sweettynsaltt

Ujung rokok mengetuk pinggiran asbak, helaan nafas berat kembali terhembus. Nasha menyandarkan punggungnya pada punggung sofa, kepalanya menoleh, mentap Natha yang terdiam sambil menggoyangkan gelasnya.

“So, you fucked up?” Tanyanya dengan nada pelan, dibalas anggukan oleh Natha. Ujung rokoknya mendekat ke arah bibir, asap membumbung kecil. “Hhh... Gimana ya, Nath. Ya kalo dibilang salah lo, ya emang salah lo. Kalo dibilang salah Harvey, ya dia juga salah.”

“Gua kayaknya kelewatan banget deh,” Pandangan Natha menunduk, menatap lantai yang memantulkan cahaya lampu-lampu di dalam club. “Ah tau dah, gua gak ngerti, Sha.”

“Coba gua telaah lagi.” Nasha membenarkan posisi duduknya, membenarkan letak cardigannya yang sedikit tersangkut. “Lo pergi ga bilang dan posisi gps mati, kalo gua jadi Harvey pun gua bakalan marah. Terus lo berantem dan lo bilang cerai, lo juga salah. Plus, ditambah Harvey yang mungkin kelepasan ngatain lo gak punya otak dan sama-sama emosi. Well, gua gak mau menjugde lu tapi kalo gua liat, ya banyakan salah lu.”

Natha mendengus, bibir gelas ia dekatkan ke arah bibirnya, menyesap rasa pahit alkohol yang membakar tenggorokan. “Gua mikirnya ya gua gak pergi jauh ini, masih sekitaran deket rumah. Jadi gua pikir kalo gps gua mati ya gapapa, senggaknya gua pulang baik-baik aja.”

Bungkus rokok terlempar, mengenai sisi kepala Natha. “Tolol! Kalo konteksnya lu lagi gak diikutin siapa-siapa mah terserah, Nath. Mau lu jungkir balik di benua antartika juga Harvey gak akan khawatir!”

Tidak ada sahutan, Natha mengangkat pandangannya, menatap lurus ke arah dance floor yang mulai dipenuhi oleh pengunjung lain. Ia merenung, meningat kembali pertengkaran terakhirnya dengan Harvey dan mereka berakhir dengan perang dingin selama hampir dua hari ini.

“Gua kemaren udah minta maaf sama Harvey, tapi dia diem aja, gak nyaut apa-apa selain meluk gua. Abis itu malah nangis bareng.” Botol hitam dengan label berwarna merah maroon itu Natha raih, menuangkan sedikit isinya pada gelas. “Udah abis itu malah diem-dieman, kaya orang lagi perang dingin.”

“Ya coba waktu kaya gini lu pake buat ngerenungin semua kesalahan lu.” Nasha menyahut kesal. “Kalo udah tau salah, ya jangan diulangin lagi. Apalagi lu bawa-bawa kata cerai. Heh, orang lain di luar sana banyak yang mati-matian pertahanin rumah tangganya sedangkan lu malah gampang banget ngomong kaya gitu.”

Hembusan nafas berat kembali terhela, Natha berdecak, ia taruh gelasnya namun malah mengambil botol yang berada di atas meja. Membuat Natha langsung memelototkan matanya.

“Taro, Nath. Gila lu mau neguk langsung sebotol gitu.”

“Pusing gua.”

Botol yang berada di genggaman Natha, Nasha raih, lalu ditaruh kembali di atas meja. “Ya ga gitu goblok, kalo lu hangover siapa yang mau gotong? Gua mana kuat.”

Nasha berdecih, ia ikut menolehkan kepalanya ke arah dimana Natha menatap. “Harvey mana mungkin disini.”

“Gua disini.”

Keduanya sontak menoleh ke arah sumber suara, Natha mendongkak, namun belum ada dua detik ia menatap, Harvey langsung meraih wajahnya dan memberikan beberapa kecupan di atas bibir.

Nasha berhedem canggung, ia membenarkan posisi duduknya dan langsung menolehkan kepalanya ke arah lain, sebisa mungkin tidak melihat ke arah dua sejoli yang masih saling menatap itu.

“Bukannya lo bilang kalo lo lembur?” Tanya Natha bingung.

Harvey tersenyum simpul. “Gak jadi.”

“Kenapa?”

Pertanyaan Natha barusan tidak terjawab, ia hanya kembali tersenyum tipis. Harvey merunduk, mendekatkan wajahnya pada sisi kepala Natha.

“Kalo udah selesai, tau kan harus kemana?” Bisiknya pelan.

Natha tidak menyahut, hanya menatap Harvey yang kini tersenyum tipis ke arah Nasha, lalu mata mereka kembali bertemu. Harvey masukan ke dua tangannya pada kantung celana, setelah itu memperhatikan penampilan Natha dari ujung kaki hingga ujung kepala.

Seperti biasa, sebuah skinny jeans berwarna hitam dipadukan dengan croptop yang memiliki warna senada. Seringai di wajah Harvey tercipta.

“Your clothes are nice. They'd look better on the floor though.”

Tidak ada sahutan, Natha hanya memperhatikan suaminya itu dengan sorot mata yang tidak terbaca, membuat Harvey mengusak rambutnya sekilas lalu membalikan badan, berjalan menuju arah lift.

Natha memperhatikan Harvey lamat-lamat, menyadari jika setelan yang digunakan suaminya itu senada dengan pakaian yang dipakainya. All in black. Kalau Natha boleh jujur, Harvey terlihat begitu panas dengan warna hitam, ditambah lengan kemejanya yang selalu tergulung hingga siku dan style rambut comma seperti itu.

Bahunya tiba-tiba disenggol, tahu-tahu Nasha sudah duduk tepat disebelahnya. “Bro.”

Ia kembali menatap ke arah Nasha yang masih terlihat shock dengan kehadiran Harvey yang tiba-tiba. “Lu nikah sama setan apa gimana?”

“Ngaco.” Jidat Nasha ditepuk pelan, Natha mendengus, bola matanya berputar malas. “Kata lo, gua harus minta maaf lagi gak?”

“Kenapa enggak?” Nasha kembali melihat ke arah lift, Harvey sudah tidak ada disana. Ia kemudian sedikit menurunkan croptop yang Natha gunakan. “Perut lu terlalu ke ekspos, Nath. Lu gak liat tatapannya Harvey tadi?”

“Udah biasa.” Gelasnya kembali Natha raih, ia meneguk cairan di dalam gelas dengan satu tegukan. “Dia emang selalu gitu kalo gua pake croptop. Lo tau croptop gua yang putih? Disobek sama dia di kantor.”

“Oh iya, Deon cerita sama gua.” Gadis itu berdehem pelan, meraih tas kecil yang dibawanya lalu mengambil ponsel. “Gua telfon Raka deh ya.”

“Hah? Mau ngapain?” Tanya Natha bingung, “Baru juga sebentar disini.”

“Ya antisipasi aja kalo lu tiba-tiba mau naik, biar gua gak sendirian.”

Natha memutar bola matanya malas, ia teguk kembali cairan berwarna kuning keemasan yang sering sekali mampir ke dalam tubuhnya. Membiarkan Nasha yang kini sedang menelfon tunangannya itu.

Volume musik di dalam club semakin mengeras, orang-orang bersorak, mulai memadati area tengah ruangan. Nasha menaruh ponselnya kembali, ia mengambil tas kecil serta gelas miliknya yang masih menyisakan setengah isinya, lalu mengedip ke arah Natha, memberikan kode begitu suara trompet mulai terdengar.

Kekehan pelan mengalun, Natha isi kembali gelasnya sampai hampir full. Gagang gelas kemudian di raih, ia bangkit dari duduknya dan meraih uluran tangan Nasha yang sudah berdiri dan siap turun pada dance floor.

Dua saudara kembar tidak identik itu mulai merapat ke tengah kerumunan, gelas diangkat tinggi-tinggi, senyum di wajah merekah. Pinggul mereka mulai bergoyang tipis, riuh pengunjung lain serta suara musik dari seorang disk jokey yang berada di balik meja mulai bercampur menjadi satu.

“Nath!”

Nasha memanggil kembarannya itu dengan sedikit berteriak, membuat Natha menoleh, menatap Nasha dengan satu alisnya yang terangkat.

“Apa?”

Kepalanya menggeleng kecil, Nasha mendekat, merangkul pundak Natha selagi kakinya masih meloncat-loncat kecil. “Life is suck! But at least you can choose between sucking, or being sucked!”

“You know,” Natha tertawa, balas merangkul pundak sempit Nasha sambil mengarahkan gelasnya pada gelas Nasha. “I rather be choosing to suck Harvey's big dick!”

“You're so wild!”

“Hahahaha.”

Riuh para pengunjung semakin menggema, alunan suara trompet dari speaker yang berada di setiap sudut juga mulai meninggi. Natha meneguk sedikit cairan di dalam gelas, rangkulannya pada Nasha ia lepas, tangannya terangkat tinggi, membuat croptop yang ia gunakan pun semakin naik.

Gantian Nasha yang tertawa, ia menepuk perut Natha beberapa kali sebelum kembali menggoyangkan kepalanya. Cairan yang berada di dalam gelasnya sedikit demi sedikit tumpah mengotori lantai, sama halnya dengan cairan yang berada di gelas milik Natha.

Narco milik Timmy Trumpet menjadi lagu pengantar Natha menuju kesenangannya. Ia lupakan sejenak segala beban di pikiran, kakinya meloncat, tubuhnya bergoyang, senyuman diwajahnya merekah begitu lebar.

Kerumunan orang-orang semakin memadati bagian tengah, lampu bulat berkilauan, sinar-sinar laser berbagai warna turut meramaikan suasana di dalam club. Aroma rokok serta alkohol bercampur padu dengan gelak tawa dan sorakan kesenangan.

Harvey duduk di kursinya, dagunya bertumpu pada sebelah tangan, seringainya semakin tercipta ketika melihat Natha mulai berada di luar kendali. Tubuh yang kemarin ia peluk semalaman suntuk itu bergoyang begitu liar, tidak ada bedanya dengan Natha ketika bergoyang di atas tubuhnya.

Bungkus rokok teraih, Harvey ambil satu batang gulungan nikotin itu lalu menyelipkannya pada belahan bibir. Pematik dinyalakan, asap kecil kemudian membumbung menyatu dengan udara di dalam club. Kaki kanannya bertopang pada kaki kiri, punggungnya bersandar pada sofa dengan mata tajamnya yang tetap memperhatikan Natha.

Ia terkekeh kecil begitu melihat Natha yang kaget dengan kehadiran Raka ditengah-tengah sana, ikut bergabung dengan si kembar Dimitri itu. Menyadari jika Natha dengan perlahan sedikit menjauhkan posisinya, memberikan ruang untuk Nasha dan Raka, membuat Harvey mendecih pelan.

Harvey hisap kembali batang rokoknya sekali sebelum mematikan bara rokok pada asbak. Tidak peduli jika ia baru dua kali menghisap gulungan nikotin itu, Natha di dance floor lebih menarik untuk dinikmati. Ia kemudian bangkit dari duduknya, menyapa sekilas Sarah yang sedang melayani tamu-tamu VIP sebelum beranjak turun ke bawah.

Alunan trompet mulai berganti dengan lagu lainnya. Natha dan Nasha kompak berpandangan dengan mulut mereka yang juga kompak membentuk huruf O begitu lagu Emergency milik Icona Pop mulai menggema, keduanya tertawa, Nasha merangkul kembali pundak Natha sedangkan Raka merangkul pinggang gadis itu pada sisi kanan.

This is emergency!

“Wooh ohh!”

Call an ambulance, come rescue me!

“Wooh ohh!”

Everybody in this bitch!

“Wooh ohh!”

“If you wanna get up, get down like this!”

Natha berteriak, kedua tangannya kembali ia angkat tinggi-tinggi. Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri seirama dengan musik yang kini sampai pada bagian beatdrop. Pundaknya mulai bersenggolan dengan pengunjung lain yang sama-sama berada pada puncak kesenangannya.

Benar-benar tidak menyadari kehadiran Harvey yang kini tepat berada di belakangnya, kedua tangannya terulur, meraih pinggang Natha hingga sang empu terpekik kaget. Kepalanya seketika menoleh ke arah belakang, langsung mendapati seringai Harvey yang terlempar padanya.

Nasha yang menyadari jika Harvey ikut turun pada dance floor kini gantian ia yang sedikit menggeser posisinya. Memberikan ruang pada Natha dan Harvey.

Kepala Harvey mendekat, bibirnya berada tepat di samping telinga Natha. “Keep going, doll.”

Persetan dengan perang dingin, Natha hanya ingin bersenang-senang malam ini tanpa memikirkan terlebih dahulu masalah yang berada di biduk rumah tangganya. Ia kembali bergoyang, membiarkan Harvey merengkuh tubuhnya dari belakang.

Natha meliuk seperti belut licin, matanya terpejam menikmati beatdrop kedua. Ia teguk lagi cairan yang berada di dalam gelas hingga tandas, kepalanya mendongkak, membuat bibir serta hidung Harvey tepat berada di atas pucuk kepalanya.

Harvey terkekeh kecil, ia mengecup pucuk kepala Natha dengan matanya yang terpejam. Senyumnya merekah, ikut menggoyangkan tubuhnya tipis, tidak berusaha mengimbangi goyangan Natha yang begitu liar. Karena baginya, tetap berada diambang kesadaran dan menjaga Natha lebih penting dari pada kesenangan sesaat ini.

Tubuh bagian belakang Natha menggesek tubuh bagian depan Harvey berulang kali. Tawanya kembali menggema, ia kemudian menoleh ke arah belakang, menyeringai tepat ke arah Harvey yang menatapnya. Ia kemudian dengan sengaja mendekatkan kembali pantatnya pada bagian selatan Harvey, menggoda suaminya itu.

Pinggang Natha diremat pelan, membuat tawa Natha kembali menguar. Mata bulatnya kembali menatap Harvey dengan tubuhnya yang perlahan berputar tanpa memutus kontak, dagunya terangkat, kedua tangannya kemudian naik untuk tersampir di masing-masing bahu Harvey.

Tubuh Natha ditarik maju, membuat celah diantara keduanya hanya tersisa mungkin lima senti saja. Satu tangannya Harvey gunakan untuk menepuk pantat Natha sebanyak dua kali.

Gantian Natha yang menarik kepala Harvey agar mendekat, ujung hidung mereka hampir bersentuhan, seringai di wajah masing-masing tercipta. Harvey bisa melihat dengan jelas bagaimana bola mata Natha bergerak turun mengarah pada bibirnya sebelum kembali menatap ke arah matanya.

Ia mengerling menggoda ke arah Harvey sebelum bergerak cepat menyatukan bibir keduanya.

Ketika Natha bergerak melumat bibir atas Harvey, maka Harvey bergerak melumat bibir bawah Natha. Mereka begitu terburu-buru, begitu kacau, menyalurkan afeksi yang sempat tertahan selama dua hari itu. Natha tetap bergoyang, dan Harvey begitu sibuk mengimbangi ciuman Natha yang selalu berantakan, tanpa menyadari jika Nasha diam-diam tersenyum menatap ke arah mereka berdua.

“Wanna get higher?” Harvey berbisik ketika bibir mereka terlepas, memandang wajah cantik Natha yang tidak pernah membuatnya bosan itu. “Cause space between your legs are supposed to be filled with mine.”

Tawa Natha kembali menguar, ia memberika beberapa kecupan sebelum mengigit bibir bawah Harvey sekilas. Sebelah tangannya yang tidak memegang gelas bergerak turun, menyusuri leher, dada, perut, hingga berakhir di bagian selatan tubuh Harvey.

“Did you mean, with this?” Tanya Natha menggoda, jari-jarinya bergerak untuk mengusap. “But before that, can we talk about how fucking you are ignored me for these two days?”

“That's a punishment for a naughty boy like you.” Harvey menggesekan ujung hidungnya dengan pipi Natha. “How does it feel for being ignored with your husband?”

“Fuck you.” Natha mendesis, menatap mata Harvey dengan kilatan perasaan jengkel.

“Fuck me then, baby.” Seringainya kembali tercipta. “I miss how bad do you want to me getting harder, pushing my dick in until you scream like a whore. My pretty whore.”

Bukannya marah, Natha malah merasakan jika pipinya mulai memanas. Ia goyangkan kembali tubuhnya mengikuti alunan musik, mengabaikan perkataan Harvey barusan.

Tahu jika Natha sedang salah tingkah, Harvey hanya bisa terkekeh. Ia kemudian mengangkat tubuh Natha dengan tiba-tiba, membuat Natha terpekik kaget dan langsung mengalungkan kedua tangannya pada leher Harvey.

Nasha serta Raka yang berada di sebelah mereka pun sontak menolehkan kepala.

“Angkut, Vey!” Seru Nasha sambil tertawa ketika Harvey membawa tubuh Natha keluar dari area dance floor. Gadis itu kemudian melambaikan tangannya ke arah Natha. “Bye-bye, twin. Kalau besok lu gabisa bangun, nanti gua yang gantiin jaga toko! Kabarin aja oke!”

“Kalo kamu besok juga gak bisa jaga toko, gimana?”

Nasha langsung menoleh terkejut ke arah tunangannya itu dengan mata melotot.

Natha terbangun kaget ketika pundaknya di tepuk pelan, kepalanya langsung menoleh ke arah Ibu-ibu penjaga warung yang kini tersenyum tidak enak padanya.

“Udah malem, Tong. Ibu udah mau pulang, warung juga udah nutup, kamu gak mau pulang? Nanti dicariin lagi. Udah mau jam sepuluh.”

Kedua tangannya Natha gunakan untuk mengucek matanya terlebih dahulu, wajahnya masih terlihat lingkung, membuat Ibu panjaga warung kembali mengusap pundaknya lembut.

“Hayu kumpulin dulu nyawanya, Ibu tungguin.” Si Ibu tersenyum kembali, mendudukan dirinya tepat di sebelah Natha sambil menghela nafasnya kecil.

Selepas makan siang tadi, Natha memang keluar dari rumah untuk menghirup udara segar. Tidak terlalu jauh, hanya membutuhkan waktu sekitar setengah jam dari rumahnya, dan mungkin sekitar 3 sampai 4 kilometer dari perkebunan milik keluarganya.

Sebuah warung kecil diatas perbukitan dengan pemandangan hamparan kebun teh menjadi pilihan Natha. Ia rehatkan pikirannya sejenak, bercengkrama dengan Ibu penjaga warung dan terkadang sampai membantunya melayani beberapa pelanggan.

Natha senang, tentu saja. Senyum dan tawanya tidak pernah pudar selama berada di warung kecil ini. Terlebih ketika beberapa ibu-ibu penjaga warung lainnya ikut mengobrol, melanturkan lelucon khas ibu-ibu pada umumnya, ataupun menggoda Natha yang hanya bisa tertawa akibat godaannya.

Rasa pegal dibadannya sudah hilang entah kemana sejak ia datang di warung ini. Melihat hamparan warna hijau yang menyejukan mata membuat emosi Natha mereda, ia bisa mengambil nafas panjangnya.

“Ibu udah mau pulang?” Tanya Natha ketika kesadarannya sudah ia raih sepenuhnya itu. “Mau Natha anter aja gak, Bu?”

“Enggak, enggak usah repot-repot, Tong.” Ibu penjaga warung menggeleng tipis. “Sebentar lagi anak Ibu jemput, kamu pulang duluan aja gih, nanti dicariin.”

Natha terkekeh kecil. “Gak ada yang nyariin, Bu.”

“Oh emang belum punya istri?” Tanya Ibu-ibu itu spontan, tapi kemudian langsung menunjukan ekspresi tidak enaknya. “Eh maaf, gak bermaksud Ibu buat nanya kayak gitu. Hampura nya.”

Kepalanya menggeleng tipis. “Enggak, Bu. Natha gak punya istri.” 'Soalnya punyanya suami.'

Sebentar,

“Aduh Ibu maaf, kata Ibu tadi jam berapa sekarang?” Tanya Natha panik, mengingat Harvey yang mungkin kini tengah kebingungan mencari dirinya.

'Mati gua.' Umpatnya di dalam hati.

“Jam sepuluh. Kamu kalo mau pulang duluan sok, pulang aja. Ibu mah gapapa, udah biasa disini sendirian juga.”

