ismura

Fall in Love with a Tsundere

Chapter 6: Let It Be

Eula memarkirkan mobilnya asal, ia tahu, kalau saja Kaveh bertemu dengan orang tuanya yang super strict itu, dunia bisa dalam bahaya mengingat Kaveh adalah salah satu sumbu terpendek di belahan bumi Teyvat. Eula tergopoh-gopoh menaiki tangga sebelum memasuki Angel's Share yang terletak di pusat kota Mondstadt. Hari sudah menunjukkan pukul lima sore, suasana bar tersebut terlihat ramai oleh pengunjung, entah itu mahasiswa lulusan Teyvat University yang merayakan kelulusannya, atau pemabok yang kerap bertandang ke sana.

Suara tawa Kaveh menggelegar mengalahkan pengunjung lain, Eula ternganga ketika melihat Kaveh sedang minum-minum dengan kedua orang tua Eula. Momen tak terduga ini justru membuat Eula semakin takut karena ia memiliki kenangan buruk di masa lalu akibat sang ayah yang sedang dalam pengaruh alkohol.

“Eula!” sahut sang ayah sambil melambai-lambai ke arah putrinya.

Mereka tampak lebih cerah, gumam Eula setelah menunduk, menjawab sahutan sang ayah.

Ibunda dari Eula itu beranjak dari kursinya, namun Kaveh menahannya karena sudah menarik kursi dari sisi lain untuk kekasihnya duduk. Senyum lebar dari sang ibu kian merekah karena calon menantunya itu benar-benar memperlakukan Eula bak seorang putri seperti yang selalu ia bangga-banggakan.

“Kenapa kamu gak bilang kalau dia pacarmu?!” tanya sang ayah dengan suara keras.

“Emangnya kenapa, Yah?” jawab Eula ragu.

“Dia ini! Dia ini yang sering bantu-bantu tim legal Ayah buat perusahaan!”

Eula semakin terkejut karena Kaveh tak pernah bilang apa-apa ke Eula tentang pekerjaan serabutannya itu, memang semenjak Eula mengambil semester pendek, keduanya sudah jarang berkomunikasi, saat mereka saling bertukar kabar pun kata 'putus' kerap mengisi ruang pesan pribadinya karena di satu sisi Eula stress dan tak bisa menahan emosi, juga Kaveh, sama saja.

“Tim legal?”

Kaveh mengangguk sambil tersenyum, posisi duduknya terlihat santai karena sudah merasa nyaman dengan lingkungannya, kedua kakinya yang ia lebarkan juga menunjukkan bahwa walaupun ia santai, namun tetap menunjukkan karismanya di depan calon mertua.

“Berkas-berkas pembangunan lahan Lawrence's Apartment itu juga Nak Kaveh yang bantu,” timpal sang ibu kepada Eula.

Sebenarnya dia ini siapa?! runtuk Eula kesal karena gemas melihat Kaveh salah tingkah setelah mendengar penjelasan sang ibu.

Pria paruh baya itu tiba-tiba mengubah ekspresi wajahnya menjadi serius, ia bahkan tak terlihat sudah mabuk sekarang.

“Jadi? Kau serius dengan permintaanmu?”

“Iya, Pak.”

Sang ayah mengangguk sambil berdeham, keduanya saling tatap tanpa mengeluarkan suara tambahan. Eula terlihat canggung sementara ibunya hanya terkekeh melihat kelakuan dua bocah dewasa itu.

“Bu,” bisik Eula pelan.

“Kenapa, Nak?”

“Permintaan apa yang dimaksud Ayah?”

“Sebentar, Nak. Dikit lagi,”

“Maksudnya,”

Mata ayah Eula mulai berair, namun ia masih berusaha untuk tak berkedip, di sela-sela adu tatap itu seorang pelayan datang memberikan bill dari seluruh pesanan yang ada.

“NAH! Ngedip!” sentak Kaveh heboh.

“Ah! Sialan!”

“Ayo, tepati janjimu! Ayah!”

Mendengar kata 'ayah' keluar dari mulut Kaveh membuatnya geli sendiri, akhirnya Eula sadar tujuan dari ajang beradu tatap ini.

“Nak,” potong sang ibu ketika melihat Eula memutar matanya kesal.

“Kami merestui kalian,” lanjut sang ibu sambil tersenyum.

“Secepat ini, Bu?!” Eula terkejut mendengar ucapan ibunya.

“Kami kenal Kaveh sejak kamu lulus SMA, Nak. Dia dulu sempat magang di perusahaan Ayah tapi gak tahu kenapa tiba-tiba menghilang tanpa kabar gitu,”

Eula tak percaya dengan semua yang dikatakan ibunya, pandangannya kembali tertuju pada Kaveh, lelaki sejuta onar dan penuh dengan kejutan. Dari bawah meja, Kaveh menggenggam tangan Eula dengan lembut, Eula pun membalas genggaman tangannya karena ia selalu merindukan hal-hal kecil seperti ini. Namun sebenarnya Eula masih cukup kaget dengan semua yang terjadi hari ini, semuanya seperti berlalu begitu cepat, tiba-tiba ia sudah lulus S2, Kaveh melamarnya dengan sebuah kunci rumah, dan pertemuan mendadaknya dengan kedua orang tua, semuanya tidak terduga sama sekali.

“Kapan?” tanya ayah Eula.

“Minggu depan,” jawab Kaveh.

“HAH?!” sentak Eula kaget.

Mereka kembali tertawa setelah suasananya kembali mencair, tidak ada ketegangan yang terjadi setelah ajang adu tatap tersebut. Baik Kaveh maupun sang ayah, sudah seperti sahabat lama yang akhirnya dipersatukan.

“Baik, Ayah. Udah mau malam—”

Stop! Jangan panggil itu dulu! Masih tak biasa rasanya!”

“Ayah! Ayah! Ayah! Ayah!” ledek Kaveh semakin menjadi.

“Udah! Cukup! Tidaaaaaak!” canda ayahnya ikut dalam permainan menggelikan Kaveh.

Senyum manis Eula mulai terukir di wajahnya, ibunya yang sedari tadi memperhatikan tangan Kaveh dan putrinya bertaut pun ikut tersenyum. Dunia memang seperti bercanda, momen tak terduga ini selalu menghampiri walaupun orang itu belum siap dengan keadaan, Kaveh tak pernah mau membahas seluruh perjuangannya kepada Eula, sehingga kekasihnya itu tak tahu menahu tentang apa yang telah dilakukan oleh Kaveh.

Keduanya pamit di parkiran di depan Angel's Share, taksi yang sudah dipesankan oleh Kaveh tiba lima menit kemudian, Kaveh membantu ayahnya masuk ke dalam mobil tersebut karena sudah tak kuat lagi menahan kakinya. Ibunya pun berterima kasih atas jamuannya lalu menutup pintu taksi sembari melambaikan tangan saat jendela taksi itu perlahan menutup.

“Kak? Kamu yakin?” tanya Eula pelan.

“Eula,”

Sang puan menoleh ke arahnya, namun Kaveh menatap langit sambil bersyukur akan anugrah yang selama ini diidam-idamkan olehnya. Lelakinya tampak tampan disinari oleh jingga nan hangat, Eula tak perlu jawaban yang keluar dari mulut Kaveh, hatinya ikut tenang saat Kaveh menyenderkan kepalanya di bahu sang kekasih.

“Masih butuh jawaban?”

“Enggak, kamu aja udah cukup,”

THE END

Fall in Love with a Tsundere

Chapter 5: Kencan Pertama

Kaveh mendorong Aether keluar dari rumahnya setelah dikabari oleh Eula bahwa gadisnya itu sedang dalam perjalanan menuju ke rumah. Adiknya itu tidak tahu menahu apa yang membuat Kaveh bersikeras mengusirnya pergi ke mana pun malam ini, alasannya agar Aether bisa menikmati dunia malam Teyvat yang katanya 'penuh keajaiban'.

“Laptop gue!” seru Aether masih menahan tubuhnya.

“Udah, lo gak usah mikirin tugas kuliah dulu! Gampang itu semua!” Kaveh berhasil membuka pintu mobilnya lalu menyuruh Aether untuk pergi dari rumah secepatnya.

Lelaki bersurai pirang itu menghela nafasnya, ia lega karena tidak akan ada yang akan mengganggu kencan pertamanya dengan Eula malam ini. Lumine tidak ada kabar, pintu kamarnya pun terkunci, ini berarti dia pasti tidak akan di rumah karena urusan kampus, setidaknya itu yang ada di pikiran Kaveh. Sementara Dainsleif, dia sudah menjawab pesan Kaveh yang menanyakan keberadaannya, Dainsleif masih berkutat dengan tesis-nya serta tugas perkuliahan mahasiswanya malam ini, hal ini sudah menjadi rutinitas si sulung selama menjadi dosen muda.

Kaveh menutupi wajahnya dari sinar lampu mobil yang mengarah kepadanya, Eula memarkirkan mobilnya di garasi yang sudah kosong melompong di rumah. Melihat Eula menggunakan kaos berwarna biru langit berbalut cardigan serta celana training membuat Kaveh terkesima namun ia tak lagi menyembunyikan perasaannya. Untuk apa lagi memang? Eula sudah menjadi kekasihnya, kan?

“Lho? Kamu udah bisa berdiri gini?” tanya Eula kebingungan.

“Udah, udah lama kali?” jawab Kaveh sambil menggaruk tengkuk kepalanya.

“Tetap aja harus hati-hati,”

Eula menggandeng lengan Kaveh sambil menundukkan kepalanya, mereka berada di situasi yang canggung saat ini. Setelah keduanya masuk ke dalam rumah, Kaveh mengunci pintunya agar tidak ada gangguan datang dari mana pun.

“Kenapa dikunci, Kak?”

“Eh, gak usah dikunci, ya?”

Kaveh kembali memutar kepala kuncinya sehingga berbunyi klik. Namun yang tak disadari olehnya, pintu itu semakin terkunci karena Kaveh memutar ke arah yang salah.

“Udah,”

Eula menatap Kaveh sambil menuntunnya duduk di sofa ruang tamu, ia tak menyangka Kaveh akan mengunci pintu rumah padahal ini adalah kencan pertamanya.

Apa yang ada di pikirannya sekarang? Mau berbuat mesum, kah?

Setelah mereka duduk di sofa, tak ada yang mengeluarkan suara sama sekali. Biasanya kalau Eula bertandang ke rumah Kaveh, selalu ada Haitham di antara mereka, atau Haitham dengan Nilou menemani namun Eula tak dapat kesempatan untuk berbicara.

Ayo ngomong! pekik Eula dalam hati.

Anjir gue mau ngomong apa ini! ujar Kaveh di saat yang sama, dalam hati tentunya.

Kaveh berdeham, ia terus berdeham karena bingung harus apa. Eula melihat tangan Kaveh terletak di atas sofa di samping tangannya, kedua jemari itu hampir bersentuhan satu sama lain. Mengingat Kaveh orang yang jarang menginisiasi, Eula langsung menautkan jari-jari Kaveh dengan miliknya.

Kenapa dia nyentuh gue duluan? Harusnya gue gak sih? gumam Kaveh.

Bego banget ini cowok! Kenapa dia masih diam aja? Gue malu! runtuk Eula kesal.

“Ehm... La?”

“Iya, Kak?”

Kaveh mengalihkan pandangannya saat netra mereka bertemu, Eula pun ikut memandang ke arah yang berlawanan setelah sadar Kaveh membuang wajahnya dari sang kekasih.

“Gue gak tahu apa-apa soal kencan,”

Eula menoleh sekilas, Kaveh terlihat sedang menyenderkan tubuhnya ke sofa, ia sudah pasrah kalau kencan pertamanya akan gagal karena Kaveh tak mengerti urusan percintaan.

“Aku... juga gak tahu,” balas Eula lirih.

“Di umur segini kalau pacaran ngapain, ya?” gumam Kaveh namun terdengar oleh Eula.

“Gak tahu, aku belum pernah pacaran sebelumnya,”

Jari-jari mereka masih bertaut, namun Kaveh mengeratkan genggamannya hingga Eula tersentak saat merasakan sentuhan itu.

“Lo pernah ciuman?” tanya Kaveh polos.

“Enggak, aku takut...”

“Takut kenapa?”

“Takut aneh aja,”

Kaveh kembali berpikir apa yang akan diucapkan selanjutnya, kepala Eula sudah kosong karena pertanyaan Kaveh terlalu cepat untuk ditanyakan.

Tak tahu setan apa yang merasuki tubuhnya, Eula memberanikan diri untuk menoleh lagi ke arah sang kekasih.

“Kakak mau ciuman?”

“HAH?!”

Yang ditanya tak kunjung memberi jawaban, Eula terkekeh melihat kelakuan Kaveh saat ini. Kaveh tersenyum tipis karena canggung, sementara Eula masih fokus menatap wajah Kaveh.

“Kalau dari drama yang aku tonton, orang pacaran itu juga ada ciumannya,” lanjut Eula karena Kaveh tak kunjung merespon ucapannya.

“Iya, ya?”

Eula mengangguk pelan.

“Kata orang, ciuman pertama itu indah,” Kaveh mulai angkat bicara.

Keduanya kini saling melempar tatap, Kaveh mulai mendekatkan wajahnya ke Eula. Deru nafas keduanya mulai terasa ketika jarak di antara mereka sudah semakin tipis.

“Bentar, nafas gue bau gak?” tanya Kaveh dengan raut wajah menggemaskan di mata Eula.

“Enggak,”

Eula mulai mencium bibir tipis milik kekasihnya, ia menutup matanya perlahan tanpa memedulikan Kaveh yang masih terbelalak akibat serangan dadakan tersebut. Kedua bibir itu sibuk membalas satu sama lain, baik Kaveh maupun Eula, keduanya tenggelam dalam euforia ciuman pertamanya.

Fall in Love with a Tsundere

Chapter 4: Emergency Call cw: harsh words

“Kita tunggu saja perkembangannya, kondisi Saudara Kaveh saat ini sedang kritis. Kami tentu akan mengupayakan agar Saudara bisa selamat, jadi tenang saja,” ujar sang dokter tepat di hadapan Dainsleif selaku saudara tertua di antara keluarganya.

Di dalam ruang rawat, Lumine dan Aether masih dirundung rasa cemas karena menunggu kabar dari Dainsleif yang masih berada di ruangan dokter. Kabar buruk itu sampai di telinga Lumine ketika Eula meneleponnya dengan suara serak akibat menangis histeris, dengan cepat saudara-saudara Kaveh langsung menyusul keduanya di Rumah Sakit Teyvat yang terletak di Teyvat Pusat. Mereka tak bisa menyalahkan Eula atas aksi nekat yang Kaveh lakukan, lelaki bersurai pirang itu selalu bertindak tanpa berpikir panjang, kini ia harus dirawat secara intensif mengingat tulang-tulang di tubuhnya sudah banyak yang patah, mengikuti kaki kanannya yang sudah lebih dulu rusak karena mencelakakan dirinya saat ingin menyusul Haitham di Sumeru beberapa minggu lalu.

Setelah Kaveh dimasukkan ke ICU, Eula pamit undur diri dari hadapan ketiga saudara Kaveh. Isak tangis gadis bersurai biru muda itu masih terdengar di sepanjang lorong area ICU sebelum akhirnya Eula hilang dari pandangan mereka. Tidak ada yang bisa Aether lakukan selain memeluk erat si kembar yang masih menangis tersedu-sedu setelah mengetahui bahwa Kaveh sudah masuk ke tahap koma.

Dainsleif keluar dari ruangan dokter lalu menghampiri adik-adiknya, ia memberikan secarik kertas berisi pernyataan bahwa apa pun upaya dokter tidak bisa digugat apabila korban kecelakaan tersebut meninggal dunia di rumah sakit.

“Surat pernyataan?! Secepat itu?!” sentak Lumine tak kuasa menahan amarah.

Dainsleif hanya mengangguk pelan, berusaha menahan air matanya agar tidak tumpah di hadapan Aether dan Lumine.

“Ini keputusan dokter, Dek. Kaveh masih bisa bernafas setelah jatuh dari lantai 5 sudah merupakan mukjizat besar bagi dirinya,” jawab Dainsleif menghela nafas berat.

“Tapi... Eula bilang bakal bawain dokter terbaik di Teyvat sebelum pulang, pasti Bang Kaveh selamat, kan? Iya, kan?!” bantah Lumine tak menyerah akan situasi genting ini.

“Iya, kita semua tahu akan hal itu. Berdoa saja supaya Kaveh gak perlu banyak operasi lagi seperti tadi,”

Suara hentakan kaki terdengar di telinga ketiga surai pirang, Haitham dan Nilou datang setelah mendapatkan kabar buruk itu. Kaveh memang sedang bersama Haitham setelah ia menyelesaikan sidang skripsi tadi pagi, namun sahabatnya itu tiba-tiba menghilang setelah memasang raut wajah kesal saat menatap layar ponselnya entah kenapa.

“Bagaimana kondisi Kaveh?” tanya Haitham cemas.

Lumine hanya menggelengkan kepalanya, pandangan Haitham beralih kepada Dainsleif. Baru saja netra mereka saling tatap, Dainsleif sudah meluncurkan bogem mentah ke arah sahabatnya Kaveh itu.

“Lo harusnya jaga sahabat lo!” teriak Dainsleif lantang, mengisi seisi lorong area ICU.

“Anak anjing ini! Gue gak tahu dia ke mana tadi!” balas Haitham memukul Dainsleif hingga terjatuh.

Dainsleif tersungkur hingga punggungnya menabrak kursi panjang tempat pengunjung rumah sakit duduk. Aether langsung mendorong Haitham karena tak ingin perkelahian ini terus berlanjut karena orang-orang di sekitar sudah menaruh perhatian pada mereka.

“Udah, Bang! Jangan saling menyalahkan!” seru Aether keras.

Kali pertamanya suara lelaki bersurai pirang itu lebih tinggi dari apa pun. Ya, Aether yang terkenal penyabar dan selalu tersenyum kini menatap tajam netra milik Haitham. Nilou menahan lengan kekasihnya sekuat tenaga, namun karena emosinya sudah terlampau tinggi, Haitham bergerak menuju Dainsleif dengan Nilou yang masih bertaut di lengan kekarnya.

“Gue datang ke sini bukan mau berantem sama lo! Gue mau lihat kondisi sahabat gue!”

Tubuh bidang Haitham tak dapat ditahan oleh Aether maupun Lumine, Dainsleif beranjak dari lantai sembari menyeka darah yang keluar dari bibirnya.

“Udah, Tham! Udah!” pinta Nilou tak kuasa menahan tangis dan kekuatan Haitham.

Pandangan Haitham beralih pada secarik kertas yang sudah tak lagi mulus, tulisan 'surat pernyataan' di bagian atas surat itu membuat Haitham mengepalkan tangannya lebih keras lagi.

