sunlixie

permintaan ketujuh.


Tante sudah terlihat lebih tenang ketika Eric masuk dengan semangkuk bubur dan segelas air di tangannya. Eric tersenyum ketika tatapannya bersibobrok dengan tante.

“Maaf ya, Eric, saya jadi nyusahin begini.”

Eric buru-buru menggeleng, “tante jangan bilang kayak gitu. Eric sama Han sama sekali gak ngerasa disusahin kok. Ya, kan, Han?”

“Iya tante,” Han mengangguk mantap, “sekarang tante makan, ya. Ayo, Han sama Eric bantu.”

Nampaknya selera makan tante kini sedang amat buruk. Terlihat dari cara beliau yang mengunyah pelan. Sembari makan pun beliau terlihat sedang memikirkan sesuatu dengan pandangannya yang kosong.

“Buburnya Eric gak enak ya, tante?” Han menyeletuk, “harusnya emang Han aja yang masak.”

“Eh, sembarangan,” Eric menepuk pundak Han, “jangan mau dimasakin Han, tante, ntar malah tambah sakit.”

Tante tertawa, “enggak, kok. Bubur kamu enak, Ric, cuma saya aja yang lagi gak selera makan.”

“Tante lagi kangen Sunwoo, ya?”

Rasanya Eric ingin sekali menyumpal mulut Han dengan lap di dekatnya. Kadang mulut temannya ini suka seenaknya berbicara tanpa melihat kondisi.

“Saya gak pernah gak kangen Sunwoo,” tante tersenyum sendu.

Eric dan Han saling melirik, sebenarnya cukup bingung mau menanggapi apa. Mau berkata tentang titipan Sunwoo namun Eric masih belum menemukan kalimat yang tepat, takut jadinya malah menyinggung bukannya menenangkan.

“Saya masih suka ngerasain Sunwoo di sini,” tiba-tiba tante bercerita, “mungkin kesannya saya belum nerima kepergian Sunwoo tapi memang begitu keadaannya. Saya masih punya rasa bersalah sama anak saya sendiri.”

Eric ingat Sunwoo pernah bercerita kepadanya bahwa semenjak kedua orang tuanya bercerai, sang bunda bekerja amat keras demi memenuhi kebutuhan mereka berdua. Tak jarang Sunwoo kehilangan perhatian yang seharusnya ia dapatkan dari bundanya lantaran sibuknya sang bunda.

Ketika Sunwoo sakit, tentu sang bunda bekerja dua kali lipat lebih keras demi biaya pengobatan Sunwoo dan Sunwoo semakin merasa jauh dari bundanya. Mungkin itulah penyesalan yang masih dibawa oleh bunda Sunwoo. Beliau menyesal tidak menghabiskan cukup waktu dengan anak satu-satunya.

“Sunwoo gak pernah ngeluh ke saya kalau dia butuh perhatian saya,” tante berbicara dengan nada sendu, “saya-nya yang selalu gak peka. Padahal semua kesempatan ada di depan mata saya tapi gak ada satupun yang saya ambil.”

Han dan Eric saling bertatapan ketika tante mulai menangis lagi. Keduanya menghela napas, ikut merasa sedih sebelum Han menepuk bahu tante pelan, berusaha menenangkan beliau.

“Tante, ada sesuatu yang mau Eric kasih tau ke tante,” pelan-pelan Eric mulai berbicara.

“Iya? Apa, nak?”

“Sunwoo ... titip pesan ke tante lewat Eric,” Eric mengambil napas panjang-panjang, “dia bilang tante jangan ngerasa bersalah lagi. Sunwoo sama sekali gak marah ke tante. Dia pingin tante bahagia walau Sunwoo udah gak sama tante lagi. Tante harus terima kepergian Sunwoo, ya? Kalau gak gitu, Sunwoo sedih, tante. Dia sedih liat tante yang kurang tidur, kurang makan, kurang istirahat sampai jadi drop begini.”

“Iya, tante,” Han melanjutkan, “Sunwoo sayang banget sama tante. Dia pasti gak mau liat tante sakit. Tante yang ikhlas, ya? Sekarang Sunwoo udah gak ngerasa sakit lagi, gak kayak dulu. Sunwoo udah tenang di sana.”

Tangis tante semakin pecah. Meski begitu beliau mengangguk, menerima semua tutur kata Eric dan Han. Dirinya sadar bahwa memang sudah saatnya untuk merelakan anaknya pergi ke tempat yang lebih baik.

“Tante, salah satu permintaannya Sunwoo itu dia pingin liat semua orang-orang yang dia sayang bahagia. Jadi mulai sekarang tante harus bahagia, ya?” tutup Eric seraya memeluk wanita itu.

“Kita di sini, tante,” lanjut Han, “kita gak bakal biarin tante sendirian.”

Eric tahu betul bagaimana rasanya ditinggal sendirian. Maka dari itu mulai hari ini ia tidak mau tante merasakan hal yang sama.

“Oh iya, saya tiba-tiba ingat,” perlahan tante berjalan menuju lemarinya, mengambil sesuatu.

Han dan Eric mengintip penasaran. Keduanya saling bertanya melalui tatapan mata, terlalu penasaran.

“Sebelum Sunwoo pergi, dia nitip sesuatu buat kalian,” tante menyerahkan dua amplop yang masih rapi kepada Han dan Eric, “harusnya saya ngasih ini waktu pemakaman Sunwoo tapi waktu itu saya terlalu terpukul. Maaf ya, nak, saya baru kasih sekarang.”

Eric diam menatap amplop di tangannya. Apa isi titipan Sunwoo?

permintaan ketujuh.


Tante sudah terlihat lebih tenang ketika Eric masuk dengan semangkuk bubur dan segelas air di tangannya. Eric tersenyum ketika tatapannya bersibobrok dengan tante.

“Maaf ya, Eric, saya jadi nyusahin begini.”

Eric buru-buru menggeleng, “tante jangan bilang kayak gitu. Eric sama Han sama sekali gak ngerasa disusahin kok. Ya, kan, Han?”

“Iya tante,” Han mengangguk mantap, “sekarang tante makan, ya. Ayo, Han sama Eric bantu.”

Nampaknya selera makan tante kini sedang amat buruk. Terlihat dari cara beliau yang mengunyah pelan. Sembari makan pun beliau terlihat sedang memikirkan sesuatu dengan pandangannya yang kosong.

“Buburnya Eric gak enak ya, tante?” Han menyeletuk, “harusnya emang Han aja yang masak.”

“Eh, sembarangan,” Eric menepuk pundak Han, “jangan mau dimasakin Han, tante, ntar malah tambah sakit.”

