Monolog Rifan #3 (Lanjutan)
Anya duduk menatap laki-laki di layar laptopnya yang sedang membeku menatap kertas.
Anya bahkan sempat mengecek berulang kali mengira video yang sedang ditampilkan di layar laptopnya itu rusak. Ternyata memang laki-laki itu sedang membeku saja.
Perlahan, Rifan melihat kamera dengan tatapan bingung, kemudian melihat kembali ke kertas dan membaca ulang untuk memastikan. Tak lama, bruk. Ia tergeletak di lantai dengan cepat layaknya orang tak sadarkan diri. Anya menaikkan kedua alisnya terkejut. Sebuah tindakan yang tiba-tiba.
Laki-laki itu sudah tak terlihat di layar. Yang terlihat hanya tangannya yang masih memegang kertas dari tempatnya tergeletak, dengan jari telunjuk mengacung sambil berkata, “Kalau sampai ini kerjaan Cello Hilmy, blender gue muat buat dua orang.”
“Ini kerjaan Cello Hilmy?” Ia menunjuk kamera dengan telunjuk penuh tuduhan. “Ini—” Ia membaca kembali isi surat itu untuk mencari celah yang bisa membuatnya menuduh teman-temannya, namun nihil. Itu benar-benar dari Anya. Toh, tadi dia sendiri yang menerimanya langsung dari tangan sang pemberi.
Rifan kembali terduduk. Rambut halusnya tak karuan bekas terbaring dan menjabak kecil rambutnya tak menyangka. Wajahnya termenung, berusaha memproses yang sedang terjadi. Ia melihat sembarang selama 3 detik, lalu mengatup kedua mulutnya yang semula ternganga berusaha tidak senyum.
Wajahnya tak terlihat begitu merah sebab pencahayaan kamarnya yang sedikit remang, namun, jika dilihat lebih dekat ke telinganya... telinga itu, seperti habis dibakar pemanggang daging. Merah. Sangat.
Ia tak berkata apa-apa, sebelum akhirnya berdiri dan mundur beberapa langkah keluar dari jangkauan kamera.
Anya yang sejak tadi memantau serius dengan kening berkerut, kini makin berkerut. Mau ke mana lagi?
Sembari Anya memiringkan kepalanya menunggu Rifan kembali muncul di kamera, Wiiiiii… Rifan melewati kamera dengan…. rol depan. Anya membelalakkan matanya terkejut. Bingung. Hah? Sambil mengedipkan matanya berulang kali tak percaya.
Setelah lewat sepersekian detik dengan rol depan itu, Rifan kembali menghilang setelahnya. Anya menggaruk alis yang tak gatal.
Kemudian, “Wiiiii...” Rifan kembali rol depan. “Waaaa...” “Wahahaha.” “Wooohoooo*” roll depan masih berlanjut. Entah sampai kapan. Mungkin akan berhenti jika lehernya sudah selunak pensil inul.
Anya semakin membelalak. Ia… benar-benar baru menyatakan rasa pada laki-laki setengah trenggiling yang berguling-guling kegirangan ini, kan? Setelah bertahun-tahun menjadi wanita pemilih yang menolak orang-orang yang menyukainya, keputusan finalnya ia menjatuhkan hati pada…. sang raja konyol? Ugh, Oliv akan sangat marah. Oliv akan berdoa, semoga Anya tak menyesali keputusannya. Dan fakta menariknya, sepertinya memang dia tetap tidak menyesali keputusannya.
Laki-laki itu berjalan mendekati kamera dengan jalan sempoyongan dan wajah yang sudah menyamai merah telinganya.
Tangan Rifan yang semula hendak mematikan kamera, tiba-tiba urung. Ia memilih untuk kembali berdiri di tengah-tengah kamera, lalu duduk dengan lututnya sambil sekuat tenaga menahan diri agar tak berisik. Senyumnya tertahan walau wajahnya sumringah. Matanya berbinar. Berulang kali ia menatap kamera dan menunduk lagi sebelum berbicara. Ia menatap langit-langit sambil berpikir keras mau bicara apa, namun akhirnya dia menyerah juga karena… tak sanggup.
Lucunya, sedikit telihat air matanya berlinang kesenangan dari kedua mata laki-laki itu.