“Gapapa Bu, Natha tungguin sampe anak Ibu dateng.”

Bibir bawah bagian dalamnya Natha gigit kuat, bola matanya bergerak gelisah, namun sebisa mungkin tidak terlalu Natha tunjukan rasa gusarnya karena takut Ibu-ibu yang sudah sangat berbaik hati padanya ini merasa tidak enak.

Sekitar sepuluh menit kemudian, anak si Ibu penjaga warung akhirnya datang. Natha pamit pulang, dan berjanji akan mengunjungi warung ini lain kali. Ia kemudian dengan tergesa berjalan ke arah mobil Harvey yang ia parkit tidak terlalu jauh dari area warung.

Pintu mobil terbuka, Natha langsung masuk dan menutup pintunya dengan sedikit bantingan. Raut wajah gelisahnya begitu menggambarkan bagaimana paniknya Natha sekarang, ia nyalakan mesin mobil, stir berputar, dan Lexus hitam itu kemudian menyentuh aspal jalan.

“Shit! Shit! Shit! Bisa-bisanya gua ketiduran.” Natha berdecak, ia cepatkan sedikit laju mobilnya, kepalanya menoleh sekilas ke arah jok penumpang, tangannya kemudian terulur untuk mengambil ponselnya. “Aduh mana masih gak mau nyala lagi. Rusak beneran ini mah.”

Nafasnya terbuang gusar, Natha taruh kembali ponselnya pada jok penumpang. Benda pipih itu memang mengalami kerusakan ketika tidak sengaja terjatuh dari atas dashboard, Natha yang teledor menaruhnya di atas sana, dan ketika ia mengerem mendadak, ponsel itu terjatuh ke kolong dashboard dan berakhir tidak mau menyala.

“Semoga Harvey lembur, semoga Harvey lembur.” Bibirnya berulang kali mengucapkan kalimat yang sama, berharap Harvey masih dalam perjalanan pulang menuju rumah, jadi ketika Harvey tiba nanti ia sudah tiba lebih dulu. “Aduh mampus deh gua, kalo dia ngechat atau nelfon gimana? Kalo dia ngecek gps gua mati gimana? Duh tolol banget lo, Nath.”

Natha kembali meracau panik, kecepatan mobil ditambah, beruntung jalanan sudah tidak terlalu ramai, jadi Natha mungkin bisa tiba lebih cepat.

“Oke tenang, Nath. Kalo diomelin Harvey lo jelasin sejujurnya aja, tenang, dia bakalan kalem kok, gak akan marah-marah.” Ucapnya berusaha seoptimis mungkin.

Jarak tempuh yang tadinya memakan waktu setengah jam, Natha tempuh menjadi kurang dari setengah jam. Cuaca yang dingin tidak menghalau keringat panik Natha yang membasahi anak-anak rambutnya, polisi tidur di area jalan komplek perumahan pun tidak Natha hiraukan, yang ia pikirkan saat ini adalah berharap jika Harvey belum tiba dirumah.

Namun mungkin semesta berkata lain, begitu bangunan dengan warna putih bercampur abu-abu itu terlihat, Natha membuang nafasnya berat. Sudah ada tiga mobil yang terparkir di sisi jalan depan rumahnya, satu mobil yang Natha ketahui jika itu milik Nasha, dan duanya lagi mungkin milik Juna dan Eric.

Lexus hitam metalik itu masuk ke dalam area garasi rumah, bersanding dengan satu mobil yang sama persis dengan yang ia gunakan sekarang. Mesin dimatikan, bahkan ketika Natha baru menurunkan satu kakinya dari atas mobil, Nasha berlari keluar dari dalam rumah dengan ekspresi panik.

“Natha!”

Bugh!

Bahunya ditinju oleh Nasha, belum sempat Natha membalas, saudara kembarnya itu langsung memeluk erat Natha yang terdiam dengan wajah bingung.

“Anjing lu! Sumpah lu anjing banget, Nath!” Pekik Nasha sambil memukul punggung Natha, pelukannya ia lepas, mata yang sama bulat dengan milik Natha itu melotot. “Lu kemana aja sialan?! Gak tau apa orang-orang pada khawatir? Hp lu kenapa mati coba, hah?!”

Nasha bertolak pinggang, menatap Natha yang kini menggaruk belakang kepalanya kikuk. Pandangannya teralih ketika melihat teman-temannya juga ikut keluar dari dalam rumah, dan perkiraannya benar, dua mobil di depan memang milik Juna dan Eric.

“Nath, gila lu ya.” Deon mendekat, ia menoyor kepala Natha sambil berdecak. “Lu gak tau semua orang panik, hah?! Di chat gak dibales, di telfon malah mati itu hp. seenggaknya bilang kek kalo mau pergi kemana-mana tuh.”

Ellio turut menggelengkan kepalanya, “Suami lu, hampir ngancurin perabotan rumah.”

“Harvey udah pulang?” Tanya Natha sambil meringis, menatap ke arah pintu rumah yang terbuka lebar. “Sssshh, gua kira dia lembur.”

Gantian Nasha yang menoyor kepalanya. “Lembur pala lu, gimana dia mau lembur kalo lu dari siang aja gak bisa dihubungin?!”

“Lu abis kemana sih, Nath? Perasaan tadi waktu gua nganterin mobil masih pake baju tidur gembel tiba-tiba udah ngilang aja.”

Juna mendekat, membuat Natha semakin terpojok, punggungnya menyentuh pintu mobil, didepannya berdiri Nasha dan teman-temannya yang menatap kesal padanya.

“Gua abis bantuin jualan Ibu-ibu warung.” Ia kembali meringis, suaranya memelan di akhir kalimat. “Hp gua mati, jatoh dari dashboard waktu gua ngerem mendadak, sampe sekarang gak bisa idup.”

Pundaknya kemudian di tepuk pelan oleh Eric. “Tapi lu gak kenapa-kenapa kan?”

Natha menggeleng, “Enggak kok, serius deh. Gua dari siang di warung pinggir jalan yang ngarah ke kebun. Keasikan ngobrol sama Ibu-ibu disana makanya lupa waktu, terus malah ketiduran.”

Matanya menatap bergantian ke arah Nasha dan teman-temannya. Cengiran kikuknya melebar, tapi begitu sosok Harvey keluar dari dalam rumah dengan ekspresi wajah sangat datar, senyum Natha memudar.

Arah pandang yang lainnya juga langsung mengikuti kemana Natha menatap, Nasha dan Deon refleks langsung saling berpandangan, lalu keduanya meringis secara bersamaan.

“Well.” Deon menaikan bahunya sekilas. “Kita harus pulang gak sih?”

Nasha mengangguk, “Kayaknya iya.”

Harvey berdiri disana, menatap lurus ke arah Natha yang juga menatapnya. Kedua tangannya masuk ke dalam kantung celana, lengan kemeja putihnya tergulung hingga siku, masih dengan setelan yang sama dengan yang terakhir Natha lihat.

“Kalian kalo mau pulang, pulang aja. Sisanya biar gua yang urus.” Ucap Harvey dengan nada yang tak kalah datar dengan ekspresi wajahnya.

Mereka berlima saling berpandangan, lalu Nasha menepuk pundak Natha sekilas sambil memasang ekspresi wajah prihatin.

“Well, gua balik ya, Nath? Errr,” Nasha mengambil satu langkah maju, berbisik di telinga Natha. “Gua harap, kejadian kayak gini jangan sampe terulang. Harvey beneran udah kayak mau makan orang. I'm glad that you're come back home safely, inget, jangan diulang lagi oke?”

Natha mengangguk patah-patah, ia masih berdiri di posisinya bahkan ketika Nasha dan teman-temannya pamit pulang. Enggan melangkahkan kakinya barang satu senti pun karena melihat aura yang dikeluarkan Harvey begitu menakutkan.

Ia memang senang jika Harvey marah, namun bukan marah yang seperti ini.

“Masuk, Dimitri.” Harvey memberikan instruksi agar Natha segera masuk ke dalam rumah begitu teman-temannya serta Nasha sudah pulang. Tinggal mereka berdua disana. “Gak denger atau pura-pura tuli? Masuk.”

Natha akhirnya melangkahkan kakinya maju, berjalan pelan dengan helaan nafas beratnya yang terhembus. Kepalanya menunduk ketika ia lewat tepat di depan Harvey, dengan jarak yang begitu dekat, ia bisa rasakan emosi Harvey yang menguar dari dalam tubuhnya.

Ia kembali berdecak, merutuki kebodohannya hari ini. Walaupun sebenarnya tidak terlalu terlihat besar, tapi dengan tidak ada kabar yang Harvey terima darinya disaat keselamatannya terancam oleh orang-orang lawan bisnis keluarga Tanjung, membuat Natha berada di posisi yang benar-benar membuat Harvey marah.

Marah akan kelalaiannya sendiri dalam memantau Natha, serta marah akan Natha yang tidak bisa dikabari sama sekali.

Pintu rumah tertutup, kemudian suara kunci berputar terdengar. Natha enggan menolehkan kepalanya sama sekali ke arah Harvey yang kini berjalan mendekat, kelopak matanya mengerjap cepat, jari-jarinya bertaut gelisah.

“Dari mana aja? You had so much fun out there, right?”

Pertanyaan itu begitu sederhana, Natha bisa langsung menjawabnya jika tidak dalam keadaan seperti ini. Tapi mulutnya bungkam, nyalinya bersembunyi jauh di dalam sudut terdalam dirinya. Karena Natha tau, ada waktu dimana ia harus menjadi pembangkang, dan waktu dimana ia harus sesali karena kesalahannya sendiri.

“Sorry. My phone was broke,” Natha membuang nafasnya kembali, mau tidak mau ia harus menjelaskan kemana dirinya menghilang seharian ini. “Gua gak pergi jauh, cuman sekitar setengah jam dari sini. Gak ada maksud apa-apa karena gua cuman mau me time.”

“Sampe lupa waktu kaya gini? Sampe lupa kalo posisi lo sekarang lagi gak dalam keadaan baik-baik aja? Lupa atau lo emang bodoh, Natha?”

Pandangannya terangkat, bola matanya menatap lurus ke arah Harvey yang melayangkan tatapan tajamnya. “Gua udah bilang kan kalo hp gua rusak? Gua gak pergi jauh, Vey. Masih sekitaran sini. Jangan kaya gini lah.”

“Jangan kaya gini?” Ulang Harvey, ia melangkah semakin mendekat ke arah Natha, lalu tiba-tiba satu tangannya terangkat untuk mencengkram rahang Si Nakal itu. “I'm so worried about you dan lo bilang jangan kaya gini? Fuck it, Dimitri!”

Suara Harvey menggema memenuhi penjuru ruangan, Natha refleks memejamkan matanya. Ia kemudian menghempaskan rahang Natha, sorot matanya masih penuh dengan kilatan emosi.

“You ask me did you'll be safe, dan gua jawab gua gak akan ngebiarin siapapun nyentuh milik gua. Tapi lo sendiri yang seakan-akan nyerahin diri lo buat disentuh sama orang lain di luar sana. Mikir, Natha. Bisa mikir, kan? Atau otak lo cuman buat pajangan atau emang gak punya otak?”

“Ya gua minta maaf!” Natha balik berteriak. Tidak bisa menahan emosinya yang sudah berusaha ia tahan. “Gua tau gua salah, gua tau gua gak ada ngabarin lo sama sekali hari ini perihal gua pergi kemana. Tapi bisa gak gausah pake emosi? Emang gak bisa apa diomongin dengan kepala dingin?!”

Harvey mendekatan wajahnya. “Gua udah berapa kali ngebilangin lo, Natha. Udah berapa kali? Apa lo nurut sama omongan gua? No!”

Jari-jari Natha mengepal, dadanya bergerak naik turun seirama dengan tempo nafasnya yang cepat. “Kalo lo emang capek sama gua yang gak bisa dibilangin ini, kenapa gak cerai aja?! Biar lo gak kebebani lagi sama tingkah gua yang gak punya otak ini!”

Rahangnya mengeras mendengar penuturan Natha. Ia mungkin masih terlihat begitu tenang, tidak seemosi Natha, kecuali nada suaranya yang naik beberapa oktaf tadi.

“Lo capek kan ngatur gua yang gak bisa diatur? Yaudah cerai! Selesain pernikahan konyol ini dan lo gak akan pusing ngurusin gua yang gak mau diatur ini itu!”

“Lo kira sumpah dihadapan Tuhan semain-main itu? Jadi bisa dengan mudahnya lo ngomong cerai? Gua disini cuman minta jangan pernah matiin gps lo, jangan pernah pergi tanpa gak ada kabar apapun! Sesimple itu, Natha!”

“Ya gua udah jelasin kan kalo hp gua rusak? Segitu gak percayanya lo sama gua, hah? Selagi gua pulang dalam keadaan utuh, lo gak berhak buat marah-marahin gua kaya gini, Harvey!”

Nada suaranya bergetar, Natha menatap Harvey dengan kilatan emosinya yang tiba-tiba melesat naik. Ia meraih ponselnya yang berada di kantong celana, menunjukannya ke arah Harvey jika ponselnya memang tidak mau menyala.

“Liat sendiri kan? Lo liat sendiri kan hp gua rusak?!” Benda pipih itu Natha cengkram erat. “Kalo gua salah, gua minta maaf! Kalo dengan tingkah gua yang kaya gini bisa bikin gua dalam keadaan bahaya, gua minta maaf! Tapi lo,” Telunjuk Natha mengarah ke wajah Harvey. “Lo gak berhak ngatain gua gak punya otak kalo lo sendiri pun gak punya otak!”

Ponsel yang berada digenggamannya Natha lempar, menyentuh lantai dengan cepat dan benda pipih itu terbelah menjadi dua bagian. Sukses membuat Harvey kembali pada kesadarannya, dan menyadari jika ia sudah melewati batas.

“Urus surat perceraiannya besok! Langsung gua tanda tangan det-”

Ucapan Natha terputus begitu Harvey dengan cepat meraih bibirnya. Ia memberontak, berusaha melepas rengkuhan Harvey yang begitu erat pada tubuhnya. Bahkan kedua kakinya pun menendang-nendang kaki Harvey agar suaminya melepas ciuman serta pelukannya itu.

Tangis Natha meledak saat itu juga, tubuhnya melemas, hampir saja ambruk jika Harvey tidak dengan sigap menahannya. Bibirnya masih bergerak lembut diatas bibir Natha, meredam isakan Natha yang mungkin akan terdengar pilu jika ia melepasnya.

Harvey merutuki kebodohannya sendiri di dalam hati. Ia terlalu kalut, terlalu khawatir dengan Natha di luar sana yang tidak ia tahu keberadannya sama sekali, yang malah membuat emosinya menjadi tidak stabil.

Mata bulat itu terpejam dengan air matanya yang mengalir dari sudut mata. Harvey rengkuh semakin erat tubuh Natha seperti tidak ada hari esok. Ia menyesal, begitu menyesali perkatannya yang mungkin menyakiti hati Natha.

Kepalan tangan Natha memukul-mukul pundak Harvey lemah, ia menjadi tidak terkontrol saat emosinya sedang berkumpul menjadi satu. Meledak pada satu titik dimana Natha sudah tidak bisa menahannya lagi, sama seperti sebelumnya saat ia dan Harvey bertengkar akibat sikap keras kepalanya saat itu.

Sebelah tangan Harvey naik, menyentuh rahang Natha dan ibu jarinya mengusapnya pelan, masih menempelkan bibirnya diatas bibir Natha yang terasa bergetar akibat tangis, merasakan jika jari-jari Natha pada sebelah tangannya yang mencengkram lengan Harvey mendingin. Harvey dengan perlahan membawa tubuhnya serta tubuh Natha untuk terduduk diatas lantai, menarik kaki Natha agar posisi suami cantiknya itu duduk menyamping diatas pangkuannya.

Begitu merasakan nafas Natha yang tersengal, Harvey perlahan menjauhkan bibirnya. Matanya menatap ke arah wajah basah Natha yang terlihat begitu menyedihkan.

“Maaf, Natha. Maaf.” Harvey berbisik lirih, ia gunakan jari-jarinya untuk mengusap lelehan air mata Natha yang meninggalkan bekas dipipi yang terlihat kemerahan itu. “Maaf. Maaf.”

Natha sembunyikan wajahnya di ceruk leher Harvey, kepalan tangannya masih memukul pundak suaminya itu dengan lemah.

“Gua benci banget sama lo.” Ucap Natha pelan dengan suaranya yang teredam.

Punggung Natha diusap perlahan. Harvey bergerak mencium pelipis Natha berulang kali. “Maaf, Nath. Maaf karena gua udah kelewatan.”

Natha masih terisak, walaupun sudah tidak sekuat tadi.

“Gua khawatir banget sama lo, Natha. Gps lo mati, lo gak ada ngabarin gua waktu mau pergi, ataupun titip pesan sama Bibi. Gua gak mau lo kenapa-kenapa di luar sana. Maaf kalo perkataan gua tadi nyakitin lo.”

Tidak ada balasan, Harvey sandarkan dagunya pada pundak Natha. “Lo berharga buat gua, Natha. Gua bener-bener gak mau kehilangan lo,” 'Buat yang kedua kalinya.'

Hening, hanya suara isakan Natha yang masih terdengar pelan. Harvey kecup kembali pelipis Natha lembut, mengelus pundak suami cantiknya itu agar isakannya segera pergi.

“Gua sayang sama lo, Nath.”

Natha kemudian menjauhkan wajahnya dari ceruk leher Harvey, mata bulatnya masih basah itu kemudian menatap mata Harvey yang berpendar redup, sangat berbeda dengan saat awal kepulangannya tadi.

Keduanya saling menatap selama beberapa saat, tanpa sepatah kata pun yang keluar dari bibir masing-masing. Lalu perlahan tangan Natha bergerak, menyentuh rahang tegas Harvey dan menarik wajah suaminya itu agar mendekat.

Bibir mereka kembali bertemu.

Emosi keduanya melebur menjadi satu. Baik Harvey maupun Natha menyadari jika tindakan mereka memang salah. Hal yang seharusnya bisa diselesaikan dengan kepala dingin, malah terselesaikan dengan tangis dan emosi yang meluap.

Harvey usap kembali sudut mata Natha yang basah, bibirnya bergerak begitu lembut, penuh kehati-hatian, seakan-akan memang menyalurkan rasa bersalahnya dalam satu pagutan panjang.

“I’m so sorry if I hurt you.” Bisikanya mengalun begitu pelan, Harvey tatap wakah Natha yang berada dibawahnya. “I’m so sorry for losing my control, Natha.”

Natha terdiam, ia tidak mengatakan sepatah kata pun kecuali langsung kembali menyembunyikan wajahnya diceruk leher Harvey. Membiarkan keheningan mengisi keduanya selama beberapa saat.

“Gua juga maaf karena pergi gak ngabarin lo sama sekali.”

“It’s okay, baby.” Pinggang ramping itu Harvey usap halus. “Yang penting jangan diulangin lagi ya, Nath. I’m begging to you.”

Natha mengangguk, ia kemudian bergerak merangkul leher Harvey dan semakin merapatkan tubuhnya pada suaminya itu. Ia bisa merasakan jika Harvey mengecup lehernya selama beberapa kali.

Tarikan nafas panjang Harvey raih, ia eratkan rengkuhannya pada tubuh Natha dengan kelopak matanya yang terpejam.

Natha merapatkan jaket kulit yang ia kenakan, walaupun tidak bisa tertutup rapat karena tidak memiliki kancing ataupun resleting, setidaknya, croptop putih tembus pandang miliknya tidak terlalu dilihat para pegawai perusahaan yang berpenampilan rapih.

Ini pertama kalinya ia menginjakkan kaki di perusahaan milik keluargan Tanjung, design bangunannya cukup unik karena mengarah pada tipe industrial. Simple, namun terlihat berkelas. Dengan lantai gedung yang tidak terlalu tinggi namun memiliki luas yang cukup menampung tiga gedung lainnya.

Berkas yang Harvey minta berada digenggaman, ia kemudian melangkahkan kakinya menuju arah lobby kantor. Natha menundukan kepalanya sambil tersenyum ketika berpapasan dengan para pegawai yang juga menatap ke arahnya, buru-buru ia mendekat ke arah meja resepsionis.