Tante tertawa, “enggak, kok. Bubur kamu enak, Ric, cuma saya aja yang lagi gak selera makan.”

“Tante lagi kangen Sunwoo, ya?”

Rasanya Eric ingin sekali menyumpal mulut Han dengan lap di dekatnya. Kadang mulut temannya ini suka seenaknya berbicara tanpa melihat kondisi.

“Saya gak pernah gak kangen Sunwoo,” tante tersenyum sendu.

Eric dan Han saling melirik, sebenarnya cukup bingung mau menanggapi apa. Mau berkata tentang titipan Sunwoo namun Eric masih belum menemukan kalimat yang tepat, takut jadinya malah menyinggung bukannya menenangkan.

“Saya masih suka ngerasain Sunwoo di sini,” tiba-tiba tante bercerita, “mungkin kesannya saya belum nerima kepergian Sunwoo tapi memang begitu keadaannya. Saya masih punya rasa bersalah sama anak saya sendiri.”

Eric ingat Sunwoo pernah bercerita kepadanya bahwa semenjak kedua orang tuanya bercerai, sang bunda bekerja amat keras demi memenuhi kebutuhan mereka berdua. Tak jarang Sunwoo kehilangan perhatian yang seharusnya ia dapatkan dari bundanya lantaran sibuknya sang bunda.

Ketika Sunwoo sakit, tentu sang bunda bekerja dua kali lipat lebih keras demi biaya pengobatan Sunwoo dan Sunwoo semakin merasa jauh dari bundanya. Mungkin itulah penyesalan yang masih dibawa oleh bunda Sunwoo. Beliau menyesal tidak menghabiskan cukup waktu dengan anak satu-satunya.

“Sunwoo gak pernah ngeluh ke saya kalau dia butuh perhatian saya,” tante berbicara dengan nada sendu, “saya-nya yang selalu gak peka. Padahal semua kesempatan ada di depan mata saya tapi gak ada satupun yang saya ambil.”

Han dan Eric saling bertatapan ketika tante mulai menangis lagi. Keduanya menghela napas, ikut merasa sedih sebelum Han menepuk bahu tante pelan, berusaha menenangkan beliau.

“Tante, ada sesuatu yang mau Eric kasih tau ke tante,” pelan-pelan Eric mulai berbicara.

“Iya? Apa, nak?”

“Sunwoo ... titip pesan ke tante lewat Eric,” Eric mengambil napas panjang-panjang, “dia bilang tante jangan ngerasa bersalah lagi. Sunwoo sama sekali gak marah ke tante. Dia pingin tante bahagia walau Sunwoo udah gak sama tante lagi. Tante harus terima kepergian Sunwoo, ya? Kalau gak gitu, Sunwoo sedih, tante. Dia sedih liat tante yang kurang tidur, kurang makan, kurang istirahat sampai jadi drop begini.”

“Iya, tante,” Han melanjutkan, “Sunwoo sayang banget sama tante. Dia pasti gak mau liat tante sakit. Tante yang ikhlas, ya? Sekarang Sunwoo udah gak ngerasa sakit lagi, gak kayak dulu. Sunwoo udah tenang di sana.”

Tangis tante semakin pecah. Meski begitu beliau mengangguk, menerima semua tutur kata Eric dan Han. Dirinya sadar bahwa memang sudah saatnya untuk merelakan anaknya pergi ke tempat yang lebih baik.

“Tante, salah satu permintaannya Sunwoo itu dia pingin liat semua orang-orang yang dia sayang bahagia. Jadi mulai sekarang tante harus bahagia, ya?” tutup Eric seraya memeluk wanita itu.

“Kita di sini, tante,” lanjut Han, “kita gak bakal biarin tante sendirian.”

Eric tahu betul bagaimana rasanya ditinggal sendirian. Maka dari itu mulai hari ini ia tidak mau tante merasakan hal yang sama.

“Oh iya, saya tiba-tiba ingat,” perlahan tante berjalan menuju lemarinya, mengambil sesuatu.

Han dan Eric mengintip penasaran. Keduanya saling bertanya melalui tatapan mata, terlalu penasaran.

“Sebelum Sunwoo pergi, dia nitip sesuatu buat kalian,” tante menyerahkan dua amplop yang masih rapi kepada Han dan Eric, “harusnya saya ngasih ini waktu pemakaman Sunwoo tapi waktu itu saya terlalu terpukul. Maaf ya, nak, saya baru kasih sekarang.”

Eric diam menatap amplop di tangannya. Apa isi titipan Sunwoo?

permintaan keenam.


CHEESE CAKE!” seperti dugaan Eric, Han berteriak amat senang ketika menemukan bahwa Eric membelikan kue kesukaannya itu.

“Dari Sunwoo itu,” Eric menyeringai, puas betul melihat wajah gembira Han yang langsung berubah drastis.

Han langsung memasang mimik serius, menangkupkan kedua telapak tangan layaknya berdoa, “makasih Sunwoo. Tenang-tenang ya lo di sana.”

Tawa Eric langsung menyembur keluar. Ia yakin Sunwoo juga pasti sedang tertawa bersamanya.

“Oh iya, gitar lo masih ada?” Eric teringat permintaan Sunwoo.

“Ada. Mau gue ambilin?” tawar Han yang langsung diberi anggukan oleh Eric.

Gitar milik Han masih bagus, masih sama seperti terakhir kali Eric lihat. Waktu itu Han membawa gitarnya saat sekolah mengadakan pentas seni. Eric masih ingat mereka bertiga membolos dari acara inti menuju atap, membawa amat banyak makanan dan bernyanyi hingga puas.

Eric terdiam. Pandangannya menyusuri meja makan Han yang ramai oleh makanan yang ia beli. Dirinya mulai berpikir, apakah Sunwoo mau melakukan hal yang dulu mereka lakukan?

Tiba-tiba mata Eric menangkap Sunwoo yang sudah menampakkan diri di belakang Han. Lelaki itu memberi isyarat kepada Eric untuk tetap diam. Paham betul apa isi otak jahil Sunwoo, Eric mengangguk, menahan tawa.

“Han, coba lo nengok,” begitu ucap Eric.

Han mengikuti perintah Eric. Lelaki itu diam sesaat ketika melihat Sunwoo, seperti sedang memproses sesuatu sebelum terjongkok, berteriak seraya menunjuk tubuh transparan Sunwoo.

“YA TUHAAAAN GUE BAKAL SERING IBADAH, KOK, TAPI TOLONG INI SETANMU YANG SATU DIBAWA PULAAAANG!”

“Sembarangan,” Sunwoo menggerutu, “gue mati-matian mau ketemu lo malah lo begini.”

