sunlixie

ojek


Eric menatap motornya dan abang tukang bengkel dengan cemas. Sedari tadi tangannya menggenggam ponsel, masih menunggu pesanannya diterima oleh driver ojek online. Sekarang sudah pukul tujuh. Untungnya barusan Felix memberi kabar bahwa Bu Mei belum masuk ke kelas sehingga rasa panik Eric sedikit berkurang.

“Ini kayaknya bakal lama deh, Mas,” si abang tukang bengkel berucap, “lama gak diservis, ya?”

“Kayaknya loh, Bang,” balas Eric, “kira-kira berapa lama ya? Saya masih harus sekolah, nih.”

“Mungkin nyampe siang, Mas,” mendengarnya membuat Eric melotot.

“Ya udah deh, gak papa, Bang. Tolong sembuhin pacar saya, ya,” ucap Eric.

Kini giliran abang tukang bengkel yang melotot.

Setelah memberi uang muka ke abangnya, Eric kembali sibuk dengan ponselnya. Ia berdecak. Ini aplikasi rusak apa gimana, sih? Eric menggerutu dalam hati, dari tadi gak dapet mulu, anjir.

“Atas nama mas Eric, ya?”

“Iya bener,” Eric menjawab sebelum akhirnya merasa ada yang janggal, “LOH BENTAR GUE KAN BELUM—”

Perkataan Eric menggantung ketika menemukan presensi Aksel di depannya. Raut wajahnya berubah menjadi amat cerah, membuat Aksel sedikit merinding.

“BURUAN CEPET GAS NGUENG!” tanpa aba-aba, Eric langsung menaiki motor Aksel lalu menepuk punggungnya.

“Hah? Loh?” Aksel kebingungan.

“KE SEKOLAH, SEL, AYO CEPET!”

Meski masih belum sepenuhnya mencerna kejadian di hadapannya, Aksel tetap melajukan motornya.

“KOK CUMA 40 SIH? GUE ADA ULANGAN INI AYO LEBIH CEPET, SEL!” Eric kembali menepuk punggung Aksel keras-keras. Tidak tahu diri memang.

“Ya udah pegangan.”

Eric hampir terhuyung ke belakang ketika Aksel tiba-tiba menaikkan kecepatan. Lelaki itu refleks memasukkan tangannya ke saku jaket Aksel, sebuah kebiasaan yang tanpa sadar selalu ia lakukan ketika dibonceng orang lain.

“Lo, tuh, udah tau ada ulangan kenapa mepet, sih?” di sela kegiatan menyetirnya, Aksel bertanya.

“Mana gue tau kalau Stephanie mau mogok,” jawab Eric di balik baju kanan Aksel, “gue juga tadi ketiduran lagi sebelum berangkat ke sekolah.”

“Jangan bilang pas gue chat lo baru bangun?” tebak Aksel.

“Bravo, betul,” jawab Eric sambil tersenyum lebar.

Aksel berdecak pelan, tidak habis pikir dengan kelakuan lelaki yang tengah ia bonceng. Tetapi, jika dipikir wajar juga mengingat semalam Eric begadang cukup lama. Dari spion, Aksel melirik Eric yang sedang bergumam dengan wajah panik. Meski tidak terlalu jelas, Aksel bisa membaca bahwa Eric tengah berharap gurunya belum masuk kelas sampai ia datang.

“Udah mau sampai,” Aksel menurunkan kecepatan ketika gedung sekolahnya sudah mulai terlihat, “gerbangnya udah ditutup, Ric.”

“Gak papa, gue bisa bujuk pak satpam,” balas Eric.

Ketika Aksel menghentikan motornya dengan sempurna, Eric langsung melompat, “makasih banyak, Sel. Lo penyelamat banget sumpah. Gue ke kelas dulu, lo jangan sampai bolos.”

Setelah berkata dengan nada terburu-buru, Eric langsung berlari pergi, meninggalkan Aksel yang kebingungan.

“Gue kan ... diskors, Ric,” balas Aksel pada angin.

ojek


Eric menatap motornya dan abang tukang bengkel dengan cemas. Sedari tadi tangannya menggenggam ponsel, masih menunggu pesanannya diterima oleh driver ojek online. Sekarang sudah pukul tujuh. Untungnya, barusan Felix memberi kabar bahwa Bu Mei belum masuk ke kelas sehingga rasa panik Eric sedikit berkurang.

“Ini kayaknya bakal lama deh, Mas,” si abang tukang bengkel berucap, “lama gak diservis, ya?”

“Kayaknya loh, Bang,” balas Eric sambil menggaruk-garuk rambutnya, “kira-kira berapa lama ya? Saya masih harus sekolah, nih.”

“Mungkin nyampe siang, Mas,” mendengarnya Eric melotot.

“Ya udah deh, tolong benerin pacar saya, ya, Bang,” balas Eric.

Kini giliran abang tukang bengkel yang melotot.

Eric kembali sibuk dengan ponselnya setelah memeberi uang muka kepada abang tukang bengkel. Ia berdecak. Ini aplikasi rusak apa gimana, sih? Eric menggerutu dalam hati, dari tadi gak dapet mulu, anjir.

