ijoscripts

Bicara perihal penolakan, yang terlintas di dalam benak selalu tentang, permintaan yang tertolak, ungkapan rasa yang tak digubris, dan hal lain yang berhubungan dengan sesuatu yang sudah diutarakan.

Sedang Anya, pernah merasakan penolakan bahkan sebelum mengutarakan semua yang ada dalam dirinya.

Dendam? Sedikit.

Namun ia lampiaskan dendam itu ke laki-laki yang menyukainya.

Tidak semua, tentu saja.

Hanya Rifan.

Anya pernah menolak Rifan bahkan sebelum Rifan sempat mengutarakan bahwa dirinya suka.

Mau tahu bunyi penolakannya?

Maaf, Kak, Anya nggak bisa suka sama orang lain kecuali Anya yang suka duluan.

Jahat. Diakui. Ia pun merasa bersalah hingga detik ini. Iya, detik di mana ia duduk di suatu restoran di Bali menunggu kedatangan orang yang membuatnya merasa bersalah.

Anya menyibukkan dirinya dengan membuka lembar demi lembar buku menu berukuran poster yang sudah dibuka lebih dari delapan kali. Mungkin jika Anya ditanya mengenai apa-apa dalam buku menu itu, hampir di luar kepala ia bisa menjelaskan. Pelayan pun akan kalah hapalnya.

Tatapannya lantas beralih kala mendengar suara gerombolan bersuara kontras dengan keheningan. Berbincang dengan intonasi sedikit kencang, membuka pintu kaca membuat seluruh angin di luar ruangan ikut berhembus masuk ke dalam.

Anya mendongakkan kepalanya menuju sumber suara.

Hai, Nya!” sapa perempuan berpakaian gaun tipis bunga-bunga dengan luaran rajut, diikuti oleh satu perempuan lainnya, dan 3 laki-laki bercelana pendek di belakangnya.

Tak lain dan tak bukan, tentu orang yang hendak bertemu dengannya.

Helga, si penyapa; Milan yang mengikuti di belakangnya dengan wajah tanpa ekspresi; Cello dengan kaus tanpa lengan berkalungkan perak; Hilmy berkemeja tipis motif hawai khas pria pantai; Dan terakhir, orang yang benar-benar tidak terlihat seperti sedang di pantai—Rifan, yang masih memakai sweater abu-abu dengan celana pendek berbahan tebal. Ia benar-benar terlihat seperti baru mendarat.

Halo.” Anya tersenyum sedikit canggung, menggeser posisi duduknya agar beberapa orang yang baru datang itu dapat duduk tanpa kurang.

Satu persatu dari mereka mendekat, menarik bangku yang dapat ditarik, dan menduduki bagian sofa kosong di sisi Anya.

Helga duduk di kursi bambu seberang, Milan duduk di kursi bambu sebelah Helga, satu kursi bambu lainnya diduduki oleh Hilmy. Tersisa satu kursi bambu dan satu tempat di sisi Anya. Anya menduduki sofa yang menyambung hingga tempat duduk terujung, jadi siapapun yang duduk di sebelahnya tentu berada di atas kursi yang sama dengannya.

Cello dan Rifan sedang berbincang dengan salah satu pelayan restoran, entah apa yang mereka tanyakan, tetapi dari gerakan tangan Cello, kemungkinan ia bertanya apakah boleh menghisap rokok elektrik di sekitar sini.

Anya sudah mengantisipasi.

Yakin betul Rifan akan duduk di sebelahnya.

Ia memikirkan beribu kata untuk meminta tukar, dengan siapapun, asal jangan Kak Rifan. Sebab rasanya masih canggung. Dan sepengalamannya, Rifan sedikit berani untuk menunjukkan rasa sukanya. Jadi, ia mengantisipasi, kalau-kalau tiba-tiba Kak Rifan duduk di sebelahnya, lalu tanpa basa basi, menyatakan ras—Anya mengerjapkan matanya berulang kali, menghilangkan pikiran-pikiran bodoh yang belum tentu terjadi.

Rifan dan Cello perlahan mendekat.

Nggak boleh, Hil. Keluar aja kalau mau.” Cello menepuk pelan pundak Hilmy yang menitipkan pertanyaan ke pelayan barusan.

Ya udah, santai aja dulu, makan dulu aja.” Hilmy menunjuk ke dua bangku kosong yang tersisa.

Belum sempat pandangan Cello menatap Rifan—untuk memberi sinyal jika saja ia ingin duduk di sebelah Anya—Rifan sudah lebih dulu menarik bangku bambu di sebelah Helga.

Wajahnya terlihat dingin. Tidak seperti biasanya. Ia diam dan tak berisik. Juga tak seperti biasanya.

Cello menaikkan kedua alisnya dan ditahan beberapa detik. Menarik napas sedikit panjang, lalu duduk tepat di samping Anya.

Kalau boleh jujur, jantung Anya berdetak dalam satu degupan. Bukan, bukan karena Cello duduk di sebelahnya. Justru, karena laki-laki yang baru duduk di bangku bambu itu—Rifan—tak mau duduk di sebelahnya.

Beberapa tahun yang lalu, orang itu selalu mencuri kesempatan untuk bisa duduk di samping Anya—walau dengan cara yang bengis. Maksudnya, dengan mulut pedasnya.

Namun kali ini, ia benar-benar menghindar. Perangainya terlihat berbeda dengan ia beberapa tahun yang lalu, yang bawel, berisik, dan bicara tanpa perlu.

Wajah Rifan, terlihat tidak peduli.

Suasana sempat dingin beberapa saat, sebelum Cello dan Helga mencairkan suasana dengan melontarkan ribuan pertanyaan menarik kepada Anya sambil memesan makan.

Anya menjawab dengan senang. Namun, sudut gelap matanya tak henti melirik ke lelaki itu.

Ia belum berbicara sepatah katapun kecuali saat mengucapkan menu yang ingin dipesan.

Anya membenarkan surainya berulang kali, merapikan kain-kain pakaiannya yang mungkin terlihat kusut, memperbaiki postur duduknya agar terlihat anggun.

Tetap saja. Laki-laki itu, masih tak kunjung menoleh.

Dua hal berperang dalam pikirannya. Kak Rifan semarah itu, ya, sama gue? dan, Kak Rifan…udah nggak peduli sama gue?

Perdebatan tanpa titik masih menghantuinya bahkan hingga piringnya bersih terlahap.

Sayang, sedikit yang Anya ketahui.

Jantung lelaki yang duduk di bangku bambu itu berdegup lebih kencang dari genderang.

Jika ia sanggup berteriak, ia akan lakukan.

Tak ditatapnya paras wanita itu, sebab tau hatinya akan luluh. Tak mendekat posisinya terduduk, sebab tau ia kan kembali tunduk.

Rifan benar-benar pernah merasakan dua jatuh dengan interpretasi berbeda, yang pelakunya, sedang duduk di hadapannya.

Prolog

Woy geser, geser. Gua gak keliatan!” Suara ricuh di depan layar kaca terdengar ramai walau hanya 4 orang memperebutkan spot terbaik.

Sang pembawa acara di balik layar mulai bersuara. “Jadi sebenernya, apa motivasi awal lo pas bikin Hall of Friends? Emang seberapa berharga, sih, temen-temen lo yang ada di sana?

Gak cuma temen, sih, pacar gue juga ada.” Rifan terkekeh tengil dengan kedua alisnya dinaikkan.

Pembawa acara yang bertanya ikut tertawa renyah dan mengangguk. “Oke, gue ulang. Apa motivasi awal lo bikin Hall of Friends? Seberapa berharga orang-orang yang ada di Hall of Friends buat lo?

“Hm…” Rifan bergumam, menghadap langit-langit sambil berpikir. “Motivasi gue…iseng aja, sih. Lagian kasian mereka, mukanya gak bisa ikut masuk majalah juga kayak gue.

Hahaha, jadi mereka berharga atau enggak nih?” Pembawa acara kembali bertanya sambil tertawa-tawa.

Berharga dong,” jawabnya lugas. “Ibaratnya, dulu hidup gue kayak akuarium tanpa air. Gue ikannya.” Rifan mulai menjelaskan dengan serius, mengubah suasana santai yang awalnya membicarakan obrolan ringan menjadi lebih dalam.

Semua orang mulai mendengarkan dengan bibir bungkam. Tak terkecuali oramg-orang yang menonton di balik layar

Akuarium itu dihias pakai tanaman 1000 rupa, bagus, keren, mewah. Tapi lo bayangin, akuarium mewah, ada ikannya, tapi gak ada airnya. Menurut lo, itu ikan hidup gak?” lanjutnya.

Pembawa acaranya menggeleng sebagai respons.

Nah, itu.” Rifan menjetikkan jarinya. “Di saat itu mereka dateng.

Sebagai ‘air’ di ‘akuarium’ lo?

Lelaki itu menggeleng. “Bukan,” katanya. “Gue dipancing.

Terdengar suara tawa sepersekian detik di dalam studio. Dianggapnya ucapan Rifan adalah lelucon sebab gaya bicaranya yang terkesan jarang serius.

Mereka gak jadi ‘air’ di ‘akuarium’ gue. Justru, mereka kasih umpan dan bawa gue ke akuarium yang lebih hidup,” jelas Rifan. “Di dalam akuarium baru itu, gue gak sendirian. Mungkin gue bakal mati karena bosan kalau gue ditinggal di akuarium lama. Buat mereka, daripada ngisi air di akuarium gue dan dibiarin kesepian, mending pindahin gue ke akuarium mereka.

Di hadapan layar besar, Cello, Hilmy, Milan, dan Helga tertawa terbahak-bahak. Melihat temannya yang paling menyebalkan kini diwawancara pertama kalinya di layar kaca walau bukan orang terkenal membuat perut mereka kian geli sekaligus bangga. Si bontot rewel yang selalu marah kalau Hilmy mengibaratkan sesuatu dengan hal-hal aneh kini malah melakukan hal yang sama. Mengibaratkan hidupnya seperti akuarium kosong tanpa air, dan teman-temannya sebagai pemancing.

Boleh diceritain, gimana awal kalian bisa akhirnya berteman? Atau….awal mula ketemu cewek lo, mungkin?” Pembawa acara kembali bertanya.

Jadi gini,” Rifan mengatur duduknya lebih serius, bersiap menceritakan cerita panjang seputar ‘akuarium’-nya di masa lalu, tentang kisahnya dan teman-teman anehnya, juga kisah cintanya yang tak semulus permukaan bakpau.

Cerita itu akan dijelaskan di sini. Dalam cerita ini. Tentang asal-usul, Hall of Friends

Kilatan cahaya kamera menyilap mata penuhi ruang.

Tempat ramai dipenuhi manusia yang membawa kamera benar-benar terasa menyesakkan. Sesak karena ramai. Juga sesak karena sepi—sebab yang ditunggu tak hadir.

Para pemain film adaptasi bukunya memakai pakaian formal dan serba rapi, sedang penulis bukunya berpakaian seperti dia yang biasanya agar tak tersorot.

Ia berdiri di penghujung keramaian, menyaksikan berbagai rangkaian acara yang disusun sedemikian rupa sebelum akhirnya masuk ke acara inti—penayangan film untuk pertama kalinya.

Netranya tak henti menyapu kerumunan, mencari seseorang yang terus dicarinya sejak tadi.

Suara bising di sekitarnya terdengar kedap dan samar, orang ramai di sekitarnya memburam. Sosok yang Helga harapkan untuk hadir, yang dijadikannya inspirasi pemeran pria dalam cerita yang difilmkan ini, tidak terlihat batang hidungnya. Bahkan sejak Januari, awal tahun 2025.

4 tahun. Hari ini tepat 4 tahun, seharusnya.

Helga menghela napasnya dalam, berusaha meyakinkan dirinya bahwa Cello akan datang. Dia akan datang. Adegan seperti ini sering ada di Drama Korea yang ditontonnya waktu lalu.

Pasti! batinnya walau tak yakin.

Helgaaaaa!” Suara dua perempuan berteriak menghampiri Helga dari kejauhan.

Helga menoleh. Kezia dan Una berlari kecil menghampirinya, diikuti Leo yang berjalan santai di belakang sambil tersenyum ke arahnya.

Kezia dan Una mendekap Helga erat-erat. Bangga. Leo hanya menyaksikan dan tak ikut berpelukan, alasannya, ada hati perempuan yang harus dijaga—pacarnya, walau tak datang.

Mana pernah mereka menyangka bisa datang ke Gala Premiere film yang diangkat dari novel teman penulis kesayangannya? Sangat amat membanggakan.

Udah talk show, ya? Sorry kita telat.” Kezia merangkul lengan Helga dan mengarahkan pandangannya menuju panggung kecil yang tersorot lampu besar dan kilatan cahaya kamera. Di sana, berdiri aktor dan aktris ternama yang memerankan karakter dalam filmnya.

Helga mengangguk. “Gapapa! Film-nya belum mulai, kok.” Ia tertawa.

Pemeran utama cowoknya mirip Cello,” ucap Kezia serius sambil menonton aktor itu berbincang dengan awak media.

Helga menoleh dan tersenyum miring. Lantas mengangguk pelan, menunduk.

Una yang menyadari kalau Kezia salah bicara, langsung menyenggol lengannya agar bungkam. Kezia menutup mulutnya rapat-rapat dan berlagak seakan tak berkata apapun tadi.

Ekhem...” Kezia berdeham. “Film-nya mulai jam berapa, Hel?

Jam...7. Dikit lagi.

Oh, oke...


Helga, Una, Kezia, dan Leo duduk sejajar di bangku bagian tengah.

Sebab Helga masih menunggu kehadiran orang yang kemungkinan besar tidak akan hadir malam ini, ia tetap mengosongkan 2 bangku di sebelah kirinya. Memohon pada Tuhan dan mengharapkan kehadiran orang yang diharapkan di tengah acara.

Lampu teater perlahan dimatikan, layar besar di hadapan mereka mulai menampakkan logo rumah produksi yang menandakan film akan dimulai dalam waktu dekat.

Dalam gelap, Helga melihat bayangan laki-laki dengan perawakan dan cara jalan yang tak asing hadir terlambat dan berjalan mendekat.

Ia menahan keinginannya untuk tersenyum. “Cello?” tebaknya.

Kala laki-laki itu mendekat dan wajahnya nampak keseluruhan, tubuh Helga yang semula tegang menunggu kedatangannya langsung meregang.

Helga tersenyum masam dan menyambut. “Oh, Rifan?

Congrats, by the way.” Ia berbasa-basi. “Gue suka banget sama ceritanya.

Thanks...haha. Kok lo...?

Oh, ini tiketnya dikasih Cello waktu itu.” Rifan menunjukkan tiket yang dikirim Helga untuk Cello beberapa waktu lalu. “Dia tau gue suka sama ceritanya, jadi dia kasih ke gue.

Cello-nya kemana?

Lagi sibuk urusan sama dealer gitu, deh. Nggak ngerti juga.

Oh...” Helga mengangguk dengan rasa kecewa yang tersembunyi rapi di balik wajah cerianya. “Ya udah, duduk, Fan.” Ia menepuk kursi kosong di sebelahnya agar Rifan segera duduk di sana.

Rifan segera duduk dan memperhatikan film yang penayangannya sudah dimulai sejak 5 lima menit yang lalu.

Semua penonton, tak terkecuali Helga, tenggelam dalam permainan peran di dalam tayangan.

Adegan demi adegan ia cocokkan dengan segala yang pernah ia tulis dalam bukunya. Beberapa mirip, beberapa ditambahkan. Toh, penulis skenario dan penulis buku yang diadaptasi adalah orang yang berbeda, jadi wajar jika ada perbedaan. Untungnya, penulis skenario untuk film ini adalah Ravika Rizal, penulis skenario yang Helga berikan perhatian sejak lama dengan track record film yang sesuai dengan seleranya.

40 menit berlalu, Helga semakin seperti menonton kehidupannya 4 tahun yang lalu. Dadanya terasa sesak sesaat mengingat akhir tak bahagia yang ia buat dalam bukunya. Jadi, segala adegan manis yang ia saksikan di layar lebar ini, dalam ingatannya tak berujung demikian.

Namun entahlah. Tim pembuat film mengatakan bahwa mungkin akan ada banyak perubahan dalam proses pengadaptasian. Tak terkecuali akhir dari ceritanya. Dan mereka sudah meminta persetujuan Helga waktu lalu.

Helga menikmati tayangan dan alur cerita seakan-akan bukan ia penciptanya.

Saya bawa bola basket,” ucap karakter Hann, sang pemeran utama laki-laki dalam cerita ini.

Kamera mengarah ke arah bola basket di tangan Hann, kemudian menyorot Agia, pemeran utama perempuannya. Gadis yang diperankan oleh aktris muda berbakat itu tertawa dan menaruh pandang pada bola.

Terus, saya harus lawan kamu main bola basket? Saya jarang olahraga,” jawabnya sambil melengos.

Gak perlu ngelawan saya. Nih, pegang...” Hann menyodorkan benda persegi berwarna kuning. Kertas tempel. “Saya tulis sesuatu di sini, terus saya lempar sampai masuk ke dalam ring.

Kamera lagi-lagi menyorot bola basket yang memantul selepas Hann lempar. Tulisan di atas kertas itu sukar terbaca karena gerakan bola yang cukup cepat. Lalu kamera kembali menyorot Agia.

Agia tertawa. “Gunanya?

Sugesti. Saya selalu merasa lebih baik kalau taruh keinginan/masalah yang lagi saya rasain di kertas ini. Nantinya, kalau saya lempar ke ring basket dan bola ini masuk, saya jadi merasa lebih baik. Saya anggap itu jawaban dari Tuhan kalau keinginan saya bisa terwujud atau masalah yang saya laluin bisa selesai dengan baik.

Kalau gak masuk?

Dicoba terus, sampai masuk,” jawab Hann. “Cara ini ngajarin saya buat percaya sama diri saya sendiri kalau keinginan saya bisa terwujud, dan masalah saya bisa saya selesaikan dengan baik. Mau coba?

Kamera menyorot Hann yang diam-diam menarik kertas tempel itu dari bolanya, lalu memberikan bolanya pada Agia.

Adegan beralih fokus ke Agia yang tengah menulis berlembar-lembar keinginan dan masalah yang ia rasakan untuk ditempel dan dilempar. Kemudian, layar kembali menaruh fokusnya pada Hann.

Ia tersenyum, lalu menatap kertas tempel yang ada di tangannya.

Tulisannya, Saya harap saya selalu bisa buat Agia bahagia. Buat tawanya bukan dusta, dan air matanya tak takut dihakimi.

Tanpa sadar air mata Helga menetes tanpa mengedipkan matanya sedikitpun. Semua ingatan itu terekam jelas dalam kepalanya. Bahkan, bola basket di tangannya pun—bola basket di tangannya benar-benar terlihat mirip!

Bola berwarna hitam biru dengan tanda tangan sebesar titik dengan tinta emas. Benar-benar-mirip!

Ravika Rizal benar-benar penulis skenario yang berbakat. Bahkan tambahan tulisan dalam kertas tempel Hann pun dibuat mirip seperti kalimat yang sering Helga dengar dari mulut Cello sebagai pengharapan.

Harapan Cello yang selalu ingin Helga bahagia.

Helga kemudian terkekeh dalam air matanya yang kian deras menonton adegan yang seharusnya tak menyedihkan bagi yang tak tahu. Mengingat adegan itu hanyalah kenangan, sedikit banyak membuatnya sesak.

Rifan menoleh beberapa kali. Seperti khawatir melihat Helga yang terus-terusan menaruh jemarinya di depan kelopak mata.

You good?” tanya Rifan memastikan.

Helga tertawa dan mengangguk tanpa menoleh. “Iya. This just too good, makanya gue terharu,” dustanya.

Rifan ragu dengan kejujuran jawaban itu, namun tak dia hiraukan sebab bingung harus bereaksi apa. Kemudian ia kembali menonton.

Di sampingnya, Una menyandarkan kepalanya di lengan Helga untuk menenangkan. Ia tahu betul yang temannya itu rasakan sekarang.

Puluhan menit selanjutnya berlalu. Beberapa adegan persis dengan ingatannya, beberapa persis dengan karangan dalam bukunya, dan beberapa tambahan dari pihak produksi yang tak ada campur tangan Helga di dalamnya.

