ijoscripts

Cel, ini gue gak bayar, kan?

Pria itu menoleh dengan alis terangkat satu setelah menutup pintu. “Bayar apaan?

“*Lo jemput gue ke kampus, nganterin, ngasih minum. Gue gak kena charge taksi, kan?*”

Cello menyeringai tak menghiraukan, malah berjalan melewati Helga tanpa menjawab. Semerbak parfum bak diguyur sampai tercium tajam menusuk paru-paru.

Helga mengikuti langkah Cello dari belakang masuk ke dalam kantor bernuansa hijau dan cokelat muda dengan tanaman rambat menjalar di permukaan dinding depan.

Cello berbincang sebentar dengan seseorang dan kembali menghampiri Helga yang duduk di ruang tunggu. Helga memilih sofa warna pink tua yang menurutnya lucu.

Jangan di sini. Kayak orang pacaran!” usirnya menggeser pelan tubuh Cello dan menguasai sofa berukuran medium itu sendirian.

Cello tertawa dan mengangguk menurut. Nakalnya, ia malah menarik kursi berbusa kecil dan duduk (tetap) di dekatnya.

Wanita itu mendelik sebal.

Bukankah sudah dia bilang kalau kali ini dia akan lebih berhati-hati? YA. Ini salah satu upayanya. Tapi si buaya darat itu tak memberinya celah untuk tak menoleh dan berpikir macam-macam.

Cello duduk di hadapannya, sedikit condong ke kanan. Jika mereka berbincang, tentu akan berhadapan dengan jarak...tidak sampai sehasta.

Tatapan Helga menyapu sekitar, berusaha menghindari sorot mata Cello yang pandai menggoda.

Lo...keren juga bisa deketin pengusaha keren...” Terpaksa Helga berbasa-basi demi menghindari kecanggungan.

Cello, lagi-lagi, hanya tersenyum kecil, lalu ikut mengedarkan pandangan.

Emangnya dia gak marah lo ngajak gue buat ketemu?

Emang kenapa kalo gua ngajak lo?” Dia malah balik bertanya.

Dia kan cewek yang lagi lo—

Halo..“ Belum selesai Helga membalas, perempuan dengan pakaian formal berwarna pastel dan rambut separuh pirang datang menghampiri. Ia mengajak Helga berjabat tangan dan berkenalan, sambil menganggukkan kepalanya santun.

Tamara.

Helga.” Helga ikut tersenyum dan kembali duduk setelah dipersilahkan.

Helga tak berkedip menatap perempuan di hadapannya. Duduknya anggun, pakaiannya rapi dan berkelas, sampai tak ada seujung kuku-pun terlihat noda dari ujung kepala hingga ujung kakinya.

Cantik banget, pikirnya. Udah gak perlu ditanya memang selera Cello kalau pilih perempuan.

Dibanding dirinya yang berpakaian sangat mahasiswa, Helga merasa benar-benar terpelanting, jauh, hingga ke ujung Antartika ibaratnya.

Maaf, ya, Helga, jadi nunggu lama.” Tamara memperlihatkan ekspresi menyesal, diikuti anggukan canggung Helga yang tak fokus dan membayangkan seberapa cantik barisan wanita Cello yang lain kalau yang ini saja sudah secantik Aphrodite. “Tadi aku harus ngurus Luna dulu, jadi baru bisa turun pas dia udah tidur.

Oh, kucingnya... batin Helga sambil tetap mengangguk.

Maklum, anak umur 6 bulan agak rewel. Apalagi kalau dibawa ke kantor.

Helga mengangkat kepala dan menatap Tamara. “Kucing atau...?

Manusia, Hel.” Cello tertawa sesaat melihat wajah Helga yang terkejut. “Anaknya Tamara, umurnya masih 6 bulan.

Helga membelalak terkejut. Jadi, cakupan wilayah incaran Cello udah sampai ke wanita yang udah punya anak? Isi kepalanya yang aneh masih tidak mau diam.

Bukan cuma Cello, Tamara juga ikut tertawa jadinya.

Kenapa? Gak kelihatan, ya?

Iya, kirain masih seumuran...” Helga tersenyum malu.

Masih, kok. Umur kita beda sedikit. Aku baru wisuda 4 tahun yang lalu,” jelas Tamara. Helga masih mengangguk seperti kepala ayam mematuk tak mau berhenti. Sampai akhirnya, ucapan, “Tapi emang suami aku 5 tahun lebih tua.” Membuat kepalanya berhenti mengangguk dan membelalak menatapnya.

Pikiran anehnya masih berlarian. Kali ini, dia pikir Cello malah jadi selingkuhan. “Oh, iya? Jadi Cello...

Kayak pacar, ya?” Dia tertawa. “Masih cocok dong aku pacaran sama brondong?

Ah...ahahaha...” Helga menggaruk tengkuknya. “M-ungkin?

Haha enggak. Cello, tuh, temen aku sama mantan aku dulu. Waktu mantan aku selingkuh, dia yang bantuin aku. Emang dia adik yang bermanfaat.” Tamara menepuk punggung Cello yang duduknya agak jauh sambil tertawa.

Cello tertawa jahil dan menatap Helga. Menertawakan pikiran Helga yang menganggap semua perempuan di dekat Cello adalah 'perempuannya'.

Oh...gitu...” Helga tersenyum puas—lega—dan membenarkan posisi duduknya. Namun dalam sekejap menghilangkan senyumnya sesaat sadar Cello melihatnya senyum-senyum gak jelas setelah mendengar informasi barusan.

Helga tak terlalu lama menghiraukan dan balik menatap Tamara yang mengajaknya bicara.

Artikel yang kemarin, jadinya Helga yang pakai, ya?

Iya, Kak. Atau Kak Tamara keberatan kalau aku yang—

Eh, gapapa, gapapa. Dengan senang hati, loh, aku bantuin. Pake aja,” jawabnya. “Cello jadinya pakai artikel apa? Udah ada?

Gampang gua. Bantuin Helga dulu aja.

Tamara tertawa pelan. Wajahnya seperti meledek. “Padahal pas bikin ini Cello lagi mode rajin, loh. Tumben dia lagi baik mau kasih ke kamu.

Ya gimana enggak, lo liat nih.” Cello menunjuk kantung mata Helga yang gelap karena sering bergadang dan jarang tidur. “Kantung mata Helga bisa nyimpen 100 ribu dollar. Kalo gak gua bantuin, bisa nyimpen pintu doraemon dia.

Helga melirik sinis dan melotot dengan bibir masih tertawa. Menyuruh Cello berhenti mengejeknya diam-diam agar Tamara tak melihat.

Gapapa, kantung mata tuh tanda orang pekerja keras. Lagian malah bikin makin cantik, tuh.” Tamara membela.

Ya...kalo itu, mah, gak perlu didebatin,” sahut Cello santai sambil mengambil vape silinder kecil dari kantungnya. “Gua tunggu di luar, ya. Nanti gua balik lagi.” Ia lalu beranjak dan meninggalkan Helga dan Tamara berdua di ruang tunggu.

Helga mengangguk mengiyakan. Pun Tamara melakukan hal yang sama.

Yaudah, jadi, Helga mau tanya apa? Kita langsung mulai aja.


Gue kira dia cewek lo,” ujar Helga sambil memakai seatbelt.

Terus?” Cello melirik dan kembali berkutat dengan setirnya.

Ya, enggak aja. Sekilas info.

Semua orang bakal mikir hal yang sama, sih.” Ia terkekeh dan menaruh satu tangan kirinya di belakang sandaran kursi Helga dan menoleh ke belakang, memundurkan mobilnya dengan satu tangan. Masih sambil mengajaknya berbincang.

Wajah Helga yang sudah memerah melihat wajah Cello dari jarak dekat—sambil memundurkan mobilnya, buru-buru melihat jalanan dan menggaruk kepalanya yang tak gatal.

Tamara juga ngira lo cewek gua,” ucapnya santai ketika mobil sudah melaju.

Loh, terus lo gak bilang?

Cello menggeleng. “Enggak. Biarin aja. Gak rugi juga gua.

Gue yang rugi! Enak aja.

Kenapa? Perekonomian negara jadi dipersulit karena orang kira lo cewek gua? Persatuan bangsa-bangsa jadi berkonflik? Atau harga BBM naik 70%?” ejeknya.

Ru—

Kalo misal tadi Tamara belum berkeluarga, emang lo masih percaya kalo gua bilang dia bukan cewek gua?” Cello memotong ucapannya dan lanjut bertanya.

Helga sempat diam sesaat, berpikir. Kemudian menggeleng. “Ya enggak, lah. Orang kayak lo.

Cello terkekeh dan mengalihkan matanya kembali menghadap depan. “Nah, itu. Mau gua bilang bukan pun, orang tetep gak bakal percaya. Udah di-labell buaya, mah, buaya aja gua.

Perempuan itu menoleh perlahan. Masih berpikir. “Berarti, gak semua perempuan yang ada di deket lo, gebetan lo?” tanyanya, berharap Cello menjawabnya serius kali ini. Maksudnya, kalau memang Cello tidak seperti yang dia bayangkan, dia akan berhenti mengejeknya.

Cello malah tertawa tak menjawab.

Helga mengangguk dengan ekspresi yakin. “Oke.

Oke apa?

Mungkin lo gak seburuk yang gue kira.

Kenapa gitu?

Ia menaikkan kedua bahunya. “Gak tau. Semua orang mungkin punya sisi baik dan buruknya masing-masing. Cuma yang kelihatan dari lo baru sisi buruknya, berarti ada sisi baik lo yang gak gue liat.

Cello menoleh bingung, melihat wajah Helga yang terlihat percaya diri, lalu menertawakannya. “Oh haha pantes...

Apa?

Pantes lo selalu dapet cowok aneh,” ucap Cello masih tertawa. Dia belum selesai tertawa dari tadi.

Maksudnya?

Ya lo ngira semua orang punya sisi baik kayak gitu, pantes lo maklumin sifat mantan lo yang aneh-aneh itu.

Tapi emang iya kan semua orang pasti punya sisi baiknya.

Hel...” Cello menatap Helga sekilas tanpa menghentikan laju mobilnya. Tatapannya seakan memaksa Helga yang tengah melihat jalanan beralih menatapnya. “Gak semua orang mau nunjukkin sisi baiknya. Bahkan belum tentu semua orang punya sisi baik yang lo percaya itu.

Helga diam tak merespons, hanya menatap balik wajah Cello tanpa ekspresi berarti.

Lo jangan terlalu naif kalo gak mau masuk ke lubang yang sama. Cowok brengsek gak bakal berhenti brengsek cuma karena dibaikin.

Sok tau.

Gua brengsek, Helga. Gua tau persis isi otak orang-orang kayak gitu gimana.

Lo gak sebrengsek ituuuu! Aneh. Suka nyebut diri sendiri brengsek.

Lah—

Gak ada orang brengsek ngaku. Lo emang agak gila karena deketin banyak cewek, tapi gue yakin lo gak sebrengsek itu.” Ia memukul pelan lengan Cello yang menoleh terus-terusan bukannya fokus menyetir.

Cello mendecak dan terkekeh malas (lagi). “Helga...Helga...” Ia menggelengkan kepalanya heran tak heran. Pantas Helga terlihat enggan kapok berhubungan dengan laki-laki brengsek, pikirannya saja begitu. Naif. Dianggapnya semua orang baik.

Nih, Hel, mumpung lo sekarang kenal sama cowok kayak gua, gua kasih tau ciri-ciri cowok yang mending lo jauhin dari pada sakit hati.

Helga tak lagi menatap Cello dan sibuk memperhatikan roda mobil-mobil yang melaju sama cepat di sekitarnya. Tentu dia mendengarkan ucapannya bersama sayup-sayup lagu bergenre edm sebagai musik latar.

Basic knowledge aja, jangan pernah percaya sama ucapan-ucapan manis. Bullshit. Kalo dia serius, dia gak bakal ribet mikirin kata-kata yang bikin lo percaya kalo lo istimewa. Tindakannya aja seharusnya udah ngejamin.

