hiirei

octoberabble2024

[genshin impact fanfiction—alhaitham, cyno, & kaveh with guru tk!tighnari; kid fic: alhaitham (4) + cyno & kaveh (5). {for this fic, anggap aja begitu yah umurnya😭}. pakai bahasa informal hehe. karakter bukan milik saya dan tidak ada keuntungan yang didapat selain kesenangan pribadi.]

#octoberabble2024 day 6: blame game


“Dia yang salah, Pak!”

Tighnari memijat keningnya. Pusing harus menghadapi tiga bocah tukang onar ini di pagi hari. Mereka bahkan belum masuk kelas. Anak-anak yang lain ada yang baru datang diantar orang tua, berpamitan dengan damai dan tentram, berbeda jauh dengan situasi tiga bocah ini.

“Ih, gak sopan nunjuk-nunjuk, tau.” Kaveh merengut, jemarinya menurunkan telunjuk Alhaitham yang dipakai untuk menunjuk dia.

“Kak Kaveh juga, gak sopan.” Alhaitham mengulang kata yang diucapkan padanya, membuat yang lebih tua semakin geram tidak terima.

“Iya sih,” Cyno malah memanaskan keadaan, “kamu gak sopan juga, Veh.”

Setelah itu, Kaveh mulai mengomel. Mengeluarkan rentetan kata dengan cepat yang setengahnya saja tidak jelas. Otaknya berpikir lebih cepat, di luar kemampuan mulutnya, membuatnya salah mengucap beberapa kata.

Frustrasi, Kaveh akhirnya diam. Menarik napas dalam-dalam, lalu membalikkan badannya. Berjalan menjauh dari kerumunan mereka dan kembali pada pojok tempat dia bermain sebelumnya.

Tighnari tidak sempat berkata apa-apa. Mungkin juga tidak perlu? Biasanya mereka memang selalu bertengkar, tapi anak-anak seumuran mereka juga cepat lupa dengan masalah pertengkaran. Kalau tidak ada yang mengingatkan, harusnya mereka akan bermain kembali lagi setelah beberapa waktu.

“Kamu juga salah, sih, Tham,” Tighnari mendengar Cyno mengalihkan perhatiannya pada yang paling muda, “udah tau Kaveh begitu, kan dia jadi ngambek.”

“Ya gapapa,” jawab Alhaitham, fokusnya kembali pada buku cerita yang dia pegang, “dia lucu, ngambek gitu.”

Tighnari hanya menghela napas. Berdoa mereka tidak berbuat aneh-aneh lagi sepanjang hari sampai mereka pulang.

[debut or die fanfiction—keunmoon / keunse | lee sejin b x moondae; college au with dark!keunse. karakter bukan milik saya dan tidak ada keuntungan yang didapatkan selain kesenangan pribadi.]

#octoberabble2024 day 5: true nature


Tidak ada yang mengenal Keunse selain Moondae.

Maksudnya, benar-benar mengenal lelaki itu. Bukan hanya dari sisi luarnya yang tampak ramah dan bersahabat, dapat membicarakan banyak topik dengan hampir semua orang. Bukan itu.

Bukan sifatnya yang sering disebut orang-orang seperti mentari. Membuat suasana cerah dan bahagia ke mana pun dia pergi. Bukan sifatnya yang peduli dan cepat tanggap ketika orang lain kesulitan. Bukan itu.

“Moondae-moondae.”

Moondae mengenalnya lebih jauh, lebih dalam, lebih rumit. Dia berusaha menghindari si lelaki itu sejak mereka bertemu pandang. Instingnya paham lebih dulu bahwa dia tidak seharusnya dekat dengan orang itu.

Namun mau bagaimana lagi? Sama seperti orang lain, Moondae juga tidak bisa lama menolak daya pikat mentari. Ingin berputar mengitarinya, mengikuti orbitnya.

“Hei, Moondae.”

Keunse bukan lelaki sederhana. Jauh, jauh di dalamnya, Moondae merasa dia lebih sulit dari orang biasanya. Pola pikirnya tidak bisa selalu dapat dia tebak. Berubah dalam waktu acak. Membuatnya selalu dalam ketidakpastian. Satu sisi dirinya mendamba hal itu, bosan dengan interaksi bersama orang-orang yang dapat dia tebak dalam satu kali obrolan.

Satu sisi lainnya selalu waspada. Menerka-nerka. Memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi.