“Sumpah, gue udah ikhlasin utang es teh lo, kok, Nu. Plis jangan ngehantuin gue begini, dong,” pinta Han.

Eric tertawa, “ayo dong, berani. Ini, kan, temen lo sendiri. Dia kangen tau sama lo.”

Butuh beberapa menit bagi Han untuk tenang. Ketiganya kini duduk di karpet dengan makanan yang tersusun rapi di depan mereka. Han sendjri kini sedari tadi menatap Sunwoo yang memegang gitarnya.

“Aneh banget anjir hantu bisa main gitar,” akhirnya Han terbiasa juga dengan keberadaan Sunwoo.

“Dah lama gak kayak gini sama kalian,” ucap Sunwoo, “ayo gih kalian sambil makan. Itu gue beliin kue kesukaan lo, Han.”_

“Gue yang beli anjir,” sewot Eric.

Selama beberapa jam ke depan ketiganya asik mengobrol sambil menikmati makanan yang telah dibeli Eric. Ketiga juga sesekali bernyanyi dan tertawa bersama.

“Lo makan yang banyak, Han,” di sela obrolan mereka tentang masa lalu, Sunwoo menyeletuk, “gue tau lo sering banget skip makan gara-gara nugas. Sama kayak Eric.”

“Ututu diingetin sama si sayang,” canda Han.

“Najis,” Sunwoo memasang ekspresi mual.

“Btw ini permintaan keenam lo?” tanya Eric.

“Jadi bener ya yang dibilang Eric kalau lo minta dia buat menuhin permintaan lo?” Han ikut bertanya.

“Iya bener,” Sunwoo menghela napas, “gue kaget kenapa tiba-tiba gue dibalikin ke sini, jadi arwah gentayangan. Gue selama tiga bulanan mikir gue harus ngapain sambil ngeliatin kalian-kalian.

“Wah, jadi stalker dia,” Eric menjitak kepala Han ketika lelaki itu memotong perkataan Sunwoo.

“Ya pokoknya akhirnya gue dapet pencerahan kalau gue jadi arwah gini karena ada yang harus gue selesaiin,” lanjut Sunwoo, “dan iya, ini permintaan keenam gue, Ric. Ngobrol bareng sama kalian bertiga, kayak dulu.”

Eric bisa merasakan suasana mulai berubah. Baik dirinya dan Han sedang mati-matian menahan rasa sedih yang timbul begitu saja mendengar perkataan Sunwoo. Mereka sadar betul bahwa kebahagiaan mereka ini hanya sesaat. Sunwoo tak lama lagi akan benar-benar pergi meninggalkan mereka untuk selamanya.

“Jangan sedih. Gue dulu udah berkali-kali bilang sama kalian kalau apapun yang terjadi sama gue itu tandanya yang terbaik,” Sunwoo bisa membaca jelas pikiran kedua temannya, “kalau kalian mau gue tenang di sana, cukup jaga diri kalian baik-baik. Jangan biarin gue jadi arwah gentayangan lagi.”

“Gak bisa, ya, lo stay di sini sama kita?” tanya Eric lirih.

“Gak bisa, Ric,” justru Han yang menjawab, “Sunwoo sama kita udah beda. Lo gak boleh egois dengan nahan dia buat tetep di sini.”

“Betul,” Sunwoo mengangguk, “jangan sedih. Selagi gue masih bisa ketemu kalian, tolong jangan pasang ekspresi sedih gitu, dong. Seneng-seneng ajalah kita.”

Meski dipaksakan, Eric akhirnya tersenyum, “ya udah ayo nyanyi lagi.”

“BALONKU ADA LIMA LET'S GOOOOO!”

Iya, betul kata Sunwoo. Selagi ada kesempatan, Eric akan memanfaatkannya baik-baik sebelum terlambat.

permintaan kelima.


Meski awalnya ragu, kaki Eric tetap melangkah menuju lelaki tinggi yang sedang terdiam itu. Setelah jaraknya terasa cukup dekat, Eric bisa melihat ekspresi khawatir dari sang lelaki. Rasanya Eric ingin sekali ikut mengintip ke dalam namun ia tidak berani berbicara dengan lelaki itu.

“Iya? Ada yang bisa dibantu?” Oh, si lelaki rupanya sadar akan keberadaan Eric. Atensi lelaki itu kini sepenuhnya berada di Eric, menanti jawaban.

“Sebut nama lo,” tiba-tiba suara Sunwoo terdengar lirih di telinga Eric.

“Em ... gue Eric, Dok,” rasanya aneh sekali memperkenalkan diri secara tiba-tiba seperti itu.

Namun rupanya reaksi yang diharapkan Eric sangatlah berbeda, lelaki itu justru membelalakkan matanya barulah menggenggam bahu Eric dan merangkulnya sejenak.

“Ini serius lo, Ric?” lelaki itu berbicara seakan ia mengenal Eric dengan baik, “Ya Tuhan, akhirnya gue ketemu juga sama lo.”

Eric mengernyitkan kening. Bingung.

“Kita duduk dulu gimana?” tawar lelaki itu, “banyak yang harus gue ceritain ke lo.”

Eric mengangguk dan mengikuti lelaki itu duduk di tempat duduk yang disediakan di depan kamar. Ia diam, menanti si lelaki melontarkan kalimatnya.

“Oke pertama-tama, kenalin gue Younghoon. Gue salah satu dokter di sini,” lelaki itu membuka percakapan, “kebetulan juga gue dokternya Juyeon, abang lo.”

Badan Eric menengang mendengar kalimat Younghoon. Dokternya bang Juyeon, katanya?

“Abang ... sakit?” tanya Eric lirih.

Raut wajah Younghoon berubah, “udah sekitar dua bulan ini dia sakit. Paru-paru, karena keseringan ngerokok.”

Rasanya dada Eric dihantam oleh sesuatu yang amat keras. Ia tahu betul bahwa abangnya itu tidak pernah merokok. Pasti ada hal yang membuatnya berubah sedemikian rupa.

“Tapi setau gue bang Juyeon gak ngerokok,” sanggah Eric, “kenapa ... berubah?”

“Banyak hal yang terjadi, Ric,” Younghoon menghela napas panjang, “yang jelas kebanyakan hal buruk yang Juyeon alami.”

Eric rasanya semakin ditampar, “di dalam sana ada bang Juyeon, kan? Gue ... boleh ketemu sama dia?”

“Kenapa enggak?” Younghoon berdiri, “tapi pesan gue, tolong lo dengerin dulu semua yang pingin Juyeon bilang, ya?”

Eric mengangguk pasti sebelum mengekori Younghoon menuju kamar Juyeon.


