ijoscripts

Anya duduk menatap laki-laki di layar laptopnya yang sedang membeku menatap kertas.

Anya bahkan sempat mengecek berulang kali mengira video yang sedang ditampilkan di layar laptopnya itu rusak. Ternyata memang laki-laki itu sedang membeku saja.

Perlahan, Rifan melihat kamera dengan tatapan bingung, kemudian melihat kembali ke kertas dan membaca ulang untuk memastikan. Tak lama, bruk. Ia tergeletak di lantai dengan cepat layaknya orang tak sadarkan diri. Anya menaikkan kedua alisnya terkejut. Sebuah tindakan yang tiba-tiba.

Laki-laki itu sudah tak terlihat di layar. Yang terlihat hanya tangannya yang masih memegang kertas dari tempatnya tergeletak, dengan jari telunjuk mengacung sambil berkata, “Kalau sampai ini kerjaan Cello Hilmy, blender gue muat buat dua orang.

“Ini kerjaan Cello Hilmy?” Ia menunjuk kamera dengan telunjuk penuh tuduhan. “Ini—” Ia membaca kembali isi surat itu untuk mencari celah yang bisa membuatnya menuduh teman-temannya, namun nihil. Itu benar-benar dari Anya. Toh, tadi dia sendiri yang menerimanya langsung dari tangan sang pemberi.

Rifan kembali terduduk. Rambut halusnya tak karuan bekas terbaring dan menjabak kecil rambutnya tak menyangka. Wajahnya termenung, berusaha memproses yang sedang terjadi. Ia melihat sembarang selama 3 detik, lalu mengatup kedua mulutnya yang semula ternganga berusaha tidak senyum.

Wajahnya tak terlihat begitu merah sebab pencahayaan kamarnya yang sedikit remang, namun, jika dilihat lebih dekat ke telinganya... telinga itu, seperti habis dibakar pemanggang daging. Merah. Sangat.

Ia tak berkata apa-apa, sebelum akhirnya berdiri dan mundur beberapa langkah keluar dari jangkauan kamera.

Anya yang sejak tadi memantau serius dengan kening berkerut, kini makin berkerut. Mau ke mana lagi?

Sembari Anya memiringkan kepalanya menunggu Rifan kembali muncul di kamera, Wiiiiii… Rifan melewati kamera dengan…. rol depan. Anya membelalakkan matanya terkejut. Bingung. Hah? Sambil mengedipkan matanya berulang kali tak percaya.

Setelah lewat sepersekian detik dengan rol depan itu, Rifan kembali menghilang setelahnya. Anya menggaruk alis yang tak gatal.

Kemudian, “Wiiiii...” Rifan kembali rol depan. “Waaaa...” “Wahahaha.” “Wooohoooo*” roll depan masih berlanjut. Entah sampai kapan. Mungkin akan berhenti jika lehernya sudah selunak pensil inul.

Anya semakin membelalak. Ia… benar-benar baru menyatakan rasa pada laki-laki setengah trenggiling yang berguling-guling kegirangan ini, kan? Setelah bertahun-tahun menjadi wanita pemilih yang menolak orang-orang yang menyukainya, keputusan finalnya ia menjatuhkan hati pada…. sang raja konyol? Ugh, Oliv akan sangat marah. Oliv akan berdoa, semoga Anya tak menyesali keputusannya. Dan fakta menariknya, sepertinya memang dia tetap tidak menyesali keputusannya.

Laki-laki itu berjalan mendekati kamera dengan jalan sempoyongan dan wajah yang sudah menyamai merah telinganya.

Tangan Rifan yang semula hendak mematikan kamera, tiba-tiba urung. Ia memilih untuk kembali berdiri di tengah-tengah kamera, lalu duduk dengan lututnya sambil sekuat tenaga menahan diri agar tak berisik. Senyumnya tertahan walau wajahnya sumringah. Matanya berbinar. Berulang kali ia menatap kamera dan menunduk lagi sebelum berbicara. Ia menatap langit-langit sambil berpikir keras mau bicara apa, namun akhirnya dia menyerah juga karena… tak sanggup.

Lucunya, sedikit telihat air matanya berlinang kesenangan dari kedua mata laki-laki itu.

Bayangkan jadi Rifan;

**Di masa lalu, ditolak mentah-mentah oleh perempuan menyedihkan (yang habis ditolak laki-laki yang ia sukai), hanya karena perempuan itu mencari pengalih kecewanya. Fakta menarik, waktu itu Rifan sama sekali belum menyatakan cinta. Tidak ada rencana bahkan. Ia tahu menyatakan cinta ke perempuan yang habis ditolak temannya bukanlah sesuatu yang tepat. Setidaknya, tidak tepat pada saat itu. Rifan bahkan ditolak sebelum menyatakan cintanya. **

5 tahun berlalu, Bali kembali mempertemukan mereka. Rifan yang masih sama menyebalkannya kembali mendekati Anya dengan sifat menjengkelkannya—yang ia kira akan membuat Anya semakin membencinya, namun malah… ia yang mendengar pernyataan cinta lebih dulu? Dari perempuan yang dulu menolaknya itu? Bisakah hidup lebih bercanda dari ini?.

Rifan menarik napas panjang. “Nya...” Dengan suara lemas, ia memanggil.

Anya yang pikirannya hampir terdistraksi ke hal lain, kembali menaruh fokus sebab dipanggil. Akhirnya… batin Anya setelah sekian lama menonton laki-laki itu tak berbicara di video.

Gue harap ini bukan prank, karena gue bakal blender siapapun yang jadiin hal se-krusial ini prank.” Rifan bermonolog pura-pura mengancam. Anya memundurkan kepala dan tertawa kecil melihat Rifan tiba-tiba mendumal sendiri.

Rifan menenggak minum di sampingnya untuk menetralisir lelahnya roll depan (yang tidak perlu itu) dengan jantung yang tak mau berdetak normal sejak kalimat terakhir di surat itu terbaca.

“Gue nggak tahu apa yang lo liat dari gue sampai bisa... ngomong gin—huff...” Ia benar-benar sulit bicara. Bahagia betul rupanya sampai selalu menarik napas menahan diri agar tak berteriak di tengah malam. “Gue nggak tahu apa yang lo lihat dari gue sampai bisa ngomong gitu... Tapi, semoga keputusan lo buat suka sama gue, nggak bikin lo nyesel…. hihihi” Tiba-tiba ia cekikikan sendiri. Entah apa yang ada di kepalanya.

Loh?” Anya ikut tertawa. “*Apa sih tiba-tiba ketawa?” Ikut tergelak melihat Rifan tiba-tiba tertawa sendiri padahal sebelumnya wajahnya cukup serius.

“Maaf.” Rifan menutup mulutnya malu sebab kelepasan tertawa. Lantas, ia menegakkan badannya tiba-tiba dengan posisi masih terduduk, lalu menatap kamera dengan serius layaknya seorang militer.

Anya yang sedang menonton lantas terpengaruh untuk duduk tegap. Tiba-tiba lagi? berusaha mengikuti alur video yang lebih banyak plot twist-nya dari film Inception.

“LAKSANAKAN!” Ia tiba-tiba berteriak sampai speaker laptop Anya sedikit bergetar. Anya yang semula menaikkan volumenya sejak awal video, buru-buru menurunkan volumenya karena entah kenapa tiba-tiba Rifan berteriak.

“Astaga...” Anya menghela napas sambil mengecilkan volumenya.

“*Tenang Nya, Nicholas Saputra (reject version) ini berjanji akan jadi pribadi yang menyenangkan!” Ia berteriak lantang bak prajurit yang melaporkan janjinya. Anya terkekeh sebal. ”*Rifan Dewantoro berjanji untuk jadi pribadi yang tidak menyebalkhaaaan!—oh kalau itu, jangan jangan.” Ia menggelengkan kepalanya sendiri, menarik ucapan dan berharap video itu akan teredit. Sayangnya tidak.

Anya tertawa kencang. Rifan langsung sadar diri bahwa dirinya menyebalkan, ia enggan merubah branding-nya sama sekali.

Ulang. Cut yang tadi.” Ia menggesturkan bentuk gunting seperti memberitahu editor, padahal video itu sampai di tangan Anya tanpa diedit sedikitpun. “Rifan Dewantoro berjanji akan jadi pribadi yang dapat membuat Anya senang!—Eh, sama aja nggak ya, sama yang pertama?—Kalau gitu, Rifan Dewantoro berjanji akan....” Rifan bermonolog ragu sendiri. “….YA POKOKNYA, AKAN SENANG AJA LAH, KALAU SAMA RIFAN DEWANTORO MAH. PROGRAM SAYA ADALAH MEMBUAT TANYA MILEVA SENANG. PILIH SAYA! Walau udah dipilih. Asik.” Rifan kembali tertawa sendiri, tergelak geli ulah ucapannya sendiri.

IH ANEEEEEH!” Anya berteriak kecil sambil tertawa. “Ngomong sendiri, ketawa sendiri. Sebel,” respons-nya.

Anya dengar nggak?” Rifan menunjuk kamera seakan tahu Anya tak memperhatikannya.

IYA KAKAK!” Perempuan itu mengangguk sambil memegang perutnya yang keram karena tertawa. “Oke...*” jawabnya.

“Kalau Rifan-nya nyebelin, boleh ditempeleng pakai cangkul aja. Asal jangan diputusin sepihak. Mohon…*” Laki-laki itu memelas.

Putusin, ah…” Anya mengejek dari jauh walau tahu tidak akan terdengar.

Oke, ya, Nya? Kita udah siap jadi saingan Arief Tipang, ya? Kalau begitu, sampai jumpa di mimpi indah. Semoga Indah nggak sebal ngelihat kita pacaran di mimpinya.

Anya menggelengkan kepalanya mendengar ucapan laki-laki yang tak pernah sekalipun lurus dan serius. Ucapannya selalu dipleset.

Rifan lantas mendekat ke kamera dan menekan tombol off. Lalu pergi meninggalkan kamera.

Iya, pergi meninggalkan kamera. Anya menyaksikan ia meninggalkan kamera.

Yang artinya… kamera tidak berhasil dimatikan. Kamera masih merekam Rifan walau ia berpikir sudah mematikannya.

Anya tak bisa melihat wajah Rifan karena ia sudah meninggalkan area yang terekam, namun suara laki-laki itu masih terdengar sebab ia masih tak berhenti mengoceh. “Daaaanggg…. i’m so lucky,” gumam Rifan sambil mengangkat hadiah-hadiahnya untuk dirapikan.

Anya tersenyum lebar mendengar gumaman Rifan yang tak dibuat-buat itu.

Tuhan... what did i do to be this lucky? Apa di kehidupan sebelumnya hambaMu ini teman nongkrong Isaac Newton di bawah pohon apel dan memberitahu Bang Newton perihal gravitasi? Mungkin… Mungkin, mungkin, mungkin… Huahahaha.” Rifan mengoceh dan tertawa sendiri.

Apakah Saudara Anya akan bahagia bersama Rifan Dewantoro, pemirsa? Bagaimana tanggapan Mbak Nana? Lesti? Mas Anang? Akan dijawab setelah jeda pariwara berikut; teng neng neng neng.

Ya Tuhan, ngomong apa sih dia ini???” Anya tertawa kencang tak henti-henti mendengar ocehan asbun-nya. Tawanya lebih kencang mengingat Rifan tak sadar kameranya masih terekam.

Lalu, lampu kamar Rifan dimatikan. Dan terdengar suara pintu (yang Anya asumsikan adalah pintu kamar mandi) ditutup. Rifan sudah masuk kamar mandi dan mungkin hendak bersiap untuk tidur.

Lantas, kamera mati dengan sendirinya. Mungkin habis baterai, atau kecanggihan alam yang dapat mengetahui situasi sang empunya.

Anya menghela napas panjang setelah lelah tertawa menonton video respons dari pernyataannya. Tak menyesal ia sudah diam-diam mengambil flashdisk tanpa disadari Rifan.

Anya masih terkekeh bahkan setelah layar laptopnya menggelap karena lama tak disentuh setelah video dimatikan. Masih terbayang monolog lucu Rifan yang mengatakan dirinya beruntung, masih terbayang ocehan Rifan yang bertanya-tanya cara membuat Anya bahagia.

Artinya, laki-laki itu benar-benar natural dengan komitmennya membahagiakan. Laki-laki itu benar-benar natural merasa beruntungnya.

Anya sempat ada di tahap di mana ia merasa tak pantas dengan siapapun. Tumbuh sendiri dengan keluarga yang terpisah membuatnya merasa, mungkin tak akan ada yang mau berurusan dengannya selain Oliv. Kalaupun ada, mereka tidak cukup beruntung karena harus berhubungan dengannya.

Tidak sampai ia mendengar sendiri Rifan yang mengatakan dirinya beruntung karena Anya.

Jika sebagian orang berpendapat—termasuk Rifan—khawatir Anya akan menyesali keputusannya menyukai laki-laki konyol, Anya justru semakin mantap dengan perasaannya.

Jatuh cinta pada orang yang jatuh lebih dulu ternyata adalah hal yang lebih menyenangkan.

Apalagi, jatuh cinta dengan pribadi yang konyol. Tanpa harus berusaha keras, bahagia sudah jadi jaminan pasti tanpa perlu banyak menuntut.

Kata Anya, kalau semua orang di dunia benci Rifan… ya, pantas. Dia juga. Tapi kalau semua orang di dunia suka Rifan… awas! Anya lawannya.

Katanya, cukup dia saja yang suka. Yang lain nggak usah.

Anya mengikat tali sepatunya dengan tatapan kosong menatap sembarang. Pikirannya masih tertuju pada apa kemungkinan yang membuat Rifan tak menggubris suratnya.

Isi kepalanya berputar pada: Bisa jadi, memang benar suratnya jatuh dan nggak terbaca. Atau, buruknya, memang ditolak secara halus, lagi. Untuk yang kedua kalinya. Dari orang yang berbeda. Pertama, teman Kak Rifan. Kedua, Kak Rifan-nya sendiri. Ditolak dari dua pernyataan cinta yang berbeda? Konyol.

Anya menertawakan dirinya sendiri, miris. Sedikit menyesali keputusan gegabahnya kemarin. Entah apa yang ada di pikirannya saat itu sampai berani mengambil langkah riskan untuk yang kedua kalinya.

Namun, berbeda dari pernyataan cinta sebelumnya. Mungkin, kali ini, ada sedikit harapan, karena… Rifan juga punya rasa. Lagipula, orang bodoh mana yang terlalu naif sampai tidak bisa menangkap sinyal laki-laki yang memang tak pandai menutupi perasaannya itu.

Mungkin, optimisme itu datang dari fakta bahwa laki-laki itu pernah menyukainya lebih dulu, dan Anya pernah menolak. Namun, tetap Anya tak bisa melupakan kemungkinan bahwa karma selalu datang di waktu yang matang, seperti sekarang ini.

Jika benar ini adalah karma, penempatan waktunya benar-benar sadis.

Anya berdiri dengan malas setelah sepatunya terpakai sempurna. Yang ia yakini—maksudnya, yang ia dengar dari Rifan—olahraga adalah cara terbaik melarikan diri dari pikiran yang berkecamuk. Jadi, daripada berpikir yang tidak-tidak, ia tetap bangun untuk konsisten menjalani rutinitas paginya. Hitung-hitung lari dari pikirannya sendiri.

