Slowly Put Her Shoes On His
“Cel, ini gue gak bayar, kan?“
Pria itu menoleh dengan alis terangkat satu setelah menutup pintu. “Bayar apaan?“
“*Lo jemput gue ke kampus, nganterin, ngasih minum. Gue gak kena charge taksi, kan?*”
Cello menyeringai tak menghiraukan, malah berjalan melewati Helga tanpa menjawab. Semerbak parfum bak diguyur sampai tercium tajam menusuk paru-paru.
Helga mengikuti langkah Cello dari belakang masuk ke dalam kantor bernuansa hijau dan cokelat muda dengan tanaman rambat menjalar di permukaan dinding depan.
Cello berbincang sebentar dengan seseorang dan kembali menghampiri Helga yang duduk di ruang tunggu. Helga memilih sofa warna pink tua yang menurutnya lucu.
“Jangan di sini. Kayak orang pacaran!” usirnya menggeser pelan tubuh Cello dan menguasai sofa berukuran medium itu sendirian.
Cello tertawa dan mengangguk menurut. Nakalnya, ia malah menarik kursi berbusa kecil dan duduk (tetap) di dekatnya.
Wanita itu mendelik sebal.
Bukankah sudah dia bilang kalau kali ini dia akan lebih berhati-hati? YA. Ini salah satu upayanya. Tapi si buaya darat itu tak memberinya celah untuk tak menoleh dan berpikir macam-macam.
Cello duduk di hadapannya, sedikit condong ke kanan. Jika mereka berbincang, tentu akan berhadapan dengan jarak...tidak sampai sehasta.
Tatapan Helga menyapu sekitar, berusaha menghindari sorot mata Cello yang pandai menggoda.
“Lo...keren juga bisa deketin pengusaha keren...” Terpaksa Helga berbasa-basi demi menghindari kecanggungan.
Cello, lagi-lagi, hanya tersenyum kecil, lalu ikut mengedarkan pandangan.
“Emangnya dia gak marah lo ngajak gue buat ketemu?“
“Emang kenapa kalo gua ngajak lo?” Dia malah balik bertanya.
“Dia kan cewek yang lagi lo—“
“Halo..“ Belum selesai Helga membalas, perempuan dengan pakaian formal berwarna pastel dan rambut separuh pirang datang menghampiri. Ia mengajak Helga berjabat tangan dan berkenalan, sambil menganggukkan kepalanya santun.
“Tamara.“
“Helga.” Helga ikut tersenyum dan kembali duduk setelah dipersilahkan.
Helga tak berkedip menatap perempuan di hadapannya. Duduknya anggun, pakaiannya rapi dan berkelas, sampai tak ada seujung kuku-pun terlihat noda dari ujung kepala hingga ujung kakinya.
Cantik banget, pikirnya. Udah gak perlu ditanya memang selera Cello kalau pilih perempuan.
Dibanding dirinya yang berpakaian sangat mahasiswa, Helga merasa benar-benar terpelanting, jauh, hingga ke ujung Antartika ibaratnya.
“Maaf, ya, Helga, jadi nunggu lama.” Tamara memperlihatkan ekspresi menyesal, diikuti anggukan canggung Helga yang tak fokus dan membayangkan seberapa cantik barisan wanita Cello yang lain kalau yang ini saja sudah secantik Aphrodite. “Tadi aku harus ngurus Luna dulu, jadi baru bisa turun pas dia udah tidur.“
Oh, kucingnya... batin Helga sambil tetap mengangguk.
“Maklum, anak umur 6 bulan agak rewel. Apalagi kalau dibawa ke kantor.“
Helga mengangkat kepala dan menatap Tamara. “Kucing atau...?“
“Manusia, Hel.” Cello tertawa sesaat melihat wajah Helga yang terkejut. “Anaknya Tamara, umurnya masih 6 bulan.“
Helga membelalak terkejut. Jadi, cakupan wilayah incaran Cello udah sampai ke wanita yang udah punya anak? Isi kepalanya yang aneh masih tidak mau diam.
Bukan cuma Cello, Tamara juga ikut tertawa jadinya.
“Kenapa? Gak kelihatan, ya?“
“Iya, kirain masih seumuran...” Helga tersenyum malu.