Semua ucapan manis?

Ya, gak juga, tergantung orangnya, tapi kebanyakan gitu. Hati-hati aja.

Helga mengangguk paham. “Oke. Terus?

Jangan kasih kesempatan kedua buat orang yang selingkuh. Mereka gak bakal berhenti dalam jangka panjang atau pendek.

Iya sih...” Tiba-tiba terlintas dalam benaknya untuk melempar pertanyaan terkait. “Tapi lo...pernah selingkuh?

Gua?” tanyanya, lalu menggeleng santai. “Selingkuh itu hal paling gak masuk di akal menurut gua.

Helga menaikkan kedua alisnya meledek dan tertawa. “Coming from...a womanizer, like YOU?

Beda, lah, Helga. Gua belum mau bikin komitmen kalau gua belum serius. Kalo udah berani jalin komitmen, ya pertahanin komitmen. Makanya selingkuh tuh jelek.

Jadi itu alasan kenapa lo cuma deketin cewek sana sini tapi belom ada yang lo pacarin?

Belom cocok, mau gimana.

Helga tertawa kecil dan memundurkan posisi duduknya. “Tapi serious question, nih, Cel...” Gadis itu menghadap Cello.

Apa, tuh?

Emang semua cowok beneran se-brengsek itu?” Pertanyaan itu benar-benar keluar dari dirinya yang sudah babak belur disakiti. Pertanyaan yang benar-benar butuh jawaban, yang sempat dia hempas jauh-jauh karena percaya, dan kembali dipertanyakan di hadapan orang yang seharusnya.

Cello menggumam. “Hm...gak juga, sih. Tapi menurut gua, manusia ada sisi brengseknya masing-masing aja.

Maksudnya?

Ada orang yang keliatan brengsek padahal tulus, ada yang keliatan tulus padahal brengsek, ada yang awalnya tulus malah jadi brengsek, ada juga yang awalnya brengsek malah jadi tulus.

Hm...” Helga menggaruk pelan keningnya yang tak gatal. Berusaha mengingat pria-pria macam apa yang dulu pernah berhubungan dengannya. “Kalau lo? Lo yang mana?

Gua...” Cello menghadap langit sepersekian detik, lalu kembali fokus dengan setirnya. “Gua...bakal tulus, mungkin, kalau ketemu yang tepat.

Helga memutar kedua bola matanya, meremehkan. “Sampe kapaaaan?

Ya, sampe ketemu,” jawabnya sambil tertawa. Seperti percaya tak percaya juga dengan dirinya sendiri.

Cepet ketemu, deh, lo. Biar berhenti deketin-cewek-sana-sini.

Cello mengangguk sambil tertawa jahil. “Ketemunya malah sama lo...” Sengaja, dia tahu Helga malas digombalin.

Helga melirik sinis. “Gue udah pensiun jinakin cowok brengsek.

Hahaha. Gak minat juga gue sama orang yang jam 3 pagi takut hantu tapi tiba-tiba lupa karena Sehun ngelive.

Gadis itu menoleh cepat. “Kalaupun Planet Mars ngajak tempur, kalau Sehun tiba-tiba update, PAUSE! Gak boleh ketinggalan.*” Helga memukul keras lengan Cello dengan tatapan kesal (bercanda). Si yang dipukul hanya cengengesan dan kembali menatap depan. “Bahkan gue bisa berhenti nangis 15 detik buat ngelike postingan Sehun dan memuji ketampanannya. Terus lanjut lagi.” Ia terlihat girang setiap kali membicarakan Sehun. Sisi aktif dan cerianya langsung menyala seketika pembahasan tentang Sehun dimulai, sampai Cello yang sejak tadi belum berhenti terkekeh semakin lebar tawa itu dibuatnya.

Orang aneh.” Ia tertawa geli. “Ya udah, lo sekarang mau makan dulu atau langsung pulang? Gak enak gua kalo ditanya Sehun lo-nya belom makan.

Helga terkejut dan tersenyum. Bukan karena diajak makan, tapi karena kesenangannya direspons dengan candaan yang menjawab. Biasanya orang lain akan malas kalau Helga sudah bicara tentang Sehun dan bereaksi berlebihan, tapi Cello malah meladeni.

Mau gak? Malah senyum-senyum.

Mau. Makan kuda goreng,” jawab Helga antusias.

Oke. Fried HORSE With Peanut Sauce, LET'S GOOO!” Cello menekan pedal agar melaju lebih cepat diiringi suara tawa Helga yang menertawakan candaannya.

Baru kali ini otak anehnya ada yang mengiyakan.

CW : Slightly horror.

Sebenarnya, bukan suatu baru bagi Helga berganti shift dengan saudara-saudara yang lain menjaga Nenek. Bukan berarti juga Nenek tidak punya pengasuh bayaran.

Hanya saja, Nenek itu rewel. Suka mengomel dan sulit diberitahu.

Jadi, untuk memantau perilaku Nenek ke pengasuhnya dan perilaku sebaliknya, cucu-cucunya (tak jarang juga anaknya) bergantian menginap di rumahnya untuk menemani.

Dan hari ini, tiba giliran Helga yang menggantikan Ezra—sepupunya yang harus magang di Surabaya—bertugas menemani Nenek selama satu hari.

Besoknya, digantikan Helen, adiknya. Si kesayangan Mama.

Helga menyeret tas tenteng besarnya dari jok tengah mobil dan menahan pintu agar terbuka selagi dia menurunkan barang-barang beratnya seakan sedang audisi Next Top Model.

Gak usah, Pak. Bisa, kok, ini tinggal satu,” dustanya setelah supir taksi menawarkan bantuan, sambil berusaha kuat menarik tas yang beratnya bak ada bom molotov di dalamnya. “Makasih banyak, Pak.” Helga tersenyum mengangguk dan menutup pintu mobil dengan perlahan, menunggu mobil yang mengantarnya pergi, dan memencet bel masuk ke rumah Nenek.

Ia menghela napas, melukiskan senyum terpaksa saat pintu dibukakan dan realita yang mungkin tak menyenangkan sudah berada di depan mata.

Rumah raksasa bernuansa putih tulang dan cokelat kayu jati dengan wangi wewangian orang tua, kaca besar di tiap sisi dengan lapisan emas berbentuk hewan, ditambah hanya dihuni 4 orang (Nenek, 2 asisten rumah tangga, dan 1 pengasuh) semakin menambah kesan mistis yang menakutkan.

Helga pernah mengalami lebih dari 5 kejadian mistis di sini. BUKAN. BUKAN PERASAAANNYA SAJA. Dia sepenuhnya sadar dan itu benar-benar terjadi. Jika dirangkum, kurang lebih begini : 1. Umur 9 tahun, sosok tua berdiri di samping ranjang kayunya tengah malam. 2. Umur 11 tahun, lemari di ruang tengah yang terkunci tiba-tiba terbuka sendiri saat Helga Kecil sedang berjalan mengambil minum. 3. Umur 14 tahun, Helga berbincang dengan Papa yang baru pulang kerja dan merokok di luar pukul 10 malam selama kurang lebih satu jam. Saat ia kedinginan dan hendak masuk, di dalam rumah seluruh anggota keluarga menatapnya heran. Tak terkecuali Papa. Dengan baju tidur dan tangan bersih tanpa rokok. 4. Umur 14 tahun juga, Helga dan Helen mendengar suara tawa jelas di bawah kolong kasur. Mereka tak berani melihat dan kembali memejam. 5. Umur 18 tahun, kejadian yang membuat Helga benar-benar ogah untuk kembali ke rumah nenek. Ia berfoto ria bersama saudaranya, namun, wajah Helga tidak seperti Helga. Helga remaja yang tiap foto selalu tersenyum ceria, di foto itu senyumnya suram. Matanya sendu bak habis menangis. Ternyata 'orang pintar' mengatakan, itu bukan Helga. Helga berdiri di belakangnya.

Terlihat cukup membuat trauma untuk menginap di sini, lagi.

Tetapi Helga kini sudah 22 tahun.

Cukup dewasa untuk seharusnya melupakan hal-hal mistis yang kini malah lebih horor deadline tugas yang segunung.

Milan turun ke lantai bawah dengan piyama tidurnya. Rambutnya acak-acakan, juga masih menguap berkali-kali sambil ngucek mata.

Dia kira Hilmy bercanda...ternyata enggak.

Hilmy beneran ada di situ. Duduk di salah satu sofa panjang di ruang tamu. Pakai pakaian formal yang super rapih. Kemeja putih lengan panjang—yang digulung hingga ke sikut, dasi warna biru garis merah, dan celana bahan warna hitam seperti orang kantoran.

Hilmy lo ngapain???

Hilmy langsung beranjak dari tempat duduknya untuk menyambut Milan. “Katanya mau tanda tangan kontrak kerja sama.

Ya nggak jam 9 pagi juga???” Milan berjalan ke tempat Hilmy berdiri sambil terheran-heran. “Udah gila kah???

Bukannya menjawab, Hilmy malah mengambil tangan Milan dan mengajaknya berjabatan dengan semangat 45, seperti presiden kalau hadir ke kongres. “Selamat pagi, Bu Milan, terima kasih sudah menerima tawaran kerja sama dengan saya. Semoga prosesi tanda tangan kontraknya berjalan lancar.

Milan tertawa walau masih keheranan. “Tap—

Silahkan duduk.” Hilmy menunjuk sofa di seberangnya dengan kelima jarinya.

Milan mengernyitkan dahinya, heran.

Kok jadi anda yang mempersilahkan duduk ya, ini kan rumah saya?” canda Milan.

Hilmy—masih dengan wajah seriusnya—nggak menjawab apa-apa. Benar-benar seperti mau tanda tangan kontrak, tapi sama mafia, jadi kaku.

Milan akhirnya berjalan untuk duduk di sofa seberang Hilmy, masih sambil terus-terusan terkekeh.

Jadi, gimana? Apa lagi yang harus kita lakuin untuk lanjut ke tahap selanjutnya?” tanya Hilmy sok-sokan serius.

Hil...” Milan tertawa, berusaha menghentikan tingkah konyol Hilmy yang masih ber-akting seperti melakukan kerja sama di film-film mafia.

Profesionalisme. Harus formal.

Okay....” Gadis itu mengangguk. Menerima tantangan untuk ber-akting menjadi seperti papanya kalau lagi ngelakuin perjanjian kerja sama.

Milan duduk tegak. Pandangannya lurus menatap Hilmy sampai yang ditatap salah tingkah sendiri.

Biasa aja, dong,” ucap Hilmy, sambil menggaruk hidungnya yang nggak gatal.

Profesionalisme. Harus formal.” Milan mengulangi ucapan Hilmy beberapa menit yang lalu.

Siap. Salah.” Hilmy malah ngangkat tangan kanannya untuk hormat seperti tentara. Mungkin dia lupa kalau lagi akting jadi mafia, bukan tentara. Maklum, gugup, jadi salah server.

Milan berusaha menahan tawanya.

Sumpah. Kalau bisa, rasanya Milan mau ketawa sampai guling-guling, tapi dia jaga karisma. Milan nggak pernah ketawa sampai guling-guling karena diajari tata krama sejak kecil. Tapi, sumpah, di dalam otaknya, Milan lagi ketawa guling-guling ngeliat tingkah Hilmy.

Bu, maaf, mohon izin,” kata Hilmy.

Ya?

Saya boleh...kasih pujian?” ucapnya tiba-tiba, ditengah akting mafia-mafiaan itu.

Milan hampir tertawa, tapi dia tahan dengan menutup mulutnya. Menjaga profesionalisme, kata Hilmy.

Silahkan.

Ibu bangun tidur tapi kok cantik banget, ya? Ibu pernah makan camera360 atau gimana?” tanyanya dengan ekspresi serius.

Milan mengalihkan pandangannya ke arah lain. Selain karena jantungnya tiba-tiba berdegup nggak karuan, dia juga mau menahan tawa. Sulit banget nahan ketawa di depan Hilmy pas itu.

