kok marah.”

“Soalnya gua ganteng.”

“Iya, yang paling ganteng deh.”

“Tapi kalo lu yang manggil cantik, gapapa. Boyfriend get free pass.”

Bola mata Evan berputar malas. “Iya, bawel.”

Deva terkekeh, ia memajukan sedikit posisi duduknya hingga dadanya dan punggung Evan hanya berjarak kurang dari 5 senti. Kedua tangan Deva mencengkram hoodie Evan dibagian samping.

'Kiki' melaju dengan kecepatan sedang, motor yang pernah menjadi saksi beberapa kali Deva menyerempet tukang dagang keliling itu berbaur pada ramainya jalanan.

Helaian rambut berkibas terkena terpaan angin malam. Cuaca yang lumayan dingin selepas hujan menguyur membuat Deva sedikit bergidik dibalik hoodie abu-abu milik Evan yang ia pakai itu. Cahaya lampu jalan terefleksi indah oleh air yang masih menggenang di sisi jalan.

“Evan.”

Suara Deva mengalun pelan, tapi Evan bisa dengan jelas mendengarnya. Ia mundurkan sedikit posisi duduknya hingga dagu Deva tepat berada di atas pundak kirinya.

“Kenapa?”

“Bayang-bayangnya udah gak ada.” Deva tersenyum tipis, “Gua sadar, hidup emang kurang kalo gak ada moment brengseknya, dan yang kita butuhin cuman gimana cara kita ngadepin moment brengsek itu.”

Kepala Evan mengangguk pelan, ia membiarkan Deva menyelesaikan terlebih dahulu isi hatinya.

“Namanya Devara.” Foto bayi kecil itu terlintas sekilas dipikiran Deva. “Kafin ngasih nama itu buat anaknya.”

“Udah lahir?” Tanya Evan. “Kapan?”

“Tadi sore,” Deva menghela nafasnya pelan. “Mau tau gak kenapa Kafin ngasih nama itu buat anaknya? Katanya biar dia selalu inget semua kebaikan gua. Padahal kalo dipikir-pikir, gua gak baik-baik amat deh.”

“Dev,” Panggil Evan lembut. “Mungkin Kafin mau anaknya nanti selalu bisa ngeliat ribuan kebaikan orang dibalik satu titik kejahatannya. Sama kayak lo, yang gak pernah nengok ke belakang sama hal-hal yang bikin hati lo sakit. Lo selalu liat ke depan, lo selalu liat dibalik kesalahan pasti ada pengampunannya.”

“Iya?”

Evan mengangguk. “Sama kaya artinya, Devara, Dewa matahari. Hangat. Selalu menebar banyak kebaikan buat makhluk Tuhan lainnya. Walaupun lo kadang suka ngeselin.”

“Dih.” Pinggang Evan dicubit pelan, “Lu kali yang suka ngeselin. Apalagi kalo ngechat, masih aja singkat-singkat kaya orang pake esia.”

“Males ngetik panjang-panjang, capek.” Evan tertawa pelan, ia melepas sebelah tangannya pada stang motor lalu meraih sebelah tangan Deva untuk melingkari sisi tubuhnya. “Devara.”

“Apa?”

“Lo bahagia gak?”

Deva mendadak terdiam sejenak dengan pertanyaan yang Evan berikan barusan. “Bahagia?” Ulangnya.

Kepala Evan mengangguk tipis sebagai respon, ia bisa rasakan jika Deva mendengung kecil lalu kedua bahunya naik sekilas.

“Gak tau bisa dibilang bahagia atau enggak. Tapi untuk saat ini sih hati gua rasanya plong banget, ya bisa dibilang bahagia kali ya? Walaupun kadang kalo inget kelakuan lu kemaren gua rasanya masih pengen nonjok sih.” Deva terkekeh pelan. “Kafin udah minta maaf, lu udah minta maaf, dan gua pun udah maafin kalian. Jadi ya udah. Gak ada hal yang ngeganjel lagi di hati gua sekarang.”

“Segampang itu?”

“Kenapa harus di bikin susah?” Tanya Deva balik. “Gua selalu diajarin buat maafin semua perlakuan buruk orang ke gua sama orangtua gua. Mama selalu ngereminder gua kalo gua gak boleh dendam sama orang lain. Perlakuan buruk mereka mungkin cuman satu titik hitam diantara ribuan titik putih yang udah pernah mereka lakuin, dan kalo gua cuman fokus sama satu titik hitam itu, yang ada semua titik putihnya mudar, atau bahkan hilang. Gak menutup kemungkinan gua bakalan bales mereka pake titik hitam juga. Gua gak mau itu.”

Angin malam terhembus menerpa wajah. Deva kembali hela satu nafas panjangnya sebelum ia rapatkan tubuhnya ke arah Evan. “Simple-nya, kalo mereka udah minta maaf, ya gua maafin. Selesai. Gak perlu diperpanjang.”

“Walaupun itu gak adil buat lo?”

“Adil atau enggaknya itu udah takdir. Prinsip gua, mau seberapa jahat orang ke gua, selagi dia berani ngungkapin kesalahannya dan minta maaf, udah, itu cukup. Gak perlu ada hal lain yang harus diungkit-ungkit lagi.”

Evan tersenyum tipis mendengar penuturan kekasihnya itu, tangan Deva yang tersampir di perutnya ia elus pelan. Diam-diam ia berjanji di dalam hati tidak akan membiarkan sesuatu ataupun seseorang menyakiti Deva dikemudian hari, bahkan dirinya sendiri.

“Dev,”

“Apa?”

“Gua sayang banget sama lo.”

“Cih,” Deva mencibir dengan nada gurau. “Sesayang apa emangnya?”

“Kalo gua disuruh ngegitar full lagu yang ada di Wanderlust, bakalan gua lakuin.”

“Alah, gitu doang juga gua bisa.”

Mereka berdua kemudian tertawa, Deva bawa kedua tangannya untuk memeluk Evan. Masa bodoh dengan orang yang melihat. Semua hal mendadak buram jika sedang jatuh cinta.

Tidak berselang lama, motor berhenti tepat di garasi sekre yang sudah ramai oleh motor-motor lainnya. Sendal-sendal saling menumpuk di depan pintu masuk. Mesin mati, Deva turun terlebih dahulu dari atas motor lalu disusul Evan setelahnya.