Kedua pipinya diremas erat, memaksa kepalanya untuk menoleh ke arah Keunse. Lelaki itu menatapnya lekat, matanya bergerak menelusuri ekspresi Moondae, sebelum akhirnya tersenyum manis.

“Kamu tidak mendengarku?”

Tentu dia mendengarnya, sedari tadi, telinganya sudah otomatis menangkap suaranya bahkan sebelum Keunse membuka mulutnya.

Moondae tidak perlu menjawab, karena Keunse sudah puas dengan mendapat pandangannya terbalas. Dia mengalihkan topik, membicarakan harinya yang penuh dengan cerita, satu tangannya mendekap Moondae erat dari bahu.

Beberapa orang yang berpapasan dengan mereka tampak melihat keduanya sampai para kepala mereka menoleh. Diiringi bisik dengan satu sama lain yang tentunya tetap dapat Moondae dengar.

Orang-orang selalu berpikir mereka pasangan yang unik. Moondae yang terlihat selalu memiliki energi minus, berpasangan dengan Keunse yang selalu penuh dengan senyum sepanjang hari. Satu yang pendiam dan bicara seperlunya, sedang satu yang dapat mengisi perbincangan untuk lima orang.

Namun, tidak ada yang mengenal Keunse sebaik Moondae mengenalnya.

Orang berpikir bahwa dialah yang paling membutuhkan Keunse. Karena tanpanya, siapalah Moondae itu?

Dia pun tidak akan menyanggah. Banyak bagian dari hidupnya yang berubah sejak bertemu Keunse. Sebagian besar berubah menjadi lebih baik, tapi tentu tetap ada sebagian berubah menjadi lebih buruk.

Karena Keunse adalah orang yang mencinta terlalu dalam.

Sekali Keunse menangkap pandangannya, dia tidak akan pernah melepas. Sekali Keunse menginginkan Moondae, dia tidak akan pernah bisa puas sampai kasihnya terbalas. Sekali Keunse mendapat Moondae, dia—

“Moondae?”

Dia langsung menoleh, mendapat ekspresi Keunse yang tidak lagi ramah, tidak lagi penuh senyum, tidak lagi seperti mentari. Dia sudah mencapai batasnya setelah diabaikan lama.

“Aku mendengarkanmu, kok,” ucap Moondae, merasakan pelukan pada bahunya semakin erat, “aku akan menunggumu di perpustakaan, seperti biasa.”

Seperti ada tombol yang mengontrol dirinya, Keunse kembali seperti dirinya yang semula.

“Oke, aku akan ke sana paling lambat jam 7 malam.”

[debut or die fanfiction—keunmoon / keunse | lee sejin b x moondae; ropan au—military officer! keunse x crown prince!moondae. karakter bukan milik saya dan tidak ada keuntungan yang didapat selain kesenangan pribadi.]

#octoberabble2024 day 4: doomed way


I'll marry you when I'm older.

Keunse pada umur tujuh tidak paham kalimat itu. Dia hanya bisa menatap si pangeran dengan senyum polosnya. Memohon berkali-kali pun, si pangeran tidak mau memberikannya jawaban. Hanya menyuruhnya untuk lebih giat belajar agar dia bisa mencari tahu artinya sendiri.

Mereka berlarian di halaman yang luas, seluruhnya hijau sejauh mata memandang. Langit terasa jauh dari gapaian tangan-tangan kecil mereka. Pohon di salah satu sisi halaman cukup menjadi tempat meneduh mereka dari terik mentari.

Sayangnya, waktu bermain tidak pernah bisa lama. Keunse punya tanggung jawab untuk dia pelajari, begitu juga dengan Moondae yang punya banyak hal yang harus dia ketahui.

Keduanya akan berpisah ketika mentari condong sedikit ke Barat, berjumpa lagi di esok hari ketika sinar mentari lebih hangat dan udara lebih sejuk.


“Kalau kamu mati, aku juga mati.”

Keunse menoleh cepat, disambut dengan pandangan Moondae yang semakin lama semakin kehilangan ronanya. Mungkin karena buku-buku tebal yang harus dia baca membuatnya cepat lelah. Mungkin karena banyak hal pahit yang harus dia ketahui.

“Tidak bisa begitu.” Keunse menyanggah. Ini bukan perdebatan pertama mereka dengan topik yang sama. Dia tidak pernah menang dalam debat ini.