“Masih, kok. Umur kita beda sedikit. Aku baru wisuda 4 tahun yang lalu,” jelas Tamara. Helga masih mengangguk seperti kepala ayam mematuk tak mau berhenti. Sampai akhirnya, ucapan, “Tapi emang suami aku 5 tahun lebih tua.” Membuat kepalanya berhenti mengangguk dan membelalak menatapnya.
Pikiran anehnya masih berlarian. Kali ini, dia pikir Cello malah jadi selingkuhan. “Oh, iya? Jadi Cello...“
“Kayak pacar, ya?” Dia tertawa. “Masih cocok dong aku pacaran sama brondong?“
“Ah...ahahaha...” Helga menggaruk tengkuknya. “M-ungkin?“
“Haha enggak. Cello, tuh, temen aku sama mantan aku dulu. Waktu mantan aku selingkuh, dia yang bantuin aku. Emang dia adik yang bermanfaat.” Tamara menepuk punggung Cello yang duduknya agak jauh sambil tertawa.
Cello tertawa jahil dan menatap Helga. Menertawakan pikiran Helga yang menganggap semua perempuan di dekat Cello adalah 'perempuannya'.
“Oh...gitu...” Helga tersenyum puas—lega—dan membenarkan posisi duduknya. Namun dalam sekejap menghilangkan senyumnya sesaat sadar Cello melihatnya senyum-senyum gak jelas setelah mendengar informasi barusan.
Helga tak terlalu lama menghiraukan dan balik menatap Tamara yang mengajaknya bicara.
“Artikel yang kemarin, jadinya Helga yang pakai, ya?“
“Iya, Kak. Atau Kak Tamara keberatan kalau aku yang—“
“Eh, gapapa, gapapa. Dengan senang hati, loh, aku bantuin. Pake aja,” jawabnya. “Cello jadinya pakai artikel apa? Udah ada?“
“Gampang gua. Bantuin Helga dulu aja.“
Tamara tertawa pelan. Wajahnya seperti meledek. “Padahal pas bikin ini Cello lagi mode rajin, loh. Tumben dia lagi baik mau kasih ke kamu.“
“Ya gimana enggak, lo liat nih.” Cello menunjuk kantung mata Helga yang gelap karena sering bergadang dan jarang tidur. “Kantung mata Helga bisa nyimpen 100 ribu dollar. Kalo gak gua bantuin, bisa nyimpen pintu doraemon dia.“
Helga melirik sinis dan melotot dengan bibir masih tertawa. Menyuruh Cello berhenti mengejeknya diam-diam agar Tamara tak melihat.
“Gapapa, kantung mata tuh tanda orang pekerja keras. Lagian malah bikin makin cantik, tuh.” Tamara membela.
“Ya...kalo itu, mah, gak perlu didebatin,” sahut Cello santai sambil mengambil vape silinder kecil dari kantungnya. “Gua tunggu di luar, ya. Nanti gua balik lagi.” Ia lalu beranjak dan meninggalkan Helga dan Tamara berdua di ruang tunggu.
Helga mengangguk mengiyakan. Pun Tamara melakukan hal yang sama.
“Yaudah, jadi, Helga mau tanya apa? Kita langsung mulai aja.“
“Gue kira dia cewek lo,” ujar Helga sambil memakai seatbelt.
“Terus?” Cello melirik dan kembali berkutat dengan setirnya.
“Ya, enggak aja. Sekilas info.“
“Semua orang bakal mikir hal yang sama, sih.” Ia terkekeh dan menaruh satu tangan kirinya di belakang sandaran kursi Helga dan menoleh ke belakang, memundurkan mobilnya dengan satu tangan. Masih sambil mengajaknya berbincang.
Wajah Helga yang sudah memerah melihat wajah Cello dari jarak dekat—sambil memundurkan mobilnya, buru-buru melihat jalanan dan menggaruk kepalanya yang tak gatal.
“Tamara juga ngira lo cewek gua,” ucapnya santai ketika mobil sudah melaju.
“Loh, terus lo gak bilang?“
Cello menggeleng. “Enggak. Biarin aja. Gak rugi juga gua.“
“Gue yang rugi! Enak aja.“
“Kenapa? Perekonomian negara jadi dipersulit karena orang kira lo cewek gua? Persatuan bangsa-bangsa jadi berkonflik? Atau harga BBM naik 70%?” ejeknya.
