warning : mention of divorce, mention of cheating
note : jika ada salah penyampaian sepanjang cerita, sila ajak aku berdiskusi di dm ya! terima kasih ^^
“Lo mau ikut masuk atau tunggu di luar?” Cello berdiri memegang daun pintu apartemennya yang terbuka.
“Di sini aja.“
Cello mengangguk dan segera masuk ke dalam apartemen studio bernuansa abu-abu dengan kaca besar menghadap kota, tetap membiarkan pintunya terbuka agar Helga yang berdiri di depan pintu tetap bisa melihatnya.
Ia masuk untuk mengambil beberapa camilan dan minuman dingin yang disimpan di dalam kulkas sebagai bekal perbincangan mereka malam ini. Tak lupa juga satu pengeras suara portabel untuk mendengar musik agar tak sunyi.
Sudah pukul satu pagi sekarang.
Sedikit berbeda dengan Cello yang agak rapi dengan jaket bomber hitam karena baru pulang bertemu teman-temannya, Helga memakai hoodie hijau tua kebesaran dan celana tidur kotak-kotak, rambutnya digerai tak beraturan yang dimasukkan ke dalam kupluk, juga memakai sendal bulu yang seharusnya hanya dipakai di dalam rumah.
Pria itu tak lama keluar dengan tangan dipenuhi 4 botol minuman soda dan beberapa camilan ringan sampai ia kesulitan menutup pintu.
Helga tertawa sembari mengambil alih semua yang ada di tangannya, membantu Cello agar ia menutup pintu dengan tangan kosong.
Setelah 'barang tempur' mereka sudah siap, keduanya melangkah agak cepat menuju lift yang akan membawa mereka ke lantai teratas di gedung ini. Baru setelahnya, mereka naik tangga darurat menuju atap.
Jakarta ramai dan terdengar sayup-sayup bising dari atas sana.
Sebuah perbedaan yang mencolok melihat atap yang redup dengan hanya satu penerangan remang-remang, sedang di bawahnya Kota Jakarta yang tak pernah mati dipenuhi cahaya.
Suara klakson mobil tak lepas terdengar, bersahut satu sama lain seakan memanggil walau dari kendaraan yang berbeda. Beberapa kali, terdengar juga knalpot berisik yang kerap ditilang karena polusi suara, yang kalau mereka lewat semua orang akan mengeluarkan sumpah serapah semoga ban lo kempes.
Suara bising namun tak asing. Isi kepala Helga juga sedang sama bisingnya. Bedanya, bukan suara klakson dan knalpot yang berputar dalam kepalnya, melainkan dirinya sendiri yang selalu berdebat dengan sisi dirinya yang tak sejalan. Seakan, kalau boleh ia mengusir, ia hanya ingin punya pendirian dan berhenti berdebat dengan dirinya sendiri.
Keduanya mencari tempat ternyaman dan berakhir duduk di salah satu tepian gedung. Kaki mereka menjuntai menghadap jalanan di bawah—walau ada pijakan lantai di bawah yang melindungi.
Helga menghirup udara dingin yang sempat membuatnya bergidik dalam-dalam, kemudian ia membuangnya dengan leluasa seperti tak hanya udara yang keluar, namun juga rasa cemasnya.
Mereka sempat diam sejenak selama beberapa menit. Menatapi ibukota dari atap gedung tinggi yang jarak pandang terjauhnya jugalah sebuah gedung.
Kalau menunduk, jalanan di bawah mereka adalah jalan tol yang dilintasi berbagai macam mobil berlalu lalang.
Cello menyambungkan pengeras suara itu ke ponselnya, mulai menyetel lagu dalam daftar putar acak untuk menemani pembicaraan mereka yang entah akan membicarakan apa malam ini.
Everything – Black Skirts terputar bersamaan dengan suara ramai lalu lintas Kota Jakarta.
Setelah isi minuman kaleng di tangannya sisa setengah, Cello menengguknya habis dalam waktu singkat.