“Kita telat gak sih?” Tanya Deva.

Evan melirik jam tangannya sekilas. “Kurang 2 menit lagi. Dah, ayo masuk.”

Begitu Evan dan Deva melangkahkan kakinya masuk ke dalam sekre, semua atensi tiba-tiba berpusat pada mereka berdua. Evan dan Deva membungkuk sekilas sebelum duduk di posisi masing-masing.

“Yailah pasangan baru, ini nih, pasti naik motornya sengaja di lamain biar bisa mesra-mesraan dulu di jalan.” Ucap Arghi sambil melayangkan tatapan menggoda ke arah Evan dan Deva. Sebuah tutup pulpen melayang ke arahnya. Pelakunya? Tentu saja Deva.

“Berisik lu!”

Arghi menjulurkan lidahnya sebagai balasan, ia kemudian menyenggol bahu Evan pelan lalu menaik-turunkan alisnya. Evan hanya mendengus geli sebagai respon, matanya kemudian memperhatikan anggotanya satu per satu.

“Udah semua nih dateng?” Tanyanya.

Daffin yang duduk disebelahnya mencolek paha Evan sekilas. “Ada dua orang yang gak hadir, Van. Izin sakit mereka.”

Evan mengangguk, matanya kemudian menatap Deva yang sudah bersiap dengan pulpen dan notenya itu. “Dev, absen jangan lupa. Dua orang izin.”

“Oke.” Deva mengacungkan jempolnya, gantian ia yang menatap anggota hima satu persatu sambil mengabsen mereka. Zhifa yang duduk disampingnya tiba-tiba menyenggol pundak Deva pelan.

“Dev.” Panggilnya sambil berbisik, Deva berdengung singkat sebagai jawaban, ia masih sibuk mengabsen ngomong-ngomong. “Kayaknya Daffin sadar deh gua sama Elang pacaran.”

“Hah? Masa?” Sahut Deva juga sambil berbisik, ia melirik ke arah sebelah kanannya dimana Rayyan terduduk sambil melamun, entah memikirkan apa. “Lu tau dari mana?”

“Gua dijudesin dari kemaren.”

“Wah, karma kayaknya.”

Zhifa merengut sebal. “Sialan.”

Deva terkekeh pelan. Ia kemudian membuka notenya, bersiap mencatat isi rapat kali ini. Tangan dan pulpennya sudah berada di posisi, matanya menatap Daffin sekilas yang terlihat sudah bersiap membuka rapat karena kali ini Evan berikan wewenang pada Daffin untuk memimpin rapat.

Rapat kali ini berjalan santai, tidak membahas issue-issue yang berat dikarenakan Evan hanya meminta pendapat para anggota hima terkait mubes yang akan diadakan pekan depan nanti. Banyak yang menyuarakan pendapatnya, membuat tangan Deva dengan cepat mencatat semua perkataan yang sekiranya penting.

Namun tiba-tiba fokus Deva terpecah ketika Zhifa mencolek lengannya berulang kali, kepalanya menoleh, dan sebuah minuman dalam kemasan gelas berada tepat di hadapannya.

“Dari Mada.” Bisik Zhifa pelan.

Deva menatap bingung ke arah gelas minuman yang terdapat tulisan 'tejus gula batu’ yang mungkin di tulis dengan tinta anti air, serta selembar note yang terlipat dua berada di atasnya. Dengan rasa penasaran, Deva ambil note itu lalu membukannya.

Dev, ini mungkin keliatannya aneh soalnya tiba-tiba gua ngasih note kaya gini. Tapi beberapa hari lalu gua abis baca buku, lupa judulnya apa, tapi waktu itu gua langsung kepikiran sama lu wkwkwk

Kata-katanya simple sih, tapi kalo kata gua cukup ngena. Terus gua ngerasa ini kayak lu banget. Kurang lebih disitu tertulis,

I salute you, because no matter how wanded your soul is, no matter how damage your heart is, you always choose to love.

You always choose to learn, forget, and move forward. You still choose to accept the pain, overcome it, and let go.

I salute you, because after all, loving is never easy.

Loving can be scary, loving can be turtuous, loving can be distateful. But you still choose to see love for it's fascinating attributes.

I salute you for your believe that people can change. I salute you because even when it's hurt like hell, you still choose to stay. You still to love and not just love the easy people or the people who can give you the world.

Dev, bahagia selalu ya. Selalu jadi orang baik, sobat! Semoga langgeng sama Evan sampe kakek-kakek nanti, atau sampe salah satu dari kalian dimakan sama cacing tanah wkwkwk

Satu lagi, tolong jangan suka ngeselin. Apalagi kalo lu lagi mode batre full, duh, capek gua ngeliat tingkah lu kaya cacing kepanasan (ini unek-unek jujur)

Salam dari Mada Aviagi, manusia paling ganteng se-Surabaya.

Senyum Deva merekah begitu membaca kata per kata yang tertulis disana. Walaupun ditulis dengan pulpen yang tintanya mungkin sudah sekarat, Deva bisa mencerna tiap huruf yang berada disana dengan jelas.

Hatinya menghangat. Mada mungkin menjadi satu-satunya teman dekatnya yang terlihat acuh namun ternyata diam-diam memperhatikan teman-temannya satu persatu, termasuk Deva.

“Dev!”

“Deva!”

“Devara! Buset dah!”

Tepukan pada pahannya yang lumayan kuat menyentak Deva kembali pada kesadarannya. Ia mengangkat kepalanya dan mendapati seluruh pasang mata menatap ke arah dirinya.

“Lu malah ngelamun anjir! Itu Evan dari tadi manggil lu!” Kata Rayyan sambil menggelengkan kepalanya tidak habis pikir. “Bisa-bisanya bengong di tengah rapat.”

“Fokus, Dev. Lagi rapat.” Ucap Jave sambil berdecak pelan.

Deva terkekeh kikuk, ia melipat kembali notes kecil itu lalu menyelipkannya di antara lembaran kertas. Senyum kecilnya mengembang ketika Evan menatap ke arahnya dengan dengusan geli, lalu kembali melanjutkan rapat yang sempat tertunda sejenak itu.