Bayangkan jadi Rifan;
**Di masa lalu, ditolak mentah-mentah oleh perempuan menyedihkan (yang habis ditolak laki-laki yang ia sukai), hanya karena perempuan itu mencari pengalih kecewanya. Fakta menarik, waktu itu Rifan sama sekali belum menyatakan cinta. Tidak ada rencana bahkan. Ia tahu menyatakan cinta ke perempuan yang habis ditolak temannya bukanlah sesuatu yang tepat. Setidaknya, tidak tepat pada saat itu. Rifan bahkan ditolak sebelum menyatakan cintanya. **
5 tahun berlalu, Bali kembali mempertemukan mereka. Rifan yang masih sama menyebalkannya kembali mendekati Anya dengan sifat menjengkelkannya—yang ia kira akan membuat Anya semakin membencinya, namun malah… ia yang mendengar pernyataan cinta lebih dulu? Dari perempuan yang dulu menolaknya itu? Bisakah hidup lebih bercanda dari ini?.
Rifan menarik napas panjang. “Nya...” Dengan suara lemas, ia memanggil.
Anya yang pikirannya hampir terdistraksi ke hal lain, kembali menaruh fokus sebab dipanggil. Akhirnya… batin Anya setelah sekian lama menonton laki-laki itu tak berbicara di video.
“Gue harap ini bukan prank, karena gue bakal blender siapapun yang jadiin hal se-krusial ini prank.” Rifan bermonolog pura-pura mengancam. Anya memundurkan kepala dan tertawa kecil melihat Rifan tiba-tiba mendumal sendiri.
Rifan menenggak minum di sampingnya untuk menetralisir lelahnya roll depan (yang tidak perlu itu) dengan jantung yang tak mau berdetak normal sejak kalimat terakhir di surat itu terbaca.
“Gue nggak tahu apa yang lo liat dari gue sampai bisa... ngomong gin—huff...” Ia benar-benar sulit bicara. Bahagia betul rupanya sampai selalu menarik napas menahan diri agar tak berteriak di tengah malam. “Gue nggak tahu apa yang lo lihat dari gue sampai bisa ngomong gitu... Tapi, semoga keputusan lo buat suka sama gue, nggak bikin lo nyesel…. hihihi” Tiba-tiba ia cekikikan sendiri. Entah apa yang ada di kepalanya.
“Loh?” Anya ikut tertawa. “*Apa sih tiba-tiba ketawa?” Ikut tergelak melihat Rifan tiba-tiba tertawa sendiri padahal sebelumnya wajahnya cukup serius.
“Maaf.” Rifan menutup mulutnya malu sebab kelepasan tertawa. Lantas, ia menegakkan badannya tiba-tiba dengan posisi masih terduduk, lalu menatap kamera dengan serius layaknya seorang militer.
Anya yang sedang menonton lantas terpengaruh untuk duduk tegap. Tiba-tiba lagi? berusaha mengikuti alur video yang lebih banyak plot twist-nya dari film Inception.
“LAKSANAKAN!” Ia tiba-tiba berteriak sampai speaker laptop Anya sedikit bergetar. Anya yang semula menaikkan volumenya sejak awal video, buru-buru menurunkan volumenya karena entah kenapa tiba-tiba Rifan berteriak.
“Astaga...” Anya menghela napas sambil mengecilkan volumenya.
“*Tenang Nya, Nicholas Saputra (reject version) ini berjanji akan jadi pribadi yang menyenangkan!” Ia berteriak lantang bak prajurit yang melaporkan janjinya. Anya terkekeh sebal. ”*Rifan Dewantoro berjanji untuk jadi pribadi yang tidak menyebalkhaaaan!—oh kalau itu, jangan jangan.” Ia menggelengkan kepalanya sendiri, menarik ucapan dan berharap video itu akan teredit. Sayangnya tidak.
Anya tertawa kencang. Rifan langsung sadar diri bahwa dirinya menyebalkan, ia enggan merubah branding-nya sama sekali.
“Ulang. Cut yang tadi.” Ia menggesturkan bentuk gunting seperti memberitahu editor, padahal video itu sampai di tangan Anya tanpa diedit sedikitpun. “Rifan Dewantoro berjanji akan jadi pribadi yang dapat membuat Anya senang!—Eh, sama aja nggak ya, sama yang pertama?—Kalau gitu, Rifan Dewantoro berjanji akan....” Rifan bermonolog ragu sendiri. “….YA POKOKNYA, AKAN SENANG AJA LAH, KALAU SAMA RIFAN DEWANTORO MAH. PROGRAM SAYA ADALAH MEMBUAT TANYA MILEVA SENANG. PILIH SAYA! Walau udah dipilih. Asik.” Rifan kembali tertawa sendiri, tergelak geli ulah ucapannya sendiri.
“IH ANEEEEEH!” Anya berteriak kecil sambil tertawa. “Ngomong sendiri, ketawa sendiri. Sebel,” respons-nya.
“Anya dengar nggak?” Rifan menunjuk kamera seakan tahu Anya tak memperhatikannya.