Moondae mengalihkan pandangannya, memilih melihat bintang-bintang yang ada di angkasa. Langit masih terasa jauh, tidak tergapai sejauh apapun mereka melompat atau memanjat menara.

Tadinya, mereka mencoba mencari rasi bintang. Katanya, hari ini adalah hari salah satu bintang bisa bertemu dengan pasangannya—bintang lain yang ada di angkasa sana. Mereka hanya bisa bertemu setahun sekali, jadi hari ini harusnya spesial.

Sayangnya, mereka berdua tidak yakin bintang mana yang seharusnya bertemu dengan bintang lain. Mungkin bintang yang paling bersinar terang itu. Namun di mana pasangannya? Apa dia tidak datang tahun ini?

“Aku juga tidak bisa,” ucap Moondae pelan, “kalau kamu tidak ada.”

Keunse ikut menatap langit, matanya masih mencari-cari bintang itu.

Pikirannya pun ikut mencari-cari jawaban untuk ucapan Moondae.


“Dia tidak mau bertemu.”

Ahyeon melirik ke arah pintu dan Keunse, rasa bersalah jelas di wajahnya. Dia hanya menyampaikan pesan dari Moondae, tapi tidak kunjung beranjak dari posisinya ketika Keunse pun bergeming.

“Baiklah,” jawab Keunse setelah lama mengisi ruang mereka. Dia bisa saja mendobrak pintu itu dan menemui Moondae langsung. Tidak masalah juga kalau harus mendapat hukuman—Keunse pun yakin si pangeran akan membebaskannya dari hukum apapun untuk masalah sekecil itu.

Namun dia menahan dirinya. Biarlah kalau Moondae memang tidak mau bertemu. Keunse tidak bisa selamanya jadi orang yang memaksa masuk dan berupaya untuk membuat mereka berkomunikasi.

“Sampaikan saja padanya,” Keunse menatap Ahyeon, “kalau ini terakhir kali aku akan menemui dia.”

Tanpa mendengar pertanyaan dari Ahyeon, Keunse langsung melangkah menjauh.


I'll marry you, right now.

Moondae menatapnya tidak percaya ketika lelaki itu masih sempat-sempatnya tertawa kecil. Seakan tidak peduli mulutnya semakin banyak mengeluarkan darah yang tidak bisa lagi dia kontrol.

“Itu, kan, yang kamu mau?” tanya Keunse, tangannya menggenggam Moondae, perlahan kehilangan kehangatannya. “Ketika kita masih kecil dulu.”

Tidak ada orang lain yang berada di ruangan itu, hancur lebur dengan beberapa kobaran api kecil yang membuat napas mereka sesak. Tidak ada lagi halaman yang penuh dengan hijau, atau pohon yang dapat mereka jadikan tempat berteduh, atau menara yang dapat mereka panjat. Bahkan bintang pun seakan hilang dari langit pada malam itu.

Telunjuk Keunse menyusuri garis-garis yang tercetak pada tangan Moondae. Mengikuti alurnya, pelan, seakan ingin mengingatnya dalam memori. Menyusuri jemarinya satu per satu, sebelum akhirnya mengangkat tangan itu dan mencium punggung tangannya.

“Kamu harus bisa hidup, tanpa aku.” Keunse melepas genggamannya, mendorong bahu Moondae menjauh darinya. Matanya melirik ke sekitar mereka, memastikan tidak ada orang yang tiba-tiba datang.

“A-aku,” Moondae enggan beranjak. Memilih untuk mendekatkan dirinya lagi pada Keunse.

“Pergi, sekarang.” Keunse mendorongnya, sekuat tenaganya yang tersisa—yang artinya tidak terlalu banyak, karena Moondae hanya terayun sedikit. “Aku juga tidak bisa, kalau aku harus mati dan tahu aku gagal melindungimu.”

Moondae menatapnya lama, mencari sesuatu yang tidak diketahui Keunse. Setelah beberapa lama, Moondae beranjak. Langkahnya pelan, seakan-akan bisa saja berbalik kembali kepadanya.

Si pangeran itu sempat menoleh kembali, melihat Keunse dari kejauhan untuk terakhir kali sebelum akhirnya dia berlari.

Bagus, pikir Keunse. Lebih baik dia pergi, membuat Keunse berhasil menjalankan tugasnya untuk terakhir kali.