Semuanya terangkai rapi dan indah. Melebihi ekspektasinya.

Terlebih, aktor yang memerankan karakter Hann, seperti ucapan Kezia, mirip dengan Cello.

Menit ke-140. Sampailah mereka ke adegan yang Helga tulis berurai air mata.

Perpisahan yang menggantung selama 4 tahun. Yang membuat laki-laki di sampingnya—Rifan—marah-marah karena ia mengharap kapal yang ditumpanginya berlayar.

Tidak hanya Helga yang harap-harap cemas menunggu adegan ini, rupanya Rifan tak kalah tegang.

Wajahnya seperti menahan buang air besar. Padahal kalau dilihat lebih dekat, ia menahan agar tak ikut menangis.

Malu, pikirnya. Menangis di depan penciptanya. Malu seribu tahun.

Helga tak berharap eksekusi dalam film ini disamakan dengan bukunya. Tak salah juga jika dirubah. Hak tim pembuat film.

Helga tak sama sekali berpikir. Lagi, ia menonton seakan cerita itu bukan ia penciptanya.

Di dalam buku, Helga menulis kisah mereka berakhir bersebab ketidakpastian. Agia pergi lebih dulu sebab tahu Hann akan merantau ke perbatasan.

Benar, perbatasan.

Cerita ini memang mengisahkan tentang dua mahasiswa kedokteran dalam latar tahun 2000 yang memiliki tujuan yang berbeda. Agia yang ingin menjadi dokter saraf di rumah sakit keluarganya (sebab keluarganya turun temurun dihormati di kalangan dokter), dan Hann yang ingin mengabdi menjadi dokter relawan di perbatasan.

Kisah mereka dipisahkan oleh cita-cita. Seperti kisah nyatanya.

Namun bedanya, kisah nyatanya dipisahkan oleh cita-cita untuk menjadi diri yang lebih baik, bukan tentang profesi.

Kisah itu berakhir setelah Agia melangkah pergi meninggalkan Hann di atas mobil Jeep yang mengarah ke bandara tanpa kalimat perpisahan. Ia pergi begitu saja. Meninggalkan pembaca (dan sekarang penonton) memiliki dua keberpihakan.

Beberapa menganggap Agia yang salah karena tak berusaha mengerti. Beberapa menganggap Hann menyebalkan karena enggan berkorban walau Agia menawarkan 1001 jalan keluar agar mereka tak dipisah oleh jarak.

Begitulah seharusnya kisah itu berakhir. Di dalam novel yang Helga tulis, kisah itu benar-benar berakhir di situ.

Namun, setelah adegan itu selesai, muncul adegan baru dengan keterangan :

Jakarta, 2004

Agia yang selepas menangani pasien terakhir mendapat secarik kertas dengan nama pengirim yang tertera jelas di sisinya.

Untuk Yang Terhormat, Dr. Agia. Suara Hann terdengar menarasikan layar yang dipenuhi tulisan di atas kertas. Diikuti oleh wajah Agia yang kerap kali tersorot saat membaca.

Maaf kalau lancang mengirim surat. Saya Johann Sebastian, kalau kamu lupa. Biasanya kamu panggil Hann atau Jo. Saya pribadi lebih senang dipanggil Hann karena cuma kamu yang panggil saya itu, Hann tertawa renyah. Kamera menyorot wajah Agia yang ikut tertawa.

4 tahun yang lalu, saya melakukan kesalahan yang gak sepenuhnya saya anggap salah. Saya gak bisa korbanin cita-cita saya untuk kamu, begitu juga sebaliknya. Tapi, sejak 4 tahun yang lalu sampai detik kamu baca surat ini, saya selalu hadir di kehidupan kamu tanpa kamu sadarin. Pasien aneh yang telepon kamu terus-terusan pas kamu jaga malam di tahun pertama koas, itu saya. Saya tau kamu takut kalau harus jaga malam sendirian, jadi saya bantu kamu selalu terjaga dan tetap sibuk supaya gak takut dan kaget kalau tiba-tiba ada pasien yang butuh kamu tengah malam.

Agia mengernyitkan dahinya berusaha mengingat.

Di hari lainnya, saya gak berhenti minta tolong Anggi untuk kirim nasi kuning dengan lauk berbeda selama satu minggu penuh pas kamu ulang tahun. Saya tahu kamu lebih suka makan nasi kuning dibanding harus tiup lilin di kue ulang tahun bertingkat dan penuh krim yang membosankan. Kamu bilang, nasi kuning lebih enak asal lauknya bervariasi, kan? Saya rayakan ulang tahun kamu selama seminggu penuh setiap tahunnya dengan bantuan Anggi.

Helga terkejut dan mulai menyadari sesuatu. Cerita ini...

Kalau saya ceritain semua, mungkin jatuhnya seperti lembar pengesahan daripada surat cinta. Saya cukupkan ceritanya sampai di sini. Tapi yang saya ingin kamu tau...

Itu, bukan suara aktor yang memerankan karakter Hann. Suaranya berbeda dan terdengar lebih berat. Helga benar-benar diam terpaku menatap layar tanpa berkedip.

Seribu empat ratus enam puluh hari sejak tahun 2000, saya dedikasikan untuk tiga hal. Hidup saya, keluarga saya, dan kamu. Kamu nomor tiga, karena saya doakan supaya suatu saat bisa bergabung ke nomor dua. Kalau kamu pikir perasaan saya ke kamu berangsur-angsur memudar selama 1460 hari saya gak ketemu kamu, untuk pertama kalinya saya bilang, kamu salah besar. Kalau boleh diibaratkan, dalam satu hari rasa cinta saya dipangkat dua. Dalam 1460 hari, silakan dipangkat sendiri ada berapa. Intinya, rasa itu semakin bertumbuh dan menguasai saya. Kalau saya bilang saya cinta kamu, saya gak perlu dengar kalimat itu balik dari kamu. Cuma ingin mengutarakan supaya kamu tahu dan gak ragu kalau saya benar-benar serius kali ini. Kalau disuruh pilih antara kamu dan matahari, bisa saya pastikan besok saya cuma melihat gelap. Karena matahari marah, saya pilih kamu.

Satu bioskop tertawa kecil mendengar gombalan Hann yang menggelikan di tengah keseriusan isi surat cintanya.

Terima kasih karena kamu jadi perantara Tuhan untuk kabulin doa yang saya tulis di bola pengharapan waktu itu. Ketawa kamu gak dusta kalau lagi sama saya, air mata kamu juga mengalir seakan gak takut saya hakimi.

Helga membeku. Sejak tadi, seharusnya ia sadar kalau suara yang menarasikan bukan aktor yang memerankan tokoh Hann. Melainkan,

Sebagai penutup, sila diingat. Dimanapun kamu berada, saya akan selalu hadir. Kalau diminta tunggu sepuluh tahun buat kamu, saya sanggupi tunggu sampai 100 tahun ke depan kalau kamu mau.

Kini suara itu tak terdengar sendirian. Di sebelah kirinya terdengar suara yang sama, mengucap kalimat yang sama. Dengan intonasi suara yang mirip, warna suara yang mirip, bahkan keseluruhan suaranya mirip.

Helga menoleh.

Ia dapati kursi yang semula diduduki Rifan sudah tak berpenghuni. Di kursi kosong sebelahnya, laki-laki yang sejak tadi ia tunggu kehadirannya duduk menatap layar. Ikut membaca surat yang ada di sana. Dengan suara yang sama. Persis.

Laki-laki itu melirik sekilas, namun masih terus mengikuti suara 'karakter Hann' yang menarasikan isi suratnya hingga kalimat terakhir.

I keep my promise because i love you. Dua suara dari tempat yang berbeda mengucapkan hal yang sama.

Cello menatap mata Helga dalam kegelapan ruang teater yang hanya dihiasi cahaya layar.

Waktu bagi keduanya seakan berhenti. Orang lain di dalam teater seakan hanya figuran yang tak hidup.

Mereka menghentikan waktu untuk beberapa saat mata mereka bertemu.

Keduanya tersenyum gugup menatap satu sama lain, sebelum akhirnya Helga beranjak dan mengisi kursi kosong yang semula diduduki Rifan untuk mendekapnya erat.

Tak perlu menunggu lama, Cello tertawa kecil sambil mengusap punggung Helga yang melingkarkan tangannya kuat-kuat di kerah. Ia tenggelamkan kepalanya di ceruk leher Helga dan tersenyum puas dalam persembunyiannya.

You didn't leave,” bisik Helga dengan suara yang terdengar serak. Entah karena habis menangis atau sedang menahan tangis.

Buat lo? Gak mungkin, Helga.” Suara Cello ikut berbisik supaya tak mengganggu dan terdengar menenangkan. “I'm so proud of you.” Ia mendorong pelan tubuh Helga agar bisa melihat wajahnya yang tenggelam dalam dadanya.

Namun Helga menolak. “Jelek. Abis nangis.

Coba liat.” Cello berbisik dan menundukkan wajahnya agar wajah 'jelek' yang Helga bilang bisa terlihat olehnya.

Pendapatnya masih sama. Walau dalam gelap-pun, sesuatu yang menarik tentang Helga tak memudar sedikitpun dari matanya. Sebab sesuatu yang menarik tentang Helga ada banyak, dan kalaupun wajahnya tersengat tawon sekarang, tak berpengaruh banyak atas sisinya yang menarik di mata Cello.

Helga menunduk, berusaha tak memperlihatkan wajah sembabnya.

Udah 4 tahun, masih belum sayang sama diri sendiri?” ejek Cello. Membuat Helga perlahan mengangkat kepalanya dan menatapnya. “Nah gitu. Kan sekarang gua jadi punya saingan.” Ia tersenyum miring mengejek Helga yang sedang berusaha menahan malu.

Lagu penutup mulai terdengar dan lampu bioskop mulai dinyalakan.

Terdengar suara penonton yang semula hening tak bersuara menjadi penuh dengan obrolan. Entah mereka sedang berpendapat apa tentang film-nya, Helga tak begitu peduli. Sesuatu yang lebih penting ada di hadapannya kini.

Bahkan sampai ketiga temannya memanggil pun, Helga masih tak sadar karena terlalu fokus.

Hel!

Helga langsung memutus pandangan dua menitnya dengan Cello dan menoleh ke teman-temannya. “Hm?

Itu.” Kezia mengedikkan dagunya menuju seseorang di belakang Cello.

Rifan. Sudah berdiri di situ menyaksikan dua orang yang empat tahun tak bertemu bertegur sapa tanpa menginterupsi. Memegang bunga sebesar parabola yang Cello titip untuk diambilkan karena ini bagian dari rencananya.

Oh, thank you.” Helga berdiri sedikit dan mengambil alih bunga itu dari tangannya. “Dari lo, Fan?

Dari gua, lah. Enak aja Rifan ngasih-ngasih bunga.” Cello langsung terdengar sewot tak terima.

Rifan memajukan bibirnya tak kalah gusar. “Masih bagus lo gue tolongin, ya, Marcello. Gue orang paling sabar lo repotin selama bucin diem-diem 4 tahun lo kira gue—

Apa?” Cello menaikkan kedua alisnya menantang Rifan agar melanjutkan kalimatnya supaya Cello tak membantunya lagi di kemudian hari.

Lo kira gue ikhlas? IKHLAS!

Cello tertawa kecil dan mengangguk malas, tak menghiraukan Rifan setelahnya.

Tak ada hal lain yang bisa Helga lakukan selain tertawa. Terlalu bahagia rasanya bertemu lagi dengan seseorang yang tak pernah pergi dari hadapannya walau sempat berpisah.

Dengan Cello yang baru, bersama rasa yang lama.

Cahaya bulan menyemburat terang menghiasi langit gelap.

Dua wisudawan yang sejak siang belum melepas jubah toganya keluar dari arena Istora Senayan dengan bentuk sudah tak karuan. Maksudnya, keringat bercucuran di pelipis masing-masing, rambut sudah acak adul, topi wisuda berada di genggaman, dan jubahnya telah kusut karena berdesakkan.

Mereka keluar dengan suara tawa tak berhenti hingga perutnya menggelitik. Entah apa yang mereka tertawakan. Fakta bahwa tadi Tulus mengucapkan “Selamat atas kelulusannya.” Sambil menunjuk mereka dari atas panggung, atau fakta bahwa mereka sedang menghabiskan waktu bersama.

Kedua jawaban itu sama-sama tak salah.

Mereka berjalan menuju parkiran mengarah ke mobil. Sudah lelah. Tidak mau mampir kemana-mana lagi dan ingin pulang.

Sepanjang perjalanan, Helga bersandar lemas sambil mengipasi dirinya, namun mulutnya tak mau berhenti mengoceh. Laki-laki di sampingnya masih setia meladeni walau rasanya ia sedang meninginkan keheningan sebab terlalu lelah.

Mereka membeli minuman dingin di drive-thru dan berhenti tepat di depan rumah Helga, menghabiskan minuman itu bersama dari dalam mobil.

Cello mengeluarkan Photo Strip mereka yang ada di kantungnya sejak tadi. Agak sedikit lecak karena terlipat, namun masih bisa dilihat dengan baik.

Parah lo, Hel.” Ia menggelengkan kepala sambil menghisap kopi blended di tangannya.

Helga yang tahu arah maksud ucapan Cello menahan tawa dengan mulut penuh air karena baru disedotnya beberapa detik yang lalu.

Muka gua lo pilih nggak ada yang bener tapi lo nya cantik semua.” Cello memperlihatkan photo strip itu menghadap Helga agar gadis itu dapat memvalidasi protesannya.

Apa, sih? Bagus kok. Cakep.” Helga tertawa—mengejek. “Tapi serius, emang cakep. Lo mau gaya emo metal cangcuters juga tetep cakep menurut gue.

Cello terkekeh sebal dan memutar bola matanya. Lantas ia kembali bersandar pada sandaran jok mobilnya sambil menghirup kopi dingin itu sedikit demi sedikit agar waktunya dengan Helga tak cepat berlalu.

Mereka berdua diam dalam hening. Hanya terdengar suara mesin mobil dan jam berdetak dari pergelangan tangan Cello. Sesekali terdengar suara sedotan diseruput karena Helga masih memaksa mengisap minumannya hingga tetes terakhir.

Helga diam tanpa apa pun dalam kepalanya saat ini. Ia sedang merebahkan isi otak yang jarang diam demi hari ini, sebab hari ini.

Sedang di sampingnya, Cello sedang menimbang ratusan kali tentang apa yang akan dia katakan kepada Helga sehabis ini..

Ragu memenuhi kepalanya. Banyak sekali keraguan untuk mengatakannya, dan firasatnya seperti berkata ini tak akan berjalan dengan baik.

Namun, ia kembali teringat ucapan Hilmy, “Utarain aja dulu, diterima atau enggak jangan jadiin tujuan.” Dan mengingat kalimat itu Cello menjadi semakin yakin dengan keputusannya.

Hel,” panggilnya.

Helga menoleh cepat sambil menggigit sedotannya. Ia menaikkan kedua alisnya, bertanya. “Hm?

Cello perlahan menegakkan posisi duduknya dan menghadap Helga sepenuhnya. Siku tangan kirinya bersandar pada sandaran jok mobil, sedang siku kanannya bersandar pada ujung setir.

Cello terlihat serius sekarang. Menarik napasnya dan menyeka wajahnya dalam sesaat, berusaha meyakinkan dirinya bahwa keputusannya untuk membicarakan hal ini setelah sekian lama bergelut dengan pikirannya sendiri adalah hal yang benar.

Helga yang melihat Cello seperti terlihat ragu jadi ikut menegakkan posisi duduknya dan menatapnya serius.

Dan...

Jangan potong omongan gua sampe selesai, ya,” pintanya, yang dibalas anggukan singkat oleh Helga dan wajah penasarannya. “Gua bingung ngomongnya gimana.” Ia terkekeh frustasi.

Wanna start from a question so you can just simply answer it?” Helga memberi solusi.

Cello mengangguk dengan mulut tertutup rapat—karena terlalu gugup.

Hmm...” Helga menatap langit malam Kota Jakarta dari balik kaca mobil sambil memikirkan pertanyaan apa yang kira-kira bisa membawa Cello menuju ucapan yang ditujunya. “Hmm...how about, do you like me?” Ia bercanda sembari menunjuk dirinya dengan wajah ceria sebab ia menganggap Cello akan menggeleng dan menjawab tidak. Helga lalu tertawa. “Biasanya, kalo orang mukanya serius, tuh, mau confess hahaha. Bercanda, bercanda. How about...

Cello mengangguk.

Helga yang sedang memikirkan lanjutan kalimatnya mendadak menggantung karena tak menyangka perkiraannya meleset jauh. Gerakan kepala yang dia tunggu agar menggeleng malah mengangguk sambil menunduk.

Gadis yang semula tersenyum ceria sambil menunjuk dirinya sendiri perlahan memudarkan senyumnya dan menutup telunjuk di depan wajahnya. Matanya berhenti berkedip dalam satu menit pertama saking terkejutnya.

Bukan karena ia tidak peka tentang perlakuan Cello kepadanya selama ini, tapi ia tak meninginkan (pengakuan) ini. Jika sudah tahu perasaan satu sama lain secara jelas dari mulut yang bersangkutan, dapat dipastikan akan ada harap setelahnya. Tebak-tebakan yang sering dia anggap lelucon dan kesenangan pribadi—bahasa cepatnya, ge'er—akan berubah menjadi suatu harapan yang sesungguhnya. Dan Helga benci berharap.

Ia membeku dan tak mampu bereaksi.

Sebenernya gua awalnya nggak tau apa yang gua rasain. Gua bahkan nggak pernah nyangka gua bisa jatuh cinta lagi sama orang karena tau nggak ada yang bakal percaya sama gua. Tapi, setiap ketemu lo, ada rasa yang beda yang bikin gua nggak mau pergi sama sekali. Nggak pernah sekalipun terlintas di otak gua kapan waktu gua bosen sama lo. Karena di pikiran gua setiap ketemu lo adalah, gua bakal ngerasain bahagia sampai satu abad ke depan selama ada lo.” Cello terkekeh dengan wajah masih menunduk dan mengelus keningnya. “Ini aneh, tapi setiap ada lo nih, keliatan lo berdiri dari jauh aja, otak gua udah mikirin 1001 cara gimana caranya bikin lo seneng hari itu walau gua tau lo orang yang gampang ketawa. Gua tau gak semua tawa lo atau candaan lo nandain kalo lo bahagia, kadang, itu cuma cara lo berusaha lupa sama sisi lo yang lagi murung. Makanya setiap liat lo, gua selalu...pikirin gimana caranya biar lo seneng dan ketawa tanpa paksaan kalo lagi sama gua. Nggak ada hal lain di otak gua selain itu. Selain bikin lo seneng.

Kedipan mata Helga melambat. Alisnya mengerut. Kepalanya menggeleng pelan.

Perlahan Cello mengangkat kepalanya dan menatap Helga. Tepat di bola matanya. “Saking lamanya nggak ngerasain itu, gua sampai lupa kalau the tention to make someone happy, is a sign of love. Pikiran gua yang awalnya sama sekali nggak mau berkomitmen, berubah setelah lo muncul.

Helga masih belum menjawab dan membalas tatapannya dengan sorot mata tak tergambar.

Kalau gua dikasih kesempatan, you can have my all, me, and whatever you want from me. I'll give it all to you. I want to be that person you call late at night to stop your fear, the one that listen to you when you telling the plot of your current watch kdrama, or just...randomly talk, because...i actually, generously, like your existence.” Cello menatapnya dalam. Tak pernah sedalam ini tenggelam dalam netra manusia sebelum dirinya. “I...simply wanna be yours.

Masih belum ada jawaban. Kedua mata yang bertatap itu beradu entah sampai ke mana pikiran mereka saat ini.

Helga lantas mengalihkan tatapannya ke arah lain dan menggigit bibir atasnya. Jemari dari kedua tangannya tak berhenti mengusap, juga karena gugup. Jantungnya? Tak usah ditanya berdebar sekencang apa.

Cello benar-benar mengungkapkan perasaannya.

Kalau boleh jujur, Helga juga sudah menjatuhkan hatinya. Sangat dalam bahkan. Namun rasa takut dalam dirinya masih belum hilang. Ia benar-benar menganggap dan menebak, jika mereka memiliki hubungan lebih dari ini, dalam waktu ini, maka endingnya tidak mungkin baik.