“Atas nama mas Eric, ya?”

“Iya bener,” Eric menjawab sebelum akhirnya merasa ada yang janggal, “LOH BENTAR GUE KAN BELUM—”

Perkataan Eric menggantung ketika menemukan presensi Aksel di depannya. Tiba-tiba raut wajahnya menjadi amat cerah, membuat Aksel sedikit merinding melihatnya.

“BURUAN CEPET GAS NGUENG!” tanpa aba-aba, Eric langsung menaiki motor Aksel lalu menepuk punggung lelaki itu.

“Hah? Loh?” Aksel kebingungan.

“KE SEKOLAH, SEL, AYO CEPET!”

Meski masih belum sepenuhnya mencerna kejadian di hadapannya, Aksel tetap melajukan motornya.

“KOK CUMA 40 SIH? GUE ADA ULANGAN INI AYO LEBIH CEPET, SEL!” Eric kembali menepuk punggung Aksel keras-keras. Tidak tahu diri memang.

“Ya udah pegangan.”

Eric hampir terhuyung ke belakang ketika Aksel tiba-tiba menaikkan kecepatan. Lelaki itu refleks memasukkan tangannya ke saku jaket Aksel, sebuah kebiasaan yang tanpa sadar selalu ia lakukan ketika dibonceng oleh orang lain.

“Lo, tuh, udah tau ada ulangan kenapa mepet, sih?” di sela kegiatan menyetirnya, Aksel bertanya.

“Mana gue tau kalau Stephanie mau mogok,” jawab Eric di balik baju kanan Aksel, “gue juga tadi ketiduran lagi sebelum berangkat ke sekolah.”

“Jangan bilang pas gue chat lo baru bangun?” tebak Aksel.

“Bravo, betul,” jawab Eric sambil tersenyum lebar.

Aksel berdecak pelan, tidak habis pikir dengan kelakuan lelaki yang tengah ia bonceng. Tetapi, jika dipikir wajar juga mengingat semalam Eric begadang cukup lama. Dari spion, Aksel melirik Eric yang sedang bergumam dengan wajah panik. Meski tidak terlalu jelas, Aksel bisa membaca bahwa Eric tengah berharap gurunya belum masuk kelas sampai ia datang.

“Udah mau sampai,” Aksel menurunkan kecepatan ketika gedung sekolahnya sudah mulai terlihat, “gerbangnya udah ditutup, Ric.”

“Gak papa, gue bisa bujuk pak satpam,” balas Eric.

Ketika Aksel menghentikan motornya dengan sempurna, Eric langsung melompat, “makasih banyak, Sel. Lo penyelamat banget sumpah. Gue ke kelas dulu, lo jangan sampai bolos.”

Setelah berkata dengan nada terburu-buru, Eric langsung berlari pergi, meninggalkan Aksel yang kebingungan.

“Gue kan ... diskors, Ric,” balas Aksel pada angin.

ojek


Eric menatap motornya dan abang tukang bengkel dengan cemas. Sedari tadi tangannya menggenggam ponsel, masih menunggu pesanannya diterima oleh driver ojek online. Sekarang sudah pukul tujuh. Untungnya, barusan Felix memberi kabar bahwa Bu Mei belum masuk ke kelas sehingga rasa panik Eric sedikit berkurang.

“Ini kayaknya bakal lama deh, Mas,” si abang tukang bengkel berucap, “lama gak diservis, ya?”

“Kayaknya loh, Bang,” balas Eric sambil menggaruk-garuk rambutnya, “kira-kira berapa lama ya? Saya masih harus sekolah, nih.”

“Mungkin nyampe siang, Mas,” mendengarnya Eric melotot.

“Ya udah deh, tolong benerin pacar saya, ya, Bang,” balas Eric.

Kini giliran abang tukang bengkel yang melotot.

Eric kembali sibuk dengan ponselnya setelah memeberi uang muka kepada abang tukang bengkel. Ia berdecak. Ini aplikasi rusak apa gimana, sih? Eric menggerutu dalam hati, dari tadi gak dapet mulu, anjir.

“Atas nama mas Eric, ya?” “Iya bener,” Eric menjawab sebelum akhirnya merasa ada yang janggal, “LOH BENTAR GUE KAN BELUM—”

Perkataan Eric menggantung ketika menemukan presensi Aksel di depannya.

“BURUAN CEPET GAS NGUENG!” tanpa aba-aba, Eric langsung menaiki motor Aksel lalu menepuk punggungnya.

“Hah? Loh?” Aksel kebingungan.

“KE SEKOLAH, SEL, AYO CEPET!”

Meski masih belum sepenuhnya mencerna kejadian di hadapannya, Aksel tetap melajukan motornya.

“KOK CUMA 40 SIH? GUE ADA ULANGAN INI AYO LEBIH CEPET, SEL!” Eric kembali menepuk punggung Aksel keras-keras. Tidak tahu diri memang.

“Ya udah pegangan.”

Eric hampir terhuyung ke belakang ketika Aksel tiba-tiba menaikkan kecepatan. Lelaki itu refleks memasukkan tangannya ke saku jaket Aksel, sebuah kebiasaan yang tanpa sadar selalu ia lakukan ketika dibonceng oleh orang lain.

