⚜
“Kabarin Bunda ya kalo udah sampe!”
Natha tersenyum lebar, ia mengangguk lalu melambaikan tangannya ke arah Bunda dan juga keluarganya yang lain, serta teman-temannya yang turut melambaikan tangan melepas kepergiannya dengan Harvey.
Mobil hitam dengan hiasan bunga di bagian depan kap itu perlahan melaju, Natha terus memandang Bunda sampai mobil yang ia tumpangi berbelok di tikungan. Setelahnya, nafas terhela berat. Natha menyandarkan punggungnya pada punggung jok lalu melirik sekilas ke arah Harvey yang kini sedang menyetir itu.
Kepalanya bersandar pada sebelah tangannya yang bertumpu di sisi jendela. Langit sudah berubah gelap, pesta pernikahan mereka sudah selesai setengah jam yang lalu. Ia dan Harvey memutuskan langsung pulang ke rumah baru mereka.
Lupakan tentang bulan madu dan segala hal romantis lainnya. Esok pagi, Natha dan Harvey harus kembali bekerja. Tawaran orangtua mereka tentang hari libur, kompak mereka tolak. Lagi pula, siapa yang mau berbulan madu jika tidak ada rasa sama sekali?
“Kata Nasha nanti ada dua kamar utama di lantai atas, lo tidur di kamar lo sendiri, gua tidur di kamar gua sendiri.”
Harvey berdehem singkat sebagai jawaban, pandangannya masih fokus pada jalanan. Jas-nya sudah ia lepas, ditaruh pada jok belakang dan menyisakan kemeja putih dengan lengannya yang tergulung hingga siku, serta dua kancing atas yang terbuka. Berbeda dengan Natha yang masih memakai setelannya lengkap.
Mata Natha menatap tangan Harvey yang memegang stir mobil, ada cincin yang sama dengan miliknya terpasang di jari manis tangan kanan Harvey. Lalu Natha melirik miliknya kembali, nafasnya terhela panjang.
Mereka benar-benar sudah menikah.
Keduanya sama-sama tidak menyangka akan mengubah status mereka dalam sekejap waktu. Secepat membalik telapak tangan. Perjodohan konyol itu kini membuat mereka terjebak pada lingkaran yang entah akan bagaimana ke depannya nanti.
Malam semakin larut, perjalanan mereka menempuh waktu selama lebih dari satu jam setengah untuk sampai di rumah baru. Tidak terlalu jauh dari ibukota sebenarnya. Rumah kali ini sengaja di pilihkan oleh para Ibu karena Natha dari dulu ingin sekali tinggal di daerah dekat perbukitan. Dingin katanya, tidak seperti rumah keluarganya yang berada dekat dengan pantai.
Harvey menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Setelah masuk beberapa meter dari gerbang, mereka di hadapkan pada dua jalur yang berlawanan arah, tidak ada petunjuk, membuat Harvey kembali mengambil ponselnya untuk melihat rute.
“Ambil kanan kali,” Kata Natha sambil ikut menolehkan kepalanya. Ia sedikit bergidik ngeri ketika mereka berhenti tepat jalanan yang kanan kirinya terdapat pohon-pohon besar. “Jangan lama-lama berhenti disini.”
Kepala Harvey menoleh pada Natha. “Kenapa? Lo takut?”
“Apaan sih! Sok tau lu!” Sahut Natha agak sewot. “Gua cuman pengen cepet-cepet tidur.”
Kedua bahu Harvey naik sekilas, ia menaruh ponselnya kembali di kantung celana lalu mulai kembali menginjak gas. Stir mobil diputar ke kanan, seperti instruksi Natha sebelumnya. Membuat Natha langsung menoleh ke arahnya dengan wajah bingung.
“Beneran ke kanan?”
“Kayaknya.”
