⚜
Ujung rokok mengetuk pinggiran asbak, helaan nafas berat kembali terhembus. Nasha menyandarkan punggungnya pada punggung sofa, kepalanya menoleh, mentap Natha yang terdiam sambil menggoyangkan gelasnya.
“So, you fucked up?” Tanyanya dengan nada pelan, dibalas anggukan oleh Natha. Ujung rokoknya mendekat ke arah bibir, asap membumbung kecil. “Hhh... Gimana ya, Nath. Ya kalo dibilang salah lo, ya emang salah lo. Kalo dibilang salah Harvey, ya dia juga salah.”
“Gua kayaknya kelewatan banget deh,” Pandangan Natha menunduk, menatap lantai yang memantulkan cahaya lampu-lampu di dalam club. “Ah tau dah, gua gak ngerti, Sha.”
“Coba gua telaah lagi.” Nasha membenarkan posisi duduknya, membenarkan letak cardigannya yang sedikit tersangkut. “Lo pergi ga bilang dan posisi gps mati, kalo gua jadi Harvey pun gua bakalan marah. Terus lo berantem dan lo bilang cerai, lo juga salah. Plus, ditambah Harvey yang mungkin kelepasan ngatain lo gak punya otak dan sama-sama emosi. Well, gua gak mau menjugde lu tapi kalo gua liat, ya banyakan salah lu.”
Natha mendengus, bibir gelas ia dekatkan ke arah bibirnya, menyesap rasa pahit alkohol yang membakar tenggorokan. “Gua mikirnya ya gua gak pergi jauh ini, masih sekitaran deket rumah. Jadi gua pikir kalo gps gua mati ya gapapa, senggaknya gua pulang baik-baik aja.”
Bungkus rokok terlempar, mengenai sisi kepala Natha. “Tolol! Kalo konteksnya lu lagi gak diikutin siapa-siapa mah terserah, Nath. Mau lu jungkir balik di benua antartika juga Harvey gak akan khawatir!”
Tidak ada sahutan, Natha mengangkat pandangannya, menatap lurus ke arah dance floor yang mulai dipenuhi oleh pengunjung lain. Ia merenung, meningat kembali pertengkaran terakhirnya dengan Harvey dan mereka berakhir dengan perang dingin selama hampir dua hari ini.
“Gua kemaren udah minta maaf sama Harvey, tapi dia diem aja, gak nyaut apa-apa selain meluk gua. Abis itu malah nangis bareng.” Botol hitam dengan label berwarna merah maroon itu Natha raih, menuangkan sedikit isinya pada gelas. “Udah abis itu malah diem-dieman, kaya orang lagi perang dingin.”
“Ya coba waktu kaya gini lu pake buat ngerenungin semua kesalahan lu.” Nasha menyahut kesal. “Kalo udah tau salah, ya jangan diulangin lagi. Apalagi lu bawa-bawa kata cerai. Heh, orang lain di luar sana banyak yang mati-matian pertahanin rumah tangganya sedangkan lu malah gampang banget ngomong kaya gitu.”
Hembusan nafas berat kembali terhela, Natha berdecak, ia taruh gelasnya namun malah mengambil botol yang berada di atas meja. Membuat Natha langsung memelototkan matanya.
“Taro, Nath. Gila lu mau neguk langsung sebotol gitu.”
“Pusing gua.”
Botol yang berada di genggaman Natha, Nasha raih, lalu ditaruh kembali di atas meja. “Ya ga gitu goblok, kalo lu hangover siapa yang mau gotong? Gua mana kuat.”
Nasha berdecih, ia ikut menolehkan kepalanya ke arah dimana Natha menatap. “Harvey mana mungkin disini.”
“Gua disini.”
Keduanya sontak menoleh ke arah sumber suara, Natha mendongkak, namun belum ada dua detik ia menatap, Harvey langsung meraih wajahnya dan memberikan beberapa kecupan di atas bibir.
Nasha berhedem canggung, ia membenarkan posisi duduknya dan langsung menolehkan kepalanya ke arah lain, sebisa mungkin tidak melihat ke arah dua sejoli yang masih saling menatap itu.
“Bukannya lo bilang kalo lo lembur?” Tanya Natha bingung.
Harvey tersenyum simpul. “Gak jadi.”
“Kenapa?”
Pertanyaan Natha barusan tidak terjawab, ia hanya kembali tersenyum tipis. Harvey merunduk, mendekatkan wajahnya pada sisi kepala Natha.
