sunlixie

cerita juyeon


Eric masih menenangkan diri di dapur rumah Sunwoo, menatap Sunwoo yang sedang membersihkan halaman rumah bersama omnya. Nampaknya omnya itu sangat rindu dengan Sunwoo, terbukti ketika beliau langsung memeluk erat Sunwoo saat keponakannya tiba.

“Masih mual?”

Juyeon, kakak sepupu yang pernah Sunwoo ceritakan duduk di sebelah Eric, menyodorkan segelas air hangat.

Eric menggeleng, “udah engga, bang,” jawabnya kemudian meneguk air pemberian Juyeon.

Juyeon mengikuti arah pandang Eric lalu tersenyum sendiri, “ayah kayaknya kangen banget sama Sunwoo.”

Setuju, Eric terkekeh, “keliatan, sih, bang. Tapi lucu kangennya. Masa disuruh bersihin halaman begitu.”

Quality time versi ayah memang begitu,” Juyeon menyandarkan punggung, “beresin rumah, masak, ke pasar. Pokoknya apa aja yang bikin anak-anaknya gerak.”

Eric hanya tertawa menanggapi Juyeon. Ia kembali fokus menatap Sunwoo yang kini sedang protes lantaran dirinya sudah menyapu halaman hingga bersih namun omnya malah memotong rumput.

“Lo temen pertama yang pernah Sunwoo bawa ke rumah, fyi aja,” ucap Juyeon tiba-tiba, “gue lega.”

Eric mengernyitkan dahi, “kok?”

“Sunwoo itu ... susah punya temen,” jawab Juyeon, “karena keadaannya. Karena dia lebih dulu ditinggal sama orang tuanya.”

Eric bungkam, memilih menyimak cerita Juyeon.

“Padahal Sunwoo cuma mau main bola bareng tapi temen-temennya malah ngejek dia, katanya anak yang ga punya orang tua ga pantes ikut main bola. Sunwoo marah, berantemlah dia. Waktu udah dilerai, justru dia tambah disalahin,” Juyeon melanjutkan, “dia ga punya siapapun yang bisa ngebela dia.”

“Tapi sekarang ada lo sama om, kan, bang?” Eric menyela, “Sunwoo pasti seneng banget bisa diasuh sama kalian.”

Juyeon menerawang, mengingat-ingat, “sebenarnya dulu sebelum kejadian itu gue ga pernah deket sama dia. Awal ayah bawa Sunwoo ke rumah, dia ga mau makan, maunya di kamar. Mungkin karena masih sedih, masih kehilangan. Tapi Sunwoo ini anaknya kuat. Dia sadar kalau dunia ga bakal lembut gitu aja ke dia.

“Dia jadi dewasa sebelum umurnya, apalagi waktu orang-orang di sekitarnya ngeremehin dia. Sunwoo jarang banget minta tolong ke orang lain kecuali dia bener-bener kepepet,” helaan napas Juyeon keluar, “jeleknya, dia sering nganggep dirinya beban. Padahal ga ada yang pernah mikir gitu.”

Eric setuju. Mendengar langsung dari mulut Juyeon yang notabenenya telah hidup seatap dengan Sunwoo dalam jangka waktu lama membuat Eric rasanya semakin mengenal Sunwoo. Pantas saja lelaki itu terlihat amat kuat, rupanya ia telah ditempa berulang kali oleh dunia.

“Sunwoo emang anaknya tengil tapi gue rasa itu karena dulu ga ada yang mau temenan sama dia makanya dia membentengi dirinya sendiri,” lanjut Juyeon. Lelaki itu kemudian menoleh ke arah Eric, mengusap puncak kepalanya, “Sunwoo sering banget cerita tentang lo. Gue rasa senyumnya juga tambah tulus semenjak dia sekolah di sana dan punya lo sebagai housemate-nya. Jadi tolong kalian baik-baik, ya selama di sana.”

Tanpa dipaksa pun sebenarnya Eric juga berniat seperti itu. Ia mengangguk, menyanggupi perkataan Juyeon.

“Cerita apaan, nih?”

Dengan tubuh penuh peluh, Sunwoo masuk, menatap keduanya dengan pandangan curiga.

“Barusan Bang Juyeon cerita lo masih pakai popok waktu SD,” Eric menjawab ringan.

“Heh, ga usah fitnah lo, bang,” Sunwoo sewot.

“Ga usah malu gitu lo di depan Eric,” dengan santai, Juyeon menjawab, “dulu aja waktu masih SMP kalau lo luka, maunya pakai plester—”

Juyeon tidak dapat melanjutkan kalimatnya karena Sunwoo dengan cepat membekap kakak sepupunya itu, mengundang gelak tawa Eric.

Ares cengengesan ketika melihat Asla dengan wajah cemberutnya membukakan pintu kamarnya untuk Ares. Dengan menggerutu, Asla mempersilakan Ares masuk. Ares terkejut ketika menemukan Asla sedang melukis. Setahu Ares, Asla sudah lama sekali tidak melukis, mungkin terakhir kali ketika mereka masih duduk di bangku SMP.

“Minggir lo ga usah deket-deket,” Asla mendorong Ares pelan yang sedang mengamati lukisan setengah jadinya, “lo sih, pakai acara dateng, padahal gue mau fokus ngelukis. Kalau lo dateng, kan.....”