Natha mendengus mendengar respon yang Harvey berikan, matanya memperhatikan keadaan sekeliling jalan. Rumah-rumah besar bergaya eropa serta jepang menjadi mayoritas utama. Pohon-pohon rimbun tertanam sepanjang jalan, membuat Natha bisa membayangkan jika di siang hari tempat ini cukup teduh untuk dilewati.
Stir berputar, mobil hitam itu kemudian berbelok ke arah kiri. Harvey memelankan laju mobilnya dengan pandangan yang mengarah ke kiri jalan. Tidak lama, pedal rem diinjak sepenuhnya, mobil kemudian berhenti tepat di sebuat rumah bergaya mediteranian dengan halamannya yang cukup luas. Ada mobil putih yang sudah terparkir di garasi, yang mana Harvey tahu jika itu mobil milik Natha.
“Kayak mobil gua.” Gumam Natha ketika melihat sebuah mobil putih yang cukup familiar di matanya. “Lah? Itu emang mobil gua!”
“Turun. Buka gerbang.”
“Nyuruh gua lo?” Tanya Natha dengan nada jutek. “Kuncinya aja gak ada di gua.”
Harvey kemudian merogoh kantung celananya, sebuah kunci keluar dari sana. Ia ambil sebelah tangan Natha lalu menaruh kunci itu di telapak tangannya. “Nih, buka sana.”
Natha berdecak jengkel, ia baru saja akan protes namun kata-kata yang akan keluar dari mulutnya mendadak tersangkut di ujung lidah ketika mendapati tatapan datar Harvey. Mau tidak mau ia yang akan membukakan pintu gerbang itu.
Kepalanya menoleh terlebih dahulu ke arah belakang mobil, cukup gelap. Membuat Harvey yang memperhatikan Natha mendengus geli.
“Takut kan lo.”
Natha menoleh dengan alisnya yang menukik. “Dih, siapa juga yang takut!”
Setelahnya, Natha menarik tuas, pintu mobil terbuka dan ia langsung keluar dari dalam mobil. Harvey bisa dengan jelas melihat kepala Natha yang berulang kali menoleh ke arah kanan dan kiri, ia lagi-lagi mendengus geli. Pedal gas ditekan kembali begitu Natha sudah membukakan gerbang rumah baru mereka itu.
Belum sempat Harvey keluar dari dalam mobil, Natha langsung berlari menuju pintu masuk rumah, membiarkan gerbang yang masih terbuka lebar itu.
“Gerbangnya gak lo tutup lagi?” Tanya Harvey seraya keluar dari dalam mobil, menatap bingung ke arah Natha yang terkesan buru-buru membua kunci pintu itu.
Natha menoleh sekilas, “Lo aja yang tutup, kan tadi gua udah buka.”
Harvey tidak ambil pusing, ia kemudian berjalan untuk menutup gerbang kembali. Begitu ia berbalik, alisnya mengkerut mendapati Natha yang masih berdiri di depan pintu dengan keadaan pintu yang sudah terbuka, namun keadaan di dalam rumah gelap total.
“Katanya tadi pengen buru-buru tidur, kenapa masih diem disini?” Tanya Harvey sambil mendekat ke arah Natha.
“Lo masuk duluan, nyalain semua lampu.” Titah Natha.
“Lo takut gelap, kan?”
“Gausah banyak bacot bisa gak?”
Kekehan pelan Harvey membuat Natha memukul pundak suami barunya itu. Namun bukannya masuk terlebih dahulu, Harvey malah mengulurkan tangannya, membuat Natha menaikan sebelah alisnya.
“Apa?”
“Pegangan. Kita masuk bareng-bareng.”
“Gak! Gak mau!” Natha menggeleng cepat, “Lo masuk duluan, nyalain lampunya.”
“Hahaha, gak nyangka ya. Natha yang galak kaya gini ternyata takut gelap.”
“Lo ngomong sekali lagi gua gak akan segan-segan nonjok lo.”
Harvey menaikan bahunya acuh, tidak ambil pusing dengan ancaman Natha barusan. “Beneran gak mau masuk bareng aja? Liat tuh, di luar juga sama gelapnya.”
