Rumah Kita
Hujan membungkus malam itu, jam menunjukkan pukul sembilan malam. Keisha duduk di kursi penumpang dengan Hugo dipangkuannya, tertidur.
Setelah menghabiskan waktu bersama berkeliling kota, mereka akhirnya memutuskan untuk pulang.
“Ngga pegel Kei mangku Hugo gitu? Kalau pegel pindahin aja ke belakang” ujar Harsa. Sejenak Harsa menoleh ke arah Keisha, memastikan. Lalu ia kembali fokus menatap jalanan.
“Engga kok, santai..” jawab Keisha diselingi senyum lembut.
“Okee, bentar lagi sampe kok”
Keisha mengerutkan dahi, jelas-jelas ini masih setengah jalan untuk sampai ke rumahnya maupun rumah Harsa.
“Tapi rumah gue kan masih jauh, sa?” tanya Keisha, menatap Harsa bingung.
“Kata siapa tujuannya rumah lu?”
“Terus ini mau ke mana?” tanda tanya di pikiran Keisha semakin membesar, penasaran.
“Ke rumah, rumah kita. Lu santai aja.. nanti bakal ngerti”
Keisha mengangguk asal, ia lalu memerhatikan jalan dengan rasa penasaran juga bingung.
mau dibawa kemana gua kali ini? batin Keisha
Tak butuh waktu lama untuk menjawab setengah dari rasa penasaran dan bingung Keisha, kurang lebih sepuluh menit kemudian mereka sampai di rumah yang cukup besar. Harsa memarkirkan mobilnya.
“Udah sampe, sebentar gua ambil payung dulu ya, lu tunggu sini” Harsa berlari menuju bagasi mobil mengambil payung berukuran besar. Menuntun Keisha dengan Hugo digendongannya menuju rumah tersebut.
klek
Pintu rumah terbuka, manampilkan interior rumah dengan dominasi warna putih, warna kesukaan Keisha.
“Sa, ini bagus banget.. ini rumah siapa?” tanya Keisha menelusuri seisi rumah, indah, tak ada cacat sama sekali.
“Rumah kita Kei.. Ini rumah kita, suka gak?” Harsa menatap lekat netra perempuannya
“Suka Sa, suka banget”
“I knew it! Udah sekarang tidurin Hugo di kamar aja”
Setelah memindahkan Hugo ke kamar yang dimaksud Harsa, Keisha berjalan menyusul Harsa di ruang keluarga.
“Sini duduk dulu, udah gua buatin teh manis hangat” Keisha mengangguk, duduk di samping Harsa, lalu menyesap teh manisnya.
“Lu beli rumah ini kapan? Kok gak bilang gua?” Keisha mengawali percakapan malam ini.
“Satu tahun lalu Kei, gua beli tanah ini, design rumah ini, sampe akhirnya jadi deh” jawab Harsa enteng. Sang perempuan tidak terima, menuntut penjelasan.
“Sendiri? Kenapa gak bilang sih? Kan bisa gua bantu, Sa”
“Kei, ini emang hadiah buat lu. Udah gak usah dipikirin lagi. Yang penting suka, kan?”
Keisha buru-buru mengangguk, tanda ia suka.
“Makasih banyak Harsa sayang!” Keisha peluk Harsa erat.
Keduanya kini tengah bercakap sambil menikmati teh manis hangat buatan Harsa, sesekali tertawa ringan karena lawakan yang dilontar. Hujan masih berlanjut, semakin malam semakin deras.
“Kei.. gua mau ngomong” ujar Harsa di tengah percakapan mereka.
“Iya.. ngomong aja”
“Makasih ya? Makasih udah mau nerima gua, makasih udah mau nerima Hugo juga. Makasih juga udah mau jadi paca-tunangan gua? Hehhe. Makasih banyak ya Kei, gua sayang lo, sayang banget”
Keisha tersenyum tipis, lembut.
“Sama-sama Harsa, kan gua udah bilang gak akan pernah ninggalin lu, ninggalin kita, kan?”
Harsa mengangguk meng-iyakan, tangannya meraih tangan Keisha mengelus tangan itu lembut.
“Maaf ya, belum bisa kasih cincin tunangan.. uangnya nipis abis buat rumah ini.. hehhehe”
“Harsa! Gapapa ih apaan sih, gak usah lebay.. dikasih gak dikasih emang bakal ngubah status kita apa? Engga kan?”
Harsa melepas genggaman tangannya, merogoh sesuatu di saku celananya, sebuah benda kecil.
“Gua belum bisa beliin cincin, jadi gua kasih ini dulu ya?”
Harsa mengeluarkan sesuatu dari benda kecil tersebut, panjang menjuntai cantik, sebuah kalung.
“Sini balik badannya, gua pakein”
Keisha hanya menurut akan titah Harsa.
“Udah, cantik” Harsa membalikkan badan Keisha, menatapnya
“Ini kalung mama harusnya, hadiah ulang tahun pernikahan mereka, tapi sayangnya mama meninggal duluan jadi kalung ini gak pernah sampai ke Mama. Kemarin gua izin buat kasih ini ke lu. Kalungnya cantik, tapi kalah cantik sama lu”
Keisha menatap lekat netra teduh Harsa. Entah harus berapa kali ia sampaikan pada tuhan bahwa Keisha beruntung memiliki Harsa.
“Harsa, makasih banyak. Gua gak tau mau bilang apalagi selain makasih ke lu, Sa”
Sekuat tenaga Keisha tahan air matanya agar tidak jatuh. Bukan, bukan karena sedih, namun haru. Tapi gagal, air matanya keburu jatuh.
“Kenapa nangis sih” Harsa tangkup wajah Keisha, menghapus air matanya. Dengan perlahan Harsa kikis jarak mereka berdua, semakin dekat.
Bibir mereka hampir menyentuh satu sama lain. Namun, suara seseorang menginterupsi mereka.
“Bunda, Papa, aku mau pipis..” di ujung tangga seorang anak tampak kebingungan, tak lain dan tak bukan, Hugo.
Duh, maaf ya wahai remaja, kalian jadi gagal mencinta