Benar kata Han, Juyeon terlihat lebih kurus. Wajahnya juga lebih tirus, lebih lelah seakan beban yang dipikulnya amatlah banyak. Eric juga sempat menemukan beberapa lebam yang tersembunyi di balik baju Juyeon dan ia mulai bertanya-tanya dari mana asal semua lebam itu.

Juyeon yang melihat Eric kentara sekali ingin langsung memeluknya namun ia tahan. Juyeon takut jika ia melakukan itu Eric membatalkan niat untuk menemuinya. Jadilah Juyeon hanya bisa terduduk dengan jarak cukup jauh karena Eric sama sekali belum mau mendekatinya.

“Kak Younghoon bilang ada yang mau lo sampein ke gue, bang,” ucap Eric, “apa?”

Juyeon menghela napas, “gue ... to the point aja, ya? Takut waktu lo habis buat dengerin semua ucapan gue.”

Jujur hati Eric sedikit nyeri mendengarnya. Separah inikah perlakuannya kepada abangnya sendiri?

“Iya, boleh,” balas Eric setelah berhasil menguasai diri, “jadi, tentang apa?”

“Tentang papa.”

Rahang Eric mengeras. Eric tidak pernah lupa ketika dirinya jauh-jauh pulang dari pertukaran pelajar di New York hanya untuk melihat ayahnya yang ditangkap oleh polisi. Semua itu karena tuntutan dari abangnya sendiri, Juyeon, yang sampai sekarang Eric selalu menuduh bahwa Juyeon membenci ayahnya.

Sedikit kilas balik, Juyeon sebenarnya bukan kakak kandungnya. Ketika Eric duduk di bangku SMP, ayahnya yang melihat Eric kesepian akhirnya menikah lagi dengan seorang wanita yang sudah memiliki anak. Kala itu Eric senang sekali. Wanita yang dinikahi ayahnya pun sangat baik begitu juga dengan anaknya yang langsung akrab dengan Eric

Sampai suatu hari sang mama harus meninggal dikarenakan sakit yang dideritanya dan saat itu Eric sudah duduk di bangku SMA. Sunwoo menjadi saksi masa-masa terpuruk Eric yang ditinggalkan oleh ibunya untuk yang kedua kalinya. Saat itu Eric juga sadar bahwa hubungan Juyeon dan ayahnya mulai merenggang meski secara tersirat.

Puncaknya adalah ketika Eric mengikuti pertukaran pelajar tepat setelah Sunwoo pergi. Eric yang merasa amat sedih jika terus berada di kota di mana Sunwoo pergi memutuskan untuk ke New York dan belajar di sana selama setahun. Ketika ia pulang, saat itulah mimpi buruknya dimulai. Ia harus melihat ayah yang amat disayanginya diseret pergi oleh segerombolan polisi.

“Waktu itu gak kayak apa yang lo bayangin, Ric,” Juyeon berkata lirih, “gue tau lo sadar sama lebam di badan gue, kan?”

Eric tidak bodoh dan sebuah kesimpulan muncul di otaknya, “bentar, jangan bilang.....”

Juyeon mengangguk, “iya, papa.”

Entah sudah kesekian kalinya Eric merasa dadanya seperti terkena hantaman.

“Tapi ... kenapa?” Eric tercekat, “kenapa papa kayak gitu?”

“Orang terakhir yang sama mama sebelum mama meninggal itu gue, kan?” Juyeon tersenyum tipis, “mungkin papa selalu ngira kalau mama meninggal karena gue. Karena itu sikap papa ke gue mulai berubah.

“Papa selalu baik ke lo karena lo anaknya sendiri, Ric. Tapi gue?” Juyeon melanjutkan, “gue cuma anak angkat, kan? Gue tau lo benci banget sama topik anak kandung-anak angkat begini tapi kenyataannya memang gitu. Papa cuma sayang ke lo.”

Kenyataannya rupanya amat berbeda dari apa yang Eric tahu. Rasa sayang Eric ke ayahnya membuat Eric selalu beranggapan bahwa Juyeon merupakan sosok yang jahat.

“Younghoon yang bantu gue buat dapet keadilan,” ucap Juyeon, “waktu papa ditangkap, gue sama sekali gak nyangka lo pulang di hari yang sama. Maaf ya, Ric, waktu itu harusnya lo bahagia tapi lo malah dapet mimpi buruk baru.”

“Lo mulai ngerokok karena ini semua?” suara Eric bergetar, “lo butuh pelampiasan stress lo, kan, bang?”

Juyeon menatap Eric sejenak sebelum mengangguk, “kayaknya gue kebablasan sampai jadi kayak gini,” jujur Eric benci Juyeon terkekeh di waktu seperti ini.

Eric menghela napas, mendekatkan dirinya kepada Juyeon kemudian menatap abangnya lekat-lekat, “gue ... minta maaf ya, bang? Selama ini gue cuma liat dari sudut pandang gue sama papa. Gue gak peka sama rasa sakit lo selama ini. Padahal waktu itu lo yang paling butuh dukungan tapi gue malah nyalahin dan benci sama lo. Maafin gue ya, bang.”

Juyeon tersenyum kecil kemudian membelai kepala Eric, “udahlah, ya, yang dulu biarin aja. Yang penting sekarang lo udah tau kejadian yang sebenarnya.”

Pertahanan Eric runtuh. Ia langsung memeluk Juyeon yang langsung dibalas oleh lelaki itu. Satu mimpi buruk Eric akhirnya usai. Semua penjelasan Juyeon obatnya.

Di sela pelukannya bersama Juyeon, Eric melihat bayangan samar Sunwoo yang sedang tersenyum sembari mengacungkan jempolnya. Kala itu Eric tahu bahwa permintaan kelima Sunwoo sudah terpenuhi. Dan terima kasih untuk Sunwoo, hubungannya dengan Juyeon kembali membaik.

obrolan pagi menjelang siang.


“BAJINGAN LO JANGAN MAIN-MAIN SAMA GUE!!”

Han langsung menerjang Eric ketika lelaki itu keluar dari kamarnya. Eric tertawa keras, mudah rupanya membuat Han ketar-ketir.

“Eh tapi beneran gue tadi bantuin Sunwoo buka pintu,” ucap Eric kemudian merangkul Han dan menuntunnya ke meja makan.

Han menghela napas, “coba aja gue bisa liat.”

Eric menatap Han lekat-lekat. Meski temannya ini penakut, rupanya Han nampaknya juga merindukan Sunwoo sama seperti dirinya. Jika saja Han bisa melihat Sunwoo, mungkin Han bisa sedikit merasa bahagia kemudian pingsan saking takutnya.

“Kangen ya?” Eric tersenyum jahil.