Wajahnya memerah. Memerah karena dua alasan. Alasan pertama, salah tingkah. Alasan kedua, menahan tawa.

Milan mengangguk. “Terima kasih,” katanya—formal karena profesional. “That shirt also fits you perfectly. You look good,” pujinya balik.

Hilmy yang semula lagi mutar-mutar pulpen di tangannya, spontan melempar pelan pulpen itu ke arah sofa, kemudian mengusap wajahnya dengan kasar. Dia salting mampus karena ucapan Milan barusan. Milan jarang-jarang muji orang, tapi tiba-tiba dia muji Hilmy. Gimana nggak kacau.

“Bu, alangkah baiknya, kalau dalam prosesi tanda tangan kerja sama untuk tidak memuji satu sama lain. Atau, saya aja yang muji, ibu nggak usah,*” katanya.

Loh, gak adil?

Saya gak bisa dipuji, bu. Nggak bisa. Nggak bisa.” Ia menggelengkan kepalanya sambil menutup mulutnya, dramatis, berasa lagi menolak suatu mosi.

Haha...ya udah.” Milan membetulkan posisi duduknya. “Jadi gimana, Don Fahreza, anda bawa kontrak kerja samanya?*”

*Don : Panggilan untuk seorang bos mafia. Papanya Milan biasa dipanggil “Don Camarro”, jadi dia praktekin ke Hilmy karena lagi main mafia-mafiaan.

Hilmy mengeluarkan satu amplop cokelat berisi kertas perjanjian.

Milan tertawa lagi sambil ngangguk-ngangguk. “Luar biasa prepare, ya.

Harus, dong.

Ia keluarkan selembar kertas dari amplop cokelat itu. Isinya benar-benar selembar MoU (Memorandum of Understanding) yang biasa dibuat dalam suatu perjanjian kerjasama. Hilmy benaran buat MoU. Kesiapannya patut diacungi 80 jempol.

Hilmy kasih kertasnya ke Milan untuk dibaca terlebih dulu, masih dengan wajah sok seriusnya. Sedangkan Milan berusaha semaksimal mungkin untuk menyeleraskan frekuensi aneh calon pacarnya.


Surat Perjanjian Berpacaran No. 009/DT/SBB/MoU/VIII/2020

Yang bertanda tangan dibawah ini:

I. Nama : Hilmy Ram Fahreza Jabatan : Pacar Milan Alamat : Nanya alamat mulu dah, ntar aja napa si. No. Telp : +6288xxxxxx

Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Hilmy Ram Fahreza selanjutnya disebut “PIHAK PERTAMA”;

II. Nama : Milani Alessandra Alamat : Jl. Pondok Indah, Jakarta Selatan, Jakarta. No. Telp : +6289617317479

Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama dirinya sendiri sebagai Calon Pacar Hilmy yang akan disebut “PIHAK KEDUA”.

PIHAK PERTAMA dan PIHAK KEDUA yang secara bersama-sama disebut “Para Pihak”.

Pada hari ini, Sabtu 28/08/2020, Para Pihak telah sepakat bahwa segala tindakan yang dilakukan kepada, untuk, dan berhubungan dengan perasaan, perkataan, perbuatan, jasmani, dan rohani, akan dilakukan secara dua arah, dalam artian, menjalin hubungan sebagai pasangan seperti orang-orang pada umumnya. Dengan ini, kami sebagai Pihak Pertama tidak menjatuhkan syarat dan ketentuan.

Demikian Perjanjian ini dibuat dalam 2 (dua) rangkap, diberi materai secukupnya serta berbunyi dan berisikan sama, tidak bertentangan satu dengan yang lainnya, serta mempunyai kekuatan hukum yang sama dan ditandatangani oleh kedua belah pihak.

Jakarta Selatan, Sabtu 28/08/2020

Pihak Pertama

Hilmy Ram Fahreza Pacar Milan 2020

Pihak Kedua

Milani Alessandra Camarro Pacar Hilmy 2020

SAKSI

Marcello Este Camarro Kembaran Milan yang tidak berguna


Milan ketawa ngakak seketika baca betapa formalnya isi MoU yang Hilmy buat. Benar-benar seperti MoU betulan. Pakai ada tanda tangan saksi segala.

Sebelum tanda tangan, mungkin ada yang mau ditanyakan terlebih dahulu?” tanya Hilmy dengan kedua tangannya menyilang, totalitas ber-akting jadi bos mafia.

Milan berusaha memikirkan sesuatu untuk ditanyakan.

Saya belum pernah pacaran, jadi kurang tau cara pacaran kayak gimana, apakah anda menerima?

Siap. Menerima.” Hilmy berubah wujud lagi jadi tentara. Nggak tahu, deh, ini jadinya main mafia-mafiaan atau tentara-tentaraan.

Kalau saya capek, saya nggak mau bales chat, apakah anda tetap menerima?

Siap. Menerima.

Kalau butuh waktu lama buat saya jadi perempuan romantis pada umumnya, apakah anda menerima?

Siap. Sangat Menerima. Udah lah ini mah saya terima semua.

Milan mengangguk sambil ketawa. “Okay.” Dia ambil pulpen di sampingnya, bersiap untuk tanda tangan.

Beneran???” Hilmy nggak percaya.

Kenapa?

Kalau tanda tangan, berarti diterima kan?

Milan terkekeh. “Kan udah diterima dari semalem.

Hilmy mengusap wajahnya lagi, berusaha menutupi wajahnya yang memerah padam. Dalam hatinya, ia berulang kali mengucap “Yes 33x” tapi ditutup-tutupi karena malu—gengsi.

Milan selesai tanda tangan. Dia kasih pulpennya ke Hilmy, gantian.

Hilmy masih berusaha untuk nggak senyum-senyum gajelas dengan memainkan lidahnya di dalam mulut. Ia ambil pulpennya, lalu berusaha tanda tangan senormal-normalnya.

Saksinya?” tanya Hilmy.

Saksinya masih tidur. Semalem dia abis minum lumayan banyak.

Nggak lama, laki-laki lain—yang tentunya bukan Marcello karena dia masih tidur—turun dari tangga memakai piyama. Sama, masih dengan wajah kusut karena baru bangun tidur.

Itu Fabio. Tumben-tumbenan dia lagi di rumah.

Hilmy?” panggilnya dengan suara serak khas bangun tidur.

Eh, bang.” Hilmy berdiri menyambut.

Rapih banget. Mau kerja dimana?” ledeknya. “Jadi ngelamar kerja di kantor gue?” Fabio bertanya dengan ekspresi meledek.

Jadinya di kantor Milan, bang.

Loh, Milan punya kantor?

Pun—” Milan mendorong lengan Hilmy supaya nggak lanjutin.

Udah, pergi ih, Bang,” usirnya.

Iya, deh, nggak ganggu. Selamat menikmati.” Fabio ketawa-ketawa. “Mau jalan-jalan abis ini?

Enggak. Gua ada acara, Bang, abis ini,” kata Hilmy.

Oh, oke lah.” Fabio akhirnya meninggalkan mereka berdua di ruang tamu.

Lo mau kemana?

Nemenin bunda arisan keluarga. Biasanya yang nemenin A Ian, tapi dia lagi di Malaysia. Jadi mau gak mau, gua gantiin,” katanya.

Gua balik, deh, Mil. Gapapa, kan?

Milan senyum dan mengangguk. “It's okayyy.

First date nya nanti aja, ya?

Haha..iya, gapapa. Gak usah buru-buru.

Hilmy kemudian melangkahkan kakinya ke arah pintu keluar, bersamaan dengan Milan tentunya. Lalu tiba-tiba ia menoleh, menatap Milan lamat-lamat.

Apa?

Hilmy menggeleng, tak berkedip, seperti masih belum percaya. “I'm yours now?

Haha...apa sih?

Dia membuang pandangannya untuk bermonolog. “Kayaknya di zaman dulu, gua yang ngangkat tandu Jenderal Soedirman pas perang gerilya, makanya di kehidupan sekarang gua beruntung.

Milan cuma ketawa dengarnya. Memang Hilmy kalau ngomong sering ngelantur, jadi abai-in aja.

Nggak lama dari obrolan itu, Hilmy ingat sesuatu.

Eh, iya, Mil.

Hm?

Gua beli sesuatu yang kembaran sebagai tanda kerja sama,“katanya.

Hah?? Alay banget, ah, nggak mau.” Milan menggeleng dengan wajah nggak terima. Dia nggak mau couple-couple-an, menurutnya, itu cringe aja.

Engga, gak alay. Bentar.

Hilmy masuk ke dalam mobilnya, mengambil barang yang ia maksud tadi.

Sambil menunggu, gadis itu mencoba menebak-nebak barang kembaran apa yang mau Hilmy kasih.

Yang ada dalam pikirannya, mungkin baju couple, atau jam tangan couple, atau barang-barang lucu couple-an lainnya seperti anak jaman sekarang.

Pas Hilmy keluar bawa barang itu, Milan sontak kembali tertawa. Dugaannya melenceng jaauhhhh. Sangat jauuhhh. Jauhhhh banget.

Apa dugaan kalian? Baju? Tas? Sepatu? Jam Tangan? Bunga? Cokelat?

SALAH.

Hilmy bawa Ikan Nemo. Dua. Warna oren dan masih kecil-kecil.

Milan menggelengkan kepalanya, menolak percaya apa yang dia lihat di hadapannya. Seorang laki-laki berpakaian formal rapih dari ujung kepala hingga ujung kaki, tapi meluk akuarium bulat yang isinya dua bayi nemo.

Buat apa?” Milan tertawa.

Tanda kerja sama. Satu buat gua, satu lagi buat lo.

Kenapa ikan nemo?

Kalo ikan paus, nggak bisa,” katanya.

Enggak...maksudnya, kenapa harus ikan?

Kalau harimau sumatera, nanti gua masuk penjara.

Astaga. Percuma nanya. batinnya.

Milan akhirnya mengambil alih akuarium bulat itu ke tangannya, lalu melihat kedua ikan itu dengan seksama.

Punya lo bawanya gimana?” tanya Milan.

Titip dulu disini. Di akuarium rumah gua ada ikan nirwana. Kasian nanti nemo-nya berasa satu kamar sama Titan. Gua beli yang baru dulu baru ambil lagi kesini.

Haha, okay. Which one is mine?” Milan bertanya lagi sambil melihat ke dua nemo yang mirippppp banget. Hampir nggak kelihatan bedanya.

Punya gua yang garisnya agak kepotong. Kayak di tip-x.” Hilmy tunjuk salah satu diantara dua ikan itu.

Is it a he? or a she?

Tunggu ikannya jawab aja, gua nggak ada hak nentuin pronouns-nya.

HAHAHAHA HILMY!” Milan memukul pelan lengannya.

Hilmy meringis, pura-pura menghindar padahal pukulannya pelan sambil ketawa-ketawa.

Kalau nama?

Kalo punya gua namanya Gurame.

Milan mengerutkan dahinya. “Kan Ikan Nemo, kok namainnya Gurame?

Gapapa. Biar lo bingung aja.

Milan menghela napasnya. Capek.

Udah, deh, mending lo pergi sekarang biar gue bisa masukin 'Gurame' lo ke akuarium,” usir Milan bercanda karena lelah ngobrol sama Hilmy yang nggak ada habisnya.

Hilmy sambil terkekeh masuk ke dalam mobilnya, tapi pandangannya tetap nggak beralih dari wajah Milan.

Hilmy menutup mobilnya dan membuka kacanya lebar-lebar.

“Cantik,*” godanya tersenyum tanpa suara dengan satu tangannya memegang stir mobil.

Apa?!?!?! Udah, ah, sana.” Milan salah tingkah sendiri.

Mil...” panggilnya lagi.

Apa lagi?

Kapan gua boleh panggil 'sayang'?” tanyanya dengan wajah polos nggak berdosa.