“Hah...” Ia mengelap bibirnya dan tertawa kecil. “Minum lo udah habis?“
Helga yang tengah melamun menatap kosong pemandangan menoleh, tersenyum, lalu menggeleng. “Dicicil, ngirit. Cuma dua botol jatahnya,” candanya.
“Minum aja soda gue yang satu lagi.“
“Enggak, ah. Nanti gue jadi Mrs.Puff. Kembung.“
Cello tertawa dan mengembalikan arah pandangnya menuju jalan tol.
Gadis itu menhgirup udara dalam-dalam untuk kedua kalinya. “Rasanya cepet banget gak sih udah mau lulus kuliah? Perasaan baru kemarin gue ngomongin lo sama temen-temen gue pas kelas seminar pertama kali. Eh sekarang, orangnya malah duduk di samping gue ngobrol di atap jam satu malem.” Dengan tatapan yang masih kosong sebab memikirkan hal lain.
Cello menoleh, mengernyitkan dahi sambil terkekeh (yang terdengar seperti) tersinggung. “Ngomongin apa?“
“Gue sama temen-temen gue bilang, lo tuh buaya. Tapi, kalo pernah dideketin sama lo gak rugi, soalnya track record lo bagus, alias cuma deketin cewek-cewek cantik doang. Jadi kalo cewek dideketin sama lo, tuh, artinya dia cantik,” jelas Helga dengan nada bercanda.
“Haha serius ada orang yang merasa cantik karena validasi dari cowok brengsek kayak gua?“
“Ada, gue. Bahkan dulu, pas lo ngajak ngobrol gue pertama kali, lo mau tau? Gue langsung pede, ngira lo mau deketin gue dan langsung ngerasa paling cantik satu fakultas.” Helga cerita dengan nada bicaranya yang ceria dan menggebu-gebu. “Taunya lo nanyain Una...resek.” Ia kemudian tertawa dan menaruh botol kaleng yang semula di tangannya ke samping.
Cello terkekeh tanpa melepas pandangannya dari wajah Helga yang dibalut gelap. Hanya mendapat sedikit cahaya dari lampu gedung-gedung sekitar dan lampu darurat atap.
Kegelapan itu tak sedikitpun merenggut bagian dari Helga yang ia kagumi. Selama dia Helga, apapun itu, rasa kagumnya tak akan berkurang dengan sebab.
Pria itu tersenyum rapat dan tak berkedip. Helga yang ditatap sedemikian rupa sampai berhenti tertawa dan menoleh canggung.
“Kenapa lo ngeliatin gitu?“
Bukannya menjawab, Cello malah memicingkan mata dan menggerakkan kepalanya dari kanan ke kiri.
Gerakan Cello yang tiba-tiba itu tentu saja membuat bola mata Helga mengikuti pergerakannya. “Apa, sih?“
“Gua lagi nyari letak jelek yang selalu lo pikir ada di wajah lo sampe harus nunggu orang lain bilang lo cantik dulu baru lo bisa ngerasa cantik,” jawabnya dengan wajah serius.
Helga melotot bingung dan terus mengikuti gerakan bola matanya yang masih memindai wajahnya.
“Padahal kalo gua jadi lo, dalam sekali ngaca juga langsung naksir sama diri gua sendiri,” lanjutnya sambil terkekeh. “Setiap ngeliat lo aja gua selalu bertanya-tanya. Cewek lain kalo ngeliat dia iri gak sih?“
Gadis itu langsung tersedak dan tertawa terbahak-bahak selama dua menit. Iya, dua menit tertawa saking lucunya menurut dia. Ia menyenggol lengan cukup kencang Cello karena salah tingkah.
Setiap kali ia merasa buruk dan rendah diri, pujian “Lo cantik, Helga.” Tak akan pernah mempan membuatnya merasa lebih baik. Senang? Tentu. Namun percaya? Belum tentu. Terkadang orang mengatakan itu hanya untuk mengembalikan rasa percaya dirinya, dan sebagai orang yang tak mudah percaya oleh pujian, baginya pujian di saat seperti itu adalah omong kosong.