Dalam reruntuhan itu, Keunse menutup matanya. Membayangkan alternatif lain kiranya dunia mereka tidak seperti ini. Kiranya dunia ini tidak berakhir dengan kehancuran tempat tinggal mereka, apakah mereka bisa mendapat akhir yang mereka inginkan?

Keunse menghela napas. Mungkin tidak. Mungkin mereka memang ditakdirkan untuk gagal, untuk tidak pernah bersatu, untuk Moondae pergi jauh di saat Keunse hanya bisa mengejar bayangnya.

Mungkin.

[debut or die fanfiction—keunmoon / keunse | lee sejin b x moondae, slight ahmoon / ahyeon x moondae. slight r-18-ish. karakter bukan milik saya dan tidak ada keuntungan yang didapat selain kesenangan pribadi.]

#octoberabble2024 day 3 – unexpected mention


Ahyeon tidak tahu harus berkata apa.

Moondae di hadapannya bertingkah seakan tidak ada yang salah. Jadinya, seakan dia yang punya reaksi berlebih hingga salah tingkah. Padahal, menurut Ahyeon, kata-kata Moondae sebelumnya itu tidak akan pernah bisa terucap secara gamblang kalau mengingat sifat si lelaki itu.

Soalnya, mana mungkin? Mana mungkin seorang Moondae bisa-bisanya menyebut kalau Keunse itu kekasihnya yang sangat amat dia sayangi yang bisa memuaskannya di ranjang sampai rasanya dia tidak bisa bergerak lagi.

“M-moondae ... kamu sepertinya terlalu banyak minum,” Ahyeon mencoba menarik kaleng yang ada di genggaman si lelaki itu. Walau dalam keadaan mabuk berat, Moondae tetap gesit kalau menyangkut minumannya. Dengan cepat, dia langsung beranjak dari sisi Ahyeon, menjauh agar kalengnya tidak bisa diambil.

“Aku belum mabuk,” jawab Moondae, meneguk minumnya lagi. Ahyeon saja sudah hilang hitungan. Untung dia memilih untuk tidak minum sama sekali, berhubung hanya ada mereka berdua di rumah.

Ahyeon melirik jam di ponselnya. Masih ada sekitar satu jam sampai ada anggota lain yang sampai ke rumah. Keunse, seingatnya, yang mungkin tidak dapat membantunya banyak untuk keluar dari situasi ini.

Gagal mengambil kaleng yang sudah dipegang Moondae, Ahyeon memilih untuk menyingkirkan minuman lainnya yang belum dibuka. Mungkin salah mereka juga yang terlalu membatasi minuman Moondae sebelumnya, sehingga sekalinya dia minum, dia tidak dapat berhenti.

Namun, memangnya Moondae pernah semabuk ini? Di antara anggota lain, rasanya Moondae salah satu orang yang dapat tahan minum dalam kadar banyak. Tidak seperti Ahyeon yang bisa tumbang dalam sekali teguk.

“Aku ...,” Moondae bergumam, kedua tangannya memeluk lututnya, wajahnya seperti anak anjing yang hilang, “... kangen.”

Kepala Ahyeon kembali berputar. Kangen? Kangen? Tidak pernah terbayangkan olehnya—bahkan mungkin oleh anggota lain—bahwa Moondae akan merajuk seperti ini.

Lucu, sih, pikir Ahyeon. Gemas juga. Jadi agak cemburu rasanya karena sifat seperti ini hanya ditujukan pada Keunse seorang.

Menghela napas, Ahyeon duduk di samping Moondae. Kedua kakinya ikut menekuk, lutut mereka bersentuhan. Sedikit iseng, Moondae menabrak pelan lutut Ahyeon, membiarkan badan mereka terayun sedikit olehnya.

Baru saja Ahyeon mau membuka mulutnya, pintu rumah terbuka tiba-tiba. Diikuti seruan yang membuat Ahyeon sedikit terkejut sampai dia cepat-cepat berdiri dan menjauh dari Moondae.

“Aku pulang!” Keunse tersenyum lebar, matanya otomatis menemukan kedua orang yang berada di rumah.

Senyumnya perlahan bercampur dengan bingung, tidak memahami situasi yang sebelumnya terjadi. Kenapa ekspresi Ahyeon seperti maling tertangkap basah?

“Ah, uh, anu,” tidak ada satu kata jelas yang keluar dari mulut Ahyeon, pun tangannya bergerak sana-sini memberikan gestur yang sulit dipahami, “eh, uhm, aku sebaiknya ke k-kamar.”