Langkahnya ke depan nanti mungkin akan lebih sulit dari kemarin. Tapi Deva yakin, Wanderlust akan tetap bernyanyi sampai pada akhir nanti.

Keesokan malamnya, dengan perasaan yang tak menentu Deva pergi menemui ajakan Kafin. Evan tentu saja bersamanya. Namun rasa gelisah tetap saja menyelimuti hatinya sedari tadi. Helaan nafas beratnya kembali berhembus, ia menatap jalanan luar dari balik kaca mobil.

Evan menoleh sekilas, satu tangannya terulur menyentuh pundak Deva dengan sebelahnya lagi tetap berada pada stir mobil. Deva menoleh, menatap wajah Evan dari samping dengan ekspresi gelisahnya.

“Gua jadi takut.” Tutur Deva jujur, kakinya bergerak gelisah di bawah sana. Ia kemudian menatap jari-jarinya yang bergetar pelan. “Anjir, tremor.”

Laju mobil Evan kendurkan kecepatannya, ia menoleh ke arah Deva dengan ekspresi khawatir. “Dibatalin aja ya, Dev. Kalo emang lu gak siap ketemu dia.”

Deva terdiam, kemudian menggeleng tipis. “Gak usah, ayo lanjut aja.”

“Tangan lo sampe gemeter gitu, sayang. Dibatalin aja ya?”

Lengan atas Evan di pukul sekali oleh Deva. “Jangan gitu! Makin gemeter!”

Deva menghembuskan nafas beratnya berulang kali. Kepalanya menggeleng, mengilangkan bayang-bayang buruknya yang tiba-tiba hadir dalam pikirannya itu. Seperti roll film singkat yang diputar tanpa aba-aba. Kepalanya menggeleng sekali lagi, mata bulatnya terpejam sesaat sebelum Deva membukannya kembali bersamaan dengan hembusan nafas panjangnya.

“Dev, puter balik aja ya?” Tawar Evan dengan nada khawatirnya, ia menoleh kembali ke arah Deva sekilas, lalu meraih sebelah tangan Deva untuk di genggam. “Tangan lo dingin banget.”

“Gak usah, ayo lanjut aja. Gua gapapa.” Kata Deva mencoba meyakinkan Evan dan dirinya sendiri. Ia ambil nafas panjangnya lalu menghembuskannya lewat celah bibir. “Biar dia gak ngehubungin gua lagi.”

Gantian Evan yang menghembuskan nafasnya berat, ia elus punggung tangan Deva dengan ibu jarinya, berusaha memberikan ketenangan. Deva balas dengan senyum tipisnya, setelah itu pandanganya ia alihkan kembali ke arah jalanan luar.

Dua puluh menit kemudian, mereka tiba di cafe yang sudah Deva janjikan sebelumnya. Mobil sudah terparkir, kunci di putar, dan mesin mati. Deva sempat berdiam beberapa saat dengan gemuruh hatinya yang tidak nyaman. Ia menatap Evan sejenak sebelum bergerak untuk membuka pintu mobil, dan keluar dari sana.

Sorot mata Evan mengikuti pergerakan Deva hingga kekasihnya itu masuk ke dalam cafe. Deva tadinya sudah mengajaknya untuk turut serta masuk, tapi Evan memilih untuk menunggu di dalam mobil dan tetap memantau pergerakan Deva dari luar. Jika situasi kurang memungkinkan, ia akan menyusul masuk ke dalam cafe.

Bagaimana pun, ini urusan Deva dengan Kafin. Ia tidak berhak ikut campur sedikit pun.

Deva kembali membuang nafasnya begitu kakinya sudah menginjakan lantai dalam cafe, matanya mengedar, mencari keberadaan Kafin yang sudah tiba lebih dahulu di sana. Begitu ketemu, Deva langsung melangkahkan kakinya mendekat ke salah satu meja yang berada di sudut cafe.

'Posisi stategis.' Batin Deva dalam hati, beruntung sekali lelaki itu memilih meja yang berhadapan langsung dengan area parkir. Memudahkan Evan untuk melihat pergerakan mereka berdua.

Tanpa sepatah kata pun, Deva langsung mendudukan dirinya di kursi yang berhadapan dengan Kafin, membuat lelaki itu tiba-tiba tersentak dan langsung membenarkan posisi duduknya. “Deva.”

Deva tidak menyahut, ia memperhatikan penampilan Kafin yang sangat berbeda dari terakhir ia bertemu dengan mantan sahabat dekatnya itu. Lelaki itu terlihat kacau. Kantong matanya terlihat menghitam dengan penampilannya yang sedikit berantakan.

“Dev, lu beda banget.” Ucap Kafin begitu memperhatikan Deva dari bawah hingga atas. Sangat berbeda dengan Deva yang menjadi sahabatnya saat duduk dibangku sekolah itu. “Deva.”

“Langsung aja to the point mau lu apa, Kaf. Gua gak punya banyak waktu.” Sahut Deva dengan nada datar, pandangan matanya ia alihkan ke arah lain, enggan menatap ke arah dua bola mata Kafin. “Gak usah basa basi.”

Kafin memandang sedih ke arah Deva. “Dev, lu masih marah ya sama gua?” Tanyanya.

Deva berdecih. “Bisa lu pikir sendiri kan?”

“Deva, gua minta maaf.” Kata Kafin dengan nada penuh penyesalan. “Gua salah, Dev. Gua gak seharunya bilang kaya gitu waktu itu, gua minta maaf. Gua gak bermaksud sama sekali buat manfaatin lu, apa lagi ninggalin lu gitu aja setelah lu bilang lu suka sama gua.”

“Bisa langsung ke intinya aja gak? Gua udah gak butuh penjelasan lu lagi, Kaf. Sakit hati banget gua sama lu.” Tutur Deva jujur, ia menatap wajah Kafin yang sedikit tersentak dengan ucapannya itu. “Kalo lu minta maaf, udah gua maafin. Gua gak dendam sama sekali sama lu. Jadi gak usah ungkit-ungkit masa lalu, udah lama itu, udah lupa juga gua.”