Namun ucapan Cello barusan...rasanya...asing. Seperti terhipnotis, berkat satu kalimat yang bahkan tak menyebut dirinya cantik secara terang-terangan saja bisa langsung membuat dirinya merasa lebih baik.
Laki-laki itu...memang...selalu pandai berkata-kata.
“You're good with words. Gak heran semua cewek bisa jatuh sama lo,” kata Helga sambil tertawa.
Cello membalasnya dengan kekehan kecil sambil melihat kakinya yang berayun acap kali menabrak susunan batu bata yang ia duduki.
“Oh, iya, ngomong-ngomong Una...” Cello langsung menoleh saat Helga menyebut namanya. Setiap kali Helga menyebut nama Una, yang Cello takuti hanya bagaimana jika Helga bertanya tentang rahasia Una kepadanya. Ia bukan tipikal orang yang mau menghancurkan kepercayaan orang lain, namun Cello juga malas berbohong. “She married The Blues Pirates' vocalist.“
Kaki Cello yang semula berayun sontak berhenti dalam sesaat. Ia tak berkata apapun dan hanya diam mematung, terkejut karena Helga tahu sendiri tentang hal yang ia ikut dibungkam selama ini.
Helga menatap batas terujung kota yang bisa ditatapnya, kemudian tertawa. Suara tawanya kini berbeda dengan yang sebelumnya. Lebih seperti, tertawa miris, mungkin. “Gue ngerasa bodoh jadi temen,” katanya.
“Karena dibohongin sama temen sendiri?“
Ia menggeleng. “Karena gak bisa dipercaya,” Helga membuang pandangannya menatap langit. “Apa yang pernah gue lakuin ke Una sampe akhirnya dia gak mau percaya sama gue. Itu yang buat gue merasa bodoh sebagai temen.*”
Benar, rasa bersalahnya jauh lebih besar dari rasa kecewa. Bukannya menyalahkan temannya yang menyembunyikan sesuatu besar darinya selama berbulan-bulan, ia malah menyalahkan dirinya sendiri karena tak bisa mendapat kepercayaan teman terdekatnya.
“Gue selalu percaya sama mereka karena mereka perlakuin gue baik. They listened to me. They understand me. Kalo aja sejak awal gue kayak gitu ke Una, mungkin dia bakal ngelakuin hal yang sama ke gue.” Helga mengusap kepala hingga wajahnya dengan dua tangan penuh penekanan. “Now i am nominated as the worst friend ever exist.” Sambil memalsukan tawanya.
Laki-laki di sampingnya mendengar tanpa memotong. Mengambil satu kaleng yang belum tersentuh, dan bertanya sebelum membukanya. “Lo mau ini?“
Helga menggeleng. “Minum aja.“
Cello meneguk minuman kaleng itu selama beberapa detik, kemudian mempersiapkan diri memberikan respons. “Bukan karena lo temen yang buruk, sih, kalo kata gua.“
Gadis itu menoleh, menatap lawan bicaranya.
“Percaya sama orang itu bukan tentang gimana dia perlakuin lo, tapi emang kebanyakan orang gak mudah percaya karena dia punya satu keyakinan tentang pandangan orang lain kalo ngeliat dia.“
Helga kembali membuang muka sambil mendengarkan, namun kali ini tak sama sekali menoleh.
“Lo sendiri, emang bisa berhenti merasa buruk walaupun temen-temen lo selalu muji-muji lo? Kan gak segampang itu. Gua yakin Una cuma takut dicap yang enggak-enggak sama orang, jadi dia gak bisa segampang itu ngomong tentang pernikahan dia ke siapapun. Maksud gua, 13 years age gap is quite...far,” lanjutnya sambil mengeluarkan lollipop kecil agar lidahnya tak merasa asam karena tak merokok. “Coba gua tanya sama lo, apa yang pertama kali lo pikirin setelah ngeliat orang dengan age gap sejauh itu punya hubungan? Would that be a good thing or a bad thing?“
“Not a bad thing, but...not a good thing either.“
“Buat lo. Coba buat orang lain, buat Kezia, buat Leo. Apa dia bakal punya pikiran yang sama?” Ia bertanya lagi. “Gua bukan ngebela Una, tapi gua gak mau lo selalu nyalahin diri lo sendiri karena hal yang sama sekali bukan salah lo. Gak semua hal yang terlihat salah di dunia ini, itu salah lo. Dan gak semua yang lo lakuin itu salah.“
Gadis itu menunduk. Memikirkan kata demi kata yang baru Cello ucapkan dan memprosesnya dengan baik dalam kepala.