“IYA KAKAK!” Perempuan itu mengangguk sambil memegang perutnya yang keram karena tertawa. “Oke...*” jawabnya.
“Kalau Rifan-nya nyebelin, boleh ditempeleng pakai cangkul aja. Asal jangan diputusin sepihak. Mohon…*” Laki-laki itu memelas.
“Putusin, ah…” Anya mengejek dari jauh walau tahu tidak akan terdengar.
“Oke, ya, Nya? Kita udah siap jadi saingan Arief Tipang, ya? Kalau begitu, sampai jumpa di mimpi indah. Semoga Indah nggak sebal ngelihat kita pacaran di mimpinya.”
Anya menggelengkan kepalanya mendengar ucapan laki-laki yang tak pernah sekalipun lurus dan serius. Ucapannya selalu dipleset.
Rifan lantas mendekat ke kamera dan menekan tombol off. Lalu pergi meninggalkan kamera.
Iya, pergi meninggalkan kamera. Anya menyaksikan ia meninggalkan kamera.
Yang artinya… kamera tidak berhasil dimatikan. Kamera masih merekam Rifan walau ia berpikir sudah mematikannya.
Anya tak bisa melihat wajah Rifan karena ia sudah meninggalkan area yang terekam, namun suara laki-laki itu masih terdengar sebab ia masih tak berhenti mengoceh. “Daaaanggg…. i’m so lucky,” gumam Rifan sambil mengangkat hadiah-hadiahnya untuk dirapikan.
Anya tersenyum lebar mendengar gumaman Rifan yang tak dibuat-buat itu.
“Tuhan... what did i do to be this lucky? Apa di kehidupan sebelumnya hambaMu ini teman nongkrong Isaac Newton di bawah pohon apel dan memberitahu Bang Newton perihal gravitasi? Mungkin… Mungkin, mungkin, mungkin… Huahahaha.” Rifan mengoceh dan tertawa sendiri.
“Apakah Saudara Anya akan bahagia bersama Rifan Dewantoro, pemirsa? Bagaimana tanggapan Mbak Nana? Lesti? Mas Anang? Akan dijawab setelah jeda pariwara berikut; teng neng neng neng.”
“Ya Tuhan, ngomong apa sih dia ini???” Anya tertawa kencang tak henti-henti mendengar ocehan asbun-nya. Tawanya lebih kencang mengingat Rifan tak sadar kameranya masih terekam.
Lalu, lampu kamar Rifan dimatikan. Dan terdengar suara pintu (yang Anya asumsikan adalah pintu kamar mandi) ditutup. Rifan sudah masuk kamar mandi dan mungkin hendak bersiap untuk tidur.
Lantas, kamera mati dengan sendirinya. Mungkin habis baterai, atau kecanggihan alam yang dapat mengetahui situasi sang empunya.
Anya menghela napas panjang setelah lelah tertawa menonton video respons dari pernyataannya. Tak menyesal ia sudah diam-diam mengambil flashdisk tanpa disadari Rifan.
Anya masih terkekeh bahkan setelah layar laptopnya menggelap karena lama tak disentuh setelah video dimatikan. Masih terbayang monolog lucu Rifan yang mengatakan dirinya beruntung, masih terbayang ocehan Rifan yang bertanya-tanya cara membuat Anya bahagia.
Artinya, laki-laki itu benar-benar natural dengan komitmennya membahagiakan. Laki-laki itu benar-benar natural merasa beruntungnya.
Anya sempat ada di tahap di mana ia merasa tak pantas dengan siapapun. Tumbuh sendiri dengan keluarga yang terpisah membuatnya merasa, mungkin tak akan ada yang mau berurusan dengannya selain Oliv. Kalaupun ada, mereka tidak cukup beruntung karena harus berhubungan dengannya.
Tidak sampai ia mendengar sendiri Rifan yang mengatakan dirinya beruntung karena Anya.
Jika sebagian orang berpendapat—termasuk Rifan—khawatir Anya akan menyesali keputusannya menyukai laki-laki konyol, Anya justru semakin mantap dengan perasaannya.
Jatuh cinta pada orang yang jatuh lebih dulu ternyata adalah hal yang lebih menyenangkan.
Apalagi, jatuh cinta dengan pribadi yang konyol. Tanpa harus berusaha keras, bahagia sudah jadi jaminan pasti tanpa perlu banyak menuntut.
Kata Anya, kalau semua orang di dunia benci Rifan… ya, pantas. Dia juga. Tapi kalau semua orang di dunia suka Rifan… awas! Anya lawannya.
Katanya, cukup dia saja yang suka. Yang lain nggak usah.