“Apa ini maksudnya?” tanya Haitham setelah mengambil surat pernyataan yang tergeletak di atas lantai.

“Jelasin apa ini maksudnya, Dain!” teriak Haitham lantang.

“Lo bisa baca sendiri, kan, Bangsat?!” balas Dainsleif yang sudah terintimidasi.

“Itu surat pernyataan kalau rumah sakit sudah melakukan yang terbaik untuk saudara gue! Lo pikir gue bakal terima surat itu begitu saja?!”

“Lo selalu ada di sisi Kaveh, tapi kenapa lo gak tahu kalau dia pergi nyusulin Eula?!”

Dainsleif mendorong Haitham hingga ia mundur beberapa langkah, keributan kembali terjadi sampai petugas keamanan rumah sakit terpaksa mengusir keduanya dari sana.

Dainsleif dan Haitham dipisahkan oleh Lumine karena ikut kesal dengan tingkah mereka yang seperti anak-anak, gadis bersurai pirang itu terus berusaha menghubungi Eula yang berjanji akan memberikan kabar tentang dokter kenalannya dari Fontaine.

“Udah tau kondisi lagi buruk kayak gini, kenapa lo harus berantem, sih?!” bentak Lumine kepada Dainsleif.

Si sulung itu masih terlihat menundukkan kepalanya karena menyesal sudah bertindak tanpa berpikir, Dainsleif merasa bersalah kepada Haitham karena tak bisa menahan emosinya tanpa alasan. Ia berpikir kalau Kaveh bersama Haitham semuanya akan baik-baik saja karena Dainsleif sangat menghormati dan mempercayai Haitham.

“Mendingan lo pulang aja, Bang.”

“Ther, bawa aja Bang Dain pulang, suruh dia tenangin dirinya. Gue bisa jaga Kaveh sendiri,” suruh Lumine kepada Aether.

Si kembar mengangguk setuju lalu mengajak abangnya untuk pergi meninggalkan area rumah sakit. Di parkiran, Haitham masih berusaha meredakan amarahnya kepada Dainsleif karena tak terima dipukul olehnya. Nilou terus mengelus lembut punggung kekasihnya sambil memegang satu botol air mineral yang enggan diminum oleh Haitham.

“Aku tahu perasaan kamu, tapi untuk sekarang jangan gunakan prinsip senggol bacokmu, ya, Sayang?” bujuk Nilou memeluk Haitham dari samping.

Haitham mengangguk pelan, ia menyenderkan kepalanya di sisi sang kekasih. Ketenangan yang tak dapat diungkapkan lewat kata-kata itu sangat terasa di fisik dan batin Haitham, memang hanya Nilou-lah satu-satunya orang yang dapat menenangkan hati lelaki bersumbu pendek itu.

**

Dua bulan sudah peristiwa Kaveh berlalu, belum ada tanda-tanda bahwa si surai pirang sadar dari koma. Dainsleif, Lumine, dan Aether bergantian mengurus Kaveh setiap hari, kadang Haitham dan Nilou juga menjenguk sahabatnya sambil bercerita keseharian mereka tanpa adanya Kaveh.

Pintu ruang rawatnya terbuka, Eula memberi salam sebelum masuk lalu berjalan ke arah Lumine dan Haitham yang sedang menunggui Kaveh.

“Masih belum ada perkembangan, La.” ujar Lumine terisak saat melihat sahabatnya itu datang.

Haitham beranjak dari salah satu kursi penjaga lalu mempersilakan Eula untuk duduk. Eula merangkul tubuh Lumine dengan hangat, berusaha memberikan energi positif kepada jiwa yang sudah hampir mati itu. Beberapa hari lalu Kaveh sempat bergerak sedikit, namun dokter belum berani melepas status koma-nya Kaveh karena belum memenuhi kriteria pasien.

“Kalau Abang amnesia gimana, ya? Kepalanya udah sering kena timpuk sama si Haitham,” rengek Lumine menyindir Haitham yang hampir tertawa mendengarnya.

“Ketawa lo! Abang gue sakit ini!” sentak Lumine sedikit keras.

“Maaf,”

“Kata dokter, tulang-tulangnya sudah menyatu kembali, kok. Nanti setelah sadar mungkin Kaveh harus rehabilitasi dulu sebelum beraktivitas seperti biasa,” jelas Eula kepada Lumine.

“Iya, tadi juga Bang Dain bilang gitu ke gue, semoga aja dia bisa cepat sadar,” ujar Lumine menoleh sekilas ke arah Kaveh yang masih terbaring di atas ranjangnya.

Haitham berdeham, saat ia baru mulai angkat bicara, Lumine sudah menatapnya tajam, mengisyaratkan agar dia tidak perlu memberikan respon apa-apa tentang penjelasan Eula barusan.

“Kasus kayak gini masih terbilang langka, tak jarang orang yang jatuh dari lantai lima masih bisa selamat kayak Kaveh walaupun koma,” ujar Eula, matanya sudah berkaca-kaca setelah memantau status elektrokardiogram yang menunjukkan status jantung Kaveh terbilang normal.

“Hmm, Lumine? Gue bisa bicara sama lo bentar ke luar?” tanya Haitham pelan.

Lumine hanya mengangguk, mengikuti Haitham sambil berbicara ringan kepada si surai pirang. Langkah Haitham terhenti saat Eula tak dapat melihat mereka lagi, Haitham berpura-pura membuka pintu ruang rawatnya lalu menutup kembali agar tidak ada kecurigaan dari Eula.

“Lo kenapa—”

Haitham menutup mulut Lumine, dalam pikirannya, Eula sudah merasa tinggal berdua dengan Kaveh. Nyatanya, mereka berdua masih berada di depan kamar mandi pasien rawat inap di dalam ruangan.

Eula menatap Kaveh lirih, gadis itu menggenggam punggung tangan lelakinya dengan lembut. Lelakinya? Ya, Eula masih menganggap Kaveh sebagai kekasihnya, belum ada kata putus melainkan kesalahpahaman yang seharusnya bisa diselesaikan jika mereka bicara baik-baik. Namun Eula juga salah satu orang yang tidak bisa menahan emosinya, tetapi gadis itu masih enggan membuka suara padahal mereka tinggal berdua di ruangan itu.

“Aku gak bisa bayangin kalau kamu masih dalam kondisi koma sampai tahun depan,” ujar Eula pelan, lebih tepatnya ia berbicara sendiri.

“Dua bulan tanpa kamu saja semuanya sudah berubah, aku gak tahu bagaimana harus menjelaskannya, tapi hidup orang-orang di sekitar kamu berubah sejak kamu kecelakaan,” lanjut Eula, air matanya mulai menetes karena tak kuat menahan rasa rindunya kepada Kaveh.

Tiba-tiba punggung tangan Kaveh bertaut di antara jemari Eula, sang puan terkejut saat mendapati Kaveh tengah tersenyum ke arahnya. Lelaki bersurai pirang itu mengedipkan matanya namun terlihat aneh, senyum yang terukir di wajah manis Eula mulai tampak saat ia mulai beranjak untuk pergi menyusul Lumine ke luar ruangan.

“Ssst!”

“Jangan—”

“Anak anjing!”

“Gue tahu lo udah sadar, Bangsat!”

Haitham dan Lumine langsung mengeluarkan kepalanya dari sisi tembok berbentuk huruf L tersebut, Haitham tertawa terbahak-bahak karena terbawa suasana setelah sadar bahwa Kaveh juga ikut tersenyum saat Lumine bilang kepalanya sering ditimpuk oleh Haitham.

“Pantek! Pantek!” seru Kaveh sama kerasnya dengan Haitham.

Eula terkejut saat mendengar suara Kaveh terdengar normal sama seperti ia berbicara sehari-hari. Kaveh ikut tertawa karena suara cekikikan geli Haitham mengisi seluruh ruang rawat.

“Lo mau nipu gue berapa lama lagi, Anjing? Hah?!” ujar Haitham sambil tertawa.

“Lo itu gak bisa nipu gue, sahabat lo sendiri ini!” lanjutnya heboh.

Lumine masih menganga karena tak percaya dengan keajaiban ini, begitu pun Eula, gadis itu masih membisu karena tangannya sudah digenggam oleh Kaveh sejak tadi.

“Udah sebulan lebih gue perhatiin gerak-gerik lo, Bangsat! Udah bener gue nyuruh lo masuk Sastra karena kelakuan lo ngalahin drama-drama di televisi!”

“Kalau bisa setahun gue nipu lo, Babi! Udah gak kuat gue nahan ketawa setiap lo datang nangis-nangis ceritain hidup lo tanpa gue!” balas Kaveh sampai suaranya serak karena terus mengumpat sahabatnya.

Lumine sontak memeluk tubuh ringkih Kaveh, ia belum sepenuhnya pulih, namun energi yang diberikan sahabatnya itu jauh lebih banyak untuk Kaveh. Mereka masih tertawa menikmati momen setengah haru ini, Eula pun ikut tersenyum saat mencuri-curi pandang ke arah Kaveh dan Haitham. Dua sejoli itu memang tak akan bisa terpisahkan, bak surat dan prangko, Kaveh dan Haitham akan selalu bersama tak peduli badai besar sekalipun menghadang.

“Bego banget lo, Bang! Bikin khawatir aja!” teriak Lumine dalam pelukan Kaveh, sang abang masih tertawa keras disusul suara berat Haitham yang masih cekikikan sejak tadi.

“Seorang Kaveh gak akan gugur gitu aja, Dek! Lo percaya gak, sih, sama gue?!” balas Kaveh sambil mengecup lembut pucuk rambut Lumine.

Eula menatap lelakinya lirih, namun dengan ekspresi berbeda. Rasa sesak di hatinya seketika sirna setelah mendengar suara yang selama ini ia rindukan.

Kaveh menoleh ke arah Eula, melemparkan senyum termanisnya sampai wajah si surai biru itu memerah.

Terima kasih,

Eula menjawab gerakan mulut itu dengan senyum tulus yang terekam sempurna di mata sang kekasih, Kavehnya.

Fall in Love with a Tsundere

Chapter 3: with a Tsundere cw: harsh words

Setelah memarkirkan mobilnya, Lumine bergerak lebih dulu untuk mencari di mana keberadaan abangnya, Kaveh. Eula yang baru saja keluar dan mengunci mobilnya sudah menjadi sasaran empuk para buaya darat yang bersarang di Warung Kopi Puspa.

“Eh, ini Eula yang di Twitter itu!” bisik salah satu pengunjung warkop.

“Eula? Mau nongkrong sama siapa?” goda laki-laki lain sambil tertawa terbahak-bahak bersama teman-temannya.

“Sini sama kami aja kalau mau nugas,”

Memang benar kata Lumine sepanjang jalan, ia sangat mewanti-wanti Eula untuk tidak menanggapi omongan orang terhadap dirinya, ini merupakan pesan Kaveh yang dibantah habis oleh Lumine karena ia sangat ingin mempersatukan sahabat dan abangnya itu namun kepala batu mereka selalu menghalangi satu sama lain. Eula sendiri sudah tahu dan pasrah kalau perasaannya tidak akan terbalaskan oleh Kaveh, beruntung Eula bisa mengetahui hal ini lebih awal karena jika terlambat, rasa sakit hatinya tidak akan seburuk yang dia pikirkan.

“Yula! Sini!” ajak Lumine sembari melambai-lambai ke arah Eula yang tengah mencari kepala pirang di antara keramaian.

Eula memantapkan kakinya untuk melangkah, dari jauh saja ia sudah melihat raut wajah Kaveh yang seperti mau tak mau menatapnya. Saat Lumine dan Eula tiba di meja khusus duo Haitham dan Kaveh (plus Nilou), Kaveh menggeser kursi duduknya menggunakan kaki kirinya tanpa menoleh ke arah adik serta sahabatnya itu.

Lumine yang baru saja mau duduk di samping Kaveh langsung ditahan oleh sang abang.

“Ini buat Eula,” ujar Kaveh dingin.

Dengan perasaan kesal, Lumine menggeser tubuhnya untuk duduk di samping Nilou. Kekasih Haitham tersebut menepuk pundaknya lembut sambil terkekeh, sementara Haitham sibuk berdeham sejak Eula duduk di sampignya.

“Batuk lo, Anjing? Minum obat makanya, jangan ngopi!” ceramah Kaveh sambil mengisap rokoknya.

“Enggak, ada yang nyangkut ini di tenggorokan gue,” balas Haitham masih berdeham.

Eula beku jika sudah bersanding dengan Kaveh, ini adalah kali pertamanya berada di sampingnya tanpa mengurusi masalah celana training milik si surai pirang.

“Eh, kalian mau mesan apa? Biar aku pesanin,” ujar Nilou melepas rasa canggung di meja mereka.

Lumine masih melihat-lihat buku menu yang terletak di meja nongkrong, padahal ia tak mendapati satu pun kumpulan kertas itu di mana pun, saat itu juga Lumine sadar kalau Kaveh yang sudah memintanya lebih dulu agar mereka bisa langsung memesan. Seringainya mulai tampak di wajah Lumine, memperhatikan sang abang dari sisi serong kanannya.

“Lo mesan apa, Yul?” tanya Lumine ramah, sahabatnya itu masih belum bisa menentukan apa yang akan dibeli sekarang, karena pikirannya masih kosong sejak melihat kursi yang digeser oleh Kaveh ternyata untuk dirinya.

“Belum tau...” jawab Eula berusaha menyadarkan dirinya.

Kaveh diam-diam celingak-celinguk melihat dari samping, menu yang dipegang Eula berhenti di bagian makanan manis seperti pie atau cookies.

“Itu enak, Stromcrest Pie,” ujar Kaveh sambil menunjuk ke foto makanan tersebut.

Eula menoleh ke arah Kaveh, jantungnya kembali berdegub kencang saat lengan Kaveh tak sengaja menyenggol bahunya saat menunjuk menu. Wajahnya yang memerah sudah menjadi bukti untuk yang lainnya bahwa gadis bersurai biru muda ini benar-benar sudah jatuh cinta pada Kaveh, dengan cara yang aneh.

“Ya udah, gue ini aja,” ucap Eula pelan lalu memberikan menu itu kepada Kaveh.

Kaveh sontak beranjak dari kursinya lalu pergi ke salah satu pelayan kafe, sebenarnya Warkop Puspa ini adalah sebuah kafe tapi Haitham dan Kaveh menyebutnya warung kopi karena mereka berdua hanya minum kopi di sana. Mereka bisa nongkrong dari awal kafe itu buka sampai keduanya pun ikut beres-beres sebelum tutup. Tak jarang Kaveh ikut membantu para pelayan untuk closing hari itu.

“Lah? Bang? Gue belum!” seru Lumine ikut berdiri dan menyusul Kaveh.

Tinggallah Haitham, Nilou, dan Eula di meja tersebut. Eula masih canggung duduk di antara teman-teman Kaveh, yang bisa dilakukan oleh Eula adalah menekan kuku jempolnya kuat-kuat.

“Kami udah tau, La.” ujar Haitham memecahkan lamunan Eula.

Eula mendongak ke arah lawan bicaranya, “Maksudnya, Kak?”

“Kami udah tau kalau lo suka sama Kaveh,” jawab Haitham singkat.

Eula menghela nafas berat, mungkin sudah menjadi rahasia umum semenjak Eula salah membuat status di Twitter menggunakan akun utamanya. Beberapa waktu belakangan juga Kaveh sering menuliskan nama Eula di akun sosial medianya.

“Sebenarnya pelayan bisa dipanggil, sih. Anak itu gak tau juga kesambet apaan,” lanjut Haitham sambil terkekeh.

“Baru kelihatan kalau dia anaknya act of service banget,” timpal Nilou ikut terkekeh dengan kekasihnya.

Eula mangut-mangut mendengar omongan dua sejoli itu, senyum tipisnya mulai terlihat namun seketika pudar saat Kaveh dan Lumine kembali ke meja sambil berdebat.

“Gue gak bilang pengen Sweet Madame tapi kenapa lo mesanin itu untuk gue?!” sentak Lumine kepada abangnya.

“Cobain dulu! Kalau gak enak kasih gue!” balas Kaveh tak mau kalah dengan sang adik.

“Bilang aja lo pengen makan itu tapi gue yang bayar!”

“Kalau gitu ketahuan banget, dong!”

“Ya apa salahnya? Lo, kan, gak ada duit, Bang!”

Melihat interaksi Lumine dan Kaveh hanya membuat Eula terkekeh, mungkin ini adalah keseharian mereka ketika di rumah yang tak pernah ia temui sampai saat ini. Meskipun Lumine selalu mengeluhkan abangnya ketika sedang bercerita, tapi melihat keduanya berdebat secara langsung seperti ini benar-benar refreshing bagi Eula.

Beberapa menit kemudian, yang sudah mereka pesan akhirnya diantar oleh sang pelayan. Eula memotong makanan favoritnya itu kecil-kecil sebelum dimakan, sementara Lumine dengan malas memakan makanan porsi besar itu tanpa mengizinkan Kaveh menyentuhnya sama sekali.

“Bagi, Dek!” rengek Kaveh dengan wajah memelas.

Merasa ketenangan saat makannya mulai hancur, Eula menyendok makanan itu lalu menyuapkannya ke mulut Kaveh sampai ia terdiam.

“Enak?” tanya Eula kesal.

Kaveh hanya mengangguk, melihat wajah salah tingkahnya membuat Eula bergumam sendiri sambil melanjutkan makanannya.

Kini, jantung Kaveh yang serasa akan meletus. Setiap kunyahan Stromcrest Pie itu membuat peluh dinginnya membasahi tubuhnya, Haitham hanya bisa tertawa meledek sahabatnya namun tak begitu dipedulikan oleh Kaveh.

Wih, ternyata Abang suka sama Eula, batin Lumine sembari menyuap Sweet Madame miliknya.

Selang beberapa detik kemudian, muncullah rombongan laki-laki buaya yang disebutkan oleh Kaveh. Mereka terus mengajak ngobrol Eula walaupun tak pernah ditanggapi oleh sang puan, dicuekin seperti itu tak membuat mereka menyerah sampai salah satu dari mereka menyentuh pundak Eula.

BRUK

“Anjing lo, Veh!” bentak salah satu kawanan mereka.

“Mau ngapain lo nyentuh-nyentuh dia?” tatap Kaveh tajam.

“Kami cuma mau ngobrol sama bidadari kampus, lo gak usah ikut campur!”

Kaveh berdiri dengan satu tongkatnya, gerombolan laki-laki itu malah mundur beberapa langkah saat Kaveh perlahan berjalan ke arah mereka.

“Kalau mau ngobrol, silakan. Tapi gak usah sentuh-sentuh Eula,” balas Kaveh dengan suara beratnya.

