sunlixie

Padahal baru kemarin Hyunjin mampir ke rumah Han, dirinya dibuat terkejut dengan beberapa perubahan di dalam kamar Han. Bukan karena kamar Han berantakan karena jujur saja ia sudah terbiasa melainkan adanya barang-barang yang baru pernah Hyunjin lihat.

“Ini buat apa?” Hyunjin menyentuh barang yang menarik perhatiannya.

“Anjir belum gue umpetin,” dengan cepat Han menarik barang miliknya dari Hyunjin.

“Hayo apa, nih?” wajah nakal sudah terpasang sempurna, “buat yang engga-engga, ya?”

“Sembarangan kalau ngomong,” sewot Han, “ini ... gue latihan buat nanti masuk arsitektur.”

Hyunjin diam sejenak, “lo mau masuk arsi?”

Dilihatnya Han mengangguk mantap. Pun binar di mata Han semakin meyakinkan Hyunjin, membuat dirinya diam.

“Lo sendiri gimana, Jin?” Han balik bertanya, “mau lanjut ke mana?”

Jujur, jika ditanya seperti itu, Hyunjin tidak memiliki jawabannya. Banyak yang menganggap bahwa sebagai anak cerdas yang selalu memenangkan lomba dimana-mana seperti dirinya amatlah beruntung. Jalan karirnya sudah jelas padahal belum tentu seperti itu. Bahkan sampai sekarang, sebenarnya, Hyunjin sendiri tidak memiliki hal yang ia senangi. Hyunjin tidak memiliki sesuatu yang membuatnya berhasrat untuk mendapatkannya.

Memenangkan lomba? Tidak, Hyunjin hanya melakukannya demi sang ayah. Kalau dipikir, semua yang Hyunjin lakukan sekarang hanya demi ayahnya, atau melakukan apa yang disuruh oleh ayahnya. Memang awalnya sang ayah hanya menawarkan saja. Namun melihat keantusiasan di mata ayah, bagaimana bisa Hyunjin menolak?

“Jin?” Han menghela napas ketika sadar Hyunjin sedang melamun, “belum kepikiran, ya?”

Hyunjin terkekeh kecil, “kalau saran ayah, sih, statistika, Han. Soalnya dilihat-lihat gue jago di hitung-hitungan. Mungkin juga ayah pingin nantinya gue—”

“—gue gak pingin denger kemauan Om, Jin,” Han menyela, “gue pingin denger lo pinginnya apa, pingin dimana, pingin gimana. Lo, Jin, bukan Om Jinyoung.”

Telak. Hyunjin dibuat bungkam oleh Han.

Iya, gue pinginnya apa, ya?

Asla rasanya ingin pulang saja waktu dirinya bertatapan dengan Ares yang sedang duduk di bangku depan minimarket. Begitu, rupanya ini situasi urgent yang dimaksud Eric. Perasaan Asla campur aduk, bingung mau senang atau kesal dengan Eric.

Namun akhirnya Asla memilih untuk mendekati Ares. Lelaki itu hanya diam dan memilih menyibukkan diri dengan obat merah dan luka di lengannya. Dalam hati sebenarnya Ares juga sama seperti Asla.

“Gue bantu.”

Ares ingin menolak namun Asla lebih cepat meraih lengan Ares yang luka. Ia meringis melihat luka Ares yang cukup panjang, pasti gara-gara futsal tadi.

“Maaf, La,” ucapan Ares membuat pergerakan Asla berhenti sesaat, “maaf karena gue udah marah ga jelas ke lo. Maaf juga karena gue cupu—OW ANJIR PELAN-PELAN NAPA, SIH?”

“Lo tuh, nyebelin!” iya, Asla marah sekali sampai dengan sengaja menekan luka Ares. Persetan dengan lelaki itu yang sudah mengaduh keras-keras, “kalau gue ada salah, tuh, ngomong! Gue ga mungkin tau gue salah di mana kalau lo ga ngomong! Gue bukan anak pramuka yang bisa dikasih kode-kode ga jelas tau.”

Ares malah tertawa melihat Asla yang sudah cemberut, “iya, iya. Maafin gue. Ga lagi-lagi, deh. Janji.”