“Ru—“
“Kalo misal tadi Tamara belum berkeluarga, emang lo masih percaya kalo gua bilang dia bukan cewek gua?” Cello memotong ucapannya dan lanjut bertanya.
Helga sempat diam sesaat, berpikir. Kemudian menggeleng. “Ya enggak, lah. Orang kayak lo.“
Cello terkekeh dan mengalihkan matanya kembali menghadap depan. “Nah, itu. Mau gua bilang bukan pun, orang tetep gak bakal percaya. Udah di-labell buaya, mah, buaya aja gua.“
Perempuan itu menoleh perlahan. Masih berpikir. “Berarti, gak semua perempuan yang ada di deket lo, gebetan lo?” tanyanya, berharap Cello menjawabnya serius kali ini. Maksudnya, kalau memang Cello tidak seperti yang dia bayangkan, dia akan berhenti mengejeknya.
Cello malah tertawa tak menjawab.
Helga mengangguk dengan ekspresi yakin. “Oke.“
“Oke apa?“
“Mungkin lo gak seburuk yang gue kira.“
“Kenapa gitu?“
Ia menaikkan kedua bahunya. “Gak tau. Semua orang mungkin punya sisi baik dan buruknya masing-masing. Cuma yang kelihatan dari lo baru sisi buruknya, berarti ada sisi baik lo yang gak gue liat.“
Cello menoleh bingung, melihat wajah Helga yang terlihat percaya diri, lalu menertawakannya. “Oh haha pantes...“
“Apa?“
“Pantes lo selalu dapet cowok aneh,” ucap Cello masih tertawa. Dia belum selesai tertawa dari tadi.
“Maksudnya?“
“Ya lo ngira semua orang punya sisi baik kayak gitu, pantes lo maklumin sifat mantan lo yang aneh-aneh itu.“
“Tapi emang iya kan semua orang pasti punya sisi baiknya.“
“Hel...” Cello menatap Helga sekilas tanpa menghentikan laju mobilnya. Tatapannya seakan memaksa Helga yang tengah melihat jalanan beralih menatapnya. “Gak semua orang mau nunjukkin sisi baiknya. Bahkan belum tentu semua orang punya sisi baik yang lo percaya itu.“
Helga diam tak merespons, hanya menatap balik wajah Cello tanpa ekspresi berarti.
“Lo jangan terlalu naif kalo gak mau masuk ke lubang yang sama. Cowok brengsek gak bakal berhenti brengsek cuma karena dibaikin.“
“Sok tau.“
“Gua brengsek, Helga. Gua tau persis isi otak orang-orang kayak gitu gimana.“
“Lo gak sebrengsek ituuuu! Aneh. Suka nyebut diri sendiri brengsek.“
“Lah—“
“Gak ada orang brengsek ngaku. Lo emang agak gila karena deketin banyak cewek, tapi gue yakin lo gak sebrengsek itu.” Ia memukul pelan lengan Cello yang menoleh terus-terusan bukannya fokus menyetir.
Cello mendecak dan terkekeh malas (lagi). “Helga...Helga...” Ia menggelengkan kepalanya heran tak heran. Pantas Helga terlihat enggan kapok berhubungan dengan laki-laki brengsek, pikirannya saja begitu. Naif. Dianggapnya semua orang baik.
“Nih, Hel, mumpung lo sekarang kenal sama cowok kayak gua, gua kasih tau ciri-ciri cowok yang mending lo jauhin dari pada sakit hati.“
Helga tak lagi menatap Cello dan sibuk memperhatikan roda mobil-mobil yang melaju sama cepat di sekitarnya. Tentu dia mendengarkan ucapannya bersama sayup-sayup lagu bergenre edm sebagai musik latar.