“Kalo udah selesai, tau kan harus kemana?” Bisiknya pelan.
Natha tidak menyahut, hanya menatap Harvey yang kini tersenyum tipis ke arah Nasha, lalu mata mereka kembali bertemu. Harvey masukan ke dua tangannya pada kantung celana, setelah itu memperhatikan penampilan Natha dari ujung kaki hingga ujung kepala.
Seperti biasa, sebuah skinny jeans berwarna hitam dipadukan dengan croptop yang memiliki warna senada. Seringai di wajah Harvey tercipta.
“Your clothes are nice. They'd look better on the floor though.”
Tidak ada sahutan, Natha hanya memperhatikan suaminya itu dengan sorot mata yang tidak terbaca, membuat Harvey mengusak rambutnya sekilas lalu membalikan badan, berjalan menuju arah lift.
Natha memperhatikan Harvey lamat-lamat, menyadari jika setelan yang digunakan suaminya itu senada dengan pakaian yang dipakainya. All in black. Kalau Natha boleh jujur, Harvey terlihat begitu panas dengan warna hitam, ditambah lengan kemejanya yang selalu tergulung hingga siku dan style rambut comma seperti itu.
Bahunya tiba-tiba disenggol, tahu-tahu Nasha sudah duduk tepat disebelahnya. “Bro.”
Ia kembali menatap ke arah Nasha yang masih terlihat shock dengan kehadiran Harvey yang tiba-tiba. “Lu nikah sama setan apa gimana?”
“Ngaco.” Jidat Nasha ditepuk pelan, Natha mendengus, bola matanya berputar malas. “Kata lo, gua harus minta maaf lagi gak?”
“Kenapa enggak?” Nasha kembali melihat ke arah lift, Harvey sudah tidak ada disana. Ia kemudian sedikit menurunkan croptop yang Natha gunakan. “Perut lu terlalu ke ekspos, Nath. Lu gak liat tatapannya Harvey tadi?”
“Udah biasa.” Gelasnya kembali Natha raih, ia meneguk cairan di dalam gelas dengan satu tegukan. “Dia emang selalu gitu kalo gua pake croptop. Lo tau croptop gua yang putih? Disobek sama dia di kantor.”
“Oh iya, Deon cerita sama gua.” Gadis itu berdehem pelan, meraih tas kecil yang dibawanya lalu mengambil ponsel. “Gua telfon Raka deh ya.”
“Hah? Mau ngapain?” Tanya Natha bingung, “Baru juga sebentar disini.”
“Ya antisipasi aja kalo lu tiba-tiba mau naik, biar gua gak sendirian.”
Natha memutar bola matanya malas, ia teguk kembali cairan berwarna kuning keemasan yang sering sekali mampir ke dalam tubuhnya. Membiarkan Nasha yang kini sedang menelfon tunangannya itu.
Volume musik di dalam club semakin mengeras, orang-orang bersorak, mulai memadati area tengah ruangan. Nasha menaruh ponselnya kembali, ia mengambil tas kecil serta gelas miliknya yang masih menyisakan setengah isinya, lalu mengedip ke arah Natha, memberikan kode begitu suara trompet mulai terdengar.
Kekehan pelan mengalun, Natha isi kembali gelasnya sampai hampir full. Gagang gelas kemudian di raih, ia bangkit dari duduknya dan meraih uluran tangan Nasha yang sudah berdiri dan siap turun pada dance floor.
Dua saudara kembar tidak identik itu mulai merapat ke tengah kerumunan, gelas diangkat tinggi-tinggi, senyum di wajah merekah. Pinggul mereka mulai bergoyang tipis, riuh pengunjung lain serta suara musik dari seorang disk jokey yang berada di balik meja mulai bercampur menjadi satu.
“Nath!”
Nasha memanggil kembarannya itu dengan sedikit berteriak, membuat Natha menoleh, menatap Nasha dengan satu alisnya yang terangkat.
“Apa?”
Kepalanya menggeleng kecil, Nasha mendekat, merangkul pundak Natha selagi kakinya masih meloncat-loncat kecil. “Life is suck! But at least you can choose between sucking, or being sucked!”
“You know,” Natha tertawa, balas merangkul pundak sempit Nasha sambil mengarahkan gelasnya pada gelas Nasha. “I rather be choosing to suck Harvey's big dick!”
“You're so wild!”
“Hahahaha.”