Keduanya bahkan masih belum mengenal dirinya masing-masing dengan baik.

Setelah kurang lebih 5 menit diam tak bersuara, akhirnya Helga angkat bicara.

Cello.” Ia memanggil tanpa melihat ke arah yang dipanggil. Menatapi apa saja yang ada di depan mobil yang terkena pancaran sinar lampu mobil.

Cello menoleh.

Dua orang yang belum berdamai sama dirinya sendiri, nggak bisa bersatu sebelum hubungannya sama diri sendiri membaik,” jawabnya. “Karena, nomor-satuin orang lain di atas diri sendiri cuma nyambut cikal bakal luka. Gue yang belum bisa sayang sama diri gue sendiri, selalu maklumin laki-laki yang nyakitin gue dan menganggap itu karma, selalu pasrah jadi pihak yang tersakiti, selalu merasa pantas ditinggal. Gue yang sekarang, kalau maksain diri gue untuk mulai hubungan baru, cuma bakal ngehancurin rasa yang udah lama dibangun. Sama kayak lo yang masih belum bisa jadi diri lo sendiri karena dengerin omongan orang, yang masih sering bercandain hubungan lo sama orang lain, yang masih belum percaya sama diri lo kalo lo bisa beneran cinta sama seseorang. Dua orang kayak gitu, kalau bersatu, endingnya cuma bakal hancur berantakan. Entah nantinya gue yang trust-issue ke lo, atau lo yang ternyata belum serius jalin komitmen. Nggak ada yang tau.

Cello mengangguk pelan. Sedikit banyak setuju dengan ucapannya.

Gue pun bingung apa yang lo liat dari gue. Jangankan satu abad ke depan, satu minggu kita nggak komunikasi aja mungkin lo bisa lupa sama gue.” Helga tertawa.

Cello melirik dan menggeleng. “Gua bahkan nggak bisa tahan satu minggu tanpa komunikasi sama lo.

Helga terkekeh. Menarik napasnya dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan.

Nggak perlu bersatu, Hel, cukup jaga hubungan kayak gini aja sampe kita bisa berdamai sama diri kita masing-masing.

Nggak bisa. Sekarang gue udah tau perasaan lo ke gue, dan perasaan gue ke lo udah jelas. Nggak mungkin ada orang yang tahan punya hubungan kayak gini sampai bertahun-tahun ke depan,” ucap Helga. “Makanya orang bilang, jangan berdiri di depan pintu. Kalau mau masuk, ya masuk. Kalau mau keluar, ya keluar. Jangan halangin orang lain mau masuk atau keluar. Kalau kita bertahan di hubungan kayak gini entah sampai kapan, malah bikin hubungan kita jadi retak dan ngerugiin banyak orang. Termasuk diri kita sendiri.

Cello mendengar tanpa memotong ucapannya sama sekali.

Lo satu-satunya orang yang nggak mau gue jadiin sekadar part of good memories. Gue nggak mau suatu saat hubungan lo sama gue jadi titik cuma karena kita gegabah maksain diri bersatu di waktu yang nggak tepat. Kita butuh waktu buat ber-progress jadi diri kita yang lebih baik supaya punya hubungan yang sehat.

Jadi?

Kita jeda, gimana?

Jeda gimana?

Pisah dalam jangka waktu tertentu, fokus sama diri sendiri, fokus cintain diri sendiri, dan kalau sampe jangka waktu itu habis dan perasaan kita masih sama, that means we're meant for each other.

Cello menghela napas kasar dan mengacak pelan rambutnya setelah mendengar kata pisah keluar dari mulut Helga. “Nggak ada cara lain, Hel? Emang nggak bisa berprogress bareng-bareng tanpa harus pisah?

Nggak bisa. Itu cuma bikin gue makin suka sama lo. Lo tau gue yang sekarang masih kayak gimana.” Ia terkekeh. “Gue mau, pas jangka waktu itu habis, kita ketemu sama diri kita yang baru. Gue yang udah nggak takut ditingal siapapun karena sadar gue punya value dan gue sayang sama diri gue sendiri, dan lo yang...udah jadi diri lo yang sebenernya. Bukan womanizer terpaksa cuma karena capek dengerin labelling dari orang lain. Lo yang...jadi laki-laki baik yang cuma kelihatan di mata gue untuk saat ini, yang bisa berhenti dari kebiasaan buruknya yang sempet dipaksa untuk terbiasa.

But what if we failed?

Then we won't meet again. As simple as that. It won't be as painful as if we broke up after a deep fall one day. This idea is the best option for us.

Cello menyandarkan keningnya pada bantalan setir. Berusaha menimbang segala kemungkinan yang terjadi. Membayangkan apa jadinya jika dia harus menjalani hari-hari yang sudah terbiasa dengan Helga, menjadi tanpa Helga. Frustasi. Berat. Hanya dengan membayangkannya.

Jadi gua harus berubah demi lo?” tanya Cello masih menyandarkan keningnya di setir mobil.

Demi diri lo sendiri. Demi berdamai diri lo sendiri. Kalau lo sama gue udah bisa berdamai sama diri sendiri, jatuh cinta ke satu sama lain nggak bakal jadi sesuatu yang berat.

Cello mengangguk pasrah. “Oke.” Sembari menghela napas dan duduk tegak menghadap depan. Ia lantas menoleh dengan siap—yang dipaksakan. “Berapa lama jangka waktunya? 6 bulan? 12 bulan? Berapa?

Helga tertawa. “12 bulan? 4, lah.

4 bulan? Oke, bisa.

4 tahun.

Cello sontak mematung mendengarnya. 4 tahun-tanpa-Helga? 4 tahun-tanpa-berbicara dengannya? 4 tahun-menyimpan rasa? 4 tahun-ditinggalkan? Sangat menyiksa.

4 tahun, Hel?” Cello memastikan tak percaya.

Iya. 4 tahun. Kalau dalam 4 tahun kita bisa jadi diri kita yang lebih baik without any issues with our inner self, dan kalau dalam 4 tahun perasaan kita masih sama, mungkin kita emang jodoh.

4 tahun kela—

Bakal lebih baik kalau dalam 4 tahun lo bisa sepenuhnya hapusin label womanizer lo dari mata gue.” Helga tertawa lagi—dipalsukan, tentunya. “Gue nggak mau bersaing sama siapapun cuma buat bahagia sama lo. Gue nggak mau jadi pihak yang berjuang sendirian lagi. I don't want to be the-old-fragile-me anymore. I want to love you without feeling small, that's why.

Cello belum pernah sefrustasi ini dalam melihat dampak dari keputusannya.

Jika menolak, tak ada gunanya.

Benar kata Helga. Jika dipaksakan sekarang, hubungan mereka bisa hancur dalam jangka dekat. Entah karena Cello tak sengaja menyakiti hati Helga yang sekarang, atau Helga yang tak kunjung percaya dengan Cello.

Jika dipikir lagi, memang benar, hubungan yang fondasi masing-masing pribadinya belum kokoh pasti akan ambruk jika dipaksakan.

Terlebih, berubah dari dirinya yang sekarang menjadi pribadi baru (yang tak memedulikan label womanizer yang melekat dalam dirinya dan berusaha menjadi dirinya sendiri) itu tidak akan memakan waktu yang singkat. 4 tahun adalah jangka waktu yang tepat—walau kemungkinan akan menyiksa.

Dengan ragu, Cello mengangguk pelan. “Oke. 4 tahun.

Helga meraih punggung Cello yang masih menunduk di depan setir dan mengusapnya. “I trust you. We'll meet again,” ujarnya, dengan mata yang berkaca-kaca.

Walau Helga yang mencetuskan ide tak berkomunikasi selama 4 tahun, bukan berarti ia tak merasa sesak saat mengatakannya. Berpisah dengan orang yang membuat dirinya bahagia dan merasa lebih baik selama satu tahun ke belakang tentu bukan hal yang mudah. Tak dia sangka ia bisa mengatakan itu kepada orang yang ia takuti hilang dari matanya.

Demi dirinya sendiri. Ia harus berubah.

Menaruh dirinya menjadi prioritas adalah prioritas untuk saat ini. Mengajak orang yang dicintainya juga untuk menjadikan diri mereka sebagai prioritas mereka juga dilakukan agar tak ada yang terluka di kemudian hari.

Helga ingin, keduanya membangun fondasi yang kokoh di diri masing-masing sebelum hubungan itu dibangun.

Dan ini adalah salah satu upayanya.

Can i get the last hug before April 2025?” pinta Cello dengan mata sayu.

Helga mengangguk dan mendekatkan dirinya perlahan. Ia lantas merengkuh tubuh pria di hadapannya, dan dibalas dengan dekapan yang lebih erat. Sangat erat sampai Helga meyakini belum pernah dipeluk seerat ini oleh siapapun sebelumnya.

Cello menenggelamkan kepalanya dalam ceruk leher Helga dan bernapas berat di sana. Seperti, juga menahan sesak.

Dua orang yang dadanya terasa berat sedang berpagut satu sama lain. Berusaha menenangkan diri masing-masing karena harus berpisah demi kebaikan bersama. Memastikan rasa yang mereka miliki bukan hanya bermalam, namun bermukim. Memastikan diri mereka berprogress bersama walau dari kejauhan. Dan membiasakan diri untuk menjadikan diri mereka sendiri sebagai prioritas di atas segalanya.

Janji gua masih berlaku,” ucap Cello, perlahan melepas pagutannya. “I will never leave you first. And i won't stop loving you until you find the right man to love and treat you better than me. But i promise you if that man ever dare to break your heart, i'll break theirs into pieces. I keep my eyes on you.

Helga tertawa mendengarnya. Bukan karena terdengar lucu, tapi karena ia tersentuh. Ternyata ada orang selain Una, Leo, dan Kezia yang mau mengatakan itu untuknya.

I still can kill you if you break that promise, right?” canda Helga, bertanya. Berusaha mencairkan suasana yang sedang membeku.

Cello mengangguk. “Iya.” Berucap juga sambil tertawa.

I trust you. See you in 4 years?” Helga membuka pintu mobil dan melangkahkan satu kakinya keluar.

See you in 4 years.

Dengan diri mereka yang lebih baik. Demi menjalin hubungan yang lebih baik. Sebab menomorsatukan rasa cinta untuk orang lain di atas diri sendiri hanya akan menghancurkan rasa yang telah tumbuh.

Membangun hubungan baru sebelum memperbaiki hubungan dengan diri sendiri juga hanya akan menghancurkan hubungan yang telah terjalin.

Diri, adalah yang utama.

Sampai jumpa, 4 tahun lagi.

Dengan hubungan yang benar-benar akan berlanjut seperti keinginannya.

Kini, kisah mereka mendapat jeda koma dalam sesaat, sebagai bentuk pencegahan hadirnya titik di dalam mereka

14 April 2021. Hari yang Cello dan Helga jadikan acuan untuk menyemangati mereka menyelesaikan skripsi. Hari kelulusan mereka, sekaligus hari di mana mereka akan bertemu dengan sang penyanyi andalan (Tulus) dalam JazzKarta Festival.

Hilmy dan Rifan hadir untuk merayakan kelulusan Cello walau mereka berdua masih betah jadi mahasiswa. Dalam arti lain, skripsinya belum kunjung usai.

Hilmy punya alasan mengapa skripsinya belum dilanjuti—ia mengembangkan kemampuan kodingnya dengan merintis perusahaan rintisan di bidang game online yang masih tergabung di perusahaan akselerator sejak pertengahan semester.

Kalau Rifan, tidak punya alasan. Dia malas saja menyelesaikan skripsi. Katanya, dia sangat dermawan, jadi harus menyumbang dana lebih lama ke universitas.

Sedangkan Helga dan teman-temannya, lulus di waktu yang bersamaan. Tujuan mereka untuk lulus bersama tercapai, bahkan untuk Una yang mereka kira akan menunda kelulusannya.

Upacara wisuda selesai tepat pukul 12.05. Seluruh wisudawan dan tamu undangan berhamburan ke luar gedung pertemuan untuk berfoto ria. Ada yang dengan keluarganya, dengan sahabatnya, dengan kekasihnya, bahkan dengan kucing liar yang tak sengaja lewat karena numpang tenar.

Suasana di luar gedung pertemuan itu sangat membahagiakan dan mengharukan. Semua orang menunjukkan rasa bahagianya dengan cara yang berbeda.

Di tengah lapangan yang terbuka sangat luas, Cello, Rifan, dan Hilmy heboh menentukan pose untuk dokumentasi. Sedangkan Helga, Leo, Una, dan Kezia berfoto di jarak 8 meter dari mereka—masih terjangkau oleh pandangan.

Setelah menyelesaikan sesi foto yang tiada habisnya karena Rifan selalu protes wajahnya tak pernah benar, Cello langsung berpamitan dan menghampiri Helga bersama teman-temannya.

Ia berdiri di situ, mengamati 4 sekawan yang sedang asyik berpose mengangkat topi wisudanya tanpa mengeluarkan sepatah pun kata. Kedua tangannya terlipat di depan dada sambil menahan tawa melihat kekacauan situasi yang modelnya ingin bergaya macam-macam.

Cello sama sekali tak menegur Helga dan membiarkannya menyelesaikan momennya. Sampai akhirnya, Helga sendiri yang menyadari laki-laki itu berdiri memperhatikannya.

Eh, lo udah?” sapa Helga meninggalkan teman-temannya yang sedang berkumpul melihat hasil foto di kamera Kezia.

Teman-teman Helga ikut menoleh ke arah Cello. Mereka bertatapan satu sama lain seperti mensinyalir isi pikiran yang sama, kemudian ketiganya tersenyum kecil dan lanjut melihat hasil foto mereka tanpa mau mengganggu.

Cello mengangguk sambil tersenyum lebar, menampakkan deretan gigi rapinya dan melepas tangannya yang terlipat.

Mau sekarang aja?” Helga bertanya.

Kalau lo udah, boleh, sekarang.

Gadis itu lantas melihat ke arah teman-temannya untuk berpamitan. Seakan langsung mengerti, ketiga temannya mengangguk dan mempersilakan Helga pergi lebih dulu hari ini.

Helga mengambil barang-barang yang ia taruh di permukaan jalan dan berjalan menuju parkiran menyetarai Cello.

Cello mengeluarkan kunci mobil dari kantung celananya sambil menoleh. “Bokap nyokap lo? Udah pamit?

Udah. Tadi gue udah bilang mau main sampe malem, jadi mereka udah pulang duluan.

Oke, mantap.” Cello memasukkan kedua tangannya ke dalam kantung celana menggantikan kunci mobilnya tadi. “Ketemu Tulus kita?

Helga mengangguk antusias dan melompat kecil tanpa menghentikan langkah. “YES!” teriaknya kegirangan.

Cello tertawa puas melihat Helga yang tak bisa menyembunyikan rasa senangnya.

Mereka berdua sama-sama belum melepas toga seperti perjanjian mereka semula yang akan berkeliling kota dengan toga sebagai bentuk apresiasi bahwa mereka telah bekerja keras.

Setelah membuka pintu mobil, Cello langsung menekan tombol di mobilnya agar atapnya terbuka, kemudian masuk ke dalamnya sambil tertawa.

Lo ngapain buka atapnya?” tanya Helga masih terbahak-bahak. Entah apa yang lucu, ia hanya ingin tertawa hari ini.

Biar semua orang tau kita udah sarjana.” Cello tersenyum miring dan menekan pedal, melajukan mobilnya keluar area universitas.


Langit seakan memberi restu untuk kebahagiaan keduanya. Cuaca dibuat bagus agar mereka nyaman berjalan dengan atap terbuka. Matahari siang ini tidak begitu terik, namun awan juga tak menunjukkan tanda mendung. Cuaca yang sangat, sangat, sangat baik! Dengan suasana hati yang baik pula, menjadikan momen ini semakin luar biasa.

Cello yang tak menjepit topi wisudanya melepasnya sementara agar tak terbawa angin, sedangkan Helga masih memakainya dengan lengkap karena dijepit.

Perempuan itu berteriak sekencang-kencangnya, membuat semua orang di sekitar jalan raya besar sudirman menoleh ke sumber suara. Ia ingin memberi tahu seluruh dunia bahwa...HELGA UDAH SARJANAAAAAAAA!

Bahkan beberapa orang di jalan ikut berteriak memberikannya ucapan selamat walau tak saling kenal.

Selamat, ya!” seru seorang ibu penjual kopi di pinggir jalan sambil memberi dua jempol ke arah mobil yang ditumpangi Helga.

Helga menoleh dan melambai untuk berterima kasih. “Terima kasih! Sehat-sehat selalu, Bu!

Atau dengan mas-mas berkemeja rapi di wilayah SCBD yang sedang berjalan menuju tempat makan. Ia berseru, “Jangan lupa masih ada fase cari kerja!” Sambil tertawa. Diikuti dengan tawa orang-orang di sekitarnya yang pernah bernasib sama mengalami suka duka mencari kerja pasca kelulusan.

Helga malah menyahut, “Aku udah kerja dari rumah! Mas-nya juga semangat kerjanya! Jangan beli kopi overpriced di akhir bulan, ya!” candanya sembari menujuk kopi dingin di tangannya, dibalas tawa oleh semua yang mendengar—dan tersindir karena juga sering membeli kopi overpriced di akhir bulan.

Menyebarkan energi positif ke orang asing memang semenyenangkan itu.

Setelah lelah berteriak, Helga mengambil tisu basah di tasnya dengan napas yang tersengal.

Minum dulu, minum.” Cello menyodorkan botol minum plastik yang ada di sampingnya sejak tadi.

Ia mengambil botol minum dan meneguknya cepat sampai habis tak tersisa. Kemudian ia mengeluarkan selembar tisu basah dan membuka sun visor mobil.

Mau ngapain?” tanya Cello berusaha mencuri pandang karena masih sibuk menyetir.

Helga mengusap tisu basah itu ke seluruh wajahnya. “Hapus make up, ganti jadi make up yang lebih tipis.

Coba liat.” Cello menoleh sebentar meminta Helga melihat ke arahnya dan menunjukkan wajahnya yang cemong-cemong karena make up-nya belum sepenuhnya terhapus.

Gitu aja,” ucapnya sambil tergelak tak karuan dan memukul setir mobilnya. “Gitu lebih bagus.

Helga melirik ke kaca di visor mobil dan melihat dirinya yang seperti tentara di medan perang. Cemong-cemong.

Menyadari Cello mengejeknya, ia memukul paha Cello sekuat tenaga sampai yang dipukul mengaduh dalam tawanya.

Helga lantas menyelesaikan sesi menghapu make up-nya dan beralih hendak memutar lagu.

Cel, dengerin lagu,” pintanya dengan telunjuk yang sudah siap memilih lagu di layar putar.

Cello mengangguk mempersilakan. “Tulus, Hel. Gua udah hapal semua, nih.

Helga tertawa menyepelekan. “Oh, ya? Oke. Mari kita liat.” Helga menyambungkan pengeras suara mobil dengan ponselnya.

Teman Pesta – Tulus dengan intro drum yang terdengar kencang sebab volume dinaikkan membuat semua orang yang berada di sekitaran jalan juga bisa ikut mendengar lagu yang terputar.

Helga sudah percaya diri Cello tak mungkin hapal lagu ini selama drum dan piano bersahutan. Namun, ketika Tulus mulai bernyanyi,

Di satu pesta tak ada yang datang,” Helga tidak bernyanyi sendiri. Tidak juga dengan Tulus. Ada satu suara laki-laki lagi yang ikut bernyanyi. “Hanya kau sendirian...” Cello ikut bernyanyi.

Helga menoleh perlahan dan tertawa tidak percaya Cello tahu lagu ini.

Lo tau lagu ini?” tanyanya sambil meninggikan suaranya agar terdengar bersama suara musik yang kencang dan angin yang tak kalah kencang.

Gua hapalin semua lagu Tulus biar kita nyanyi bareng sampe pita suaranya lepas,” jawabnya sambil berjoget mengikuti irama.

Helga tertawa keras, sama kerasnya dengan suara Tulus yang masih bernyanyi. Ia ikut bergoyang kala musik terputar seirama dengan pria yang juga tak kalah heboh di sampingnya.

Ketika lagu sampai kepada bagian reff, Helga mengangkat kedua tangannya. Keduanya bernyanyi spontan bersahutan seperti sudah diatur sejak awal.