“Jangan sampai malah,” Asla menatap Ares sejenak, “ga enak tau didiemin begitu.”

“Iya, iya,” Ares mengacak rambut temannya yang sudah selesai mengobatinya, “maaf, ya.”

Asla menepuk bahu Ares keras, “maaf aja mulu. Btw, gimana? Menang?”

Seketika, wajah sombong Ares muncul. Dirinya agak membusungkan dada, sok keren sebelum menjawab, “tendangan terakhir dari gue bikin kita menang.”

“Sok bener lo, anjir,” Asla tertawa, “ih, tapi tolong hati-hati kalau main. Lo banyak banget luka begini tuh kenapa?”

Wajah Ares kini berubah jadi masam, “sekolah sebelah ga sportif anjir mainnya. Gue bolak-balik di-sleding tapi ga tau kenapa wasitnya ga ngitung pelanggaran.”

“Siapa wasitnya biar gue ajak berantem,” ujar Asla kesal, “untung gue ga dateng. Kalau gue dateng, pemainnya tadi udah gue jambak sampai botak.”

Ares tertawa, “bar-bar banget buset, cewek gue.”

“Najis. Gue bukan cewek lo.”

Setelah membereskan kapas dan peralatan yang digunakan untuk mengobati Ares, keduanya segera menuju motor Asla, bersiap pulang. Untung saja di motornya tergantung sebuah helm milik abangnya jadi Ares bisa nebeng pulang bersama Asla.

“Oh iya,” disela perjalanan mereka, Ares bertanya, “gimana lomba lo?”

Di balik punggung Ares yang sedang fokus menyetir, Asla tersenyum masam, “kalah.”

belajar


Sunwoo agak merasa bersalah waktu melihat wajah mengantuk Eric ketika membukakan pintu untuknya. Ia jadi agak ragu untuk meminta Eric mengajarinya, mengingat sekarang juga sudah cukup malam.

“Ngapain masih berdiri di situ?” Eric menguap, “masuk. Katanya mau belajar.”

“Sori ganggu waktu tidur lo,” Sunwoo meletakkan brownies di atas meja Eric yang berada di tengah-tengah kamar, “gue ga tau harus belajar dimana lagi. Tadi ada kelas tambahan tapi gue harus kerja.”

Eric jadi kasihan. Selama setahun tinggal bersama, Eric jadi paham karakter Sunwoo. Lelaki yang lebih tua beberapa bulan darinya ini benar-benar pekerja keras.

“Ga papa udah,” Eric mencomot satu potong brownies, “sini, mana yang lo belum paham?”

Sebenarnya Eric bingung bagaimana mau mengajari Sunwoo. Untung saja Sunwoo tidak banyak protes, hanya tertawa jika Eric kebingungan sendiri atau ketika tutur katanya tidak tertata. Untung juga Sunwoo lumayan cepat pahamnya, membuat Eric cukup bersyukur.

“Udah paham semua atau masih ada yang belum?” Eric was-was. Sudah malam soalnya.

“Udah. Kayaknya.”

“Yeu,” Eric menoyor Sunwoo, “yang bener.”

“Udah Ric, udaaah,” Sunwoo tertawa, “gue bercanda doang.”

“Ya udah—HEH KOK REBAHAN?” Eric melotot waktu Sunwoo dengan enaknya merebahkan diri di karpetnya, tidak langsung kembali ke kamar.

“Bentar gue capek banget,” ajawab Sunwoo lalu mulai memejamkan mata.

Eric diam. Jujur amat terlihat kalau Sunwoo sedang lelah. Eric jadi tidak tega untuk mengusir Sunwoo dari kamarnya. Alih-alih mengusir, Eric berjalan menuju lemarinya, mengambil selimut lalu meletakkannya di atas wajah Sunwoo.

“Dipake, dingin,” ujar Eric sewaktu Sunwoo menatapnya bingung, “tidur sini aja ga papa kalau lo males pindah,” lanjutnya lalu berjalan menuju kasur.