Tanpa menunggu lama, Ahyeon langsung masuk ke kamarnya. Pintu yang terdengar sedikit dibanting membuat Keunse semakin tidak paham. Apa dia melakukan kesalahan? Dia memang pulang lebih cepat dari perkiraan, tapi apakah dia mengganggu momen Ahyeon dan Moondae?

Pandangannya beralih pada lelaki yang tersisa di ruangan. Lelaki itu sudah memandangnya lebih dulu, ternyata. Dan berdasarkan pengalaman Keunse, tatapan itu bukan pertanda baik.

“Kamu.”

“Eh?” Keunse menatap Moondae yang perlahan berdiri dan berjalan pelan mendekati dia. “M-moondae-moondae?”

[project sekai fanfiction—mnai / minori x airi; halloween!minori x princess!airi (from valentine event). karakter bukan milik saya dan tidak ada keuntungan yang didapat selain kesenangan pribadi.]

#octoberabble2024 day 2 – accidental touch


Ya, Tuhan, mau bagaimana lagi...

Minori menghela napas, seiring dengan mempererat pelukannya pada gunting raksasa itu. Tugasnya untuk menjaga hutan dari pendatang bukan hal mudah. Semua karena penampilannya yang tidak cukup menakutkan.

Baru saja, ada segerombolan anak-anak yang datang. Melihat hutan belantara itu sebagai bagian dari petualangan, ingin merasakan adegan-adegan fantasi yang mereka dengar dalam dongeng sebelum tidur. Anak-anak itu lincah, bergerak dengan semangat tanpa batas.

Minori hanya seorang diri. Melihat segerombolan anak-anak itu, bibirnya otomatis tersenyum—tentu dia langsung mengubah ekspresinya ketika sadar. Dia ini penjaga hutan! Harusnya lebih terlihat intimidatif agar tidak ada yang masuk. Terlebih anak-anak, siapa yang dapat menjamin mereka tidak celaka di dalam sana?

Anak-anak itu berhenti ketika mereka melihat Minori. Bingung tampak jelas pada raut wajah mereka, mata mereka melirik ke gaun Minori, lalu ke gunting raksasa yang hampir melebihi tingginya, berakhir pada sepasang tanduk di atas kepalanya.

“Eh?” salah seorang anak membuka mulutnya. “Ada unicorn?”

“Bukan, bukan unicorn,” Minori hampir tertawa kecil, “aku penjaga hutan ini. Kalian tidak boleh masuk.”

Berkaca dari pengalaman, dia memang harus menyatakan tugasnya dengan jelas dari awal. Basa-basi yang biasanya dia lakukan selalu berujung membuat kesan dia ini ramah. Tidak! Dia tidak bisa terlihat ramah.

“Kenapa?” tanya anak yang lain.

“Hutan ini berbahaya, bukan tempat untuk anak kecil seperti kalian.” Minori menghitung jumlah anak yang ada. Lima orang. Semoga tidak ada yang lolos dan menghilang tiba-tiba.

Anak-anak itu kembali memberikan rentetan pertanyaan yang dia tanggapi satu per satu. Beberapa kali, mereka mencoba lari dan menerobos masuk. Untungnya, dia cukup sigap untuk menangkap anak-anak itu dan menahan mereka sebelum masuk terlalu jauh.

Memang seharusnya dia tidak berjaga sendirian. Namun, siapa lagi? Shiho punya kencan dengan hantu cantik yang ada di pelosok hutan dekat bangunan tanpa penghuni. Kohane harus mengantar makan siang ke neneknya. Haruka sudah berjaga penuh seharian kemarin bersama Rin.

Setelah bernegosiasi dengan anak-anak itu, mereka akhirnya pergi setelah Minori membiarkan mereka menyentuh tanduknya. Sakit, sih, tapi tidak apa-apa. Dia bisa kehabisan energi hanya melayani anak-anak itu, padahal hari masih pagi.

Minori kembali ke posisi duduknya. Tangannya mengayunkan gunting raksasa itu ke kanan dan kiri, tidak ada hiburan lain yang dapat dia lakukan di sana. Harusnya, siang hari menjadi waktu yang aman. Cuaca panas dan terik, orang-orang juga punya kegiatan yang mengisi waktu luang mereka di siang hari. Seharusnya, tidak ada yang datang sampai matahari condong ke arah Barat.

“Eh, kamu itu makhluk apa?”

