cerita juyeon
Eric masih menenangkan diri di dapur rumah Sunwoo, menatap Sunwoo yang sedang membersihkan halaman rumah bersama omnya. Nampaknya omnya itu sangat rindu dengan Sunwoo, terbukti ketika beliau langsung memeluk erat Sunwoo saat keponakannya tiba.
“Masih mual?”
Juyeon, kakak sepupu yang pernah Sunwoo ceritakan duduk di sebelah Eric, menyodorkan segelas air hangat.
Eric menggeleng, “udah engga, bang,” jawabnya kemudian meneguk air pemberian Juyeon.
Juyeon mengikuti arah pandang Eric lalu tersenyum sendiri, “ayah kayaknya kangen banget sama Sunwoo.”
Setuju, Eric terkekeh, “keliatan, sih, bang. Tapi lucu kangennya. Masa disuruh bersihin halaman begitu.”
“Quality time versi ayah memang begitu,” Juyeon menyandarkan punggung, “beresin rumah, masak, ke pasar. Pokoknya apa aja yang bikin anak-anaknya gerak.”
Eric hanya tertawa menanggapi Juyeon. Ia kembali fokus menatap Sunwoo yang kini sedang protes lantaran dirinya sudah menyapu halaman hingga bersih namun omnya malah memotong rumput.
“Lo temen pertama yang pernah Sunwoo bawa ke rumah, fyi aja,” ucap Juyeon tiba-tiba, “gue lega.”
Eric mengernyitkan dahi, “kok?”
“Sunwoo itu ... susah punya temen,” jawab Juyeon, “karena keadaannya. Karena dia lebih dulu ditinggal sama orang tuanya.”
Eric bungkam, memilih menyimak cerita Juyeon.
“Padahal Sunwoo cuma mau main bola bareng tapi temen-temennya malah ngejek dia, katanya anak yang ga punya orang tua ga pantes ikut main bola. Sunwoo marah, berantemlah dia. Waktu udah dilerai, justru dia tambah disalahin,” Juyeon melanjutkan, “dia ga punya siapapun yang bisa ngebela dia.”
“Tapi sekarang ada lo sama om, kan, bang?” Eric menyela, “Sunwoo pasti seneng banget bisa diasuh sama kalian.”
Juyeon menerawang, mengingat-ingat, “sebenarnya dulu sebelum kejadian itu gue ga pernah deket sama dia. Awal ayah bawa Sunwoo ke rumah, dia ga mau makan, maunya di kamar. Mungkin karena masih sedih, masih kehilangan. Tapi Sunwoo ini anaknya kuat. Dia sadar kalau dunia ga bakal lembut gitu aja ke dia.
“Dia jadi dewasa sebelum umurnya, apalagi waktu orang-orang di sekitarnya ngeremehin dia. Sunwoo jarang banget minta tolong ke orang lain kecuali dia bener-bener kepepet,” helaan napas Juyeon keluar, “jeleknya, dia sering nganggep dirinya beban. Padahal ga ada yang pernah mikir gitu.”
Eric setuju. Mendengar langsung dari mulut Juyeon yang notabenenya telah hidup seatap dengan Sunwoo dalam jangka waktu lama membuat Eric rasanya semakin mengenal Sunwoo. Pantas saja lelaki itu terlihat amat kuat, rupanya ia telah ditempa berulang kali oleh dunia.
“Sunwoo emang anaknya tengil tapi gue rasa itu karena dulu ga ada yang mau temenan sama dia makanya dia membentengi dirinya sendiri,” lanjut Juyeon. Lelaki itu kemudian menoleh ke arah Eric, mengusap puncak kepalanya, “Sunwoo sering banget cerita tentang lo. Gue rasa senyumnya juga tambah tulus semenjak dia sekolah di sana dan punya lo sebagai housemate-nya. Jadi tolong kalian baik-baik, ya selama di sana.”
Tanpa dipaksa pun sebenarnya Eric juga berniat seperti itu. Ia mengangguk, menyanggupi perkataan Juyeon.
“Cerita apaan, nih?”
Dengan tubuh penuh peluh, Sunwoo masuk, menatap keduanya dengan pandangan curiga.
“Barusan Bang Juyeon cerita lo masih pakai popok waktu SD,” Eric menjawab ringan.
“Heh, ga usah fitnah lo, bang,” Sunwoo sewot.
“Ga usah malu gitu lo di depan Eric,” dengan santai, Juyeon menjawab, “dulu aja waktu masih SMP kalau lo luka, maunya pakai plester—”
Juyeon tidak dapat melanjutkan kalimatnya karena Sunwoo dengan cepat membekap kakak sepupunya itu, mengundang gelak tawa Eric.