Pengunjung lain mulai menaruh perhatian ke meja Kaveh, beberapa dari mereka sudah malas melihat tingkah yang selalu dibuat oleh si surai pirang, namun ada juga yang ikut mengelilingi Kaveh karena merasa dengan kondisinya saat ini mereka bisa membalaskan dendamnya kepada Kaveh.

“Gak usah berdiri, Tham. Santai aja,” ucap Kaveh saat Haitham akan beranjak dari kursinya.

“Oke,”

Lumine mulai membelakangi Kaveh dan menghadapi laki-laki genit tersebut. Tatapannya berbeda dengan orang-orang yang pernah ia temui, ini bukan lingkungan yang baik bagi Lumine juga Eula. Mungkin memang benar apa yang dikatakan oleh Kaveh, mereka tak seharusnya di sini.

“Udah, sih, Bang. Gak usah diperpanjang,” bujuk Lumine menoleh sekilas ke arah Kaveh di belakangnya.

“Bener, tuh! Lo gak ada urusan apa-apa sama Eula. Gak usah ikut campur urusan kami,” seru kumpulan buaya darat itu.

Kaveh mendekatkan wajahnya kepada Eula, membisikkan sesuatu yang berhasil membuat Eula mengangguk pelan.

Lo mau jadi pacar gue?

Setelah Eula mengangguk, Kaveh menggeser tubuh Lumine lalu memukul orang paling depan. Kericuhan mulai terjadi, Haitham menyelamatkan Nilou, Lumine, dan Eula, sementara Kaveh melawan mereka semua seorang diri. Kemampuan bela dirinya tak perlu diragukan lagi, Kaveh sudah terkenal sejak jaman SMA, dan seharusnya orang-orang itu tak perlu memperpanjang masalah dengan Kaveh.

“Kaveh! Udah gue bilang gak usah ribut-ribut di sini!” seru Puspa sang pemilik kafe.

Perkelahian itu terhenti, Kaveh dan yang lainnya diusir dari kafe karena aksi konyolnya. Eula dan Lumine disuruh pulang oleh Kaveh karena ia sudah malas berkelahi saat kondisi kakinya masih dalam masa penyembuhan.

“Siapa yang bawa mobil?” tanya Kaveh.

Kaveh menoleh ke arah Eula, sang puan hanya mengangguk tanpa mengeluarkan suara. Kaveh membukakan bagian pintu pengendara agar Eula bisa masuk lebih dulu, setelah Eula masuk barulah Lumine ikut masuk ke dalam mobil.

“Bang Kaveh bisikin apa tadi?” tanya Lumine penasaran.

“Ehm... Enggak ada, gue gak tau!” jawab Eula sedikit keras.

Kaveh mengetuk kaca jendela mobil Eula, gadis itu spontan membuka batas penghalang mereka setelah menekan tombol di sisi kirinya.

“Gak usah ke sini lagi,”

Kaveh pergi meninggalkan mobil Eula disusul oleh Haitham dan Nilou, melihat lelaki bersurai pirang itu kembali bercanda dengan Haitham membuat Eula panas sendiri dibuatnya. Apakah pertanyaan tadi tulus diucapkan olehnya? Atau hanya sekadar alasan agar ia bisa berkelahi? Eula benar-benar dihantui oleh pikirannya.

Mereka pergi meninggalkan area Puspa Cafe dan kembali menuju apartment Eula, sepanjang jalan tak ada yang berani membuka suara, baik itu Eula maupun Lumine. Keduanya hanya membisu menikmati keheningan yang menyelimuti mereka.

Fall in Love with a Tsundere

Chapter 2: in love cw: harsh words

Kaveh tiba di Liyue setelah berjalan selama 1 jam dari Mondstadt, peluh yang membasahi tubuhnya di siang hari membuat warga sekitar bertanya-tanya, kenapa lelaki bersurai pirang ini terus mengomel di sepanjang jalan?

“Haitham tolol! Bisa-bisanya anak itu kecelakaan?! Mobil mana yang bisa bikin dia kesakitan?!” runtuk Kaveh kesal.

Teyvat Pusat berada di daerah Teapot. Ya, Teapot, tempat termegah yang menjadi titik tengah di antara seluruh Mondstadt, dan Kaveh dengan nekatnya berjalan dari sana menuju Sumeru yang letaknya sangat jauh dari sana. Meskipun otot betisnya sudah tegang sejak tadi, Kaveh masih memiliki tenaga dalam dari amarahnya kepada Haitham.

“Katanya lo kuat, Njing?!” kini tetesan air mata itu sudah bercampur dengan keringat Kaveh, matanya memerah karena jiwanya sudah terguncang, semakin ia memikirkan sahabatnya tersebut, semakin ketakutan pula ia jika ditinggalkan oleh Haitham.

Aether dan Lumine masih menyusuri daerah Mondstadt untuk mencari Kaveh. Si bungsu, Lumine, meminta seluruh teman-temannya untuk mencari Kaveh lewat bantuan sosial media, Lumine juga memohon kepada Dainsleif agar sang abang mau mengesampingkan ego-nya untuk Kaveh, karena Dainsleif tampak tidak mau ikut campur dalam semua urusan yang ada Kaveh di dalamnya.

“Abang! Tolonglah!” ujar Lumine di telepon, gadis itu sudah terisak sejak tadi.

Aether masih fokus mengendarai mobilnya sembari melihat ke sisi kiri dan kanan jalan, kalau Kaveh jalan kaki mungkin sang abang akan mudah untuk ditemui saat ini.

Dia bilang gak usah dicariin, kan? Biarkan saja dia, Dek. jawab Dainsleif dari ujung telepon membalas permohonan Lumine.

“Bang! Dia itu saudara kita juga!” sentak Lumine kesal lalu mematikan panggilan tersebut.

Tak henti-hentinya ponsel milik duo pirang itu berdering, Lumine mengambil alih ponsel Aether untuk memantau keberadaan Kaveh di akun sosial media milik kembarannya. Namun sayang tidak ada satu pun informasi berharga tentang Kaveh saat ini.

“Gak ada juga tau, Ther.” ujar Lumine pasrah, ia menyenderkan tubuh mungilnya di kursi penumpang.

Aether tak menjawab perkataan Lumine, dirinya masih fokus mengedarkan pandangannya ke arah jalan.

“Kita bentar lagi udah mau keluar Mondstadt, berarti Bang Kaveh udah nyampe Liyue,” ucap Aether memecahkan keheningan di antara mereka.

Tangisan Lumine pecah setelah mendengarnya, di pikirannya, Kaveh terlihat sedang menangisi teman atau sahabat satu-satunya itu. Pertemuan pertama mereka dengan Haitham terjadi ketika Kaveh dan Haitham berkunjung ke kantor polisi untuk pertama kalinya karena mereka ditangkap saat tawuran sekolah, sejak saat itu hubungan Kaveh dan Haitham semakin erat padahal mereka bersekolah di tempat yang berbeda. Dainsleif benar-benar murka kepada Kaveh karena saudaranya itu lebih mementingkan tawuran daripada ujian nasional, Dainsleif tentu tidak mau membebaskan Kaveh begitu saja, justru pihak kepolisian yang memohon kepadanya untuk menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan.

“Ther... gimana, dong?” Lumine sudah terisak-isak hingga suara yang keluar tak begitu didengar oleh Aether.

Mau tak mau selama perjalanan Aether menggenggam tangan Lumine, berusaha mengurangi kekhawatiran kembarannya agar pikiran Lumine tidak jauh melayang ke mana-mana.

TRING

Lumine sontak mengecek ponselnya, gadis itu melepaskan genggaman tangan Aether lalu menutupi mulutnya dengan tangan kiri untuk menahan keinginannya untuk berteriak setelah mendapat kabar tentang kecelakaan yang baru saja terjadi di Liyue.

“Ther! Ada kecelakaan di Liyue!” seru Lumine memberontak sambil menangis.

Tanpa suara tambahan dari Aether, ia langsung menancap gas menuju rumah sakit umum di Liyue. Aether sendiri harap-harap cemas setelah mendengar penjelasan Lumine tentang korban kecelakaan tersebut.

Di tempat yang berbeda, Dainsleif pergi ke rumah sakit Sumeru dengan taksi langganannya. Walaupun terlihat cuek, sejatinya si sulung ini tetap perhatian dan menyayangi saudaranya meski terhalang gengsi dan ego yang tinggi.

Dering telepon Dainsleif membuatnya tersadar dari lamunan, ia menggeser tombol hijau yang tertera di layarnya setelah melihat nama Lumine terpampang di ponsel si surai pirang itu.

“Halo?”

Bang! Ada kecelakaan di Liyue!

Hati Dainsleif begitu tersentak setelah mendengar hal itu, jantungnya berdegub kencang dan tangannya bergetar hebat. Dainsleif meminta supirnya untuk berpindah haluan ke Liyue, beruntung dirinya masih berada di daerah Chasm, sehingga perjalanan menuju Liyue tak terlalu memakan waktu.

Sirine mobil ambulan memekik sepanjang jalan, di dalamnya si surai pirang itu terus berteriak meminta sang supir untuk pergi ke Sumeru, bukan ke Liyue.

“Gue adanya BPJS daerah Sumeru! Anterin gue ke sana! Buru!” seru Kaveh lantang.

Petugas medis yang menjaganya terus berusaha untuk menenangkan Kaveh, namun kekuatannya lebih besar dari dua orang suster medis di bagian belakang ambulan tersebut.

“Gimana ini, Mas?” tanya salah satu suster lewat jendela penghubung antara supir dan penumpang di belakang.

“Dia pasien BPJS berarti?”

“Iya katanya gitu,”

“Ya udah, kita ke Sumeru aja,”

Beberapa mobil menyusul ambulan berlambangkan Liyue mengikuti ke mana mobil bersirine itu berjalan, setelah melihat arah ambulan itu mengarah ke Sumeru, barulah Kaveh bisa sedikit tenang.

Nah, gitu, dong!

**

Lumine, Aether, dan Dainsleif tiba bersamaan. Dainsleif dengan sigap berlari ke meja resepsionis untuk bertanya tentang pasien yang bernama Kaveh.

“Sebentar, ya, Pak. Saya hubungi pihak UGD dulu,”

Lumine sudah duduk lesu di kursi pengunjung rumah sakit, Aether mondar-mandir menunggu jawaban dari pihak UGD bersama Dainsleif. Tak terasa air mata Aether juga ikut menetes karena Lumine sudah tak mau lagi diajak bicara, Dainsleif mengisyaratkan adiknya untuk menenangkan Lumine, selang beberapa detik kemudian sang resepsionis kembali menghadap Dainsleif setelah menutup teleponnya.

“Maaf, Pak. Pasiennya dilarikan ke rumah sakit di Sumeru karena status BPJS-nya terdaftar di sana,” ujar sang puan.

“Baik, terima kasih,”

Dainsleif langsung menarik lengan Lumine disusul oleh Aether di belakangnya, kini kursi pengemudi berpindah tangan ke Dainsleif. Mereka langsung melaju menuju Sumeru dengan kecepatan penuh. Selama perjalanan, Dainsleif berusaha untuk mengajak Lumine berbicara namun si bungsu enggan untuk menjawab semua pertanyaan Dainsleif.

“Kita lewat jalan tol aja biar cepat, ya?” ujar Dainsleif tanpa mendapat jawaban dari duo kembar.

Setibanya di rumah sakit Sumeru, Dainsleif serta Aether dan Lumine langsung berjalan menuju UGD. Di papan informasi pasien tertulis nama Kaveh di kolom terakhir, setelah mendapat apa yang diinginkan ketiganya berlari secepat mungkin menyusul Kaveh di ruangan gawat darurat.

Suara keributan dari dua suara yang familiar sudah terdengar beberapa puluh meter, keyakinan mereka bertambah setelah mendengar suara Kaveh dan Haitham saling mencemooh satu sama lain. Setibanya di sana, dua sahabat dengan penanganan berbeda masih terus melempar umpat, jika ada yang harus disalahkan, mungkin Nilou yang sepantasnya kena. Haitham tak sengaja menyenggol pengendara motor lain saat perjalanan kencan mereka ke Sumeru, walaupun keduanya juga terluka tetapi Haitham dan Nilou masih lebih mending daripada Kaveh yang sudah patah kaki kanannya.

“Anak anjing! Gue udah khawatir setengah mati sama lo, ya, Bangsat! Lukanya cuma goresan doang!” seru Kaveh keras, urat-urat di lehernya kian nampak namun hanya dibalas oleh tawaan canda Haitham.

“Makanya jangan langsung panik, Njing! Jangan salahin pacar gue, lah! Dia cuma bilang gue kecelakaan lo malah langsung nyusul!” balas Haitham tak mau kalah.

“Tapi ketikan Nilou caps lock semua, ya! Ya, kan, Lou?” pandangan Kaveh beralih ke Nilou.

Puan bersurai merah itu masih menangis karena tak bisa melerai Kaveh dan Haitham, walaupun tak disalahkan oleh Haitham ia memiliki andil dalam masalah ini mengingat Kaveh adalah manusia paling nekat seantero Teyvat. Musibah yang dialami Kaveh ini memang disengaja olehnya karena sudah tak lagi kuat berjalan kaki menuju Sumeru, ia sengaja menabrakkan diri di lalu lintas padat sekaligus memanfaatkan status BPJS-nya untuk tiba di rumah sakit dengan kecepatan penuh. Just Kaveh being Kaveh kalau kata Lumine.

Dainsleif sontak memeluk Kaveh, ia benar-benar khawatir saat ini, pelukannya kian mengerat ketika Lumine ikut memeluk sang abang dari belakang.

“Abang goblok banget, sih?!” sentak Lumine dalam tangisnya.

“Kalian ngapain di sini?!” ujar Kaveh kaget.

“Kaki lo patah, Bang! Ini tongkat bantu udah nempel di kedua tangan lo masa kami gak khawatir, sih?!” balas Lumine lebih keras lagi.

“Kaki kanan doang—”

“Lo bisa diam aja, gak?!” Dainsleif mulai membentak Kaveh hingga ia otomatis terdiam.

Kaveh tersenyum tipis melihat saudaranya yang datang dengan penuh rasa cemas, Haitham pun sama, di dalam pikirannya jelas ia masih mengumpat kebodohan Kaveh. Namun satu hal yang pasti, Haitham juga sudah bersumpah dalam dirinya akan selalu menemani sahabatnya itu bahkan jika nyawa harus menjadi taruhannya.

Fall in Love with a Tsundere

Ending Chapter 1: Fall cw: harsh words

Kaveh tiba di parkiran apartement tempat Eula tinggal, lelaki itu mendengus kesal karena terus ditelepon oleh adiknya, Lumine, yang menyuruhnya untuk cepat datang dan meminta maaf karena perlakuan tak senonohnya kepada sang teman. Padahal menurut Kaveh, hal itu masih dalam batas wajah, namun sejatinya memang ia tidak tahu bagaimana cara memperlakukan seorang perempuan.

“Gue udah sampai, nih!” gerutu Kaveh saat menelepon Lumine.

Naik aja ke sini! Lantai 5, Bang. suara Lumine terdengar kesal di telinga Kaveh.

Dengan langkah mantap serta percaya diri yang tinggi, Kaveh berjalan masuk ke dalam apartement Eula. Sesampainya di depan pintu utama, seorang sekuriti menghentikan langkahnya karena tingkah Kaveh cukup mencurigakan, bagaimana tidak? Ia memakai jaket tebal dan celana boxer yang panjangnya hampir tak sampai menutupi area selangkangannya.

“Mau ngapain ke sini, Mas?” tanya si sekuriti.

“Gue mau ketemu Eula,” jawab Kaveh ketus.

“Tidak boleh,”

Kaveh menaikkan sebelah alisnya, “Kenapa gue gak boleh naik?”

“Orang-orang mencurigakan tidak boleh masuk ke area Lawrence's Apartement,”

Oh, orang kaya, batin Kaveh.

Kaveh mengambil ponselnya lalu mencoba menghubungi Lumine, karena ia tak ingin mengontak Eula saat ini, Kaveh rasa ia harus meminta maaf atau setidaknya berbicara langsung dengan Eula.

Pintu utama dengan sistem sensor otomatis itu terbuka dari dalam, Eula masih dengan jaket milik Lumine dan celana training Kaveh keluar seraya menyapa sang sekuriti.

“Ini tamu saya, Pak. Biarkan saja dia masuk,”

Sang pemilik apartement sudah bertitah, tentu tidak bisa dibantah oleh bawahannya, setelah mendengar penjelasan Eula, sang sekuriti pun menundukkan kepalanya sebelum Kaveh dan Eula masuk ke area dalam apartement.

“Kata Lumine, Kakak mau bicara sesuatu?” tanya Eula dengan wajah datar.

Kaveh hanya mengangguk, Eula yang tak mendengar jawaban dari mulut lawan bicaranya sontak menoleh ke sisi kanan, pemandangan aneh yang ia dapatkan ketika Kaveh sedang menarik bagian belakang celananya karena terselip. Eula langsung membuang wajahnya ketika tahu apa yang sedang dilakukan oleh si surai pirang.

Emang goblok kayaknya ini manusia, batin Eula kesal.

“Gue salah, ya?” tanya Kaveh setelah mereka berdiam diri selama 30 detik di depan lift.

“Eh? Enggak, kok.” jawab Eula terbata-bata, ia masih mengingat betul kejadian satu jam yang lalu. Di mana pengalaman pertamanya dengan seorang lelaki tak sesuai dengan ekspektasinya.

“Ya udah, kalau gitu gue balik dulu,”

Kaveh memutar balik badannya, ia melambaikan tangan tanpa menoleh lagi ke arah Eula. Gadis bersurai biru muda itu menggerutu kesal karena menyesal sudah basa-basi dengan manusia berkepala batu satu ini.

Seketika langkahnya terhenti, Kaveh kembali menatap Eula tajam. Hatinya masih tak sanggup karena dirundung rasa bersalah, karena setelah dipikir-pikir, mungkin memang perlakuannya kepada seorang gadis yang baru saja ia kenal tak sepantasnya dilakukan olehnya.

“Maaf,” ujar Kaveh pelan, suara itu hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri.

“Kenapa, Kak?” tanya Eula karena ia tak mendengarnya.

“Maaf,” ulang Kaveh sedikit keras.

Kaveh tak menatap mata Eula, ia justru membuang wajahnya saat Eula berusaha melihat ke arahnya.

“Maaf kenapa?”

“Maaf gue melakukan pelecehan seksual,”

Orang-orang yang berdiri di antara mereka mengubah ekspresi secepat kilat, Eula tersentak saat mendengar perkataan Kaveh, saat itu juga mereka langsung menyingkap tangan Kaveh lalu menjatuhkan tubuh si surai pirang ke lantai.