Berjalan keluar, Anya memperhatikan sekitar.

Rifan pernah memberi tahu satu hal lagi agar tak tenggelam dari pikiran sendiri, yaitu agar menjadi pemerhati yang detail. Merasakan udara yang berembus membelai kulit, daun-daun yang bergoyang kala angin lewat tanpa permisi, orang-orang tertawa yang bisa jadi semalam habis menangis, orang-orang berwajah murung yang mungkin sedang bahagia menanti hal baik di malam ini. Intinya, memerhatikan dan memikirkan kemungkinan-kemungkinan sederhana yang terjadi di sekitar. Dan itu berhasil, Anya berhasil ‘kabur’ dari pikiran berkecamuk tanpa titiknya dengan cara itu.

Di tiang lobi, ia melihat sebuah poster berukuran A4 dengan kertas cokelat. Sekilas, terlihat seperti poster untuk mencari seseorang, namun foto yang dipajang dalam bentuk gambar, bukan foto.

Anya tak benar-benar menghiraukan, ia sedang fokus menghisap embus napasnya dengan udara Jakarta pukul 6.30 pagi.

Ia lantas tetap berlari kecil menuju jogging track yang tak jauh dari lobi apartemennya.

Seorang pria tua yang tak terbaca estimasi usianya menyerahkan selembar kertas ke Anya. Hm? Brosur rumah makan. Di pagi hari yang cerah. Ia lipat dan simpan dalam kantungnya, bersiap untuk dibuang jika tak benar-benar dibutuhkan.

Berjalan beberapa langkah lagi, pria muda berkemeja rapi juga menyerahkan selembar kertas. Anya mengambilnya sekelibat tanpa basa-basi. Samar-samar ia dengar ucapan terima kasih dari si pembagi brosur.

Oh? Bukan brosur. Anya membolak-balikkan kertas itu dengan bingung.

Itu kertas yang sama yang Anya lihat dekat tiang lobi di awal keluar.

Kertas pencari orang dengan tulisan…

Not wanted? Anya mengerutkan dahinya, jalannya melamban. “Kalau not wanted ngapain dibagiin?” Ia terkekeh heran dan mengedikkan bahu.

Matanya perlahan melihat ke gambar di bawah tulisan. Wajah perempuan berambut pendek yang digambar sketsa dengan tangan tanpa rangka.

Rambutnya….?

Anya lantas menoleh dengan cepat melihat Sang Pemberi Kertas.

Ia melihat Rifan berdiri dengan mata yang membulat sempurna ke arahnya. Mirip seperti tatapan berbinar, tapi yakinlah, sepertinya bukan. Anya tak sadar yang memberi kertas adalah seseorang yang sejak tadi dalam pikirannya. Laki-laki itu sebelumnya menunduk.

Keduanya bertatap dengan wajah bingung selama 4 detik, lantas Rifan tertawa kecil (tanpa alasan) menampilkan deretan gigi rapi dan mata membentuk sabit. Mungkin ia hanya senang karena akhirnya Anya keluar setelah ditunggu “sekian abad” di depan.

Anya mengangkat kertasnya sejajar dengan pipi, lalu ikut tertawa kecil (tanpa alasan) tertular laki-laki di seberangnya. Ia baru ingat, tulisan yang tertera di kertas itu ‘not wanted’ bukan ‘wanted’.

Perempuan yang semula tertawa kecil berangsur memudar dan menghindari kontak mata. Anya mendekat ke tempat Rifan berdiri. Ada sepintas rasa gugup dalam wajahnya yang berusaha ia tutupi. Anya belum siap mendengar ucapan Rifan yang bisa saja senyum-senyum tapi mengeluarkan kalimat tak beradab—seperti yang biasa laki-laki itu lakukan.

Not wanted?” tanya Anya dengan kekehan kecil yang siapapun juga mengetahui kekehan itu bukanlah tawa.

Rifan tersenyum lagi, kali ini dengan dua bibir terkatup. Laki-laki itu terlihat bodoh. Lebih bodoh dari biasanya. Ia sama sekali tidak bisa menyembunyikan ekspresi senangnya pasca membaca surat kemarin. Bibirnya tak henti-henti tersenyum sejak semalam. Bahkan di depan pemberinya pun, ia masih tak bisa menahan diri. Kalau dia boleh berteriak, akan ia lakukan. Tapi di mana ia akan menaruh wibawanya yang memang tidak ada itu?

Gue udah baca, Nya.” Ia tiba-tiba menjawab dengan pernyataan lain.

Anya menaikkan kedua alisnya, bertanya. Memastikan saja. Walau ucapan Rifan jelas terdengar di telinganya.

Surat lo, gue udah baca.

O… kay?” Kepala Anya sedikit menunduk tanpa melepas kontak matanya dengan Rifan. “So… a no?” Ia langsung menyimpulkan jawaban sepihak dari tulisan ‘not wanted’ di kertas itu.

Rifan menggeleng.

Bermakna ganda.

Entah menggeleng karena pernyataan Anya salah, atau menggeleng karena, memang jawabannya, ‘tidak’.

Malas membangun ekspektasi, Anya sudah menyimpulkan kemungkinan terburuk.

Jadi, gimana, suratnya siapa yang nulis?” Rifan bertanya, sengaja, ingin mendengarnya langsung dari perempuan di hadapannya itu. Perempuan yang pernah menolaknya lalu tiba-tiba menyatakan perasaan lebih dulu itu.

Anya tak sanggup mengucap sepatah katapun. Masa harus dijelasin lagi,sih? batinnya jengkel. Lalu, “Emangnya aneh ya kalau gue yang nulis? Emangnya cewek nggak boleh ya ngomong duluan? Apa karena dulu gue pernah nolak, jadi aneh kalau tiba-tiba ngirim gitu? Sesalah itu kah?” Anya sewot tiba-tiba. Padahal ia sedang berusaha menutupi rasa malu yang sudah sampai ubun-ubun. Semua kata yang terucap dari mulutnya barusan tidak ada yang masuk akal. Biarkan saja. Orang jatuh cinta memang bodoh.

Daaaannggg, chill.” Rifan memundurkan kepalanya sambil terkekeh. “Gue juga ada di pihak Bu Kartini, Lady. Chill.” Ia tertawa.

Nggak perlu ditanya lagi, lah... Iya gue yang nulis.” Anya salah tingkah. Kesal karena harus melewati tahap interview saat dirinya gugup menunggu jawaban sejak kemarin. “Jadi, gimana jawabannya? Jangan lama-lama, Kak, gue mau lanjut olahraga. Kalau mau nolak, sekarang aja jangan diulur-ulur. Kalau mau terima—

Harusnya gue duluan dong, yang ngomong. Lo udah duluan aja.” Rifan memotong ucapannya. “Padahal gue udah siap-siap ditolak lagi kayak waktu itu.

“*Kita sama-sama makhluk tertolak, by the way. Bedanya, lo lama. Gue nggak bisa nunggu, apalagi kalau nggak ada antrian yang jelas.*”

Rifan tertawa kencang. “Antrian apaan? Yang antri cuma lo.” Juga menangkap Anya menahan tawa walau tatapan salah tingkahnya sedikit sinis. “Eh, itu juga sebenarnya gue yang antri duluan, sih. Dewi Fortuna lagi baik aja ke gue, makanya dapat express pass.

Anya mengalihkan tatapannya ke arah lain, tak berani menatap Rifan. Takut matanya copot kesenangan.

Ugh...” Rifan mengembuskan napasnya kasar dan menatap langit. “Lucky me.” Ia tersenyum lebar menatap langit. Jika dilihat dari posisi Anya, hanya terlihat dagu kecil dan pipi yang mengembung akibat senyum.

Diam-diam Anya juga tersenyum. Sepertinya itu sudah jawaban yang cukup untuk menjawab pernyataannya kemarin, bukan?

Rifan kembali melihat ke Anya yang kini sudah menatapnya tak berkedip. Senyum Rifan tak sedikitpun memudar, malah semakin lebar. Keduanya berkaca satu sama lain dengan ekspresi 'cerah' yang serupa.

I'm all yours, then.” Rifan mengedikkan bahu, menciptakan garis senyum Anya semakin terlihat ulah senyum yang semakin lebar. “All....” Ia menunjuk ke seluruh dirinya dengan kedua tangan. “Yours. Only.

Anya tertawa kencang. “Kalau semuanya, berarti bebas diapain aja, kan?

Rifan mengangguk ragu. Perasaannya tidak enak.

Berarti boleh digigit?

Nya...” Ekspresi Rifan langsung menunjukkan raut malas. “Gue harap lo bisa memanusiakan manusia? Kita baru hari pertama jadian.

Am nyam nyam nyam...” Anya memperagakan orang sedang memakan. “Enaknya...” Sambil tertawa kecil.

Ih...” Rifan menatapnya (pura-pura) takut. “Nggak jadi, deh. Lain kali aja kalau gitu.

Yah? Oke deh, nggak jadi...” Anya juga (pura-pura) takut dengan wajah murung. “Kalau...?” Perempuan itu membuka tangannya lebar, bercanda. Enggan berhenti menggoda Rifan yang tak biasa digoda. Jarang-jarang melihat Rifan salah tingkah dengan wajah malu-malunya yang menyebalkan itu.

Rifan langsung membelalak. Otot-otot di wajahnya melemas dalam sesaat. Ya Tuhan... batinnya, sambil menggeleng.

Ia tahu Anya hanya bercanda, oleh sebabnya ia menggeleng dan mengusap wajahnya malas. Padahal, degup jatung yang semula normal berubah menjadi seperti genderang mau perang—kata Ahmad Dhani.

Perlu diingat, Rifan tak pandai menutupi perasaannya. Ekspresi terkejut dan gugupnya langsung terlihat walau dalam sepersekian detik.

Belum lari, kok, belum keringatan.” Anya melihat ke tubuhnya yang masih rapi dan wangi untuk memastikan dirinya 'layak' untuk mendekatkan diri ke laki-laki yang sudah wangi hendak berangkat ke kantor itu.

Y-ya gak us—

Belum sempat mendengar jawaban, Anya sudah melingkarkan kedua tangannya tanpa permisi. Degup berisik tak karuan lantas terdengar kala telinganya menempel ke tubuh empunya.

Anya tertawa cekikikan tanpa suara, sedang si laki-laki dan tangannya yang malu-malu itu masih bertengkar hebat untuk memberanikan diri membalas dekapnya.

Anya tahu tangan Rifan tak sampai-sampai, gerakan ragunya terasa pula di tubuhnya. Ia juga tahu memang ini semua terlalu tiba-tiba. Jadi ia hanya tersenyum menahan tawa mendengar degup jantung Rifan yang kian lama kian cepat. Jika dibiarkan, bisa lepas sepertinya.

Setelah semenit, Anya mulai merasa sesuatu ikut mendekap punggungnya.

Akhirnya, dibalas juga. Dasar bodoh. Anya membatin sambil tertawa dalam hatinya, tak menyangka bisa jatuh pada laki-laki bodoh yang untuk membalas pelukan saja harus berpikir jutaan kali. Tidak menyangka pula laki-laki yang selalu menyebalkan dan sok keras itu ternyata pemalu.

Nya,” panggil Rifan di tengah agenda Teletubbies mereka. “Ini beneran Anya, kan, ya? Bukan jin menyamar?

Anya menggigit lengan terdekat yang bisa dijangkaunya.

AW!” Rifan melepas dekapannya dan menjauh satu langkah. “Beneran jin lo, ya?” Sambil mengaduh kesakitan—bohong, tidak sakit, hanya akting.

Iya,” dustanya. “Kenapa, deh, harus tiba-tiba nanya kayak gitu pas lagi dipeluk? Menunjukkan sifat nir-romantis banget loh, Kak? Aneh...” ucap Anya dramatis, menciptakan kata asbun yang belum pernah ada di kbbi sebelumnya.

Maunya nanya apa emang kalau lagi pelukan? Bahas politik bisnis era presiden Joe Biden, kah?

Minimal jangan banyak cakap lah kau. Merusak momen.” Anya menjauhkan tubuhnya. Kini mereka berhadapan seperti semula dengan jarak sedikit lebih dekat.

Yaudah, lagi.” Rifan membuka tangannya lebar untuk mengulang agenda mulanya.

Anya menatap sebal. “Nggak dua kali, sih? Sibuk, mau olahraga.” Lantas pergi berlari dengan tawa tertahan.

Yah? Mbak? Gigit lagi deh, nih. Nih lengannya masih utuh. Mbak!” Rifan berteriak tanpa mengejar.

Anya hanya menoleh dan tertawa kencang.

Makasih posternya!” seru Anya mengangkat poster mirip brosur yang menjadi pembuka percakapan hari ini. “Dan flashdisk-nya!” Juga mengangkat flashdisk hasil curiannya barusan.

Rifan langsung merogoh kantungnya mencari flashdisk yang semula memang hendak diberi ke Anya, namun ia sempat ragu dan mengurungkan niatnya. Jadi, sebenarnya hampir tak jadi diberikan, tapi entah kenapa tiba-tiba sudah ada di tangan (calon) pemilik barunya.

Kok?” Rifan bingung. “Kok udah di lo?

Jatuh tadi pas Kakak ngeliat ke atas.” Anya berhenti dan menoleh dari jauh. Percakapan mereka terdengar jelas satu sama lain karena tak ramai orang di sekitar. “Terus, ada tulisan 'untuk Anya'. Anya-nya Anya yang mana kah kalau boleh tau?” Anya menunjuk ke tulisan kecil yang melingkar di tubuh flashdisk berwarna merah itu. “Kalau Anya-nya pacar Kak Rifan yang baru, berarti udah tepat ini.

Rifan menggaruk kepalanya, menyesal dan pasrah. Sebab sudah terlanjur. “Ya, udah. Buat lo aja, deh,” ucapnya pasrah.

Emang tadinya buat Anya yang mana?

Yang dulu sok imut manggil dirinya sendiri pakai nama.” Rifan terkekeh mengejek, mengingatkan kembali pada jaman Anya menyukai Hilmy, Anya yang memanggil dirinya sendiri dengan sebutan 'Anya', bukan 'aku' atau 'gue'. Berangkat dari rasa groginya setiap dulu bertemu Hilmy.

Wajah Anya langsung datar. Kesal diingatkan ke masa kelamnya. “BISA NGGAK USAH DIINGATIN?

Kini, Anya yang semula hendak berlari ke arah lapangan, justru berlari mengejar Rifan. Hendak menunjukkan kembali sisi 'kanibal'-nya.

Rifan berlari lebih kencang dan tertawa keras, suara tawanya bahkan terdengar sampai jalanan seberang.

Dua manusia dewasa bersetelan kontras bermain kejar-kejaran di selatan ibu kota pukul 7, pusat perhatian, pusat dunia bagi keduanya.

Perempuan itu membuat keputusan terbaik dengan memberi cintanya pada orang yang lebih dulu mencintainya, setelah menyerah berharap pada yang tidak.

Ini, menjadi momen Pukul 7 sederhana terbaik dalam hidupnya. Yang disemogakan tidak menjadi satu-satunya.

Anya mengikat tali sepatunya dengan tatapan kosong menatap sembarang. Pikirannya masih tertuju pada apa kemungkinan yang membuat Rifan tak menggubris suratnya.

Bisa jadi memang benar suratnya jatuh dan tidak terbaca,

atau, buruknya, Anya memang ditolak secara halus, lagi. Untuk yang kedua kalinya.