Sunwoo berguling, memakai selimut pemberian Eric. Iya, perkataan Eric benar, ia sudah terlalu malas untuk balik ke kamarnya. Matanya juga sudah berat, ingin sekali tidur. Kamar Eric juga nyaman. Wangi, rapi pula. Berbeda sekali dengan kamarnya. Penuh sesak dengan buku-buku yang bersebaran, belum dibereskan sampai hari terakhir ujian, sesuai ucapannya.

“Ric?” panggilan Sunwoo dibalas gumaman pelan. Nampaknya Eric sudah hampir tertidur, “makasih.”

“Santai aja. Kayak lagi sama siapa aja lo,” balas Eric.

“Biasanya temen-temen gue kalau gue minta diajari jawabannya ga enak,” Sunwoo terkekeh pelan, “katanya, kok, gue ga bisa ngerjain padahal gue anak beasiswa.”

“Yaelah, anak beasiswa juga manusia kali,” Eric menjawab, nadanya agak sewot, “ga usah didengerin. Wajar kalau lo ga bisa. Ga ada yang sempurna, lo juga masih belajar.”

Sunwoo diam sejenak, “widih, mantep juga ucapan lo.”

“Ya iyalah,” ucapannya terpotong sebentar karena menguap, “dikira anak beasiswa sempurna banget gitu? Harus bisa segalanya? Ya enggak, lah. Lo liat anak beasiswa atau Tuhan?”

“Buset iya, Ric,” Sunwoo tertawa, “tahan, jangan sewot. Ntar kantuk lo ilang.”

“Iya juga, hoam. Gue udah ngantuk banget, nih.”

Di balik selimutnya, Sunwoo tersenyum, “dah, ayo tidur. Night. Sleep well.

Sempat ada jeda panjang sebelum Eric menjawab, “you too.


Sebenarnya aku gak marah sama sekali waktu motor Sunwoo mogok. Serius engga, malah ketawa. Ya, walaupun agak kesel juga.

“Kok bisa mogok, sih?” aku nanya sambil senyum-senyum.

Si pacar, Sunwoo, ikut senyum, cengengesan gemes, “baru pertama kali nih, Susan mogok. Aku lupa beli bensin, terlalu seneng mau ajak kamu maem canai.”

Kenapa gemes banget, sih, Kim Sunwoo?

Alhasil, mau gak mau, kita jalan. Sunwoo bersikeras buat nuntun motornya sendiri, padahal aku udah menawarkan diri buat bantu dia. Entah kenapa, sepanjang jalan bengkel sama sekali gak buka. Bengkel kecil-kecilan pun gak ada. Kalau aja ada satu bengkel yang buka, mungkin kita udah bisa minta sedikit bensin buat lanjut ke pom pengisian bensin. Atau kalau mujur, bisa juga beli bensin sekalian di bengkel.

“Dulu aku pernah mogok begini, tau,” daripada sepi, aku buka pembicaraan, “sedih, tau. Panik. Mana waktu itu aku harus buru-buru ke sekolah. Siang-siang pula.”

“Ututu, kasian banget pacar aku,” Sunwoo agak nengok ke belakang, masang wajah melas, “eh, tapi itu waktu pertama kali aku ketemu kamu, kan?”

Oh, masih inget ternyata. Aku tersenyum, “ish, bukan pertama kali. Kita, kan, satu sekolah. Kamunya aja yang gak tau kalau aku hidup.”

“Hadeeeh ngomongnyaaaa,” balas Sunwoo, “bukan gak tau kalau kamu hidup. Tau, tapi gak kenal aja. Tau nama doang.”

Aku ngangguk-ngangguk aja, “serius waktu itu aku ngerasa kamu penyelamat banget. Aku sebenarnya udah gak kuat dorong motor sendiri waktu itu. Tenaga udah habis, panas pula.”

“Iya dong, Kim Sunwoo memang penyelamat bumi,” dia agak mengaduh waktu aku jewer telinganya main-main, “aku juga kasian liat kamu. Sendirian dorong motor, mukanya melas banget. Mana waktu itu kamu kira motormu bermasalah, udah takut dimarahin Om, kan? Eh gak taunya cuma gara-gara bensin habis.”