“Lo, tuh, udah tau ada ulangan kenapa mepet, sih?” di sela kegiatan menyetirnya, Aksel bertanya.

“Mana gue tau kalau Stephanie mau mogok,” jawab Eric di balik baju kanan Aksel, “gue juga tadi ketiduran lagi sebelum berangkat ke sekolah.”

“Jangan bilang pas gue chat lo baru bangun?” tebak Aksel.

“Bravo, betul,” jawab Eric sambil tersenyum lebar.

Aksel berdecak pelan, tidak habis pikir dengan kelakuan lelaki yang tengah ia bonceng. Tetapi, jika dipikir wajar juga mengingat semalam Eric begadang cukup lama. Dari spion, Aksel melirik Eric yang sedang bergumam dengan wajah panik. Meski tidak terlalu jelas, Aksel bisa membaca bahwa Eric tengah berharap gurunya belum masuk kelas sampai ia datang.

“Udah mau sampai,” Aksel menurunkan kecepatan ketika gedung sekolahnya sudah mulai terlihat, “gerbangnya udah ditutup, Ric.”

“Gak papa, gue bisa bujuk pak satpam,” balas Eric.

Ketika Aksel menghentikan motornya dengan sempurna, Eric langsung melompat, “makasih banyak, Sel. Lo penyelamat banget sumpah. Gue ke kelas dulu, lo jangan sampai bolos.”

Setelah berkata dengan nada terburu-buru, Eric langsung berlari pergi, meninggalkan Aksel yang kebingungan.

“Gue kan ... diskors, Ric,” balas Aksel pada angin.

pasar malam


Eric tidak pernah menyangka keputusannya meminta Aksel untuk menemaninya ke pasar malam tidak buruk. Meski Aksel tetap cuek dan dingin, setidaknya ada beberapa hal yang Eric pelajari dari lelaki itu.

Aksel takut ketinggian, suka makanan manis, jago bermain tembak-tembakan, tidak terlalu senang keramaian, dan yang paling penting adalah Eric bisa melihat bahwa Aksel adalah sosok yang kesepian. Eric semakin yakin bahwa ada hal yang menyebabkan semua sifat cuek dan dingin yang dimiliki Aksel, sekarang tinggal mencari tahu saja apa penyebabnya.

“Harus banget nunggu kembang api?” Aksel semakin cemberut ketika melihat Eric mengangguk antusias, “kayak anak kecil aja.”

“Gak cuma anak kecil yang suka kembang api, tau,” balas Eric, menyodorkan snack yang tadi dibelinya.

“Masalahnya ini udah malem,” meski awalnya tidak mau, Aksel akhirnya mengambil beberapa keping kripik.

“Terus kenapa kalau udah malem?” tanya Eric, “lo harus pulang gasik, ya? Atau harusnya lo pergi ke suatu tempat?”

Aksel hanya menoleh, menatap Eric sejenak dan memilih tidak menjawab. Yah, Eric sudah cukup terbiasa, sih, dengan tanggapan Aksel.

“Sel,” tanpa mengalihkan pandangan dari kembang api yang mulai dinyalakan, Eric berucap, “kenapa lo selalu nolak orang-orang yang mau deket sama lo?”

Aksel menghela napas, “harus banget bahas ginian waktu nonton kembang api?”

Eric nyengir, “daripada diem aja kayak batu. Lagian gue juga bingung mau bahas apa soalnya gue gak tau lo sukanya apa.”

Aksel terdiam sejenak, “gue suka berantem.”

“BAGUS, MENGINSPIRASI, BRAVO!” Eric bertepuk tangan, “yang bener dong, anjir.”

“Kesukaan gue gak ada yang wow,” balas Aksel, “musik, film, minuman manis.”

“Kalau buat healing, lo sukanya ke mana?” tanya Eric.

“Gue gak bisa ngasih tau kalau itu,” balas Aksel singkat.

“Bar?” Eric asal menebak.

“Gue gak minum,” Aksel menggeleng.

“Nyebat?”

“Kadang.”

Eric mengangguk, sudah ia duga, “lo kerja mulai kapan?”

“Udah kayak guru BK aja lo nanya-nanya,” jawab Aksel, “dari awal gue pindah ke sini.”

“Kenapa lo kerja?” nampaknya Eric ini punya sejuta pertanyaan di otaknya, “gue pernah liat lo pulang dijemput pakai mobil.”

“Karena gue pingin,” jawab Aksel, sesuai dugaan.

“Ngomong-ngomong, tentang musik, selera lo yang—”

Perkataan Eric terputus ketika ponselnya berbunyi. Ia merogoh sakunya dan mendapati bahwa ibunya yang menelpon.

“Bentar ya, mama nelpon,” ucap Eric kemudian sedikit berjalan menjauhi Aksel.

Tanpa sepengetahuan Eric, Aksel menatap sosoknya yang sedang sibuk berbicara dengan ibunya. Tatapannya tak lepas sama sekali sampai Eric selesai menelpon.

“Sori, gue udah disuruh pulang,” Eric tersenyum canggung, takut akan reaksi yang diberikan Aksel.