Matanya memperhatikan keadaan sekitar rumah. Tidak terlalu gelap sebenarnya, masih ada lampu-lampu yang menyala dari lampu taman rumah serta bias cahaya lampu rumah tetangga. Namun tetap saja tidak mengurangi hawa menyeramkan yang Natha rasakan.
“Salah pilih perumahan nih!” Gerutunya.
“Jadi masuk gak?” Tanya Harvey. “Kalo gak gua masuk sendiri.”
Decakan pelan Natha keluarkan, ia menatap wajah serta tangan Harvey yang masih terulur secara bergantian. Tidak lama, tangannya perlahan meraih tangan Harvey dan mengenggamnya. Natha pejamkan matanya ketika Harvey mulai melangkah masuk ke dalam rumah, tidak lupa untuk menutup pintu rumah terlebih dahulu, dan menguncinya.
Butuh waktu beberapa menit untuk Harvey menerka-nerka dimana tempat saklar lampu berada. Bergitu didapatnya, ia langsung menekan semua saklar dan ruangan seketika berubah terang.
Natha membuka matanya, ia menghela nafasnya lega. Matanya menatap sekeliling, memperhatikan tiap inci sudut rumah barunya ini. Tidak terlalu buruk, walaupun rasanya masih sangat asing.
Genggaman tangannya baru saja akan Natha lepas sebelum Harvey lebih dulu menahannya, membuat Natha langsung menatap dengan sorot protes ke arah Harvey. Tapi sebelum ia bersuara, Harvey dengan cepat membuka suaranya kembali.
“Lo mau langsung tidur, kan? Lantai atas masih gelap. Ayo langsung ke atas aja, gua juga mau istirahat.”
Dengan begitu, Natha kembali mengekori langkah Harvey dari samping dengan kedua tangan mereka yang saling mengenggam.
Setelah memastikan seluruh lampu menyala, terutama lampu kamar yang akan ditempati oleh Natha. Hanya ucapan terima kasih yang Natha berikan sebelum keduanya masuk ke dalam kamar masing-masing. Baik Harvey maupun Natha langsung membersihkan tubuh dan merilekskan otot setelah hampir seharian sibuk dengan pesta pernikahan.
Natha terduduk di pinggir kasur, ia mengusak-usak rambut basahnya dengan handuk. Melirik jam digital yang berada di meja kecil samping kasur, hampir pukul satu pagi. Tubuhnya yang masih terbalut bathrobe itu langsung mendekat ke arah walk in closet, tersenyum begitu ia melihat baju-bajunya sudah berada di sana.
Mungkin nanti ia harus berterima kasih pada Nasha yang memiliki andil besar dalam 'terpisahnya' barang-barang miliknya dengan milik Harvey. Tentu saja orangtua mereka tidak tahu bahwa anak mereka tidak akan berada di satu kamar yang sama.
Sebuah kaos oversize dengan celana pendek setengah paha, Natha ambil. Itu kombinasi andalannya ketika ingin tidur. Ia mengganti pakaiannya dengan cepat begitu rasa pegal dikakinya semakin menjadi. Tubuhnya ia banting ke atas kasur, menimbulkan bunyi buff pelan.
Natha baru saja akan menyambut alam mimpi sebelum perutnya tiba-tiba berbunyi, matanya terbuka kembali. Langit-langit kamar ditatapnya selama beberapa saat sebelum ia berdecak sebal. Kalau sudah seperti ini, ia akan susah tidur karena perutnya dalam keadaan minta diisi.
“Yailah, kenapa sih pake segala laper lagi.”
Mengingat jika hal terakhir yang masuk ke dalam lambungnya adalah sebuah potongan kue begitu kecil serta semangkuk zuppa soup sore tadi. Natha mau tidak mau harus mengganjal perutnya sampai matahari menjemput.