“Ih sumpah malu banget sama abang bengkelnya,” aku tertawa, “masih inget gak, sih, ucapannya? 'Aduh, Cah Ayu. Ini bensinnya habis. Untung ada mas pacar lewat, ya.' Sialan main sebut pacar aja.”

Tawa Sunwoo menggelegar, “yee malu. Tapi, thanks to abang bengkel, kita jadi deket terus pacaran,” alis Sunwoo naik-turun. Mukanya tengil banget ih, ngeselin.

Aku lagi-lagi tertawa, menendang batu. Tumben sebenarnya aku gak marah di situasi yang mengesalkan seperti ini. Mungkin karena aku gak enak juga sama Sunwoo. Kasihan, udah capek dorong motor, harus ditambah capek karena denger ocehanku.

“Kamu udah capek, belum?” Sunwoo mode khawatir muncul, “aku takut pom bensin masih jauh.”

Aku melambaikan tangan di depan wajah, “santai aja. Kamu kayak gak tau aja aku sering lari jauh. Jalan sejauh ini mah, masih kecil buat aku.”

Satu tangan beralih mengusak rambutku, “bilang kalau capek. Nanti duduk dulu.”

Kemudian kami lanjut berjalan, kadang sambil ngobrol gak jelas. Bener-bener gak jelas, gak karuan. Kadang bicarain sekolah, anime favorit, sampai pertanyaan aneh seperti contohnya pantat manusia itu satu atau dua.

“Ih abang sama eneng itu so sweet banget, ihiw!” tiba-tiba lewat bocah SD sambil nunjuk-nunjuk kami, “semangat nuntun motornya, ya! Cieeee!”

Aku ketawa. Beda banget sama Sunwoo yang masang wajah galak. Mungkin ia hanya takut aku merasa risih karena digoda seperti itu padahal sama sekali engga. Namanya juga bocah, suka ngomong sesukanya.

“Hus, bocah tau apa?” ia menggertak, “daripada ngeledek, mending tunjukin abang dimana pom bensin.”

“Oalah, pom bensin?” si bocah menunjuk ke suatu titik, “itu, dari sini aja udah keliatan.”

Sunwoo langsung sumringah begitu pula aku. Langsung saja kami mempercepat langkah kemudian mengisi bensin hingga penuh.

“Ini,” selama Sunwoo mengisi bensin, aku pergi membeli minum. Kasihan, Sunwoo sudah ngos-ngosan begitu.

“Makasih mba pacar,” jawaban Sunwoo enteng tapi damage-nya parah sekali buatku.

Setelah sama-sama mengatur napas, Sunwoo kaget waktu lihat ponselnya. Lebih tepatnya kaget sewaktu melihat jam. Sudah malam, hampir menyentuh angka sepuluh.

“Bisa habis aku sama Om kalau kamu pulang lebih malem dari sekarang,” Sunwoo panik lalu sedih, “padahal kita belum makan canai. Maaf ya, harusnya aku liat bensin dulu sebelum ngajak kamu.”

“Udah, sih, santai aja,” balasku, “besok-besok, kan, bisa. Kamis aja habis kamu futsalan. Kan enak tuh, habis capek-capek makan canai terus keliling kota bentar.”

Raut wajah Sunwoo langsung berubah senang, menyetujui ideku. Kemudian ia menyalakan motornya, menyuruhku untuk naik ke jok belakang.

“Makasih, Sunwoo,” di tengah perjalanan aku berkata, “habis nganter aku langsung balik, ya. Tidur, jangan begadang.”

“Hah? Kerak telor?”

Angin sialan, “JANGAN BEGADAAAANG!”

“IH, MALEM-MALEM GAK ADA KERAK TELOR, SAYANG.”

“PADAHAL YA ADA!”

“HAH? DAWET?”

Ya udahlah, kalau dilanjut gak bakal ada ujungnya. Seenggaknya walau batal makan canai, jalan-jalan malam tetap tercapai, meskipun .... benar-benar jalan.


Selain ingin ngadem, alasan Mark masuk ke kamar Lucas adalah ingin mengajak lelaki jenaka itu bercengkrama. Seharian ini Mark merasa suntuk, jenuh, lelah, ingin mengisi kembali energinya dengan Lucas, temen kosnya.

