You Keep Me Alive
cw, au // ending chapter 1
Lumine masih menunggu Barbara yang sedang menuju lapangan, gadis itu hanya termenung melihat abangnya yang sedang asik bermain basket dengan teman barunya, senyum tipisnya muncul ketika melihat Aether berhasil memasukkan bola dari tengah lapangan.
“Sendirian aja?” tanya seseorang dari belakang.
Lumine bergidik setelah mendengar suara laki-laki berambut gondrong tepat di samping kirinya. Wajahnya penuh bekas luka, namun ditutupi oleh rambut gondrongnya. Ia sepertinya pernah melihat laki-laki ini sebelumnya.
“I..iya. Sendirian.” jawab Lumine kaku.
“Mau Razor temenin?” ternyata namanya Razor.
Lumine tak menjawab pertanyaan Razor, ia malah membuang muka dan berharap Razor paham dengan kodenya.
“Oke. Razor pergi dulu.”
Laki-laki berambut panjang itu pergi meninggalkan tempat di mana Lumine duduk sambil mengikat rambutnya yang dari tadi tergerai. Lumine yang menyadari bahwa Razor telah pergi menghela nafas lega karena ia berhasil mengusir secara halus orang yang tidak ingin ia hadapi itu. Ia baru sadar, kalau Razor sekelas dengannya, bahkan mereka duduk bersampingan.
“Ra—” sahutan Lumine tak digubris oleh Razor, ia sudah terlalu jauh dari lapangan.
Aether dan temannya baru saja selesai bermain basket. Amber yang baru saja datang dari kantin tampak kerepotan membawa pesanan teman-teman sekelasnya. Bennett dan Aether langsung berlari menghampiri Amber dan membantunya membawa minuman dan makanan ringan yang ia beli.
Lumine mulai menunduk setelah tahu bahwa ada yang menghampirinya lagi.
“Lumine? Lo adiknya Aether?” tanya Xiao datar.
Lumine hanya mengangguk, ia tak berani menatap Xiao. Bahkan menjawabnya saja tidak.
“Jangan lo ganggu calon gue!” ledek Venti sambil memisahkan Xiao dari hadapan Lumine.
“Dih. Terserah lo, deh.” ujar Xiao sambil berjalan menuju Aether dan Bennett.
Venti duduk di samping Lumine, tak peduli dengan ketidaknyamanan yang ditunjukkan oleh Lumine kepadanya.
“Jangan khawatir, gue cuma misahin lo dari Xiao. Gue gak suka kok sama lo,” ledek Venti sambil menepuk punggung Lumine.
Walaupun kesal, Lumine berusaha menahannya, ia berdoa agar Barbara cepat-cepat datang dan mengusir Venti dengan cepat.
“VENTIIIIII” teriak Barbara dari lantai atas, tepatnya ruang PMR.
“Hehe~ itu pacar gue, Barbara.” ujar Venti yang masih mengelap keringatnya dengan lengan bajunya. Hebatnya bajunya tidak kotor sedikit pun walaupun peluh membasahi seluruh tubuhnya.
Barbara datang menghampiri Venti dan Lumine dengan wajah kesal yang pura-pura ia buat. Masalahnya Barbara tak akan pernah bisa marah dengan Venti, apa pun itu alasannya. Ia sempat menceritakan itu pada Lumine saat jam istirahat tadi.
Barbara sudah berhubungan dengan Venti selama 4 tahun, mereka mulai pacaran saat kelas 6 SD, Lumine sempat tercengang mendengar cerita Barbara tadi siang. Ada cerita di balik itu, namun belum sempat diceritakan oleh Barbara karena jam istirahat sudah selesai.
“Kamu jangan deket-deket sama temen baruku!” gerutu Barbara sambil menyilangkan tangannya di dada.
“Ututu, Tayaaaang!” bujuk Venti sambil mengelus kepala Barbara dengan lembut.
Lumine tentu kaget dan mual melihatnya, Aether yang sadar dengan raut wajah adiknya langsung menghampiri mereka bertiga.
“Gue udah selesai, nih. Mau pulang sekarang?”