Dua kali ditolak dari dua pernyataan cinta? Konyol. Anya menertawakan dirinya sendiri, miris. Sedikit menyesali keputusan gegabahnya kemarin. Entah apa yang ada di pikirannya saat itu sampai berani mengambil langkah riskan untuk yang kedua kalinya.

Mungkin, kali ini, ada sedikit harapan karena… orang bodoh mana yang terlalu naif tidak menangkap sinyal Rifan yang terlalu jelas selama ini.

Mungkin, optimisme itu datang dari fakta bahwa laki-laki itu pernah menyukainya lebih dulu, dan ditolak lebih dulu.

Dia melupakan kemungkinan bahwa bisa jadi karma datang di waktu yang matang, seperti sekarang ini.

Jika benar ini adalah karma, penempatan waktunya benar-benar sadis.

Anya berdiri dengan malas setelah sepatunya terpakai sempurna. Yang ia yakini—maksudnya, yang ia dengar dari Rifan, olahraga adalah cara terbaik melarikan diri dari pikiran yang berkecamuk. Jadi, daripada berpikir yang tidak-tidak, ia tetap bangun untuk konsisten menjalani rutinitas paginya. Hitung-hitung lari dari pikirannya sendiri.

Berjalan keluar, Anya memperhatikan sekitar.

Rifan pernah memberi tahu satu hal lagi yang menjadi sarana terbaiknya agar tak tenggelam dari pikiran sendiri, yaitu menjadi pemerhati yang detail. Merasakan udara yang berembus membelai kulit, daun-daun yang bergoyang kala angin lewat tanpa permisi, orang-orang tertawa yang mungkin semalam menangis, orang-orang berwajah murung yang mungkin sedang bahagia menanti hal baik di malam ini. Intinya, memerhatikan dan memikirkan hal-hal sederhana yang terjadi di sekitar. Dan Anya berhasil ‘kabur’ dari pikiran berkecamuk tanpa titiknya dengan cara itu.

Di tiang lobi, ia melihat sebuah poster berukuran A4 dengan kertas cokelat. Sekilas, terlihat seperti poster untuk mencari seseorang, namun foto yang dipajang dalam bentuk gambar, bukan foto.

Anya tak benar-benar menghiraukan, ia sedang fokus menghisap embus napasnya dengan udara Jakarta pukul 6.30 pagi.

Ia lantas tetap berlari kecil menuju jogging track yang tak jauh dari lobi apartemennya.

Seorang pria tua yang tak terbaca estimasi usianya menyerahkan selembar kertas ke Anya. Oh? Brosur rumah makan. Ia lipat dan simpan dalam kantungnya, bersiap untuk dibuang.

Berjalan beberapa langkah lagi, pria muda berkemeja rapi juga menyerahkan selembar kertas. Anya mengambilnya sekelibat tanpa basa-basi. Samar-samar ia dengan ucapan terima kasih dari si pembagi brosur.

Oh? Bukan brosur.

Itu kertas yang sama yang Anya lihat dekat tiang lobi di awal keluar.

Kertas pencari orang dengan tulisan…

Not wanted? Anya mengerutkan dahinya, jalannya melamban.

Matanya perlahan melihat ke gambar di bawahnya. Wajah perempuan yang digambar sketsa dengan tangan tanpa rangka. Rambutnya pendek.

Rambutnya…. pendek?

Anya lantas menoleh dengan cepat melihat Sang Pemberi Kertas.

Ia melihat Rifan berdiri dengan tawa menampakkan baris gigi rapi dan mata membentuk sabit.

Gue? batinnya setelah mengecek dua kali wajah tergambar di kertas yang ia pegang.

Anya mengangkat kertasnya sejajar dengan pipi, lalu tertawa kecil tertular laki-laki di seberangnya. Ia baru ingat, tulisan yang tertera di kertas itu ‘not wanted’ bukan ‘wanted’.

Permempuan yang semula tertawa kecil berangsur memudar dan menghindari kontak mata. Anya mendekat ke tempat Rifan berdiri. Wajahnya kembali gugup. Belum siap mendengar ucapan Rifan yang bisa saja senyum-senyum tapi mengeluarkan kalimat yang tak beradab.

Not wanted?” tanya Anya dengan kekehan kecil yang siapapun juga mengetahui kekehan itu bukanlah tawa.

Rifan tersenyum miring, kali ini dengan dua bibir terkatup. Laki-laki itu terlihat bodoh. Lebih bodoh dari biasanya. Ia sama sekali tidak bisa menyembunyikan ekspresi senangnya pasca membaca surat kemarin. Bibirnya tak henti-henti tersenyum sejak semalam. Bahkan di depan pemberinya pun, ia masih tak bisa menahan diri. Kalau dia boleh berteriak, akan ia lakukan. Tapi di mana ia akan menaruh wibawanya yang tidak ada itu?

Gue udah baca, Nya.” Ia tiba-tiba menjawab dengan pernyataan lain. Anya menaikkan kedua alisnya bertanya—memastikan saja, ucapan RIfan terdengar jelas di telinganya. “Surat lo, gue udah baca.

O… kay?” Kepala Anya sedikit menunduk tanpa melepas kontak matanya dengan Rifan. “So… a no?” Ia mengambil kesimpulan sepihak dari tulisan ‘not wanted’ di kertas itu.

Rifan menggeleng.

Bermakna ganda.

Entah menggeleng karena pernyataan Anya salah, atau menggeleng karena, memang jawabannya ‘tidak’.

Malas membangun ekspektasi, Anya sudah menganggap kemungkinan terburuk.

Bukan ‘a no’. Pesimis banget.” Rifan menertawakan. “Coba sini dulu.” Ia memanggil Anya yang semula sempat berjalan mendekat namun tiba-tiba urung karena abu-abunya jawaban Rifan.

Anya melangkah pelan lagi ke depan.

Lagi. Sini.” Laki-laki itu tak bergerak seinci-pun demi mengerjai Anya agar ia saja yang bergerak.

Anya menurut. Melangkah ia hingga jarak keduanya hanya satu hasta.

Rifan tertawa jahil melihat wajah Anya yang enggan menatap matanya. Malu ia. Beberapa kali Rifan sampai menunduk untuk membangun kontak mata namun ada saja ide Anya untuk menghindar.

Jadi, gimana, suratnya siapa yang nulis?” Rifan bertanya, sengaja, ingin mendengarnya langsung dari perempuan di hadapannya itu. Perempuan yang pernah menolaknya lalu tiba-tiba menyatakan perasaan lebih dulu itu.

Anya menunjuk dirinya sendiri dengan telunjuk tak terangkat—tangannya masih di bawah.

Gue nggak ingat isi suratnya tapi,” ejeknya.

Anya melirik jengkel lalu kembali melihat daun acak yang tertangkap matanya lebih dulu. Masih berusaha menghindari tatap mata saking malunya.

Apa ya, Nya?”

“Jangan pura-pura lupa.”

“Lo juga dong, jangan pura-pura lupa.” Rifan semakin senang mengejeknya. Semakin diejek, semakin lucu menurutnya. Memang darah menyebalkannya itu akan mengalir sampai akhir hayatnya kelak.

“Emang kenapa? Nggak boleh kalau nyatain duluan?”

Rifan terkesiap. Tak menyangka Anya tak banyak menyangkal dan langsung menjawab begitu saja. Ia menggeleng dengan dua mata membelalak.

“Kenapa nggak boleh? Emansipasi wanita. Siapa yang ngelarang?” Anya semakin sewot, padahal sedang berusaha menutupi rasa malu yang sudah sampai ubun-ubun. Semua kata yang terucap dari mulutnya barusan tidak ada yang masuk akal. Biarkan saja. Orang jatuh cinta memang bodoh.

“Gue, lah,” sahut Rifan, menyetarakan sewotnya. “Harusnya gue duluan. Lo udah duluan aja.”

“Lama!” Anya tak berbasa-basi. Rifan sampai terkejut mengetahui Anya ternyata adalah orang yang cukup… blak-blakan. “Emang yakin bakal ngomong duluan. Kakak aja nggak jelas. Suka suka, enggak enggak. Ini di tengah-tengah. Lamaaaaaa! Nggak jelaaaaas. Gue duluan aja.”

Rifan sampai berdiri mematung mendengar Anya mencurahkan isi hatinya tanpa difilter. Maksudnya, Rifan adalah orang yang sama. Hanya saja ia tidak menyangka kalau ada versi perempuannya, dan tidak menyangka kalau versi perempuan dari dirinya adalah perempuan yang pernah membuatnya refleksi diri dan berubah menjadi lebih baik setelah ditolak mentah-mentah.

“Jadi gimana, Kak Rifan? Jangan lama-lama. Gue mau jogging.” Jantung Anya sudah hampir meledak saat mengatakan itu. Dia sudah benar-benar tak bisa mengontrol ucapannya lagi. Percakapan ini harus segera berakhir.

“Y-ya…” Rifan sampai tergagap saking terkejutnya. Lalu terkekeh dan menggaruk belakang kepalanya. “Kan lo cuma nyatain, nggak nembak.”

“Terus?”

Rifan menoleh ke belakangnya, membuat Anya turut mengikuti arah pandangnya.

Bunga raksasa 8 tangkai tergeletak beberapa langkah di belakangnya. Uniknya, bunganya dibuat dari balon. Warnanya gagal ungu karena tak sempat membeli balon baru. Rifan hanya merangkai sisa balon yang ia miliki di rumah setelah dikerjai kakaknya untuk membuat balon untuk ponakannya. Tangan terampilnya memang sudah terkenal bisa merangkai apa saja.

Anya menahan senyum. Ge’er. Bibirnya dimajukan beberapa saat untuk menahan keinginannya untuk senyum, walau gagal.

“Bunganya boleh buat lo kalau berani nembak duluan,” tantang Rifan sambil tertawa.

“Emang nggak boleh langsung pacaran aja? Langsung aja, deh?”

Rifan dibuat menganga, lagi.

Astaga.

Terlalu naif baginya untuk menjadi se-berani itu di depan orang yang lebih pengecut.

“Nya… gue mau nembak dulu…” ucapnya dengan ekspresi kecewa yang didramatisir.

“Nggak usah, ah. Lamaaaa.”

“Nya?!?!”

“Lamaaaa!”

“Jadi pacar gue, please?!”

“Kan udah, Kakak?!”

Wah. Meledak sudah jantung Rifan yang selama ini ditahan-tahannya. Ia langsung menutup mulutnya melebih-lebihkan. Namun merah di telinga dan wajahnya alami tanpa dibuat-buat.

“Ya udah, deh…” Rifan pura-pura lemas dan berjalan lunglai mengambil bunga di belakangnya. “Menang deh, jagoan. Ini buat jagoan kita.” Rifan memberi bunga simbol kekalahan.

Padahal rencana awalnya tidak begini.

Rencananya, ia akan kembali menyatakan agar secara resmi dia duluan. Ternyata Anya masih tak terkalahkan. Baiklah ia menyerah.

Anya cekikikan. Ternyata semudah itu menaklukan Rifan.

Lantas ia menyadari di tangannya masih ada kertas yang belum bertemu jawabannya. “Terus ini?”

“Apa?”

“Ini kenapa not wanted?”

“Wanted kan kalau dicari…”

“Terus?”

“Not wanted kalau udah bareng.”

Anya membelalakkan matanya tidak percaya sambil tertawa keras. “SE-DANGDUT ITU?”

“Dangdut is the music of my country, Nya. My country. My country.” Titisan Saipul Jamil yang satu itu tak akan kehilangan momen untuk menyanyikan percakapannya.

Anya memutar bola matanya dan tertawa. “Gambarnya bagus…”

“Oh jelas….” Rifan congkak. Kemudian ponselnya berdering dengan tulisan Yaya memanggil dengan lantang. Ia langsung terkejut karena baru ingat harus segera ke kantor mempresentasikan proyek yang dipimpin Kakaknya itu sebagai ketua tim. “

Anya melangkah mengikuti pelayan yang menunjukkan tempat yang sudah dipesan untuk ulang tahun.

Dengan midi dress berwarna putih dan kalung mutiara, ia tak banyak menata rambutnya. Dibiarkannya rambut pendek itu terselip sebelah di telinga, menunjukkan anting sepanjang 2 sentimeter menggantung kupu-kupu ungu.

Riasannya serba gelap karena acara malam. Eyeshadow merah tua di outer corner berpadu sempurna dengan cokelat muda di seluruh kelopak, winged eyeliner-nya sedikit banyak membuat tampilan matanya tajam seperti kucing. Tak lupa pemulas bibir berwarna merah kecokelatan turut menghidupkan riasannya.

Anya gugup. Terlihat dari seringnya ia menyelipkan rambut di telinga walau sejak awal rambutnya tak kemana-mana.

Sesaat melangkah masuk, ia disambut oleh sorakan ‘kakak-kakak tingkat-nya’ yang berseru menyambut.

Anya tersenyum dan menyapa malu, lantas menghampiri si empunya hajat lebih dulu.

“Asik…” Rifan menyambut tas kertas cokelat yang di dalamnya terdapat kotak besar terbungkus, ia asumsikan itu sebagai hadiah. “Nggak usah repot-repot padahal, harusnya repot banget,” ejeknya menyebalkan.

Anya memutar kedua bola matanya sambil tertawa. “Ini aja udah cukup merepotkan!” tegasnya bercanda.

Laki-laki itu terkekeh kencang, bersahut dengan alunan musik upbeat yang sejak tadi sudah berisik. “Makan dulu, anak-anak nungguin lo biar makan bareng-bareng.”

Lantas Anya duduk di salah satu kursi kosong yang akan berhadapan dengan pemeran utama hari ini.

“Kuenya…” Anya terbahak-bahak melihat 4 kue Spongebob di atas meja dan 1 kue tambahan bermotif latar Bikini Bottom. “Kenapa banyak banget?”

“Biar Rifan kesel aja,” jawab Cello.

Hish. Rifan mendengus.

“Sanggup ngabisin nggak, Fan? Kalau enggak sukurin..” HIlmy turut menyahut mengejek.

Rifan hanya membalas ucapan mereka dengan tatapan sinis, ia sudah sebal dan kebal dengan konsep kue ulang tahun yang tak pernah normal setiap tahunnya.

Rifan duduk dan bergabung dengan orang-orang yang sedang mengobrol sambil tertawa, lalu mengangkat gelas berisi air warna berbeda-beda tergantung selera masing-masing.

Keenamnya berdiri memegang gelas, bersiap untuk bersulang.

Rifan berseru. Menyerukan kalimat ikonik-nya yang tiap tahun selalu ditunggu-tunggu, “For so many cakes ahead?”

“For so many cakes ahead!” Yang lain mengikuti sambil bersorak, dan suara denting gelas kaca terdengar beriringan dengan tawa.

Anya yang belum terbiasa dengan ‘tradisi’ ulang tahunnya hanya manut mengikuti alur. Bahkan ketika mereka semua berbincang seru berbagi cerita dan bersenda gurau, Anya hanya menonton sambil tertawa. Ia mungkin masih terlihat canggung, namun percayalah dalam hatinya merasa hangat di sini.

Waktu sudah menunjukkan pukul 8 lewat 5 menit. Di tengah sahut tawa yang berisik dan denting piring yang sedang diangkat oleh pelayan agar segera menyajikan hidangan selanjutnya, Anya lama menatap jam tangannya, menimbang haruskah pergi sekarang atau berdiam di sana lebih lama.