“Nona Muda tidak apa-apa?!” tanya sekuriti yang mendengar kabar dari salah satu penghuni apartement.

“Eh?! Gue salah apa?!” seru Kaveh yang sudah telungkup di atas lantai.

“Woy! Selamatin gue!”

Eula masih bergeming, ia sama sekali tak merasa dilecehkan, kejadian itu memang membekas di hatinya, namun Eula masih tak bersuara.

“Ayo bawa ke kantor polisi!” ujar sang sekuriti karena Eula masih tak menjawab pertanyaannya.

Kaveh diarak menuju mobil staff apartement lalu dilarikan ke kantor polisi, lelaki bersurai pirang itu berusaha memberontak namun kekuatan para penghuni apartement itu jauh lebih banyak darinya.

Lumine keluar dari lift mendapati Eula masih mematung di tempat asalnya, gadis bersurai pirang itu bertanya kepada sahabatnya apakah si sulung sudah sampai di apartement atau belum.

“Dia... minta maaf,” bibir Eula bergetar saat menjawab pertanyaan Lumine.

“Terus dia balik gitu aja?”

Eula menggeleng, “Dia dibawa ke kantor polisi,”

Lumine terkejut bukan main, ia langsung menggoyangkan bahu Eula dengan kedua tangannya, saat Eula tersadar, ia mengajak Lumine untuk menyusul abangnya ke kantor polisi. Eula menjelaskan apa yang terjadi dengan Kaveh kepada Lumine, yang bisa si surai pirang itu lakukan hanyalah menggaruk kepalanya dan sibuk ngedumel.

“Dia salah ngomong itu, La! Astaga! Kenapa langsung dibawa ke kantor polisi?!” ujar Lumine berkaca-kaca, habislah Kaveh kalau misalnya ia kembali ke tempat terlarang itu, karena baru beberapa hari lalu ia bertandang ke sana.

“Gue tahu, tapi gue gak bisa berkata apa-apa. Lidah gue kelu,” jawab Eula pelan, ia menundukkan kepalanya karena ketakutan.

“Udah, yang penting nanti lo bantu jelasin ke pak polisi itu tentang abang gue, ya? Please, dia bisa masuk penjara beneran kalau gini ceritanya,” mohon Lumine kepada Eula.

Eula mengangguk lesu, kini ia yang merasa bersalah kepada Kaveh.

**

Dainsleif, Aether, Haitham, dan Nilou langsung berangkat menuju kantor polisi setelah mendapat kabar dari Lumine. Mereka berempat ke sana karena memiliki agenda yang berbeda, Dainsleif yang kesal kepada Kaveh, Aether sebenarnya hanya ikut-ikutan, Nilou hanya menemani Haitham, sementara sahabatnya itu ingin meminta bayaran karena kalah taruhan tentang siapa yang kembali ke kantor polisi lebih dulu di antara keduanya.

Lumine menjemput keluarganya di depan kantor polisi, gadis itu kaget karena melihat Haitham dan Nilou ikut di mobil Dainsleif.

“Kok ramai?” tanya Lumine heran.

No questions asked,” jawab Dainsleif dengan suara berat.

Dainsleif langsung menuju tempat di mana Eula duduk menunggu Kaveh yang masih diperiksa oleh kepolisian, disusul oleh Haitham yang sudah tersenyum lebar atas kemenangannya. Aether dan Nilou-lah yang menjawab pertanyaan Lumine hingga gadis itu mengangguk mengerti tentang apa yang sedang terjadi.

Eula masih melamun dan tak menyadari bahwa Dainsleif sudah duduk di sampingnya, lelaki bersurai pirang itu merangkul tubuh wanita pujaan hatinya lalu memeluknya erat-erat.

Are you okay, La?” tanya Dainsleif lembut.

Hah? sentak Eula ketika sadar.

Eula langsung mendorong Dainsleif hingga ia tergeser dari kursi panjang tempat pengunjung kantor polisi.

“Kak Dain kenapa ke sini?!” tanya Eula kaget.

“Aku dapat kabar dari Lumine, dan langsung menuju ke sini karena khawatir,” jawab Dainsleif sembari melempar senyumnya ke Eula.

“Kamu beneran dilecehkan sama Kaveh?”

Eula menggelengkan kepala, helaan nafas berat Dainsleif saat mendengar jawaban Eula begitu melegakan hati si surai pirang. Beberapa saat kemudian Kaveh keluar dari ruang interogasi dengan wajah masam, ia menatap Eula jijik lalu pergi meninggalkan mereka begitu saja.

“Woy! Mau ke mana lo?” seru Dainsleif hingga Kaveh menghentikan langkahnya.

“Pulang,”

“Lo harus minta maaf dulu sama Eula,” tegas Dainsleif kepada saudaranya tersebut.

“Gue udah minta maaf tadi,” jawab Kaveh asal.

Eula beranjak lalu berjalan ke arah Kaveh, netra mereka bertemu namun lidah Eula masih kelu tak bisa berkata apa-apa.

“Kenapa?”

Eula masih menggeleng.

“Maaf,” ujar Eula pelan.

“Ya, gak apa-apa,” jawab Kaveh singkat.

Merasa urusannya sudah selesai, Kaveh pergi meninggalkan kantor polisi tanpa memedulikan panggilan dari saudara-saudaranya.

“Biar gue yang urus. Ayo, Sayang.” ajak Haitham setelah pamit kepada keluarga Kaveh.

Haitham dan Nilou tentu tahu di mana satu-satunya tempat pelarian Kaveh kalau dia sedang dirundung masalah. Dainsleif, Lumine, dan Aether langsung menuju mobil lalu mengantarnya kembali ke Lawrence's Apartement.

Selama perjalanan menuju apartement, Dainsleif berusaha mengajak bicara Eula yang masih membisu, gadis itu hanya menatap ke luar jendela dengan tatapan kosong. Jauh di lubuk hati yang paling dalam, Eula masih merasa bersalah karena sudah membuat masalah besar dalam hidup Kaveh.

“Udah, gak apa-apa, La. Paling nanti dia juga normal lagi kalau udah berantem sama Haitham,” bujuk Lumine yang duduk di samping Eula.

Si surai biru muda hanya mengangguk pelan, perjalanan kembali ke apartementnya terasa panjang karena beban pikirannya begitu menutup di setiap detik waktu yang berjalan.

**

Haitham dan Nilou tiba di taman yang selalu dibilang-bilang oleh Kaveh, tempat ini merupakan tempat pertama pertemuan antara Kaveh dan Haitham, sebagai rival dari sekolah yang berbeda, masa SMA Kaveh dan Haitham dimulai dari sini. Taman ini adalah area yang sering menjadi tempat tawuran anak-anak SMA Sumeru dan SMA Ormos.

Nilou membiarkan Haitham duduk di samping Kaveh yang sedang mengayunkan badannya di ayunan taman. Haitham pun ikut menyelaraskan gerakannya dengan Kaveh, walaupun kini tubuh mereka sudah seperti orang dewasa, tapi jiwa kekanak-kanakan mereka masih sangat kental sampai saat ini.

“Sudahlah. Sudah biasa juga, kan, lo keluar masuk kantor?” ucap Haitham memecahkan keheningan di antara mereka.

“Iya,” jawab Kaveh datar.

Kaveh menghentikan ayunan itu dengan kaki panjangnya, tampaknya suasana hatinya sudah kembali seperti biasa, sebab tatapan mengerikan itu sudah tak lagi terukir di wajahnya.

“Skor berapa tadi?”

“1-1, ini masih babak kedua harusnya,”

Kaveh mengambil ponselnya lalu memutar siaran langsung pertandingan antara Sumeru City dan Sumeru United, papan skor sudah berubah menjadi 3-1 di menit ke-89, senyum Kaveh merekah karena klub idamannya menang telak atas jagoan temannya, Haitham.

“Anjing! Zubayr nyetak tiga gol, Cok!” seru Kaveh sembari memegang ponselnya horizontal.

“Hah?! Gak mungkin, Bangsat!” sentak Haitham yang kaget lalu ikut melihat ke layar milik Kaveh.

Nilou tersenyum melihat kehangatan di antara kedua sahabat itu, gadis bersurai merah itu perlahan berjalan ke arah keduanya lalu ikut menonton pertandingan panas dengan kedua supporter fanatik di kedua pihak.

“Oper! Oper!”

“Tahan! Tahan! Jegal lawannya, Goblok!”

“GOL!”

Kaveh melempar ponselnya ke udara lalu menari segirang-girangnya seraya mengejek Haitham yang sudah menutup wajahnya dengan kedua tangan. Bak slow motion, selama benda-tak-terlalu-dipedulikan itu melayang, panggilan masuk dari Eula terus berdering meski dalam mode senyap. Kini suasana meriah itu sudah kembali masuk ke mode perkelahian, melihat tingkah Kaveh yang menggelikan membuat bogem mentah Haitham menghiasi pipi kiri Kaveh saat itu.

“Gak usah norak, Anjing! Gara-gara main di kandang aja itu!” sentak Haitham ketika Kaveh membalas pukulannya.

Ekspresi Nilou berubah 180 derajat karena bingung bagaimana cara melerai kedua sahabat ekstrem tersebut, sementara ponsel Kaveh sudah tergeletak di sembarang tempat. Panggilan Eula dialihkan ke voicemail, panggilan itu tentu sia-sia karena Kaveh tidak akan tahu bagaimana cara memeriksa voicemail di ponselnya.

Halo? Kak Kaveh? Ini Eula, aku minta maaf, ya? Aku minta maaf atas apa yang udah terjadi malam ini, kalau Kakak berkenan, apa aku boleh ketemu sama Kakak untuk minta maaf secara langsung? Sama seperti yang Kakak bilang ke Lumine kalau seorang Kaveh harus berbicara langsung kepada orang yang bersangkutan?

-to be continued

Fall in Love with a Tsundere

Chapter 1: Fall cw: harsh words

Dainsleif masih menatap layar gawainya dengan tatapan kosong, Kaveh yang duduk di samping abangnya hanya bersiul santai sembari menunggu obat di loket apotek. Mereka tak banyak bicara jika bertemu, karena memang kedua kepala itu keras jika sudah bersama, baik Dainsleif maupun Kaveh, mereka adalah saudara yang tak pernah akur.

“Tuan Kaveh!” panggil si apoteker.

“Hadir!” sahut Kaveh sembari berdiri menuju loket.

“Ini diminum tiga kali—”

“Tau,” potong Kaveh lalu kembali menghampiri Dain sebelum mengajaknya pulang.

Lelaki bersurai pirang itu menarik lengan si pirang lainnya lalu pergi meninggalkan area rumah sakit yang terletak di pusat kota. Mereka tak lagi berbicara, sepanjang perjalanan menuju rumah Kaveh mengunci mulutnya rapat-rapat karena malas berdebat dengan saudaranya, begitu pula dengan Dainsleif, ia sudah terlanjur sakit hati dengan ucapan Lumine tadi, yang mengatakan bahwa Eula tidak akan membalas perasaannya balik.

Dainsleif dan Kaveh berusia 24 tahun, namun beda di antara keduanya adalah Dainsleif sudah mulai mengajar sebagai dosen di Fakultas Sosial sembari menyelesaikan program pascasarjana-nya sementara Kaveh masih berkutat di dunia skripsi karena pada awalnya ia terlambat sekolah saat masih SMP, biasalah, masalah anak remaja, bertengkar setiap hari, selalu berpindah sekolah walaupun jarak sekolah lamanya dengan yang baru tak begitu jauh. Orang tua Dainsleif, Aether, dan Lumine cukup dekat dengan mendiang keluarga Kaveh, sehingga saat kedua orang tuanya Kaveh meninggal karena sakit yang dideritanya, Kaveh diangkat anak oleh kedua orang tua Dainsleif.

“Gue tahu lo mau ngomong, tapi gak usah, ya? Gue lagi capek ladenin urusan perbucinan lo,” ujar Kaveh sambil memejamkan kedua matanya.

“Siapa juga yang mau ngomong?” balas Dainsleif kesal, ia menancap gasnya lebih kuat agar mereka berdua bisa cepat sampai ke rumah dan terlepas dari kekangan berupa keheningan di antara mereka.

Setibanya di rumah, Dainsleif masuk ke kamarnya tanpa memedulikan Kaveh yang masih meletakkan butir-butir obatnya di atas meja. Ya, Kaveh tidak bisa meminum obat tablet itu bulat-bulat, sama seperti anak kecil, ia harus melarutkan dulu obat tersebut menggunakan air lalu ia minum sampai mengeluarkan air mata saking pahitnya.

“Yang ini sebelum makan, yang ini sesudah makan,” gumam si surai pirang.

Kaveh mengambil sendok di tempat peralatan makan lalu meletakkan obat-obat tersebut di atasnya lalu menumbuk butiran tersebut hingga hancur. Ia menuangkan air mineral secukupnya kemudian mengaduk dengan jari telunjuk milik si pirang.

“Nah, tinggal minum,”

“Anjir! Pahit banget, bangsat!” seru Kaveh sedikit keras.

“Jangan berisik!” teriak Dainsleif dari dalam kamarnya.

Kaveh menoleh ke arah kamar Dainsleif sambil mencibir, ia tak peduli dengan sentakan saudaranya karena memang seperti itulah Kaveh. Setelah menyelesaikan urusan obat-obatan itu, Kaveh mulai menata barang-barangnya yang sempat terbengkalai karena ke rumah sakit tadi. Kaveh membuka lemari kaca tempat piala-piala saudaranya dipajang lalu menggeser pelan benda berharga tersebut.

“Banyak juga piala keluarga ini,”

Benar saja, ada lebih dari 4 lemari kaca berukuran besar dan terisi penuh oleh berbagai macam penghargaan. Sejak kecil, trio DainAeMine selalu menorehkan prestasi sehingga mereka bisa dengan mudah masuk ke sekolah bahkan kampus mana pun. Kaveh pun sama, namun yang menjadi pembeda adalah anak itu selalu bermasalah di mana pun dan kapan pun.

Baru hari ini, sejak kepulangannya dari kantor polisi setelah berkelahi dengan sahabatnya, Haitham, statusnya sebagai asisten dosen serta beasiswa mahasiswa berprestasinya dicabut oleh pihak kampus. Sebagai orang yang bersumbu pendek, Kaveh dan Haitham kerap berkelahi karena alasan sepele, namun orang-orang di Teyvat University selalu memuja hubungan kedua sejoli tersebut, bahkan jika Haitham tidak mengumumkan kepada semua orang bahwa ia adalah milik Nilou, mungkin Kaveh dan Haitham sudah disangka pacaran oleh warga kampus.

Setelah selesai menata berbagai macam piala dan medali di sana, Kaveh beranjak menuju kamar Aether untuk meletakkan baju-bajunya. Lelaki bersurai pirang itu menghela nafas berat karena harus kembali tinggal di rumah saudara angkatnya, Kaveh sudah terlampau senang setelah pindah satu kontrakan dengan Haitham, ia tak ingin berlama-lama tinggal hingga menyisakan utang budi kepada keluarga Dainsleif, maka dari itu ia bekerja susah payah di beberapa tempat sampai uang untuk sewa kontrakan terkumpul lalu tinggal bersama sahabatnya.

Setelah berbaring, Kaveh tak bisa memejamkan matanya karena terpikirkan oleh beasiswanya yang telah dicabut. Mau meminta maaf tapi gengsinya terlalu tinggi, mau mencoba daftar ulang tapi dia sudah diblacklist oleh Badan Kemahasiswaan.

“Banyak bener narasinya, Bangsat.” sindir Kaveh kepada narator. Memang anaknya seperti itu, ya sudah.

Kaveh kembali beranjak dari kasur lalu pergi meninggalkan rumahnya untuk bertemu dengan Haitham setelah ia ditelepon oleh sahabatnya.

**

Lumine meletakkan barang bawaannya di atas meja ruang tamu apartemen Eula, gadis bersurai pirang itu tampak begitu bahagia karena diizinkan menginap oleh Dainsleif. Dengan sigap ia membereskan seisi ruangan Eula saat temannya itu sedang mandi, sebagai perempuan satu-satunya, Lumine mau tak mau harus belajar bersih-bersih sejak kecil, ia selalu didoktrin oleh sang ibu kalau menyapu tidak bersih akan mendapatkan suami yang brewok, makanya Lumine selalu menyelesaikan tugasnya tanpa ada debu sedikit pun, alasannya? Ia geli dengan berbagai jenis bulu.

“Lho? Kok udah bersih? Kenapa dibersihin?” tanya Eula dengan wajah datar.

“Sebagai tamu yang baik, gue harus bantu-bantu juga, La.” jawab Lumine sambil menyeka keringatnya.

“Tapi, kan, room cleaning mau datang. Nanti mereka makan gaji buta, dong?” balas Eula yang masih mengeringkan rambutnya dengan handuk.

“Ya, gak apa-apa. Atau gue aja—”

“Gak, cuma dua hari lo boleh nginap. Gue gak mau temen gue jadi karyawan di sini,” potong Eula cepat.

Lumine mendengus kesal karena sikap temannya itu masih sama kerasnya seperti dulu. Lumine dan Eula saling bertolak belakang, Lumine yang tipikal anak social butterfly sementara Eula lebih ke anti sosial. Hebatnya, mereka berdua justru cocok satu sama lain, bahkan sampai jurusannya saja bisa sama, mereka berkuliah di program studi Ilmu Komunikasi.

Eula membuka laptopnya untuk melanjutkan makalah, sementara Lumine masih sibuk cekikikan nonton drama Teyvat terbaru yang menceritakan tentang pasangan yang penuh dengan kegengsian saat menjalin hubungan.

“Ihhh! Morax gemes banget!” teriak Lumine tanpa beban.

Eula yang terganggu hanya bisa menatap tajam teman-sekamar-untuk-dua-hari-ke-depan-nya. Lumine hanya mencibirkan lidahnya saat Eula berusaha membungkamnya dengan tatapan, karena tak berhasil mendapatkan apa yang ia mau, Eula terpaksa melanjutkan tugasnya dengan hati dongkol.

“Emangnya lo gak ada tugas apa?” tanya Eula yang masih fokus menatap layar laptopnya.

“Udah semua,” jawab Lumine singkat.

“Kapan lo kerjain?”

“Semalam,”

“Berarti semalam lo gak tidur?”

“Ho'oh,”

Percakapan mereka berhenti sampai di sana, Lumine berkali-kali tertawa hingga mengganggu indera pendengaran Eula. Ia baru sadar, hidupnya selama ini cukup sepi hingga suara tambahan yang ada di ruangannya saat ini sangat mengganggunya.

“Coba lo lihat ini, deh!” suruh Lumine memberikan gawainya ke Eula.

Adegan menggelikan itu berhasil mengocok perut Eula karena aktor di drama tersebut harus mandi hujan agar mendapatkan ciuman pertamanya.