“Pandangan orang lain ke diri kita, tuh, dampaknya emang bisa sebesar itu.“
Helga menoleh dan mengangguk. Tertarik dengan pembahasan yang Cello mulai. “Dampaknya bisa seumur hidup.“
“Seumur hidup.” Cello tertawa dan ikut mengangguk. “Bisa, seumur hidup.“
“Lo pernah?“
Cello menggaruk kepala dan mengusap hidungnya yang tak gatal. “Kayaknya semua orang pernah. Lo kira gua jadi gua yang sekarang karena bawaan lahir? Emang ada orang brengsek bawaan dari lahir? We all born innocent.“
“Emang ada alasannya?“
“Ada.“
“Apa?” Sebelum Cello menjawab pertanyaannya, Helga berusaha mengira-ngira.
Mungkin dulu percintannya pernah gagal? Atau karena dulu dia pernah jadi korban perempuan yang dia suka?” Itu yang ada di batin Helga saat ini.
“Di keluarga gua, gua satu-satunya anak yang...bisa dibilang...friendly? Gue suka berbaur sama siapa aja dan ngobrol sama semua orang tanpa pandang bulu. Gak cewek, gak cowok, dulu semua orang gua jadiin temen gua,” katanya. “Lo, tau, lah...waktu kecil, anak yang ramah kayak gitu bakal dicap apa. 'Genit', 'Playboy', 'Penakluk wanita' cuma karena ngajak anak kecil perempuan lain ngobrol.“
Helga menyimak dengan seksama. Kedipan matanya melambat karena terlalu serius.
“Waktu kecil, it is obviously a fine thing. Gua fine-fine aja dulu karena gak merugikan gua. Tapi seiring berjalannya waktu, gak cuma keluarga yang ngecap gua kayak gitu, tapi seluruh temen-temen gua juga. Semakin gua dewasa, puber, mulai punya rasa suka secara romantis ke perempuan, baru deh, gua ngerasain ruginya.“
“Apa ruginya?“
“Banyak. Salah satunya, setiap gua punya ketertarikan beneran ke perempuan, gua selalu dianggap cuma main-main. Katanya gua playboy. Padahal, dulu gua belom jadi playboy, masih label dari orang-orang aja yang awalnya cuma dijadiin candaan. Terus, setelahnya, gua ngerasa buat apa gua cuma dapet ruginya doang. Sekalian aja gua jadi orang yang selalu mereka sebut.“
“Jadi, lo...jadi diri lo yang sekarang karena maksain diri?“
Ia mengangguk. “Iya. Berusaha membiasakan diri gua jadi seorang gua di mata orang lain, dan itu kebawa sampe sekarang. Gua jadi brengsek. Tetep gak membenarkan, sih, mau gimanapun emang gua brengsek aja.“
“Lo gak pernah pacarin satupun dari cewek yang lo deketin, kan? Kenapa gak lo coba punya pacar terus lo buktiin kalo lo gak kayak gitu?“
“Ribet. Gua benci ekspektasi dan cari-cari validasi orang lain, karena gak akan ada habisnya. Lagian, belum ada orang yang bisa bikin gua kayak gitu.” Cello menengguk minumnya hingga tetes terakhir. “At least sampai beberapa bulan yang lalu,” gumamnya hampir tak terdengar karena berucap sambil meremas botol kaleng yang akan dibuang.