“Permisi, selamat siang.” Natha tersenyum, ia menatap seorang wanita dengan penampilan formal yang juga tersenyum dibalik meja. “Mau ketemu sama Harvey Tanjung.”

“Selamat siang juga, Pak. Mohon maaf apakah sebelumnya sudah membuat janji dengan Bapak Harvey?”

Natha menggeleng, ia kemudian berdengung dengan senyum kikuknya yang merekah. “Belum sih, tapi saya mau nganterin berkas, Mba.”

“Oh baik, sebentar saya tanyakan dulu ya, Pak.”

Kepalanya kembali mengangguk, Natha kemudian mengalihkan pandangannya ke arah lain sambil melihat-lihat ke sekeliling area lobby. Menunggu wanita resepsionis yang sedang menelfon seseorang.

Pundak Natha kemudian di sentuh sekilas, ia berbalik, kembali menatap wanita resepsionis itu yang kini tersenyum lebar padanya.

“Pak, kebetulan memang Bapak sudah ditunggu oleh Pak Harvey diruangannya. Mari saya antar.”

“Oh gak usah Mba, saya bisa sendiri. Kalo boleh tau lantai berapa ya?” Tanya Natha.

“Ruangan Pak Harvey ada di lantai lima, Pak. Nanti Bapak langsung di tunggu oleh sekertarisnya di depan lift.”

“Ooh okay, makasih banyak ya, Mba.” Natha kembali tersenyum, membungkuk sekilas ke arah wanita resepsionis itu kemudian berjalan menuju ke lift yang berada cukup dekat dengan meja resepsionis tadi.

Pintu lift langsung terbuka, Natha melangkahkan kakinya masuk, memencet angka lima pada tombol panel lalu pintu kembali tertutup. Ia bersenandung kecil, menatap pantulan dirinya pada kaca lift, kemudian merapihkan kembali pakaiannya agar tidak terlalu mencolok.

Begitu tiba di lantai lima, Natha langsung di sambut oleh seorang sekertaris, seorang gadis yang mungkin lebih muda darinya itu. Ia kemudian berjalan mengekor dari belakang, kembali tersenyum ramah ketika berpapasan dengan pegawai lain di lantai lima.

Langkahnya kemudian terhenti di depan pintu hitam dengan kusen berwarna silver gelap. Pintu di ketuk, kemudian gadis sekertaris itu membukakan pintu untuknya, mempersilahkan Natha masuk ke dalam ruangan.

Natha mengucapkan terima kasihnya terlebih dahulu, lalu gadis sekertaris itu berlalu, menuju ke mejanya yang terletak persis di depan pintu ruangan. Satu langkah diambil, matanya langsung bertatapan dengan Harvey yang kini menatap ke arahnya.

Mata Harvey memperhatikan Natha dari atas sampai bawah, alisnya mengeryit, ia kemudian bangkit dari duduknya dan berjalan ke arah Natha yang juga mendekat ke arahnya itu.

Map coklat itu terulur. “Nih berkasnya. Lain kali diinget dulu kalo mau ngantor apa aja yang harus di bawa,” Tutur Natha.

“Lo mau kemana?” Tanya Harvey, kembali memperhatikan Natha dari bawah sampe atas. “Bye the way, thanks.”

“Kemana lagi? Main sama Deon sama Ellio lah.” Sahut Natha santai, kemudian kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri, memperhatikan isi ruangan Harvey. “Enak juga ruangan lo.”

“Pakaiannya kaya gitu?”

Alis Natha mengeryit. “Ya emang kenapa? Biasanya juga gini.”

“Ganti.” Nada suara Harvey berubah datar, ia menaruh terlebih dahulu map coklat itu ke atas meja kerjanya lalu kembali mendekat ke arah Natha. “Jangan pake baju itu.”

“Apa sih lo, emangnya kenapa gua pake baju ini? Salah?” Tanya Natha dengan nada suaranya yang mendadak berubah kesal. “Udah gua mau balik, udah ditungguin Deon sama Ellio.”

Natha melengos, ia memutar badannya lalu hendak berjalan menuju pintu. Namun sebelah tangannya mendadak tertarik, membuat Natha kembali memutar badannya menghadap Harvey.

“Apa sih, Vey? Lepas gak?”

“Change it.”

Tangan Harvey yang menggenggam pergelangan tangannya Natha hempas. “Diem deh lo. Jangan sementang hubungan kita udah membaik lo bisa ngantur gua seenaknya!”

Harvey terdiam, rahangnya mengeras mendengar penuturan Natha barusan. Bola mata bulat yang masih memberikan tatapan nyalang itu Harvey tatap lekat.

“Seenggaknya, ganti sama yang lebih nutup, Natha.” Suaranya mengalun pelan, tapi Natha kembali melengos dan memutar bola matanya malas. “Gua emang gak pernah ngelarang lo ini itu, but not with that fucking croptop.”

Satu langkah maju Natha ambil, kepalanya sedikit mendongkak ke arah Harvey, telunjuknya kemudian menekan dada suaminya itu.

“My body, is my rules. I can wear anything what I want. Lo gak berhak buat ngatur-ngatur gua.” Desisnya jengkel. “Dont. Accros. The. Boundaries.” Katanya penuh penekanan.

Harvey mendecih, seringai tipis tercipta diwajahnya. Dengan gerakan cepat, satu tangannya naik, mencengkram rahang Natha lalu ia lebih mendekatkan wajahnya ke arah suami nakalnya itu.

“Change.” Ibu jarinya mengusap bibir bawah Natha, mata tajam Harvey menatap lekat bola mata bulat di hadapannya. “Or I will make you unable to walk anymore.”

“You such an asshole.”

“And you such a pretty whore.”

Cengkramannya Harvey lepas, namun dengan gerakan cepat ia juga merobek croptop yang Natha pakai. Membuat Natha langsung melayangkan tatapan tidak percayanya dengan apa yang Harvey lakukan.

“Lo anjing-”

Ucapan Natha terputus ketika bibir Harvey langsung menyambar bibirnya, bergerak tidak sabaran melumat bibir Natha yang langsung berusaha menghindar.

Natha memberontak, ia dengan sekuat tenaga mendorong tubuh Harvey agar menjauh, tapi usahanya sia-sia begitu Harvey mendorong tubuhnya ke arah tembok, mengukung Natha agar tidak bisa kemana-mana.

Dengan keadaan Natha yang terhimpit, Harvey kemudian melepas jaket kulit yang suami cantiknya itu pakai, melemparnya kesembarang arah, dan hanya menyisakan croptop putih transparan dengan hiasan motif bunga yang sudah sobek itu.

Leguhan Natha terdengar samar begitu Harvey mengigit bibir bawahnya. Ia akhirnya mengalah, membiarkan Harvey dengan segala kuasanya mencumbu bibirnya.

Sekiranya Natha sudah tidak memberontak, Harvey baru melepaskan ciumannya. Dahi bertemu dengan dahi, mata bertemu dengan mata. Sebelah tangannya naik, mengusap pipi Natha lalu berakhir di bibir bawahnya.

“Sesusah itu ya Nath buat nurut sama gua.”

“Emangnya lo siapa yang harus gua turutin semua omongannya?”

Harvey mendengus geli, satu tangannya ia bawa untuk mencengkram pergelangan tangan kanan Natha, lalu mengangkat tangan yang ukurannya sedikit lebih kecil dari miliknya itu.

“Better you see your third finger, Natha Tanjung.”

Natha kemudian melirik jari manisnya, dan seketika ia menyadari bahwa cincin pernikahan miliknya berada disana, tidak pernah sekalipun lepas dari awal Harvey memasangkannya.

Entah Natha yang lupa melepas, atau munkin ia memang sengaja membiarkannya.

“You ask me who I am, right?” Bisikannya mengalun rendah. “I am the one who put the ring on your finger.”

Tangan Harvey kembali Natha hempas, ia memandang kesal ke arah suaminya yang masih tersenyum miring itu. Dengan gerakan cepat, Natha mendorong tubuh Harvey agar menjauh, dan berhasil, Harvey mundur beberapa langkah kebelakang.

Pandangannya menunduk, menatap salah satu croptop kesayangannya yang kini sudah rusak. Jari-jarinya mengepal, ia angkat wajahnya kembali dengan perlahan lalu-

Bugh!

Satu pukulan mendarat tepat di sebelah pipi Harvey.

“You broke my fuckin' croptop!” Suaranya naik beberapa oktaf. “It's my favorite one!”

Harvey terkekeh, ia memegang sebelah pipinya yang baru saja terkena bogeman mentah dari Natha itu. Harvey kemudian berbalik, berjalan menuju pintu ruangannya dan mengunci pintu. Tidak lupa mencabut kunci dan menaruhnya pada kantong belakang celana.

Natha seketika dilanda rasa panik.

“Ngapain lo kunci pintunya?!”

Ia mendekat kembali ke arah Natha, ekspresi wajahnya datar, matanya menatap Natha dengan tatapan tajam. “Menurut lo?”

Lalu semuanya terjadi begitu cepat. Tubuh Natha diangkat, Harvey berjalan menuju sofa panjang yang berada diruangannya, menurunkan Natha disana.

“Setiap anak nakal harus dapet hukuman, kan?” Tanya Harvey dengan senyum manipulatif. “Lo emang gak pernah bisa dibilangin pake kata-kata, Nath.”

“Jangan macem-macem, Harvey! Ini masih di kantor! Gila ya lo!”

Tapi seakan tuli, Harvey malah merunduk, mengukung kembali tubuh Natha dengan kedua tangannya. Membuat Natha refleks memundurkan kepala, matanya menatap Harvey dengan sorot gelisah.

“Your body is also mine. My own property.” Jari telunjuk Harvey mengelus perlahan pipi Natha yang kemerahan itu, lalu turun sampai perpotongan lehernya. “Jadi gua juga punya hak atas apa yang lo pake, Natha.”

“Harvey! No!”

Rem diinjak, mobil berwarna merah nyentrik milik Deon itu berhenti tepat di depan club yang Natha arahkan. Ketiganya menoleh dengan kompak ke sisi kiri.

“Lah, ini kan club yang pernah kita datengin waktu itu?”

Ellio mengangguk, kepalanya menyembul diantara dua jok. “Bener ini Nath?”

“Ya iya.” Natha mengecek kembali ponselnya. “Bener ini kok.”

Dengan begitu, Deon kembali menginjak gas. Stir diputar ke arah kiri, mobil meluncur turun ke arah parkiran basement gedung yang memiliki empat tingkat ini. Tanpa banyak bicara, Deon dan Ellio mengikuti langkah Natha yang jalan di depan mereka. Keduanya bertatapan, lalu bahu naik sekilas.

Ting!

Pintu lift terbuka, ketiganya langsung kompak keluar dari dalam lift dan langsung melangkah masuk ke dalam area club lantai dua. Masih dengan perasaan bingung, Deon menepuk pundak Natha sekilas.

“Nath, setau gua sih ya, ini lantai dua club ini kan khusus buat tamu VIP deh. Beneran disini?”

Natha mengangguk. “Bener kok, kata Harvey langsung naik aja ke lantai dua.”

“Psstt, psttt, ada yang nyamperin.”

Ellio menyenggol tubuh kedua temannya ketika ada seorang bodyguard bertubuh tinggi besar mendekat ke arah mereka berdua. Ketiganya kompak mendongkak, meringis saat menatap wajah dengan ekspresi begitu datar di hadapan mereka.

Deon dan Ellio mundur satu langkah, bersembunyi di belakang tubuh Natha yang sebenarnya tidak ada gunanya itu. Natha menelan ludahnya gugup.

“The card, please.”

Natha menoleh ke arah dua temannya, berbisik gelisah. “Kartu apaan?”

“Disini emang kalo naik ke lantai dua perlu kartu, Nath.” Sahut Deon sambil melirik ke arah lelaki besar di hadapannya. “Lo ada kartunya gak?”

“Ya gak ada anjir! Harvey cuman bilang suruh langsung naik ke lantai dua aja. Gak bilang kalo harus pake kartu, lo juga kenapa gak bilang dari pas kita di bawah tadi sih.”

“Nath, turun aja deh yuk. Kita di lantai bawah aja, gua takut, pengen pipis.” Sela Ellio sambil menggoyangkan bahu Natha, melirik pada bodyguard dengan takut-takut. “Ayo Nath.”

Natha kemudian menolehkan kepalanya seraya mendongkak, cengiran kikuk melebar. “I'm so sorry I dont know if we need a card to enter here. We'll go back to first floor now.”

Ketiganya kompak berbalik, Deon menekan tombol lift berulang kali, berharap box besi di hadapannya segera terbuka. Mereka saling melirik dengan wajah meringis, Natha membuang nafasnya lega begitu pintu lift akhirnya terbuka.

“Natha! Wait!”

Ia menoleh, diikuti Deon serta Ellio yang juga menatap ke arah seorang wanita dengan dress silver berkilauan yang setengah berlari ke arah mereka. Suara heelsnya mengetuk-ngetuk berirama.

Tangan wanita itu menyentuh pundak bodyguard yang masih memasang wajah garang, wajahnya tersenyum lebar ke arah Natha. “This is Natha Tanjung, the VVIP.”

“VVIP.” Deon serta Ellio berbisik kompak.

“I'm so sorry, Mr. Tanjung.”

Bodyguard itu tiba-tiba membungkuk sekilas ke arah Natha, membuat ia memasang wajahnya bingung. Pundaknya yang hendak di sentuh oleh wanita itu membuat Natha refleks memundurkan posisi tubuhnya.

“Ups sorry,” Wanita itu tersenyum tipis. “Your husband has been waiting for you, c'mon, follow me.”

“Emm, okay.”

Ketiganya kembali saling lirik dengan wajah canggung, tersenyum kikuk ke arah bodyguard yang masih terdiam dengan posisi tubuh siapnya itu.

Masing-masing tangan Natha digandeng oleh Deon serta Ellio yang sesekali menoleh ke arah sekitar. Lantai dua club memang tidak seramai lantai satu, namun hawa yang terpancar pada lantai ini cukup berkelas, bahkan tiap-tiap meja disini pun diberikan sekat penunjang privasi masing-masing tamu VIP.

Langkah wanita itu kemudian berhenti pada satu meja dengan space paling lebar, menghadap langsung pada lantai satu club yang terlihat dari kaca transparan. Pekikan Deon serta Ellio mengalun kompak ketika mendapati Eric dan Juna yang juga berada disana, melempar senyum ke arah mereka.

Natha menoleh, matanya langsung bersibobrok dengan mata Harvey yang menatap ke arahnya. Namun ekspresi wajah Natha berubah datar saat menyadari jika ada dua wanita yang duduk menempel pada Harvey.

“Sorry ladies, the owner will take his seat-”

Ucapan wanita itu terhenti ketika Natha langsung melangkahkan kakinya mendekat ke arah Harvey. Ia menatap suaminya itu sejenak sebelum sebelah tangannya membuka paha Harvey yang tertutup.

“Woahh.”

Sorakan itu menggema pelan ketika Natha langsung mendudukan dirinya di sebelah paha Harvey. Tubuhnya bersandar, wajahnya ia taruh pada ceruk leher suaminya itu.

“Get the fuck that bitches out here.” Desisnya jengkel.

Harvey kemudian mengelus pinggang Natha yang tidak tertutupi oleh sehelai benang pun, merematnya pelan sambil memberikan instruksi pada dua wanita yang berada disisinya untuk pergi.

Wanita dengan dress silver itu kemudian pamit undur diri bersama dua wanita lainnya. Harvey melirik ke arah wajah Natha dengan ujung matanya, lalu terkekeh kecil. Telapak tangannya yang hangat kembali mengelus permukaan kulit Natha perlahan.

Melihat itu, keempat orang lainnya hanya mengangkat bahu, saling menatap lalu mengalihkan perhatian mereka ke arah lain. Membiarkan Harvey dan Natha sibuk pada dunia mereka sendiri.

“Jealous, hm?” Tanya Harvey pelan, berbisik pada telinga Natha. “Calm down, sweetheart. No one can take yours.”

Bola mata Natha berputar malas, ia berdecih lalu turun dari pangkuan dan duduk tepat di samping Harvey. Sedikit jarak yang memisahkan mereka berdua membuat Harvey kembali merengkuh pinggang Natha, dan menarik suami cantiknya itu agar merapat padanya.

“Kok bisa dianter Sarah kesini?”

Natha menoleh sekilas, lalu mengambil gelas bergagang panjang dengan isinya yang masih penuh. “Oh namanya Sarah?”

“Yap.” Harvey mengangguk. “Just my pa in here, she already had a boyfriend.”

“Gak penting juga sih.” Cairan berwarna kuning keemasan pada gelasnya Natha teguk, lidah mengecap rasa pahit. “That's tmi.”

Harvey mendengus geli, memperhatikan ekspresi wajah Natha yang acuh tak acuh itu. “Lo gak bilang kalo udah reserve tempat? Sampe Sarah yang nganter?”

“Asal lo tau ya, Harvey.” Deon yang mendengar percakapan antara Harvey dan Natha itu menyela. “Gimana mau ngomong udah reserve tempat kalo kita bertiga aja udah ciut pas di todong suruh nunjukin card? Ellio malah minta langsung turun aja. Bodyguardnya serem banget.”

Gelak tawa menguar, Harvey menoleh kembali ke arah Natha yang menaikan bahunya acuh. “It's that true?”

“Ya lo tanya aja temen-temen gua.” Sahut Natha sekenanya. “Lagian kenapa gak bilang kalo lantai dua harus pake card khusus sih?”

“Mau?”

“Apa?”

“Cardnya.” Harvey meraih kembali gelas minumannya. “Kalo mau nanti gua minta tolong Sarah buat bikinin. Deon sama Ellio kalo mau juga sekalian.”

“Mau!”

Sahutan kompak Deon dan Ellio membuat Natha memelototkan matanya ke arah dua temannya itu. Tapi mereka berdua tidak peduli dengan tatapan Natha, malah semakin melebarkan cengirannya saat Harvey mengangguk mengiyakan.

“Btw, emangnya bisa langsung dibikinin card tanpa kita... bayar?” Suara Ellio memelan di akhir kalimat, matanya menatap teman-temannya secara bergantian. “Bukannya ada fee khususnya ya?”

Eric merangkul pundak Ellio, tawanya mengalun pelan. Ia sentuh ujung hidung Ellio sekilas dengan telunjuknya. “Gak usah mikirin fee kalo Harvey yang punya club ini.”

“What?!”

“Uhuk! Uhuk!”

Natha seketika tersedak minumannya sendiri, membuat Harvey dengan sigap meraih gelas Natha lalu menaruhnya di atas meja. Tangannya yang berada di pinggang Natha naik, menepuk pelan tengkuk suami cantiknya itu.

“Pelan-pelan minumnya, Nath.”

Kepalanya menoleh, bola matanya yang bulat semakin membulat saat menatap ke arah Harvey. “This goddamn club is yours?”

“Emangnya kenapa?” Harvey mendekatkan wajahnya ke arah Natha, membuat Deon dan Ellio seketika meringis dengan ekspresi menggoda. “Tapi sekarang bukan punya gua aja, punya lo juga.”

“Gila!” Natha menjauhkan wajah Harvey yang semakin mendekat itu. Membuat Harvey tertawa kecil sambil kembali merangkul pinggang Natha. “Jadi alesan gua waktu itu bangun di kamar khusus karena club ini punya lo?”

Begitu anggukan Harvey berikan, Natha membuang nafasnya gusar lalu meraih kembali gelasnya, meminum cairan alhokol yang tinggal setengah gelas itu. Mengabaikan Harvey yang kini menatap heran ke arahnya.

“Nath.”

“Dont talk to me.”

“Why?”

“Cause I dont want to talk to you.”

“Tapi lo nyaut?”

Natha melirik sinis ke arah suaminya itu. Ia memukul paha Harvey agak kencang sebelum menuangkan kembali cairan dari botol hitam pada gelasnya hingga penuh, lalu meneguknya habis dalam satu kali tegukan.

Dengusan gelinya Harvey keluarkan, ia kemudian mengangkat tubuh Natha untuk naik ke pangkuannya kembali dengan posisi menyamping. Membuat Natha terpekik kaget dan hampir menjatuhkan gelas yang dipegangnya.