Han menopang dagu, memasang ekspresi serius, “justru aneh kalau gue gak kangen. Mana mungkin gue bisa ngelupain dia gitu aja.”

Eric ingat bagaimana awal pertemanannya dengan Han. Saat itu Sunwoo-lah yang memperkenalkan mereka. Sunwoo dan Han sudah lama berteman jauh sebelum Eric mengenal keduanya.

“Gue udah temenan sama dia lama banget jauh sebelum gue kenal lo,” Han mengoceh, “eh, pas kalian saling kenal, gue jadi jarang main sama Sunwoo.”

“Lo ... cemburu apa gimana?” Eric bertanya.

“Gue kesel aja waktu itu,” mata Han menerawang jauh, “padahal gue dulu yang kenal Sunwoo tapi malah kalian nempel terus, gue kadang dilupain.”

Eric jadi tidak enak sendiri. Memang betul dirinya dan Sunwoo lama kelamaan menjadi amat dekat sampai keduanya sering bersama walaupun sering bertengkar satu sama lain. Ia dan Sunwoo pun masuk di kelas yang sama, berbeda dengan Han. Mungkin karena itu Han jadi merasa dikucilkan meskipun Eric tidak pernah ada maksud seperti itu.

“Maaf,” cicit Eric, “gue gak peka sama perasaan lo. Gue kira lo oke-oke aja waktu itu.”

“YHAA KOK JADI LESU?” Han tertawa lebar, “udahlah masa lalu juga. Pada akhirnya juga gue yang pertama kali tau rahasianya Sunwoo. Disitu gue ngerasa masih dianggap jadi temennya, ya, walaupun timing-nya jelek.”

Ketika keadaan Sunwoo semakin memburuk, saat itulah Eric merasa jauh dari Sunwoo. Meski Eric sudah bolak-balik bertanya lantaran curiga dengan keadaan Sunwoo, lelaki itu terus bersikeras menyimpan rahasianya sampai puncaknya ketika hendak ujian akhir. Sunwoo tidak masuk berbulan-bulan lamanya, menyebabkan Han akhirnya menceritakan yang sebenarnya kepada Eric.

“Gue shock waktu itu,” tanpa dijelaskan, Han sudah tahu arah pembicaraan Eric, “kecewa juga karena di antara kita, gue yang terakhir tau. Tapi gue paham, sih, waktu ngobrol sama Sunwoo semalem—”

“Anjir gue merinding lagi,” Han menatap Eric horor.

Tangan Eric bergerak menjitak kening Han, “yaela jangan penakut gitu dong, Sunwoo, kan, temen lo sendiri.”

“Ya udah iya,” balas Han, “terus apa? Lanjutin.”

“Intinya sih, banyak yang dia takutin buat jujur ke gue,” Eric menghela napas.

Han diam sejenak, “selama dia bareng lo, dia pernah nyebut gue gak? Nitip salam gitu?”

Kalau dipikir, nasib keduanya sama: ditinggalkan begitu saja tanpa pamit. Sunwoo pergi tanpa aba-aba, membuat keduanya belum sempat menikmati momen terakhir bersama.

“Gue yakin ada banyak yang mau dia omongin ke lo, Han,” Eric menepuk bahu temannya, “lo harus siap, jangan pingsan nanti.”

“Yaelah gue pemberani gini,” Han membusungkan dada membuat Eric tertawa.

“Ngomong-ngomong, makasih ya udah mau jadi temen gue,” lanjut Eric, “kita sama-sama lagi sedih waktu itu tapi lo lebih kuat dari gue. Lo selalu ada buat gue sampai sekarang. Makasih, ya.”

“Dangdut banget anjir, kaku nih tangan gue,” Han tertawa geli, “lo temen gue, Ric, jadi gak aneh kalau gue ngelakuin itu semua buat lo.”

“Si anjir ini kita ngapain sih dangdut begini,” jujur, Eric mulai merasa geli, “skip lah, skip, gue laper. Ada makanan apa?”

“Makanan basi mau?”

“Mau,” Eric tersenyum manis, “mau gue tonjok?”

Eric dan Han itu sama. Keduanya sama-sama mempunyai luka yang sama namun tetap bangkit demi sosok yang telah meninggalkan mereka, Sunwoo.

permintaan keempat.


Tempat yang diminta oleh Sunwoo rupanya adalah sebuah pantai. Namun bukan sembarang pantai melainkan pantai tempat di mana sekolah mereka dulu mengadakan study tour. Sudah lewat tiga tahun sejak hari itu tetapi Eric masih bisa melihat jelas bagaimana dirinya bernyanyi bersama teman-teman sekelasnya, bermain air hingga voli.

“Bengong aja terus,” oh, akhirnya Sunwoo menampakkan diri, “ayo kesitu.”

Sunwoo melangkah menuju tempat di mana mereka mengadakan pesta barbeque dulu. Sayang sekali Eric tidak membawa cukup uang untuk membeli daging untuk dibakar. Ia hanya sempat membeli jajanan ringan serta soda untuk dirinya.

Eric mengikuti Sunwoo yang mendudukkan diri di atas pasir, meresapi angin malam yang menerpa. Eric menghela napas kuat-kuat, memang pantai selalu berhasil menenangkan dirinya.

“Oke, sekarang gue harus ngapain?” sembari membuka kaleng soda, Eric bertanya pasal permintaan keempat Sunwoo.

“Gak ngapa-ngapain,” jawaban Sunwoo membuat Eric bingung, “permintaan keempat gue itu ngabisin semaleman di pantai sama lo sambil ngobrol-ngobrol.”

Mata Eric menyipit, “beneran?”

“Yaelah, iya beneran,” jawab Sunwoo, “udah lama, kan, gak ke pantai begini?”

Eric mengangguk seadanya. Semenjak ia pindah, rasanya ia jarang sekali menikmati udara segar sembari memanjakan mata dengan melihat keindahan alam. Mungkin karena itu ia mudah sekali terkena stress.

“Dulu kita barbeque-an, kan, di sini?” mata Eric menerawang, sama seperti pikirannya, “gue inget banget si Sanha hampir bikin dagingnya gosong gara-gara lo nyanyi lagu favoritnya.”

“Gue kaget tiba-tiba Sanha nimbrung waktu itu,” Sunwoo terkekeh, “mana gue tau dia lagi masak. Tau-tau aja anak cewek dah pada teriak-teriak.”

“Gue juga masih inget kita api unggunan di sini sampai dimarahin guru,” kata Eric.

“Lagian ya kali mau masuk sebelum kayunya habis,” ucap Sunwoo sewot, “gue sama lo mati-matian nyalain api unggunnya malah pas udah nyala disuruh udahan.”