Iya, Asla mengomel panjang sekali dan Ares hanya tiduran di ranjang Asla, tersenyum mendengarkan omelan Asla. Ia memang sengaja datang ke rumah Asla malam-malam begini. Selain karena kesepian tidak ada orang di rumahnya, Ares juga ingin menganggu Asla setelah seharian tidak mengobrol dengan gadis itu. Hari ini Asla ... sedikit menghindar darinya dan Ares tidak tahu mengapa. Tetapi mungkin saja hanya karena binpres, Ares juga tidak terlalu paham.

“Lo kenapa tiba-tiba ngelukis?” Ares bertanya setelah Asla diam.

Asla nampaknya fokus sekali hingga membutuhkan waktu beberapa saat untuk membalas Ares, “gue pingin ngelakuin hobi gue yang terlantar aja.”

Mulut Ares membulat, “tumben banget.”

Asla menengok dari balik kanvasnya, menatap Ares, “kata Eric ini bisa bantu gue buat nemu minat bakat gue.”

Kata Eric.

“Minat lo dari dulu, kan, gambar, ya. Seni, astronomi juga. Bakat lo di hitung-hitungan, tapi kadang berkurang kalau lo ga mood. Lo juga bagus di bahasa,” Ares mengawang-awang.

Asla diam mendengar perkataan Ares. Sejak kapan Ares sadar itu semua padahal Asla saja tidak sadar? Apa karena mereka sudah lama bersama jadi Ares paham?

“Menurut lo gue bagusnya di mana?” Asla bertanya sambil mencampur beberapa warna.

Ares nyengir, “di hati gue.”

“Tai,” namun Asla tidak bisa menampik bahwa ia sedikit gugup mendengarnya, “gue butuh jawaban serius.”

Lelaki itu diam cukup lama dengan gumaman panjang, terlihat berpikir sambil mengamati Asla yang masih melukis, “gimana kalau FSRD? Masuk ke desain interior aja, nanti kita selalu bersama.”

“Tengil banget lo sumpah,” Asla melempar botol cat ke muka jahil Ares, “tapi boleh juga tuh, FSRD. Cuma masalahnya harus pakai portofolio, ya?”

“Buat lo pasti gampang,” Ares berdiri, berjalan mendekati Asla, “nah kan, lo udah hampir setahun ga nyentuh kanvas aja hasilnya bagus begini.”

Memberikan sentuhan akhir, Asla tersenyum. Ia kemudian meregangkan badan setelah dua jam berkutat pada lukisannya, “ternyata gue masih ada bakat seni,” tuturnya bangga.

Ares mengusak rambut Asla, “pilih jurusan yang sekiranya bisa buat lo enjoy. Atau kalau terpaksa banget, pilih jurusan yang masih bisa bikin lo nikmatin passion lo di sela-sela kuliah.”

Asla mengangguk lalu kembali berpikir. Ia suka dengan ide Ares untuk mencoba masuk ke FSRD. Namun tetap saja masih ada keraguan di dalam hatinya. Ia tidak boleh salah langkah.

Tiba-tiba ponsel Ares berbunyi, membuat pikiran Asla buyar. Ia menoleh kepada Ares, bertanya siapa yang menelponnya malam-malam begini.

“Ortu gue,” jawab Ares kemudian meletakkan telunjuknya di bibir, “diem lo, sst. Iya halo, Yah?”

Asla mengamati Ares yang sedang menelpon. Kemudian sebuah ide jahannam muncul di pikirannya, membuat gurat senyum jahil terbit di bibir Asla.

“ARES, ITU PACAR LO DISURUH PAKAI BAJU DULU, SIH!”

Ares melotot, Asla tertawa puas.


Sedari kecil, Hyunjin sudah amat hapal bahwa pantai selalu menjadi destinasi utama Yeji ketika kembarannya itu memiliki pikiran yang penat. Makanya tanpa ditanya, Hyunjin membelokkan motornya menuju pantai yang disambut dengan sorakan riang Yeji.

Bagi Yeji, telepatinya berhasil. Ia sebenarnya masih agak takut dengan Hyunjin, mengingat lelaki itu kemarin sempat marah padanya. Pun ketika tadi kembarannya mengetuk pintu dan mengajaknya makan, nada suaranya sangat datar, membuat Yeji ketar-ketir sendiri. Namun rasa takutnya runtuh secara bertahap dimulai ketika Hyunjin meminta dirinya untuk memfotokannya dan bahkan mengajaknya berfoto bersama.

Yeji mengambil posisi duduk tak jauh dari laut. Matanya memandang lepas ke hitamnya langit, membiarkan dirinya tersapu angin malam. Hyunjin duduk di sebelahnya, menyodorkan sekaleng soda lalu keduanya bersulang.

“Kronologinya gimana tadi?” pertanyaan Hyunjin membuat Yeji mendengus lucu.

“Udah cocok jadi detektif,” timpal Yeji, meneguk sodanya, “awalnya ayah sama bunda cuma lagi ngobrol biasa. Tapi ga tau kenapa tiba-tiba intonasi dua-duanya naik. Gue juga sempet denger Kkami disebut.”

Yeji berhenti sebentar, menoleh ke arah Hyunjin, “kemarin ... mereka sempet bertengkar gara-gara gue lalai sama Kkami, ya?”

Hyunjin hanya melirik. Membiarkan kembarannya menjawab pertanyaannya sendiri dan memilih meneguk soda. Yeji paham, ia jadi tidak enak. Pasti karena itu kemarin Hyunjin sempat bersikap dingin padanya.

Gara-gara gue, pasti Hyunjin yang jadi korban, begitu batin Yeji.