Siku Natha menyikut Harvey dengan pandangannya yang mengarah ke sekeliling. “Apasih! Malu tau!”

“Sstt, diem. Jangan banyak bergerak.”

Tapi ucapan Harvey barusan hanya dianggap angin lalu oleh Natha, ia malah semakin berusaha melepas rengkuhan Harvey yang mengerat. Sebetulnya agak aneh juga ketika Natha mengatakan ia malu berada di pangkuan Harvey, padahal awal kedatangannya tadi ia malah langsung menduduki paha suaminya itu tanpa aba-aba.

“Kalo dia bangun, lo yang tidurin.”

Bisikan dengan suara baritone rendah itu membuat Natha seketika terdiam, ludahnya ia telan berat lalu menoleh ke arah Harvey yang memasang wajah datar.

“Gamau!”

“Diem.”

Mulutnya seperti mendapatkan lem otomatis, Natha langsung terdiam dengan wajah merengut. Ia meraih botol hitam yang berada di atas meja, kembali menuangkan ke dalam gelas hingga terisi penuh.

Ia membiarkan Harvey melakukan apa yang suaminya itu inginkan, menaruh wajahnya di perpotongan leher Natha dan memberikan kecupan-kecupan ringan disana. Sesekali menggesekan ujung hidungnya pada kulit leher Natha sambil mengelus kembali pinggang Natha dengan perlahan.

Juna yang tidak sengaja menoleh ke arah mereka berdua langsung membuang wajah, ia menatap Deon yang duduk disampingnya lalu menarik tangan Deon untuk berdiri.

“Mau kemana?” Tanya Deon bingung.

“Turun ke bawah.”

“Ngapain?”

“Udah ayo aja.”

Deon mau tidak mau menurut, ia menaruh gelasnya terlebih dahulu lalu mengikuti langkah Juna dari belakang. Meninggalkan Ellio serta Eric yang masih mengobrol ringan.

“Lain kali kalo ketemu lagi boleh kayaknya gua nyobain risol lo.”

“Boleh banget. Mau yang apa?”

“Yang kayak lo, ada gak?”

Ellio mengulum bibirnya, menatap malu-malu ke arah Eric yang masih menyunggingkan senyum menggoda. “Kalo itu sih, guanya aja langsung. Mau?”

“Ma-”

“Akh!”

Keduanya langsung menoleh kompak ke arah Harvey dan Natha, refleks, Eric tutup mata Ellio dengan telapak tangannya lalu menggelengkan kepalanya tidak habis pikir.

“Kita ganti meja, El. Sekarang.”

Dengan tergesa, Eric membawa Ellio pergi dari sana. Ia membuang nafasnya lalu tersenyum kikuk pada Ellio yang memasang ekspresi bingung.

“Harvey, jangan disini.”

Suara Natha mengalun tertahan, ia berusaha menjauhkan kepala Harvey yang masih setia berada di ceruk lehernya. Sempat memberikan satu gigitan kecil hingga Natha terpekik tadi.

Tapi bukannya menjauh, Harvey malah semakin merapatkan tubuh keduanya. Natha menatap ke sekeliling, takut-takut ada pengunjung lain yang memperhatikan mereka berdua. Terlebih meja yang ditempatinya mengarah langsung pada riuhnya lantai bawah.

“Ini kacanya one way atau enggak?”

“Lo wangi banget, Nath.”

Natha mengeryit, ia sedikit tundukan pandangannya menatap sisi wajah Harvey. “Kenapa? Mau ciuman?”

Perkataannya barusan sukses membuat Harvey menjauhkan wajahnya, dua manik mata itu saling menatap dengan jarak yang begitu dekat. Harvey tersenyum tipis, membuat Natha memutar bola matanya malah seraya berdecih.

“Awas dulu.” Ia melepaskan kedua tangan Harvey yang melingkari pinggangnya, turun dari pangkuan lalu naik kembali dengan posisi saling berhadapan. “Jangan lama-lama, gua mau turun ke bawah.”

“Ngapain turun ke bawah kalo lo bisa goyang di pangkuan gua?”

“Shut the fuck off!” Natha menampar pipi Harvey pelan, malah membuat Harvey terkekeh lalu merengkuh kembali pinggang Natha. “Gausah deket-deket.”

“Kenapa?”

“Nanti lo tegang.”

Bibir Harvey mendekat ke telinga Natha. “Nah, it's doesn't matter if you put him to sleep again.”

“Doing blowjob in public area are to disgusting.”

“Who said it's only a blowjob?”

“Can we just stop taking about this?” Natha menjauhkan kepalanya, membuat ia bisa melihat seringai tipis di wajah Harvey. “Kalo mau cium, cium aja. Gausah banyak bacot.”

Harvey terkekeh, dua tangannya mengusap pinggang Natha naik turun dengan sebelah alisnya juga ikut naik, menggoda Natha yang kini langsung memasang ekspresi merengut.

“Mana bibir yang harus gua cium?” Tanya Harvey, melirik bibir Natha yang terlihat berkilauan, mungkin suami cantiknya ini menggunakan pelembab bibir sebelum pergi ke club. “Natha.”

Tarikan nafas panjang Natha ambil, setelahnya, ia maju untuk mencium bibir plum Harvey yang terlalu berisik sedari tadi itu. Membuat Harvey diam-diam menyeringai tipis di sela ciuman.

Namun, baru beberapa saat bibir Natha bergerak diatas bibirnya, Harvey menghentikan ciuman mereka. Natha menatap bingung, namun ketika tangan Harvey terulur mengambil gelas yang terisi penuh, Natha akhirnya paham.

Harvey minum setengah cairan pada gelas bergagang panjang itu, namun tidak langsung meminumnya. Ia menaruh kembali gelas di atas meja lalu menatap Natha yang kini terdiam, tapi jari-jarinya bergerak melepas kancing kemeja yang dipakai Harvey hingga berhenti pada kancing ke tiga.

Setelah itu, posisi di ubah secara tiba-tiba. Natha terpekik kaget, namun pekikannya seketika bungkam saat Harvey langsung meraih bibirnya kembali.

Natha sangga tubuhnya dengan kedua siku, jari-jarinya mencengkram lengan Harvey yang juga digunakan suaminya itu untuk menyangga tubuh. Bibir bergerak kasar, suara decakan pelan mulai terdengar oleh telinga Natha.

Hingar bingar musik seakan-akan memudar, Natha meleguh, kakinya mulai bergerak menyentuh pinggiran meja, mencari penyangga. Tubuh Harvey yang semakin turun merapat pada tubuhnya membuat Natha terkukung, pergerakannya menjadi terbatas.

Sarah yang kebetulan kembali melewati meja mereka pun langsung berhedem canggung ketika tidak sengaja menoleh, langkah kakinya langsung ia percepat, menggeleng tidak habis pikir dengan bos-nya yang kelewat berani itu.

“Harvey.”

Suara Natha tertahan, mulutnya yang sedikit terbuka membuat Harvey langsung bergerak cepat, tidak melewatkan kesempatan untuk memindahkan sedikit cairan yang berada di dalam mulutnya pada mulut Natha.

Bibir plum itu kemudian mengecup bibir Natha berkali-kali, Harvey kemudian mengangkat sedikit tubuh Natha hingga ia bersandar pada punggung sofa dengan posisi nyaman. Kelopak mata Natha perlahan terbuka, menatap sepasang pupil milik Harvey yang sejak awal terbuka menatapnya.

“Cantik.” Harvey berbisik lirih. “The most prettiest things I ever seen.”

Natha dengan cepat membuang wajah, pipinya seketika terasa panas. Ia kemudian mendorong tubuh Harvey menjauh dan membenarkan posisi duduknya. Tidak menghiraukan Harvey yang kini berjongkok di hadapannya dengan kedua tangan bertopang pada paha Natha.

“Nath.”

Tidak ada sahutan.

“Natha Tanjung.”

Tapi Natha tidak menolehkan wajahnya ataupun menyahuti panggilan Harvey barusan. Rona kemerahan di wajahnya semakin terlihat jelas di tengah temaramnya lampu club, Harvey tersenyum tipis, ia kemudian bangkit lalu menduduki dirinya tepat di samping Natha.

“Ada yang mau gua omongin.” Ucap Natha tiba-tiba, kedua tangannya terlipat di depan dada.

Pergerakan Harvey yang baru saja akan mematik rokoknya itu terhenti, ia menoleh, menatap Natha yang kini juga menatapnya.

“Kenapa?”

“Lo keberatan gak kalau,” Kalimatnya menggantung.

“Kalau apa?” Ulang Harvey.

“Gua.. izin sama lo?” Nada suaranya memelan di akhir kalimat, Natha menatap Harvey yang kini memasang ekspresi bingung. “Maksud gua, kalo gua keluar rumah, gua izin sama lo.”

Satu detik, dua detik, tiga detik, Harvey tidak memberikan respon. Membuat Natha membuang nafasnya gusar lalu mengalihkan pandanganya ke arah lain.

“Lupain aja. Gua emang suka ngaco.” Sambung Natha, seraya mengambil gelasnya kembali.

Tapi tiba-tiba tangan Harvey terulur, mengusak rambut Natha dengan senyumnya yang merekah. “Gua seneng kalo lo memutuskan buat gak jadi pembangkang.”

“Tapi bukan berarti gua harus nurut semua omongan lo, gak, gua gak mau di kekang sama siapapun.”

“I know,” Harvey menyalakan pematik, menyulut rokoknya yang sudah terselip di bibir, ia sedot terlebih dahulu gulungan nikotin itu lalu membuang asapnya sebelum melanjutkan ucapannya. “May I know the reason?”

Natha terdiam sejenak, ia menatap lurus ke arah depan dengan tangannya yang menggoyang-goyangkan gelas.

“Tentang ucapan lo kalo ada orang yang lagi ngebuntutin gua. Mungkin ini udah saatnya gua sadar kalo gua emang gak dinikahin sembarangan orang,” Natha menoleh, menatap wajah Harvey dari samping. “Gua tau mungkin lo juga udah berusaha nyari info orang itu, dan gua pun tau dunia bisnis emang punya sisi kelamnya, satu atau dua cara kotor pasti di pake buat numbangin musuh. Gua udah jadi bagian dari keluarga Tanjung, mau gak mau gua juga mungkin dalam inceran rencana busuk seseorang.”

Hening melingkupi keduanya selama beberapa saat. Harvey mendengar dengan khidmat setiap untaian kata yang suami cantiknya itu katakan, karena ini pertama kalinya Natha berbicara panjang lebar tentang apa yang mungkin sudah ia ketahui.

Walaupun mungkin hanya 0,1 persen dari keseluruhan.

“Gua percaya sama lo.” Sambung Natha begitu pelan. “Kalo ini menyangkut tentang keselamatan gua, apapun itu, gua gak akan ngebantah lagi. Tapi lebih dari itu, sorry, gua gak bisa janji gua bisa nurutin omongan lo atau enggak.”

“Do what ever you wanna do, Natha.” Harvey mengetap ujung rokoknya pada sisi asbak, “Gua gak akan ngelarang lo, terserah apapun itu yang penting lo seneng, gua udah bilang itu sebelumnya, kan?”

Natha mengangguk.

“Dan ya, dunia bisnis gak selamanya ada di atas kertas putih bersih. Satu, dua, atau tiga titik hitam pasti ada disana, atau mungkin sepenuhnya hitam dibalik lembarannya.” Harvey menghembuskan kembali asap rokoknya, “Gua seneng kalo lo akhirnya bisa paham.”

“Maaf kalo gua egois.”

Pergerakan Harvey seketika terhenti, ia menoleh, menatap ke dalam bola mata Natha yang kelopaknya mengedip lambat.

“Maaf kalo adanya pernikahan ini, malah bikin tanggung jawab lo semakin berat. Gua selalu mikir gimana hidup gua berubah 180°, tanpa pernah mikir juga gimana hidup lo pun berubah 180° setelah kita nikah. Rules awal selama 4 bulan aja kan? Mungkin setelah 4 bulan ini, lo bisa ngelepas gua.”

“Are you fucking kidding me?” Nada suara Harvey berubah datar. “Lo kira sumpah di hadapan Tuhan sebercanda itu?”

Natha mengigit bagian dalam bibir bawahnya, “Terus gimana? Gak mungkin kita bakalan terus ngejalanin pernikahan tanpa adanya rasa sama sekali.”

“Yang bilang tanpa ada rasa siapa, Natha?!”

Nafas Harvey terbuang gusar, ia berdecak, rokok yang terselip diantara dua jarinya itu ia taruh pada asbak. Ia memundurkan posisi duduknya lalu kembali mengangkat Natha untuk duduk di pangkuan.

Gelas yang berada di genggaman hampir saja terjatuh, Natha tertegun, tidak mengucapkan apapun lagi ketika pelukan Harvey pada tubuhnya mengerat.

“I'll keep you forever, Nath. Jangan pernah sekalipun berusaha kabur dari gua karena itu bakalan sia-sia.”

Harvey mendesis tepat di telinga Natha, membuat ritme detak jantung Natha seketika meningkat. Aura dominan Harvey benar-benar membuat bulu kuduknya meremang, ia tidak pernah sekalipun seumur hidup mendapati seseorang yang begitu 'kuat' seperti Harvey.

Hembusan nafas berat terhela, Natha terdiam dengan pikirannya yang mendadak berkecamuk.

“Sorry.”

Suara Natha mengalun pelan, mata bulatnya menatap Harvey yang masih berdiri dengan tatapan tajamnya. Natha tundukan kepalanya, nafasnya terhela berat.

“Gak bisa ya Nath, sekali aja, sekali nurut sama gua. Dengerin apa yang gua omongin.” Harvey berdecak, nada suaranya naik beberapa oktaf, tubuhnya yang menyender pada tembok ia tegakan. “Sesusah itu ya demi diri lo sendiri?”

Nada suara Harvey tiba-tiba mengalun begitu datar, namun Natha bisa rasakan emosi lelaki itu dalam setiap tutur katanya. Helaan nafas berat kembali terhembus, ia alihkan padangannya ke arah lain, enggan menatap wajah Harvey yang mengeras.

Otaknya kembali memutar kejadian yang baru saja ia alami. Moment menegangkan yang tidak pernah Natha sangka-sangka sebelumnya. Ada satu mobil sedan yang Natha tahu sudah mengikutinya sejak ia keluar dari toko.

Awalnya Natha tidak ambil pusing, namun ketika mobil itu berulang kali berusaha memepet mobilnya, Natha langsung paham jika ada seseorang yang mengikutinya. Sial, ban mobilnya malah pecah di tengah perjalanan.

Bodohnya Natha, ia malah keluar dari mobil untuk mengecek kerusakan yang terjadi. Membuat mobil sedan yang mengikutinya ikut berhenti di bahu jalan, walaupun berjarak cukup jauh dari posisinya berada. Natha sadar jika mobil itu menge-dim sebanyak dua kali, membuat Natha semakin gelisah.

Ia langsung mengikuti instruksi yang Harvey berikan dari pesan singkatnya ketika mobil sedan itu berjalan perlahan, mendekat ke arah posisi dimana ia berada dan berhenti tepat di depan mobil Natha.

Pintu sedan lawas itu langsung terbuka, menampilkan sesosok laki-laki dengan setelan hitam yang menutupi seluruh tubuh. Mendekat ke arah jendela sisi pengemudi, dan berdiam diri selama beberapa saat sebelum mengetuk jendela sebanyak tiga kali.

Jangan tanya seberapa paniknya Natha saat itu.

Namun beruntungnya ia, ketika laki-laki asing itu berusaha membuka pintu mobilnya, mobil Harvey datang dengan cepat. Langsung berhenti tepat di belakang mobil Natha, membuat kali-laki asing itu berlari masuk kembali ke mobilnya dan buru-buru tancap gas, pergi entah kemana.

“Gua gak main-main waktu ngomong ada orang yang berusaha ngedeketin lo.” Harvey melangkah mendekat, mendudukan dirinya di single sofa tepat di sisi samping Natha. “Gua gak tau harus ngomong pake bahasa apalagi biar lo ngerti, Dimitri!”

Bibir dalamnya Natha gigit, ini pertama kalinya ia melihat Harvey benar-benar dalam keadaan marah. Natha yang tadinya memang suka jika sisi dominan Harvey menguar, kini dibuat ciut seketika.

Keheningan melingkupi keduanya, pelipisnya Harvey pijit pelan. Matanya tetap menatap ke arah Natha yang kini terdiam sambil memperhatikan karpet hitam di bawah kakinya.

Harvey berdecak, ia kemudian beranjak dari posisi duduknya, hendak naik ke lantai atas. Namun Natha dengan cepat menahan pergerakan Harvey, tangannya terulur, mengenggam bagian belakang jas hitam yang di pakai suaminya untuk bekerja itu.

“Vey.” Cicit Natha pelan. “Maaf.”

Tidak ada sahutan, Natha tetap megenggam erat jas yang Harvey gunakan. Helaan nafas kembali terdengar gusar, Harvey kemudian berbalik, menatap Natha yang memasang wajah memelas.

Dua pasang mata itu saling menatap selama beberapa saat, kemudian sebelah tangan Harvey terulur, menarik Natha untuk masuk ke dalam rengkuhannya. Separuh wajah Natha terutup oleh pundak Harvey, terdiam sejenak sebelum membalas pelukan Harvey.

“Maaf.” Ulangnya. “Maaf karena gua susah dibilangin.”

“Gua juga minta maaf.” Bisik Harvey, nafasnya terhela kembali. “Maaf kalo seakan-akan gua keliatan ngekang lo. Gua cuman gak mau lo kenapa-kenapa, Nath.”

Natha menganggu tipis, ia tarik nafas panjangnya, membuat aroma tubuh Harvey masuk dan membuatnya nyaman seketika. Pelukannya mengerat, Natha tenggelamkan wajahnya pada pundak Harvey.

Hangat tubuh keduanya menyatu, memberikan rasa nyaman yang sama rasanya ketika pulang ke rumah mereka sebelum menikah. Natha singkirkan keras kepalanya kali ini, Harvey mungkin tau apa yang terbaik untuknya, dan itu yang menyebabkan Harvey lebih mengawasinya dari pada saat hari-hari pertama pernikahan.

Harvey lepas pelukannya, menatap wajah Natha lalu senyum tipisnya tersungging. “Naik duluan, biar gua yang matiin lampunya.”

“Harvey.”

“Apa?”

Natha menelan ludahnya gugup. “Gua, boleh tidur sama lo gak?”

Anggukan Harvey berikan sebagai jawaban, ia mengusak rambut Natha sekilas lalu menyuruh Natha untuk segera naik ke lantai atas lebih dahulu. Sedangkan ia kembali memastikan keadaan sekeliling rumah lalu mematikan lampu-lampu lantai bawah.

Begitu ia menapaki kakinya di lantai atas, Harvey lihat pintu kamar Natha yang tidak tertutup sepenuhnya. Ia tatap lama daun pintu coklat itu, sebelum akhirnya beralih mengambil handle pintu, membukanya, lalu masuk ke dalam kamarnya sendiri.

Lima belas menit kemudian, Harvey keluar dari kamar mandi dengan keadaan yang lebih segar. Kaki jenjangnya dibalut celana katun panjang, tanpa atasan, membuat sisa-sisa air yang berada di rambutnya menetes langsung mengenai kulit bagian pundak dan dadanya.

Rambutnya ia keringkan mengunakan handuk kecil, mendudukan diri di sisi kasur sambil berkutik dengan ponselnya. Eric sudah mengirimkan informasi baru, ia dengan cepat mengetik balasan. Tidak lama, pintu kamarnya terketuk sebanyak dua kali, Harvey taruh kembali ponselnya di meja nakas.

“Masuk aja, Nath.”

Handle pintu tertekan, kepala Natha kemudian menyembul dari balik sana. Begitu Harvey sunggingkan senyum tipisnya, baru Natha masuk ke dalam kamar.

Satu tangannya membawa lampu tidur portabel kesayangannya yang berbentuk kucing gendut, sebelahnya lagi membawa ponsel serta dua tangkai Hydragea artifical berwarna biru muda dengan ukuran kecil.

“Kenapa bawa bunga?” Tanya Harvey bingung, menatap Natha yang kini berdiri di hadapannya dengan balutan piyama putih bermotif beruang kecil.