Namun lelaki itu justru mengabaikannya, lebih fokus ke game sambil terkadang mulutnya berteriak random. Padahal Mark sudah memberi kode: memainkan gitar, menyomot jajan milik Lucas, sampai menurunkan suhu kamar Lucas.

“Cas,” Mark memanggil.

“Sek, bentar lagi,” jawab Lucas tanpa menengok.

Mark menyandarkan diri di sandaran kasur, memandangi punggung Lucas yang bergerak ke kanan ke kiri, gak tahu kenapa. Serius, kalau begini rasanya sama saja bohong, Mark bakalan bosan menunggu Lucas selesai bermain.

“Lucas,” panggilan Mark diabaikan, “Lucas, Lucas, Lucas, Lucas—”

Yeah, keep moaning my name like that.

Mark melotot. Benar-benar melotot mendengar perkataan tak senonoh Lucas. Kakinya bergerak menendang punggung lelaki itu keras-keras hingga Lucas terjengkang dan seruan kekecewaan terdengar dari bibirnya.

“MAAAAARK!” Lucas meratapi nasib, “GUE KALAH ANJIR?”

“Salah siapa ngomong ga disaring,” biar begitu Mark tertawa, puas melihat kekalahan Lucas, “gue kesini tuh, mau cerita ya, anjir. Bukan didiemin kayak gitu.”

“Ututu, ada apa Mark sayangku, cintaku, dunia—”

“Ngomong sama kaki gue,” Mark mengarahkan kakinya ke wajah Lucas, “temenin gue ngobrol. Gue capek banget sama hari gue.”

Lucas beringsut masuk ke dalam selimut, baru sadar betapa dinginnya kamarnya, “sok, mau cerita apa?”

“Ga tau juga gue,” Mark tertawa pelan, “capek aja. Lemes.”

“Ya udah, gue harus apa, nih, biar lo ga lemes?” Lucas memasang wajah ambigu, “mau itu?”

Mark menjambak Lucas, “bisa diem ga lo? Gue tendang anu lo lama-lama.”

Tawanya menggelegar, “maaf, bos. Habisnya loyo bener.”

“Gue emang loyo banget,” jawab Mark seadanya, “tadi gue udah ngumpulin tugas tapi gue dipanggil dosen karena gue dikira nyontek, padahal temen gue yang nyontek. Udah gitu gue disuruh ngulang, dari awal sampai akhir dalam waktu singkat. Dikira mikir tuh, sebentar kali, ya? Terus juga sekretaris BEM ga bener ya ampun, ga becus banget mau gue krauk mukanya kalau inget. Terus motor gue mogok karena LO GA NGISI LAGI BENSIN MOTOR GUE SETELAH LO PAKAI KEMARIN.”

Lucas nyengir, “gue lupa, hehe.”

“Nyengir aja terus sampai gigi lo kering,” balas Mark sewot.

Lucas menepuk kepala Mark, “ga papa. Hari ini mungkin krodit, bikin capek. Ga papa buat loyo sekali-kali. Namanya juga hidup, kayak roda, kadang di atas, kadang di bawah, kadang kena tai. Besok tinggal cuci aja rodanya pakai sabun, jadi wangi lagi. Besok siapa tau rodanya bakal lewat di red carpet, siapa tau besok bakal jadi hari yang lebih baik.”

“Sebenarnya gue agak bingung sama kata-kata lo, Cas,” Mark mendesah lelah, “ya tapi oke lah, thanks.”

“Jangan kelamaan loyo lo,” Lucas mengapit kepala Mark di ketiaknya, “ayo main aja sama gue biar lo lupa sejenak sama masalah-masalah lo.”

“Mau main apa?” setelah berhasil melepaskan diri dari Lucas, Mark bertanya.

“Kuda-kudaan?” anehnya raut wajah Lucas terlihat amat serius ketika menjawab.

“PERGI LO, MESUM!”

“PIKIRAN LO KEMANA, HAH?” Lucas berteriak gak terima.