“Udah mau balik, Nya?” RIfan mengerti saat Anya terlihat gelisah.

Bimbang harus mengangguk atau menggeleng, kepalanya malah tanpa sadar mengangguk mengiyakan.

RIfan lantas berdiri, berniat mengantar Anya keluar jika ingin pulang.

Anya yang masih belum yakin dengan pilihannya, dengan ragu dan setengah sadar akhirnya ikut berdiri dan bersiap pulang. Karena jika diam lebih lama, ia tidak tahu harus berkata apa untuk selanjutnya.

“I wish i could be here a little longer,” katanya, menyayangkan kepergiannya sendiri karena sebenarnya ia masih ingin di sana.

“Ya udah, di sini aja.” Rifan berusaha meyakinkan.

Anya menggeleng. Enggan. Akan lebih gelisah jika berdiam lebih lama.

“Pulang naik apa?” tanya Rifan.

“Naik taksi, seperti biasa.”

“Kalau supir taksinya gangguin lo, gangguin balik aja.”

Anya terkekeh dan mengangguk merespons ucapan Rifan yang selalu asal. Perempuan itu berpamitan ke teman-teman Rifan yang turut mengucapkan hati-hati di jalan. Mereka sempat repot sendiri memaksa Anya membawa pulang beberapa makanan untuk mengisi kulkasnya. Anya tentu menolak dengan tawa canggung sebab sungkan.

Di lobi, saat taksi Anya datang dan duduk di dalamnya, Rifan mengintip dari cela jendela taksi. “Nggak seru….” katanya memalsukan wajah cemberut.

“Maaf… Beribu-ribu maaf!” Anya menunduk seperti memohon ampun sungguhan. “Please let me know kalau Kakak suka sama kadonya, ya!”

Rifan mengangguk sambil memejam sebentar, lalu mengisyaratkan supir taksi agar segera berangkat. Ia lantas melambaikan tangan. “Adios!” ucapnya dengan kata bahasa Spanyol favoritnya.

Anya mengeluarkan satu tangannya untuk melambai, dan bersandar di jok mobil sambil menghela napas ketika sudah menjauh dari lobi.

Pikirannya campur aduk. Masih ada rasa gelisah. Sempat Anya menoleh kembali ke lobi dari kejauhan untuk melihat jika Rifan masih di sana, nyatanya laki-laki itu sudah kembali.

Ia menenangkan dirinya sendiri. It’s okay… ucapnya.

Camera OnOke.” Ia mengatur tata kameranya agar dapat dengan sempurna menunjukkan 5 bungkus hadiah berukuran besar dari teman-temannya. “Nih, teman gue emang nggak banyak, tapi hadiahnya pada sebesar doorprize kelurahan.

Ia menggeser semua hadiah agar masuk ke dalam kamera. “Ulang tahun gue 2 hari yang lalu, tapi perayaannya ditunda karena gue budak korporat yang nggak bisa ngambil cuti seenak hati walau di kantor Om sendiri. Jadi sekarang, gue akan membuka kado dan menjadi juri, siapa yang kadonya paling jelek, akan gue katain,” ucapnya dengan wajah licik dan tawa jahat.

Pertama!” Rifan celingak celinguk menentukan hadiah siapa yang akan dinilainya lebih dulu. Ia mengangkat hadiah paling kecil di antara yang lain, yang masih terbungkus di dalam tas kertas polos berwarna cokelat. Ia kembali menaruhnya sambil tersenyum salah tingkah. “Yang itu... terakhir aja. Save the best for the last.” Merujuk ke hadiah yang diberikan Anya.

Oke, pertama! Ini dulu aja.” Ia mengambil hadiah acak yang tak ia ingat siapa pemberinya. “Siapakah yang ngasih....” Dibukanya kertas pembungkusnya dengan cepat sebab tak sabar membaca surat ucapan yang ada di dalamnya.

Terdapat kertas F4 folio yang terlipat sebagai surat. “Helga nih, pasti, kalau ukuran kertasnya kayak mau pidato.” Ia buka kertas berukuran besar itu dan bersiap untuk membaca tulisannya, dan yang terlihat di dalamnya:

HBD. – Helga keren.

SCAM!” Rifan menunjuk kamera sambil memperlihatkan isi suratnya. “Lo bilang ucapan panjangnya ada di dalam surat dan lo males nulis ulang. Ini cuma HBD?!” Ia berteriak marah-marah.

Kita lihat lo ngasih apa, ya. Kalau jelek....” Ia mengeluarkan dus yang semula terbungkus dan, “Woah... Woah!” Rifan menganga. “Pixel Puzzle?! 1000 Pieces?!” Ia antusias dan tertawa. “BRAVOOOO! Terima kasih atas upaya membuat mata gue juling, Helga. Ini berguna. Nggak jadi gue katain asal dibantuin!” serunya dengan bonus dua jempol.

Next! Nah, ini pasti Cello, nih...” Dengan perlahan ia buka kado yang terbungkus rapi karena kotak hadiah dari Cello adalah yang terbaik dan terapi di antara yang lain. “Mana suratnya? Emang males lo, ya, Marcello. Nggak apa-apa, gue maafin soalny—-WOAH!” Rifan lebih terkejut ketika melihat isi hadiah dari Cello hingga matanya membelalak sempurna dan mulutnya menganga lebar. Saking lebarnya, manusia Paleolitikum bisa menjadikannya Gua baru untuk ditinggali.

Cel... gue disuruh ganti nggak, sih?” Rifan mengangkat hadiah dari Cello agar kamera dapat melihatnya dengan jelas. “Lego Grand Carousell, Cel? Dermawan banget lo. Gue sujud deh” Kemudian ia menunduk hormat selama beberapa detik. “Please jangan minta gue ganti tiba-tiba, ya. Awas lo.

Hilmy mana Hilmy? Oke, Milan dulu.” Ia mengambil hadiah yang ada di dalam bungkus berlogo designer brand ternama prancis. “Ada ucapannya! Tulisannya...

Rifan tak menyuarakan secara lantang, hanya membacanya di dalam hati.

Oh you're old. Happy birthday, Grandpa.

Ia menunjukkan wajah datar tidak percaya. Harapan mendapatkan ucapan yang serius dari manusia paling normal di antara teman-temannya itu sirna sudah.

Masih ada 2 harapan lagi untuk mendapat surat berisi ucapan ulang tahun yang sebenarnya. Semoga.

Thanks, deh,” ucapnya dengan malas—bercanda, sembari membuka box hitam yang pitanya sudah terbuka. “Widih....” Terdapat dompet, pulpen, dan gantungan kunci mobil di dalam satu kotak dengan merek yang sama. “Tampan dan mapan banget deh gue, pakai ginian. Thanks, Mil, atas upaya membuat gue yang sudah tampan menjadi lebih menawan. Tolong ditiru ya teman-teman sintingku.

Sekarang, HILMY!” Ia berteriak tiba-tiba untuk memanggil kado dari Hilmy seakan benda mati itu bisa berjalan sendiri. “Sini lu!” tantangnya sambil menarik hadiah terbesar yang tak lain tak bukan adalah pemberian HIlmy.

Kita lihat orang paling tengil se-nusantara ini beliin apa di dalam bungkus yang kawai-desu ini.” Ia merobek kertas pembungkus bergambar Hello Kitty yang memang sengaja Hilmy berikan agar Rifan marah. “Yahahaha ada ucapannya. Males baca, ah.” Ia membuangnya pura-pura sambil tertawa, lantas diambilnya lagi tanpa menunggu lama. Dengan harapan, kali ini isi surat dari temannya itu serius. Walau mustahil, namun tak ada harapan lagi. Sudah teman terakhirnya. Surat itu terlihat menjanjikan karena menggunakan amplop.

Namun nyatanya:

► —————————– 30: 12 Udah di whatsapp

Sebuah tangkapan layar pesan suara ucapannya yang berdurasi 30 menit.

Rifan kembali melepar kertas itu seperti semula, lalu tersenyum terpaksa di depan kamera. “Dasar teman-teman pemalas dan tidak berguna.” Lantas dibukanya dus besar yang tingginya sepinggang dengan lebar sama dengan tubuhnya. Isinya adalah potongan-potongan acak yang dia tak mengerti apa isinya sampai harus mencari di kertas manualnya.

Wow.... you're so thoughtful, Men.” Rifan tertawa kala menyadari isi dari hadiahnya adalah laci pajangan koleksi yang berukuran besar. “Lo kok tau rak gue udah penuh semua. Bisa nyala lagi ini. Memang lo ditakdirkan untuk menjadi kekasih gue, Hil,” candanya sembari membuka kaus kaki untuk memberi empat jempol (bersama jempol kakinya) di depan kamera yang ditujukan untuk Hilmy.

Lalu, ia beralih ke hadiah yang terakhir. Yang paling kecil, dan paling ditunggu-tunggu. Jika orang lain menunggu kado terbesar, Rifan menunggu kado terkecil. Bukan ukurannya yang jadi acuan, melainkan pemberinya.

Rifan menggeser semua sampah di sekitarnya untuk menyambut sorotan utama malam ini. Ia merapikan rambut dan berdeham, lalu tersenyum jahil penuh arti. Ekspresi wajahnya menyebalkan seperti mengejek ke arah kamera. Tanpa ia sadari telinganya memerah saking senangnya. “Kado yang satu ini, wah.... Kado mahal! Gue tau ini sangat amat mahal, tidak bisa dibeli oleh Warren Buffet sekalipun. Pak Warren, liat nih, punya nggak, Pak? Nggak punya, kan? Iya, dikasihnya ke saya doang.” Ia tertawa sendiri dengan wajah tengilnya.

Mari kita lihat... oh wo—” Ia terkejut karena ada dua amplop kertas bernomor yang jatuh saat kertas hadiahnya terbuka. Nomornya menunjukkan urutan baca, ada amplop 1 dan amplop 2.

Banyak sekali suratnya kayak surat peringatan pajak…” Rifan membuka amplop pertama dan membacanya di dalam hati.

** Happiest birthday to the one that anybody rarely checks on because he always jokes about his life! XO As you always brighten up my day, in this letter, i declare to do the same as a gift!**

Gue nggak tau hadiah apa yang bagus dan bakal Kakak suka, tapi karena Kak Rifan sering kasih hadiah yang specially handmade, gue juga coba semaksimal mungkin untuk buat kreasi yang sama! Ini bikinnya satu bulan ditambah cari bahan-bahannya dan trial error, gue cubit sampai mutar kalau nggak dipakai! Kalau nggak bagus, katain aja, biar introspeksi. Lo-nya yang introspeksi untuk menjadi lebih bersyukur.

Oh iya, juga makasih banyak udah hadir di waktu yang tepat! Makasih udah selalu distraksi gue dari segala hal buruk, selalu nemanin dan menghibur, selalu bikinin handicraft lucu-lucu juga. Tanpa lo mungkin gue udah nangis darah setiap hari, tapi kabar baiknya nangisnya masih air mata.

Semoga semua baik yang pernah Kak Rifan lakuin ke gue juga bisa Kak Rifan dapatin dari semua orang. I know not many of them aware that you're kind-hearted and well-mannered karena you set your branding as that annoying silly goofy friend, tapi gue harap akan banyak yang sadar lo punya sisi sebaik itu. Thank you for showing that side of you to me! I feel honored!

Semoga senang dan tenang selalu, Kakak! Happiest Birthday!

Rifan tak mampu berkutik selepas membaca surat pertama. Rasanya jantungnya seperti akan merosot hingga ke lutut. Wajahnya merah padam, latar suara di dalam video menjadi hening total. Hanya terdengar suara dengung dari air humidifier dan air conditioner di dalam kamarnya.

Ia mengusap wajah, juga menjilat bibirnya menahan senyum. “Oke…” ucapnya salah tingkah. “Kalau gitu, mari kita buka…” Suaranya memelan dan melembut, tidak berteriak seperti tadi. Terlihat jelas salah tingkah dari gerak geriknya.

Apa in—wooooaaaaaaahhh!” Ia mengangkat jam dinding yang terbuat 99% dari Lego, buatan tangan pemberinya. “Woaaaahhh?! Gimana cara bikin ini?!” Rifan menganga lebar. Benar katanya, save the best for the last.

Lo bikin ini sebulan? Cuma buat ngasih ke gue? Gue salto sekarang, deh?” Ia berjongkok, berancang-ancang untuk melakukan atraksi sebagai ucapan terima kasih. Padahal baru tadi ia malu-malu selepas membaca surat. “Nya, makasih, sih…” Namun digantinya dengan berlutut dan menunduk ke arah kamera.

Ia kembali mengangkat hadiahnya dan duduk bersila. Diperhatikannya detail-detail rapi yang benar-benar membuatnya tak heran barang ini membutuhkan proses pembuatan yang tidak sebentar. “Wah…. berbakat jadi pengrajin….” pujinya asal. Mulutnya memang harus difilter.

Terima kasih banyak, Yang Mulia. Saya akan membalas budi baik Anda.” Ia lantas berlutut dan menunduk lagi untuk mengucapkan terima kasih.

Rifan baru ingat kalau Anya memberi dua surat. Ia mencari surat yang satunya untuk dibaca, lalu membuka amplopnya sambil tersenyum girang. “Angpao, nih, pasti?” candanya. “Oh! Surat lagi ternyata. Apakah isinya…

Rifan membaca isi surat yang tak begitu panjang itu dalam hati. Namun, seiring matanya bergerak ke bawah membaca suratnya, senyum yang semula lebar perahan memudar. Napasnya menjadi tidak teratur dan tak pula matanya mampu untuk berkedip. Ia menatap kamera dengan tatapan kosong tidak percaya.

Isi surat yang ditulis tangan:

Subject: Klarifikasi

Beberapa tahun lalu, back when you liked me, it’s not love i was looking for. I was running away from it. Everything was fucked up.

Gue ditolak sama orang yang gue suka, orang tua gue cerai di usia gue yang hampir dewasa sampai akhirnya masing-masing berkeluarga lagi. Bukti apa yang bisa lebih membuktikan kalau bagi gue “cinta” adalah sesuatu yang… mengerikan? Menyebalkan? Nggak tahu. Gue benci kata itu.

Long story short, orang yang dulu gue suka punya temen. He were, and ARE, so annoying. SUPER! Beyond the world! Nyebelin, rese, bawel, dan semua hal yang bikin bising telinga. Mulutnya nggak mau banget diam, kalau bisa disumpal pakai batok kelapa, aduh… mau banget rasanya.

Anehnya, semua tingkah berisik itu somehow made me feel… motivated. Termotivasi untuk lanjut hidup dengan ambisi mau lakban mulutnya setiap hari karena nggak bisa banget sehari nggak ngeledek. Heran.

Waktu itu, gue beneran kesel sama orangnya. Soalnya emang… nyebelin. Duh. Sampai bilang ‘pahit, pahit, pahit’ tiap saat saking sebelnya.

Uniknya, akhir tahun kemarin kita ketemu lagi. Alhamdulillah nyebelinnya nggak hilang. Dan alhamdulillah motivasi sumpal mulutnya pakai batok kelapa masih ada dan bersarang. Semoga terealisasi dalam waktu dekat.

When he’s back, it wasn’t love i’m expecting.

Mungkin orang itu datang karena kasihan sama kondisi memprihatinkan gue yang hampir sebatang kara di Jakarta yang besar ini, tapi anehnya, i felt something else.