“Ya kan udah waktunya ke villa, Sunwoo,” Eric gemas.

“Bilang aja pingin nimbrung tapi gengsi,” Sunwoo mendecak, “hadeeeh, kayak gak pernah ngalamin masa muda aja.”

Eric tertawa kecil lalu diam, memandang ombak. Kala itu benar-benar menyenangkan. Eric rasanya ingin sekali kembali ke masa di mana ia masih sekolah.

Dan masa di mana Sunwoo masih hidup.

“Tapi habis study tour, besoknya lo gak masuk,” senyum Eric sedikit pudar, “izinnya memang kecapekan dan dulu gue percaya. Sekarang gue baru paham kalau pasti waktu itu penyakit lo lagi kambuh.”

Dengan senyum terkulum Sunwoo mengangguk, “waktu itu kondisi gue langsung anjlok. Jelek banget dan ya, gue masuk rumah sakit lagi. Tapi gue emang udah sepakat sama bunda buat nyembuyiin ini dari temen sekelas makanya bunda izinnya gue kecapekan.”

Eric diam, begitu pula Sunwoo. Nampaknya keduanya sedang terhanyut dalam pikiran masing-masing. Eric dengan kebenciannya yang terlambat mengetahui kondisi Sunwoo serta Sunwoo yang selalu merasa bersalah karena sudah meninggalkan Eric.

“Tapi kenapa ... harus gue yang terakhir tau?” suara Eric sedikit bergetar, “bahkan gue tau dari Han. Padahal kita deket banget.”

“Justru itu, Ric,” Sunwoo menghela napas berat, “justru kita deket banget gue takut ngasih tau lo. Gue takut suatu hari gue harus ninggalin lo. Gue takut lo ngeliat gue waktu gue lagi sekarat. Gue ... banyak yang gue takutin, Ric.”

“Asal lo tau aja, gue dulu juga takut banget waktu tau, Nu,” kata Eric, “gue takut gak bisa ketemu lo lagi buat selamanya.”

Malam semakin gelap begitu pula dengan suasana pembicaraan keduanya.

“Maaf,” Sunwoo menghela napas lelah.

“Ya udahlah ya, udah kejadian juga,” jujur Eric ingin sekali merangkul Sunwoo. Sekali saja.

“Maaf juga karena udah pergi dengan cara kayak gitu,” Sunwoo melanjutkan, “tapi kayak yang pernah gue bilang, Ric. Itu yang terbaik buat gue.”

Sunwoo mungkin tidak pernah tahu bagaimana terpuruknya Eric ketika lelaki itu. Bagaimana detik-detik kepergian Sunwoo masih terbayang dengan jelas di benak Eric hingga menimbulkan trauma sendiri baginya. Sunwoo memang pergi dengan damai: dalam tidurnya, namun Eric jadi takut setiap kali melihat orang terdekatnya tidur. Ia takut besok tidak bisa bertegur sapa lagi dengan mereka.

“Iya, yang terbaik,” Eric menggumam, “mungkin kalau lo masih bertahan sampai sekarang, rasa sakit lo bakal lebih ya, Nu?”

Sunwoo mengangguk, membenarkan. Setelah kepergiannya, ia memang merasa bebas. Sejak kecil dirinya terus berjuang dengan penyakit yang dideritanya.

“Ya udah deh, lupain masa lalu,” Eric berdiri, menepuk pasir yang menempel di celananya, “mending sekarang kita seneng-seneng aja.”

Sunwoo tertawa ketika Eric berlari seperti anak kecil menuju bibir pantai, kemudian bermain dengan airnya. Pun Sunwoo akhirnya ikut berdiri, mengikuti Eric yang mencipratkan air dengan kakinya.

kilas balik.


“Ric.”

Eric menggulingkan badannya ketika merasa ada guncangan kecil di bahunya. Rasanya ia masih amat mengantuk dan sosok dengan suara yang tak asing ini terus menerus memanggilnya, berusaha membangunkannya.

“Eric bangun anjir.”

“Bentar,” jawab Eric malas, malah semakin mencari posisi nyaman.

“Bentar lagi sekolah tutup, mau gue tinggal, nih? Oke, gue tinggal.

Eric bergumam rendah menjawab sosok itu. Ia tak masalah ditinggal sendirian. Lagipula dirinya juga sudah biasa tinggal di sekolah hingga malam, asalkan masih ada satpam, Eric tidak masalah.

Tunggu, sekolah?

Mata Eric langsung terbuka lebar ketika menyadari ada yang janggal. Dirinya langsung terduduk dan jantungnya semakin berdegup kencang ketika melihat sosok di hadapannya.

“Sunwoo?”

“Apaan anjir kek ngeliat hantu aja,” balas Sunwoo, berkacak pinggang, “hari ini gue masih baik hati, ya, bangunin lo. Besok-besok biarin aja lo dikunci sendirian di atap gini.”

Masih bengong, mata Eric mengikuti pergerakan Sunwoo yang hendak meninggalkan atap. Otaknya masih belum bisa diajak bekerja, masih mencerna semua hal yang ada di hadapannya. Eric meraba badannya sendiri dan menemukan seragam SMA-nya terpasang rapi.

“Mau dikunci beneran?” kepala Sunwoo menyembul dari balik pintu.

Eric langsung menggeleng, mengikuti Sunwoo. Selama perjalanan menuju gerbang, Eric diam, matanya terus melirik Sunwoo yang bersenandung kecil. Eric berpikir keras, apakah dirinya sedang menjelajah ke masa lalu atau ini sebatas kilas balik dirinya saja?

“Nu, lo ... oke?” setelah diam cukup lama, akhirnya Eric mengeluarkan suara.

“Hah?” Sunwoo menoleh, menatap bingung, “gue keliatan gak oke memangnya?”

Gimana lo bisa oke kalau pada akhirnya lo pergi, Nu? Eric ingin menjawab namun lidahnya kelu.

“Tapi, Ric,” ujung bibir Sunwoo terangkat, “kalau suatu hari nanti lo harus sendirian, lo harus tetep kuat, ya?”

Eric menghentikan langkah, “maksudnya?”

Sunwoo ikut berhenti, menatap Eric lamat-lamat, “ya ... gak ada maksud apa-apa, sih. Pada akhirnya, kan, kita juga bakal sendiri-sendiri nantinya.”

“Kenapa gitu?” air wajah Eric mengeruh, “memangnya gak bisa gitu gue sama lo terus?”

“Gue gak berani jamin,” Sunwoo membuang pandangannya.

“Ada yang lo sembunyiin dari gue ya, Nu?” sebenarnya Eric sudah tahu namun entah mengapa bibirnya berkata demikian. Mungkin benar bahwa semua ini adalah kilas balik memorinya.