“Pantes aja, udah malem,” ucap Aksel, “orang tua yang sayang anaknya pasti bakal begitu.”

Eric lega mendapat respon Aksel yang tidak sesuai dengan pikiran jeleknya, “gue mau keluar lo ikut gak? Mau nyari ojek.”

“Gue anter aja,” kata Aksel, mengejutkan Eric.

“Loh, gak papa, nih?”

“Kalau gue yang nawarin, ya, gak papa,” balas Aksel lalu berjalan mendahului Eric.

Diam-diam Eric tersenyum. Es Aksel sudah mulai cair nampaknya.

pasar malam


Eric tidak pernah menyangka keputusannya meminta Aksel untuk menemaninya ke pasar malam tidak buruk. Meski Aksel tetap cuek dan dingin, setidaknya ada beberapa hal yang Eric pelajari dari lelaki itu.

Aksel takut ketinggian, suka makanan manis, jago bermain tembak-tembakan, tidak terlalu senang keramaian, dan yang paling penting adalah Eric bisa melihat bahwa Aksel adalah sosok yang kesepian. Eric semakin yakin bahwa ada hal yang menyebabkan semua sifat cuek dan dingin yang dimiliki Aksel, sekarang tinggal mencari tahu saja apa penyebabnya.

“Harus banget nunggu kembang api?” Aksel semakin cemberut ketika melihat Eric mengangguk antusias, “kayak anak kecil aja.”

“Gak cuma anak kecil yang suka kembang api, tau,” balas Eric, menyodorkan snack yang tadi dibelinya.

“Masalahnya ini udah malem,” meski awalnya tidak mau, Aksel akhirnya mengambil beberapa keping kripik.

“Terus kenapa kalau udah malem?” tanya Eric, “lo harus pulang gasik, ya? Atau harusnya lo pergi ke suatu tempat?”

Aksel hanya menoleh, menatap Eric sejenak dan memilih tidak menjawab. Yah, Eric sudah cukup terbiasa, sih, dengan tanggapan Aksel.

“Sel,” tanpa mengalihkan pandangan dari kembang api yang mulai dinyalakan, Eric berucap, “kenapa lo selalu nolak orang-orang yang mau deket sama lo?”

Aksel menghela napas, “harus banget bahas ginian waktu nonton kembang api?”

Eric nyengir, “daripada diem aja kayak batu. Lagian gue juga bingung mau bahas apa soalnya gue gak tau lo sukanya apa.”

Aksel terdiam sejenak, “gue suka berantem.”

“BAGUS, MENGINSPIRASI, BRAVO!” Eric bertepuk tangan, “yang bener dong, anjir.”

“Kesukaan gue gak ada yang wow,” balas Aksel, “musik, film, minuman manis.”

“Kalau buat healing, lo sukanya ke mana?” tanya Eric.

“Gue gak bisa ngasih tau kalau itu,” balas Aksel singkat.

“Bar?” Eric asal menebak.

“Gue gak minum,” Aksel menggeleng.

“Nyebat?”

“Kadang.”

Eric mengangguk, sudah ia duga, “lo kerja mulai kapan?”

“Udah kayak guru BK aja lo nanya-nanya,” jawab Aksel, “dari awal gue pindah ke sini.”

“Kenapa lo kerja?” nampaknya Eric ini punya sejuta pertanyaan di otaknya, “gue pernah liat lo pulang dijemput pakai mobil.”

“Karena gue pingin,” jawab Aksel, sesuai dugaan.

“Ngomong-ngomong, tentang musik, selera lo yang—”

Perkataan Eric terputus ketika ponselnya berbunyi. Ia merogoh sakunya dan mendapati bahwa ibunya yang menelpon.

“Bentar ya, mama nelpon,” ucap Eric kemudian sedikit berjalan menjauhi Aksel.

Tanpa sepengetahuan Eric, Aksel menatap sosoknya yang sedang sibuk berbicara dengan ibunya. Tatapannya tak lepas sama sekali sampai Eric selesai menelpon.

“Sori, gue udah disuruh pulang,” Eric tersenyum canggung, takut akan reaksi yang diberikan Aksel.

“Pantes aja, udah malem,” ucap Aksel, “orang tua yang sayang anaknya pasti bakal begitu.”

Eric lega mendapat respon Aksel yang tidak sesuai dengan pikiran jeleknya, “gue mau keluar lo ikut gak? Mau nyari ojek.”

“Gue anter aja,” kata Aksel, mengejutkan Eric.

“Loh, gak papa, nih?”

“Kalau gue yang nawarin, ya, gak papa,” balas Aksel lalu berjalan mendahului Eric.

Diam-diam Eric tersenyum. Es Aksel sudah mulai cair nampaknya.

tali sepatu


Mengunci kembali ponselnya, Eric tertawa seraya membenahi rambut. Sebenarnya ia berbohong kepada Satya. Mana mungkin dirinya yang notabenenya orang yang paling mementingkan kebersihan memilih untuk membuka pesan sebelum mencuci tangan? Eric tidak sejorok itu.