“Terus gimana?” rupanya Hyunjin masih penasaran.

“Kayak yang tadi gue bilang di chat. Ayah gebrak sesuatu, meja kayaknya, terus pergi gitu aja. Bunda langsung masuk kamar, dikunci. Gue ketuk-ketuk bunda ga mau buka,” Yeji menghela napas, “jadi ... ya, gitu, gue ikut masuk kamar.”

Hyunjin ikut menghela napas tanpa mengalihkan pandangannya dari luasnya lautan. Berbeda dengan Yeji yang mengamati figur Hyunjin dari samping, membiarkan dirinya teringat momen-momen lama bersama Hyunjin.

Ayah dan bunda mereka sedari dulu memang sering bertengkar karena hal sepele. Namun meski begitu keduanya pasti berbaikan lagi, katanya hal tersebut wajar dalam pernikahan. Tetapi imbasnya, Yeji ini agak sensitif dengan nada suara tinggi. Baginya, jika seseorang sudah berbicara dengannya menggunakan intonasi tinggi, itu artinya orang tersebut sudah marah. Dan pastinya, Yeji langsung merasa kecil, tidak berani menatap, takut dimarahi.

Kemudian Hyunjin ini selalu ada untuknya. Pernah ketika mereka masih berusia empat, ayah dan bunda bertengkar sangat hebat hingga mengakibatkan sang ayah yang mengancam untuk pergi dari rumah. Yeji dan Hyunjin di sana, menyaksikan dari tempat tersembunyi sebelum Hyunjin yang paham bahwa kembarannya tengah gemetar langsung membawanya pergi. Tak jauh, hanya ke minimarket dekat rumah dan membelikan sebuah es krim dari uang tabungannya.

Ingatan itu selalu terpahat sempurna di memori Yeji. Baginya saat itu Hyunjin heroik sekali. Karenanya, sebesar apapun rasa iri Yeji yang selalu berada di bawah bayang-bayang Hyunjin yang sempurna, semarah apapun Yeji yang selalu dituntut sama seperti Hyunjin oleh orang-orang sekitarnya, Yeji tidak pernah bisa lupa bagaimana ia sangat menyayangi Hyunjin. Hyunjin ini sosok yang amat berarti dalam hidupnya. Jika saja Hyunjin tiada, mungkin Yeji—

“Ngapain lo liat gue mulu?” akhirnya Hyunjin sadar, “baru sadar kalau kembaran lo ini ganteng banget?”

Yeji pura-pura mual, “ya tapi bener lo ganteng. Karena itu gue juga cantik banget.”

Yeji tersenyum ketika Hyunjin memberinya tatapan geli. Kemudian tanpa aba-aba, Yeji merangkul Hyunjin.

“Lo ... kenapa?” Hyunjin bingung namun membalas rangkulan Yeji.

“Ga papa,” ujar Yeji, “lo kok, bau, ya? Belum mandi?”

Selanjutnya Hyunjin menoyor kepala Yeji keras-keras, mengakibatkan si gadis tertawa amat keras.

lelah


Sambil menajamkan penciumannya, Sunwoo berjalan keluar, lurus menuju dapur yang lumayan gelap. Hanya lampu dapur yang menyala, lampu ruang tengah mati. Semakin dekat dengan dapur, Sunwoo melihat kompor yang sedang menyala. Sunwoo juga melihat presensi Eric yang sedang menelungkupkan kepala di meja makan, sama sekali tidak terusik dengan kedatangan Sunwoo.

Sunwoo mengintip wajan di atas kompor lalu terkejut sendiri. Dengan cepat ia mematikan kompor dan menatap naas telur goreng yang sudah hitam legam, gosong. Ia kemudian menatap Eric yang masih bergeming dan mendapat kesimpulan: Eric ketiduran.

Helaan napas panjang keluar dari sela bibir Sunwoo. Dirinya lalu kembali menuju kamar, mengambil selimutnya dan meletakkannya di pundak Eric. Setelahnya fokus Sunwoo kembali kepada telur gosong, terlihat berpikir sejenak sebelum menaikkan lengan bajunya.


Bau wangi membuat Eric tersadar dari tidurnya. Ia menoleh ke sekitar sejenak seperti orang linglung sebelum sadar apa yang sedang ia lakukan malam-malam begini di dapur.

“ANJIR, GUE KETIDURAN!” begitu teriak Eric sembari dirinya berdiri spontan.

“Iya emang,” dari belakangnya, Sunwoo muncul, mengetuk pelan kepala Eric dan meletakkan sepiring nasi goreng di hadapan Eric, “kasian gue liat telur yang lo goreng. Hitam banget dah kayak arang.”

Eric meringis kemudian menatap antusias nasi goreng di hadapannya, “met maem, semoga yang ini ga keasinan.”

Sunwoo mendudukkan diri di hadapan Eric sambil mengamati lelaki itu yang menyuap nasi ke mulutnya dalam porsi besar. Nampaknya Eric ini lapar sekali.

“Kayak ga pernah makan setahun aja lo,” Sunwoo mendengus geli lalu ikut menyuapkan nasi.

“Gue laper banget,” jawab Eric dengan mulut penuhnya.

“Makanya makan,” cetus Sunwoo.

Eric menggeleng, “kegiatan gue padet banget sampai rasanya buat makan aja udah capek.”

“Sama gue juga.”

Keduanya menghela napas lelah, berhenti sejenak lalu saling menatap. Sepersekian detik kemudian keduanya tertawa.