“Oh, ya? Sebanyak itu perempuan gak ada yang bisa bikin lo kayak gitu?“
“Gak semua cewek yang gua ajak ngobrol emang pengen gua deketin romantically, Hel. Kadang gua cuma pengen temenan aja, tapi dianya malah kebawa perasaan. Makanya gua kalo ngechat lo hati-hati banget, takut dibilang modus.“
“Rude.” Helga mengerutkan keningnya sambil bergidik. “But at least you don't cheat. That slightly save you from being a bastard-bastard. Slightly.“
“Selingkuh itu salah satu kebrengsekan paling tak termaafkan. Karena sekali coba, bisa keterusan dan diulangin lagi. Temen-temen gua yang coba-coba selingkuh sekali, sampe sekarang alasan putusnya pasti selalu karena dia selingkuh.“
Helga tertawa karena setuju. “Temen lo banyak yang kayak gitu?“
“Banyak. Banget. Maknaya cowok kayak Hilmy, tuh, langka. Jadi gua biarin dia pacaran sama saudara gua. Karena lingkungan sekitar gu—“
“Bentar, siapa? Saudara lo? Milan saudara lo?” Helga memotong ucapannya demi memastikan kalimat yang cukup mengejutkannya.
Cello lantas mengunci mulutnya karena menyadari apa yang barusan dia ucapkan. Tak semua orang boleh tahu tentang dia dan Milan karena satu dan lain hal. Namun karena kebodohannya sendiri, malah tak sengaja terucap.
“Milan saudara lo makanya kalian sering bareng? Gue kira lo deketin dia juga.” Helga masih mencecarnya karena pertanyaannya belum terjawab.
“I...ya but let's just stop there. Nanti gua jelasin, tapi, intinya itu.” Cello berusaha mengalihkan pembicaraan agar fokus dengan pembahasan utama.
Helga—masih dengan ekspresi terkejut dan bingung—akhirnya mengangguk pasrah. “Oke...“
“Lanjut gak nih?“
“Lanjut, lanjut..” Gadis itu mengangkat tangannya mempersilakan.
Cello tersenyum simpul menahan tawa melihat ekspresi Helga yang bingung tapi pasrah. Ia kemudian lanjut bercerita tentang teman-temannya. “Gak semua, sih, tapi kebanyakan sirkel pertemanan cowok itu mengerikan. Hal kayak gitu bisa dianggap lumrah,” katanya.
“Oh, ya?” Wajah Helga yang semula bingung langsung berubah jadi penasaran—ditambah bumbu emosi yang hampir naik pitam.
“Iya. Gua dulu sempet tergoda pengen ikutan kayak gitu juga.“
“Selingkuh?“
Cello mengangguk. “Pas...SMA, mungkin? Gua terakhir punya pacar pas SMA.“
“Wow...” Helga terkesima tak percaya karena baru tahu Cello pernah menjalin komitmen yang selama ini ia hindari. “Terus apa yang bikin lo akhirnya gak jadi?“
Mendengar pertanyaan itu, Cello malah menatap kedua netra Helga yang juga menatapnya dan tersenyum. Ia kemudian tertawa sedikit sambil menunduk.
Suara latar yang semula terputar lagu-lagu lambat dengan beat menenangkan, kini berganti dengan lagu 9294 – Someday yang hanya diiringi petikan gitar di awalnya.
“Kok ketawa?“
“Ada ceritanya kenapa gua akhirnya gak jadi coba-coba.“
Helga mengangkat kedua alisnya sebagai isyarat bertanya.
“Waktu itu, gua pernah baca cerita. Cerita...ya, cerita romansa biasa, awalnya. Dua anak muda jatuh cinta dan dipandang punya hubungan harmonis sama orang-orang di sekitarnya. Tapi ternyata, diem-diem yang satunya ketahuan selingkuh sama sahabat pasangannya.“
“Oh, ya? Terus?“
“Biasa aja, kan? Tapi itu baru awal-awal. Ceritanya dimulai pas mereka udah sama-sama udah dewasa umur kepala 5, mereka ketemu lagi sebagai besan. Dalam keadaan...dua-duanya udah single parent.“
Helga mengerutkan keningnya. Entah bingung, entah terlalu serius, entah terkejut. Tidak bisa dibaca.