Pintu kamar mandi paling ujung menderit dan seseorang keluar dari sana. Mata Eric rasanya hampir copot ketika melihat sosok yang amat familiar.

Aksel.

Lelaki itu dengan wajah datarnya berdiri sepuluh langkah dari Eric, mencuci tangannya kemudian mengambil tisu. Aksel tidak memakai seragam sekolah. Ia memakai kemeja non formal lengkap dengan celana kainnya.

“Aksel!” mulut Eric bergerak sendiri ketika Aksel hendak berjalan pergi meninggalkan kamar mandi.

Aksel menoleh, diam menunggu Eric berbicara. Sedangkan Eric justru kebingungan lantaran ia sendiri tidak tahu mengapa dirinya memanggil Aksel.

“Itu ... tali sepatu lo,” ucap Eric akhirnya tanpa melepaskan pandangan dari Aksel.

Tidak seperti orang pada umumnya yang langsung mengecek sepatu, Aksel justru terus menatap Eric. Tatapan Aksel benar-benar tidak bisa dibaca membuat Eric gugup sendiri.

“Sepatu gue gak ada talinya,” begitu ucap Aksel sebelum meninggalkan Eric yang tenggelam dalam rasa malunya.

permintaan kesembilan.


Eric berjalan pelan melewati pintu yang menghubungkan apartemen dengan atapnya. Ia masih terngiang dengan perkataan Han dan firasat buruknya. Eric menatap Sunwoo yang sudah menampakkan diri dan berbaring di gazebo, menatap langit malam yang mendung. Raut wajah Sunwoo masih sama namun entah mengapa Eric merasa ada yang berbeda.

“Mana sih si Er—oh, gue kira lo masih lama,” Sunwoo terduduk, melambaikan tangan kepada Eric untuk mendekat.

Menepis firasat buruk yang semakin menjadi-jadi, Eric dengan tangan penuh jajan mendudukkan diri di sebelah Sunwoo.

“Mendung ternyata,” Eric membuka sekaleng soda, “bintangnya jadi gak keliatan, deh.”

“Ya udahlah mau gimana lagi. Semoga aja gak hujan,” Sunwoo menghela napas, “buset, banyak banget sumpah jajanannya. Mana gue gak bisa makan lagi.”

“Nasib,” Eric menjulurkan lidah, mengejek.

Sunwoo memasang wajah kesal sejenak. Lelaki itu kembali fokus pada kegiatan awalnya: menatap langit mendung. Eric tahu betul bahwa ada yang sedang dipikirkan oleh Sunwoo. Ia ingin bertanya namun entah mengapa ia cukup takut mendengar jawabannya.

“Kuliah enak, gak?” pembicaraan kembali dibuka.

Eric merengut, “enaknya waktu diterima doang, sumpah. Euforianya cuma sampai situ habis itu stress kena tugas banyak banget.”

“Terus gimana rasanya, tuh, yang sempet pertukaran pelajar?”

“Jujur asik, sih,” jawab Eric, “dapet temen-temen baru dari negara lain. Dapet pengalaman baru juga.”

“Banyak, dong, temen-temen lo sekarang?” tanya Sunwoo, “tapi lo keliatan penutup akhir-akhir ini.”

Soda yang diteguk Eric terasa hambar, “itu efek dari ayah gue deh kayaknya.”

“Oh...” Sunwoo mengangguk pelan, “tapi sekarang udah selesai semua. Lo ada niatan buat jadi terbuka kayak dulu?”

Eric berpikir, “hmm, mungkin? Tapi pada kaget gak ya kalau gue tiba-tiba kayak sok akrab begitu?”

“Ya enggak, lah,” Sunwoo tertawa geli, “dulu aja waktu lo sok akrab ke gue, gue biasa aja, tuh.”

“Itu, mah, karena lo aja yang cuek orangnya,” balas Eric, “eh tapi lo termasuk social butterfly, sih.”

“Mitos,” sanggah Sunwoo sembari.

“Yee gitu-gitu temen lo banyak juga,” ucap Eric, “apa karena lo ikut futsal ya jadi banyak gitu temennya.”

“Hmm, bisa jadi, sih,” balas Sunwoo.

Tangan Eric meraih sebungkus potato chips. Kalau dipikir betul juga, dirinya yang sekarang cukup penutup, berbeda dengan dulu. Ia memang mengatakan banyak mendapat teman baru saat pertukaran pelajar namun tidak ada satupun yang bertahan lama. Bahkan sekarang pun Eric sudah tidak berhubungan dengan teman-teman luar negerinya.

“Ric,” Sunwoo kembali membuka suara, “kalau gue pergi, lo beneran udah siap, kan?”

Akhirnya pembicaraan ini muncul.

Eric menghela napas panjang-panjang, meletakkan potato chips yang tengah disantapnya, “mau gak mau gue harus siap, kan? Tapi gue udah ikhlas, kok. Gue sadar kalau waktu lo emang sebentar lagi.”

Sunwoo tersenyum, “keliatan banget, ya?”

“Firasat gue tiba-tiba jelek,” balas Eric, “ditambah lo yang pingin cepet-cepet ke atap, bikin gue curiga.”