“Geli gue, nanti mereka masuk angin gimana?” ujar Eula asal.

“Ya, enggak, lah! Ini cuma fiksi,” jawab Lumine masih menunjukkan layar gawainya lebih dekat lagi ke Eula.

“Emangnya lo gak mau ada pacar?”

Pertanyaan tersebut berhasil menghantui pikiran Eula, sebenarnya siapa yang tak mau memiliki pasangan yang selalu ada untuknya? Pasangan yang rela menghabiskan waktu bersama tanpa memedulikan dunia fana ini? Pasangan yang akan memberikan kejutan di setiap ketukan pintu apartemennya? Tentu Eula menginginkan hal tersebut, namun hatinya selalu membantah karena sejatinya ia adalah seorang tsundere.

“Ngapain? Kak Dain aja gue tolak,”

“Tapi ini gemes banget! Lihat, deh! Dia bukain jaketnya untuk si cewek karena salju baru turun!” Lumine terus mengajak Eula berbicara hingga gadis bersurai biru muda itu mulai melupakan tugasnya.

Lucu juga, cakep lagi, batin Eula dengan senyum yang mulai terukir di wajahnya.

Lumine memperhatikan gerak-gerik bibir Eula, lalu menepuk punggung sahabatnya sedikit keras.

“Sakit, woy!” seru Eula kemudian membalas perlakuan Lumine. Tangan besarnya berhasil menghiasi setengah wajah mungil Lumine hingga ia berkaca-kaca setelahnya.

“Maaf,”

Beberapa menit kemudian, Lumine kembali tertawa melihat momen antara Morax dan Baal di drama tersebut. Eula pun menyerah, ia meminta Lumine untuk membuka aplikasi menonton itu di laptopnya.

Selama drama itu ditayangkan, selama itu Eula berusaha menahan senyumnya. Ternyata memang benar, ia mengagumi sosok Morax di drama tersebut.

Pengen juga rasanya punya pacar kayak dia, gumam Eula masih tersenyum.

“Mending lo cari pacar, deh!” ledek Lumine yang sudah tak antusias lagi menonton.

“Gak, ah. Mana ada yang mau sama gue,” jawab Eula malas.

“Ada itu, nanti pasti ada!”

Lumine membalikkan badannya lalu memejamkan mata, Eula tak sadar temannya sudah tertidur saat ia melanjutkan untuk menonton episode kedua. Suara tawa geli yang keluar dari mulutnya sudah tak bisa lagi ditahan oleh Eula, ternyata mencoba hal baru memang menyenangkan, ya?

Tapi, emangnya ada yang mau sama gue?

**

“Ya, adalah!” jawab Haitham sambil menghirup rokoknya.

“Ngawur lo! Gak ada yang bisa meluluhkan hati baja seorang Kaveh!” sentak Kaveh, ia menunjuk dadanya berkali-kali hingga jadi pusat perhatian pengunjung kafe.

Nilou hanya tersenyum tipis memaklumi kedua sahabat itu kalau sudah berdebat. Rasanya tidak akan ada habisnya kalau Haitham dan Kaveh sudah berada di ruangan yang sama.

“Dulu lo sendiri yang bilang kalau Nilou gak akan mau sama gue, tapi lihat buktinya!” balas Haitham sambil menunjuk ke arah Nilou.

“Dia belum sadar aja kali, ya, kan?” sindir Kaveh menoleh ke arah Nilou.

“Eh? Enggak, kok! Sok tahu kamu, Veh!” balas Nilou langsung merangkul lengan kekar Haitham hingga lelakinya tersenyum lebar.

“Jijik, Cok! Udahlah gak usah drama rumah tangga di sini!”

Kaveh mengambil sebatang rokok di atas meja, diisapnya dalam-dalam tembakau khas Sumeru tersebut. Mereka sudah berdebat selama lebih dari 30 menit karena sibuk menebak siapa yang bisa meluluhkan hati Kaveh, lelaki bersurai pirang itu memang tak pernah terlihat dekat dengan siapa pun, ia selalu bersanding dengan Haitham walaupun Haitham dan Nilou sudah berpacaran saat awal masuk kuliah.

“Lagian gue gak mau pacaran juga,” ujar Kaveh setelah suasana sedikit tenang.

“Bohong,” ledek Nilou kepada Kaveh.

“Serius gue! Kalau ada cewek yang gue suka, walaupun mustahil, sih, pasti udah gue langsung ajakin nikah!”

“Ah, yang bener?” kini Haitham yang mulai menggodanya.

“Bro, gue itu Steve di antara foto-foto mesra kalian! Semua foto bagus kalian pasti ada seorang Kaveh, jadi tenang aja, kita gak akan double date sampai lo punya anak tiga!”

“Permisi,” panggil seorang perempuan sambil menghampiri meja mereka.

“Kenapa, Mba? Maaf, ya, saya gak bisa kasih nomor telepon saya karena tidak tertarik memiliki hubungan untuk saat ini,” tahan Kaveh tanpa menoleh ke perempuan tersebut.

Nilou dan Haitham sudah terkekeh melihat seorang pelayan yang kesal dengan perkataan Kaveh, pelayan tersebut hanya meletakkan pesanan tambahan mereka lalu pergi begitu saja walaupun ucapan terima kasih itu sudah diucapkan berkali-kali oleh Nilou.

“Jangan terlalu keras hati, jangan tolol juga, dia cuma nganterin kopi gue,” ledek Haitham sambil menyeduh kopi panas tersebut.

“Babi lo! Bikin malu aja!” sentak Kaveh dengan suara tertahan karena malu.

Ketiga gawai mereka berbunyi secara bersamaan, namun hanya Nilou yang mengambil dan mengecek apa yang terjadi di sosial media saat ini.

“Dia lagi, dia lagi,” ujar Nilou pelan lalu menyodorkan gawainya kepada Haitham.

Foto-foto Eula Lawrence kembali dibocorkan oleh oknum, Haitham hanya menggelengkan kepalanya karena tak minat dengan apa yang dilihatnya. Kaveh pun sama, ia tak peduli dengan semua itu, yang ada di pikirannya saat ini hanyalah judul skripsi yang harus ia cari lagi setelah pulang dari tongkrongan. Kini akun sosial media milik teyvatunifess mulai diserang oleh orang-orang yang mendukung Eula, di akun lain, ada sekumpulan mahasiswa yang berniat untuk mencari siapa dalang di balik bocornya foto-foto tugas anak fotografi tahun 2019 yang diketuai oleh Amber.

“Kasihan banget si Eula, padahal dia baik, cuma kenapa orang-orang ini harus komentar yang gak enak untuk dibaca, ya?” gumam Nilou pelan.

“Padahal lo anak tari, kan? Tapi, kok, mereka gak berani sebarin foto lo?” tanya Kaveh penasaran.

Nilou hanya menunjuk Haitham dengan jari mungilnya, sahabat Kaveh itu sudah memasang wajah seramnya saat mendengar pertanyaan dari si surai pirang.

“Oh, bagongnya serem, ya?” ledek Kaveh sambil terkekeh.

“Ngajak ribut?” tanya Haitham dengan suara beratnya.

“Ayo,” tatap Kaveh sama tajamnya seperti Haitham.

Nilou menutup mata Haitham dengan tangan kirinya sembari menatap Kaveh lesu. Kedua sumbu pendek itu tak bisa lepas dari perkelahian. Ya, mungkin karena mereka adalah musuh yang kini menjadi sahabat.

-to be continued

WHY 18?

Chapter 16: The War is Won

Flashback satu bulan lalu

Zhongli merasakan ada yang mengikutinya sejak tadi, semenjak ia ditugaskan untuk mencari tahu tentang La Signora dari Harbingers, banyak pesan berantai yang masuk ke dalam ponselnya, peringatan-peringatan yang ia dapati selama perjalanannya dari Snezhnaya menuju Liyue pun terdapat banyak kejanggalan. Zhongli meminta supirnya untuk sedikit laju mengendarai mobilnya, karena di belakang mereka sudah banyak motor yang arak-arakan sambil menunjuk ke arah mobil yang sedang ditumpangi oleh Zhongli.

“Lebih cepat sedikit, Pak.” pinta Zhongli kepada sang supir.

“Waduh, di depan macet, Pak. Bagaimana ini?” tanya supir pribadinya dengan raut wajah cemas.

Mereka melewati perempatan yang selalu dipadati oleh kendaraan karena tempat itu merupakan daerah perbatasan antara Sumeru dan Liyue. Beruntungnya lampu berkaki satu dengan tiga mata yang berbeda warna itu mengisyaratkan pengendaranya untuk segera menyebrangi jalanan, saat Zhongli menghela nafasnya lega, suara klakson mobil truk begitu nyaring terdengar dari sisi kanannya.

“Pak! Awas—”

Mobil truk itu tak mengurangi kecepatannya, bagian depan mobil Zhongli serta supir yang mengendarai habis terlindas oleh mobil bermuatan besar tersebut. Kendaraan mereka terpelanting jauh dari tempat awal mula mereka berdiri, Zhongli ikut terlempar keluar dari mobilnya hingga tubuhnya menghantam trotoar jalan dengan kuat. Meskipun ia masih sadar, tenaganya sudah terkuras mengingat beberapa tulang di rusuknya sudah patah karena gempuran keras tersebut.

“Itu orangnya! Kejar!” seru salah satu dari kerumunan yang sejak tadi mengikuti Zhongli.

Zhongli memaksakan tubuhnya untuk bangkit, lalu mengambil motor salah seorang pengendara motor yang sedang mengamati peristiwa kecelakaan tersebut.

“Pak, ini kartu nama saya, tolong pinjami saya motor ini! Saya terdesak!” ujar Zhongli dengan nafas terengah-engah.

“Aduh, gak bisa, Pak! Ini saya—”

“Tolong, Pak!”

Sekumpulan motor-motor besar mulai mendekati mereka, melihat ekspresi Zhongli sudah ketakutan, mau tak mau ia terpaksa meminjamkan motornya kepada orang tak dikenal tersebut. Zhongli berterima kasih lalu melaju ke arah selatan Liyue. Kecepatan motor Zhongli dapat dikejar oleh motor lainnya, tak sampai 5 menit, salah satu orang misterius itu menembak ban motor Zhongli sehingga ia kembali terjatuh dan terseret beberapa puluh meter karena tak bisa mengimbangi posisi motornya yang sudah bocor.

“Sial!”

Zhongli tergopoh-gopoh menjauh dari motor tersebut, sebuah ledakan besar berhasil mengalihkan perhatian musuhnya, Zhongli masih bisa berlari beberapa ratus meter sampai ia sadar bahwa kepalanya telah dipukul oleh seseorang yang menyergapnya dari belakang.

“Cepat angkat dia dan bawa pergi dari sini!”

Warga yang menyaksikan kejadian tersebut berteriak menyoraki kawanan Fatui Muda yang sedang membopong tubuh tak berdaya Zhongli. Mereka ketakutan lalu menjatuhkan Zhongli begitu saja lalu pergi dari tempat kejadian. Mobil ambulan dan pemadam kebakaran tiba beberapa menit setelah Zhongli dievakuasi oleh warga setempat, melihat ada badge milik pasukan militer khusus di saku jas Zhongli membuat petugas medis langsung mengabari kepolisian kemudian membawanya ke rumah sakit terdekat di Liyue.

Berita kecelakaan Zhongli sudah tersebar, banyak anggota Harbingers khususnya Il Dottore dan Pantalone merasa kesal kepada Arlecchino karena lebih mengutus anak-anak muda yang tidak berpengalaman untuk menghabisi Zhongli. Namun keduanya tidak bisa membantah perintah sang ibu mengingat Arlecchino memiliki kekuasaan tertinggi kedua setelah Pierro, Dottore terpaksa menyusun strategi lain, sementara Pantalone mengawasi kabar Zhongli sebelum dilaporkan kepada Sang Dokter.

**

Upacara kematian Beidou berlangsung dengan khidmat, Kazuha tak pernah bergeser dari samping ibunda kekasihnya, ia terus mengikuti dan menyalami seluruh orang yang mengucapkan belasungkawanya kepada Beidou. Walaupun gadis itu terkenal ganas saat tawuran, orang-orang tetap mengenal Beidou sebagai sosok yang selalu ceria tanpa beban. Di sisi ruangan lain, Arataki Gang dengan pakaian serba hitam bertugas untuk membagikan makanan kepada para warga, Itto sebagai ketua berusaha mencairkan suasana haru tersebut dengan lelucon renyahnya. Setelah pelayat mulai sepi, Itto berjalan mendekati Kazuha yang masih duduk di samping ibunya Beidou.

“Lebih baik kita sudahi saja permainan bodoh kita di sekolah,” ujar Itto dengan suara beratnya.

Kazuha hanya mengangguk tanpa menoleh sedikit pun ke arah Itto.

“Gue dan teman-teman dari Arataki Gang mengucapkan belasungkawa yang sebesar-besarnya kepada keluarga teman kita, Beidou. Gue harap, ini semua jadi titik balik untuk kita semua agar jadi pribadi yang lebih baik lagi,” lanjutnya tanpa dipedulikan oleh Kazuha.

Itto beranjak dari tempatnya, lalu berkumpul dengan anggota gengnya yang sejak tadi berdiri tegak di samping Kazuha dan ibunya Beidou. Mereka menundukkan kepala untuk memberikan penghormatan terakhir kepada teman sekolahnya. Peristiwa Liyue saat itu tidak sedikit pun terbayang di kepala anak-anak dari SMA Teyvat, dua temannya yaitu John Lee dan Beidou dimakamkan di tempat yang berbeda. Setelah menjauh dari kerumunan, Arataki Gang langsung menuju rumah duka kedua, yakni tempat pemakaman umum di mana jasad John Lee dikebumikan.

Ningguang ikut pergi setelah melihat Arataki Gang keluar dari rumah duka Beidou, meninggalkan Eula yang masih duduk jauh dari tempat Kazuha berada.

“Nona Lawrence?”

Eula mendongak ke arah salah satu petugas kepolisian yang menjemputnya, tanpa basa-basi gadis bersurai biru muda itu beranjak lalu menyerahkan kedua tangannya untuk diborgol.

“Anda kami tangkap atas kasus pembunuhan Anda terhadap Nona Beidou, Anda boleh memanggil pengacara untuk menemani selama proses penyelidikan dan sidang berlangsung,”

Mendengar ucapan polisi tersebut, warga sekitar sontak berusaha menyerang Eula dengan tangan kosong, keributan mulai terjadi di rumah duka, aksi dorong-dorongan terus terjadi saat Eula dibawa menuju mobil polisi yang berada di depan rumah duka. Suara cacian dan makian yang dilontarkan kepada Eula tak membuat dirinya gentar sedikit pun karena darah marga Lawrence yang dimilikinya. Eula langsung dilarikan ke kantor polisi pusat yang terletak di tengah Teyvat. Di balik kamuflasenya, Yelan beranjak pergi dari rumah duka untuk menyusul anggota kepolisian yang ditugaskan untuk menangkap Eula Lawrence.

**

Scaramouche tersadar dari tidurnya, tubuhnya terasa berat karena sudah diikat karena selalu memberontak dari petugas medis di Fontaine. Efek zat terlarang yang dimasukkan ke dalam tubuhnya membuat Scaramouche bertindak sesuai doktrin Il Dottore, berbagai macam obat penenang dengan dosis tinggi pun tak bisa membuatnya jinak sama sekali, energinya yang terkuras habislah yang membuat Scaramouche bisa sedikit melunak walaupun tawanya terus menggelegar di seisi ruangan meskipun air matanya terus mengalir karena rasa sakit yang tiada tara.

“Tenang, Kuni! Kamu pasti bisa menahan rasa sakit ini,” ujar Yae Miko lembut, hatinya seperti terisi melihat kondisi adiknya saat ini.

“Kakak… kenapa aku dijerat seperti ini?!” bantah Scaramouche, ia masih berusaha lepas dari ikatan tersebut dengan sisa tenaganya.

Yae Miko menyeka air matanya, ia terus mengusap kening Scaramouche agar adiknya bisa sedikit tenang. Scaramouche pun begitu, ia sudah menangis sejak ia terlelap namun tubuhnya memaksa lelaki itu untuk terus tertawa.

Di ruangan lain, Zhongli masih menunggui istrinya yang masih belum sadarkan diri. Ini adalah saatnya untuk berharap akan keajaiban yang diberikan oleh Tuhan, satu tugasnya yang diberikan oleh pemerintah sudah berhasil diselesaikan, Zhongli terpaksa mengambil tugas berat bak pisau bermata dua tersebut dari Tsaritsa. Zhongli diperintahkan oleh Tsaritsa untuk memecah belah Keluarga Harbingers dengan mengorbankan dirinya sendiri sebagai mangsa penjahat kelas kakap tersebut. Setelah semuanya selesai, Zhongli akan dibebastugaskan dari secret service dan kembali menjalankan hidupnya sebagai warga sipil biasa seperti Raiden Ei yang sudah lebih dulu menuntaskan kewajibannya.

Setelah kamu menyelesaikan tugas negara ini, saya akan menjamin kamu hidup aman dan tentram bersama istrimu. Beliau sudah berjasa untuk Inazuma dan Teyvat, Raiden Ei adalah orang terbaik saya, maka dari itu saya membebaskan segala pekerjaan berat ini atas permintaannya sendiri, ujar Tsaritsa lima tahun sebelum peristiwa ini terjadi.

Sebelum pernikahannya dengan Raiden Ei, Zhongli sudah mengetahui bahwa istrinya adalah seseorang yang memiliki pangkat di bidang militer, nama Raiden Ei adalah kebanggaan Negeri Keabadian tersebut, itu yang membuat pihak Euthymia sedikit berat untuk melepas putrinya untuk menikah dengan lelaki antah berantah yang bernama Zhongli. Namun ternyata pria itu juga memiliki pangkat di secret service, ia sudah lama diminta untuk menginvestigasi sekaligus memakan umpan pemburunya sendiri. Meskipun Harbingers sudah berada di bawah naungan Tsaritsa sejak Pierro menikah dengan Arlecchino, perempuan bersurai putih itu tidak puas dengan kinerja Harbingers karena selalu berkhianat atas kemauannya sendiri.

“Tugas kita sudah selesai, Sayang. Saya harap kamu masih bisa kembali sembuh seperti sedia kala,” gumam Zhongli sembari mengelus punggung tangan Raiden Ei dengan lembut.

Air matanya menetes saat melihat Raiden Ei terengah-engah dalam tidurnya, monitor elektrokardiogramnya menunjukkan penurunan di setiap pompaan jantungnya. Mukjizat aneh yang telah Zhongli alami cukup membantunya untuk kembali hidup sebagai anak sekolah, tidak ada lagi yang membisikinya setelah Pierro menembakkan besi panas itu tepat di kepala John Lee, ia pun langsung sadar setelah tubuh barunya mati dan kembali menjadi Zhongli yang ia kenal.