“Hidup begini amat, ya,” kata Eric setelah puas tertawa, “hari lo gimana? Ga kerasa kita dah jarang ngobrol kayak gini.”

“Hari gue gitu-gitu aja,” Sunwoo melambaikan tangan, “flat. Banyak kegiatan juga jadi capek.”

“Oh iya, lo bilang jadwal ngeband lo ditambah,” Eric menatap Sunwoo kasihan, “semangat, ya. Gue ga bisa bantu apa-apa selain ngasih semangat.”

“Sans, itu udah cukup, kok,” balas Sunwoo, “lo juga semangat buat semifinalnya.”

Nasi goreng sudah berpindah ke perut keduanya. Setelah duduk sejenak, keduanya beranjak untuk mencuci piring bersama: Sunwoo yang mencuci, Eric yang menata piring di lemari.

“Gue capeeeeek,” keluh Eric setelah selesai sambil merebahkan diri di sofa, “besok latihan lagi, anjir. CAPEEEEK.”

“Gue juga besok ngeband lagi, ada ujian pula,” Sunwoo merebahkan diri di samping Eric, “CAPEEEK.”

Keduanya lalu tertawa. Rupanya makan malam bersama sembari mengobrol ringan cukup untuk mengembalikan energi yang terbuang selama seharian.


Han benar-benar belum mandi ketika Hyunjin sampai di rumahnya. Setelah berbincang sejenak dengan ibunya Han, Hyunjin pergi menuju kamar Han, langsung merebahkan diri di kasur milik temannya sembari menunggu Han selesai mandi.

“Seungmin sama Felix ga ikut dulu,” akhirnya Han selesai juga, “have fun kata mereka.”

Hyunjin mengangguk seadanya kemudian bergerak menyalakan laptop Han. Memang tidak tahu diuntung sekali Hyunjin ini tetapi Han sendiri tak banyak protes. Sudah biasa.

“Nonton film kuy,” ajak Hyunjin, “kemarin kalian nonton film tanpa gue. Hiks, gue sedih banget tau ga?”

“NAJIS,” Han menjitak Hyunjin kemudian meraih laptopnya, membuka web khusus untuk menonton film.

Sembari menunggu, tidak ada percakapan di antara keduanya. Han sibuk menatap layar sedangkan Hyunjin sibuk memakan pai apel yang baru saja dibawakan oleh ibu Han.

“Jin, enak ga sih, punya kembaran?”

Pertanyaan tiba-tiba dari Han membuat Hyunjin sedikit bingung, “emang kenapa?”

“Ya ga papa,” Han menggelengkan kepala, “penasaran aja gue. Gue kan, anak tunggal.”

Iya juga, batin Hyunjin, “ada enaknya, ada juga ga enaknya. Tergantung orang liatnya dari sisi yang mana,” balas Hyunjin seadanya.

Han terlihat berpikir, “gue liatnya dari sisi enaknya, dong. Habisnya kek seru, punya temen, ga kesepian. Gue sering banget melamun sendirian di rumah, apalagi kalau ga ada orang. Sepi, bosen, ga tau mau ngapain. Kalau punya adik atau kakak atau kembaran kayak lo, kan, kayaknya asik gitu.”

Hyunjin mengangguk mendengar penjelasan Han, “iya, enaknya emang gitu, sih. Tapi selebihnya ... ya gitu, deh.”

Kepala Han berputar, menatap Hyunjin, “gitu gimana?”

“Ya gitu,” Hyunjin menghela napas, “kepo banget, sih?”

Hyunjin tertawa ketika Han memasang wajah sebal. Kalau lo jadi gue, pasti ada masanya lo ngerasa lebih baik jadi anak satu-satunya, Han, Hyunjin bermonolog dalam hati, melirik Han.

“Kalian lagi marahan, kan?” dari sela-sela ucapannya, Han mendengus geli, tersenyum, “meski kalian mati-matian nutupin semuanya, gue bisa tau.”

Hyunjin diam, lebih memilih fokus pada film yang akhirnya berhasil diputar.

“Lo kalau marah ke Yeji gimana, Jin?” Han mode kepo masih ada rupanya.

Gimana, ya? Hyunjin mencari jawaban sendiri, “ya gitu. Emang mau gimana?”

“Ya gitu mulu jawaban lo,” Han mulai kesal, “cari jawaban yang bervariasi, dong.”

“Memang gitu kenyataanya,” Hyunjin tertawa, “marah ya, marah. Tapi gue lebih ke diem. Kalau udah keterlaluan baru gue ngomong.”

Untungnya Han tidak bertanya lebih lanjut, memilih menutup pembicaraan dengan gumaman rendah dan fokus pada film. Hyunjin pun, namun sayangnya pikirannya tidak fokus sendiri setelah diberi pertanyaan bertubi-tubi dari Han.

“Tapi,” Hyunjin malah melanjutkan, “semarah apapun atau seiri apapun gue ke Yeji, gue ga bisa keluarin semuanya. Selalu balik lagi ke diri gue yang ngasih perhatian ke Yeji.”

Tanpa menoleh, Han tersenyum, “itu karena lo sayang dia dan ga ada yang bisa ngerubah itu dari diri lo.”

si tamu


Sunwoo menghela napas amat lega ketika tamu yang sedari tadi membunyikan bel rumah rupanya menapak di tanah. Iya, jujur Sunwoo takut, terlebih jika dilihat dari kamarnya yang terletak di lantai dua, si tamu ini mirip sekali dengan Eric. Namun waktu dirinya sudah dekat dengan si tamu, Sunwoo bisa melihat perbedaan yang signifikan antara si tamu dan Eric.