Tawa Sunwoo memasuki telinga Eric, “lo bener, ini hari terakhir gue.”

Dengan cepat Eric menoleh. Ia memang yakin bahwa sebentar lagi Sunwoo akan kembali ke alamnya namun ia tidak menyangka bahwa hari itu adalah ... hari ini.

“Lo ... yang bener aja?” tenggorokan Eric tercekat, “kan masih sembilan? Satu lagi belum.”

Sunwoo menatap Eric lama, “iya ya, satu lagi belum.”

“Lo jangan bikin gue bingung gini,” keluh Eric, “tapi ... gue ada firasat kalau omongan lo beneran.”

“Kalau emang beneran gimana?” Sunwoo mengetes.

“Gue bakal liatin lo terus sampai lo ilang,” jawab Eric kemudian benar-benar menatap lekat Sunwoo.

Sunwoo tertawa, “buset gak usah sampai segitunya. Sama aja kayak gue ngilang, Ric. Sama kayak gitu.”

Kalau saja gengsi Eric tidak tinggi, rasanya ia ingin menangis detik ini juga. Namun selain gengsi, Eric berpikir Sunwoo akan semakin mengkhawatirkannya jika ia menangis. Eric menggeleng, ia harus kuat. Ia tidak boleh merepotkan Sunwoo terus.

“Ya udah kalau begitu,” ucap Eric lamat-lamat, “temenin gue sampai waktu lo habis.”

Sunwoo menatap Eric lama seraya tersenyum lalu mengangguk, “oke.

permintaan kedelapan.


“Baiknya ke makam tante dulu, Ric.”

Meski sudah cukup lama bersama Sunwoo dalam wujud hantu, Eric tetap saja terkejut jika Sunwoo tiba-tiba menampakkan diri. Eric mengumpat pelan, melihat sekeliling sejenak sebelum menjawab Sunwoo.

“Kenapa harus ke mama dulu?” tanya Eric.

“Tante kangen sama lo,” balas Sunwoo seraya menatap ke satu titik, “mending lo temuin beliau dulu.”

Tanpa dibilang, Eric tahu betul bahwa Sunwoo kini tengah melihat sosok mamanya. Mungkin jika orang lain yang mengetahui fakta ini—Han misalnya—sudah pasti mereka merasa takut namun tidak untuk Eric. Malahan dirinya tengah berusaha mati-matian menahan tangis dengan menggigit lidahnya.

“Oke, gue ke makam mama dulu.”

Makam sang mama masih terawat, mungkin karena Juyeon yang sering menyempatkan waktu untuk menjenguk. Eric terdiam sejenak, menatap nisan mamanya sebelum berjongkok, meletakkan bunga yang barusan dibelinya.

“Halo, ma,” Eric mulai berbicara sendiri, “maaf Eric lama gak jenguk mama. Maaf juga buat semua masalah yang sempet ada di rumah setelah mama pergi. Sekarang semua masalahnya udah clear kok, ma, jadi mama gak perlu khawatir lagi.

“Mama tau? Eric kangen banget sama mama. Kangen bahagia bareng-bareng kayak dulu. Sekarang rasanya beda, ma. Oh iya, selama ini mama mantau Eric, ya? Pantes kadang Eric suka mimpiin mama.”

Eric tersenyum tipis, “mama yang tenang ya di sana, gak usah khawatir, Eric di sini bakal jaga diri Eric sendiri. Eric juga gak bakal musuhan lagi sama bang Juyeon. Eric janji bakal tidur cukup, jaga pola makan, sama jagain bang Juyeon. Eric bakal coba hidup lebih bahagia.”

Eric kini menangkupkan kedua tangannya, memanjatkan doa untuk mamanya.

“Kata tante, jaga diri baik-baik, Ric,” suara Sunwoo membuat Eric kembali membuka mata, “habis ini tante pergi ke alamnya. Beliau di sana, lagi senyum liatin lo.”

Mengikuti telunjuk Sunwoo, Eric tersenyum. Meski tidak melihat langsung bagaimana sosok mamanya, bayangan di kepala Eric sudah cukup untuk membuatnya tenang.

“Oke, sekarang lanjut ke makam lo,” sahut Eric kemudian berdiri.

Tak jauh berbeda dengan keadaan makam sang mama, makam Sunwoo sama terawatnya. Kali ini pasti dikarenakan ibu Sunwoo yang rutin berkunjung. Eric kembali berjongkok, meletakkan bunga kemudian menangkupkan tangan.

“Lo gak mau ngomong keras-keras gitu?” Sunwoo merengut.

“Malu lah, gue,” balas Eric, “udah sana, syuh, gue mau fokus.”

Mengabaikan Sunwoo yang kembali protes, Eric memejamkan mata, gue memang sedih banget waktu ditinggal lo, Nu. Lebay tapi rasanya kayak setengah dunia gue runtuh. Gue gak bisa nerima keadaan makanya gue keluar dari kota ini buat sembuhin luka gue.

Sampai akhirnya lo dateng lagi, bikin gue punya sedikit harapan buat bareng lo lagi. Kalau gue mau egois, gue gak mau lo cuma punya sepuluh permintaan. Kalau bisa seribu aja biar lo gak cepet pergi dari gue. Tapi Han bener, lo sama gue udah beda alam dan lo gak bisa selamanya di sini.