Cello memulai karaoke sahut-sahutan ini dalam lirik, “Aku jatuh cinta pada kekuranganmu, aku yang selalu punya waktu untukmuuuuuu,...

Aku teman pestamu!” Helga menepuk tangannya di atas udara dan menari sesuka hati.

Ku ingin kau bahagia!” Cello menunjuk wajah Helga dengan satu tangan yang tak dipakai menyetir.

Aku teman pestamu!

Ku ingin menghiburmu.

Aku teman pestamu!

Berdansa, menari, kan kulakukan.

Aku cinta padamu!

Ku bisa kau andalkan.” Cello mengangguk sambil memiringkan kepalanya untuk melirik ke arah Helga. Tergelak mendengar Helga menyanyikan lirik di bagian itu. Membayangkan bagaimana jadinya jika kalimat yang barusan keluar bukanlah sekadar lirik lagu.

Jalanan ibu kota kini hanya milik mereka berdua dengan suara latar lagu Tulus yang tak kunjung berhenti hingga ke tujuan. Lalu lintas yang tak begitu ramai di hari Rabu dikuasai oleh dua wisudawan yang sedang bahagia, tertawa seperti tak ada hari esok, dan menyanyi seperti tak akan bisa bersuara lagi setelahnya.


Istora Senayan, pukul 14.40.

Gerbang festival baru mulai dibuka pukul 16.00. Namun, di pukul ini sudah banyak muda-mudi yang hadir dikarenakan ada festival jajanan yang digelar di depan festival musik.

Ada berbagai macam jajanan di sana. Mulai dari jajanan SD, jajanan korea, jajanan bermerek, hingga jajanan khas daerah.

Berani turun?” Cello bertanya sekali lagi dengan ekspresi mengejek, memancing Helga agar kembali mempertimbangkan. Siapa tahu, Helga tiba-tiba malu.

Namun Cello lupa kemungkina bahwa urat malu Helga sering terlilit hingga putus. Sudah jelas ia tidak malu hanya karena memakai toga wisuda di tempat yang tak seharusnya. Siapa orang yang memakai toga wisuda di festival selain mereka? Tidak ada. Dan menjadi orang yang berbeda, menurut Helga adalah sesuatu yang menyenangkan.

Keduanya kini turun dari mobil dan mengambil perhatian banyak orang yang sedang berlalu lalang. Orang-orang itu mengira ada upacara wisuda yang digelar di sekitaran istora, padahal tidak. Jauh. Mereka datang dari ujung selatan Jakarta.

Jika penasaran, kebaya yang Helga pakai sudah diganti dengan manset kaos dalamannya. Jadi ia tak perlu merasa gerah karena memakai kebaya beserta kainnya.

Jika penasaran juga, mereka berdua tak melepas topi wisudanya. Benar-benar dipakai lengkap. Cello bahkan masih memakai pantofel rapi dari ujung ke ujung. Sedangkan Helga sudah ganti sepatu karena takut kakinya lepas melompat-lompat dengan sepatu berhak tinggi.

Dua-duanya, tak ada yang merasa malu. Seperti yang dikatakan barusan, Ibu Kota milik mereka hari ini. Semua manusia yang berlalu-lalang hanya bayangan yang sekadar meramaikan saja. Tidak peduli mereka bicara apa. Ibu Kota milik mereka hari ini.

Cel, kita cobain semuanya yuk! Tapi beli seporsi aja dimakan berdua biar perutnya muat.” Helga menunjuk deretan kios makanan yang ada berbagai macam.

Cello mengangguk mengiyakan. Kemudian membiarkan tangannya ditarik oleh gadis di hadapannya yang bingung memilih makanan apa yang harus ia makan terlebih dahulu.

Lo pernah coba kentang spiral nggak?” tanya Helga antusias.

Pernah.

Suka nggak?

Suka.

Yah...” Helga berpikir. Mengedarkan pandangannya lagi guna mencari makanan yang belum pernah Cello makan supaya bisa meledeknya. “Kalo...rambut nenek?

Hah? Apa tuh?

Oke, kita makan itu!” Ia kembali menarik Cello menuju kios yang menjual rambut nenek.

Berbagai macam jajanan mereka cicipi sedikit demi sedikit. Mulai dari yang ringan sampai yang berat, tak ada satupun yang terlewat. Mereka seakan sudah tidak perlu lanjut makan di restoran lagi kalau begini caranya.

Hari ini, Helga yang mentraktir semuanya karena ia ingin. Cello sudah membayar hal lain sebelum itu dan tidak pernah perhitungan. Mentraktir Cello bukan sesuatu yang berat dilakukan mengingat apa yang telah dia berikan ke Helga selama ini.

Sudah semua jenis kuliner mereka jamah, bahkan tak terasa sudah dua jam mereka berkeliling.

Gerbang festival sudah dibuka, namun Tulus tampil pukul 18.30. Mereka datang hanya untuk melihat Tulus sebenarnya, jadi tidak perlu terburu-buru. Masuk saat gerbang hendak ditutup pun tidak masalah.

Mereka lanjut berjalan lagi hingga ke ujung festival, tempat gelato dijual.

Perut keduanya sudah benar-benar kenyang saat ini, tapi rasanya, satu cone gelato masih memiliki ruang di sana.

Helga menarik kuat pergelangan tangan Cello yang ia cengkeram agar datang ke kios gelato. Cello yang sedari tadi menurut hanya pasrah saja terhuyung-huyung.

Siang, Kak, ada yang bisa dibantu?” Penjaga gelato menyapa mereka dengan ramah.

Siang, Mbak. Aku mau hmm—” Belum sempat Helga selesai memilih, Cello langsung menyelak.

Rasa gelato yang cocok buat fresh-graduate apa, Mbak?

Helga lantas melirik cepat. Lalu tertawa. “Apaan gelato yang cocok buat fresh-graduate?

Penjaga gelato yang mendengarnya juga ikut tertawa. “Mungkin rasa mint atau mint choco? Karena segar, kayak aura kalau baru selesai wisuda.” Ia tersenyum manis melayani keanehan dua manusia berpakaian asing di hadapannya.

Yaudah, kalau gitu saya tiramisu.” Cello menjawab dengan yakin.

Helga yang semula tertawa langsung terdiam dan memasang wajah datar. “Lah, ngapain nanya! Bikin lama.

Cello hanya terkekeh dan membiarkan Helga memilih rasa yang dia inginkan.

Aku...rasa apa ya...yang beda biar nggak sama kayak dia apa ya?

Maksudnya yang mirip-mirip tiramisu, Kak? Kalau itu, ada espresso atau Latte?

Helga memicingkan matanya menimbang-nimbang. “Hmm...yaudah, aku tiramisu aja.

Eh, lo bilang gak mau sama kayak gua.” Cello mendorong pelan lengan Helga sambil tertawa karena tahu Helga sedang bercanda.

Helga tertawa dan meyakinkan penjaga gelato untuk membuatkan dua tiramisu untuk mereka.

Selamat jadi sarjana, Kak. Semoga berguna bagi nusa dan bangsa.” Penjaga gelato memberikan dua es krim berasa sama sambil mengucapkan selamat.

Makasih, Mbak,” jawab Helga.

Kayaknya kalo dia lebih ke berguna bagi Nusa dan Rara,” sahut Cello mengejek.

Berkat ucapannya, ia mendapat serangan sikut di perutnya agar diam.

Kini, gelato itu sudah ada di tangan mereka masing-masing dan keduanya mulai menyantap es krim itu dengan cepat sambil berdiri sebelum meleleh.

Begitu mereka keluar dari kios gelato yang bentuknya seperti mobil van, mereka menyadari orang-orang di sekitarnya benar-benar menaruh pandang ke arah mereka.

Sebenarnya, sudah sejak tadi seperti ini, tapi di sekitar sini lebih ramai. Jadi mereka lebih menyadari tatapan mata yang menusuk mengarah ke mereka.

Helga yang semula tak malu sama sekali mendadak canggung dan melambatkan santapan gelatonya.

Menyadari perubahan ekspresi di wajah Helga, Cello langsung merangkul Helga dengan kencang sampai Helga sedikit tercekik. “Nggak ada yang peduli sama kita. Nggak usah pikirin pandangan orang lain, nanti juga mereka lupa.” Kemudian menyeretnya agar kembali berjalan dalam rangkulan lengannya yang besar.

Aaaa sakit, sakit!” Ia memukul lengan itu agar melepasnya.

Ah, masa gini doang sakit?

Lo, deh, sini gue cekek.” Helga membalas rangkulan itu juga sekuat tenaga. Tentu tak sanggup membuat Cello merasa sakit karena otot lengannya jauh lebih kecil dari otot leher Cello.

Dua orang yang sedang saling rangkul itu tak lama melewati sebuah kotak besar yang benar-benar mencolok hingga menarik perhatian mereka.

Photo Booth. Iya, Photo Booth.

Seakan bisa membaca isi pikiran, mereka berdua bertatapan satu sama lain dan langsung berjalan cepat tanpa berdiskusi lagi menuju Photo Booth dan mendaftarkan diri.

Mau yang berapa frame?” tanya Helga sambil memencet layar opsi.

3 aja, gua mati gaya.

Ah, payah,” sesalnya. Walau ujungnya tetap dipilih juga pilihannya Cello.

Mereka berdua masuk ke dalam box berukuran 2 x 1,5 m yang cukup sempit untuk mereka yang berpakaian ribet. Orang yang mengantre pun sampai terheran melihat dua heboh yang bisa merubuhkan satu kotak besar ini.

Oke, mau gaya apa kita?” tanya Helga sambil menunduk, bersiap memencet tombol.

Gatau, pencet aja dulu.

Helga langsung memencet timer agar mulai menghitung mundur. Ia langsung berdiri tepat di samping Cello sambil memikirkan pose apa untuk bergaya untuk foto pertama.

Helga akhirnya merangkul Cello yang berlutut dari belakang agar fotonya tidak monoton. Dalam hitungan kedua, Cello mengambil beberapa helai rambut Helga dan menaruhnya di atas bibir sebagai kumis dengan wajah clueless karena bingung harus bergaya apa.

Setelahnya, Helga tertawa. Dan tanpa aba-aba ia langsung memencet lagi tombol mulai.

Layar photo booth sudah mulai menghitung mundur. Namun mereka berdua malah berebutan tempat agar lebih kelihatan.

8...7...6

Geseran, Hel. Ini mah alis gua doang yang keliatan,” protes Cello sambil menyelak Helga agar ia yang didepan.

5...4...3

Ih! Gue yang nggak keliatan sekarang! Awas-awas!” Helga mendorong Cello agar berada di bawahnya, kemudian...cekrek foto tertangkap.

Mereka berdua maju sedikit untuk melihat hasilnya.

Tuh, Hel...muka gua.” Cello ngedumel melihat wajahnya yang sedang mengaduh malah terpotret. Sedangkan Helga di atasnya tertawa lepas dan terlihat cantik

Haha yaudah, yaudah, sekali lagi.

Helga kemudian berpose bak model papan atas tanpa mengganggu Cello yang berpose santai di sampingnya. Helga sedang berkhayal menjadi Adriana Lima yang melakukan pemotretan untuk majalah kelas atas.

Cello sesekali melirik heran ke orang di sampingnya karena pose yang dipilihnya tak ada yang benar satupun.

Hel, diem coba diem. Senyum gitu yang bener sesekali.” Cello menaruh tangannya di kening Helga yang masih berpose alay dari belakang dan menariknya agar mendekat. “Nih, liat kamera, senyum.

Cekrek

Begitulah pose ketiga yang akhirnya tercetak.

Tidak ada satupun dari foto yang dicetak yang terlihat normal. Tapi tidak apa. Mereka tetap suka.

Satu-satu,” ucap Helga memberikan satu photo strip ke Cello setelah menggerakkannya agar kering, lalu ia menyimpan yang satunya. “Dah. Saatnya kita bertemu Bang Tulus!” Ia berseru antusias.

Bang Tulus? Akrab?” ejek Cello.

Kebetulan pernah ngamen bareng.

Cello menggelengkan kepalanya melihat Helga yang tingkahnya semakin absurd saat sedang gembira. Ia mengusap pucuk topi yang Helga kenakan dan menekan suaranya karena gemas. “Astaga, Helga...lo kalo bukan orang udah penyok gue cubitin.

Helga tertawa.

Mereka berdua melanjutkan agenda terakhir mereka hari ini, yaitu...menonton Tulus.


Memang benar. Di festival manapun, ada saja satu musisi yang penontonnya paling banyak dan membuat area penonton penuh seketika ia tampil.

Dan Tulus, selalu menjadi salah satunya.

Pukul 17.30 mereka mengantre untuk masuk ke dalam aula istora, dan pukul itu juga antrean menjadi semakin padat.

Mereka berdua berusaha menyalip semua orang di depannya agar bisa berdiri lebih dekat dengan panggung. Dengan kekuatan “kostum unik” mereka sore ini yang membuat banyak orang menoleh dan bergeser saat mereka mengucap permisi, sampailah mereka di barisan terdepan dekat pagar.

Keduanya melepas topi wisuda agar tidak menghalangi orang di belakangnya, kemudian bersandar pada pagar panggung sambil menunggu Tulus datang dan membawa suasana menjadi semakin baik.

Aduh.” Helga menoleh tatkala laki-laki bertubuh cukup besar di belakangnya terdorong dari belakang dan tak sengaja juga mendorongnya. Ia berusaha memaklumi dan kembali melihat ke depan.

Namun laki-laki itu terus saja terdorong sampai membuat Helga berpikir, Ini di belakang dia ada Hulk apa gimana, sih? Masa mental mulu. Ia ngedumel di dalam hati sambil melirik sinis ke arah belakang.

Cello yang menyadari Helga tidak nyaman karena terdorong lantas berdiri di belakangnya dan mengunci tubuhnya. Kini posisinya, Cello berdiri di belakang Helga dengan kedua tangan memegang pagar—seperti menjadi pagar untuk Helga.

Helga terkekeh karena Cello menjadi tamengnya dari raksasa berotot yang sering terdorong itu. Tubuhnya lumayan bisa menahan dorongan pria ombak di belakangnya.

Sebab dagu Cello berada tepat di atas pucuk kepala Helga, laki-laki itu menempelkan dagunya agar tak pegal.

Helga yang merasa seseorang menyandarkan kepalanya di pucuk rambutnya itu jadi semakin berdebar. Sudah berdebar semakin berdebar karena mengingat orang yang bersandar adalah Cello.

Tak lama, terdengar suara drum dan gitar yang bersatu, membuat seisi ruangan tertutup bersorak histeris.

Musik dimulai, penyanyinya belum datang.

Helga berdiri menghadap panggung dengan tatapan penuh harap, ingin melihat Tulus dari dekat setelah sekian lama mendambakan hari ini agar terjadi. Keinginannya bertemu Tulus, sama besarnya dengan keinginannya bertemu Sehun. Tapi Sehun jauh, biarlah Tulus dulu.

Hatinya berdebar tak karuan. Benar-benar terlalu senang akan bertemu Tulus. Ia bahkan tak sampai pikiran mengeluarkan ponselnya untuk mengabadikan, ia ingin menyaksikan idolanya dengan mata telanjang tanpa terhalang apapun.

Hingga akhirnya, suara tak asing yang dia harapkan datang menyapa kerumunan.

Kerumunan penonton yang berteriak semakin kencang tetap tak bisa menyamarkan suara teriakkan Helga yang jauh lebih histeris dari kebanyakan orang di sana.

Cello sempat terkejut hingga memundurkan kepala dan memegang telinganya. Namun ia akhirnya tertawa mendengar teriakkan Helga yang bisa memanggilnya bahkan jika ia di Kalimantan.

Helga berteriak dan bernyanyi sesuka hatinya hari ini. Tak ada yang bisa melarang atau mengomentari kebahagiaannya.

Dan sebagai laki-laki yang membiarkan gadis di hadapannya merasa bahagia tanpa takut dihakimi, Cello ikut menikmati penampilan musisi yang lagunya sudah ia hapalkan semua dalam sebulan terakhir—setiap sedang istirahat revisi. Daftar putarnya yang biasa membuat bising dan mendapat protes, kini berubah jadi syahdu berkat Tulus.

Sebab tahu Helga tak sama sekali sempat mengabadikan momen ini, Cello merekamnya sepanjang pertunjukan berlangsung. Mengambil foto Helga dengan latar belakang Tulus yang sedang bernyanyi, sampai menangkap rekaman saat Tulus mengucapkan selamat wisuda ke mereka.

Seakan malam itu Tulus ikut membantu, lagu Tergila-Gila dibawakannya. Lagu yang pas menggambarkan isi hati sang laki-laki yang hendak ia utarakan, yang pernah ia sampaikan sebagai kode waktu itu.

Hari ini menjadi hari paling bahagia yang pernah Helga dan Cello rasakan seumur hidupnya. Tak pernah jadi sebebas ini tanpa takut dihakimi, tak pula juga menjadi dirinya yang palsu sebab labelling dari orang-orang di sekitarnya.

Hari ini, Kota Jakarta milik mereka.

warning : mention of divorce, mention of cheating note : jika ada salah penyampaian sepanjang cerita, sila ajak aku berdiskusi di dm ya! terima kasih ^^

Lo mau ikut masuk atau tunggu di luar?” Cello berdiri memegang daun pintu apartemennya yang terbuka.

Di sini aja.

Cello mengangguk dan segera masuk ke dalam apartemen studio bernuansa abu-abu dengan kaca besar menghadap kota, tetap membiarkan pintunya terbuka agar Helga yang berdiri di depan pintu tetap bisa melihatnya.

Ia masuk untuk mengambil beberapa camilan dan minuman dingin yang disimpan di dalam kulkas sebagai bekal perbincangan mereka malam ini. Tak lupa juga satu pengeras suara portabel untuk mendengar musik agar tak sunyi.

Sudah pukul satu pagi sekarang.

Sedikit berbeda dengan Cello yang agak rapi dengan jaket bomber hitam karena baru pulang bertemu teman-temannya, Helga memakai hoodie hijau tua kebesaran dan celana tidur kotak-kotak, rambutnya digerai tak beraturan yang dimasukkan ke dalam kupluk, juga memakai sendal bulu yang seharusnya hanya dipakai di dalam rumah.

Pria itu tak lama keluar dengan tangan dipenuhi 4 botol minuman soda dan beberapa camilan ringan sampai ia kesulitan menutup pintu.

Helga tertawa sembari mengambil alih semua yang ada di tangannya, membantu Cello agar ia menutup pintu dengan tangan kosong.

Setelah 'barang tempur' mereka sudah siap, keduanya melangkah agak cepat menuju lift yang akan membawa mereka ke lantai teratas di gedung ini. Baru setelahnya, mereka naik tangga darurat menuju atap.

Jakarta ramai dan terdengar sayup-sayup bising dari atas sana.

Sebuah perbedaan yang mencolok melihat atap yang redup dengan hanya satu penerangan remang-remang, sedang di bawahnya Kota Jakarta yang tak pernah mati dipenuhi cahaya.

Suara klakson mobil tak lepas terdengar, bersahut satu sama lain seakan memanggil walau dari kendaraan yang berbeda. Beberapa kali, terdengar juga knalpot berisik yang kerap ditilang karena polusi suara, yang kalau mereka lewat semua orang akan mengeluarkan sumpah serapah semoga ban lo kempes.

Suara bising namun tak asing. Isi kepala Helga juga sedang sama bisingnya. Bedanya, bukan suara klakson dan knalpot yang berputar dalam kepalnya, melainkan dirinya sendiri yang selalu berdebat dengan sisi dirinya yang tak sejalan. Seakan, kalau boleh ia mengusir, ia hanya ingin punya pendirian dan berhenti berdebat dengan dirinya sendiri.

Keduanya mencari tempat ternyaman dan berakhir duduk di salah satu tepian gedung. Kaki mereka menjuntai menghadap jalanan di bawah—walau ada pijakan lantai di bawah yang melindungi.

Helga menghirup udara dingin yang sempat membuatnya bergidik dalam-dalam, kemudian ia membuangnya dengan leluasa seperti tak hanya udara yang keluar, namun juga rasa cemasnya.