Enggak anjir, gue ga kangen Eric, Sunwoo bermonolog sendiri.

“Siapa, ya?” Sunwoo bertanya.

Si tamu tersenyum. Meski tidak lebar, senyumnya cukup menunjukkan kesopanan, “gue salah satu anggota tim basket yang sama kayak Eric.”

Mulut Sunwoo membentu huruf O, “temennya Eric, toh. Ayo masuk dulu. Ga enak ngobrol depan rumah gini.”

Meski sempat ada penolakan, akhirnya si tamu melangkahkan kaki memasuki rumah besar Eric. Sunwoo tahu sekali bagaimana perasaan kagum ketika si tamu melihat sekeliling bahkan sampai mendongak melihat rumah besar itu.

“Jadi, ada perlu apa?” setelah mempersilakan si tamu duduk dan menyajikan dua gelas coklat, Sunwoo kembali bertanya.

Si tamu sibuk merogoh sesuatu di tas ranselnya, “sori gue dateng malem-malem. Gue kesini cuma mau ngasih piagam penghargaan punya Eric. Kemarin semua tim inti dikasih piagam dari penyelenggara lomba.”

Sudut bibir Sunwoo terangkat ketika menerima sodoran piagam dari si tamu. Padahal bukan dirinya yang punya namun rasa senang entah bagaimana timbul di dalam diri Sunwoo.

“Oke, nanti gue sampein ke Eric,” ucap Sunwoo tanpa melepaskan pandangan dari piagam milik Eric, “oh iya, nama lo siapa? Biar nanti kalau di tanya Eric gue bisa jawab. Lo bukan Seungmin, kan?”

Si tamu terkekeh sambil menggeleng, “harusnya memang Seungmin yang ke sini tapi dia ada urusan jadi gue yang gantiin dia.”

Kemudian si tamu mengulurkan tangan, meminta Sunwoo untuk menjabat tangannya, berkenalan, “nama gue Jeno.”


“Dia itu cemerlang, sempurna.”

Tadi, hari ini, setelah berhasil mengajak Eric keluar dari rumahnya yang besar itu dan berkendara tak tahu arah, Sunwoo akhirnya memutuskan untuk berhenti di pantai, menunggu matahari terbenam sembari duduk berdua di atap mobilnya. Tahu betul bahwa hari Eric sedang tidak baik-baik saja, Sunwoo dengan seluruh hadirnya duduk diam, mendengarkan seluruh keluh kesah yang Eric tuturkan di sampingnya. Maniknya tak sekalipun lepas memandang binar Eric yang meredup, tidak seperti biasanya.

“Barusan Jeno pulang, bawa senyum di bibir, bawa kebahagiaan Mama-Papa, bawa pulang prestasi baru,” tutur Eric, “mereka bangga punya Jeno. Katanya teladan, multitalenta, udah gitu cakep,” Eric menutup sambil terkekeh.

Iya, Jeno. Kembar identik Eric yang sempat membuat Sunwoo bingung pada pertemuan awal mereka. Keduanya cukup mirip kecuali di kepribadian mereka. Eric cerah, penuh energi, selalu memancarkan kebahagiaan dengan cahayanya. Sedangkan Jeno itu kalem, dewasa, penuh wibawa. Siapapun segan jika melihat Jeno.

“Kadang gue sedih kalau liat Jeno,” Eric kembali membuka suara, “maksudnya sedih liat paras Jeno yang mirip banget sama gue. Tapi gue gak punya apa yang Jeno punya. Gue gak punya hal yang bisa bikin orang tua gue bangga.”

Kemudian Eric bungkam tepat ketika cahaya oranye matahari lenyap digantikan oleh gelap. Maniknya menatap kosong tepat di mana matahari hilang, diam, melanglang buana.

“Udah, Ric?” suara Sunwoo menyita atensi Eric, “kalau udah, gue mau bilang sesuatu.”

Anggukan dari Eric membuat Sunwoo menarik napas panjang, “lo gak punya apa yang Jeno punya. Iya, betul. Tapi itu berarti Jeno juga gak punya apa yang lo punya. Gue gak bisa nyebutin apa yang lo punya karena satu malam ini pasti gak akan cukup—”

Eric terkekeh mendengar perkataan Sunwoo, “berlebihan banget.”

“Memang kenyataannya begitu,” Sunwoo meraih wajah Eric, memaksa lelaki itu menatapnya, “lo sempurna dengan cara lo sendiri. Mungkin sekarang lo belum tau, gak papa, Ric. Semua orang berproses. Lo juga begitu. Tapi yang bikin gue sedih itu cuma satu.”

Eric menatap manik Sunwoo yang sendu, “apa yang bikin lo sedih? Bilang sama gue biar gue ajak berantem.”

Tutur kata Eric sedikit membuat Sunwoo tersenyum, “lo selalu liat kesempurnaan semua orang kecuali diri lo sendiri.”

Bungkam, satu kalimat dari Sunwoo berhasil menghantam telak Eric. Memang, Eric terlalu berpusat kepada orang lain sampai dirinya sendiri lupa kalau ada hal yang lebih penting untuk dia urusi.

Iya, dirinya sendiri. Belajar mencintai diri sendiri.

Dan faktanya, selalu Kim Sunwoo yang berhasil menyadarkannya.

“Gue gak ngelarang lo buat berkeluh kesah,” bungkamnya Eric menjadi sarana bagi Sunwoo untuk melanjutkan, “tapi tolong sedihnya jangan berlarut, ya? Gue gak suka liat lo sedih.”