Eric menghela napas panjang kemudian membuka mata, menatap Sunwoo.

“Apa?” tanya Sunwoo bingung. Ia tidak bisa membaca ekspresi yang tengah ditunjukkan oleh Eric.

“Gak papa,” Eric tertawa kecil, “yuk balik. Gue harus pamitan dulu sama Han terus jenguk bang Juyeon.”

“Ya ayo,” balas Sunwoo, “eh tapi gue kepo, lo tadi doain gue apa?”

“Gak usah banyak kepooo,” ucap Eric kemudian menjulurkan lidahnya.

“Dih, ya udah,” jawab Sunwoo kesal kemudian mempercepat langkahnya.

Eric terkekeh, menatap punggung Sunwoo dengan pandangan yang mulai kabur.

Seandainya lo emang harus pergi lagi, Nu, gue udah ikhlas.

permintaan kedelapan.


“Baiknya ke makam tante dulu, Ric.”

Meski sudah cukup lama bersama Sunwoo dalam wujud hantu, Eric tetap saja terkejut jika Sunwoo tiba-tiba menampakkan diri. Eric mengumpat pelan, melihat sekeliling sejenak sebelum menjawab Sunwoo.

“Kenapa harus ke mama dulu?” tanya Eric.

“Tante kangen sama lo,” balas Sunwoo seraya menatap ke satu titik, “mending lo temuin beliau dulu.”

Tanpa dibilang, Eric tahu betul bahwa Sunwoo kini tengah melihat sosok mamanya. Mungkin jika orang lain yang mengetahui fakta ini—Han misalnya—sudah pasti mereka merasa takut namun tidak untuk Eric. Malahan dirinya tengah berusaha mati-matian menahan tangis dengan menggigit lidahnya.

“Oke, gue ke makam mama dulu.”

Makam sang mama masih terawat, mungkin karena Juyeon yang sering menyempatkan waktu untuk menjenguk. Eric terdiam sejenak, menatap nisan mamanya sebelum berjongkok, meletakkan bunga yang barusan dibelinya.

“Halo, ma,” Eric mulai berbicara sendiri, “maaf Eric lama gak jenguk mama. Maaf juga buat semua masalah yang sempet ada di rumah setelah mama pergi. Sekarang semua masalahnya udah clear kok, ma, jadi mama gak perlu khawatir lagi.

“Mama tau? Eric kangen banget sama mama. Kangen bahagia bareng-bareng kayak dulu. Sekarang rasanya beda, ma. Oh iya, selama ini mama mantau Eric, ya? Pantes kadang Eric suka mimpiin mama.”

Eric tersenyum tipis, “mama yang tenang ya di sana, gak usah khawatir, Eric di sini bakal jaga diri Eric sendiri. Eric juga gak bakal musuhan lagi sama bang Juyeon. Eric janji bakal tidur cukup, jaga pola makan, sama jagain bang Juyeon. Eric bakal coba hidup lebih bahagia.”

Eric kini menangkupkan kedua tangannya, memanjatkan doa untuk mamanya.

“Kata tante, jaga diri baik-baik, Ric,” suara Sunwoo membuat Eric kembali membuka mata, “habis ini tante pergi ke alamnya. Beliau di sana, lagi senyum liatin lo.”

Mengikuti telunjuk Sunwoo, Eric tersenyum. Meski tidak melihat langsung bagaimana sosok mamanya, bayangan di kepala Eric sudah cukup untuk membuatnya tenang.

“Oke, sekarang lanjut ke makam lo,” sahut Eric kemudian berdiri.

Tak jauh berbeda dengan keadaan makam sang mama, makam Sunwoo sama terawatnya. Kali ini pasti dikarenakan ibu Sunwoo yang rutin berkunjung. Eric kembali berjongkok, meletakkan bunga kemudian menangkupkan tangan.

“Lo gak mau ngomong keras-keras gitu?” Sunwoo merengut.

“Malu lah, gue,” balas Eric, “udah sana, syuh, gue mau fokus.”

Mengabaikan Sunwoo yang kembali protes, Eric memejamkan mata, gue memang sedih banget waktu ditinggal lo, Nu. Lebay tapi rasanya kayak setengah dunia gue runtuh. Gue gak bisa nerima keadaan makanya gue keluar dari kota ini buat sembuhin luka gue.

Sampai akhirnyalo dateng lagi, bikin gue punya sedikit harapan buat bareng lo lagi. Kalau gue mau egois, gue gak mau lo cuma punya sepuluh permintaan. Kalau bisa seribu aja biar lo gak cepet pergi dari gue. Tapi Han bener, lo sama gue udah beda alam dan lo gak bisa selamanya di sini.

Eric menghela napas panjang kemudian membuka mata, menatap Sunwoo.

“Apa?” tanya Sunwoo bingung. Ia tidak bisa membaca ekspresi yang tengah ditunjukkan oleh Eric.

“Gak papa,” Eric tertawa kecil, “yuk balik. Gue harus pamitan dulu sama Han terus jenguk bang Juyeon.”

