[project sekai fanfiction—mnai / minori x airi; halloween!minori x princess!airi (from valentine event). karakter bukan milik saya dan tidak ada keuntungan yang didapat selain kesenangan pribadi.]
#octoberabble2024 day 2 – accidental touch
Ya, Tuhan, mau bagaimana lagi...
Minori menghela napas, seiring dengan mempererat pelukannya pada gunting raksasa itu. Tugasnya untuk menjaga hutan dari pendatang bukan hal mudah. Semua karena penampilannya yang tidak cukup menakutkan.
Baru saja, ada segerombolan anak-anak yang datang. Melihat hutan belantara itu sebagai bagian dari petualangan, ingin merasakan adegan-adegan fantasi yang mereka dengar dalam dongeng sebelum tidur. Anak-anak itu lincah, bergerak dengan semangat tanpa batas.
Minori hanya seorang diri. Melihat segerombolan anak-anak itu, bibirnya otomatis tersenyum—tentu dia langsung mengubah ekspresinya ketika sadar. Dia ini penjaga hutan! Harusnya lebih terlihat intimidatif agar tidak ada yang masuk. Terlebih anak-anak, siapa yang dapat menjamin mereka tidak celaka di dalam sana?
Anak-anak itu berhenti ketika mereka melihat Minori. Bingung tampak jelas pada raut wajah mereka, mata mereka melirik ke gaun Minori, lalu ke gunting raksasa yang hampir melebihi tingginya, berakhir pada sepasang tanduk di atas kepalanya.
“Eh?” salah seorang anak membuka mulutnya. “Ada unicorn?”
“Bukan, bukan unicorn,” Minori hampir tertawa kecil, “aku penjaga hutan ini. Kalian tidak boleh masuk.”
Berkaca dari pengalaman, dia memang harus menyatakan tugasnya dengan jelas dari awal. Basa-basi yang biasanya dia lakukan selalu berujung membuat kesan dia ini ramah. Tidak! Dia tidak bisa terlihat ramah.
“Kenapa?” tanya anak yang lain.
“Hutan ini berbahaya, bukan tempat untuk anak kecil seperti kalian.” Minori menghitung jumlah anak yang ada. Lima orang. Semoga tidak ada yang lolos dan menghilang tiba-tiba.
Anak-anak itu kembali memberikan rentetan pertanyaan yang dia tanggapi satu per satu. Beberapa kali, mereka mencoba lari dan menerobos masuk. Untungnya, dia cukup sigap untuk menangkap anak-anak itu dan menahan mereka sebelum masuk terlalu jauh.
Memang seharusnya dia tidak berjaga sendirian. Namun, siapa lagi? Shiho punya kencan dengan hantu cantik yang ada di pelosok hutan dekat bangunan tanpa penghuni. Kohane harus mengantar makan siang ke neneknya. Haruka sudah berjaga penuh seharian kemarin bersama Rin.
Setelah bernegosiasi dengan anak-anak itu, mereka akhirnya pergi setelah Minori membiarkan mereka menyentuh tanduknya. Sakit, sih, tapi tidak apa-apa. Dia bisa kehabisan energi hanya melayani anak-anak itu, padahal hari masih pagi.
Minori kembali ke posisi duduknya. Tangannya mengayunkan gunting raksasa itu ke kanan dan kiri, tidak ada hiburan lain yang dapat dia lakukan di sana. Harusnya, siang hari menjadi waktu yang aman. Cuaca panas dan terik, orang-orang juga punya kegiatan yang mengisi waktu luang mereka di siang hari. Seharusnya, tidak ada yang datang sampai matahari condong ke arah Barat.
“Eh, kamu itu makhluk apa?”
Suara itu mengagetkan Minori, menariknya dari lamunan dan kegiatan mengayun gunting. Tanpa dia sadari, ada yang datang mendekati. Jantungnya berdegup kencang. Mana mungkin, kan, ada hantu di siang hari seperti ini?
Pandangannya diisi dengan warna merah tua—gaun, setelah pikirannya mulai berjalan kembali dengan semula. Beberapa pita menghiasi gaun itu, dari yang kecil sampai sedang. Begitu juga dengan keranjang kecil yang ada dalam genggaman orang itu, isinya ditutupi oleh helai kain yang cukup tebal, tidak mudah diusik oleh angin yang mendera.