Gila. Hati Milan langsung ngadain party di dalam sana. Berdisko ria.

Hilmy menatap Milan yang tengah melihat ke langit karena salah tingkah, menunggu jawabannya.

Kapan?” tanyanya lagi, kali ini dengan wajah memelas.

Kapan aja.

Kalo sekarang?

Dengan ragu dan menggigit salah satu bibir bawahnya, Milan mengangguk.

Ya udah, nanti malem kita call ya...“ “...sayang,” ucapnya sebelum menyeringai kecil dan bersiap melajukan mobilnya untuk pergi dari situ.

Udah, ya, gua berangkat. Jaga baik-baik gurame-nya.” Hilmy menutup kaca mobilnya dan melaju menjauh dari rumah Milan.

Ia menyeringai puas karena berhasil menangkap wajah Milan pas salting akibat ulahnya, lalu menyimpan baik-baik 'potret' itu dalam memorinya.

Milan berdiri membeku di depan pagar, memegang dua ikan random tak diundang dalam akuarium bulat. Dalam posisi, pakai piyama tidur, rambut berantakan, dan pakai sendal rumahan. Bayangin aja bentuknya gimana.

Karena nggak tahan, Milan taruh akuarium itu di aspal, lalu kepalanya celingak-celinguk memastikan nggak ada orang yang lagi ngeliatin dia. Terus dia memukul keras udara dalam sekali pukulan, membayangkan itu wajah Hilmy yang barusan bikin dia salting.

Kurang ajar!” teriaknya sambil memukul angin yang nggak salah apa-apa.

Apa lo liat-liat?” Milan juga marahin ulat yang lagi diam makanin daun salah satu tanaman tetangganya.

Brengsek. Sialan,” umpatnya berkali-kali. “Bisa-bisanya bikin gue kayak gini...” Milan mengacak rambutnya furstasi.

Ia kemudian mengambil akuarium bulat itu dan masuk ke dalam rumah dengan wajah merah seperti habis kebakar matahari dan rambut acak-acakan.

Fabio yang ngeliat kondisi adiknya yang nggak seperti biasa itu langsung bisa menebak apa yang terjadi barusan.

Tapi, untungnya dia Fabio yang sifatnya netral. Jadi, dia diam aja, nggak nanya, nggak protes.

Mungkin beda cerita kalau yang nangkap Johnny...atau Marcello, yang usil.

Sudah tiga hari sejak kekalahan Milan dalam kompetisi debat yang lalu akibat kurangnya persiapan.

Sebenarnya, Milan—terlihat—tak acuh dan baik-baik saja karena kekalahannya, toh, ia masih memiliki segudang prestasi lain yang jumlahnya jauh lebih banyak dan menjanjikan daripada kekalahannya di satu kompetisi.

Tapi...orang mana yang tak kecewa setelah kekalahan mereka? Bahkan bagi Milan yang tergolong jarang kalah pun, bohong jika ia tak merasakan kekecewaan pasca kekalahan.

Kembali lagi, Milan tak biasa mengekspresikan apa yang ia rasakan, pun membicarakan tentang itu. Wajah dan sikapnya selalu menunjukkan seolah hidupnya lurus-lurus saja dan seolah tak bisa merasakan emosi apa-apa.

Sejak pagi ia masuk ke dalam kelas, Milan hanya sibuk dengan dunia-nya sendiri di kursi paling depan, mendengarkan dengan seksama saat kelas berlangsung, kemudian kembali sibuk dengan dunia-nya setelah itu.

Mil.” Hilmy menegur untuk pertama kalinya di hari ini—karena sejak pagi mereka tak bicara satu sama lain.

Milan menoleh sekilas sambil memasukkan barang-barangnya ke dalam tas.

Bawa mobil?” tanya Hilmy.

Milan menggeleng. “Engga, dijemput.

Oh...” Hilmy mengangguk-anggukkan kepalanya seraya memutar-mutar kunci mobil di jari telunjuknya. “Mau temenin gua gak?

Temenin kemana?

Hilmy memasukkan kedua tangannya ke dalam saku hoodie-nya. “Kemana aja, sesuka lo.

Lah? Kan lo yang minta temenin, kenapa jadi sesuka gue?

Temenin gua nemenin lo,” jawab Hilmy santai.

Milan mengeryitkan dahi dan memakai tas pundaknya dengan wajah terheran. “Apa sih?” tanyanya terkekeh yang kemudian pergi berjalan meninggalkan Hilmy yang semula berdiri di depan kursinya.

Hilmy mengikuti dari belakang dan mempercepat langkahnya agar setara. “Mau gak?” Ia bertanya sambil berjalan mundur—wajahnya dan Milan berhadapan tapi arah langkah tujuannya sama.

Milan hanya menyeringai kecil dan terus menatap Hilmy dengan tatapan aneh sebab alasan-minta-ditemeninnya gak logis.

Milan tak mengangguk tapi juga tak menggeleng.

Hilmy terus saja berjalan mundur karena belum mendapat jawaban dari ajakannya sampai-sampai menabrak tong sampah yang diam berdiri tak berdosa di pinggir koridor.

Anjing. Liat-liat dong, Tong. Jalan pake mata!” Hilmy memarahi tong sampah hijau yang jatuh tersungkur setelah dia senggol. Kasihan tong sampah, dari tadi diam tapi kena imbas.

Milan menahan tawa melihat cowok aneh di hadapannya yang tingkahnya selalu gak ketebak dan ajaib. Kadang dia bisa jutek setengah mampus saking gengsinya, tapi kadang tingkah aneh dan random-nya ngalah-ngalahin urutan di kartu uno.

Tuh, Mil. Mobil lo belom dateng. Mending temenin gua.” Ia masih berusaha bernegosiasi.

Ya makanya, lo mau kemana? Yang jelas kalau minta temenin,” balasnya.

Ah, ribet lo. Mau ngajak jalan aja susah banget ngomongnya. Udah bertahun-tahun masih gak ada progress.” Cello dan Rifan tiba-tiba muncul dari belakang dan mengejeknya secara blak-blakan.

Udah, iya-in aja, Mil. Kasian dia cupu, banyak alasan,” ejek Rifan walau tau dua detik setelahnya akan didorong Hilmy untuk menghentikan ejekannya.

Prinsip Rifan itu, ejek-lah Hilmy sebelum ejekan mautnya menyerang. Soalnya dia dulu gak berani ngejek Hilmy pas belum punya Milan sebagai bekingan.

Dimana ada gua, disitu lo pada muncul mulu ya, jing.

Dih, gue mah dimana ada Milan disitu ada gue yeee. Ge'er.” Rifan terus-terusan mengejek Hilmy dengan wajah jenaka-nya sambil berjalan menghindari pukulan Hilmy yang sejak tadi sudah siap dilayangkan.

Mereka berempat terus berjalan sampai ke depan parkiran. Tak sadar dari tadi Milan mengikuti langkah mereka yang berjalan menuju tempat parkir.

Sementara Hilmy masih beradu mulut sama Rifan, Milan sudah berdiri di samping pintu mobil pajero Hilmy dan memegang gagang pintunya.

Hil, jadi gak?” teriak Milan hingga membuat Hilmy berhenti gelut.

Lah.” Ia bingung. “Lo bilang gak mau tadi.

Gue kan belum jawab, bukan gak mau. Ayo sebelum gue berubah pikiran.

Hilmy langsung menaruh tas ranselnya yang semula dipakai untuk memukul Rifan kembali ke pundak kirinya. Ia lalu berjalan cepat menuju mobilnya.

Rifan dan Cello yang berdiri kurang lebih 4 meter dari mobil Hilmy masih belum berhenti mengejeknya dari kejauhan.

Baik-baik jantungan, Hil. Milan kalo ngambil keputusan suka dadakan.” Cello mengejek sambil menghisap vape-nya dalam-dalam.

Milan, nanti kalo mau ngapa-ngapain jangan lupa pake aba-aba, ya. Kasian Hilmy 5L, lemah, letih, lesu, lunglai, love you,” timpal Rifan.

Hilmy bersiap dalam posisi akan melempar mereka berdua dengan kunci mobil yang ia pegang, namun mereka sudah keburu lari menghindar dan berjalan ke arah mobil Cello yang ada di parkiran bagian lain.

Milan tertawa kecil melihat kelakuan konyol tiga manusia yang setiap ketemu kelihatan gak akur tapi nempel terus kalau kemana-mana.

Ayo, Hil, buka.” Milan bersiap memegang gagang pintu.

Apanya?

Menurut lo? Baju gue?” canda Milan.

Hilmy tersontak kaget sekaligus gugup. Milan jarang bercanda, tapi kalau bercanda ekstrim banget. Telinga Hilmy sampai memerah.

Jangan macem-macem, Mil.” Hilmy berusaha stay cool walau masih kaget bukan main. Ia langsung buru-buru membuka kunci mobilnya agar segera menyudahi candaan ekstrim lainnya yang mungkin akan makin-makin.


Kok berhenti?” tanya Milan setelah Hilmy memakirkan mobilnya di parkiran stasiun.

Turun di sini. Ayo.” Hilmy membuka seat belt-nya dan bersiap turun.

Ngapain?” Milan masih diam di tempat duduknya. Hilmy mendekat dan memencet tombol seat belt Milan agar juga terbuka.

Belom pernah naik kereta, kan?” tanyanya.

Milan mengangguk ragu.

Ayo keliling jakarta naik kereta,” ajaknya. “Kapan lagi nikmatin kota sendiri tanpa kena macet.

Datang bulan hari pertama, datang tiba-tiba di luar tanggal biasanya, datang h-1 sebelum acara penting, name something worse.

Dalam situasi seperti ini, perempuan manapun pasti memiliki perasaan yang sama. Mood hancur tanpa alasan, marah-marah gak jelas, dan ngedumel tanpa henti.

Kalau Milan, biasanya lampiasin amarahnya di ruang gym lantai bawah, memukuli semua samsak tinju yang ada disana tanpa ampun sampai dia puas.

(Thanks to Bang Fabio yang udah buat ruang gym ternyaman di dalam rumah walau jarang dia pakai karena sibuk)

Tapi kali ini, Milan seakan memiliki sasaran yang lebih empuk dari samsak tinju, di iMessage-nya.

Terlebih, Cello baru saja memancing emosinya dan membuatnya marah-marah lewat iMess, dia jadi sekalian pindah ke room chat lain buat lanjutin pelampiasan rasa kesalnya.

Ngedumel, marah-marah gak jelas, pemandangan dan pengalaman baru bagi siapapun yang melihat.

Seperti yang siapapun ketahui, Milan bukanlah orang yang pemarah. Ia cukup tenang dan tak biasa menunjukkan emosi-nya, dalam hal apapun—marah, sedih, senang, kecewa, atau yang lainnya, ekspresinya akan tetap sama.

She will remain calm in every situation.

Tapi kembali lagi, segala hal yang Milan lakukan ke Hilmy adalah sesuatu baru yang pernah ia lakukan. Sebelumnya, mana pernah Milan lampiasin emosi sampai ngedumel gak jelas ke orang lain—selain Cello?

Aneh tapi nyata, entah kenapa, kalau sama Hilmy, beda. Sisi lain dari dirinya muncul dan diperlihatkan secara gamblang.

Bahkan, kalau abang-abangnya sampai tahu Milan menunjukkan sifat 'tanpa wibawa'—yang hanya diketahui keluarganya—ke orang lain, mungkin cukup untuk membuat mereka terheran. Terutama bagi Bang Johnny yang paham betul bagaimana adiknya selalu menjaga karismanya.

Sore itu, pukul tujuh hampir delapan.

Setelah mendapat pesan dari Hilmy yang bilang dia sudah di bawah sejak tadi, Milan spontan beranjak dari kasurnya dan menghampiri jendela kamar yang mengarah ke luar rumah untuk memastikan jika ia benar-benar ada disana.

Terlihat jelas dari atas, Hilmy sedang bersandar di pintu mobilnya yang tertutup rapat sambil menyesap rokoknya—yang entah sudah batang keberapa.