“Basic knowledge aja, jangan pernah percaya sama ucapan-ucapan manis. Bullshit. Kalo dia serius, dia gak bakal ribet mikirin kata-kata yang bikin lo percaya kalo lo istimewa. Tindakannya aja seharusnya udah ngejamin.“
“Semua ucapan manis?“
“Ya, gak juga, tergantung orangnya, tapi kebanyakan gitu. Hati-hati aja.“
Helga mengangguk paham. “Oke. Terus?“
“Jangan kasih kesempatan kedua buat orang yang selingkuh. Mereka gak bakal berhenti dalam jangka panjang atau pendek.“
“Iya sih...” Tiba-tiba terlintas dalam benaknya untuk melempar pertanyaan terkait. “Tapi lo...pernah selingkuh?“
“Gua?” tanyanya, lalu menggeleng santai. “Selingkuh itu hal paling gak masuk di akal menurut gua.“
Helga menaikkan kedua alisnya meledek dan tertawa. “Coming from...a womanizer, like YOU?“
“Beda, lah, Helga. Gua belum mau bikin komitmen kalau gua belum serius. Kalo udah berani jalin komitmen, ya pertahanin komitmen. Makanya selingkuh tuh jelek.“
“Jadi itu alasan kenapa lo cuma deketin cewek sana sini tapi belom ada yang lo pacarin?“
“Belom cocok, mau gimana.“
Helga tertawa kecil dan memundurkan posisi duduknya. “Tapi serious question, nih, Cel...” Gadis itu menghadap Cello.
“Apa, tuh?“
“Emang semua cowok beneran se-brengsek itu?” Pertanyaan itu benar-benar keluar dari dirinya yang sudah babak belur disakiti. Pertanyaan yang benar-benar butuh jawaban, yang sempat dia hempas jauh-jauh karena percaya, dan kembali dipertanyakan di hadapan orang yang seharusnya.
Cello menggumam. “Hm...gak juga, sih. Tapi menurut gua, manusia ada sisi brengseknya masing-masing aja.“
“Maksudnya?“
“Ada orang yang keliatan brengsek padahal tulus, ada yang keliatan tulus padahal brengsek, ada yang awalnya tulus malah jadi brengsek, ada juga yang awalnya brengsek malah jadi tulus.“
“Hm...” Helga menggaruk pelan keningnya yang tak gatal. Berusaha mengingat pria-pria macam apa yang dulu pernah berhubungan dengannya. “Kalau lo? Lo yang mana?“
“Gua...” Cello menghadap langit sepersekian detik, lalu kembali fokus dengan setirnya. “Gua...bakal tulus, mungkin, kalau ketemu yang tepat.“
Helga memutar kedua bola matanya, meremehkan. “Sampe kapaaaan?“
“Ya, sampe ketemu,” jawabnya sambil tertawa. Seperti percaya tak percaya juga dengan dirinya sendiri.
“Cepet ketemu, deh, lo. Biar berhenti deketin-cewek-sana-sini.“
Cello mengangguk sambil tertawa jahil. “Ketemunya malah sama lo...” Sengaja, dia tahu Helga malas digombalin.
Helga melirik sinis. “Gue udah pensiun jinakin cowok brengsek.“
“Hahaha. Gak minat juga gue sama orang yang jam 3 pagi takut hantu tapi tiba-tiba lupa karena Sehun ngelive.“
Gadis itu menoleh cepat. “Kalaupun Planet Mars ngajak tempur, kalau Sehun tiba-tiba update, PAUSE! Gak boleh ketinggalan.*” Helga memukul keras lengan Cello dengan tatapan kesal (bercanda). Si yang dipukul hanya cengengesan dan kembali menatap depan. “Bahkan gue bisa berhenti nangis 15 detik buat ngelike postingan Sehun dan memuji ketampanannya. Terus lanjut lagi.” Ia terlihat girang setiap kali membicarakan Sehun. Sisi aktif dan cerianya langsung menyala seketika pembahasan tentang Sehun dimulai, sampai Cello yang sejak tadi belum berhenti terkekeh semakin lebar tawa itu dibuatnya.
“Orang aneh.” Ia tertawa geli. “Ya udah, lo sekarang mau makan dulu atau langsung pulang? Gak enak gua kalo ditanya Sehun lo-nya belom makan.“
Helga terkejut dan tersenyum. Bukan karena diajak makan, tapi karena kesenangannya direspons dengan candaan yang menjawab. Biasanya orang lain akan malas kalau Helga sudah bicara tentang Sehun dan bereaksi berlebihan, tapi Cello malah meladeni.
“Mau gak? Malah senyum-senyum.“
“Mau. Makan kuda goreng,” jawab Helga antusias.
“Oke. Fried HORSE With Peanut Sauce, LET'S GOOO!” Cello menekan pedal agar melaju lebih cepat diiringi suara tawa Helga yang menertawakan candaannya.
Baru kali ini otak anehnya ada yang mengiyakan.