Lucas memang aneh, tapi dengan keanehannya itu ia selalu bisa membuat Mark nyaman.

atap


Eric mempercepat langkahnya menaiki tangga ketika mendengar petikan gitar dari atap. Nyanyian Sunwoo pun sayup-sayup memasuki inderanya. Merdu, kalau Eric mau jujur.

“Yoi halo, bos,” begitu sapa Sunwoo ketika sadar ada Eric, “sini duduk,” lanjutnya, menepuk ruang kosong di sampingnya.

“Gue baru tau bintangnya keliatan jelas,” setelah mendudukkan diri, Eric mengambil cangkir Sunwoo begitu saja, meneguk sedikit kopi lalu mengeryit, “pahit banget kopinya kayak bapak-bapak.”

“Sengaja biar lo ga minta,” Sunwoo merebut, “kapok, kan, lo?”

Tangan Eric beralih, menyuap sedikit cheesecake di piring kemudian menggumam senang. Enak, manis, “ini upah lo?”

Sunwoo tertawa geli, tangannya lanjut memetik gitar, “bonus. Gue ga mau dong, kalau upah gue kue begitu doang.”

Eric mengangguk, ikut tertawa. Ia kini terdiam, menikmati kue sembari menatap langit, membiarkan Sunwoo bernyanyi. Terkadang Eric juga ikut menyahut namun sedikit-sedikit saja soalnya ia lebih senang mendengar suara Sunwoo.

“Kenapa lo?” nampaknya Sunwoo haus. Ia meletakkan gitar di samping kemudian meneguk kopinya, “mau cerita?”

Eric menghela napas panjang, “sebenarnya masalah biasa, sih. Gue baru sadar kalau setahun ini gue lebih fokus ke basket gue. Kadang di kelas gue ga dengerin guru, ngerjain tugas seadanya aja. Baru sekarang kepikiran gimana nasib nilai gue. Gue emang paling ga pinter manajemen waktu sama prioritas.”

“Ga papa, Ric, baru tahun pertama. Besok-besok lo benerin lagi, coba lagi,” Sunwoo menyuap kuenya, “gue malah salut sih, sama lo. Lo tekun sama hal yang lo sukai, fokus. Menurut gue prestasi ga cuma di akademik aja dan gue lebih takjub sama orang yang punya kelebihan selain akademik.”

“Lo ... muji gue?” Eric tertawa lebar sewaktu Sunwoo mengangguk, “well, thanks. Gue juga salut banget sih, sama lo. Lo sendirian di sini, pertahanin beasiswa lo, udah gitu juga lo harus kerja. Kalau gue jadi lo mungkin otak gue udah panas kali, ya. Denger rata-rata harus sembilan aja gue udah stress duluan.”

“Gue juga stress, sih, pas denger. Tapi gue punya motivasi sendiri jadinya mau ga mau gue harus bisa,” balas Sunwoo.

Eric menoleh, memandang Sunwoo penasaran, “kalau boleh tau, apa motivasi lo? Tapi kalau ga mau ngasih tau juga ga papa, sih,” ucapnya ketika Sunwoo balas menatapnya lurus.

Sunwoo terlihat berpikir. Tangannya kembali meraih gitar lalu memetik asal namun masih bernada.

“Gue udah tinggal di rumah om gue waktu masih tiga tahun. Om gue yang waktu itu single parent harus ketambahan beban ngurus gue disaat dia juga punya anak kecil,” Sunwoo mulai bercerita, “dari kecil gue udah tau kalau dunia ini keras, om gue juga udah nanemin itu ke gue dari kecil. Gue cuma mau hidup mandiri aja, sih. Udah cukuplah jadi beban om sama sepupu gue.

“Jadi ... yah, gitu. Sebisa mungkin gue berusaha buat ga nyusahin mereka. Makanya gue ambil beasiswa biar gue bisa ngeringanin beban om gue. Sepupu gue juga baru dapet kerja, gue ga enak dikasih duit mulu sama dia. Gue kerja, biar gue ada pegangan di sini, biar bisa nolak sepupu gue yang selalu mau ngasih gue duit—SEBENTAR, LO KENAPA NANGIS?” Sunwoo panik melihat Eric yang sudah berkaca-kaca.