Mereka sempat diam sejenak selama beberapa menit. Menatapi ibukota dari atap gedung tinggi yang jarak pandang terjauhnya jugalah sebuah gedung.

Kalau menunduk, jalanan di bawah mereka adalah jalan tol yang dilintasi berbagai macam mobil berlalu lalang.

Cello menyambungkan pengeras suara itu ke ponselnya, mulai menyetel lagu dalam daftar putar acak untuk menemani pembicaraan mereka yang entah akan membicarakan apa malam ini.

Everything – Black Skirts terputar bersamaan dengan suara ramai lalu lintas Kota Jakarta.

Setelah isi minuman kaleng di tangannya sisa setengah, Cello menengguknya habis dalam waktu singkat.

Hah...” Ia mengelap bibirnya dan tertawa kecil. “Minum lo udah habis?

Helga yang tengah melamun menatap kosong pemandangan menoleh, tersenyum, lalu menggeleng. “Dicicil, ngirit. Cuma dua botol jatahnya,” candanya.

Minum aja soda gue yang satu lagi.

Enggak, ah. Nanti gue jadi Mrs.Puff. Kembung.

Cello tertawa dan mengembalikan arah pandangnya menuju jalan tol.

Gadis itu menhgirup udara dalam-dalam untuk kedua kalinya. “Rasanya cepet banget gak sih udah mau lulus kuliah? Perasaan baru kemarin gue ngomongin lo sama temen-temen gue pas kelas seminar pertama kali. Eh sekarang, orangnya malah duduk di samping gue ngobrol di atap jam satu malem.” Dengan tatapan yang masih kosong sebab memikirkan hal lain.

Cello menoleh, mengernyitkan dahi sambil terkekeh (yang terdengar seperti) tersinggung. “Ngomongin apa?

Gue sama temen-temen gue bilang, lo tuh buaya. Tapi, kalo pernah dideketin sama lo gak rugi, soalnya track record lo bagus, alias cuma deketin cewek-cewek cantik doang. Jadi kalo cewek dideketin sama lo, tuh, artinya dia cantik,” jelas Helga dengan nada bercanda.

Haha serius ada orang yang merasa cantik karena validasi dari cowok brengsek kayak gua?

Ada, gue. Bahkan dulu, pas lo ngajak ngobrol gue pertama kali, lo mau tau? Gue langsung pede, ngira lo mau deketin gue dan langsung ngerasa paling cantik satu fakultas.” Helga cerita dengan nada bicaranya yang ceria dan menggebu-gebu. “Taunya lo nanyain Una...resek.” Ia kemudian tertawa dan menaruh botol kaleng yang semula di tangannya ke samping.

Cello terkekeh tanpa melepas pandangannya dari wajah Helga yang dibalut gelap. Hanya mendapat sedikit cahaya dari lampu gedung-gedung sekitar dan lampu darurat atap.

Kegelapan itu tak sedikitpun merenggut bagian dari Helga yang ia kagumi. Selama dia Helga, apapun itu, rasa kagumnya tak akan berkurang dengan sebab.

Pria itu tersenyum rapat dan tak berkedip. Helga yang ditatap sedemikian rupa sampai berhenti tertawa dan menoleh canggung.

Kenapa lo ngeliatin gitu?

Bukannya menjawab, Cello malah memicingkan mata dan menggerakkan kepalanya dari kanan ke kiri.

Gerakan Cello yang tiba-tiba itu tentu saja membuat bola mata Helga mengikuti pergerakannya. “Apa, sih?

Gua lagi nyari letak jelek yang selalu lo pikir ada di wajah lo sampe harus nunggu orang lain bilang lo cantik dulu baru lo bisa ngerasa cantik,” jawabnya dengan wajah serius.

Helga melotot bingung dan terus mengikuti gerakan bola matanya yang masih memindai wajahnya.

Padahal kalo gua jadi lo, dalam sekali ngaca juga langsung naksir sama diri gua sendiri,” lanjutnya sambil terkekeh. “Setiap ngeliat lo aja gua selalu bertanya-tanya. Cewek lain kalo ngeliat dia iri gak sih?

Gadis itu langsung tersedak dan tertawa terbahak-bahak selama dua menit. Iya, dua menit tertawa saking lucunya menurut dia. Ia menyenggol lengan cukup kencang Cello karena salah tingkah.

Setiap kali ia merasa buruk dan rendah diri, pujian “Lo cantik, Helga.” Tak akan pernah mempan membuatnya merasa lebih baik. Senang? Tentu. Namun percaya? Belum tentu. Terkadang orang mengatakan itu hanya untuk mengembalikan rasa percaya dirinya, dan sebagai orang yang tak mudah percaya oleh pujian, baginya pujian di saat seperti itu adalah omong kosong.

Namun ucapan Cello barusan...rasanya...asing. Seperti terhipnotis, berkat satu kalimat yang bahkan tak menyebut dirinya cantik secara terang-terangan saja bisa langsung membuat dirinya merasa lebih baik.

Laki-laki itu...memang...selalu pandai berkata-kata.

You're good with words. Gak heran semua cewek bisa jatuh sama lo,” kata Helga sambil tertawa.

Cello membalasnya dengan kekehan kecil sambil melihat kakinya yang berayun acap kali menabrak susunan batu bata yang ia duduki.

Oh, iya, ngomong-ngomong Una...” Cello langsung menoleh saat Helga menyebut namanya. Setiap kali Helga menyebut nama Una, yang Cello takuti hanya bagaimana jika Helga bertanya tentang rahasia Una kepadanya. Ia bukan tipikal orang yang mau menghancurkan kepercayaan orang lain, namun Cello juga malas berbohong. “She married The Blues Pirates' vocalist.

Kaki Cello yang semula berayun sontak berhenti dalam sesaat. Ia tak berkata apapun dan hanya diam mematung, terkejut karena Helga tahu sendiri tentang hal yang ia ikut dibungkam selama ini.

Helga menatap batas terujung kota yang bisa ditatapnya, kemudian tertawa. Suara tawanya kini berbeda dengan yang sebelumnya. Lebih seperti, tertawa miris, mungkin. “Gue ngerasa bodoh jadi temen,” katanya.

Karena dibohongin sama temen sendiri?

Ia menggeleng. “Karena gak bisa dipercaya,” Helga membuang pandangannya menatap langit. “Apa yang pernah gue lakuin ke Una sampe akhirnya dia gak mau percaya sama gue. Itu yang buat gue merasa bodoh sebagai temen.*”

Benar, rasa bersalahnya jauh lebih besar dari rasa kecewa. Bukannya menyalahkan temannya yang menyembunyikan sesuatu besar darinya selama berbulan-bulan, ia malah menyalahkan dirinya sendiri karena tak bisa mendapat kepercayaan teman terdekatnya.

Gue selalu percaya sama mereka karena mereka perlakuin gue baik. They listened to me. They understand me. Kalo aja sejak awal gue kayak gitu ke Una, mungkin dia bakal ngelakuin hal yang sama ke gue.” Helga mengusap kepala hingga wajahnya dengan dua tangan penuh penekanan. “Now i am nominated as the worst friend ever exist.” Sambil memalsukan tawanya.

Laki-laki di sampingnya mendengar tanpa memotong. Mengambil satu kaleng yang belum tersentuh, dan bertanya sebelum membukanya. “Lo mau ini?

Helga menggeleng. “Minum aja.

Cello meneguk minuman kaleng itu selama beberapa detik, kemudian mempersiapkan diri memberikan respons. “Bukan karena lo temen yang buruk, sih, kalo kata gua.

Gadis itu menoleh, menatap lawan bicaranya.

Percaya sama orang itu bukan tentang gimana dia perlakuin lo, tapi emang kebanyakan orang gak mudah percaya karena dia punya satu keyakinan tentang pandangan orang lain kalo ngeliat dia.

Helga kembali membuang muka sambil mendengarkan, namun kali ini tak sama sekali menoleh.

Lo sendiri, emang bisa berhenti merasa buruk walaupun temen-temen lo selalu muji-muji lo? Kan gak segampang itu. Gua yakin Una cuma takut dicap yang enggak-enggak sama orang, jadi dia gak bisa segampang itu ngomong tentang pernikahan dia ke siapapun. Maksud gua, 13 years age gap is quite...far,” lanjutnya sambil mengeluarkan lollipop kecil agar lidahnya tak merasa asam karena tak merokok. “Coba gua tanya sama lo, apa yang pertama kali lo pikirin setelah ngeliat orang dengan age gap sejauh itu punya hubungan? Would that be a good thing or a bad thing?

Not a bad thing, but...not a good thing either.

Buat lo. Coba buat orang lain, buat Kezia, buat Leo. Apa dia bakal punya pikiran yang sama?” Ia bertanya lagi. “Gua bukan ngebela Una, tapi gua gak mau lo selalu nyalahin diri lo sendiri karena hal yang sama sekali bukan salah lo. Gak semua hal yang terlihat salah di dunia ini, itu salah lo. Dan gak semua yang lo lakuin itu salah.

Gadis itu menunduk. Memikirkan kata demi kata yang baru Cello ucapkan dan memprosesnya dengan baik dalam kepala.

Pandangan orang lain ke diri kita, tuh, dampaknya emang bisa sebesar itu.

Helga menoleh dan mengangguk. Tertarik dengan pembahasan yang Cello mulai. “Dampaknya bisa seumur hidup.

Seumur hidup.” Cello tertawa dan ikut mengangguk. “Bisa, seumur hidup.

Lo pernah?

Cello menggaruk kepala dan mengusap hidungnya yang tak gatal. “Kayaknya semua orang pernah. Lo kira gua jadi gua yang sekarang karena bawaan lahir? Emang ada orang brengsek bawaan dari lahir? We all born innocent.

Emang ada alasannya?

Ada.

Apa?” Sebelum Cello menjawab pertanyaannya, Helga berusaha mengira-ngira.

Mungkin dulu percintannya pernah gagal? Atau karena dulu dia pernah jadi korban perempuan yang dia suka?” Itu yang ada di batin Helga saat ini.

Di keluarga gua, gua satu-satunya anak yang...bisa dibilang...friendly? Gue suka berbaur sama siapa aja dan ngobrol sama semua orang tanpa pandang bulu. Gak cewek, gak cowok, dulu semua orang gua jadiin temen gua,” katanya. “Lo, tau, lah...waktu kecil, anak yang ramah kayak gitu bakal dicap apa. 'Genit', 'Playboy', 'Penakluk wanita' cuma karena ngajak anak kecil perempuan lain ngobrol.

Helga menyimak dengan seksama. Kedipan matanya melambat karena terlalu serius.

Waktu kecil, it is obviously a fine thing. Gua fine-fine aja dulu karena gak merugikan gua. Tapi seiring berjalannya waktu, gak cuma keluarga yang ngecap gua kayak gitu, tapi seluruh temen-temen gua juga. Semakin gua dewasa, puber, mulai punya rasa suka secara romantis ke perempuan, baru deh, gua ngerasain ruginya.

Apa ruginya?

Banyak. Salah satunya, setiap gua punya ketertarikan beneran ke perempuan, gua selalu dianggap cuma main-main. Katanya gua playboy. Padahal, dulu gua belom jadi playboy, masih label dari orang-orang aja yang awalnya cuma dijadiin candaan. Terus, setelahnya, gua ngerasa buat apa gua cuma dapet ruginya doang. Sekalian aja gua jadi orang yang selalu mereka sebut.

Jadi, lo...jadi diri lo yang sekarang karena maksain diri?

Ia mengangguk. “Iya. Berusaha membiasakan diri gua jadi seorang gua di mata orang lain, dan itu kebawa sampe sekarang. Gua jadi brengsek. Tetep gak membenarkan, sih, mau gimanapun emang gua brengsek aja.

Lo gak pernah pacarin satupun dari cewek yang lo deketin, kan? Kenapa gak lo coba punya pacar terus lo buktiin kalo lo gak kayak gitu?

Ribet. Gua benci ekspektasi dan cari-cari validasi orang lain, karena gak akan ada habisnya. Lagian, belum ada orang yang bisa bikin gua kayak gitu.” Cello menengguk minumnya hingga tetes terakhir. “At least sampai beberapa bulan yang lalu,” gumamnya hampir tak terdengar karena berucap sambil meremas botol kaleng yang akan dibuang.

Oh, ya? Sebanyak itu perempuan gak ada yang bisa bikin lo kayak gitu?

Gak semua cewek yang gua ajak ngobrol emang pengen gua deketin romantically, Hel. Kadang gua cuma pengen temenan aja, tapi dianya malah kebawa perasaan. Makanya gua kalo ngechat lo hati-hati banget, takut dibilang modus.

Rude.” Helga mengerutkan keningnya sambil bergidik. “But at least you don't cheat. That slightly save you from being a bastard-bastard. Slightly.

Selingkuh itu salah satu kebrengsekan paling tak termaafkan. Karena sekali coba, bisa keterusan dan diulangin lagi. Temen-temen gua yang coba-coba selingkuh sekali, sampe sekarang alasan putusnya pasti selalu karena dia selingkuh.

Helga tertawa karena setuju. “Temen lo banyak yang kayak gitu?

Banyak. Banget. Maknaya cowok kayak Hilmy, tuh, langka. Jadi gua biarin dia pacaran sama saudara gua. Karena lingkungan sekitar gu—

Bentar, siapa? Saudara lo? Milan saudara lo?” Helga memotong ucapannya demi memastikan kalimat yang cukup mengejutkannya.

Cello lantas mengunci mulutnya karena menyadari apa yang barusan dia ucapkan. Tak semua orang boleh tahu tentang dia dan Milan karena satu dan lain hal. Namun karena kebodohannya sendiri, malah tak sengaja terucap.

Milan saudara lo makanya kalian sering bareng? Gue kira lo deketin dia juga.” Helga masih mencecarnya karena pertanyaannya belum terjawab.

I...ya but let's just stop there. Nanti gua jelasin, tapi, intinya itu.” Cello berusaha mengalihkan pembicaraan agar fokus dengan pembahasan utama.

Helga—masih dengan ekspresi terkejut dan bingung—akhirnya mengangguk pasrah. “Oke...

Lanjut gak nih?

Lanjut, lanjut..” Gadis itu mengangkat tangannya mempersilakan.

Cello tersenyum simpul menahan tawa melihat ekspresi Helga yang bingung tapi pasrah. Ia kemudian lanjut bercerita tentang teman-temannya. “Gak semua, sih, tapi kebanyakan sirkel pertemanan cowok itu mengerikan. Hal kayak gitu bisa dianggap lumrah,” katanya.

Oh, ya?” Wajah Helga yang semula bingung langsung berubah jadi penasaran—ditambah bumbu emosi yang hampir naik pitam.

Iya. Gua dulu sempet tergoda pengen ikutan kayak gitu juga.

Selingkuh?

Cello mengangguk. “Pas...SMA, mungkin? Gua terakhir punya pacar pas SMA.

Wow...” Helga terkesima tak percaya karena baru tahu Cello pernah menjalin komitmen yang selama ini ia hindari. “Terus apa yang bikin lo akhirnya gak jadi?

Mendengar pertanyaan itu, Cello malah menatap kedua netra Helga yang juga menatapnya dan tersenyum. Ia kemudian tertawa sedikit sambil menunduk.

Suara latar yang semula terputar lagu-lagu lambat dengan beat menenangkan, kini berganti dengan lagu 9294 – Someday yang hanya diiringi petikan gitar di awalnya.

Kok ketawa?

Ada ceritanya kenapa gua akhirnya gak jadi coba-coba.

Helga mengangkat kedua alisnya sebagai isyarat bertanya.

Waktu itu, gua pernah baca cerita. Cerita...ya, cerita romansa biasa, awalnya. Dua anak muda jatuh cinta dan dipandang punya hubungan harmonis sama orang-orang di sekitarnya. Tapi ternyata, diem-diem yang satunya ketahuan selingkuh sama sahabat pasangannya.

Oh, ya? Terus?

Biasa aja, kan? Tapi itu baru awal-awal. Ceritanya dimulai pas mereka udah sama-sama udah dewasa umur kepala 5, mereka ketemu lagi sebagai besan. Dalam keadaan...dua-duanya udah single parent.

Helga mengerutkan keningnya. Entah bingung, entah terlalu serius, entah terkejut. Tidak bisa dibaca.

Dan sepanjang cerita, perasaan si pemeran utama yang selingkuh ini sampe banget ke gua. Penyesalannya, gak enak-nya. Sampe bikin gua sadar kalo dalam perselingkuhan, yang paling dirugikan emang yang diselingkuhin, tapi yang paling tersiksa malah yang selingkuh. Pokoknya cerita itu seakan ngasih tau gua, 'Nih, dampak dari kalo lo selingkuh. Mau lo?' Gitu.” Cello tertawa-tawa seakan cerita itu lucu, sedang Helga masih menatapnya tak berkata-kata. “Cerita itu berkesan banget karena bisa ngubah persepsi gua tentang cinta, gua kagum banget sama cerita itu.

Oh...jadi gitu...” Helga mengangguk paham. Namun kepalanya masih berpikir, memikirkan sesuatu hal.

Funny part is...” Cello belum menyelesaikan ceritanya. “Gua gak bisa hubungin siapa-siapa untuk nyalurin kekaguman gua sama cerita itu selama bertahun-tahun. But long story short, gua dateng ke satu seminar, di kampus. Pas gua lagi duduk, gua denger ada orang manggil satu nama yang gak asing di telinga gua.

Masih dengan wajah serius, Helga meraih satu kaleng soda terakhir yang berdiri sendiri di tengah tumpukan camilan ringan yang lain.

Orang itu nyamperin sambil ngasih buku yang juga gak asing. Terus orang itu ngomong, 'Hael G.A. Buku karangan lo, nih, jangan ditaro sembarangan.' Dan pas gua nengok, gua ngeliat buku di tangan orang itu adalah buku yang pernah ngubah persepsi gua sampe sekarang. Buku yang paling berkesan buat gua.

Helga yang hendak membuka tutup kaleng langsung terdiam. Mendadak menyadari sesuatu.

Ternyata penulisnya satu kampus sama gua.” Cello tersenyum dan menatap Helga yang perlahan mengangkat kepalanya. Senyuman penuh arti. Seakan mensinyalir suatu makna.

Mata Helga membulat terkejut kala menyadari orang yang Cello maksud adalah dirinya.

Buku pertama yang ditulisnya saat remaja, yang diceritakan tentang kedua orang tuanya, berhasil menghentikan satu pria dari perselingkuhan.

Dan tak pernah dia sangka pria itu adalah...Cello.

Selagi Helga masih tak bisa berkata-kata, dengan wajah berseri, Cello melanjutkan ceritanya. “Karena gua kaget penulisnya ternyata jauh lebih ceria dari cerita-cerita yang pernah dia tulis, gua pengen kenalan, tuh. Gua tanya ke Hilmy karena dia kenal sama siapa aja, kan. Eh, pas gua tanya, dia malah ngira cewek yang gua tanya namanya Una karena penulis itu pindah ke kursi lain.

Jadi selama ini lo emang bukan nanyain Una, tapi nanyain gue?

Cello mengangguk sambil tertawa. “Pas Hilmy bilang dia mau kasih nomor temennya Una yang namanya Helga, gua ngerasa janggal. Lah, namanya mirip sama si penulis yang gua maksud. Pas gua liat mukanya, ternyata bener. Orang yang gua maksud, malah yang ada di depan gua sekarang,” ucapnya mengarah ke Helga.

Tapi lo waktu ngechat gue pertama kali bilang lo minta bantuan mau ngedeketin Una, ya.” Helga masih tak bisa mencerna maksud Cello dengan akal (tak) sehatnya.

Kalo gua gak gitu, nanti lo kira gua mau ngedeketin lo secara romantis kayak cewek-cewek lain, terus pas lo baper terus nyalahin gua karena gak ngasih kepastian, gua dianggap PHP. Padahal awalnya gua cuma mau kenal sama lo.

Helga menggeleng keheranan. “Gila, ya

Tapi pas udah kenal, ketakutan awalnya malah terealisasi di gua.” Cello tertawa.

Maksudnya?

Cello mengedikkan kedua bahunya cepat. “Ternyata orang yang ceritanya gua kagumin juga pribadi yang pantes dikagumin. Cara dia nge-treat orang lain, cara dia selalu nyebar vibes positif, pola pikirnya, cara dia bikin semua orang yang ada di deketnya nyaman,” jawabnya santai. “Terus semua hal luar biasa di dalam dirinya malah bikin orang yang cuma mau temenan, jadi naruh perasaan lain.