He dressed a little nicer now. A lot better and wiser. And… smells really nice. And he’s lowkey kind-hearted, though. He’s the realest person i’ve ever met. He expect nothing from me yet fulfill all my expectations.

Terkadang gue mikir, gimana caranya bisa ketemu laki-laki idaman yang biasa dilihat di film-film, yang buat standar gue terlalu tinggi, yang buat gue memutuskan untuk sendirian selama bertahun-tahun karena ekspektasi nggak masuk akal yang gue ciptain.

But this man came, with zero “boys-in-movies” specification. Zero. He got none of the qualification i’m searching for.

But you know what he got? The ability to know what i want and need with his cute little creative mind. Which i believe not every “boys-in-movies” had.

He’s not the man i’m searching for, but he’s the man i (surprisingly) wants and need.

Again, when he’s back, it wasn’t love i’m expecting. But it is love he’s bringing. Without i even asked.

Gue nggak yakin apa dia masih bisa terima gue setelah penolakan pahit beberapa tahun lalu. But if he gave me a chance, i would love to try again.

You’re the ‘he’ in this letter.

I like you, Kak. A lot. And happy birthday again.

Xoxo, Anya.

Lo tunggu di meja aja, biar gue yang bawa.” Rifan menggerakkan kepalanya sebagai isyarat menyuruh Anya meninggalkan kasir lebih dulu.

Emang bisa? Baw—

Bisa. Duduk sana.” Belum sempat Anya menyelesaikan pertanyaannya, Rifan sudah lebih dulu memotong dengan 'usiran' kedua.

Di bawah hipnotis Master Rifan, entah bagaimana Anya mau-mau saja berjalan ke meja berkursi empat untuk diduduki berdua. Keadaan restoran cukup senggang siang ini walau sedang jam makan siang. Mungkin karena restorannya kurang diminati, atau memang target pasarnya terlalu mengerucut. Jadi, tidak masalah jika mereka berdua duduk di meja berkursi empat.

Selang beberapa menit, Rifan datang dengan setelan korporatnya. Memakai kemeja garis-garis yang tidak kebesaran dan tidak kecil, namun sedikit banyak membuat orang menyadari bahwa tubuhnya ramping. Ia juga memakai kacamata di jam kerja, kebetulan, di jam makan siang ini belum sempat dilepas.

Nampan berisi satu hidangan hotplate beserta segelas minum ditaruh di depan Anya lebih dulu. “Bentar,” katanya, sembari berjalan kembali ke kasir untuk mengambil nampan miliknya di meja pengambil pesanan.

Ia kembali dengan senampan miliknya, membuka kacamatanya cepat dan tersenyum girang. Tidak sabar mencicipi hidangan ayam di atas hotplate yang harumnya sudah semerbak tak karuan, menggelitiki perutnya yang sejak pagi ramai pertunjukkan.

Sebelum mulai makan, Rifan mengambil sendok garpu di hadapannya dan mengelapnya dengan tisu. Anya memperhatikan gerak-gerik lelaki di hadapannya, menunggu agar menyantap hidangannya bersama. Sebuah tata krama dasar.

Dilihatnya Rifan dengan telaten mengelap sendok garpunya, hingga tiba-tiba tangan kanan laki-laki itu menengadah di hadapannya tanpa menoleh, sedangkan tangan kirinya menarik selembar tisu baru.

Anya yang tidak mengerti hanya menatap tangan itu dengan wajah datar, lalu membalas tatapan Rifan saat Rifan mendongak. Ia kembali menggerakkan tangannya yang menengadah itu. “Your cutleries.

Perempuan itu mengangkat sendok garpu yang sudah dipegang masing-masing di tangan kanan kirinya, sebagai tanda ia bertanya. “Ini?” Begitu maksudnya, tanpa diucapkan.

Iya, sini.” Lantas dibersihkan oleh Rifan dengan cepat, tepat sesaat sendok garpu itu pindah ke tangannya.

Thanks. Boleh makan sekarang?” Anya bertanya usai Rifan mengembalikan, sudah terlampau lapar karena sudah menunggu makan siang sejak pagi.

Rifan mengangguk. “Selamat makan!” serunya sedikit kencang, membuat beberapa orang di sekitarnya menoleh dan menatap heran. Rifan memang suka begitu, terkadang lupa kalau di bumi yang ia huni tidak hidup seorang diri.

Akibat dari beberapa orang yang tak sengaja menoleh ke arah mereka karena suara keras yang Rifan hasilkan barusan, beberapa dari mereka juga menyadari bahwa ada wajah tak asing yang duduk bersama laki-laki itu.

Beberapa dari mereka mencoba mengingat-ingat, beberapa sudah sadar. Mereka sebisa mungkin melirik tanpa terlalu memperhatikan agar yang dilihat tidak menyadari. Sayangnya, usaha mereka sia-sia. Yang diperhatikan menyadari dirinya sedang 'dipantau'.

Kunyahan Anya memelan. Tidak secepat awal menyantap saat ia sedang lapar-laparnya.

Rifan belum sadar, ia terlalu berisik bergumam dan mengunyah, memuji betapa indahnya rasa makanan yang dipesannya itu tanpa menyadari perempuan di hadapannya sedang merasa tidak nyaman.

Hm...” Rifan menikmati daging yang baru mendaratdi mulutnya. “Punya lo gim—” Kemudian terhenti kala menyadari Anya melihat ke arahnya sekilas dengan tatapan resah setelah melihat ke satu arah.

Rifan langsung mengikuti arah tatapan yang menjadi sumber keresahannya. Menoleh ke jarum jam 6, mendapati 3 perempuan ber-lanyard memalingkan pandangan sesaat Rifan menoleh.

They must be talking about me,” ucap Anya dengan suara rendah seperti bersembunyi. Ia tak berani melirik ke arah 3 perempuan itu lagi, sedangkan Rifan kembali menoleh untuk memastikan jika ucapan Anya benar—karena bisa jadi itu hanya perasaan Anya saja.

Kembali memalingkan wajah dengan cepat kala Rifan menoleh sambil berbisik, Rifan ikut yakin bahwa mereka tengah membicarakan Anya.

Rifan lantas berdiri dan mengangkat nampannya. “Tukar tempat, Nya. Gue aja yang duduk di situ.” Sebab posisi duduk Rifan sebelumnya membelakangi mereka. Akan lebih aman baginya jika tidak melihat 3 perempuan itu secara langsung.

Tanpa bicara Anya mengiyakan dan bertukar tempat dengan cepat. Lalu Anya lanjut menyantap makanannya dengan perasaan tidak nyaman.

Mau pindah aja, Nya?” tanya Rifan, membiarkan makanan yang semula dipujinya tak termakan karena sibuk memperhatikan perempuan di hadapannya.

Anya menggeleng. “Percuma. Kalau di tempat lain ada yang tau gue juga, sama aja mereka bakal ngeliatin.

Rifan lantas mengalihkan pandangannya dari Anya menuju 3 perempuan di seberang yang tengah asyik mengobrol sambil tertawa. Ia berusaha berpikir jernih. Tak mungkin bisa langsung menyimpulkan isi percakapan orang yang bahkan tawa kencangnya saja terdengar samar di telinganya.

Laki-laki itu menghela napas. “Anggap aja mereka ngeliat ke sini karena naksir gue, bukan ngomongin lo.” Ia berusaha menenangkan.

Anya terkekeh sebal dan melirik Rifan sekilas, terlihat laki-laki berambut halus di hadapannya itu sedang tertawa dan memperhatikannya dengan dua tangan disilang di atas meja, membiarkan makanannya yang sisa 3 suap itu tak termakan. Sorot lampu kecil di atas kepala mereka membuat wajahnya yang sudah cerah semakin cerah, menghasilkan bayangan dari bagian lain di wajahnya hingga membuat senyumnya terlihat lebih manis.

Sedikit tenang. Sedikit menenangkan hati tahu ada yang menemani.

Anya lanjut menyantap makannya dengan perasaan sedikit tenang. Rifan pun turut lanjut menghabiskan 3 suapan terakhir di atas hot plate-nya.

Dari sudut gelap matanya, Rifan merasakan suatu benda mengarah ke mereka, datang dari 3 perempuan tadi. Rifan melirik, didapati satu dari tiga perempuan itu berusaha diam-diam menyorot mereka dengan kamera ponsel. Entah untuk merekam atau sekadar memotret.

Rifan melirik Anya. Perempuan itu masih tenang menyantap makanannya tanpa tahu tiga perempuan di seberang sana tengah melakukan hal yang melanggar privasinya.

Kali ini Rifan yakin, mereka benar-benar membicarakan Anya.

Rifan yang semula hanya melirik ke arah mereka kini menoleh, membuat ponsel yang mengarah ke arahnya disembunyikan dan pemiliknya langsung pura-pura sibuk sendiri.

Laki-laki itu balik menatap mereka dengan tatapan yang sama yang mereka berikan sepanjang makan. Tidak dialihkan sama sekali sampai tiga orang itu terlihat risi dan tidak nyaman.

Lantas, Rifan diam-diam mengarahkan kamera ponselnya ke arah tiga sekawan itu. Pura-pura memotret dan merekam mereka dengan gaya dan posisi yang sama dengan salah satu perempuan tadi, tidak mengubah posisinya bahkan ketika ketiganya menoleh.

Anya yang baru menyadari laki-laki di depannya mengarahkan ponsel ke seberang pun sempat bingung, namun enggan bertanya karena tak bertenaga. Tenaganya sudah dikerahkan untuk mensugesti pikirannya bahwa ia sedang makan dalam kesunyian dan tak ada yang berusaha menghakimi.

Rifan masih pada posisinya 'mengganggu' tiga perempuan itu, hingga salah satunya terlihat semakin risi dan berdiri menghampiri.

Perempuan dengan setelan plisket cokelat tua, rambut dikeriting rapi, dan terlingkar lanyard kulit di lehernya datang mendekat. Harum parfum sejuta umatnya mulai tercium semerbak, terbawa semilir angin saat berjalan.

Ada apa, ya?” tanyanya, dengan wajah tegas dan senyum palsu.

Apanya yang ada apa?” Rifan menjawab santai

Mas-nya daritadi ngeliatin kami, loh. Emangnya nggak ganggu? Kami lagi makan loh, Mas!” Perempuan itu meninggikan nadanya hingga Anya berhenti mengunyah walau baru menyuap ke dalam mulutnya.

Rifan berdiri, tubuhnya 7 sentimeter lebih tinggi. “Harusnya saya yang nanya, Mbak ada yang mau ditanyain? Soalnya dari awal kita datang, Mbak ngeliat ke sini terus.

Siapa yang ngeliatin Mas-nya?” Perempuan itu ngotot.

Kalau gitu, siapa yang ngeliatin Mbak-nya? Kalau pembelaan Mbak kayak gitu, saya juga bisa pakai pembelaan yang sama.” Rifan tak kalah ngotot. Bedanya dia tak berteriak, dan wajahnya tetap datar.

Perempuan yang tengah bernapas dengan kasar karena menahan amarah itu sempat diam beberapa saat, seperti sedang mencari alasan lain untuk menutupi apa yang barusan mereka lakukan. Ia melihat ke Anya sebentar, lalu kembali menatap Rifan dengan tatapan berapi-api. Sedang yang ditatap, menatap dengan wajah tanpa ekspresi, menunggu ucapan apa yang akan keluar selanjutnya untuk dibaliki.

Mas juga ngelanggar privasi kami dengan rekam-rekam! Kami perempuan, ya, Mas! Bisa kami laporin dengan kasus pelecehan.

Ada bukti?

Sini handphone-nya kalau berani!” Suara perempuan itu semakin tinggi hingga beberapa pelanggan lain menoleh memperhatikan.

Tidak menolak, Rifan keluarkan ponselnya tanpa melepas tatapannya. “Cek,” katanya, menyodorkan ponselnya tepat di depan wajah perempuan itu. “Nggak dikunci. Cek,” perintahnya sekali lagi karena wanita itu malah sibuk menatapnya tajam penuh emosi.

Wanita itu merebut cepat ponselnya dan membuka galeri. Tak ada yang dia dapatkan selain foto-foto tak penting yang Rifan miliki. Foto Lego-nya, tangkapan layar pesanan online-nya, tangkapan layar percakapannya dengan rekan kerjanya, sepedanya, dan Anya. Video/foto 3 perempuan itu? Tidak ada sama sekali karena sejak awal Rifan hanya mengarahkan ponselnya tanpa menekan tombol.

Ada nggak?” tanya Rifan. “Coba kalau ada kasih tau.

Perempuan itu diam seribu bahasa, tangannya masih berusaha sibuk mencari bukti untuk menyalahkannya. Lalu, dengan berat hati ia kembalikan ponsel itu ke tangan Rifan.

Saat hendak melangkah pergi, Rifan langsung mengembalikkan ucapan perempuan itu. “Sekarang, sini handphone-nya kalau berani,” ucapnya.

Perempuan itu terlihat gelisah dan linglung. Walau tetap dikeluarkan ponselnya agar tak terlihat terlalu 'bersalah', ia tak kunjung memberikannya. “Buat apa?” tanyanya, marah.

Kan nggak Mbak doang yang merasa direkam. Saya juga di sini merasa direkam sama Mbak. Jadi, saya juga mau lihat handphone-nya.” Rifan menengadahkan tangannya meminta. Beberapa kali menaikkan alisnya sebagai isyarat agar perempuan itu cepat memberikannya.

Perempuan itu menggigit bibir bawahnya tanpa terlihat, melihat sekeliling dan melihat teman-temannya yang tengah menggeleng meyakinkannya. Jika tak diberikan, malu, barusan ia marah-marah. Jika diberikan, juga sama malunya, karena akan terlihat isi galerinya.

Mohon maaf, Mbak, sepertinya akan lebih fair kalau diberikan. Supaya nggak ada keributan di dalam restoran.” Salah seorang pekerja yang diasumsikan adalah manajer restoran mencoba menengahi.

Setelah berpikir ribuan kali dalam beberapa detik, dengan berat hati ia berikan ponsel itu ke tangan Rifan.

Face ID?” Rifan mengarahkan ponsel itu di depan wajahnya untuk membuka, lalu membuka galeri perempuan itu.

Rifan tak ingin mengganggu privasinya, jadi, matanya langsung tertuju pada 5 tangkapan kamera terakhir dalam galerinya. Dan...

Nih.” Rifan menunjukkan hasil foto dan video yang diam-diam diarahkan ke mereka—didominasi sorotan ke punggung Anya—ke depan mata perempuan itu. “Jadi, siapa yang daritadi ngerekam dan ganggu privasi orang lain?

Perempuan itu tak berkutik. Bahkan manajer restoran pun sudah tak bisa menengahi karena buktinya terlalu jelas. Dari kejauhan, terlihat juga 2 temannya membuang muka menutupi rasa malu.

Tanpa banyak bicara, Rifan langsung menghapus foto dan video itu dari ponselnya, bahkan dihapus hingga ke dokumen recently deteled-nya.

Rifan kembalikan ponsel itu ke pemiliknya, lalu berkata, “So pathetic to see how you tried so hard,” katanya. “I know some people are like school in July, but please don't be too obvious.” Perempuan itu lantas buru-buru pergi mengambil tasnya dan keluar dari restoran, diikuti dua temannya yang semula duduk pura-pura tak melihat.