Suara itu mengagetkan Minori, menariknya dari lamunan dan kegiatan mengayun gunting. Tanpa dia sadari, ada yang datang mendekati. Jantungnya berdegup kencang. Mana mungkin, kan, ada hantu di siang hari seperti ini?

Pandangannya diisi dengan warna merah tua—gaun, setelah pikirannya mulai berjalan kembali dengan semula. Beberapa pita menghiasi gaun itu, dari yang kecil sampai sedang. Begitu juga dengan keranjang kecil yang ada dalam genggaman orang itu, isinya ditutupi oleh helai kain yang cukup tebal, tidak mudah diusik oleh angin yang mendera.

Orang yang mengenakan gaun itu berambut merah muda, gelombang panjangnya sampai ke pinggangnya. Ada jepit yang mengisi satu sisi rambutnya. Kedua matanya juga berwarna sama seperti rambutnya, menatapnya dengan tanda tanya dan sedikit rasa kekesalan karena pertanyaannya tidak lekas dijawab.

“Oh, uh, anu,” Minori sampai salah tingkah, nona ini terlalu cantik. “Aku ... eh, nona ada urusan apa sampai ke hutan ini?”

Satu tangan nona itu—yang tidak menggenggam keranjang bawaannya—menunjuk ke dirinya sendiri, lalu beralih ke Minori. “Kan aku yang bertanya duluan, harusnya kamu menjawab dulu.”

Baru Minori sadari, suara nona itu sedikit tinggi. Apakah karena dia marah? Atau memang normalnya seperti itu? Lucu, pikirnya. Agak tidak anggun seperti penampilannya, sih, tapi justru itu yang membuatnya menarik.

“Aku penjaga hutan ini.” Minori sedikit bersyukur suaranya jelas dan tidak pecah.

“Iya, itu juga aku tahu,” nona itu menghela napas, “maksudnya, kamu itu ... apa?” Tangannya kembali menunjuk ke Minori. Lebih tepatnya, pada kedua tanduk yang ada di kepalanya.

“Oh, um,” Minori kehilangan kata-kata. Dia tidak pernah secara jelas menyebutkan spesiesnya. Penghuni hutan yang lain menerima dia tanpa banyak tanya, karena mereka pun berasal dari berbagai campuran ras dan spesies. Orang-orang yang biasanya datang hanya bertanya retorik, tidak benar-benar meminta jawaban sungguhan dari dia.

Namun, nona ini sepertinya ... betulan bertanya.

Lagi-lagi dihadapi dengan tanpa jawaban, nona itu semakin merengut. Tangannya bergerak mencoba meraih kedua tanduk Minori—untungnya, Minori lebih cepat dan berhasil menepis tangan si nona.

“N-nona,” otak Minori seperti mati seketika, karena tanpa sadar—atau justru sengaja? Apa sebenarnya dia memang ingin menyentuh nona manis ini?—tangannya tidak hanya menepis tangan nona itu, tapi juga menggenggam pergelangan tangannya. Astaga. “Jangan ... jangan disentuh.”

Nona itu menatapnya, lalu melirik kedua tangan mereka. Perlahan, dia menarik tangannya untuk lepas dari genggaman Minori.

“Maaf,” ucap nona itu, “tapi rasanya aku baru kali ini melihat spesiesmu. Kamu tidak banyak hadir ke kota, ya?”

Tentu saja tidak. Kota lebih banyak diisi oleh manusia. Untuk bertahan hidup di sana, setidaknya penampilanmu harus benar-benar seperti manusia. Tidak ada tanduk, ekor, telinga, atau bentuk fisik lainnya yang anomali dari anatomi manusia. Dari teman-teman yang dia punya, hanya Kohane dan Haruka yang dapat bebas bepergian ke kota.

Minori menggeleng. Nona itu hanya memberinya senyum tipis—tipis sekali, hampir tidak terlihat kalau Minori tidak benar-benar memperhatikan wajahnya.

“Aku datang ke sini untuk mengajak kalian,” pandangan nona itu sedikit melirik ke arah hutan, “kamu dan teman-teman lainnya yang tinggal di hutan, untuk datang ke istana.”

Istana? Jangan bilang nona ini putri dari sana? Dari kerajaan? Langsung datang ke sini sendirian?

“Ini untukmu,” nona itu memberikan keranjang yang dia bawa ke tangan Minori, “kami kurang tahu, um, selera kalian. Jadi aku hanya masukkan yang sekiranya kalian suka.”