“Dan sepanjang cerita, perasaan si pemeran utama yang selingkuh ini sampe banget ke gua. Penyesalannya, gak enak-nya. Sampe bikin gua sadar kalo dalam perselingkuhan, yang paling dirugikan emang yang diselingkuhin, tapi yang paling tersiksa malah yang selingkuh. Pokoknya cerita itu seakan ngasih tau gua, 'Nih, dampak dari kalo lo selingkuh. Mau lo?' Gitu.” Cello tertawa-tawa seakan cerita itu lucu, sedang Helga masih menatapnya tak berkata-kata. “Cerita itu berkesan banget karena bisa ngubah persepsi gua tentang cinta, gua kagum banget sama cerita itu.“
“Oh...jadi gitu...” Helga mengangguk paham. Namun kepalanya masih berpikir, memikirkan sesuatu hal.
“Funny part is...” Cello belum menyelesaikan ceritanya. “Gua gak bisa hubungin siapa-siapa untuk nyalurin kekaguman gua sama cerita itu selama bertahun-tahun. But long story short, gua dateng ke satu seminar, di kampus. Pas gua lagi duduk, gua denger ada orang manggil satu nama yang gak asing di telinga gua.“
Masih dengan wajah serius, Helga meraih satu kaleng soda terakhir yang berdiri sendiri di tengah tumpukan camilan ringan yang lain.
“Orang itu nyamperin sambil ngasih buku yang juga gak asing. Terus orang itu ngomong, 'Hael G.A. Buku karangan lo, nih, jangan ditaro sembarangan.' Dan pas gua nengok, gua ngeliat buku di tangan orang itu adalah buku yang pernah ngubah persepsi gua sampe sekarang. Buku yang paling berkesan buat gua.“
Helga yang hendak membuka tutup kaleng langsung terdiam. Mendadak menyadari sesuatu.
“Ternyata penulisnya satu kampus sama gua.” Cello tersenyum dan menatap Helga yang perlahan mengangkat kepalanya. Senyuman penuh arti. Seakan mensinyalir suatu makna.
Mata Helga membulat terkejut kala menyadari orang yang Cello maksud adalah dirinya.
Buku pertama yang ditulisnya saat remaja, yang diceritakan tentang kedua orang tuanya, berhasil menghentikan satu pria dari perselingkuhan.
Dan tak pernah dia sangka pria itu adalah...Cello.
Selagi Helga masih tak bisa berkata-kata, dengan wajah berseri, Cello melanjutkan ceritanya. “Karena gua kaget penulisnya ternyata jauh lebih ceria dari cerita-cerita yang pernah dia tulis, gua pengen kenalan, tuh. Gua tanya ke Hilmy karena dia kenal sama siapa aja, kan. Eh, pas gua tanya, dia malah ngira cewek yang gua tanya namanya Una karena penulis itu pindah ke kursi lain.“
“Jadi selama ini lo emang bukan nanyain Una, tapi nanyain gue?“
Cello mengangguk sambil tertawa. “Pas Hilmy bilang dia mau kasih nomor temennya Una yang namanya Helga, gua ngerasa janggal. Lah, namanya mirip sama si penulis yang gua maksud. Pas gua liat mukanya, ternyata bener. Orang yang gua maksud, malah yang ada di depan gua sekarang,” ucapnya mengarah ke Helga.
“Tapi lo waktu ngechat gue pertama kali bilang lo minta bantuan mau ngedeketin Una, ya.” Helga masih tak bisa mencerna maksud Cello dengan akal (tak) sehatnya.
“Kalo gua gak gitu, nanti lo kira gua mau ngedeketin lo secara romantis kayak cewek-cewek lain, terus pas lo baper terus nyalahin gua karena gak ngasih kepastian, gua dianggap PHP. Padahal awalnya gua cuma mau kenal sama lo.“
Helga menggeleng keheranan. “Gila, ya“
“Tapi pas udah kenal, ketakutan awalnya malah terealisasi di gua.” Cello tertawa.