“Ya ayo,” balas Sunwoo, “eh tapi gue kepo, lo tadi doain gue apa?”

“Gak usah banyak kepooo,” ucap Eric kemudian menjulurkan lidahnya.

“Dih, ya udah,” jawab Sunwoo kesal kemudian mempercepat langkahnya.

Eric terkekeh, menatap punggung Sunwoo dengan pandangan yang mulai kabur.

Seandainya lo emang harus pergi lagi, Nu, gue udah ikhlas.

permintaan kedelapan.


“Baiknya ke makam tante dulu, Ric.”

Meski sudah cukup lama bersama Sunwoo dalam wujud hantu, Eric tetap saja terkejut jika Sunwoo tiba-tiba menampakkan diri. Eric mengumpat pelan, melihat sekeliling sejenak sebelum menjawab Sunwoo.

“Kenapa harus ke mama dulu?” tanya Eric.

“Tante kangen sama lo,” balas Sunwoo seraya menatap ke satu titik, “mending lo temuin beliau dulu.”

Tanpa dibilang, Eric tahu betul bahwa Sunwoo kini tengah melihat sosok ibunya. Mungkin jika orang lain yang mengetahui fakta ini—Han misalnya—sudah pasti mereka merasa takut namun tidak untuk Eric. Malahan dirinya tengah berusaha mati-matian menahan tangis dengan menggigit lidahnya.

“Oke, gue ke makam mama dulu.”

Makam ibunya masih terawat, mungkin karena Juyeon yang sering menyempatkan waktu untuk menjenguk. Eric terdiam sejenak, menatap nisan mamanya sebelum berjongkok, meletakkan bunga yang barusan dibelinya.

“Halo, ma,” Eric mulai berbicara sendiri, “maaf Eric lama gak jenguk mama. Maaf juga buat semua masalah yang sempet ada di rumah setelah mama pergi. Sekarang semua masalahnya udah clear kok, ma, jadi mama gak perlu khawatir lagi.

“Mama tau? Eric kangen banget sama mama. Kangen bahagia bareng-bareng kayak dulu. Sekarang rasanya beda, ma. Oh iya, selama ini mama mantau Eric, ya? Pantes kadang Eric suka mimpiin mama.”

Eric tersenyum tipis, “mama yang tenang ya di sana, gak usah khawatir, Eric di sini bakal jaga diri Eric sendiri. Eric juga gak bakal musuhan lagi sama bang Juyeon. Eric janji bakal tidur cukup, jaga pola makan, sama jagain bang Juyeon. Eric bakal coba hidup lebih bahagia.”

Eric kini menangkupkan kedua tangannya, memanjatkan doa untuk mamanya.

“Kata tante, jaga diri baik-baik, Ric,” suara Sunwoo membuat Eric kembali membuka mata, “habis ini tante pergi ke alamnya. Beliau di sana, lagi senyum liatin lo.”

Mengikuti telunjuk Sunwoo, Eric tersenyum. Meski tidak melihat langsung bagaimana sosok mamanya, bayangan di kepala Eric sudah cukup untuk membuatnya tenang.

“Oke, sekarang lanjut ke makam lo,” sahut Eric kemudian berdiri.

Tak jauh berbeda dengan keadaan makam sang mama, makam Sunwoo sama terawatnya. Kali ini pasti dikarenakan ibu Sunwoo yang rutin berkunjung. Eric kembali berjongkok, meletakkan bunga kemudian menangkupkan tangan.

“Lo gak mau ngomong keras-keras gitu?” Sunwoo merengut.

“Malu lah, gue,” balas Eric, “udah sana, syuh, gue mau fokus.”

Mengabaikan Sunwoo yang kembali protes, Eric memejamkan mata, gue memang sedih banget waktu ditinggal lo, Nu. Lebay tapi rasanya kayak setengah dunia gue runtuh. Gue gak bisa nerima keadaan makanya gue keluar dari kota ini buat sembuhin luka gue.

Sampai akhirnyalo dateng lagi, bikin gue punya sedikit harapan buat bareng lo lagi. Kalau gue mau egois, gue gak mau lo cuma punya sepuluh permintaan. Kalau bisa seribu aja biar lo gak cepet pergi dari gue. Tapi Han bener, lo sama gue udah beda alam dan lo gak bisa selamanya di sini.

Eric menghela napas panjang kemudian membuka mata, menatap Sunwoo.

“Apa?” tanya Sunwoo bingung. Ia tidak bisa membaca ekspresi yang tengah ditunjukkan oleh Eric.

“Gak papa,” Eric tertawa kecil, “yuk balik. Gue harus pamitan dulu sama Han terus jenguk bang Juyeon.”

“Ya ayo,” balas Sunwoo, “eh tapi gue kepo, lo tadi doain gue apa?”

“Gak usah banyak kepooo,” ucap Eric kemudian menjulurkan lidahnya.

“Dih, ya udah,” jawab Sunwoo kesal kemudian mempercepat langkahnya.

Eric terkekeh, menatap punggung Sunwoo dengan pandangan yang mulai kabur.

Seandainya lo emang harus pergi lagi, Nu, gue udah ikhlas.