Mohon maaf atas ketidaknyamanannya ya, Mas, Mbak.” Manajer restoran meminta maaf kepada Rifan dan Anya setelah memahami apa yang terjadi. Rifan hanya mengangguk dengan wajah malas, lalu kembali duduk untuk menunggu Anya menyelesaikan santapannya dengan tenang.

Kok bisa tau, Kak?” Anya masih terperangah menonton adegan tak terduga tepat di hadadapannye barusan.

Kelihatan, lah.

Kenapa nggak langsung ditegur, kenapa harus nunggu dia nyamperin dulu?

Gue udah hapal orang kayak gitu bakal susah disalahin dan bakal nyalahin duluan. Jadi, ngapain repot-repot ngotorin tangan kalau mereka bisa nyerang diri mereka sendiri?” Rifan mengedikkan bahu dan tertawa, ia menyeruput es lemon yang sudah tersisa air dari mencairnya es batu.

Anya mengunyah sambil menatap Rifan dalam waktu yang tidak sebentar. Sesekali ia menahan tawa dan kembali menyuap, lalu menatap Rifan lagi sampai Rifan-nya bingung sendiri.

Apa?” tanya Rifan dengan alis mengerut.

Anya menggeleng penuh arti. “Engga.” Kemudian menyilang sendok garpunya di atas hot plate tanda sudah selesai bersantap. “Yuk, Kak?” ajaknya pergi setelah menghabiskan air mineralnya.

Mau balik? Gue masuk kantor masih 30 menit lagi,” jawab Rifan.

Jalan-jalan aja...” ajak Anya sembari berdiri memakai tas selempangnya.

Rifan tertawa kecil dan ikut berdiri. “Emang nggak takut ketemu orang kayak tadi lagi?” Ia bertanya. Entah benar-benar memastikan atau hanya bercanda.

Anya menggeleng yakin. “Aman,” jawabnya. “Kan ada Kakak.

Telinga Rifan memerah. Wajahnya seperti dibakar sinar matahari Jakarta pukul 12. Ia tutupi salah tingkahnya dengan tawa palsu dan wajah (sok) mengejek.

Sebagai anak bungsu dalam keluarga yang tak jarang diandalkan dan sering dianggap kurang mumpuni, memiliki seseorang yang mengandalkannya terasa… menyenangkan?


Perempuan bersetelan cokelat tua yang semula beradu argumen dengan Rifan sudah meredakan amarahnya setelah membeli es krim rasa kiwi di salah satu Ice Cream Shop.

I know some people are like school in July. Masih terngiang ucapan laki-laki menyebalkan tadi yang tak dimengertinya. Ia lalu bertanya pada dua temannya.

What's school in July?” tanyanya.

Dua temannya bingung. “Maksudnya?

Sekolah di bulan Juli tuh apa?

Sekolah di bulan Juli?” Salah satunya bertanya balik.

Bukannya di Bulan Juli semua nggak sekolah?” sahut yang satunya.

Iya seingat gue, Juli mah semua sekolah libur. Nggak ada kelas.

Nggak ada kelas... School in July means... no class? Perempuan itu semakin geram saat menyadari maksud dari ucapan Rifan.

Rifan memang bukanlah lawan yang harus diadu dalam berargumen.

Camera OnDi keluarga lo, siapa orang yang paling berpengaruh dalam bikin ekonomi keluarga besar stabil?

Rifan sudah dalam posisi duduk di kursi hitam beroda di kamarnya, masih memakai setelan kasual rapi dan semerbak parfumnya masih tercium oleh dirinya sendiri.

Ia melepas kemeja berlogo Polo, dan menyisakan hanya kaus tipis berwarna putih menempel di tubuhnya. Ia bersandar dan mengembus napasnya kasar, sebelum akhirnya duduk tegak dan menatap kamera.

Bokap lo? Om lo? Kakek lo?“ “Di keluarga gue, Oma gue. Ibunya Papi.

Cukup berbeda dari keluarga kebanyakan, di keluarga gue, perempuan punya kuasa. Atas hasil kerja keras Oma gue di usia muda, kehidupan keturunan selanjutnya selalu nyaman, termasuk kehidupan gue.

Opa gue? Entah, nggak pernah lihat. Kata Papi, mereka pisah sejak Oma mulai berbisnis. He never heard of him anymore since.

Oma gue punya 5 anak. Papi, Om Ghani, Tante Yuli, Tante Adnan, dan Om Vino. Papi anak sulung, kesayangan dan kebanggaan keluarga karena berhasil bikin usaha Oma semakin besar di usia 23 tahun.

Oh, iya! Gue udah nyebut usaha Oma gue belum?” Rifan sempat keluar dari kamera beberapa detik, lalu kembali dengan kotak makan besar berukuran 25 x 25 cm dan membuka tutupnya, menghadapkan isinya ke depan kamera. “Oma gue yang punya bisnis ayam goreng ini. Kalau lo nggak pernah nyobain ini, lo belum jadi orang Indonesia. Ayam goreng Oma gue selalu ramai kayak ada tuyulnya, tapi nggak ada tuyulnya. Tuyulnya udah di rumah lagi bikin video.” Maksudnya dirinya sendiri. Ia tertawa dan mengambil paha bawah untuk dicamil.

Awalnya bisnis Oma bisnis rumahan, tapi saking jagonya Oma gue berbisnis, bahkan pas Papi masih kecil pun, Oma udah berhasil beli rumah berkolam dan 2 mobil Volvo. Iya, hasil jual ayam goreng. Jadi top 1 kuliner di Solo pada saat itu.” Ia membanggakan Oma-nya sambil memakan santapan yang 'memakmurkan' keluarganya itu.

Papi gue SMA di Surakarta, satu almamater sama Pak Jokowi. Kuliah S1 di IPB, terus lanjut S2 di Edinburgh. Pulang dengan gelar master, Papi bantu Oma buat ekspansi usaha ayam gorengnya di Jawa Tengah, lalu merambah ke Jawa Timur, sampai di Jabodetabek. Di tangan Papi, restoran ayam goreng Oma punya 18 cabang sebelum franchise. Setelah franchise sampai hari ini ada sekitar...” Rifan berpikir, mengingat-ingat jumlah pasti gerai restorannya. “46? 48? Lupa, kayaknya hampir 50 gerai seluruh Indonesia. Di tangan Papi gue, tuh.” Ia berucap bangga menceritakan prestasi ayahnya.

Penasaran nggak, Papi sama Mami ketemu di mana? Di kampus! Mami anak IPB juga, tapi nggak lanjut S2 karena langsung kerja. Seingat gue, pas Papi Mami ketemu (lagi) setelah sekian lama itu, Mami punya usaha puding. Dijualnya dititip ke restoran-restoran karena nggak punya toko. Dari situ mereka ketemu lagi. What in the Disney Movies.” Rifan tertawa sebal menceritakan kisah cinta orang tuanya yang klasik, dengan percikan rasa iri karena pertemuannya begitu mudah.

Tapi, Bre, menariknya, Mami gue tuh anak sulung juga, bedanya beliau tulang punggung keluarga. Semua profit jualan puding itu nggak cuma buat dirinya sendiri melainkan buat sekeluarga. Bahkan buat sepupunya juga karena beberapa dari mereka nggak berpenghasilan. Jadi, Mami gue pada saat itu bukan perempuan hedon dan 'kelas atas'. Dan itu bikin Oma nggak suka sama Mami. Beda kelas katanya.

Rifan menutup kotak ayam itu dan menaruh di meja yang juga menjadi tumpuan kameranya. “Papi gue orangnya rebel, sih, jadi tetap dihantam aja, nikahin Mami. No matter how bad Oma treats her, she never treated her grandchild the same. Masdan dan Yaya jadi 'cucu emas', karena pintar dan Papi resemblance. Especially, Masdan.

Rifan mengambil micellar water dan membersihkan wajahnya dari debu walau tak memakai riasan. Ia mengangkat kapas dan beriklan sejenak. “Jadi laki-laki bukan alasan untuk nggak terawat dan kotor, jadi, pakailah micellar water, wahai warga-warga yang dekil,” ucapnya sambil tertawa.

Lanjut,” Ia mengusap wajahnya dengan kapas sambil berbicara. Adik-adik Papi bantu pengembangan bisnis ke produk lain tapi masih di sektor yang sama. Ada franchise minuman, franchise pop chicken, dan lain-lain. Masing-masing jadi punya peran. Tapi seingat gue kita nggak lagi bahas ini nggak, sih, tadi? Gue ngelantur, ya?” Ia membuang kapas lalu mengacak rambutnya agar lebih berantakan dan siap membersihkan dirinya.

Oh, tentang Masdan dan Yaya. Ya, pokoknya mereka kesayangan Oma gue, lah, dulu. Sampai akhirnya, pas Masdan dan Yaya udah SMA, Mami hamil lagi tiba-tiba. Di dalam perutnya ada manusia jenius reinkarnasi Galieo Galilei.” Rifan berkata dengan wajah sengak. Maksudnya, manusia jenius reinkarnasi Galileo Galilei adalah dirinya. “Satu keluarga kaget, nggak terkecuali orang tua gue. Nggak ada yang berharap gue lahir karena memang targetnya masing-masing anak cuma ngelahirin 2 cucu.

Hubungan gue sama Oma nggak begitu dekat sejak paru-paru gue berfungsi. She treated me like she treated Mami. Cuek dan tidak menyenangkan. Terlebih gue bukan anak yang pintar di akademik. Satu-satunya yang bisa gue banggakan cuma medali emas kejuaraan Taekwondo gue. Oh! Dan medali emas lomba rubik waktu gue SD. Memang se-nggak penting itu prestasi gue. Bukannya belajar Matematika malah belajar nendang balok dan bolak-balik kubus.

But i have Papi back then, jadi gue nggak masalah kalau Oma nggak suka gue. Tapi sekarang, Papi udah nggak ada, jadi agak sedikit masalah kalau ketemu Oma.

Gue selalu takut ketemu Oma. She's intimidating. Aura wanita karirnya ada banget. Pembahasan setiap ketemu adalah tentang kerjaan dan prestasi gue di kantor Om Ghani, adiknya Papi. Iya, gue kerja di kantor Om Ghani, beliau yang bikin franchise pop chicken out of bisnis Oma. Yaya dapat jabatan karena Yaya kompeten. Kalau gue, kerja buat formalitas aja. Ia terkekeh. Masdan? Ya kerja di pusat, lah. Kaki tangan Oma dia. Pengganti Papi.

Tapi, Mami nggak kerja di bisnis Oma sama sekali. Sejak Papi pergi, Mami kerja banting tulang sendiri. Kata Mami, 'Biar kita sekeluarga nggak direndahin keluarga Papi',” lanjutnya. “Karena terlalu kerja keras, Mami sama gue juga jadi nggak begitu dekat, sedikit waktu kita buat ketemu dan bonding. So if we're talking about Wonder Woman, gue sama sekali nggak bisa bayangin Gal Gadot, tapi Mami gue.” Rifan sudah mulai tidak nyaman. Terlalu larut baginya untuk bercerita, juga terlalu larut untuk membiarkan dirinya belum membersihkan diri sepulangnya dari luar.

Sebenarnya niat gue bikin monolog tadi mau cerita tentang hari ini, tapi malah cerita ngalor ngidul. Nggak apa-apa, segitu juga udah kebayang, kan, kayak gimana pertemuan gue sama Oma tadi? Awkward dan tegang. Untungnya gue membawa jimat gue, support system gue.” Ia mengeluarkan satu Lego Ninjago Limited Edition yang susah payah ia dapatkan. “Say hi to Udin Petot, thank you for today, My Lovely Udin.” Ia mendekatkan Lego ke depan kamera agar Udin Petot lebih terlihat di layar.

Ya udah, segitu dulu monolog hari ini.“ “Nanti kita ngobrol lagi kalau gue happy.“ “Ciao. Adios.Camera Off

Sugested song to repeat: All tracks in Laufey's 2023 Album: 'Bewitched'. Especially, the song, “Bewitched”

Rifan buru, Nya.

Anya pura-pura tak melihat notifikasi ponselnya karena masih panik mengompres kedua mata sembabnya dengan sendok dingin yang ia celupkan di air penuh batu es. Matematikanya, kalau dia (pura-pura) tidak lihat, dia masih punya waktu.

Please sabar, please sabar, ucapnya dalam hati dengan kedua mata tertutup sendok. Lantas ia singkirkan untuk kembali mengecek bila sembabnya sudah membaik di kaca, dan, “ARGH?!?!” Masih belum juga.

Rifan kalau lo nggak keluar, gue kasih mbak-mbak sebelah

Membacanya, Anya langsung menggeram sebal dan berlari menuju balkon meninggalkan dua sendoknya tergeletak di meja sembarang begitu saja.

Ia membuka kunci balkon pintu geser dan membukanya dengan cepat untuk melihat di mana si-tidak-sabaran itu berada. Sambil memegang pagar pembatas dari balkonnya di lantai 4, ia celingak-celinguk melihat ke bawah.

Gelap. Tidak ada orang.

Anya kak, lo scam ya? nggak ada siapa-siapa?!

Anya mengirim pesan lewat ponselnya sambil tetap bersandar pada pagar pembatas balkon karena masih mau memastikan.

Rifan masa? coba liat lagi

Untuk membuktikan bahwa pemikirannya benar, Anya menggeser ponsel dari hadapannya dan mendapati Rifan tengah mengarahkan cahaya ponsel sejajar bahunya di tengah kegelapan menyisakan hanya hidungnya bersinar di tengah gelapnya malam. Siapapun yang melihat posisinya itu jelas akan terkejut.

Anya yang sempat terperanjat itu mengelus dadanya dan mendengus kesal. “Harus ngumpet banget?” omelnya, sedikit berteriak.

Hah?” Suara klakson dan knalpot di lalu lintas Kuningan yang ramai membuat suara Anya terdengar samar. Terlebih, suara perempuan itu bukan tipikal 'toa' yang nge-bass dan keras.

Lo ngapain ngumpet?” Gadis itu mengulangi ucapannya, kali ini diusahakan lebih keras agar terdengar.

Apaan, sih?” Masih tidak terdengar juga.

Anya lain kali tolong korek kuping

Membaca pesan itu, Rifan langsung mendongak melihat satu-satunya orang yang berdiri di lantai 4 dengan dahi mengerut.

Rifan lo, lain kali ngomong jangan sambil nyelem. ga kedengeran.

Anya tersenyum miring, lalu kembali mengetik sambil sesekali melirik ke bawah.

Anya terus, mana penguin-nya?

Lantar kembali melongok ke bawah untuk menerima sinyal jawaban dari laki-laki yang berdiri di luar gedung.

Rifan mengangkat tas kertas berukuran sedang yang asumsinya terdapat makanan yang telah ia janjikan. Anya melihatnya dengan sumringah, sampai saat pandangannya bergeser melihat ekspresi nyeleneh pemegangnya.

Laki-laki itu mengangkat tas kertas dengan wajah meledek. Seakan-akan wajahnya berkata, kalau lo nyebelin, nggak gue kasih.

Mengerti, Anya tersenyum—terpaksa. Ia berusaha menunjukkan ekspresi dan sikap yang manis agar manusia tengil di bawah tak banyak tingkah dan tak banyak aturan. Dia mau buru-buru mencicipi 'penguin' yang-katanya-bakpau itu.

Rifan turun lah

Anya tadi perjanjiannya gue di balkon aja?