Riuh para pengunjung semakin menggema, alunan suara trompet dari speaker yang berada di setiap sudut juga mulai meninggi. Natha meneguk sedikit cairan di dalam gelas, rangkulannya pada Nasha ia lepas, tangannya terangkat tinggi, membuat croptop yang ia gunakan pun semakin naik.
Gantian Nasha yang tertawa, ia menepuk perut Natha beberapa kali sebelum kembali menggoyangkan kepalanya. Cairan yang berada di dalam gelasnya sedikit demi sedikit tumpah mengotori lantai, sama halnya dengan cairan yang berada di gelas milik Natha.
Narco milik Timmy Trumpet menjadi lagu pengantar Natha menuju kesenangannya. Ia lupakan sejenak segala beban di pikiran, kakinya meloncat, tubuhnya bergoyang, senyuman diwajahnya merekah begitu lebar.
Kerumunan orang-orang semakin memadati bagian tengah, lampu bulat berkilauan, sinar-sinar laser berbagai warna turut meramaikan suasana di dalam club. Aroma rokok serta alkohol bercampur padu dengan gelak tawa dan sorakan kesenangan.
Harvey duduk di kursinya, dagunya bertumpu pada sebelah tangan, seringainya semakin tercipta ketika melihat Natha mulai berada di luar kendali. Tubuh yang kemarin ia peluk semalaman suntuk itu bergoyang begitu liar, tidak ada bedanya dengan Natha ketika bergoyang di atas tubuhnya.
Bungkus rokok teraih, Harvey ambil satu batang gulungan nikotin itu lalu menyelipkannya pada belahan bibir. Pematik dinyalakan, asap kecil kemudian membumbung menyatu dengan udara di dalam club. Kaki kanannya bertopang pada kaki kiri, punggungnya bersandar pada sofa dengan mata tajamnya yang tetap memperhatikan Natha.
Ia terkekeh kecil begitu melihat Natha yang kaget dengan kehadiran Raka ditengah-tengah sana, ikut bergabung dengan si kembar Dimitri itu. Menyadari jika Natha dengan perlahan sedikit menjauhkan posisinya, memberikan ruang untuk Nasha dan Raka, membuat Harvey mendecih pelan.
Harvey hisap kembali batang rokoknya sekali sebelum mematikan bara rokok pada asbak. Tidak peduli jika ia baru dua kali menghisap gulungan nikotin itu, Natha di dance floor lebih menarik untuk dinikmati. Ia kemudian bangkit dari duduknya, menyapa sekilas Sarah yang sedang melayani tamu-tamu VIP sebelum beranjak turun ke bawah.
Alunan trompet mulai berganti dengan lagu lainnya. Natha dan Nasha kompak berpandangan dengan mulut mereka yang juga kompak membentuk huruf O begitu lagu Emergency milik Icona Pop mulai menggema, keduanya tertawa, Nasha merangkul kembali pundak Natha sedangkan Raka merangkul pinggang gadis itu pada sisi kanan.
This is emergency!
“Wooh ohh!”
Call an ambulance, come rescue me!
“Wooh ohh!”
Everybody in this bitch!
“Wooh ohh!”
“If you wanna get up, get down like this!”
Natha berteriak, kedua tangannya kembali ia angkat tinggi-tinggi. Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri seirama dengan musik yang kini sampai pada bagian beatdrop. Pundaknya mulai bersenggolan dengan pengunjung lain yang sama-sama berada pada puncak kesenangannya.
Benar-benar tidak menyadari kehadiran Harvey yang kini tepat berada di belakangnya, kedua tangannya terulur, meraih pinggang Natha hingga sang empu terpekik kaget. Kepalanya seketika menoleh ke arah belakang, langsung mendapati seringai Harvey yang terlempar padanya.
Nasha yang menyadari jika Harvey ikut turun pada dance floor kini gantian ia yang sedikit menggeser posisinya. Memberikan ruang pada Natha dan Harvey.
Kepala Harvey mendekat, bibirnya berada tepat di samping telinga Natha. “Keep going, doll.”
Persetan dengan perang dingin, Natha hanya ingin bersenang-senang malam ini tanpa memikirkan terlebih dahulu masalah yang berada di biduk rumah tangganya. Ia kembali bergoyang, membiarkan Harvey merengkuh tubuhnya dari belakang.
Natha meliuk seperti belut licin, matanya terpejam menikmati beatdrop kedua. Ia teguk lagi cairan yang berada di dalam gelas hingga tandas, kepalanya mendongkak, membuat bibir serta hidung Harvey tepat berada di atas pucuk kepalanya.