“Dev, maaf.” Suara Kafin memelan, ia menelan ludahnya berat. “Gua tau ini kurang ajar banget, apalagi nginget sama apa yang udah gua lakuin sama lu. Tapi lu satu-satunya harapan gua, Dev.”

Deva menatap Kafin dengan satu alisnya yang terangkat, membuat Kafin berdehem gugup. “Dinda hamil anak gua.”

“Apa?” Bola mata Deva seketika membulat, ia menatap Kafin dengan raut wajah tidak percaya. Lelaki itu menampilkan raut wajah sedihnya, kepalanya mengangguk tipis. “Iya, Dinda hamil. HPL-nya sebentar lagi.”

“Lu gila ya, Kaf.” Komentar Deva masih dengan sorot tidak percayanya. “Orangtua kalian? Kuliah kalian?”

Kafin menghembuskan nafasnya berat. “Orangtua kita udah gak mau ikut campur lagi, Dev. Mereka udah kecewa berat. Jadi gua mutusin buat drop out dan kerja buat biaya hidup gua sama Dinda. Dinda pun milih drop out karena gak kuat sama omongan-omongan anak kampusnya.”

“Gua gak habis pikir sama lu, Kaf.” Deva menggelengkan kepalanya tidak percaya, “Gila.”

“Gua tau, Dev.” Kafin menundukan kepalanya. “Gua tau apa yang gua perbuat sama Dinda salah. Kita bahkan sempet mau nyoba buang anak itu.” Suara Kafin memelan di akhir kalimat. “Tapi, gua gak setega itu buat ngebunuh anak gua sendiri.”

Bibir Deva seakan kelu mendengar penuturan Kafin barusan. Ia tidak sanggup mengeluarkan sepatah kata pun karena terlalu kaget dengan apa yang didengarnya.

“Sejak drop out, gua kerja serabutan. Apa aja gua kerjain biar anak gua sama Dinda bisa makan. Tapi Bandung gak bisa nolong banyak, gua sama Dinda akhirnya pindah ke sini, berhadap dapet kehidupan yang lebih baik, tapi gua salah, Dev.” Kafin mengusap wajahnya dengan kedua tangan, lalu tersenyum miris. “Jakarta gak semenjanjikan yang gua kira. Kita hidup pas-pasan di sini, Dev. Bahkan buat biaya lahiran pun kita ragu bakalan sanggup atau enggak.”

“Lu,” Deva menjeda ucapannya. “Lu kenapa jadi kaya gini sih, Kaf?”

Kafin menggeleng, senyum mirisnya kembali terukir. “Gak tau, Dev. Temen-temen gua sama Dinda pun seakan-akan ngejauh, mereka gak ada yang mau nolong dengan berbagai alasan. Mungkin ini bayaran yang setimpal karena gua udah pernah jahat sama lu.”

Deva yang tadinya ingin sekali menghajar Kafin malah mendadak merasa iba. Bagaimana pun Kafin pernah berbuat baik padanya, terlepas dari perlakuannya yang membuat Deva sakit hati itu.

“Kapan anak kalian lahir?” Tanya Deva pada akhirnya. “Tapi gua mungkin gak bisa bantu banyak.”

“Dev?” Panggil Kafin dengan nada tidak percaya. Ia menatap Deva dengan matanya yang berkaca. “Dev, serius?”

“Kirim aja nomor rekeningnya, tapi maaf kalo gua gak bisa bantu banyak.”

Senyum Kafin merekah, kelopak matanya mengedip cepat, menghalau air mata yang tiba-tiba memenuhi pelupuk matanya itu. Tangannya dengan cepat terulur, meraih tangan Deva yang berada di atas meja lalu mengenggamnya erat.

“Dev, makasih banyak. Makasih banyak, Dev. Maaf, maaf karena gua udah ngebuang lu dulu. Maaf karena gua udah jahat sama lu. Gua minta maaf, Dev.”

Lelaki itu menangis dengan kepalanya yang menunduk, mengucapkan kata terima kasih dan maaf yang tiada putus. Deva bisa merasakan jika tangan Kafin yang menggenggam sebelah tangannya itu bergetar, mungkin masih tidak menyangka jika seseorang yang ia buat sakit hatinya dulu itu malah yang akan menolongnya sekarang.

Dengan perlahan, Deva mengulurkan sebelah tangannya untuk menepuk-nepuk pundak Kafin.

Wajah Kafin terangkat, ia melepas genggaman tangannya lalu menghapus air matanya dengan cepat. Raut wajahnya berubah cerah. “Gua janji bakalan gua ganti secepatnya, Dev.”

“Santai.” Sahut Deva singkat. “Udah kan? Gak ada yang mau lu omongin lagi?”

“Sebentar,” Kafin dengan cepat merogoh kantung celananya, ia mengambil ponselnya lalu beberapa saat kemudian, kayar ponselnya menampilkan wajah Dinda yang begitu kusut. “Deva bisa, Din.”

Deva bisa mendengar ucapan syukur yang keluar dari speaker ponsel Kafin. Lelaki itu tiba-tiba mengarahkan layar ponselnya ke arah Deva, membuat Deva bisa melihat bagaimana kondisi Dinda sekarang.

Kondisi Ibu muda itu jauh dari kata baik-baik saja. Wajahnya menirus, kantung matanya tidak kalah hitam dari milik Kafin, dan rambutnya dibiarkan tercepol acak-acakan. Jauh dari Dinda yang dilihatnya dulu.

“Deva, makasih banyak, Dev. Maafin gua, maaf karena gua jahat sama lu.”

Deva mengangguk dengan senyum tipisnya yang merekah. Rasa gelisahnya di awal tadi sudah sirna entah sedari kapan. Mau bagaimana pun, Kafin dan Dinda pernah menjadi teman dekatnya dulu, terlepas dari apa yang mereka perbuat padanya, dan jahat sekali rasanya jika Deva tidak membantu mereka berdua.

“Sekali lagi makasih banyak ya, Dev. Maaf, maaf gua kurang ajar banget tiba-tiba dateng setelah sekian lama cuman buat minta tolong sama lu. Maaf, Dev.”

Kafin menaruh kembali ponselnya ke dalam kantung celananya. Matanya kembali menatap Deva dengan sorot berbinar. “Dev, maaf dan makasih banyak.”