Rifan terus gue suruh ni penguin terbang sendiri aja? sayap penguin cuma buat keseimbangan tubuh kalau lo tau, bukan buat terbang.

Fun fact, Anya baru tahu fungsi sayap penguin. Ia kira sayapnya untuk berseluncur di es seperti di film Happy Feet.

Anya boleh taruh aja nggak di bawah? nanti gue ambil sendiri

Rifan tidak langsung membalas pesan, membuat Anya menatapi dari atas terus menerus sampai dibalas.

Rifan mendongak. Menggeleng sambil memejam. Keras kepala. Digerakkannya bibir mengucap, turun, sambil terus menunjuk tas kertas itu dengan dagunya.

Anya ikut menggeleng sambil memejam. Menirukan Rifan. Sama keras kepalanya. Digerakkannya bibir mengucap, nggak mau, mata gue. Lalu menunjuk matanya yang kalau dilihat dari sudut pandang Rifan tidak terlihat apa-apa. Tentu, mereka berdiri terpisah jarak 3 lantai gedung apartemen pukul 20 dengan cahaya minim.

Ia lalu kembali mengangkat ponselnya hendak mengetik sesuatu. Sebelum mengirim, ia sempat melirik ke bawah untuk melihat lawan bicaranya.

Namun, hilang. Dia tidak lagi ada di situ.

Anya kak, lo kemana?

Perempuan itu berusaha menyapu seluruh sudut yang bisa dijangkau jarak pandangnya. Kali ini, Rifan sepertinya tidak bersembunyi.

Ditunggunya semenit, dua menit. Rifan tak kunjung kembali. Mungkin pulang? pikirnya. Tapi tiba-tiba?

Tak menemukan titik terang keberadaan Rifan, Anya hendak melangkah kembali masuk ke dalam kamar. Namun, tiba-tiba notifikasi ponselnya kembali menyala.

Rifan udah di depan kamar lo tuh, gue titip satpam anterin. besok-besok pake ongkos ya kirim nganterin ke atas

Membacanya, Anya kembali mendekat ke railing balkon untuk mengecek apakah Rifan sudah ada di sana. Ia mendapati Rifan sudah kembali berdiri di tempat semula sambil menunjuk ke atas, menandakan bahwa makanannya sudah dibawakan Pak Satpam ke depan kamarnya.

Anya tersenyum sumringah. Dan tanpa menunggu lama, sesaat setelah membacanya, ia langsung berlari ke luar kamar untuk mengambil titipannya di Pak Satpam yang menekan bel, lalu kembali lagi ke balkon untuk menemui Rifan.

Ia melompat kecil kegirangan, membuat Si Pembuat di bawah tanpa sadar ikut tertular tawa girangnya.

Rifan yang memakai hoodie biru dongker dengan kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku itu, tak bisa tak tertawa melihat Anya yang melompat kegirangan dari lantai bawah. Mata yang ikut mengecil saat tersenyum tak ayal menambah kesan manis dalam wajah laki-laki itu, walaupun jika sedang tak senyum wajahnya malah terkesan jutek.

AAAA LUCU!” Teriakan Anya yang kali ini adalah yang terkencang dibanding sebelumnya hingga terdengar lebih jelas ke telinganya—walau masih sedikit samar. Anya membuka kotak makan bulat yang terisi 5 penguin mendongak menatapnya.

Ia mengeluarkan satu, mengernyitkan hidungnya kegemasan sembari mensejajarkan penguin itu di sebelah wajahnya menghadap Rifan. Ia memberi sinyal kepada Rifan bahwa ia akan segera memakannya.

Rifan tertawa dengan senyum miring dan satu alis dinaikkan. Memberi gestur menyuruh Anya agar segera mencicipi 'mahakarya'-nya. Ia sudah tak sabar menunggu responsnya.

Laki-laki itu mundur beberapa langkah tanpa menoleh, mencari sesuatu yang bisa disandarkan agar lebih nyaman melihat ke atas. Kabar baiknya, ada tempat duduk semen yang mengelilingi satu pohon berukuran sedang. Ia duduk dan menopang lengannya pada kedua pahanya. Kepalanya masih mendongak, memerhatikan setiap kecil hal yang bisa dilihatnya dengan cahaya seadanya dan jarak yang cukup jauh. Untungnya, mata yang ia miliki sehat dan tak buram. Setidaknya, Anya tidak terlihat seperti mozaik dari tempatnya berada.

Rifan tenggelam dalam pikirannya membayangkan bagaimana penampilan Anya saat ini dengan rambut berantakan yang dihias bandana bulu berwarna... ungu? Rifan tak bisa melihat jelas warna bandananya, tapi dilihat dari kepribadian Anya yang 'sudah menikah' dengan warna ungu, mungkin ungu, pikirnya. Ia ingin lihat. Lihat Anya, bukan bandananya. Namun jika tak diizinkan, apa boleh buat?

Hmmm! Yang ini enak, Kak!” Anya berteriak lagi, menyadarkan Rifan yang sempat buyar.

Oh, ya? Gue belum coba,” jawab Rifan, juga berteriak agar terdengar sebab lalu lintas Kuningan masih berisik di pukul 20.

Sumpah, enak. Ini liat tutorial youtube, ya?

Enak aja!” Rifan terdengar tidak terima. “Pinterest.

Anya terkekeh sembari menikmati gigitan selanjutnya—perut penguin yang gendut dengan isian ayam. Rasa adonannya hampir mirip mochi. Padahal bakpau. Isinya memang ayam, tapi ia yakin di penguin lain rasanya berbeda. Dimaklumi, pria di bawah itu cuma penikmat Lego yang sehari-harinya bekerja agar tak menganggur saja, bukan seorang pembuat bakpau handal.

Namun, bakpau itu, mengejutkannya enak. Anya tidak bercanda saat menggelengkan kepalanya tak menyangka. Ia bahkan berharap penguin-nya tak hanya 5, melainkan 1 kabupaten kutub. Bawa saja semua penguinnya. Dia mau makan.

Lalu lintas Kuningan mulai tenang. Suara klakson tak se-berisik sebelumnya. Knalpot motor racing yang nyaring juga sudah tak terdengar, sehingga mereka sudah bisa bercakap tanpa bantuan ponsel.

Emang... seriusan enak, Nya?” Rifan bertanya lagi. Bahkan yang membuat pun tak percaya.

Anya mengangguk antusias, mengangkat penguin kedua untuk disantap. “Sumpah! Enak! Surga!” Pujian Anya yang tak henti-hentinya itu benar-benar berhasil menghilangkan rasa lelah Rifan yang baru tidur sebentar dan mengerjakan pekerjaan 9 to 5 yang tak ada habisnya. “Mau lagi, boleh?” pintanya. Terdengar seperti adik kecil yang meminta camilan di tangan kakaknya.

Rifan tertawa. Menjadi adik kecil biasanya adalah jobdesc-nya sehari-hari. Kini ia malah mendengar itu dari orang lain.

Ia mengangguk, sebelum menggeleng cepat sedetik kemudian. Berubah pikiran.

Kenapa?” Anya bertanya dengan mulut yang penuh. “Susah, ya, buatnya?

Ngerepotin aja.

Yah...” Bibirnya manyun sambil mengunyah.

Bikin sendiri aja, nanti gue ajarin.

Wajah yang semula murung langsung kembali antusias dan mendekat ke railing balkon. “Iya? Gimana caranya?

Kalau muka sembab lo udah normal dan udah mau ditemuin, nanti gue bawain bahan-bahannya. Lo punya kukusan, k—

Punya!” Anya langsung menjawab dengan cepat bahkan sebelum pertanyaannya selesai. “Tapi tangan gue nggak andal ngehias-hias, Kak.

Santuy. Nggak dipecut sama kusir kalau lo nggak bisa,” jawabnya. “Bikin yang sederhana dulu aja, yang penting bikin, kan?

Oke.” Anya mengambil penguin ketiga tanpa jeda. Ia bahkan sudah hampir kenyang walau baru memakan dua, namun masih ia paksakan makan saking sukanya.

Dari bawah, Rifan hanya memperhatikan perempuan yang dengan lahap mengunyah makanan 'apa adanya' yang dibuatnya sungguh-sungguh tadi pagi.

Ternyata dia suka. It wasn't that bad, batinnya, yang sejak pagi selalu dipenuhi rasa tidak percaya diri karena selalu menganggap apa yang dilakukannya tak pernah berhasil.

Kali ini, Berhasil? Ia masih menolak untuk percaya.

Anya yang menyadari Rifan memperhatikannya dalam kegelapan itu, mengangkat penguin keempat dan dijulurkannya melewati railing.

Kak Rifan mau coba?” tanyanya.

Rifan tersenyum dan menggeleng, tangannya melambai dan menyuruh Anya menghabiskan semuanya walau ikut penasaran akan hasil tangannya sendiri.

Habisin aja, kalau nggak habis mereka hidup lagi.

Perempuan itu mengangguk, juga sambil tersenyum. Entah senyum karena apa? Mungkin, menyenangkan saja memakan bakpau yang enak dan lucu dan ditemani?

Terus, Kak Rifan mau sampai kapan duduk di situ?” tanyanya.

Hah?Oh, lalu lintas kembali ramai, suaranya kembali tak terdengar.

Kak Rifan...” Anya menunjuk Rifan dengan isyarat. “...mau sampai kapan...” Ia menggerakkan tangannya dengan dua bahu dinaikkan, menjelaskan kalau dia sedang bertanya. “...duduk di situ?” Dan kembali menunjuk Rifan yang sedang duduk di bawah.

Berkat gerakan tangannya, Rifan mengerti pertanyaan Anya.

Ia mengambil sesuatu besar berwarna kuning di sebelah tasnya yang kemudian diketahui adalah paper bag Lego. Ia keluarkan kotak besar Lego yang semula di dalamnya, lalu menggulung paper bag itu menjadi tabung. Ia dekatkan 'tabung kertas' yang dibuatnya itu di depan bibirnya, lalu berteriak, “Gue di sini sampai lo usir.

Suaranya terdengar lebih jelas dengan bantuan tabung buatan itu. Membuat Anya tertawa karena baru menyadari ada alternatif lain agar keduanya bisa bercakap dari jarak yang cukup jauh itu.

Anya lantas berlari ke dalam mencari barang serupa untuk menirunya, lalu kembali keluar dengan paper bag Sephora yang juga digulungnya menjadi tabung.

Kalau gue usir sekarang mau pulang nggak?” katanya, dengan tabung kertas.

Rifan kembali mengangkat tabung kertasnya. “Sekarang banget?” Kemudian melanjutkan, “ya kalau diusir, sih... mungkin?

Oh... oke...

Jadi, gue diusir?” Rifan memastikan sekali lagi agar tak salah pengertian.

Anya menggeleng dan menggigit gigitan terakhir dari penguin keempatnya sebelum akhirnya kembali berteriak di tabung kertas. “Enggak. Penguinnya belum habis.

Oh...” Rifan mengangguk mengerti. “Kalau udah habis, gue pulang berarti?

Gadis itu hampir mengangguk, namun urung. Dia masih mau ditemani walau dari jauh.

Beberapa hari terakhir, Anya menganggap apartemennya terasa seperti neraka, namun, dunia luar rasanya jauh lebih mengerikan. Diam di kamar terasa pengap, keluar dari kamar bisa megap-megap. Tak berbincang dengan orang, hampa. Berbincang dengan orang... yakin mereka bukan pihak yang mempercayai fitnah yang menguak ke publik? Anya enggan berbicara dengan manusia 'abu-abu' yang berbicara dengannya hanya untuk disampaikan ke orang lain.

Yang ia tahu, saat ini, yang terdekat dan terjelas, hanya Rifan yang bisa ia percaya. Setidaknya untuk berbincang dan menemani hari-hari mengerikannya.

Walau pria itu menyebalkan dan banyak bicara, selalu mengejeknya dan jahil, tapi hanya dia yang dengan lantang memihaknya. Setidaknya, walau rasa cookies lucu-nya pernah sekeras batu kolam dan seasin sandal, pada akhirnya ia juga yang membuatkan bakpau lucu dan enak yang berhasil membuat hari ini menjadi hari terbaik-nya sejak hari 'itu'.

Mengetahui setidaknya ada orang yang mempercayainya dan mau menghibur di situasi ini membuat Anya bahagia. Walau ia tahu, mungkin bahagia ini hanya sementara. Mungkin, setelah Rifan pulang nanti, ia akan kembali menangis dan meratapi nasibnya. Mungkin, ia akan kembali sesak dan memukul-mukul bantalnya penuh frustasi. Mungkin, ia akan kembali membenci makanan dan lebih memilih tidur agar semuanya bisa dilupakan dalam sesaat. Bagaimanapun, Anya tetap berusaha menikmati setiap detik momen yang ia rasakan saat ini sebelum semuanya kembali menyiksa.

Anya akhirnya mengambil penguin terakhir di kotak makan itu. Berpikir singkat cara agar bakpau terakhirnya itu tak cepat habis supaya ia masih bisa ditemani sampai nanti-nanti.

Sepertinya, bilang ke Rifan kalau ia masih ingin ditemani sampai nanti, terdengar seperti ide yang konyol. Rifan baru pulang kerja dan kelihatan lelah (walau wajahnya tak begitu kelihatan dari tempatnya berdiri). Terlebih, ia sudah banyak membantu. Rasanya, meminta bantuan lagi setelah banyak dibantu terkesan seperti seorang magadir; MAnusia GAtau DIri. Jadi, Anya berusaha memikirkan alternatif lain untuk membuat Rifan tetap di sana.

Anya memelototi penguin terakhir itu beberapa detik sebelum akhirnya menggigit kecil ujung kepalanya. Rifan tak bisa melihat, tentunya. Yang ia lihat hanya seorang gadis yang tengah mengigit bakpau terakhirnya. Tidak tahu kalau yang digigitnya tak lebih besar dari biji jagung.

Anya berusaha memikirkan topik lain untuk dibicarakan agar Rifan masih lama berdiam di situ sambil mengunyah se-uprit bakpau yang masuk ke dalam mulutnya, sampai tak sadar ia sedikit mundur dari railing dan membuat wajahnya tertutup besi pembatas balkon dari sudut pandang Rifan.

Nya!” Rifan berteriak dari tabung kertasnya.

Anya berkedip dan kembali melihat Rifan, masih dengan tangan kanan yang memegang penguin yang utuh—karena baru digigit sedikit; sangaaaat sedikit. Gadis itu mengangkat alisnya, bertanya.

Rifan berdeham. “Gue masih di sini, by the way,” katanya, membuat Anya mengerutkan dahinya tak mengerti.

Ia mengambil tabung kertasnya yang tergeletak di kursi balkon. “I know...?

Maksud gue, you're not all by yourself in your battle,” jawabnya. “I got your back!” Lalu berseru layaknya suporter olahraga. Ia mengangkat tangan seperti sedang sungguhan memimpin pertarungan. “Nggak cuma gue, me and my friends got your back. You're not alone. WE GOT YOUR BACK!” Ia kembali berseru semakin lantang sampai membuat penghuni lain yang hendak masuk ke dalam gedung menoleh heran.

Anya tertawa dalam kebingungan. Ia tidak tahu akan menjawab apa selain tertawa.