Dengan suara latar lagu Men I Trust – Sugar, Helga membeku mendengar kalimat terakhir yang abu-abu yang laki-laki itu lontarkan. Berusaha meyakinkan dirinya kalau itu tidak benar. Maksudnya, tidak mungkin kalimat itu sesuai dengan penafsiran dalam otaknya. Tidak mungkin 'perasaan' yang dimaksud adalah...perasaan 'itu'.

Haha perasaan lain.” Helga tertawa meremehkan. “Perasaan apa?” Dengan nada mengejek.

Yang ditanya hanya menggeleng sambil tertawa dan mengangkat salah satunya bahunya.

Haha I don't even love myself how can people love me.” Helga awalnya berniat menggumamkan kata-kata itu untuk meyakinkan dirinya dari berpikir perasaan yang Cello maksud adalah perasaan suka secara romantis kepadanya, namu ternyata suaranya terdengar sampai membuat Cello menoleh.

You don't?” tanya Cello memastikan.

Helga terkejut dan terkekeh malu karena tak sengaja terdengar.

I can do that for you if you don't love yourself.

Helga memutar bola matanya dan memukul lengan Cello dengan botol kosong yang tersisa. Keduanya sama-sama tertawa. Bedanya, yang perempuan tertawa karena menganggap laki-laki itu bercanda. Sedang yang laki-laki tertawa karena lega setelah memberanikan diri mengungkapkannya walau tersirat.

Biasanya, kalau Cello bercanda, ia tak akan merasa lega setelah berucap hal-hal seperti itu. Kalau serius, jadi lega. Sebab sulit rasanya untuk memberanikan diri setelah mengetahui kalau ucapannya pasti tidak akan dianggap serius oleh siapapun.

Helga kemudian berdiri dan membereskan seluruh sampah bekas makanan dan minuman yang menemani mereka sepanjang mengobrol. Mencoba mencari tempat sampah terdekat untuk membuangnya.

Kini, lagu Japanese Denim – Daniel Caesar mulai terputar. Membuat suasana yang semula hangat namun serius berubah menjadi 'sesuatu' lain yang menyenangkan.

Setelah membuang sampah-sampah di tong terdekat, Helga kembali dengna tangan kosong. Menghampiri Cello yang membuka jaket bomber tebalnya dan menggelarnya menjadi alas.

Mau ngapain?” tanya Helga.

Laki-laki itu merebahkan dirinya dan mengerang. “Sini. Liat bintang,” ucapnya sembari bergeser dan mempersilakan Helga ikut merebah di sisinya yang tersisa kurang dari dua puluh senti.

Sebelum Helga mengikuti ucapannya, ia menatap langit yang sedang ditatap Cello. “Gak ada bintang, lo mau liat apa?

Cello tertawa dan malah melihat ke arahnya. “Oh ternyata udah turun ke bumi.

SINTING!” Ia melempar camilan ringan di tangannya ke perut Cello yang sedang berbaring sambil tertawa-tawa pasca menggodanya secara sengaja.

Sini, buruan.

Dengan wajah setengah cemberut setengah menahan tawa, Helga akhirnya berbaring juga.

Berbaring di sini, rasanya seperti surga dunia bagi keduanya. Menatap langit kosong yang hanya diisi sinar satelit dan bulan bungkuk. Rasanya, kalau boleh, mereka lebih ingin tinggal di sini. Di atap kosong tak berpenghuni bersama satu sama lain.

Mereka tak bicara satu patah kata dan hanya menikmati momen yang seribu tahun sekali bisa dirasakan.

Aduh.” Helga mengaduh kala kepalanya yang sedang bergeser melewati kerikil kecil di bawah jaket.

Dengan sigap, Cello membentangkan satu lengannya agar menjadi bantalan Helga tanpa diminta. Melihat itu, Helga tertawa karena tak mau menolak.

Thank you,” ucap Helga sambil menaruh kepalanya di atas lengan besar yang tidak begitu empuk, tapi lumayan melindungi kepalanya dari rasa tidak nyaman. “Also, thank you for treating me like a woman.

Helga sudah berterima kasih dengan kalimat yang sama untuk kedua kalinya.

I was my dad's little princess, but since my mom cheated on him, he changed. Gue kehilangan kasih sayang laki-laki sejak saat itu.

Cello mengangkat kepalanya terkejut. “It was your mom?

Helga terkekeh. “Aneh, ya? I know. Makanya gue gak bilang itu ke temen-temen gue. Apalagi ada temen gue yang orang tuanya divorced karena bokapnya selingkuh. Denger cerita gue, pasti dia bakal benci sama gue.

Timing yang tepat. Lagu yang tadi, sudah berubah jadi TEEKS – First Time yang sangat...tepat untuk suasana ini.

Cello tak menjawab apapun, membiarkan Helga bercerita sepuasnya agar tak merasa dihakimi.

Gue tau tentang itu karena gak sengaja denger, padahal orang tua gue udah berusaha nutupin itu dan pura-pura harmonis di depan gue dan adik gue. Pas gue tau tentang itu, bokap gue bilang, “Jangan benci sama Mama kamu. Dia emang bukan istri yang baik, tapi dia mama yang baik buat kamu sama Belva.” Air mata Helga berlinang menatap langit. Tangan Cello yang berada tepat di belakang kepalanya bergeser sedikit agar bisa mengusap kepalanya menenangkan. “Bokap gue, laki-laki paling keren yang pernah gue temuin. Dia masih bertahan sama nyokap gue demi gue dan Belva karena dia tau kalo dia gak ada, gak akan ada yang nafkahin. Dan karena bokap gue, gue percaya laki-laki baik itu ada. Entah ada di mana, tapi gue yakin ada.*”

Cello menyandarkan sisi wajahnya di pucuk kepala Helga sambil masih mengusap lembut kepalanya.

Gue kelihatan bodoh karena selalu berhubungan sama laki-laki brengsek. Karena di kepala gue, gue berusaha cari sosok kayak bokap gue. Dan setiap gue disakitin, gue anggap itu karma dari nyokap gue. Biarin gue yang ngerasain, nyokap gue jangan,” Helga tertawa dan mengusap air mata dengan kedua tangannya. Ia akan selalu tertawa setelah tak sengaja menangis di depan orang lain agar tidak canggung.

Lo keren banget.

Helga hanya tertawa dan kembali diam. “Gue takut kehilangan orang yang gue sayang, tapi di sisi lain gue merasa pantes ditinggal.

Lo gak pantes ditinggal, Helga,” jawab Cello. “Kalo lo ngerasa gitu, just keep my promise that i will never leave you first.

You?” Helga menoleh ke atasnya, menatap wajah Cello dari dekat sambil terkekeh meremehkan. “You always leave everyone first, and i don't think i am the exception.

You are. The exception. I will not leave YOU first. You, only. You can kill me if i break that promise.” Cello tersenyum dengan wajah serius. Terlihat dari tatapannya seberapa ia serius dengan kalimat yang dia ucapkan, membuat Helga terkejut dan membuang muka. Tangan Cello masih belum berhenti mengusap lembut rambut halusnya.

I'll kill you if you do,” canda Helga menutupi salah tingkahnya.

Cello mengangguk dan tertawa.

Keduanya kini menatap langit diiringi lagu Nothing's Gonna Change My Love For You – George Benson yang membuat bunga-bunga di sekitaran mereka merekah indah. Dua insan yang merasa bahagia setelah lega menceritakan sisi lain mereka, menaruh rasa satu sama lain namun sama-sama berusaha menepis karena alasan pribadi.

Keduanya... Benar-benar... Sudah jatuh.

Hari Sabtu, pukul 18.00. Terhitung sudah sejak Masehi Kuno Helga tak henti-hentinya bertanya model rambut seperti apa yang sekiranya cocok untuk dirinya malam ini.

Kalo rambut gue dikuncir?” tanyanya sambil memegangi rambutnya yang belum dikuncir.

Udah bagus yang tadi aja. Digerai.” Cello sudah tak berdaya, lelah menjawab pertanyaan dengan jawaban yang sama terus menerus. Agaknya sedikit lagi rahangnya berubah menjadi fosil.

Masa sih? Bukan bagusan dikuncir?

Astaga, Helga, gua udah jawab jujur dari tadi ngalah-ngalahin saksi mata kasus pencurian. Lo jadinya mau kayak gimana?

Helga menggaruk kepalanya yang tak gatal karena bingung dengan pilihannya sendiri. “Menurut lo, berarti, bagus digerai, ya?

Cello mengangguk. “He'em...Perlu gak gue buatin spanduk sepanjang jalan bilang bagusan digerai?

Helga terkekeh dan kembali bersandar di jok mobil. “*Yaudah, digerai aja deh.”

Cello akhirnya menghela napas lega karena rahangnya tidak akan berubah jadi fossil malam ini setelah Helga berhasil menentukan pilihannya. Sebenarnya, sejak datang rambut Helga memang digerai.

Jadi intinya, Helga kembali ke tataan rambutnya yang semula.

Setelah sampai di tempat parkir basement salah satu gedung pencakar langit, Cello turun dan menghampiri Helga di pintu samping yang masih belum mau turun karena terus-terusan berkaca.

Lelaki itu akhirnya membukakan pintunya tanpa diminta dan menyuruh Helga agar segera turun. “Udah cantik, Helga. Ayo.

Wajah Helga masih terlihat ragu. Seperti masih menganggap ada bagian dari dirinya yang jelek dan bercela.

Apanya yang jelek coba liat?” Cello memiringkan kepalanya agar bisa menatap wajah Helga yang berpaling ke arah berlawanan.

Helga menoleh ke Cello yang berdiri membungkuk di sampingnya, membiarkan Cello menilai dan memperhatikan 'sesuatu' yang mungkin kurang dalam dirinya.

Cello memicingkan matanya meneliti. Lebih fokus daripada saat dia mengerjakan soal ujian.

Rinci demi rinci disapu netranya, berusaha mencari cela yang bisa diperbaiki. Namun, “Gak ada, kok. All good.

Dalam kata lain, sempurna. Sudah sempurna. Tidak ada satupun kekurangan. Pujian yang bisa keluar dari mulut Cello hanya sekadar itu agar tak dibilang modus dan dusta mulut buaya. Kalau terlalu terang-terangan memuji, pasti dibilang bohong. Cello sudah hapal dengan pikiran orang-orang di sekitarnya.

Ayo, turun.” Cello mengulurkan tangannya agar Helga segera turun.

Setelah menghela napas meyakinkan dirinya, Helga meraih uluran tangan Cello (untuk pertama kalinya) dan keluar dari mobilnya. “Kalo ternyata menurut dia gue gak sesuai ekspektasi gimana? Kayaknya gue cantikan di foto, deh.

Tangan kiri Cello menutup pintu dan menekan remot mengunci dengan tangan yang sama. Sedang tangan kanannya, masih bertaut dengan TEMAN perempuan di sebelahnya.

Setelah mereka sedikit menjauh dari tempat mobil terparkir, Cello kembali menoleh. Hendak merespons ucapan Helga yang sebelumnya belum direspons.

Tangannya masih bertaut. Dua-duanya tidak sadar sampai salah satunya melepas duluan—Helga.

Kenapa tadi? Takut menurut dia lo gak sesuai ekspektasi?” tanyanya mengulang pertanyaan Helga.

Helga mengangguk.

Ya, siapa suruh dia berekspektasi,” jawab Cello santai dan kembali berjalan mendului Helga. “Tapi kalo kalimat cantikkan di foto, gua gak setuju,” lanjutnya. “Lo lebih cantik kalo diliat langsung.

Emang iya?

Cello menunjuk pantulan kaca di pintu lift dengan kepalanya. Terlihat keduanya berdiri dengan jarak selangkah menatap pantulan yang sama. Pantulan wajah Helga.

Cello tersenyum miring dan menaikkan sebelah alisnya sebagai tanda meyakinkan. “Lo masih meragukan selera gua?

Helga lantas menoleh cepat dengan wajah nyolot—untuk menutupi salah tingkahnya setiap kali Cello mengatakan hal yang menurutnya 'abu-abu'.

Maksudnya, selera gua dalam menilai lo cantik atau enggak,” jawabnya. “Gua gak pernah bohong, sih, kalo muji orang.

Oh...” Ia kemudian membuang pandangan dan kembali menatap wajahnya lewat pantulan di pintu lift yang belum terbuka. “Kalo dia tiba-tiba ilfeel terus bilang ke temen-temennya kalo gue catfishing gimana?

Cello meliriknya secara langsung (bukan dari pantulan kaca) berkata, “Temen-temennya Caraka temen-temen gua juga. Lo tenang aja selama ada gua.

Entah memang Helga yang terlalu lemah atau ini reaksi yang wajar, mendengar kalimat terakhir yang Cello katakan jantungnya berdegup tak karuan.

Sebut satu hari Helga bersama Cello dengan degupan jantung Helga yang berkecepatan normal.

Tidak ada.

Pria itu selalu berhasil membuat organ dalam tubuhnya menggelar Konser Tomorrowland. Tidak secara harfiah.

Ting.

Pintu Lift kemudian terbuka dan mereka berdua naik bersamaan. Hanya berdua. Tanpa orang lain.

Helga kembali diuji agar tak salah tingkah saat melihat Cello yang semakin menarik saat bersandar dalam lift dengan ripped jeans dan kaus stone washed bergambar mobil balap berangka 88. Rambutnya ditata rapi sampai keningnya terpampang sempurna tanpa corak. Harum parfum Vanilla yang Helga pakai juga benar-benar lenyap tak tercium, kalah dengan wangi Cinnamon maskulin pria di sampingnya. Belum lagi postur tubuhnya yang—astaga...tidak perlu dijelaskan lebih lanjut, yang ditatap menoleh, sadar lagi diperhatikan.

Sudahlah. Helga memejamkan matanya dan kembali mengulangi kalimat INGET INI CELLO dalam kepalanya agar tak terlena.


Widih...Ini dia yang ditunggu-tunggu. Bos besar.” Salah satu dari kumpulan pria yang dikelilingi asap rokok itu menyambut kedatangan Cello dari jauh. Tentunya diikuti oleh Helga yang berjarak tak begitu jauh di belakangnya.

Cello menyahut dan mengangkat tangannya. Ia lalu menoleh sebentar ke Helga dan mendekatkan dirinya untuk bertanya. “Lo gak ngerokok, kan, Hel?

Helga menggeleng. “Enggak.

Oke.” Cello lantas menghampiri mereka dan mengajak satu persatu fist bump sambil menggerakkan jarinya di depan mulut sebagai isyarat agar mereka mematikan rokoknya.

Bre, rokok lo. Helga gak ngerokok.” Ia sekilas menunjuk salah satu dari temannya yang belum mematikan gulungan tembakau di tangannya setelah diminta.

Oh, ini yang namanya Helga...” Gibran—salah satu dari mereka—berdiri menyambut Helga yang baru saja sampai. “Sini, Hel, duduk di sini.” Ia mendorong salah satu kursi kosong di samping Caraka sebab tahu maksud kedatangan Helga malam ini.

Situ aja.” Cello menunjuk dua sofa kosong di samping Hilmy yang tentu salah satunya akan dia tempati, tak mau kalah. “Samping Hilmy aja.

Hilmy terkekeh sambil mengangguk (dengan wajah mengejek). Ia bergeser sedikit dan mempersilakan Helga duduk di sebelahnya.

Caraka sang pemeran utama malam ini belum berkata apa-apa sejak kedatangan Helga. Ia hanya menatap Helga tanpa berkata-kata. Tak sadar di sebelah kirinya juga ada laki-laki yang tengah berdiri ikut menatapnya.

Helga ke sini sama Cello?” tanya yang berbaju putih bernama Alam.

Helga mengangguk dan tertawa supel. “Iya, rumah kita searah soalnya.

Oh, yaudah. Mau pindah ke table sebelah sama Raka?

Hmm..” Helga menoleh ke meja yang ditunjuk Alam sebelum mengiyakan. “Bo—

Belum sempat Helga menjawab, Cello langsung memotong pembicaraan mereka. “Lo mau pesen apa, Hel?” katanya berpura-pura tidak tahu. “Yang lain udah pada pesen, kan?

Udah, tinggal lo berdua.” Hilmy menjawab mewakili.

“*Yaudah, pesen dulu aja kalo gitu. Mas, menu!” Ia mengangkat tangannya meminta menu ke pelayan untuk memesan makanan. “Lo mau pesen apa?*” Sambil duduk di samping Helga, agak sedikit dekat, menyodorkan buku menu yang baru datang.

Helga membaca buku menu dengan seksama, mencari makanan yang cocok untuk dimakan malam-malam agar tak terlalu kenyang. “Gue...Nachos, deh.

Gak mau makanan berat? Minumnya?

Gak usah, nanti aja. Kalo minumnya...samain sama lo aja.

Cello suka alkohol, jangan diikutin,” sahut Gibran yang tak sengaja mendengar obrolan mereka sambil tertawa.

Yeee nggak lah, buat hari ini.” Cello tertawa dengan wajah sengak ke arah Gibran, yang setelahnya kembali berbincang dengan Helga. “Lo sukanya apa? Milkshake?

Boleh...

Yaudah gua juga.

Hilmy yang mendengar Cello untuk pertama kalinya memesan segelas MILKSHAKE di Sky lantas tertawa lepas tanpa bicara. Tak perlu membuka mulutnya untuk melancarkan ejekan, bermain dengan matanya saja sudah cukup membuat Cello salah tingkah karena diejek.

Malam ini, Rifan tidak ikut. Opa Omanya sedang berkunjung dan mereka harus makan malam bersama. Kalau ada Rifan, entah ejekan apa yang akan dikeluarkannya.

Setelah memesan, Helga sempat hanya diam mendengar 6 laki-laki di sekitarnya mengobrol dan bercanda.

Tak lama, Caraka berdiri. “Hel, pindah ke situ, yuk,” katanya sambil menunjuk meja dengan dua kursi kosong menghadap kota di samping mereka.

Ngapain?” tanya Cello.

Ya, masa mau ngobrol berdua di sini. Lo aja pada berisik.

Yaudah, Hil, tukeran aja sama Raka,” ucap Cello.

Helga yang sudah bersiap bangun dan ke meja yang Caraka tunjuk langsung kembali duduk.

Lah, gua?” Hilmy menunjuk dirinya tak terima.

Cello menatap Hilmy penuh arti dan bertelepati dengannya melalui mata.

Hilmy akhirnya mengalah dan bangun, bertukar tempat duduk dengan Caraka yang duduk di seberangnya dalam posisi melingkar.

Dengan berat hati, Caraka bertukar tempat dan melangkah menuju tempat duduk yang semula Hilmy tempati agar duduk di samping Helga.

Sekarang posisinya, Helga duduk tepat di antara Cello dan Caraka.

Dah, silakan ngobrol. Gua gak bakal nguping.” Cello tersenyum dan menggeser duduknya agar sedikit menjauh untuk memberi mereka ruang privasi, setidaknya, walau sedikit.

Setelahnya, Helga dan Caraka mengobrol santai dan tenggelam dalam konversasi di tengah ramai orang yang berisik. Sampai tak sadar kalau sesekali Cello menoleh ikut memperhatikan.

Tak terasa sudah 3 jam Helga bergabung dengan gerombolan laki-laki yang hanya 3 dari 6 di antara mereka yang dikenalnya.

Sebagai seorang introver, melelahkan rasanya harus berinteraksi selama ini dengan lingkungan yang cukup asing.

Lelahnya berubah menjadi kantuk dan energi untuk bicaranya sudah terkuras habis. Ia bahkan sudah tak mengobrol lagi dengan Caraka dan hanya menjadi pendengar perbincangan laki-laki di sekitarnya.

Melirik sekilas dan menyadari Helga sudah tak betah dan mengantuk, Cello lalu mendekat dan berbisik, “Ngantuk? Mau pulang?” tanyanya sambil menunduk.

Helga mengangguk pelan.

Caraka yang duduk di sampingnya juga mendengar dan melirik. Sudah sejak tadi ia merasa ada 'sesuatu' di antara mereka, itu sebabnya Caraka tak berani bicara macam-macam.