Hilmy?” panggil Milan dari atas.

Laki-laki itu mendongak ke atas, mencari sumber suara, dan mendapati perempuan berambut dark brunette yang disanggul berantakan, memakai kaos polos oversized dengan bawahan celana sport diatas lutut berdiri dan menatap ke arahnya.

Hilmy yang sedang sibuk merokok tersenyum kecil sambil menghembuskan asap rokok dari mulutnya tanpa berkata apa-apa.

Ngapain kesini?” tanya Milan.

Boleh gak?” Hilmy malah bertanya balik.

Ya boleh, tapi—” Belum selesai Milan bicara, ucapannya langsung dipotong dengan cepat.

Sini,” ajaknya agar Milan segera turun dan menemuinya di bawah.

Hilmy yang awalnya bersandar di pintu mobilnya sambil merokok, membuang rokoknya ke sembarang tempat di dekat kakinya untuk diinjak, kemudian segera membuka pintu mobil untuk mengambil sesuatu.

Ia keluarkan sesuatu yang terlihat seperti ember cukup besar berwarna putih, lalu kembali menawarkan Milan agar segera turun, kalau mau.

Itu apa?

Sini lah kalo mau liat,” tawarnya.

Karena penasaran, Milan segera mengambil jaket untuk menutupi tubuhnya yang tak memakai dalaman, lalu turun ke bawah, menghampiri Hilmy yang entah sudah berapa lama berdiri di depan rumah.

Masuk, Hil,” panggilnya setelah membukakan pagar raksasa rumahnya.

Mau parkir di dalem?

Hilmy menggeleng. “Gak usah, gua cuma bentar.

Ia kemudian berjalan mendekat ke Milan yang berdiri di depan pagar, menatapnya lamat-lamat sambil tersenyum tanpa arti tanpa bicara sama sekali.

Ayo,” ajak Milan canggung karena Hilmy masih berdiri disitu.

Hilmy terkekeh. “Gua lagi bau rokok tapi.

It's okay. Masuk aja.” Milan mempersilahkan Hilmy masuk dan membiarkannya duduk di kursi teras rumah.

Gapapa duduk di teras? Gak mau di dalem aja?” tanya Milan.

Hilmy mengangguk sambil mengatur posisi duduknya agar nyaman. “Lo sendirian di rumah kan? Gak bagus, lah, anak gadis berduaan sama laki-laki di dalem rumah pas lagi sepi.

Milan tertawa kecil. Hilmy ternyata tipikal laki-laki yang masih memegang erat adat seperti itu.

Ada mbak gue kok.

Udah disini aja, gua gak lama.

Yaudah...” Milan duduk di kursi samping Hilmy tanpa membuang pandangan dari ember putih yang Hilmy taruh di meja kecil yang memisahkan mereka. “Ini apa?

Es krim.

Milan terbelalak. “ES KRIM APA SEGEDE GINI?

Hilmy mengubah posisi duduknya jadi menghadap Milan. “Lo tau abang-abang campina yang jualan pake sepeda gak?

Tentu saja Milan menggeleng, dia kan seperti hidup dalam kerangkeng kerajaan, mana tahu dunia luar seperti apa.

Gatau? Payah,” ejek Hilmy. “Biasanya nih, kalo di perumahan biasa tuh tiap sore suka lewat banyak jajanan. Ada bakso, mie ayam, kue putu, siomay, banyak dah. Nah, salah satunya ini, abang-abang es krim campina, biasanya doi jualan bawa sepeda,” jelasnya.

Kok bisa bawa es krim segede gini naik sepeda?

Ya gak dibawa semuanya lah, Milan, cuma bawa satu atau dua ember. Terus nanti anak kecil belinya satu cup, harganya lima ribu.

Milan mengangguk paham. “Ada ya es krim harga lima ribu?

Hilmy terkekeh pelan. “Ada lah.

Terus ini lo dapet dari mana?

Ini tuh di depan apart suka ada bapak-bapak jualan es krim, nongkrong sambil nunggu anak kecil beli. Terus tadi ada bocil yang pernah gua omelin gara-gara suka nyerobot antrian, dia pengen beli es krim juga. Karena dia nyolot mulu setiap ketemu gua, gua beli aja semua es krimnya biar dia gak kebagian.

Milan tertawa. “Iseng banget.

Salah sendiri lahh,” kata Hilmy dengan ekspresi sewot khas-nya.

Ngomong-ngomong ini kita makan es krim pake tangan nih?” sindir Hilmy ke arah Milan yang lupa membawakan sendok untuk makan es krimnya.

OH IYA!! Bentar, bentar.” Sambil tertawa, ia beranjak dari tempat duduknya untuk pergi ke belakang mengambil sendok.

Sekitar 5 menit setelahnya, Milan kembali membawa dua sendok plastik bulat, dua mangkuk kecil, dan satu scoop es krim.

Makan-nya mau langsung disini atau ditaruh mangkuk?” tanyanya sebelum duduk.

Enaknya gimana?” Hilmy bertanya balik.

Kalo di keluarga gue biasanya makan di mangkuk, sih...” balas Milan. “Tapi gue mau coba makan langsung dari sini, boleh gak?” Ia bertanya sambil menunjuk ember es krim yang ditaruh di meja antara dua kursi yang mereka duduki.

Hilmy menahan tawa dan mengangguk, lalu menepuk kursi disampingnya agar Milan segera duduk. “Iya gapapa. Sini.

Milan yang sejak tadi mood-nya hancur berantakan seketika kembali membaik. Lebih baik dari sebelumnya. Jauh. Jauh lebih baik dari sebelumnya hanya karena es krim 5 liter yang Hilmy beli akibat nyolot-nyolot-an sama anak kecil.

Lo hobi banget bawain makanan, kenapa sih? Kayak gofood,” tembak Milan tiba-tiba.

Sebenernya cuma alesan biar gua jajan aja si. Nyokap gua ngomel mulu kalo gua jajan pas dia masak.

Engga tuh, lo jarang makan jajanan yang lo bawain ke gue.

Kata siapa? Nih, mau gua makan.

Milan melihat Hilmy dengan ekspresi mengejek, karena Hilmy masih suka ngeles di segala situasi.

Hilmy—dengan tanpa ekspresi—kemudian menyendok es krim di sebelahnya dan memasukannya ke dalam mulut, menunjukkan ke Milan kalau ucapannya benar.

Haha okay, mister certified ngeles,” ledekn tertaya sambil tertawa.

Hilmy dengan wajah tak berdosanya hanya melanjutkan prosesi makan es krimnya.

Eh iya, nih...” Ia kemudian mengalihkan pembicaraan dan merogoh kantung hoodie-nya untuk mengeluarkan 3 lollipop besar, lengkap dengan pita diluar masing-masing plastiknya. “Permen buat gantiin rokok,” katanya.

Milan yang sejak tadi masih belum berhenti tertawa pun, melanjutkan tawanya. “Lo mau gue diabetes apa gimana? Gue kan udah beli.

Kasih Cello aja yang punya lo, mending makan yang dari gua. Dijamin manjur. Klinik tongfang? Lewat.

Milan mengangguk sambil menahan tawa. “I quit smoking 2 months ago, Hil. It's fine.

Lah serius? Kok bisa?

Ya bisa, kan sebelumnya lo sering ngasih lollipop—yang katanya lebih manjur dari klinik tongfang—juga,” jawab Milan. “Walaupun bilangnya bukan dari lo, sih.

Hilmy lantas tersentak mendengar Milan yang tahu selama ini dia sering kasih permen ke Milan setiap sebelum lomba agar ia berhenti merokok. “Siapa yang cepuin?

Lo sendiri, lah. You exposed yourself,” ejek Milan tak henti-hentinya hingga membuat telinga si-yang-diejek kian memerah. “Bilangnya double degree perngibulan, tapi mainnya masih gak rapih.

Dengan wajah pasrah Hilmy berkata, “Mil, udah Mil, gua udah mateng di-roast mulu sama orang-orang hari ini,” ucapnya yang tentu saja disusul oleh tawa Milan yang semakin puas.

Mereka kemudian melanjutkan perbincangan dengan banyak topik random yang aneh dan ngalor ngidul, yang kalau ditulis semuanya di sini, cuma akan membuat pembaca menggelengkan kepala saking random-nya obrolan yang mereka bicarakan.

Memang, kalau ngobrol sama Hilmy, alasan ayam gak bisa terbang padahal punya sayap saja bisa dibahas sama dia.

Setelah lelah terpingkal menertawakan obrolan gaje-nya, mereka berhenti sejenak dan menatap jalanan depan rumah yang sepi tak ada orang sama sekali kecuali satpam keluarga Camarro yang duduk di dalam pos-nya.

Btw, Hil,” ucap Milan memecah keheningan tanpa menoleh ke arah Hilmy. “Sorry ya, yang tadi gue marah-marah di-chat, lupain aja. Gak tau kenapa gue tiba-tiba kayak gitu, padahal biasanya engga.

Hilmy menatap Milan yang menatap jalanan tanpa menjawab apa-apa, menunggunya sadar dan menoleh balik ke arahnya.

Mil,” panggil Hilmy dengan ekspresi datar sambil menggigit sendok plastiknya.

Milan menoleh dan mengangkat kedua alisnya.

Lo manusia juga, kalo lo lupa,” kata Hilmy tanpa konteks yang spontan membuat Milan bingung.

Milan terkekeh pelan. “Maksudnya?

Maksud gua, nge-ekspresiin emosi itu wajar. Lo boleh tunjukkin perasaan lo tanpa harus ditahan,” katanya. “Lo mau marah, nangis, seneng sampe jingkrak-jingkrak juga...gak bakal ngerubah pandangan orang lain ke lo.

Milan sontak tertegun. Kalimat barusan seakan menamparnya keras-keras.

Sejak kecil, ia memang selalu diajarkan menyembunyikan apa yang dirasakannya agar tak dijadikan titik lemah oleh lawan. Jadi, kalaupun Milan sedih dan ingin menangis, ia akan diam dan menahannya sebisa mungkin. Begitu juga jika ia sedang marah, ia akan mengontrol dirinya agar tak melampiaskan amarahnya dan mengubur emosinya dalam-dalam.

Padahal, manusia juga butuh meluapkan emosi. Sekuat apapun kita menahan, pasti ada kalanya kita tak sanggup dan ingin mengeluarkan segalanya.

Gua tau lo tumbuh di keluarga penuh wibawa, yang mungkin, mereka ngelarang lo mengekspresikan diri lo karena dianggap lemah. Tapi nge-ekspresiin emosi gak bikin lo keliatan lemah, Mil, sumpah. Gak sama sekali.” Hilmy menatap Milan lamat-lamat. Tak biasanya ia mengajak bicara seserius ini.

Milan tetap diam mendengarkan, sesekali menatap balik mata Hilmy yang sedang serius bicara kepadanya.

Kalo keluarga lo selalu maksa lo buat jadi perempuan super power, lo boleh jadi kebalikannya di depan gua. Semua manusia punya sisi lemahnya juga. Kalo lo takut tunjukin itu ke orang lain, lo jangan takut tunjukin itu ke gua.

Kenapa?

Lo percaya simbol yin dan yang?” tanya Hilmy.

Milan menatap mata Hilmy, tidak mengangguk, tidak pula menggeleng.

Mungkin pemahaman gua beda, tapi yang gua percaya, hitam putih dalam simbol itu maksudnya gak ada satupun hal yang bisa berdiri sendiri tanpa didampingi hal yang berkebalikan,” jelasnya.

Begitu juga lo. Mungkin lo keliatan gak berperasaan karena sering diem dan gak nyampein emosi lo, tapi pasti ada kebalikan dari itu yang gak lo tunjukin, iya kan?

Milan masih belum menjawab.

Hilmy bersandar di kursi dengan posisi kaki terbuka lebar, tak henti-hentinya juga memegang tangan kanannya dengan tangan yang satunya.