Kakinya kemudian turun dari atas kasur, ia menimbang-nimbang haruskan turun ke bawah dan memasak mie instan atau melanjutkan tidurnya. Karena mungkin, lampu di lantai bawah sudah Harvey matikan kembali.
Namun laparnya kali ini menang, Natha berjalan ke arah pintu kamar dan membukanya. Lampu utama sudah berganti dengan lampu-lampu kecil berwarna kuning hangat. Matanya menatap pintu kamar Harvey yang tepat berada di depan pintu kamarnya sesaat sebelum melanjutkan langkahnya turun ke lantai bawah.
Tapi kakinya tiba-tiba berhenti tepat di ujung tangga, benar saja, lantai bawah sudah dalam keadaan gelap kembali. Natha langsung putar balik, bulu kuduknya seketika meremang. Ia berhenti tepat di depan pintu kamar dengan wajah bingung.
“Panggil, enggak, panggil, enggak.” Ulangnya sambil berbisik. “Dahlah, panggil aja.”
Lalu ia dengan ragu-ragu mengangkat tangannya, terdiam sebentar sebelum mengetuk pintu kamar Harvey. Satu ketuk, dua ketuk, pintu tak kunjung terbuka, tidak ada jawaban juga dari dalam kamar.
Natha membuang nafasnya berat, Harvey kemungkinan sudah tertidur. Jadi ia beranjak dari posisinya dan masuk kembali ke dalam kamarnya.
Namun, belum sempat Natha masuk, suara kenop pintu terdengar. Kepalanya seketika menoleh ke arah belakang, mendapati kepala Harvey menyembul dari balik pintu.
“Apa?” Tanya Harvey.
Natha meringis. “Gua laper.”
“Terus?”
“Temenin ke bawah. Lampunya udah lo matiin semua.”
Harvey memutar bola matanya malas, Natha yang melihat itu buru-buru melanjutkan ucapannya. “Kalo gak mau, gausah. Tidur aja sana, sorry udah ganggu.”
“Yaudah, yaudah. Ayo.”
“Gausah, gak jadi.”
Sebelah alis Harvey terangkat begitu mendengar suara perut Natha. “Yakin gak jadi?”
Natha berdecak. “Yaudah ayo temenin.”
Pintu kamar Harvey terbuka lebih lebar, Natha hampir saja tersedak ludahnya sendiri begitu melihat penampilan Harvey.
Bagaimana tidak, tubuh Harvey hanya terbalut celana training abu-abu dengan keadaan tanpa atasan. Membuat Natha bisa melihat dengan jelas tubuh proposionalnya. Ada enam pack otot di perut Harvey, serta happy trail-nya yang memanjang dari pusar hingga menghilang di balik celana.
Jangan lupakan tato tribal hitam yang menghiasi dari dada kiri hingga setengah lengan atasnya itu.
“Ayo jadi gak? Malah bengong.”
Kelopak mata Natha mengerjap cepat, ia meraih uluran tangan Harvey dan mulai mengikuti langkahnya kembali dari belakang. Menuruni tangga dengan hati-hati sampai pada area dapur.
Begitu lampu menyala, Natha langsung melepas genggaman tangannya. “Lo kalo mau tidur lagi, naik aja.”
“Nanti lampunya siapa yang matiin? Gua tunggu disini.”
Harvey mengambil posisi menduduki salah satu kursi dibalik meja counter. Natha menaikan bahunya acuh, ia kemudian langsung membuka pintu kulkas, tidak banyak bahan makanan yang ada.
Nafasnya terhela kembali, Natha tutup pintu kulkas tanpa mengambil apapun dari dalam sana. Ia kemudian berpindah, membuka rak penyimpanan atas dan mendapati bungkusan mie instan yang tertata rapih disana.
“Lo mau mie rebus gak?” Tanya Natha sambil menoleh ke arah Harvey. “Mumpung gua lagi baik nih.”
Harvey mendengus geli. “Gak, gak usah. Lo aja yang makan.”