“Gapapa.” Sahut Natha kikuk, matanya tidak mau menatap ke arah bola mata Harvey langsung. “Punya vas kecil gak?”

“Kalo lagi ngomong itu, tatap lawan bicaranya, Natha.” Harvey mengdengus kecil, “Udah sering dibilangin. Harus gua ulang berapa kali lagi?”

Natha berdecak. “Punya vas gak?”

“Di meja nakas bawah kayaknya ada. Cari sendiri.”

Lampu tidur berserta ponselnya Natha taruh terlebih dahulu di atas kasur Harvey, kemudian berjalan mendekat ke arah meja nakas panjang yang pernah menjadi saksi bisu kegiatan panasnya dengan Harvey itu. Natha merunduk, membuka laci nakas lalu mengambil vas berbahan kaca yang berada di sana.

Hydragea biru itu kemudian Natha masukan ke dalam vas, lalu ditaruhnya pada atas meja. Namun pergerakan Natha seketika terhenti ketika menyadari jika Harvey memajang foto pernikahan mereka di sana, menggunakan bingkai kecil berwarna hitam, ada ukiran tanggal pernikahan mereka di pojok bingkai.

Tapi Natha langsung berhedem pelan, ia mengabaikan foto itu dan membenarkan posisi bunga agar enak di pandang. Setelah selesai, Natha berbalik, menatap ke arah Harvey yang juga menatapnya.

“Udah?” Tanya Harvey santai, kemudian menepuk-nepuk sebelah pahanya, mengisyaratkan Natha agar mendekat. “Duduk di sini, Tanjung.”

Bulu kuduk Natha seketika meremang, matanya menatap wajah dan paha Harvey secara bergantian. Ludahnya ia telan gugup, jari-jarinya bertaut gelisah.

Natha tak kunjung mendekat, kepalanya menunduk, tarikan nafas panjang ia ambil. Wajahnya kembali terangkat dan menatap lurus ke arah bola mata Harvey.

“Gua minta maaf.” Tutur Natha lugas. “Gua tau kalo attitude gua jelek, gua kurang bisa ngontrol emosi gua dengan baik, I'm so sorry for that. Padahal gua tau itu cuman masalah sepele dan lo udah mau berbaik hati ngebenerin spionnya lagi, bahkan hampir kayak gak abis bekas ke senggol.”

Harvey terdiam, membuat Natha semakin merasa gelisah ketika Harvey hanya menatap datar ke arahnya. Tapi senyum tipis Harvey kemudian mengembang, ekspresi wajahnya berubah hangat, mengisyaratnya Natha agar segera mendekat ke arahnya.

Kaki Natha melangkah dengan kaku, ia mendudukan diri tengah-tengah kaki Harvey yang terbuka lebar. Tangan Harvey merambat, merangkul pinggang Natha dari belakang, menarik suami cantiknya itu agar semakin merapat.

“Diulang.”

“Apa?”

“Minta maafnya diulang.”

Alis Natha mengernyit bingung, tidak mengerti maksud dari ucapan Harvey barusan.

“Diulang, Natha. Yang lo omongin tadi, coba di ulang.”

Jari-jari Natha seketika mengepal. “Gua minta maaf, attitude gua jelek dan gua gak bisa ngontrol emosi dengan baik. I'm really sorry for that.”

“Goodboy.” Senyum tipisnya kembali merekah. “Besok diulangin lagi aja, sampe gua bosen ngedenger permintaan maaf lo.”

Mendengar ucapan Harvey barusan, Natha langsung beranjak dari posisinya. Namun Harvey lebih dulu menahannya, membuat Natha kembali terduduk di paha suaminya itu.

“Mau kemana? Gua belum selesai ngomong, Natha.”

“Bisa gak jangan kaya gini?”

“Kaya gimana?”

“Jangan bikin gua takut.”

Harvey mendengus. “Takut? Kenapa harus takut?”

Hening menyapa, Natha terdiam sambil menundukan kepalanya. Harvey masih setia menunggu, memperhatikan Natha yang mengepalkan tangannya kuat.

Lalu tangisnya meledak, Natha tutup wajahnya menggunakan kedua tangan dan bahunya bergetar hebat, namun tidak ada suara isakan apapun yang keluar dari mulutnya. Ia menangis dalam diam. Harvey merengkuh, menarik kepala Natha agar bersandar pada bahunya.

Harvey paham betul jika emosi Natha sedang berkumpul menjadi satu, meledak setelah mungkin beberapa waktu Natha telan sendiri. Ia tergugu pilu. Rasa kesal, takut, sesal. gelisah, dan lelahnya berlomba-lomba naik, mendesak seperti ratusan burung yang keluar dari perangkap.

Kepala Natha dielusnya perlahan, Harvey tidak cukup hati sebenarnya untuk memarahi Natha seperti tadi. Tapi jika tidak seperti itu, harus bagaimana lagi caranya agar Natha menurut dan tidak terus bersikap keras kepala.

Padahal Harvey sadar, bahkan sudah diberi tahu jika emosi Natha yang kerap kali tidak stabil adalah pengaruh dari masa kanak-kanaknya dulu. Ini hanya sebagian dari sikap emosionalnya, bertahun-tahun lalu, Natha bahkan bisa lebih parah dari ini.

“Shhh, udah, sayang. Jangan nangis. I'm so sorry.”

Bisikannya mengalun lembut, sebelah tangannya menarik ke dua tangan Natha yang menutupi wajah. Matanya basah, tarikan nafasnya berat seperti sedang tercekik.

“Atur nafasnya, good, inhale, exhale.” Harvey memberikan instruksi, diikuti Natha yang mulai menghirup udara secara teratur. Tangannya masih setia mengelus kepala Natha pelan. “Yang tadi, lupain aja. Jangan diinget lagi, oke?”

Natha mengangguk tipis, ia mengusap pipi basahnya lalu melepas helaan nafas berat. Sudut bibirnya sedikit terangkat ketika Harvey mengecup pelipisnya sekali.

“Maaf, gua terlalu emosional.”

“Gua paham.” Harvey ikut tersenyum. “Udah ayo tidur.”

“Lo masih marah ya sama gua?” Natha bertanya gugup.

Harvey menggeleng. “Enggak, gua gak marah sama lo. Gua cuman khawatir, Nath. Pokoknya yang tadi tolong dilupain aja, anggep kejadian tadi gak pernah terjadi, ya? Besok gua ajak lo ke club, seneng-seneng disana, ajak Deon sama Ellio juga.”

Natha tergelak, senyumnya merekah semakin lebar. “Tiba-tiba banget?”

“Yang penting lo selalu seneng.”

Keduanya terkekeh kecil. Natha turun dari pangkuan Harvey, merangkak naik ke atas kasur, tidak lupa mengambil ponsel serta lampu tidur kesayangannya itu. Ia menyamankan posisinya lalu menarik selimut hingga sebatas pinggang.

Harvey naik dan menempati sisi sebelah Natha, selimut dinaikan sedikit hingga berada tepat di bawah dada Natha. Tapi Harvey tidak langsung tertidur, ia menyandarkan punggungnya pada kepala ranjang, lalu mengambil buku yang berada di meja nakas.

“Lo gak langsung tidur?” Tanya Natha, kepalanya mendongkak menatap Harvey, kucing gendut itu sudah berada di pelukannya. “Udah mau setengah satu.”

“TIdur duluan aja, gua masih mau baca buku, belum terlalu ngantuk.”

“Oh, okay.”

“Kalo lampu utamanya gua matiin, gapapa?”

Natha mengangguk, lalu matanya melirik kucing gendut di pelukannya. “It's okay, I have this.”

Si tunggal Tanjung itu kemudian beranjak kembali, mematikan lampu utama dan menyalakan lampu kecil yang berada di sisi kasur. Cahaya di dalam kamar berpendar redup, ia naik kembali ke atas kasur dan menyamankan posisinya kembali.

“Mata lo emang gapapa baca di tempat redup kaya gini?”

“Udah biasa, Nath. Dari dulu.”

Kepala Natha hanya mengangguk, membenarkan posisi kepalanya di atas bantal lalu kelopak matanya terpejam.

Tapi nyatanya membaca buku hanyalah sebuah pengalihan, matanya tetap menatap ke arah Natha hingga suami cantiknya itu tertidur.Ketika hembusan nafasnya sudah berubah teratur, Harvey ulurkan sebelah tangannya untuk mengusap rambut halus Natha perlahan.

“Gua bakalan cari dalang dari semua ini, Natha. Dia harus ngerasain hal yang sama kayak apa yang lo rasain,” Harvey menjeda ucapannya sejenak. Ia merunduk, mengecup pucuk kepala Natha sekilas. “Dan keluarga gua rasain dulu.”

Hening tercipta, hanya suara kunyahan Natha pada remahan es batu yang terdengar sedari tadi. Ia bersandar pada tubuh tegap Harvey, kepalanya tepat berada di pundak suaminya itu, setengah tubuhnya terutupi oleh selimut abu-abu milik Harvey.

“Nath.” Asap rokok terhembus, menyatu pada udara kamar yang masih terasa panasnya. Pandangan Harvey menunduk sekilas, menatap wajah Natha dari samping. “We change our rules, now.”

Kunyahan Natha serta tangannya yang sedang mengaduk-aduk es batu di dalam cup terhenti sesaat. Nafasnya terhembus berat, ia kemudian menyendokan kembali es batu untuk dikunyahnya.

“Mau diubah gimana?” Tanya Natha dengan mulut yang penuh es batu itu, acuh tak acuh dengan ucapan Harvey barusan. “Gausah ribet-ribet.”

Harvey mendengus, ia taruh batang rokoknya pada asbak yang berada di atas meja nakas samping kasur. Berganti meraih gelas yang berisi cairan berwarna merah pekat.

“Gak ribet, cuman ikutin aja aturan gimana hidup berumahtangga dengan semestinya.”

“Hah?” Alis Natha mengeryit, ia menegakan posisi duduknya lalu menatap ke arah Harvey. “Terus kalo kayak gitu, gua harus nurutin semua omongan lo? Sorry, enggak dulu.”

Natha melengos, ia sandarkan kembali kepalanya pada pundak Harvey. Membuat Harvey yang melihatnya hanya bisa mendengus geli, satu tangannya kemudian bergerak, menyentuh dagu Natha lalu mengangkatnya.

“Gua belum selesai ngomong.” Mata Harvey berkilat tajam, menatap bola mata bulat milik Natha. “Jangan dibiasain buat motong perkataan orang lain yang lagi ngomong sama lo, Natha.”

Tangan Harvey yang berada didagunya Natha singkiran, ia mendesis jengkel. Tapi dengan tiba-tiba Natha mengambil gelas yang berada di genggaman Harvey, meneguk cairan merah itu cepat lalu memberikannya kembali pada Harvey.

“Yaudah, mau lo gimana?”

“Manners sama attitude lo patut di pertanyakan ya, Nath.” Kata Harvey datar. Tangannya dengan cepat kembali meraih dagu Natha, mendongkakan kepala suami cantiknya itu lalu Harvey raup bibir Natha kembali.

Bola mata Natha membulat, ia kemudian mendorong wajah Harvey menjauh. Membuat ciuman mereka terlepas. “Gila ya lo, seharusnya gua nanya itu sama lo, sialan!”

Harvey terkekeh, ia menatap Natha yang merengut kesal dengan ekspresi remeh. “Well, gua cuman ngambil apa tadi lo minum. Gak baik ngerebut punya orang lain tanpa seizin yang punya, Dimitri.”

“Damn you!” Natha mendelik jengkel, ia sedikit mengeser posisi tubuhnya, meringis pelan ketika merasakan bagian pantatnya masih terasa perih. “Cepetan kalo mau ngomong, gausah banyak bacot.”

Namun Harvey hanya terdiam, membuat Natha kembali menoleh kearahnya. Kedua pasang mata itu kembali saling menatap selama beberapa saat sebelum Natha yang lebih dahulu mengalihkan pandangannya.

Harvey ikut mengeser tubuhnya, membuat Natha seketika tersentak dan langsung menahan tubuh Harvey agar tetap pada posisinya. Membuat Harvey tertawa kecil melihat respon yang Natha berikan.

“Gua gak kemana-mana.” Harvey terkekeh, ia usak rambut Natha sekilas. “Setakut itu ya lo kalo gua pergi?”

“Gausah kegeeran.” Sahut Natha sinis. “Gua nahan lo karena kalo lo pergi, gua harus ubah posisi. Gak ngerti kalo gua masih perih?”

Pipi Natha di kecup sekilas, matanya kembali mendelik jengkel ke arah Harvey lalu mengusap pipinya yang terkena bibir Harvey itu. “Diem bisa gak sih!”

“How's cute.” Senyum Harvey merekah tipis. “Now listen,”

Ekspresi wajah Harvey berubah serius, sebelah tangannya merangkul pundak Natha dari belakang lalu kembali menyentuh dagunya. Natha yang sedang mengunyah es batunya kembali itu mau tidak mau mendongkak kembali.

“Just like what I said before.” Ibu jari Harvey mengelus pipi Natha lembut. “You can do what ever you wanna do. Gua gak ngelarang apapun itu selagi lo gak macem-macem dan ngebahayain diri lo sendiri. Tapi dengan satu syarat,”

Harvey menjeda ucapannya, ia dekatkan wajahnya pada wajah Natha lalu berbisik lirih. “Never turn off your gps.”

“Hah?” Natha mengeryit bingung, ia baru saja hendak menyingkirkan tangan Harvey yang berada di wajahnya tapi Harvey langsung menahannya kembali. “Gak, gua gak mau.”

“Kenapa gak mau?”

“Karena lo,” Natha menyentuh dada Harvey dengan telunjuknya. “Bisa tau kemana pun gua pergi. It's my privacy and you dont need to know it.”

Harvey mendengus remeh. “Dont talk about privacy when I already saw your entire body.”

Sebelah tangan Natha meremat cup es batu yang dipegangnya. Menatap Harvey dengan tatapan jengkel lalu ia langsung memalingkan wajahnya ke arah lain.

“Tapi gua bisa jaga diri gua sendiri, gak perlu sampe lo pantau gua segitunya.” Tutur Natha pelan, namun nadanya terdengar tegas. “Gua cowo dan gua bisa bela diri, jadi jangan karena gua bagian bawah lo bisa ngontrol gua seenaknya kayak gitu.”

Telunjuk Harvey menekan dahi Natha sekilas. “Tapi lo ceroboh, Dimitri. Lo gak tau bahaya apa aja yang ngancem lo di luar sana. Fine, mungkin saat ini lo belum merasa, tapi besok? Gak ada yang tau.”

Natha tidak menjawab, ia terdiam sambil mengaduk-aduk kembali es batunya yang kini sudah mulai mencair. Hembusan nafasnya terhela gusar, masih menimbang perkataan Harvey barusan.

“Look.” Harvey mengulurkan ponselnya pada Natha, menunjukan sebuah foto buram yang sepertinya diambil secara diam-diam itu. “Orang ini udah dua kali gua tangkep berusaha ngedeketin lo saat di dance floor. Informasinya masih gua cari sampe sekarang.”

Mata Natha menyipit menatap layar ponsel Harvey, menunjukan seorang lelaki dengan pakaian tertutup berada di sekitaran Natha saat di club. Terlihat sedikit mencurigakan karena lelaki itu hanya terdiam sambil menatap ke arah Natha.

Harvey taruh ponselnya kembali, ia menyentuh dagu Natha lalu mengangkat wajah cantik itu agar kembali menatapnya. “Kalo lo mau jadi pembangkang, terserah, gua gak peduli. Tapi buat yang ini, nurut sama gua. Gua gak mau lo kenapa-kenapa di luar sana karena lo tanggung jawab gua, Natha.”

Keduanya terdiam selama beberapa saat, Natha hela nafasnya berat. Ia kemudian mengambil ponselnya yang terletak di bawah selimut, menaruhnya pada bagian perut Harvey tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Es batu di dalam cup kembali terangkat, masuk ke dalam mulut Natha lalu suara giginya yang bergemeletuk dengan es batu kembali terdengar. Ia pejamkan kelopak matanya lalu menyamankan kembali posisi bersandarnya pada pundak Harvey.

Tidak berapa lama, Natha bisa merasakan jika Harvey menaruh kembali ponsel miliknya di tempat semula. Dahi Natha mengeryit, ia buka kembali kelopak matanya lalu menoleh menatap Harvey.

Harvey yang paham, langsung tersenyum tipis. “Dont use your birthday for the pass. Terlalu gampang, ganti yang lebih susah.”

“Kok lo tau tanggal lahir gua?”

“Gak ada yang gua gak tau tentang lo.” Harvey mendekatkan bibirnya pada telinga Natha. “Bahkan alasan lo takut gelap pun, gua tau, Natha.”

Natha berdecak jengkel. “Jangan gunain kekuasaan lo buat nyari tau semua hal tentang gua.”

“Kenapa? Salah kalo suami lo sendiri nyari tau tentang lo?”

“Lo mending diem deh, Vey. Gua lagi gak mau marah-marah buat saat ini, dan lo seharusanya seneng karena gua mau nurut sama lo sekarang.”

Harvey tersenyum puas. Kembali berbisik di telinga Natha. “You look more sexier when you act like this, Natha Tanjung. The submissive.”

“Shut the fuck off.” Desis Natha, kelopak matanya kembali terbuka dan ia menatap tajam ke arah Harvey yang terkekeh. “It's more useful if your lips are used to kiss me than talking a nonsense.”

“Someone being addicted to my lips right now.” Harvey angkat kembali dagu Natha, wajahnya ia majukan dan bibir semerah cherry itu kembali ia sentuh. “Manis, sama kayak yang punya.”

Disela-sela kuluman Harvey pada bibirnya, semburat kemerahan menghiasi wajah Natha kembali.

Akhir pekan tiba.

Natha akhirnya terbangun dengan wajahnya yang merengut kesal akibat alarm yang masih berbunyi kembali, padahal limabelas menit lalu seingatnya ia sudah mematikan alarm tersebut.

Kelopak matanya kemudian terbuka, mulutnya menguap lalu menyibak selimut tebal yang dipakainya. Meraih remot pendingin ruangan lalu mematikannya. Natha terdiam beberapa saat dengan posisi terduduk di pinggir kasur selagi mengumpulkan nyawa, kepalanya menoleh kebelakang, menatap cahaya matahari yang masuk melalui celah-celah gorden.

Ia kemudian bangkit, merapihkan kasur terlebih dahulu baru membuka gorden serta menggeser pintu balkon agar udara pagi masuk. Natha kemudian melangkah masuk ke dalam kamar mandi untuk menyikat gigi dan membasuh muka bantalnya. Setelah selesai, ia keluar dengan keadaan yang lebih segar.

Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri dengan bingung, hal pertama yang ia raih setelahnya adalah ponsel. Natha mengecek beberapa pesan masuk serta akun media sosialnya selama beberapa menit, sebelum perutnya tiba-tiba berbunyi. Ia kemudian mengingat jika hal terakhir yang masuk ke dalam perutnya adalah mashed potato kemarin siang.

Ponselnya ia taruh kembali ke atas kasur, Natha kemudian berjalan keluar dari kamar. Hening menyapa ketika ia baru melangkahkan kakinya keluar, menatap pintu kamar Harvey sesaat sebelum berpaling karena otaknya kembali memutar kejadian memalukan yang ia lakukan di pinggir toll dengan Harvey.

Natha ingat, setelahnya ia berinteraksi begitu canggung dengan Harvey, bahkan mungkin hingga saat ini. Ditambah ia sempat bersitegang dengan Harvey selepas acara keluarga malam itu. Walaupun Natha sudah meminta maaf dan hubungan mereka mulai membaik, tapi itu tidak menghilangkan rasa kikuk Natha jika ia berpapasan dengan Harvey di rumah.

Kakinya turun menapaki tangga, Natha menyibak piyama katunnya yang berwarna biru langit hingga perut ratanya terekspos, ia mengelus-elus kembali perutnya yang semakin berdemo minta diisi. Namun ketika sampai di dapur, Natha mengeryitkan alisnya.

“Lah si bibi kemana?” Tanyanya bingung begitu melihat keadaan dapur yang bersih. Natha mendekat ke arah counter dan mendapati sepiring roti bakar dengan slai strawberry diatasnya, serta segelas susu yang belum tersentuh sama sekali. “Ini punya siapa? Harvey?”