“Terharuuuu,” jawab Eric kemudian menoyor kepala Sunwoo, “jangan liatin gue, ih. Gue emang anaknya gampang nangis.”

Dibilang begitu justru Sunwoo malah tertawa, semakin berusaha melihat wajah Eric yang sudah tidak karu-karuan, “ututu adek bayi, ayo liat abang.”

“NAJIS!” Eric menendang Sunwoo, “udah gue bilang jangan diliatin atau gue malah tambah—”

Iya kan, Eric malah tambah nangis.

“Yaelah, udah dong,” Sunwoo menepuk kepala Eric pelan.

“Sori kalau gue pernah nyusahin lo ya, Nu.”

“Kata siapa? Lo sama sekali ga pernah nyusahin gue. Yah, emang kadang, sih, lo bikin gue emosi tapi gue ga pernah sekalipun mikir kalau lo beban gue,” balas Sunwoo, “sebenarnya, kalau hari itu gue ga dm lo, mungkin gue bakal lebih tertekan dari sekarang. Secara ga langsung, lo udah bantu ngeringanin beban gue. Udah dong, ih, jangan nangis.”

Eric mengangguk kemudian mengatur napasnya. Sesekali sambil menatap langit-langit agar tidak menangis lagi. Ia kemudian menatap Sunwoo lama, membuat Sunwoo bingung sendiri.

“Nu.”

“Iya, kenapa?” Sunwoo bertanya.

“Laper.”

Sunwoo tertawa, “yaelah gue kira ada apa. Ya udah, ayo turun.”


Acara prom night sebenarnya amat digemari oleh Ji Changmin. Apalagi meriah, banyak makanan, banyak senda gurau. Namun anehnya sekarang ia justru mendekam di kelas, duduk bersila di lantai, memejamkan mata.

“Mau kemana?” sebelum ia pergi tadi, Chanhee, temannya bertanya.

“Kelas,” jawab Changmin singkat sambil matanya menatap ke arah satu titik.

Chanhee yang mengikuti arah pandang Changmin paham, membiarkan Changmin pergi sesukanya.

Mood Changmin turun drastis ketika melihat Juyeon, teman sekelas yang ia taksir, datang ke acara prom night bersama kakak kelas yang Changmin kenal, Hyunjae. Keduanya saling tertawa, pun Juyeon tumben-tumbennya tidak menyapa Changmin. Terlalu asik dengan Hyunjae.

Decit pintu membangunkan Changmin. Ia melotot ketika melihat kepala Juyeon di sela pintu, menoleh kesana kemari hingga menemukan sosok Changmin. Senyumnya terbit lalu segera menghampiri Changmin.

“Gue cariin ternyata lo di sini,” dengan enaknya Juyeon merebahkan dirinya di paha Changmin, menjadikannya bantal, “kenapa ngumpet? Mau gue ajak makan padahal.”

Juyeon ini tolol atau emang gak peka? Changmin mengomel dalam hati, “males, ah. Ada yang asik sama temen baru,” ujar Changmin.

Juyeon membuka mata. Tertawa melihat Changmin yang sedang membuang muka, “Hyunjae? Tadi ketemu di depan pintu. Ya udah bareng aja.”

“Oh.”

Yah, sebenarnya kalau mereka pacaran juga gak kaget, sih. Changmin melirik Juyeon yang nampak nyaman di pangkuannya. Dari dulu mereka deket. Gue aja yang cupu gak mau bilang ke Juyeon.

“Juy,” panggilan Changmin dibalas gumaman, “kita ... temen, kan?”

Juyeon diam sebentar, “memang kenapa?”

Kan, Changmin jadi salah tingkah sendiri, “ya ... gak papa, sih. Nanya aja gue.”

Ya, kan, gue gak pernah berani, Changmin menyandarkan diri ke tembok, kalau kayak gini terus gimana Juyeon bakal tau.

“Ga usah nanya gitu, Min,” Juyeon berguling, merapatkan wajahnya ke perut Changmin. Hangat, “gue emang deket sama Hyunjae, tapi lo punya tempat sendiri di hati gue.”

“Oh gitu,” Changmin menghela napas lega, “seneng gue dengernya.”