Pintu ruang rawat Raiden Ei bergeser, Yelan masuk ke dalam setelah mengucapkan salam kepada Zhongli. Yelan berdiri di samping Zhongli sambil memberikan laporan terakhirnya kepada rekan kerjanya tersebut.

“Arlecchino sudah ditahan, kebusukan Harbingers sebentar lagi akan terkuak saat konferensi pers. Tsaritsa sendiri yang akan mengungkapkan fakta-fakta tersebut,” jelas Yelan kepada Zhongli.

“Ternyata hidup sebagai anggota samar seperti kita cukup berat, ya,” jawab Zhongli lesu, tangannya masih bertaut dengan jemari lemah milik sang istri.

“Ya, setidaknya kau sudah bebas sekarang. Kau tahu sendiri semua pasukan secret service isinya penjahat dengan dosa yang melimpah. Kita sama, tugas kita hanya menebus dosa di bawah naungan Tsaritsa,” ujar Yelan sedikit bernafas lega.

Zhongli, anjing liar yang dipungut oleh Tsaritsa secara langsung ketika ia membunuh ratusan warga sipil dalam kondisi mabuk. Zhongli mendekam dalam penjara selama lebih dari lima tahun, selama ia berada di balik jeruji besi pun, Zhongli terus membunuh seluruh narapidana yang berada di dalam selnya. Kemampuan bertarung Zhongli membuat Tsaritsa mengangkatnya sebagai anggota secret service untuk menjalankan tugas-tugas kotor pemerintah, tugas terakhirnya adalah membunuh seluruh anggota Harbingers yang sudah mulai korup di bawah kepemimpinan Tsaritsa.

Yelan, bekas prostitusi. Ia membunuh sendiri pelanggannya untuk memperkaya diri, entah dari mana Yelan bisa kamuflase dengan alat canggih buatannya sendiri. Yelan direkrut oleh Varka (Capitano) atas suruhan Tsaritsa namun Yelan gagal membunuh Varka, sebelum menjadi anggota secret service, Yelan hampir membunuh Pantalone yang saat itu baru saja lulus kuliah dan menjadi anggota Northland Bank karena insting pembunuhnya yang tajam. Meski Yelan bekerja di bawah naungan Varka, ia selalu memberikan laporan palsu karena sejatinya Yelan hanya mengabdi kepada Tsaritsa. Tugas terakhir Yelan masih belum diketahui, namun tampaknya Yelan tidak akan keluar dari secret service.

Raiden Ei, seorang jenderal pasukan militer Inazuma. Ia terpaksa masuk ke dalam militer karena menggantikan saudaranya yakni Raiden Makoto yang jatuh sakit satu minggu sebelum proses perekrutan anggota militer baru 15 tahun yang lalu. Raiden Makoto mati dalam tidurnya karena diracuni oleh Arlecchino, mereka menjadi sempat menjadi rekan saat Arlecchino berada di secret service untuk membantu pemerintahan Inazuma di balik bayangan. Raiden Ei begitu membenci Arlecchino ketika ia jujur kepada rekannya saat upacara kematian Raiden Makoto. Arlecchino hampir dikubur hidup-hidup oleh Raiden Ei namun berhasil diselamatkan oleh Pierro, teman sekolahnya di masa lalu. Sejak kematian saudaranya, Raiden Ei terkenal dengan ketegasan dan kedisiplinannya selama menjabat sebagai jenderal pasukan militer Inazuma. Raiden Ei dibebastugaskan setelah memutuskan untuk menikah dengan Zhongli lima tahun lalu.

Sebelum Yelan pergi meninggalkan Zhongli dan Raiden Ei, ia memberikan satu surat lagi kepada Zhongli. Zhongli menerima surat yang diberikan oleh Yelan lalu membacanya dengan seksama.

“Sepertinya keputusanmu bagus,” ujar Zhongli setelah membaca surat perintah yang dibuat oleh rekan kerjanya.

“Xiao Alatus sudah ada di markas sekarang, dia sudah tak punya tempat untuk kembali, semenjak kematian ibunya dua hari lalu. Anak itu terus berkelahi dengan semua rekrutan baru secret service. Pihak sekolah secara rahasia menerima permintaan Tsaritsa, mungkin Lisa takut jabatannya akan dicopot mengingat loyalitasnya kepada Pierro begitu besar,” Yelan menyilangkan kedua tangannya di dada, tatapannya begitu tajam saat menjelaskan tentang kabar Xiao saat ini.

Zhongli berdeham, ia kembali teringat saat Xiao mengajaknya berkelahi saat pertama kali bertemu. Bak reinkarnasi, Zhongli melihat sosok Xiao sama seperti dirinya di masa lalu, lelaki bersurai hitam itu kembali menyerahkan surat perintah itu kepada Yelan setelah dilipat dengan rapi.

“Ini adalah pertemuan terakhir kita, semoga istrimu bisa sadar dan lekas sembuh seperti semula,” tutup Yelan lalu pergi meninggalkan ruang rawat Raiden Ei.

Setelah pintu itu tertutup, Zhongli kembali menundukkan kepalanya, ia memejamkan mata sembari berdoa kepada Tuhan agar istrinya bisa kembali atau setidaknya sadar dari koma. Kemenangan Raiden Ei di Snezhnaya tidak seutuhnya karena Ei sendiri, Scaramouche adalah orang yang melapor ke unit pasukan Inazuma agar membantu sang kakak melawan Arlecchino di kandangnya sendiri. Beruntungnya mereka cepat sampai di tempat kejadian, karena pertarungan Raiden Ei dengan Sandrone merupakan momen hidup mati untuk dirinya.

“Tidak…”

“Perlu…”

“Menangis…”

“Seperi itu…”

Zhongli mengangkat kepalanya, sang istri sudah menatap lelakinya lebih dulu saat Zhongli masih mengusap matanya yang masih buram. Senyum tipis Raiden Ei berhasil menenangkan hati Zhongli, lelaki bersurai hitam itu beranjak dari kursinya lalu mendekatkan wajahnya ke kening Raiden Ei.

Zhongli mengecup lembut kening Raiden Ei penuh kasih sayang, beruntung istrinya tidak harus merasakan mukjizat aneh yang sempat ia alami satu bulan yang lalu. Mereka melepas rindu setelah berhasil lepas dari jeratan sosial yang memaksanya untuk menyembunyikan kebenaran, mereka saling tahu, namun tidak ingin mengganggu pekerjaan pasangannya satu sama lain. Rasa cintanya kepada Zhongli yang begitu besar tak membuat Ei menghambat seluruh alur pekerjaan Zhongli, ia tahu suaminya sedang menebus dosa di Teyvat, karena seperti yang orang lain tahu, Teyvat memiliki ‘hukumnya’ sendiri.

“Kunikuzushi sedang dalam masa rehabilitasi, dia sudah aman, kamu tidak perlu khawatir lagi karena semuanya sudah ditangani oleh orang-orang yang tepat,” ujar Zhongli kepada Raiden Ei.

Raiden Ei tersenyum, rasa sesak di dadanya seketika lepas setelah mendengar penjelasan dari Zhongli. Perempuan bersurai ungu itu membalas genggaman lembut suaminya, mereka saling melempar tatap, keduanya bersyukur karena semua ini sudah berakhir.

“Apa yang mau kamu lakukan setelah saya sembuh, Sayang?” tanya Raiden Ei.

Zhongli menaikkan garis bibirnya perlahan, ia menggelengkan kepalanya sebagai tanda bahwa istrinya tak perlu terlalu khawatir akan hal itu untuk sekarang. Zhongli kembali mencium punggung tangan Ei untuk kesekian kalinya.

“Berada di sisimu saja sudah cukup bagi saya, Ei.” jawab Zhongli lirih.

THE END

WHY 18?

Chapter 15: Endless Betrayal cw: murders, blood, gore, broken bones, traumatic events, sadistic, brutality

Raiden Ei berusaha berdiri setelah dihantam berkali-kali oleh Arlecchino, tenaganya sudah terkuras habis karena mengalahkan Sandrone juga efek samping dari kalimat sakral yang mengaktifkan kekuatan bawah sadarnya.

Sebagai sesama anggota pasukan militer, Ei dan Arlecchino pernah berada di nahkoda yang sama, karena itulah Arlecchino semakin dekat dengan Capitano (Varka). Raiden Ei mengundurkan diri dari pekerjaannya karena ingin fokus menjadi ibu rumah tangga setelah pernikahannya dengan Zhongli berjalan lancar, Ei dan Zhongli sama-sama menyembunyikan identitasnya satu sama lain, Zhongli hanya mengetahui istrinya bekerja sebagai pegawai sipil dan Ei hanya tahu Zhongli adalah seorang pebisnis. Meskipun Zhongli tidak tahu, namun Ei menyadari sebagian besar sisi lain yang tak diceritakan oleh sang suami semenjak Ei melihat foto siluet La Signora yang tercecer saat Ei membereskan barang bawaan Zhongli.

Komplotan Fatui Muda mulai mengurungkan niatnya untuk membantu Arlecchino diam-diam setelah mengetahui identitas Raiden Ei yang sebenarnya. Selama masa doktrin mereka, nama Raiden Ei atau Raiden Shogun berulang kali diucapkan oleh Arlecchino karena ia benar-benar menghormati sosok Raiden Ei sejak awal. Arlecchino kini berada di posisi yang menguntungkan karena Ei sedang tidak dalam kondisi prima setelah bertarung dengan Sandrone.

“Aku baru sadar, ternyata kau habis keguguran,” ledek Arlecchino berdiri menginjak tubuh ringkih Raiden Ei.

“Katarina! Ambilkan pistolku!” seru Arlecchino kepada Karatina yang berada jauh di belakangnya.

Katarina bergegas masuk ke dalam rumah Harbingers untuk mengambil senjata Arlecchino, perempuan bersurai putih itu masih dengan senyum tipisnya karena ia tak terbiasa memberikan energi positif kepada siapa pun.

“Kenapa...”

“Kenapa kau menculik adikku Kunikuzushi?” ujar Raiden Ei terbata-bata.

“Entahlah, aku hanya ingin salah satu darah daging Euthymia berada di Harbingers,” jawab Arlecchino menoleh ke belakang, menunggu sosok Katarina yang sedang mengambil senjatanya.

“Ke mana anak itu?”

Arlecchino melepaskan pijakannya dari tubuh Raiden Ei lalu berjalan ke arah rumahnya, mata Arlecchino terbelalak ketika tubuh Signora tak lagi menempel di jendela, hanya noda darahnya saja yang ia temui saat ini.

“Viktor, cepat susul Katarina—”

DOR

Suara tembakan terdengar berulang kali dari dalam, seluruh pelayan keluarga Harbingers lari tunggang langgang menjauh dari tempat kejadian. Para Fatui Muda satu persatu masuk ke dalam rumah Harbingers namun meneriakkan hal yang sama, yakni kesakitan.

Dari berbagai sisi, suara sirine dan mobil-mobil berlambangkan Inazuma mengelilingi area rumah Harbingers. Raiden Ei langsung dibopong oleh pasukan medis karena sudah tak sadarkan diri lagi, Yae Miko menyusul sepupunya ke dalam ambulan setelah memimpin perjalanan mereka menuju Snezhnaya, namun sosok misterius yang membantai kawanan Fatui Muda itu masih tak diketahui identitasnya.

“Ei! Bertahanlah!” ucap Yae Miko terisak.

Raiden Ei membuka matanya perlahan, darah yang mengalir di bagian bawah perempuan itu masih dibersihkan oleh petugas medis. Ia hanya tersenyum saat alat bantu pernafasan diletakkan di mulutnya, Yae Miko menggenggam kedua tangan Ei sambil berdoa untuk keselamatan keluarganya. Mobil ambulan itu terus melaju menjauh dari area Snezhnaya menuju Fontaine, tempat terdekat untuk menemukan rumah sakit karena seluruh wilayah Snezhnaya dimiliki oleh Harbingers.

“Siapa...yang mengalahkan Arlecchino?” tanya Ei pelan.

“Tidak usah pedulikan itu! Yang penting keselamatan kamu, Ei!”

Raiden Ei menggelengkan kepalanya, “Aku harus tahu, Yae.”

“Itu Kuni, kan?”

Yae Miko tersentak ketika mendengar nama Kunikuzushi, ia mengelus punggung tangan Raiden Ei agar bisa menenangkannya sedikit.

“Kuni sudah tidak ada, Ei. Berita itu berita palsu!”

Raiden Ei masih bersikeras membantah perkataan Yae Miko, dari lubuk hati yang paling dalam, ia tahu adiknya tidak akan semudah itu untuk mati. Namun kesadarannya perlahan menghilang saat obat penenang yang disalurkan melalui selang infus masuk ke dalam tubuhnya dengan cepat.

Saat petugas kepolisian Inazuma menyelidiki rumah Harbingers, mereka tidak mendapati satu orang pun yang masih hidup di dalamnya. Arlecchino sudah ditangkap setelah ditembak oleh pistol dengan kejutan listrik hingga tak sadarkan diri, sesampainya mereka di atas hanya ada La Signora yang sudah tergeletak tak bernyawa di atas kasur yang kini sudah penuh oleh darah.

“Siapa yang berhasil mengalahkan mereka semua?” tanya salah satu anggota detektif Inazuma.

Petugas lain masih sibuk menganalisa bekas luka dan bercak darah yang membentuk kaki namun berhenti sampai di bagian belakang rumah Harbingers.

“Tidak ada siapa-siapa di sini, jejak kakinya sudah tertutupi oleh salju tebal Snezhnaya,”

Kemenangan Raiden Ei terbilang unik karena ia tak harus mengalahkan Arlecchino secara langsung, namun kejadian di balik penangkapan Arlecchino masih dipenuhi oleh misteri tentang siapa yang memberitahu keberadaan Raiden Ei di Snezhnaya.

**

Berita penangkapan Arlecchino sebagai salah satu penjahat kelas kakap sudah menyebar ke mana-mana, warga Teyvat mulai bersatu menuju gedung pemerintah untuk meminta kepolisian bahkan pemimpin negeri ini untuk meminta pertanggungjawabannya atas kasus Harbingers.

Hiruk pikuk warga Teyvat mulai memenuhi area istana negara, banyak yang melayangkan protes karena pemerintah dinilai tidak becus mengatasi peristiwa mengerikan selama satu bulan terakhir. Kematian Dokter Dottore pun menjadi penguat alasan ketakutan warga mengingat Dottore adalah salah satu figur terbaik di dunia kedokteran (setidaknya itu yang diketahui oleh warga Teyvat).

Pierro tiba di istana negara bersamaan dengan Capitano, mereka tak saling sapa karena dendam Pierro kepada Capitano masih mengakar sejak lama. Capitano dan Arlecchino memiliki visi yang sama, yakni mengembangkan dunia gelap Harbingers untuk keuntungan keluarga, sementara Pierro sebenarnya hanya ingin memiliki keluarga yang harmonis namun semua sifat buruknya dan sang istri menurun kepada anak-anaknya, serta kejahatan di masa lalunya yang belum bisa terselesaikan hingga sekarang.

Sesampainya di dalam, mereka menemui orang nomor satu di Teyvat, Tsaritsa. Tsaritsa adalah pemimpin dari tujuh wilayah Teyvat yang saling berdampingan, pengaruhnya cukup besar didapat dari Keluarga Harbingers karena selalu setia mendukung sepak terjang Tsaritsa di dunia pemerintahan. Perempuan bersurai biru muda itu sesekali menatap Pierro dan Capitano bergantian lalu tersenyum tipis seolah paham akan sesuatu.

“Kalian ke sini untuk membungkam, atau membantu saya?” tanya Tsaritsa dengan tatapan yang tajam.

“Tentu kami akan membantu, sudah banyak anggota keluarga saya yang mati karena kejadian ini,” jawab Pierro sembari menundukkan kepalanya.

Tsaritsa beranjak dari kursinya, kemudian berjalan hingga berada tepat beberapa langkah di depan Pierro dan Capitano. Tsaritsa mengambil sebilah pisau yang ia minta dari bawahannya lalu menancapkan benda itu di antara Pierro dan Capitano.

“Tugas kalian saja tidak selesai, saya hanya meminta kalian untuk membunuh Zhongli tetapi satu persatu dari kalian justru mati dibuatnya—”

“Atau komplotannya,”

Capitano masih berdiri tegak dan pandangannya lurus ke depan, tak sedikit pun ia menunjukkan rasa hormatnya kepada Tsaritsa saat ini, pria bertubuh besar itu benar-benar kokoh sekarang. Berbeda dengan Pierro, tubuhnya sudah terlihat bergetar saat melihat pedang yang menancap di antara mereka.

“Sandrone, Pantalone, Childe, dan Dottore sudah mati karena kebodohan dan keteledoran mereka sendiri. Apa kalian mau bernasib sama seperti anak-anak kalian?”

Pierro menggeleng, sementara Capitano masih bersikukuh menegakkan kepalanya.

“Yang Mulia, apa tugas kami selanjutnya?” tanya Capitano serius.

Tsaritsa berbalik arah lalu menjauh dari mereka, ia kembali duduk di meja orang nomor satu di Teyvat itu lalu menghela nafas beberapa kali. Ada perasaan janggal ketika melihat kedua orang terpercayanya dengan dua kondisi yang berbeda saat ini, Tsaritsa belum pernah melihat Pierro ketakutan seperti sekarang.

“Salah satu di antara kalian harus keluar dari sini untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat,” ujar Tsaritsa.

“Baik, Yang Mulia.” jawab Pierro kemudian berbalik arah dengan cepat tanpa memedulikan Capitano di sampingnya.

Bodoh,

Capitano mengambil pedang yang tertancap itu lalu mengayungkannya ke arah Pierro. Pedang itu melukai bagian punggungnya hingga Pierro terjatuh, Capitano kembali mengangkat pedangnya ke atas lalu mengarahkannya kepada Pierro.

“Beliau bilang salah satu di antara kita, Pierro.”

Pierro berhasil menghindari serangan lanjutan Capitano, namun pergerakannya sudah mulai terbatas karena ia harus menahan rasa sakit akibat luka di punggungnya. Capitano terus menyerang Pierro tanpa aba-aba, si surai putih itu pun tak bisa berbuat banyak selain menghindar dari semua serangan yang masuk kepadanya.

Dari luar ruangan, Columbina berdiri di depan pintu petinggi Teyvat. Orang yang ditunggu telah tiba, Zhongli berjalan ke arah Columbina perlahan, perempuan bersurai hitam itu tersenyum lalu membuka jas miliknya kemudian melemparnya sembarangan.