Natha terlihat kebingungan, tapi ketika ia mendengar suara kecipak air yang berasal dari halaman belakang, kakinya langsung melangkah mendekat. Letak celananya ia benarkan terlebih dahulu, yang mana malah membuat celana tidur yang dipakai hanya menutupi setengah pahanya.

Begitu Natha tiba di perbatasan ruangan dengan halaman belakang, ia seketika terdiam. Menatap Harvey yang baru saja keluar dari dalam air, menyibak rambutnya ke belakang lalu matanya langsung mengarah ke arah Natha yang terdiam ditempatnya.

“Baru bangun?” Sapa Harvey, ia berdiri di sisi kolam dengan kedua tangannya yang bertumpu pada pinggiran. “Itu di meja punya lo. Bibi gak dateng hari ini, anaknya sakit.”

Natha menganggukan kepalanya. Ketika hatinya mengatakan ia harus berbalik ke dapur, namun pada nyatanya Natha malah berjalan mendekat ke arah kolam. Rasa kikuk yang menyelimutinya tiba-tiba hilang entah kemana.

“Lo tumben gak ke gym?” Tanya Natha, kepalanya kemudian mendongkak, menatap cahaya matahari sesaat lalu kembali menunduk untuk menatap Harvey. “Sarapannya lo yang bikin?”

Harvey mengangguk, kepalanya masih setia mendongkak menatap wajah Natha yang begitu cantik terkena sinar pagi. “Tadinya mau ke gym, tapi kayaknya berenang pagi enak jadi ya gua berenang aja.”

“Ooh.” Natha melangkah semakin mendekat ke arah kolam, kakinya berada di sisi kolam lalu kepalanya menatap ke dalam kolam. “Ini dalemnya seberapa?”

“Kenapa? Mau berenang juga?” Tanya Harvey.

“Nanya aja, kayaknya dalem.”

“Kenapa gak coba dulu aja?”

Natha kembali menggeleng, ia kemudian jongkok disisi kolam. Menatap tubuh Harvey yang tergenang air hingga hampir menyentuh dagu. Ia kemudian meringis, membuat Harvey seketika terkekeh.

“Gak dalem. Ini cuman kolam renang rumah, bukan buat olimpiade. Kaki gua aja napak ke lantainya.”

Perkataan Harvey dibalas gelengan oleh Natha, ia kembali meringis, berjengit ketika Harvey dengan iseng menyipratkan air pada wajahnya. Ekspresi wajah Natha kemudian berubah kesal, balas menyipratkan air pada wajah Harvey.

“Harvey!” Sentak Natha begitu Harvey lebih banyak menyipratkan air padanya, membuat piyama yang dipakainya basah. Natha ulurkan kembali tangannya untuk menyibak air kolam dengan kencang, suara tawanya mengalun. “Rasain!”

Natha kembali tertawa melihat Harvey yang mengucek kedua matanya ketika air kolam tidak sengaja masuk. Ia kemudian berjongkok di sisi kolam, melihat kembali ke dalamnya kolam sebelum mendudukan dirinya di sana. Kakinya ia masukan ke dalam air, ringisan pelan kembali Natha keluarkan ketika merasakan dinginnya air kolam.

“Vey, ini dingin.” Katanya sambil menoleh ke arah Harvey yang menatapnya. “Lo gak dingin?”

Gelengan Harvey berikan sebagai jawaban. “Gak mau ikut nyebur?”

“Enggak dulu deh. Lo aja.”

Harvey kemudian menaikan kedua bahunya singkat, ia kemudian berbalik dan menenggelamkan seluruh tubuhnya masuk ke dalam air. Natha memperhatikan, bagaimana cepatnya Harvey berpindah dari sisi kolam yang satu, ke sisi kolam yang lain.

Kakinya yang masuk ke dalam air, Natha ayunkan pelan. Kedua tangannya bertumpu di sisi tubuhnya, kepalanya kembali mendongkak. Gumpalan awan serta birunya atmosfer menjadi pemandangan pagi yang begitu menyejukan.

Ada sesuatu yang aneh dalam dirinya sekarang, terlebih setelah kejadiannya berciuman dengan Harvey kemarin. Mungkin kalau boleh jujur, Natha ingin lagi. Lalu ketika pikirannya kembali memvisualisasikan kegiatannya dengan Harvey kala itu, Natha tersentak lalu menggelengkan kepalanya.

Fokusnya ia taruh pada riak air kolam, arah pandangannya mengikuti kemana Harvey bergerak. Rasa ingin ikut bergabung memenuhi pikiran Natha, namun ketika mengingat kembali dalamnya air kolam, ia usir pikirannya itu jauh-jauh.

Namun, sesuatu kembali menyentak pikirannya.

'Jadi, begini ya rasanya berumah tangga?'

Natha termenung, mengingat kembali hal-hal baru yang ia rasakan ketika dirinya sudah tidak satu rumah lagi bersama kedua orangtuanya. Terlebih ia kini menghabiskan hari-harinya berada di satu atap yang sama dengan Harvey.

Tapi lamunan Natha tiba-tiba terpecah ketika sesuatu menarik kakinya kuat, ia masuk ke dalam air. Natha langsung bergerak panik ketika kakinya tidak menemukan lantai dasar kolam.

“Harvey!!”

Kepala Harvey kemudian menyembul dari dalam air, ia tertawa. Kedua tangannya dengan cepat merengkuh tubuh Natha, membuat Natha langsung memeluk erat leher Harvey dengan jantungnya yang berdetak cepat.

“Tenang, gak dalem kok.”

Natha menggeleng kuat, nafasnya menderu. Kakinya yang menggantung di dalam air membuat Natha semakin erat memeluk leher Harvey, ia hampir menangis kaget.

“Please, please, mau naik.” Pintanya, tapi Harvey malah membawa kakinya melangkah ke tengah kolam. Membuat Natha juga mengikuti kemana Harvey berpindah posisi. “Harvey! Gamau! Ini dalem banget. Please, mau naik!”

Punggung Natha diusap pelan, “Tenang, jangan panik. Panik malah bikin sesuatu jadi lebih buruk, Natha.”

“Bawa gua naik atau gua gigit leher lo!” Kata Natha galak.

“Gigit aja. Kemaren-kemaren juga di gigit, kan?”

Sebetulnya, Natha ingin sekali menampar wajah Harvey bolak balik namun karena situasinya tidak memungkinkan, Natha hanya bisa mencubit punggung Harvey hingga sang empu berjengit. Tapi Harvey tidak diam saja, ide jahil kembali melintas dipikirannya. Dengan tiba-tiba, Harvey tenggelamkan seluruh tubuhnya masuk ke dalam air, yang mana mau tidak mau Natha pun ikut masuk bersamanya.

Natha berteriak panik tapi suaranya teredam oleh air kolam, ia semakin merapatkan tubuhnya pada Harvey dan hampir membuat Harvey tercekik. Karena selain gelap, Natha juga sedikit takut dengan kedalaman air.

Tubuhnya kemudian keluar dari dalam air, diikuti Natha setelahnya. Suara tawa Harvey menggema kembali, ia menolehkan kepalanya ke arah Natha yang kini terdiam dengan tubuh yang gemetar.

“I'm so sorry, Natha. It's just kidding.”

“Gak lucu!” Natha merengut, mengatur nafasnya yang sempat tersedak air kolam. Ia kemudian benar-benar mengigit Harvey, namun dibagian pundak. “Balesan buat kelakuan lo yang gak lucu tadi!” Katanya galak.

Kekehan pelan menjadi sahutan, kedua tangannya Harvey taruh di punggung Natha lalu kakinya berjalan kembali ke sisi kolam. Merapatkan tubuh Natha hinga punggung suami cantiknya itu menyentuh tembok kolam.

Keduanya sama-sama terdiam, tapi perlahan Harvey bisa merasakan kedua kaki Natha yang bergerak melingkari tubuhnya di dalam air. Pelukan semakin rapat, keduanya larut dalam pikiran masing-masing.

“Nath.” Harvey berbisik bergitu pelan, hampir tidak mengeluarkan suara namun Natha bisa mendengarnya dengan jelas.

Tidak lama, Natha melonggarkan pelukannya pada leher Harvey. Mata mereka kemudian bersitatap, ujung hidung hampir saling bersentukan. Dan secepat membalikan telapak tangan, Harvey bergerak maju dan meraup bibir Natha dalam waktu kurang dari lima detik.

Natha tidak menolak, ia malah memejamkan matanya lalu membalas lumatan yang Harvey berikan. Tubuhnya semakin merapat pada tembok kolam, terhimpit oleh tubuh Harvey yang begitu melingkupi tubuhnya.

Satu tangan Harvey naik, menyentuh tengkuk Natha lalu menekannya pelan. Satunya lagi ia taruh pada pinggang Natha yang berada di dalam air. Ciuman mereka begitu menggebu, baik Natha maupun Harvey tidak ingin melewatkan satu inchi pun bibir satu sama lain.

Dinginnya air kolam tidak mengurungkan niat mereka untuk semakin memperdalam ciuman. Dua bibir bergerak begitu rakus, melumat dan mengigit dengan tensi keduanya yang semakin meningkat.

“Ahh.”

Desahan pertama Natha lolos begitu tangan Harvey yang berada dipinggangnya, kini bergerak masuk ke dalam piyama basah yang dipakainya. Mengelus perut ratanya hingga berakhir menyentuh sebelah putingnya yang menegang.

Mulut Natha terbuka, membiarkan lidah panas Harvey masuk dan menyentuh langit-langit mulutnya. Tubuh mereka semakin rapat, bahkan Natha bisa merasakan otot-otot tubuh Harvey yang begitu terasa menyentuh kulitnya.

Natha turut menggerakan lidahnya, membelit bersama lidah Harvey yang masih begitu lihai memberikan afeksi. Suara decakan pelan beradu dengan merdunya kicauan burung di pagi hari.

Nafas keduanya mulai terengah, tapi mereka belum ada niatan untuk melepas bibir masing-masing. Malah semakin meraup bibir lawan seperti tidak mau mengalah, berulang kali menggerakan kepala ke kanan dan ke kiri untuk berusaha melumat dengan begitu rakus.

Kepala Harvey lah yang lebih dahulu menjauh, melepas bibirnya ketika Natha masih melumat bibir bawahna seperti sebuah permen. Dahi mereka bertemu, pancaran mata seperti mengatakan jika mereka begitu menginginkan satu sama lain.

Tapi Natha kembali meraup bibir Harvey dengan cepat, melakukan pergerakaannya yang tertunda hinggai ia merasa puas. Ciumannya begitu berantakan, namun sensasinya hampir membuat gila.

Bibir Harvey dikecup berulang kali, Natha menjauhkan wajahnya ketika ia merasakan jika dadanya mulai sesak. Harvey menyeringai, begitu pula dengan Natha yang kini mendengus geli.

“Next or stop?”

Seringai di wajah Natha perlahan tercipta. “Next.”

Dengan begitu, Harvey angkat tubuh Natha hingga keluar dari dalam kolam lalu ia menyusul setelahnya. Keduanya terduduk di tepi kolam dengan posisi Natha yang duduk di pangkuan, bibir kembali bertemu, kancing piyama yang dipakai Natha satu per satu terbuka.

Namun ketika Harvey hendak melepas piyamanya, Natha tiba-tiba menahan pergerakan tangan Harvey, membuat ciuman mereka terlepas dan Harvey menatap bingung ke arah Natha.

“Jangan disini.” Natha berbisik lirih. “Dingin.”

“Where do you want it, baby?”

Sudut bibir Natha terangkat, ia mengecup bibir Harvey sekilas lalu mendekat ke arah telinga suaminya itu.

“A warm place. I know someone who just bought a big mirror yesterday, and put it in front of his bed.”

Harvey mendengus, ia turunkan tangannya lalu meremas pantat Natha dengan gemas. “You get what you want, Natha Tanjung.”

Dua pintu kamar terbuka secara bersamaan, dua pasang mata saling bertatapan selama beberapa detik sebelum Natha yang pertama kali memutus kontaknya. Pintu kamar tertutup, Natha jalan terlebih dahulu diikuti Harvey dibelakangnya.

Satu hembusan nafas berat Natha hembus, ia membenarkan sedikit kemejanya agar terlihat lebih rapih. Dibelakangnya, Harvey menatap Natha dengan senyum tipis.

“Eh!” Langkahnya terhenti di anak tangga terakhir, Natha membalikan tubuhnya ke arah Harvey yang menatap bingung ke arahnya. “Kunci mobil gua ketinggalan di kamar!”

Kakinya langsung menapaki kembali anak tangga menuju lantai atas, namun langkah Natha seketika terhenti kembali ketika Harvey menahan langkahnya.

“Naik mobil gua.” Katanya singkat, cekalannya pada tangan Natha ia lepaskan. “Gak mungkin kita naik mobil masing-masing, kan?”

Natha terdiam, tidak memberikan respon apapun hingga Harvey merasa aneh karena arah pandang Natha seperti sedang menatap sesuatu yang lain di wajahnya. Mata Natha perlahan menyipit, kepalanya mendekat ke arah Harvey.

“Itu.” Telunjuknya menunjuk mahakaryanya saat mabuk kemarin. “Belum ilang banget.”

Harvey mendengus, menatap bola mata bulat Natha yang kini juga menatapnya. “Foundationnya ada di mobil, lo yang pakein.”

“Dih, apa-apaan!” Protes Natha spontan, “Kemaren lo bisa pake sendiri kan?”

Wajah Harvey mendekat, hanya menyisakan beberapa senti dari wajah Natha. Seringainya tercipta tipis. “Kalo ada pelakunya, kenapa gak minta tanggung jawab sekalian?”

Mengerti maksud ucapan Harvey barusan, Natha langsung memasang ekspresi cemberut. Ia mendorong wajah Harvey menjauh lalu membalikan badannya, berjalan cepat menuju pintu utama rumah. Harvey hanya terkekeh geli melihat reaksi yang Natha berikan.

Natha berdiri di samping pintu penumpang dengan ekspresi yang masih sama. Harvey mendekat setelah selesai mengunci gerbang, dan Natha langsung masuk ke dalam mobil begitu remote key di tekan.

Tangan Harvey terulur, meraih handle pintu lalu membukanya. Ia masuk ke dalam mobil lalu menutup pintunya kembali, mesin dinyalakan, suhu ac diatur. Setelahnya, ia menatap Natha yang menunduk karena sedang memainkan ponselnya.

“Natha.”

“Hm.” Sahut Natha tanpa menolehkan kepalanya.

Harvey kemudian mengambil foundation pada center tunnel mobil yang dibeli beberapa hari lalu, menaruhnya pada pangkuan Natha. Membuat Natha langsung mengangkat wajahnya dan menatap ke arahnya.

“Apa nih?” Tanyanya dengan Nada jutek. Ia kemudian melengos. “Pake aja sendiri.”

“Natha Tanjung.”

Natha langsung memejamkan matanya, ia mengambil nafas panjang lalu menghembuskannya bersamaan dengan kelopak matanya yang kembali terbuka.

“Dimitri, not Tanjung.”

Kedua alis Harvey terangkat, memasang kode agar Natha segera melakukan apa yang ia perintahkan sebelumnya. Matanya menatap lurus ke arah Natha hingga akhirnya Natha berdecak dan mengambil foundation yang berada dipangkuannya. Lampu kabin dinyalakan terlebih dahulu.

Roda mobil berputar, Harvey melajukan mobilnya dengan kecepatan cukup pelan selagi Natha menyamarkan bercak kemerahan yang dibuatnya pada leher Harvey. Tubuh Natha condong ke kanan, ia dengan telaten menaruh foundation pada kulit Harvey dengan ujung telunjuknya.

'liar banget gua anjir! gak lagi-lagi deh mabok sampe tepar' Batin Natha sambil secara tidak sadar membuat ekspresi wajah merengut.

Harvey melirik Natha dengan ujung matanya sekilas, ia kemudian terkekeh, membuat Natha refleks menghentikan pergerakannya lalu menatap bingung ke arah Harvey.

“Ngapain lo ketawa-ketawa?” Tanya Natha dengan nada judes, dibalas gelengan oleh Harvey lalu ia melanjutkan tugasnya kembali. Namun Harvey lagi-lagi terkekeh. “Harvey! Apa sih? Ngetawain apaan lo?!”

“Gak ada.” Sahut Harvey singkat.

Natha mendengus, ia meyelesaikan 'tanggung jawabnya' dengan cepat lalu menaruh foundation yang berada di tangannya pada dashboard mobil. Mengelap punggung tangannya dengan tissue yang ada lalu melirik ke arah Harvey sekilas.

“Udah ketutup tuh, jangan nyuruh-nyuruh gua lagi.” Katanya sambil membenarkan posisi duduknya, lalu mematikan kembali lampu kabin.

“Thanks.”

Kecepatan mobil mulai bertambah, Natha yang paham jika Harvey tidak bisa pelan dalam mengemudikan mobil hanya berdoa di dalam hati agar ia masih bisa menjemput hari esok.

Apalagi ketika mereka sudah sampai pada pintu masuk toll, sebelah tangan Natha secara tidak sadar mencengkram seatbelt yang dipakainya. Ia ambil nafasnya panjang lalu menoleh sekilas ke arah Harvey yang terlihat santai.

“Vey.”

Harvey menoleh sekilas. “Ya?”

“Lo emang kaya gini, ya?” Tanya Natha, alis Harvey mengkerut bingung. Namun sebelum ia membuka suara, Natha langsung melanjutkan ucapannya. “Maksud gua, kalo mau mati, jangan ajak gua. Please, pesenan bucket bunga masih ada tigapuluh-enam waiting list.”

Mendengar perkataan Natha, suara tawa Harvey menggema. Ia menoleh sekilas ke arah Natha yang memasang ekspresi was-was. Iseng, ia tekan pedal gas semakin dalam, membuat Natha langsung memejamkan matanya.

“Takut?” Tanya Harvey singkat.

“Kalo sekarang gua lagi pegang gagang sapu, mungkin muka lo udah gak berbentuk gara-gara gagang sapu.”

Suara tawanya kembali menggema, setelah itu senyum di wajahnya merekah. Harvey bawa satu tangannya untuk mengacak-acak rambut Natha sebelum memelankan laju kecepatan.

'dia barusan ngapain?' Tanya Natha pada dirinya sendiri. 'kepala gua... diusap-usap?'

Kelopak matanya perlahan terbuka, kepalanya menoleh ke arah Harvey yang masih memasang senyum di wajahnya. Otak Natha tiba-tiba tidak berfungsi, pandangannya lurus menatap ke arah Harvey.

Menyadari Natha yang terdiam menatapnya, Harvey menolehkan kepalanya kembali. Dahinya mengkerut, bingung melihat Natha yang tiba-tiba termenung itu.

“Natha?” Tidak ada sahutan dari Natha, membuat Harvey sedikit memelankan laju mobilnya. Satu tangannya kembali terulur untuk menyentuh wajah Natha. “Hei.”

“Vey.” Natha menyingkirkan tangan Harvey yang berada di wajahnya. Ia geser sedikit posisi duduknya ke arah kanan. Suaranya mengalun begitu pelan. “Mau ciuman gak?”

Lexus hitam metalik itu hampir saja berhenti mendadak di tengah laju jalan toll yang cepat. Harvey langsung menyalakan sen kiri, mobil masuk pada jalur lambat. Ia menoleh kembali ke arah Natha yang masih menatap kosong ke arahnya.

Laju semakin melambat sebelum akhirnya mobil berhenti pada bahu jalan. Lampu hazard dinyalakan, pandangan Harvey menatap lurus ke arah Natha yang terdiam.

“Kenapa mau cium?”

“Mau aja.”

Ada jeda cukup lama sebelum Harvey kembali bersuara. “Sadar?”

Natha mengangguk.

Dengan begitu, Harvey kemudian memundurkan jok hingga full. Ia tepuk pahanya, mengisyaratkan Natha untuk duduk disana. Satu tangannya tetap berada di stir mobil, satunya lagi melepas seatbelt yang dipakai Natha lalu meraih tubuh Natha yang kini mulai berpindah posisi.

Begitu Natha sudah berada dipangkuannya, mata tajam Harvey menatap pahatan indah didepannya dengan seringai tipis. Tangan kirinya naik, mengelus permukaan pipi Natha yang lembut. Lalu dengan cepat menarik kepala Natha untuk mendekat.