“Sama-sama, maaf juga gua gak bisa bantu banyak.”

“Lebih dari cukup, Dev. Lu mau bantu gua aja gua udah bersyukur banget.”

Deva tersenyum sekilas, ia kemudian memundurkan kursinya dan menatap ke arah Kafin sekali lagi. “Kalo udah gak ada lagi yang mau di omongin, gua cabut ya, Kaf. Kasian cowo gua nungguin di parkiran dari tadi.”

Kafin sedikit tersentak dengan ucapan Deva namun ia langsung menganggukan kepalanya, senyum diwajahnya merekah lebar. “Sekali lagi makasih banyak ya, Dev.”

Deva mengangguk, ia bangkit dari posisinya dan menepuk pundak Kafin sekilas. “Makasih juga karena lu mau tanggung jawab sama apa yang lu perbuat, Kaf.”

Setelah itu Deva meninggalkan Kafin sendirian di sudut cafe. Dari ujung matanya ia bisa Kafin kembali menundukan kepalanya dan mengusap pipinya dengan punggung tangannya.

Pintu ditarik, Deva keluar dari dalam cafe lalu kakinya dengan cepat melangkah ke tempat dimana mobil Evan terparkir. Senyumnya mengembang tipis sekali. Prasangka buruk yang menghantui pikirannya di awal tadi pun sudah hilang entah kemana.

Tangannya kemudian terulur meraih handle pintu, raut wajah penasaran Evan lah yang menyambutnya ketika ia sudah kembali terduduk di kursi penumpang.

“Gimana? Dia gak macem-macem kan?” Tanya Evan khawatir, mengingat sebelumnya Deva sempat gemetar saat akan bertemu dengan Kafin.

Deva menggeleng, ia hadapkan tubuhnya ke arah Evan lalu senyumnya kembali merekah, lebih lebar dari sebelumnya. “Mau peluk, boleh gak?”

Evan terdiam sejenak sebelum kedua tangannya terbuka, “Boleh, sayang. Sini.”

Helaan nafas Deva terhembus lega ketika ia sudah berada di dalam rengkuhan sahabat sekaligus kekasihnya itu. Wajahnya ia benamkan di ceruk leher Evan dan menghirup aroma khas yang menguar dari sana.

“Nanti gua cerita.” Kata Deva dengan suaranya yang teredam. Evan mengangguk, mengelus punggung Deva dan mengecup pelipisnya dua kali. “Tapi gua mau makan dulu, boleh gak? Laper.”

“Dengan senang hati, mau makan apa?” Tanya Evan.

“Indomie rebus, telornya dua.” Sahut Deva. “Sama minum tejus.”

“Oke, kita ke warmindo sekarang.”

Deva terkekeh, ia kecup pipi Evan sekilas sebelum melepas pelukannya.

Motor sudah terparkir dalam keadaan terkunci. Deva melangkahkan kakinya mendekati salah satu kamar dengan pintu warna hitam keabu-abuan itu. Tubuhnya merunduk, mengangkat pot tanaman lidah mertua dan mengambil kunci yang ditaruh dibawahnya.

Kunci berputar, gagang pintu di tekan, aroma manis toko kue bercampur dengan aroma khas pepohonan yang maskulin menyeruak masuk mengisi paru-paru. Wangi khas Evan. Deva lepas terlebih dahulu sendalnya sebelum melangkahkan kakinya memasuki kamar kos berukuran 3x4 itu.

Bola matanya mengedar, memperhatikan kamar kos yang cukup lama tidak ia kunjungi ini. Evan yang lebih sering mengunjungi kosan Deva lah yang membuatnya jarang datang kemari, terlebih lelaki itu juga sering menginap disana.

Jaketnya Deva lepas, digantung pada gantungan yang terletak di samping lemari. Senyumnya merekah tipis ketika ia tidak sengaja melihat sebuah bingkai foto yang terpajang di atas meja samping kasur, foto mereka berdua yang diambil secara diam-diam ketika mempersiapkan seminar. Deva tidak tahu jika Evan akan mencetak foto itu.

Suara buff pelan menggema ketika Deva membanting tubuhnya ke atas kasur. Kelopak matanya mengedip berulang kali dengan cepat, helaan nafas panjangnya ia hembuskan. Rasa kantuk tiba-tiba menyerangnya tanpa aba-aba. Deva terdiam cukup lama sebelum ponsel di saku celanannya bergetar, ia ambil benda pipih itu, dan menatap layar ponselnya yang menampilkan notifikasi chat dari Evan.

Jari-jarinya bergerak cepat mengetikan balasan, lalu menaruh kembali ponselnya. Tubuhnya Deva ubah posisinya menjadi menyamping, telapak tangannya mengelus permukaan sprei kasur yang lembut, kembali tersenyum ketika menatap foto yang terbingkai di atas meja.

“Padahal itu foto kagak ada bagus-bagusnya, malah di cetak.” Komentar Deva. Ia menggeser tubuhnya dan meraih foto tersebut. “Hehehe, tapi lucu sih.”

Mata bulatnya memperhatikan foto itu dengan seksama. Tidak ada yang spesial sebenarnya, hanya foto mereka berdua yang bergandengan tangan dengan posisi saling berdahapan satu sama lain, ditambah sebuah keranjang yang menghiasi kepala Deva. Ia kemudian mengingat jika foto ini diambil oleh Sandra saat itu.

Foto itu Deva taruh kembali pada tempat semula. Ia kemudian memperhatikan meja kecil itu, hanya diisi oleh setumpuk kertas dengan coretan-coretan, beberapa buku mata kuliah, serta asbak yang terisi 3 puntung rokok. Namun fokus Deva kemudian tertuju pada sebuah box hitam berukuran kecil yang berada di sisi paling pinggir meja, karena penasaran, ia ambil box hitam tersebut lalu membukannya.

“Gua kira apaan,” Ucap Deva begitu ia membuka box tersebut. Hanya berisi sepasang pasang ear-ring milik Evan dan dua buah gelang berwarna silver. Box itu baru saja akan Deva tutup sebelum matanya dengan tidak sengaja melihat sebuah inisial dibalik salah satu lempengan. “DA? Apaan DA? Dangdut Academy?”