Setelah mendapat jawaban, Cello ikut mengangguk. “Oke. Bills?” Ia memanggil pelayan untuk membawakan tagihan total.

Waduh dibayarin lagi,” seru Gibran melihat Cello menyerahkan kartunya untuk membayar total tagihan.

Yoi. Gua mau cabut duluan,” jawab Cello sambil berdiri dan menaruh dompetnya di kantung bagian belakang.

Buru-buru amat?

Banyak urusan gua.” Ia tertawa dan mengambil barang-barangnya yang berserak di meja makan. “Yuk, Hel.

Helga ikut berdiri. “Sorry, ya, gue pulang duluan,” pamitnya kepada yang lain. Khususnya, Caraka.

Caraka mengangguk canggung tak menjawab. Ia seperti sudah mengibarkan bendera putih setelah melihat kedekatan Helga dengan Cello yang sepertinya sudah lebih dari teman biasa.

Loh, gak sama Caraka aja? Kalian kan—

Gapapa, sama Cello aja.” Helga menjawab sebelum Gibran menyelesaikan kalimatnya.

Ia sudah mengantuk dan kemungkinan untuk tidur dalam perjalannya besar. Harus orang yang dipercaya yang mengantar agar merasa aman.

Mengetahui dirinya dipercaya, Cello tersenyum miring dan membuang pandangan dengan bangga. Berusaha mengubur keinginannya untuk tertawa kesenangan.

Hilmy yang dari jauh diam-diam memperhatikan gerak-gerik Cello yang semakin aneh hanya ikut tertawa sambil memainkan lidah dalam mulutnya. Menyiapkan jutaan bahan meledek di dalam otak untuk dilempar ke Cello nanti.

Duluan, ya, semua...” Helga menunduk pamit dan mengikuti langkah Cello dari belakang menuju lift.

Mereka semua mengangguk mempersilakan. “Yoo hati-hati.

Keduanya lantas pergi meninggalkan yang lain.

Setelah Helga dan Cello benar-benar sudah tak terlihat, Alam langsung berkata pada Caraka. “Dia, kan, gebetan lo, Ka. Kenapa jadi kayak gebetan Cello?” Sambil tertawa keheranan.

Haha bukan gebetan gue, baru kenalan aja.

Oh...” Alam mengangguk sambil mengambil sebatang rokok yang menganggur di atas meja. “3 jam gak ngerokok gara-gara Si Helga, asem mulut gue.

Keempatnya tertawa. “Pernah lo liat Cello begitu sama cewek yang dia ajak? Sampe nyuruh matiin rokok 3 jam.” Gibran menyenggol lengan Alam sambil ikut mengambil sebatang rokok dan pemantiknya.

Alam menggeleng sambil terkekeh. “Kagak. Baru liat juga gua.

Bener, kan, apa kata gue. Gak bisa lanjut, sih, ini.” Caraka tertawa dan bersandar pada sandaran sofa. “Yang ada di pikiran gue ada di pikiran lo juga, kan, My?” katanya ke arah Hilmy.

Hilmy yang sedari tadi hanya tertawa-tawa, mengangguk. “Dia emang begitu kalo sama Helga. Au, dah, kenapa.

Pukul 13.59. Tepat dalam satu menit, kelas Helga akan segera berakhir.

Cello mempercepat langkahnya dari kantin menuju ruang kelas terakhir Helga hari ini di lantai 2.

Iya, Dar. Kayak biasa via web. Jam 3 sampe jam 5 aja.” Cello keluar dari lift dengan masih sibuk menelepon seseorang dalam ponselnya.

Sesaat ia melihat Leo keluar dari kelas, buru-buru ia mengakhiri percakapan di ponselnya sebab tahu Helga tak lama akan muncul jika salah satu temannya sudah terlihat. “Yaudah, thank you, thank you. Kabarin aja, ya. Gua ke sana nanti.” Ia menutup teleponnya dan berjalan cepat menghampiri.

Leo dan Una yang menyadari kehadiran Cello melirik sedikit ke Helga yang masih tertinggal berjalan lambat di dalam kelasnya. Una hanya menaikkan kedua alisnya tanpa berkata apapun, lalu ia dan Leo berpamitan pergi lebih dulu untuk lanjut ke kelas selanjutnya.

Benar saja. Tak lama sejak Leo dan Una melangkah pergi, Helga dan Kezia keluar dari kelas sambil mengobrol santai.

Sstt.

Helga yang semula menunduk menatap sepatunya, mendadak mendongak setelah Cello menegurnya dengan suitan singkat. Ekspresi wajahnya yang semula datar langsung berubah total ketika melihat Cello berdiri di depan kelasnya dengan tas bahu yang tersangkut hanya di sisi kanannya.

Cello gak pernah gak keren, menurutnya.

Jadi, terkadang, dia masih sering salah tingkah kalau melihat pria itu berdiri di hadapannya.

Helga tersenyum. Walau tak seceria biasanya.

Lo ada kelas lagi?” tanya Helga berbasa-basi dengan senyum bak matahari-nya yang tak berhenti melekat dalam keadaan apapun.

Kalian mau ngobrol, ya? Gue ke lobby duluan deh Hel kalo gitu. Kak Rama udah nungguin soalnya.” Kezia menimpal sebelum Cello sempat menjawab.

Tinggal aja. Helga-nya sama gua,” jawab Cello. Jelas tanpa persetujuan Helga terlebih dahulu.

Kezia menatap keduanya bingung.

Di antara teman-temannya yang lain, terlihat seperti hanya Kezia yang tak paham ada 'sesuatu' yang terjadi antara dua orang di depannya. Si Lugu yang tahu temannya—Helga—memang mudah berbaur ke seluruh makhluk Tuhan, dan laki-laki di sebelahnya—Cello—yang memang mengobrol dengan banyak wanita, tak mengira ada apa-apa (secara romantis) di antara dua orang yang melakukan hal yang sudah biasa mereka lakukan.

Oh, gitu? Gue tinggal, nih, Hel?” Ia bertanya memastikan.

Helga menatapnya balik tak kalah bingung. Ia memang belum menyetujui Cello, tapi ia tak ada niat menolak. Karena sejujurnya, di saat seperti ini memang dia membutuhkan teman.

Netranya beralih ke Cello dan kembali melihat Kezia.

Iya...” Helga mengangguk ragu.

Iya apa?

Iya, gue sama Cello.

Oh, oke...” Kezia melambatkan kedipan dan menatap keduanya bergantian. “Gue...ke lobby, ya.” Ia mengarahkan jempolnya ke belakang, sebagai tanda akan meninggalkan mereka.

Helga mengangguk. Cello mengangkat satu alis sambil membenarkan posisi tas bahunya.

Setelah Kezia sudah sepenuhnya hilang dari jarak pandang mereka, Cello menoleh ke Helga dan menunjuk arah lift sambil menawarkan permen karet yang salah satunya dia kunyah.

Keduanya berjalan menuju parkiran dengan kunyahan permen karet yang sama. Cello berjalan satu langkah kecil di belakang Helga dengan jarak tipis. Jaraknya bahkan tak berubah sampai mereka sampai tepat di depan mobil sport kecil milik Cello yang menyala merah terang di tengah warna basic lain.


Gue beneran diculik ya?” Helga celingak-celinguk di saat sadar Cello membawanya ke daerah Jakarta Pusat dengan ikon Jakarta yang terlihat di sudut terpencilnya. Cukup jauh dari rumahnya.

Cello tertawa. “Iya. Kira-kira tebusan lo berapa cocoknya?

Sejuta juga gak bakal ditebus, sih, kata gue,” jawabnya bercanda tanpa tawa. “Satu juta rupiah buat ngembaliin orang beban kayak gue kayaknya gak bakal ada yang minat.” Kali ini dia tertawa. Berbohong.

Gua minat.

Minat apa?

Minat nebus, lah. Minat apa menurut lo? Minat belajar?

Asik, mau diadopsi Tuan Muda.” Helga bertepuk tangan dan mengangkat kedua tangannya senang. “Bisa minta mobil baru sepuluh,” candanya.

Boleh...” Cello menanggapi—juga dengan tawa. “Kan gua bilang, gua gak pernah bilang 'enggak' ke lo. Lo minta apa juga gua kasih.

Helga memutar bola matanya. Sudah lelah dan terbiasa dengan ucapan manis khas Marcello yang menurutnya hanya omong kosong. “Kalo gue minta dunia dan seisinya, lo mau kasih emang?” guraunya menantang.

Dunia dan seisinya kan, bukan punya gua. Punya Tuhan,” jawabnya. “Tapi kalo lo minta salah satu dari isi dunia, mungkin bisa gua kasih.

Contohnya?” Helga tertawa meremehkan.

Gua?” ejeknya.

Helga yang semula tertawa langsung memudarkan tawanya dan menatap Cello sinis (tidak benar-benar sinis). Ia menyilangkan kedua tangannya dan menyandar menghadap jendela.

Ah, males,” ucapnya.

Kenapa?

Jangan gitu.” Sebab jantungnya berdebar tak karuan.

Pokoknya jangan gitu. Jangan buat dirinya yang lemah, jatuh. Pokoknya jangan. Apalagi sama Cello. Mimpi buruk.

Hahaha iya, iya, enggaaaaa.” Cello tertawa sambil mengarahkan setirnya menuju tempat yang tak asing bagi seluruh warga Jakarta.

Gelora Bung Karno.

Kita ngapain ke sini?” tanya Helga.

Main basket.

Helga membelalakkan matanya heran. “MAIN BASKET? LO GAK LIAT BAJU GUE KAYAK HOMELESS KEDINGINAN GINI?” protesnya. “Bisa banjir keringat gue, gak bawa baju lain.

Pake baju gua. Gua bawa dua.

Emang muat?

Lah, lo kan suka pake baju oversized. Cocok, lah, badan gua dua kali besar badan lo.

Emang iya? Mau liat, dong!” Helga antusias. Selalu antusias jika bicara tentang baju-baju kebesaran yang rasa nyamannya sudah terasa bahkan sebelum dipakai.

Di bagasi. Nanti gua ambilin.

Tak lama, mobilnya sampai di tempat parkir yang tak begitu ramai orang.

Menghadap lapangan terbuka dengan jaring-jaring sebagai penyekat, tanpa satupun orang di dalam lapangan besar itu walau terdapat dua petakan lapangan (tentu dengan dua ring basket) yang menganggur.

Cello turun dari mobil terlebih dahulu, membuka bagasi, dan kembali dengan tas olahraga besar dan satu bola basket.

Yuk.” Ia berjalan mendahului Helga yang mengekor di belakangnya dengan tangan kosong. Ia tinggalkan semua barangnya di mobil. Tas tenteng sebesar pesawat UFO, laptop yang terbalut tas kulit, serta botol minum ukuran 2 liternya, semua ditinggalkan. Tak terkecuali ponselnya.

Setelah berganti pakaian dan sepenuhnya siap menjadi Michael Jordan dan Diana Taurasi, mereka masuk ke dalam setelah dipersilahkan.

Tubuh tinggi ramping Helga menjadi mirip orang-orangan sawah dengan baju basket tanpa lengan milik Cello yang kebesaran. Ia berjalan dengan kedua tangan dilebarkan, persis seperti orang-orangan sawah.

Cello hanya tertawa sambil mengoper bola basketnya dari satu tangan ke tangannya yang lain. Ia berjalan di belakang Helga yang berjalan sangat cepat karena terlalu tak sabar.

Rambut hitam panjang yang sedikit keriting di bawahnya beterbangan tersapu angin. Membuatnya terlihat heboh sendiri karena sibuk dengan rambutnya.

Kuncir rambut dulu, Helga.” Cello memperingati sambil tertawa seperti meneriaki anaknya yang tengah bermain berlari-larian.

Helga menoleh, menurut. Ia rapikan kedua rambutnya dan menguncirnya saat itu juga.

Cello yang tadinya sibuk memindah-mindahkan bola basket dari tangan kanan ke tangan kirinya, sontak berhenti. Berhenti total. Kini bola basketnya dipegang dengan dua tangan yang tak bergerak.

Ia berdiri terpaku.

Dengan kata lain, terpesona.

Poni tipis yang kadang muncul kadang tidak milik Helga terbentuk sempurna seakan tahu sedang diperhatikan. Rambutnya terikat tinggi tanpa ekor dan sedikit berantakan karena dikuncir asal. Ditambah setelan basket Cello yang kebesaran di tubuhnya, benar-benar menambah pesona Helga yang selalu menebar aura positif ke sekitarnya.

Kalau boleh jujur, menurut Cello, wanita yang jauh lebih cantik dari Helga ada banyak. Sangat banyak bahkan, sampai ia berani bersumpah sudah bertemu lebih dari 100 wanita yang menurutnya berkali-kali lipat lebih cantik.

Tapi menurutnya, Helga beda. Cantiknya beda. Seakan ditambah bumbu-bumbu rahasia yang kalau resepnya bocor semua wanita di muka bumi akan berlomba-lomba mencurinya. Seakan kalau cantiknya diperlombakan, kecantikannya akan bermukim lebih lama dalam ingatan juri melebihi pemenangnya.

Cantiknya, cuma Helga yang punya.

Menurut teorinya, Plankton sekarang mungkin sedang mengatur strategi mencuri resep kecantikannya, yang tentu tak akan berhasil karena laki-laki labil yang berdiri memegang bola basket itu akan dengan sigap menginjak kutu kecil hijau jika mencuri kesukaannya.

Eh.” Cello menggelengkan kepala dan mengedipkan matanya berulang kali setelah tanpa sadar terpaku dan menarasikan berbagai pujian dalam otaknya beberapa detik yang lalu. “Udah, ayo, Hel. Lo duluan, nih.” Salah tingkah, ia buru-buru melempar bola basket ke Helga yang bahkan belum siap.

Gila ya, gue belom siap!” teriak Helga kesal—walau tetap mengambil bolanya. “Ini kita mainnya gimana cuma berdua?

Alih-alih menjawab, Cello malah berjalan cegak menujunya. Ia justru mengambil alih bola di tangan Helga yang belum dua menit lalu dilemparnya.

Helga membiarkannya mengambil bola yang belum sama sekali bergerak di tangannya. Entah apa yang Cello mau, terserah.

Gini...” Cello mengeluarkan benda persegi kuning dari kantungnya dan memberinya ke Helga. “Biasanya, kalo gua lagi capek, stress, pusing, banyak pikiran, or whatever you name it, gua bakal olahraga. Nah, olahraga yang paling sering gua datengin di kondisi kayak gitu...adalah basket,” katanya.

Kenapa harus basket?

Nih...” Ia mengambil benda persegi kuning dari tangan Helga. Notes tempel. Atau biasa disebut mereknya, Post It. “Gua gak tau lo gimana, tapi kalo gua lagi ada masalah, gua bakal tulis masalah itu di Post It. Bebas. Mau tulis masalah, goals, atau apapun yang gua mau, gua tulis semua.

Helga diam memperhatikan. “Terus?

Cello memperagakan dengan langsung menuliskan keinginannya di lembar Post-It tersebut dan menempelnya ke bola basket di tangannya. “Gua tempel, terus...gua lempar,” ucapnya sambil melempar bola itu asal menuju ringnya.

Dan anehnya, berhasil. Bolanya masuk dengan sempurna.

Wah...” Helga terperangah dan mengangguk takjub. “Terus kalo udah, gunanya apa?

Sugesti aja. Gua jadi lebih tenang kalo ternyata gua berhasil masukin bolanya ke ring. Gua jadi ngerasa masalah yang gua tulis itu bisa gua selesain dengan baik dan Tuhan jawab lewat situ. Atau, kalo yang gua tulis impian gua, ya berarti impian itu bisa terwujud cepat atau lambat.

Kalo gak berhasil gimana? Gue kan gak pinter main basket.

Ulang terus, sampe berhasil.

Percuma lah? Jadinya kayak maksa...

Ya, itu poinnya. Semakin lo gigih dan yakin masalah lo bisa selesai atau keinginan lo bisa terwujud, lo bakal terus-terusan maksa bola itu buat masuk. Alhasil lo jadi terbiasa buat gak gampang nyerah,” jelasnya. “Mau coba, sekali?

Helga sempat diam meragukan cara Cello mengatasi kondisi terburuknya. Namun tak beberapa lama, ia meyakinkan dirinya untuk mencoba.

Ditulisnya satu masalah beserta jalan keluar yang dia inginkan di atas notes tempel, lalu ia tempel dan tekan-tekan di atas bola supaya tak lepas.

Ia mendribel bola itu di tempat, kemudian menoleh ke Cello.

Cello mengangguk mempersilahkan Helga mendekati ring dan memasukkan bola itu ke ringnya.

Perlahan ia melangkah sambil menggiring bola di tangannya. Langkahnya terlihat ragu, seperti tak yakin bola itu akan masuk ke tujunya.

Bisa, bisa!” Cello menyemangatinya dari jauh.

Satu, dua, tiga. Bola dilemparkan.

Dan, missed. Meleset. Sesuai dugannya.

Helga tertawa miris.

Bukan karena fakta bahwa dirinya payah dalam bermain basket, namun lebih kepada pikiran tentang mungkin Tuhan sudah memberi kode lewat lemparannya bahwa masalah yang ditulisnya tak akan pernah selesai, seperti kata Cello.

Tak membalikkan badannya sama sekali sebab malu, pundaknya merasa ada yang menepuk.

Gapapa. Ayo, coba lagi.” Cello memberinya semangat. Ia lalu menggerakkan tangannya seperti Scarlett Witch, bergerak dari tubuhnya mengarah ke Helga (tanpa menyentuh), sampai membuat Helga mengernyit heran.

Hahaha lo ngapain?

Transfer semangat, biar lo semangat juga.

Tawa Helga kini berubah menjadi benar-benar tawa. Baru kali ini dirinya melihat Cello bertingkah konyol. Dan menurutnya itu lucu.

Gimana? Udah masuk belom transferannya?

Udah. Thanks gan,” jawab Helga sambil tertawa, seakan sedang bertransaksi online lewat Kaskus.

Helga menepuk sisi-sisi bola basket demi membangkitkan semangatnya. Ia menarik napas dalam dan mundur beberapa langkah untuk mendribel ulang. Ia cukup optimis kali ini. Setidaknya, memaksa dirinya untuk optimis.

Cello memperhatikan sambil bertolak pinggang, seperti coach yang sedang mengawasi anak didiknya berlatih. Tatapannya seperti fokus pada bola, padahal kerap kali salah fokus mencuri pandang ke orang yang memegangnya.

Helga mulai mendribel dan melangkah maju. Melompat. Melempar.

Dan lagi, bolanya meleset.

Helga menghela napas kesal. Hanya menghela napas sambil tersengal.

Ia enggan berhenti. Sebab, setelah ia menoleh ke sampingnya, yang ditangkap adalah wajah tampan dalam balutan kostum basket berdiri tersenyum menyemangatinya.

Helga mengangguk dan kembali melakukan percobaan memasukkan bola basket ke dalam ringnya berulang kali. Benar-benar berulang kali sampai keringat mengucur di pelipisnya.

Udah percobaan keberapa?” tanya Cello sambil membuka tutup botol minuman dingin yang barusan dibelinya dan memberikan itu ke perempuan di hadapannya.

Helga bernapas tersengal lelah. “Gatau. Percobaan hidup sih ini kayaknya bukan percobaan masukin bola ke ring. Gak masuk-masuk,” keluhnya sebelum akhirnya menenguk satu botol air dalam sekali tenggak.

Gua ramal, habis ini berhasil.” Cello menunjuk ring basket menggunakan botol di tangannya dengan percaya diri.

Emangnya lo Dilan ngeramal-ramal?” Helga memutar bola matanya dan tertawa.

Lo Milea bukan? Kalo bukan, berarti gua bukan Dilan,” candanya.

Mendengarnya, Helga yang sedang minum langsung tersedak.

Lo bisa diem gak?” Gadis itu menatapnya datar sehabis terbatuk-batuk. Si yang ditatap hanya tertawa saja.

Ayo, kita buktiin.” Cello melempar bola yang tergeletak di bawah langsung menuju Helga. “Kalo lo berhasil, gua yakin lo bisa laluin ini semua dengan mulus.

Helga sempat melihat kedua netra lawan bicaranya sepersekian detik sebelum akhirnya mengangguk. “Oke. Last try.

Dengan optimisme tinggi, Helga kembali melakukan hal yang sama.