Tapi santai, berekspresi emang gak segampang itu buat beberapa orang, gua paham. Cuma gua mau bilang aja, kalo lo mau marah, nangis, atau mau sekedar ngoceh-ngoceh doang, dateng aja ke gua. Lo bebas jadi manusia yang seutuhnya di depan gua.

Hilmy merebut pelan sendok di tangan Milan yang sedang mematung mendengarkan, menyekop es krimnya, dan mengembalikan sendok itu dalam keadaan dipenuhi es krim agar Milan melanjutkan aktivitas memakan es krimnya.

Toko gua buka 24 jam tanpa libur. Ada promo dan penawaran spesial juga kalo lo jadi pelanggan tetap,” ucapnya, yang berhasil membuat Milan yang semula diam jadi tertawa kecil.

Lo juga gak perlu minta maaf kalo sama gua, Mil, santai aja. Pokoknya anggep gua jadi fairy godfather lo. Suka-suka lo deh mau ngapain.” Hilmy mengakhiri 'pidato'-nya.

Jarang-jarang melihat Hilmy mau ngomong panjang x lebar begitu. Biasanya, Hilmy ngomong seperlunya aja, gak beda jauh sama Milan. Tapi entah kenapa ia dapat mengubah obrolan yan semula random abis, jadi obrolan serius dan semi-deep talk.

Milan mengangguk dan tertawa canggung sambil mengusap tengkuknya. Ia tak tahu harus merespon apa karena tak biasa membicarakan masalah ini dengan siapapun.

Suasana yang awalnya penuh tawa mendadak berubah jadi dingin.

Hilmy sebenarnya agak menyesal mengubah suasana jadi seperti itu, tapi di sisi lain, dia lega karena bisa menyampaikan sesuatu yang selama ini ada di pikirannya.

Mereka sempat saling diam beberapa menit karena bingung harus melanjutkan topik dengan pembicaraan apa setelah Hilmy bicara panjang lebar.

Es krimnya meleleh,” kata Milan canggung.

Yaudah, mau dibawa masuk?” jawab Hilmy tak kalah canggung.

Iya.

Yaudah sana.

Milan beranjak dari tempat duduknya dan pergi ke pantry untuk memasukan es krim raksasa itu ke dalam kulkas besar di pantry-nya

Waktu menunjukkan pukul sembilan lewat tiga puluh menit.

Cello sudah dalam perjalanan pulang selepas makan malam entah dengan siapa, sedangkan Bang Fabio masih sibuk mengurusi proyek di Surabaya, dan Mama Camarro sedang menghadiri salah satu event di HongKong.

Mau gua tungguin sampe Cello pulang?” tanya Hilmy ke Milan yang baru kembali dari pantry.

Milan menggeleng. “Kalo lo mau pulang, pulang aja gapapa.

Suara mobil maserati mc20 yang gagah tak lama terdengar di luar pagar rumah.

Tuh, Cello,” Milan menunjuk mobil sport putih beratap hitam yang terlihat jelas setelah pagar raksasa di rumah itu dibukakan oleh satpam.

Pintu mobilnya terbuka ke atas, pemiliknya turun memegang satu dompet dan satu ponsel di tangan kirinya.

Eyyy, masih di sini bos?” sapa Cello ketika melihat Hilmy duduk dengan santainya di teras rumah.

Yoi. Lo lama lagian,” jawab Hilmy dengan wajah senga.

Halah, bilang aja modus lo.” Cello menghampiri Hilmy dan menendang pelan kakinya yang sedikit menghalangi jalan karena posisi duduknya terlalu bersandar pada kursi. “Balik sana.

Yaelah napa si, gua masih mau di sini.

Jangan lupa ngeronda bego, ditungguin pak RT.

Hilmy tertawa renyah dalam candaannya dengan Cello. “Gak perlu ngeronda, orang penjahatnya baru balik ke rumah,” sindirnya.

Anjing.” Cello memukul lengan Hilmy cukup keras sampai yang dipukul meringis sambil tertawa.

Udah ah, gua balik. Yang punya rumah galak.

Nah gitu, jangan ngebucin mulu,” ejek Cello.

Ngaca, njing.” Hilmy balik memukul lengan Cello sambil berdiri dan memasukkan barang-barangnya ke dalam saku celana lalu menggenggam kunci mobilnya.

Milan mendorong Cello yang sejak tadi masih berdiri di hadapan mereka berdua dan terus menginterupsi obrolan mereka. “Udah ih, masuk!

Tau, banyak bacot,” Hilmy ikut menyahut.

Iya dah, iya, siap.” Cello menaruh tangannya dalam posisi hormat lalu masuk ke dalam rumah sambil tertawa.

Cello masuk ke dalam rumah sambil disambut oleh asisten rumah tangganya, dan naik ke kamarnya di lantai atas.

Gua balik ya, Mil,” pamit Hilmy sesaat setelah Cello benar-benar menghilang dari pandangan mereka.

Beneran balik?

Hilmy yang sudah berdiri lebih dulu mengangguk sambil merapihkan rambutnya dan memasukkan kedua tangannya ke dalam kantung hoodie-nya.

Yaudah.” Milan memimpin jalan untuk mengarah ke pagar rumah agar ia bukakan. Ia bahkan sempat menahan satpam yang berniat untuk membantunya membukakan pagar dengan maksud agar ia saja.

Besok mulai jam berapa lombanya?” tanya Hilmy sesampainya di luar pagar karena sebenaran masih enggan pergi.

Hmm..gak tau...kayaknya dari jam 8 pagi sampe selesai. Mungkin seharian gue disana.

Oke,” balas Hilmy singkat. Ia kemudian berjalan membelakangi Milan menuju mobilnya.

Saat sudah di depan mobil, lagi-lagi, ia kembali berhenti dan balik menatap Milan dengan tatapan cukup intens dan tersenyum.

Semangat!” Hilmy mengepalkan satu tangannya dan mengangkatnya sekilas. “Apapun hasilnya besok, lo tetep pemenangnya,“ucapnya.

Milan yang bersandar pada pagar tersenyum dan mengangguk pelan, lalu membuat hormat kecil dengan dua jarinya sebagai balasan. “Yes, sir!

Besok kalo udah mau mulai lomba, bilang gua ya. Biar gua kasih semangat yang banyak,” kata Hilmy sambil membuka pintu mobilnya.

Milan mengangguk dan mengacungkan jempolnya. “Okay.

Dah ya, Mil, gua balik.” Ia masuk ke dalam mobil dan membuka satu kacanya agar masih bisa melihat Milan yang berdiri di depan pagar dengan jelas.

Hati-hati,” kata Milan.

Yah, hati gua gak jamak, Mil. Cuma ada satu,” candanya. “Lo jadiin hak milik, lagi.

Ish!” Milan memelototi Hilmy agar berhenti menggodanya dan segera pulang.

Hilmy ini memang aneh. Sifatnya malu-malu kucing dan gengsi untuk berterus terang, tapi di sisi lain, dia juga terlalu sering menggombal sampai terlihat jelas perasaan aslinya.

Milan udah tau, sih, sebenernya. Tapi...

Dah.” Hilmy akhirnya benar-benar pamit dan menjalankan mobilnya menjauh dari rumah Milan.

Milan melambaikan tangannya sambil tertawa dan kembali masuk ke dalam rumah.

Pacarnya, Non?” tanya Pak Satpam tiba-tiba.

Haha. Bukan pak.

Oh, kirain. Soalnya dia berdiri di depan rumah dari maghrib,” katanya. “Pas saya tanya mau ketemu siapa, katanya mau ketemu dosennya. Jadi, saya biarin aja di depan, kirain mah nyasar.

Milan tertawa kecil. “Kok gak manggil?

Gak tau, katanya dosennya lagi sibuk, jangan diganggu.

Milan kembali tertawa.

Heran, orangnya sudah pulang aja masih bisa-bisanya bikin ketawa.

Aneh, unik, tapi... menarik... batin Milan.

Milan sudah menunggu kurang lebih 45 menit sejak ia menepi di bahu jalan karena ban mobilnya bocor.

Sedari tadi ia duduk di dalam mobil dan bermain handphone sambil menunggu Hilmy datang, sembari terus mengecek maps yang dibagikan Hilmy ke alamat email-nya untuk melihat Hilmy sudah sampai mana.

Tak lama, sebuah cahaya mobil yang terang datang dari belakang mobilnya yang terpancar melalui kaca spion. Mobil itu menepi ke bahu jalan, tepat di belakang mobil Milan.

Sempat tak terlihat jelas itu mobil apa atau siapa karena terhalang sinar yang terlalu silau. Namun, seketika lampu diredupkan, ia langsung mengetahui itu siapa pemilik mobil itu.

Tak lain tak bukan, mobil pajero Hilmy, dengan warna hitam doff yang sedikit dimodif pada bagian warna body.

Milan melihat Hilmy turun dari mobilnya melalui kaca spion.

Laki-laki itu turun memakai outfit rumahan, mengenakan kaos berlogo band ACDC dengan celana pendek selutut yang hampir menyerupai boxer, dan telapak kakinya dialasi sandal jepit berwarna abu-abu kehitaman. Rambutnya pun terlihat sangat berantakan dan wajahnya terlihat benar-benar seperti baru bangun tidur.

Milan terlalu sibuk menonton Hilmy melalui spion sampai tak sadar Hilmy sudah berdiri di samping kaca-nya dan mengetuk kaca jendela.

Milan menurunkan kaca jendelanya.

Turun dulu, Mil, masuk ke mobil gua aja.” Ucap Hilmy sekilas, lalu kembali ke belakang mobil, mengobrol dengan pria paruh baya yang sepertinya adalah tukang tambal ban yang dibawa Hilmy untuk menambal ban mobil Milan.

Milan membuka pintunya dan segera turun, kemudian ia mengikuti langkah Hilmy yang berjalan ke belakang mobilnya untuk mengecek posisi ban yang bocor.

Selain suara mobil berlalu lalang, suara yang ia dengar pertama kali adalah suara Hilmy yang berbincang menggunakan bahasa sunda dengan tukang tambal ban.

Ieu?” tanya pria paruh baya itu sambil menunjuk ban mobil belakang Milan yang terlihat bocor.

He'eh, kang. Hampura pisan atuh kang 'nya, jadi ganggu malem-malem.

Teu nanaon, lah.

Seketika menyadari Milan turun dan menghampirinya yang tengah bicara dengan tukang tambal ban, Hilmy langsung menyuruh Milan masuk ke dalam mobilnya yang daritadi belum ia matikan mesinnya. Maksudnya, agar ia saja yang mengawasi tukang tambal ban di luar, Milan di mobil aja.

Di mobil gua ada Mcd, double cheeseburger no pickle, minumnya diganti lemon tea, upsize. Masuk sana, makan,” suruh Hilmy sambil berkacak pinggang tanpa menatap Milan karena terlalu sibuk memperhatikan tukang tambal ban melakukan pekerjaannya.

Milan tertawa kecil. “*Ih hafal, keren,” ucapnya sambil mengacungkan satu jempol.

Iya lah. Gua.” Ia menunjukkan raut senga khasnya. “Sana gih ke mobil, ntar gua nyusul. Mcd nya gua taro di kursi depan tuh, makan aja.

Bukannya segera masuk ke dalam mobil, Milan malah semakin merasa bersalah. Pikirnya, udah minta tolong malem-malem, segala dibeliin makanan pula. Bahkan belum pernah sebelumnya Milan merepoti orang lain seperti ini selain 'orang suruhan' keluarganya.

Milan menunduk sebentar. “Sorry ya, Hil, jadi ganggu.

Hilmy yang wajahnya masih fokus memperhatikan tukang tambal ban sambil berkacak pinggang hanya mengangguk kecil tanpa melihat wajahnya.

Karena tak enak hati, Milan terus-terusan bertanya hingga membuat fokus Hilmy buyar. “Lo lagi tidur ya tadi?