Dahi Deva mengkerut bingung, “Aneh banget, ngasih inisal gelang kok pake acara dangdut.” Ia kemudian terkekeh, namun tiba-tiba ekspresi wajahnya berubah ketika menyadari sesuatu lain dibalik dua huruf itu. “Bentar, nama gua juga inisalnya DA! Oke, gak boleh kegeeran, Devara. Gak boleh!”

Box hitam itu kemudian Deva tutup dan taruh kembali pada tempat semula ketika mendengar suara mesin mobil yang berhenti tepat di depan kamar kosan Evan. Jantungnya mendadak berdegup, posisi duduknya berubah tegap. Tidak lama, pintu kosan terbuka dan menampakan sosok Evan yang membawa satu kantong plastik dengan logo minimarket itu.

“Mukanya kenapa?” Tanya Evan dengan sebelah alisnya yang terangkat, kantong plastik itu ia taruh terlebih dahulu di atas meja. “Kayak tegang banget.”

Deva menggeleng, cengiran lebarnya merekah. “Enggak, biasa aja. Beli apa aja itu?” Tanyanya. “Banyak banget, kan gua gak nitip apa-apa.”

Evan tersenyum, tangannya terulur untuk mengusak rambut Deva lalu mengambil es krim yang tadi dibelinya. “Tadinya cuman mau beli rokok tapi tiba-tiba lo lewat di pikiran gua, yaudah beli es krim sama jajanan.”

“Dih, bisa gitu.” Ejek Deva sambil memasang ekspresi meledek, ia kemudian mengambil es krim yang Evan berikan padanya. “Tumben tadi lama banget, ngobrolin apa aja?”

“Masalah adart,” Evan membuang nafasnya berat, ia lepas hoodie abu-abunya lalu mengantungnya tepat disebelah jaket Deva. “Desto udah prediksi gak bakalan ada titik terang kalo kita cuman ngajuin protes, jadi kayaknya nanti mau diadain mubes.”

“Mubes?” Ulang Deva dengan tangannya membuka plastik es krim. “Mubes keseluruhan?”

Evan mengangguk. Ia mendekat ke arah Deva lalu mendudukan dirinya tepat di samping sekertaris hima itu. “Siap-siap aja.”

“Hadehh,” Gantian Deva yang menghela nafasnya. “Mubes fakultas aja kadang ricuhnya minta ampun, gimana semuanya. Meja kali pada melayang.”

“Gak tau, pusing.” Kelopak mata Evan terpejam sejenak, rasa pening tiba-tiba menyerang kepalanya. Sebelah tangannya terulur, menyentuh punggung Deva dengan jari-jarinya yang mengetuk. “Jajan apa aja tadi?” Tanyanya.

Deva menelan ludahnya selepas menjilat es krimnya itu. “Banyak. Beli mie ayam, minum tejus, tejus, beli cilor, beli tejus lagi.”

Kekehan pelan keluar dari mulut Evan. “Jangan banyak-banyak, Dev. Kasian ginjalnya. Banyakin minum air putih juga.”

“Iya tau. Tadi lagi kalap aja.” Sahut Deva sambil mengigit es krimnya. Kepalanya kemudian menoleh ke belakang, menatap Evan yang terbaring di atas kasur. “Kok beda ya.”

“Hm? Apanya yang beda?” Kelopak mata Evan terbuka, menatap wajah Deva dengan ekspresi bingung. “Kan emang gini.”

Deva menggeleng. “Bukan itu. Penjelasan mereka sama penjelasan lu.”

Ketukan jari Evan di punggung Deva terhenti. Ia terdiam sambil memperhatikan wajah Deva sesaat sebelum membuang pandangannya ke arah lain. Nafas beratnya terhembus pelan. Ah, pasti teman-temannya itu berbicara yang sejujurnya pada Deva, tidak seperti apa yang sudah ia instruksikan sebelumnya.

“Gua paham intinya.” Sambung Deva kemudian, “Tapi kenapa gak cerita yang sejujurnya sama gua sih, Van? Kenapa malah seakan-akan rencana itu emang semuanya salah lu.”

“Kan emang salah gua.” Sahut Evan cepat, pandangannya kembali menatap ke arah Deva. “Gimana pun, intinya kan emang salah gua.”

“Iya tau.” Gantian Deva yang membuang nafasnya berat. “Tapi kenapa gak jujur kalo skenario-skenario yang terjadi itu gak sepenuhnya rencana lu. Bahkan ada skenario yang lu gak tau tapi lu tetep bilang itu salah lu. Kenapa?”

Evan kembali terdiam, bingung harus menjawab apa. “Gak tau, Dev. Gua cuman ngerasa karena ini emang salah gua.”

“Gak bisa gitu dong.” Protes Deva. “Kalo lu bilang kaya gitu, sama aja lu nyalahin diri lu sendiri atas apa yang gak lu perbuat. Jujur sama gua, susah ya, Van?”

“Gak gitu.” Kepala Evan menggeleng, “Lo marah sama mereka juga?”

“Enggak. Gua gak marah sama sekali ke mereka karena mereka jujur. Gua marah sama lo.” Sahut Deva sebal, es krim di tangannya kembali ia gigit dalam potongan besar. Ia tepuk paha Evan sekali. “Mau gua tonjok lagi kali, ya?”

“Maaf.”

Suasana di dalam kamar kos kembali hening. Deva menghabiskan es krimnya yang tinggal sedikit itu dengan cepat, menaruh sisa sticknya di atas meja samping kasur. Kepalanya kembali menoleh ke arah Evan yang kini sedang menatap langit-langit kamar.

Tubuhnya kemudian ia ikut rebahkan di atas kasur dengan posisi menyamping, mengarah pada Evan yang tidak menoleh sama sekali padanya. Helaan nafas Deva kembali terhembus, tangannya terulur, telunjuknya menyentuh ujung hidung bangir Evan, lalu menekannya sekali.

“Yang ada kepala lu sekarang apa sih, Van?”

“Lo.”

Deva kembali berdecak jengkel. “Serius.”

“Katanya tadi disuruh jujur.”

Suara tepukan antara telapak tangan dengan paha yang tertutupi oleh jeans kembali terdengar. Alis Deva mengkerut, wajahnya menunjukan ekspresi sebal. Evan menoleh ke arahnya lalu tersenyum tipis.