“Maksudnya?“
Cello mengedikkan kedua bahunya cepat. “Ternyata orang yang ceritanya gua kagumin juga pribadi yang pantes dikagumin. Cara dia nge-treat orang lain, cara dia selalu nyebar vibes positif, pola pikirnya, cara dia bikin semua orang yang ada di deketnya nyaman,” jawabnya santai. “Terus semua hal luar biasa di dalam dirinya malah bikin orang yang cuma mau temenan, jadi naruh perasaan lain.“
Dengan suara latar lagu Men I Trust – Sugar, Helga membeku mendengar kalimat terakhir yang abu-abu yang laki-laki itu lontarkan. Berusaha meyakinkan dirinya kalau itu tidak benar. Maksudnya, tidak mungkin kalimat itu sesuai dengan penafsiran dalam otaknya. Tidak mungkin 'perasaan' yang dimaksud adalah...perasaan 'itu'.
“Haha perasaan lain.” Helga tertawa meremehkan. “Perasaan apa?” Dengan nada mengejek.
Yang ditanya hanya menggeleng sambil tertawa dan mengangkat salah satunya bahunya.
“Haha I don't even love myself how can people love me.” Helga awalnya berniat menggumamkan kata-kata itu untuk meyakinkan dirinya dari berpikir perasaan yang Cello maksud adalah perasaan suka secara romantis kepadanya, namu ternyata suaranya terdengar sampai membuat Cello menoleh.
“You don't?” tanya Cello memastikan.
Helga terkejut dan terkekeh malu karena tak sengaja terdengar.
“I can do that for you if you don't love yourself.“
Helga memutar bola matanya dan memukul lengan Cello dengan botol kosong yang tersisa. Keduanya sama-sama tertawa. Bedanya, yang perempuan tertawa karena menganggap laki-laki itu bercanda. Sedang yang laki-laki tertawa karena lega setelah memberanikan diri mengungkapkannya walau tersirat.
Biasanya, kalau Cello bercanda, ia tak akan merasa lega setelah berucap hal-hal seperti itu. Kalau serius, jadi lega. Sebab sulit rasanya untuk memberanikan diri setelah mengetahui kalau ucapannya pasti tidak akan dianggap serius oleh siapapun.
Helga kemudian berdiri dan membereskan seluruh sampah bekas makanan dan minuman yang menemani mereka sepanjang mengobrol. Mencoba mencari tempat sampah terdekat untuk membuangnya.
Kini, lagu Japanese Denim – Daniel Caesar mulai terputar. Membuat suasana yang semula hangat namun serius berubah menjadi 'sesuatu' lain yang menyenangkan.
Setelah membuang sampah-sampah di tong terdekat, Helga kembali dengna tangan kosong. Menghampiri Cello yang membuka jaket bomber tebalnya dan menggelarnya menjadi alas.
“Mau ngapain?” tanya Helga.
Laki-laki itu merebahkan dirinya dan mengerang. “Sini. Liat bintang,” ucapnya sembari bergeser dan mempersilakan Helga ikut merebah di sisinya yang tersisa kurang dari dua puluh senti.
Sebelum Helga mengikuti ucapannya, ia menatap langit yang sedang ditatap Cello. “Gak ada bintang, lo mau liat apa?“
Cello tertawa dan malah melihat ke arahnya. “Oh ternyata udah turun ke bumi.“
“SINTING!” Ia melempar camilan ringan di tangannya ke perut Cello yang sedang berbaring sambil tertawa-tawa pasca menggodanya secara sengaja.
“Sini, buruan.“
Dengan wajah setengah cemberut setengah menahan tawa, Helga akhirnya berbaring juga.
Berbaring di sini, rasanya seperti surga dunia bagi keduanya. Menatap langit kosong yang hanya diisi sinar satelit dan bulan bungkuk. Rasanya, kalau boleh, mereka lebih ingin tinggal di sini. Di atap kosong tak berpenghuni bersama satu sama lain.
Mereka tak bicara satu patah kata dan hanya menikmati momen yang seribu tahun sekali bisa dirasakan.
“Aduh.” Helga mengaduh kala kepalanya yang sedang bergeser melewati kerikil kecil di bawah jaket.