Kedua tangan Natha ditaruh pada pundak Harvey, matanya terpejam, kepalanya sedikit miring ke arah yang berlawanan dengan Harvey. Kedua bibir itu kembali bertemu pada satu pagutan yang tidak disangka-sangka.

Tidak ada yang tahu apa yang dipikirkan Natha sekarang, baru beberapa saat lalu ia melayangkan rasa kesalnya pada Harvey namun sekarang ia berada di pangkuan suaminya itu.

Harvey mengelus pinggul Natha, bibirnya membalas setiap lumatan yang Natha berikan. Keduanya begitu larut, nafas semakin memberat, suara decakan pelan mulai memenuhi penjuru mobil. Seakan-akan melupakan agenda yang harus mereka hadiri malam ini.

Satu tangan Natha bergerak untuk meremat rambut Harvey begitu lidah panas suaminya itu mulai bergerak. Natha buka mulutnya, lidah mereka berakhir dengan saling membelit satu sama lain.

“Ahh.” Suara halus Natha terlepas begitu Harvey melumat bibir bawahnya cukup kuat. Ia balas dengan melumat bibir atas Harvey seperti apa yang suaminya lakukan itu.

Dahi menempel pada dahi, Harvey menjauhkan wajahnya perlahan begitu menyadari nafas Natha yang mulai memendek. Benang saliva memanjang dari bibir keduanya, kelopak mata Harvey yang terbuka sejak awal itu menatap Natha sejenak.

Lalu ia berikan kecupan-kecupan ringan pada bibir Natha berulang kali. Natha memajukan posisi duduknya, membuat tubuh bagian bawah keduanya menempel tanpa celah. Ciuman Harvey perlahan turun, menyentuh dagu lalu berakhir pada leher Natha yang masih bersih.

Punggung Natha memundur, menyentuh stir mobil ketika Harvey bawa lebih bawah kecupannya pada leher Natha. Kedua tangan Natha memeluk Harvey, kepalanya mendongkak, bibirnya yang mengkilat terbuka kecil.

Harvey kecup titik yang sama berulang kali sebelum ia berikan satu tanda merah disana. Jari-jari Natha meremat kuat rambut Harvey, bibir bawahnya ia gigit, nafasnya menderu berat.

“Harvey.” Bisik Natha begitu pelan. Merasakan jika Harvey memberikan satu titik lagi pada lehernya. “Ughh.”

Kecupan Harvey merambat kembali ke atas begitu dua titik merah pekat sudah berada di leher Natha. Bibirnya berhenti pada bibir Natha yang terbuka, melumatnya kembali.

Sebelah tangan Natha turun, mengelus pundak, dada, hingga berhenti pada perut Harvey yang ia bisa rasakan otot-ototnya dibalik kemeja yang dipakai Harvey. Atmosfer di dalam mobil mendadak memanas, rintikan air hujan yang mulai membasahi kaca mobil terabaikan.

Namun, pergerakan dua bibir itu mendadak terhenti ketika dering ponsel Natha menggema. Kelopak matanya terbuka, mengerjap dengan cepat lalu langsung melepas pagutan keduanya.

Mereka saling bertatapan selama beberapa saat sebelum Natha tersadar kembali, ia menundukan padangannya, berjengit kaget ketika menyadari jika dirinya berada di pangkuan Harvey. Wajahnya ia angkat, menatap Harvey yang masih terdiam dengan seringai tipisnya.

“A-aa, sorry, sorry.” Natha buru-buru memalingkan wajahnya. Pergerakannya begitu kikuk, mendadak bingung dengan langkah apa yang harus ia ambil sekarang.

Kedua tangan Harvey kemudian mengangkat tubuh Natha, membantu lelaki cantik itu duduk kembali pada kursinya. Rona kemerahan menghiasi seluruh wajah Natha, ia meraih ponsel dalam kantung celananya lalu menggesel tombol hijau pada ponselnya ke kanan, menaruhnya pada telinga lalu suara cempreng Nasha menggema dari sana.

'Heh! Kemana lu? Jangan bilang beneran gak dateng sama Harvey!'

“Iya, iya sebentar.” Natha menoleh sekilas ke arah Harvey yang menatapnya, ia langsung alihkan kembali pandangannya dengan kikuk begitu mata mereka saling bersitatap. “Gua lagi di jalan sama Harvey, agak telat soalnya, soalnya ah itu! Tadi gua gak sengaja mecahin vas bunga waktu berangkat jadi harus ngeberesin dulu.”

'Ck, yaudah cepetan. Ini mertua lu udah dateng, nyariin kalian berdua.'

“Iya sabar ini lagi di jalan kok.”

'Oke ditunggu. Gua tutup telfonnya ya, see u!'

Hembusan nafas lega Natha keluarkan, ia memasukan kembali ponselnya ke dalam saku celana. Kepalanya menoleh ke kanan dan kiri dengan linglung sebelum tangannya kemudian menarik kembali seatbelt.

“Ayo jalan, Mama sama Papa udah disana.” Katanya gugup.

Tapi Harvey masih terdiam sambil menatap Natha, ia kemudian mendengus geli. Tangannya terulur, membuat Natha sedikit tersentak begitu Harvey menarik dagunya agar ia menghadap ke arah suaminya itu.

Ibu jari Harvey kemudian mengusap bibir bawah Natha yang sedikit membengkak. Ia angkat sedikit dagu Natha agar bola mata bulat itu menatap ke arahnya. Harvey majukan sedikit wajahnya hingga Natha refleks memundurkan kepalanya.

“Natha.” Panggilnya dengan suara beratnya. “Beneran sadar kan sama apa yang dilakuin tadi?”

Natha buru-buru mengangguk, membuat Harvey menjauhkan wajahnya lalu melepas dua jarinya dari dagu Natha. Ia kemudian berpaling, menarik rem tangan lalu sen kanan mobil menyala, Lexus hitam itu masuk kembali pada jalur lambat.

“Masih inget kan naro foundationnya di mana? Pake sendiri karena gua harus nyetir.”

Tidak ada sahutan, Natha merutuki dirinya sendiri yang tiba-tiba terjangkit virus human error. Kalau bisa, mungkin ia akan mengetuk-ngetuk beton pembatas jalan dengan kepalanya sambil menyumpahi dirinya sendiri.

'FUCKK!!! GUA BARUSAN NGAPAINN!!'

Natha masuk kembali ke dalam club dengan pakaian yang berbeda. Setelah ditinggalkan Deon dan Ellio berganti baju, Natha yang tadinya masih merasa bimbang akhirnya menyusul ke dua temannya untuk memakai pakaian yang lebih tetutup sedikit. Karena bagaimana pun, mereka datang di club baru yang belum pernah sama sekali mereka injak. Kalau kata Ellio, mencoba hal baru itu menyenangkan.

Lebih menyenangkan dari membuat kulit risol setiap hari.

Croptop kesayangannya Natha lempar ke atas sofa, lalu mendudukan dirinya kembali disana. Ekspresi wajahnya merengut masam, menatap Deon serta Ellio yang kini sudah mulai meneguk cairan putih digelasnya masing-masing.

Bungkus rokok terlempar ke arah Natha, Deon menatap sahabatnya yang belum menyentuh minumannya sama sekali. “Udah ilah, sekali doang. Besok kita ke club biasa aja biar lu bisa pake croptop-croptop kesayangan lu.”

Natha membuang nafasnya berat, ia mengambil gelasnya lalu meneguk cairan yang ada dalam satu shoot. Menyerahkan kembali bungkus rokok itu pada Deon. “Lagi gak mood.”

“Udah, minum aja kalo gitu. Enjoy aja sih, Nath. Lu malah lebih seksi pake kemeja kegedean gitu.” Puji Ellio, berusaha membuat suasana hati Natha kembali membaik.

“Ini kemeja siapa deh? Kok ada di mobil lo?” Tanya Natha, ia menuangkan isi dari dalam botol berwarna kuning keemasan itu. “Tumben banget soalnya lo bawa kemeja, masih baru lagi.”

Ellio menaikan bahunya acuh. “Lupa. Kayaknya waktu itu gua beli buat dikadoin, tapi gak jadi gua kasihin.”

Natha hanya menganggukan kepalanya. Satu gelas, dua gelas, hingga cairan di gelas ke lima sudah masuk ke dalam tubuhnya. Masih ada tiga botol lagi di atas meja, mereka memang sengaja memesan lebih banyak minuman malam ini hitung-hitung menghibur Ellio yang sedang patah hati.

Jangan khawatir, mereka bertiga memiliki toleransi yang lumayan pada alkohol. Namun tidak memungkinkan untuk Natha yang terkadang bisa langsung hangover di gelas ke tujuh atau sepuluh.

Mood Natha yang tadi sempat memburuk perlahan kembali membaik. Ia kini sudah mulai tertawa sambil bersulang dengan Deon serta Ellio. Kemeja hitam kebesaran yang dipakainya malah membuat Natha terlihat semakin mempesona, ditambah ia tidak mengancingkan dua kancing teratasnya.

Natha mungkin tidak mengetahui jika ada campur tangan Harvey disini, dan juga tidak mengetahui jika suaminya itu diam-diam memperhatikan setiap pergerakannya dari lantai dua club. Matanya bergerak seperti elang yang sedang memburu mangsa.

Harvey tidak akan membiarkan tubuh Natha kembali menjadi tontonan banyak orang lagi. Tidak akan pernah.

Semua pengunjung club memang sengaja Harvey beri perintah untuk memberikan tatapan tidak menyenangkan pada ketiganya, berharap Natha mengganti pakaiannya dengan yang lebih tertutup. Tentu saja itu hal mudah bagi Harvey. Club ini berada dibawah naungan namanya, bukan tidak mungkin ia bisa mengatur semua orang yang berada di dalam sini.

Termasuk Natha.

Jika dipikir bagaimana Harvey bisa tahu kalau Natha akan datang kemari, mungkin Deon dan Juna memiliki andil disini. Hanya dengan menyuruh Juna berbasa-basi dengan Deon, Harvey dapat dengan mudah mencari keberadaan Natha.

Punggungnya bersandar pada single sofa yang menghadap langsung pada lantai dasar club. Tentu saja hanya terhalangi oleh kaca film oneway yang membuat Natha tidak bisa menyadari keberadaanya. Lantai dua memang menjadi tempat yang cukup private, hanya orang-orang tertentu serta yang sanggup membayar harga lebih lah yang bisa naik kesini.

Beruntungnya lagi, Natha mengambil meja yang begitu strategis. Membuat Harvey bisa memantau pergerakan Natha sekecil apapun itu.

Harvey gunakan sebelah tangannya untuk membuka satu lagi kancing kemeja satin hitam yang dipakainya. Tidak terlalu ketat, namun mencetak jelas tubuh proposional Harvey dengan tatto tribal yang mengintip dari celah, serta lengan kemeja yang tergulung hingga siku seperti yang biasa ia lakukan. Dan jangan lupakan potongan rambut dengan model undercut menambah point plus Harvey malam ini.

“You falling too deep for him.”

Kepalanya menoleh, menatap salah satu pegawainya yang kini sedang menuangkan minuman pada gelasnya kembali.

“Of course,” Harvey mendengus geli. “That little brat, is my husband.”

Pegawai bernama Sarah itu tersenyum, sebelah tangannya mengelus pundak Harvey. “He's so pretty. The stunning doll.”

Senyum bangga Harvey tercipta. Ia menolehkan kepalanya lagi untuk menatap Natha yang kini sudah mengangat gelasnya tinggi-tinggi, lalu kembali tertawa bersama kedua temannya itu.

“What do you think about him?”

“Nothing. Just pretty at all.”

Lagi-lagi Harvey mendengus geli. “You get your holiday, Sarah. Tell Jonas do not impregnate you first, you still had your contract.”

Sarah terpekik senang, ia mengelus pundak Harvey sekali lagi sebelum mengucapkan terima kasih. Perempuan dengan dress merah yang begitu minim itu akhirnya berlalu, meninggalkan Harvey sendiri.

Gagang gelas Harvey raih, namun ia tidak langsung meminumnya. Ia naikan sebelah kakinya untuk bertumpu pada kakinya yang sebelah lagi, wajahnya terangkat angkuh, mata elangnya tetap memperhatikan Natha yang begitu menggairahkan di bawah sana.

“Natha Tanjung.” Gumam Harvey pelan, seringai tipis muncul diwajahnya. “It's better than Dimitri.”

Suara intro musik dimulainya 'It's time for the party' membuat Natha bangkit dari duduknya, begitu pula Deon serta Ellio. Seperti biasa, Natha selalu membawa gelasnya turut serta menuju dance floor, itu seperti sudah menjadi kebiasannya setiap saat.

Pinggul Natha mulai meliuk pelan, ia sibak rambutnya kebelakang kemudian tertawa sambil merangkul pundak Ellio. Semakin kakinya melangkah ke arah panggung utama, semakin tinggi juga rasa kesenangan dalam dirinya.

Namun kali ini, tidak ada satupun pengunjung lain yang mendekatinya. Tidak seperti ketika ia berada di club yang biasa ia kunjungi, satu atau dua penggunjung lain pasti mendekat ke arahnya jika Natha sudah mulai kehilangan kendali di atas dance floor.

Tentu saja Natha tidak akan menyadarinya, ia sudah berada terlalu tinggi akibat hampir satu botol alkohol yang diteguknya. Suara hik pelan sesekali mengalun dari bibir Natha. Tapi belum ada tanda-tanda Natha ingin menyudahi acara minumnya.

Ketiganya mulai menggila, meloncat-loncat mengikuti irama musik yang semakin menarik mereka untuk bergoyang. Lebih liar dari malam sebelumnya. Baik Natha, Deon, maupun Ellio hampir kehilangan kesadaran mereka masing-masing.

Menit ke menit berlalu, semua orang berteriak begitu DJ menyuruh mereka untuk bersorak. Natha sempat terjauh beberapa kali karena tersenggol pengunjung lain, namun ia hanya tertawa, dan kembali bangkit dengan tubuh yang sudah sempoyongan.

Menyadari Natha sudah berada diambang batasnya, Harvey menghentikan kegiatannya menonton Natha dari lantai atas. Ia bangkit dari kursinya, menaruh gelasnya terlebih dahulu sebelum kaki jenjangnya melangkah cepat menuju tempat dimana Natha berada.

Harvey sempatkan untuk memperintahkan salah satu bawahannya agar turut serta menarik dua teman Natha dari dance floor. Mungkin setelahnya, Harvey akan meminta tolong bantuan Juna dan Eric untuk mengurus Deon serta Ellio.

Begitu Harvey sudah mendekat ke arah panggung utama, pengunjung lain secara otomatis menyingkir, memudahkan Harvey untuk menarik Natha menjauh dari sana.

“Oh?” Natha tersentak dengan mata sayunya ketika Harvey menarik tangan kanannya, ia kemudian terkekeh. “Harvey's here!” Pekiknya girang.

“C'mon, baby.” Harvey merenguh tubuh suami cantiknya itu, kedua tangannya terselip di bawah ketiak Natha lalu mengangkat tubuh Natha dan menggendongnya sama seperti apa yang pernah ia lakukan. Satu tangannya menepuk sebelah pantat Natha. “Naughty doll.”

Natha terkekeh, kedua tangannya mengalung erat di leher Harvey. Kepalanya tersampir di pundak suaminya itu, dengan kelopak mata yang kini terbuka setengah. Pipinya begitu merah, aroma alkohol menguar begitu kuat. Kesadarannya tinggal beberapa persen lagi.

Tanpa membuang waktu lama, Harvey bawa Natha menuju salah satu kamar mandi. Ia harus membantu si cantik itu mengeluarkan alhokol dari dalam tubuhnya. Tidak ingin membuat Natha merasakan efek yang parah akibat terlalu banyak alkohol yang dicerna.

Natha terduduk di lantai kamar mandi yang kering, punggungnya bersandari pada tembok yang dingin. Ia berulang kali limbung, membuat Harvey menaruh tangannya di sisi kepala Natha untuk menahannya.

Sebelah tangan Harvey meraih tissue yang menggantung di dinding, mengelap permukaan toilet dan melapisinya dengan beberapa lembar tissue terlebih dahulu.

Rasa mual Natha tiba-tiba naik semua kepermukaan, namun tidak ada apapun yang keluar dari dalam mulutnya. Seperti itu berulang kali, diselingin dengan kekehannya yang mengalun pelan. Pipinya ditepuk pelan oleh Harvey, namun Natha hanya bisa terkekeh sebagai respon.

Harvey tarik kepala Natha mendekat ke arah pinggiran toilet. Satu tangannya mencengkram rahang Natha agar ia membuka mulutnya, lalu dua jarinya masuk ke dalam mulut Natha untuk memancing rasa mual Natha kembali.

“Throw up it, Nath.” Harvey berbisik dengan suara beratnya, matanya menatap wajah Natha yang memerah. “You're really wild.”

Metode itu berhasil membuat Natha mengeluarkan cairan alkohol yang berada di dalam tubuhnya. Harvey lakukan itu sebanyak hampir empat kali, memastikan Natha tidak terlalu banyak mencerna alkohol.

“Harvey, Harvey.”

Suara Natha mengalun begitu pelan, hampir berbisik. Ia mengangkat wajahnya, berusaha menatap Harvey dengan sepasang mata sayunya. Satu tangannya naik, berusaha meraih wajah Harvey, lalu Natha kembali terkekeh.

“Mau Harvey.”

Seringai di wajah Harvey tercetak begitu jelas, ia membersihkan mulut Natha terlebih dahulu. Mengelap bibir berkilauan milik Natha dengan tissue, lalu baru membersihkan tangannya.

“Apa? Mau apa, sayang?”

“Mau Harveyyyy!!” Suara Natha meninggi, alisnya mengkerut menatap Harvey dengan tatapan protesnya. Kedua tangannya terulur, berusaha meraih tubuh Harvey untuk dipeluk. “Gendonggg!!” rengeknya.

Harvey mengangkat kembali tubuh Natha, mendekapnya dalam pelukan. Kepala Natha kembali bertumpu pada pundaknya, wajah cantik itu terbenam di perpotongan leher Harvey.

Kekehan pelan kembali mengalun dari bibir Natha, ia mengecupi permukaan kulit leher Harvey lalu menggesekan ujung hidungnya disana. Terpekik senang seperti seorang anak kecil mendapatkan mainan baru.

“Ugh,” Natha meleguh pelan begitu Harvey meremas bongkahan pipi pantatnya gemas. Kaki jenjang Harvey berjalan keluar dari toilet. “Harveyyyy.”

“Yes, baby?” Pipi Natha dikecup dua kali oleh Harvey. Ia melangkah menuju salah satu lift yang berada di sudut tersembunyi, berniat langsung membawa Natha menuju bagian lantai atas gedung yang menjadi area pribadi miliknya.

Kepala Natha menggeleng, ia eratkan rengkuhannya pada leher Harvey, jangan lupakan kedua kakinya yang juga turut menjepit tubuh Harvey kuat. “Natha mauuuuu!!”

“Mau apa, cantik?”

“Mau Harvey, hehehe.”

Seringai Harvey kembali tercipta, ia kecup bibir Natha berulang kali selagi menunggu pintu lift terbuka. Membuat Natha terkekeh girang. Begitu box besi itu terbuka, Harvey langsung melangkahkan kakinya masuk ke dalam lift.

Bibirnya Harvey dekatan pada telinga Natha, berbisik lirik dengan suara beratnya. “I'm yours, Natha.”

Natha kembali terkekeh, ia mengusak ujung hidungnya pada leher Harvey lagi. Satu tangannya turun, ujung telunjuknya bergerak melingkar di atas punggung Harvey.

“Fuck you.” Bisik Natha lirih, senyum diwajahnya tetap mengembang. “Ugh, Natha suka dimarahin sama Harvey, Natha mau nakal aja.”

“Hm?” Harvey berdengung, melirik wajah Natha dengan ujung matanya. “Kenapa gitu?”

“Gatauuu.” Natha menggeleng, semakin merapatkan kakinya menjepit tubuh Harvey. Suara hik kembali terdengar. “Natha mau cerai!”

Alis Harvey setika mengkerut mendengar ucapan Natha barusan. Ia usap punggung Natha, ekspresi wajahnya langsung berubah datar. Menunggu Natha kembali melanjutkan racauannya.