“Kau datang di saat yang tidak tepat,” ucap Columbina lirih, saat ia mengepalkan tangan, urat-urat di sekitar lengan mulusnya itu menonjol dengan jelas.

“Hati-hati saat berbicara dengan orang yang belum tentu kamu kenal,” jawab Zhongli tersenyum.

Columbina berlari ke arah Zhongli, ia melayangkan pukulan itu namun berhasil dihindari oleh Zhongli, suara angin yang beriringan dengan pukulan Columbina sedikit membuat Zhongli gentar. Ia belum pernah berhadapan dengan permaisuri Harbingers tersebut, dan ternyata Columbina bukanlah orang yang bisa dianggap remeh.

“Kau ke sini untuk menghancurkan keluargaku, bukan?!” sentak Columbina, sklera perempuan itu melebar hingga irisnya hampir memenuhi sklera mata Columbina.

Suara teriakan seseorang terdengar dari dalam, perhatian Columbina teralihkan setelah mendengar Pierro meringis kesakitan karena sesuatu. Zhongli langsung memanfaatkan momen ini untuk memberikan serangan balasan kepada Columbina.

Zhongli memukul perut Columbina dengan keras, namun perempuan itu justru tertawa setelahnya, mereka saling melempar tatap, Columbina langsung menusuk kedua mata Zhongli dengan jarinya.

Sialan!

Zhongli mundur beberapa langkah, karena tak bisa menyeimbangkan tubuhnya Zhongli pun terjatuh. Saat ia masih berusaha mengembalikan penglihatannya, Columbina sudah duduk di atas tubuh Zhongli sambil tertawa licik, ia mengambil pistol yang di sangkutkan di bagian belakang pakaiannya lalu mengarahkan senjata api itu ke kepala Zhongli.

“Ada pesan terakhir?” tanya Columbina dengan suara beratnya.

DOR

Columbina menoleh ke belakang, walaupun buram, Zhongli masih melihat pistol milik Columbina mengarah kepadanya, dengan cepat ia mengambil alih senjata itu lalu menendang tubuh Columbina jauh ke belakang.

“Berengsek!” teriak Columbina lantang.

Pintu ruangan Tsaritsa terbuka, Capitano yang sudah berlumuran darah keluar dari ruangan itu lalu berdiri di samping Columbina.

“Ayah?” tanya Columbina heran.

“Maaf, saya tidak bisa menyelamatkan ayahmu,” jawab Capitano tanpa menoleh ke arah Columbina.

Perempuan itu mengigit lidahnya sekuat tenaga, darah yang mengalir setelah potongan ujung lidahnya jatuh ke lantai membuat akal sehatnya hilang, Columbina menyapu kaki Capitano lalu menusuk tubuhnya dengan pedang yang ada di tangan Capitano namun tidak tepat sasaran.

Zhongli menembakkan pistolnya namun tidak ada satu peluru pun yang keluar, melihat hal itu, Columbina kembali tertawa karena berhasil menipu Zhongli dengan senjata kosong.

“Bukan ini yang seharusnya kau lakukan, Columbina!” sentak Capitano keras.

“Diam kau, Varka!” balas Columbina sama kerasnya.

“Kau telah membunuh ayah kandungku!”

Zhongli mengernyitkan alisnya saat Columbina menyebut nama Varka kepada Capitano, tetapi Zhongli tak mau ambil pusing mencocokkan Varka dan Capitano saat ini. Zhongli memasang kuda-kuda saat Columbina menarik pedang yang masih menancap di lengan kanan Capitano.

“Kau akan mati saat aku selesai dengan Zhongli,”

Tsaritsa masih menyaksikan aksi mendebarkan ini setelah pintu ruangannya dibuka oleh Capitano, pandangannya beralih ke tubuh Pierro yang masih bergerak.

Menarik, gumam Tsaritsa dalam hati.

Columbina berlari ke arah Zhongli sembari mengayunkan pedangnya, Zhongli pun menepis serangan itu lalu mencengkram pergelangan tangan Columbina hingga tulangnya patah.

“Bangsat!”

Pedang itu terjatuh, tangan kanan Columbina tampak luntang lantung karena sudah patah. Perempuan itu berusaha mengepalkan tangannya namun hanya teriakan histeris yang keluar dari mulutnya.

Dengan cepat Zhongli menyapu kaki Columbina lalu memijak wajahnya dengan sepatunya, seketika Columbina tak sadarkan diri.

Capitano beranjak dari lantai lalu membuka topengnya, untuk kesekian kali Zhongli terkejut melihat sosok yang ia hormati ternyata musuh besarnya selama ini.

“Benar-benar tak disangka, bukan?” ujar Capitano kepada Zhongli.

Saat Zhongli mulai melangkahkan kakinya, Capitano justru berbalik arah lalu mengambil pistol yang mengarah kepadanya lalu mencekik leher Pierro yang masih hidup.

“Bisnis tidak akan berjalan lancar kalau kau melibatkan perasaanmu kepada keluarga, Pierro.”

Pierro menggeliat saat sadar tulang lehernya mulai mengecil karena tangan besar Capitano, ia berusaha menendang Capitano namun serangannya tidak mengenainya.

“Hubunganku dengan Arlecchino tidak lebih dari rekan bisnis, kau tak perlu cemburu seperti itu, Kawan.”

Pierro meludahi wajah Capitano lalu mengumpat asal.

“Kalau kau—”

“Hanya rekan bisnis, kenapa—”

“Kau kentot istriku setiap saat?!”

Capitano terkekeh, ia mengangkat tubuh Pierro semakin tinggi.

“Itu karena pada dasarnya istrimu adalah lonte, sama seperti anakmu,” jawab Capitano mengencangkan cengkramannya ke leher Pierro.

Tubuh Zhongli tertahan oleh sesuatu saat tangan kiri Columbina menggenggam bahu Zhongli hingga ia mundur beberapa langkah.

Columbina berlari ke arah Capitano dengan pedang yang ia ambil dari lantai entah kapan lalu menusuknya secepat mungkin.

SLASH

“A..yah?” mata Columbina terbelalak saat Capitano tiba-tiba berbalik arah saat tahu Columbina akan menyerangnya.

Pedang tajam itu menancap ke punggung Pierro, namun di waktu yang sama, perut Capitano pun ikut tertusuk karena jarak mereka cukup dekat.

“Ayah!”

Columbina melepaskan pedang yang tertancap dipunggung Pierro lalu memeluknya erat, ia kembali menjadi figur anak kecil ketika berusaha mengembalikan darah yang keluar dari perut Pierro. Columbina menangis histeris saat Pierro memberikan senyum terakhirnya kepada sang putri, Pierro mengangkat tangannya lalu mengelus lembut pipi Columbina meski darah di telapak tangannya hanya mengotori wajah Columbina.

“Ayah tidak bermaksud untuk membuat kalian...”

“Hidup seperti ini...”

BRUK

Capitano menendang Pierro yang masih ada di pelukan Columbina hingga mereka tersungkur, diambilnya pedang tadi lalu kembali menyerang Pierro dan Columbina dengan ganas.

“Sudahlah,” ucap Capitano pelan.

“Momen ini begitu menjijikkan,”

Kedua kepala ayah anak itu terlepas dari badannya, darah yang menodai besi tajam itu begitu menggiurkan bagi Capitano, melihat Zhongli masih mematung di depannya tak membuat Capitano segan saat menikmati campuran darah Pierro dan Columbina di sana.

“Varka, kenapa kau melakukan hal ini?” tanya Zhongli.

Yang ditanya masih tak memedulikan pertanyaan Zhongli, darah diperutnya masih berjatuhan ke lantai namun langkahnya ke arah Zhongli masih tampak gagah.

“Tak ada alasan, aku hanya dilahirkan untuk jadi manusia beringas seperti ini,”

Capitano berlari ke arah Zhongli, meskipun ada yang aneh di setiap langkahnya, Capitano tak begitu memedulikannya, ia mengayunkan pedang bekas pembunuhan Pierro dan Columbina dengan kekuatan penuh namun terlihat asal di mata Zhongli.

Capitano sudah kehilangan pandangannya, ia terjatuh karena kehabisan darah, pedang yang lepas dari tangannya justru menusuk dadanya hingga tembus sampai Capitano tergeletak di atas lantai.

Tsaritsa berdiri beberapa puluh meter di depan Zhongli, mereka saling melempar senyumnya saat berhasil mengalahkan tiga Harbingers sekaligus.

“Kau berhasil, Nak.”

Zhongli mengangguk, kemudian ia pergi meninggalkan Tsaritsa sembari pintu ruangannya tertutup.

**

Scaramouche mengistirahatkan diri di sebuah gubuk kecil di ujung Snezhnaya, wajahnya masih tersenyum karena ulah Dokter Dottore yang berusaha merombak ulang dirinya sebagai bahan eksperimen untuk menghidupkan orang yang telah mati.

“Kenapa aku tak bisa menyusulnya?! Padahal Kakak ada di sana tadi!” gumam Scaramouche tak tentu arah, tubuhnya bergerak sendiri setelah memindahkan Signora dari tempat kematiannya.

Sebagian ingatan Scaramouche (Kunikuzushi) masih ada untuk Euthymia, namun ia tak bisa berbuat banyak karena efek misterius dari obat yang masuk ke dalam tubuhnya sejak awal masuk ke dalam kerangkeng milik Sandrone.

Beruntung aku tidak mati, tapi sekarang aku tak bisa melakukan apa yang seharusnya kulakukan,

Semuanya sudah kubebaskan, semuanya sudah kubunuh! Tapi kenapa aku tak bisa kembali ke keluargaku?!

Bangsat! Il Dottore, Anjing!

“Kau apakan tubuhku ini, Berengsek?!” teriak Scaramouche lantang.

Scaramouche memukul wajahnya sendiri sekuat tenaga agar dirinya sadar, tidak ada yang berubah dari dirinya selain rasa sakit dan darah yang mengalir dari pelipis dan bibirnya. Bunyi sirine mobil mulai terdengar di telinganya, tanpa perintah dari sang pemilik tubuh, Scaramouche beranjak dan berlari dari gubuk tempat ia beristirahat tadi.

Kan, kenapa tubuhku bergerak sendiri?!

“Jangan bergerak! Atau kau kami lumpuhkan!” teriak anggota kepolisian Inazuma yang mendapati Scaramouche sedang melarikan diri.

Bukan! Bukan aku! seru Scaramouche dalam hati.

Satu tembakan ke udara tak membuat tubuh tak terkendali Scaramouche diam begitu saja, dua mobil polisi mulai melaju untuk menyusulnya.

“Berhenti!”

Scaramouche tak menoleh dan berusaha berlari sekuat tenaga, air matanya mengalir dan bercampur dengan darah yang ada di sekitar wajahnya.

“Cepat tembak aku!” teriak Scaramouce lantang.

“Berhenti! Jangan kabur kau!”

“Cepat tembak!”

DOR

Salah satu kakinya tembus oleh besi panas yang ditembakkan oleh polisi, Scaramouche terjatuh di antara bongkahan salju itu. Aparat lainnya langsung mengunci kedua tangan Scaramouche dengan borgol lalu menarik paksa dirinya menuju ke mobil polisi.

“Sebentar! Dia Kunikuzushi!”

“Cepat bawa dia menuju Fontaine!”

“Akhirnya dia kembali, Putra Mahkota Inazuma tidak mati!”

Mobil polisi itu melaju dengan kecepatan penuh menuju Fontaine, tempat di mana Raiden Ei akan dirawat. Setibanya di rumah sakit, Scaramouche langsung dilarikan ke Unit Gawat Darurat untuk penanganan lebih lanjut.

Setelah mendapatkan kabar tentang Kunikuzushi, Yae Miko langsung berlari menyusul sepupunya ke UGD. Air matanya berlinang saat kabar gembira itu sampai di telinganya, dalam hati Yae Miko, ia berharap Raiden Ei dan adiknya Kunikuzushi bisa kembali bersama setelah terpisah selama kurang lebih 10 tahun.

“Kuni!” seru Yae Miko saat membuka salah satu tirai tempat pasien di UGD.

Yae Miko langsung memeluk tubuh adik sepupunya dengan erat, sementara Scaramouche hanya bisa menerima sentuhan hangat Yae Miko karena sudah tak bertenaga lagi. Obat biusnya bekerja dengan cepat, sehingga Scaramouche tidak bisa berlama-lama menikmati momen haru tersebut.

“Biarkan dia beristirahat dulu, Nona Yae Miko. Kami akan membawanya ke ruang operasi sebentar lagi, setelah melakukan pengecekan awal, ada yang salah di saraf dan bagian tubuh lain dari Tuan Kunikuzushi,”

Yae Miko melepaskan pelukannya, sementara tim medis Fontaine langsung melarikan Scaramouche menuju ruang operasi. Beberapa saat kemudian, Zhongli tiba setelah mendapat kabar dari Yae Miko, pria bersurai hitam itu pergi menyusuli istrinya setelah diberitahu oleh Yae Miko.

Tunggu saya, Ei! Biarkan saya ada di sampingmu di saat-saat seperti ini! batin Zhongli penuh rasa khawatir.

-to be continued

WHY 18?

Chapter 14: Endless Death cw: bloods, murder, vomit, traumatic event, angst, gore, violence

Zhongli tersentak dari tempat tidurnya, dari luar ruangan ia mendengar suara keributan antara penjaga dan Capitano yang memaksa masuk untuk memburu Zhongli. Beberapa detik pria itu termenung memikirkan apa yang telah terjadi di Liyue, setelah tembakan Pierro tepat mengenai kepalanya, Zhongli sudah kembali menjadi dirinya yang asli.

Saya harus cepat pergi dari sini,

Zhongli membuka seluruh selang infus di sekujur tubuhnya, tak peduli dengan darah yang masih menetes, Zhongli kabur lewat jendela rumah sakit. Beruntung ia hanya berada di lantai dua, tak peduli dengan tulang engkelnya yang retak akibat menahan tubuhnya jatuh dari atas, Zhongli berlari sekencang-kencangnya menjauh dari area rumah sakit.

Pintu ruang rawat Zhongli terbuka lebar setelah didobrak oleh Capitano, melihat tidak ada siapa pun di sana. Sang Kapten sontak mengamuk dan pergi dari sana, ia menghubungi seluruh intelnya untuk mencari sosok yang telah membuat keluarganya susah beberapa waktu belakangan.

Lantas apa yang membuat Keluarga Harbingers bersusah payah untuk membunuh Zhongli?

Flashback

Zhongli bertemu dengan salah satu informan dari secret service, sosok misterius itu memberikan sebuah berkas yang diselipkan di bawah meja tempat mereka makan malam.

“La Signora,” ujar orang yang ada di depan Zhongli.

“Dia adalah perempuan misterius di Harbingers, kabarnya ia menjual banyak manusia tak bersalah yang diculik oleh komplotan Dottore hanya untuk uang,”

Zhongli membuka berkas berbungkus amplop coklat itu lalu membacanya seksama, terlihat sebuah foto siluet milik Signora dan menjadi satu-satunya petunjuk agar Zhongli mulai mengerjakan tugas itu secepatnya.

“Bagaimana saya bisa menyelidiki kasus ini jika hanya mendapat satu petunjuk?” tanya Zhongli heran.

“Hey, kau anggota secret service kelas SS, bagaimana bisa kau menanyakan hal sepele itu kepada saya? Lagi pula saya hanya informan yang diutus oleh Tuan Varka. Kau tentu lebih tahu alur dalam menyelidiki kasus ini, bukan?”

Zhongli berdeham kesal, alkohol yang sudah merasuki dirinya masih dapat dikontrol oleh sang agen. Zhongli beranjak dari kursinya tanpa menyelesaikan hidangan makan malam tersebut lalu pergi meninggalkan Puspa Cafe yang terletak di Sumeru.

Beberapa saat setelah Zhongli pergi, sang informan menelepon seseorang melalui ponselnya. Ia terkekeh setelah melaporkan tugasnya kepada atasannya.

“Dia menerima tugasnya, sekarang saatnya kita menjebak orang tolol itu, Varka.” ujar Dottore setelah melepas topengnya, raut wajah Dottore terlihat penuh emosi, urat-urat yang nampak dari kening serta lehernya adalah tanda bahwa Dottore sudah sabar untuk tidak membunuh Zhongli malam ini.

“Pastikan dia mati besok, karena dia izin akan pulang menemui istrinya. Biarkan dia mengucap kata-kata terakhirnya kepada perempuan bunting itu,” seringai Dottore terlihat menyeramkan, ia menghentakkan sendok besi itu ke atas meja hingga menancap di meja yang terbuat dari kayu jati tersebut.

Setelah menutup teleponnya, Capitano (Varka) hanya diam di ruang kerjanya. Menunggu wanita panggilan yang sudah ia pesan dari Columbina, sebagai pemimpin secret service sekaligus ketua kepolisian Teyvat, tentu ia harus menyamar menjadi dua orang yang berbeda. Capitano memiliki sepak terjang yang baik di dunia pemerintahan, namun ketika ia menjalankan tugasnya sebagai salah satu kriminal terbaik di Teyvat, tentu ia bisa membuat semua kekejian dalam pikirannya dengan mudah.

“Permisi, Tuan.” ujar seorang perempuan yang diantarkan oleh Columbina.

Perempuan bersurai hitam itu tersenyum lalu menunduk pamit dari hadapan Capitano. Di balik topengnya ia tersenyum, namun sayangnya darah pembunuh Capitano sedang mendidih karena tak sabar akan kematian Zhongli yang tinggal sebentar lagi.

**

Selama perjalanan pulang, Zhongli mencari tahu tentang La Signora melalui informan lainnya. Tak ada satu pun informasi yang ia dapat tentang perempuan misterius itu, tak mau kehabisan ide, Zhongli langsung menelepon salah satu orang terpercayanya untuk menjelaskan informasi tentang Signora saat ini.

“Halo? Saya ingin membeli informasi, uangnya sudah saya kirimkan beberapa menit lalu,” ucap Zhongli serius.

Wah, Mora yang kau kirimkan tak akan sebanding dengan informasi yang akan kau dapatkan,

“Apa maksudmu?”

La Signora bukan apa-apa di Harbingers, ia bahkan masih berusia 20 tahun. Yang harus kau waspadai justru orang yang memintamu untuk mencari tahu tentang Signora,

“Dia salah satu informan dari instansiku, kamu tidak perlu khawatir,”

Seharusnya kau lebih keras berpikir! Kau tak pernah disuruh untuk melakukan penyamaran sampai sekarang, dan informasimu yang ingin kau dapatkan itu hanya salah satu lubang yang dibuat oleh Harbingers agar kau terjebak skenario mereka,

Zhongli tak menanggapi ucapan informannya, pria itu berpikir berulang kali tentang tugas yang telah diberikan oleh Varka kepadanya. Bagaimana mungkin Varka mengkhianati Zhongli? Dia yang telah merekrut Zhongli dan membuatnya sampai di titik ini. Rasa percaya Zhongli mulai pudar setelah mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh sang informan.