“Ehhh? Gue baru sampai, cepet banget pulangnya.” ujar Barbara lesu, ia sedikit segan dengan Aether, entah kenapa.
“Barbara main ke rumahku aja, kita sekalian kerja kelompok, kan ada tugas tadi dari Kak Je—”
“IBU! Bu Jean!” potong Barbara, ia takut identitas kakaknya terbongkar karena Lumine keceplosan.
Aether bengong mendengarkan pembicaraan dua gadis yang sudah bau matahari itu. Venti pun hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah pacarnya yang semakin hari semakin lucu.
“Ya udah, main ke rumah gue aja sekalian.” ajak Aether kepada yang lainnya.
“Enggak bisa, gue mau main sama Icel nanti,” seru Bennett yang ternyata sudah jalan ke parkiran sekolah.
“Skip.” ujar Xiao ketus.
“Xingqiu sama Amber?” tanya Venti.
“Sebenarnya gue capek, tapi ya udah. Ayo aja.” jawab Xingqiu pasrah.
“Yuk!”
Mereka berjalan menuju parkiran, sementara Aether dan Lumine lanjut menuju halte bis karena tak ada yang bisa nebengin mereka pulang ke rumah.
“Lah? Ngapain naik bis?” tanya Xingqiu dengan mobil sport miliknya yang berwarna sama dengan rambutnya, biru.
“Udah gue pesenin taksol, udah deket juga mobilnya.”
Tak lama setelah itu mobil taksi yang Xingqiu pesan datang, Aether dan Lumine masuk dan diiringi oleh Xingqiu, Amber, Venti dan Barbara.
**
Zhongli menatap tajam anak sulungnya, Itto yang juga sedang membalas tatapan ayahnya. Gorou sebagai anak bungsu hanya bisa terdiam melihat pertarungan sengit ini. Padahal mereka baru saja tampak baikan setelah makan Mie Ayam Cah Mondo.
“Bang? Yah?” ujar Gorou yang sudah mulai panik.
Ponselnya terus berdering tapi tak berani ia angkat. Ningguang terus menerus menelepon si bungsu untuk mengetahui kabar suami dan anak sulungnya itu.
“DIEM!” bentak Itto kesal, ia merasa terganggu dengan suara tambahan yang datang dari mana pun. Bahkan pengunjung lain juga sampai diam dan saat mendengar suara Itto.
Mata Itto berkedip sebelah setelahnya.
“YES! AYAH MENANG! KAMU PULANG!” teriak Zhongli antusias. Ternyata mereka sedang beradu tatap, yang kedip duluan dia kalah.
“BANGSAT LO GOROU!” Itto langsung terbang dari kursinya dan mencengkram Gorou yang mengganggu pertarungan sengitnya.
“AMPUN, BANG! INI MAMAH TELEPON TERUS! AMPUN!” teriak Gorou yang sudah memohon ampun dari tadi.
“Itto, lepaskan adikmu.” ujar Zhongli dengan suaranya yang berat, tanda ia sudah mulai serius.
Beberapa saat kemudian, Itto langsung melepaskan cengkramannya dari leher Gorou, anak itu selamat hari ini.
“Ayo, pulang. Mama kamu mau ketemu.” ajak Zhongli yang langsung berdiri dari kursinya.
“Jangan lupa bayar,”
Zhongli langsung kabur dari kedai mie ayam itu, Gorou juga tak mau kalah cepat dengan sang ayah. Tinggal Itto sendiri pasrah sambil mengeluarkan dompetnya dan membayar semua yang sudah mereka makan sore ini.
“Udah, Bang To. Gratis aja, makasih udah jagain kami selama ini!” ujar Pakde Bertus.
“AH SERIUS AJA, BANG? JADI ENAK!” seru Itto dengan suara lantangnya.
Ia mengambil tongkat kesayangannya, berjalan keluar kedai mie ayam dan mencari keberadaan ayah dan si bungsu.
“Bangsat! Gue ditinggalin!”
Itto mengambil ponselnya dari saku kirinya dan melihat ada pesan dan panggilan tak terjawab dari seseorang.
“Tumben ini bocah nelepon?”
-to be continued