“Yaudah.”
Natha mengambil dua bungkus mie sekaligus, setelah itu mengambil panci dan merebus air. Selagi menunggu, ia mengetuk-ngetukan ujung jarinya sambil bersenandung pelan. Tidak menghiraukan tatapan Harvey yang mengarah padanya sedari tadi.
“Flowers of death.”
Tubuh Natha berbalik, matanya menatap ke arah Harvey dengan ekspresi wajah bingung. “Lo ngomong sesuatu?”
“Tatto lo, higabana, kan?”
Tangan Natha refleks menyentuh bagian tengkuk bawahnya, tempat dimana tattonya berada. “Lo tau?”
“Kaos lo nerawang, by the way.”
“Ooh. Iya ini higabana.”
Natha menggukan kepalanya, ia berbalik kembali. Setelah itu, bibir bawahnya ia gigit pelan dengan matanya yang terpejam.
'Anjir lupa banget kalo ini kaos tipis!' Batinnya heboh.
“Bagus.”
“Apa?”
“Tattonya.”
“Thanks.”
Bungkus mie instan Natha buka cepat ketika air di panci mulai mendidih, ia memasukan mienya dan membuang sisa sampah pada tong sampah di sudut dapur.
“We can be friends, maybe.”
Natha menoleh kembali. “Hm?”
“You and I. At least, we can be friends.” Harvey merubah posisi duduknya, sebelah tangannya menopang dagu. “If you want.”
“That's not too bad.” Natha menyahut sambil menganggukan kepalanya. “We're pretend to be couple only infront of our parents, kan?”
“Ya.”
Mie di dalam panci Natha aduk-aduk menggunakan garpu, kemudian ia mematikan kompor kembali ketika mie sudah dalam keadaan setengah matang.
“Emang itu udah mateng?” Tanya Harvey.
Natha mengangkat panci lalu meniriskan setengah air mie-nya di atas wastafel. “Gak suka mie terlalu mateng.”
Harvey menganggukan kepalanya. “Ooh.”
Mie kemudian berpindah ke dalam mangkuk, Natha menaruh panci kotor ke dalam wastafel cucian piring, berniat mencucinya nanti setelah makan.
Asap tipis membumbung dari arah mangkuk, Natha membawanya begitu hati-hati sampai di meja counter. Kursi yang berada tepat di sebelah Harvey ia tarik, lalu mendudukan dirinya di sana.
Tidak ada percakapan lagi setelahnya, membuat keheningan menyelimuti mereka berdua. Natha begitu tenang menikmati mie rebus miliknya sedangkan Harvey hanya memperhatikan Natha sedari tadi.
“Nath.” Panggil Harvey pelan.
Natha menoleh dengan pipinya yang mengembung. “Hm?”
“About the rules,” Ucapan Harvey terjeda sesaat. “Enaknya gimana?”
Mulut Natha kemudian mengunyah mie-nya terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan Harvey. “Gampang aja sih.”
“Gampangnya?”
“Ya kalo tadi lo bilang kita bisa jadi temen, kayaknya lo juga tau kan batas-batasan sebagai temen gimana?” Tanya Natha balik. “Lo ya lo, gua ya gua. Hidup masing-masing aja.”
“Then, the four months?” Tanya Harvey lagi.
Pergerakan Natha yang sedang menyendokan mie mendadak terhenti, kepalanya menoleh ke arah Harvey. “Masih gua pikirin. Kalo lo punya ide gimana caranya kita cerai dengan alasan logis ke orangtua kita, sharing aja.”
“Yakin mau cerai?” Kata Harvey cepat.
“Hah?” Natha membeo dengan dahi yang mengkerut. “Lo ngomong apa tadi?”
“Enggak, enggak.” Kepala Harvey menggeleng, lalu ia terkekeh pelan. “Iya, nanti coba gua pikirin juga gimana caranya.”