“Rahasia, ya?” Sunwoo bergumam. Lelaki itu terdiam cukup lama sebelum kembali menatap Eric dengan senyum cerahnya, “emang gue harus nyembuyiin apa selain lo yang gak sengaja lempar kaos kaki bau lo ke kakak kelas?”

“EH ANJIR!”

Hari itu ditutup dengan Eric yang sekuat tenaga mengejar Sunwoo untuk memberikan satu jambakan di rambut lelaki itu.

Aneh, ini aneh. Eric berhenti, menatap punggung Sunwoo yang semakin menjauh, ini semua apa?

salah paham


Baru saja Eric hampir menyerah ketika ia mendengar suara motor. Ia membalikkan badan dan menemukan Erin yang menatapnya dari balik punggung Melvin. Kentara sekali gadis itu menghela napas sebelum turun dari motor Melvin.

“Selesaiin semuanya sekarang,” bisik Melvin, pandangannya terus-menerus curi-curi ke arah Eric, “daripada lo nyesel selamanya, mending lo dengerin apa mau dia.”

“Temenin, Mel,” cicit Erin.

Melvin menyipitkan mata, “ogah,” jawabnya kemudian melajukan motornya pergi setelah membunyikan klakson untuk Eric.

Erin masih di tempatnya, mengumpat lirih ketika Eric mendekat. Badannya langsung menegang ketika Eric menepuk bahunya.

“Rin, gue mau jelasin semuanya.”

Melihat Eric yang nampak sangat sungguh-sungguh, Erin akhirnya mengangguk, memberi Eric waktu untuk menjelaskan.

“Dua bulan yang lalu, Anya putus dari pacarnya. Alasannya karena pacarnya ini toxic banget, dia gak kuat. Anya kira dia bakal hidup tenang habis putus dari pacarnya itu tapi ternyata gak segampang itu. Pacarnya terus neror Anya, selalu minta balikan sampai kemanapun Anya pergi, dia selalu ngikutin,” Eric mulai bercerita.

“Gue tau ini semua dari Aksa, kembarannya si Anya. Aksa minta tolong ke gue buat jagain Anya karena gue sama Anya ini satu jurusan. Tadi mantannya Anya berulah lagi, dia maksa Anya buat pergi ke tempat yang dia mau dan kebetulan gue mergokin mereka,” Eric menatap Erin lekat-lekat, “karena gue gak tega, akhirnya gue nganter Anya sampai ke tongkrongannya si Aksa. Di sini gue salah karena gue gak ngabarin lo dulu padahal kita udah janji buat pulang bareng. Maaf, Rin.”

Tidak ada tanggapan dari Erin setelah Eric berhenti berbicara. Gadis itu hanya diam, menatap gerbang kosnya sejenak. Sebenarnya dalam heningnya, Erin sedang merutuki kebodohannya yang tiba-tiba cemburuan tidak jelas. Padahal waktu itu Asla dan Ares pernah berkata padanya bahwa hubungan antara Eric dan Anya tidak seperti apa yang ia pikirkan.

“Sekarang kak Anya gimana?” setelah diam cukup lama, akhirnya Erin bersuara.

“Dia udah sama Aksa,” balas Eric cepat, “Rin, gue bener-bener minta maaf. Gue salah, gue sadar. Tolong jangan nangis, ya. Gue paling gak bisa liat lo sedih.”

Rahang Erin jatuh bebas, “SIAPA YANG BILANG GUE NANGIS?!”

“Ares. Dia bilang lo pulang sama Melvin sambil nangis,” jawab Eric dengan wajah polosnya.

Sepersekian detik berikutnya Erin tertawa amat keras, menertawakan semua yang terjadi di hari ini. Mulai dari kecemburuannya hingga kebohongan Ares yang luar biasa tidak masuk akal.

“Lo baru aja dibohongin, Kak,” Erin menyeka ujung matanya yang berair karena terlalu lama tertawa, “gue gak nangis. Iya, sih, gue kesel, gue sedih karena lo gak bilang dulu ke gue tapi gak sampai nangis gitu juga.”

“Oalah bajingan banget emang si Ares,” wajah Eric langsung masam, “asuuuuu besok gue ketekin kalau ketemu.”

“EH, JOROK BANGET!” Erin yang sudah berhenti tertawa jadi tertawa lagi.

Tawa Erin membuat wajah masam Eric berubah. Lelaki itu memperhatikan gadis di depannya yang masih belum berhenti menertawakan dirinya yang mudah sekali termakan bualan Ares. Eric tidak masalah dirinya ditertawakan selama ia bisa melihat Erin yang begitu bahagia hingga membuatnya lega. Setidaknya perkataan Ares bohong karena jujur Eric tidak tahu harus berbuat apa jika Erin benar-benar menangis.

“Rin.”

“Bentar, kak, haduh,” Erin mengatur napas, “iya? Gimana?”

“Gue sayang sama lo. Jadi pacar gue, ya?”

salah paham


Baru saja Eric hampir menyerah ketika ia mendengar suara motor. Ia membalikkan badan dan menemukan Erin yang menatapnya dari balik punggung Melvin. Kentara sekali gadis itu menghela napas sebelum turun dari motor Melvin.

“Selesaiin semuanya sekarang,” bisik Melvin, pandangannya terus-menerus curi-curi ke arah Eric, “daripada lo nyesel selamanya, mending lo dengerin apa mau dia.”

“Temenin, Mel,” cicit Erin.

Melvin menyipitkan mata, “ogah,” jawabnya kemudian melajukan motornya pergi setelah membunyikan klakson untuk Eric.

Erin masih di tempatnya, mengumpat lirih ketika Eric mendekat. Badannya langsung menegang ketika Eric menepuk bahunya.

“Rin, gue mau jelasin semuanya.”

Melihat Eric yang nampak sangat sungguh-sungguh, Erin akhirnya mengangguk, memberi Eric waktu untuk menjelaskan.

“Anya dua bulan yang lalu putus dari pacarnya. Alasannya karena pacarnya ini toxic banget dia gak kuat. Anya kira dia bakal hidup tenang habis putus dari pacarnya itu tapi ternyata gak segampang itu. Pacarnya terus neror Anya, selalu minta balikan sampai kemanapun Anya pergi, dia selalu ngikutin,” Eric mulai bercerita.

“Gue tau ini semua dari Aksa, kembarannya si Anya. Aksa minta tolong ke gue buat jagain Anya karena gue sama Anya ini satu jurusan. Tadi mantannya Anya berulah lagi, dia maksa Anya buat pergi ke tempat yang dia mau dan kebetulan gue mergokin mereka,” Eric menatap Erin lekat-lekat, “karena gue gak tega, akhirnya gue nganter Anya sampai ke tongkrongannya si Aksa. Di sini gue salah karena gue gak ngabarin lo dulu padahal kita udah janji buat pulang bareng. Maaf, Rin.”