Ya ampun, Kim Sunwoo. Eric terlalu salah tingkah untuk menatap Sunwoo. Selalu saja ada hal yang membuat Eric kagum pada pria itu.

“Selalu di sisi gue ya, Nu?” dalam perjalanan pulang, Eric meminta janji, “gue ngerasa hidup kalau ada lo di hidup gue.”

Giliran Sunwoo yang terkekeh, “berlebihan banget kayaknya.”

Rupanya keputusan yang benar untuk Eric mengendap pergi dari rumah. Menghabiskan sore bersama Sunwoo yang selalu bisa membuat dunianya utuh kembali.

masa lalu


Sunwoo kaget ketika Eric tiba-tiba memunculkan diri di dapur. Wajahnya acak-acakan sekali, entah antara karena baru bangun atau habis menangis karena Sunwoo lihat mata Eric sedikit merah dan berair. Kemudian lelaki itu langsung mengambil gelas, mengisi gelasnya dengan air dan duduk di meja makan.

“Gimana? Mau cerita?” Sunwoo duduk di hadapan Eric yang sedang minum.

“Balik badan.”

Sunwoo bingung sesaat mendengar perintah Eric.

“Balik badan. Gue ga mau lo natep gue selama gue cerita,” dengan suara seraknya Eric kembali mengulang.

Mau tak mau Sunwoo menurut. Meski bingung, Sunwoo sedikit paham mengapa Eric menyuruhnya demikian. Terlebih dari raut wajahnya, Eric jauh dari kata baik-baik saja.

“Lo pasti udah nebak gue mau cerita apa,” Eric memulai, “sebenarnya gue ga mau cerita tapi gue ga bisa mendem ini sendiri. Gue juga belum berani bilang ke abang.”

“Lanjut, gue dengerin,” tanpa berbalik, Sunwoo menjawab.

“Dari kecil gue selalu deket sama Papi gue. Kemana-mana gue selalu diajak sama Papi, semua kemauan gue pasti diturutin sama Papi. Gue bahkan jadiin Papi sebagai panutan saking sayangnya gue ke Papi. Gue juga liat Papi ini orangnya sayang banget ke keluarga, selalu prioritasin keluarga lebih dari apapun.

“Suatu hari gue heran karena Papi pulang pagi banget. Mungkin bagi sebagian orang biasa aja karena Papi memang kerja tapi bagi gue engga. Sesibuk apapun Papi, beliau pasti bakal pulang gasik, katanya biar bisa makan malem bareng-bareng. Cuma kata Mami waktu itu Papi ada banyak kerjaan jadi gue iyain aja,” Eric diam sejenak, mempersiapkan diri untuk melanjutkan.

“Gue memang masih kecil tapi gue sadar ada yang aneh dari Papi sejak hari itu. Papi ga pernah lagi ngajak gue, jarang ngobrol sama gue, selalu pulang malam, puncaknya waktu hari ulang tahun Abang. Mami agak kesel karena Papi lupa sama ulang tahun anaknya sendiri dan hari itu pertama kalinya Papi bentak Mami pakai nada yang keras banget sampai gue kaget sendiri.

“Namanya bangkai, sebaik apapun disembunyiin pasti bakal ketauan, kan? Iya, Papi ketauan punya perempuan lain dan yang pertama kali tau itu ... gue.”

“Ric—”

“Jangan balik badan,” Eric menahan gerakan Sunwoo, “gue belum selesai.”

“Semuanya kecewa, Abang yang marah besar sedangkan Mami cuma bisa nangis waktu itu. Gue juga. Gue ga nyangka Papi bisa gitu padahal gue udah jadiin Papi panutan,” Eric melanjutkan sembari terkekeh pelan, “sampai Papi cerai sama Mami, ga ada satu kata maaf yang keluar dari Papi. Gue ga tau kenapa Papi bisa berubah jadi pria bajingan kayak gitu. Gue juga tau kalau setelah Mami Papi cerai, Papi sama selingkuhannya itu nikah—”

Eric diam ketika merasa tenggorokannya tercekat. Demi apapun sekarang Eric sebal sekali dengan dirinya yang mudah menangis.

“Udah cukup kalau lo ga kuat,” akhirnya Sunwoo membalikkan badannya, menyodorkan gelas berisi air kepada Eric.

Eric menggeleng. Ia sedikit tertawa sambil mengusap matanya yang berair lalu meneguk air, “itu baru prolognya, Nu.”

“Tenangin diri lo dulu,” Sunwoo menepuk bahu Eric supaya lelaki itu lebih tenang.

Butuh waktu sekitar setengah jam untuk Eric menenangkan diri. Selama itu Sunwoo hanya diam, membiarkan Eric menata emosinya sembari sesekali mengisikan air di gelas Eric.

Sunwoo tidak tahu rasanya karena memori tentang kedua orang tuanya sudah amat pudar. Ia hanya tahu rupa kedua orang tuanya ketika Omnya menunjukkan foto lama. Sisanya Sunwoo tidak tahu.

Namun melihat Eric yang tampak kacau seperti itu membuat Sunwoo juga ikut sedih. Padahal Sunwoo ini dulunya bukan tipikal orang yang memedulikan orang lain, mengingat dirinya juga diperlakukan begitu oleh orang-orang disekitarnya. Tetapi entah, ketika mendengar cerita Eric, Sunwoo rasanya ingin sekali menghibur Eric meski ia tidak tahu bagaimana caranya.