HAH SEBENTAR, APA?!

Kayaknya otak Changmin sudah tidak berfungsi lagi.


Mata Jisung penat luar biasa melihat Hyunjin yang mondar-mandir gak jelas kayak kipas angin bututnya. Padahal Jisung cuma pingin makan baksonya dengan tenang tapi Hyunjin tiba-tiba mampir—bolos—mengomel gak jelas pasal anak kelas sebelah, Sunwoo, yang berani-beraninya ngalahin dia berebut mba crush yang cantiknya luar biasa.

“Anjirrrr gue sebel bangeeeet,” dari tadi Hyunjin bolak-balik mengucap kalimat itu, “bisa-bisanya crush gue yang cantiknya sejagad raya, sealam semesta mau sama anak bau matahari kayak dia? Udah gitu tim bubur diaduk pula.”

Jisung tersedak, “gelut lo sama gue. Gak usah bawa-bawa bubur,” ucapnya gak terima. Bubur diaduk best boy, yang ga setuju, berantem sama Jisung.

Hyunjin nyengir lalu balik marah-marah, “udah jelas gue lebih cakep, mau nganter dia, bela-belain nunggu dia beres-beres perpus. KOK MAU SAMA SUNWOO? PASANG PELET APA YA ANJIR.”

“Susuk lo kurang mahal,” jawab Jisung yang kemudian dihadiahi jitakan di kening.

“Gue sedih, gue galau,” Hyunjin akhirnya duduk di depan temannya, “gue gak bisa hidup tanpa dia.”

Then die,” balas Jisung ringan, seringan tangan Hyunjin yang kemudian menjewer telinga Jisung.


Jisung melotot ketika kerah bajunya ditarik oleh Hyunjin. Hampir saja ia tersedak jus. Ia mau marah namun tertahan ketika Hyunjin mengajaknya bersembunyi di balik tembok, mengamati seseorang.

“Sunwoo?” Jisung menyipitkan mata. Kelamaan main game nampaknya membuat matanya semakin buram.

Meski agak gak jelas, Jisung bisa melihat anak kelas sebelah itu sedang berduaan dengan lawan jenis, ketawa-ketawa kayak orang sinting sambil sok romantis sampai Jisung mual sendiri.

“Jin—” Jisung tidak jadi bertanya melihat ekspresi Hyunjin yang terlihat amat marah. Jisung kembali melihat Sunwoo dengan jelas, barulah ia paham.

Jisung menarik Hyunjin ketika Sunwoo melihat ke tempat persembunyian mereka. Keduanya terduduk. Jisung melirik Hyunjin yang nampaknya sedang berusaha menenangkan dirinya.

“Fak dasar cowok buaya,” akhirnya umpatan Hyunjin keluar, “crush gue disia-sian anjir. Dasar gak ada bersyukurnya, ya, cowok futsal.”

”....lo juga cowok futsal,” balas Jisung tak habis pikir.

“Enaknya gue ngapain ya, Sung?” Hyunjin bertanya, “labrak? Kasian ceweknya. Bilang ke crush gue? Kalau dia gak percaya gimana?”

Jisung menepuk bahu Hyunjin, memasang wajah sok bijak, “terkadang kita cuma perlu ngasih dia high five.”

“HA—” Jisung membekap Hyunjin yang hampir teriak, “hah?????”

“Gue belum selesai,” Jisung kembali menepuk bahu Hyunjin, “terkadang kita cuma perlu ngasih dia high five, di muka.”

“Maksud lo?” Hyunjin bingung, jokes Jisung gak nyampai di otaknya.

“Begini.”

Hyunjin melotot waktu Jisung nampar. Iya sih, contoh, tapi sakitnya bukan main, bro.

“BAJINGAN, KITA BERANTEM AJALAH.”

Yap, malah sekarang mereka yang sibuk bertengkar, membiarkan Sunwoo yang menonton mereka dengan bingung dan kaget pastinya.

“LOOOO!” Hyunjin sempat sadar, “BESOK GUE BERURUSAN DENGAN LO!” lanjutnya menunjuk Sunwoo lalu kembali berantem dengan Jisung.