Tidak ada tanggapan dari Erin setelah Eric berhenti berbicara. Gadis itu hanya diam, menatap gerbang kosnya sejenak. Sebenarnya dalam heningnya, Erin sedang merutuki kebodohannya yang tiba-tiba cemburuan tidak jelas. Padahal waktu itu Asla dan Ares pernah berkata padanya bahwa hubungan antara Eric dan Anya tidak seperti apa yang ia pikirkan.

“Sekarang kak Anya gimana?” setelah diam cukup lama, akhirnya Erin bersuara.

“Dia udah sama Aksa,” balas Eric cepat, “Rin, gue bener-bener minta maaf. Gue salah, gue sadar. Tolong jangan nangis, ya. Gue paling gak bisa liat lo sedih.”

Rahang Erin jatuh bebas, “SIAPA YANG NANGIS?!”

“Kata Ares. Dia bilang lo pulang sama Melvin sambil nangis,” jawab Eric dengan wajah polosnya.

Sepersekian detik berikutnya Erin tertawa amat keras, menertawakan semuanya yang terjadi di hari ini. Mulai dari kecemburuannya hingga kebohongan Ares yang luar biasa tidak masuk akal.

“Lo baru aja dibohongin, Kak,” Erin menyeka ujung matanya yang berair karena terlalu lama tertawa, “gue gak nangis. Iya, sih, gue kesel, gue sedih karena lo gak bilang dulu ke gue tapi gak sampai nangis gitu juga.”

“Oalah bajingan banget emang si Ares,” wajah Eric langsung masam, “asuuuuu besok gue ketekin kalau ketemu.”

“EH JOROK BANGET!” Erin yang sudah berhenti tertawa jadi tertawa lagi.

Tawa Erin membuat wajah masam Eric berubah. Lelaki itu memperhatikan gadis di depannya yang masih belum berhenti menertawakan dirinya yang mudah sekali termakan bualan Ares. Eric tidak masalah dirinya ditertawakan selama ia bisa melihat Erin yang begitu bahagia hingga membuatnya lega. Setidaknya perkataan Ares bohong karena jujur Eric tidak tahu harus berbuat apa jika Erin benar-benar menangis.

“Rin.”

“Bentar, kak, haduh,” Erin mengatur napas, “iya? Gimana?”

“Gue sayang sama lo. Jadi pacar gue, ya?”

permintaan ketiga.


Eric menatap hasil jerih payahnya dengan puas. Untuk seseorang yang hanya handal memasak mi instan, sup rumput laut buatan Eric ini terlihat oke. Meng saja mengakui dengan mengendus masakan Eric hingga akhirnya Eric terpaksa harus mengusir kucing itu sebelum masakannya habis dimakan oleh Meng.

“Oke, sekarang gue harus apa, nih?” Eric kebingungan.

Dimakan, Ric.”

“BAJINGAN!” Eric memasang gestur hendak menonjok Sunwoo saking terkejutnya, “permisi dulu kenapa, sih. Kaget gue anjir.”

Sunwoo tertawa, “yaelah gue kira lo udah terbiasa.”

“Ya jangan tiba-tiba gitu, dong,” balas Eric, “btw ini beneran boleh gue makan?”

Ya boleh, lah, kan lo yang masak,” Sunwoo duduk di seberang Eric, “met makan.”

Eric mengangguk kemudian mulai menyuap supnya. Rasanya rupanya tidak mengecewakan dan Eric tambah merasa puas. Mungkin lain kali ia harus mencoba memasak makanan selain mi instan. Siapa tahu skill memasaknya bisa meningkat drastis.

“Ngomong-ngomong, kenapa lo tiba-tiba nyuruh gue masak ini?” Eric bertanya dengan mulut penuh.

Telen dulu tuh isi mulut lo,” balas Sunwoo sebelum berjalan menuju kulkas.

Eric menerka-nerka ketika Sunwoo kembali membawa sebuah kotak. Kegiatan makannya seketika berhenti ketika Sunwoo mengeluarkan sebuah kue dari dalam kotak tersebut. Ditatapnya Sunwoo yang sibuk memasang lilin dan kini berusaha menyalakannya.

Kue ini dikirim dari Han,” Sunwoo menyodorkan kue tersebut, “selamat ulang tahun ke dua puluh tiga, Ric.”

Eric masih terpaku di tempatnya, tidak percaya dengan matanya sendiri. Ia kemudian tersenyum kecil. Astaga, ia bahkan lupa dengan ulang tahunnya sendiri saking lamanya ia tidak merayakannya.

Dengan cepat, Eric menangkupkan tangannya, berdoa sebelum meniup lilin, berharap semua keinginannya bisa terwujud.

Semoga semua yang lo inginkan bisa terwujud ya, Ric,” ucap Sunwoo setelah lilin padam, “semoga permintaan ketiga gue juga bisa terwujud.”

“Lah iya,” Eric baru teringat, “permintaan ketiga lo apa?”

Sunwoo tersenyum, “gak muluk-muluk, kok. Gue cuma minta mulai sekarang, di umur lo yang ke dua puluh tiga ini, lo makan yang teratur, jangan mi instan terus. Dulu lo selalu marah-marah ke gue karena gue jarang banget makan makanan sehat. Nah, sekarang giliran gue yang marahin lo. Mumpung gue masih dikasih kesempatan buat ketemu lo, gue pingin lo lebih merhatiin badan lo sendiri karena kalau bukan lo, siapa lagi? Jadi gue harap, lo bisa kabulin permintaan gue yang ketiga ini.”

Eric terdiam sejenak, “oke. Gue bakal berusaha atur pola makan gue lagi, demi lo.”

Jangan demi gue,” Sunwoo menggeleng, “lakuin ini demi diri lo sendiri baru gue bisa bahagia.”

Kalimat Sunwoo membuat Eric tak bisa berkata-kata lagi. Hanya anggukan dengan tatapan mantap yang Eric berikan kepada Sunwoo sebagai jawaban. Lagipula sebenarnya ia sedang amat terharu sampai mau menangis rasanya. Selama beberapa tahun belakangan ini, setelah ia memutuskan pindah dari rumah bahkan kota tempat ia menghabiskan masa-masa SMA-nya, Eric selalu merasa kesepian. Namun dengan keberadaan Sunwoo, sedikit demi sedikit rasa sepi itu hilang meski Eric tidak tahu akan bertahan sampai kapan.