Natha menganggukan kepalanya, ia kembali memasukan mie ke dalam mulut lalu mengunyahnya dalam diam. Mie rebus tengah malam memang yang terbaik. Sedangkan Harvey masih setia menopang dagu, kepalanya tetap menoleh ke arah Natha sambil memperhatikan si galak menghabiskan mie-nya.
Cantik. Harvey akui jika Natha tidak kalah cantik dengan kembarannya, atau mungkin malah lebih cantik. Mata bulat, hidung bangir, kulit mulus, bibir tipis, dan ditambah garis rahangnya yang tegas membuat Natha seperti pahatan sempurna.
Matanya begerak dari ujung kepala hingga ujung kaki, lalu sebaliknya. Sampai berhenti kembali di wajah Natha yang begitu lucu dengan pipi mengembungnya.
“Nath,” Panggil Harvey pelan. “Lo punya pacar?”
Natha langsung menoleh ke arah Harvey dengan mie yang masih mengantung, sebelah alisnya naik dengan ekspresi bingung. Buru-buru ia mengigit mie-nya kemudian menggeleng.
“Enggak, gua gak punya pacar.” Sahut Natha cuek. “Kenapa? Lo punya?”
“Enggak juga.” Senyum tipis Harvey mengembang. “Gua kira lo punya, cuman belum dikenalin aja ke orangtua lo makanya lo nolak banget dijodohin.”
Natha terkekeh kecil. Membuat Harvey sedikit tertegun, karena biasanya Natha selalu memasang wajah galak padanya itu. Melihat kedua mata bulat itu menyipit merupakan hal yang pertama kali Harvey lihat.
“Gua gak mau berkomitmen sama siapa-siapa, Vey.” Kuah mie Natha tatap dengan tangan yang mengaduk-aduknya menggunakan sendok. “Gua nolak perjodohan ini emang pure karena gua gak mau punya komitmen sama siapa-siapa. Hidup sendiri aja udah ribet, gimana hidup sama orang lain.”
Harvey berdehem pelan dengan kepalanya yang mengangguk mendengar penjelasan Natha. Begitu Natha menoleh kembali ke arahnya, kedua alis Harvey terangkat.
“Kalo lo, kenapa?”
“Gak punya waktu buat ngurus hal kaya gitu.” Sahut Harvey cepat. Ia terkekeh. “Bener kata lo, hidup sendiri aja udah ribet, gimana hidup sama orang lain.”
Keduanya kompak mendengus geli, terdiam beberapa saat sebelum menyadari sesuatu. Kepala Harvey dan Natha kompak menoleh ke arah satu sama lain kembali.
“Lah?” Kata mereka kompak.
Natha tergelak, suara tawanya menguar. “Bego lo!”
“Secara gak langsung kita udah hidup sama orang lain gak sih?” Ucap Harvey sambil membenarkan posisi duduknya, kepalanya sudah tidak tertopang lagi. “Gua sama lo...”
“Ya walaupun tinggal satu rumah, kan kita udah sepakat buat temenan. Jadi gak bisa diitung hidup sama orang lain, ya gak?” Sela Natha cepat.
“Kayaknya.”
Setelah itu, keduanya kembali terdiam. Natha menghabiskan mie-nya dengan cepat, begitu habis, ia langsung turun dari kursi dan mencuci panci serta mangkuk kotornya. Tidak enak juga membuat Harvey menunggu dirinya terlalu lama.
“Lo naik duluan aja, biar gua matiin lampu dulu.” Kata Harvey sambil turun dari kursinya.
“Gapapa?”
“Emangnya kenapa?”
“Yaudah.” Sahut Natha sambil menaikan bahunya sekilas. “Gua naik duluan ya. Thanks, Harvey.”
Harvey mengangguk, ia menunggu sampai Natha masuk ke dalam kamarnya. Begitu suara pintu tertutup, ia langsung berjalan dan mematikan lampu lantai bawah sebelum masuk kembali ke kamar.