“Devara.” Ucapnya lembut, “Waktu gua setuju sama rencana Arghi di awal, maka sepenuhnya sampe akhir itu tanggung jawab gua. Terlibat atau enggaknya gua sama skenario yang mereka bikin, itu tetep salah gua. Karena mau gimana pun, di sini itu kasusnya lo sama gua, bukan mereka.”

“Ya tapi gak gitu juga, Van.” Protes Deva. Bibir bawahnya maju beberapa senti dengan dahinya yang mengkerut. “Ah tau dah, pusing.” Sambung Deva lalu membalikan badannya ke arah yang berlawanan.

“Sekarang, apa yang masih jadi pertanyaan di pikiran lo?” Tanya Evan, matanya menatap lurus ke arah punggung Deva. Butuh beberapa saat hingga Deva kembali membalikan badannya, ekspresi wajahnya masih sama seperti tadi. “Biar kita bener-bener clear.”

“3 hari.”

“Apa?”

Deva membuang nafasnya pendek. “Waktu kita diem-dieman selama 5 hari. 2 hari lu sibuk sama bem, gua percaya itu. Tapi, 3 harinya lo kemana?”

“Pulang.” Sahut Evan cepat. “Gua pulang, Deva.”

“Ke rumah?”

“Iya.”

Keheningan kembali menyergap. Deva mengigit bibir dalamnya untuk bertanya lebih lanjut, ia ragu untuk menanyakan kenapa alasan Evan pulang ke rumah.

Evan ubah posisinya jadi menyamping, berhadap-hadapan dengan Deva. Netra keduanya saling menatap satu sama lain tanpa ada sepatah kata pun yag terucap. Sebelah tangan Evan terulur, jarinya menyingkirkan helaian rambut Deva yang menutupi dahi.

“Mama kemaren sempet sakit, makanya gua pulang. Maaf gua gak ngehubungin lo karena fokus gua cuman sama Mama kemarin, tapi jujur, gua gak bermaksud buat gak ngehubungin lo sama sekali.” Jelas Evan. “Foto yang gua upload di twitter itu, waktu gua abis nganterin Mama berobat.”

Deva bisa rasakan paru-parunya seperti terisi udara segar. Pertanyaan yang cukup mengganjal di pikirannya terjawab sudah. “Mama udah sembuh tapi?”

Evan mengangguk. “Udah.”

“Gua pikir lu emang sengaja ngehindar dari gua.” Ucap Deva pelan, matanya kemudian tidak sengaja menatap bandul kalung berbentuk gembok kecil yang dipakai Evan. Ia tiba-tiba tersedak ludahnya sendiri begitu melihat inisal huruf yang berada dibelakang gembok kecil itu.

'Bangsat, Dangdut Academy muncul lagi!' Seru Deva di dalam hati.

Telapak tangan Evan yang hangat mengelus permukaan pipi Deva. “Maaf ya, Dev. Maaf ngebiarin lo kebingungan selama itu.”

Deva menggeleng. “Udah. Gak usah dibahas lagi. Gua udah tau alesannya jadi, ya, udah gak ada pikiran apapun lagi yang masih ngeganjel.”

“Gak ada yang mau ditanyain lagi?”

“Enggak.” Kepala Deva kembali menggeleng. “Gua cuman mau lu jujur aja ke depannya, itu udah lebih dari cukup.”

“Lo juga.” Evan tersenyum tipis. “Kalo gak keberatan.”

“Iya.” Deva terdiam beberapa saat sebelum kelopak matanya mengedip cepat. “Evan.”

“Apa?”

“Kita pacaran aja deh.”

Alis Evan menukik bingung. “Hah?”

“Pacaran.” Ulang Deva, ia kemudian meringis pelan. “Dari pada kaya gini, gantung. Lebih cepet lebih baik.”

“Tapi gitarnya di kosan lo.”

“Hah?”

Evan terkekeh, tangannya yang masih berada di pipi Deva bergerak untuk mencubit pelan pipi gembil itu. “Gua mau nembaknya pake lagu Purple.”

Bola mata Deva berputar malas. “Lagu itu mulu, ganti. Bosen tau. Lagian sok romantis banget nembak pake lagu, duit kek.”

“Mau di transfer berapa?” Tanya Evan. Ia kemudian meraih ponselnya yang masih berada di saku celana, membuat bola mata Deva tiba-tiba membulat kaget. “Tapi kayaknya nominal berapapun gak sebanding sama lo, lo lebih dari kata berharga.”

Deva bisa merasakan wajahnya memerah. “Ganti topik!”

“Pacaran gak?” Tanya Evan kembali. Ia mengulum bibirnya untuk menahan senyum. “Apa tetep mau nunggu sampe rasa itu ilang?”

Mengerti arah pertanyaan Evan, Deva kemudian menggeleng. “Yaudah pacaran aja sekarang. Itu bisa ilang seiring berjalannya waktu, kan?”

Evan mengangguk tipis, ia tiba-tiba mengubah posisi tangannya menjadi gestur untuk mengajak bersalaman. Membuat Deva memandang bingung ke arahnya. “Ngapain?”

“Deal.” Sahut Evan singkat. “Harus deal dulu.”

“Aneh banget.” Cibir Deva, ia kemudian tetap menjabat uluran tangan Evan. “Deal nih.”

“Oke.” Senyum tipis Evan merekah. “Pacaran.”

Deva menatap Evan dengan ekspresi wajah anehnya, ia menggaruk pelipisnya yang tidak gatal ketika menyadari sesuatu. “Kayak gak ada perubahan ya.”

“Emang.” Evan tertawa pelan, ia menggeser tubuhnya agar lebih mendekat ke arah Deva. “Cuman statusnya aja yang berubah. Udah ganti label.”

“Kita beneran pacaran gak sih?” Tanya Deva bingung. Padahal tadi ia yang tiba-tiba mengajak Evan untuk mengubah status mereka. “Bentar, gua bingung. Gua kayak orang plin plan gini deh.”

“Apanya yang bingung?” Evan balik bertanya. “Apanya yang plin plan, sayang?”

Bola mata Deva kembali membulat, ia menatap kaget ke arah Evan lalu tiba-tiba terduduk dari posisinya. “Bangsat! Enggak dulu!”