Kita kelarin masalah lo kalau isi kepala lo udah membaik, ya.” Setelah Rifan berkata itu, lalu lintas mulai kembali menenang. Klakson dan knalpot yang semula tumpang tindih, kini mereda sehingga suara Rifan terdengar lebih jelas bahkan jika tanpa tabung kertasnya. “Gue tau sekarang isi kepala lo lagi kacau. Asapnya ngepul, kelihatan sampai sini.” Masih sempat ia bercanda. Anya hanya terkekeh dan memegang kepalanya yang sedang jadi topik utama, namun ia tetap mendengarkan dengan seksama. “Gue tau juga lo masih nangis tiap hari sampai muka lo bengep kayak habis digebukin warga RW 004. Lo juga masih ngga mau makan kecuali makan cookies buatan gue yang rasanya bintang lima itu. Nyelesain masalah di saat kayak gini cuma bakal memperkeruh isi kepala lo yang lagi ruwet.” Rifan menurunkan tabung kertasnya karena suasana sekitar sudah cukup mendukung suaranya agar terdengar.

Anya masih mendengarkan dari balkon tanpa melanjutkan agenda menyantap 'penguin'-nya, sebab masih belum mau dihabiskan sekarang.

“*Nggak banyak yang bisa gue bantu untuk saat ini, Nya. But as i said back in the day, walau gue nggak bisa mastiin Rieke hancur, seenggaknya gue bisa usahain bukan lo yang hancur.*”

Wanita itu benar-benar tertegun melihat sisi Rifan yang 'ini'. Rifan yang serius dan tidak mengejek. Rifan yang mengeluarkan kata-kata yang terdengar seperti pelukan.

Nanti, kalau lo udah siap buat bangkit lagi, panggil nama gue 300 kali, nanti gue temenin buat perang ngelawan kadal neraka itu. Manggilnya jangan cuma tiga kali, gue mau lo repot. Harus 300 kali.

Anya tertawa terbahak-bahak. Kali ini bukan hanya terkekeh, melainkan terbahak-bahak. Baru dibilang Rifan barusan tak mengejek, malah langsung mengejek.

Kenapa harus 300 kali, sih? Ini budeg apa gimana?

Agak bolot aja,” jawabnya. “300 kali, ya, Nya.” Ia mengangkat 3 jarinya.

Kak Rifan Kak Rifan Kak Rifan Kak Rifan Kak Rifan Kak Rifan Kak Rifan.” Anya langsung mempraktikan.

Nama panjang!

Kak Rifaaaaaan, Kak Rifaaaaaaan, Kak Rifaaaaaan.

Nya, anjir. Nama panjang!” Rifan tertawa.

Ia terkekeh dan berhenti bercanda. “Emang apa deh, nama panjang lo?

Rifan Dewantoro Gates,” dustanya.

Cih, Gates,” Anya memutar bola mata sambil menahan tawa. “Kak Rifan Dewantoro, Kak Rifan Dewantoro, Kak Rifan D—Susah, ah! Emang Kak Rifan aja nggak boleh?

Nggak, lo harus repot.

Ia mengerut sebal walau sambil tertawa.

Malam ini akhirnya ia bisa benar-benar tertawa tanpa dipaksa. Hanya karena hal sepele dan sederhana yang ia dapatkan dari orang yang memaksa datang walau dari jauh.

Jam-jam yang di hari lain ia masih menangis meraung-raung karena sesak dalam kamarnya yang hampa dan berantakan, kini bisa tertawa sambil menyantap makanan enak di udara bebas dengan serunya.

Walau mungkin hanya sementara untuk hari ini, ia akan tetap ia nikmati setiap momennya. Detik ini ia bisa menyadari bahwa, rasa sedih juga masih bisa dirayakan.

Jangan dirasain sendirian, Nya. Selagi ada gue, transfer aja sedikit-sedikit. Gue lumayan sakti, kok. Kebal.

Anya tahu laki-laki itu hanya bergurau, namun ia tetap mengangguk dan lanjut menggigit penguin yang sempat dianggurinya.

Habisin. Nanti gue bawain lagi yang banyak.

Mendengarnya, Anya langsung sumringah. “Bener, ya, Kak?

Iye. Habisin aja dulu.

Lantas ia santap bakpau terakhir itu sampai habis, melupakan ucapannya yang akan mengusir Rifan jika bakpaunya sudah habis.

Gue udah diusir, nih?” ucap Rifan setelah mengetahui bakpaunya sudah habis disantap.

Kini, Anya menyesali perbuatannya—menyantap bakpau terakhir dengan cepat. Ia diam tak menjawab.

Gue balik, ya, Nya?

Kenapa?” tanya Anya, pura-pura tidak tahu.

Gue beli Lego baru tadi, mau gue susun biar dia nggak ngambek.

Dia siapa?” Ia bertanya dengan serius. “Temen lo, kah?

Pacar gue.

Anya yang tengah mengunyah langsung berhenti seketika. Pacar? Kak Rifan punya pacar?

Ia langsung tertegun dengan mulut yang penuh sambil melihat Rifan yang tengah merapikan kotak Lego-nya dan dimasukkan ke dalam paper bag.

Dah. Gue balik.” Lantas berdiri hendak meninggalkan area apartemen untuk kembali pulang.

Kak Rifan.” Rifan yang tubuhnya sudah berbalik dan mengambil satu langkah itu ditahan oleh panggilan Anya. Kepalanya yang sedikit terhalang kupluk menoleh, melihat Anya yang masih belum mengunyah sisa bakpau di mulutnya. “Punya pacar, ya?” Ia bertanya sambil menelan ludah, ragu.

Rifan tersenyum miring dan terkekeh. Tak mengangguk pun menggeleng, lalu langsung pergi begitu saja meninggalkan tanya dalam kepalanya.

Sedikit yang Anya ketahui, pacar yang ditakuti ngambek itu benda mati yang selalu dibawanya kemana-mana. Seharusnya siapapun juga akan langsung mengerti arah ucapan Rifan. Entah kenapa Anya malah mencurigai hal lain.

Perempuan itu seakan tidak terima jika pikirannya benar. Seakan hatinya sudah mulai terbuka pada laki-laki yang beberapa tahun lalu pernah ditolaknya mentah-mentah.

Entah jika bakpau itu cukup sakti sampai membuat hati keras yang lama tak dilunakkan itu melemah. Atau Rifan yang cukup sakti sampai membuat hati yang pintunya sudah berkarat terbuka kembali.

Hanya Anya dan Tuhan yang tahu. Mungkin Rifan juga, nanti. Mungkin.

TW // Trauma

Test. Rifan yang beberapa hari terakhir enggan merespons siapa-siapa yang menghubunginya, malah membuka kamera andalannya yang sudah lama tak dibuka.

Halo, sapanya, duduk di karpet kamarnya sambil memegang kepala lego kuning yang mau dipasangkan helm.

Udah 2 bulan gue nggak bikin video.

Ia membetulkan posisi duduknya, mengambil beberapa potong lego lain dan lanjut bicara. Setelah segitu lama gue nggak ngobrol di sini, banyak banget hal yang bisa gue simpulkan dari kehidupan gue.

Sejatinya, nggak semua orang paham tentang lo, dan nggak semua orang harus. Masa lalu lo, masalah lo, bahagia lo, itu cuma lo yang bisa ngerti. Jadi sebenarnya, lo (dan gue) nggak berhak 'tersentil' atas ucapan orang yang sama sekali nggak paham tentang diri lo. Terlebih kalau lo nggak pernah bilang apa-apa sebelumnya.

Kemarin itu, rasanya gue kayak membesar-besarkan hal sepele, tapi hal sepele itu cuma minyak yang nggak sengaja disiram ke sumber api. Kebetulan aja, momennya lagi nggak tepat, karena sumber apinya baru nyala.

Anya nggak salah. None of them are.

Ucapan Anya kemarin cuma buat gue sedikit mikir. Tahun ini usia gue seperempat abad lebih setahun. Yet, segala hal yang gue lakuin memang kekanak-kanakkan.

Koleksi lego, nyusun puzzle, beli monopoli, antusias nunggu perayaan ulang tahun karena mau tiup lilin. Orang dewasa mana yang ngelakuin hal bodoh kayak gue? Ia terkekeh kecil meremehkan dirinya sendiri.

Beberapa hari belakangan, gue ngilang bukan karena marah, gue cuma butuh waktu buat berpikir dan mencela diri gue. “Orang dewasa harus bertindak selayaknya orang dewasa!*” Dan perlahan, gue coba breakdown the problem untuk mulai membenahi diri gue jadi pribadi yang lebih 'matang'. Ngobrol sama diri sendiri, dan cari solusi sendiri.* Pandangannya kita mengedar ke langit-langit kamar sembari berpikir.

Kembali ke perihal 'nggak semua orang harus paham tentang lo', gue rasa banyak juga orang yang malas cerita tentang dirinya ke orang lain. Lo juga nggak?

*Alasannya banyak, dan pastinya gue juga nggak tahu alasan orang. Tapi kalau alasan gue, simply karena sedikit banyak orang akan ngeremehin gue.*

“Anak orang kaya nggak sepantasnya ngeluh.” “Trauma apa sih? Biasanya juga lo ketawa-ketawa.” “Lo lagi ngibul kali.”

Dan lagi, lapisan pertama diri lo yang akan dijadiin respons utama dari seluruh cerita hidup selama... 25 tahun—menuju 26.

Beberapa hari belakangan, gue mulai berpikir apa penyebab sifat kekanakkan gue yang cenderung 'mengganggu' orang lain. Ternyata penyababnya nggak jauh-jauh dari segala yang hidup di 13 tahun lalu.

*Jiwa gue masih tertinggal di anak kecil yang setiap hari masih pakai Dobok berkerah hitam merah dan sabuk poom kebanggannya. Setiap menang pertandingan akan selalu disambut dus-dus Lego besar keluaran terbaru, setelahnya diajak nyusun bareng-bareng sama yang lain. Atau, tertinggal di anak kecil yang selalu diajak olah otak dengan susun puzzle dan nyelesain rubik di jam 7 pagi setiap Sabtu sambil seruput susu Boneto panas rasa cokelat.* Wajahnya seakan tersenyum membayangkan kembali masa-masa indah di usia 13 tahun. Ada sedikit semangat dalam intonasi suaranya saat bercerita bagian ini.

Cita-citanya sederhana, mau lingkarin sabuk hitam dengan 8 strip putih di pinggangnya sebelum 25 tahun. Untuk anak 13 tahun yang (seharusnya) udah bisa sabuk hitam saking ambisiusnya, bagi dia, itu “sederhana”, padahal ya nggak gampang sama sekali. Yang muluk-muluk, dulu dia punya cita-cita mau dapat medali emas di pertandingan taekwondo internasional lawan Korea Selatan. Haha... si pede, tuh, bisa ngalahin yang punya cabor. Dia tertawa. Lagi-lagi meremehkan dirinya sendiri.

Dulu juga, ulang tahun dia selalu jadi perayaan spesial tahunan. 2 kakaknya yang udah sama-sama dewasa, berlomba-lomba kasih hadiah terbaik. Bahkan kadang, pacar kakak-kakaknya (yang ganti-ganti setiap tahun itu) juga ikut dalam perayaan ulang tahun dan turut ngasih hadiah. Apalagi Papi-nya, si yang selalu jadi garda terdepan pendukung (the soon to be) atlet Indonesia yang ditakuti Korea Selatan (dalam imajinasinya), ledeknya.

*Dan kata orang-orang, dia satu-satunya anak kecil yang berbakat di segala hal kecuali matematika. Bocah 13 tahun itu nggak dipaksa untuk pintar dalam pelajaran, “silakan bawa pulang medali emas dan jadi atlet internasional yang disegani,” kata keluarganya ke anak kecil 'pemalas' yang hobinya cuma kejar medali dan sabuk tertinggi. *

Sedikit yang dia tahu, di usia 13 tahun, harapan itu akan jadi cerita yang diawali 'dulu' dan 'hampir'. Anak bungsu itu kehilangan segalanya dalam sekejap. Di satu hari yang sama, 14 April.

Nyali, mimpi, medali... sekaligus, Papi.

Setelahnya, anak kecil itu selalu nganggap 14 April sebagai hari paling sunyi dan menyeramkan. Hilang total seluruh antusiasme di tahun-tahun sebelumnya. Setiap harinya, anak kecil itu cuma mau 'ikut pergi' sebelum bertemu 14 April selanjutnya.

Sekarang Deipan udah nggak anggap enteng sesuatu yang membebani...” Rifan bicara sendiri, menatap lancang cahaya matahari yang seringkali menusuk mata sambil sesekali beralih ke langit yang birunya mendekati putih. “Walau bagi orang lain sepele, kalau buat Deipan engga, Deipan udah nggak ikut nyepelein diri sendiri.

Jemarinya mengetuk-ngetuk pelan sandaran tangan kursi kerjanya. Ruang kantornya sedang kosong sebab beberapa karyawan mengikuti pelatihan. Namun, mengingat Rifan bekerja di anak perusahaan yang induk perusahaannya milik Sang Oma, ia sering memakai nama belakangnya untuk beberapa keuntungan. Salah satunya, ini. Menjadikan waktu ini sebagai waktu luang untuk berbincang dengan seseorang.

Oma Rifan, Ibu Papi-nya, adalah wanita luar biasa yang namanya familiar dan menginspirasi. Memulai karir dengan menjajakan masakan rumahan, kini ia berhasil membuat gurita FnB dengan ciri hidangan nusantara. Memiliki 6 anak laki-laki, paman-paman Rifan—termasuk Sang Papi—dan membagikan beberapa lini untuk dipimpin. Selanjutnya, jika cucu dan cicitnya ingin berkontribusi untuk memimpin, diperbolehkan.

Kecuali Rifan dan keluarganya. Maka dari itu, Rifan dan kakaknya bekerja sebagai karyawan pada umumnya saja, tidak seperti sepupu sulungnya yang sudah jadi konsultan di pusat.

Bukan karena Sang Oma tak menyayangi anaknya yang satu itu, justru... “Ceritanya panjang...” Rifan akan selalu menghela napas jika harus bercerita tentang drama keluarganya. “Nanti juga ngerti.” Dan akan selalu ditutup dengan kalimat yang sama.

Rifan mengalihkan pandangannya menuju gedung apartemen yang dibatasi bangunan di sampingnya yang lebih kecil. Menatap satu jendela yang sejak tadi seakan tak berpenghuni sebab empunya sibuk bekerja kesana kemari.

Pertanyaan seputar empunya kamar itu sudah menumpuk dalam kepalanya. Sedang apa?, Capek nggak?, Suka makan naga? dan pertanyaan-pertanyaan lain yang sudah beberapa minggu ini tak ditanyakan sebab Rifan sedang menghilang sebentar.

Alasannya? Ingin saja. Akhir-akhir ini Rifan bersikap baik pada dirinya sendiri. Ia sudah berhenti memaksakan dirinya agar terlihat biasa saja.

Candaan Anya kemarin, memang tidak berlebihan. Sama sekali tidak. Biasa aja, kok, menurutnya.

Hanya salah momen saja. Rifan yang selalu antusias merayakan ulang tahunnya bukan karena ia kekanak-kanakkan. Jika Rifan kekanak-kanakkan, bukan karena ia mau dianggap anak-anak.

Bagi seseorang yang kehilangan masa kecil, masa depan, dan sosok Ayah dalam satu hari yang sama, tersinggung soal hari (yang seharusnya) spesial (bagi kebanyakan orang),