Melihat Milan yang alih-alih masuk ke dalam mobil malah terus-terusan bertanya, pria itu berusaha memaksanya sehalus mungkin. Ia refleks mengarahkan satu tangannya ke pucuk kepala Milan, kemudian mengusapnya perlahan sebagai tanda meyakinkan. Spontan saja.

Gapapa. Udah sana,” katanya dengan wajah tanpa dosa dan kembali menaruh fokus pada pria yang tengah menambal ban mobil di hadapannya. Kemudian dengan santainya, ia merapihkan rambut dengan tangan yang sama dengan tangan yang mengusap kepala Milan barusan.

Sepertinya Hilmy juga tak sadar akan apa yang ia lakukan barusan, buktinya, ia masih santai memperhatikan pengerjaan tambal ban tanpa wajah salah tingkah yang biasa terlihat setiap kali ia flirting atau melakukan kontak fisik dengan Milan.

Sedangkan yang baru saja diusap—untuk pertama kalinya oleh orang lain selain keluarganya—, wajahnya jadi merah padam. Perutnya kembali dipenuhi kupu-kupu berterbangan seperti tempo lalu hanya karena tindakan kecil yang Hilmy lakukan.

Kali ini, malah Milan yang salah tingkah.

Time flipped. Hilmy kemungkinan gak sadar sama apa yang dia lakuin barusan. Seenak hati, dia masih santai merhatiin akang tambal ban, padahal barusan habis ngeberantakin perasaan orang. Kurang ajar.

Akibat ulah Hilmy, Milan malah jadi membeku di hadapannya dengan wajah merah yang tak kunjung pudar. Untungnya kala itu sudah larut, jadi wajah memerahnya tak terlalu jelas terlihat.

Ngapain? Masuk sana. Gua mau liatin akangnya nambal.

“*Gue mau liat juga,” dusta Milan. Padahal ia hanya ingin menutupi salah tingkahnya saja.

Debu, Mil. Masuk ayo.” Hilmy kemudian memasukkan kedua tangannya ke dalam kantong celana boxer-nya dan segera memimpin jalan agar Milan mengikutinya menuju mobil.

Ia lalu membukakan pintu penumpang untuk menyuruh Milan masuk, seperti biasa.

Milan hanya melihat Hilmy yang berdiri memegang pintu mobil yang terbuka dari kejauhan. Ia masih bersikukuh untuk ikut melihat, padahal, sepertinya ia hanya ingin berdiri di samping Hilmy saja di luar.

Hilmy menghela nafas melihat Milan tak mau beranjak dari tempatnya berdiri.

Yaudah, burger lo gua makan, nih?” canda Hilmy.

Makan aja.

Hilmy tertawa pelan. “Engga lah, gua beli dua. Ayo makan.

Mendengar itu, Milan yang semula bersikukuh untuk tetap berdiri di luar mobil akhirnya luluh juga dan segera berjalan menuju pintu yang sudah Hilmy bukakan.

Ia duduk dan menunggu Hilmy masuk dari pintu mobil satunya.

Tuh,” tunjuk Hilmy l ke arah kantung kertas berwarna coklat yang identik dengan kemasan McD.

Milan segera meraihnya dan mengeluarkan burger, french fries, serta minuman sesuai dengan yang biasa ia pesan.

Punya lo yang mana?” tanya Milan sambil celingak-celinguk mencari kemasan lain di dalam mobil.

Hilmy lagi-lagi terkekeh. “Engga ada. Gua gak doyan McD.

Lah terus kenapa tadi bilangnya—

Biar lo mau makan, lah. Udah itu dimakan buru nanti keburu dicuri swiper,“perintahnya.

Gua mau balik ngeliatin akangnya nambal ban dulu.

Milan yang hendak mengigit burger-nya seketika berhenti dan melihat Hilmy lamat-lamat.

Hilmy menoleh dan balik menatapnya dengan tatapan bingung. “Kenapa?

Milan masih dalam posisi menggigit burger di dalam mulutnya tanpa dikunyah dan tetap menatap wajah Hilmy tanpa berkata apa-apa.

Hilmy terkekeh, menahan gemas melihat Milan dengan wajah clueless seperti kucing yang tersesat dan sedang mencari induknya. Baru pertama kali ia melihat Milan dengan ekspresi seperti ini. Rasanya ia mengekspresikan rasa gemasnya, tapi...ah sudahlah.

Ngapain ngeliatin tukang tambal ban?” tanya Milan.

Ya gapapa, satisfying aja, seru.

Milan mulai mengunyah burgernya dengan wajah—yang terlihat seperti— kecewa.

Seakan paham, Hilmy langsung mengurungkan niatnya. “Yaudah gua disini aja.

Ia kemudian kembali ke posisi duduk normal menghadap depan dan segera mengalihkan pembicaraan. “Tuang saosnya, dong. Gua mau makan french fries.

Tadi katanya gak suka McD.

Emang gak suka McD, sukanya...” Ucap Hilmy menggantung sambil mengambil french fries dan memasukannya ke dalam mulut lalu kemudian melihat ke wajah Milan.

Apa?

Apa?

Lah, apa?

Hilmy tertawa renyah. “Apa sih?

Aneh.

Tak cukup rasanya bila makan berdua di dalam mobil tanpa melakukan perbincangan random untuk mengisi keheningan. Sambil menunggu akang tambal ban selesai, mereka terus-terusan mengobrol sampai Hilmy lupa kalau tadi ia ingin menonton si akang benerin ban bocor.

Lo lagi tidur ya tadi?” Milan mengulangi pertanyaannya yang belum terjawab barusan.

Hilmy sambil mengunyah french fries-nya hanya mengangguk sekali. “*Tapi kebangun mau ke toilet, kebetulan cek maps, lo lagi berhenti, jadi gua nanya.”

Lo beneran kayak satpam, ready 24/7,” kata Milan yang terdengar seperti bercanda, padahal dia serius.

Hilmy tertawa kecil mendengarnya. “Yakali, anjir. Gua kayak gini ke lo sama nyokap gua doang.

Biar apa kayak gitu?

Biar...” Ia berpikir—pura-pura. “Ya gatau, suka-suka gua dong, kok lo ngatur?” Eh, malah membalikkan pertanyaan Milan dengan candaan.

Lah kok sewot? Orang nanya.

Gelak tawa Hilmy terlepas setelah melihat ekspresi nyolot Milan karena diledek. Menurutnya, kalau perempuan lagi nyolot itu, lucu. Entah kenapa, ya, lucu aja katanya.

Diem.” Milan memukul pelan tangan Hilmy yang terus-terusan tertawa padahal gak ada yang lucu—selain dirinya, menurut Hilmy.

Ting

Ponsel Milan menunjukkan satu notifikasi masuk di tengah gelakan tawa Hilmy yang berangsur memudar karena capek sendiri.

Ia buru-buru mengeceknya, takut itu abang atau mamanya yang menanyakan kabar. Tapi ternyata notif itu datang dari...

Kak Rama : Udah sampe rumah Mil?

Hilmy yang tak sengaja melihat itu benar-benar langsung menghentikan tawanya dan kembali mencomot french fries yang ditaruh di atas paha Milan.

“*Daritadi Kak Rama nanyain terus, deh. Padahal biasanya engga,” curhatnya.

Hilmy—si pelaku ngomel ngomel yang bikin Rama jadi nanyain terus—berpura-pura seakan tak berdosa dan terus saja mengunyah french fries-nya.

Milan membalas pesan Rama dan kembali memakan burgernya.

Lo kenal deket sama Kak Rama ya?” tanya Milan tiba-tiba.

Hilmy mengedikkan bahunya. “Biasa aja. Tapi dari dulu satu sekolah mulu, sampe bosen sendiri gua.

Sering nongkrong bareng, dong?

Rama ga nongkrong. Dia mah nongkrong pas di toilet doang,” jawab Hilmy. “Dia dari dulu berprestasi banget, meresahkan dunia per-tetanggaan di kawasan gua.

Milan tertawa. “Kalian tetangga juga?

Tadinya. Tapi dia pindah ke neptunus. Gua gak nanya juga.” Neptunus maksudnya itu planet, bukan secara harfiah. Hilmy kan kalau ngomong memang suka seada-adanya.

Lah, kok gitu?

Ya...udah lama ga main juga, gengsi lah mau nanya.

Kebanyakan gengsi,” kata Milan sekilas membuat Hilmy yang mendengar dua kata sederhana itu seakan ditampar bolak-balik untuk kedua kalinya.

Sebelumnya dia dikatain 'kebanyakan gengsi' sama Rifan aja kesel banget, tapi kali ini yang ngatain beda orang, jadi rasanya beda. Rasanya kayak, tamparan itu cuma diterima, ga dimasukin hati.

Demi mengalihkan pembicaraan agar tak terlalu lama membahas Rama ataupun kegengsian Hilmy yang sudah mendarah daging, ia menawarkan Milan untuk tidur, kalau ngantuk.

Lo ngantuk ga? Kalo ngantuk tidur aja.

Gue yang harusnya ngomong gitu. Lo kan ga kuat begadang,” ejek Milan.

Eh gini-gini gua gampang dibangunin walaupun tidur cepet.

Yaudah lo aja yang tidur kalo gitu,” balas Milan dengan ekspresi mengejek.

Si yang diejek menunjukkan raut wajah sebal dan memicingkan matanya seakan bersiap untuk memulai perang. Tapi gak jadi. Dia malah mengambil bantal leher We Bare Bear di jok belakang untuk kemudian ia berikan pada gadis di sebelahnya.

Tuh, kalo mau tidur,” ia menawarkan.

HAHA lucu banget lo punya bantal We Bare Bear.” Milan tertawa puas.

Kemarin pas di Miniso gua liat tinggal satu. Karena lucu gua beli aja,” balasnya dengan wajah datar. “*Tadinya mau gua kasih ke lo, tapi kayaknya lo gasuka kartun yang lucu-lucu git—”

Suka! Enak aja,” sela Milan. “Cuma gara-gara latar belakang keluarga gue, gue jadi gaboleh suka We Bare Bear gitu?

Ya kan kirain.” Hilmy tertawa renyah mendengarnya. “Yaudah ambil aja kalo gitu.

Dengan senang hati, Milan langsung memakai bantal leher itu dan dilingkarkan ke tengkuknya.

Sebenarnya, nih, sebenarnya...Milan memang gak suka kartun ataupun barang-barang lucu gitu. Tapi gak tau, beneran gak tau kenapa, kalau lagi sama Hilmy, Milan benar-benar orang yang berbeda. Bahkan ketika dengar bantal itu harusnya buat dia tapi gak jadi aja, dia langsung protes. Padahal dia gak terlalu pengen juga punya bantal itu.

Milan memejamkan matanya untuk menikmati bantal leher barunya. Ia mengatur posisi senyaman mungkin agar—setidaknya—bisa terlelap walau sebentar.

Ngantuk kan? Lo baru tidur sebentar hari ini,” kali ini Hilmy kembali meledek Milan yang tadi menolak saat ditawarin tidur, tapi malah hampir pulas.

Ia mengacak pelan rambut Milan. “Yaudah tidur deh. Gua nemenin si akangnya ya. Kasian benerin ban sendirian,” ucapnya bermonolog walau tahu Milan yang hampir pulas tak akan menjawabnya.

Milan benar-benar kehilangan kesadaran setelahnya. Ia tertidur pulas di dalam mobil Hilmy yang senyap dengan hanya suara mesin terdengar. Vibrasi dari mobil berbahan bakar solar itu juga menjadi salah satu faktor kuat yang dapat membuatnya tertidur pulas dan nyaman.


Iya tante, itu Milannya tidur di dalem mobil, tante aja yang bangunin.

Milan mendengar suara itu sayup-sayup dari luar mobil sesaat setelah ia terbangun.

Hilmy sudah ada di luar mobil—sepertinya sejak tadi—dan mengobrol dengan mamanya. Sementara ia ditinggalkan tidur di dalam mobil sendirian.