Orang yang mengenakan gaun itu berambut merah muda, gelombang panjangnya sampai ke pinggangnya. Ada jepit yang mengisi satu sisi rambutnya. Kedua matanya juga berwarna sama seperti rambutnya, menatapnya dengan tanda tanya dan sedikit rasa kekesalan karena pertanyaannya tidak lekas dijawab.
“Oh, uh, anu,” Minori sampai salah tingkah, nona ini terlalu cantik. “Aku ... eh, nona ada urusan apa sampai ke hutan ini?”
Satu tangan nona itu—yang tidak menggenggam keranjang bawaannya—menunjuk ke dirinya sendiri, lalu beralih ke Minori. “Kan aku yang bertanya duluan, harusnya kamu menjawab dulu.”
Baru Minori sadari, suara nona itu sedikit tinggi. Apakah karena dia marah? Atau memang normalnya seperti itu? Lucu, pikirnya. Agak tidak anggun seperti penampilannya, sih, tapi justru itu yang membuatnya menarik.
“Aku penjaga hutan ini.” Minori sedikit bersyukur suaranya jelas dan tidak pecah.
“Iya, itu juga aku tahu,” nona itu menghela napas, “maksudnya, kamu itu ... apa?” Tangannya kembali menunjuk ke Minori. Lebih tepatnya, pada kedua tanduk yang ada di kepalanya.
“Oh, um,” Minori kehilangan kata-kata. Dia tidak pernah secara jelas menyebutkan spesiesnya. Penghuni hutan yang lain menerima dia tanpa banyak tanya, karena mereka pun berasal dari berbagai campuran ras dan spesies. Orang-orang yang biasanya datang hanya bertanya retorik, tidak benar-benar meminta jawaban sungguhan dari dia.
Namun, nona ini sepertinya ... betulan bertanya.
Lagi-lagi dihadapi dengan tanpa jawaban, nona itu semakin merengut. Tangannya bergerak mencoba meraih kedua tanduk Minori—untungnya, Minori lebih cepat dan berhasil menepis tangan si nona.
“N-nona,” otak Minori seperti mati seketika, karena tanpa sadar—atau justru sengaja? Apa sebenarnya dia memang ingin menyentuh nona manis ini?—tangannya tidak hanya menepis tangan nona itu, tapi juga menggenggam pergelangan tangannya. Astaga. “Jangan ... jangan disentuh.”
Nona itu menatapnya, lalu melirik kedua tangan mereka. Perlahan, dia menarik tangannya untuk lepas dari genggaman Minori.
“Maaf,” ucap nona itu, “tapi rasanya aku baru kali ini melihat spesiesmu. Kamu tidak banyak hadir ke kota, ya?”
Tentu saja tidak. Kota lebih banyak diisi oleh manusia. Untuk bertahan hidup di sana, setidaknya penampilanmu harus benar-benar seperti manusia. Tidak ada tanduk, ekor, telinga, atau bentuk fisik lainnya yang anomali dari anatomi manusia. Dari teman-teman yang dia punya, hanya Kohane dan Haruka yang dapat bebas bepergian ke kota.
Minori menggeleng. Nona itu hanya memberinya senyum tipis—tipis sekali, hampir tidak terlihat kalau Minori tidak benar-benar memperhatikan wajahnya.
“Aku datang ke sini untuk mengajak kalian,” pandangan nona itu sedikit melirik ke arah hutan, “kamu dan teman-teman lainnya yang tinggal di hutan, untuk datang ke istana.”
Istana? Jangan bilang nona ini putri dari sana? Dari kerajaan? Langsung datang ke sini sendirian?
“Ini untukmu,” nona itu memberikan keranjang yang dia bawa ke tangan Minori, “kami kurang tahu, um, selera kalian. Jadi aku hanya masukkan yang sekiranya kalian suka.”
Belum sempat Minori mengucap terima kasih, nona itu sudah berbalik badan dan berjalan cepat. Rambut panjangnya berdansa dibawa angin. Namun sebelum jaraknya semakin jauh, nona itu menoleh.
“Aku sengaja,” ucapnya, “sengaja ingin menyentuh tandukmu untuk melihat reaksimu. Lucu.”
Tanpa menunggu tanggapan, nona itu kembali berlari. Jauh sampai Minori melihat figurnya menghilang dari jarak pandang.
Melirik ke dalam isi keranjang, ada sebuah kertas yang tersimpan rapi. Mata Minori melewati segala kata-kata undangan yang tertera, memilih fokus pada nama pengirim yang tertera di akhir kertas.
Nona Momoi Airi.