Belum sempat Minori mengucap terima kasih, nona itu sudah berbalik badan dan berjalan cepat. Rambut panjangnya berdansa dibawa angin. Namun sebelum jaraknya semakin jauh, nona itu menoleh.

“Aku sengaja,” ucapnya, “sengaja ingin menyentuh tandukmu untuk melihat reaksimu. Lucu.”

Tanpa menunggu tanggapan, nona itu kembali berlari. Jauh sampai Minori melihat figurnya menghilang dari jarak pandang.

Melirik ke dalam isi keranjang, ada sebuah kertas yang tersimpan rapi. Mata Minori melewati segala kata-kata undangan yang tertera, memilih fokus pada nama pengirim yang tertera di akhir kertas.

Nona Momoi Airi.

[debut or die fanfiction—keunmoon / keunse | lee sejin b x moondae (slight, ditag sebagai pair just in case aja); apocalypse au. karakter bukan milik saya dan tidak ada keuntungan yang didapat selain kesenangan pribadi.]

#octoberabble2024 day 1 – neon sign


Kedua mata emasnya adalah hal pertama yang menarik perhatian Lee Sejin. Disusul dengan beberapa helai rambut pirangnya yang tidak tertutup oleh tudung jaketnya.

Lee Sejin tidak tahu identitas lelaki itu. Mereka hanya selalu berpapasan di tempat yang sama dan waktu yang sama—menurutnya, sih, karena sudah tidak ada lagi jam yang bekerja di sekitarnya. Mereka tidak pernah berbicara dengan satu sama lain.

(Salah lelaki itu juga. Lee Sejin sempat menyapanya, memastikan dia orang hidup dan bukan spesies baru yang menguasai bumi. Namun lelaki itu hanya meliriknya sekali, lalu pergi tanpa menjawabnya. Selalu seperti itu setiap mereka bertemu, hingga Lee Sejin tidak lagi membuka mulutnya.)

Cahaya yang ada di gang sempit itu hanya berasal dari lampu neon di atas atap. Sesekali mati, tapi akan berkedip beberapa kali sebelum kembali menerangi bagian jalan kecil itu. Kalau sedang sial, lelaki itu akan lewat ketika lampu neon mati, menyisakan Lee Sejin dengan bayangannya saja.

(Terkadang, dia justru merasakan tatapan lelaki itu dalam keadaan gelap. Sayangnya, dia tidak bisa memastikannya juga.)

Sampai suatu hari, lelaki itu tidak datang.

Awalnya, Lee Sejin pikir dia yang terlalu cepat datang (atau malah terlalu lama). Atau mungkin, lelaki itu punya kesibukan lain yang memecah rutinitasnya. Bukan urusan dia juga, dia kan tidak mengenal lelaki itu.

Sampai pada esoknya. Lalu esoknya. Lalu esok-esoknya hingga seminggu berlalu dan Lee Sejin tidak menemuinya lagi.

Tidak ada yang bisa dia tanya terkait lelaki itu. Dunia yang ada di ambang kehancuran ini membuat orang-orang memiliki kubu tersendiri. Kalau tidak, mereka akan pergi sendiri-sendiri—mungkin seperti lelaki itu. Lee Sejin tidak pernah bercerita, tidak paham juga bagaimana dia menjelaskan pertemuan rutin mereka yang tidak cukup berkesan untuk dijadikan cerita.

Jadi, Lee Sejin memutuskan, suatu hari, untuk duduk menunggunya. Dia sengaja menyelesaikan kegiatan harinya lebih cepat. Memilih salah satu sudut di gang itu yang sedikit tersembunyi untuk menunggu.

Pikirannya mencoba kembali mengingat rupa si lelaki; jaket hitamnya dengan tudung yang menutup sebagian kepalanya, sepatu kets yang hampir tidak bersuara ketika melangkah, kedua tangannya yang selalu masuk di saku jaket, wajah yang sebagian besar ditutupi masker, menyisakan kedua mata emasnya dan beberapa helai rambut pirangnya.

Lucu juga, kalau Lee Sejin pikir, tidak banyak orang cocok dengan rambut pirang. Namun lelaki itu, dipadukan dengan warna kedua mata yang mirip, tidak buruk-buruk amat.

Matahari terbit. Lelaki itu tidak kunjung datang.

Lee Sejin menghela napas. Mungkin dia akan kembali coba malam nanti.