Dilihatnya mamanya yang memakai kimono tidur, berjalan menuju mobil untuk membangunkannya. Ia lalu langsung dikejutkan saat Milan yang dikira masih tidur tiba-tiba turun dengan wajah bantal.

Nih dia, udah bangun!” seru mamanya. “Kasian tuh Hilmy jadi nganterin tengah malem begini.

Gapapa tante.” Hilmy terkekeh canggung dan menundukkan badannya sedikit, menunjukkan gestur sopan.

Udah sana masuk, langsung tidur, biar Hilmy mama aja yang tungguin sampe pulang,” perintah sang mama kepada Milan.

Milan yang masih setengah sadar dengan bantal leher masih terlingkar di tengkuknya, langsung berjalan meninggalkan Hilmy dan mamanya berdiri di depan pagar. Segera ia masuk ke dalam rumah karena mengantuk berat, rasanya ingin cepat-cepat menyambung tidurnya.

Setelah memastikan Milan sudah sepenuhnya masuk dan menutup pintu rumah, Hilmy langsung berpamitan.

Yaudah, saya pamit pulang ya tante,

Iya Hilmy, makasih banyak, ya. Sorry, loh, jadi ngerepotin gini.” Mama Camarro menyentuh lengan Hilmy pelan.

Hilmy hanya mengangguk dan berjalan menuju pintu mobil, bersamaan dengan si akang tambal ban yang tadi membantu Hilmy setirin mobil Milan sampai ke rumahnya.

Lain kali sering-sering mampir aja kesini. Tante jarang di rumah, sih, tapi kan ada Milan,” Mama Camarro menawarkan. “Kamu temen Marcello juga kan?

Hehe iya tante, temen Marcello juga.

Nah, kalau gitu sering-sering mampir kesini, dong.

Hilmy lagi-lagi tertawa canggung dan mengangguk, lalu langsung benar-benar berpamitan.

Iya tante, nanti sering-sering, kok. Saya pamit ya, tan.

Mama Camarro melambaikan tangannya sambil ditemani satpamnya menutup pagar raksasa di rumah itu.

Sesaat setelah mobil sudah jalan, si akang tambal ban dengan santainya nanya, “Geulis pisan eta si ibunya. Calon mertua, My?

Hush! Kalo ngomong...” Hilmy menyenggol tangannya, sudah akrab. “Suka bener...

Mereka kemudian sama-sama tertawa dan melanjutkan perbincangan di dengan konsultasi 101 cara menaklukan wanita ala si akang tambal ban yang berhasil nikahin anak ustad kembang desa di kampungnya.

Intinya mah, My, berani weh dulu. Diterima, ditolak, urusan Yang Diatas. Perempuan kayak si...si siapa tadi namanya teh, klub sepak bola...dia kelewat geulis itu. Kalau kelamaan, disalip orang nanti, nyaho.

Susah, kang.

Halah, susah-susah. Itumah kamunya aja, pengecut.

Astaghfirullah, Kang Cecep, ngatain anak orang,” kata Hilmy dengan nada seolah-olah tersakiti.

Ya, kamu. Wajah kasep, teu dimanfaatin. Mending buat saya.

Milan! Itu Hilmy udah dateng!” Seru Cello dari luar kamar Milan yang terkunci karena si empunya masih bersiap.

Iya tunggu sebentar.” Ia berteriak dari dalam kamar. “Lo ajak masuk dulu gak?

Itu dia di ruang tamu sama Bang Bio. Buruan dah.” Cello kembali berseru agar Milan cepat selesai.

Sementara dua saudara itu berteriak diantara pintu kamar yang tertutup, Hilmy duduk di lantai bawah bersama Fabio yang baru saja sampai dari bandara dengan setelan pakaian yang formal dan rapih.

Wangi parfum keduanya bertabrakan, Hilmy yang memakai parfum Le Labo Gaiac 10 dengan aroma balsamic dan terasa sangat segar karena baru saja disemprotkan, bertemu dengan Fabio yang memakai parfum Tom Ford White Suede yang beraroma floral woody yang sudah sejak pagi ia pakai namun wanginya masih menempel. Ruang tamu itu jadi sangat semerbak karena keduanya seakan habis 'mandi parfum'.

Hilmy tampak canggung, namun tak secanggung saat bersama Johnny karena ia tau Fabio sedikit lebih friendly.

Baru pulang bang?” Tanya Hilmy berbasa-basi karena tadi bertemu Fabio baru turun dari mobilnya dengan beberapa koper mengikuti.

Iya, abis meeting di Malaysia.” Jawab Fabio yang setelahnya hanya direspon dengan anggukan oleh Hilmy dan suasana kembali menjadi hening.

Gimana yang kemarin sama Cello? Aman kan?” Fabio bertanya sambil menyilangkan kaki kanan diatas kaki kirinya dan menyesap teh yang baru saja disajikan.

Aman, bang. Gua udah kontak abang gua sih buat tanya-tanya.

Developer rekomendasi dari gua, oke gak dia?

Parah, sih. Anak ITB kayaknya gak usah diraguin.” Jawab Hilmy sambil terkekeh pelan.

Iya, lah. Kalau buat teknologi gitu, harus ada relasi lulusan ITB, at least satu, lah. Nah, nanti kalau bisnis lo udah raksasa atau mendekati, baru deh hire lulusan NTU, mantep tuh mereka.” Tutur Fabio memberi saran.

Waduh, lulusan NTU berat, bang. Abang gua aja lulusan NTU maunya kerja di start-up backingan Google.

Yaa jangan salah, banyak temen gua lulusan NTU kerja di start-up biasa. Mereka mulai dari nol biar dapet persenan saham gede.” Fabio tertawa. “Lo kalo butuh apa-apa, hubungin gua aja, Hil. Bisa diatur itu mah.

Yoi bang, pasti.

Begitulah kira-kira jika dua laki-laki dengan passion yang sama bertemu. Terlebih passion keduanya sama-sama bidang bisnis. Ruang tamu keluarga pun bisa diubahnya menjadi ruang meeting dadakan.

Baru saja Hilmy ingin mengajukan pertanyaan lainnya, Milan turun dari tangga terburu-buru karena panik sudah membuat Hilmy menunggu lama. Ia langsung mengajak Hilmy keluar dan berpamitan dengan Fabio.

Bang, berangkat ya!” Milan menarik tangan Hilmy untuk segera keluar. Hilmy menganggukkan kepalanya sekali ke arah Fabio untuk berpamitan dan mengikuti langkah Milan keluar dari pintu.

Kalo abang gue nanya aneh-aneh, gausah dijawab. Mereka emang gitu.” Ucap Milan di depan pagar saat Hilmy sedang merogoh kantongnya untuk mengambil kunci mobil.

Hilmy tertawa kecil. “Kenapa emang?

Mereka gak pernah ketemu sama temen cowok gue, jadi agak...ya lo liat aja....semuanya jadi dianggap pacar kan?” Milan panik, takut abangnya bertanya macam-macam. Padahal mah....gak ada tuh, Bang Fabio nanyain Hilmy pacar dia atau bukan.

Melihat Milan yang seperti panik dan khawatir akan obrolan antara Hilmy dan abangnya, Hilmy malah mengejeknya.

Semuanya yang ditanyain...atau gua doang?” Tanya Hilmy nyengir sambil menekan kunci mobil agar kunci pintu terbuka.

Milan hanya menatapnya sinis karena diejek dan mendekat ke arah pintu penumpang.

Belum sampai ia ke depan pintu mobil, Hilmy sudah tiba lebih dulu dan membukakan pintu untuknya.

Hilmy hanya tersenyum mengejek ke arah Milan yang ingin masuk ke dalam mobilnya, dan kembali menutup pintu mobil setelah Milan benar-benar duduk nyaman di dalam mobil.


Hil, liat deh.” Milan memanggil Hilmy yang tengah fokus menyetir agar menoleh ke arahnya.

Hilmy menoleh sedikit lalu kembali menaruh pandangan ke depan agar setirnya tak kemana-mana. “Hm?

Kalau gue pake lipstick warna ini kepucetan gak? Atau tambah warna ini biar keliatan?” Tanya Milan sambil mendekatkan dua lip cream dengan warna yang berbeda ke bibirnya.

Sama aja.” Jawabnya singkat setelah melirik sebentar.

Diliat dulu yang bener...ini beda warnanya.

Apa bedanya? Sama-sama pink.” Balas Hilmy seakan tak acuh sambil tetap fokus menyetir.

Ah, yaudah.” Tak puas dengan jawaban Hilmy, Milan merogoh tasnya untuk mengambil ponsel dan membuka fitur kamera.

Ngapain?” Tanya Hilmy.

“Nanya Rifan aja. Dia kalau ditanya jawabnya jujur.*”

Mendengar itu, Hilmy si-orang-sok-cool itu langsung memelankan mobilnya dan menoleh sepenuhnya ke arah Milan.

Sini liat.

Milan menutup ponselnya dan menoleh ke arah Hilmy yang sudah melihatnya lalu mendekatkan dua warna lip cream yang tadi ke bibirnya.

Yang mana?

Bukannya langsung menjawab, Hilmy malah diam dan kembali melihat jalanan.

Hilmy, yang mana???” Milan kembali bertanya karena laki-laki di sebelahnya malah kembali melihat jalanan setelah tadi ingin menjawab.

Bagus dua-duanya.” Jawab Hilmy singkat tanpa menoleh sedikit-pun.

That's not even an answer.

Lo suka yang mana emang?” Bukannya menjawab, Hilmy malah kembali bertanya.

Kalau pake baju ini kayaknya yang ini lebih bagus. Ya gak sih?

Nah, yaudah. Pake itu aja. Lo kalau nanya ke gua, jawaban gua cuma dua.

Apa?

Cantik atau cantik banget,” Jawabnya.

Tapi gua gak mau sembarangan ngomong gitu, nanti lo geer.

Dih? Bilang aja gak mau ngomong gitu karena malu, kan?

Siapa bilang?” Hilmy berusaha mengelak.

Cowok mana yang abis muji orang 'cantik' terus pura-pura ketempelan Barney? Lo doang.” Ejek Milan sambil tertawa kecil.

Telinga Hilmy memerah karena tak tau harus menjawab apa.

Skak mat kalo ngomong sama juara 1 lomba debat nasional. Sertifikat Ngeles Internasional gua juga bisa dibabat abis sama dia. Batinnya.


Parkir disini aja, disana gak dapet.” Hilmy membuka seat belt-nya dan bersiap untuk turun.

Milan yang belum pernah makan disitu hanya menurut dan percaya saja. “Berarti kita nyebrang?

Hilmy mengangguk sambil terus sibuk merapihkan bajunya.

Milan masih duduk di bangkunya sambil memegangi tas selempang kecilnya, tak beranjak turun sama sekali.

Hilmy yang sudah berdiri di luar mobil yang pintunya belum tertutup langsung menyadari alasan Milan belum mau turun. Ia langsung menutup pintunya dan beralih ke pintu penumpang untuk membukakan pintu Milan, dan tanpa banyak bertanya ia berkata, “Ayo sama gua.

Memang, namanya juga Hilmy. Walaupun anaknya sotoy abis tapi tebakannya selalu benar dan level kepekaannya diatas rata-rata.

Dengan segenap kepercayaan, Milan turun dan mengikuti langkah Hilmy untuk menyebrangi jalanan.

Lalu lintas cukup ramai saat itu, dan untuk menyebrang, tidak disediakan fasilitas zebra cross. Jadi kalau mau menyebrang, harus inisiatif sendiri memberhentikan kendaraan yang berlalu lalang.

Hilmy berdiri di sebelah kanan—untuk menghentikan kendaraan— dan menggiring punggung Milan dengan tangan kirinya. Bisa dibilang, tangan itu Hilmy yang menggiring Milan itu mengambang, tidak menyentuh punggungnya secara langsung. Sebab Hilmy tau Milan tak terlalu suka disentuh. Ia sepenuhnya menghargai, makanya ia tak berani menyentuh Milan sembarangan.