Kau dengar aku, kalau misalnya dalam beberapa hari ini kau terjebak atau dalam bahaya. Berarti ini ulah Harbingers, mereka membencimu karena sudah berhasil mengungkap kasus korupsi di Northland Bank dan itu membuat Pantalone tak suka denganmu,

“Ya, Pantalone sempat mengirimkan pesan ancaman kepada saya, tapi bukan berarti—”

Lebih baik kau percaya denganku daripada orang misterius tadi,

Ya, aku mengawasi kalian sejak tadi. Dan orang yang berbicara denganmu adalah Il Dottore—

Panggilan tadi tiba-tiba terputus, Zhongli sudah memasuki area perumahannya yang sarat akan sinyal. Sebelum ia membuka pintu, Zhongli sudah disambut oleh sang istri, Raiden Ei, dari depan rumah. Senyum manis perempuan bersurai ungu tersebut menghiasi wajahnya sehingga perlahan kurva bibir Zhongli naik dengan sendirinya.

“Saya sudah siapkan makan malam untuk kamu, Sayang.” ucap Raiden Ei lembut.

“Ayo kita makan malam, kamu pasti sudah capek berdiri menunggu suamimu sejak tadi, kan?” jawab Zhongli merangkul sang istri sedikit erat.

Raiden Ei menutup hidungnya setelah mencium bau alkohol yang keluar dari mulut Zhongli. Saat sadar, Zhongli sedikit menjauh dari sang istri yang tengah mengandung lalu berjalan dengan cepat menuju kamar mandi.

“Lebih baik saya mandi dulu, maaf,”

Raiden Ei menyipitkan matanya sembari tersenyum, lalu masuk ke dalam kamarnya untuk menyiapkan handuk dan pakaian bersih supaya Zhongli bisa makan dengan tenang setelah bekerja keras hari ini.

Saat Ei mengemas tas jinjing suaminya, sebuah amplop berwarna coklat tak sengaja tercecer dari tempatnya. Meskipun ia tak punya tenaga untuk mencari tahu, namun wajah familiar itu memaksa Ei untuk melihat foto siluet milik La Signora.

Foto siluet ini, sama seperti orang itu, gumam Ei dalam hati.

Apa urusannya Zhongli dengan Harbingers?

Raiden Ei memasukkan kembali foto tersebut ke dalam amplop lalu merapikan seisi tas milik sang suami, setelah ia menyiapkan handuk dan pakaian ganti, Raiden Ei duduk di salah satu kursi di ruang makan mereka.

Melihat Zhongli tampak segar kembali membuat Raiden Ei tertegun akan ketampanannya, tak terasa perutnya bergerak sendiri akibat dari tendangan sang buah hati. Raiden Ei mengelus perutnya sambil tersenyum, tak sabar dengan apa yang akan terjadi beberapa bulan ke depan ketika ia melahirkan anak dari hubungannya dengan Zhongli.

“Sup ini enak, enak sekali!” ujar Zhongli memecah lamunan Raiden Ei yang masih menatap sang suami dalam-dalam.

“Jangan terlalu memuji saya kalau rasanya biasa saja, Sayang.” balas sang istri sambil tersenyum.

Mereka saling melempar tatap, Zhongli dan Ei tertawa setelahnya.

“Sepertinya besok saya akan pulang sedikit telat, Ei.” kata Zhongli dengan nada serius.

Tak ada yang bisa Ei lakukan selain mengangguk atas perkataan sang suami, walaupun dalam hati ia sangat ingin menghentikan langkah Zhongli dari pekerjaan misteriusnya, namun rasa sayangnya kepada Zhongli sudah lebih dari apa pun hingga Raiden Ei hanya bisa percaya dan mendoakan yang terbaik untuk Zhongli.

“Kalau begitu, biarkan saya melepaskan penatmu malam ini,”

Raiden Ei memeluk Zhongli penuh kasih sayang, Zhongli membalasnya dengan melingkarkan tangan kekarnya di pinggang sang istri. Mereka bercumbu penuh gairah, mata Zhongli terbelalak ketika Ei mengulum lidahnya secara tiba-tiba, mereka berdua melakukan aktifitasnya sembari berjalan menuju kamar.

Raiden Ei menidurkan Zhongli lebih dulu sampai ia merasa nyaman, tampak dari atas Raiden Ei membuka kancing baju tidurnya hingga menampakkan seluruh lekukan tubuh serta perutnya yang sudah cukup besar.

“Kamu terlihat lebih cantik seperti ini,” goda Zhongli sambil terkekeh.

“Godaanmu masih terlalu receh di telinga saya,” balas Raiden Ei kembali mencium bibir tipis Zhongli.

Zhongli merasakan tendangan dari perut Ei ketika mereka sedang berpelukan, mereka berdua tertawa kecil saat Zhongli mengelus perut istrinya sambil membaringkan sang istri ke samping, Zhongli berpindah ke atas lalu menggenggam kedua pergelangan tangan Ei, netra mereka bertemu kembali, pemandangan ini sungguh indah di mata Zhongli.

“Sepertinya ada yang lebih stres dari saya hari ini,”

Raiden Ei menggeleng, “Bukan hari ini, beberapa hari ke belakang,”

“Saya sangat ingin merasakan milikmu,” ujar Raiden Ei mengelus bagian luar celana kain tipis milik Zhongli.

“Sudah berapa lama, ya?”

“Dua minggu,”

Zhongli membiarkan Raiden Ei membuka celananya perlahan, saat penis Zhongli tampak di matanya, Ei mengulum lidah lalu menggigit bibir bagian bawahnya penuh hasrat.

Raiden Ei menggesek pelir Zhongli di atas klitorisnya, sementara sang pria hanya bermain dengan kedua payudara yang indah milik Ei. Dibiarkan Ei mendesah saat Zhongli meremas dan mengisap puting miliknya, tak lama kemudian Zhongli menusuk liang surga Ei perlahan hingga sang istri menjerit, penetrasi ini sudah lama dirindukan oleh Ei. Melihat Zhongli begitu menikmati tubuhnya, perasaan gusar itu kembali muncul, karena sejatinya insting seorang perempuan lebih kuat dari apa pun, kalau pun memang ini terakhir kalinya mereka bersama, Ei ingin membuat kenangan ini seindah mungkin.

Back to present

Kazuha bersama Gorou, Heizou, dan Fischl kembali ke rumah sakit tempat Beidou dirawat. Seorang perempuan paruh baya menoleh ke arah lelaki bersurai krem itu kemudian berlari dan memeluknya.

Pukulan-pukulan kecil itu terasa di dada bidang Kazuha, suara tangisan ibu dari Beidou menggelegar menguasai seisi lorong UGD rumah sakit.

“Kenapa?! Kenapa dia melakukan hal bodoh seperti ini, Nak?!” sentak sang ibu kepada Kazuha.

Teman-temannya hanya terdiam mengelilingi sang ibu, tidak ada yang menduga jika Beidou menyiapkan sebuah pisau untuk mengalahkan Eula dan naasnya Beidou malah termakan oleh senjatanya sendiri.

“Sekarang dia sudah pergi! Siapa lagi putri kecilku sekarang?!” seru ibunya Beidou.

Mata Kazuha terbelalak setelah mendengar ucapan perempuan itu, tubuhnya perlahan bergetar beriringan dengan air mata yang mengalir membasahi pipinya.

“Beidou...”

“Sudah tidak ada?” tanya Kazuha terbata-bata.

Perempuan paruh baya itu mengangguk dalam pelukan Kazuha, ia terus memukul tubuhnya dan kini rasa sakit itu mulai terasa, namun bukan fisiknya yang sakit namun hatinya.

“Kenapa kamu masih biarkan dia berkelahi seperti orang tak berotak?! Kenapa, Kazuha?!”

Yang ditanya tak kunjung memberikan jawaban, sang ibu menampar pipi Kazuha berkali-kali karena geram. Ia menyumpahi Kazuha lantaran lelaki itu tak menjaga anaknya dengan baik, tak ada yang bisa menyelamatkan Beidou karena darahnya terus berkurang saat perjalanannya menuju rumah sakit.

“Tanggung jawab!”

“Tanggung jawab kamu!”

Salah satu tirai mulai terbuka dan mereka mendapati Beidou sudah tertutup oleh kain putih, sang ibu melepas pelukan Kazuha dan menahan ranjang berjalan yang ditempat oleh putrinya hingga ia terseret ikut oleh para perawat yang akan membawanya ke ruang jenazah.

“Minta maaf sama putri saya! Cepat!”

Perempuan itu menarik tubuh lemah Kazuha, Kazuha terjatuh dan ikut terseret karena pasrah ditarik oleh ibu Beidou. Heizou dan Gorou membantu Kazuha untuk bangkit dan menemani mendiang kekasihnya menuju tempat peristirahatan terakhirnya sebelum dikebumikan, sementara Fischl menelepon anggota lainnya untuk mengabarkan berita duka tersebut.

Kawanan Arataki Gang baru saja tiba di rumah sakit, melihat keributan yang dibuat oleh ibu Beidou membuat Itto langsung berlari menyusul Kazuha. Kuki Shinobu menghampiri Fischl yang masih berdiri mematung ketika berusaha menghubungi pihak sekolah.

“Beidou...”

“Beidou meninggal,” ucap Fischl lemas.

Shinobu sontak memeluk Fischl erat, akhirnya gadis bersurai pirang itu menangis setelah merasa aman. Dua siswa SMA Teyvat telah gugur hari ini di tempat yang berbeda, meski berbeda tujuan, kekalahan ini memberi kesan mendalam bagi yang ditinggalkan.

**

Xiao masih berusaha menenangkan perutnya di Luhua Pool, setelah berlari menjauh dari warga yang mencarinya, lelaki bersurai hitam itu merasa sedikit aman meskipun pikirannya masih kacau akibat peristiwa yang ia saksikan pagi tadi.

Ponselnya bergetar beberapa kali, tanda sebuah pesan masuk. Xiao merogok sakunya lalu melihat sebuah gambar dari orang tak dikenal, ia tahu betul siapa yang ada di foto tersebut, namun ia kembali muntah karena jiwanya sudah terguncang hebat karena banyak hal yang sudah terjadi hari ini.

“Ibu...” gumam Xiao sambil terisak.

Dari belakang, Yelan mengawasi Xiao dengan kamuflasenya. Sebenarnya sejak tadi Yelan masih berada di sekitar Xiao, kepergiannya hanya sebagai ilusi semata karena perempuan itu khawatir dengan kondisi Xiao saat ini.

Komplotan Fatui mulai mengelilingi Xiao, orang suruhan Pierro itu berdiri gagah di belakang Dottore.

“Tunjukkan rupamu, Yelan. Kau sudah terkepung,” ujar Il Dottore sambil terkekeh.

Yelan melepas kamuflasenya dan berdiri tepat di belakang Xiao, walaupun saat ini Xiao sudah kehilangan akal sehatnya, Yelan tak bisa melepaskan satu nyawa lagi untuk melayang hari ini.

Zhongli menitipkan anak ini kepadaku, mau tak mau aku harus menjaganya,

Dottore mengangguk seraya mengisyaratkan para Fatui untuk menyerang Yelan, saat kaki mereka mulai melangkah, ada yang terpisah dari tubuhnya hingga kawanan Fatui itu terjatuh sembari berteriak kesakitan.

Dottore melangkahi bawahannya karena tahu jebakan yang telah dibuat oleh Yelan, ia membuka topengnya hingga menunjukkan banyak bekas luka di sekitar wajahnya. Dottore menunjukkan gigi taringnya, lalu dengan cepat Dottore melesat ke arah Yelan sambil mengeluarkan gerigi besi di kedua tangannya.

Yelan menendang tubuh Xiao yang masih tak sadarkan diri hingga lelaki itu tersungkur menjauh sembari menghindari serangan Dottore. Mereka saling bertukar serangan setelahnya tetapi dapat dihindari dengan mudah pula oleh keduanya. Xiao hanya menyaksikan pertarungan antara Yelan dan Dottore saat itu, tubuhnya tak lagi bergerak sesuai perintahnya, Xiao masih tenggelam dalam kesedihannya setelah mendengar kabar bahwa ibunya sudah dijemput oleh malaikat kematian.

“Kalau kau masih bisa bersedih, kabur sekarang juga!” sentak Yelan yang mulai kewalahan menangkis seluruh serangan Dottore.

Tidak, bukan ini yang seharusnya kulakukan,

Yelan memukul Dottore hingga ia mundur beberapa langkah, pria bersurai biru muda itu terkekeh setelah mendapatkan luka baru di pipi kirinya. Lidahnya mulai menjulur keluar karena gairah bertarungnya meningkat, Dottore melemparkan pisau medis yang keluar dari lengan bajunya ke arah Xiao namun berhasil dihindari oleh anak itu.

“Wow, mengejutkan,” kekeh Dottore bersemangat.

Xiao mengambil salah satu senjata Fatui lalu menatap Dottore tajam, dan untuk pertama kali dalam hidupnya, Dottore merasakan ada efek kejut di sekujur tubuhnya.

Anak ini bukan sembarang orang, batin Dottore.

Yelan tersenyum ke arah Xiao, ia mendadak menghilang dari pandangannya lalu memukul Dottore hingga terjatuh karena kelengahannya. Xiao menusuk kedua bahu Dottore dengan senjata yang ia ambil barusan, pria bersurai biru muda itu menahan sakitnya walaupun masih bisa tertawa.

“Benar-benar anak muda yang bersemangat,” ujar Dottore girang saat Xiao sudah menduduki tubuhnya.

Dottore mengangkat paksa tubuhnya lalu menghentakkan kepalanya ke arah Xiao, pisau yang menancap di kedua bahunya tak digubris sedikit pun oleh Dottore.

Yelan mulai beraksi kembali, ia mengeluarkan benang tipisnya untuk mengikat tubuh Dottore hingga terluka. Darah yang menyebur dari seluruh sisi tak membuat Dottore kian melemah, justru garis bibirnya semakin naik saat tahu Xiao mulai melemparkan pisau lain ke arahnya.

SWOOSH

“Lemparanmu terlalu mudah untuk dibaca, Berengsek!” seru Dottore mulai kehilangan akal sehatnya.

“Dan ingat, Yelan! Varka tidak akan memaafkanmu kalau kau mengkhianatinya!”

“Tugasmu adalah menjaga Harbingers!”

Yelan tersenyum tipis, benang-benangnya masih mengikat Dottore yang sedang berusaha melepaskan jeratan kepedihan itu.

“Aku bukan orang bodoh, Dottore. Secret service hanyalah tempatku untuk mengumpulkan barang bukti untuk kepolisian,” jawab Yelan sembari berjalan ke arah Dottore.

Saat Yelan berada beberapa jengkal dari Dottore, pria itu menyapu kaki Yelan hingga ia terjatuh lalu menghentakkan kepalanya ke wajah Yelan dengan keras. Dottore melepaskan jeratan benang itu lalu mengayunkan kedua tangannya karena sudah terlanjur panas akan situasi dua lawan satu ini.

“Tinggal kau, Bocah!” seru Il Dottore ke arah Xiao.

Dottore mengambil sebuah kedua pistol dari sisi jasnya lalu mengarahkan benda itu kepada Yelan juga Xiao.

“Sekarang pilih,”

“Dia mati, atau kau yang mati, atau dua-duanya yang mati,” kekeh Dottore berusaha ramah.

Saat Dottore lengah, Yelan sudah kembali menghilang dari pandangannya, sontak Xiao mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. Dari bawah Yelan menendang salah satu tangan Dottore hingga pistolnya melayang ke udara, Xiao langsung melompat dan meraih senjata itu dengan cepat.

DOR

Tembakan pertama Dottore berhasil dihindari oleh Xiao berkat keberuntungan, Xiao menghindari seluruh serangan Dottore sambil menunggu sisa amunisi Dottore habis karena menembak ke dua orang sekaligus.

Ketika Dottore tengah mengisi ulang amunisi senjatanya, Xiao berlari sambil mengarahkan pistol tersebut ke perut Dottore. Lawannya tak hilang akal, Dottore mengisi setengah pelurunya lalu kembali mengarahkan pistolnya kepada Xiao.

Yelan melemparkan sesuatu dari tubuhnya ke arah Xiao, sebuah perisai kecil milik anggota secret service untuk melindungi perutnya. Xiao mengaitkan tangan kirinya ke leher Dottore lalu menembak asal bagian perut Sang Dokter sampai pelurunya tak bersisa.

“Anj...ing,” kata terakhir Il Dottore terngiang di telinga Xiao, tubuhnya ambruk karena tak lagi kuat melihat darah Dottore mengotori bajunya.

Yelan mengangkat bahu Xiao, menopangnya lalu pergi dari tempat kejadian dengan kamuflasenya. Beberapa saat setelahnya, Millelith mulai memenuhi area Luhua Pool, berita kematian Il Dottore mulai menggeser kabar kematian Pantalone dan Childe.

Setibanya di Snezhnaya, Raiden Ei mengunci ponselnya sembari berusaha berdiri tegak setelah keguguran anak pertamanya. Kehadirannya sudah ditunggu oleh Arlecchino bersama Fatui Muda, di saat yang sama, La Signora terlihat sudah menempel di kaca jendela kamarnya bersama tuts piano yang menusuk seluruh anggota tubuhnya sebagai pemandangan kondisi rumah Harbingers saat ini.

“Kau harus membayar semua yang telah kau perbuat,” ujar Raiden Ei dengan suara beratnya.

Arlecchino tersenyum kaku, kemudian ia membuka jas hitam miliknya hingga menunjukkan banyak bekas luka di sekitar tubuh perempuan bersurai pendek itu.

“Kupikir teman lamaku ini datang untuk bertamu,”

“Ternyata kamu datang untuk membalaskan dendam, ya?” raut wajah Arlecchino berubah sepersekian detik kemudian.

Raiden Ei berjalan ke arah Arlecchino yang berada beberapa puluh meter di depannya, saat Fatui Muda hendak menyerang, Arlecchino mengangkat tangannya untuk menghentikan mereka.

“Kalian masih sangat muda untuk mati di tangannya, kalian lihat saja Ibunda membantai perempuan itu dengan cermat,”

“Siapa pun yang berani menghalangi Ibunda, akan mati dalam hitungan detik!”

Benar saja, salah satu anggota Fatui Muda yang tak mendengarkan Arlecchino langsung ditembak oleh sang pemimpin dengan pistol peredamnya. Darah anak muda itu bercucuran menggantikan putihnya salju menjadi merah, Arlecchino tidak pernah main-main kalau sudah angkat bicara.

Kini pertarungannya dengan Raiden Ei akan segera dimulai.

-to be continued