Dengan sigap, Cello membentangkan satu lengannya agar menjadi bantalan Helga tanpa diminta. Melihat itu, Helga tertawa karena tak mau menolak.
“Thank you,” ucap Helga sambil menaruh kepalanya di atas lengan besar yang tidak begitu empuk, tapi lumayan melindungi kepalanya dari rasa tidak nyaman. “Also, thank you for treating me like a woman.“
Helga sudah berterima kasih dengan kalimat yang sama untuk kedua kalinya.
“I was my dad's little princess, but since my mom cheated on him, he changed. Gue kehilangan kasih sayang laki-laki sejak saat itu.“
Cello mengangkat kepalanya terkejut. “It was your mom?“
Helga terkekeh. “Aneh, ya? I know. Makanya gue gak bilang itu ke temen-temen gue. Apalagi ada temen gue yang orang tuanya divorced karena bokapnya selingkuh. Denger cerita gue, pasti dia bakal benci sama gue.“
Timing yang tepat. Lagu yang tadi, sudah berubah jadi TEEKS – First Time yang sangat...tepat untuk suasana ini.
Cello tak menjawab apapun, membiarkan Helga bercerita sepuasnya agar tak merasa dihakimi.
“Gue tau tentang itu karena gak sengaja denger, padahal orang tua gue udah berusaha nutupin itu dan pura-pura harmonis di depan gue dan adik gue. Pas gue tau tentang itu, bokap gue bilang, “Jangan benci sama Mama kamu. Dia emang bukan istri yang baik, tapi dia mama yang baik buat kamu sama Belva.” Air mata Helga berlinang menatap langit. Tangan Cello yang berada tepat di belakang kepalanya bergeser sedikit agar bisa mengusap kepalanya menenangkan. “Bokap gue, laki-laki paling keren yang pernah gue temuin. Dia masih bertahan sama nyokap gue demi gue dan Belva karena dia tau kalo dia gak ada, gak akan ada yang nafkahin. Dan karena bokap gue, gue percaya laki-laki baik itu ada. Entah ada di mana, tapi gue yakin ada.*”
Cello menyandarkan sisi wajahnya di pucuk kepala Helga sambil masih mengusap lembut kepalanya.
“Gue kelihatan bodoh karena selalu berhubungan sama laki-laki brengsek. Karena di kepala gue, gue berusaha cari sosok kayak bokap gue. Dan setiap gue disakitin, gue anggap itu karma dari nyokap gue. Biarin gue yang ngerasain, nyokap gue jangan,” Helga tertawa dan mengusap air mata dengan kedua tangannya. Ia akan selalu tertawa setelah tak sengaja menangis di depan orang lain agar tidak canggung.
“Lo keren banget.“
Helga hanya tertawa dan kembali diam. “Gue takut kehilangan orang yang gue sayang, tapi di sisi lain gue merasa pantes ditinggal.“
“Lo gak pantes ditinggal, Helga,” jawab Cello. “Kalo lo ngerasa gitu, just keep my promise that i will never leave you first.“
“You?” Helga menoleh ke atasnya, menatap wajah Cello dari dekat sambil terkekeh meremehkan. “You always leave everyone first, and i don't think i am the exception.“
“You are. The exception. I will not leave YOU first. You, only. You can kill me if i break that promise.” Cello tersenyum dengan wajah serius. Terlihat dari tatapannya seberapa ia serius dengan kalimat yang dia ucapkan, membuat Helga terkejut dan membuang muka. Tangan Cello masih belum berhenti mengusap lembut rambut halusnya.
“I'll kill you if you do,” canda Helga menutupi salah tingkahnya.
Cello mengangguk dan tertawa.
Keduanya kini menatap langit diiringi lagu Nothing's Gonna Change My Love For You – George Benson yang membuat bunga-bunga di sekitaran mereka merekah indah. Dua insan yang merasa bahagia setelah lega menceritakan sisi lain mereka, menaruh rasa satu sama lain namun sama-sama berusaha menepis karena alasan pribadi.
Keduanya...
Benar-benar...
Sudah jatuh.