Ia mundur beberapa langkah, mendribel, melangkah, melompat.

Dan kali ini, “YEAAAAA!” seru keduanya bersemangat sambil mengepalkan tangan karena berhasil memasukkan satu bola 'masalah' ke dalam ringnya.

Cello bertepuk tangan mengapresiasi. Tak lupa juga mengacungkan kedua jempolnya ke arah Helga. Ia bahkan membuka sepatunya dan mengacungkan dua jempol lain yang terbalut kaus kaki putih, diangkatnya bergantian sebagai bentuk apresiasi.

Helga terpingkal tak karuan melihatnya.

Melihat seseorang memberinya satu jempol untuk mengapresiasinya saja sudah bisa membuatnya bahagia saking jarangnya, apalagi empat. Sampai jempol kaki ikut diajak mengapresiasi. Sangat menghibur.

Ia terkikih-kikih sampai memegangi perutnya.

Hingga tak lama, suara tawa itu perlahan berubah menjadi ringisan.

Cello sempat mengira Helga meringis karena perutnya sakit terlalu keras tertawa, namun baru ia sadari bahwa tawa Helga yang terpingkal barusan bertransisi mulus menjadi tangisan menyakitkan.

Helga menunduk dan terisak kencang. Lututnya lemas, ia sampai merukuk untuk menopang tubuhnya tetap berdiri.

Tak perlu melihat ekspresi wajahnya, dalam keadaan menunduk dan hanya terdengar suaranya saja, dapat terasa jelas betapa sulit hal yang dihadapinya saat ini—atau mungkin, selama ini.

Cello melangkah perlahan menujunya, berdiri tegap di hadapannya dan langsung mendekap tubuhnya tanpa bertanya.

Ia sandarkan kepala Helga dalam dadanya. Menepuk kepalanya halus, sambil sesekali membelai rambutnya yang beberapa bagian sudah basah karena keringat. Diseka pula keringat di pelipis Helga sembari berulang kali berkata, “It's okay, it's okay.

Isakan tangis Helga semakin kencang. Kepalanya semakin tenggelam menumpahkan seluruh air mata yang entah sudah sejak kapan ditahannya.

Cello mengusap punggungnya menenangkan hingga isakannya reda.

Kurang lebih tujuh menit, isakan beratnya menghilang perlahan. Cello belum melepas dekapannya, tangannya masih terus menepuk menenangkan sampai ia dapat pastikan Helga benar-benar tenang.

Kalau ditanya apa Cello tahu masalahnya? Jawabannya tidak. Dia sama sekali tidak mengintip ke kertas yang ditempel di bola basket Helga, ia bahkan tak bertanya sebab Helga pasti tak akan menjawab.

Ia hanya menenangkan tanpa bertanya. Dan rasanya, itu yang semua orang butuhkan. Termasuk Helga.

Beberapa orang merasa sedih dan menderita, namun mulutnya terkunci rapat sebab tak tahu cara menjelaskan apa yang dia rasakan. Entah takut mendengar respons lawan bicaranya, atau murni tidak biasa.

Yang dibutuhkan di saat seperti itu, hanya dekapan yang menenangkan. Dan Helga sudah mendapatkannya hari ini. Untuk pertama kalinya.

Helga menjauhkan kepalanya dari Cello, ia melangkah mundur dan menyeka air matanya dengan lengan, kemudian tertawa kecil melihat baju Cello yang basah akan air matanya barusan.

Sekali receh, tetap receh. Helga orangnya.

Baju lo basah,” ucapnya tertawa sambil mengusap wajahnya yang sudah sembab.

Gapapa. Nanti lo yang cuciin,” jawab Cello bercanda.

Helga tertawa lagi, mengangguk setuju, walau dia tahu Cello hanya bercanda.

Better now?” Cello memastikan keadaannya.

Helga mengangguk cepat. Beban di dadanya benar-benar seperti terbuang satu ton. Lega. Sudah tak sesak rasanya.

Soooo much better.” Ia tersenyum. Kini senyum manisnya sudah kembali hampir sepenuhnya.

Jadi, mau apa lagi habis ini? Masih mau main, atau pergi somewhere else?

Hmm...” Helga menarik napas dalam, mengatur napasnya agar sisa isakannya hilang sepenuhnya. “Sekarang jam berapa?

Setengah lima.

Gimana kalo...night ride? Di jalan layang casablaca sambil dengerin Oldies Songs.” Ia memberi ide dengan antusias. Wajahnya terlihat lebih ceria walau masih merah pasca menangis.

Cello mengangguk setuju. “Okay. Your wish is my command.” Cello menunduk mengambil tas olahraga besar dan bola basketnya, lalu satu tangannya yang menganggur ditadahkan ke arah Helga. “Let's go.” Sebagai tawaran menggenggam tangannya.

Jantung Helga yang sudah berdebar entah berapa kali karena ulahnya hari ini hanya menepuk kencang tangan itu dan menolak tawarannya. Ia malah mendorong Cello agar berjalan lebih dulu dan tak usah gandeng-gandengan tangan.

Kayak orang pacaran aja, batinnya.

Cello tertawa dan malah merangkulkan tangannya di tangan Helga sambil berjalan. Helga yang melangkah lambat jadi terseret malas karena langkah kaki Cello yang besar-besar.

Sir Jackson and friends, here we come!” teriak Cello bersemangat sambil tertawa dan berjalan cepat. Disusul oleh kekehan kecil Helga yang masih diseret menuju parkiran oleh lengan kekar sebesar kaki banteng.

Hari itu, segala bentuk penyadaran dimulai.

Yang perempuan, menjadi benar-benar menyadari sepenuhnya bahwa... Dia... akan benar-benar kembali masuk ke lubang yang sama. Jatuh cinta pada laki-laki yang sudah dia tahu dipenuhi bendera merah.

Sedangkan yang laki-laki, benar-benar menyadari sepenuhnya bahwa... Yang dirasakannya hari itu, belum pernah dirasakannya sebelumnya. Sebuah perasaan baru yang membuatnya butuh jutaan tahun berpikir untuk melukai gadis dalam rangkulannya. Tidak seperti biasanya yang sama sekali tak berpikir lebih panjang tentang perasaan siapapun.

Orang asing yang melihat pun bahkan sudah bisa menebak dua sejoli dengan kostum basket yang sedang tertawa itu sudah jatuh pada satu sama lain.

Kecuali... diri mereka sendiri.

Rifan menopang dagu di atas meja bar kecil di apartemen studio yang jarang ditinggalinya. Mengetukkan kelima jarinya ke marmer gelap, menunggu kedua teman satu-satunya—Cello dan Hilmy—datang merayakan ulang tahun ke-22 nya bersama.

2 jam. 3 jam. 4 jam menunggu, tak kunjung nampak batang hidungnya.

Ia menghela napas dan berjalan pelan putus asa merebahkan tubuhnya di kasur. Berbagai macam pikiran mengisi penuh otaknya saat ini.

Gue emang se-nyebelin itu ya? Apa karena dulu gue berpihak ke orang yang jahat makanya gak ada yang mau jadi temen gue? Hilmy sama Cello se-benci itu sama gue?

Makanan yang terhidang (terlalu) banyak untuk ukuran 3 orang tersaji hening tak disantap. Si empunya bahkan tak melirik, terlalu sibuk berkecamuk dengan pikirannya sendiri.

Ia menarik bantal dan menaruh kepalanya agar menutup rapat telinganya, dengan maksud agar kepalanya berhenti berisik.

Ding dong

Bunyi bel yang berbunyi barusan sontak membuat Rifan menjauhkan telinganya dari sarung bantal yang menyumpal telinga. Menunggu bunyi bel kedua untuk memastikan bahwa itu bukan halusinasinya.

Ding dong

Rifan langsung melompat dan seketika berlari cepat menuju pintu. Ia buru-buru mengintip ke penampil lubang di pintu, berharap salah satu dari dua temannya muncul.

Tetapi nihil. Tidak nampak siapapun di sana.

Perlahan, ia buka pintu untuk memastikan—sekali lagi. Harapannya besar untuk merayakan ulang tahunnya yang selalu sepi setiap tahunnya.

Klek.

Baru saja pintu terbuka, Rifan langsung dikejutkan dengan munculnya dua laki-laki bertubuh satu setengah kali lebih besar darinya berteriak mengejutkan sambil memegang kue bertema beda.

Yang berkaos hitam pudar dengan logo Led Zeppelin dengan celana robek di lutut, memegang kue putih dengan HANYA tulisan 'hbd.' di atasnya. Wajahnya berdiri tanpa senyum, tapi teriakannya paling antusias.

Yang berjaket kulit dengan topi hitam putih dan celana jeans hitam, yang pakaiannya serba hitam, seperti hendak ke makam, memegang kue yang...MENYEBALKAN! Kue yang Rifan benci setengah mati.

KUE MARVEL?!?!?! DEKLARASI PERANG?! Isi otak kirinya saat itu.

Namun hari ini dia enggan marah-marah. Dia malah ikut berteriak dengan 2 teman anehnya dan pura-pura senang dengan keberadaan dua kue yang tak kalah anehnya.

Memang, 3 laki-laki yang tak begitu waras tak perlu diherankan mengapa berteriak seperti bertemu pocong mumun daripada menyanyikan lagu selamat ulang tahun sebagai bentuk kejutan ulang tahun. Tak perlu heran.

AAAAAA” Ketiganya berteriak hampir 10 detik sambil bertatap satu sama lain memegang kue yang apinya sudah mencair.

Kita kapan masuknya ini malah teriak-teriak?” tanya Cello di tengah paduan teriakan mereka—dengan ekspresi masih seperti berteriak.

Udah. Masuk-masuk!” Rifan menarik kedua temannya sambil tertawa. Jarinya yang mencubit masing-masing pakaian temannya tak dilepaskan sampai kedua orang itu duduk di kursi yang sudah disiapkan sejak 7 jam yang lalu.

Keduanya menaruh kue bawaan masing-masing di atas meja bar tempat Rifan menopang dagu semula. Tak bicara. Gengsi untuk bicara.

Pernah melihat pertemanan penuh gengsi? Mereka-lah contohnya.

Happy birthday gue, happy birthday gue, happy birthday, happy birthday, happy birthday gue! YEAAAYYYY” Rifan bertepuk antusias menyanyikan lagu selamat ulang tahun untuk dirinya sendiri sebab temannya enggan bernyanyi.

Mereka hanya duduk melihat Rifan dengan tatapan malu-malu beruang sambil ikut bertepuk tangan, kemudian ikut bersorak canggung saat Rifan bersorak, “YEAYYY

Yaudah, tiup lilinnya, Fan, buruan gua laper,” ujar Hilmy—bercanda.

Rifan mengangguk senang.

Eehhh...Make a wish dulu.” Cello perlahan mendorong pundaknya yang sudah condong ke depan untuk meniup lilin.

Rifan mengangguk lagi, menurut. Ia mengenggam kedua tangannya dan memejamkan mata. Cello dan Hilmy turut melakukan hal yang sama.

Semogaaaaa....” Rifan menggantung ucapannya. Cukup lama sampai sebelah mata Cello mengintip. “Semogaaaaa...kita semua selalu bahagia.

Aaamiin.

Semogaaaa...Hilmy sama Milan semakin langgeng.

Aa—aamiinn..” Hilmy membuka matanya terkejut karena doanya malah tertuju kepadanya. Tapi kemudian memejam lagi berusaha tak menghiraukan.

Semogaaaa...Cello berhenti jadi alligator mengerikan pemangsa hati orang-orang.

Anj—Aamiin...” Hampir Cello ingin mengumpat.

Hmm...” Rifan menempelkan bibirnya di tangan yang tergenggam. “Semogaaaaa....RIFAN, HILMY, CELLO BESTIE FOREVER

Hening. Tak ada ucapan amin. Alasannya? Mereka malu—gengsi.

Hilmy dan Cello memang laki-laki gede gengsi. Apa lagi dalam merespons sifat Rifan yang berbanding terbalik. Seakan ogah membalas dengan sifat yang sama. Padahal sebenarnya, mau-mau saja.

Amin dong?

Doa buat lo-nya mana? Masa ulang tahun lo yang didoain gua sama Cello,” protes Hilmy dengan nada ketusnya seperti biasa.

Udah, tadi. Pengen bahagia sama temenan sama lo berdua aja teruuuuusssss sampe meganthropus paleojavanicus bangkit lagi hehehe.

Hilmy mengangkat kedua alisnya dan menolehkan kepalanya perlahan ke Cello yang ternyata sudah sejak tadi menatapnya bingung.

Sampe Milan jadi pacar gue,” ejeknya. Sengaja, memancing Hilmy agar emosi.

Hilmy menatapnya kesal dan mengepalkan tangan seakan ingin meninju. “YEEEEE!

Ia terkekeh geli. “Amin gak?

Amin yang mana dulu?” Hilmy nyolot.

Yang kita bertiga bestie selalu sampe meganthropus paleojavanicus bangkit lagi.

AAAMIINNN! Udah buru tiup lilinnya keburu jadi api abadi!!!!” Punggung Rifan didorong oleh kedua temannya agar cepat-cepat tiup lilin. Rifan terlalu banyak bicara, lilinnya sampai boncel.

Sambil tertawa, Rifan tiup kedua lilinnya dengan girang seperti anak kecil. Masa kecil yang jarang ia pakai untuk dirayakan baru bisa dirasakan ketika Cello dan Hilmy kini menjadi temannya.

Ia melompat girang dan memeluk paksa kedua temannya—lebih seperti mencekik di leher.

Cello dan Hilmy sampai terpekik. Bahkan topi Cello sampai lepas saking kuatnya tarikan lengan Rifan.

Posisinya, kedua tangannya merangkul masing-masing leher temannya. Kepalanya memisahkan kedua kepala Hilmy dan Cello.

Ini mah bukan meluk, nyekek! gumam Hilmy hendak protes, namun diurungkan mengingat hari ini hari spesialnya.

Hilmy dan Cello melemas pasrah tercekik dalam rangkulan Rifan. Wajah Hilmy seperti sudah malas dan sekarat. Wajah Cello, masih senyum karena malah tertawa saat dicekik.

Biarin, deh. Seseneng Rifan hari ini mau ngapain aja. Bebas.

Hahaha. Suara tawa renyah Cello langsung terdengar sesaat setelah Helga membuka pintu dengan napas tersengal karena habis berlari.

Gue bawa laptop lo suruh lari!” protesnya sambil duduk memakai seat belt. “Lo gak pake seat belt?!

Cello melirik seat belt-nya yang tak terpasang dan kembali melihat Helga dengan seringai singkat.

Helga menghela napas, mengatur napasnya yang tersengal. “Pake seat belt lo, Marcello. Kalo lo mental nanti gue jadi saksi polisi males gue jawab pertanyaan.

Cello tak menjawab. Hanya tersenyum dan menatap Helga yang dahinya disinggahi keringat tipis. Wajahnya memerah akibat terpanggang panas. Poninya sedikit berantakan walau kemudian dijepit bersamaan dengan rambutnya yang lain.

Cello masih belum mengalihkan pandangan bahkan hingga Helga selesai mengikat rambutnya.

Jangan liat-liat. Pake seat belt lo,” ketusnya sembari merapikan rambut.

Pria itu mengangguk dengan wajah jenaka, melakukan perintah yang diminta sambil terkekeh. Kemudian tangannya memegang setir, bersiap melajukan mobilnya.

Ia menoleh sebentar. “Udah, Bos? Udah boleh jalan belom?

Helga yang sedang mencari sesuatu di tasnya tak menghiraukan, ia malah mengeluarkan roti kopi terbalut kertas kuning dengan wangi khas. Roti kopi kesukaan sejuta umat.

Lo udah sarapan belum?” tanyanya sembari mengeluarkan roti itu dari kertasnya.

Cello menggeleng. “Gak keburu. Takut lo duluan sampe,” ucapnya tertawa.

Nih.” Helga sodorkan roti itu tepat di depan mulutnya. “Isi dulu perut lo baru jalan.

Ini punya siapa?

Punya mbak-mbak loket gue copet.

Cello menoleh pelan, membelalak. Roti itu belum pindah ke tangannya, masih di tangan Helga. “Seriusan?

Ya, punya gue! Barusan gue beli karena wanginya enak, tapi kenyang karena minum kopi diburu-buru. Lo aja nih.” Ia kembali mendekatkan roti itu semakin dekat dengan Cello. Maksudnya, agar segera diambil, dia pegal.

Tanpa merasa berdosa, Cello memajukan kepalanya dan menggigit roti itu langsung dari tangannya. Bukannya mengambil roti di tangan Helga, kedua tangannya malah betah memegang setir mobil.

PEGANG! Lo kira gue baby sitter lo.” Helga mengambil paksa satu tangan Cello dan menaruh roti itu di genggamannya. “Pegang sendiri.

Cello tertawa sambil mengunyah. Wajahnya benar-benar flirty. Flirty total. Helga sampai tidak berani melihat wajahnya, takut terbawa perasaan. Takut seperti yang sudah-sudah.

Helga beralih memencet radio di mobil Cello, hendak mengganti lagunya. “Lo ada minum gak di mobil?” tanyanya sembari mencari lagu.

Lagi, Cello menggeleng.

Mobil keren doang gak ada stock minum? Terus lo abis makan roti gak minum?

Cello mengedikkan kedua bahunya. “Di kampus kan bisa.

Huh...” Helga menghela napas dan membuka pintu mobilnya dengan cepat. Melangkahkan kakinya keluar dan kembali menoleh untuk bertanya, “Lo suka teh atau air mineral?

Lo mau ngapain?

Nyopet lagi,” jawabnya malas karena ditanya terus.

Cello tertawa. “Air mineral aja.

Dingin atau engga?

Dingin,” jawabnya. Helga mengangguk dan keluar dari mobil sepenuhnya.

Tepat sebelum Helga menutup pintu, Cello kembali memanggil. “Gua aja yang beli, lo tunggu di mobil.

Haaahhhh ribet. Gue aja.” Ia tertawa sebal. Kemudian menutup kencang pintunya dan berlari membeli minum di penjual minum dekat situ.

Tak sampai lima menit, Helga kembali dengan satu botol air mineral dingin di tangannya. Sebelum melangkah masuk, ia menyodorkan gelas itu ke laki-laki di sebelahnya.

Satu doang?” tanya Cello.

Iya,” jawabnya cepat dan duduk benar-benar.

Lo gak minum? Gak haus?

Helga menoleh ke Cello dan melirik botol air mineral itu beberapa saat, sebelum akhirnya ia sadar belum membeli untuk dirinya. “Oh iya, lupa.” Helga menepuk pelan jidatnya.

Beli lagi.

Ah...mager keluar lagi gue. Udah nanti aja.

Gua yang beli deh.

Helga menahan tangan Cello yang hendak keluar dan menyuruhnya kembali duduk dan menghabiskan roti. “Nanti telat. Lo makan aja buruan deh mending.

Cello menurut dan kembali menggigit roti suapan terakhir. Memasukan roti itu sepenuhnya ke mulut sembari tangannya membuka botol air mineral.

Ia berikan botol itu ke Helga.

Lo minum duluan. Abis itu gua,” katanya.

Helga melihat ke botolnya tanpa menjawab. Ragu.

Gua gak bakal habis. Lo duluan, nih, gapapa.

Dengan ragu, Helga lalu mengambil botol itu perlahan tanpa lupa mengucap terima kasih. Meminumnya hingga setengah, bernapas lega, dan mengembalikan itu ke pemilik aslinya sambil tersenyum.

Udah? Kita jalan nih?

Helga mengangguk setuju yang setelahnya membuat mobil mulai melaju menyatu dengan jalur. Suara knalpot mobil yang berat dan 'garang' langsung terdengar menyita perhatian sekitar.

Sejujurnya, sifat Helga yang ini yang sebenarnya menarik perhatian Cello. Menarik perhatian, bukan berarti suka.

Self-less.

Mudahnya, seperti, semua orang mungkin menyukai Helga, kecuali dirinya sendiri. Semua orang mungkin peduli kepadanya, kecuali dirinya sendiri. Semua orang mungkin akan bertanya tentang dirinya, kecuali dirinya sendiri. Dia selalu mendahulukan orang lain di atas dirinya.

Sifat yang mampu melumpuhkannya, namun dapat meluluhkan orang lain.