ojek
Eric menatap motornya dan abang tukang bengkel dengan cemas. Sedari tadi tangannya menggenggam ponsel, masih menunggu pesanannya diterima oleh driver ojek online. Sekarang sudah pukul tujuh. Untungnya barusan Felix memberi kabar bahwa Bu Mei belum masuk ke kelas sehingga rasa panik Eric sedikit berkurang.
“Ini kayaknya bakal lama deh, Mas,” si abang tukang bengkel berucap, “lama gak diservis, ya?”
“Kayaknya loh, Bang,” balas Eric, “kira-kira berapa lama ya? Saya masih harus sekolah, nih.”
“Mungkin nyampe siang, Mas,” mendengarnya membuat Eric melotot.
“Ya udah deh, gak papa, Bang. Tolong sembuhin pacar saya, ya,” ucap Eric.
Kini giliran abang tukang bengkel yang melotot.
Setelah memberi uang muka ke abangnya, Eric kembali sibuk dengan ponselnya. Ia berdecak. Ini aplikasi rusak apa gimana, sih? Eric menggerutu dalam hati, dari tadi gak dapet mulu, anjir.
“Atas nama mas Eric, ya?”
“Iya bener,” Eric menjawab sebelum akhirnya merasa ada yang janggal, “LOH BENTAR GUE KAN BELUM—”
Perkataan Eric menggantung ketika menemukan presensi Aksel di depannya. Raut wajahnya berubah menjadi amat cerah, membuat Aksel sedikit merinding.
“BURUAN CEPET GAS NGUENG!” tanpa aba-aba, Eric langsung menaiki motor Aksel lalu menepuk punggungnya.
“Hah? Loh?” Aksel kebingungan.
“KE SEKOLAH, SEL, AYO CEPET!”
Meski masih belum sepenuhnya mencerna kejadian di hadapannya, Aksel tetap melajukan motornya.
“KOK CUMA 40 SIH? GUE ADA ULANGAN INI AYO LEBIH CEPET, SEL!” Eric kembali menepuk punggung Aksel keras-keras. Tidak tahu diri memang.
“Ya udah pegangan.”
Eric hampir terhuyung ke belakang ketika Aksel tiba-tiba menaikkan kecepatan. Lelaki itu refleks memasukkan tangannya ke saku jaket Aksel, sebuah kebiasaan yang tanpa sadar selalu ia lakukan ketika dibonceng orang lain.
“Lo, tuh, udah tau ada ulangan kenapa mepet, sih?” di sela kegiatan menyetirnya, Aksel bertanya.
“Mana gue tau kalau Stephanie mau mogok,” jawab Eric di balik baju kanan Aksel, “gue juga tadi ketiduran lagi sebelum berangkat ke sekolah.”
“Jangan bilang pas gue chat lo baru bangun?” tebak Aksel.
“Bravo, betul,” jawab Eric sambil tersenyum lebar.
Aksel berdecak pelan, tidak habis pikir dengan kelakuan lelaki yang tengah ia bonceng. Tetapi, jika dipikir wajar juga mengingat semalam Eric begadang cukup lama. Dari spion, Aksel melirik Eric yang sedang bergumam dengan wajah panik. Meski tidak terlalu jelas, Aksel bisa membaca bahwa Eric tengah berharap gurunya belum masuk kelas sampai ia datang.
“Udah mau sampai,” Aksel menurunkan kecepatan ketika gedung sekolahnya sudah mulai terlihat, “gerbangnya udah ditutup, Ric.”
“Gak papa, gue bisa bujuk pak satpam,” balas Eric.
Ketika Aksel menghentikan motornya dengan sempurna, Eric langsung melompat, “makasih banyak, Sel. Lo penyelamat banget sumpah. Gue ke kelas dulu, lo jangan sampai bolos.”
Setelah berkata dengan nada terburu-buru, Eric langsung berlari pergi, meninggalkan Aksel yang kebingungan.
“Gue kan ... diskors, Ric,” balas Aksel pada angin.