“Kemarin waktu pembagian rapot,” oh, Eric akhirnya melanjutkan, “gue liat Papi gue masuk ke ruang pendaftaran siswa baru.”

Mata Sunwoo membulat, “berarti....”

Eric mengangguk, “memang selingkuhannya Papi udah punya anak. Katanya seumuran gue. Gue takut ketemu anak itu. Gue takut, gimana kalau anak itu jauh dari gue? Maksudnya jauh lebih pinter, jauh lebih cakep, jauh lebih ... sempurna.”

Sunwoo menggeleng, “mau dia lebih pinter, lebih cakep, lebih apalah, lo harus tetep jadi diri lo sendiri, Ric. Jangan peduliin dia. Buktiin ke Papi lo kalau lo bisa hidup lebih baik walau dia udah ngasih luka yang lebar ke lo.”

Eric menatap Sunwoo, “gitu ya?”

“Iya, dong,” jawab Sunwoo, “gue yakin lo bisa. Semesta mungkin lagi ngajak lo main sekarang, lo harus bisa dong mainin balik. Gue percaya yang namanya Eric Sohn pasti bisa. Soalnya Eric yang gue kenal anaknya kuat, ngeyelan, gengsinya tinggi.”

“Yaelah,” Eric tertawa, “lo mau muji gue atau ngejek gue, sih?”

Sunwoo ikut tertawa, “jangan nangis lagi lo. Gue—”

“Iya, gue jelek kalau nangis. Iya, kan?”

Sunwoo mengernyitkan dahi, menggeleng, “gue ikut sedih kalau lo sedih.”

mirip


“Eric, gue izin masuk.”

Eric langsung meletakkan ponselnya, “masuk aja. Toh tadi lo juga udah masuk.”

Kepala Sunwoo melongok dahulu sebelum masuk ke dalam dalam kamar Eric. Tangannya penuh membawa nampan berisi semangkuk bubur, segelas air putih, dan tak lupa obat demam. Bau yang menguar dari bubur membuat perut Eric langsung bereaksi.

“Baunya enak banget,” begitu ucap Eric waktu Sunwoo meletakkan bubur di hadapannya, “semoga ga keasinan, ya.”

Sambil membantu Eric duduk, Sunwoo merengut, “besok gue kasih aja sekalian garam setoples biar lo mampus.”

Eric tertawa lemah. Aduh pusing banget, anjir, “santai elah.”

Bukannya langsung makan, Eric memilih memandangi bubur buatan Sunwoo. Agak ragu untuk makan. Bukan, bukan karena ia takut keasinan, tapi ia tidak suka bubur kecuali jika ibunya yang memasak. Entah kenapa bisa begitu, mungkin bawaan sejak kecil.

“Kalau lo ga mau makan, gue cekokin,” Sunwoo langsung menyuapkan sesendok penuh bubur ke mulut Eric dengan paksa.

Mau tak mau Eric akhirnya menerima suapan Sunwoo. Matanya membulat sesaat, menatap Sunwoo tak percaya.

“Wah anjir. Rasanya mirip banget,” meski lidahnya agak pahit, Eric bisa merasakan bahwa bubur buatan Sunwoo ini mirip sekali dengan bubur andalan ibunya, “kok bisa?”

Sunwoo menepuk dadanya bangga membuat Eric langsung memasang wajah hendak muntah, “gue dikasih dua resep. Satu dari abang gue, satu dari abang lo. Tapi—”

“—OH JADI LO YANG CEPU KE ABANG KALAU GUE LAGI SAKIT!” Eric menyela lalu menjambak Sunwoo.

“ANJIR BAR-BAR BANGET LO, ERIC!” Sunwoo ingin membalas tapi ingat kalau lelaki di depannya sedang demam, “abang lo duluan yang ngedm gue. Katanya ada firasat buruk.”

Malas berdebat, Eric mengangguk saja, kembali menerima suapan Sunwoo.

Loh, bentar, ngapain gue disuapin?

“Eh, gue makan sendiri aja,” Eric jadi salah tingkah sendiri.

Sunwoo menjauhkan mangkuk di tangannya, “udah terlanjur. Lo diem aja sampai buburnya habis.”

Ya sudah, Eric menurut, “tadi ucapan lo belum selesai.”

“Oh iya,” Sunwoo teringat, “gue dikasih dua resep tapi pas gue baca ternyata sama aja. Btw ini ga keasinan, kan?”

Tersenyum, Eric menjawab, “engga, kok. Ga tau, sih, lebih tepatnya. Lidah gue agak pahit tapi gue bisa ngerasain bubur lo mirip banget sama buburnya mami.”

“Bagus deh, kalau gitu,” Sunwoo menghela napas lega.

Sedikit demi sedikit, akhirnya bubur buatan Sunwoo habis tak bersisa. Baru kali ini Eric puas sekali padahal ia hanya makan bubur polos tanpa topping apapun. Mungkin karena rasanya amat sangat mirip sehingga Eric seperti sedang sakit di rumah, diurus oleh ibunya.

Kini Eric sudah berbaring, sudah minum obat, bersiap untuk tidur lagi. Sunwoo sempat memberi ultimatum jika ia tidak melihat Eric tidur, maka ia tidak akan mengizinkan Eric makan ramyeon dan itu membuat Eric mau tak mau menurut.

“Ric.”

Eric bergumam menjawab Sunwoo dibalik selimutnya. Tanpa membuka mata, ia menunggu kelanjutan perkataan Sunwoo.