“Hah? Kenapa sih, Dev?”

Evan ikut terduduk dari posisinya. Ekspresi wajahnya berubah bingung melihat tingkah Deva yang tiba-tiba berubah drastis itu. Sedangkan Deva sendiri pun tiba-tiba kehilangan fokusnya.

“Coba di ulang.”

“Apanya?”

“Yang tadi!”

“Sayang?”

Tubuh Evan tiba-tiba terdorong, ia hampir saja terjungkal dari kasur kalau tidak langsung menahan tubuhnya sendiri. “Dev, kenapa sih?” Protesnya.

Deva kembali merebahkan tubuhnya ke atas kasur, namun dengan posisi yang terlungkup. Wajahnya yang terasa panas ia benamkan di atas sprei dengan motif kotak-kotak itu. Suaranya teriakannya terdengar tertahan. Deva tiba-tiba mengubah kembali posisinya dan langsung menunjuk ke arah leher Evan.

“Itu siapa?” Tanyanya cepat. “Buruan jawab!”

Dahi Evan mengeryit bingung. “Siapa apanya?” Tanyanya kembali, kepalanya menunduk untuk melihat apa yang sedang di tunjuk Deva sekarang. Tangannya kemudian bergerak untuk mengambil bandul kalungnya itu. “Ini?”

Kepala Deva mengangguk cepat sebagai jawaban. Evan tertawa, ia mengusak rambut Deva gemas lalu kembali mencubit pipi gembil yang memerah itu.

“DA? Devara Abiandra, lah. Masa Dangdut Academy.”

“Stop!” Sentak Deva tiba-tiba. Membuat Evan semakin mengeryitkan dahinya bingung melihat tingkah Deva yang begitu ajaib. “Aduh, Van. Pacarannya nanti aja deh ya, gua belum siap.”

“Lah gimana? Kan tadi udah deal.”

“Gua belum nyiapin hati buat hal-hal yang kaya gitu.” Sahut Deva dengan ringisan pelan. Suaranya memelan di akhir kalimat.

Evan terdiam dengan sebelah alisnya yang terangkat, tapi kemudian ia tertawa. Dibawanya tubuh Deva masuk ke dalam rengkuhannya, hingga Deva bisa rasakan Evan beberapa kali mengecup pucuk kepalanya. Wajahnya semakin memanas.

“Lucu,” Evan terkekeh geli. “Lo hal yang paling lucu di dunia ini.”

“Yaaa, oke.” Deva kembali meringis, ia kemudian mendorong pelan tubuh Evan agar lelaki itu melepas pelukannya. “Aneh gak sih?”

“Apanya yang aneh?” Tanya Evan begitu tawanya terhenti.

“Kayak baru semalem gua minta waktu buat ngilangin bayang-bayang buruk Kafin ke gua tapi- bentar.” Deva menjeda ucapannya, alisnya tiba-tiba menukik tajam. “Kafin!” Katanya sambil menepuk paha Evan kembali.

“Kafin?” Ulang Evan.

Deva mengangguk, ekspresi wajahnya berubah seketika. “Dia minta ketemu sama gua.”

Gantian raut wajah Evan yang berubah datar, posisi duduknya ia tegakan dengan bola mata yang menatap lurus ke arah wajah Deva. “Mau apa dia?”

“Gak tau.” Deva menggeleng, ia kemudian mengambil ponselnya dan menunjukan chatnya bersama Kafin pada Evan. “Kaya ngotot minta ketemu.”

Ponsel Deva berpindah tangan, Evan dengan seksama membaca kolom chat Deva dengan lelaki itu. Aneh. Cukup aneh untuk seseorang yang sudah tidak melakukan komunikasi sama sekali dan minta untuk bertemu, agak sedikit memaksa.

“Gak beres.” Kata Evan sambil menyerahkan ponsel itu pada sang empu. “Dia beneran cuman pengen ketemu atau ada maksud lain?”

Deva kembali menggeleng. “Gak paham, Evan. Dia tiba-tiba ngechat gua kaya gitu, maksudnya ya gua sendiri aja ngerasa aneh.”

Sebelah tangan Evan terulur, menyentuh jari-jari Deva lalu mengenggamnya. “Keputusan ada di lo, buat ini gua gak bisa ikut campur karena ini masalah lo pribadi sama dia sebelum ada gua. Tapi kalo lo emang mau ketemu, gua temenin.”

Deva termenung sesaat, bibir bawahnya ia gigit dengan matanya yang menatap ke arah Evan. Masih menimang-nimang ajakan Kafin untuk bertemu dengannya itu.

“Kalo gak ketemu, gua malah jadi penasaran kenapa dia ngotot banget kaya gitu.” Cicit Deva pelan, “Tapi kalo ketemu, gua belum siap buat ngeliat mukanya lagi.”

“Dev,” Evan menghela nafasnya. “Ini tergantung lo mau liat dia dari sisi mana. Positifnya, mungkin dia minta ketemu buat minta maaf, mungkin setelah sekian lama dia baru ngajak lo ketemu lagi buat dia ngungkapin rasa penyesalannya, diliat dari chatnya juga masih bisa kita ambil sisi positifnya, kan? Negatifnya, ada maksud lain dari ajakannya, yang entah kita gak tau apa itu.”

“Kalo,” Deva menelan ludahnya berat. “Kalo gua iyain, lu mau kan nemenin gua?”

Evan mengangguk, sudut bibirnya terangkat tipis. “Tanpa lo minta pun, gua temenin.”

“Oke.” Deva balas senyum yang tersungging manis itu. Walaupun masih ragu, tapi setidaknya Deva memiliki Evan yang berada di sampingnya. “Kayaknya, besok malem aja ya gua ajak dia ketemu? Atau gimana enaknya?”

“Kapanpun lo siap, Dev. Mau malem ini, gapapa. Mau besok malem juga gapapa. Ini pilihan lo.”

“Yaudah besok malem aja kali ya.”

Kepala Evan kembali mengangguk tipis, wajahnya kemudian bergerak maju untuk mengecup bibir tipis Deva sekilas. Membuat rona kemerahan di pipi gembil itu kembali muncul ke permukaan.