“Natha mau cerai, soalnya, soalnya Harvey jelek! Harvey suka ngatur-ngatur Natha!” Punggung tegap itu Natha cubit pelan, dan ia malah terkekeh lagi. “Tapi, tapi Natha juga suka di atur-atur, hehehe.”

Tawa Harvey seketika menggema, membuat Natha menjauhkan wajahnya dari ceruk leher Harvey dan menatap galak ke arah Harvey. Satu tangannya bergerak menutup mulut Harvey yang masih tertawa itu.

“Gaboleh ketawa! Siapa yang suruh ketawa?” Kata Natha galak dengan bibir bawahnya yang maju beberapa senti. “Jangan ketawa!”

“No, baby. Gak ada yang ketawa.” Sahut Harvey sambil menyingkirkan telapak tangan Natha dari depan mulutnya, lalu senyum tipisnya merekah. “Natha mau cerai sama Harvey?”

Natha mengangguk, tapi setelahnya ia menggeleng. “Mau! Tapi nanti, ugh, nanti aja selesai Ellio bikin kulit risol!”

“Ellio gak akan selesai bikin kulit risol, sayang.” Bisik Harvey lirih, lift berhenti pada lantai paling atas. Harvey bawa kakinya melangkah keluar dari lift. “Gak akan pernah selesai.”

“Kenapa? Kulit risolnya unlimited ya?”

Harvey tekan kepala Natha untuk mendekat kembali ke arah ceruk lehernya, dan Natha langsung menyamankan posisinya kembali disana.

“You can't stay away from me, Natha.” Seringai di wajah Harvey kembali tercipta, langkahnya berhenti di depan salah satu pintu, memasukan passcode lalu berjalan masuk ke dalam kamar. “Never.”

Kamar yang didominasi warna hitam ini menjadi ruangan pribadi milik Harvey. Tidak ada yang yang pernah Harvey bawa masuk kesini selain Natha. Bahkan mantan-mantan pacarnya dulu pun hanya bisa menginjakan kaki sampai di lantai dua.

Harvey mendekat ke arah ranjang, mendudukan dirinya di bagaian depan ranjang yang menghadap langsung pada kaca besar disebrangnya. Wajah Natha ia jauhkan dari ceruk lehernya, mata Harvey menatap setiap detail wajah Natha yang begitu cantik.

“Harvey suka sama Natha ya?” Tanya Natha, mata bulatnya yang berbinar terkena pantulan cahaya menatap lurus ke arah Harvey. “Iya, enggak?”

Tidak ada sahutan dari Harvey, hanya senyum tipisnya yang kembali tertarik. Satu tangan Harvey menekan tengkuk Natha, membawa kepala Natha mendekat ke arahnya.

Bibir Harvey tepat berada di samping telinga Natha, ia berikan satu kecupan ringan disana. “More than that, baby. I'm so into you.”

“Kenapa?”

“Kenapa apanya?”

“Kenapa Harvey suka sama Natha?” Satu tangan Natha naik menyentuh sisi kepala Harvey, suara hik kembali terdengar sebelum bibirnya mengerucut lucu. “Kan Natha nakal.”

“Kata siapa Natha nakal, hm?” Tanya Harvey lembut, ia benarkan posisi duduk Natha di atas pangkuannya.

Natha menggeleng. “Engga tau.”

Harvey mendengus geli, “Berarti Natha gak nakal, dan kalo mau nakal, nakalnya harus sama Harvey, gak boleh yang lain. Natha paham?”

“Ung, paham.” Kepala Natha mengangguk tipis, telunjuknya kemudian menyentuh bibir bawah Harvey. “Natha mau cium ini, boleh?”

“Of course, baby. I'm all yours.”

Pekikan girang Natha keluarkan, ia kemudian mengecup bibir di hadapannya berulang kali dengan senyum lebar. Pusing yang ia rasakan tumpah ruah bersama kesenangan yang membuncah. Dua tangannya kemudian mencengkram pundak Harvey sebelum dengan begitu tergesa mengulum bibir Harvey.

Harvey biarkan Natha yang mengambil kendali, hitung-hitung membuat Natha merasa senang dengan apa yang ia lakukan. Harvey hanya berusaha menyeimbangi pergerakan bibir Natha di atas bibirnya.

Kedua mata mereka terbuka, menatap satu sama lain dalam jarak yang begitu dekat. Ujung hidung masing-masing menggesek pipi, nafas beradu, tubuh saling menyentuh rapat.

Harvey bawa dua tangannya untuk menyentuh pinggul Natha yang bergerak tipis, selagi Natha mengulum bibir atasnya, Harvey bergerak mengulum bibir bawah Natha. Rasa alkohol masih begitu kuat disana, tapi itu yang malah membuat ritme permainan bibir mereka semakin meningkat.

Kepala Natha menjauh begitu nafasnya sudah mulai memendek, sebelah tangannya naik, mencengkram rambut bagian belakang Harvey sebelum akhirnya kembali mencium bibir suaminya itu.

Nafas Harvey memberat, ia tarik kepala Natha menjauh terlebih dahulu sebelum ia membuka kemejanya dengan cepat. Tubuh proposionalnya terpampang jelas dihadapan Natha, lalu Harvey sambar kembali bibir Natha yang mulai membengkak.

Pinggul Natha bergerak di atas pangkuan Harvey, menggesek bagian bawah tubuh keduanya, seakan-akan sedang bergoyang kembali di dance floor. Sebelah tangan Harvey menyusup masuk ke dalam kemeja kebesaran yang digunakan Natha, mengelus punggung Natha pelan.

Mulut keduanya terbuka, lidah saling membelit tidak mau kalah. Deru nafas berat mulai terdengar dari detik ke detik, karena mereka berdua memang mendamba sentuhan satu sama lain.

Disela-sela ciuman, Harvey sempatkan untuk membuka seluruh kancing kemeja yang Natha gunakan, namun tidak melepasnya. Membuat bagian depan tubuh mereka menempel tanpa halangan.

“Ugh,” Natha meleguh begitu Harvey meremas pantatnya kuat, wajahnya kemudian menjauh, membuat benang saliva memanjang dari bibirnya dan bibir Harvey. “Harvey, Harvey.”

Tangan Harvey yang berada di punggung Natha berpindah posisi, ia gunakan ibu jarinya untuk mengelap bibir Natha yang membengkak. “Yes, pretty? Need something?”

Natha menggeleng, ia lalu mendekatkan kepalanya ke arah leher Harvey, mencium aroma maskulin yang begitu kuat dari sana. Kecupan-kecupan ringan Natha berikan dipermukaan kulit Harvey.

Dua tangannya Harvey bawa untuk menyibak kemeja Natha hingga menampilkan pundak serta setengah punggungnya. Kepalanya bertumpu di pundak Natha selagi si cantik itu memberikan ruam-ruam merah di lehernya.

“Natha,” Harvey menggeram begitu Natha mengigit bagian bawah kupingnya, memberikan tanda disana. “Calm down, baby. Slowly.”

Bibir Natha memang langsung lebih pelan dari sebelumnya, namun pinggulnya tetap bergerak tidak mau diam. Membuat Harvey menaruh kembali kedua tangannya di masing-masing sisi pinggul Natha.

Kepalanya yang bertumpu pada pundak Natha membuat Harvey bisa melihat dengan jelas pantulan tubuh mereka dari dalam cermin besar. Matanya memperhatikan tubuh yang lebih kecil dari tubuhnya itu, bergerak begitu sensual seperti seorang penari strip.

Higabana milik Natha terpampang dengan jelas. Tinta berwarna merah itu begitu kontras dengan kulit Natha yang putih bersih.

Bunga kematian yang sangat cantik, sama seperti Natha.

Sebagai lelaki dengan kondisi tubuh yang sehat, bukan tidak memungkiri jika Harvey merasakan tubuh bagian selatannya memanas. Jadi sebelum itu semua terjadi, Harvey tahan pergerakan pinggul Natha. Membuat Natha menghentikan kegiatannya dan menatap lurus ke arah Harvey dengan mata mengantuknya.

Karena bagaimana pun, sekuat apapun Harvey mendamba tubuh Natha mendesahkan namanya kuat di bawah kukungan tubuhnya, Harvey tidak ingin mereka melakukannya dalam keadaan salah satu dari mereka tidak sadarkan diri. Semuanya harus jelas. Itu akan lebih sempurna.

“Doll.” Panggil Harvey pada Natha yang terdiam.

Tapi Natha tidak mengucapkan sepatah katapun, hanya menatap Harvey yang kini menampilkan ekspresi bingung. Kelopak matanya mengedip lambat, seperti seseorang yang sebentar lagi akan jatuh ke alam mimpi.

“Kenapa, sayang?” Tanya Harvey lembut, tangannya kemudian mengusap pipi Natha pelan.

Natha menggeleng, kemudian menaruh kepalanya kembali di pundak Harvey, kelopak matanya terpejam. “Ngantuk.”

Mata Harvey melirik jam yang berada di meja nakas samping kaca, menampilkan pukul setengah tiga pagi. “Natha ngantuk?”

Anggukan Natha berikan sebagai jawaban, ia menyamankan posisinya di atas pangkuan Harvey. Sebelah tangan Harvey kemudian Natha ambil, ia taruh pada bagian belakang tubuhnya.

“Usap-usap lagi.” Rengeknya.

Harvey mendengus geli, ia menuruti apa yang Natha inginkan. “Kayak gini?”

“Hu-uh.” Natha kembali mengangguk. “Jangan berhenti sampe Natha bobo.”

“As you wish, pretty.”

Usapan tangan Harvey terus ia lakukan hingga ia bisa rasakan nafas Natha mulai berhembus teratur. Bobot tubuh Natha bertumpu sepenuhnya pada Harvey, dengan dengkuran pelan yang mengalun dari celah bibir Natha yang terbuka kecil.

Harvey ubah posisi Natha dengan perlahan, benar-benar sangat pelan karena takut Natha terbangun kembali. Ia membaringkan tubuh Natha di atas kasur, ikut menyamankan dirinya di sisi Natha lalu menarik selimut hingga sebatas pinggang.

Posisinya Harvey hadapkan pada Natha, tangan kanannya menopang kepala. Matanya kembali memperhatikan setiap inchi wajah Natha, iseng, Harvey sentuh ujung hidung Natha dengan telunjuknya.

“Natha,” Harvey kecup pipi Natha singkat. “Dimitri has gone. You've been changed your last name to Tanjung forever.”

Natha meleguh pelan ketika Harvey berganti menyentuh kelopak matanya. “Gua cuman pengen nikah sekali seumur hidup gua, Nath. Dan kalo lo kira pernikahan ini cuman main-main, ayo gua liat sampe sejauh mana lo mau bermain.”

Tangan Harvey kemudian menjauh dari wajah Natha, bergerak merengkuh pinggang Natha dan kemudian menyamankan posisinya sebelum menyusul suami cantiknya itu masuk ke alam mimpi.

Lalu ketika jam di nakas sudah berganti menunjukan angka sepuluh lewat enambelas, Natha terbangun dengan teriakannya yang menggema memenuhi penjuru kamar. Membuat Harvey tertawa sambil memperhatikan Natha yang kalang kabut sendiri.

Terlebih ketika Natha menyadari ada beberapa ruam merah di leher Harvey bekas ketidaksadarannya pagi buta tadi.

Speedometer di hadapannya sudah menunjukan angka seratus, tapi Harvey tidak mempedulikannya. Petir menyambar-nyambar, hujan deras disertai angin kencang membuat jarak pandang terbatas. Ekspresi wajahnya datar, namun tidak bisa dipungkiri rasa khawatir sedang melingkupi Harvey sekarang.

Setelah insiden perselisihannya dengan Natha perkara pembetulan pendingin ruangan waktu itu, mereka resmi mengibarkan bendera perang dingin. Baik Natha maupun Harvey sudah terhitung tiga hari lamanya tidak bertegur sapa walaupun pada satu rumah yang sama. Keduanya sama-sama memiliki ego yang tinggi, sama-sama keras kepala.

Begitu palang rambu exit toll sudah terlihat, Harvey menggeser posisi mobilnya ke jalur sebelah kiri. Hujan mengguyur semakin deras, pikirannya mendadak kalut, takut-takut jika terjadi hal yang tidak diinginkan dengan Natha saat ini.

Firasat Harvey tidak meleset sedikitpun, jalanan menuju rumahnya gelap gulita. Tidak ada penerangan apapun kecuali dari lampu kendaraan lainnya. Menandakan listrik dalam proses pemadaman, ditambah dijalan tadi Harvey juga melihat beberapa pohon tumbang yang mengenai kabel listrik.

Mobil hitam itu akhirnya terparkir di depan gerbang rumah, mesin mobil langsung dimatikan, Harvey keluar dari dalam mobil menembus tetesan air hujan untuk membuka gerbang. Tidak ada waktu untuk memasukan mobilnya ke dalam garasi, fokusnya hanya pada Natha sekarang.

Kakinya sempat tersandung anak tangga halaman depan, pintu di dobrak, gelap langsung menyambut Harvey begitu ia membuka pintu. Tanpa membuang waktu lama, ia langsung berjalan masuk ke dalam rumah.

“Nath! Natha!”

Harvey memanggil nama Natha berulang kali, ia berjalan sedikit tergesa hingga langkahnya tiba-tiba terhenti begitu merasakan kakinya meninjak sesuatu. Harvey keluarkan terlebih dahulu ponselnya dan menyalakan flash, menyorotnya pada bawah kakinya dan mendapatkan sampah-sampah bunga berserakan disekitar.

Ia baru meningat jika tadi pagi-pagi sekali Natha sudah bergelut dengan bunga-bunga miliknya dan sedang merangkai pesanan toko. Mungkin hingga malam menjemput, Natha masih berkutik membuat pesanan yang menumpuk. Hingga sampah yang berserakan ini belum sempat Natha bereskan.

“Natha! Lo dimana?!” Suara beratnya menggema, Harvey menolehkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, kemudian mencari keberadaan senter terlebih dahulu. Begitu didapatnya, ia langsung berjalan menuju lantai dua rumah. “Natha!”

Natha tidak menyahut sama sekali, tidak mungkin juga jika ia keluar karena mobilnya masih terparkir rapih di garasi. Harvey hampir saja tersandung anak tangga jika ia tidak memperhatikan langkahnya. Ia langsung menuju kamar Natha yang pintunya masih tertutup rapat itu, tidak peduli dengan rusaknya engsel pintu akibat Harvey mendobraknya dengan kencang.

“Nath?” Lampu sorot dari senter mengarah mencari-cari keberadaan Natha. Begitu mendapati sosok Natha yang meringkuk di sisi bawah ranjang, Harvey langsung bergegas mendekat. “Natha.”

Kepala Natha perlahan terangkat, wajahnya basah, matanya memerah bengkak. Kedua kakinya tertekuk di depan dada dengan kedua tangannya yang memeluk dirinya sendiri. Anak-anak rambutnya terlihat begitu lepek, jari-jarinya bergetar, tarikan nafasnya begitu berat seperti sedang tercekik.

Harvey bersimpuh, ia taruh senter menghadap ke langit-langit tepat di sisi Natha. Jas abu-abunya Harvey lepas terlebih dahulu dengan cepat, menyisakan kemeja putih serta dasi yang masih menempel. Lengan kemeja ia gulung terlebih dahulu hingga siku sebelum menarik Natha masuk ke dalam rengkuhannya.

“I'm here, Nath. I'm here.” Bisik Harvey begitu merasakan tubuh Natha bergetar hebat, menatap bola mata Natha yang begitu kuat memancarkan rasa takut serta gelisah. Sebelah tangannya Harvey gunakan untuk menyibak rambut Natha. “Jangan takut, gua disini, oke?”

Natha hanya merespon dengan anggukan tipis. Tubuh Natha ia angkat hingga terduduk di atas pangkuannya, wajah cantik itu Harvey benamkan pada dadanya. “Just close your eyes, jangan dibuka sampe lampu nyala.”

“Lo lama banget, Vey.” Bisik Natha lirih, ia berjengit kaget begitu suara petir menggema kuat. Kemudian kekehannya mengalun sangat pelan. “Gua hampir mati.”

“Sorry, Natha. I'm so sorry.” Harvey usap punggung Natha berulang kali, pelukannya ia eratkan. Satu tangannya terulur meraih senter dan menggeser posisinya lebih dekat. “Breath, Nath. Breath.”

Natha menurut, ia mengatur nafasnya yang tercekat. Usapan pelan dipunggungnya serta pelukan Harvey cukup membuatnya tenang. Setidaknya Harvey sudah disini, ia tidak sendirian lagi di dalam gelap sekarang.

Baru kemarin pas Harvey diberikan wejangan oleh Ibu mertuanya agar mengganti lampu rumah dengan lampu emergency, terutama kamar mereka, atau mungkin lebih tepatnya kamar Natha karena mereka tidak berada di satu kamar yang sama. Musim penghujan sudah mulai menampakan diri, kemungkinan pemadaman listrik akibat cuaca ekstrim menjadi lebih sering terjadi.

Harvey menghela nafasnya panjang, kepalanya menunduk untuk menatap pucuk kepala Natha, menyesal tidak langsung melakukan apa yang Ibu mertuanya perintahkan. Lalu setelahnya Harvey bergerak susuai insting, ia dekatkan bibirnya dengan kepala Natha, memberikan kecupan ringan disana.

“Vey?” Natha memanggilnya dengan suara yang teredam, menyadari jika ada sesuatu menyentuh kepalanya sebanyak dua kali.

Tidak ada sahutan dari Harvey, hanya rengkuhan lelaki itu lah yang Natha rasakan semakin mengerat. Natha bawa satu tangannya untuk menyentuh dada kiri Harvey, merasakan ritme jantung yang begitu tenang. Satu tarikan nafas panjang Natha raih, saat ini ia tidak ingin ambil pusing dengan perlakuan Harvey barusan.

“Tidur aja, Nath. Nanti gua bangunin kalo lampu udah nyala.”

“Harvey.”

“Hm.”

“Lo nyium gua ya tadi?”

Ada jeda cukup lama sebelum Harvey mengangguk tipis. “Kenapa emangnya?”

Satu detik, dua detik, tiga detik, Harvey menunggu reaksi yang diberikan Natha. Namun nihil, lelaki cantik itu hanya terdiam tanpa memberikan respon apapun. Membuat Harvey bertanya-tanya pada dirinya sendiri.

Natha, tidak marah?

Lalu setelahnya, Harvey dapati Natha berusaha melepas rengkuhannya. Harvey tidak menahan pergerakan Natha, ia biarkan Natha melakukan apa yang ingin dia lakukan.

Natha putar posisinya menjadi berhadap-hadapan dengan Harvey, dengan tubuhnya yang tetap berada di pangkuan suaminya itu. Kedua kaki Natha berada dimasing-masing sisi tubuh Harvey, kepalanya kembali bersandar pada dada kiri Harvey dengan sebelah tangan bertumpu pada dada kanan, dan sebelahnya lagi memeluk tubuh Harvey.

Keduanya terdiam, hanya suara gemuruh petir dan hujan di luar yang menjadikan suasana tidak terlalu sunyi. Kelopak mata Natha tetap terpejam, benar-benar menuruti perkataan Harvey untuk tidak membukannya sampai lampu kembali menyala.

“Bangunin gua kalo lampunya nyala.”

“Pindah ke kasur, Nath.”

Natha menggeleng. “Waktu di club, gua pasti tidurnya posisi kaya gini kan?”

Harvey tersenyum tipis, ia rengkuh kembali tubuh Natha lalu mengusap-usap punggungnya pelan. “Ya. Like this, in my arms.”

“Let me do it again.”

“Sure. With my pleasure.”

“Just stay in here, Harvey. Don't go anywhere.” Natha menarik nafasnya dalam. “I'm trying to be a Tanjung for a while.”

Dengan begitu, Harvey geser posisinya terlebih dahulu, menyandarkan punggungnya pada bagian bawah ranjang dan membiarkan Natha jatuh tertidur di pelukannya kembali.

“You get what you want,” Ucapan Harvey terjeda sejenak. Ia kecup kembali pucuk kepala Natha tiga kali dengan senyum tipisnya yang merekah. “Natha Tanjung.”