“Jangan terlalu banyak pikiran,” lanjut Sunwoo, “kalau mau cerita, gue selalu siap. Cepet sembuh, ya.”

basah kuyup


Sunwoo kaget sewaktu dirinya membuka pintu dan mendapati Eric yang tersenyum polos seperti biasa. Hal yang membuat Sunwoo kaget adalah Eric saat ini berdiri di depan pintu dalam keadaan basah kuyup. Benar-benar basah, seperti orang yang baru saja menembus hujan deras tanpa pelindung apapun.

“Lo, kok, basah gini?” Sunwoo mengambil keset sebelum menyuruh Eric masuk, “lo diem dulu di sini, gue ambil handuk.”

Eric menurut saja diperintah seperti itu oleh Sunwoo. Lagipula sebenarnya tenaganya sekarang sudah benar-benar habis. Kedinginan pula. Padahal tadi sewaktu ia menembus hujan, rasanya biasa saja, tidak terasa apa-apa malah.

Mungkin gue lagi ga sadar waktu tadi nabrak hujan, Eric bermonolog dalam hati sambil menatap kakinya yang basah.

Sunwoo sedikit tergesa ketika kembali ke tempat Eric berdiri. Segera ia meletakkan handuk di kepala Eric, agak mengusapnya sedikit sebelum membiarkan lelaki itu mengeringkan rambutnya sendiri.

“Langsung mandi lo,” perintah kedua Sunwoo keluar, “jangan kelamaan mandinya. Gue tunggu lo di ruang tengah.”

Lagi, Eric hanya mengangguk kemudian menyeret tubuh basahnya menuju kamar mandi.


Dengan handuk di bahunya, Eric kembali menuju ruang tengah. Kini dirinya sudah rapi, sudah wangi. Bibirnya sedikit gemetar, rupanya dinginnya baru terasa sekarang. Ia kemudian duduk di sofa, kembali mengeringkan rambutnya yang masih sedikit basah.

“Lo pulang nabrak hujan?” dari arah dapur, Sunwoo datang. Ia meletakkan secangkir coklat hangat di depan Eric kemudian ikut duduk di samping lelaki itu.

“Iya, gue nabrak hujan. Untung ga harus gue bawa ke rumah sakit,” Eric menjawab ringan, sambil terkekeh.

Sunwoo memasang wajah kesal, “serius, Eric. Tadi hujannya deres banget. Harusnya lo nepi dulu atau panggil taksi atau panggil gue.”

Eric mengernyit sambil meneguk coklatnya, “ngapain manggil lo? Lo pawang hujan memangnya?”

“Serius dikit,” nada suara Sunwoo mulai kesal, “gue bisa bawain lo payung.”

“Ya gimana, ya, udah telanjur juga,” jawab Eric, “gue kira gerimis doang. Eh, ga taunya tiba-tiba langsung jadi deres. Kelamaan kalau gue nunggu reda.”

Sunwoo mendecakkan lidah, “lo latihan basket emang selama ini? Lo kenapa? Kayak ada sesuatu yang bikin suasana hati lo jelek.”

Bingo, Sunwoo cenayang, Eric tersenyum pahit, “tadi waktu ambil rapot, gue ketemu Papi gue.”

Mendapat jawaban seperti itu, Sunwoo hanya diam mengamati Eric yang kini menikmati coklat panas buatannya. Ia lalu menghela napas, ikut menyesap coklatnya.

“Turnamen mulai kapan?” Sunwoo bertanya, “gue mau nonton lo.”

Eric mengerjap menatap Sunwoo. Bingung sejenak sebelum menjawab, “tumben? Lo pasti mau malu-maluin gue.”

“Iya, gue mau bawa spanduk gede banget isinya Eric Sohn jelek, ayo gelantungan di ring, terus gue bawa galon buat nyanyi yel-yel,” jawab Sunwoo.

“Anjir,” Eric tertawa keras, “ga dulu, makasih. Gue ga butuh dukungan moral kayak gitu.”

“Dukungan moral pantat lo,” balas Sunwoo, “gue gabut selama di rumah, mau nonton lo basketan aja.”

“Tiga hari lagi ada semacam tanding gladi bersih sama senior biar tambah siap ngelawan sekolah lain,” ucap Eric, “kalau lo kosong, dateng aja.”

Sunwoo mengangguk, “sip. Gue kayaknya ga ada job. Nanti gue mampir.”

“Jangan lupa bawain gue handuk sama air putih,” Eric tersenyum nakal, “aduh, jadi kayak disamper pacar.”

Sunwoo menoyor kepala Eric, “sini lo gue tampol.”

Dari situ obrolan keduanya mengalir tak karuan. Sembari menikmati coklat dan hujan, keduanya saling tertawa, mengobrol dengan asyiknya tentang keseharian mereka sampai hal-hal random.

“Oh iya, lo udah makan?” tiba-tiba Sunwoo teringat, “tadi gue nyoba resep dari kafe tempat gue kerja. Lo mau nyicip?”

Wajah Eric langsung sumringah, “mau, dong, ya kali engga.”

Malam mereka ditutup dengan Eric yang berteriak sambil menertawakan masakan Sunwoo yang terlalu asin. Biar begitu, dirinya tetap menghabiskan masakan buatan Sunwoo, meski harus bolak-balik mengeryit keasinan.

“Besok gue ga mau masak lagi,” kesal, Sunwoo berucap.

“Ngambek mulu lo kayak anak gadis.”