Harvey terkekeh kecil, ia mengecup pucuk kepala Natha dengan matanya yang terpejam. Senyumnya merekah, ikut menggoyangkan tubuhnya tipis, tidak berusaha mengimbangi goyangan Natha yang begitu liar. Karena baginya, tetap berada diambang kesadaran dan menjaga Natha lebih penting dari pada kesenangan sesaat ini.
Tubuh bagian belakang Natha menggesek tubuh bagian depan Harvey berulang kali. Tawanya kembali menggema, ia kemudian menoleh ke arah belakang, menyeringai tepat ke arah Harvey yang menatapnya. Ia kemudian dengan sengaja mendekatkan kembali pantatnya pada bagian selatan Harvey, menggoda suaminya itu.
Pinggang Natha diremat pelan, membuat tawa Natha kembali menguar. Mata bulatnya kembali menatap Harvey dengan tubuhnya yang perlahan berputar tanpa memutus kontak, dagunya terangkat, kedua tangannya kemudian naik untuk tersampir di masing-masing bahu Harvey.
Tubuh Natha ditarik maju, membuat celah diantara keduanya hanya tersisa mungkin lima senti saja. Satu tangannya Harvey gunakan untuk menepuk pantat Natha sebanyak dua kali.
Gantian Natha yang menarik kepala Harvey agar mendekat, ujung hidung mereka hampir bersentuhan, seringai di wajah masing-masing tercipta. Harvey bisa melihat dengan jelas bagaimana bola mata Natha bergerak turun mengarah pada bibirnya sebelum kembali menatap ke arah matanya.
Ia mengerling menggoda ke arah Harvey sebelum bergerak cepat menyatukan bibir keduanya.
Ketika Natha bergerak melumat bibir atas Harvey, maka Harvey bergerak melumat bibir bawah Natha. Mereka begitu terburu-buru, begitu kacau, menyalurkan afeksi yang sempat tertahan selama dua hari itu. Natha tetap bergoyang, dan Harvey begitu sibuk mengimbangi ciuman Natha yang selalu berantakan, tanpa menyadari jika Nasha diam-diam tersenyum menatap ke arah mereka berdua.
“Wanna get higher?” Harvey berbisik ketika bibir mereka terlepas, memandang wajah cantik Natha yang tidak pernah membuatnya bosan itu. “Cause space between your legs are supposed to be filled with mine.”
Tawa Natha kembali menguar, ia memberika beberapa kecupan sebelum mengigit bibir bawah Harvey sekilas. Sebelah tangannya yang tidak memegang gelas bergerak turun, menyusuri leher, dada, perut, hingga berakhir di bagian selatan tubuh Harvey.
“Did you mean, with this?” Tanya Natha menggoda, jari-jarinya bergerak untuk mengusap. “But before that, can we talk about how fucking you are ignored me for these two days?”
“That's a punishment for a naughty boy like you.” Harvey menggesekan ujung hidungnya dengan pipi Natha. “How does it feel for being ignored with your husband?”
“Fuck you.” Natha mendesis, menatap mata Harvey dengan kilatan perasaan jengkel.
“Fuck me then, baby.” Seringainya kembali tercipta. “I miss how bad do you want to me getting harder, pushing my dick in until you scream like a whore. My pretty whore.”
Bukannya marah, Natha malah merasakan jika pipinya mulai memanas. Ia goyangkan kembali tubuhnya mengikuti alunan musik, mengabaikan perkataan Harvey barusan.
Tahu jika Natha sedang salah tingkah, Harvey hanya bisa terkekeh. Ia kemudian mengangkat tubuh Natha dengan tiba-tiba, membuat Natha terpekik kaget dan langsung mengalungkan kedua tangannya pada leher Harvey.
Nasha serta Raka yang berada di sebelah mereka pun sontak menolehkan kepala.
“Angkut, Vey!” Seru Nasha sambil tertawa ketika Harvey membawa tubuh Natha keluar dari area dance floor. Gadis itu kemudian melambaikan tangannya ke arah Natha. “Bye-bye, twin. Kalau besok lu gabisa bangun, nanti gua yang gantiin jaga toko! Kabarin aja oke!”
“Kalo kamu besok juga gak bisa jaga toko, gimana?”
Nasha langsung menoleh terkejut ke arah tunangannya itu dengan mata melotot.